FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KADAR HEMOGLOBIN ANAK USIA SEKOLAH DI SDN PALASARI 02 KECAMATAN CIJERUK KABUPATEN BOGOR
KARTIKA WINDYANINGRUM
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ABSTRACT KARTIKA WINDYANINGRUM. Factors Related to Hemoglobin Level of School Age Children in Palasari 02 Elementary School, Cijeruk Sub District, Bogor District. Under direction of M. RIZAL M. DAMANIK Various nutritional problems are suffered by some communities in Indonesia, one of which is anemia. This research was conducted to analyze the factors related to the hemoglobin level of school age children in Palasari 02 elementary school, Cijeruk sub district, Bogor District. Cross sectional study was used in this research. The selection of sample was conducted purposively. Total samples were 82 children. Data collection was processed by Microsoft Excel 2007 and analyzed using Statistical Program for Social Science (SPSS) 17.0 for Windows. The results of this research showed that 96.3% of total sample suffered anemia. Meanwhile the results of bivariate analysis showed that mothers’ education and nutritional knowledge of sample had negative relationship with the hemoglobin level of sample (p<0.05).
Keywords: anemia status, hemoglobin level, school age children, nutritional knowledge, helminthiasis infection, food consumption.
RINGKASAN KARTIKA WINDYANINGRUM. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kadar Hemoglobin Anak Usia Sekolah di SDN Palasari 02 Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh M. RIZAL M. DAMANIK. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar hemoglobin pada anak usia sekolah di SDN Palasari 02 Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Adapun tujuan khusus yaitu: (1) mengidentifikasi status anemia contoh; (2) mengidentifikasi pengetahuan gizi dan kesehatan contoh; (3) mengidentifikasi kebiasaan makan dan jajan contoh; (4) mengidentifikasi konsumsi pangan dan tingkat kecukupan zat gizi (energi, protein, zat besi, vitamin A, dan vitamin C) contoh; (5) mengidentifikasi infeksi kecacingan pada contoh; (6) mengidentifikasi morbiditas pada contoh; dan (7) menganalisis faktor-faktor yan berhubungan dengan kadar hemoglobin contoh. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain cross sectional study dan menggunakan data yang berasal dari penelitian payung Ajinomoto IPB Nutrition Program yang berjudul “Peningkatan Status Gizi dan Kesehatan Anak Sekolah melalui Peningkatan Mutu dan Keamanan Makanan Jajanan Kantin”. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2011-April 2012. Contoh penelitian ini adalah siswa siswi sekolah dasar kelas 3, 4, dan 5 di SDN Palasari 02 pada rentang usia 7-12 tahun (Usia Anak Sekolah) dengan pertimbangan pada usia tersebut anak sudah lancar membaca dan menulis serta lebih mudah untuk diwawancarai dan diberi instruksi dalam pengisian kuesioner. Selain itu tidak dipilihnya contoh dari kelas 6, dikarenakan siswa kelas 6 sedang mempersiapkan Ujian Nasional. Contoh yang diteliti sebanyak 82 anak. Data yang diambil meliputi: status anemia, karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, dan uang saku), pengetahuan gizi dan kesehatan, kebiasaan makan dan jajan, morbiditas, serta konsumsi pangan siswa. Status anemia contoh diketahui dari kadar hemoglobin (Hb) darah menggunakan HB meter. Status infeksi kecacingan diperoleh dari pemeriksaan feses. Data sekunder mengenai keadaan umum sekolah dan karakteristik orang tua (pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan) diperoleh melalui informasi baik lisan maupun tulisan dari pihak Tata Usaha Sekolah. Data sekunder mengenai program kesehatan UPTD Puskesmas Cijeruk diperoleh melalui informasi lisan maupun tulisan dari pihak Tata Usaha Puskesmas dan tenaga puskesmas yang melakukan pemeriksaan kesehatan di SDN Palasari 02. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan Microsoft Excel dan SPSS version 17.0 for Windows. Analisis statistik yang dilakukan adalah uji korelasi Pearson dan uji korelasi Spearman. Sebagian besar contoh (96.3%) termasuk kategori anemia. Rata-rata kadar Hb contoh yang mengalami anemia adalah 9.6±1.0 g/dl. Sebanyak 3.7% termasuk kategori normal dengan rata-rata nilai kadar Hb adalah 12.2±0.3 g/dl. Sebagian besar contoh yang anemia (84.8%) termasuk ke dalam kategori anemia tingkat sedang. Contoh yang mengalami anemia tingkat ringan adalah sebanyak 11.4% dari total contoh yang mengalami anemia. Sedangkan contoh yang mengalami anemia tingkat berat adalah 3.8% dari total contoh yang mengalami anemia. Sebanyak 45.1% contoh berjenis kelamin laki-laki dan sebesar 54.9% adalah perempuan. Sebanyak 14.6% contoh berusia 8 tahun. Contoh yang berusia 9 tahun sebanyak 31.7%. Sebanyak 24.4% berada pada usia 10 tahun. Persentase terendah usia contoh berada pada usia 12 tahun, yaitu sebesar 1.2%
dan sebanyak 28.0% contoh berada pada usia 11 tahun. Sebagian besar uang saku contoh (91.5%) berada pada kategori rendah atau ≤Rp.3000. Sebanyak 7.3% memiliki uang saku sebesar 3001-5001 rupiah. Uang saku yang termasuk kategori tinggi atau ≥Rp.5002 hanya 1.2% dari total contoh. Mayoritas contoh memiliki pengetahuan gizi kurang dengan persentase sebesar 86.4% dan sisanya memilliki pengetahuan gizi sedang (13.4%). Rata-rata nilai pengetahuan gizi contoh adalah 45.4±11.5. Sebagian besar tingkat pendidikan ayah dan ibu contoh dalam penelitian ini adalah pada jenjang SD atau sederajat, yaitu sebesar 51.2% dan 53.7%. Sebesar 26.8% ayah bekerja sebagai buruh, sebagai pedagang kecil sebesar 20.7%. Tidak ada ayah contoh yang bekerja sebagai PNS/TNI/POLRI dan pensiunan. Terdapat 4.9% ayah contoh yang tidak bekerja. Sebanyak 1.2% ayah contoh bekerja sebagai nelayan dan peternak serta sebanyak 9.8% ayah contoh bekerja sebagai petani. Mayoritas ibu contoh tidak bekerja (84.1%). Terdapat 1.2% ibu contoh yang bekerja sebagai peternak, wiraswasta, buruh, dan pensiunan. Sebanyak 7.3% ibu contoh bekerja sebagai pedagang kecil dan sebanyak 3.7% termasuk dalam kategori lainnya. Masih terdapat ayah contoh yang tidak memiliki pendapatan, yaitu sebanyak 4.9%. Mayoritas pendapatan ayah contoh berada pada kategori
Rp.2.000.000. Mayoritas ibu contoh tidak memiliki pendapatan. Sebanyak 14.6% ibu memiliki pendapatan
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KADAR HEMOGLOBIN ANAK USIA SEKOLAH DI SDN PALASARI 02 KECAMATAN CIJERUK KABUPATEN BOGOR
KARTIKA WINDYANINGRUM
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul Skripsi :
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kadar Hemoglobin Anak Usia Sekolah di SDN Palasari 02 Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor
Nama
:
Kartika Windyaningrum
NIM
:
I14080039
Menyetujui : Dosen Pembimbing
drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD NIP 19640731 199003 1 001 Mengetahui: Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Disetujui :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wata’ala atas segala nikmat dan karunia yang senantiasa dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kadar Hemoglobin Anak Usia Sekolah di SDN Palasari 02 Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor”. Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam serta keluarganya, para sahabatnya, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada : 1. drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD selaku dosen Pembimbing Akademik sekaligus Pembimbing Skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sejak awal hingga terselesaikannya skripsi ini. 2. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, MKes selaku dosen pemandu seminar sekaligus penguji skripsi atas saran, masukan, dan arahannya kepada penulis. 3. Reisi Nurdiani, SP, M.Si yang telah membantu penulis memperoleh data sekunder untuk penelitian ini. 4. Bapak, mama, adik, mbah serta keluarga penulis atas semangat, cinta dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis. 5. Saskia Piscesa, S.Gz yang terlibat dalam tim penelitian payung Ajinomoto IPB Nutrition Program dan membantu penulis dalam memperoleh informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penelitian ini 6. Kepala Sekolah serta guru-guru di SDN Palasari 02 yang telah memberikan izin, sarana, dan kesempatan bagi penulis sehingga proses penelitian berjalan dengan lancar. 7. Adik-adik kelas 3, 4, dan 5 SDN Palasari 02 yang telah bersedia menjadi subjek penelitian. 8. Pihak puskesmas (Bu Helen dan kepala tata usaha) atas informasi mengenai program puskesmas yang dilakukan di SDN Palasari 02, serta mba Amah yang telah memberi informasi mengenai pemeriksaan kadar Hb yang dilakukan terhadap siswa dan siswi SDN Palasari 02. 9. Pihak Labkesda Kota Bogor yang telah membantu peneliti dalam menganalisis feses siswa.
10. Ka Mute, ka Okta, ka Guntari, dan ka Ghaida atas bimbingan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis dari awal hingga terselesaikannya skripsi ini. 11. Euis, Desi erfi, dan Dyan fajar yang telah membantu peneliti selama penelitian berlangsung. 12. Teman-teman wisma Hikmatunnisa atas semangat dan motivasi yang telah diberikan kepada peneliti. 13. Civitas Departemen Gizi Masyarakat : tim dosen, tata usaha, karyawan, fotokopian, perpustakaan. 14. Euis, Novitri, Ilma, dan Indah yang telah menjadi pembahas di dalam seminar hasil penelitian ini. 15. Teman-teman Gizi Masyarakat 45 dan teman-teman yang selama ini telah mendukung penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna. Tidak lupa penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan hal-hal yang tidak berkenan selama penyusunan skripsi ini.
Bogor, Desember 2012
Kartika Windyaningrum
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 19 Maret 1990, dari bapak Karsido dan Ibu Rumiati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 01 Pagi pada tahun 2000. Pendidikan menengah pertama dilanjutkan penulis di SMP Negeri 90 Jakarta hingga tahun 2005. Pendidikan menengah atas ditempuh oleh penulis di SMA Negeri 21 Jakarta hingga tahun 2008. Penulis melanjutkan perkuliahan di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kuliah, penulis mendapatkan dana beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) pada tahun 2008-2009 dan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) pada tahun 2009-2012. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah mengikuti klub keprofesian yang ada di Departemen Gizi Masyarakat, seperti Klub Peduli Pangan dan Gizi, Klub Kulinari. Penulis juga ikut terlibat dalam berbagai kepanitiaan. Pada bulan Juli-Agustus 2011 penulis mengikuti Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Begawat, Kecamatan Bumi Jawa, Kabupaten Tegal. Internship Dietetika penulis dilakukan pada bulan April-Mei 2012 di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi untuk mendalami Penyakit pada Anak, Penyakit Dalam, dan Bedah. Penulis juga pernah menjadi fasilitator atau enumerator dalam program corporate social responsibility agribusiness and food PT Smart Tbk yang dilaksanakan oleh Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor dan bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan Pemerintah Bogor pada bulan Mei hingga Juli 2011.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................
x
DAFTAR TABEL ....................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xvi
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
Latar Belakang ..................................................................................
1
Tujuan................................................................................................
4
Tujuan Umum ..............................................................................
4
Tujuan Khusus ............................................................................
4
Hipotesis ............................................................................................
4
Kegunaan Penelitian .........................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
5
Karakteristik Contoh ..........................................................................
5
Anak Usia Sekolah ......................................................................
5
Jenis Kelamin ..............................................................................
5
Uang Saku...................................................................................
6
Karakteristik Orang Tua Contoh .......................................................
6
Pendidikan Orang Tua ................................................................
6
Pekerjaan Orang Tua ..................................................................
6
Hemoglobin .......................................................................................
6
Metode Penilaian Kadar Hemoglobin ...............................................
8
Anemia ..............................................................................................
9
Anemia Gizi .......................................................................................
10
Kebiasaan Makan dan Jajan ............................................................
11
Konsumsi Pangan .............................................................................
12
Penilaian Konsumsi Pangan .............................................................
12
Kecukupan Gizi .................................................................................
13
Angka Kecukupan Gizi ................................................................
13
Energi ..........................................................................................
13
Protein .........................................................................................
14
Vitamin A .....................................................................................
14
Vitamin C .....................................................................................
15
Besi (Fe) ......................................................................................
16
Pengetahuan Gizi dan Kesehatan ....................................................
16
Metode Pemeriksaan Infeksi Cacing ................................................
17
Infeksi Kecacingan ............................................................................
17
Status Kesehatan ..............................................................................
18
KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................................
19
METODE PENELITIAN ..........................................................................
21
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ............................................
21
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh............................................
21
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ..................................................
22
Pengolahan dan Analisis Data..........................................................
23
Definisi Operasional ..........................................................................
26
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
28
Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................
28
Karakteristik Contoh Penelitian .........................................................
30
Jenis Kelamin ..............................................................................
30
Usia .............................................................................................
30
Uang Saku...................................................................................
31
Pengetahuan Gizi dan Kesehatan ....................................................
31
Karakteristik Orang Tua ....................................................................
33
Pendidikan Orang Tua ................................................................
33
Pekerjaan Orang Tua ..................................................................
34
Pendapatan Orang Tua ..............................................................
34
Kebiasaan Makan dan Jajan ............................................................
36
Kebiasaan Makan .......................................................................
36
Frekuensi Makan.........................................................................
38
Kebiasaan Jajan..........................................................................
38
Kebiasaan Minum .......................................................................
39
Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi .....................................
39
Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Energi .................................
40
Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Protein ................................
41
Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Vitamin A ............................
42
Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Vitamin C ............................
42
Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Besi (Fe) .......................
43
Infeksi Kecacingan ............................................................................
44
Morbiditas ..........................................................................................
45
Jenis Penyakit yang Diderita .....................................................
46
Lama Hari Sakit ...........................................................................
46
Status Anemia ...................................................................................
47
Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kadar Hemoglobin .......................................................................................
48
Hubungan antara Karakteristik Contoh dengan Kadar Hemoglobin 49 Hubungan antara Karakteristik Orang Tua dengan Kadar Hemoglobin ................................................................................
50
Hubungan antara Pengetahuan Gizi dan Kesehatan dengan Kadar Hemoglobin .................................................................................
54
Hubungan antara Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Kadar Hemoglobin ......................................................................
55
Hubungan antara Infeksi Kecacingan dengan Kadar Hemoglobin 57 Hubungan antara Morbiditas dengan Kadar Hemoglobin ..........
58
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
59
Kesimpulan........................................................................................
59
Saran .................................................................................................
60
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
61
LAMPIRAN .............................................................................................
65
DAFTAR TABEL Halaman 1
Rentang nilai normal kadar hemoglobin perempuan dan laki-laki dewasa, anak-anak, dan ibu hamil ...................................................
2
Kadar hemoglobin sebagai indikator dan tingkat keparahan anemia ...............................................................................................
3
9
9
Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan untuk anak usia 7-9 tahun serta pria dan wanita usia 10-12 tahun ...........................................
13
4
Cara pengkategorian variabel-variabel penelitian ............................
26
5
Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin .....................................
30
6
Sebaran contoh berdasarkan usia ....................................................
30
7
Sebaran contoh berdasarkan uang saku..........................................
31
8
Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ...................
32
9
Sebaran pertanyaan tentang pengetahuan gizi dan kesehatan yang dijawab benar oleh contoh ................................................................
32
10 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua ............
33
11 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua ..........................
35
12 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan orang tua.......................
35
13 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan ..............................
36
14 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makan................................
38
15 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan jajan .................................
38
16 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum ..............................
39
17 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi ..................
40
18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein .................
41
19 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A .............
42
20 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C.............
43
21 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan zat besi ...............
43
22 Sebaran contoh berdasarkan infeksi kecacingan ............................
44
23 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit ....................................
45
24 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit yang diderita ..............
46
25 Sebaran contoh berdasarkan lama hari sakit ...................................
47
26 Sebaran contoh berdasarkan status anemia ....................................
47
27 Sebaran contoh berdasarkan tingkat keparahan anemia ................
48
28 Rata-rata kadar hemoglobin berdasarkan jenis kelamin ..................
49
29 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan usia ....................
49
30 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan uang saku ..........
50
31 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan pendidikan ayah ...................................................................................................
51
32 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan pendidikan ibu ......................................................................................................
51
33 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan status pekerjaan orang tua ...........................................................................................
53
34 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan pendapatan orang tua ...........................................................................................
53
35 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan pengetahuan gizi
54
36 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan tingkat kecukupan
55
37 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan tingkat kecukupan
56
38 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan infeksi kecacingan
57
39 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan kejadian sakit dan lama hari sakit ...................................................................................
58
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka Pemikiran .............................................................................. 19
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Data Hb dan konsumsi zat gizi ............................................................ 65
2
Data Hb dan tingkat kecukupan zat gizi .............................................. 66
3
Hasil analisis korelasi beberapa variabel dengan kadar hemoglobin . 68
4
Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin ................................................. 69
5
Hasil pemeriksaan infeksi kecacingan .................................................. 70
6
Prosedur pemeriksaan infeksi kecacingan ........................................... 72
7
Prosedur pemeriksaan kadar hemoglobin ............................................ 73
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumber daya manusia atau SDM merupakan kunci pembangunan bangsa. Banyak faktor yang menentukan kualitas SDM, salah satunya adalah faktor gizi masyarakat sebagai cerminan keadaan gizi individu. Rendahnya kualitas gizi masyarakat mengakibatkan rendahnya kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta produktivitas kerja. Upaya mewujudkan manusia Indonesia berkualitas harus dilakukan dengan memperhatikan keadaan manusia sejak usia dini, yaitu sejak masa kanak-kanak. Anak merupakan sumber potensi dan penerus cita-cita bangsa. Oleh karena itu, anak perlu mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Menurut Syarief (1997) periode usia sekolah merupakan bagian dari tahapan dalam siklus hidup manusia yang sangat menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM). Pada periode ini
anak mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat baik secara kognitif, motorik, dan emosional. Tumbuh kembang anak usia sekolah yang optimal antara lain dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas asupan zat gizi yang diberikan dalam makanan. Periode usia sekolah menurut RSCM dan PERSAGI (1994) adalah usia 7-12 tahun. Kesehatan dan daya tahan fisik merupakan unsur kualitas SDM yang pokok, karena tanpa itu manusia tidak mungkin mampu berpikir dan bekerja produktif. Angka kecukupan zat besi yang dianjurkan untuk anak usia 7-9 tahun adalah sebesar 10 mg, remaja laki-laki usia 10-12 tahun sebesar 13 mg, dan remaja perempuan usia 10-12 tahun adalah sebesar 20 mg. Namun sebagian besar anak usia sekolah dasar di Indonesia kurang mendapatkan asupan makanan yang mengandung zat besi. Kondisi tersebut berdampak pada ancaman penyakit seperti anemia. Anak-anak dengan jumlah konsumsi zat besi di bawah kebutuhan cenderung mengalami anemia yang dapat mengakibatkan sulit konsentrasi, mudah lelah, dan lesu. Berdasarkan survei Bagian Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), konsumsi daging dan ikan pada anak-anak sekolah hanya 10-16% dari porsi makan sehari-hari. Kebutuhan anak akan zat besi menjadi penting karena dapat membantu metabolisme energi, meningkatkan konsentrasi dan berperan dalam sistem kekebalan tubuh. (Bardosono 2011). Besi hem hanya merupakan bagian kecil dari besi yang diperoleh dari makanan (kurang lebih 5% dari besi total makanan), terutama di
2
Indonesia, namun yang dapat diabsorpsi dapat mencapai 25% sedangkan non hem hanya 5%) (Almatsier 2006). Anemia karena kekurangan zat besi dapat terjadi karena pola konsumsi makanan masyarakat Indonesia masih didominasi pangan nabati, seperti serealia dan kacang-kacangan sebagai sumber zat besi yang sulit diserap oleh tubuh. Sedangkan bahan pangan hewani seperti daging yang diketahui sebagai sumber zat besi yang baik, jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan, hal ini dikarenakan rendahnya daya beli masyarakat terhadap pangan hewani. Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh kebiasaan makannya (Suhardjo 1989). Konsumsi pangan yang buruk akan mendorong terjadinya masalah anemia pada anak karena secara langsung asupan gizi juga berkurang. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, karakteristik anak seperti usia, uang saku dan pengetahuan gizi juga mempengaruhi konsumsi pangan (Suhardjo 1989). Konsumsi pangan mempengaruhi tingkat kecukupan zat gizi. Kecukupan zat gizi akan menunjukkan defisiensi atau tidaknya seseorang terhadap zat gizi yang akan menentukan kecenderungan seseorang menderita penyakit akibat defisiensi zat gizi seperti anemia. Di samping itu, keadaan tertentu seperti kebutuhan yang meningkat pada waktu pertumbuhan, kehamilan, mengidap penyakit seperti TBC dan malaria, kehilangan darah, kekurangan zat gizi lainnya, dan kecacingan akan memperberat anemianya (Depkes 1998). Kontribusi energi dari protein hewani terhadap total energi di Indonesia relatif rendah yaitu 4% (Hardinsyah et al. 2001) di dalam Hardinsyah dan Tambunan (2004), yang menurut FAO RAPA (1989) sebaiknya sekitar 15% dari total energi. Anemia merupakan kondisi kurang darah yang umum terjadi ketika jumlah eritrosit kurang dari normal atau akibat konsentrasi hemoglobin yang rendah dalam darah (Depkes 2008). Nilai batas ambang untuk anemia menurut WHO (2011) untuk anak usia 6-59 bulan <11 g/dl, anak usia 5-11 tahun <11.5 g/dl, dan anak usia 12-14 tahun <12 g/dl. Nilai rata-rata nasional kadar hemoglobin pada anak-anak usia <14 tahun adalah 12.67 g/dl. Sebanyak 14 provinsi mempunyai nilai rata-rata kadar hemoglobin pada anak-anak usia <14 tahun di bawah nilai rata-rata nasional, salah satu dari provinsi tersebut adalah Jawa Barat (Depkes 2008). Berdasarkan hasil Riskesdas yang dilakukan pada tahun 2007, prevalensi anemia di Provinsi Jawa Barat pada kelompok usia anak dan remaja yang berusia 5-14 tahun adalah sebesar 18.8%. Prevalensi ini sedikit
3
lebih tinggi di atas prevalensi anemia pada kelompok anak-anak secara nasional yaitu sebesar 12.8% (Depkes 2008). Anemia defisiensi zat besi merupakan kelainan gizi yang sering ditemukan di dunia. Sebanyak 4-5 milyar penduduk dunia, atau 66-80% dari populasi penduduk dunia mengalami defisiensi zat besi dan 2 milyar penduduk mengalami anemia, terutama karena defisiensi zat besi. Di negara berkembang keadaan ini semakin diperparah oleh penyakit malaria serta infeksi cacing (Vijayaraghavan 2008). Kecamatan Cijeruk merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Bogor. Sarana kesehatan yang terdapat di Kecamatan Cijeruk antara lain rumah bersalin atau BKIA, puskesmas, puskesmas pembantu, praktek dokter, dukun khitan atau sunat, dukun bayi, dan pelayanan keluarga berencana serta posyandu. Salah satu desa yang berada pada Kecamatan Cijeruk adalah Desa Palasari. SDN Palasari 02 merupakan salah satu sekolah dasar yang berada di Desa Palasari. Lokasi SDN Palasari 02 berada dekat dengan UPTD Puskesmas Cijeruk, sehingga memudahkan pihak puskesmas dan pihak sekolah dalam memantau kesehatan siswa. Terdapat berbagai program kesehatan yang dilakukan pihak puskesmas terhadap siswa SDN Palasari, seperti pemeriksaan status gizi, pemeriksaan tes kesegaran jasmani, pemberian obat cacing pada siswa kelas satu dan enam, kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS), dan pemeriksaan mengenai keluhan penyakit pada siswa. Namun terdapat beberapa program kesehatan yang belum pernah dilakukan oleh Puskesmas Cijeruk terhadap siswa SDN Palasari 02, diantaranya adalah pemeriksaan mengenai kadar hemoglobin siswa untuk mengetahui status anemia dan pemeriksaan feses untuk mengetahui infeksi kecacingan. Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerja sama dengan PT Ajinomoto Indonesia
meluncurkan
program
kantin
sehat.
Program
ini
bertujuan
menyediakan jajanan bergizi dan sehat bagi anak sekolah. SDN Palasari 02 merupakan pilot project Ajinomoto IPB Nutrition Program (AINP). Dalam peluncuran kantin sehat di SD tersebut, siswa, orang tua murid, dan pedagang jajanan di lingkungan sekolah ikut dilibatkan. IPB dan Ajinomoto akan memberikan edukasi kepada siswa, orang tua, guru, dan pedagang makanan tentang makanan yang sehat dan berkualitas. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan
4
dengan kadar hemoglobin anak usia sekolah di SDN Palasari 02 Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar hemoglobin anak usia sekolah di SDN Palasari 02 Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk : 1. Mengidentifikasi status anemia contoh 2. Mengidentifikasi pengetahuan gizi dan kesehatan contoh. 3. Mengidentifikasi kebiasaan makan dan jajan contoh. 4. Mengidentifikasi konsumsi pangan dan tingkat kecukupan zat gizi (energi, protein, zat besi, vitamin A, dan vitamin C) contoh. 5. Mengidentifikasi infeksi kecacingan pada contoh. 6. Mengidentifikasi morbiditas pada contoh 7. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar hemoglobin contoh. Hipotesis 1. Terdapat hubungan antara konsumsi pangan dan tingkat kecukupan zat gizi dengan kadar hemoglobin contoh. 2. Terdapat hubungan antara morbiditas dan infeksi kecacingan dengan kadar hemoglobin contoh Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran atau informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar hemoglobin pada anak usia sekolah di SDN Palasari 02. Penelitian ini juga diharapkan dapat menunjukkan keragaan konsumsi pangan dan status anemia siswa sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi instansi terkait seperti pihak sekolah dalam membuat kebijakan pencegahan anemia pada siswa sekolah dasar sebagai upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak puskesmas untuk menambahkan program kesehatan yang dilakukan terhadap siswa SD seperti program pemeriksaan kadar hemoglobin dan pemeriksaan feses untuk mengetahui infeksi kecacingan.
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Contoh Anak Usia Sekolah Menurut RSCM dan PERSAGI (1994), dalam bidang ilmu gizi dan kesehatan, anak dikelompokkan menjadi usia prasekolah (1-6 tahun), anak usia sekolah
(7-12
tahun),
dan
remaja
(13-18
tahun).
Soetardjo
(2011)
mengelompokkan anak berdasarkan usia menjadi tiga golongan yaitu: usia 1-3 tahun, 4-6 tahun, dan 7-9 tahun. Usia 1-3 tahun dan 4-6 tahun disebut sebagai usia pra-sekolah, sedangkan usia 7-9 tahun sebagai usia sekolah. Laju pertumbuhan pada ketiga kelompok anak ini menurun dibandingkan dengan laju pertumbuhan cepat pada waktu bayi. Selama masa ini, anak memperoleh keterampilan
yang memungkinkannya
untuk makan secara
bebas dan
mengembangkan kesukaan makannya sendiri. Perkembangan keterampilan otot membuat aktivitas fisiknya meningkat. Anak
usia
sekolah
berusaha
mengembangkan
kebebasan
dan
membentuk nilai-nilai pribadi. Perbedaan antar anak antara lain tampak pada kecepatan tumbuh, pola aktivitas, kebutuhan gizi, perkembangan kepribadian, dan asupan makanan (Soetardjo 2011). Kebutuhan gizi antar anak berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh ukuran dan komposisi tubuh, pola aktivitas, dan kecepatan tumbuh. Ketersediaan dan diterimanya makanan oleh anak tidak hanya ditentukan oleh pilihan makanan orang tua, tetapi juga oleh keadaan lingkungan pada waktu makan, pengaruh teman sebaya, iklan, dan pengalaman anak tentang makanan sebelumnya (Soetardjo 2011). Jenis Kelamin Jumlah penderita anemia lebih banyak wanita dibanding pria. Beberapa alasan wanita lebih banyak terkena anemia yaitu 1) Pada umumnya masyarakat Indonesia lebih banyak mengonsumsi makanan nabati dibandingkan hewani, sehingga masih banyak yang menderita anemia; 2) Wanita lebih jarang makan makanan hewani dan sering melakukan diit pengurangan makan karena ingin langsing; 3) Mengalami haid setiap bulan, sehingga membutuhkan zat besi dua kali lebih banyak daripada pria (Depkes 1998). Uang Saku Berdasarkan hasil penelitian Syafitri et al. (2009) mengenai kebiasaan jajan siswa sekolah dasar menunjukkan bahwa lebih dari separuh siswa
6
mengalokasikan uang sakunya untuk keperluan membeli makanan jajanan (68%). Terdapat hubungan yang positif dan signifikan (p<0.01) antara alokasi uang saku untuk membeli jajanan dengan jumlah jenis makanan yang dibeli siswa. Karakteristik Orang Tua Contoh Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik (Suhardjo 1989). Pekerjaan Orang Tua Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin besar (Engel et al 1994 diacu dalam Lusiana 2008). Pekerjaan kepala keluarga berpengaruh terhadap status kesehatan keluarga (Sukarni 1994). Hemoglobin Hemoglobin ialah sejenis pigmen yang terdapat dalam sel darah merah, bertugas membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Hemoglobin yang mewakili lebih dari 95% dari protein pada sel darah merah, mengandung 60% besi tubuh. (Brody 1994). Setiap molekul hemoglobin merupakan konjugasi dari protein (globin) dan empat molekul hem (Gibson 2005). Nilai hemoglobin darah merupakan salah satu indikator paling umum yang digunakan untuk mengetahui anemia gizi besi. Nilai hemoglobin kurang peka terhadap tahap awal kekurangan besi, akan tetapi berguna untuk mengetahui beratnya anemia. Nilai hemoglobin yang rendah menggambarkan kekurangan besi yang sudah lanjut. Hemoglobin merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk melihat defisiensi besi karena murah, mudah untuk dilakukan, dan cepat. Tetapi, kadar hemoglobin juga dipengaruhi oleh faktor lain selain defisiensi besi. Nilai Hb yang rendah mungkin juga disebabkan oleh kekurangan protein atau vitamin B6 (Almatsier 2006). Berkurangnya kadar hemoglobin dalam sel darah merah berbanding lurus dengan banyaknya zat besi yang tersedia dalam sel darah merah. Bila intake zat
7
besi yang dikonsumsi dari bahan pangan sedikit maka produktivitas hemoglobin akan menurun (Depkes 1998). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kadar hemoglobin dalam darah anak sekolah adalah: a. Variasi biologis individu Variasi biologis individu akan mempengaruhi kadar hemoglobin. Kadar hemoglobin cenderung lebih rendah pada saat sore hari dibanding pagi hari (Gibson 2005). b. Umur dan jenis kelamin Umur dan jenis kelamin adalah faktor penting yang menentukan kadar hemoglobin. Nilai median hemoglobin naik selama 10 tahun pada masa kanak-kanak selanjutnya akan meningkat pada masa pubertas. Perbedaan kadar hemoglobin pada jenis kelamin yang berbeda jelas nyata pada usia enam bulan. Anak laki-laki mempunyai kadar hemoglobin lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan (Gibson 2005). Pada studi yang dilakukan terhadap anak dan remaja yang memiliki keterbelakangan mental juga menunjukkan adanya pengaruh yang nyata antara jenis kelamin dan usia terhadap anemia yang digambarkan pada model regresi dengan nilai (OR=0.63, 95% CI=0.41–0.95) untuk jenis kelamin, dan (OR=3.21, 95% CI=1.77–5.82) untuk usia (Lin et al. 2010). c. Ras atau bangsa Ras atau bangsa diketahui mempengaruhi kadar hemoglobin. Individu dari keturunan Afrika mempunyai nilai hemoglobin 5-10 g/dl lebih rendah dari keturunan Kaukasian dengan mengabaikan umur, pendapatan, dan defisiensi besi (Gibson 2005). d. Keberadaan seseorang dari permukaan laut (ketinggian) Seseorang yang berada pada ketinggian tertentu membangkitkan respon penyesuaian diri untuk menurunkan tekanan darah parsial oksigen dan mengurangi saturasi oksigen dalam darah. Hal ini terlihat nyata pada ketinggian di atas 1000 meter. Kadar hematokrit dan hemoglobin seseorang meningkat secara berangsur-angsur pada ketinggian yang semakin tinggi (Gibson 2005). e. Anemia defisiensi besi Pada tahap ketiga defisiensi besi, simpanan besi dan persediaan besi ke jaringan habis, sehingga kadar hemoglobin turun. Akan tetapi pemeriksaan
8
kadar hemoglobin bukan pemeriksaan yang sensitif pada tahapan ini (Arisman 2004; Gibson 2005). Pada anemia defisiensi zat besi yang berat, konsentrasi hemoglobin <7 g/dl (Vijayaraghavan 2008). f. Defisiensi mikronutrien lain Beberapa defisiensi mikronutrien seperti vitamin A, B6, B12, Riboflavin, asam folat, dan tembaga (Cu) dihubungkan dengan penurunan kadar hemoglobin dan terjadinya anemia (Gibson 2005). g. Infeksi parasit Infeksi
parasit
seperti
Plasmodium
falciparum
menyebabkan
kadar
hemoglobin rendah dengan pecahnya eritrosit dan tertekannya produksi eritrosit (Gibson 2005). h. Berbagai status penyakit Berbagai status penyakit dapat memepengaruhi kadar hemoglobin. Kadar hemoglobin rendah timbul pada infeksi kronik dan peradangan. Status penyakit kronik ini meliputi HIV-AIDS, hemoglobinopathies dan infeksi karena Schistosomiasis, Trichuriasis, dan Ascaris (Gibson 2005). Metode Penilaian Kadar Hemoglobin Penentuan prevalensi anemia dalam suatu populasi melalui pengukuran kadar hemoglobin dalam darah relatif sederhana dan tidak mahal. Metode ini merupakan metode laboratorium terbaik untuk menentukan kadar hemoglobin secara kuantitatif (WHO 2001). Terdapat beberapa metode pemeriksaan kadar hemoglobin yang umum digunakan, diantaranya adalah metode cyanmethemoglobin dan hemocue. Metode cyanmethemoglobin adalah metode pengambilan darah dari pembuluh darah vena. Sedangkan pada metode hemocue darah diambil dari pembuluh kapiler. Hemoglobin sangat baik ditentukan menggunakan darah vena yang diantikoagulasi menggunakan etilendiamin tetraacetic acid (EDTA). Penggunaan darah kapiler dari telinga, tumit, atau ujung jari bisa digunakan, namun akan memberikan
hasil
yang
kurang
tepat,
karena
cairan
intestinal
akan
mengencerkan sampel darah kapiler, sehingga hasil pengukuran kadar Hb yang diperoleh dari metode hemocue cenderung lebih besar (Gibson 2005). Metode cyanmethemoglobin adalah metode yang direkomendasikan oleh International Committee for Standardization in Hematology (ICSH) dan dianggap paling teliti berdasarkan anjuran WHO (Gibson 2005).
9
Anemia Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar hemoglobin darah kurang dari normal (Depkes 2008). Nilai tersebut berbedabeda untuk kelompok usia dan jenis kelamin sebagaimana ditetapkan oleh Depkes (2008) dari hasil Riskesdas yang dilakukan pada tahun 2007 dan tercantum pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1 Rentang nilai normal kadar hemoglobin perempuan dan laki-laki dewasa, anak-anak, dan ibu hamil Kelompok Perempuan dewasa Laki-laki dewasa Anak-anak (≤ 14 tahun) Ibu hamil Sumber: Depkes 2008
Nilai rerata Hb (g/dl) 13,00 14,67 12,67 11,81
Nilai SD (g/dl) 1,72 1,84 1,58 1,55
Rerata ± 1SD (g/dl) 11,28 - 14,72 12,83 – 16,51 11,09 – 14,25 10,26 – 13,36
Anemia adalah suatu kondisi terjadinya defisiensi dalam ukuran atau jumlah sel darah merah atau jumlah molekul hemoglobin yang dikandungnya, sehingga membatasi terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida antara sel-sel darah dan jaringan-jaringan tubuh (Stopler 2004). Berdasarkan WHO (2011) kadar hemoglobin yang merupakan indikator status anemia dan tingkat keparahan anemia dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Kadar hemoglobin sebagai indikator dan tingkat keparahan anemia Kelompok Anak usia 5-11 tahun Anak usia 12-14 tahun *Hemoglobin dalam g/dl
Tidak Anemia* >11,5 >12,0
Ringan 11,0-11,4 11,0-11,9
Anemia* Sedang 8,0-10,9 8,0-10,9
Berat <8,0 <8,0
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran sel darah merah dan kandungan hemoglobin di dalamnya. Berdasarkan ukuran sel darah merah, yaitu anemia makrositik, mikrositik, dan normositik. Sedangkan anemia berdasarkan kandungan hemoglobin di dalamnya, yaitu anemia hipokromik dan normokromik. Pada anemia makrositik, ukuran sel darah merah dan jumlah hemoglobin yang terkandung bertambah. Sebaliknya pada anemia mikrositik, ukuran sel darah merah mengecil. Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak mengalami perubahan. Sedangkan anemia hipokromik terjadi karena kandungan hemoglobin dalam sel tiap sel darah merah berkurang, sehingga warna sel darah merah pucat. Sementara pada anemia normokromik, kandungan hemoglobin normal (Stopler 2004). Kelompok usia yang paling rentan terhadap anemia adalah balita, anakanak, remaja, serta wanita hamil dan menyusui. Hal ini terjadi karena pada masa
10
balita, anak-anak dan remaja terjadi pertumbuhan yang sangat pesat. Pada ibu hamil, anemia terjadi karena adanya peningkatan volume plasma darah. Pada ibu menyusui, anemia dapat terjadi karena kebutuhan yang meningkat (FAO 2001). Anemia mikrositik-hipokromik, biasanya terjadi karena kekurangan zat besi, penyakit kronis tingkat lanjut, atau keracunan timbal. Anemia normositiknormokromik biasanya karena penyakit kronis fase awal atau perdarahan akut. Anemia makrositik biasanya karena kekurangan vitamin B12. Berdasarkan hasil Riskesdas yang dilakukan pada tahun 2007 menyatakan bahwa jenis anemia terbanyak pada orang dewasa dan anak-anak adalah anemia mikrositik hipokromik (60,2%). Jika dibandingkan antara anak-anak dan dewasa, anemia mikrositik hipokromik ini lebih besar proporsinya pada anak-anak (Depkes 2008). Anemia Gizi Anemia gizi adalah keadaan dimana kadar hemoglobin, hematokrit, dan sel darah merah lebih rendah dari nilai normal, sebagai akibat dari defisiensi salah satu atau beberapa unsur makanan yang esensial yang dapat mempengaruhi timbulnya defisiensi tersebut (Arisman 2004). Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin, baik karena kekurangan konsumsi atau karena gangguan absorpsi. Zat gizi yang bersangkutan adalah besi, protein, piridoksin (vitamin B6) yang berperan sebagai katalisator dalam sintesis hem di dalam molekul hemoglobin, vitamin C yang mempengaruhi absorpsi dan pelepasan besi dari transferin ke dalam jaringan tubuh, dan vitamin E yang mempengaruhi stabilitas membran sel darah merah (Almatsier 2006). Anemia gizi tersebut berakar pada asupan yang tidak adekuat, ketersediaan hayati rendah (buruk), dan kecacingan yang masih tinggi (Arisman 2004). Anemia gizi yang umum terjadi di Indonesia adalah karena defisiensi besi (Almatsier 2006). Anemia defisiensi zat besi lebih cenderung berlangsung di negara sedang berkembang dibandingkan dengan negara yang sudah maju. Sebesar 36% atau kira-kira 1400 juta orang dari perkiraan 3800 juta orang di negara sedang berkembang menderita anemia jenis ini, sedangkan prevalensi di negara maju hanya sekitar 8% atau kira-kira 100 juta orang dari perkiraan populasi 1200 juta orang (Arisman 2004). Secara umum ada tiga penyebab anemia defisiensi zat besi, yaitu: (1) kehilangan darah secara kronis, sebagai dampak pendarahan kronis seperti
11
pada penyakit ulkus peptikum, hemoroid, infestasi parasit dan proses keganasan, (2) asupan zat besi tidak cukup dan penyerapan tidak adekuat, dan (3) peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk pembentukan sel darah merah yang lazim berlangsung pada masa pertumbuhan bayi, masa pubertas, masa kehamilan, dan menyusui (Arisman 2004). Ketidaknormalan genetik dan keracunan obat dapat menyebabkan anemia (Stopler 2004). Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi terakhir dari defisiensi besi yang telah berlangsung lama, gejala-gejala yang muncul mencerminkan kegagalan fungsi sistem-sistem tubuh (Stopler 2004). Tanda dan gejala anemia defisiensi besi yang umum terjadi diantaranya: pucat, mudah lelah, berdebar, takikardi, sesak napas. Kepucatan dapat diperiksa pada telapak tangan, kuku, dan konjungtiva palpebra (Arisman 2004). Anemia defisiensi zat besi yang kronis pada anak-anak dapat menimbulkan perubahan perilaku dan dapat mengganggu fungsi kognitif, anak tidak dapat berkonsentrasi pada waktu yang lama dan terlihat menutup diri (Vijayaraghavan 2008). Kebiasaan Makan dan Jajan Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial dan budaya (Suhardjo 1989). Kebiasaan makan merupakan hasil interaksi antar beberapa peubah dan terbentuk sejak kecil. Menurut Sanjur (1982), kebiasaan makan mencakup empat komponen: konsumsi pangan, preferensi terhadap makanan, ideologi (pengetahuan) terhadap makanan dan sosial budaya pangan. Menurut Riyadi (2006) kebiasaan makan adalah caracara yang dipakai orang pada umumnya untuk memilih bahan makanan yang mereka makan sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, kebudayaan dan sosial. Kebiasaan makan pada anak usia sekolah tergantung pada kehidupan sosial di sekolah. Anak usia sekolah cenderung lebih menyukai makan secara bersamaan dengan teman sekolahnya. Kadang-kadang anak malas makan di rumah, hal ini disebabkan akibat stres atau sakit (Hidayat dan Alimul 2004). Kebiasaan jajan adalah salah satu bentuk kebiasaan makan. Kebiasaan untuk jajan dapat ditemukan pada semua lapisan masyarakat pada berbagai tingkat sosial ekonomi (Kusharto 1984 diacu dalam Rizki 2010). Kebiasaan jajan dapat dipengaruhi oleh persepsi seorang terhadap makanan jajanan tersebut.
12
Aspek negatif dari jajan yang terlalu sering yaitu dapat mengurangi nafsu makan anak di rumah (Khomsan 2002). Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pangan sebagai sumber berbagai zat gizi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari (Kusharto dan Sa’diyyah 2007). Penilaiaan Konsumsi Pangan Menurut Gibson (2005) penilaian konsumsi pangan individu dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Metode penilaian secara kuantitatif terdiri atas food record dan recall. Metode kuantitatif didisain untuk mengukur kuantitas konsumsi pangan individu selama periode satu hari. Penambahan jumlah hari yang diukur akan dapat memperkirakan kebiasaan intake individu. Metode kuantitatif yang sering digunakan dalam penilaian konsumsi pangan individu salah satunya adalah metode mengingat kembali atau recall 24 jam. Prinsip metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu (Supariasa et al. 2001). Menurut Kusharto dan Sa’diyyah (2007), pada metode recall ini dicatat mengenai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu (biasanya recall 24 jam). Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam URT, setelah itu baru
dikonversikan ke
dalam satuan berat. Metode recall 24 jam memiliki kelebihan diantaranya adalah: (1) pelaksanaanya mudah dan tidak membebani responden, (2) biaya relatif murah, (3) cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden, (4) dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu, sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari. Sedangkan kekurangan dari metode ini adalah: (1) tidak dapat menggambarkan recall sehari-hari, apabila hanya dilakukan recall satu kali, (2) ketepatannya sangat bergantung pada daya ingat dari responden, (3) kemungkinan responden tidak menyampaikan apa yang sebenarnya dikonsumsi,
13
(4) membutuhkan tenaga yang terampil dalam menggunakan alat-alat bantu, (5) responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan penelitian (Supariasa et al. 2001). Kecukupan Gizi Angka Kecukupan Gizi Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu, seperti kehamilan dan menyusui (Riyadi 2006). Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, kecukupan zat gizi anak yang berusia 7-9 tahun serta pria dan wanita usia 10-12 tahun adalah disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 3 Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan untuk anak usia 7-9 tahun serta pria dan wanita usia 10-12 tahun. Zat Gizi Energia Proteina Vitamin Ab Vitamin Cc Fed (kkal) (gram) (RE) (mg) (mg) Anak (7-9 tahun) 1800 45 500 45 10 Laki-laki (10-12 tahun) 2050 50 600 50 13 Perempuan (10-12 tahun) 2050 50 600 50 20 Sumber: (aHardinsyah & Tambunan 2004; bMuhilal & Sulaeman 2004; cSetiawan & Rahayuningsih 2004; dKartono & Soekatri 2004) Kategori umur
Energi Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu, dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi, dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (IOM 2002) diacu dalam Hardinsyah dan Victor (2004). Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat, dan protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain lemak/gajih dan minyak, buah berlemak (alpokat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari, dan kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar air rendah (kacang tanah dan kacang kedelai), dan aneka pangan produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya karbohidrat antara lain beras, jagung, oat, serealia lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah (pisang dan kurma), dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu, dan aneka produk turunannya.
14
Protein Protein terdiri dari asam-asam amino. Protein atau asam amino esensial berfungsi terutama sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur, ekspresi genetik, neurotransmitter, penguat struktur, penguat imunitas, dan untuk pertumbuhan. Komposisi dan jumlah asam amino esensial ini dalam suatu protein pangan turut menentukan mutu protein dari suatu jenis pangan. Mutu protein juga ditentukan oleh daya cerna protein. Semakin lengkap komposisi dan jumlah asam amino esensial dan semakin tinggi daya cerna protein suatu jenis pangan atau menu, maka semakin tinggi mutu proteinnya (Gibney, Vorster, & Kok 2002) diacu dalam Hardinsyah dan Tambunan (2004). Pangan hewani mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan pangan nabati. Di Indonesia kontribusi energi dari protein hewani terhadap total energi relatif rendah yaitu 4% (Hardinsyah et al. 2001) di dalam Hardinsyah dan Tambunan (2004), yang menurut FAO RAPA (1989) sebaiknya sekitar 15% dari total energi. Apabila terjadi defisiensi protein, maka akan menyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi termasuk besi (Almatsier 2006). Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging, unggas, ikan, dan kerang. Sedangkan sumber yang berasal dari pangan nabati seperti kedelai dan produk olahannya (tempe, tahu, dan kacang-kacangan lainnya). Protein yang berasal dari pangan hewani mengandung 40% besi hem dan 60% besi nonhem. Protein yang berasal dari bahan pangan hewani mempunyai faktor yang membantu penyerapan zat besi, mutu cerna (digestibility) dan daya manfaat (utilizable) yang tinggi dibandingkan dengan protein nabati (Almatsier 2006). Vitamin A Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Dalam makanan vitamin A biasanya terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang. Di dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif, yaitu: retinol (bentuk alkohol), retinal (aldehida), dan asam retinoat (bentuk asam). Vitamin A berperan dalam pembentukan sel darah merah melalui interaksi dengan besi (Almatsier 2006). Retinol dan besi, sama-sama diangkut oleh negative phase protein, yaitu Retinol Binding Protein (RBP) dan transferin. Sintesis kedua protein ini tertekan bila ada infeksi. Apabila asupan vitamin A diberikan dalam jumlah cukup, maka
15
dengan kemampuan vitamin A melawan infeksi, akan terjadi penurunan derajat infeksi. Akibatnya sintesis retinol binding protein dan transferin kembali normal. Kondisi ini memungkinkan besi retinol yang semula terjebak di tempat penyimpanan dapat dimobilisasi kembali. Dengan menghilangnya infeksi, besi yang semula ditahan makrofag akan dilepas kembali ke sirkulasi dan diangkut transferin untuk kepentingan eritropoeisis (Turnham 1993) diacu dalam Zarianis (2006). Vitamin A berperan dalam memobilisasi cadangan besi di dalam tubuh untuk dapat mensintesa hemoglobin. Status vitamin A yang buruk berhubungan dengan perubahan metabolisme besi pada kasus kekurangan besi. (Gillespie, 1998) diacu dalam Zarianis (2006). Beberapa penelitian membuktikan bahwa vitamin A mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan kadar hemoglobin. Pemberian suplemen vitamin A 110 mg pada anak yang kekurangan vitamin A (retinol <0,60 μmol/L) dapat meningkatkan hemoglobin dan transferrin saturasi (Bloem 1990) diacu dalam Zarianis (2006). Vitamin A terdapat di dalam pangan hewani, sedangkan karoten terutama di dalam pangan nabati. Sumber vitamin A adalah hati, kuning telur, susu (di dalam lemaknya), dan mentega. Margarin biasanya diperkaya dengan vitamin A. Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayuran dan buahbuahan yang berwarna kuning jingga, seperti daun singkong, daun kacang, kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, pepaya, mangga, nangka masak, dan jeruk. Minyak kelapa sawit yang berwarna merah kaya akan karoten (Almatsier 2006). Vitamin C Vitamin C adalah kristal putih yang mudah larut dalam air. Dalam keadaan kering vitamin C cukup stabil, tetapi dalam keadaan larut vitamin C mudah rusak karena bersentuhan dengan udara (oksidasi) terutama bila terkena panas. Vitamin C tidak stabil dalam larutan alkali, tetapi cukup stabil dalam larutan asam. Vitamin C adalah vitamin yang paling labil. Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau kofaktor. Banyak proses metabolisme dipengaruhi oleh asam askorbat, namun mekanismenya belum diketahui dengan pasti. Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi. Absorpsi besi dalam bentuk nonheme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C berperan dalam memindahkan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati (Almatsier
16
2006). Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam, seperti jeruk, nenas, rambutan, pepaya, gandaria, dan tomat. Vitamin C juga banyak terdapat di dalam sayuran daundaunan dan jenis kol (Almatsier 2006). Besi (Fe) Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Besi memiliki beberapa fungi esensial di dalam tubuh: sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Zat besi merupakan komponen penting dalam Hb darah, mioglobin, sitokrom, dan enzim katalase dan peroksidase. Sebagian besar besi dalam bentuk feri direduksi menjadi bentuk fero. Hal ini terjadi dalam suasana asam di dalam lambung dengan adanya HCl dan vitamin C yang terdapat di dalam makanan (Almatsier 2006). Faktor yang mempengaruhi kebutuhan zat besi adalah keasaman lambung dan bioavailabilitas termasuk pemacu dan penghambat penyerapan besi nonheme. Menurunnya keasaman lambung karena berbagai sebab, misalnya konsumsi antasida berlebihan, dapat menghambat penyerapan besi. Vitamin C dan asam organik merupakan pemacu penyerapan besi nonheme, sedangkan fitat, polyfenol, protein nabati dan kalsium merupakan penghambat penyerapan besi nonheme (Gallagher 2004). Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan besi nonheme dalam makanan nabati.
Besi heme hanya merupakan bagian kecil dari besi yang
diperoleh dari makanan (kurang lebih 5% dari besi total makanan), terutama di Indonesia, namun yang dapat diabsorpsi dapat mencapai 25% sedangkan nonheme hanya 5%. Agar dapat diabsorpsi, besi nonheme di dalam usus halus harus berada dalam bentuk terlarut. Besi nonheme diionisasi oleh asam lambung, direduksi menjadi bentuk fero dan dilarutkan dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula, dan asam amino yang mengandung sulfur (Almatsier 2006). Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Pengetahuan merupakan hasil proses penginderaan terhadap objek tertentu. Proses penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera
17
penglihatan, pendengaran, penciuman rasa, dan melalui kulit. Pengetahuan merupakan faktor dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang diukur dari subjek penelitian atau responden dalam pengetahuan yang ingin diketahui (Notoatmodjo 2003). Pengetahuan gizi merupakan aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman responden tentang ilmu gizi, jenis zat gizi, serta interaksinya terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi merupakan landasan yang penting dalam menentukan konsumsi makanan (Khomsan 2000). Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati et al. 1992 di dalam Sukandar 2007). Pengetahuan kesehatan merupakan hasil investasi dari pendidikan kesehatan dalam jangka pendek. Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh terhadap perilaku sebagai hasil investasi jangka menengah dan selanjutnya perilaku kesehatan akan berpengaruh terhadap peningkatan indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran dari pendidikan kesehatan (Notoatmojo 1993). Infeksi Kecacingan Berdasarkan Forum Koordinasi Pusat Program Pembinaan Anak dan Remaja (1996) menyatakan bahwa Infeksi kecacingan adalah ditemukannya telur larva atau cacing dewasa dalam tubuh, baik disertai atau tanpa gejala penyakit. Jenis infeksi kecacingan yang dimaksud adalah infeksi cacing melalui tanah, antara lain cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura)
dan
cacing
tambang
(Necator
americanus
dan
Ancylostoma
duodenale). Obat cacing yang digunakan dalam pengobatan adalah obat cacing yang memenuhi kriteria: efektif terhadap beberapa jenis infeksi kecacingan, aman (efek samping minimal), tersedia di pasaran dan harganya terjangkau oleh pemerintah ataupun masyarakat. Obat yang dianjurkan adalah Pyrantel pamoate dengan dosis 10 mg per kg BB, diberikan dengan dosis tunggal. Apabila infeksi cacing gelang telah rendah, dan ada masalah infeksi cacing cambuk di daerah itu, selanjutnya dipakai albendazole dengan dosis 400 mg per anak, diberikan dengan dosis tunggal. Dampak pengobatan ini akan menghilangkan infeksi kecacingan sehingga konsumsi makanan dapat lebih bermanfaat antara lain untuk kesehatan, perkembangan kegairahan serta produktivitas kerja. WHO
18
(1987) diacu dalam Par’I (1999) menyatakan bahwa akibat infeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) yang menyerang anak mengakibatkan menurunnya status gizi berdasarkan indikator BB/U, penurunan penyerapan laktosa dalam usus, menurunnya kadar vitamin A dalam plasma dan pendeknya waktu transit makanan dalam usus. Akibat infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale) mengakibatkan terjadinya anemia defisiensi zat gizi besi. Ascaris lumbricoides atau cacing gelang memiliki panjang 10-15 cm dan biasanya bermukim dalam usus halus. Sekitar 25% dari seluruh penduduk dunia terinfeksi cacing ini, terutama di negara tropis (70-90%). Cacing betina mengeluarkan telur dalam jumlah yang sangat banyak, sampai 200.000 telur sehari yang dikeluarkan dalam tinja. Penularan terjadi melalui makanan yang terinfeksi oleh telur dan larvanya yang berkembang dalam usus halus. Larva ini menembus dinding usus melalui hati kemudian ke paru-paru. Setelah mencapai tenggorokan, lalu larva ditelan untuk kemudian berkembang biak menjadi cacing dewasa di usus halus. Obat pilihan pertama adalah mebendazol, albendazol, dan pirantel. Seringkali kur harus diulang dengan kur kedua, karena tidak semua cacing atau telurnya dapat dimusnahkan pada tahap pertama. Anggota keluarga juga mungkin merupakan pembawa kista dan sebaiknya juga diobati. Albendazol (Eskazole) adalah derivat karbamat dari benzimidazol, berspektrum luas terhadap Ascaris, Oxyuris, Taenia, Ancylostoma, Strongyloides, dan Trichiuris. Terutama dianjurkan pada echinococciosis (cacing pita anjing). Di dalam hati zat ini segera diubah menjadi sulfoksidanya, yang diekskresikan melalui empedu dan urin. Efek sampingnya berupa gangguan lambung dan usus, demam, rontok rambut, dan exanthema (Tjay dan Rahardja 2007). Status Kesehatan Status kesehatan individual diartikan sebagai hasil proses yang digambarkan oleh fungsi produksi kesehatan yang menghubungkan status kesehatan dengan bermacam-macam input kesehatan (pelayanan kesehatan, makanan, dan sanitasi lingkungan) (Hardjono 2000). Status kesehatan dapat diukur dengan sebuah indikator kesehatan. Indikator yang dapat digunakan adalah angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas). Morbiditas lebih
mencerminkan
keadaan
kesehatan
sesungguhnya.
Morbiditas
berhubungan erat dengan faktor lingkungan seperti perumahan, air minum dan kesehatan serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi serta pelayanan kesehatan di suatu daerah (Subandriyo 1993 diacu dalam Rizki 2010).
KERANGKA PEMIKIRAN Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar hemoglobin darah kurang dari normal (Depkes 2008). Anemia hampir dialami oleh semua tingkatan usia dan salah satunya adalah anak usia sekolah. Anemia gizi yang umum terjadi di Indonesia adalah karena defisiensi besi (Almatsier 2006). Nilai hemoglobin darah merupakan salah satu indikator paling umum yang digunakan untuk mengetahui anemia gizi besi. Keadaan tertentu seperti mengidap penyakit TBC dan malaria, kehilangan darah, kekurangan zat gizi lainnya, dan kecacingan akan memperberat anemianya (Depkes 1998). Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh kebiasaan makannya (Suhardjo 1989). Kebiasaan makan (food habit) dan jajan berhubungan dengan pola konsumsi pangan contoh. Kebiasaan makan yang baik mendorong terpenuhinya kebutuhan gizi dimana pada kebiasaan makan yang baik, konsumsi pangan akan baik dan memenuhi kebutuhan gizi. Karakteristik contoh meliputi usia, jenis kelamin, uang saku, serta pengetahuan gizi dan kesehatan mempengaruhi pola konsumsi pangan secara langsung, baik dalam frekuensi, jenis dan jumlah konsumsi pangan. Anak usia sekolah merupakan masa dimana anak sudah dapat memilih makanan yang ia sukai dan kebutuhan energi mereka lebih besar dibandingkan dengan anak usia pra-sekolah. Uang saku contoh mempengaruhi daya beli contoh terhadap pangan, sehingga uang saku berhubungan dengan pola konsumsi pangan contoh dalam hal frekuensi, jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi dan kesehatan contoh yang baik dapat menuntun seseorang dalam pemilihan pangan yang akan dikonsumsi Suhardjo (1989), sehingga hal ini juga mempengaruhi pola konsumsi pangan contoh. Anemia kurang besi dipengaruhi juga oleh konsekuensi dari infeksi kecacingan dengan hilangnya darah secara kronis. Penyakit kecacingan dan anemia gizi merupakan masalah yang saling terkait dan dijumpai bersamaan dalam suatu masyarakat, yaitu karena rendahnya sosial ekonomi masyarakat dan sanitasi lingkungan yang sangat tidak memadai sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit infeksi terutama infeksi kecacingan (Passi dan Vir 2001).
20
Konsumsi Pangan, Tingkat Kecukupan
Daya Beli dan Ketersediaan Pangan
Kebiasaan makan dan jajan
Energi Protein Zat Besi Vitamin A Vitamin C
Karakteristik Contoh:
Pengetahuan gizi dan kesehatan Kadar Hemoglobin Morbiditas, Infeksi Kecacingan
Usia Jenis Kelamin Uang saku
Karakteristik Keluarga: Status Anemia
Sanitasi dan higiene lingkungan
Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Pendapatan orang tua
Keterangan Gambar : : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang diteliti : Hubungan yang tidak diteliti Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar hemoglobin siswa sekolah dasar.
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian ini menggunakan data yang berasal dari penelitian payung Ajinomoto IPB Nutrition Program yang berjudul “Peningkatan Status Gizi dan Kesehatan Anak Sekolah melalui Peningkatan Mutu dan Keamanan Makanan Jajanan Kantin”. Data yang digunakan pada penelitian ini berasal dari penelitian yang dilakukan di Sekolah Dasar Negeri Palasari 02 Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan kemudahan akses peneliti, lokasi SDN Palasari 02 dekat dengan sarana kesehatan UPTD Puskesmas Cijeruk, dan belum pernah dilakukan penelitian mengenai faktorfaktor yang berhubungan dengan kadar hemoglobin pada siswa SDN Palasari 02. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan April 2012. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jumlah contoh ditentukan dengan menggunakan rumus Lemeshow & David (1997) dengan perhitungan sebagai berikut: [(Z1-α)2 x (pxq)] n ≥ -------------------d2 n ≥ [(1.96)2 x (0.188 x 0.812)] ----------------------------------(0.1)2 n ≥ 59 Keterangan: n
= jumlah contoh
α
= derajat kepercayaan (0.05)
p
= proporsi (prevalensi anemia di Provinsi Jawa Barat pada kelompok usia anak dan remaja yang berusia 5-14 tahun menurut Riskesdas 2007 sebesar 18.8%)
q
= 1-p
d
= presisi (10%) Peneliti menggunakan estimasi drop out sebesar 10%, sehingga
diperoleh jumlah contoh minimal sebesar 65 orang. Contoh penelitian ini adalah siswa siswi sekolah dasar kelas 3, 4, dan 5 di SDN Palasari 02 pada rentang usia 7-12 tahun (Usia Anak Sekolah) dengan pertimbangan pada usia tersebut anak
22
sudah lancar membaca dan menulis serta lebih mudah untuk diwawancarai dan diberi instruksi dalam pengisian kuesioner. Selain itu tidak dipilihnya contoh dari kelas 6, dikarenakan siswa kelas 6 sedang mempersiapkan Ujian Nasional. Penarikan contoh dilakukan secara purposive yaitu siswa siswi kelas 3, 4, dan 5. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah siswa siswi kelas 3, 4, dan 5 SDN Palasari 02 serta bersedia mengikuti penelitian dari awal hingga akhir. Kriteria eksklusi adalah siswa yang keluar atau pindah dari SDN Palasari 02 ke sekolah lain dan siswa siswi yang tidak melengkapi data. Populasi siswa siswi kelas 3, 4, dan 5 SDN Palasari 02 pada tahun ajaran 2011/2012 berjumlah 104 anak. Jumlah siswa-siswi kelas 3, 4, dan 5 yang mengikuti kegiatan pada saat pengambilan baseline data berjumlah seratus anak. Terdapat satu anak yang keluar atau pindah sekolah dan 21 anak tidak melengkapi data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, sehingga didapatkan 82 anak yang dijadikan contoh dalam penelitian ini. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer yang digunakan adalah baseline data pada penelitian payung Ajinomoto IPB Nutrition Program. Baseline data tersebut diperoleh melalui wawancara dan pengisian kuesioner dimana siswa kelas 3, 4, dan 5 dikumpulkan dalam ruang kelas masing-masing untuk diberikan instruksi dalam pengisian kuesioner kemudian siswa diminta untuk mengisi kuesioner. Data yang diambil meliputi: status anemia, karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, dan uang saku), pengetahuan gizi dan kesehatan, kebiasaan makan dan jajan, morbiditas, serta konsumsi pangan siswa. Status anemia contoh diketahui dari kadar hemoglobin (Hb) darah berdasarkan hasil pemeriksaan biokimia darah di laboratorium puskesmas kecamatan Cijeruk yang dilakukan oleh tenaga puskesmas menggunakan instruction manual automatic electric hemoglobin meter (HB meter). Infeksi kecacingan diperoleh dari pemeriksaan feses secara mikroskopis yang dilakukan di UPTD Laboratorium Kesehatan Daerah untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing pada feses contoh. Pengambilan spesimen dilakukan dengan kunjungan ke SD untuk membagikan pot atau kantong plastik kepada murid yang terpilih sebagai contoh agar diisi dengan fesesnya sendiri dan dikumpulkan keesokan harinya. Pot/kantong plastik tersebut diberi identitas murid, sehingga tidak akan terjadi kekeliruan antar spesimen. Jumlah feses yang
23
dimasukkan dalam pot/kantong plastik sekitar 100 mg (sebesar kelereng). Spesimen tersebut segera diperiksa pada hari tersebut sebab kalau tidak segera diperiksa, telur cacing akan rusak atau menjadi larva (Forum Koordinasi Pusat Program Pembinaan Anak dan Remaja 1996). Bahan yang diperlukan dalam pemeriksaan menggunakan metode ini adalah lidi berukuran 5 cm, gelas objek, gelas tutup, larutan eosin 2%. Cara kerja pemeriksaan menggunakan metode ini yaitu: (1) ambillah tinja dengan lidi sebesar kacang merah, (2) tetesilah dengan larutan eosin 2%, (3) ratakan dengan lidi, (4) tutuplah dengan gelas tutup, (5) periksalah dengan mikroskop dengan perbesaran 100 x, (6) (objektif 10 kali, okuler 10 kali), bila diperlukan dapat dibesarkan menjadi 10 x 45 kali. Data sekunder mengenai keadaan umum sekolah dan karakteristik orang tua (pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan) diperoleh melalui informasi baik lisan maupun tulisan dari pihak Tata Usaha Sekolah. Data yang dibutuhkan meliputi lokasi sekolah, jumlah siswa, fasilitas sekolah. Data sekunder mengenai program kesehatan UPTD Puskesmas Cijeruk diperoleh melalui informasi lisan maupun tulisan dari pihak Tata Usaha Puskesmas dan tenaga puskesmas yang melakukan pemeriksaan kesehatan di SDN Palasari 02. Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh diperiksa terlebih dahulu agar kelengkapannya sesuai dengan tujuan penelitian. Pengolahan data meliputi beberapa tahap yaitu pengeditan, pengkodean, pengentrian dan analisis. Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia. Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dan dianalisis, kemudian dilakukan pengolahan data dengan sistem komputerisasi menggunakan perangkat lunak Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS versi 17.0 for windows. Data meliputi status anemia, karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, dan uang saku), pengetahuan gizi dan kesehatan, kebiasaan makan dan jajan, morbiditas dan infeksi kecacingan, serta konsumsi pangan siswa. Status anemia diperoleh dengan metode penentuan kadar hemoglobin contoh berdasarkan WHO (2011) untuk anak usia 5-11 tahun dan anak usia 1214 tahun. Usia contoh dikelompokkan berdasarkan sebaran data yaitu: 8 tahun, 9 tahun, 10 tahun, 11 tahun, dan 12 tahun. Jenis kelamin dikelompokkan menjadi 2, yaitu: 1) perempuan dan 2) laki-laki. Besar uang saku contoh yang diperoleh kemudian dicari interval kelas dan dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi dengan cara mengurangi skor terbesar dengan skor terkecil kemudian
24
dibagi dengan jumlah kelas yang akan dikategorikan (Sugiyono 2011). Berdasarkan sebaran data diperoleh kategori uang saku yang terdiri dari: 1) Rendah (≤Rp 3000/hari), 2) Sedang (Rp 3001-Rp 5001/hari), 3) Tinggi (≥Rp 5002/hari). Data pengetahuan gizi dan kesehatan contoh diperoleh dengan menilai jawaban yang diberikan contoh terhadap 25 pertanyaan meliputi pengetahuan tentang zat-zat gizi secara umum, fungsi zat gizi, akibat defisiensi dan kelebihan zat gizi dan perilaku sehat. Setiap jawaban yang sesuai diberikan skor 1, sedangkan setiap jawaban yang tidak sesuai diberikan skor 0. Pengetahuan gizi dan kesehatan contoh dihitung dengan menjumlahkan seluruh skor yang diperoleh. Skor maksimum dari keseluruhan pertanyaan adalah 25, sedangkan skor minimum adalah 0. Total jawaban yang benar dipersentasikan terhadap jumlah skor maksimum dan selanjutnya dikategorikan menjadi tiga kriteria. Khomsan (2000) mengelompokkan tingkat pengetahuan gizi menjadi tiga kriteria yaitu 1) kurang dengan skor <60%, 2) sedang dengan skor 60-80%, dan 3) baik jika skor >80%. Data kebiasaan makan dan jajan contoh terdiri dari 19 pertanyaan yang meliputi pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka. Data kebiasaan makan dan jajan contoh ini kemudian dijelaskan secara deskriptif. Data infeksi kecacingan diperoleh dari hasil pemeriksaan ada atau tidaknya telur cacing pada feses yang diperiksa di laboratorium
kesehatan daerah. Hasil pemeriksaan
infeksi
kecacingan dinyatakan ke dalam dua kategori, yaitu positif dan negatif. Data morbiditas diukur dari kejadian sakit dalam satu bulan terakhir, yang meliputi jenis penyakit dan lama hari sakit. Data konsumsi pangan diperoleh melalui Food Recall 1x24 jam yang dikonversikan ke dalam satuan energi (kkal), protein (gram), zat besi (mg), vitamin C (mg), dan vitamin A (RE), menggunakan daftar komposisi bahan makanan (DKBM). Konversi dihitung menggunakan rumus (Hardinsyah & Briawan 1994) sebagai berikut: Kgij
= Kandungan zat gizi dalam bahan makanan j
Bj
= Berat makanan yang dikonsumsi
Gij
= Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j
BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan Setelah konsumsi zat-zat gizi tersebut diketahui, maka tingkat kecukupan
25
energi dapat diketahui dengan cara membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual dengan kecukupan zat gizi berdasarkan (WNPG 2004). Adapun rumus untuk menghitung tingkat kecukupan gizi (TKG) menurut Hardinsyah dan Briawan (1994) adalah sebagai berikut: TKGi = (Ki/ AKGi) X 100% Keterangan: TKGi = Tingkat kecukupan gizi i (%) Ki
= Konsumsi zat gizi i (sesuai satuannya)
AKGi = Kecukupan zat gizi i yang dianjurkan (sesuai satuannya) (WNPG 2004) Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004) penilaian angka kecukupan zat gizi (energi dan protein) individu diperoleh menggunakan rumus sebagai berikut: AKE usia 7-9 tahun
= (88.5-61.9U)+26.7Ba(1.31)+903TBa+20
AKE pria dan wanita usia 10-12 tahun = (88.5-61.9U)+26.7Ba(1.31)+903TBa+25 AKPi usia 7-9 tahun pria dan wanita usia 10-12 tahun = (Ba/Bs) x AKPI Keterangan: AKEi
= Angka kecukupan energi (kkal/hari)
Ba
= Berat badan aktual sehat (Kg)
Bs
= Berat badan rata-rata (Kg) yang tercantum dalam WNPG 2004
U
= Usia contoh (tahun)
TBa
= Tinggi badan aktual contoh (kg)
AKPi
= Angka kecukupan protein (g)
AKPI
= Angka kecukupan protein (g) yang tercantum dalam WNPG 2004 Angka kecukupan vitamin A, vitamin C, dan zat besi juga diacu dalam
WNPG tahun 2004. Data hasil penelitian yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistik deskriptif dan statistik inferensia sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Data hasil penelitian diolah secara deskriptif untuk melihat distribusi frekuensi, nilai minimum, nilai maksimum, nilai median, nilai rat-rata serta nilai standar deviasi. Data yang diperoleh secara statistik inferensia dilakukan untuk menguji hipotesis. Data yang dianalisis meliputi: status anemia, karakteristik contoh, pengetahuan gizi dan kesehatan contoh, karakteristik orang tua contoh, kebiasaan makan dan jajan contoh, konsumsi pangan dan tingkat kecukupan zat gizi contoh, serta morbiditas dan infeksi kecacingan contoh.
26
Jenis analisis disesuaikan dengan jenis datanya. Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data untuk mengetahui apakah data yang ada terdistribusi normal atau tidak. Apabila data yang akan dianalisis terdistribusi normal (p>0.05), maka uji korelasi yang digunakan adalah Pearson. Sedangkan apabila data yang akan dianalisis tidak terdistribusi normal (p<0.05), maka uji korelasi yang digunakan adalah Spearman. Tabel 4 Cara pengkategorian variabel-variabel penelitian Variabel
Kategori pengukuran
Batas nilai
Karakteristik Contoh Usia
7-12 tahun
Jenis kelamin Uang saku
Tingkat kecukupan energi dan protein
1. 2. 3. 1.
Rendah Sedang Tinggi Defisit tingkat berat 2. Defisit tingkat sedang 3. Defisit tingkat ringan 4. Normal 5. Lebih
Tingkat kecukupan vitamin dan mineral
1. Kurang 2. Cukup
Tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan
1. Kurang 2. Sedang 3. Baik
1. 2. 1. 2. 3. 1.
Perempuan Laki-laki ≤ Rp 3000/hari Rp 3001-5001/hari ≥ Rp 5002/hari <70% angka kecukupan 2. 70-79% angka kecukupan 3. 80-89% angka kecukupan 4. 90-119% angka kecukupan 5. ≥120% angka kecukupan 1. < 77% angka kecukupan 2. > 77% angka kecukupan 1. skor <60% 2. skor 60-80% 3. skor >80%
Sumber
RSCM dan PERSAGI (1994) Ketentuan Peneliti Sebaran contoh Depkes (1996)
Gibson (2005)
Khomsan (2000)
Definisi Operasional Contoh adalah siswa siswi sekolah dasar kelas 3, 4, dan 5 di SDN Palasari 02 Kecamtan Cijeruk Kabupaten Bogor. Jenis kelamin adalah jenis kelamin contoh pada saat penelitian dilakukan dan dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan. Kadar hemoglobin adalah nilai yang menentukan status anemia contoh menggunakan instruction manual automatic electric hemoglobin meter (HB meter) yang dilakukan oleh tenaga puskesmas.
27
Karakteristik contoh adalah kondisi pribadi contoh meliputi usia, jenis kelamin, dan uang saku per hari. Karakteristik keluarga meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua. Kebiasaan makan dan jajan adalah tindakan makan dan jajan contoh yang telah dilakukan secara berulang untuk memenuhi kebutuhan gizinya, menggunakan instrumen kuesioner yang terdiri dari 19 pertanyaan berupa pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup. Konsumsi pangan adalah jumlah zat gizi yang dikonsumsi yang berasal dari makanan yang dikonsumsi contoh dan diperoleh melalui recall 1x24 jam Pengetahuan gizi dan kesehatan adalah skor pengetahuan contoh tentang hal yang berhubungan dengan gizi dan kesehatan yang diukur dengan menjumlahkan seluruh jawaban yang benar dari 25 pertanyaan yang diberikan melalui kuesioner. Status anemia adalah status anemia contoh yang meliputi 1) anemia dan 2) tidak anemia yang ditentukan berdasarkan kadar hemoglobin contoh. Jika anemia kemudian dikategorikan lagi menjadi anemia: 1a) ringan, 1b) sedang, dan 1c) berat. Status kesehatan adalah kondisi kesehatan contoh dilihat dari ada tidaknya contoh yang sakit selama satu bulan terakhir, meliputi jenis penyakit dan lama hari sakit. Tingkat kecukupan adalah persentasi konsumsi zat gizi (energi, protein, Fe, vitamin A, dan vitamin C) aktual contoh dibandingkan kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan WNPG 2004 untuk anak usia 7-9 tahun, pria dan wanita usia 10-12 tahun yang dinyatakan dalam %. Uang saku adalah jumlah uang yang diberikan oleh orang tua contoh per hari, kemudian dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan sebaran contoh. Usia adalah umur contoh pada saat penelitian dilakukan yang dinyatakan dalam tahun dan berada pada usia anak sekolah (7-12 tahun).
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Cijeruk merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Bogor. Terdapat sembilan desa di Kecamatan Cijeruk, yaitu: desa Palasari, Sukaharja, Tajur halang, Tanjung sari, Cipicung, Cipelang, Cibalung, Cijeruk, dan Warung menteng. Sarana kesehatan yang terdapat di Kecamatan Cijeruk antara lain rumah bersalin atau BKIA, puskesmas, puskesmas pembantu, praktek dokter, dukun khitan atau sunat, dukun bayi, dan pelayanan keluarga berencana serta posyandu. Sarana kesehatan yang paling berperan penting adalah posyandu. Posyandu dilakukan satu kali dalam satu bulan. Jumlah posyandu yang terdapat di setiap desa berbeda dan tergantung dari jumlah penduduk yang ada di desa tersebut. Semakin banyak jumlah penduduk, khususnya balita maka jumlah posyandu semakin banyak. Desa Cipicung adalah desa yang memiliki jumlah posyandu terbanyak dalam kecamatan Cijeruk. Desa Palasari memiliki sembilan posyandu. Kegiatan yang dilakukan di posyandu diantaranya penimbangan berat badan balita, pemberian imunisasi pada bayi usia 0-9 bulan, pemberian imunisasi bagi ibu hamil, serta pemberian vitamin A. Desa Palasari merupakan desa yang terletak di kaki gunung salak dengan total luas wilayah 425 Ha. Desa Palasari berjarak 15 km dari pusat pemerintahan kecamatan, 24 km dari ibu kota kabupaten, 99 km dari ibu kota provinsi, dan dari ibu kota Negara berjarak 65 km. Desa Palasari dibatasi oleh beberapa desa, diantaranya sebelah utara dibatasi oleh desa Pamoyanan, sebelah selatan desa Tanjung sari, sebelah barat desa Cipicung, dan sebelah timur dibatasi oleh desa Mulyaharja. SDN Palasari 02 adalah sebuah sekolah dasar yang beralamat di kampung Bantar Kambing Rt 03 Rw 07, Desa Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. SDN Palasari 02 memiliki NSPN dengan nomor 20200441. Sekolah ini dibangun berdasar Inpres No. 3 tahun 1977 & No. 6 tahun 1978 dengan SK pengesahan tanggal 11 Juli 1980 No. 1287/ IVC/PK/80. Luas tanah dan bangunan dari sekolah ini adalah 1200 m 2 dan 540 m2. Lokasi sebelah barat SDN Palasri 02 dibatasi oleh rumah penduduk, sebelah timur oleh kantor UPTK (Unit Pelaksana Teknis Kurikulum) XXVIII Cijeruk, sebelah selatan dibatasi oleh TPU (Tempat Pemakaman Umum), dan sebelah utara dibatasi oleh jalan desa.
29
SDN Palasari 02 adalah sekolah dengan akreditasi B. Jumlah pendidik dan tenaga kependidikan SDN Palasari 02 berjumlah delapan orang, terdiri dari satu kepala sekolah, enam guru yang masing-masing bertanggung jawab terhadap satu kelas atau disebut juga sebagai wali kelas, guru agama, dan satu orang guru olah raga yanag merangkap sekaligus sebagai wali kelas. Ijazah tertinggi dari pendidik dan tenaga kependidikan terdiri dari S1 sebanyak dua orang, DIII satu orang, DII satu orang, SMK dua orang, dan SMU berjumlah dua orang. Jumlah keseluruhan murid di sekolah ini adalah 225 murid yang terdiri dari 48 murid kelas 1, sebanyak 37 murid berada pada kelas 2, kelas 3 sebanyak 38 murid, 36 murid berada pada kelas 4, sebanyak 29 murid adalah kelas 5, dan sisanya sebanyak 37 murid merupakan kelas 6. Sarana
dan
prasarana
sekolah
terdiri dari
ruang
kelas, ruang
perpustakaan, laboratorium IPA, ruang pimpinan, ruang guru, ruang UKS, jamban, dan laboratorium bahasa. Ruang kelas berjumlah enam kelas dengan kapasitas maksimum 40 orang. Ruang perpustakaan terdiri dari buku teks pelajaran, buku panduan pendidik, buku pengayaan, buku referensi , dan sumber belajar lain. Ruang UKS terdiri dari peralatan P3K, termometer badan, dan timbangan badan. Jamban di sekolah ini berjumlah dua dengan luas 6.25 m2/jamban. Program kesehatan yang dilakukan setiap tahun oleh puskesmas Cijeruk terhadap siswa SDN Palasari 02 diantaranya adalah pemberian obat cacing, penjaringan kesehatan anak sekolah, bulan imunisasi anak sekolah (BIAS), dan kegiatan pengukuran tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS). Pemberian obat cacing dilakukan terhadap siswa kelas satu dan enam. Jenis obat cacing yang diberikan terhadap siswa kelas satu dan enam adalah albendazole. Kegiatan penjaringan kesehatan anak sekolah dilakukan setiap bulan agustus dan november. Hasil penjaringan kesehatan anak sekolah tahun 2012 yang dilakukan oleh tenaga puskesmas terhadap 47 siswa menyatakan bahwa 11 siswa mengalami gizi kurang dan sisanya sebanyak 36 siswa memiliki status gizi normal. Hasil tes kesegaran jasmani menyatakan bahwa 3 siswa dikategorikan memiliki kesegaran jasmani baik, 37 siswa termasuk kategori sedang, dan 7 siswa dikategorikan memiliki kesegaran jasmani buruk. Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan sebanyak 45 siswa termasuk normal dan 2 siswa menjalani pengobatan. Keluhan penyakit yang dirasakan siswa adalah berupa keluhan penyakit gigi dan mulut sebanyak 46 siswa, penyakit
30
infeksi saluran pernafasan atas 10 siswa, penyakit kulit sebanyak 2 siswa, serta penyakit telinga, hidung, dan tenggorokan sebanyak 2 siswa. Kegiatan bulan imunisasi anak sekolah (BIAS) dilakukan pada bulan agustus untuk imunisasi campak dan bulan november untuk imunisasi DT/TT. Kegiatan pengukuran tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS) dilakukan setiap lima tahun sekali. Karakteristik Contoh Penelitian Jenis Kelamin Contoh dalam penelitian ini adalah anak usia sekolah yang terdiri dari siswa dan siswi kelas 3, 4, dan 5 dengan proporsi yang berbeda pada setiap kelas. Secara keseluruhan, jumlah contoh dengan jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 37 siswa atau 45.1% dari total contoh keseluruhan. Sedangkan, contoh dengan jenis kelamin perempuan berjumlah 45 siswi atau 54.9% dari total contoh keseluruhan. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
n 37 45 82
% 45.1 54.9 100
Usia Kriteria inklusi pemillihan contoh dalam penelitian ini adalah anak usia sekolah (7-12 tahun). Hal ini sesuai dengan pernyataan RSCM dan PERSAGI (1994), dalam bidang ilmu gizi dan kesehatan, yang menyatakan bahwa anak dikelompokkan menjadi usia prasekolah (1-6 tahun), anak usia sekolah (7-12 tahun), dan remaja (13-18 tahun). Contoh dalam penelitian ini terdiri dari usia 812 tahun dengan proporsi yang berbeda pada setiap kelas. Berikut ini adalah tabel sebaran contoh berdasarkan usia. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan usia Usia 8 Tahun 9 Tahun 10 Tahun 11 Tahun 12 Tahun Total
n 12 26 20 23 1 82
% 14.6 31.7 24.4 28.0 1.2 100
Menurut Syarief (1997) diacu dalam Thiana (2008) periode usia sekolah merupakan bagian dari tahapan dalam siklus hidup manusia yang sangat menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM). Pada periode ini
anak
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik secara kognitif, motorik, dan emosional. Berdasarkan tabel di atas sebanyak 12 atau 14.6%
31
contoh berusia 8 tahun. Sebagian besar contoh berada pada usia 9 tahun dengan persentase sebanyak 31.7%. Sebanyak 20 contoh atau 24.4% berada pada usia 10 tahun. Persentase terendah usia contoh berada pada usia 12 tahun, yaitu sebesar 1.2% dan sebanyak 28.0% contoh berusia 11 tahun. Uang Saku Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu, seperti keperluan harian, mingguan, dan bulanan. Perolehan uang saku sering menjadi suatu kebiasaan (Napitu 1994). Berdasarkan hasil penelitian Syafitri et al. (2009) mengenai kebiasaan jajan siswa sekolah dasar menunjukkan bahwa lebih dari separuh siswa mengalokasikan uang sakunya untuk keperluan membeli makanan jajanan (68%). Terdapat hubungan yang positif dan signifikan (p<0.01) antara alokasi uang saku untuk membeli jajanan dengan jumlah jenis makanan yang dibeli. Uang saku di dalam penelitian ini adalah uang yang benar-benar dipergunakan oleh contoh untuk jajan makanan dan minuman baik di sekolah maupun di rumah selama satu hari. Berikut ini merupakan tabel sebaran contoh berdasar uang saku. Berdasarkan sebaran uang saku contoh, maka uang saku dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu rendah (≤ 3000), sedang (3001-5001), dan tinggi (≥ 5002) (Sugiyono 2011) Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan uang saku Uang Saku (Rp/hari) ≤ 3000 3001-5001 ≥ 5002 Total
Kategori
n
%
Rendah Sedang Tinggi
75 6 1 82
91.5 7.3 1.2 100
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar uang saku contoh berada pada kategori rendah atau ≤3000 dengan persentase sebesar 91.5%. Sebanyak 6 contoh atau 7.3% memiliki uang saku sebesar 3001-5001 rupiah. Uang saku yang termasuk kategori tinggi atau ≥5002 hanya dimiliki oleh 1 orang atau 1.2% dari total contoh. Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Pengetahuan
gizi
merupakan
aspek
kognitif
yang
menunjukkan
pemahaman responden tentang ilmu gizi, jenis zat gizi, serta interaksinya terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi merupakan landasan yang penting dalam menentukan konsumsi makanan (Khomsan 2000). Sebaran contoh berdasarkan skor pengetahuan gizi disajikan pada Tabel 8.
32
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi Tingkat pengetahuan gizi* n Baik 0 Sedang 11 Kurang 71 Total 82 *) Keterangan: Baik > 80%, Sedang =60-80%, Kurang < 60%
% 0 13.4 86.6 100
Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang diukur dari subjek penelitian atau responden dalam pengetahuan yang ingin diketahui (Notoatmodjo 2003). Penelitian ini menggunakan angket atau kuesioner yang diisi langsung oleh contoh. Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa tidak ada contoh yang memiliki pengetahuan gizi baik, mayoritas contoh memiliki pengetahuan gizi kurang. dengan persentase sebesar 86.4% dan sisanya memilliki pengetahuan gizi sedang dengan persentase sebesar 13.4%. Rata-rata nilai pengetahuan gizi contoh adalah 45.4 ± 11.5. Nilai tertinggi yang diperoleh adalah 72, sedangkan nilai terendah adalah 12. Rendahnya pengetahuan gizi contoh diduga dari masih sedikitnya materi mengenai gizi dan kesehatan yang disampaikan di sekolah. Tabel 9 Sebaran pertanyaan tentang pengetahuan gizi dan kesehatan yang dijawab benar oleh contoh No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Pertanyaan Makanan yang sehat Zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh Dampak makanan tidak bersih Ciri-ciri anak yang kurang gizi Istilah anak kegemukan Istilah zat karbohidrat Makanan yang banyak mengandung karbohidrat Istilah zat protein Jenis protein Telur merupakan makanan sumber protein hewani Makanan yang banyak mengandung vitamin Istilah kekurangan vitamin Akibat kekuranga vitamin C Manfaat zat besi Makanan yang banyak mengandung zat besi Makanan yang banyak mengandung kalsium Manfaat kalsium Jumlah air putih yang harus diminum dalam sehari Jenis garam yang baik Waktu untuk cuci tangan Frekuensi mandi dalam sehari yang baik Frekuensi mencuci rambut dalam seminggu Pengertian makanan bersih Pengertian makanan jajanan Kriteria makanan jajanan yang baik
n 77 43 66 65 48 42 34 8 11 23 45 11 35 15 11 63 41 24 19 66 35 24 40 42 43
% 93.9 52.4 80.5 79.3 58.8 51.2 41.5 9.8 13.4 28.0 54.9 13.4 42.7 18.3 13.4 76.8 50.0 29.3 23.2 80.5 42.7 29.3 48.8 51.2 52.4
33
Tabel 9 menjelaskan mengenai persentase jawaban dari setiap pertanyaan yang dijawab benar oleh contoh. Pertanyaan pengetahuan gizi dan kesehatan terdiri dari 25 pertanyaan pilihan berganda meliputi pengetahuan tentang zat-zat gizi secara umum, fungsi zat gizi, akibat defisiensi dan kelebihan zat gizi dan perilaku sehat. Mayoritas contoh atau sebanyak 93.9% dari jumlah contoh yang ada menjawab benar pertanyaan pertama yaitu pertanyaan mengenai pengertian makanan sehat. Pertanyaan yang paling sedikit dijawab dengan benar adalah pertanyaan mengenai protein disebut sebagai zat pembangun. Pertanyaan pada soal ini hanya dijawab benar oleh delapan contoh atau hanya 9.8% dari keseluruhan contoh yang ada. Sebanyak 15 contoh atau 18.3% dari total contoh yang menjawab benar pertanyaan mengenai manfaat zat besi dan hanya 11 contoh atau 13.4% dari keseluruhan contoh yang menjawab benar pertanyaan mengenai makanan sumber zat besi, jenis protein, dan istilah kekurangan vitamin. Masih sedikitnya contoh yang menjawab benar pertanyaan yang diberikan dikarenakan tidak semua pertanyaan yang ada pernah disampaikan di dalam mata pelajaran di sekolah. Sebanyak 80.5% contoh dapat menjawab benar pertanyaan mengenai waktu cuci tangan. Separuh contoh dalam penelitian ini mampu menjawab benar pertanyaan mengenai pengertian makanan bersih, pengertian makanan jajanan, dan kriteria makanan jajanan yang baik. Karakteristik Orang Tua Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan orang tua yang diukur pada penelitian ini adalah tingkat pendidikan ayah dan ibu contoh yang diperoleh dari arsip data siswa yang ada di sekolah. Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan orang tua dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah Putus SD SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat D1 Total
Ayah n 5 13 42 15 7 0 82
Ibu % 6.1 15.9 51.2 18.3 8.5 0 100
n 5 18 44 12 2 1 82
Total % 6.1 22.0 53.7 14.6 2.4 1.2 100
n 10 31 86 27 9 1 164
% 6.1 18.9 52.4 16.5 5.5 0.6 100
Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola
34
konsumsi pangan, dan status gizi. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik (Suhardjo 1989). Berdasarkan Tabel 10 di atas terlihat bahwa masih adanya orang tua contoh yang tidak sekolah, baik itu ayah maupun ibu. Sebanyak 15.9% dari keseluruhan ayah contoh mengalami putus sekolah pada jenjang sekolah dasar. Sebagian besar ayah contoh tamat sekolah dasar dengan persentase sebesar 51.2%. Sebanyak 18.3% ayah contoh dalam penelitian ini memiliki tingkat pendidikan SMP sederajat. Tingkat pendidikan tertinggi ayah dalam penelitian ini yaitu SMA sederajat dengan persentase sebesar 8.5%. Sebanyak 6.1% dari keseluruhan ibu contoh dalam penelitian ini tidak bersekolah dan 22% putus sekolah di jenjang sekolah dasar. Mayoritas tingkat pendidikan ibu contoh adalah SD sederajat, yaitu sebesar 53.7% dari keseluruhan ibu contoh. Sebanyak 14.6% memiliki tingkat pendidikan SMP sederajat dan sebanyak 2.4% memiliki tingkat pendidikan SMA sederajat. Tingkat pendidikan tertinggi ibu contoh dalam penelitian ini adalah D1 yaitu sebanyak satu orang. Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan orang tua adalah jenis pekerjaan orang tua (ayah dan ibu). Pekerjaan orang tua dibedakan menjadi tidak bekerja, nelayan, petani, peternak, PNS/TNI/POLRI,
karyawan
swasta,
pedagang
kecil,
pedagang
besar,
wiraswasta, wirausaha, buruh, pensiunan, dan lainnya. Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin besar (Engel et al 1994 diacu dalam Lusiana 2008). Pekerjaan kepala keluarga berpengaruh terhadap status kesehatan keluarga (Sukarni 1994). Berdasarkan arsip data sekolah mengenai karakteristik keluarga siswa menyatakan bahwa sebagian besar ayah contoh dalam penelitian ini bekerja sebagai buruh dengan persentase sebesar 26.8% kemudian diikuti dengan pekerjaan sebagai pedagang kecil sebesar 20.7% dari total keseluruhan contoh. Tidak ada ayah contoh yang termasuk ke dalam kategori pekerjaan sebagai PNS/TNI/POLRI dan pensiunan. Terdapat 4.9% ayah contoh yang tidak bekerja. Sebanyak 1.2% ayah contoh bekerja sebagai nelayan dan peternak serta sebanyak 9.8% ayah contoh bekerja sebagai petani.
35
Mayoritas ibu contoh tidak bekerja yaitu sebesar 84.1% dari total keseluruhan contoh yang ada. Terdapat 1.2% ibu contoh yang memiliki pekerjaan sebagai peternak, wiraswasta, buruh, dan pensiunan. Sebanyak 7.3% ibu contoh memiliki pekerjaan sebagai pedagang kecil dan sisanya sebanyak 3.7% termasuk dalam kategori lainnya. Berikut ini merupakan tabel sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pekarjaan orang tua Pekerjaan Tidak bekerja Nelayan Petani Peternak PNS/TNI/POLRI Karyawan swasta Pedagang kecil Pedagang besar Wiraswasta Wirausaha Buruh Pensiunan Lainnya Total
Ayah n 4 1 8 1 0 9 17 1 14 2 22 0 3 82
Ibu % 4.9 1.2 9.8 1.2 0.0 11.0 20.7 1.2 17.1 2.4 26.8 0.0 3.7 100.0
n 69 0 0 1 0 0 6 0 1 0 1 1 3 82
Total % 84.1 0.0 0.0 1.2 0.0 0.0 7.3 0.0 1.2 0.0 1.2 1.2 3.7 100.0
n 73 1 8 2 0 9 23 1 15 2 23 1 6 164
% 44.5 0.6 4.9 1.2 0.0 5.5 14.0 0.6 9.1 1.2 14.0 0.6 3.7 100.0
Pendapatan Orang Tua Pendapatan orang tua adalah pendapatan dari ayah dan ibu setiap bulan. Pendapatan orang tua dikategorikan menjadi empat, yaitu 1) Rp. 0, 2) kurang dari Rp.1000.000, 3) Rp. 1000.000 - Rp. 2000.000, 4) lebih dari Rp. 2000.000. Sebaran contoh menurut pendapatan orang tua disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan orang tua Pendapatan Rp. 0 Rp. 2.000.000 Total
Ayah n 4 47 27 4 82
% 4.9 57.3 32.9 4.9 100.0
Ibu n 68 12 2 0 82
% 82.9 14.6 2.4 0.0 100.0
Total n % 72 43.9 59 36.0 29 17.7 4 2.4 164 100.0
Berdasarkan Tabel 12 di atas terlihat bahwa masih terdapat ayah contoh yang tidak memiliki pendapatan, yaitu sebanyak empat orang atau 4.9%. Mayoritas pendapatan yang dimiliki oleh ayah contoh dalam penelitian ini adalah berada pada kategori Rp.2.000.000. Mayoritas ibu contoh tidak memiliki pendapatan, hal ini dikarenakan sebagian
36
besar ibu contoh tidak bekerja. Sebanyak 14.6% ibu memiliki pendapatan
Sebaran n
%
27 37 18 0 82
32.9 45.1 22.0 0.0 100.0
50 10 3 19 82
61.0 12.2 3.7 23.2 100.0
24 26 30 2 82
29.3 31.7 36.6 2.4 100.0
31 16 25 10
37.8 19.5 30.5 12.2
22 38 17 5 82
26.8 46.3 20.7 6.1 100.0
8 31 6 37 82
9.8 37.8 7.3 45.1 100.0
37
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sebanyak 32.9% contoh menyatakan selalu sarapan, 45.1% menyatakan kadang-kadang sarapan, dan sisanya sebanyak 22% menyatakan jarang sarapan. Pada penelitian ini tidak ada contoh yang menyatakan tidak pernah sarapan. Masih banyaknya contoh yang menyatakan kadang-kadang dan jarang sarapan kemungkinan dikarenakan contoh bangun kesiangan, sehingga tidak sempat untuk sarapan dan harus segera berangkat ke sekolah yang lokasinya lumayan jauh dari tempat tinggal contoh. Kebanyakan contoh berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, hal ini dikarenakan terbatasnya uang saku yang diberikan orang tua contoh. Selain itu disebabkan karena ada beberapa contoh yang tidak memiliki ayah dan yang bekerja adalah ibu contoh dan ketidaktahuan ibu akan manfaat sarapan bagi anak, sehingga ibu contoh tidak sempat dan enggan untuk menyiapkan sarapan untuk anak mereka. Bagi anak sekolah, makan pagi dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan memudahkan menyerap pelajaran, sehingga prestasi belajar menjadi lebih baik. Seseorang yang tidak makan pagi memiliki gangguan kesehatan berupa menurunnya kadar gula darah dengan tanda-tanda antara lain: lemah, keluar keringat dingin, kesadaran menurun bahkan pingsan. Para orang tua hendaknya memberi contoh yang baik, yaitu membiasakan makan pagi bagi anaknya (Depkes 1996). Menu sarapan contoh mayoritas adalah nasi+lauk pauk dengan persentase sebesar 61%. Sebanyak 12.2% contoh menu sarapannya berupa mie dan sebanyak 3.7% berupa roti. Pernyataan lainnya dinyatakan oleh 23.2% contoh. Pernyataan lainnya yang diisi oleh contoh berupa menu nasi uduk dan nasi goreng. Terdapat dua contoh yang menyatakan tidak pernah makan siang. Hal ini diduga anak tersebut sudah merasa kenyang dengan makanan jajanan yang mereka beli di sekolah, kondisi ini sesuai dengan pernyataan Khomsan (2002) yang menyatakan jajan yang terlalu sering dapat mengurangi nafsu makan anak di rumah. Selain itu kemungkinan anak tersebut tidak ada teman sebaya untuk makan bersama, hal ini sesuai dengan pernyataan Hidayat dan Alimul (2004) yang menyatakan bahwa anak usia sekolah cenderung lebih menyukai makan secara bersamaan dengan teman sekolahnya. Sebanyak 29.3% contoh menyatakan selalu makan siang, 31.7% menyatakan kadang-kadang, dan sebanyak 36.6% menyatakan jarang makan siang. Masih banyaknya contoh yang menyatakan tidak selalu makan siang diduga dikarenakan kebiasaan
38
mengemil contoh. Sebanyak 26.8% contoh menyatakan selalu mengemil. Selain itu terdapat contoh yang biasa membawa makan bekal dimana makanan bekal yang dibawa dimakan saat istirahat tiba dan hampir mendekati dengan waktu makan siang, sehingga contoh merasa masih kenyang saat tiba waktu makan siang. Frekuensi Makan Frekuensi makan dinyatakan dalam sebuah kuesioner atau pertanyaan yang terdiri dari empat pilihan, yaitu 1 kali, 2 kali, 3 kali, dan > 3 kali. Tabel 14 menunjukkan frekuensi makan contoh. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makan
1 2
Sebaran n 4 26
% 4.9 31.7
3 >3
41 11
50.0 13.4
Total
82
100.0
Frekuensi makan (kali/hari)
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sebanyak 4.9% contoh memiliki frekuensi makan dalam sehari adalah satu kali. Aspek negatif dari jajan yang terlalu sering yaitu dapat mengurangi nafsu makan anak di rumah (Khomsan 2002). Mayoritas frekuensi makan contoh dalam sehari adalah tiga kali, yaitu sebesar 50%. Sisanya sebanyak 31.7% contoh memiliki frekuensi makan dua kali dan sebanyak 13.4% memiliki frekuensi makan lebih dari tiga kali dalam sehari. Kebiasaan Jajan Kebiasaan jajan adalah salah satu bentuk kebiasaan makan. Kebiasaan untuk jajan dapat ditemukan pada semua lapisan masyarakat pada berbagai tingkat sosial ekonomi (Kusharto 1984 diacu dalam Rizki 2010). Berikut ini akan disajikan tabel yang menyatakan kebiasaan jajan contoh. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan jajan Kebiasan Jajan Selalu Kadang-kadang Jarang Tidak pernah Total
Sebaran n 41 10 31 0 82
% 50.0 12.2 37.8 0.0 100.0
Berdasarkan Tabel 15 di atas menyatakan bahwa separuh contoh dari total keseluruhan yang ada menyatakan selalu jajan di sekolah. Tidak ada contoh
39
yang memilih pernyataan tidak pernah, hal ini berarti bahwa semua contoh dalam penelitian ini pernah jajan. Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan oleh contoh mengapa contoh suka jajan, diantaranya adalah jajanan tersebut rasanya enak, untuk mengisi perut yang lapar, karena melihat teman jajan, jajan membuat kenyang, dan karena tidak sarapan di rumah. Jenis jajanan yang biasa dibeli oleh contoh adalah roti bakar, siomay, cilung, gorengan, es, permen, nugget goreng, kacang sukro, makaroni, bakso, kuwaci, dan cireng. Kebiasaan Minum Konsumsi cairan sangat diperlukan untuk mencegah dehidrasi dan mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Selain itu konsumsi cairan yang memadai juga bertujuan untuk mencegah cedera akibat panas tubuh yang berlebihan. Berikut adalah tabel sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum Kebiasaan minum Konsumsi air putih 8 gelas 5 gelas 3 gelas < 3 gelas Total Minuman yang biasa diminum Susu Teh manis Air putih Lainnya Total
Sebaran n
%
18 25 24 15 82
22.0 30.5 29.3 18.3 100.0
22 8 49 3 82
26.8 9.8 59.8 3.7 100.0
Berdasarakan Tabel 16 menyatakan bahwa sebanyak 22% contoh mengkonsumsi delapan gelas air putih dalam sehari. Sebanyak 30.5% contoh menyatakan mengkonsumsi lima gelas air putih dalam sehari. Contoh yang menyatakan minum air putih tiga gelas dalam sehari memiliki persentase sebanyak 29.3% dan sisanya sebanyak 18.3% mengkonsumsi air putih kurang dari tiga gelas dalam satu hari. Lebih dari separuh contoh biasa minum air putih dibandingkan dengan minum susu, teh manis ataupun minuman lainnya. Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Tingkat kecukupan zat gizi contoh adalah perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG). AKG diacu dari WNPG tahun 2004, mencakup zat gizi energi, protein, zat besi, vitamin A, dan
40
vitamin C. Kelima zat gizi dipilih karena zat gizi tersebut berhubungan dengan status anemia contoh. Rata-rata konsumsi zat gizi diperoleh dari recall 24 jam. Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Energi Angka kecukupan energi untuk contoh disesuaikan dengan berat badan dan tinggi badan aktual contoh. Selanjutnya konsumsi energi per hari contoh dibandingkan dengan angka kecukupan energi. Tingkat kecukupan energi contoh dikatakan defisit tingkat berat apabila konsumsi <70% dari angka kecukupan, defisit tingkat sedang apabila konsumsi 70-79% dari angka kecukupan, defisit tingkat ringan apabila konsumsi 80-89% dari angka kecukupan, normal apabila konsumsi 90-119% dari angka kecukupan, dan lebih apabila konsumsi ≥120% angka kecukupan energi yang dianjurkan (Depkes 1996). Tabel 17 berikut ini merupakan sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi Tingkat Kecukupan Energi Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Lebih Total
Sebaran n 36 9 12 14 11 82
% 43.9 11.0 14.6 17.1 13.4 100.0
Rata-rata konsumsi energi sehari contoh adalah 1201 ± 436 kkal. Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa tingkat kecukupan energi pada hampir separuh contoh mengalami defisit tingkat berat, yaitu sebesar 43.9%. Hal ini diduga disebabkan karena frekuensi makan contoh yang kurang dari tiga kali/hari. Selain itu masih terdapat contoh yang jarang sarapan dan makan siang. Contoh jarang sarapan dan makan siang karena jam masuk sekolah yang cukup pagi dan waktu pulang sekolah yang sudah sangat siang, selain itu terdapat beberapa ibu contoh yang harus bekerja pada pagi hari sehingga tidak sempat membuatkan sarapan untuk anaknya dan pada saat siang hari beberapa contoh merasa sudah kelelahan setelah belajar di sekolah setengah hari, sehingga ada beberapa contoh yang langsung tidur siang atau bahkan ada yang langsung main bersama teman sebaya untuk melepas stress. Kadang-kadang anak malas makan di rumah, hal ini disebabkan akibat stres atau sakit (Hidayat dan Alimul 2004). Kekurangan energi dapat menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan sehingga dapat menyebabkan penurunan konsentrasi belajar. Terdapat sebelas contoh atau 13.4% yang tingkat kecukupan energinya lebih. Hal ini karena
41
jumlah makanan yang dikonsumsi contoh cukup banyak, selain itu contoh juga banyak mengkonsumsi makanan jajanan. Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Protein Protein terdiri dari asam-asam amino. Protein atau asam amino esensial berfungsi terutama sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur, ekspresi genetik, neurotransmitter, penguat struktur, penguat imunitas, dan untuk pertumbuhan. Komposisi dan jumlah asam amino esensial ini dalam suatu protein pangan turut menentukan mutu protein dari suatu jenis pangan. Mutu protein juga ditentukan oleh daya cerna protein. Semakin lengkap komposisi dan jumlah asam amino esensial dan semakin tinggi daya cerna protein suatu jenis pangan atau menu, maka semakin tinggi mutu proteinnya (Gibney, Vorster, & Kok 2002) diacu dalam Hardinsyah dan Tambunan (2004). Tingkat kecukupan protein contoh dikatakan defisit tingkat berat apabila konsumsi <70% dari angka kecukupan, defisit tingkat sedang apabila konsumsi 70-79% dari angka kecukupan, defisit tingkat ringan apabila konsumsi 80-89% dari angka kecukupan, normal apabila konsumsi 90-119% dari angka kecukupan, dan lebih apabila konsumsi ≥120% angka kecukupan protein yang dianjurkan (Depkes 1996). Tabel 18 berikut ini akan menjelaskan mengenai sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein Tingkat Kecukupan Protein Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Lebih Total
Sebaran n 15 12 9 18 28 82
% 18.3 14.6 11.0 22.0 34.1 100.0
Rata-rata konsumsi protein sehari contoh adalah 35.5±14.2 gram. Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa hampir separuh tingkat kecukupan protein contoh termasuk defisit, baik defisit berat, sedang, maupun ringan. Konsumsi protein yang rendah tersebut diduga disebabkan oleh daya beli contoh yang relatif rendah terhadap pangan sumber protein, terutama sumber protein hewani. Harga makanan sumber protein, terutama protein hewani cenderung tinggi, sehingga contoh mengkonsumsi pangan sumber protein hewani dalam jumlah sedikit dengan frekuensi sedikit dan lebih banyak mengkonsumsi pangan sumber protein nabati, seperti tempe dan tahu yang memiliki mutu cerna yang lebih rendah dibandingkan dengan protein yang berasal dari bahan pangan
42
hewani. Protein yang berasal dari bahan pangan hewani mempunyai faktor yang membantu penyerapan zat besi, mutu cerna (digestibility) dan daya manfaat (utilizable) yang tinggi dibandingkan denga protein nabati (Almatsier 2006). Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Vitamin A Vitamin A berperan dalam pembentukan sel darah merah melalui interaksi dengan besi. Vitamin A terdapat di dalam pangan hewani, sedangkan karoten terutama di dalam pangan nabati (Almatsier 2006). Klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral menurut Gibson (2005) yaitu (1) kurang (<77% AKG) dan (2) cukup (≥77% AKG). Tabel 19 berikut ini akan menjelaskan mengenai sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A Tingkat Kecukupan Vitamin A Kurang Cukup Total
Sebaran n 60 22 82
% 73.2 26.8 100.0
Rata-rata konsumsi vitamin A sehari contoh adalah 338.7 ± 297.4 RE. Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui bahwa mayoritas tingkat kecukupan vitamin A contoh termasuk kategori kurang. Hal ini dikarenakan mayoritas contoh jarang mengkonsumsi pangan sumber vitamin A atau mengkonsumsi pangan sumber vitamin A, namun dalam jumlah sangat sedikit. Sumber vitamin A adalah hati, kuning telur, susu (di dalam lemaknya), dan mentega. Margarin biasanya diperkaya dengan vitamin A. Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayuran dan buah-buahan yang berwarna kuning jingga, seperti daun singkong, daun kacang, kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, pepaya, mangga, nangka masak, dan jeruk. Minyak kelapa sawit yang berwarna merah kaya akan karoten (Almatsier 2006). Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Vitamin C Vitamin C membantu penyerapan zat besi dari makanan yang dikonsumsi. Vitamin C dapat diperoleh dari sayuran hijau segar dan buahbuahan berwarna jingga. Vitamin C merupakan vitamin larut air yang tidak dapat disimpan di dalam tubuh, sehingga asupan yang cukup setiap hari sangat diperlukan (Almatsier 2006). Berikut ini adalah tabel sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C.
43
Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C Tingkat Kecukupan Vitamin C Kurang Cukup Total
Sebaran n 78 4 82
% 95.1 4.9 100.0
Rata-rata konsumsi vitamin C sehari contoh adalah 11.5 ± 18.2 mg. Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa hampir seluruh contoh pada tingkat kecukupan vitamin C termasuk kategori kurang, yaitu sekitar 95.1% contoh dari total keseluruhan contoh. Tingkat kecukupan vitamin C yang kurang disebabkan karena mayoritas contoh jarang mengkonsumsi pangan sumber vitamin C, khususnya buah. Hal ini dikarenakan daya beli contoh yang relatif rendah. Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan absorbsi zat besi rendah sehingga zat besi yang terkandung dalam makanan tidak dapat terserap optimal (Almatsier 2006). Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Besi (Fe) Sebagian besar besi berada di dalam hemoglobin. Besi dalam bentuk feri direduksi menjadi bentuk fero. Hal ini terjadi dalam suasana asam di dalam lambung dengan adanya HCl dan vitamin C yang terdapat di dalam makanan (Almatsier 2006). Tabel 21 berikut ini merupakan sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan zat besi. Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan zat besi Tingkat Kecukupan Zat Besi Kurang Cukup Total
Sebaran n 47 35 82
% 57.3 42.7 100.0
Rata-rata konsumsi zat besi sehari contoh adalah 9.9 ± 5.8 mg. Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui bahwa sebanyak 57.3% contoh memiliki tingkat kecukupan zat besi kurang dan sisanya sebanyak 42.7% contoh termasuk kategori cukup pada tingkat kecukupan zat besi. Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan besi nonheme dalam makanan nabati. Besi heme hanya merupakan bagian kecil dari besi yang diperoleh dari makanan (kurang lebih 5% dari besi total makanan), terutama di Indonesia, namun yang dapat diabsorpsi dapat mencapai 25% sedangkan nonheme hanya 5%. Agar dapat diabsorpsi, besi nonheme di dalam usus halus harus berada dalam bentuk terlarut. Besi nonheme diionisasi oleh asam lambung, direduksi menjadi bentuk
44
fero dan dilarutkan dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula, dan asam amino yang mengandung sulfur (Almatsier 2006). Infeksi Kecacingan Infeksi kecacingan diketahui melalui identifikasi keberadaan telur cacing dalam feses contoh. Pemeriksaan dilakukan secara kualitatif menggunakan alat mikroskop dan larutan eosin 2%. Penggunaan eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya. Feses yang digunakan dalam bentuk segar dan tidak kering serta tidak lebih dari 24 jam. Hasil dinyatakan dalam kategori positif dan negatif akan adanya telur cacing pada feses. Tabel 22 berikut ini menggambarkan sebaran contoh berdasarkan infeksi kecacingan. Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan infeksi kecacingan Sebaran
Infeksi kecacingan
n 10 72 82
Positif Negatif Total
% 12.2 87.8 100.0
Berdasarkan Forum Koordinasi Pusat Program Pembinaan Anak dan Remaja (1996) menyatakan bahwa Infeksi kecacingan adalah ditemukannya telur larva atau cacing dewasa dalam tubuh, baik disertai atau tanpa gejala penyakit. Jenis infeksi kecacingan yang dimaksud adalah infeksi cacing melalui tanah, antara lain cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura)
dan
cacing
tambang
(Necator
americanus
dan
Ancylostoma
duodenale). Tabel 22 di atas menggambarkan bahwa sebanyak 87.8% contoh tidak terinfeksi cacing atu negatif, sedangkan sisanya sebanyak 12.2% terinfeksi cacing ditandai dengan ditemukannya telur cacing pada feses contoh. Rendahnya kasus infeksi kecacingan pada siswa SDN Palasari 02 diduga karena adanya program pemberian obat cacing yang dilakukan oleh UPTD Puskesmas Cijeruk terhadap siswa sekolah dasar. Pada penelitian kali ini jenis cacing yang ditemukan pada contoh adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides). Terdapat beberapa contoh memiliki kuku yang kotor dan terbiasa mengonsumsi jajan yang kotor, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Veryana (2004). Menurut Veryana (2004) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah infeksi adalah kuku siswa yang kotor, adanya kebiasaan mengonsumsi sayuran mentah atau lalapan, adanya kebiasaan mengonsumsi jajanan yang kotor serta kebiasaan tidak memakai alas kaki.
45
Morbiditas Morbiditas/angka kesakitan merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur status kesehatan. Morbiditas lebih mencerminkan keadaan kesehatan
sesungguhnya.
Morbiditas
berhubungan
erat
dengan
faktor
lingkungan sperti perumahan, air minum dan kesehatan serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi serta pelayanan kesehatan di suatau daerah (Subandriyo 1993 diacu dalam Rizki 2010). Morbiditas siswa yang diukur pada penelitian ini meliputi jenis penyakit yang pernah diderita contoh dan lama hari sakit dalam 1 bulan terakhir. Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat selama satu bulan terakhir lebih dari separuh contoh pernah sakit dengan persentase sebesar 54.9% dari total keseluruhan contoh yang ada. Sedangkan sisanya sebanyak 45.1% menyatakan tidak pernah sakit selama satu bulan terakhir. Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit satu bulan terakhir dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit Sebaran
Kejadian Sakit
n 45 35 82
Pernah Sakit Tidak Pernah Sakit Total
% 54.9 45.1 100.0
Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rizki (2010) bahwa sebanyak 80% murid SD negeri pernah sakit dalam satu bulan terakhir. Faktor penyebab rendahnya status kesehatan pada contoh adalah masih kurangnya kesadaran siswa dalam berperilaku hidup bersih dan sehat. Hal tersebut tercermin dari kebiasaan contoh mengonsumsi makanan jajanan yang dibeli dari penjaja
makanan
di sekitar
sekolah
yang
belum
terjamin
kebersihannya. Seringkali makanan tersebut tidak disiapkan secara higienis atau juga mempergunakan bahan-bahan yang berbahaya seperti zat pewarna yang tidak diizinkan yang harganya lebih murah. Makanan jajanan yang demikian cepat atau lambat akan mendatangkan gangguan kesehatan (Khomsan 2002). Selain itu, lingkungan sekolah siswa pun masih belum mendukung sepenuhnya akan faslitas kebersihan seperti fasilitas tempat cuci tangan beserta sabun antiseptik yang berperan penting dalam mencegah penularan penyakit melalui tangan. Sukarni (1994) menyatakan bahwa faktor perilaku dan lingkungan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap status kesehatan masyarakat.
46
Jenis Penyakit yang Diderita Penyakit yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini adalah penyakit infeksi. Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit yang diderita disajikan pada Tabel 24 berikut ini. Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit yang diderita Sebaran
Jenis Penyakit
n 21 2 1 1 1 3 1 15 45
Panas Pusing Batuk Pilek Tipes Sakit Perut Panas Dalam Panas, Batuk, Pilek Total
Penyakit
infeksi
merupakan
% 46.7 4.4 2.2 2.2 2.2 6.7 2.2 33.3 100.0
penyakit
yang
disebabkan
oleh
mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, protozoa, cacing, dan sebagainya (Shulman et al. 1994; Entjang 2000) diacu dalam Rizki (2010). Jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh contoh adalah penyakit panas, yaitu sebanyak 21 orang atau dengan persentase sebesar 46.7% dari contoh yang pernah menderita sakit dalam satu bulan terakhir. Jenis penyakit berikutnya yang banyak diderita oleh contoh selama satu bulan terakhir setelah penyakit panas yaitu penyakit perpaduan antara panas dengan batuk, panas dengan pilek atau perpaduan antara ketiga penyakit tersebut dengan persentase sebesar 33.3%. Jenis penyakit pusing, batuk, dan tipes masing-masing hanya dialami oleh satu siswa dengan persentase sebesar 2.2% untuk penyakit batuk, pilek, dan tipes. Lama Hari Sakit Lama hari sakit pada penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu 1-3 hari, 4-7 hari, dan ≥8 hari. Sebagian besar contoh mengalami sakit selama 1-3 hari dengan persentase sebanyak 48.9%. Hal ini sejalan dengan penelitian Rizki (2010) yang menyatakan bahwa sebagian besar siswa SD Negeri (37.5%) mengalami sakit selama 1-3 hari. Contoh yang mengalami sakit selama ≥8 hari hanya terjadi pada tiga contoh dari total keseluruhan contoh, dimana lama sakit tersebut adalah 8 hari, 9 hari, dan 14 hari. Sedangkan sisanya sebanyak 44.4% mengalami sakit selama 4-7 hari. Sebaran contoh berdasarkan lama hari sakit disajikan pada Tabel 25.
47
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan lama hari sakit Lama Hari Sakit 1-3 hari 4-7 hari ≥8 hari Total
Sebaran n 22 20 3 45
% 48.9 44.4 6.7 100.0
Status Anemia Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar hemoglobin darah kurang dari normal (Depkes 2008). Anemia adalah suatu kondisi terjadinya defisiensi dalam ukuran atau jumlah sel darah merah atau jumlah molekul hemoglobin yang dikandungnya, sehingga membatasi terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida antara sel-sel darah dan jaringanjaringan tubuh (Stopler 2004). Kadar hemoglobin dikategorikan dalam dua kelompok berdasarkan WHO 2011, yaitu normal dan anemia (Hb <11,5 mg/dl untuk anak usia 5-11 tahun dan Hb <12 untuk anak 12-14 tahun). Sebaran contoh berdasarkan status anemia disajikan pada Tabel 26 di bawah ini. Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan status anemia Status Anemia Tidak Anemia Anemia Total
Sebaran n 3 78 82
% 3.7 96.3 100.0
Berdasarkan Tabel 26 sebagian besar contoh termasuk kategori anemia dengan persentase sebesar 96.3%. Rata-rata kadar Hb contoh yang mengalami anemia adalah 9.6 ± 1.0 g/dl. Sedangkan sisanya sebanyak 3.7% contoh dari total keseluruhan contoh yang ada termasuk kategori normal dengan rata-rata nilai kadar Hb adalah 12.2 ± 0.3 g/dl. Contoh dalam penelitian ini adalah anak usia 8-12 tahun. Menurut RSCM dan PERSAGI (2004) usia 7-12 tahun termasuk ke dalam usia anak sekolah dan berdasarkan kategori usia yang terdapat pada WNPG (2004) usia 7-9 tahun termasuk kategori anak dan usia 10-12 tahun termasuk kategori remaja, sehingga contoh dalam penelitian ini adalah termasuk kelompok usia yang rentan terhadap anemia. Kelompok usia yang paling rentan terhadap anemia adalah balita, anak-anak, remaja, serta wanita hamil dan menyusui. Hal ini terjadi karena pada masa balita, anak-anak dan remaja terjadi pertumbuhan yang sangat pesat (FAO 2001). Hasil penelitian Sinha et al. (2008) yang dilakukan di India pada anak usia 6-35 bulan menyatakan bahwa prevalensi anemia pada penelitian tersebut sangat tinggi yaitu 80.3%, dimana lebih dari seperempat anak (27.7%) termasuk anemia tingkat ringan, separuh anak
48
(51.3%) termasuk anemia tingkat sedang, dan 1.3% anak termasuk ke dalam kategori anemia tingkat berat. Berdasarkan WHO (2011) tingkat keparahan anemia dibagi menjadi tiga kategori, yaitu ringan, sedang, dan berat. Berikut ini akan disajikan tabel mengenai sebaran contoh berdasarkan tingkat keparahan anemia. Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan tingkat keparahan anemia Tingkat Keparahan Anemia Ringan Sedang Berat Total
Sebaran n 9 67 3 79
% 11.4 84.8 3.8 100.0
Sebagian besar contoh yang anemia pada penelitian ini berdasarkan tingkat keparahan anemia termasuk ke dalam kategori anemia tingkat sedang dengan persentase sebesar 84.8%. Contoh yang mengalami anemia tingkat ringan adalah sebanyak 11.4% dari total contoh yang mengalami anemia. Sedangkan contoh yang mengalami anemia tingkat berat hanya dialami oleh tiga orang contoh atau 3.8% dari total contoh yang mengalami anemia. Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kadar Hemoglobin Status anemia adalah status anemia contoh yang meliputi anemia dan tidak anemia yang ditentukan berdasarkan kadar hemoglobin contoh. Jika contoh mengalami anemia kemudian dikategorikan lagi menjadi anemia ringan, sedang, dan berat. Status anemia pada anak, terutama anak usia sekolah dapat ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang diduga berhubungan adalah karakteristik anak usia sekolah diantaranya jenis kelamin, usia, uang saku serta karakteristik orang tua seperti pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua. Kebiasaan makan dan jajan serta pengetahuan gizi dan kesehatan
diduga
merupakan
faktor yang
berhubungan
dengan
kadar
hemoglobin. Selain itu Konsumsi pangan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi, infeksi kecacingan serta morbiditas contoh diduga juga merupakan faktor yang berhubungan dengan kadar hemoglobin. Jenis analisis yang digunakan disesuaikan dengan jenis datanya. Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data untuk mengetahui apakah data yang ada terdistribusi normal atau tidak. Apabila data yang akan dianalisis terdistribusi normal (p>0.05), maka uji korelasi yang digunakan adalah Pearson. Sedangkan apabila data yang akan dianalisis tidak
49
terdistribusi normal (p<0.05), maka uji korelasi yang digunakan adalah Spearman. Hubungan antara Karakteristik Contoh dengan Kadar Hemoglobin Karakteristik contoh terdiri dari jenis kelamin, usia, dan uang saku. Berikut ini adalah tabel nilai rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan jenis kelamin. Tabel 28 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki
Status Anemia Rata-rata kadar Hb (g/dl) 9.7 9.7
Kategori Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang
Berdasarkan Tabel 28 diketahui bahwa rata-rata kadar hemoglobin contoh perempuan dengan laki-laki adalah sama, yaitu 9.7 g/dl dan termasuk ke dalam kategori anemia tingkat sedang. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kadar hemoglobin (p>0.05). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulianasari (2009) bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian anemia (p>0.05) pada kelompok remaja. Sebanyak 12 atau 14.6% contoh berusia 8 tahun. Sebagian besar contoh berada pada usia 9 tahun dengan persentase sebanyak 31.7%. Sebanyak 20 contoh atau 24.4% berada pada usia 10 tahun. Persentase terendah usia contoh berada pada usia 12 tahun, yaitu sebesar 1.2% dan sebanyak 28.0% contoh berada pada usia 11 tahun. Berikut ini disajikan tabel 29 yang merupakan nilai rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan usia contoh Tabel 29 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan usia Usia (Tahun) 8 9 10 11 12
Berdasarkan
Status Anemia Rata-rata kadar Hb (g/dl) 9.6 9.9 9.5 9.7 10.6
Tabel 29 menyatakan
bahwa
Kategori Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang
rata-rata
nilai kadar
hemoglobin tertinggi terdapat pada usia 12 tahun. Menurut Gibson (2005) umur dan jenis kelamin adalah faktor penting yang menentukan kadar hemoglobin. Nilai median hemoglobin naik selama 10 tahun pada masa kanak-kanak selanjutnya akan meningkat pada masa pubertas. Perbedaan kadar hemoglobin
50
pada jenis kelamin yang berbeda jelas nyata pada usia enam bulan. Anak lakilaki mempunyai kadar hemoglobin lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan. Hasil uji korelasi Spearman menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia contoh dengan kadar hemoglobin (p>0.05). Penelitian ini berbeda dengan pernyataan yang dikemukakan oleh FAO (2001) bahwa kelompok usia yang paling rentan terhadap anemia adalah balita, anakanak, remaja, serta wanita hamil dan menyusui. Hal ini terjadi karena pada masa balita, anak-anak, dan remaja terjadi pertumbuhan yang sangat pesat. Sebagian besar uang saku contoh berada pada kategori rendah atau ≤Rp.3.000 dengan persentase sebesar 91.5%. Sebanyak 6 contoh atau 7.3% memiliki uang saku sebesar 3001-5001 rupiah. Uang saku yang termasuk kategori tinggi atau ≥Rp.5002 hanya dimiliki oleh 1 orang atau 1.2% dari total contoh. Berikut ini merupakan tabel rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan uang saku contoh. Tabel 30 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan uang saku Uang saku (Rp) ≤3.000 3.001-5.001 ≥5.002
Status Anemia Rata-rata kadar Hb (g/dl) 9.7 10.0 10.6
Kategori Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang
Hasil uji korelasi Spearman menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara uang saku contoh dengan kadar hemoglobin (p>0.05). Meskipun demikian rata-rata kadar hemoglobin contoh yang memiliki uang saku ≥Rp.5002 lebih tinggi dibandingkan dengan contoh yang memiliki uang saku 3.001- 5.001 rupiah ataupun contoh yang memiliki uang saku ≤Rp.3.000. Hasil penelitian Syafitri et al. (2009) mengenai kebiasaan jajan siswa sekolah dasar menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan (p<0.01) antara alokasi uang saku untuk membeli jajanan dengan jumlah jenis makanan yang dibeli siswa. Sehingga, berdasarkan landasan tersebut diduga uang saku contoh yang besar dapat dialokasikan untuk membeli jajanan dengan jumlah dan jenis makanan yang lebih baik dibandingkan dengan contoh yang memiliki uang saku kecil. Hubungan antara Karakteristik Orang Tua dengan Kadar Hemoglobin Tingkat pendidikan orang tua merupakan aspek yang mempengaruhi keefektifan komunikasi dalam keluarga. Orang tua yang berpendidikan rendah mungkin hanya sedikit pengetahuannya tentang kesehatan dan perkembangan
51
anak, sehingga pengasuhan anak hanya sekedar mengikuti orang tuanya yang terdahulu atau para tetangga. Berikut ini merupakan tabel rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan pendidikan ayah contoh. Tabel 31 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan pendidikan ayah Pendidikan Ayah Tidak Sekolah Putus SD SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat
Status Anemia Rata-rata kadar Hb (g/dl) 9.3 9.5 9.8 9.4 10.1
Kategori Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang
Hasil uji korelasi Spearman menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ayah contoh dengan kadar hemoglobin (p>0.05). Meskipun demiakian, berdasarkan Tabel 30 di atas terlihat bahwa ayah contoh yang berpendidikan SMA/sederajat memiliki rata-rata kadar hemoglobin lebih tinggi dibandingkan dengan ayah contoh yang tidak sekolah, putus SD, SD/sederajat, ataupun
SMP/sederajat.
Menurut
Suhardjo
(1989)
tingkat
pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Berikut ini merupakan tabel rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan pendidikan ibu contoh Tabel 32 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan pendidikan ibu Pendidikan Ibu Tidak Sekolah Putus SD SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat D1
Status Anemia Rata-rata kadar Hb (g/dl) 9.3 9.8 9.8 9.3 9.3 9.3
Kategori Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang
Mayoritas tingkat pendidikan ibu contoh adalah SD/sederajat. Hasil uji korelasi Spearman antara pendidikan ibu contoh dengan kadar hemoglobin menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan negatif dengan kekuatan korelasi yang lemah (p<0.05, r=-0.296). Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka akan semakin rendah kadar hemoglobin contoh atau semakin berat tingkat keparahan anemia contoh. Sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan ibu maka kadar hemoglobin contoh semakin tinggi
52
atau semakin ringan tingkat keparahan anemia contoh. Namun, berdasarkan pada Tabel 32 terlihat bahwa contoh dengan ibu yang pendidikannya adalah SD/sederajat memiliki rata-rata kadar hemoglobin lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak sekolah. Terjadinya hubungan yang nyata dan negatif pada penelitian ini diduga karena pada ibu yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung bekerja seperti menjadi buruh, sehingga ibu tersebut kurang dapat meluangkan waktu untuk memperhatikan keadaan kesehatan dan pola makan anaknya. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal diharapkan semakin tinggi pula tingkat
pendidikan
kesehatannya,
karena
tingkat
pendidikan
kesehatan
merupakan bentuk intervensi terutama terhadap faktor perilaku kesehatan. Pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana menghindari atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan orang lain, kemana
seharusnya
mencari
pengobatan
bila
sakit
dan
sebagainya
(Notoatmodjo 2003). Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin besar (Engel et al. 1994 diacu dalam Lusiana 2008). Hasil uji korelasi Spearman menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ayah contoh dengan kadar hemoglobin (p>0.05). Hal ini berbeda dengan teori yang dinyatakan oleh Sukarni (1994) bahwa pekerjaan kepala keluarga berpengaruh terhadap status kesehatan keluarga. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulianasari (2009) bahwa tidak adanya hubungan bermakna antara pekerjaan dengan kejadian anemia (p>0.05). Tidak adanya hubungan signifikan antara pekerjaan ayah dengan kadar hemoglobin diduga karena jumlah anggota keluarga yang ditanggung oleh kepala keluarga juga besar, sehingga semakin baik jenis pekerjaan tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan gizi tiap anggota keluarga. Namun demikian, berdasarkan Tabel 33 terlihat bahwa rata-rata kadar hemoglobin contoh dengan ayah yang bekerja lebih tinggi dibandingkan yang tidak bekerja. Berikut ini merupakan tabel rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan status pekerjaan.
53
Tabel 33 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan status pekerjaan Status Anemia Rata-rata kadar Hb (g/dl)
Status Pekerjaan Ayah Tidak bekerja Bekerja Ibu Tidak bekerja Bekerja
Kategori
9.4 9.7
Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang
9.7 9.5
Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang
Hasil uji korelasi Spearman menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status pekerjaan ibu contoh dengan kadar hemoglobin (p>0.05). Meskipun demikian, berdasarkan Tabel 33 terlihat bahwa rata-rata kadar hemoglobin contoh dengan ibu yang tidak bekerja lebih tinggi dibandingkan yang bekerja. Ibu yang tidak bekerja diduga memiliki waktu lebih banyak dalam memperhatikan konsumsi pangan contoh, seperti menyiapkan sarapan serta memantau status kesehatan contoh. Pekerjaan
seseorang
dapat mempengaruhi
besarnya
pendapatan
sehingga mempengaruhi kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi (Kumaidi 1989 di dalam Yulianasari 2009). Berikut ini merupakan tabel rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan pendapatan ayah dan ibu contoh. Tabel 34 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan pendapatan Pendapatan Ayah Rp. 0 Rp. 2.000.000 Ibu Rp. 0
Status Anemia Rata-rata kadar Hb (g/dl)
Kategori
9.4 9.7 9.7 9.3
Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang
9.7 9.5 9.5
Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang
Hasil uji korelasi Spearman menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan ayah maupun ibu dengan kadar hemoglobin (p>0.05). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida (2007) bahwa terdapat hubungan antara variabel tingkat pendapatan dengan kejadian anemia pada remaja putri (p=0.001). Berdasarkan uji korelasi Rank Spearman yang dilakukan pada penelitian Farida (2007) menunjukkan tidak ada hubungan pendapatan dengan tingkat konsumsi energi, protein, besi, vitamin A, dan vitamin C. Meningkatnya pendapatan keluarga belum pasti diikuti dengan meningkatnya konsumsi energi, protein, besi, vitamin A, dan vitamin C pada remaja putri.
54
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan, sehingga terjadi hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi. Penurunan pendapatan akan berpengaruh pada perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga yang selanjutnya berhubungan dengan gizi termasuk status anemia (Sediaoetama 2006). Hubungan antara Pengetahuan Gizi dan Kesehatan dengan Kadar Hemoglobin Pengetahuan gizi merupakan landasan yang penting dalam menentukan konsumsi makanan (Khomsan 2000). Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati et al. 1992 di dalam Sukandar 2007). Berikut ini merupakan tabel rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan pengetahuan gizi dan kesehatan. Tabel 35 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan pengetahuan gizi dan kesehatan Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Rendah Sedang
Status Anemia Rata-rata kadar Hb (g/dl) Kategori 9.8 Anemia tingkat sedang 9.1 Anemia tingkat sedang
Berdasarkan Tabel 35 di atas, contoh yang memiliki tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan rendah rata-rata memliki kadar hemoglobin lebih tinggi dibandingkan dengan contoh yang memiliki pengetahuan gizi sedang. Hasil uji korelasi Spearman menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan negatif antara pengetahuan gizi contoh dengan kadar hemoglobin (p<0.05, r=0.233). Hasil tersebut menunjukkan semakin tinggi pengetahuan gizi dan kesehatan contoh maka kadar hemoglobin contoh semakin rendah. Sebaliknya semakin rendah pengetahuan gizi dan kesehatan contoh maka kadar hemoglobin semakin tinggi atau status anemia contoh tersebut semakin baik. Hal ini diduga karena peningkatan pengetahuan
tidak selalu menyebabkan
perubahan perilaku (Anwar 1998 di dalam Farida 2007). Hal serupa ditunjukkan pada beberapa penelitian di berbagai negara yang menemukan bahwa pendidikan gizi sangat efektif untuk merubah pengetahuan dan sikap anak terhadap makanan, tetapi kurang efektif untuk merubah praktek makan (Februhartanty 2005).
55
Hubungan antara Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Kadar Hemoglobin Metode yang digunakan dalam penilaian konsumsi pangan pada penelitian ini adalah metode recall 24 jam. Metode recall 24 jam memiliki kelebihan diantaranya adalah: (1) pelaksanaanya mudah dan tidak membebani responden, (2) biaya relatif murah, (3) cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden, (4) dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu, sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari. Sedangkan kekurangan dari metode ini adalah: (1) tidak dapat menggambarkan recall sehari-hari, apabila hanya dilakukan recall satu kali, (2) ketepatannya sangat bergantung pada daya ingat dari responden, (3) kemungkinan responden tidak menyampaikan apa yang sebenarnya dikonsumsi, (4) membutuhkan tenaga yang terampil dalam menggunakan alat-alat bantu, (5) responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan penelitian (Supariasa et al. 2001). Tabel 36 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan tingkat kecukupan Status Anemia
Tingkat Kecukupan
Rata-rata kadar Hb (g/dl)
Kategori
9.7 9.8 9.7 9.6 9.6
Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang
9.7 9.6 9.7 9.5 9.8
Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang
Energi Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Lebih Protein Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Lebih
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu, dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi, dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (IOM 2002) diacu dalam Hardinsyah dan Victor (2004). Menurut Almatsier (2006), protein berfungsi mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralitas tubuh, membantu antibodi, dan mengangkut
zat-zat
gizi.
Protein
memegang
peranan
esensial
dalam
mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Protein yang berperan
56
sebagai pengangkut zat besi di dalam tubuh adalah transferin. Kekurangan protein dapat menyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi termasuk zat besi. Berikut ini adalah tabel rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein. Hasil uji korelasi Pearson antara variabel konsumsi dan tingkat kecukupan energi dengan kadar hemoglobin menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Begitu pun hasil uji korelasi Pearson antara variabel konsumsi dan tingkat kecukupan protein dengan kadar hemoglobin menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Veryana 2004) yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil uji korelasi Pearson tidak terdapat hubungan yang nyata antara status anemia dengan konsumsi energi (r=0.088, p=0.533) dan protein (r=0.038, p=0.785). Berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein secara keseluruhan rata-rata kadar hemoglobin contoh termasuk kategori anemia tingkat sedang. Konsumsi protein hewani dapat meningkatkan penyerapan zat besi dalam tubuh. Protein merupakan salah satu zat gizi yang dibutuhkan untuk penyerapan zat besi. Dengan rendahnya konsumsi protein maka dapat menyebabkan rendahnya penyerapan zat besi oleh tubuh, khususnya protein yang berasal dari pangan hewani. Keadaan ini dapat mengakibatkan tubuh kekurangan zat besi dan dapat menyebabkan anemia atau penurunan kadar hemoglobin. Rendahnya konsumsi zat besi contoh antara lain disebabkan karena masih rendahnya kemampuan keluarga contoh untuk menyajikan sumber zat besi khususnya protein hewani dalam menu makanan sehari-hari. Selain itu konsumsi makanan contoh masih belum beragam. Berikut ini adalah rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, dan zat besi. Tabel 37 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan tingkat kecukupan Tingkat Kecukupan Vitamin A Kurang Cukup Vitamin C Kurang Cukup Zat Besi Kurang Cukup
Status Anemia Rata-rata kadar Hb (g/dl)
Kategori
9.7 9.6
Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang
9.7 9.5
Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang
9.6 9.8
Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang
57
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman antara variabel konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin A dengan kadar hemoglobin menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Begitu juga hasil uji korelasi antara konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin C dengan kadar hemoglobin (p>0.05). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan lebih dari separuh contoh memiliki tingkat kecukupan zat besi kurang. Hasil uji korelasi Pearson antara variabel konsumsi dan tingkat kecukupan zat besi dengan kadar hemoglobin menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh (Gunatmaningsih 2007) bahwa tidak ada hubungan antara tingkat konsumsi zat besi dengan kejadian anemia pada remaja putri di SMA Negeri 1 Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes (p=0.592). Tidak adanya hubungan antara konsumsi dan tingkat kecukupan zat besi dengan kadar hemoglobin dalam penelitian ini antara lain disebabkan oleh masih rendahnya penyerapan zat besi dalam tubuh, hal ini ditandai dengan masih banyak contoh yang termasuk ke dalam kategori kurang pada tingkat kecukupan vitamin A dan C serta protein. Sebagian besar contoh jarang mengonsumsi buah sumber vitamin A dan C yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi di dalam tubuh. Hubungan antara Infeksi Kecacingan dengan Kadar Hemoglobin Hasil uji korelasi Spearman menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara infeksi kecacingan dengan kadar hemoglobin (p>0.05). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian (Veryana 2004) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara status anemia dengan status kecacingan (r=0.200, p=0.151). Berikut ini adalah tabel rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan infeksi kecacingan. Tabel 38 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan infeksi kecacingan Infeksi Kecacingan Positif Negatif
Status Anemia Rata-rata kadar Hb (g/dl) Kategori 9.3 Anemia tingkat sedang 9.7 Anemia tingkat sedang
WHO (1987) diacu dalam Par’i (1999) menyatakan bahwa akibat infeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) yang menyerang anak mengakibatkan menurunnya status gizi berdasarkan indikator BB/U, penurunan penyerapan laktosa dalam usus, menurunnya kadar vitamin A dalam plasma dan pendeknya
58
waktu transit makanan dalam usus. Akibat infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale) mengakibatkan terjadinya anemia defisiensi zat gizi besi. Sehingga, diduga hal tersebut yang menjadikan rata-rata kadar hemoglobin contoh yang positif terinfeksi cacing lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata kadar hemoglobin contoh yang tidak terinfeksi cacing. Hubungan antara Morbiditas dengan Kadar Hemoglobin Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman yang dilakukan antara kejadian sakit satu bulan terakhir dan lama hari sakit dengan kadar hemoglobin menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Tabel 39 adalah rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan kejadian sakit dan lama hari sakit. Tabel 39 Rata-rata kadar hemoglobin contoh berdasarkan kejadian sakit dan lama hari sakit Kejadian Sakit Pernah Sakit Tidak Pernah Sakit Lama Hari Sakit 1-3 hari 4-7 hari ≥8 hari
Status Anemia Rata-rata kadar Hb (g/dl) Kategori 9.9 Anemia tingkat sedang 9.4 Anemia tingkat sedang 9.8 10.0 9.5
Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang Anemia tingkat sedang
Tidak adanya hubungan yang signifikan ini diduga karena jenis penyakit yang diderita oleh contoh merupakan jenis penyakit yang tidak mempengaruhi kadar hemoglobin. Berbagai status penyakit dapat mempengaruhi kadar hemoglobin. Kadar hemoglobin rendah timbul pada infeksi kronik dan peradangan. Status penyakit kronik ini meliputi HIV-AIDS, hemoglobinopathies dan infeksi karena Schistosomiasis, Trichuriasis, dan Ascaris (Gibson 2005). Penyakit TBC dan malaria dapat memperberat keadaan anemia seseorang (Depkes 1998), selain itu menurut UNICEF (1998) diare juga dapat memperberat kejadian anemia.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar hemoglobin anak usia sekolah di SDN Palasari 02 Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, dapat disimpulkan bahwa: 1. Sebagian besar contoh (96.3%) termasuk kategori anemia. Rata-rata kadar Hb contoh yang mengalami anemia adalah 9.6±1.0 g/dl. Sedangkan sisanya sebanyak 3.7% termasuk kategori normal dengan rata-rata nilai kadar Hb adalah 12.2±0.3 g/dl. Sebagian besar contoh yang anemia (84.8%) termasuk ke dalam kategori anemia tingkat sedang. Contoh yang mengalami anemia tingkat ringan adalah sebanyak 11.4% dari total contoh yang mengalami anemia. Sedangkan contoh yang mengalami anemia tingkat berat adalah 3.8% dari total contoh yang mengalami anemia. 2. Mayoritas contoh memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan kurang dengan persentase sebesar 86.4% dan sisanya memilliki pengetahuan gizi dan kesehatan sedang dengan persentase sebesar 13.4%. Rata-rata nilai pengetahuan gizi dan kesehatan contoh adalah 45.4±11.5. 3. Sebanyak 32.9% contoh menyatakan selalu sarapan, 45.1% menyatakan kadang-kadang sarapan, dan sisanya sebanyak 22% menyatakan jarang sarapan. Menu sarapan contoh mayoritas adalah nasi+lauk pauk dengan persentase sebesar 61%. Sebanyak 12.2% contoh menu sarapannya berupa mie dan sebanyak 3.7% berupa roti. Sisanya sebanyak 23.2% contoh menyatakan sarapan berupa nasi uduk/nasi goreng. Sebanyak 4.9% contoh memiliki frekuensi makan dalam sehari adalah satu kali. Mayoritas frekuensi makan contoh dalam sehari adalah tiga kali, yaitu sebesar 50%. Sisanya sebanyak 31.7% contoh memiliki frekuensi makan dua kali dan sebanyak 13.4% memiliki frekuensi makan lebih dari tiga kali dalam sehari. Semua contoh menyatakan pernah jajan. Dalam sehari konsumsi air putih contoh adalah
22%
sebanyak
delapan
gelas,
30.5%
contoh
menyatakan
mengonsumsi lima gelas, 29.3% tiga gelas, dan sisanya sebanyak 18.3% mengonsumsi air putih kurang dari tiga gelas. Lebih dari separuh contoh biasa minum air putih dibandingkan dengan minum susu, teh manis ataupun minuman lainnya.
60
4. Rata-rata konsumsi energi, protein, vitamin A, vitamin C, dan zat besi sehari contoh masih berada di bawah statndar AKG yang dianjurkan. Tingkat kecukupan energi pada hampir separuh contoh mengalami defisit berat, yaitu sebesar 43.9%. Masih banyak tingkat kecukupan energi dan protin contoh yang mengalami defisit. Sebagian besar tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, dan zat besi contoh termasuk ke dalam kategori kurang. 5. Sebanyak 87.8% contoh tidak terinfeksi cacing atau negatif, sedangkan sisanya sebanyak 12.2% terinfeksi cacing ditandai dengan ditemukannya telur cacing pada feses contoh. 6. Lebih dari separuh contoh (54.9%) pernah sakit. Sedangkan sisanya sebanyak 45.1% menyatakan tidak pernah sakit selama satu bulan terakhir. Jenis penyakit yang paling banyak diderita adalah panas (46.7%). Sebagian besar contoh mengalami sakit selama 1-3 hari (48.9%). 7. Faktor yang berhubungan dengan kadar hemoglobin pada penelitian ini adalah pendidikan ibu contoh dan pengetahuan gizi dan kesehatan contoh. Saran Adapun saran yang ingin penulis sampaikan diantaranya: 1. Memberikan penyuluhan kepada contoh dan orang tua mengenai tanda dan gejala anemia serta langkah-langkah untuk mengantisipasi anemia. 2. Perlunya dilakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin kepada siswa sekolah dasar, khususnya yang berkaitan dengan status anemia. 3. Menyediakan sarana dan prasarana yang juga mendukung kondisi kesehatan siswa, seperti adanya jamban yang sehat, kantin yang sehat, dan jajanan yang sehat.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Arisman MB. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC. Bardosono S. 2011. Anemia dan tubuh pendek masih mengancam. Kompas. http://health.kompas.com/read/2011/10/18/15001672/Anemia.dan.Tubuh. Pendek.Masih.Mengancam [4 Feb 2012]. Brody T. 1994. Nutrition Biochemistry. New York: Academic Press. [Depkes] Departemen Kesehatan. 1998. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi Untuk Remaja Putri dan Wanita Usia Subur. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. ________. 1996. Panduan 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. ________. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 1996. Laporan Akhir Survei Konsumsi Gizi Tahun 1995. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. Human vitamin and mineral requirement (report of a joint FAO/WHO expert consultation Bangkok,Thailand). Rome: Food and Nutrition Division. ftp://ftp.fao.org/docrep/Fao/004/y2809e/y2809e00.pdf. [4 Feb 2012]. Farida I. 2007. Determinan kejadian anemia pada remaja putri di kecamatan Gebog kabupaten Kudus tahun 2006 [tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Februhartanty J. 2005. Nutrition education: it has never been an easy case for Indonesia. Food and Nutrition Bulletin. 26(2): S267-S274. Forum Koordinasi Pusat Program Pembinaan Anak dan Remaja. 1996. Petunjuk Teknis bagi Pengelola Program Pemberantasan Infeksi Kecacingan Siswa SD dan MI dalam Rangka PMT-AS. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Gallagher ML. 2004. The Nutrients and Their Metabolism. Di dalam: Mahan LK & Stump SE, editor. Krause’s Food, Nutrition and Diet Therapy 11 th edition. USA: Elsevier.
62
Gibson RS. 2005. Priciples of Nutritional Assesment 2nd edition. USA: Oxford University Press. Gunatmaningsih D. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putrid di SMA negeri 1 Kecamatan Jatibarang Kabupaten Brebes tahun 2007 [skripsi]. Semarang: Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan. UNNES. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. _________ , Tambunan V. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan. Di dalam: Soekirman et al., editor. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: LIPI. ( 317-329). Hardjono. 2000. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat untuk hidup sehat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Hidayat A dan Alimul A. 2004. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Surabaya: Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Kartono D, Soekatri M. 2004. Angka Kecukupan Mineral. Di dalam: Soekirman et al., editor. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: LIPI. ( 393-415). Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. __________. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Bogor. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kusharto CM dan Sadiyyah NY. 2007. Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Lemeshow S dan David WHJ. 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan (terjemahan). Yogyakarta: Gadjahmada University Press. Lin JD et al. 2010. Prevalence and associated risk factors of anemia in children and adolescents with intellectual disabilities. Research in Developmental Disabilities 31: 25–32. Lusiana SA. 2008. Status gizi, konsumsi pangan, dan usia menarche anak perempuan sekolah dasar di Bogor [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian. IPB. Muhilal dan Sulaeman A. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak. Di dalam: Soekirman et al., editor. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era
63
Otonomi Daerah dan Globalisasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: LIPI. ( 331-353). Napitu N. 1994. Perilaku jajan di kalangan siswa SMA di kota dan di pinggiran kota DKKI Jakarta [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Notoatmodjo S. 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset. ___________. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. ________________. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Par’I MH. 1999. Pengaruh pemberian obat cacing terhadap peningkatan status gizi pada anak sekolah dasar Pasir Kaliki Cimahi Utara, Bandung [tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Passi SJ dan Vir SC. 2001. Functional Consequences of Nutritional Anemia in School Age Children. Di dalam: Ramakrishnan U, editor. Nutritional Anemias. USA: CRC Press. Riyadi H. 2006. Materi Pokok Gizi dan Kesehatan Keluarga. Jakarta: Universitas Terbuka. Rizki J. 2010. Kontribusi makanan jajanan, tingkat kecukupan energi dan zat gizi serta morbiditas anak usia sekolah dasar di Kota Bogor. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. IPB. RSCM dan Persagi. 1994. Penuntun Diit Anak. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa. Jakarta: Dian Rakyat. Setiawan B, Rahayuningsih S. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Air. Di dalam: Soekirman et al., editor. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: LIPI. ( 355-373). Sinha et al. 2008. Epidemiological correlates of nutritional anemia among children (6-35 months) in rural wardha, central india. Indian J Med Sci. 62(2): 45-54 Soetardjo S. 2011. Gizi Anak. Di dalam: Almatsier S, editor. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta :Gramedia hlm. 277-313. Stopler 2004. Medical Nutrition Therapy of Anemia. Di dalam: Mahan LK & Stump SE, editor. Krause’s Food, Nutrition and Diet Therapy 11 th edition. USA: Elsevier. Suhardjo. 1989. Sosio budaya gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas, IPB.
64
Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi dan Sanitasi. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Sukarni M. 1994. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Syafitri Y, Syarief H, dan Baliwati YF. 2009. Kebiasaan jajan siswa sekolah dasar (studi kasus di SDN Lawanggintung 01 Kota Bogor). Jurnal Gizi dan Pangan 4(3): 167-175. Syarief. 1997. Membangun SDM berkualitas. Suatu telaah gizi masyarakat dan sumber daya keluarga. Bogor: IPB Tjay TH dan Rahardja K. 2007. Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. UNICEF. 1998. Preventing iron deficiency in women and children: background and consensus on key technical issues and resources for advocacy, planning, and implementing national programs. Canada: International Nutritional Foundation (INF). Veryana H. 2004. Hubungan status anemia, status kecacingan, status gizi dan konsumsi pangan anak sekolah di lingkungan TPA Bantar Gebang Bekasi [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. IPB. Vijayaraghavan K. 2004. Anemia karena Defisiensi Zat Besi. Di dalam: Gibney MJ et al., editor. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. 276-286. [WHO] World Health Organization. 2000. The management of nutrition in major emergencies. http://whqlibdoc.who.int/publications/2000/9241545208.pdf. [4 Feb 2012]. ___________________________. 2001. Iron deficiency anemia assessment, prevention, and control, a guide for programme manger. http://whqlibdoc.who.int/hq/2001/WHO_NHD_01.3.pdf. [4 Feb 2012]. __________________________. 2011. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity. http://www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin.pdf. [4 Feb 2012]. Yulianasari AI. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian anemia pada remaja dan dewasa di DKI Jakarta tahun 2007 [skripsi]. Bogor. Departemen Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. IPB. Zarianis. 2006. Efek suplementasi besi-vitamin C dan vitamin C terhadap kadar hemoglobin anak sekolah dasar yang anemia di kecamatan Sayung kabupaten Demak [tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro.
65
Lampiran 1 Data Hb dan konsumsi zat gizi (energi, protein, vit.A, vit. C, Fe) Kode Contoh 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 318 319 320 321 322 323 324 325 327 328 329 330 331 332 334 335 336 401 402 403 404 405 406 407 408 409 410 411 412 413 414 416 417 418 419 420
Hb (g/dl) 10.4 11.3 9.5 9.6 10.3 10.8 10.3 10.4 12.1 10.8 9.6 10.3 10 9.8 9.6 11 10.8 10.6 10.1 9 10.5 9.5 8.3 8.9 8.3 8.1 9 8.3 9 8.1 8.9 9.1 11.1 9.3 9.4 8.4 9 9.4 8 8.8 9.5 7.9 9.5 9.9 9 8.5 9.5 9.6 8.6 10.6 8.3 8.3
E (kkal) 1124 1678 359 992 871 849 894 1721 980 1477 665 1965 1415 707 896 893 738 1385 1165 1955 1212 1312 1406 1145 1233 1103 862 1716 1863 670 625 909 845 794 1872 1725 1423 597 2489 1025 995 665 928 1543 1209 1094 1238 832 471 1132 1158 1015
P (g) 50.2 55.6 9.1 34.1 16.0 29.5 23.8 42.0 15.8 51.5 22.9 42.2 48.9 29.7 22.6 23.0 21.2 41.8 29.2 49.0 40.0 46.3 47.2 30.3 24.6 23.8 30.0 53.9 54.6 19.8 13.8 27.1 22.9 22.8 49.9 44.1 51.7 22.4 83.2 21.2 24.9 15.8 31.7 44.0 30.3 34.3 45.1 22.6 16.2 37.3 48.6 43.4
Konsumsi Vit A (RE) 466.8 146.6 324.4 231.1 117.2 285.6 112.6 412.4 55.6 637.9 202.3 675.1 329.8 0.0 398.1 71.7 78.0 595.1 404.4 601.0 305.0 229.6 849.0 43.3 122.5 238.9 146.5 242.4 469.9 121.5 0.0 261.9 11.3 618.3 269.8 166.9 24.2 320.0 1114.5 188.8 240.4 423.0 269.9 500.6 320.0 263.2 549.9 265.0 134.4 1840.3 105.1 928.5
Vit C (mg) 19.8 6.4 9.5 0.4 1.7 1.0 0.4 12.3 0.0 10.0 4.4 17.5 4.3 0.0 5.7 5.0 2.2 9.0 18.8 19.3 17.3 0.9 1.6 0.0 12.0 6.6 3.4 0.4 9.7 4.8 0.4 15.3 0.0 5.1 1.1 0.0 43.1 29.2 65.4 7.4 0.4 31.5 36.7 0.0 32.1 15.0 27.6 11.6 0.0 5.6 11.8 123.6
Fe (mg) 20.6 24.8 1.3 6.7 2.6 6.2 8.7 13.8 5.1 16.7 9.4 13.9 15.1 11.7 7.3 10.9 4.8 9.9 6.6 15.6 18.6 17.6 17.7 5.4 7.9 9.3 7.0 23.0 17.6 3.0 6.1 7.8 9.3 6.0 13.9 5.4 16.2 3.6 21.0 2.6 5.6 2.9 4.0 12.4 10.4 11.9 7.0 5.6 6.5 5.6 4.0 17.2
66
421 422 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434 435 436 437 501 502 507 508 511 513 514 515 516 517 520 522 523 524 Minimum Maksimum Rata-rata Std.Deviasi
10.5 10.3 9.8 11 10.1 10 9.6 12.5 9.6 8.4 10.1 11.1 11 11 9.3 11 10.9 9.3 9.4 12 8.5 8.1 10.6 10.9 8.9 7.5 8.8 11.3 9.9 8.1 7.5 12.5 9.7 1.1
619 1151 1058 1290 1123 1320 1281 1332 1575 1295 907 771 1829 1345 788 687 1164 1123 1520 2426 1187 1821 1136 2032 1500 1249 1816 1008 572 1723 359 2489 1201 436
19.0 42.2 36.9 38.2 39.6 39.4 28.6 39.5 39.5 24.3 21.8 20.5 48.8 37.1 19.7 15.0 63.0 42.7 43.5 50.6 45.0 42.0 30.5 59.4 47.4 33.4 75.3 31.2 21.2 34.9 9.1 83.2 36 14.2
0.0 229.6 362.4 16.2 473.0 344.8 437.9 88.5 386.5 5.4 226.9 266.0 205.9 440.8 277.4 73.5 918.4 232.7 342.9 437.4 113.3 390.0 319.7 864.1 730.2 422.5 964.6 134.4 224.4 113.3 0.0 1840.3 339 297.4
0.0 0.0 15.5 17.9 2.9 0.0 12.6 62.0 0.4 0.0 1.7 0.4 1.1 1.3 0.0 0.4 2.8 14.5 10.7 13.8 0.3 29.6 6.0 22.9 11.7 3.8 33.2 0.7 3.8 8.8 0.0 123.6 12 18.2
3.3 16.5 14.1 10.5 11.7 9.0 6.8 4.4 7.9 4.5 4.1 4.1 19.4 9.5 3.4 1.9 4.7 6.1 16.4 20.8 8.0 9.1 4.8 22.3 12.1 6.5 16.6 9.3 10.4 8.9 1.3 24.8 10 5.8
Lampiran 2 Data Hb dan tingkat kecukupan zat gizi Kode Contoh 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316
Hb (g/dl) 10.4 11.3 9.5 9.6 10.3 10.8 10.3 10.4 12.1 10.8 9.6 10.3 10 9.8 9.6 11
Energi 74.4 114.9 19.1 58.1 55.1 49.0 61.1 137.7 75.1 93.0 43.7 123.4 111.5 47.6 58.1 67.6
Tingkat Kecukupan (%) Protein Vitamin A Vitamin C 142.9 77.8 39.7 186.5 29.3 14.1 19.4 54.1 19.0 79.0 38.5 0.8 50.6 23.4 3.8 83.8 57.1 2.1 85.2 22.5 0.9 177.5 82.5 27.3 64.5 11.1 0.0 165.6 127.6 22.2 80.3 40.5 9.7 134.6 135.0 39.0 209.0 66.0 9.5 98.8 0.0 0.0 77.9 79.6 12.6 94.6 14.3 11.1
Fe 158.3 248.1 9.7 51.8 26.0 62.2 87.3 137.7 50.5 166.7 93.9 138.6 151.2 117.4 73.2 109.3
67
318 319 320 321 322 323 324 325 327 328 329 330 331 332 334 335 336 401 402 403 404 405 406 407 408 409 410 411 412 413 414 416 417 418 419 420 421 422 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434 435 436 437 501 502 507
10.8 10.6 10.1 9 10.5 9.5 8.3 8.9 8.3 8.1 9 8.3 9 8.1 8.9 9.1 11.1 9.3 9.4 8.4 9 9.4 8 8.8 9.5 7.9 9.5 9.9 9 8.5 9.5 9.6 8.6 10.6 8.3 8.3 10.5 10.3 9.8 11 10.1 10 9.6 12.5 9.6 8.4 10.1 11.1 11 11 9.3 11 10.9 9.3 9.4
60.1 101.4 81.3 142.6 102.1 99.0 96.4 87.7 83.1 81.3 69.0 122.8 122.7 48.0 48.5 56.3 48.6 47.8 102.8 113.0 90.4 41.4 172.8 65.3 63.6 50.3 57.7 96.6 80.0 63.5 85.7 46.8 33.0 83.9 79.4 64.3 46.5 73.2 50.4 86.3 70.9 78.9 87.2 84.0 102.4 76.5 63.1 55.1 131.9 88.4 45.1 46.5 68.2 78.9 88.5
89.4 154.0 105.1 193.6 187.6 155.0 168.5 118.3 86.2 99.0 121.6 160.6 192.2 73.0 52.3 80.8 59.6 59.2 109.6 129.1 141.4 71.9 299.5 71.6 64.9 58.9 82.4 120.3 87.0 79.3 137.3 58.5 57.7 119.3 137.3 119.1 75.1 130.3 67.0 129.7 110.3 93.4 82.4 105.9 106.6 58.8 77.9 76.1 150.5 110.1 47.1 40.5 135.3 117.6 94.6
15.6 119.0 80.9 120.2 61.0 38.3 169.8 8.7 24.5 47.8 29.3 40.4 94.0 24.3 0.0 52.4 2.3 103.1 45.0 27.8 4.0 53.3 222.9 37.8 40.1 84.6 45.0 83.4 53.3 43.9 91.6 53.0 26.9 306.7 17.5 154.8 0.0 45.9 60.4 3.2 78.8 57.5 73.0 14.7 64.4 0.9 45.4 53.2 34.3 73.5 46.2 12.3 153.1 38.8 57.2
4.8 20.0 41.7 42.9 38.5 1.8 3.5 0.0 26.7 14.6 7.6 0.8 21.6 10.7 0.9 34.1 0.0 10.2 2.2 0.0 86.2 58.4 145.4 16.5 0.8 69.9 73.5 0.0 64.2 30.0 55.2 25.8 0.0 11.2 23.7 247.2 0.0 0.0 31.0 39.7 5.8 0.0 25.3 123.9 0.7 0.0 3.8 0.9 2.2 2.5 0.0 0.8 5.6 29.0 21.4
48.0 99.4 65.9 155.6 185.8 88.0 177.0 53.8 78.8 93.2 69.8 177.2 176.2 29.6 61.5 77.8 93.3 30.2 106.7 41.6 80.8 27.5 210.5 26.5 27.9 29.2 31.1 95.1 51.8 59.4 35.1 56.0 65.3 42.8 19.8 132.0 33.0 165.0 108.8 104.6 90.2 44.9 33.8 22.0 39.6 22.3 40.6 40.7 149.5 47.3 17.1 9.3 35.9 46.8 126.5
68
508 511 513 514 515 516 517 520 522 523 524 Minimum Maksimum Rata-rata Std.Deviasi
12 8.5 8.1 10.6 10.9 8.9 7.5 8.8 11.3 9.9 8.1 7.5 12.5 9.7 1.1
169.7 60.5 122.0 68.0 142.8 103.4 86.4 132.8 60.8 50.9 115.1 19.1 172.8 80.6 31.0
133.6 79.6 104.0 67.8 163.6 120.1 91.3 205.9 72.1 73.4 95.5 19.4 299.5 108.1 47.0
72.9 18.9 65.0 53.3 144.0 121.7 70.4 160.8 22.4 37.4 18.9 0.0 306.7 60.7 52.4
27.5 0.6 59.2 12.0 45.9 23.3 7.6 66.3 1.4 7.6 17.6 0.0 247.2 24.0 37.1
160.1 61.5 45.3 23.8 111.7 60.6 50.2 127.9 71.4 51.9 68.8 9.3 248.1 80.4 52.9
Lampiran 3 Hasil analisis korelasi beberapa variabel dengan kadar hemoglobin Variabel Jenis Kelamin Usia Uang Saku Pendidikan Ayah Pekerjaan Ayah Pendapatan Ayah Pendidikan Ibu Pekerjaan Ibu Pendapatan Ibu Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Konsumsi Energi Konsumsi Protein Konsumsi Vitamin A Konsumsi Vitamin C Konsumsi Fe Tingkat Kecukupan Energi Tingkat Kecukupan Protein Tingkat Kecukupan Vitamin A Tingkat Kecukupan Vitamin C Tingkat Kecukupan Fe Infeksi Kecacingan Kejadian Sakit Sebulan Terakhir Lama Hari Sakit
Signifikansi 0.796 0.739 0.682 0.407 0.396 0.891 0.070 0.734 0.635 0.035 0.843 0.858 0.564 0.143 0.727 0.958 0.933 0.589 0.150 0.602 0.227 0.114 0.131
Status Anemia Koefisien korelasi 0.29 -0.37 0.46 0.93 0.95 -0.15 -0.296 -0.38 -0.53 -0.233 -0.22 -0.020 -0.65 -0.163 0.039 -0.006 0.009 -0.061 -0.160 0.58 0.135 -0.176 0.168
69
Lampiran 4 Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin contoh Kode Contoh 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 318 319 320 321 322 323 324 325 327 328 329 330 331 332 334 335 336 401 402 403 404 405 406 407 408 409 410 411 412 413 414 416 417 418 419 420
Kadar Hb (g/dl) 10.4 11.3 9.5 9.6 10.3 10.8 10.3 10.4 12.1 10.8 9.6 10.3 10 9.8 9.6 11 10.8 10.6 10.1 9 10.5 9.5 8.3 8.9 8.3 8.1 9 8.3 9 8.1 8.9 9.1 11.1 9.3 9.4 8.4 9 9.4 8 8.8 9.5 7.9 9.5 9.9 9 8.5 9.5 9.6 8.6 10.6 8.3 8.3
Status Anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia normal anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia
Tingkat Keparahan Anemia sedang ringan sedang sedang sedang sedang sedang sedang normal sedang sedang sedang sedang sedang sedang ringan sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang ringan sedang sedang sedang sedang sedang berat sedang sedang berat sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang
70
421 422 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434 435 436 437 501 502 507 508 511 513 514 515 516 517 520 522 523 524
10.5 10.3 9.8 11 10.1 10 9.6 12.5 9.6 8.4 10.1 11.1 11 11 9.3 11 10.9 9.3 9.4 12 8.5 8.1 10.6 10.9 8.9 7.5 8.8 11.3 9.9 8.1
anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia normal anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia normal anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia anemia
sedang sedang sedang ringan sedang sedang sedang normal sedang sedang sedang ringan ringan ringan sedang ringan sedang sedang sedang normal sedang sedang sedang sedang sedang berat sedang ringan sedang sedang
Lampiran 5 Hasil pemeriksaan infeksi kecacingan Kode Contoh 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 318 319 320 321 322
Hasil Pemeriksaan Infeksi Kecacingan Positive Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative
71
323 324 325 327 328 329 330 331 332 334 335 336 401 402 403 404 405 406 407 408 409 410 411 412 413 414 416 417 418 419 420 421 422 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434 435 436 437 501 502 507 508 511 513 514 515
Negative Negative Positive Positive Negative Negative Positive Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Positive Positive Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Positive Positive Negative Positive Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Positive Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative
72
516 517 520 522 523 524
Lampiran 6 Prosedur pemeriksaan infeksi kecacingan
Negative Negative Negative Negative Negative Negative
73
Lampian 7 Prosedur pemeriksaan kadar hemoglobin