JPII Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
FORMULASI TEORETIS MENCARI KEBENARAN HOLISTIK DALAM FILSAFAT Arfandi Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo
[email protected] Knowledge always have subject, it is know, because without ability impossible there is knowledge. If there is subject of course there is object, that something as for understand or will understand. Without object, impossible there is knowledge. Truth theoretically is “ congruity in idea and expression that real consist”. Human being can’t transform holistic knowledge is personal can be control and subjugate al ammarah desire until can’t unauthorized and reins. This matter iterrelated with all of honesty, in a universal can be result intuitive from intellect and reality. There requisites person to develop truth holistic knowledge; 1. Morality subject, 2. Good intellect and 3. Qualification. Kata Kunci: formulasi teoretis, kebenaran holistik ………………………….………………………………………………………………………………... Pendahuluan Ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, karena demi mencapai kebenaran maka ilmu pengetahuan itu menjadi eksis. Namun dari semua kebenaran yang diperoleh, ilmu pengetahuan pada akhirnya akan dikembangkan untuk kebutuhan manusia dan alam semesta. Karena ilmu pengetahuan ini dikembangkan untuk kebutuhan manusia dan alam semesta, maka kearifan dan kebijaksanaan manusia dalam menciptakan berbagai ilmu pengetahuannya sangat diperlukan. Manusia memiliki potensi-potensi yang sehat dan tumbuh secara kreatif. Manusia dengan kemampuan menalar dan berpikir lainnya dengan perasaan dan intuisi (ilmu pengetahuan juga dapat diperoleh lewat wahyu atau ilham), maka manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu mengembangkannya. Lalu sejak kapan kegiatan ilmiah itu mulai dilakukan oleh manusia? Menurut Ritchie Calder dalam proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.
Mengapa? karena manusia, dengan panca inderanya sering menemukan dan mengawasi serta mengamati sesuatu, sehingga menimbulkan perhatian terhadap objek tersebut secara khusus (Soetriono, 2007: 40). Tokoh filsuf, Aristoteles yang merupakan salah satu ilmuwan peletak dasar berpikir secara logis telah menggunakan logika yang tidak lain dari berpikir secara teratur, konsisten (taat asas), setia pada aturan yang tepat atau setia kepada kausalitas, karena tiap uraian ilmiah berdasarkan logika. Karena logika adalah dasar dari hakikat ilmu pengetahuan yang dibangun diatas dasar tiga landasan filsafat, diantaranya: 1. Landasan Ontologis yakni mempelajari wujud hakiki dari sesuatu objek, hubungan antara objek tadi dengan daya nalar manusia (penginderaan, perasaan dan pemikiran) yang membuahkan pengetahuan. Intinya adalah pendekatan yang fokus terhadap objek yang ada (Suriasumantri, 1985: 34).
86
Arfandi – Formulasi Teoretis
2. Landasan Epistemologis yakni bagaimana kemungkinan menimba pengetahuan yang merupakan ilmu, proses-prosesnya, dan faktor pendukungnya, agar memperoleh pengetahuan yang benar, sehingga ditemukan hakikat kebenaran dan kriteria-kriterianya. Hal dengan menjawab pertanyaansebagai berikut; a. Bagaimana prosedurnya? b. Apa yang yang harus dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar? c. Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri? d. Apa saja kriterianya? (Suriasumantri, 1985: 34-35) 3. Landasan Aksiologis yakni bagaimana menemukan kegunaan ilmu pengetahuan itu, hubungan antara sistem penggunaannya dengan normanorma, moral, serta hubungan antara tekhnik operasional metode ilmiah dengan moral itu. Intinya landasan aksiologi ini tentang nilai secara umum (Suriasumantri, 1985: 34-35; Surajiwo, 2008: 151-152).
Konsep Dasar Kebenaran Apakah kebenaran itu? Inilah pertanyaan yang lebih lanjut harus dikaji dalam filsafat ilmu. Kebenaran sesungguhnya memang merupakan tema sentral dalam folsafat ilmu, sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Pada umumnya orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran, namun akan lebih tepat kalau sebuah pertanyaan yang muncul adalah, “Apakah pengetahuan yang benar itu?”.Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah
87
kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan atau ketidakbenaran (Syafi’i, 1995). Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985: 238-239). Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidangbidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran (Daldjoeni, 1985: 235). Karena kebenaran ialah makna yang merupakan halnya, dank karena kenyataan ialah juga merupkan halnya, maka keduanya dipandang sama sepenuhnya. Hal tersebut seperti yang ditegaskan oleh Surajiwo (2008: 101) didasarkan pada makna kebenaran secara ontologikal adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada (objektif) atau diadakan (subjektif). Ada dua hal yang perlu diperhatikan antara hubungan subyek dan obyek dalam kebenaran, yaitu subjektivitas merupakan bagian integral dan essensial dari kebenaran, bukan sesuatu yang mengancam dan menggerogoti kebenaran. Kalau subjektivitas dihapuskan, maka bukan hanya pengaruh pengaruhnya yang dihilangkan, tetapi nilai intellegibilitas secara keseluruhan terhapuskan.
JPII Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
Teori Kebenaran Secara diantaranya:
mendasar
teori
kebanaran
Teori Kebenaran Saling Berhubungan (Coherence Theory Of Truth) Kattsoff dalam bukunya Elements of Philosophy dijelaskan... suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandunganya dalam keadaan saling berhubungandengan pengalaman kita. (Surajiwo, 2008: 105). Dan A.C Ewing (1951: 62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapatpendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataanpernyataan lainnya. Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.
Teori Kebenaran Saling Berkesesuaian (Correspondence Theory of Truth) Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau
pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987: 237). Teori ini berangkat dari pengetahuan Aristoteles yang menyatakan segala sesuatu yang diketahui adalah suatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subjek (Abbas Hamami, 1996: 116).
Teori Kebenaran Inherensi (Inherent Theory of Truth) Teori Kebenaran inheren ini juga dikenal dengan teori pragmatis yang memiliki pandangan bahwa proposisi itu di anggap benar jika memiliki nilai guna atau bermanfaaat (Surajiwo, 2008: 106). Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibatakibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis (Hadiwijono, 1980: 130) dalam kehidupan manusia.
Sifat Kebenaran Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (1996) membedakan sifat kebenaran pada 3 sifat sebagai berikut; 1. Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun, artinya apakah pengetahuan itu berupa: a. Kebenaran biasa: Kebenaran yang mengacu pada pengalaman individual yang tidak tertata dan sporadis sehingga cenderung
88
Arfandi – Formulasi Teoretis
b.
c.
d.
2.
3.
subjektif sesuai dengan variasi pengalaman yang dialami. Kebenaran ilmu: Mengacu pada fakta–fakta empiris yang bersifat positif. Kebenaran filsafat: Bersifat spekulatif, mengingat sulit dibuktikan secara empiris, namun bila metode berpikir dipahami maka seseorang akan mengakui kebenarannya. Kebenaran Agama: Kebenaran yang didasarkan pada informasi yang datangnya dari Tuhan melalui utusan. Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya. Kebenaran yang dikaitkan dengan ketergantungan terjadinya pengetahuan.
Konsep Manusia Berpikir Holistik Pikiran manusia cenderung bersifat analitis, memilah-milah, separatis, fiktif, parsial. Sebaliknya, pikiran tidak mampu menyerap objek secara tuntas. Hal ini disebabkan: 1. Hakikat sesuatu objek pikiran selalu bersifat tersembunyi, atau setidaknya tidak akan pernah tuntas dicerap secara menyeluruh oleh pikiran. Kalau kita mengenal istilah metodologi, maka sebenarnya hanya berarti “cara logis untuk mendekati objek”, dan bukan cara mencerap objek secara tuntas. 2. Dalam konteks praktis, biasanya kita lalu membagi tugas kepada beberapa orang dari berbagai disiplin ilmu misalnya. Model “membagi tugas” seperti ini mengandung kelemahan atau bahaya, kalau kita tidak memahami karakter pemikiran di balik pembagian tugas itu
89
3. Oleh karena pikiran tidak akan pernah mampu menyerap hakikat objek secara tuntas, maka berarti pikiran tidak akan pernah mampu berbicara perihal kebenaran. Pikiran hanya mampu berbicara perihal kebetulan. Mengambil hikmah dari gambar di atas, maka “kebetulan + kebetulan = kebenaran” bukan? artinya, kita tidak bisa menemukan kebenaran dengan mengumpulkan kebetulan-kebetulan. Dengan kata lain, pikiran tidak mampu melakukan valuasi (penilaian salahbenar), pikiran hanya mampu melakukan evaluasi (menyatakan faktafakta parsial). Berdasarkan uraian di atas, maka berlaku prinsip umum : a) Keseluruhan tidak sama dengan jumlah bagian-bagiannya, atau b) Keseluruhan sama dengan keseluruhan itu sendiri Berdasarkan uraian di atas maka didalam memahami suatu objek, diperlukan pemahaman secara utuh dan menyeluruh terhadap objek tersebut atau disebut juga berpikir secara holistik. Ciri berpikir filsafat ini berlaku umum terhadap berbagai fenomena kehidupan manusia di dunia untuk mewujudkan keseimbangan hidup manusia. Dengan demikian konsep berpikir holistik dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Berpikir secara utuh, tidak terlepas-lepas dalam kapsul egoisme (kebenaran) sekoral yang sempit. Cara berpikir filsafat seperti ini perlu dikembangkan mengingat hakikat pemikiran itu sendiri adalah dalam rangka manusia dan kemanusiaan yang luas dan kaya (beraneka ragam) dengan tuntutan atau klaim kebenarannya masing-masing, yang menggambarkan sebuah eksistensi yang utuh. Manusia, karenanya, bukan hanya berpikir dengan akal atau rasio yang sempit, tetapi juga dengan ketajaman batin, moral, dan keyakinan sebagai kesatuan yang utuh.
JPII Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
2. Suatu pola pikir dengan cara melihat keseluruhan, Sehingga ketika ada gejala ketidak beresan, yang diperlukan adalah melihat dan bertanya sampai kita menemukan akarnya. Inilah yang penting dimiliki oleh individu yang ingin lebih maju. 3. Model berpikir yang menggunakan model divergen dan konvergen secara bertahap. Kemampuan menggunakan kedua model berpikir tersebut, ditambah kemampuan “melihat” hubungan antara ide-ide atau informasi-informasi yang sebelumnya tidak terhubung merupakan dasar bagi berpikir cerdas. Secara singkat, holistic thinking adalah aktivitas berpikir yang merupakan gabungan antara dimensi-dimensi spiritual (moral, etika, tujuan hidup), psikososial (motivasi, empati), rasional (tingkat pertama dan tingkat kedua, dan fisikal (eksekusi, implementasi, menerima umpan balik). Kecerdasan pada dimensi-dimensi tersebut dilabeli dengan istilah SQ (spiritual), EQ (emosional), IQ (rasional), dan PQ (fisikal).
Self (diri) Jalan Menuju Kebenaran Ilmu Pengetahuan yang Holistik Sebagaimana telah dijelaskan pada awal tulisan ini, bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya didapat dari kemampuan menalar dan berpikir saja, tetapi ilmu pengetahuan itupun didasarkan pada intuisi. Apalagi pada era modernisasi dan industrialisasi seperti sekarang ini, menuntut setiap manusia yang berpikir dan menalar untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari kehidupannya, membutuhkan kekuatan etika ilmu pengetahuan sehingga fungsi ilmu pengetahuan akan berfaedah terhadap kemaslahatan ummat manusia itu sendiri dan keutuhan alam semesta. Intuisi, merupakan salah satu tipe pengetahuan yang memiliki watak lebih
tinggi daripada pengetahuan inderawi atau akal. Akal dan inderawi merupakan instrumen menghadapi objek-objek materi serta hubungan kuantitatifnya, maka intuisi sebagai naluri yang menjadi kesadaran diri manusia yang menjadi tuntunan pada kehidupan immateri, yang apabila mendominasi pola pikir akal budi manusia, ia dapat memberi petunjuk sebagai dorongan rohani dari dalam diri manusia untuk memanfaatkan dan menggunakan ilmu pengetahuan yang dimilikinya sesuai peruntukannya dengan dilandasi tujuan untuk kemaslahatan ummat manusia, begitupun sebaliknya. Menurut David Truebood dalam Soetriono (2007), bahwa ada tiga hal yang harus dipenuhi agar ilmu pengetahuan itu menyeluruh dan dapat diterima: 1. Moralitas subjek. Artinya karena ilmu pengetahuan dapat dikategorikan pada pengetahuan tingkat ilmiah yang lebih tinggi, maka sandaran yang lebih kuat adalah moralitas penerima pengetahuan itu, sebab tidak semua manusia dapat mengikuti penyelidikannya secara tuntas. 2. Akal sehat Artinya untuk menilai kevalidan ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang, maka dapat ditinjau dari sudut penalaran akal sehat, apakah fakta dari pengetahuan yang dimilikinya dapat dinalar atau tidak. 3. Keahlian diri Artinya untuk menilai tingkat kebenaran suatu ilmu pengetahuan secara menyeluruh harus melihat pada subjek penerima atau yang menjalankannya, apakah memiliki keahlian atau tidak. Dengan kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, maka apabila ditinjau dari aspek manusianya (self), maka penalaran dan intuisi merupakan suatu kesadaran yang tinggi dalam self (diri)/kemanusiaanya.
90
Arfandi – Formulasi Teoretis
Soetriono meninjau lebih jauh, bahwa ilmu pengetahuan sesuai dengan objek yang dilihat adalah kenyataan (reality), maka ilmu pengetahuan yang holistik merupakan ilmu pengetahuan yang menyeluruh dan mempunyai paradigma tertentu yang harus menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi, bagaimana seharusnya menjawab persoalan tersebut, serta aturan-aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan informasi yang dikumpulkannya untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Sehingga dibutuhkan kesadaran dan kekuatan batin yang tinggi dalam diri (self) untuk menalar dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Sehingga apabila akal dan naluri kemanusiaan manusia dapat mengalahkan sifat-sifat tercela (nafsu) sebagaimana dijabarkan oleh Imam AlGhazali tersebut di atas, maka ilmu pengetahuan yang diperoleh akan digunakan untuk kemaslahatannya tetapi apabila sebaliknya, maka ilmu pengetahuan yang diperoleh akan digunakan untuk kehancurannya. Lebih lanjut, suatu pengetahuan yang bersifat analitis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertengguk dalam pengalaman self, maka pembatasan adalah perlu. Pembatasan ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian keilmuan. Pembatasan ini harus operasional dan merupakan pengkajian teoretis. Kedua pembatasan tersebut dapat disimpulkan “keadaan sebagaimana adanya”, bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Keadaan sebagaimana adanya adalah pembatasan yang mendasari telaah ilmiah, dan bagaimana keadaan yang seharusnya adalah asumsi yang mendasari telaah moral. Uraian tersebut membawa kepada implikasi bahwa ilmu pengetahuan holistik memberikan pembatasan terhadapnya, yaitu mengenai perilaku yang dipancarkan oleh self sebagai subyek tersebut.
91
Ilmu pengetahuan yang holistik merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut. Prosedur untuk mendapat ilmu ialah yang disebutkan dengan metode keilmuan, yang langkah-langkahnya adalah perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir, pengajuan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah (Suriasumantri, 1985).
Formulasi Al-Qur’an terhadap Penggunaan Akal dan Filsafat Islam
Motivasi Al-Qur’an terhadap Akal Pro dan kontra terhadap penggunaan akal (rasio), sering kita dengarkan. Namun penulis sajikan bukti bahwa dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat yang mendorong optimalisasi berpikir antara lain dapat ditelusuri dari kata-kata atau istilah yang digunakan al-Qur’an sehubungan dengan hal tersebut seperti: 1. Kata-kata yang berasal dari ‘aqala yang mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir. Kata-kata tersebut terdapat dalam lebih 45 ayat (Fu’ad, 1997: 595). Diantaranya adalah surat al-Baqarah [2] ayat 242 (kadzalika yubayyinu Allah lakum ayatihi la’allakum ta’qilun), al-Anfal [8] ayat 22 (Inna syarra al-dawab ‘inda Allah al-shummu al-bukmu al-ladzina la ya’qilun)dan al-Nahl [16] ayat 12 (wa sakhharalakum al-layla wa al-nahara wa alsyamsa wa al-qamara wa al-nujum musakkharatun bi amrihi, inna fi dzalika la’ayatin liqawmin ya’qilun).
JPII Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
2. Kata-kata yang berasal dari nadzara dalam arti melihat secara abstraktif yakni berpikir, merenungkan atau menalar. Kata-kata tersebut terdapat dalam alQur’an lebih dari 30 ayat. Diantaranya dalam surat Qaf [50] ayat 6 (Afalam yandzuru ila al-sama’i fawqahum kayfa banaynahawa zayyannaha wamalaha min furuj), al-Thariq [86] ayat 5 (falyandzur alinsan mimma khuliq) dan surat alGhasyiyah [88] ayat 17 (afala yandzuruna ila al-ibili kayfa khuliqat). 3. Kata yang berasal dari akar tadabbara yang bermakna merenungkan. Kata tersebut antara lain terdapat dalam surat Shad [38] ayat 29 (Kitabun anzalnahu ilayka mubarakun liyaddabaru ayatihi walitadzakkara ulu al-albab) dan surat Muhammad [47] ayat 24 (afala yatadabbaruna al-qur’an am ‘ala aqfaluha). 4. Kata-kata yang berasal dari tafakkara yang bermakna berpikir. Kata ini terdapat dalam 16 ayat al-Qur’an, diantaranya dalam surat al-Nahl [16] ayat 69 (…yakhruju min buthuniha syarabun mukhtalifun alwanuhu fihi syifa’un li al-nas. Inna fi dzalika la ayatin li qawmin yatafakkarun) 5. Kata-kata yang berasal dari faqiha yang bermakna paham atau mengerti yang terdapat dalam 16 ayat al-Qur’an. Diantaranya dalam surat al-Isra’ [17] ayat 44 (Tusabbihu lahu al-samawat al-sab’u wa al-ardhu wa man fihinna wa in min syay’in illa yusabbihu bihamdihi wa lakin la tafqahuna tasbihahum, Innahu kana haliman ghafuran, al-An’am [6] ayat 98 (wa huwa al-ladzi ansya’akum min nafsin wahidatin famustaqarrun wa mustawda’, qad fassalna al-ayati liqawmin yafqahun) dan al-Tawbah [9] ayat 122 (wama kana al-mu’minun liyanfiru kaffatan falawla nafara min kulli firqatin minhum tha’ifatun liyatafaqqahu fi al-din wa liyundziru qawmahum idza raja’u ilayhim la’allahum yahdzarun). 6. Kata-kata yang berasal dari tadzakkara yang berarti mengingat, memperoleh
peringatan, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari, yang kesemuanya mengandung makna aktivitas berpikir. Kata tersebut terdapat dalam lebih dari 44 ayat.Diantaranya pada surat al-Nahl [16] ayat 17, al-Zumar [39] ayat 39 dan al-Dzariyat [51] ayat 47. 7. Kata-kata yang berasal dari fahima atau fahhama yang berarti memahami. Antara lain terdapat pada surat al-Anbiya’ [21] ayat 78. 8. Kata Ulu al-Albab yang berarti orang yang berpikir atau menggunakan pemikiran. Yang terdapat dalam surat Yusuf [12] ayat 111 (laqad kana fi qashashihim ‘ibratun li uli al-albab…) dan surat Ali ‘Imran [3] ayat 190 (Inna fi khalqi al-samawati wa al-ardhi wa ikhtilafi al-layli wa al-nahari la ayatin li uli al-albab). 9. Ulu al-‘Ilm yang berarti orang yang berilmu yang antara lain terdapat dalam surat Ali ‘Imran [3] ayat 18 (Syahida allah annahu la ilaha illa huwa wa al-malaikatu wa ulu al-‘ilm qaiman bi al-qist la ilaha illa huwa al-‘azis al-hakim). 10. Ulu al-Abshar yang bermakna orang yang memiliki pandangan (perspektif). Terdapat antara lain dalam surat al-Nur [24] ayat 44 (yuqallibu allah al-layla wa alnahara, Inna fi dzalika la’ibratan liuli alabshar) 11. Kataayat sendiri yang sangat erat hubungannya dengan aktivitas berpikir dan memiliki makna denotatif tanda, (Harun Nasution, 1990: 39-49), dalam mana tanda merupakan suatu instrumen yang sangat berharga untuk orang yang memaksimalisasikan akal. Dorongan terhadap akal dan pemikiran filsafat juga terdapat dalam hadits sebagai sumber otoritatif kedua setelah al-Qur’an.Diantara hadits yang memberikan penghargaan tinggi kepada akal adalah al-din huwa al-‘aql, la dina liman la ‘aql lahu (Agama adalah penggunaan akal, tidak [sempurna] keberagamaan bagi orang yang tidak berakal). Dalam hadits lain
92
Arfandi – Formulasi Teoretis
dinyatakan Fadl al-‘alimi ‘ala al-abidi kafadl alqamari ‘ala sa’ir al kawakibi (keutamaan orang yang berilmu [‘alim] dari pada seorang yang ahli ibadah tapi tidak ‘alim adalah seperti cahaya bulan atas cahaya bintanggemintang) Jika filsafat dikatakan berpikir secara radikal, bahkan sampai ke dasar segala dasar, maka pengertian tersebut sejalan dengan kandungan al-Qur’an yang mendorong pemeluknya untuk berpikir secara mendalam tentang segala sesuatu sehingga ia sampai ke dasar segala dasar, yakni Allah, pencipta alam semesta. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa intisari filsafat terdapat dalam alQur’an, tetapi al-Qur’an bukanlah buku filsafat.Agaknya karena sebab demikian para filosof Muslim memandang –sebagaimana dinyatakan Ibn Rusyd—bahwa filsafat bukanlah sesuatu yang haram dalam Islam, bahkan–menurutnya—hukum berfilsafat adalah wajib dan sekurang-kuranganya dianjurkan oleh agama (sunnah). Sementara itu, yang lainnya ada yang menyamakan kata filsafat atau filosof dengan kata hikmah dan hakim yang ada dalam al-Qur’an (Mustafa, 1959: 118).
Aliran Filsafat dalam Percaturan Filsafat Islam Paling tidak, terdapat empat aliran dalam filsafat Islam. Pertama, peripatetisme (masysya’iyah), kedua, iluminisme (isyraqiyyah), ketiga, Teosofi (‘irfaniyah), keempat filsafat hikmah (al-Hikmah alMuta’alliyah) (Kartanegara, 2006: 26). 1. Aliran Paripatetisme (Masysya ‘iyah) Modus ekspresi atau penjelasan para filosof peripatetik bersifat sangat diskursif (bahtsi), yaitu menggunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal (rasional). 2. Aliran Iluminasionisme (Isyraqiyah)
93
Berbeda dengan aliran peripatetik, yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai metode berpikir dan instrumen pencarian kebenaran, filsafat iluminasionisme mencoba untuk memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani), sebagai pendamping –bagi, atau malah justru sebagai dasarpenalaran rasional. Dalam konteks ini, Suhrawardi mencoba melakukan sintesis antara dua pendekatan, burhani dan ‘irfani dalam sebuah sistem pemikiran yang solid dan holistik. Suhrawardi mengklasifikasikan pencari kebenaran ke dalam tiga kelompok (1) Mereka yang memiliki pengalaman mistis yang mendalam seperti para sufitetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan pengalamannya secara diskursif. (2) Orang yang memiliki kecakapan nalar diskursif, tetapi tidak memiliki pengalaman mistik yang cukup mendalam, pengalaman mistik sangat penting untuk mengenal secara langsung realitas sejati sehingga tidak hanya bersandar pada otoritas masa lalu, seperti dalam pemikiran filosof peripatetik. (3) Mereka yang disamping memiliki pengalaman mistik yang mendalam dan otentik, juga memiliki kemampuan nalar dan bahasa diskursif yang juga baik (Kartanegara, 2006:44-45). Pengalaman mistik merupakan pengalaman langsung dalam melihat realitas sejati, karena dalam pengalaman mistik seperti itu, “obyek” penelitian telah “hadir” pada diri seseorang, sehingga modus pengenalan seperti ini sering disebut “ilmu hudhuri” (knowledge by presence) yang kemudian dibedakan dengan “ilmu hushuli” (acquired knowledge), dimana obyek penelitian diperoleh secara tidak langsung.
JPII Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
3. Aliran Teosofisme (Irfaniyah) Para sufi mendasarkan pengenalannya pada pengalaman mistik atau pengalaman religius. Pengalaman mistik–sesuai dengan namanya— berbeda dengan penalaran, yang merupakan produk pengalaman intelektual. Para sufi menyebut pengalaman seperti itu dengan istilah ma’rifah. Berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertitik tumpu pada akal, pengenalan sufistik bertitik tumpu pada hati (intuisi atau qalb).Persepsi intuisi berbeda dengan persepsi akal/intelektual, karena sementaraakal membutuhkan “perantara” dalam mengenal obyeknya (misalnya dalam bentuk huruf, konsep atau pun representasi, sebagaimana telah sering dinyatakan di depan), maka persepsi intuisi dapat menembus langsung “jantung” obyeknya. Karena ketergantungannya pada “perantara”, makamenurut eksponen aliran irfani iniakal tidak akan memiliki pengetahuan hakiki tentang obyeknya. Karena ketergantungannya pada perantara, maka pengenalan akal tidak akan mampu “menyentuh” realitas sejati. Dalam konteks tersebut, Jalal alDin Rumi menyatakan pandangannya dengan sebuah pertanyaan retorikal: Bisakah anda menyunting mawar dari M A W A R ? “Tidak, anda baru menyebut nama, maka carilah yang punya nama; Bulan itu di langit bukan di permukaan air” (Kartanegara, 1987: 22). 4. Filsafat Hikmah (al-Hikmah alMuta’alliyah) Dari perspektif epistemologis, aliran Hikmah Shadra tidak terlalu jauh berbeda dengan aliran Iluminasionis. Seperti aliran iluminasionis, filsafat hikmah juga percaya bukan hanya pada akal diskursif, tetapi juga pada pengalaman mistik. Bahkan pengalaman mistik bukan hanya “mungkin” untuk
diungkapkan secara diskursif logis demonstrasional, tetapi “harus” diungkapkan seperti itu untuk verifikasi publik (Baqir, 2005: 89).
Kesimpulan Ilmu pengetahuan senantiasa memiliki subyek, yakni yang mengetahui, karena tanpa ada yang mengetahui tidak mungkin ada ilmu pengetahuan. Jika ada subyek pasti ada pula obyek, yakni sesuatu yang ihwalnya diketahui atau hendak diketahui. Tanpa obyek, tidak mungkin ada ilmu pengetahuan. Kebenaran secara teoretis adalah “kesesuaian antara pikiran dan pernyataan yang benar-benar terjadi”. Manusia yang dapat membentuk ilmu pengetahuan yang holistik adalah peribadi yang dapat mengontrol dan menaklukan nafsu al-ammarah sehingga tidak menjadi liar dan terkendali. Hal ini berkaitan dengan kebenaran secara keseluruhan, secara universal yang dapat diperoleh secara intuitif melalui akal dan realitas. Tiga syarat pokok bagi seseorang untuk membangun kebenaran ilmu pengetahuan yang holistik; 1. Moralitas subjek, 2. Akal sehat, dan 3. Keahlian diri.
94
Arfandi – Formulasi Teoretis
Daftar Pustaka al-Baqy, M. F. A. (1997). al-Mu’jam almufahras li alfadz al-qur’an. Beirut: Dar al-Fikr. Al-Raziq, M. ‘A. (1959). Tamhid li tarikh alfalsafah al-islamiyah. Kairo: Lajnah alTa’lif wa al-Nasyr. Awing, A. C. (1951). The fundamental questions of philosophy. London: Routledge and Kegan Paul. Baqir, H. (2005). Buku saku filsafat islam. Bandung: Arasy Mizan. Hadiwijono, H. (1980). Sari sejarah filsafat barat II. Yogyakarta: Kanisius. Hamami, A. (1976). Filsafat (suatu pengantar logika formal filsafat pengetahuan). Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM. Inu k. S. (1995). Filsafat kehidupan (Prakata). Jakarta: Bumi Aksara,. Kartanegara, M. (2005). Menembus batas waktu: Panorama filsafat islam. Bandung: Mizan. Kartanegara, M. (2006). Gerbang kearifan: Sebuah pengantar filsafat islam. Jakarta: Lentera Hati. Kattsof, L. O. (2005). Elements of philosophy. Terjemahan Soejono Soemargono. New york: The Ronald Press Company. Nasution, H. (1990). Akal dan wahyu dalam islam. Jakarta: UI Press. Salam, B. (2003). Logika materiil filsafat ilmu pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta. Soetriono & Hanafie, R. (2007). Filsafat ilmu dan metodologi penelitian. Yogyakarta: Andi. Surajiwo. (2008). Filsafat ilmu dan perkembangannya di indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. (2007). Filsafat ilmu. Yogyakarta: Liberty. Titus, H. H., dkk. (1987). Living issues in philasophy, Terjemahan H. M. Rasyidi, Persoalan-persoalan filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
95