-
4.15 I"(
PGM 2008.31(1): 8-14
5°C
, P k X b
-
k.9 Q-
~ Q C L , ~ L
1
\c-
Faktor determinan risiko anemia pada WUS
Sri Prihatini
FAKTOR DETERMINAN RlSlKO ANEMIA PADA WANITA USlA SUBUR (WUS) Dl DUA PROPlNSl Dl INDONESIA Sri Prihatini' ABSTRACT DETERMINANT FACTORS OF ANEMIC ON WOMEN OF REPRODUCTIVE AGE (WORA) IN TWO PROVINCES IN INDONESIA Background: Anemic is still one of main nutrition problems in lndonesia. About 27% of woman of reproductive age and 48% of under fives are anemic problem. One of the caused of high prevalence anemic in lndonesia was low level of iron consumption on daily meals. In addition there could be other factors that influence on the occurance of anemic. Objectives: To study the determinant factors that associated with anemic on woman of reproductive age. Methods: The design of the study is cross-sectional. The study was conducted in four regencies selected purposively in Bali and Banten provinces. The samples were 576 women of reproductive age (WORA) aged 15-40 years old. Data collected are food consumption by using Semi Quantitative Questioner Food Frequency (FFQ), socio economics, parity, family planning, food supplement, anthropometric and Haemoglobine level. Bivariate analysis and logistic regression were used to determine relation factors associated with anemia. Results: The result of bivariate analysis showed significant association between anemic and frequency f w d consumption <=2 times for a week for meat (0R=2.819; Cl=1.968-4.038), fresh fish (OR=1.641; Cl=1.180-2.284). vegetables (OR-1.930; CI=1.360-2.739) and fruits (OR- 1.527; CI=1.161-2.437). Other significant factors associated with anemic were, parity >= 3 (ORz2.316, Cl=1.438-3.413) family planning (OR=0.658, Cl=0.460-0.940) and consuming supplement (OR=0.440, Cl=0.243-0.803). Furthermore, logistic regression analysis showed that meat consumption more than twice for a week associated with reduction of the risk of anemic by 47% and parity three times or more, increased risk of anemic by 2.85 times compared with women with parity less than three times. Conclusions: The consumption of meat <= 2 times for a week and parity >= 3 times were the determinant factors for anemic in women of reproductive age (WORA). [Penel Glzi Makan 2008,31(1): 8.141 Key words: anemic, women of reproductive age, determinant factors. PENDAHULUAN
H
ingga saat ini masalah anemia masih merupakan salah satu masalah gizi utama di lndonesia yang diderita oleh sekitar 27% wanita usia subur (WUS) dan 48% anak balita (1). Salah satu penyebab tingginya prevalensi anemia di lndonesia adalah masih rendahnya konsumsi zat besi dalam makanan sehari-hari. Hal ini disebabkan karena pola konsumsi makanan pada masyarakat lndonesia temtama yang berpenghasilan rendah, sebagian besar terdiri dari makanan sumber karbohidrat, sedangkan bahan makanan hewani masih rendah (2). Padahal zat besi dalam makanan hewani atau disebut juga haemiron mempunyai tingkat absorpsi yang tinggi yaitu sekitar 20.30% sedangkan besi yang berasal dari pangan nabati hanya 1-5% (3). Adanya zat-zat penghambat (inhibitor) seperti tanin, oksalat, phytat, kalsium dalam makanan juga dapat mempengaruhi penyerapan zat besi. Selain itu, di dalam makanan juga
' Penelitipada PuslitbangGiui dan Makanan, Badan Litbang Kesehalan. Depkes RI
terdapat zat pemacu penyerapan besi seperli vitamin C dan protein (4). Adanya besi haem pada makanan dapat mempunyai dua fungsi yaitu membantu penyerapan besi non-haem dan dapat iangsung diserap (5) Analisis data Susenas tahun 1993 menunjukkan rata-rata konsumsi daging segar di kota adalah 5,3 kglkapitaltahun dan desa 3,l kgikapitaltahun. Sedangkan konsumsi daging yang dianjurkan adalah 7,8 kglkapitaltahun. Hanya rumahtangga di kota dari beberapa provinsi yang dapat memenuhinya yailu di provinsi DKI (8,8 kgkapitaltahun), Bali (9.8 kgikapitaltahun) dan Kaltim ( 7 5 kgkapitaltahun) (6). Prevalensi anemia pada WUS di provinsi Bali adalah sekitar 1996, Jawa Barat (21%), Jawa Timur (32%), DKI (23%), Kaltim (24%) dan Banten (43%) (1). Selain itu, anemia juga dipengamhi oleh banyak faktor lainnya seperli kecac~ngan,sanitasi, paritas
PGM 2008,31(1): 8-14
Faktor determinan risiko anemia pada WUS
Di daerah-daerah tertentu keadaan anemia gizi diperberat lagi oleh adanya infestasi cacing tambang. Hasil studi oleh Sloltzfus dkk. (1997) di Afrika Timur dan Nepal memperlihatkan bahwa ada hubungan antara anemia dengan infeslasi cacing tambang yang diukur secara kuanlitatif dari jumlah telur. Kadar Hb menurun 5 gn pada wanita dan anak-anak, pada lakilaki 8 gA untuk setiap 2000 telur per gram tinja (5) Dalam tulisan ini disajikan faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko anemia pada wanita usia subur. Tujuan Mempelajari faktor determinan yang berpengaruh terhadap anemia pada wanita usia subur. BAHANDANCARA Lokasi : Penelitian dilakukan di dua propinsi dengan pola konsumsi yang berbeda yaitu provinsi Bali dan Banten. Kedua propinsi ini dipilih karena sangat berbeda dalam ha1 konsumsi makanan sumber haemiron, zat gizi dan prevelensi anemia pada WUS. Di Bali rata-rata sumbangan protein dari konsumsi daging tinggi (4.65 grlkapitalhari), sedangkan Banten rata-rata konsumsi dagingnya lebih rendah (2.08 gramikapitahari) (BPS, 2003). Selain itu prevalensi anemia pada WUS di propinsi Ball relatif rendah yaitu 19% sedangkan Banten sekitar 43% (SKRT, 2001). Di tiap propinsi dipilih satu kabupaten dan satu kota dan tiap kabupatenikota dipilih satu kecamatan. Di tiap kecamatan dipilih 3 desa dan tiap desa dipilih secara acak 2 RW. Sampel WUS di masing-masing RW dipilih secara acak sederhana. Sampel Wanita usia 17 -40 tahun . Jumlah sample dihitung dengan rumus : n = (21- 012)2 dl-D) = d2 n = ( m Z J 0 , 2 7 ) (0.73) = 300 orang (0.05) 2 p = prevalensi anemia WUS di Indonesia 27% ( SKRT, 2001) d = ketepatan relatif 5 % a = 0,05 Jumlah sampel di tiap propinsi adalah 300 orang.
Kriteria inklusi : Wanita usia 17 - 40 tahun Sehat Bersedia menjadi sampel Kriteria Eksklusi Wanita hamil Imenyusui Mempunyai penyakil kronis ( tubercolosis, riwayat ada kelainan darah) Data yang dikumpulkan Data meliputi : kadar Hb yang diukur dengan metode Cyamethemoglobin, keadaan ekonomi keluarga (pengeluaran pangan dan non pangan), konsumsi makanan dikumpulkan dengan food frequency questionair (FFQ) semi-kuantilatif, konsumsi suplemen tambah darah, sanitasi perorangan (kebiasaan mencuci tangan, memakai alas kakilsandal), sanitasi lingkungan (kepemilikan jamban, kebersihan di dalam dan luar rumah), keadaan perumahan (fentilasi udara, pencahayaan, jenis lantai, dinding), mensturasi, keluarga berencana, kecacingan dan status gizi (berat badan, tinggi badan). Pengolahan dan analisa data : analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan dan besarnya hubungan antara variabel dependen (status anemia) dengan variabel independen. Analisis regresi logistik dilakukan untuk mencari faktor determinan risiko anemia pada WUS.
1.
Karakteristik sampel Untuk menentukan status anemia dan tidak anemia pada WUS digunakan batas yaitu kadar Haemoglobin >= 12 gldl sebagai tidak anemla dan < 12 gldl sebagai anemia (WHO, 1986). Ternyata sampel WUS yang anemia di Bali lebih rendah (29,6%) dibandingkan dengan di Banten (57,6%). Pada Tabel 1 terlihat bahwa tingkat pendidikan sampel di Banten lebih rendah (60%) berpendidikan SD, dibandingkan dengan di Bali (29,6%).Dari seluruh sampel, sekitar 12% kepala keluarga sampel tidak bekerja. Di Banten, KK yang tidak bekerja lebih tinggi dari di Bali. Di Bali jenis pekerjaan KK lebih beragam dibandingkan di Banten yang umumnya adalah petani dan buruh.
PGM 2008,31(1): 514
Sri Prihatini
Faktor determinan risiko anemia pada WUS label 1 Karakteristlk Sampel
PengrajinMliraswasta Pegawai Swasla Belum menikah 2.
a.
23 10
12.2 53
Hubungan Frekuensl Konsumsl Makanan dan Faktor Rislko Lalnnya dengan Anemla
Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan dengan Anemia Pada Tabel 2 disajikan hubungan frekuensi konsumsi makanan pada WUS. Walaupun frekuensi konsumsi beberapa bahan makanan terlihat ada hubungan yang bermakna dengan anemia letapi hanya konsumsi daging, ikan segar, buah dan sayuran daun yang mempunyai nilai odd-mtio lebih dari 13. Mereka yang mengkonsumsi daging <=2 kalilminggu berisiko anemia sebesar 2,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mengkonsumsi >2 kalilminggu.
7 45
18 11,6
30 55
5,2 9,6
Mengkonsumsi ikan segar <=2 kalilminggu berisiko anemia 1,6 kali lebih besar dibandingkan yang mengkonsumsi >2 kalilminggu. Mengkonsumsi sayuran hijau c2. kalihinggu berisiko anemia 1,9 kali lebih besar dibandingkan yang mengkonsumsi >=2 kalilminggu. Mengkonsumsi buah-buahan c-2 kali seminggu berisiko anemia 1,5 kali lebih besar dibandingkan yang mengkonsumsi >2 kalilminggu. Sedangkan minum teh yang diduga mengganggu penyerapan besi karena mengandung tanin ternyata waiaupun minum teh 6 kali seminggu tidak menunlukkan hubungan yang bermakna dengan anemia.
PGM 2008, 31(1): 8-14
Faktor determinan risiko anemia pada WUS
Sri Prihatini
Tabel 2 Hubungan Frekuensl Konsumsl Makanan dengan Anemia pada WUS
b.
Hubungan Faktor Rlsiko Lainnya dengan Anemia Pada Tabel 3 disajikan hubungan faktor risiko lainnya terhadap anemia pada WUS. Seiain faktor konsumsi makanan, anemia juga dipengaruhi oleh berbagai faktor baik langsung maupun tidak langsung. Hasil analisis menunjukkan bahwa paritas >=3 kali berisiko anemia 2,3 kali lebih besar dibandingkkan dengan yang melahirkan kurang dari 3 kali. Menggunakan kontrasepsi atau ikut keluarga berencana temyata bersifat protektif atau terlindung dari anemia. Mereka yang ikut KB terlindung dari risiko anemia sebesar 1,6 kali dibandingkan yang tidak ikut
KB. Mereka yang tinggal di lingkungan yang kotor atau kurang baik berisiko anemia sebesar 1,8 kali lebih besar dibandingkan mereka yang tinggal di lingkungan yang bersih. Mereka yang mempunyai keadaan rumah yang buruk atau kurang baik (lantai tanah, dinding bambu) berisiko anemia sebesar 1,5 kali lebih besar dibandingkan mereka yang mempunyai ~ m a hyang baik. Dan mereka yang mempunyai pengeluaran pangan > 60% terhadap pengeluaran total berisiko anemia sebesar 1.5 kali lebih besar dibandingkan mereka yang mempunyai pengeluaran pangan c= 60%.
PGM 2008.31(1): 8 1 4
Faktor determinan risiko anemia pada WUS
Sri Prihatini
Tabel 3 Hubungan Faktor Risiko Lainnya dengan Anemia pada Wanita Usia Subur (WUS)
Faktor Determinan Risiko Anemia pada Wanita Usia Subur Untuk mengetahui faktor determinan risiko anemia pada WUS dilakukan analisis regresi logistik terhadap seluruh faktor risiko baik bahan makanan maupun faktor risiko lainnya. Analisis dilakukan dengan melode forward dengan memasukkan faktor risiko yang mempunyai nilai P < 0,25. Hasil analisis menunjukkan
3.
bahwa konsumsi daging, dan paritas menunjukkan adanya hubungan benakna dengan anemia pada wanila usia subur. Mereka yang mengkonsumsi daging > 2 kali seminggu menurunkan risiko anemia sebesar 47% dan mereka yang melahirkan >= 3 kali berisiko anemia 2,85 kali lebih besar dibandingkan dengan melahirkan kurang dari 3 kali.
PGM 2008,31(1): 8-14
FaMor determinan risiko anemia pada WUS
UCAPAN TERIMA KASlH Terima kasih yang sebesar besarnya kami sampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Bali beserta staf, khususnya Seksi Gizi dan Bidang Penelitian Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan dan Gianyar beserta staf khususnya seksi gizi, Kepala Puskesmas Kerambitan beserta staf dan Kepala Puskesmas Gianyar beserta staf dan petugas enumerator dari Akzi Denpasar yang telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan Terlma kasih yang sebesar besamya juga kami sampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten beserta staf, khususnya Seksi Gizi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang dan Kota Tangerang beserta staf khususnya Seksi Gizi, Kepala Puskesmas Karawaci beserta staf, Kepala Puskesmas Mandalawangi dan Labuan beserta staf yang telah membantu untuk kelancaran pengumpulan data di lapangan. Dan terima kasih yang sebesar besarnya juga saya sampaikan kepada semua teman-teman peneliti dan Litkayasa serta semua pihak yang telah membantu dalam kegiatan penelitian ini RUJUKAN 1.
Tim S u ~ e Kesehatan i Nasionai. Laporan SKRT 2001 : Studi Kesehatan ibu dan Anak. Laporan Penelitian. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2001
Sri Prihatini
2.
Sumarno I, Latinulu S. Saraswati E. Pola Konsumsi Makanan Rumahtangga Indonesia. Gizi lndonesia 1997, 221: 39-61 3. Husaini dan Asmirah Sutarto. Permasalahan Gizi di lndonesia Dewasa ini. Gizi lndonesia 1988, 23(1): 49 -68 4. Saidin M, dkk. Ketersediaan Hayati Zat Besi, Kandungan Zat Pemacu dan Penghambat Penyerapan Zat Besi Dalam makanan lbu Hamil. Gizi Indonesia 1998 21: 109 - 115 5. Baech B. Sussi, et.al. Non heme-iron Absortion from a Phyiaterich meal is increased by the addition of small amounts of Pork Meat. American Joumal ClinicalNutrifion. 2003, 77 : 173-179 6. Ariani M dan Erwidodo. Dinamika Konsumsi Pangan Hasil Ternak Di Indonesia. Gizi lndonesia 1997, 22: 6241.1997 International Nutritional Anemia 7. Report Consultative Group Symposium. Integrating Programs to Move Iron deficiency and Anemia Control Forward Marrakech, Marocco 2003 : 1213 8. Sumarno I, dkk. Pemefaan Anemia pada Wanita Hamil di Jawa Barat. Laporan Penelitian. Keria sama Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat dengan Bogor: Puslitbang Gizi dan Makanan, -ma*
LUW.
9.
Willet W. Nutritional Epidemiologi. Oxford: Oxford University Press. 1998 : 74 - 100
FaMor deterrninan risiko anemia pada WUS
PGM 2008,31(1): 8-14
Tabel 4 Analisis Regresi Lo!gistik Faktc~r-Faktoryang Berhubungan den$Ian Anemia Faktor Ri -,
.
B I I ,u4uu 1 0,6189 1 0,5618
-
S.E 0,3089 0,2646 0,2571
BAHA! Salah satu penyebab anemia di lndonesia adalah rendahnya konsumsi zat besi dalam makanan seharihari. Hal ini disebabkan karena pola konsumsi makanan pada masyarakat Indonesia terutama yang berpenahasilan rendah, sebapian besar terdiri dari makanin sum12er karbohidrat, sediangkan bahan ii masih rendah (2). /4nalisis biv: ~riat makanan hewa~ menunjukkan t~ahwa meneka yang mengkonsumsi
--
<-
0
,,-
t:
"...:""".,
.; ,;";LA
"""
sebesar 2.8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mengkonsumsi lebih dari 2 kali seminggu. Adanya besi haem pada makanan dapat mempunyai dua fungsi yaitu membantu penyerapan besi non-haem dan dapat langsung diserap. Hasil penelitian Baech dkk. (2003) di Denmark pada wanita dewasa memperlihatkan bahwa dengan penambahan 50 g daging babi meningkatkan absorpsi besi non-haem sebesar 44%, kemudian penambahan 75 g akan meningkatkan absorpsi sebesar 57 %, sedangkan penambahan 25 g, tidak meningkatkan absorpsi besi non- haem secara bermakna. Walaupun demikian hasil analisis bivariat terhadap konsumsi ikan segar juga menunjukkan adanya hubungan, bermakna dengan anemia, tetapi setelah dikontrol dengan faktor risiko lainnya dalam analisis multivariat konsumsi ikan segar menjadi tidak mempunyai hubungan bermakna dengan anemia. Buah-buahan sebagai sumber vitamin C fungsinya sebagai enhancer atau zat pemacu dalam penyerapan zat besi. Jenis buah- buahan yang banyak dikonsumsi di Bali maupun Banten yaitu jeruk sebagai sumber vitamin C. Hasil penelitian oleh Saidin dkk. (1997) bahwa penambahan 100 mg vitamin C atau 250 gram pepaya pada makanan ibu hamil dapat meningkatkan penyerapan zat besi sekitar 37.5% 54,251 1malisis bivariat terhadap faktor la11inya menu1njukkan b~ahwaada hubungan biermakna arilara . --, paritas, ~ o aanitasi lingkungan, keadmt r ~ ~ u ~ ~ n d h a n , pengeluaran pangan dan penggunaan suplemen dengan anemia pada wanita usia subur. Ternyata dari studi ini, kecacingan tidak menunjukkan adanya huburlgan berniakna dengan anemia r,ads wanita usia 8",
"--
-a*..--
Sig 0,0009 0,0193 0,0289
Exp (0 n ocon
subur. Hal ini disebabkan Karen8 jenis caclng yang ditemukan pada sampel adalah cacing Ascaris Lumbricoidesdan Trichuris. Keada~ m perumatIan dan PIsrsen. pengeluaran pangan biasianya berkaitan dengarI keadaan E!konomi keluarga. F?1da umumn:ya keluarga miskin mennpunyai cno, .,A b,.^A^^^ JI.H~.I ncauma8, ,,dmahan pengeluaran, -"""-" yang kurang baik. Dengan demikian WUS dari keluarga miskin mempunyai risiko yang lebih besar dibandingkan dengan WUS dari keluarga tidak miskin. Pengeluaran pangan pada keluarga miskin juga sebagian besar digunakan untuk membeli makanan pokok sebagai sumber karbohidrat dan hanya sebagian kecil untuk sumber protein. Kemudian hasil analisis indikator kemiskinan di kota ditemukan bahwa adalah konsumsi daging sapi 79 gram I batas minimal untuk seseorang miskin. Sedangkan untuk frekuensi konsums~ aaslng sapi ditemukan bahwa I nis;kin adaiah bila konsumsinya <= 3,6 C )uIan atau dil~ulatkan seminggu sekali (Ali K h u ~ ~ ~ au
= 3 kali merupakan faktor determinan risiko anemia pada wanita usia subur. Semakin tinggi paritas maka semakin sering seorang ibu kehilangan darah saat melahirkan.
.-
.,.,
KESIMPULAN Konsumsi daging dan paritas merupaltan taktor determinan risiko anemia pada wanita usia subur (WUS). Mengkonsumsi daging > 2 kali seminggu menurunkan rislko anemia s< % dan melahirkan >= 3 kali berisiko anc .ali lebih besar dibandingkan dengan melahirna~~uarl3 kali.
.
SARAN ru,. nu,,.v,nsi dan Penyuluhan untuk pert.,., program keloarga berencana per,lu terus di!jalakkan untuk menurunkan r isiko anemia khususn)/a pada wanita usia subur.
PGM 2008.31(1): 8-14
Faktor determinan risiko anemia pada WUS
label 4 Analisis Regresi Loglstlk Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Anemia -
Faktor Risiko Paritas >= 3 kali Daging >2xlmg Constant
B 1.0480 - 0.6189 0,5618
BAHASAN Salah satu penyebab anemia di Indonesia adalah rendahnya konsumsi zat besi dalam makanan seharihari. Hal ini disebabkan karena pola konsumsi makanan pada masyarakat Indonesia terutama yang berpenghasilan rendah, sebagian besar terdiri dari makanan sumber karbohidrat, sedangkan bahan makanan hewani masih rendah (2). Analisis bivariat menunjukkan bahwa mereka yang mengkonsumsi daging <= 2 kali seminggu mempunyai risiko anemia sebesar 2.8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mengkonsumsi lebih dari 2 kali seminggu. Adanya besi haem pada makanan dapat mempunyai dua fungsi yaitu membantu penyerapan besi non-haem dan dapat langsung diserap. Hasil penelitian Baech dkk. (2003) di Denmark pada wanita dewasa memperlihatkan bahwa dengan penambahan 50 g daging babi meningkatkan absorpsi besl non-haem sebesar 44% kemudian penambahan 75 g akan meningkatkan absorpsi sebesar 57 %, sedangkan penambahan 25 g, tidak meningkatkan absorpsi besi non- haem secara bermakna. Walaupun demikian hasil analisis bivariat terhadap konsumsi ikan segar juga menunjukkan adanya hubungan bermakna dengan anemia, tetapi setelah dikontrol dengan faktor risiko lainnya dalam analisis multivariat konsumsi ikan segar menjadi tidak mempunyai hubungan bermakna dengan anemia. Buah-buahan sebagai sumber vitamin C fungsinya sebagai enhancer atau zat pemacu dalam penyerapan zat besi. Jenis buah- buahan yang banyak dikonsumsi di Bali maupun Banten yaitu jeruk sebagai sumber vitamin C. Hasil penelitian oleh Saidin dkk. (1997) bahwa penambahan 100 mg vitamin C atau 250 gram pepaya pada makanan ibu hamil dapat meningkatkan penyerapan zat besi sekitar 37,5% 54,256. Analisis bivariat terhadap faktor lainnya menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna anlara paritas. KB, sanitasi lingkungan, keadaan Perumahan, pengeluaran pangan dan penggunaan suplemen dengan anemia pada wanita usia subur. Ternyata dari studi ini, kecacingan tidak menunjukkan adanya hubungan bermakna dengan anemia pada wanita usia
S.E 0,3089 0,2646 0,2571
Sig 0,0009 0,0193 0,0289
Exp (B) 2.8520 0,5386
subur. Hal ini disebabkan karena jenis cacing yang ditemukan pada sampel adalah cacing Ascaris Lumbricoides dan Trichuris. Keadaan perumahan dan persen pengeluaran pangan biasanya berkaitan dengan keadaan ekonomi keluarga. Pada umumnya keluarga miskin mempunyai pengeluaran pangan > 60% dan keadaan perumahan yang kurang baik. Dengan demikian WUS dari keluarga miskin mempunyai risiko yang lebih besar dibandingkan dengan WUS dari keluarga tidak miskin. Pengeluaran pangan pada keluarga miskin juga sebagian besar digunakan untuk membeli makanan pokok sebagai sumber karbohidrat dan hanya sebagian kecil untuk sumber protein. Kemudian hasil analisis indikator kemiskinan di kota ditemukan bahwa konsumsi daging sapi 79 gram per minggu adalah batas minimal untuk seseorang dikatakan miskin. Sedangkan untuk frekuensi konsumsi daging sapi ditemukan bahwa batas miskin adalah bila konsumsinya <= 3.6 kali per bulan atau dibulalkan seminggu sekali (Ali Khomsan, dkk, 1997) Hasil analisis multivarial menunjukkan bahwa mengkonsumsi daging <=dari 2 kali seminggu dan paritas >= 3 kali merupakan faktor delerminan risiko anemia pada wanita usia subur. Semakin tinggi paritas maka semakin sering seorang ibu kehilangan darah r - 4 msl"hi.lr"n =am, ,!,~#as>,#P.o9#.
KESIMPULAN Konsumsi daging dan paritas merupakan faktor determinan risiko anemia pada wanita usia subur (WUS). Mengkonsumsi daging > 2 kali seminggu menurunkan risiko anemia sebesar 47% dan melahirkan >= 3 kali berisiko anemia 2,85 kali lebih besar dibandingkan dengan melahirkan < dari 3 kali. SARAN
konsumsi dan Penyuluhan untuk perbaikan program keluarga berencana perlu digalakkan untuk menurunkan risiko anemia khususnya pada wanita usia subur,
PGM 2008,31(1): 8-14
FaMor determinan1 risiko anemia pada WUS
UCAPAN TERIMA KASlH Terima kasih yang sebesar besarnya kami sampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Bali beserta staf, khususnya Seksi Gizl dan Bidang Penelitian Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan dan Gianyar beserta staf khususnya seksi gizi, Kepala Puskesmas Kerambitan beserta staf dan Kepala Puskesmas Gianyar beserta staf dan petugas enumerator dari Akzi Denpasar yang telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan Terima kasih yang sebesar besamya juga kami sampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten beserta staf, khususnya Seksi Gizi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang dan Kota Tangerang beserta staf khususnya Seksi Gizi, Kepala Puskesmas Karawaci beserta staf, Kepala Puskesmas Mandalawangi dan Labuan beserta staf yang telah membantu untuk kelancaran pengumpulan data di lapangan. Dan terima kasih yang sebesar besarnya juga saya sampaikan kepada semua teman-teman peneliti dan Litkayasa serta semua pihak yang telah membantu dalam kegiatan penelitian ini RUJUKAN 1.
Tim Suwei Kesehatan Nasional. Laporan SKRT 2001 : Sfudi Kesehatan lbu dan Anak. Laporan Penelitian. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2001
Sri Prihatini
Sumarno I, Latinulu S. Saraswati E. Pola Konsumsi Makanan Rumahtangga Indonesia. Gizi lndonesia 1997, 221: 39-61 3. Husaini dan Asmirah Sutarto. Permasalahan Gizi di lndonesia Dewasa ini. Gizi lndonesia 1988, 23(1): 49 -68 4. Saidin M, dkk. Ketersediaan Hayati Zat Besi, Kandungan Zat Pemacu dan Penghambat Penyerapan Zat Besi Dalam makanan lbu Hamil. Gizi lndonesia 1998 21: 109 - 115 5. Baech B. Sussi, et.al. Non heme-iron Absortion from a Phytate-rich meal is inueased by lhe addition of small amounts of Pork Meat. American Journal Clinical Nutrifion. 2003,77 : 173-179 6. Ariani M dan Erwidodo. Dinamika Konsumsi Pangan Hasil Ternak Di Indonesia. Gizi lndonesia 1997, 22: 62-81,1997 7. Report International Nutritional Anemia Consultative Group Symposium. Integrating Programs to Move Iron dekiency and Anemia Control Forward. Marrakech, Marocco 2003 : 1213 8. Sumarno I, dkk. Pernetaan Anemia pada Wanha Hamil di Jawa Barat. Laporan Penelitian. Keja sama Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat dengan Bogor: Puslitbang Gizi dan Makanan, 2003. 9. Willet W. Nufrifional Epidemiologi. Oxford: Oxford University Press. 1998 : 74 100 2.
-