FAKTOR RISIKO HIPERTENSI PADA IBU RUMAH TANGGA DI DESA PEMALI KABUPATEN BANGKA
DINI KURNIANINGSIH
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Faktor Risiko Hipertensi pada Ibu Rumah Tangga di Desa Pemali Kabupaten Bangka” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016 Dini Kurnianingsih NIM I14120053
ABSTRAK DINI KURNIANINGSIH. Faktor Risiko Hipertensi pada Ibu Rumah Tangga di Desa Pemali Kabupaten Bangka. Dibimbing oleh CESILIA METI DWIRIANI dan KARINA RAHMADIA EKAWIDYANI. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko hipertensi pada ibu rumah tangga di Desa Pemali Kabupaten Bangka. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional melibatkan 97 orang yang dipilih secara consecutive dengan kriteria inklusi yaitu ibu rumah tangga berusia 31-55 tahun, tidak hamil dan menyusui, serta bersedia menjadi subjek penelitian. Hasil penelitian menunjukan prevalensi hipertensi pada ibu rumah tangga di Desa Pemali sebesar 32.9%. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, terdapat hubungan signifikan antara usia (p = 0.005, r = 0.282), status menopause (p = 0.007, r = 0.274), pendapatan (p = 0.022, r = -0.232), indeks masa tubuh (IMT) (p = 0.023, r = 0.231), lingkar perut (p = 0.008, r = 0.267), dan riwayat keturunan hipertensi (p = 0.003, r = 0.302) dengan kejadian hipertensi. Hasil uji regresi logistik menunjukan peningkatan usia diatas 45 tahun (OR= 5.99, 95% CI 1.82-19.65), IMT diatas 25 kg/m2 (OR=3.26, 95% CI 1.5-9.25), dan adanya riwayat keturunan hipertensi (OR= 2.71, 95% CI 0.86-6.26) secara signifikan akan meningkatkan kejadian hipertensi. Kata kunci: faktor risiko, hipertensi, ibu rumah tangga
ABSTRACT DINI KURNIANINGSIH. Risk Factors of Hypertension in Housewives at Pemali Village Bangka District. Supervised by CESILIA METI DWIRIANI and KARINA RAHMADIA EKAWIDYANI. This research aimed to analyze the risk factors of hypertension in housewives at Pemali Village Bangka District. The design of this study was cross sectional involving 97 housewives and selected using consecutive sampling technique. The inclusion criterias of subject in this research were housewives with aged 31 to 55 years old, non pregnant and non lactating, and willing to be the subject of this research. The result of this study showed the prevalence of hypertension in housewives at Pemali vilage is about 32.9%. Spearman correlation test showed significant correlation between age (p = 0.005, r = 0.282), menopausal status (p = 0.007, r = 0.274), income per capita (p = 0.022, r = -0.232), body mass index (p = 0.023, r = 0.231), waist circumference (p = 0.008, r = 0.267), and family history of hypertension (p = 0.003, r = 0.302) with the incidence of hypertension. Multiple logistic regression analysis identified the increasing of age above 45 years old (OR= 5.99, 95% CI 1.82-19.65), body mass index above 25 kg/m2 (OR=3.26, 95% CI 1.5-9.25), and family history of hypertension (OR= 2.71, 95% CI 0.866.26) will increase the incidence of hypertension significantly. Key words: housewife, hypertension, risk factor
FAKTOR RISIKO HIPERTENSI PADA IBU RUMAH TANGGA DI DESA PEMALI KABUPATEN BANGKA
DINI KURNIANINGSIH
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
i
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat serta krunia-Nya, sehingga skripsi berjudul “Faktor Risiko Hipertensi pada Ibu Rumah Tangga Di Desa Pemali Kabupaten Bangka” berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M. Sc dan dr. Karina Rahmadia Ekawidyani, S. Ked, M. Gizi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan ilmu, arahan, bimbingan, dan motivasi. 2. Leily Amalia Furkon, STP, M Si selaku dosen penguji dan pemandu seminar yang telah banyak memberikan masukan untuk penyelesaian skripsi ini. 3. Kedua orang tua, Bapak Supardiyono, Ibu Leo Berthy, Adik Gilang Kanigoro, dan Zelika Putri Restanti yang banyak meberikan doa, dukungan, kasih sayang, dan semangat. 4. Ibu-ibu kader posyandu dan ibu-ibu rumah tangga di Desa Pemali yang telah bersedia menjadi subjek dan membantu pelaksanaan penelitian ini. 5. Renda Juwita Kamalau, AM. Keb dan Astiara Larasati yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. 6. Para pembahas seminar: Annisa Meilinda, Rethy Amiarso, Nurul Maulida, dan Fidelia D. Putri atas saran dan masukannya. 7. Teman-teman Sharrah Fadhillah Kurnia Putri, Diva Ayu Rivyana, Maulidya Ayu H, Dwikani Oklita Anggiruling, Jealyza Mutia A, Adief M Mukhlas, Arif Aulia R dan seluruh teman-teman GM 49 atas segala dukungan, perjuangan, kebersamaan, dan semangat yang diberikan. 8. Teman-teman angkatan 10 kelas unggulan SMA 1 Pemali dan teman-teman HIMAGIZI khususnya Divisi Keprofesian atas dukungan, semangat, dan doanya. Demikian yang penulis sampaikan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, Agustus 2016 Dini Kurnianingsih
ii
iii
DAFTAR ISI PRAKATA i DAFTAR ISI iii DAFTAR TABEL iv DAFTAR GAMBAR iv PENDAHULUAN 1 1 Latar Belakang 2 Rumusan masalah 3 Tujuan Penelitian 3 Hipotesis 3 Manfaat KERANGKA PEMIKIRAN 4 METODE 6 6 Desain Tempat dan Waktu Penelitian 6 Jumlah dan Cara Pemilihan Subjek 6 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 8 Pengolahan dan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN 14 14 Gambaran Umum Desa Pemali 14 Kejadian Hipertensi 15 Karakteristik Subjek 19 Riwayat Kesehatan 22 Gaya Hidup 25 Kebiasaan Konsumsi Makanan 30 Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi 34 Status Gizi Hubungan Karakteristik Subjek dengan Kejadian Hipertensi 36 Hubungan Riwayat Kesehatan dengan Kejadian Hipertensi 37 Hubungan Gaya Hidup dengan Kejadian Hipertensi 38 Hubungan Kebiasaan Konsumsi Makanan dengan Kejadian Hipertensi 38 Hubungan Tingkat Kecukupan Lemak, Kalium, dan Natrium dengan Kejadian Hipertensi 39 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Hipertensi 40 Pengaruh Variabel-Variabel terhadap Kejadian Hipertensi 41 SIMPULAN DAN SARAN 42 DAFTAR PUSTAKA 44
iv
DAFTAR TABEL 1 Jenis dan cara pengumpulan data 2 Pengelompokan karakteristik subjek 3 Pengelompokan riwayat kesehatan subjek 4 Pengelompokan gaya hidup subjek 5 Pengelompokan kebiasaan konsumsi makanan subjek 6 Pengelompokan tingkat kecukupan lemak, natrium, dan kalium 7 Pengelompokan status gizi subjek 8 Penggolongan hipertensi berdsarkan tekanan darah sistol dan diastol 9 Sebaran subjek berdasarkan klasifikasi hasil pengukuran tekanan darah 10 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik subjek 11 Sebaran subjek berdasarkan riwayat penyakit 12 Sebaran subjek berdasarkan penggunaan pil KB 13 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan olahraga 14 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan minum kopi 15 Frekuensi konsumsi makanan tinggi natrium 16 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi makanan tinggi natrium 17 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan penggunaan bumbu 18 Kontribusi natrium dari bumbu per kali makan 19 Kontribusi natrium subjek dari bumbu per kali masak 20 Frekuensi konsumsi makanan berlemak 21 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi makanan berlemak 22 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi 23 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan protein 24 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan lemak 25 Sebaran subjek berdasarkan anjuran asupan kalium 26 Sebaran subjek berdasarkan anjuran asupan natrium 27 Sebaran subjek berdasarkan IMT 28 Sebaran subjek berdasarkan lingkar perut 27 Hasil linear berganda terhadap kejadian hipertensi
7 8 9 9 10 11 11 11 15 16 20 21 22 24 26 26 27 28 29 30 30 31 31 32 33 34 34 35 41
DAFTAR GAMBAR 1 Skema kerangka pemikiran faktor risiko hipertensi 2 Sebaran subjek berdasarkan klasifikasi tekanan darah 3 Sebaran subjek berdasarkan riwayat penyakit keluarga
5 15 20
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak dapat ditularkan ke orang lain. PTM berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan umumnya berkembang lambat. Jenis PTM utama menurut WHO (2013) yaitu penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner dan stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes. Depkes (2007) melaporkan kematian akibat penyakit tidak menular sebesar 64% dari seluruh kasus kematian. Sebesar 60% kematian tersebut disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah, gagal ginjal, dan stroke dimana faktor risiko utama penyakit tersebut adalah hipertensi. Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan seluruh dunia karena frekuensi kejadian yang tinggi dan merupakan faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal kronis (Ezzati et al. 2002). Menurut WHO dan The International Society of Hypertension (ISH) (2013), terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia dan 3 juta diantaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap sepuluh penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat. Hal ini menunjukan bahwa hipertensi merupakan masalah kesehatan yang sangat serius dan tanpa tanda gejala, sehingga penyakit ini disebut sebagai the silent killer. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah diatas normal, yaitu tekanan sistolik ≥140 mmHg atau tekanan diastolik ≥90 mmHg (JNC VII 2003). Hipertensi merupakan muara dari berbagai penyakit degeneratif seperti gagal ginjal kronik, gagal jantung, stroke, dan penyakit pembuluh darah tepi yang berujung pada kematian (Nuraini 2015). Menurut WHO (2013), penderita hipertensi terbanyak terdapat di negara-negara dengan pendapatan rendah hingga sedang. Salah satu negara yang memiliki prevalensi hipertensi tertinggi yaitu Indonesia. Di Indonesia kasus kejadian hipertensi pada usia ≥18 tahun berdasarkan Riskesdas 2007 sebesar 29.8% dan mengalami sedikit penurunan pada tahun 2013 menjadi 25.8% berdasarkan Riskesdas 2013. Prevalensi kejadian hipertensi di Indonesia pada tahun 2013 memang menurun dibandingkan tahun 2007, namun prevalensi tersebut masih tergolong tinggi dan menunjukan angka kejadian hipertensi di Indonesia yang masih banyak ditemukan. Hipertensi dapat disebabkan oleh berbagai faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian penyakit ini. Depkes (2014) memaparkan bahwa faktor risiko hipertensi digolongkan menjadi faktor risiko yang tidak dapat dikontrol dan dapat dikontrol. Faktor risiko yang tidak dapat dikontrol diantaranya umur, jenis kelamin, dan genetik. Studi di China menunjukan bahwa hipertensi lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dan mengalami peningkatan prevalensi dengan adanya peningkatan usia diatas 45 tahun (Wang et al. 2014). Hasil Riskesdas (2013), menunjukan prevalensi hipertensi meningkat dengan bertambahnya umur dan lebih tinggi pada perempuan (28.8%) dibandingkan lakilaki (22.8%). Hal tersebut berhubungan dengan periode menopause yang akan dialami wanita mulai usia 40 tahun atau lebih. Geraci dan Geraci (2013)
2
menunjukan bahwa prevalensi kejadian hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki pada saat memasuki usia menopause. Penelitian yang dilakukan oleh Yadav et al. (2008) menunjukan bahwa riwayat keluarga hipertensi merupakan kontributor penting terjadinya hipertensi. Penelitian oleh Chobabian et al. (2003) dalam JNC VII juga mengatakan genetik merupakan faktor risiko hipertetensi walaupun penyebabnya belum jelas. Faktor risiko yang dapat dikontrol yaitu kegemukan (obesitas), psikososial dan stres, merokok, kurang olahraga, konsumsi alkohol berlebih, konsumsi garam berlebihan, dan hiperlipidemia/hiperkolesterolemia. Status gizi menjadi salah satu faktor risiko hipertensi, terutama bagi orang memiliki status gizi berlebih (overweight dan obese). Quasem et al. (2001) menyebutkan bahwa seorang yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 22.25 kg/m2 berisiko 2.4 kali lebih besar terkena hipertensi dibandingkan dengan seorang dengan IMT kurang dari 18.09 kg/m2. Menurut Awosan et al. (2014), pola makan yang buruk seperti tingginya konsumsi gula, garam, dan lemak jenuh, serta gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, konsumsi alkohol, dan aktivitas fisik yang rendah, telah diidentifikasi sebagai faktor risiko utama penyebab penyakit kardiovaskular dan penyakit tidak menular lainnya. Solusi yang paling tepat dalam mencegah terjadinya hipertensi yaitu dengan memperhatikan faktor risiko hipertensi yang dapat dikontrol, sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya hipertensi. Berdasarkan Riskesdas (2013), provinsi dengan kejadian hipertensi tertinggi di Indonesia adalah Provinsi Bangka Belitung dengan prevalensi diatas rata-rata nasional (25.8%) sebesar 30.9%. Prevalensi hipertensi di provinsi ini lebih besar pada kelompok wanita diatas 15 tahun (34.9%) dan pada kelompok yang tidak bekerja (35.5%). Kabupaten Bangka merupakan kabupaten dengan prevalensi hipertensi tertinggi ke 3 sebesar 34.8% (Depkes 2013). Menurut data BPS (2012) hipertensi di Kabupaten Bangka masuk kedalam sepuluh penyakit terbanyak pada tahun 2011. Kecamatan Pemali merupakan wilayah bagian Kabupaten Bangka yang memiliki peringkat ke 4 tingginya kejadian hipertensi dengan total sebanyak 1 392 kasus (BPS 2012). Hasil Riskesdas (2013), menunjukan adanya perbedaan mencolok antara hasil diagnosis tenaga kesehatan dan minum obat (14.4%) dengan hasil pengukuran tekanan darah (34.9%). Hal ini menunjukan kurangnya perhatian masyarakat terhadap kesehatan dan masih rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai faktor risiko hipertensi. Banyak penelitian mengenai hipertensi, namun masih sedikit yang menganalisis faktor risiko hipertensi pada ibu rumah tangga di daerah pedesaan di provinsi yang memiliki prevalensi hipertensi tertinggi di Indonesia. Selain itu, masyarakat di pedesaan cenderung kurang memperhatikan faktor risiko suatu penyakit dan masih rendahnya pengetahuan mengenai hipertensi. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai faktor risiko hipertensi pada ibu rumah tangga di Desa Pemali, Kecamatan Pemali, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat beberapa hal yang dapat dianalisis yaitu: 1. Bagaimana kejadian hipertensi pada ibu rumah tangga di Desa Pemali.
3
2. Bagaimana karakteristik subjek, riwayat kesehatan, gaya hidup, kebiasaan konsumsi makanan berisiko, dan tingkat kecukupan lemak, natrium, dan kalium serta status gizi ibu rumah tangga di Desa Pemali. 3. Bagaimana hubungan karakteristik subjek, riwayat kesehatan, gaya hidup, kebiasaan konsumsi makanan berisiko, tingkat kecukupan lemak, natrium, dan kalium serta status gizi dengan kejadian hipertensi pada ibu rumah tangga di Desa Pemali. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor risiko hipertensi yang signifikan pada ibu rumah tangga di Desa Pemali Kabupaten Bangka. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi kejadian hipertensi pada ibu rumah tangga di Desa Pemali. 2. Mengidentifikasi karakteristik subjek seperti usia, status pernikahan, besar keluarga, tingkat pendidikan, pendapatan per kapita, dan status menopause pada ibu rumah tangga di Desa Pemali. 3. Mengidentifikasi riwayat kesehatan terdahulu, riwayat keturunan hipertensi dan penggunaan kontrasepsi hormonal pada ibu rumah tangga di Desa Pemali. 4. Mengidentifikasi gaya hidup, meliputi: kebiasaan minum kopi dan kebiasaan olahraga pada ibu rumah tangga di Desa Pemali. 5. Mengidentifikasi kebiasaan konsumsi makanan yang dapat meningkatkan risiko hipertensi, tingkat kecukupan zat gizi (lemak, natrium, dan kalium), serta status gizi pada ibu rumah tangga di Desa Pemali. 6. Menganalisis hubungan karakteristik subjek, riwayat kesehatan, gaya hidup, kebiasaan konsumsi makanan berisiko, tingkat kecukupan lemak, natrium, dan kalium serta status gizi dengan kejadian hipertensi pada ibu rumah tangga di Desa Pemali. 7. Menganalisisi faktor risiko hipertensi pada ibu rumah tangga di Desa Pemali. Hipotesis H1 : karakteristik subjek, riwayat kesehatan, gaya hidup, kebiasaan konsumsi makanan berisiko, tingkat kecukupan lemak, natrium, dan kalium serta status gizi merupakan faktor risiko hipertensi yang signifikan pada ibu rumah tangga di Desa Pemali Kabupaten Bangka. Manfaat Manfaat penelitian ini bagi wilayah yaitu memberikan gambaran mengenai karakteristik, gaya hidup, kebiasaan konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi, status gizi, dan riwayat kesehatan, sehingga dapat dijadikan acuan dalam membuat
4
kebijakan dan promosi kesehatan masyarakat sebagai upaya mengontrol kejadian hipertensi. Penelitian ini juga bermanfaat untuk memberikan memberikan informasi mengenai faktor-faktor hipertensi terutama yang dapat dikontrol serta dampaknya terhadap kesehatan terutama bagi masyarakat. Bagi institusi pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hipertensi.
KERANGKA PEMIKIRAN Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat, baik di negara maju maupun negara berkembang. Hipertensi adalah suatu keadaan penyakit tanpa gejala, dengan kondisi tekanan darah yang tinggi di dalam arteri. Faktor risiko hipertensi dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor yang tidak dapat dikontrol dan dapat dikontrol. Kejadian hipertensi dipengaruhi oleh faktor yang tidak dapat dikontrol seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat keturunan. Kejadian hipertensi semakin tinggi dengan semakin meningkatnya usia. Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis. Penyakit hipertensi paling banyak dialami oleh kelompok umur 31-55 tahun (Krummel 2004). Pada wanita peluang hipertensi akan semakin meningkat memasuki usia 40 tahun yaitu pada saat menjelang masa menopause. Menurut Wang et al. (2014), hipertensi lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dan mengalami peningkatan prevalensi dengan adanya peningkatan usia diatas 45 tahun. Genetik juga mempengaruhi risiko terjadinya hipertensi. Yadav et al. (2008) mengatakan bahwa riwayat keluarga hipertensi merupakan kontributor penting terjadinya hipertensi. Kejadian hipertensi telah diidentifikasi berkaitan langsung dengan gaya hidup dan pola diet. Perubahan gaya hidup yang semakin tidak sehat menyebabkan meningkatnya kejadian penyakit tidak menular ini. Gaya hidup yang buruk seperti konsumsi alkohol, merokok, dan aktivitas fisik yang rendah menjadi faktor risiko hipertensi. Diet yang buruk seperti konsumsi makan tinggi energi, tinggi gula, tinggi kolesterol, dan lemak jenuh dapat meningkatkan risiko hipertensi. Semua makanan tersebut berkontribusi dalam peningkatan timbunan lemak tubuh yang berujung pada peningkatan berat badan, penimbunan lemak berlebih, dan merupakan penyebab terjadinya obesitas. Status gizi seseorang erat hubungannya dengan kejadian hipertensi. Orang yang memiliki status gizi berlebih, overweight atau obesitas memiliki risiko hipertensi yang lebih tinggi dibandingkan orang dengan status gizi normal (Quasem et al. 2001). Pola makan yang salah dan tidak sehat seperti konsumsi makanan asin dan makanan awetan secara berlebihan juga diketahui dapat berdampak pada peningkatan tekanan darah. Makanan tinggi natrium mengandung natrium dalam jumlah yang tinggi. Asupan natrium berlebih membuat pembuluh darah pada ginjal menyempit dan menahan aliran darah (Pohl et al. 2013). Hal ini dalam jangka waktu lama akan menyebabkan kerusakan ginjal dan memicu terjadinya hipertensi sekunder. Asupan kalium yang cukup akan membantu menurunkan tekanan darah dengan menyeimbangkan konsentrasi natrium di ekstraseluler. Faktor risiko lain
5
yang tidak diteliti yaitu stress, ras, penggunaan obat-obatan, gangguan organ seperti gagal ginjal, gagal jantung, dan gangguan pembuluh darah lainnya, serta kebiasaan merokok, dan kebiasaan minum alkohol. Faktor-faktor tesebut tidak diteliti karena belum adanya kuesioner terstandar, serta seluruh subjek merupakan ibu rumah tangga dan beragama islam, sehingga tidak ada yang mengonsumsi alkohol dan merokok. Berikut kerangka pemikiran dalam penelitian ini. Karakteristik subjek - usia - pendapatan per kapita - status menopause
Riwayat Kesehatan -Riwayat keturunan -Penggunaan kontrasepsi hormonal
Gaya Hidup -Kebiasaan olahraga -Kebiasaan minum kopi -
Hipertensi
Kebiasaan Konsumsi Makanan - makanan tinggi natrium - makanan berlemak
Faktor Lain -Gangguan jantung dan ginjal. -Stress -Kebiasaan merokok -Kebiasaan minum alkohol -Ras
Tingkat kecukupan lemak, natrium, dan kalium
Status Gizi -IMT -Lingkar perut Keterangan: = Variabel yang dianalisis = Variabel yang tidak dianalisis = Hubungan yang dianalisis = Hubungan yang tidak dianalisis Gambar 1 Skema kerangka pemikiran faktor risiko hipertensi
6
METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan metode wawancara dan pengisian kuesioner. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pemali, Kecamatan Pemali, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Penentuan lokasi penelitian dilakukan karena beberapa alasan antara lain: (1) Provinsi Bangka Belitung merupakan provinsi dengan prevalensi hipertensi tertinggi di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2013 dan Kecamatan Pemali merupakan kecamatan dengan kejadian hipertensi pada tahun 2011 sebanyak 1 392 (BPS 2012), (2) Belum banyak penelitian yang menganalisis faktor risiko hipertensi status menopause dan penggunaan kontrasepsi hormonal pada ibu rumah tangga di Desa Pemali, serta (3) Kemudahan akses, informasi, dan perizinan dalam penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2016.
Jumlah dan Teknik Penarikan Subjek Subjek dari penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang tinggal di Desa Pemali. Pemilihan subjek dilakukan secara consecutive sesuai dengan kriteria inklusi. Kriteria inklusi subjek dalam penelitian ini yaitu ibu rumah tangga, berusia 31-55 tahun, tidak sedang hamil atau menyusui, bersedia menjadi subjek penelitian hingga selesai, dan bersedia menandatangani formulir informed consent. Jumlah subjek penelitian berdasarkan perhitungan ukuran minimal contoh dengan menggunakan rumus perhitungan Lemeshow et al. (1997) sebagai berikut: 2 𝑍1−𝛼/2 × 𝑝(1 − 𝑝) 𝑛= 𝑑2 2 (1.96 ) × 0.348(1 − 0.348) 𝑛= 0.12 𝑛 = 87.2 ≈ 88 Keterangan : n = jumlah subjek minimal yang diperlukan Z1-α/2 = nilai baku distribusi normal pada α tertentu (1.96) p = prevalensi hipertensi usia >18 tahun di Kabupaten Bangka tahun 2013 berdasarkan hasil pengukuran yaitu 34.8% (Riskesdas 2013) d = estimasi galat (eror) yaitu 10% atau 0.1 Jumlah subjek minimal sebanyak 88 orang dan untuk mengantisipasi sampel yang drop out serta kemungkinan data bias maka ditambah 10% dari ukuran minimal sampel, sehingga jumlah subjek menjadi 97 orang. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik individu (usia, status pernikahan, besar keluarga, tingkat
7
pendidikan, pendapatan keluarga, dan status menopause), riwayat kesehatan (penyakit pribadi, penyakit keluarga, dan penggunaan obat antihipertensi), status gizi (IMT dan lingkar perut), gaya hidup (kebiasaan olahraga dan kebiasaan minum kopi), kebiasaan konsumsi makanan (makanan tinggi natrium dan makanan tinggi lemak), asupan lemak dan natrium, serta tekanan darah. Data primer diperoleh melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner dan pengukuran tekanan darah secara langsung. Data sekunder meliputi data profil wilayah yang dikumpulkan dari Katalog Pemali Dalam Angka 2015. Kuesioner yang digunakan untuk pengumpulan data karakteristik subjek, riwayat kesehatan, dan pengukuran fisik mengacu pada WHO STEPS Instrument for Chronic Disease Risk Factor Surveillance dengan modifikasi. Kebiasaan makan makanan berisiko dikumpulkan dengan food frequency questionnaire (FFQ) dengan mendata makanan yang dikonsumsi satu bulan terakhir. Kuesioner yang digunakan dalam menilai makanan asin yaitu bumbu-bumbu beberapa mengacu pada WHO STEPS Dietary Salt Module dengan modifikasi. Penentuan status gizi subjek dikategorikan berdasarkan IMT (Indeks Massa Tubuh) dan ukuran lingkar perut. Data asupan lemak dan natrium dikumpulkan dengan 2x24 hours food recall. Data antropometri dikumpulkan dengan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar perut. Kebiasaan olahraga subjek diperoleh dengan cara wawancara langsung. Jenis dan cara pengumpulan data disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data No. Variabel Jenis Data Cara Pengumpulan Data 1. Data karakteristik individu Primer - usia Wawancara dengan kuesioner - status pernikahan - besar keluarga - tingkat pendidikan - pendapatan keluarga Primer Wawancara dengan kuesioner - status menopause 2. Riwayat kesehatan - penyakit terdahulu - riwayat keturunan Primer Wawancara dengan kuesioner - penggunaan obat antihipertensi 3. Gaya hidup - kebiasaan olahraga Primer Wawancara dengan kuesioner - kebiasaan minum kopi 4. Kebiasaan konsumsi makanan - makanan tinggi natrium Wawancara dengan food Primer -penggunaan bumbu frequency questionnaire (FFQ) - makanan berlemak 5. Konsumsi pangan Primer Food recall 2x24 jam 6. Antropometri Pengukuran dengan timbangan - berat badan digital Primer - tinggi badan Pengukuran dengan microtoise - lingkar perut Pengukuran dengan meteran
8
No. 7. 8.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data (lanjutan) Variabel Jenis Data Cara Pengumpulan Data Tekanan darah Pengukuran dengan Primer sphygmomanometer jarum Profil wilayah Desa Pemali Sekunder Studi literatur
Pengukuran berat badan subjek menggunakan timbangan digital yang telah dikalibrasi dengan ketelitian 0.1 kg. Pengukuran tinggi badan subjek menggunakan stature meter dengan ketelitian 0.1 cm. Lingkar perut subjek diukur dengan menggunakan pita pengukur dengan ketelitian 0.1 cm mengikuti standar pengukuran obesitas sentral dengan menggunakan lingkar perut menurut WHO (2008). WHO STEPS merekomendasikan subjek berdiri tegak dengan tangan berada di sisi samping, kaki berada dekat satu sama lain, berat badan terdistribusi secara merata. Bagian yang diukur merupakan titik pertengahan antara inferior rusuk terakhir dengan puncak ileum. Setelah posisi tersebut didapat, pita dilingkarkan secara horizontal mengelilingi perut dan tidak menekan bagain jaringan tubuh. Pengumpulan data tekanan darah dilakukan oleh petugas medis menggunakan sphygmomanometer jarum dan stethoscope. Pengukuran tekanan darah subjek dilakukan setelah subjek beristirahat selama 5 menit. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari kuesioner dan pengukuran dianalisis dengan menggunakan program Statistical Program for Social Science (SPSS) version 16.0 for Windows, Microsoft Excel 2013, dan nutrisurvey. Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, dan analisis. Data Karakteristik Individu Data karakteristik subjek yang dikumpulkan meliputi usia, status pernikahan, besar keluarga, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, dan status menopause. Data tersebut selanjutnya dikelompokkan dan dianalisis secara deskriptif. Pengelompokan karakteristik subjek secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Pengelompokan karakteristik subjek No. Variabel Kelompok Sumber Acuan 1. Usia 1. ≤45 tahun Wang et al. 2014 2. >45 tahun 2. Status 1. Menikah pernikahan 2. Cerai hidup BPS 2012 3. Cerai mati 3. Besar keluarga 1. Keluarga kecil (≤4 orang) BKKBN 1998 2. Keluarga sedang (5-6 orang) 3. Keluarga besar (≥7 orang). 4. Tingkat 1. Tidak pernah sekolah pendidikan 2. Tidak Tamat SD WHO STEPS 3. Tamat SD 4. Tamat SMP
9
Tabel 2 Pengelompokan karakteristik subjek (lanjutan) No. Variabel Kelompok Sumber Acuan 4. Tingkat 5. Tamat SMA WHO STEPS pendidikan 6. Tamat PT 5. Pendapatan 1. Pra sejahtera (< Rp360 715) BPS 2013 (Rp/kap/bulan) 2. Sejahtera (≥ Rp360 715) 6. Status 1. Menopause Ketentuan Peneliti menopause 2. Belum menopause Riwayat Kesehatan Data riwayat kesehatan subjek yang dikumpulkan yaitu riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit keluarga, serta penggunaan obat antihipertensi. Riwayat kesehatan penting untuk diketahui karena hal tersebut merupakan salah satu faktor risiko hipertensi. Pengelompokan riwayat kesehatan subjek disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Pengelompokan riwayat kesehatan subjek No. Variabel Kelompok Sumber Acuan 1. Riwayat penyakit terdahulu 1. Ya (penyakit jantung, 2. Tidak Ketentuan Peneliti dislipidemia) 2. Riwayat penyakit keluarga 1. Ya (hipertensi, dislipidemia, 2. Tidak Ketentuan Peneliti jantung, stroke, DM) 3. Penggunaan obat antihipertensi 1. Ya Ketentuan Peneliti dan/atau kontrasepsi oral 2. Tidak Gaya Hidup Variabel gaya hidup meliputi kebiasaan olahraga dan kebiasaan minum kopi. Menurut Zhang dan Li (2011), kebiasaan olahraga yang baik adalah minimal tiga kali dalam satu minggu dengan durasi minimal 30 menit setiap kali berolahraga. Pengelompokan gaya hidup subjek disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Pengelompokan gaya hidup subjek No. Variabel Kelompok Sumber Acuan 1. Frekuensi 1. Sering (≥3 kali/ minggu) Zhang dan Li olahraga 2. Tidak sering (0-2 kali/ minggu) 2011 2. Frekuensi 1. Tidak pernah (0 cangkir/hari) minum kopi 2. Rendah (1-2 cangkir/ hari) Klag et al. 2002 3. Sedang (3-4 cangkir/ hari) 4. Tinggi (>5 cangkir/ hari) Kebiasaan Konsumsi Makanan Berisiko Kebiasaan makan yang dapat meningkatkan terjadinya hipertensi seperti makanan tinggi natrium dan makanan yang mengandung lemak tinggi. Makanan asin juga termasuk penggunaan bumbu-bumbu dalam bahan makanan. Penggunaan bumbu-bumbu tersebut misalnya penggunaan garam, saus, kecap manis, kecap asin,
10
vetsin, kaldu instan, dan terasi. Pengelompokan kebiasaan konsumsi makanan beresiko disajikan Tabel 5. Tabel 5 Pengelompokan kebiasaan konsumsi makanan subjek No. Variabel Kelompok Sumber Acuan 1. Makanan tinggi 1. Tidak sering (< 7 kali/minggu) Riskesdas 2013 natrium 2. Sering (≥ 7 kali/minggu) 2. Frekuensi 1. Sering (≥ 6 kali/minggu) penambahan 2. Kadang-kadang (3-5 kali/minggu) WHO STEPS bumbu ketika 3. Jarang (≤ 2 kali/minggu) makan 3. Kebiasaan 1. Tidak sering (< 7 kali/minggu) makan makanan Riskesdas 2013 2. Sering (≥ 7 kali/minggu) berlemak Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Data jumlah dan jenis konsumsi pangan aktual subjek diperoleh melalui recall 2x24 jam. Kandungan zat gizi dalam pangan yang dikonsumsi oleh subjek dihitung dengan menggunakan aplikasi nutrisurvey. Asupan natrium subjek diperoleh dari kandungan natrium makanan yang dikonsumsi dan natrium dari bumbu-bumbu seperti garam, vetsin, dan kaldu instan. Natrium dari bumbu-bumbu diperoleh dari data banyaknya penggunaan bumbu ketika masak. Kandungan natrium tersebut merupakan jumlah natrium untuk satu keluarga, sehingga asupan natrium individu diperoleh dengan membagi jumlah natrium dari bumbu-bumbu terhadap jumlah anggota keluarga. Angka kecukupan gizi (AKG) berdasarkan usia pada subjek dengan status gizi normal akan dikoreksi berat badan, sedangkan untuk subjek dengan status gizi kurang, overweight dan obese AKG sesuai dengan yang dianjurkan WNPG tahun 2012. AKG subjek dengan koreksi berat adan dapat dihitung menggunakan rumus berikut. AKGi = (Ba/Bs) x AKG Keterangan: AKGi = Angka kecukupan energi dan gizi Ba = Berat badan aktual Bs = Berat badan standar yang tercantum dalam AKG AKG = Angka kecukupan energi dan gizi yang dianjurkan WNPG 2012 Jumlah asupan zat gizi dari sejumlah pangan yang dikonsumsi subjek kemudian dibandingkan dengan AKG masing-masing subjek. Tingkat kecukupan gizi dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: 𝑨𝑮
TKGi =𝑨𝑲𝑮𝒊 × 𝟏𝟎𝟎% 𝒊
Keterangan: TKGi AGi AKGi
= Tingkat kecukupan zat gizi i = Asupan zat gizi i = Angka kecukupan energi dan gizi
Hasil perhitungan tingkat kecukupan energi dan zat gizi subjek selanjutnya dikelompokkan kedalam kategori tertentu. Pengelompokan tingkat kecukupan energi dan zat gizi, natrium, serta kalium terdapat pada Tabel 6.
11
Tabel 6 Pengelompokan tingkat kecukupan lemak, natrium, dan kalium No. Variabel Kelompok Sumber Acuan 1. Tingkat kecukupan 1. Defisit berat : <70% AKG energi dan protein 2. Defisit sedang : 70-79% AKG 3. Defisit ringan : 80-89% AKG Depkes (1996) 4. Normal : 90-109% AKG 5. Kelebihan : ≥110% AKG 2. Anjuran asupan 1. Cukup (≤ 20-30% total energi) WNPG (2004) lemak 2. Lebih (> 30% total energi) 3. Anjuran asupan 1. ≤ 1500 mg WNPG (2012) natrium 2. > 1500 mg 4. Anjuran asupan 1. ≤ 4700 mg WNPG (2012) kalium 2. > 4700 mg Status Gizi Penentuan status gizi subjek dikategorikan berdasarkan IMT (Indeks Massa Tubuh) dan ukuran lingkar perut. Penggolongan IMT menggunakan acuan WHO (2000) untuk orang Asia. Lingkar perut tergolong berisiko/obese jika >80 cm untuk wanita (IDF 2006). Penggolongan status gizi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Pengelompokan status gizi subjek No. Variabel Kelompok Sumber Acuan 1. IMT (kg/m2) 1. Underweight (< 18.5) 2. Normal (18.5 − 22.9) 3. Overweight (23.0-24.9) WHO 2000 4. Obes I (25.0-29.9) 5. Obes II (≥30) 2. Lingkar perut 1. Normal (≤80 cm) IDF 2006 2. Obes sentral (>80 cm) Tekanan Darah Tekanan darah dikategorikan berdasarkan Joint National Commitee VII (2003) menjadi 4 kategori. Secara umum subjek dinyatakan hipertensi apabila tekanan darah ≥140/90 mmHg. Subjek digolongkan hipertensi jika tekanan darah sistolik atau tekanan darah diastoliknya tergolong hipertensi maupun keduaduanya. Klasifikasi tekanan darah disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Penggolongan hipertensi berdsarkan tekanan darah sistol dan diastol Klasifikasi Hipertensi TD* Sistolik (mmHg) TD* Diastolik (mmHg) Normal <120 <80 Pre-Hipertensi 120-139 80-89 Hipertensi 1 140-159 90-99 Hipertensi 2 ≥160 100 Keterangan
: *Tekanan Darah
Analisis Data Analisis data yang dilakukan meliputi analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan seluruh variabel
12
penelitian. Uji deskriptif dilakukan untuk mengetahui nilai minimal, nilai maksimal, nilai rata-rata, dan standar deviasi. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan berbagai variabel dengan uji Spearman. Uji Spearman dipilih karena sebaran data variabel yang diteliti tergolong tidak normal. Uji tersebut digunakan untuk melihat hubungan karakteristik subjek, gaya hidup, kebiasaan konsumsi makanan, asupan lemak, asupan natrium, asupan kalium, status gizi, serta riwayat kesehatan dengan kejadian hipertensi. Analisis multivariat digunakan adalah uji multiple logistic regression metode backward-LR. Uji tersebut dipilih untuk mengetahui nilai odds ratio (OR) variabel independen terhadap variabel dependent. Semua variabel yang memiliki nilai p<0.25 dianalisis bersamasama untuk mengetahui variabel independen mana yang paling berpeluang meningkatkan kejadian hipertensi (Dahlan 2009). Persamaan uji multiple logistic regression adalah sebagai berikut. 𝜋 (𝜒) =
𝑒 𝛽0+𝛽1 𝑥1 +𝛽2 𝑥2 +𝛽3 𝑥3+ ∙ ∙ ∙ + 𝛽𝑛𝑥𝑛 1 + 𝑒𝛽𝑜+𝛽1 𝑥1 +𝛽2 𝑥2 +𝛽3 𝑥3+ ∙ ∙ ∙ + 𝛽𝑛𝑥𝑛
Keterangan: π(x) = peluang terjadinya hipertensi (0= normal, 1= hipertensi) e = eksponensial β0-βn = koefisien regresi X1 = usia (0= ≤45 tahun, 1= >45 tahun) X2 = pendapatan per kapita (0= sejahtera, 1= pra sejahtera) X3 = status menopause (0= belum menopause, 1=menopause) X4 = riwayat keturunan hipertensi (0= tidak ada, 1=ada) X5 = penggunaan kontrasepsi hormonal (0= tidak, 1= ya) X6 = kebiasaan olahraga (0= sering, 1= tidak sering) X7 = kebiasaan minum kopi (0= tidak sering, 1= sering) X8 = frekuensi makanan tinggi natrium (0= tidak sering, 1= sering) X9 = frekuensi makanan berlemak (0= tidak sering, 1= sering) X10 = IMT (0= < 25 kg/m2 , 1= ≥25 kg/m2 X11 = lingkar perut (0= ≤ 80 cm , 1= >80 cm)
Definisi Operasional Subjek adalah ibu rumah tangga usia 31-55 tahun yang berdomisili di Desa Pemali Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung. Hipertensi adalah kondisi dimana tekanan darah ≥ 140/90 mmHg dan penggunaan obat antihipertensi. Faktor risiko hipertensi adalah peubah yang diduga mempengaruhi status hipertensi melalui analisis statistik. Faktor risiko yang hipertensi yang dianalisis adalah karakteristik, riwayat kesehatan, gaya hidup, kebiasaan konsumsi makanan, dan tingkat kecukupan lemak, natrium, dan kalium serta status gizi (IMT dan lingkar perut). Umur adalah bilangan yang dinyatakan dalam tahun, dihitung dari tahun kelahiran hingga tahun saat penelitian dilakukan. Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan sumber perolehan makanan yang sama.
13
Status pernikahan adalah status responden dalam pernikahan meliputi menikah, cerai hidup, dan cerai mati. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan tertinggi yang pernah ditempuh oleh subjek. Pendapatan per kapita adalah pendapatan kepala keluarga dan pendapatan anggota keluarga lainnya yang dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Riwayat penyakit terdahulu adalah penyakit yang pernah diderita, pernah didiagnosis, telah sembuh, atau masih dalam masa perawatan yang berhubungan dengan hipertensi, kolesterol, dan penyakit jantung. Riwayat penyakit keluarga adalah ada tidaknya keluarga subjek yang pernah/sedang menderita diabetes, stroke, hipertensi, kolesterol dan penyakit jantung. Riwayat keturunan hipertensi adalah ada tidaknya ayah/ibu/keduanya yang menderita hipertensi. Kebiasaan minum kopi adalah kebiasaan minum kopi subjek yang meliputi jumlah kopi per gelas yang diminum sehari, frekuensi minum kopi, dan jenis kopi yang diminum. Subjek dikatakan terbiasa jika minimal minum kopi satu kali dalam sehari. Kebiasaan olahraga adalah kebiasaan olahraga subjek yang meliputi durasi olahraga, frekuensi olahraga dalam seminggu, dan jenis olahraga. Subjek dikatakan terbiasa jika minimal melakukan olahraga satu kali dalam seminggu. Kebiasaan konsumsi makanan adalah frekuensi makan makanan tinggi natrium dan makanan berlemak dalam seminggu. Makanan tinggi natrium adalah pangan dengan kandungan natrium sebesar 15% kebutuhan (1500 mg) atau minimal 225 mg natrium /100 g bahan pangan Penggunaan bumbu-bumbu adalah frekuensi dan jumlah penambahan bumbubumbu yang mengandung natrium ketika memasak (garam, kecap manis, kecap asin, kaldu instan, vetsin, terasi, dan saus sambal/tomat) serta ketika makan (garam, kecap manis, kecap asin, dan saus sambal/tomat). Tingkat kecukupan gizi adalah perbandingan antara jumlah zat gizi yang diasup dengan angka kecukupan gizi. Status gizi adalah keadaan tubuh subjek berdasarkan IMT yang dibedakan menjadi underweight, normal, overweight dan obese I, dan obese II . Lingkar Perut adalah ukuran keliling perut bagian tengah diantara tulang rusuk terendah dan bagian teratas tulang iliac yang diukur dengan menggunakan pita ukur dalam satuan cm. Lingkar perut digunakan untuk menentukan subjek tergolong normal atau obes sentral (>80 cm).
14
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Desa Pemali Kabupaten Bangka Kabupaten Bangka merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Bangka Belitung. Secara geografis, kabupaten Bangka terletak pada koordinat 1o 3’-2o 21’ Lintang Selatan dan 105o 38’-106o 18’ Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Bangka lebih kurang sebesar 3 028.794 km2 atau 3 028 794. 693 km2. Jumlah penduduk di Kabupaten Bangka pada tahun 2014 sebesar 304 485 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 101 orang per km2. Kabupaten Bangka terdiri dari 8 kecamatan, 15 kelurahan, 62 desa definitif, 263 dusun, 83 lingkungan, dan 935 RT. Hasil produksi pertanian terbesar di Kabupaten Bangka yaitu ketela pohon, ubi jalar, sayur-sayuran, dan kelapa sawit (BPS 2015). Desa Pemali merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka. Luas wilayah Desa Pemali sebesar 9.88 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 3 715 jiwa terdiri dari 1 876 laki-laki dan 1 839 perempuan. Sebagian besar penduduk Desa Pemali memiliki mata pencaharian sebagai buruh bangunan. Selain itu, mata pencaharian penduduk yaitu petani, pedagang, pegawai negeri sipil, dan pertambangan (BPS 2015).
Kejadian Hipertensi Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah diatas normal, yaitu tekanan sistolik ≥140 mmHg atau tekanan diastolik ≥90 mmHg (JNC VII 2003). Tekanan darah dibedakan menjadi dua yaitu tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik. Tekanan darah sistolik terjadi ketika ventrikel kiri jantung berkontraksi tanpa perubahan volume ruang ventrikel (seluruh katup tertutup), sehingga tekanan intraventrikular kiri akan meningkat dengan cepat melebihi tekanan aorta. Perbedaan tekanan ini akan menyebabkan keluarnya darah menuju aorta yang ditandai dengan first heart sound. Besarnya tekanan tertinggi (saat jantung berkontraksi) pada saat darah dipompa dari ventrikel kiri menuju aorta disebut tekanan sistolik. Tekanan darah diastolik terjadi ketika tekanan pada ventrikel kiri menurun dan darah yang dikeluarkanmenuju aorta semakin pelan (terjadi relaksasi) yang ditandai dengan second heart sound (Silbernagl & Lang 2000). Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah subjek, sebagian besar tekanan darah sistolik tergolong normal (42.3%) dan hanya sebagian kecil yang mengalami hipertensi tingkat 1 (11.3%) serta hipertensi tingkat 2 (6.2%). Rata-rata tekanan darah sistolik subjek yaitu 120.5 ± 20.4 mmHg yang menunjukan sebagian besar tekanan darah sistolik subjek tergolong normal. Tekanan darah sistolik subjek berada pada kisaran 90-200 mmHg. Sebagian besar tekanan darah diastolik subjek tergolong prehipertensi (37.1%) dan sebagian kecil tergolong hipertensi tingkat 1 (12.4%) serta hipertensi 2 (15.5%). Kisaran tekanan darah diastolik subjek yaitu 70-120 mmHg dengan rata-rata sebesar 81.5 ± 12.2 mmHg yang menunjukan sebagian besar tekanan darah diastolik subjek tergolong normal. Sebaran subjek berdasarkan klasifikasi hasil pengukuran tekanan darah dapat dilihat pada Tabel 9.
15
Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah Variabel TD sistolik Normal Prehipertensi Hipertensi 1 Hipertensi 2 Total TD Diastolik Normal Prehipertensi Hipertensi 1 Hipertensi 2 Total
n
%
41 39 11 6 97
42.3 40.2 11.3 6.2 100
34 36 12 15 97
35.1 37.1 12.4 15.5 100
Subjek tergolong hipertensi apabila tekanan darah sistolik dan/atau tekanan darah diastolik berada diatas batas normal. Terdapat 3 orang subjek yang terdiagnosa hipertensi dan tergolong hipertensi tingkat 2, namun hasil pengukuran tekanan darah subjek tergolong normal. Hal ini dikarenakan subjek menjalani terapi obat penurun tekanan darah, sehingga ketiga subjek tersebut tetap digolongkan hipertensi tingkat 2 untuk mengetahui prevalensi hipertensi penelitian ini. Prevalensi hipertensi pada ibu rumah tangga di Desa Pemali sebesar 32.9% terdiri dari 11.3% hipertensi tingkat 1 dan 21.6% hipertensi tingkat 2 (Gambar 2). Hal ini menunjukan prevalensi hipertensi pada ibu rumah tangga di Desa Pemali berada diatas rata-rata nasional (25.8%). Hasil Riskesdas (2013) menunjukan prevalensi hipertensi di Kabupaten Bangka berdasarkan hasil pengukuran pada kelompok perempuan (34.9%) lebih besar dibandingkan pada laki- laki (27.2%), sedangkan prevalensi hipertensi di Provinsi Bangka Belitung sebesar 30.9%. 21.6%
26.8%
11.3% 40.2%
normal
prehipertensi
hipertensi 1
hipertensi 2
Gambar 2 Sebaran subjek berdasarkan klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII (2003) dan riwayat penyakit terdahulu
Karakteristik Subjek Karakteristik subjek yang diteliti dalam penelitian ini meliputi usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, besar keluarga, pendapatan per kapita, dan status
16
menopause. Tabel 10 berikut menyajikan data karakteristik subjek yang diteliti dalam penelitian ini. Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik subjek Karakteristik subjek Usia ≤45 tahun >45 tahun Total Status pernikahan Menikah Cerai hidup Cerai mati Total Tingkat pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Perguruan tinggi Total Besar Keluarga Kecil Sedang Besar Total Pendapatan per kapita Sejahtera Pra sejahtera Total Status menopause Ya Tidak Total
Hipertensi n %
Non Hipertensi n %
Total n %
19 13 32
59.4 40.6 100
56 9 65
86.2 13.8 100
75 22 97
77.3 22.7 100
26 4 2 32
81.3 12.5 6.3 100
63 1 1 65
96.9 1.5 1.5 100
89 5 3 97
91.8 5.2 3.1 100
0 1 8 5 18 0 32
0.0 3.1 25.0 15.6 56.3 0.0 100
0 2 18 18 24 3 65
0.0 3.1 27.7 27.7 36.9 4.6 100
0 3 26 23 42 3 97
0.0 3.1 26.8 23.7 43.3 3.1 100
22 9 1 32
68.8 28.1 3.1 100
44 20 1 65
67.7 30.8 1.5 100
66 29 2 97
68.0 29.9 2.1 100
15 17 32
46.9 53.1 100
46 19 65
70.8 29.2 100
61 36 97
62.9 37.1 100
11 21 32
34.4 65.6 100
8 57 65
12.3 87.7 100
19 78 97
19.6 80.4 100
Usia Faktor risiko hipertensi yang tidak dapat dikontrol salah satunya adalah usia. Kisaran usia subjek penelitian ini antara 31 hingga 55 tahun. Kategori usia subjek berdasarkan Wang et al. (2014) yang menunjukan bahwa hipertensi lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dan mengalami peningkatan prevalensi dengan adanya peningkatan usia diatas 45 tahun. Rata-rata usia seluruh subjek yaitu 40.39±6.90 tahun. Baik subjek kelompok hipertensi maupun non hipertensi sebagian besar memiliki usia dibawah 45 tahun. Subjek yang tergolong hipertensi
17
dengan usia dibawah 45 tahun sebesar 59.4% dengan rata-rata usia 43.9 ± 6.8 tahun. Subjek non hipertensi yang memiliki usia kurang dari 45 tahun sebesar 86.2% dengan rata-rata usia 38.7 ± 6.3 tahun (Tabel 10). Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis. Hipertensi paling banyak dialami oleh kelompok umur 3155 tahun dan umumnya berkembang pada saat umur seseorang mencapai paruh baya yakni cenderung meningkat khususnya yang berusia lebih dari 40 tahun bahkan pada usia lebih dari 60 tahun keatas (Krummel 2004). Hal ini berhubungan dengan penurunan elastisitas pembuluh darah aorta serta berkurangnya jumlah hormon estrogen yang berfungsi sebagai anti oksidan, mencegah proses oksidasi LDL, serta melebarkan pembuluh darah jantung (Gupta & Kasliwal 2004). Hasil Riskesdas (2013) menunjukan prevalensi hipertensi meningkat dengan bertambahnya umur mulai usia 35 tahun. Menurut Casey et al. (2006) usia antara 30−65 tahun, tekanan sistolik meningkat rata-rata sebanyak 20 mmHg dan terus meningkat setelah usia 70 tahun. Status Pernikahan Subjek pada penelitian ini merupakan ibu rumah tangga dan sebagian besar subjek sudah menikah. Subjek yang sudah menikah pada kelompok hipertensi sebesar 81.3% dan hanya sebagian kecil tergolong cerai hidup maupun cerai mati. Sebagian besar subjek non hipertensi sudah menikah dengan persentase sebesar 96.9% dan hanya sebesar 1.5% subjek tergolong cerai hidup dan cerai mati. Status pernikahan memiliki pengaruh terhadap kondisi kejiwaan seseorang. Hal ini berkaitan dengan kondisi stress yang ditimbulkan akhirnya dapat meningkatkan tekanan darah. Prevalensi hipertensi pada perempuan yang tidak pernah menikah, cerai hidup, atau cerai mati lebih tinggi dibandingkan perempuan yang menikah (Wang 2005). Tingkat Pendidikan Sebagian besar subjek hipertensi memiliki tingkat pendidikan tamat SMA dengan persentase sebesar 56.3%. Subjek yang tergolong non hipertensi sebagian besar memiliki tingkat pendidikan tamat SMA sebesar 36.9%. Tidak terdapat subjek yang tidak pernah sekolah baik pada kelompok hipertensi maupun non hipertensi. Keseluruhan subjek sebagian besar memiliki pendidikan yang rendah. Pendidikan terendah yang ditempuh subjek adalah tidak tamat SD dan pendidikan tertinggi subjek adalah tamatan perguruan tinggi. Tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan seseorang. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan meningkatkan tingkat pengetahuan gizi seseorang, sehingga pemilihan pangan akan menjadi lebih baik (Anggara & Prayitno 2013). Besar Keluarga Banyaknya jumlah anggota keluarga atau disebut besar keluarga dibedakan menjadi tiga kategori yaitu keluarga kecil (≤4 orang), sedang (5-6 orang), dan besar (≥7 orang). Baik subjek hipertensi maupun non hipertensi sebagian besar memiliki besar keluarga yang tergolong kecil dengan rata-rata 4.0 ± 1.14 orang dan hanya sedikit yang tergolong keluarga besar. Persentase besar keluarga subjek yang tergolong kecil pada subjek hipertensi sebesar 68.8% dan subjek non hipertensi
18
sebesar 67.7%. Besar keluarga memiliki pengaruh terhadap pola hidup dan konsumsi pangan keluarga. Apabila diasumsikan pendapatan keluarga sama besar, maka semakin banyak jumlah anggota keluarga akan meningkatkan tanggungan belanja. Begitu juga sebaliknya jika semakin sedikit jumlah anggota keluarga maka tanggungan belanja akan berkurang, sehingga meningkatkan kemampuan daya beli dan cenderung meningkatkan konsumsi yang berpotensi pada gaya hidup yang tidak tepat dan dapat meningkatkan risiko penyakit (Firdaus 2014). Pendapatan Pendapatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi gaya hidup dan merupakan faktor penentu konsumsi pangan keluarga. Pendapatan yang dilihat adalah pendapatan per kapita yaitu pendapatan kepala keluarga dan pendapatan anggota keluarga lainnya yang dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Tingkat pendapatan per kapita akan menggambarkan jumlah uang yang tersedia per anggota keluarga, sehingga dapat menjadi indikator tingkat daya beli dan tingkat kesejahteraan. Uang yang tersedia tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari baik untuk pangan maupun non pangan sehingga membentuk pola pengeluaran pangan dan non pangan keluarga (Rifai & Gulat 2003). Subjek dikatakan sejahtera jika pendapatan per kapita diatas garis kemiskinan untuk Kabupaten Bangka tahun 2013 (Rp360 715 /kap/bulan). Kisaran pendapatan per kapita subjek hipertensi yaitu RP1 71428 - 600 000 dengan nilai median sebesar Rp341 666. Sebagian besar subjek hipertensi tergolong keluarga pra sejahtera (53.1%), sedangkan sebagian besar subjek non hipertensi merupakan keluarga sejahtera (62.9%). Kisaran pendapatan per kapita subjek non hipertensi yaitu Rp 166 666-1 500 000 dengan nilai median sebesar Rp500 000. Adhitomo (2014) menyebutkan bahwa hipertensi lebih banyak terjadi pada kelompok dengan pendapatan rendah (45.8%) dibandingkan pendapatan sedang dan tinggi. Hal ini dapat dikarenakan faktor kurangnya biaya untuk memeriksakan diri secara teratur serta tekanan psikologis yang berkaitan dengan himpitan ekonomi. Status Menopause Memasuki usia diatas 45 tahun perempuan umumnya akan mulai mengalami menopause atau berhentinya siklus menstruasi. Menurut National Institute for Health and Care Excellent (NICE 2015), menstruasi pada wanita merupakan berhentinya periode menstruasi paling sedikit 12 bulan dan bukan karena penggunaan kontrasepsi hormonal. Subjek digolongkan kedalam dua kategori yaitu menopause dan belum menopause. Subjek hipertensi sebagian besar belum mengalami menopause (65.6%). Sebagian besar subjek non hipertensi juga belum mengalami menopause yaitu sebanyak 57 orang subjek atau sebesar 87.7%. Sebanyak 11 dari 19 orang subjek yang tergolong menopause mengalami hipertensi, 6 orang tergolong prehipertensi dan 2 orang tergolong normal. Geraci dan Geraci (2013) menunjukan bahwa prevalensi kejadian hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki pada saat memasuki usia menopause. Estrogen dapat meningkatkan katabolisme trigliserida (TGA) dan low density lipoprotein (LDL), sehingga dapat menurunkan level LDL dalam darah. Estrogen juga berfungsi meningkatkan aliran darah akibat vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer yang akhirnya dapat melancakan aliran darah (Speroff et al. 1999). Estrogen merupakan salah satu hormon penting bagi wanita di usia
19
subur. Tiga bentuk estrogen yaitu estradiol, estriol dan estron. Estradiol merupakan bentuk estrogen yang paling penting. Wanita yang telah menopause memiliki risiko cardio vascular disease (CVD) dan tekanan darah tinggi lebih besar dibandingkan dengan wanita yang belum menopause. Hal ini berkaitan dengan menurunnya produksi hormon testosteron yang berfungsi untuk membentuk hormon estrogen (estradiol). Pada saat menopause produksi estradiol menurun drastis, sehingga sebagian besar diperoleh dari konversi estron yang berasal dari konversi ekstragranular androstenedion. Konversi androstenedion menjadi estradiol dapat menyebabkan peningkatan komposisi lemak tubuh karena kemampuan lemak untuk mengaromatisasi androgen. Oleh karena itu, menopause berkaitan dengan peningkatan insiden terjadinya sindrom metabolik, risiko penyakit kardiovaskular, resistensi insulin, dislipidemia, obesitas sentral, dan peningkatan indeks masa tubuh pada proses patogenesis hipertensi (Speroff et al. 1999). Riwayat Kesehatan Genetik telah diketahui dapat mempengaruhi risiko terjadinya hipertensi. Beberapa penelitian menyebutkan adanya peningkatan risiko terjadinya hipertensi pada seseorang dengan riwayat keluarga yang menderita hipertensi. Penelitian oleh Yadav et al. (2008) mengatakan bahwa riwayat keluarga hipertensi merupakan kontributor penting terjadinya hipertensi. Keluarga dengan riwayat hipertensi akan meningkatkan kejadian hipertensi sebesar 2.19 kali (95% Cl; 1.62-2.96; p<0.0001). Penelitian oleh Chobabian et al. (2003) dalam JNC VII juga mengatakan genetik merupakan faktor risiko hipertensi walaupun penyebabnya belum jelas. Sheps (2005), mengemukan bahwa hipertensi merupakan penyakit keturunan dengan kemungkinan menurunkan 25% apabila salah satu orang tua mengalami hipertensi, menurunkan sebesar 60% apabila kedua orang tua mengalami hipertensi. Keluarga dengan riwayat penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, stroke, dislipidemia, penyakit ginjal, dan diabetes melitus cenderung memiliki peluang terkena hipertensi lebih tinggi. Sebagian besar subjek hipertensi memiliki riwayat keturunan hipertensi (68.8%) dan sebagian besar subjek non hipertensi tidak memiliki riwayat keturunan hipertensi (53.8%). Riwayat penyakit keluarga subjek dibagi menjadi tiga kategori yaitu hipertensi tanpa komplikasi, hipertensi dengan komplikasi, dan tidak ada hipertensi. Hipertensi dengan komplikasi merupakan kombinasi hipertensi dengan penyakit jantung, hiperkolesterolemia, diabetes melitus (DM), dan stroke. Kombinasi penyaki-penyakit tersebut tanpa disertai hipertensi dianggap tidak ada hipertensi. Sebaran subjek berdasarkan riwayat hipertensi keluarga sebagian besar berasal dari ibu dengan persentase sebesar 28.9%, sedangkan yang berasal dari ayah sebesar 12.4%. Riwayat hipertensi keluarga subjek dengan komplikasi yang berasal dari ayah sebesar 11.3% dan ibu sebesar 12.4%. Hasil tersebut menunjukan kejadian hipertensi baik dengan atau tanpa komplikasi lebih banyak terjadi pada wanita. Hal tersebut sesuai dengan Geraci dan Geraci (2013), prevalensi kejadian hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki pada saat memasuki usia menopause. Sebaran subjek berdasarkan riwayat penyakit keluarga subjek dapat dilihat pada Gambar 3.
20
Persentase (%)
76.3 80 70 60 50 40 30 20 10 00
58.8
28.9 12.4
Hipertensi
11.3 12.4
Hipertensi dengan Komplikasi ayah
Tidak Hipertensi
ibu
Gambar 3 Sebaran subjek berdasarkan riwayat penyakit keluarga Hipertensi dapat terjadi dengan adanya komplikasi dari penyakit lain seperti diabetes melitus, khususnya pada penderita diabetes nefropati. Penderita diabetes nefropati akan mengalami gangguan pada bagian ginjal yang mengakibatkan adanya gangguan pada sistem renin-angiotensin-aldosteron untuk mengatur vasokonstriksi dan peningkatan reabsorpsi sodium di tubulus proximal (Van Buren & Toto 2012). Hiperinsulinemia berhubungan dengan terjadinya kelebihan berat badan akibat meningkatnya level asam lemak, selain itu peningkatan tekanan darah pada penderita DM dapat terjadi akibat peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik dan peningkatan reabsorbsi sodium (Vujicic et al. 2012). Hiperkolesterolemia ditandai dengan adanya peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL, dan/atau penurunan kadar kolesterol HDL dalam darah. Kadar kolesterol yang tinggi dapat membentuk plak di pembuluh darah dan dalam jangka waktu tertentu dapat memblokade arteri. Hal ini dapat menyebabkan gangguan kardiovaskular, serangan jantung, bahkan stroke. Kolesterol yang menumpuk dan menyumbat pembuluh darah akan menghambat aliran darah dan meningktakan tekanan darah, sehingga terjadi hipertensi (Hurst 2008). Sebaran subjek berdasarkan riwayat penyakit terdahulu dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran subjek berdasarkan riwayat penyakit terdahulu Variabel n % Pernah didiagnosa Hipertensi 22 22.7 Dengan hiperkolesterolemia 6 6.2 Dengan jantung 2 2.1 Dengan Dabetes Melitus (DM) 2 2.1 Sedang dalam pengobatan Hipertensi 9 9.3 Hiperkolesterolemia 0 0.0 Jantung 0 0.0 Dabetes Melitus (DM) 1 1.0
21
Subjek yang pernah didiagnosa merupkan subjek yang telah mendapatkan diagnosa medis sebelumnya baik diagnosa hipertensi maupun hipertensi dengan penyakit penyerta. Subjek yang memiliki riwayat hipertensi sebesar 22.7% atau sebanyak 22 orang. Subjek yang menderita hipertensi dengan hiperkolesterolemia sebesar 6.2% atau sebanyak 6 orang. Subjek dengan komplikasi jantung dan D masing-masing sebanyak 2 orang atau sebesar 2.1%. Dari 22 subjek yang pernah didiagnosis hanya 9 subjek yang menjalani terapi hipertensi atau sebesar 9.3%. Terapi/pengobatan yang dilakukan meliputi penggunaan obat dan perubahan gaya hidup. Jenis obat yang biasa digunakan subjek yaitu Captopril/ Farmoten, Amlodipine, serta ada yang menggunakan kombinasi kedua obat tersebut. Captopril merupakan jenis obat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor yang menghambat konversi angiotensin I (AT I) menjadi angiotensin II (AT II), sehingga mengakibatkan berkurangnya tingkat AT II dan sekresi aldosteron. Hal ini dapat meningkatkan aktivitas renin plasma dan tingkat bradikinin. Pengurangan AT II menyebabkan penurunan Na dan retensi air yang kemudian mendorong vasodilatasi dan penurunan tekanan darah (MIMS 2015). Amlodipine bekerja dengan merelaksasi otot pembuluh darah koroner dan perifer, sehingga terjadi vasodilatasi dan meningkatnya transport oksigen ke jantung (MIMS 2015). Hanya sebagian subjek yang terdiagnosis hipertensi mengonsumsi obat. Beberapa subjek hanya mengonsumsi obat ketika timbul keluhan atau gejala peningkatan tekanan darah. Penggunaan kontrasepsi hormonal Hipertensi dapat dipicu dengan penggunaan kontrasepsi hormonal seperti pil KB, KB suntik, dan implan. Kandungan estrogen dalam kontrasepsi hormonal dapat mengatur tonus pembuluh darah dengan dibantu nitrat oksida, prostacyclin, angiotensin, dan sistem saraf simpatis (Ashraf & Vongpatanasin 2006). Selain itu, jenis dan dosis progesteron pada beberapa kontrasepsi hormonal juga dapat mempengaruhi tekanan darah. Park dan Kim (2013) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0.001) antara lamanya penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian hipertensi. Penggunaan kontrasepsi hormonal selama lebih dari 2 tahun akan meningkatkan risiko kejadian hipertensi sebesar 1.96 kali (95% CI; 1.03-3.73). WHO (2015) menjelaskan tidak semua wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal atau kombinasi kontasepsi hormonal dan non hormonal selalu berhubungan dengan hipertensi. Beberapa faktor dapat mempengaruhi peningkatan tekanan darah pada wanita yang menggunakan kontasepsi hormonal seperti usia, lama waktu penggunaan kontrasepsi hormonal, dosis dan jenis hormon yang digunakan. Sebaran subjek berdasarkan penggunaan kontrasepsi hormonal dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran subjek berdasarkan penggunaan kontrasepsi hormonal Hipertensi Non Hipertensi Total Penggunaan kontrasepsi hormonal n % n % n % Ya 19 59.4 33 50.8 52 53.6 Tidak 13 40.6 32 49.2 45 46.4 Total 32 100 65 100 97 100 Sebagian besar subjek hipertensi menggunakan kontrasepsi hormonal dengan persentase sebesar 59.4%. Subjek non hipertensi sebagian besar
22
menggunakan kontrasepsi hormonal dengan persentase sebesar 50.8%. Jenis kontrasepsi hormonal yang paling banyak digunakan oleh subjek hipertensi dan non hipertensi yaitu suntik. Subjek lebih banyak memilih jenis kontrasepsi suntik karena jenis kontasepsi ini lebih praktis, tidak membutuhkan keteraturan dalam konsumsi atau penggunaannya, serta harganya yang relatif murah. Subjek yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal adalah subjek yang menggunakan kontrasepsi non hormonal seperti sistem kalender, steril, dan spiral, serta terdapat subjek yang telah mengalami menopause. Gaya Hidup Gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari sejumlah interaksi sosial, budaya, keadaan dan hasil pengaruh beragam variabel bebas yang terjadi di dalam keluarga atau rumah tangga. Gaya hidup dapat diartikan sebagai cara hidup masyarakat (Suhardjo 1989). Gaya hidup yang diduga berhubungan dengan kejadian hipertensi antara lain meliputi aktivitas fisik/kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, kebiasaan minum kopi, kebiasaan minum alkohol. Gaya hidup pada penelitian ini yaitu kebiasaan minum kopi dan kebiasaan olahraga. Kebiasaan minum alkohol dan kebiasaan merokok tidak termasuk variabel penelitian karena subjek merupakan ibu rumah tangga yang seluruhnya bukan merupakan perokok dan alkoholik. Kebiasaan Olahraga Olahraga merupakan aktivitas fisik yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis untuk mendorong, membina, dan mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial (Mutohir & Maksum 2007). Seseorang dengan aktivitas fisik yang rendah, memiliki kecenderungan 30%-50% terkena hipertensi daripada mereka yang memiliki aktivitas fisik yang tinggi. Penelitian Whelton et al. (2002) yang dilakukan pada 54 percobaan randomized controlled trial (RCT), aktivitas aerobik menurunkan tekanan darah sistolik rata-rata 3.84 mmHg dan tekanan diastolik 2.72 mmHg pada pasien dengan dan tanpa hipertensi. Peningkatan intensitas aktivitas fisik, 30 – 45 menit per hari, penting dilakukan sebagai strategi untuk pencegahan dan pengelolaan hipertensi. Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan olahraga dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan olahraga Variabel Kebiasaan Olahraga Ya Tidak Total Durasi olahraga* Tinggi Rendah Total
Hipertensi n %
Non Hipertensi n %
Total n
%
10 22 32
31.3 68.8 100
14 51 65
21.5 78.5 100
24 73 97
24.7 75.3 100
5 5 10
50.0 50.0 100
3 11 14
21.4 78.6 100
8 16 24
33.3 66.7 100
23
Tabel 13 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan olahraga (lanjutan) Variabel
Hipertensi n %
Non Hipertensi n %
Total n
%
Frekuensi Olahraga* Sering 5 50.0 7 50.0 12 50.0 Tidak sering 5 50.0 7 50.0 12 50.0 Total 10 100 14 100 24 100 Jenis olahraga* Senam 1 10 6 42.9 7 29.2 Jogging 5 50 4 28.6 9 37.5 Jalan Pagi 4 40 3 21.4 7 29.2 Voli 0 0 1 7.1 1 4.2 Total 10 100 14 100 24 100 Keterangan: *) persentase berdasarkan jumlah subjek yang memiliki kebiasaan olahraga. Subjek dikatakan biasa berolahraga jika melakukan olahraga minimal satu kali seminggu. Baik subjek yang mengalami hipertensi maupun yang non hipertensi hanya sebagian kecil yang biasa melakukan olahraga (24.7%) Dari subjek yang biasa berolahraga, nilai rata-rata durasi olahraga sebesar 31.04 ± 19.67 menit dengan kisaran 15 hingga 90 menit dengan. Durasi paling lama yaitu subjek dengan jenis olahraga voli. Rata-rata durasi subjek yang berolahraga dapat dikatakan sudah cukup karena telah memenuhi angka anjuran olahraga yang dapat menurunkan tekanan darah menurut Zhang dan Li (2011) yaitu selama 30 menit, walaupun sebagian besar durasi olahraga subjek masih tergolong rendah (66.7%). Frekuensi olahraga subjek dibagi menjadi dua kategori yaitu sering (≥3 kali/minggu) dan tidak sering (<3 kali/minggu). Frekuensi olahraga subjek hipertensi dan non hipertensi adalah sama (50.0%). Rata-rata frekuensi olahraga subjek masih tergolong rendah yaitu 1.92 ± 0.86 kali/minggu dengan kisaran 1-3 kali/minggu. Menurut Zhang dan Li (2011), subjek yang melakukan olaraga ≥3 kali/ minggu menunjukan penrunan risiko hipertensi (0.35) secara signifikan dibandingkan mereka yang berolahraga <3 kali/ minggu. Jenis olahraga yang paling banyak dilakukan oleh subjek yaitu jogging (37.5%). Selain jogging, jenis olahraga lain yang dilakukan subjek yaitu jalan pagi (29.2), senam (29.2%), dan voli (4.2%). Jenis olahraga tersebut dipilih subjek karena mudah dilakukan pada pagi hari dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi. Subjek yang melakukan olahraga jenis senam aerobik seluruhnya mengikuti klub senam aerobik pada sore hari. Kebiasaan Minum Kopi Kopi merupakan minuman dengan kandungan kafein yang dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung serta meningkatkan tekanan darah akibat efek psikoaktif. Menurut Geethavani et al. (2014) kafein dapat meningkatkan tekanan darah sistolik sampai batas 17% akibat adanya peningkatan vasokonstriksi aorta atau pembuluh darah besar. Peningkatan vasokonstriksi aorta dikaitkan dengan peningkatan produksi angiotensin II, katekolamin, dan adrenalin. Hal tersebut dapat meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah. Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan minum kopi dapat dilihat pada Tabel 14.
24
Tabel 14 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan minum kopi Variabel
Hipertensi n %
Non Hipertensi n %
Total n
%
Kebiasaan minum kopi Ya 15 46.9 19 29.2 34 35.1 Tidak 17 53.1 46 70.8 63 64.9 Total 32 100 65 100 97 100 Frekuensi minum kopi* Rendah 13 86.7 18 94.7 31 91.2 Sedang 2 13.3 1 5.3 3 8.8 Tinggi 0 0 0 0 0 0.0 Total 15 100 19 100 34 100 Jenis kopi* Kopi Hitam 11 73.3 14 73.7 25 73.5 Kopi Instan 2 13.3 2 10.5 4 11.8 Kopi Mix 2 13.3 3 15.8 5 14.7 Total 15 100 19 100 34 100 Keterangan: *) persentase berdasarkan jumlah subjek yang memiliki kebiasaan minum kopi. Subjek dikatakan memiliki kebiasaan minum kopi jika dalam sehari subjek minum minimal 1 cangkir. Sebagian besar subjek hipertensi dan non hipertensi tidak biasa minum kopi dengan persentase masing-masing sebesar 53.1% dan 70.8%. Frekuensi minum kopi subjek dikatakan rendah jika minum 1-2 cangkir/hari, sedang 3-4 cangkir/hari, dan tinggi ≥ 5 cangkir/hari. Lebih dari setengah subjek hipertensi dan non hipertensi yang biasa minum kopi memiliki frekuensi minum kopi yang rendah dengan persentase sebesar 86.7% dan 94.7%. Baik subjek hipertensi dan non hipertensi keduanya tidak ada yang memiliki frekuensi minum kopi yang tinggi. Kisaran frekuensi minum kopi subjek mulai dari 0 hingga 4 cangkir/hari. Jenis kopi yang paling banyak dikonsumsi oleh subjek yaitu kopi hitam tubruk (73.5%). Subjek lebih menyukai kopi hitam tubruk karena rasa kopi yang lebih kuat dan tingkat kemanisan dari penambahan gula dapat diatur sendiri. Jenis kopi lainnya yaitu kopi mix dan kopi instan. Sebagian besar subjek mengonsumsi kopi instan jenis luwak white coffee. Banyak penelitian yang menyebutkan terdapat hubungan positif antara konsumsi kopi dengan kejadian hipertensi. Penelitian yang dilakukan oleh Klag et al. (2002), menyebutkan bahwa konsumsi kopi sebanyak 5 cangkir atau lebih dalam sehari berhubungan dengan peningkatan risiko relatif hipertensi sebesar 1.35 kali. Myers (2004), menyebutkan bahwa kebiasaan konsumsi kopi 2 hingga 4 cangkir per hari dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Pada pasien hipertensi atau prehipertensi perlu memperhatikan jumlah konsumsi kopi yang mencapai 5 hingga 6 cangkir sehari. Beberapa penelitian ada yang menyebutkan terdapat hubungan negatif antara konsumsi kopi dan kejadian hipertensi. Uiterwaal et al. (2007) yang menunjukkan adanya hubungan ”invers U” antara jumlah kopi yang dikonsumsi dengan kejadian hipertensi yang berarti orang yang tidak mengonsumsi kopi memiliki risiko rendah terkena hipertensi dibandingkan yang mengonsumsi kopi >0-3 cangkir/hari. Wanita yang minum >6 cangkir/hari memiliki risiko hipertensi
25
yang rendah dibanding perempuan yang minum >0-3 cangkir/hari (OR: 0.67: 95%CI: 0.46, 0.98). Winkelmayer et al. (2005) menyebutkan tidak ada hubungan yang linier antara konsumsi kafein dengan kejadian hipertensi, namun konsumsi gula dan kola berhubungan dengan kejadian hipertensi.
Kebiasaan Konsumsi Makanan Berisiko Kebiasaan makan adalah kebiasaan dan prilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan misalnya tata krama, frekuensi makan, pola makan, kepercayaan terhadap makanan tertentu, dan cara pemilihanan bahan maknaann yang akan dikonsumsi (Shuharjo 1989). Story et al. (2002) mengemukakan bahwa konsumsi, jumlah, dan jenis pangan dipengaruhi oleh jenis kelamin, jumlah produksi, ketersediaan pangan, usia, kondisi fisiologis, dan preferensi. Kebiasaan makanan yang berhubungan dengan kejadian hipertensi dibagi menjadi dua yaitu makanan yang dapat menghambat dan yang dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi. Kebiasaan makan yang dapat meningkatkan terjadinya hipertensi seperti makann asin, makanan awetan, dan makanan yang mengandung lemak tinggi (Depkes 2013). Kebiasaan makan yang dapat menurunkan risiko hipertensi misalnya kebiasaan konsumsi buah dan sayur yang banyak mengandung kalium. Makanan tinggi natrium Makanan tinggi natrium merupakan makanan yang banyak mengandung garam maupun penguat rasa (mononatrium glutamat), sehingga umumnya memiliki kandungan natrium yang tinggi. Natrium juga banyak terdapat pada makanan awetan berupa natrium benzoat dan natrium metabisulfit. Di dalam tubuh, natrium berfungsi untuk menjaga keseimbangan cairan dan asam basa tubuh, serta berperan dalam transmisi saraf dan kontraksi otot. Natrium yang dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan akan meningkatkan konsentrasinya di dalam cairan ekstraseluler. Peningkatan volume cairan ekstraseluler tersebut dapat meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada jantung yang memompa lebih kuat dan tekanan darah menjadi naik (Pohl et al. 2013). Hal tersebut dapat meningkatkan kejadian hipertensi jika berlangsung secara terus menerus. Sumber natrium/sodium yang utama adalah natrium klorida (garam dapur), penyedap masakan (monosodium glutamat), dan sodium karbonat (pengawet makanan). Tabel 15 menunjukan jumlah subjek yang mengonsumsi makanan tinggi natrium serta nilai median frekuensi dari subjek yang hanya mengonsumsi makanan tersebut selama satu bulan terakhir. Jenis makanan tinggi natrium yang paling banyak dikonsumsi oleh subjek hipertensi dan non hipertensi adalah kerupuk asin dan ikan asin. Makanan yang memiliki frekuensi tertinggi yaitu kerupuk asin dengan frekuensi sebesar 12 kali/bulan untuk subjek hipertensi dan 8 kali/bulan untuk subjek non hipertensi. Kisaran frekuensi konsumsi kerupuk asin subjek hipertensi dan non hipertensi yaitu 1 hingga 30 kali/bulan. Jenis makanan ini paling banyak dikonsumsi subjek karena umumnya mengonsumsi kerupuk asin setiap kali makan, selain itu harganya murah dan juga mudah didapat. Ikan asin merupakan salah satu pangan asin yang banyak dikonsumsi subjek, namun frekuensi konsumsinya tidak terlalu tinggi. Hal ini karena sebagian besar subjek lebih memilih untuk mengonsumsi ikan segar dibandingkan ikan asin.
26
Jenis makanan tinggi natrium lain yang banyak dikonsumsi oleh subjek hipertensi dan non hipertensi yaitu mie instan dan ikan kaleng. Kisaran frekuensi konsumsi mie instan subjek hipertensi yaitu 1 hingga 16 kali/bulan, sedangkan subjek non hipertensi yaitu 1 hingga 30 kali/bulan. Frekuensi konsumsi mie instan pada subjek hipertensi sebesar 8 kali/bulan, sedangkan frekuensi pada subjek non hipertensi sebesar 4 kali/bulan. Mie instan merupakan makanan yang mengandung natrium yang tinggi yaitu bisa mencapai 2030 mg setiap satu bungkusnya. Jumlah natrium dalam satu bungkus mie instan sudah melebihi anjuran kecukupan natrium harian (1500 mg). Frekuensi konsumsi makanan tinggi natrium yang dikonsumsi oleh subjek dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Frekuensi konsumsi makanan tinggi natrium Frekuensi (kali/bulan) Makanan tinggi natrium Non n Hipertensi* n Hipertensi* Ikan asin 25 2 (1;30) 48 2 (1;12) Rusip 13 1 (1;16) 16 2 (1;12) Kerupuk asin 26 12 (1;30) 56 8 (1;30) Keripik asin 14 4 (1;30) 31 1 (1;16) Keju 6 2 (1;8) 14 1.5 (1;30) Mie instan 30 8 (1;16) 61 4 (1;30) Sosis 5 4 (1;4) 10 4 (1;8) Nugget 3 1 (1;2) 14 1.5 (1;12) Ikan kaleng 19 1 (1;8) 27 1 (1;12) Kacang telur bungkus 5 1 (1;2) 11 1 (1;8) Kacang kulit bungkus 7 1 (1;12) 19 1 (1;12) Keterangan: *) Median (min;max) Frekuensi makanan tinggi natrium setiap subjek selanjutnya digolongkan berdasarkan frekuensi konsumsi yaitu sering (≥7 kali/ minggu) dan tidak sering (<7 kali/ minggu). Baik subjek hipertensi dan non hipertensi sebagian besar tidak sering mengonsumsi makanan tinggi natrium dengan persentase masing-masing sebesar 56.3% dan 63.1%. Kisaran frekuensi makanan tinggi natrium untuk subjek hipertensi yaitu 1.3 hingga 24.8 kali/minggu dengan nilai median sebesar 6.1 kali/minggu. Kisaran frekuensi makanan tinggi natrium untuk subjek non hipertensi yaitu 0.5 hingga 24.0 kali/minggu dengan nilai median sebesar 5.3 kali/minggu. Hasil penelitian ini cukup berbeda dengan Riskesdas tahun 2013 dimana proporsi penduduk berusia 10 tahun ke atas yang mengonsumsi makanan asin <7 kali/ minggu di Kabupaten Bangka sebesar 42.3%, sedangkan hasil penelitian sebesar 60.8%. Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi makanan tinggi natrium disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi makanan tinggi natrium Frekuensi konsumsi Hipertensi Non Hipertensi Total n % n % n % Tidak sering 18 56.3 41 63.1 59 60.8 Sering 14 43.8 24 36.9 38 39.2 Total 32 100 65 100 97 100.0
27
Penggunaan bumbu-bumbu Bumbu-bumbu yang diteliti merupakan bumbu yang banyak mengandung natrium seperti garam, kecap manis, kecap asin, kaldu instan, terasi, dan vetsin. Hampir setiap hari bumbu-bumbu tersebut digunakan untuk menambah rasa gurih dari suatu masakan. Kebiasaan penggunaan bumbu-bumbu tersebut tanpa disadari telah menyumbang natrium yang cukup besar. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 30 tahun 2013, risiko hipertensi, stroke, diabetes, dan serangan jantung dapat meningkat dengan konsumsi gula lebih dari 50 g (4 sendok makan), natrium lebih dari 2000 mg (1 sendok teh), dan lemak/minyak lebih dari 67 g (5 sendok makan) per orang per hari. Kebiasaan penggunaan bumbu subjek dilihat dari frekuensi penambahan ketika makan dan ketika masak, serta banyaknya bumbu tersebut setiap kali penggunaan. Sebagian besar subjek baik hipertensi maupun non hipertensi termasuk jarang menambahkan bumbu-bumbu ketika makan. Kisaran frekuensi penambahan bumbu ketika makan subjek hipertensi dan non hipertensi yaitu 0-6 kali/minggu. Subjek hipertensi yang jarang menambahkan bumbu ketika makan sebesar 78.1%, sedangkan subjek non hipertensi sebesar 89.2%. Subjek jarang menambahkan bumbu ketika makan karena umumnya masakan yang dimasak sendiri sudah menambahkan bumbu-bumbu yang sesuai, sehingga tidak membutuhkan penambahan bumbu-bumbu lagi. Penambahan bumbu-bumbu ketika makan hanya saat subjek mengonsumsi makanan berkuah seperti bakso, soto, bakwan, dan tekwan. Penambahan bumbu-bumbu pada saat makan makanan tersebut tidak setiap hari dikonsumsi, sehingga sebagian besar subjek memiliki frekuensi yang jarang. Hampir seluruh subjek sering menambahkan bumbu-bumbu ketika memasak. Kisaran frekuensi subjek hipertensi yang menambahkan bumbu ketika masak yaitu 5-7 kali/minggu, sedangkan subjek non hipertensi 2-7 kali/minggu dengan median yang sama sebesar 7 kali/minggu. Sebagian besar subjek hipertensi sering menambahkan bumbu-bumbu ketika masak (93.8%), sama seperti subjek non hipertensi (90.8%). Tidak ada subjek hipertensi yang jarang menambahkan bumbu ketika masak dan hanya satu orang subjek non hipertensi yang jarang menambahkan bumbu ketika masak. Hal ini dikarenakan hampir seluruh subjek memasak makanan sendiri untuk kelurganya. Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan penggunaan bumbu dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan penggunaan bumbu Hipertensi Non Hipertensi n % n % Penambahan garam, saus, atau kecap ketika makan Sering 2 6.3 2 3.1 Kadang-kadang 5 15.6 5 7.7 Jarang 25 78.1 58 89.2 Total 32 100 65 100 Penambahan garam, saus, atau kecap ketika masak Sering 30 93.8 59 90.8 Kadang-kadang 2 6.3 5 7.7 Jarang 0 0.0 1 1.5 Total 32 100 65 100 Variabel
Total n
%
4 10 83 97
4.1 10.3 85.6 100
89 7 1 97
91.8 7.2 1.0 100
28
Jumlah bumbu yang ditambahkan ketika makan dan memasak dihitung dengan konversi ukuran rumah tangga (URT) menjadi satuan gram. Berat bumbu tersebut selanjutnya dihitung kandungan natrium dan kontribusi natrium dalam sehari. Jenis bumbu yang ditambahkan ketika makan pada subjek hipertensi menambahkan natrium paling banyak berasal dari garam yaitu 255.6 mg. Jumlah natrium subjek non hipertensi paling banyak berasal dari kecap manis yaitu 202.2 mg. Kontribusi natrium dari bumbu ketika makan dihitung dengan membandingkannya terhadap AKG 2012 (1500 mg), maka dapat diketahui kontribusi natrium terbesar pada subjek hipertensi yaitu 17.0% berasal dari garam dan terkecil 2.4% dari saus. Kontribusi natrium terbesar pada subjek non hipertensi yaitu 13.5% berasal dari kecap manis yang terkecil 3.8% berasal dari saus. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanum (2014), keseluruhan kontribusi natrium dari bumbu yang ditambahkan ketika makan tidak ada yang melebihi 50% AKG untuk natrium. Kontribusi natrium dari bumbu ketika makan dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Kontribusi natrium dari bumbu per kali makan Jenis bumbu Hipertensi Garam Saus Kecap manis Kecap asin Non Hipertensi Garam Saus Kecap manis Kecap asin
Penambahan (g)
Ketersediaan Na (mg) Kontribusi (%)
0.66 ± 1.12 2.44 ± 7.70 2.50 ± 4.40 0.78 ± 2.57
255.6 35.9 139.6 49.2
17.0 2.4 9.3 3.3
0.48 ± 0.97 3.86 ± 8.00 3.62 ± 4.80 1.23 ± 3.19
185.9 56.9 202.2 77.5
12.4 3.8 13.5 5.2
Perhitungan penambahan bumbu ketika masak sama dengan perhitungan penambahan bumbu ketika makan yaitu dengan mengkonversi URT menjadi berat dalam satuan gram. Bumbu yang paling banyak ditambahkan baik subjek hipertensi maupun non hipertensi ketika memasak adalah garam (9.8 g dan 9.9 g) dan kecap manis (7.3 g dan 9.5 g), sedangkan saus lebih bayak ditambahkan pada saat makan sebagai penambah rasa. Vetsin merupakan jenis bumbu yang paling sedikit ditambahkan ketika masak karena hanya digunakan sebagai penambah rasa umami dan sebagian besar subjek lebih memilih menggunakan kaldu instan. Kecap asin merupakan bumbu yang pengguaanya tidak terlalu banyak karena umumnya jenis bumbu ini banyak digunakan pada masakan Oriental. Pennambahan terasi cukup banyak namun tidak sebanyak penambahan garam. Subjek hanya menambahkan terasi pada beberapa jens masakan seperti sambal dan beberapa jenis tumis-tumisan. Penambahan bumbu-bumbu ketika masak dipengarui oleh banyaknya anggota keluarga dan berapa banyak masakan yang diolah. Bumbu yang paling banyak menyumbang natrium pada kelompok hipertensi dan non hipertensi yaitu garam (3795.0 mg dan 3833.7 mg). Kontribusi natrium paling sedikit pada subjek hipertensi adalah saus (18.0 mg) dan pada subjek non hipertensi adalah terasi (44.5 mg). Rata-rata besar keluarga subjek yaitu 4 orang, sehingga kontribusi per orang dapat diperoleh dengan membagi kontribusi
29
per keluarga dengan 4. Kontribusi natrium per orang pada subjek hipertensi paling tinggi sebesar 63.3% dari garam dan paling rendah 0.3% dari saus, sedangkan subjek non hipertensi memiliki kontribusi natrium paling tinggi sebesar 63.9% dari garam dan paling rendah 0.7% dari terasi. Garam merupakan bumbu utama yang paling banyak digunakan sebagai penambah rasa gurih. Rata-rata total kontribusi natrium yang diperoleh dari garam dalam sehari sebesar 114%. Penambahan garam perlu diperhatikan agar tidak melebihi jumlah natrium yang dibutuhkan oleh tubuh karena kontribusi natrium tidak hanya diperoleh dari garam. Tabel 19 Kontribusi natrium subjek dari bumbu per kali masak Ketersediaan Kontribusi per Jenis bumbu Penambahan (g) natrium (mg) orang (%) Hipertensi Garam 9.8 ± 2.12 3795.0 63.3 Saus 1.2 ± 5.07 18.0 0.3 Kecap manis 7.3 ± 5.23 407.8 6.8 Kecap asin 3.1 ± 5.78 192.9 3.2 Kaldu instan 3.1 ± 2.75 860.1 14.3 Vetsin 1.8 ± 1.87 242.4 4.0 Terasi 5.7 ± 3.68 47.0 0.8 Non Hipertensi Garam 9.9 ± 2.14 3833.7 63.9 Saus 3.5 ± 8.70 51.9 0.9 Kecap manis 9.5 ± 7.59 530.7 8.8 Kecap asin 2.1 ± 3.74 130.8 2.2 Kaldu instan 3.6 ± 2.40 997.7 16.6 Vetsin 1.8 ± 1.41 242.4 4.0 Terasi 5.4 ± 3.27 44.5 0.7 Makanan Berlemak Dalam jumlah yang berlebih, jenis lemak atau minyak yang dapat mengganggu kesehatan adalah: kolesterol, trigliserida, low density lipoprotein (LDL) (Almatsier 2009). Konsumsi makanan yang mengandung lemak tinggi dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah yang dikenal dengan aterosklerosis. Konsumsi dalam jumlah yang berlebih akan menyebabkan penumpukan dan pembentukan plak di pembuluh darah. Akibatnya pembuluh darah menjadi semakin sempit dan mengalami penurunan elastisitas. Hal tersebut akhirnya menyebabkan peningkatan risiko terjadinya hipertensi. Maknan berlemak yang diteliti merupakan makanan yang paling banyak beredar di masyarakat dan yang banyak dikonumsi oleh masyarakat. Subjek hipertensi dan non hipertensi paling banyak mengonsumsi makanan berlemak jenis telur ayam dan gorengan. Baik subjek hipertensi maupun non hipertensi memiliki nilai frekuensi paling tinggi yaitu gorengan (30 kali/ bulan dan 12 kali/ bulan). Sebagian besar subjek mengaku hampir setiap pagi mengonsumsi gorengan seperti tempe goreng, bakwan goreng, dan yang paling sering yaitu kue-kue goreng. Frekuensi makanan lain yang banyak dikonsumsi subjek yaitu telur ayam (8 kali/bulan). Selain sebagai sumber protein hewani, telur ayam juga menyumbang
30
kolesterol yang cukup tinggi hingga mencapai 200 mg setiap 1 butir. Jenis makanan yang paling jarang dikonsumsi oleh subjek hipertensi dan non hipertensi yaitu susu full cream, gajih, dan kepiting. Frekuensi konsumsi makanan berlemak subjek dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Frekuensi konsumsi makanan berlemak Frekuensi (kali/bulan) Makanan Berlemak n Hipertensi* n Telur ayam 31 Gorengan 32 Daging ayam dg kulit 14 Susu full cream 2 Daging sapi 21 Gajih 3 Udang 14 Kepiting 16 Kerang 14 Santan 28 Mentega 14 Keterangan: *) Median (min;max)
8 30 4 15.5 1 3 1.5 1 1.5 4 3.5
(1;30) (1;30) (1;8) (1;30) (1;8) (1;4) (1;12) (1;4) (1;16) (1;12) (1;30)
64 63 39 7 45 10 35 25 40 59 35
Non Hipertensi* 8 (1;30) 12 (1;30) 8 (1;30) 1 (1;4) 1 (1;8) 1 (1;4) 2 (1;8) 1 (1;10) 2 (1;12) 4 (1;12) 4 (1;30)
Sebagian besar subjek hipertensi memiliki frekuensi konsumsi makanan berlemak yang tergolong sering (81.3%) dengan kisaran 2.3 hingga 27.8 kali/minggu dan nilai median sebesar 11.9 kali/minggu. Subjek hipertensi sebagian besar memiliki frekuensi konsumsi makanan berlemak yang tergolong sering (78.5%) dengan kisaran 1.5 hingga 27.5 kali/minggu dan nilai median sebesar 12.0 kali/minggu. Hasil ini cukup berbeda dengan Riskesdas tahun 2013 yang menunjukan proporsi penduduk berusia 10 tahun keatas yang tidak sering (< 7 kali/ minggu) mengonsumsi makanan berlemak lebih besar dibandingkan yang sering mengonsumsi makanan berlemak (61.9%). Perbedaan tersebut mungkin disebabkan karena perbedaan usia subjek penelitian atau bahkan dapat berarti adanya peningkatan tren konsumsi makanan berlemak dikalangan masyarakat. Frekuensi konsumsi makanan berlemak disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi makanan berlemak Frekuensi konsumsi Hipertensi Non Hipertensi Total n % n % n % Tidak sering 6 18.8 14 21.5 20 20.6 Sering 26 81.3 51 78.5 77 79.4 Total 32 100 65 100.0 97 100.0
Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Tingkat kecukupan energi Energi merupakan zat gizi yang juga dapat diperoleh dari pangan sumber lemak, karbohidrat, dan protein. Kelebihan asupan energi tanpa diimbangi dengan
31
aktifivas fisik dan olahraga yang cukup akan menyebabkan peningkatan berat badan karena kelebihan energi tersebut akan disimpan sebagai lemak yang akhirnya menyebabkan obesitas atau kegemukan (WHO 2000). Kisaran asupan energi subjek hipertensi yaitu 836-2259 kkal dengan rata-rata 1777 ± 379.41 kkal. Kisaran asupan energi subjek non hipertensi yaitu 1269 – 2430 kkal dengan rata-rata sebesar 1705 ± 282.79 kkal. Sebagian besar subjek hiperensi memiliki tingkat kecukupan energi (TKE) yang tergolong normal (31.2%) dan hanya sebagian kecil yang tergolong defisit berat atau lebih (12.5%). Subjek non hipertensi sebagian besar tergolong defisit berat (27.7%) dan hanya sebagian kecil yang tergolong lebih (4.6%). Tabel 22 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi Kategori TKE Defisit berat <70% Defisit sedang 70-79% Defisit ringan 80-89% Normal 90-110% Lebih >110% Total
Hipertensi n % 4 12.5 6 18.8 8 25 10 31.2 4 12.5 32 100
Non Hipertensi n % 18 27.7 14 21.5 16 24.6 14 21.5 3 4.6 65 100
Total n 22 20 24 24 7 97
% 22.7 20.6 24.7 24.7 7.2 100
Tingkat kecukupan protein Protein merupakan zat gizi makro berupa ranta-rantai panjang asam amino, yang terikat satu sama lain oleh ikatan peptida. Bagian organ tubuh yang penting sebagian besar tersusun oleh protein seperti otot, tulang, kulit dan organ penting lainnya. Fungsi protein bagi tubuh yaitu sebagai zat pembangun, enzim atau transporter, hormon, asam nukleat dan pada kondisi khusus bertindak sebagi sumber energi (Almatsier 2009). Tingkat keckupan protein subjek dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan protein TKP Hipertensi Non Hipertensi Total n % n % n % Defisit berat <70% 4 12.5 4 6.2 8 8.2 Defisit sedang 70-79% 2 6.3 9 13.8 11 11.3 Defisit ringan 80-89% 2 6.3 12 18.5 14 14.4 Normal 90-110% 10 31.3 15 23.1 25 25.8 Lebih >110% 14 43.8 25 38.5 39 40.2 Total 32 100 65 100 97 100 Asupan protein subjek non hipertensi berada pada kisaran 35.6 – 140.6 g dengan rata-rata sebesar 57.6 ± 16.3 gram. Kisaran asupan protein subjek hipertensi yaitu 28.9-86.3 g dengan rata-rata 57.5 ± 14.1 gram. Baik subjek hipertensi dan non hipertensi sebagian memiliki tingkat kecukupan protein (TKP) yang tergolong lebih (43.8% dan 38.5%). Hal ini dikarenakan tingginya jumlah konsumsi pangan hewani sumber protein seperti ikan dan telur yang banyak tersedia di lingkungan tempat tinggal subjek. Kekurangan asupan protein dari makanan dapat menyebabkan terjadinya penurunan massa otot, namun kelebihan asupan protein pada akhirnya dapat memicu kegemukan. Dalam keadaan berlebih protein akan mengalami
32
deaminase atau pelepasan gugus amino (NH2) dari asam amino. Nitrogen akan dikeluarkan dari tubuh dan sisa-sisa ikatan karbon kemudian diubah menjadi Asetil KoA. Asetil KoA selanjutnya akan disintesis menjadi trigliserida melalui proses lipogenesis (Tornheim & Ruderman 2011). Asupan protein berlebih dari makanan selain berperan penting bagi tubuh, sebagian besar dari jumlah yang berlebihan ini akan disimpan sebagai lemak dan dapat menyebabkan obesitas. Tingkat kecukupan lemak Lemak merupakan zat gizi yang menyumbang energi paling banyak dibandingkan karbohidrat dan protein. Asupan lemak yang tinggi dapat mengakibatkan peningkatan simpanan lemak tubuh yang lebih banyak, sehingga risiko kegemukan menjadi lebih tinggi (Almatsier 2009). Rata-rata asupan lemak subjek hipertensi lebih besar dibandingkan subjek non hipertensi. Rata-rata asupan lemak subjek hipertensi yaitu 61.7 ± 14.1, sedangkan rata-rata asupan lemak subjek non hipertensi yaitu 58.2 ± 14.4 gram. Asupan lemak subjek hipertensi berada pada kisaran 22.5-103.3 gram dan subjek non hipertensi berada pada kisaran 22.9-105.6 gram. Sebagian besar subjek hipertensi dan non hipertensi memiliki tingkat kecukupan lemak (TKL) yang tergolong cukup sebesar 62.5% dan 73.8% (Tabel 24). Sebagian besar subjek jarang mengolah makanan dengan di goreng, sehingga asupan lemak yang berasal dari minyak tidak terlalu banyak. Pangan berlemak yang banyak dikonsumsi subjek sebagian berasal dari gorengan atau kue goreng yang biasa menjadi pangan sarapan. Tabel 24 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan lemak TKL Cukup (20-30%) Lebih (>30%) Total
Hipertensi n % 20 62.5 12 37.5 32 100
Non Hipertensi n % 48 73.8 17 26.2 65 100
Total n % 68 70.1 29 29.9 97 100
Asupan kalium Kalium merupakan kation utama di dalam cairan intraseluler. Kalium, natrium, dan air memegang peranan penting untuk menjaga keseimbangan elektolit tubuh. Natrium dan kalium merupakan ion penting di ginjal untuk regulasi keseimbangan asam-basa. Cara kerja kalium adalah kebalikan dari natrium dimana konsentrasi kalium yang banyak di dalam cairan intraseluler akan cenderung menarik cairan di bagian ekstraseluler. Level inon K+ di dalam sel dapat dipengaruhi oleh insulin, aldosteron, β-adrenergik, abnormalitas asam basa, lisis sel, dan olahraga berat. Pengaturan tersebut melibatkan redistribusi sel, regulasi jangka panjang yang melibatkan eksresi dan reabsorpsi ginjal terutama ion natrium dan kalium, sehingga hal ini dapat membantu menurunkan tekanan darah (Pohl et al. 2013). Anjuran asupan kalium dalam sehari untuk wanita dewasa sebesar 4700 mg (WNPG 2012). Baik subjek hipertensi maupun non hipertensi memiliki ratarata yang masih kurang dari angka kecukupan kalium. Rata-rata asupan kalium subjek hipertensi yaitu 1532.3 ± 617.9 mg dengan kisaran 564.4 -3308.4 mg. Ratarata asupan kalium subjek non hipertensi sebesar 1488.7 ± 1197.3 mg dengan kisaran 721.2-10 438.1 mg.
33
Seluruh subjek hipertensi memiliki kecukupan kalium yang masih kurang dari yang dianjurkan (4700 mg) dan hampir seluruh subjek non hipertensi (98.5%) belum mencukupi anjuran asupan kalium harian. Hal ini karena kurangnya asupan pangan sumber kalium seperti sayur dan buah. Menurut Dalimartha et al. (2008) buah-buahan dan sayuran segar merupakan pangan terbaik yang dapat menjadi sumber kalium yang dapat menurunkan tekanan darah. Subjek sebagian besar banyak mengonsumsi pangan sumber protein terutama ikan dan juga pangan sumber karbohidrat berupa nasi. Asupan kalium subjek dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 25 Sebaran subjek berdasarkan anjuran asupan kalium Anjuran asupan kalium ≤4700 mg >4700 mg Total
Hipertensi n % 32 100.0 0 0.0 32 100
Non Hipertensi n % 64 98.5 1 1.5 65 100
Total n % 96 99.0 1 1.0 97 100
Asupan natrium Asupan natrium berlebih membuat pembuluh darah pada ginjal menyempit dan menahan aliran darah. Ginjal akan memproduksi hormon renin-angiotensin agar pembuluh darah utama mengeluarkan tekanan darah yang lebih besar besar, sehingga pembuluh darah pada ginjal mengalirkan darah yang cukup (Pohl et al. 2013). Hal ini dalam jangka waktu lama akan menyebabkan kerusakan ginjal dan memicu terjadinya hipertensi sekunder. Asupan natrium yang dihitung merupakan kandungan natrium yang berasal dari makanan yang dikonsumsi dan natrium yang berasal dari bumbu-bumbu. Rata-rata asupan natrium subjek hipertensi lebih besar dibandingkan rata-rata asupan natrium subjek non hipertensi. Rata-rata asupan natrium subjek hipertensi sebesar 2292.2 ± 676.1 mg dengan kisaran 1234.9 4513.6 mg, sedangkan rata-rata asupan natrium subjek non hipertensi yaitu 2087.0 ± 5 84.2 mg dengan kisaran 785.9 - 3764.6 mg. Rata-rata asupan natrium subjek hipertensi lebih tinggi dibanding subjek non hipertensi dikarenakan konsumsi makanan tinggi natrium seperti mie instan. Menurut Almatsier (2006), kecukupan natrium dalam sehari antara 5002400 mg per hari, sedangkan menurut WNPG (2012), angka kecukupan natrium untuk wanita dewasa yaitu 1500 mg. Menurut US Department of Health and Human Services (2006), asupan natrium sebesar 1500 mg per hari dapat menurunkan tekanan darah lebih lanjut dan jumlah ini telah direkomendasikan oleh Institute of Medicine sebagai jumlah asupan harian yang dianjurkan. Baik subjek hipertensi maupun non hipertensi sebagian besar memiliki asupan natrium diatas 1500 mg dan hanya sebagian kecil yang kurang dari jumlah tersebut. Sebesar 90.6% subjek hipertensi memiliki asupan natrium diatas 1500 mg dan sebesar 83.1% subjek non hipertensi yang memiliki asupan lebih dari 1500 mg natrium. Subjek hipertensi yang memiliki asupan natrium dibawah 1500 mg sebesar 9.4% dan subjek non hipertensi sebesar 16.9%. Asupan natrium subjek dapat dilihat pada Tabel 26.
34
Tabel 26 Sebaran subjek berdasarkan anjuran asupan natrium Hipertensi Non Hipertensi Total Anjuran asupan natrium n % n % n % ≤1500 mg 3 9.4 11 16.9 14 14.4 >1500 mg 29 90.6 54 83.1 83 85.6 Total 32 100 65 100 97 100
Status Gizi Status gizi adalah kondisi tubuh sebagai akibat dari asupan, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama (Supariasa et al. 2002). Kelebihan atau kekurangan gizi pada orang dewasa dapat menjadi masalah penting karena erat hubungannya dengan risiko kejadian penyakit-penyakit tertentu. Kekurangan gizi akan berdampak pada kehilangan berat badan yang ekstrim, kehilangan jaringan otot, dan rentan terhadap infeksi penyakit. Kelebihan gizi akan mengakibatkan peningkatan komposisi lemak tubuh hingga menjadi obesitas dan rentan terhadap penyakit yang berhubungan dengan kelebihan gizi seperti penyakit jantung dan diabetes (Rofles et al. 2008). Penilaian status gizi pada individu dapat menggunakan empat metode yaitu historical information, antropometri, pemeriksaan fisik, dan laboratorium (Rofles et al. 2008). Antropometri merupakan teknik yang digunakan untuk mengukur ukuran tubuh seperti berat badan, tinggi badan, dan lingkar perut. Data berat badan dan tinggi badan digunakan untuk klasifikasi status gizi dengan menggunakan indeks masa tubuh (IMT), sedangkan lingkar perut digunakan untuk mengetahui status obesitas sentral. Indeks Masa Tubuh (IMT) Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan salah satu cara yang paling sederhana untuk mengukur status gizi. Menurut Supariasa et al. (2002), penggunaan status gizi dengan menggunakan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa di atas 18 tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan. IMT juga tidak dapat diterapkan pada seseorang dengan keadaan penyakit khusus seperti edema, asites, dan hepatomegali. Sebaran status gizi subjek menurut IMT disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Sebaran subjek berdasarkan kategori IMT Kategori Underweight Normal Overweight/ At Risk Obesitas I Obesitas II Total
Hipertensi n % 0 0.0 8 25.0 2 6.3 11 34.4 11 34.4 32 100
Non Hipertensi n % 2 3.1 18 27.7 15 23.1 20 30.8 10 15.4 65 100
Total n 2 26 17 31 21 97
% 2.1 26.8 17.5 32.0 21.6 100
35
Rata-rata IMT subjek hipertensi sebesar 27.7 ± 4.99 kg/m2 dengan kisaran 19.9-36.3 kg/m2, sedangkan rata-rata IMT subjek non hipertensi sebesar 25.2 ± 4.24 kg/m2 dengan kisaran 16.9-36.3 kg/m2. Subjek hipertensi sebagian besar memiliki status gizi lebih yaitu obesitas I dan obesitas II (34.4%), serta tidak ada subjek yang tergolong underweight. Subjek non hipertensi sebagian besar tergolong obesitas I (30.8%) dan hanya sebagian kecil yang tergolong underweight (3.1%). Sebagian besar status gizi seluruh subjek tergolong gizi lebih yaitu sebanyak 17.5% subjek tergolong overweight, 32.0% subjek tergolong obesitas I, dan 21.6% subjek tergolong obesitas II. Subjek yang tergolong normal sebesar 26.8% dan yang tergolong underweight atau gizi kurang sebesar 2.1%. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanum (2014) bahwa lebih dari separuh pekerja garmen wanita di Bogor memiliki status gizi obese I (49%), dan hanya sebagian kecil yang tergolong underweight (2%). Hasil Riskesdas 2013 menunjukan bahwa berdasarkan indikator IMT >25 prevalensi obesitas pada laki-laki sebesar 19.7 persen dan perempuan 32.9 persen. Hal ini menunjukkan kejadian obesitas pada perempuan lebih besar dibandingkan pada laki-laki. Penelitian oleh Yadav et al. (2008) mengatakan bahwa subjek dengan obesitas atau overweight memiliki risiko kejadian hipertensi 2.2 kali lebih tinggi dibanding subjek yang memiliki status gizi normal (CI= 95%; 1.5-3.1; P<0.001). Lingkar Perut Obesitas dibagi menjadi dua jenis berdasarkan distribusi lemak yaitu obesitas umum (general obesity) dan obesitas sentral (central obesity) (WHO 2000). Obesitas umum ditentukan berdasarkan komposisi lemak total diseluruh bagian tubuh. Obesitas sentral ditentukan berdasarkan besarnya penumpukan lemak dibagian perut atau abdominal (abdominal obesity). Obesitas sentral telah lama diketahui sebagai faktor risiko yang dapat meningkatkan munculnya berbagai penyakit degeneratif, seperti diabetes tipe 2, hipertensi dan penyakit jantung (IDF 2006). Lingkar perut merupakan cara yang paling sering digunakan dalam penelitian karena cara ini lebih mudah dilakukan dan diinterpretasikan dibandingkan dengan rasio lingkar pinggang perut (IDF 2006). Menurut LemosSantos et al. (2004) lingkar perut/pinggang merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan rasio lingkar pinggang panggul untuk memprediksi faktor risiko penyakit kardiovaskular akibat penumpukan lemak di bagian abdominal. Baik lingkar perut dan rasio lingkar pinggang panggul keduanya memiliki hubungan yang kuat dalam memprediksi risiko penyakit kardiovaskular dibandingkan IMT (Yusuf et al. 2005). Rendahnya kesalahan (error) serta kemudahan dalam pengukuran dan interpretasi menjadi alasan pemilihan cara mengukur lemak abdominal dengan indikator lingkar perut. Sebaran subjek berdasarkan lingkar perut dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Sebaran subjek berdasarkan kategori lingkar perut Hipertensi Non Hipertensi Total Kategori n % n % n % Normal 8 25.0 18 27.7 26 26.8 Obesitas sentral/berisiko 24 75.0 47 72.3 71 73.2 Total 32 100 65 100 97 100
36
Subjek hipertensi sebagian besar tergolong obesitas sentral dengan persentase sebesar 75%. Rata-rata lingkar perut subjek hipertensi yaitu 92.2 ± 12.2 cm dengan kisaran 64-110 cm. Lebih dari setengah subjek non hipertensi tergolong obesitas sentral (72.3%). Rata-rata lingkar perut subjek non hipertensi yaitu 86.9±9.8 cm dengan kisaran 61-113 cm. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa prevalensi obesitas sentral pada ibu rumah tangga di Desa Pemali tergolong tinggi. Hasil Riskesdas 2013 menyebutkan prevalensi obesitas sentral secara nasional sebesar 26.6%. Angka tersebut lebih tinggi dari prevalensi obesitas sentral pada tahun 2007 (18.8%). Prevalensi obesitas sentral di Bangka Belitung lebih tinggi pada perempuan (52.8%) dibandingkan laki-laki (13.2%). Obesitas sentral diketahui berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian hipertensi sebesar 4.1 kali (CI 95%: 2.6-6.4; p<0.001). Subjek dengan status IMT normal tetapi mengalami obesitas sentral memiliki risiko hipertensi sebesar 3.4 kali dibandingkan subjek yang tidak mengalami obesitas sentral (CI 95%: 1.5-7.6); p=0.003) (Yadav et al. 2008).
Hubungan Karakteristik Subjek dengan Kejadian Hipertensi Berdasarkan uji korelasi Spearman terhadap hubungan usia dengan kejadian hipertensi diketahui bahwa kejadian hipertensi cenderung meningkat pada usia yang lebih tinggi. Nilai signifikansi p = 0.005 yang menunjukan adanya hubungan signifikan antara usia dengan kejadian hipertensi (p < 0.05). Terdapat hubungan positif yang tergolong lemah antara kedua variabel tersebut dengan r = 0.282. Hasil ini sejalan dengan sebuah studi di China yang menunjukan bahwa hipertensi lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dan mengalami peningkatan prevalensi dengan adanya peningkatan usia ≥ 45 tahun (Wang et al. 2014). Hasil Riskesdas (2013) menunjukan prevalensi hipertensi meningkat dengan bertambahnya umur dan cenderung lebih tinggi pada perempuan dari pada laki-laki mulai usia 35 tahun. Aisyiyah (2009) menyebutkan semakin meningkatnya usia maka kejadian hipertensi semakin meningkat (p < 0.05; r = 0.327). Semakin bertambah usia maka pembuluh darah akan kehilangan elastisitasnya dan akan mengalami penumpukan plak lemak pada pembuluh darah, namun darah tetap dipaksakan melewati pembuluh darah yang menyempit sehingga tekanan darah menjadi tinggi. (Gupta & Kasliwal 2004). Terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan per kapita dengan kejadian hipertensi. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman nilai signifikansi p = 0.022 dengan korelasi negatif yang lemah (r = -0.232). Hasil tersebut menunjukan bahwa pendapatan perkapita yang semakin rendah akan meningkatkan kejadian hipertensi. Adhitomo (2014) menyebubutkan bahwa hipertensi lebih banyak terjadi pada kelompok dengan pendapatan rendah (45.8%) dibandingkan pendapatan sedang dan tinggi. Hal ini dapat dikarenakan faktor kurangnya biaya untuk memeriksakan diri secara teratur serta tekanan psikologis yang berkaitan dengan himpitan ekonomi. WHO (2013) menyebutkan hipertensi lebih banyak terjadi pada negara dengan pendapatan rendah (40%) dibandingkan yang berpendapatan tinggi (35%). Masyarakat dengan pendapatan rendah mungkin tidak memiliki akses pengobatan serta tidak dapat mengendalikan penyakit mereka dalam jangka panjang. Ekonomi yang tidak memadai akan menyebabkan pengobatan dan kontrol
37
yang tidak memadai untuk penanganan hipertensi karena pengobatan komplikasi hipertensi membutuhkan biaya yang mahal. Hasil uji Spearman menunjukan terdapat hubungan positif yang signifikan antara status menopause degan kejadian hipertensi. Nilai signifikansi p = 0.007 dengan korelasi positif yang lemah yaitu r = 0.274. Geraci dan Geraci (2013) menunjukan bahwa prevalensi kejadian hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki pada saat memasuki usia menopause. Zilberman et al. (2015) menunjukan bahwa kejadian hipertensi lebih banyak terjadi pada wanita yang sudah mengalami menopause dan terdapat hubungan yang signifikan antara menopause dengan kejadian hipertensi (p < 0.001). Wanita yang telah mengalami menopause tidak memproduksi hormon esterogen, sehingga peran estrogen terhadap pembuluh darah akan berkurang. Pertambahan usia pada wanita erat hubungannya dengan kejadian obesitas. Interaksi antara menopause, obesitas, dan sensitivitas garam pada kejadian hipertensi pada wanita telah diteliti secara ekstensif dapat berpengaruh terhadap kejadan hipertensi (Erdine 2012).
Hubungan Riwayat Kesehatan dengan Kejadian Hipertensi Riwayat kesehatan yang dihubungkan dengan kejadian hipertensi pada penelitian ini adalah riwayat keturunan hipertensi dan penggunaan kontrasepsi hormonal. Hasil uji korelasi Spearman menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat keturunan hipertensi dengan kejadian hipertensi. Nilai signifikansi p = 0.003 dan terdapat korelasi positif yang tergolong sedang (r = 0.302). Subjek yang memiliki riwayat keturunan hipertensi memiliki kecendrungan semakin tinggi mengalami kejadian hipertensi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yadav et al. (2008), riwayat keluarga hipertensi merupakan kontributor penting terjadinya hipertensi. Keluarga dengan riwayat hipertensi akan meningkatkan kejadian hipertensi sebesar 2.19 kali (95% Cl; 1.622.96; p<0.001). Ranasinghe et al. (2015) menyebutkan prevalensi hipertensi secara signifikan lebih tinggi pada subjek yang memiliki riwayat keturunan hipertensi (p < 0.001). Subjek dengan riwayat keturunan hipertensi memiliki risiko 1.29 kali mengalami hipertensi (OR: 1.29; 95%CI: 1.13-1.47). Sheps (2005), mengemukankan bahwa hipertensi merupakan penyakit keturunan dengan kemungkinan menurunkan 25% apabila salah satu orang tua mengalami hipertensi, menurunkan sebesar 60% apabila kedua orang tua mengalami hipertensi. Keluarga dengan riwayat penyakit degeneratif seperti penyakit cardiovaskular, stroke, dislipidemia, penyakit ginjal, dan diabetes melitus cenderung memiliki peluang terkena hipertensi lebih tinggi. Penelitian oleh Chobabian et al. (2003) dalam JNC VII juga mengatakan genetik merupakan faktor risiko hipertetensi walaupun penyebabnya belum jelas. Hasil uji Spearman terhadap variabel penggunaan kontasepsi hormonal dengan kejadian hipertensi menunjukan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p = 0.228). Hasil penelitian ini sejalan penelitian yang dilakukan oleh Yeni et al. (2010) yang melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada wanita usia subur di Puskesmas Umbulharjo I Yogyakarta tahun 2009. Hasil penelitian tersebut menunjukan tidak terdapat
38
hubungan yang signifikan antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian hipertensi (p = 0.608). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan Park dan Kim (2013) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0.001) antara lamanya penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian hipertensi. Penggunaan kontrasepsi hormonal selama lebih dari 2 tahun akan meningkatkan risiko kejadian hipertensi sebesar 1.96 kali (95% CI; 1.03-3.73). WHO (2015) menjelaskan tidak semua wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal atau kombinasi kontasepsi hormonal dan non hormonal selalu berhubungan dengan hipertensi. Beberapa faktor dapat mempengaruhi peningkatan tekanan darah pada wanita yang menggunakan kontasepsi hormonal seperti usia, lama waktu penggunaan kontrasepsi hormonal, dosis dan jenis hormon yang digunakan. Selain itu, banyaknya jumlah subjek hipertensi yang sudah mengalami menopause dan tidak menggunakan kontrasepsi hormonal mungkin dapat menjadi penyebab hubungan yang tidak signifikan antar dua variabel tersebut.
Hubungan Gaya Hidup dengan Kejadian Hipertensi Variabel gaya hidup yang dilakukan uji hubungan dengan kejadian hipertensi yaitu kebiasaan olahraga dan kebiasaan minum kopi. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan olahraga dengan kejadian hipertensi (p = 0.585). Hasil ini sejalan dengan Hanum (2014) yang meyatakan tidak ada hubungan signifikan antara kebiasaan olahraga dengan kejadian hipertensi (p > 0.05). Hasil ini tidak sesuai dengan oleh Erem et al. (2009), aktivitas fisik yang rendah erat hubungannya dengan kejadian hipertensi. Prevalensi hipertensi meningkat dengan adanya penurunan aktivitas fisik (p<0.001). Menurut Zhang dan Li (2011), subjek yang melakukan olaraga ≥3 kali/ minggu menunjukan penrunan risiko hipertensi (0.35) secara signifikan dibandingkan mereka yang terbiasa berolahraga <3 kali/ minggu dengan durasi minimal 30 menit. Hasil uji korelasi sperman terhadap hubungan antara kebiasaan minum kopi dengan kejadian hipertensi menunjukan tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan nilai signifikansi p = 0.731 dan nilai r = 0.035. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanum (2014), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan minum kopi dengan kejadian hipertensi (p>0.05) korelasinya sangat lemah (r = 0.008). Zhang et al. (2011), menyebutkan bahwa risiko hipertensi meningkat sampai konsumsi kopi 3 cangkir/hari (1 cangkir = 237 ml) dan kemudian akan sedikit menurun pada jumlah konsumsi yang lebih tinggi. Seseorang yang biasa minum kopi dengan dosis kecil mempunyai adaptasi lebih rendah terhadap efek kafein daripada orang yang biasa mengonsumsi kopi dengan dosis besar.
Hubungan Kebiasaan Konsumsi Makanan dengan Kejadian Hipertensi Kebiasaan konsumsi makanan yang dianalisis yaitu frekuensi makanan tinggi natrium, frekuensi penambahan bumbu-bumbu ketika makan, serta frekuensi makan makanan berlemak. Berdasarkan hasil uji Spearman antara frekuensi
39
konsumsi makanan tinggi natrium dengan kejadian hiertensi diperoleh hubungan yang tidak signifikan dengan nilai p = 0.156. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wang et al.(2014), menyebutkan bahwa konsumsi makanan yang mengandung garam tinggi secara signifikan berhubungan dengan kejadian hipertensi (p=0.003). Aisyiyah (2009) menyebutkan terdapat hubungan nyata positif antara konsumsi makanan tinggi natrium dengan kejadian hipertensi. Hasil uji Spearman terhadap frekuensi penambahan bumbu-bumbu dengan kejadian hipertensi menunjukan tidak adanya hubungan yang signifikan (p = 0.562). Hubungan antara jumalah konsumsi garam subjek dengan kejadian hipertensi juga menunjukan hasil yang tidak signifikan (p=0.268). Hasil ini tidak sejalan dengan Hanum (2014) yang menyebutkan terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi penambahan bumbu dengan kejadian hipertensi (p = 0.036). Jumlah konsumsi garam yang dianjurkan untuk hidup sehat yaitu kurang dari 5 gram/kap/hari (WHO 2003). Penggunaan bumbu (garam, kecap, saus, dan vetsin) yang semakin sering akan meningkatkan kejadian hipertensi (Hanum 2014). Hanum (2014) juga menyebutkan bahwa subjek yang sering mengonsumsi makanan tinggi natrium memiliki peluang 10 kali lipat mengalami hipertensi dibandingkan subjek yang tidak mengonsumsi makanan tinggi natrium (OR = 10.035, 95% CI: 1.213-82.981). Variabel-variabel kebiasaan konsumsi makanan tidak menunjukan adanya hubungan signifikan dapat disebabkan oleh frekuensi yang hampir sama pada sebagian besar subjek. Beberapa kasus orang dengan hipertensi tidak mengalami kenaikan tekanan darah walaupun mengonsumsi garam yang tinggi (salt-resistant hypertension). Sekitar 30-50% penderita hipertensi dan 15-25% bukan penderita hipertensi mengalami sensitivitas garam yang tinggi, yang banyak ditemukan pada orang kulit hitam, obesitas, lanjut usia, diabetes, disfungsi ginjal, dan pengguna obat cyclosporine (Johnson et al. 2002). Hasil uji Spearman terhadap frekuensi konsumsi makanan berlemak dengan kejadian hipertensi menunjukan tidak adanya hubungan yang signifikan dan berkorelasi positif yang sangat lemah (p = 0.956, r = 0.006). Hasil ini sejalan dengan Hanum (2014), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi makanan berlemak dengan kejadian hipertensi (p >0.05). Hasil ini tidak sesuai dengan Ralston et al. (2012), terdapat hubungan antara konsumsi makanan olahan susu tinggi lemak dengan kejadian hipertensi (OR 1.0 95% CI 0.89-1.1). Hubungan frekuensi konsumsi makanan berlemak dengan kejadian hipertensi menunjukan hasil yang tidak signifikan dapat disebabkan karena sebaran data yang tidak normal dan sebagian besar subjek memiliki frekuensi yang hampir sama. Selain itu, asupan lemak yang diperoleh dari kebiasaan konsumsi makanan berlemak membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat menyebabkan hipertensi. Sebagian besar subjek mungkin belum mengarah pada munculnya kejadian hipertensi akibat konsumsi makanan berlemak.
Hubungan Tingkat Kecukupan Lemak, Kalium, dan Natrium dengan Kejadian Hipertensi Zat gizi yang dianalisis tingkat kecukupannya dengan kejadian hipertensi adalah lemak, natrium, dan kalium. Zat gizi tersebut diketahui telah berhubungan
40
dengan kebiasaan konsumsi makanan berlemak, makanan tinggi natrium, serta konsumsi buah dan sayur. Hasil uji Spearman menunjukan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan lemak dengan kejadian hiprtensi (p = 0.453, r = 0.077). Hasil ini tidak sejalan dengan Castillon et al. (2007), di Spanyol menunjukkan bahwa makanan berlemak berhubungan dengan obesitas pada wanita sebesar 1.25 (CI 95%: 1.11,1.41; P<0.001) dan hubungan dengan obesitas sentral pada wanita sebesar 1.27 (1.13,1.42; P<0.001). Makanan tinggi lemak berhubungan positif dengan kejadian obesitas umum dan obesitas sentral. Status gizi berlebih kemudian akan berpengaruh terhadap kesehatan pembuluh darah dimana kelebihan lemak akan menimbulkan plak di pembuluh darah. Hal ini kemudian akan menjadi risiko terjadinya hipertensi. Hasil uji Spearman menunjukan bahwa subjek yang memiliki asupan natrium berlebih mengalami kejadian hipertensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang memiliki kategori cukup, namun tidak terdapat hubungan yang signifikan dan berkorelasi positif yang lemah (p = 0.382, r = 0.90). Hasil ini sejalan dengan Hanum (2014) yang menyebutkan kejadian hipertensi lebih tinggi pada subjek dengan tingkat kecukupan natrium yang berlebih, namun hubungan ini tidak signifikan (p . 0.05, r = 0.039). Hasil ini tidak sesuai dengan Jannah et al. (2013) yang menjelaskan adanya hubungan signifikan (p<0.05) antara asupan natrium dengan tekanan darah tinggi (hipertensi). Natrium yang dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan akan meningkatkan konsentrasinya di dalam cairan ekstraseluler. Peningkatan volume cairan ekstraseluler tersebut dapat meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada jantung yang memompa lebih kuat dan tekanan darah menjadi naik (Pohl et al. 2013). Hasil uji Spearman menunjukan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan kalium dengan kejadian hipertensi (p = 0.911, r = -0.11). Hasil ini tidak sesuai dengan Hajjar et al. (2001) yang melakukan analisisi data NHANES-III untuk melihat hubungan faktor asupan zat gizi dengan tekanan darah. Hasil penelitian tersebut menunjukan tekanan darah sistolik secara positif berhubungan dengan tingginya asupan natrium, alkohol dan asupan protein (p < 0.05) dan berhubungan negatif dengan asupan kalium (p = 0.003). Tekanan darah diastolik berhubungan negatif dengan asupan kalium dan alkohol (p < 0.001). Kalium dan natrium memiliki fungsi untuk menjaga homeostatis elektrolit tubuh. Peningkatan asupan natrium dalam jumlah besar dapat meningkatkan eksresi kalium untuk menurunkan kadar natrium, sehingga jumlah kalium plasma akan menurun (Pohl et al. 2013). Hal ini yang menyebabkan pentingnya kecukupan kalium untuk menjaga tekanan darah tetap normal.
Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Hipertensi Indikator status gizi yang dilakukan uji hubungan dengan kejadian hipertensi yaitu IMT dan lingkar perut. Hasil uji korelasi Spearman terhadap hubungan antara IMT dengan kejadian hipertensi menunjukan adanya hubungan yang signifikan (p = 0.023) dan korelasi positif yang lemah (r = 0.231). Hal ini berarti semakin tinggi IMT, maka kejadian hipertensi semakin tinggi. Hasil ini sejalan dengan Tesfaye et al. (2007), menyatakan bahwa terdapat hubungan linear antara IMT dan tekanan darah ditemukan pada negara-negara berkembang seperti
41
Indonesia, Ethiopia, dan Vietnam. Risiko hipertensi pada orang yang overweight dan obesitas (IMT≥25.0) lebih tinggi di Indonesia (OR=7.68, 95% CI: 3.88-15.0), di Ethiopia (OR= 2.47, 95% CI: 1.42-4.29) dan Vietnam (OR=2.67, 95% CI: 1.754.08). Penelitian oleh Yadav et al. (2008), mengatakan bahwa subjek dengan obesitas atau overweight memiliki risiko kejadian hipertensi 2.2 kali lebih tinggi dibanding subjek yang memiliki status gizi normal (CI= 95%; 1.5-3.1; P<0.001). Hanum (2014) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif cukup kuat dimana semakin tinggi nilai IMT seseorang maka semakin meningkat kejadian hipertensinya, dan berhubungan signifikan secara statistik (p = 0.012, r = 0.329). Terdapat hubungan yang signifikan antara lingkar perut dengan kejadian hipertensi. Nilai signifikansi berdasarkan uji Spearman yaitu p = 0.008 dengan nilai r = 0.267 yang menunjukan adanya korelasi positif yang lemah. Semakin tinggi lingkar perut, maka semakin tinggi kejadian hipertensi. Hasil ini sejalan dengan Yadav et al. (2008), obesitas sentral juga diketahui berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian hipertensi sebesar 4.1 kali (CI 95%: 2.6-6.4; p<0.001). Subjek dengan status IMT normal tetapi mengalami obesitas sentral memiliki risiko hipertensi sebesar 3.4 kali dibandingkan subjek yang tidak mengalami obesitas sentral (CI 95%: 1.5-7.6); p=0.003). Obesitas sentral erat hubungannya dengan resistensi insulin dan sindrom metabolik. Orang yang tergolong obesitas sentral lebih berisiko mengalami cardiovascular desease termasuk hipertensi (IDF 2006). Obesitas merupakan keadaan patologis sebagai akibat dari konsumsi makanan yang jauh melebihi kebutuhannya, sehingga terjadi peningkatan berat badan akibat penimbunan lemak yang berlebihan dari apa yang diperlukan untuk fungsi tubuh. Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi, diabetes tipe 2, dislipidemia, dan aterosklerosis (Silbernagl & Lang 2000). Penimbunan lemak yang terjadi pada pembuluh darah terutama pada bagian jantung akan menyebabkan adanya penimbunan plak lemak pada dinding pembuluh darah. Akibatnya aliran darah menjadi tidak lancar dan menyebabkan peningkatan tekanan darah untuk menyuplai darah yang cukup. Dalam jangka panjang hal tersebut dapat menyebabkan pecahnya pebuluh darah dan dapat menyebabkan stroke. Apabila hal tersebut terjadi pada pembuluh darah jantung, maka akan memicu terjadinya CVD seperti jantung koroner (Silbernagl & Lang 2000).
Faktor Risiko Hipertensi Uji pengaruh dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik berganda dengan metode backward LR. Metode backward merupakan metode regresi yang baik karena dalam metode ini variabel dependent memilih variabel indipendent dari sekian banyak variabel yang tersedia dalam data (Samosir et al. 2014). Hasil uji regresi logistik berganda untuk variabel yang secara signifikan berhubungan dengan kejadian hipertensi pada penelitian ini disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Hasil linear berganda terhadap kejadian hipertensi Model B Signifikansi Sig. Usia 5.99 0.003 IMT 3.26 0.025 0.796 Riwayat keturunan 2.71 0.050
42
Nilai signifikansi 3 variabel yang berpengaruh yaitu usia sebesar 0.003, IMT sebesar 0.025, dan riwayat keturunan hipertensi sebesar 0.050. Nilai sig. pada Hosmer and Lameshow Test sebesar 0.796 yang berarti persamaan yang diperoleh memiliki kalibrasi yang baik. Variabel yang berpengaruh paling kuat hingga kurang kuat yaitu usia (OR= 5.99, CI= 95%, p=0.003), IMT (OR= 3.26, CI= 95%, p=0.025), dan riwayat keturunan hipertensi (OR= 2.71, CI= 95%, p=0.050). Hal tersebut berarti peningkatan usia diatas 45 tahun akan meningkatkan resiko hipertensi sebesar 5.99 kali, peningkatan IMT diatas 25 kg/m2 akan meningkatkan kejadian hipertensi sebesar 3.26 kali, dan adanya riwayat keturunan dapat meningkatkan kejadian hipertensi sebesar 2.71 kali. Hasil penelitian ini sesuai dengan Manimunda et al.(2010), yang menunjukan adanya pengaruh usia dan obesitas dengan kejadian hipertensi. Peningkatan usia diatas 40 tahun akan meningkatkan risiko hipertensi sebesar 4.39 kali (CI= 95%, p<0.001) dan status gizi obesitas akan meningkatkan kejadian hipertensi sebesar 4.10 (CI= 95%, p<0.001). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yadav et al. (2008), riwayat keluarga hipertensi merupakan kontributor penting terjadinya hipertensi. Keluarga dengan riwayat hipertensi akan meningkatkan kejadian hipertensi sebesar 2.19 kali (95% Cl; 1.622.96; p<0.0001).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Prevalensi hipertensi pada ibu rumah tangga di Desa Pemali sebesar 32.9%. Sebagian besar subjek hipertensi dan non hipertensi memiliki usia ≤45 tahun. Sebagian besar subjek sudah menikah (91.8%) dan sebagian besar tingkat pendidikan subjek adalah tamat SMA. Lebih dari 50% subjek memiliki besar keluarga yang tergolong kecil dengan rata-rata sebanyak 4 orang. Sebagian besar subjek hipertensi memiliki pendapatan perkapita yang tergolong pra sejahtera, sedangkan subjek non hipertensi sebagian besar tergolong sejahtera. Sebagian besar subjek belum mengalami menopause (80.4%). Sebagian besar subjek memiliki riwayat hipertensi berasal dari ibu dengan persentase sebesar 28.9%, sedangkan yang berasal dari ayah sebesar 12.4%. Riwayat hipertensi keluarga subjek dengan komplikasi yang berasal dari ayah sebesar 11.3% dan ibu sebesar 12.4%. Lebih dari separuh subjek menggunakan kontrasepsi hormonal berupa suntik, pil KB, dan implan (53.6%). Subjek sebagian besar tidak biasa berolahraga (75.3%). Durasi olahraga subjek sebagian besar tegolong rendah yaitu kurang dari 30 menit dan frekuensi olahraga subjek juga tergolong tidak sering (<3 kali/minggu). Jenis olahraga yang paling banyak dilakukan oleh subjek yaitu jogging. Lebih dari 50% subjek tidak biasa minum kopi (64.9%). Frekuensi minum kopi subjek sebagian besar tergolong rendah (≤1 cangkir/ hari). Sebagian besar subjek memiliki status gizi yang tergolong obesitas I dan obesitas II. Lebih dari separuh subjek tergolong obesitas sentral dengan rata-rata lingkar perut sebesar 92.2 ± 12.2 cm untuk subjek hipertensi dan 86.9 ± 9.8 cm
43
untuk subjek non hipertensi. Jenis makanan tinggi natrium yang paling sering dikonsumsi oleh subjek yaitu ikan asin, kerupuk asin, dan mie instant. Makanan berlemak yang paling sering dikonsumsi oleh subjek yaitu telur ayam dan gorengan. Sebagian besar subjek tergolong jarang menambahkan bumbu-bumbu (garam, saus, kecap) ketika makan dan sebagian besar tergolong sering menambahakan bumbubumbu ketika masak. Garam merupakan bumbu yang memiliki kontribusi natrium paling besar yaitu 114% dari kecukupan natrium per orang. Tingkat kecukupan natrium subjek sebagian besar tergolong >1500 mg dan sebagian besar tingkat kecukupan kalium subjek tergolong ≤4700 mg per hari. Variabel yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian hipertensi yaitu usia (p = 0.005, r = 0.282), status menopause (p = 0.007, r = 0.274), pendapatan (p = 0.22, r = -0.232), IMT (p = 0.023, r = 0.231), lingkar perut (p = 0.008, r = 0.267), dan riwayat keturunan hipertensi (p = 0.003, r = 0.302). Hasil uji regresi logistik berganda menunjukan adanya hubungan signifikan antara usia, IMT, dan riwayat keturunan hipertensi dengan kejadian hipertensi. Saran Bagi pemerintah daerah setempat penting melakukan promosi mengenai bahaya hipertensi dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya terutama kepada ibu rumah tangga di pedesaan yang sebagian besar jarang terlibat pada kegiatan promosi kesehatan. Bagi penelitian mendatang sebaiknya menanyakan mengenai lamanya penggunaan kontrasepsi hormonal dan lamanya berhenti menstruasi pada variabel status menopause serta perlu adanya penelitian lanjut mengenai variabel lainnya yang diduga menjadi faktor risiko hipertensi dengan menggunakan desain penelitian case control study agar lebih terlihat perbedaan antara kelompok kontrol dengan kelompok kasus hipertensi. Selain itu, tingginya angka obesitas sentral dari hasil penelitian ini dapat menjadi saran untuk melakukan penelitian tentang sindrom metabolik di Kabupaten Bangka.
44
DAFTAR PUSTAKA Adhitomo I. 2014. Hubungan antara pendapatan, pendidikan, dan aktivitas fisik pasien dengan kejadian hipertensi [tesis]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. Aisyiyah FN. 2009. Faktor Risiko Hipertensi pada Empat Kabupaten/Kota dengan Prevalensi Hipertensi Tertinggi di Jawa dan Sumatera [skripsi]. Bogor (ID): IPB. Almatsier S. 2009. Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID) : Gramedia. Anggara DHF, Prayitno N. 2013. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tekanan darah di Puskesmas Telaga Murni, Cikarang Barat tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan. Vol 5(1): Jan 2013. Ashraf MS, Vongpatanasin W. 2006. Estrogen and hypertension. Curr Hypertens Rep. 8:368–376. Awosan KJ, Ibrahim MTO, Essien E, Yusuf AA, Okolo AC. 2014. Dietary pattern, lifestyle, nutrition status and prevalence of hypertension among traders in Sokoto Central market, Sokoto, Nigeria. Int J Nutr Metab. 6(1):917.doi:10.5897/IJNAM2013.0158. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1997. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID): BKKBN. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka. 2015. Katalog Pemali Dalam Angka 2015. Bangka (ID): BPS Kabupaten Bangka. _________________________________________. 2013. Garis Kemiskinan menurut kabupaten/kota 2010-2013. Bangka (ID): BPS Kabupaten Bangka [Internet]. [diakses pada 6 Februari 2016]. Tersedia pada http:// bangkakab.bps.go.id/ linkTabelStatis/view/id/9 _________________________________________. 2012. Bangka Dalam Angka 2012. Bangka (ID): BPS Kabupaten Bangka. Castillon G et al. 2007. Intake of fried food is associated with obesity in the cohort of Spanish adults from the European prospective investigation into cancer and nurtrition. American Journal of Clinical Nutrition. 86(1):198-205. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. 2003. The Seventh Report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure: the JNC 7 report. Journal of the American Medical Association. 289:2560-72. Dahlan MS. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta (ID): Salemba Medika. Dalimartha, S. et al. 2008. Care Your Self Hipertension. Jakarta (ID): Penebar Plus. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2014. Infodatin Hipertensi. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI.
45
______________________________.2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2013. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI. ______________________________. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI. ______________________________. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta (ID) : Departemen Kesehatan RI. Erem C, Hacihasanoglu A, Kocak M, et al. 2009. Prevalence of prehypertension and hypertension and associated risk factors among Turkish adults: Trabzon Hypertension Study. J Public Health (Oxf). 31:47-58. Ezzati M, Lopez AD, Rodgers A, Vander Hoorn S, Murray CJ. 2002. Comparative Risk Assessment Collaborating Group. Selected major risk factors and global and regional burden of disease. Lancet. 360 : 1347-60. Firdaus A. 2014. Gaya hidup, pola konsumsi pangan, status gizi, dan produktivitas kerja penderita hipertensi dan non-hipertensi. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Geethavani G, Rameswarudu M, Reddy RR. 2014. Effect of caffeine on heart rate and blood pressure. International Journal of Scientific and Research Publications. 4 (2). ISSN 2250-3153. Geraci TS, Geraci SA. 2013. Consideration in woman with hypertension. Shoutern Medical Assosiation. 106(7):434-438.doi: 10.1097/SMJ.0b013e31829bad37. Gupta R, Kasliwal RR. 2004. Understanding systolic hypertension in the elderly. JAPI. Vol 52. Hajjar IM, Grim CE, George V, Kotchen TA. 2001. Impact of diet on blood pressure and agerelated changes in blood pressure in the US population: analysis of NHANES III. Arch Int Medicine. 161: 589-93. Hanum NH. 2014. Faktor risiko hipertensi pada pekerja garmen wanita [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hurst M. 2008.: Pathophysiology Review. New York (US): McGraw Hill. [IDF] International Diabetes Federation. 2006. The IDF consensus worldwide definition of the metabolic syndrome. Belgium (BE): Brussels. Jannah M, Sulastri D, Lestari Y. 2013. Perbedaan Asupan Natrium dan Kalium Pada Penderita dan Normotensi Masyarakat Etnik Minangkabau di Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2(3). [JNC VII] Joint National Committee VII. 2006. The seventh report of joint national commitee on prevention, detection, evaluatin, and treatment of high blood pressure. Journal of the American Medical Association. 289:2560-2571. Johnson RJ, Acosta JH, Schreiner GF, Iturbe BR. 2002. Subtle acquired renal injury as a mechanism of saltsensitive hypertension. N Eng J Med. 346: 913. Kementrian Kesehatan RI. 2013. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula,
46
Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. Jakarta (ID): Kementrian Kesehatan RI. Klag MJ, Wang NY, Meoni LA, Brancati FL, Cooper LA, Liang KY, Young JH, Ford DE. 2002. Coffe Intake and risk of hypertension. Arch Intern Med.Vol 162. doi: 10. 1001/archinte. 162.6.657. Krummel DA. 2004. Medical Nutrition Therapy in Hypertension. Di dalam: Mahan LK dan Escott-Stump S, editor. Food, Nutrition and Diet Therapy. USA: Saunders co. hlm. 900-918. Lemeshow S. 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Lemos-Santos MG, Valente JG, Goncalves-Silva RM, Sichieri R. 2004. Waist circumference and waist-to-hip ratio as predictors of serum concentration of lipids in Brazilian men. Nutrition. 20:857–62. MIMS. 2015. MIMS Indonesia: Petunjuk Konsultasi Ed. 14. Jakarta (ID): Bhuana Ilmu Populer. Manimunda SP, Sugunan AP, Benegal V, Balakrishna N, Rao MV, Pesala KS. 2010. Association of hypertension with risk factors and hypertension related behaviour among the aboriginal Nicobarese tribe living in Car Nicobar Islan, India. Indian J Med Res. 133: 287-293. Mutohir TC, Maksum A. 2007. Sport Development Index. Jakarta (ID): Index. Myers MG. 2004. Effect of caffeine on blood pressure beyond the laboratory. American Heart Association Journal. Vol 43: 724-725. doi: 10.1161/01.HYP. 0000120970.49340.33. [NICE] National Intitute for Health and Care Excellence. 2015. Menopause: Diagnosis and Management. United Kingdom (UK): NICE. Nuraini D. 2015. Risk factors of hypertention. J Majority. 4(5): 10-19. Park H, Kim K. 2013. Associations between oral contraceptive use and risks of hypertension and prehypertension in a cross sectional study of Korean women. BioMed Central. 13:39.doi: 10. 1186/1472-6874-13-39. Pohl HR, Wheeler JS, Murray HE. 2013. Sodium and Potasium in Health and Disease. Atlanta (US): Springer Science. Quasem I, Shetye MS, Alex SC, Kumar AN, Thankappan KR. 2001. Prevalence, awareness, treatment and control of hypertension among the elderly in Bangladesh and India: a mutlicentre study. Bulletin of the World Health Organization. 79:490-500. Ralston RA, Lee JH, Truby H, Palermo CE, Walker KZ. 2012. A systemic review and meta-analysis of eleveted blood pressure and consumption of diary foods. Journal of Human Hypertension. 26: 3-13. Ranasinghe P, Cooray DN, Jayawardena R, Katulanda P. 2015. The influence of family history of hypertension on desease prevalence and associated metabolic risk factors among Sri Lankan adults. BMC Public Health. 15:576.doi:10.1186/s 12889-015-1927-7.
47
Rifai A, Gulat MEM. 2003. Identifikasi Tingkat Konsumsi Pangan Masyarakat di Kabupaten Pelalawan [internet]. Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru (ID). SAGU, Maret 2003, Vol. 2 No. 3: 34-44 ISSN 1412-4424; [diunduh 2014 Okt 29]. Tersedia pada http://download.portalgaruda.org/ article.php?article=32207&val=2286. Rofles SR, Pinna K, Whitney E. 2008. Understanding Normal and Clinical Nutrition, Eight Edition. Canada (US):Wadsworth. Samosir N, Siagian P, Bangun P. 2014. Analisa metode backward dan metode forward untuk menentukan persamaan regresi linier berganda. Sainita Matematika: Vol. 2 No. 4. ISSN: 2337-9197. Sheps S. 2005. Mayo Clinic Hipertensi, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. Jakarta (ID): Duta Prima. Silbernagl S, Lang F. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. New York (US): Thieme. Speroff L, Glass RH, Kase NG. 1999. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility 6th edition. New York (US): Lippincott Williams & Wilkins. Suharyadi, Purwanto SK. 2009. Statistika: Untuk Ekonomi dan Keuangan Modern, Edisi 2 Buku 2. Jakarta (ID): Salemba Empat. Supariasa IDM et al. 2002 . Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): EGC. Tesfaye F et al. 2007. Association between body mass index and blood pressure across three population in Africa and Asia. J of Human Hypertension. 21: 2837. Tornheim K, Ruderman NB. 2011. Intermediary Metabolism of Carbohydrate, Protein, and Fat. Boston (US): Springer Science. US Department of Health and Human Services. 2006. Your Guide to Lowering Your Blood Pressure with DASH. United State (US): National Institutes of Health. Van Buren PN, Toto R. 2012. Hypertension in diabetic nephropathy: epidemiology, mechanisms, and management. NCBI. 18(1): 28-41. doi: 10. 1053/j.ackd. 2010.10.003. Vujicic B, Turk T, Orlic ZC, Dordevic G, Racki S. 2012. Diabetic Nephropathy. INTECH. doi: 10. 5772/50115. Wang F, Tiwari VK, Wang H. 2014. Risk faktor for hypertention in India and China: a comparative study. Indian Medical Journal. 37: 40-49. Wang H. 2005. Effects of marital status and transition on hypertension in Chinese women: a longitudinal study. Philadelphia (US): Population Association of America. [WHO] World Health Organization. 2015. Medical eligibility criteria for contraceptive use. 5th ed. Geneva (CH): Switzerland. ________________________________. 2013. A global brief on hypertension: silent killer, global public health crisis. Geneva (CH): Switzerland. [diakses
48
pada 20 Januari 2016]. Tersedia pada http://apps.who.int/iris/bitstream/ 10665/79059/1/ WHO_ DCO_WHD_ 2013.2_eng. _______________________________. 2008. Waist circumference and waist-hip ratio. Geneva (CH): Switzerland. ______________________________. 2004. Survei Kesehatan Nasional. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan. _____________________________. 2003. Diet and Chronic Diseases. Geneva (CH): Switzerland. ______________________________. 2000. The Asia-Pasific perspective: redefining obesity and its treatment. Australia: Health Communication Australia. ______________________________. The WHO STEPwise approach to chronic disease risk factor surveiillance (STEPS). Geneva (CH): Switzerland. [diakses pada 2 Januari 2016]. Tersedia pada http:// www.who.int/chp/steps. ______________________________. The WHO STEPwise surveiillance-dietary salt module. Geneva (CH): Switzerland. [diakses pada 2 Januari 2016]. Tersedia pada http://www.who.int/chp/steps/riskfactor/STEPS_Dietary_Salt module.pdf. WHO-ISH Hypertension Guideline Committee. 2003. Guidelines of the management of hypertension. J Hypertension. 21(11): 83-92. Whelton SP, Chin A, Xin X, He J. 2002. Effect of aerobic exercise and blood pressure: a meta-analysis of randomized controlled trials. Ann Intern Med. 136(7):493-503. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X. 2012. Angka Kecukupan Gizi. Jakarta. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 2004. Ketahanan pangan dan gizi di era otonomi daerah dan globalisasi. Jakarta Yadav S, Boddula R, Genitta G, et al. 2008. Prevalence & risk factors of prehypertension & hypertension in an affluent north Indian population. Indian J Med Res. 128:712-20. Yan LL, Liu K, Matthews KA, Daviglus ML, Ferguson TF, Kiefe c. 2003. Psychosocial factors and risk of hypertension the coronary artery risk developement in young adults (CARIDIA) study. Journal of the American Medical Association. 290:16. doi: 10. 1001/jama.290.16. 2138. Yusuf S, Hawken S, Ounpuu S, Bautista L, Franzosi MG, Commerford P, et al. 2005. Obesity and the risk of myocardial infarction in 27 000 participants from 52 countries: a case-control study. Lancet. 366: 1640-9. Zhang W, Li N. 2011. Prevalence, risk factors, and management of prehypertension. Int J Hypertens. doi:2011:605359. Zilberman J, Cerezo GH, Perez CF, Vicario A. 2015. Association between hypertension, menopause, and cognition in women. Journal of Clinical Hypertension. doi: 10. 1111/jch. 12643.
49
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung pada tanggal 31 Oktober 1994 dari pasangan Supardiyono dan Leo Berthy. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 15 Pemali, Bangka pada tahun 2000-2006, kemudian melanjutkan masa pendidikan di SMP N 1 Sungailiat pada tahun 20062009 dan memperoleh beasiswa kelas unggulan SMA N 1 Pemali tahun 2009-2012. Tahun 2012 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Undangan, sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis merupakan pengurus HIMAGIZI (Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi) pada tahun 2014 sebagai anggota Divisi Keprofesian dan pada tahun 2015 diamanahkan menjadi Ketua Divisi Keprofesian HIMAGIZI. Pada tahun 2014 penulis juga tergabung dalam pengurusan ILMAGI (Ikatan Lembaga Mahasiswa Gizi Indonesia) sebagai staf Departemen Pendidikan dan Profesi. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan seperti Nutrition Fair tahun 2014 sebagai staf Divisi Sponsorship, kepanitiaan MUNAS VII ILMAGI tahun 2015 sebagai sekretaris, dan menjadi steering committe pada setiap kegiatan yang diadakan oleh Divisi Keprofesian HIMAGIZI tahun 2015. Pada bulan Juli-Agustus 2015 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata berbasis Profesi (KKN-P) di Desa Jangglengan, Kecamatan Nguter, Sukoharjo. Pada bulan November-Desember 2016, penulis mengikuti Internship Manajemen Sistem Penyelenggaraan Makanan dan Dietetik di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi (RSIJ).