-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
FOKLOR DANAU TOBA SEBAGAI WAWASAN GEO-CULTURE DAN GEOMYTHOLOGY BERBASIS KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING (BIPA) Giovani Lumban Gaol Mahasiswa S2 Pendidikan Bahasa Indonesia UNS
[email protected]
Abstract Local wisdom about the Lake Toba is folklore about events in the past that can be used as a lesson on the present and the future. About the Legend of the island of Mardan and legends of Lake Lau Kawar. whether it’s a fairy tale that never happened empirically or simply the reality- iction, its presence can be used as the basis for understanding the events (a disaster) from the perspective of culture. Geo-Cultural and Geo-mythology insights about folklore in Lake Toba could be an alternative for a contextual learning materials based on local wisdom in learning Indonesian for foreign speakers as conceptuality and substance of the values contained in it is very interesting. Indonesian instructional practices for foreign speakers is known that the oral traditional story only as a complement to oral tradition as important as knowledge of grammar, even with the introduction of the oral traditional stories, BIPA learning will learn about Indonesian culture. Keywords: folklore, Geo-Culture, Geo-Mythology, local wisdom, BIPA
Abstrak Kearifan lokal tentang terjadinya Danau Toba adalah cerita rakyat tentang kejadian di masa lalu yang dapat digunakan sebagai pelajaran pada masa kini dan masa depan. Tentang Legenda Pulau si Mardan dan legenda Danau Lau Kawar. Terlepas apakah itu sebuah dongeng yang pernah terjadi secara empiris atau hanya realitas- iksi, kehadirannya dapat digunakan sebagai pijakan untuk memahami peristiwa (bencana) dari perspektif budaya. Wawasan Geo-Budaya dan Geo-Mitologi dalam cerita rakyat Danau Toba bisa menjadi alternatif bahan pembelajaran kontekstual berbasis kearifan lokal dalam pembelajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing karena kontekstualitas dan substansi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat menarik. Praktik pembelajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing diketahui bahwa cerita tradisi lisan hanya sebagai pelengkap tradisi lisan sama pentingnya dengan pengetahuan tentang tata bahasa, bahkan dengan pengenalan tradisi lisan cerita, pembelajaran BIPA akan mengetahui tentang budaya Indonesia. Kata-kata kunci: cerita rakyat, Geo-Culture, Geo-Mythology, kearifan lokal, BIPA
Pendahuluan Kearifan lokal adalah identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:4041) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-ciri kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut: (1) mampu bertahan terhadap budaya luar; (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; (3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli; (4) mempunyai kemampuan mengendalikan; (5) mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Kearifan lokal mengandung tiga unsur penting. Pertama, nilai religius dan etika sosial yang mendasari praktik-praktik pengelolaan sumber daya hayati. Kedua, norma/aturan adat, yang mengatur hubungan antar komunitas dan lingkungan alam. Ketiga, pengetahuan lokal dan keterampilan yang diperoleh dari pengalaman empirik berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun mengelola sumber daya hayati dan lingkungan. Sementara itu, Foklor merupakan salah 560
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
satu kearifan lokal. Pemahaman mengenai folklor yang dikemukakan Danandjaja (2008) adalah “... sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Folklor memiliki beberapa ciri pengenal seperti (a) penyebaran dan pewarisannya bersifat lisan; (b) bersifat tradisional; (c) ada (eksis) dalam berbagai versi dan varian yang berbeda; (d) bersifat anonim; (e) biasanya mempunyai bentuk berumus; (f) mempunyai kegunaan (fungsi) dalam kehidupan bersama kolektifnya; (g) bersifat pralogis; (h) milik bersama (kolektif); dan (i) pada umumnya bersifat polos dan lugu. Bagian dari kebudayaan yang disebut folklor itu dapat berupa ujaran rakyat, ungkapan tradisional (peribahasa, pepatah), teka-teki, cerita prosa seperti mitos, legenda dan dongeng (termasuk anekdot dan lelucon). Foklor di Indonesia banyak mengandung nilai-nilai baik dalam kehidupan sosial tertentu maupun secara global. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam mengenalkan budaya Indonesia ke penutur asing akan terdapat gegar budaya (culture shock) karena perbedaan kedua negara (Dewi dan Nining, 2014: 8). Namun hal itu dapat diatasi dengan pengenalan daerah dan budaya lokal di Indonesia melalui bahasa Indonesia sesuai kemampuan dan kebutuhan mereka.
Pembahasan Bentuk kearifan lokal dalam terjadinya Danau Toba bukan berupa ajaran atau tradisi lisan yang memperingatkan datangnya bencana. Kearifan lokal di Sumatera Utara ini berupa dongeng mengenai peristiwa pada masa lampau yang dapat digunakan sebagai pelajaran pada masa mendatang. Terlepas apakah dongeng itu pernah terjadi secara empiris atau hanya realitasiksi, keberadaannya dapat digunakan sebagai pijakan untuk memahami kejadian (bencana) masa kini dari perspektif budaya (Dwi 2015: 3). 1. Wawasan Geo-Culture Berbasis Kearifan Lokal Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer. Danau ini merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 74.000 tahun lalu yang melepas sekitar 800 kilometer kubik abu (supervolcano atau gunung berapi super) ke atmosfer yang menyelimuti langit dan menghalangi sinar matahari selama enam tahun. Kejadian ini telah memakan korban jutaan manusia dan pada menyebabkan beberapa spesies punah. Penelitian yang dipimpin oleh Dr. Michael Petraglia di Oxford menyatakan bahwa di selatan dan utara India ditemukan sebuah situs arkeolog yang cukup menarik, pada situs itu bisa dilihat bukti orang-orang yang bertahan hidup baik sebelum maupun sesudah terjadinya letusan supervolkano Toba puluhan ribu tahun lalu, dan bukti bahwa terlepas dari tebalnya timbunan abu, ada bukti kehidupan di bawahnya. Penyebaran debu gunung api yang merupakan bagian dari sejarah terbentuknya danau Toba sangat luas dan mampu ditemukan hampir di seluruh pelosok dunia. Perkiraan ini didasari fakta bahwa bentuk molekul debu vulkanik yang ada di dekat danau Toba identik dengan molekul debu vulkanik dari sekitar 2100 titik di dunia(penata ruang pu.go.id). Berdasarkan Mitos yang dipercaya Danau Toba terjadi karena kesedihan seorang wanita ikan karena suaminya membongkar rahasianya kepada anaknya. Lalu bencana pun datang sehingga terjadilah Danau Toba sedangkan anaknya Samosir menjadi Pulau Samosir. Mitos Danau Toba dipercaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang mana menanamkan agar senantiasa menyakralkan danau tersebut, dengan cara menjaga danau dan pepohonan di sekitarnya agar tidak sembarangan ditebang. Masyarakat juga tidak berani merambah hutan di sekitar Danau Toba sembarangan. Begitupun dengan nelayan, yang tidak berani mengambil ikan dengan semaunya, apalagi menggunakan bahan peledak. Hal ini menyebabkan selama 561
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
berpuluh tahun, ekologi di sekitar Danau Toba tetap terpelihara baik. Kepatuhan untuk tidak mengecewakan nenek moyang mereka yang telah terkubur di dalam danau tersebut, membuat masyarakat sangat menjaga Danau Toba. Namun kini, legenda tersebut mulai luntur bersama waktu. Banyaknya penduduk pendatang terutama pejabat setempat yang tinggal di desa-desa sekitar Danau Toba mulai merambah hutan yang disakralkan oleh masyarakat setempat dan danau mulai dicemari keramba-keramba ikan serta sampah. 2. Wawasan Geo-mytologi berbasis Kearifan Lokal Terkait dengan Danau Toba ada cerita rakyat atau dongeng mengenai terjadinya Danau Toba. Berikut ceritanya. Pada Zaman dahulu ada seorang pemuda yang sangat miskin dan sebatang kara. Setiap hari dia bertani dan memancing di sungai hingga suatu hari ia berhasil mendapatkan seekor ikan mas. Keesokan paginya saat bangun tidur, pemuda tersebut sangat terkejut karena melihat seorang gadis cantik yang mengaku sebagai ikan yang ia selamatkan kemarin sedang menata makanan di meja makan untuk si pemuda. Gadis tersebut berjanji untuk memasak makanan yang enak untuk pemuda tersebut setiap hari sebagai ucapan terima kasih. Seiring berjalannya waktu pemuda tersebut melamar si gadis dan si gadis pun menerimanya dengan syarat bila suatu saat mereka mempunyai keturunan, sang anak tidak boleh tahu bahwa sebenarnya ibunya adalah seekor ikan. Hingga suatu hari mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang sangat nakal. Suatu hari saat sang ayah bekerja di sawah, sang ibu menyuruh anaknya untuk amengantarkan bekal kepada ayahnya. Di perjalanan sang anak mengintip isi rantang yang ternyata berisi telur ikan, daging, dan nasi panas. Si anak pun langsung memakan habis isi rantang tersebut dan memberikan rantang sisa makanan kepada ayahnya. Melihat rantang yang tertinggal hanya sisa-sisa makanan, sang ayah sangat marah dan membanting rantang tersebut sambil mencaci anak tersebut dengan sebutan “anak ikan”. Sang anak berlari pulang dan mengadu ke ibunya. Mendengar cerita tersebut sang istri sangat sedih dan badai pun datang namun si ibu memerintahkan si anak untuk berlari ke atas bukit. Perlahan-lahan sisik keemasan mulai menutupi tubuh ibunya. Saat pulang dari memancing, si ayah terkejut melihat istrinya telah berubah menjadi ikan. Dia menyadari kesalahannya dan memohon supaya istrinya berubah menjadi manusia kembali. Namun semuanya telah terlambat. Sang ayah sangat sedih dan terus menangis. Tak lama kemudian tanah tempat mereka tinggal telah berubah menjadi danau yang berwarna kebiruan dan terkenal dengan nama Danau Toba. Sang Anak yang terus menangis berubah menjadi sebuah pulau di tengah danau yang dikenal dengan Pulau Samosir. Pada umumnya dongeng tercipta berdasarkan fakta yang ada sebelumnya. Inilah yang disebut Geo-Mythology. Dongeng Danau Toba, jika dicermati merupakan varian dari cerita Pulau Simardan dan Lau Kawar. Pada dasarnya cerita Lau Kawar adalah cerita pada masa Hindu-Budha di Sumatera Utara yang berkisah seputar kisah seorang cucu yang durhaka kepada neneknya di Kabupaten Karo dan Legenda Pulau Si Mardan merupakan cerita seorang anak yang durhaka terhadap ibunya. Dongeng Danau Toba merupakan varian Lau Kawar dan Pulau Si Mardan jadi benang merahnya adalah pada 7400 tahun lalu pernah terjadi bencana gempa yang dahsyat di wilayah sekitar Danau Toba, sehingga menginspirasi lahirnya dongeng Lau Kawar dan Pulau Simardan. “Benua Atlantis” karya Prof. Arysio Santos yang menghebohkan adalah salah satu contohnya. Santos (2010) menyimpulkan bahwa benua Atlantis yang hilang adalah Indonesia. Ia meyakini benua menghilang akibat letusan beberapa gunung berapi yang terjadi bersamaan pada akhir zaman es sekitar 11.600 tahun lalu. Di antara gunung besar yang meletus zaman itu adalah Gunung Krakatau Purba (induk Gunung Krakatau yang meletus pada 1883) yang konon letusannya sanggup menggelapkan seluruh dunia. Letusan gunung berapi 562
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
yang terjadi bersamaan ini menimbulkan gempa, pencairan es, banjir, serta gelombang tsunami sangat besar. Apabila kita ingat kembali bencana Aceh 24 Desember 2004 ketika itu terjadi Tsunami yang menyebabkan ribuan orang meninggal, bencana ini hampir sama bencana terjadinya Danau Toba. Dengan mengemukakan ilustrasi soal Atlantis dan Tsunami Aceh itu dapat disimpulkan bahwa realitas- iksi dongeng. Gempa Tektonik Danau Toba 7400 tahun yang lalu sesungguhnya tidak dapat diremehkan agar kita lebih peduli dan bersahabat dengan alam. 3. Wawasan G eo-Culture dan Geo-Mythology dalam Pembelajaran BIPA Cerita tradisi lisan memiliki keunggulan dan kelemahan dalam konteks pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Keunggulannya adalah sampai kapan pun tradisi lisan bisa dipakai karena memiliki nilai-nilai norma, moral yang mampu membentuk karakter siswa, bentuk pembelajaran dapat dibuat secara menyenangkan dengan bermain peran, nilainilai moral dan budaya yang terkandung dalam cerita tradisi lisan dapat diinternalisasi secara mendalam dan mengesankan oleh siswa. Sementara itu kelemahannya adalah kadangkala dalam cerita tradisi lisan terdapat cerita yang mengandung kekerasan. Cerita tradisi lisan dalam pengajaran bahasa Indonesia hanya sebagai pelengkap namun semua komponen pengajaran bahasa Indonesia termasuk tata bahasa dan cerita tradisi lisan sama pentingnya. Hal itu dikuatkan Bascom (1965) ada beberapa fungsi folklor bagi pendukungnya, yaitu: (a) sebagai sistem proyeksi, (b) sebagai alat pengesahan kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan, dan (d) sebagai alat pemaksaan pemberlakuan norma-norma. Dapat disimpulkan folklor mencerminkan suatu aspek kebudayaan, baik yang langsung maupun tidak langsung dengan tema-tema kehidupan mendasar, seperti kelahiran, Kematian, kehidupan keluarga, adat-istiadat, pedidikan, penguburan, dan bencana alam. Karena itu, wawasan geoculture dan geo-mythology yang terdapat dalam folklor Danau Toba dapat menjadi bahan ajar dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing kekinian sebab kontekstualitas dan substansi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat menarik. Desain dan Teknik Keterampilan Berbahasa melalui Cerita Rakyat Danau Toba dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Melalui berbagai keterampilan berbahasa seperti pembelajaran menyimak, berbicara, membaca, dan menulis, tingkat pemahaman dan penggunaan bahasa Indonesia siswa asing dapat meningkat. Pembelajaran setiap keterampilan dapat dilakukan secara terpisah tetapi juga dapat dilakukan secara terpadu (terintegrasi). Berikut ini sejumlah aktivitas yang dapat dilakukan untuk setiap keterampilan berbahasa yang diadopsi dari Taylor (2000). Pada kegiatan menyimak, guru dapat membacakan cerita dengan suara keras; menceritakan cerita secara lisan tanpa buku; menggunakan tape recorder; cerita rakyat dari budaya yang berbeda diceritakan oleh siswa lain; pertunjukan drama cerita rakyat dan kegiatan kesenjangan informasi. Selanjutnya, pada kegiatan berbicara, guru memerintahkan agar mereka menceritakan cerita dari budaya mereka masing-masing, melakukan kegiatan diskusi, bekerja sama dengan siswa lain untuk menciptakan cerita baru atau melengkapi cerita baru dan kegiatan kesenjangan informasi, serta membuat dan menampilkan cerita melalui drama. Kemudian, pada kegiatan membaca, pembelajaran dapat dilakukan dengan membaca intensif, membaca analisis; membandingkan, mengontraskan, dan lain-lain. Terakhir pada kegiatan menulis, pembelajaran dapat dilakukan dengan mencatat cerita dari siswa yang berbeda budaya; menulis akhir cerita dari cerita yang sedang diceritakan; mengarang cerita asli; menulis makalah yang membandingkan, menganalisis, mengevaluasi, atau mengkritisi cerita; menulis ringkasan cerita, dan merespon cerita secara pribadi.
563
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Simpulan Berdasarkan data cerita tradisi lisan, pengalaman penggunaan cerita tradisi lisan sebagai media pembelajaran BIPA, dan teori kemanfaatan yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa wawasan Geo-Culture dan Geo-Mythology dalam folklor Danau Toba dapat menjadi alternatif bahan ajar yang kontekstual berbasis kearifan lokal yang menarik dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing sebab bencana-bencana alam yang terjadi di dunia sampai saat ini masih menjadi bahan pembicaraan oleh banyak kalangan masyarakat baik di dalam maupun luar negeri. Karena itu, disarankan kepada pemerhati pendidikan agar terus menggali kearifan-kearifan lokal di Indonesia yang dapat dijadikan sumber belajar dan khusus kepada pengajar bahasa Indonesia bagi penutur asing disarankan agar memanfaatkan cerita tradisi lisan Indonesia sebagai upaya mengenalkan budaya bangsa melalui bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka Ayat, Rohaedi.1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya. Bascom, W.R. 1965. “The Form of Folklore: Prose Narratives”. Journal of American Folklore. The Hague: Mouton. Danandjaja, James. 2008. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta: PT Pustaka UtamaGra iti. Dwi, Bayu. 2013. Folklor Lapindo sebagai Wawasan. Bahasa dan Sastra. Vol.13(1) hal 3-10. Nining Nur Alaini dan Dewi Nastiti Lestariningsih. 2014. “Cerita Rakyat Sebagai Referensi Pembelajaran BIPA”. Makalah dipresentasikan pada Asile 2014 Conference. 29-30 September Santos, Arysio. 2010. Atlantis: The Lost Continent Finally Found. Jakarta:Ufuk Press.
564