21
4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI DSSC TiO2/FIKOSIANIN
Pendahuluan
Integrasi antara protein pemanen cahaya dan molekul fotosintesis lainnya dengan permukaan semikonduktor memiliki peranan penting dalam meningkatkan performa sebagai material sel surya. Prinsip DSSC didasarkan pada fotosensitisasi yang diproduksi oleh pewarna pada celah pita lebar semikonduktor logam oksida mesopori, sensitisasi ini disebabkan adanya penyerapan zat warna dari bagian spektrum cahaya tampak (MartΓnez et al. 2012). Fikosianin mempunyai absorpsi cahaya maksimum pada panjang gelombang 546 nm, merupakan salah satu protein yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan tersebut karena fikosianin termasuk ke dalam kelompok fikobilisom yang bersifat sebagai pemanen cahaya. Dengan struktur partikel yang nano maka permukaan dari TiO2 yang dilapiskan menjadi lebih luas sehingga memperbanyak dye yang terserap dan elektron yang tereksitasi. Semakin banyak dye yang terserap dan elektron yang tereksitasi maka akan mengakibatkan meningkatnya efisiensi. Penggunaan pigmen alami seperti klorofil dan porfirin (Wang dan Kitao 2012) dan antosianin (Cherepy et al. 1997; Dai dan Rabani 2002) sebagai sensitiser pada DSSC telah dilakukan. Selain itu pada tahun sebelumnya telah dilakukan penelitian tentang fenomena transport muatan pada beberapa pikobiliprotein yaitu fikosianin dan pikoeritrin melalui analisis efek fotovoltaik arus photo dan arus-tegangan pada kondisi gelap pada lapisan Au-pikobiliproteinAu, karena pikobiliprotein merupakan antenna protein-pigmen yang berperan dalam pemanenan cahaya (Beladekere et al. 1993). Beberapa kriteria fikosianin sehingga cocok digunakan sebagai dye dalam DSSC karena absorpsi yang signifikan pada cahaya tampak dan memiliki gugus karboksilat (-COOH) sebagai grup pengikat antara dye dan permukaan TiO2. Fikosianin mengandung beberapa bilin kromofor dan koefisien absorbansi tinggi di wilayah visible (π = 615 nm), fluoresensi quantum yield tinggi (Ξ¦= 0,8) tidak bergantung pada pH, memiliki absorpsi kuat di sekitar 615 nm dan emisi yang kuat pada 642 nm, memiliki fluoresens life time (nano detik) dibandingkan dye yang banyak digunakan seperti pewarna berbasis N3 atau N719 Ru. Fikosianin sangat larut dalam air dan stabil dalam larutan bersuhu rendah juga sebagai fase padat, sehingga dapat disimpan untuk waktu yang lama (Benko et al. 2002; Hara et al. 2005; Katoh et al. 2007). Gugus karboksilat dapat menjadikan dye lebih efisien karena melekat pada permukaan ampoter oksida TiO2 dapat bereaksi dengan permukaan oksida dengan membentuk ester dan dapat menaikkan pasangan elektronik dye dari tingkat eksitasi (molekul orbital yang memiliki orbital p anti bonding) menuju tingkat akseptor semikonduktor (pita konduksi TiO2) (Kalyanasundaram et al. 1998). Kathiravan dan Renganathan (2009) telah meneliti tentang proses transfer elektron dari fikosianin tereksitasi ke pita konduksi TiO 2. Kemampuan eksitasi fikosianin untuk menginjeksi elektron ke dalam pita konduksi TiO 2 ditentukan
22 oleh perbedaan energi antara pita konduksi pada TiO2 dan potensial oksidasi pada keadaan eksitasi fikosianin. Sesuai dengan persamaan: πΈπ β/π + = πΈπ /π + β πΈπ (5) Potensial oksidasi pada keadaan eksitasi fikosianin adalah -1,41 vs SCE (saturated calomel electrode), dimana πΈπ /π + adalah potensial oksidasi fikosianin 0,53 V vs SCE, πΈπ merupakan keadaan energi tereksitasi 1,94 eV keadaan energi eksitasi dari fikosianin yang ditentukan dari fluoresens maksimum bedasarkan metode yang dilaporkan (Shin et al. 2002). Level energi dari pita konduksi TiO2 adalah -0,52 V vs SCE (Ramakrishna et al. 2001).
Gambar 14 Interaksi antara gugus fikosianin dengan permukaan TiO2 (Kathiravan dan Renganathan 2009) Peningkatan arus foto berkaitan erat dengan penyerapan cahaya yang disempurnakan dari film semikonduktor setelah terintegrasi dengan protein, seperti terlihat melalui karakterisasi spektrum UV-Vis dan spektrum arus-foto. Perakitan menunjukkan stabilitas jangka panjang sehingga merupakan foto anoda hibrida menjanjikan untuk aplikasi fotoelektrokimia (Bora et al. 2012). Hal ini menunjukkan bahwa transfer elektron dari keadaan tereksitasi fikosianin ke pita konduksi TiO2 merupakan transfer energi yang sangat baik. Prinsip sel surya sambungan p-n, ketika semikonduktor tipe-p dan tipe-n disambungkan maka akan terjadi difusi hole dari tipe-p menuju tipe-n. Difusi tersebut akan meninggalkan daerah yang lebih positif pada batas tipe-n dan daerah lebih negatif pada batas tipe-p. Batas tempat terjadinya perbedaan muatan pada sambungan p-n disebut dengan daerah deplesi. Adanya perbedaan muatan pada daerah deplesi akan mengakibatkan munculnya medan listrik yang mampu menghentikan laju difusi selanjutnya. Medan listrik tersebut mengakibatkan munculnya arus drift (Wei et al. 2007). Sel surya p-n ketika tidak disinari mirip dengan karakteristik hubungan arus tegangan diode ideal:
23 ππ β1 (6) ππ Arus yang mengalir pada persambungan p-n ketika disinari cahaya adalah: ππ πΌ = πΌπβ + πΌ0 ππ₯π β β1 (7) ππ Pada rangkaian terbuka (open circuit), I=0 maka: πΌπβ ππ πππ = ππ (8) πΌ0 π q adalah elemen muatan, k adalah konstanta Boltzman, T adalah temperatur mutlak, I0 adalah intensitas awal dan I adalah arus jenuh (saturasi) persambungan. Elektron adalah partikel bermuatan yang mampu dipengaruhi oleh medan listrik. Kehadiran medan listrik pada elektron dapat mengakibatkan elektron bergerak. Hal inilah yang dilakukan pada sel surya sambungan p-n, yaitu dengan menghasilkan medan listrik pada sambungan p-n agar elektron dapat mengalir akibat kehadiran medan listrik tersebut. Ketika sambungan semikonduktor ini terkena cahaya matahari, maka elektron mendapat energi dari cahaya matahari untuk melepaskan dirinya dari semikonduktor n, daerah deplesi maupun semikonduktor. Terlepasnya elektron ini meninggalkan hole pada daerah yang ditinggalkan oleh elektron yang disebut dengan fotogenerasi elektron-hole (electron-hole photogeneration) yakni, terbentuknya pasangan elektron dan hole akibat cahaya matahari (Kayes 2009). πΌ = πΌ0 ππ₯π β
Bahan dan Metode
Bahan Bahan yang digunakan dalam pembuatan sel surya tersensitisasi dye fikosianin adalah TCO, bubuk fikosianin, bubuk TiO2, etanol, asam asetat 3%, elektrolit polimer PEG/kitosan, karbon konduktif.
Metode Proses pembuatan sel surya diawali dengan membersihkan kaca preparat (TCO) dengan aquadest/etanol di dalam ultrasonic bath, kemudian dikeringkan. Masing-masing bubuk TiO2 dan fikosianin ditimbang dengan perbandingan 1:1 (0,2 gram). Bubuk TiO2 ditetesi dengan asam asetat 3% sambil digerus dengan mortar sampai homogen membentuk koloid. Kemudian ditambahkan bubuk fikosianin sambil ditetesi dengan etanol (5-6 tetes) sambil tetap digerus sampai merata. Kaca TCO dengan permukaan yang konduktif dilapisi dengan selotip Scotch dengan menyisakan bagian tengah berukuran 1cm x 1cm. Bagian yang terbuka ditetesi dengan koloid TiO2-fikosianin dan diratakan menggunakan batang gelas yang bersih sampai menutupi semua bagian yang terbuka secara merata, dibiarkan beberapa menit sampai agak mengering. Lapisan selotip Scoth pada masing-masing tepi kaca TCO dilepas secara perlahan, kemudian dikeringkan pada suhu ruang selama 12 jam.
24 Kaca TCO yang lain (sebagai counter electrode) setengah sisi konduktif dilapisi karbon dengan menggosokkan ujung pensil karbon (Monolith HB) secara merata. Permukaan film TiO2/fikosianin ditetesi dengan larutan elektrolit polimer PEG/kitosan (perbandingan konsentrasi garam alkali iodida 0,5 M dan I2 0,05 M). Perakitan sel surya dilakukan dengan menempelkan kedua kaca (bagian yang dilapisi TiO2/fikosianin dengan counter electrode) secara berhadapan sambil dijepit pada sisi kiri dan kanan. Sel surya dirangkai untuk pengujian karakteristik arus-tegangan (I-V) (Gambar 13). Pengukuran nilai arus dan tegangan dilakukan dengan menggunakan amperemeter digital dalam orde mikroampere serta voltmeter digital dalam orde milivolt. Nilai keluaran I-V sel diukur menggunakan sinar matahari langsung dengan intensitas Β± 120 Watt/m2. Karakteristik I-V menjelaskan bagaimana DSSC tersebut mampu bekerja di bawah cahaya langsung. Hal tersebut dapat terlihat pada kurva yang terdiri atas beberapa parameter seperti arus hubungan singkat I sc (short circuit) yaitu arus ketika potensial sama dengan nol, tegangan rangkaian terbuka Voc (open circuit voltage) yaitu tegangan ketika beban luar diberikan sangat besar, V max yaitu tegangan yang memberikan nilai daya maksimum, dan I max yaitu arus yang memberikan nilai daya maksimum. ππππ₯ = ππππ₯ πΌπππ₯ = πππ πΌπ π πΉπΉ (9) Faktor pengisi atau fill factor (FF) adalah perbandingan antara perkalian arus maksimum dan tegangan maksimum dengan perkalian Voc dan Isc. πΌπππ₯ ππππ₯ πΉπΉ = (10) πΌπ π πππ Efisiensi merupakan perbandingan antara daya yang dihasilkan sel surya dengan daya sinar/cahaya yang mengenai sel surya tersebut. Adapun hubungan dari parameter tersebut adalah: ππππ₯ π= π₯ 100% (11) πππ Pmax adalah daya maksimum yang dihasilkan sel surya dan P in adalah daya sumber cahaya yang digunakan (Maddu et al. 2007). Rangkaian komponen untuk mengukur keluaran sel surya disajikan pada gambar 15. Diagram alir perakitan sel surya dapat disajikan pada Gambar 17.
(a)
(b)
Gambar 15 Rangkaian terbuka [V oc] (a), Rangkaian pengukuran arus- tegangan (I -V) sel surya (b)
25
Gambar 16 Kurva arus-tegangan (I-V)
TiO2 + Fikosianin (bubuk) (1:1)
Penambahan larutaan (etanol 96%, asam asetat 3%)
Homogenisasi (Penggerusan dengan mortar )
Pelapisan pada kaca TCO (1cm x 1cm; tebal 2 mm)
Pengeringan (suhu ruang; 6-12 jam)
Penambahan elektroda lawan (TCO dilapisi karbon)
Penambahan elektrolit (PEG/kitosan/KI/I2)
Penambahan elektrolit (PEG-kitosan/KI/I2)
Sel surya (DSSC)
Pengukuran sel surya (I-V)
Gambar 17 Proses perakitan (assembly) sel surya hibrid TiO2/fikosianin
26 Hasil dan Pembahasan
Sifat Optik Hybrid TiO2/Fikosianin Pigmen fikosianin merupakan kelompok pigmen fikobiliprotein yang diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama berdasarkan warnanya. Kelompok pertama adalah fikoeritrin, yaitu pigmen berwarna merah bila terkena cahaya dan memancarkan cahaya pendar berwarna kuning-orange. Kelompok kedua adalah fikosianin, yaitu pigmen berwarna biru dan memancarkan cahaya pendar merah kuat. Pigmen ini di Spirulina berfungsi sebagai pigmen asesoris yang membantu klorofil sebagai penyerap cahaya pada sistem fotosintesis (Γ Carra dan Γ hEocha 1976). 2,5
0,36 0,34 TiO2 /Fikosianin
0,32
TiO2 1,5
0,30 0,28
1,0
Absorbansi (a.u)
Absorbansi (a.u)
2,0
0,26 0,5 0,24 0,0
0,22 300
400
500
600
700
800
900
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 18 Daerah spektrum absorpsi film TiO2 dan film hibrid TiO2/fikosianin Karakteristik penting dari bahan dye yang digunakan untuk DSSC yaitu mampu menyerap spektrum cahaya yang lebar dan cocok dengan pita energi TiO 2. Daerah spektrum serapan film TiO2 dan film hibrid TiO2/fikosianin disajikan pada Gambar 18. Gambar tersebut mengindikasikan bahwa gugus karboksil (-COOH) pada gugus molekul fikosianin mampu berikatan dengan permukaan TiO 2 ditandai dengan perbedaan daerah serapan antara kedua sampel. Serapan film TiO 2 (sebelum ditambahkan fikosianin) sekitar 300 nm sedangkan serapan film hibrid TiO2/fikosianin melebar dari 300 nm sampai 700 nm atau hampir meliputi seluruh spektrum tampak. Hal ini menunjukkan bahwa pelebaran spektrum serapan film hibrid TiO2/fikosianin sangat dipengaruhi oleh fikosianin. Fikosianin berperan sebagai sensitiser, karena keberadaan fikosianin pada film tersebut mampu berikatan dengan TiO2 serta diharapkan menyerap lebih banyak jenis cahaya tampak dari matahari yang datang ketika diiluminasi. Semakin banyak cahaya yang terserap sehingga semakin banyak pula elektron yang di transfer dari level LUMO ke pita konduksi TiO 2. Hal ini menyebabkan kuantitas transfer elektron makin meningkat sehingga efisiensi sel surya yang dihasilkan juga semakin meningkat. Luas daerah spektrum absorpsi yang semakin meningkat mengindikasikan bahwa semakin baik untuk aplikasi sel surya. Gratzel (2003)
27 menyatakan bahwa efisiensi yang dihasilkan dye alami masih lebih rendah jika dibandingkan dengan dye sintetis N3 (ruthenium). Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan dalam menyerap panjang gelombang infra red (IR) atau near infra red (NIR)
Karakteristik Sel Surya Karakteristik arusβtegangan (I-V) dari masing-masing sel yang dibuat berdasarkan variasi suhu kalsinasi TiO2 menunjukkan bahwa ketiga sampel tersebut telah merespon cahaya ketika diiluminasi. Performa sel surya ditentukan dari parameter-parameter sel surya yang diperoleh melalui karakterisasi arusβ tegangan. Tabel 2 menunjukkan karakteristik I-V ketika sel diiluminasi di bawah sinar matahari langsung dengan intensitas 120 Watt/m2 pada masing-masing sel, dengan suhu kalsinasi TiO2 pada 400oC, 600oC dan 800oC. Penyinaran dengan cahaya pada masing-masing sel dapat meningkatkan arus maju. Pada keadaan tersebut, fikosianin sebagai donor elektron mampu membangkitkan lebih banyak eksiton. Eksiton tersebut akan terpisah menjadi elektron dan hole karena adanya medan listrik yang muncul pada persambungan TiO2 dan fikosianin. Akibatnya, pasangan muatan elektron-hole tersebut bergerak menuju elektroda. Hole menuju anoda sedangkan elektron menuju katoda. Perbedaan jumlah muatan antara kedua elektroda tersebut menimbulkan beda potensial. Tegangan ketika rangkaian terbuka disebut open circuit voltage (Voc). Selanjutnya, arus listrik mengalir dari anoda menuju katoda akibat pemberian beban pada sel, arus ini disebut short circuit current (Isc). 0,30
2
Rapat Arus (mA/cm ) -3 ( x 10 )
0,25
0,20
0,15
0,10
0,05
10
20
30
40
50
Tegangan (mV)
Gambar 19 Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO2 kalsinasi 400oC Kualitas sel surya dapat dilihat berdasarkan hasil perhitungan fill factor (FF). Nilai FF dikalkulasi dengan menggunakan data keluaran berupa arus dan tegangan, disubstitusi ke dalam persamaan (10). Sel surya dikatakan sempurna jika nilai FF adalah 1. Kurva yang dihasilkan pada Gambar 19 mendekati kurva ideal dari karakteristik arus tegangan sel surya. Nilai FF yang dihasilkan adalah 0,54 dengan efisiensi 0,06% (berdasarkan persamaan 11).
28 0,7
2
Rapat Arus (mA/cm ) -3 ( x 10 )
0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 20
40
60
80
100
120
140
160
Tegangan (mV)
Gambar 20 Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO2 kalsinasi 600oC. Nilai FF sel pada Gambar 20 bentuk kurva yang dihasilkan kurang ideal jika dibandingkan dengan sel pada Gambar 19. Kemampuan sel dalam mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik dapat dilihat dari besarnya efisiensi yang dihasilkan yaitu 0,29%, lebih besar jika dibandingkan sel pada perlakuan kalsinasi 400oC sebesar 0,06%. Hal ini mengindikasikan bahwa performa sel dipengaruhi oleh perubahan suhu kalsinasi. 1,0
2
Rapat Arus (mA/cm ) -3 ( x 10 )
0,8
0,6
0,4
0,2
50
100
150
200
250
300
350
Tegangan (mV)
Gambar 21 Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO2 kalsinasi 800oC Pada Gambar 21, nilai FF yang dihasilkan 0,64 paling tinggi dari dua sel lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas sel surya pada suhu kalsinasi 800oC lebih ideal. Efisiensi yang dihasilkan 1,04% paling tinggi dari dua sel lainnya. Proses transfer elektron dalam rangkain lebih optimum, sehingga keluaran yang dihasilkan juga lebih tinggi. Tabel 2 Nilai performa dari setiap sel Suhu kalsinasi (oC) 400oC 600oC 800oC
Isc (mA) 2,6 x 10-4 6,8 x 10-4 8,9 x 10-4
Voc (mV) 53,4 144,3 318
Pmaks (mW) 0,01 0,10 0,28
Fill factor (FF) 0,54 0,35 0,64
Efisiensi (%) 0,06 0,29 1,04
29
Isc (mA)
Kemampuan sel mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik pada efisiensi tertinggi (Tabel 2) pada sel dengan kalsinasi 800 oC yaitu 1,04%. Semakin tinggi suhu kalsinasi TiO2 maka efisiensi yang dihasilkan makin meningkat. Nilai efisiensi yang dihasilkan belum optimum. Hal ini diduga karena banyak faktor, misalnya jarak antara level LUMO (Lowest Unoccupied Molecular Orbital) dan level pita konduksi TiO2 merupakan faktor penting dalam menentukan rapat arus (Jsc). Energi celah yang semakin besar menandakan bahwa jarak antara pita konduksi dan level LUMO juga semakin besar. Level energi LUMO harus lebih negatif yang bersesuaian dengan pita konduksi TiO2. Masalah agregasi dan posisi energi yang tidak sesuai pada level LUMO fikosianin yang terlalu rendah, sehingga proses terjadinya transfer elektron ke pita konduksi TiO 2 yang sangat jauh. Hal ini menyebabkan pengumpulan elektron sulit terjadi dari proses transfer elektron sehingga rapat arus yang dihasilkan menjadi lebih kecil. Rapat arus yang kecil menyebabkan efisiensi yang dihasilkan pada DSSC juga menjadi kecil. 0.001 0.0009 0.0008 0.0007 0.0006 0.0005 0.0004 0.0003 0.0002 0.0001 0
300
Gambar 22
400
500
600 700 o Suhu ( C)
800
900
Plot nilai arus hubungan singkat (Isc) terhadap perubahan suhu kalsinasi TiO2
Nilai arus terhubung singkat (Isc) pada sel 400oC adalah 0,26 mA lebih kecil jika dibandingkan dua sel lainnya, sel 600oC sebesar 0,68 mA dan sel 800oC sebesar 0,89 mA. Hal ini sebanding dengan peningkatan nilai Voc, semakin tinggi suhu kalsinasi maka ukuran partikel semakin kecil dan semakin kristal. Semakin banyak sensitizer (dye fikosianin) yang terjerap. Dengan demikian akumulasi elektron yang dialirkan menuju elektroda akan semakin meningkat sehingga arus semakin besar. Demikian pula dengan tegangan open circuit (Voc) untuk sel pada suhu kalsinasi 400oC adalah 53,4 mV lebih rendah jika dibandingkan pada sel 600 oC 144 mV dan sel 800oC sebesar 318 mV. Nilai Voc yang kecil disebabkan karena ukuran partikel TiO2 yang masih besar sehingga luasan permukaannya rendah. Dengan demikian jumlah molekul dye yang terjerap pada permukaan partikel masih rendah. Hal ini menyebabkan jumlah muatan elektron yang ditransfer ke pita konduksi TiO2 relatif sedikit, sehingga nilai beda potensial antara kedua
30 ujung elektroda sel 400oC lebih kecil jika dibandingkan dengan dua sel lainnya yang cenderung meningkat (Gambar 23). 350 300
Voc (mV)
250 200 150 100
50 0 300
400
500
600
Suhu (
700
800
900
oC)
Gambar 23 Plot nilai tegangan rangkaian terbuka (Voc) terhadap perubahan suhu kalsinasi TiO2 Nilai tegangan open-circuit (Voc) dan rapat arus (Isc) yang diperoleh dari ketiga jenis sel semakin meningkat seiring dengan peningkatan suhu kalsinasi TiO2. Peningkatan suhu kalsinasi selain menyebabkan perubahan ukuran partikel juga menyebabkan ukuran pori semakin besar sehingga memungkinkan lebih banyak dye yang terjerap. Faktor stabilitas dye yang digunakan yaitu dye mudah terdegradasi sehingga mengurasi kinerja dalam proses transfer elektron. Faktor proses redoks pada elektrolit yaitu terdapat kebocoran elektrolit sehingga proses pertukaran elektron tidak mampu mengimbangi pengisian kekosongan muatan pada fikosianin yang berlangsung secara siklik. Faktor lain misalnya molekul dye yang terjerap ke partikel TiO2 relatif masih sedikit sehingga jumlah elektron yang terakumulasi lebih sedikit pula, dengan demikian beda potensial yang terukur antara kedua ujung elektroda akan semakin kecil. Performa DSSC paling efisien yang banyak dikembangkan menggunakan dye sintetis berbasis ruthenium yang mengandung pewarna metal-organik yang teradsorpsi pada nanokristalin TiO2. Hasil terbaik yang pernah dilaporkan dari sel dalam mengubah energi matahari menjadi energi listrik mampu menghasilkan efisiensi 10-11% (Argazzi et al. 2004). Dye organik banyak dikembangkan dalam penelitian karena lebih murah dari ruthenium kompleks, memiliki koefisien absorbsi besar karena transisi intramolekul πΏ β πΏ β dan tidak ada kekhawatiran tentang sumber daya yang terbatas serta tidak mengandung logam mulia seperti ruthenium (Kathiravan et al. 2009). Beberapa penelitian yang menggunakan dye organik sebagai sensitiser dalam DSSC disajikan pada Tabel 3.