ADAPTASI DAN MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR MELALUI PENGUATAN KAPASITAS MASYARAKAT DAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN MELALUI SISTEM AGROFORESTRI 1
Prasetyo Nugroho1, Sri Astuti Soedjoko2, Ambar Kusumandari2, dan Hero Marhaento2 2
Program Studi Diploma III Pengelolaan Hutan Sekolah Vokasi UGM, Bagian Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan UGM E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Pogalan village, Sub-district Pakis, Magelang, is located in upper part of Mount Merbabu. It’s consists of 13 hamlets which is located in the area of undulating to very steep slopes (60.30%) with 18.97% of its area has high to very high potential landslide hazard. The objectives of this study were improved the knowledge, understanding and public awareness of environmental issues, establishment of community based disaster response groups (KMTB) and applications of agroforestry system as mitigation and adaptation efforts to prevent landslides hazard.This study was carried out by using several approaches, identification of potential and problems by using interview and focus group discussion; education and community empowerment through the provision of materials and field trips; establishment of community based disaster response groups; introduction of agroforestry system as a form of adaptation and mitigation of landslides hazard. Results showed that the capacity building through enhancement of knowledge and understanding of landslide-prone areas was an important component in terms of adaptation and mitigation of landslide hazard area. It was able to mobilize and encourage the community to increase their efforts in order to improve their environmental conditions by planting trees such as cemara gunung (± 900 seeds) and suren (± 3000 seeds) in agricultural land and landslide-prone area through agroforestry system. In the other hand, establishment of community based disaster response group in Pogalan indicates the seriousness of community to adapt and mitigate land slide hazard independently. Keywords; Pogalan, community based disaster response group, agroforestry
I.
PENDAHULUAN
Desa Pogalan, Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang merupakan daerah yang terletak di kawasan lereng Gunung Merbabu, terdiri dari 13 dusun yang berada di kawasan berlereng bergelombang sampai sangat curam (60,30%). Hasil studi identifikasi daerah rawan longsor di Desa Pogalan dengan menggunakan analisis spasial menunjukkan bahwa 18,97% wilayahnya memiliki potensi longsor tinggi sampai sangat tinggi. Wahyono (1997) menyampaikan bahwa pada kenyataannya tidak semua wilayah berlereng mempunyai potensi longsor dan hal itu tergantung pada karakter lereng beserta materi penyusunnya terhadap respon tenaga pemicu terutama respon lereng terhadap curah hujan. Tanah longsor akan terjadi pada saat ada hujan dengan intensitas tinggi dalam waktu yang lama. Hujan selama lima hari terus menerus dengan intensitas 90 mm/hari atau lebih dapat meningkatkan frekuensi terjadinya longsor. Pola penggunaan lahan juga sangat berpengaruh terhadap kestabilan lereng. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukungnya justru dapat menjadi penyebab tingginya potensi bencana tanah longsor. Sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian, sehingga lahan pertanian diolah secara intensif untuk produksi tembakau, kentang dan hasil-hasil pertanian lainnya. Meskipun pada kelerengan yang tinggi dan tanah yang labil, masyarakat tetap memanfaatkannya sebagai lahan pertanian dengan tidak dilengkapi dengan konservasi tanah dan air yang tepat. Penanaman tanaman kehutanan di lahan pertanian dianggap akan mengurangi produktifitas lahan. Di sisi lain, belum adanya lembaga yang fokus terhadap mitigasi dan adaptasi bencana diduga sebagai penyebab kurangnya kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana melalui kesiapsiagaan bencana. Penyebab lemahnya manajemen bencana di Indonesia adalah kurangnya 380
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
dana, otoritas kelembagaan dan sumberdaya manusia dalam manajemen bencana. Oleh karena itu diperlukan suatu paradigma baru manajeman bencana berbasis komunitas yang dapat memberdayakan potensi masyarakat daerah rawan bencana (Nasution, 2005). Kelembagaan masyarakat tanggap bencana memiliki peran yang sangat penting dalam upaya pencegahan dan penanganan bencana tanah longsor (Suryatmojo, dkk.,2010). Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman serta kesadaran masyarakat terhadap kondisi lingkungan, pembentukan kelompok masyarakat tanggap bencana (KMTB) Desa Pogalan dan aplikasi sistem agroforestri sebagai upaya mitigasi dan adaptasi bencana tanah longsor. II. METODE PELAKSANAAN KEGIATAN Konsep pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan pada kegiatan ini adalah dengan didasarkan pada Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah ada tentang metode penilaian daerah rawan bencana dan pembentukan kelompok masyarakat tanggap bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi (PP No 21 Tahun 2008). Melalui kegiatan ini, masyarakat diajak secara bersamasama menilai kondisi lingkungannya serta kerentanannya terhadap bencana, sehingga diharapkan masyarakat akan mengerti, menyadari dan memahami permasalahan lingkungannya. Dengan demikian, diharapkan masyarakat akan mampu merumuskan metode dan langkah yang harus dilakukan untuk melindungi dan menanggulangi potensi bencana di daerahnya. Kegiatan ini dilaksanakan dengan menggunakan beberapa pendekatan, yaitu penggalian potensi dan permasalahan; edukasi serta pemberdayaan masyarakat melalui pemberian materi dan kunjungan lapangan; pembentukan kelompok masyarakat tanggap bencana; penanaman tanaman kehutanan dan pertanian dengan sistem agroforestri sebagai bentuk adaptasi dan mitigasi terhadap bencana tanah longsor. A.
Penggalian potensi dan permasalahan Studi biofisik kawasan dilakukan dengan tujuan untuk memberikan gambaran tingkat kerentanan kawasan terhadap bencana tanah longsor. Selain itu, pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap permasalahan lingkungan merupakan potensi yang perlu digali sebagai salah satu aspek penting dalam pengelolaan lingkungan. Penggalian potensi dan permasalahan dilaksanakan dengan wawancara langsung kepada masyarakat dan diskusi terarah (focus group discussion) yang melibatkan perwakilan dusun serta kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Desa Pogalan. Focus group dipilih sebagai metode yang membantu dalam rangka memotret suatu cerminan kelompok tertentu, interaksi antar individu, dan dinamika yang ada di dalamnya. Beberapa prinsip yang digunakan dalam metode ini mengacu pada Krueger (1994) yaitu: diskusi dilakukan bersama beberapa orang (anggota kelompok masyarakat), dilakukan secara serial (dilakukan di setiap kelompok masyarakat), dengan partisipan yang homogen, serta dengan topik diskusi yang terfokus. Potensi dan permasalahan yang teridentifikasi tersebut dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan materi edukasi dan pemberdayaan masyarakat. B.
Edukasi dan pemberdayaan masyarakat Hasil inventarisasi potensi wilayah dan identifikasi permasalahan lingkungan melalui kegiatan focus group discussion dan media sosialisasi yang telah dihasilkan tersebut diatas dijadikan sebagai dasar dalam kegiatan edukasi dan pemberdayaan masyarakat setempat. Kegiatan edukasi dan pemberdayaan masyarakat ini dilakukan dalam bentuk penyampaian materi dan diskusi interaktif. Selain itu, mengajak perwakilan masyarakat untuk studi banding ke daerah yang telah berhasil melakukan rehabilitasi hutan dan lahan.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
381
C.
Pembentukan kelompok masyarakat tanggap bencana Kelompok Masyarakat Tanggap Bencana (KMTB) merupakan suatu kelompok masyarakat yang dibentuk untuk menangani masalah bencana di suatu wilayah. KMTB Desa Pogalan dikhususkan menangani bencana longsor, karena di wilayah ini memiliki potensi tanah longsor yang tinggi. Dengan adanya KMTB ini, maka pembagian tugas, peran, tanggung jawab serta sistem koordinasi penanganan bencana alam di desa menjadi jelas, sehingga diharapkan masyarakat akan lebih siap dan terorganisir pada giatan pencegahan dan saat kejadian bencana alam terjadi. D.
Penanaman Sistem penanaman yang diterapkan adalah dengan sistem agroforestri. Sistem agroforestri dilakukan dengan penanaman campur antara tanaman pertanian dengan pepohonan diharapkan mampu menghasilkan produktifitas lahan yang tinggi, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya kombinasi antara tanaman semusim dengan tanaman keras diharapkan mampu menghasilkan pendapatan jangka pendek yang periodik melalui hasil dari tanaman semusim serta jangka panjang dari hasil budidaya tanaman keras. Disisi lain, penanaman tanaman keras diharapkan mampu mengurangi potensi terjadinya bencana tanah longsor. III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penggalian potensi dan permasalahan Desa Pogalan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang memiliki topografi yang cukup bervariasi, mulai dari topografi datar hingga topografi sangat curam, terdiri dari 13 dusun yang berada di kawasan berlereng bergelombang sampai sangat curam (60,30%) dengan 18,97% wilayahnya memiliki potensi longsor tinggi sampai sangat tinggi. Idealnya, kawasan dengan topografi curam (> 40%) harus berfungsi sebagai kawasan lindung (Keppres 32 tahun 1990), sehingga dalam pemanfaatan lahannya harus mendukung dalam upaya-upaya konservasi. 5 kelas penggunaan lahan, dengan 2 kelas penggunaan lahan yang dominan adalah kebun campuran dengan luas 300,9 Ha (52,08%) dan sawah tadah hujan/tegalan dengan luas 151,13 Ha (26,16%). Hal ini menyebabkan 28,83% wilayahnya termasuk dalam wilayah potensial tanah longsor sedang – sangat tinggi.
Gambar 1. Peta kerawanan tanah longsor Desa Pogalan
382
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Beberapa permasalahan yang diidentifikasi diantaranya adalah masyarakat belum sepenuhnya menyadari dan memahami strategi pertanaman yang produktif serta ramah lingkungan di daerah yang rawan longsor, meskipun hampir setiap tahun tanah longsor terjadi. Penggunaan lahan yang didominasi dengan pertanian menyebabkan sering terjadinya aliran permukaan, sehingga potensi terjadinya erosi dan tanah longsor meningkat. Disisi lain, masyarakat menginginkan adanya lembaga yang fokus terhadap mitigasi dan penanganan terhadap tanah longsor. B. Edukasi dan pemberdayaan Masyarakat Edukasi dan pemberdayaan masyarakat ini diikuti oleh perwakilan dari kelompok tani, perangkat desa, serta pihak terkait lainnya. Secara umum masyarakat desa sangat antusias dengan kegiatan tersebut, hal ini ditunjukkan dengan peran aktif peserta dalam kegiatan diskusi dan tanya jawab. Materi tentang kebencanaan serta teknik konservasi tanah dan air di daerah rawan longsor disampaikan kepada masyarakat melalui forum diskusi bersama yang dihadiri oleh perwakilan dusun dan kelompok-kelompok masyarakat. Pemberian materi ditindaklanjuti dengan kunjungan lapangan ke Desa Kuripan, Kecamatan Garung Kabupaten Wonosobo sebagai daerah yang memiliki karakteristik fisik kawasan yang hampir sama tetapi sudah mampu mengaplikasikan pengelolaan lahan pertanian dengan sistem agorforestri. Penggunaan lahan dengan sistem trees along border mengkombinasikan tanaman kehutanan berupa cemara gunung dan tanaman pertanian terbukti tidak menurunkan produktivitas hasil pertanian. Disisi lain, sistem ini telah terbukti mampu mengurangi terjadinya tanah longsor, yaitu disebabkan karena sistem perakaran cemara gunung yang kuat mencengkeram tanah serta tajuknya yang ringan. Meningkatnya jumlah tanaman berkayu di Desa Kuripan juga dipercaya mampu meningkatkan debit aliran mata air sebagai sumber air bagi masyarakat. Hasil baik dari kunjungan lapangan ini terbukti mampu menginspirasi masyakarat Desa Pogalan untuk melakukan hal yang sama. Sebelumnya masyarakat enggan menanam tanaman kehutanan karena dianggap akan menaungi bidang olah dan menurunkan produktivitas hasil pertanian. Hasil kunjungan lapangan di Desa Kuripan ternyata mampu meyakinkan masyarakat untuk mengelola lahan dengan sistem agroforestri. Hal ini terwujud dengan penanaman tanaman kehutanan berupa cemara gunung (±900 bibit) dan suren (±3000 bibit) di lahan pertanian dan lahan-lahan rawan longsor. C. Pembentukan kelompok masyarakat tanggap bencana Kelompok masyarakat tanggap bencana (KMTB) merupakan organisasi kemasyarakatan yang bertujuan untuk memantau dan melaksanakan kegiatan terkait dengan kebencanaan di tingkat Desa yang berbasis komunitas. Kegiatan berbasis komunitas bisa dimaknai sebagai upaya untuk melakukan perubahan dalam komunitas dengan fasilitasi pihak eksternal dan dikelola oleh komunitas itu sendiri (Nugroho dan Yon,2011). KMTB terdiri dari anggota-anggota masyarakat baik laki-laki maupun perempuan, yang dibentuk atas hasil keputusan masyarakat bersama. Selain itu, susunan kepengurusan/ struktur organisasi lembaga KMTB juga telah dilakukan bersama. KMTB dapat dipandang sebagai wadah kaderisasi masyarakat yang memiliki perhatian dengan permasalahan lingkungan. Lembaga ini berperan dalam upaya peningkatan kapasitas masyarakat dan perbaikan pengelolaan lahan yang adaptif dan ramah lingkungan.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
383
Gambar 2. Struktur organisasi Kelompok Masyarakat Tanggap Bencana Desa Pogalan D. Penanaman Penanaman tanaman kehutanan pada dasarnya adalah wujud telah meningkatnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang ditandai dengan perubahan perilaku, yaitu menanam tanaman kehutanan secara bersama-sama di lahan pertanian. Jenis tanaman kehutanan yang dipilih adalah cemara gunung dan suren. Suren merupakan jenis yang sudah dikenal baik oleh masyarakat karena kemampuannya untuk tumbuh baik di dataran tinggi dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Adapun cemara gunung merupakan jenis yang dipercaya mampu mengurangi terjadinya tanah longsor dan meningkatkan produksi kayu bayar. Selain itu, tajuknya yang ringan telah terbukti tidak menggangu produktivitas pertanian dan metode perkembangbiakannya yang mudah menyebabkan jenis ini potensial untuk dikembangkan.
384
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Gambar 3. Penanaman bibit di lapangan Upaya perbaikan pengelolaan lahan dilakukan dengan sistem agroforestri dengan sistem agroforstri dengan pola trees along border. Pada prinsipnya penamaan dengan sistem ini bertujuan untuk mengurangi potensi terjadinya tanah longsor serta mampu meningkatkan produktivitas lahan. Penanaman tanaman kehutanan dilakukan dengan menaman tanaman kehutanan di batas lahan miliki dan guludan dengan tujuan meningkatkan stabilitas tanah agar tidak mudah longsor. Jenis yang ditanam yaitu cemara gunung (±900 bibit) dan suren (±3000 bibit).
IV.
KESIMPULAN
Hasil kegiatan menunjukkan bahwa penguatan kapasitas masyarakat dalam bentuk peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap kawasan rawan bencana tanah longsor merupakan komponen penting yang perlu diperhatikan dalam upaya adaptasi dan mitigasi bencana tanah longsor. Hal ini mampu menggerakkan dan mendorong masyarakat untuk meningkatkan upaya perbaikan kondisi lingkungan dalam bentuk pembentukan KMTB Desa Pogalan dan aplikasi sistem agroforestri sebagai bentuk adaptasi, mitigasi bencana tanah longsor serta peningkatan produktivitas lahan yang berkelanjutan DAFTAR PUSTAKA Krueger, RA., 1994. Focus Group Discussion. SAGE Publication, London Nasution, M.F.,2005. Penanggulangan Bencana Berbasi Komunitas. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis.Tidak dipublikasikan. Nugroho, K dan Yon,K.M.,2011. Pengrangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas di Indonesia; Gerakan, Pelembagaan dan Keberlanjutan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Suryatmojo H.,Nugroho,P., Dinutra,P.,2010. Strategi Konservasi Lahan Kawasan Dataran Tinggi Dieng Berbasis Masyarakat. PT. Enkorp. Yogyakarta. Wahyono, 1997. Pemantauan Gerakan Tanah di daerah Ciloto, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Bulletin Geologi dan Tata Lingkungan No.19, Juni 1997. hlm. 21-37. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
385