5
BAB 2 Landasan Teori
2.1 Experiential Marketing “Experiential marketing is all about connecting customers with brands.
Sometimes called customer-experience marketing, experiential marketing aims to personalize the branding experience to each individual consumer.” http://www.articlealley.com/article_731491_3.html Experiential Marketing adalah tentang menghubungkan pelanggan dengan brand itu sendiri. Kadang disebut juga dengan pengalaman pelanggan, experiential marketing ditujukan secara personal pengalaman dari brand kepada setiap pelanggan.
Importantly, the idea of experiential marketing reflect a right brain bias because it is about fulfilling consumers’ aspirations to experience certain feelings – comfort and pleasure on one hand, and avoidance of discomfort and displeasure on the other. (http://agelessmarketing.typepad.com/ageless_marketing/2005/01/exactly_what_is.html)
Experiential marketing sangat penting dalam merefleksikan adanya bias dari otak kanan karena menyangkut aspirasi pelanggan untuk memperoleh pengalaman yang ber kaitan dengan perasaan tertentu kenyamanan dan kesenangan di satu pihak dan penolakan atas ketidaknyaman dan ketidaksenangan di lain pihak.
Experiential Marketing merupakan suatu proses penawaran produk dan jasa oleh pemasar kepada konsumen dengan perangsangan emosi konsumen yang menghasilkan berbagai pengalaman bagi konsumen (Schmitt,1999, p60). Menurut Andreani (2007, p20) Experiential marketing merupakan sebuah pendekatan dalam pemasaran yang sebenarnya telah dilakukan sejak jaman dulu hingga sekarang oleh para pemasar. Pendekatan ini dinilai sangat efektif karena sejalan dengan perkembangan jaman dan teknologi, para pemasar lebih menekankan diferensiasi produk
6
untuk membedakan produknya dengan produk kompetitor. Dengan adanya experiential marketing, pelanggan akan mampu membedakan produk dan jasa yang satu dengan lainnya karena mereka dapat merasakan dan memperoleh pengalaman secara langsung melalui lima pendekatan (sense, feel, think, act, dan relate), baik sebelum maupun ketika mereka mengkonsumsi sebuah produk dan jasa. Dengan demikian Experiential Marketing dapat diartikan sebagai suatu konsep strategi pemasaran yang melibatkan panca indera dan emosi dari para customer atau pelanggan agar tercipta kepuasan dan memberikan pengalaman yang positif terhadap suatu produk atau merek.
2.1.1 Konsep Experiential Marketing Menurut Bernd H. Schmitt sebuah perusahaan dikatakan bagus dalam menerapkan Experiential Marketing jika sudah memenuhi criteria lima elemen. Konsep strategik dari Experiential Marketing sebagai berikut : ¾
Sense Sense Marketing ditunjukkan kepada rasa dengan menciptakan pengalaman melalui pendekatan panca indera seperti pengelihatan (sight), suara (sound), sentuhan (touch), rasa (taste) dan bau (smell).
¾
Feel Feel Marketing tertuju pada perasaan dan emosi konsumen dengan tujuan mempengaruhi pengalaman melalui suasana hati dan yang lembut sampai emosi yang kuat terhadap kesenangan dan kebanggaan.
¾
Think Think Marketing tertuju pada intelektualitas yang bertujuan menciptakan suatu kesadaran (cognitive). Pengalaman sebagai problem solving yang mengikutsertakan konsumen di dalamnya.
7
¾
Act Act Marketing tertuju untuk mempengaruhi pengalaman jasmaniah, gaya hidup dan interaksi.
¾
Relate Relate Marketing berisikan aspek-aspek dari keempat hal diatas (sense, feel, think dan act marketing. (Usahawan No.06 TH XXXVI JUNI 2007, p23) Elemen sense mengacu pada upaya perusahaan menciptakan impresi dalam diri
pelanggan melalui servis,kemasan, interior desain, dan sebagainya. Ini berhubungan dengan sesuatu yang “tangible”. Biasanya, perusahaan mengusung style untuk menciptakan impresi ini.Impresi merupakan sebuah pengalaman pertama pelanggan terhadap sebuah produk. Sense yang baik tentunya akan membawa suatu yang positif bagi merek dan produk tersebut. Elemen feel
mengacu pada bagaimana perusahaan berupaya membuat
pelanggan mempunyai emosi positif. Mereka dibuat senang, ceria, gembira, nyaman, dan bermood positif. Lalu, think mengacu pada upaya perusahaan memancing dan melibatkan pelanggan untuk berpikir. Selanjutnya, mereka akan diajak pada sebuah act tertentu. Di sini perusahaan berupaya menciptakan gaya hidup maupun kebiasaan yang baru. Ujungnya, pelanggan akan terdorong untuk melibatkan diri dalam sebuah komunitas, grup-grup maupun kelompok sosial tertentu. Inilah yang dinamakan relate. Elemen relate mengacu pada komunitas. Semua kelima elemen dari experiential marketing mengacu pada dua tujuan utama, yaitu: menciptakan kekuatan merek dan loyalitas pelanggan.
8
2.2 Citra merek (Brand Image) Berdasarkan pendapat Kotler dalam Simamora (2003, p37 & 63), citra merek adalah sejumlah keyakinan tentang merek. Syarat merek yang kuat adalah citra merek. Kotler juga mempertajam bahwa citra merek itu sebagai posisi merek (brand position) Dalam Simamora (2003, p96), Aaker menyatakan bahwa citra merek adalah seperangkat asosisi unik yang ingin diciptakan atau dipelihara para pemasar. Asosiasiasosiasi itu menyatakan apa sesungguhnya merek dan apa yang dijanjikannya konsumen. Jadi Aaker menganggap citra merek sebagai bagaimana merek dipersepsikan oleh konsumen (Simamora2003, p63). Banyak pakar lain yang mendefinisikan brand image berdasarkan sudut pandangya masing-masing (Tumpal, 2005, p172), diantaranya menurut:
Keller, Brand Image
adalah sebagai persepsi atau kesan tentang suatu
merek yang direfleksikan oleh sekumpulan asosiasi yang menghubungkan pelanggan dengan merek dalam ingatannya.
Aaker dan Joachimsthaler, brand image adalah identitas (personality, symbol, proposi nilai, brand essence dan posisi merek)
Davis, Brand Image memiliki dua komponen yaitu asosiasi merek (Brand
association) dan pesona merek (brand pesona). Asosiasi merek membantu memahami manfaat merek yang diterima konsumen dan pesona merek adalah deskripsi dari merek dalam kontek karakteristik manusia. Hal ini akan membantu memahami kekuatan dan kelemahan merek.
Hawkins, brand image cenderung kepada skematik memory tentang merek yang berisi interprestasi pasar target pada atribut/karakteristik produk, manfaat, situasi penggunaan, pengguna dan karakteristik perusahaan.
Peter dan Olson, menyatakan hal yang ada Hawkins bahwa brand image terdiri dari pengetahuan dan kepercayaan terhadap atribut merek, konsekuensi
9
pengguna merek dan situasi mengkonsumsi, seperti evaluasi dari perasaan dan emosi (respon efektif) yang berasosiasi dengan merek.
Brand Image adalah sekumpulan asosiasi merek yang terbentuk dibenak pelanggan atau konsumen (Rangkuti,2004,p43). Citra merek ialah apa yang kosumen pikir atau rasakan ketika mereka mendengar atau melihat nama suatu merek atau pada intinya apa yang telah konsumen pelajari tentang merek. Citra merek tersebut juga memori merek yang skematis, berisi interpretasi pasar sasaran tentang atribut/karakteristik produk, manfaat produk, situasi penggunaan dan karakteristik pemasar (Limakrisna 2007,p132).
Elemen-elemen citra merek adalah (Stanley, 1982, p65) : •
Ketahanan Berkaitan dengan kualitas dari citra merek produk itu sendiri.
•
Kesesuaian Berkaitan dengan kesesuaian antara citra merek dan karakteristik merek.
•
Keseragaman Menentukan berapa akurat dan jelasnya citra yang ingin ditampilkan.
•
Konotasi Merupakan pendapat konsumen dari kepribadian produk yaitu dari semua karakteristik merek produk sejenis yang diterima, konsumen menemukan merek produk yang satu berbeda dari merek produk lainnya.
Pembentukan citra merek dalam benak konsumen tidak terjadi dalam waktu sekejap melainkan dalam waktu bertahun-tahun. Pembentukan citra merek dipengaruhi oleh : •
Kualitas dari produk yang dihasilkan
•
Pelayanan yang disediakan
10
Menurut
•
Reputasi perusahaan
•
Kebijaksanaan perusahaan
•
Kegiatan-kegiatan perusahaan
Runyon
(2002,
p79),
beberapa
factor
yang
mempengaruhi
dalam
mengkomunikasikan dan mengendalikan citra merek yang tepat kepada konsumen, yaitu: 1. Produk itu sendiri Apabila calon konsumen telah mengetahui produk perusahaan, berarti kesan tertentu telah disampaikan (baik positif maupun negative) dan dengan demikian itu merupakan symbol komunikasi. Suatu produk memiliki suatu kepribadian atau citra dalam pikiran calon pembeli sebagai hasil dari desain, penampilan, dan siapa yang yang menggunakan produk itu disamping pengaruh – pengaruh lainnya. Dari produk tersebut dapat dibentuk suatu citra merek yang sesuai untuk dikomunikasikan kepada konsumen sehingga dengan hanya mendengar atau melihat merek produk tersebut konsumen akan tetap tetap mengingat porduknya. 2. Kemasan dari produk itu sendiri Kemasan dapat mengekspresikan kualitas dan citra merek yang lain diampilkan oleh perusahaan dan kemasan juga dapat mengkomunikasikan ide yang dapat meningkatkan atau menurunkan citra merek produk atau jasa tersebut. 3. Nama dan merek itu sendiri Nama merek ini dapat diambil dari nama orang, perusahaan dan nama – nama lainnya.
Dengan
adanya
merek,
perusahaan
dapat
mengindetifikasikan
produknya dari produk pesaingnya. Bagi konsumen, merek sama pentingnya seperti halnya produk itu sendiri. Dengan menggunakan merek, konsumen dapat mengetahui jenis produk yang ditawarkan sehingga tertanam kesan atau citra merek yang ingin ditampilkan oleh perusahaan.
11
4. Harga produk itu sendiri Maksudnya adalah harga produk dapat mencerminkan kulitas dan keekslusifan merek suatu produk. Jika perusahaan ingin meningkatkan citra merek produk tersebut maka harga yang ditetapkan tidak boleh terlalu tinggi.
2.2.1 Manfaat brand Image
Brand image yang telah dibentuk oleh perusahaan dan yang telah ada dalam benak konsumen, akan membawa manfaat baik bagi perusahaan maupun bagi konsumen. Manfaat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Manfaat bagi konsumen: Konsumen dengan citra yang positif terhadap suatu merek, lebih mungkin untuk melakukan pembelian. 2. Manfaat bagi perusahaan: perusahaan dapat mengembangkan lini produk dengan memanfaatkan citra positif yang telah terbentuk terhadap merek produk lama.
2.2.2 Membangun brand image Menurut Utami (2006, p214) Penguatan secara konsisten terhadap citra merek dapat dilakukan melalui program komunikasi ritel dan bauran pemasaran. Hampir sependapat dengan Maulana (http://swa.co.id/sekunder/konsultasi), juga menyatakan bahwa komunikasi pemasaran (marketing communication), iklan dan promosi punya peran penting dalam pembangunan brand image. Hal ini disebabkan karena kegiatan ini mempunyai target audience luas sehingga dalam waktu relatif singkat pesan yang ingin disampaikan tentang brand lebih cepat sampai. Ada banyak kegiatan lain yang juga berdampak besar. Contohnya adalah: 1. Disain kemasan, termasuk isi tulisan/pesan yang disampaikan 2. Event, Promosi di toko, promosi di tempat umum, dan kegiatan below the line lainnya
12
3. Iklan tidak langsung yaitu yang bersifat public relations 4. Corporate Social Responsibility (CSR) yaitu kegiatan-kegiatan sosial untuk komunitas yang dilakukan oleh perusahaan 5. Customer Services, bagaimana perusahaan menangani keluhan, masukan dari konsumen setelah terjadi transaksi 6. Bagaimana karyawan yang bekerja di lini depan/front liners (apakah itu bagian penjualan, kasir, resepsionis, dll) bersikap dalam menghadapi pelanggan, dll. Jenis tipe komunikasi dalam daftar di atas adalah kegiatan-kegiatan yang baik buruknya tergantung dari keinginan perusahaan, semuanya dapat dikontrol/dikendalikan. Komplikasi justru akan muncul dari kegiatan-kegiatan komunikasi seputar brand oleh pihak lain yang tidak bisa dikontrol oleh perusahaan, misalnya komunikasi oleh konsumen langsung. Mereka bisa menyebarkan pada networknya berita kurang menyenangkan yang mereka alami pada saat berinteraksi dengan brand (yang diwakili oleh banyak hal, termasuk front liners di perusahaan). Word-of-mouth communication adalah salah satu jenis komunikasi yang sangat efektif, dan berbahaya apabila itu menyangkut publisitas buruk. Dalam komunikasi pemasaran (marketing communication), iklan dan promosi memang punya peran paling penting dalam pembangunan brand image. Hal ini disebabkan karena kegiatan ini mempunyai target audience luas, sehingga dalam waktu relatif singkat pesan yang ingin disampaikan tentang brand lebih cepat sampai. Jadi, pada dasarnya perusahaan perlu memperhatikan semua elemen komunikasi dalam bentuk apapun yang menghubungkan konsumen dengan brand perusahaan. Minimalkan kemungkinan terjadinya ketidakpuasan konsumen, sehingga berita seputar brand bisa selalu merupakan berita baik. Penyampaian komunikasi yang berbeda mempunyai kekuatan dan juga pandangan akan suatu tujuan yang berbeda. Pengembangan citra merek penting agar komuikasi yang disampaikan kepada calon pembeli dapat sejajar dengan maksud dan tujuan dari produsen.
13
Pengembangan citra merek dapat membentuk kesan tersendiri. Beberapa kesan yang terbentuk dari sudut pandangan konsumen akan mempengaruhi mereka tentang bagaimana cara mereka memandang merek tersebut, kemudian masuk kedalam ciri dan kepribadian yang khas sehingga terbentuklah citra terhadap suatu merek. Dalam pengembangan citra atau kesan terhadap suatu merek, terdapat ciri dan kepribadian yang khas yang harus ditonjolkan. Dibutuhkan beberapa perubahan seperti program pemasaran dengan meningkatkan kekuatan dan keunikan dari suatu merek yang akan meningkatkan citra merek tersebut. Selain itu juga perlu mempertahankan citra positif dari merek tersebut dan juga menetralisir citra negatif yang terbentuk dari suatu merek. Dibutuhkan juga strategi-strategi lain dalam hal pengembangan citra positif suatu merek. Pengembangan citra tersebut dapat berupa promosi ulang produk-produk yang ditawarkan untuk dapat menimbulkan familiaritas merek atau dengan menciptakan suatu promosi seperti promosi mulut ke mulut, salah satunya melalui pelanggan yang telah mendapatkan pengalaman positif dari merek tersebut atau melalui pelanggan yang telah loyal terhadap merek tersebut. Lebih jauh lagi dibutuhkan usaha untuk membangun pengalaman positif yang lebih sering dan lebih banyak. Usaha-usaha yang dilakukan dari membentuk citra tersebut tidak lepas dari seperangkat asset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek (Brand Equity).
2.2.3 Komponen brand image Sebuah biro riset (www.benchmarkresearch.co.uk) pada Erna Ferrinadewi (2008, p167) berpendapat bahwa konsep brand image terdapat 3 komponen penting yaitu brand association, brand values, dan brand positioning.
Komponen pertama, brand association merupakan tindakan konsumen untuk membuat asosiasi berdasarkan pengetahuan mereka akan merek baik itu pengetahuan yang sifatnya faktual maupun bersumber dari penagalaman dan emosi. Brand association sebagai sesuatu yang dihubungkan dengan memory
14
terhadap sebuah merek dan brand image, biasanya dalam bentuk-bentuk yang mempunyai arti. Bentuk-bentuk ini tidak hanya ada tetapi mempunyai kekuatan jika penglaman atau penampakan untuk mengkomunikasikan merek merek tersebut cukup banyak.
Brand Association, yakni segala sesuatu yang terkait dengan memori terhadap sebuah merek. Brand Association ini berkaitan erat dengan Brand
Image, yang didefinisikan sebagai serangkaian asosiasi merek dengan makna tetentu.
Komponen kedua, brand value adalah tindakan konsumen dalam memilih merek. Sering kali tindakan konsumen ini lebih karena persepsi mereka pada karakteristik merek dikaitkan dengan nilai-nilai yang mereka yakini. Aaker dalam Simamora (2003, p14) terdapat banyak konsep tentang nilai merek. Aaker mengatakan adanya tiga nilai yang dijanjikan sebuah merek, yaitu nilai fungsional, nilai emosional, dan nilai ekpresi diri
Komponen ketiga, brand positioning merupakan persepsi konsumen akan kualitas merek yang nantinya persepsi ini akan digunakan oleh konsumen dalam evaluasi alternatif mereka yang akan dipilih. Posisi merek adalah citra merek yang jelas, berbeda dan unggul secara relatif dibanding pesaing Kotler dalam Simamora (2003, p92). Citra merek akan menjadi posisi merek kalau sudah memenuhi syarat. Kalau belum memenuhi kriteria merek itu belum bisa disebut sebagai posisi merek. Positioning adalah proses, hasilnya adalah posisi produk.
2.2.4 Brand Image dan strategi pemasaran •
Pemasar harus terlebih dahulu mendefinisikan secara jelas brand personalitynya agar
sesuai
dengan
kepribadian
konsumennya.
Adanya
kesesuaian
ini
15
menandakan konsumen telah mengasosiasikan merek seperti pribadinya sendiri. Asosiasi yang kuat ini akan mendorong terciptanya citra merek yang positif. •
Pemasar harus mengupayakan agar tercipta persepsi bahwa merek yang mereka tawarkan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini oleh konsumen dalam keputusan pembelian strategi komunikasi. Dalam iklan yang dipakai atau alat komunikasi lainnya, pemasar harus menekankan pada nilai konsumen yang mereka utamakan sehingga tercipta asosiasi yang dekat.
•
Pemasar dapat melakukan image analysis yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi bagaimana asosiasi konsumen terhadap merek. Beberapa langkah yang dapat dilakukan pemasar dalam melakukan image analysis : a.
Mengidentifikasikan segala asosiasi yang mungkin telah dilakukan konsumen dalam benak mereka. Konsumen dapat melakukan interview sederhana atau dalam focus group tentang apa yang konsumen pikirkan tentang suatu produk. Misalkan untuk merek Toyota, asosiasi konsumen adalah
Negara
jepang,
mobil
berkualitas,
harga
terjangkau,
berpengalaman. b.
Langkah kedua, menghitung seberapa kuat hubungan antara merek yang diteliti dengan asosiasi konsumen. Misalkan konsumen diminta mengurutkan asosiasi-asosiasi mereka terhadap Toyota mulai dari yang paling berhubungan hingga tidak berhubungan dengan merek.
c.
Selanjutnya, pemasar harus menyimpulkan dari langkah kedua diatas menjadi sebuah pernyataan yang mencitrakan merek secara psikologis.
16
2.2.5 Citra Toko/Gerai Schiffman (2007, p167) juga menyatakan bahwa toko-toko atau gerai mempunyai citra toko atau perusahaan itu sendiri yang membantu mempengaruhi kualitas yang dirasakan dan keputusan konsumen mengenai pembelian produk. Dalam Ma’aruf (2006, p182) dijelaskan beberapa unsur yang mendukung citra toko atau gerai, yaitu : •
Merchandise : harga, kualitas, keragaman kategori, ketersediaan item (warna, ukuran, jenis)
•
Lokasi yang mudah dijangkau, aman dan berada dalm suatu pusat perbelanjaan.
•
Mengutamakan pelayanan pada segmen tertentu yang sesuai dengan karakteristik demografi calon pembeli :
•
•
•
-
Kebanyakan pembeli adalah remaja
-
Kebanyakan pembeli adalah para keluarga
-
Kebanyakan pembeli adalah ibu rumah tangga kalangan tertentu
Pelayanan : -
Pilihan cara bayar
-
Jasa antar ke rumah untuk produk tertentu
-
Catalog yang dikirim kerumah
-
Tersedianya food corner
Pramuniaga, staf, kasir : -
Perilaku dalam melayani (ramah, sopan, sigap, efisien)
-
Pengetahuan produk
-
Jumlah tenaga yang memadai
Citra kepribadian perusahaan atau toko : tulus, menarik, berkompeten, canggih, lengkap, familiaritas.
17
•
Store ambience -
Dekorasi eksterior yang modern, anggun, menarik
-
Dekorasi interior yang memikat
-
Atmosfer yang membuat betah berlama-lama (tata warna, musik, pencahayaan)
•
-
Display yang menarik
-
Sirkulasi dalam toko yang memudahkan bergerak
-
Penataan merchandise yang memudahkan pencarian
Promosi : -
Secara teratur melakukan promosi hadiah barang
-
Mengadakan penjualan dengan diskon
-
Event khusus
-
Program kupon
-
Program undian berhadiah
Chowdury et al. menjelaskan dalam Istijanto (2005, p239) ada enam dimensi yang digunakan dalam mengukur citra toko, yaitu : •
Employee service (pelayanan karyawan)
•
Product quality (kualitas produk yang dijual)
•
Product selection (pilihan produk)
•
Atmosphere (suasana)
•
Convenience (kenyamanan)
•
Price/value (harga/nilai)
Keenam dimensi itu adalah elemen yang paling umum dari banyaknya konsep citra toko yang bervariasi, dan dimensi-dimensi tersebut juga telah diuji validitas dan reliabilitasnya.
18
2.3 Loyalitas Pelanggan Menurut Griffin (2005) Definisi berasal dari kata custom, yang didefinisikan sebagai ”membuat sesuatu menjadi kebiasaan atau biasa” dan ”mempraktikkan kebiasaan.” Pelanggan yang loyal dicirikan sebagai berikut: •
Makes regular repeat purchase (melakukan pembelian ulang secara teratur)
•
Purchases across product and service lines (melakukan pembelian lini produk yang lainnya dari perusahaan anda)
•
Refers others; and (memberikan referensi pada orang lain)
•
Demonstrates in immunity to the pull of the competition (menunjukkan kekebalan terhadap tarikan dari pesaing/ tidak mudah terpengaruh oleh bujukan pesaing). Keuntungan dari loyalitas yang meningkat dapat menghemat biaya perusahaan
sedikitnya di 6 bidang yaitu : •
Biaya pemasaran menjadi berkurang (biaya pengambilalihan pelanggan lebih tinggi daripada biaya mempertahankan pelanggan).
•
Biaya transaksi menjadi lebih rendah, seperti negoisasi kontrak dan pemrosesan order.
•
Biaya perputaran pelanggan (customer turnover) menjadi berkurang (lebih sedikit pelanggan hialng yang harus digantikan)
•
Keberhasilan cross-selling menjadi meningkat, menyebabkan pangsa pelanggan yang lebih besar.
•
Pemberitaan dari mulut ke mulut menjadi lebih positif; dengan asumsi para pelanggan yang loyal juga merasa puas
•
Biaya kegagalan menjadi menurun (pengurangan pengerjaan ulang, klaim garansi dan sebagainya).
19
2.3.1 Loyalitas dan Siklus Pembelian Setiap kali pelanggan membeli, ia bergerak melalui siklus pembelian. Pembelian pertama kali akan bergerak melalui 5 langkah yaitu : 1. Langkah pertama: kesadaran Langkah pertama menuju loyalitas dimulai dengan kesadaran pelanggan akan produk. Pada tahap inilah mulai terbentuk “pangsa pikiran” yang dibutuhkan untuk memposisikan ke dalam pikiran calon pelanggan bahwa produk atau jasa lebih unggul dari pesaing. 2. Langkah kedua: Pembelian awal Pembelian pertama kali merupakan langkah penting dalam memelihara loyalitas. Baik itu
dilakukan secara online maupun offline, pembelian pertama kali
merupakan pembelian percobaan: perusahaan dapat menanamkan kesan positif atau negatif kepada pelanggan
dengan produk atau jasa yang diberikan.
3. Langkah ketiga: Evaluasi pasca-pembelian Setelah pembelian dilakukan, pelanggan secara sadar atau tidak sadar akan mengevaluasi tranksaksi. Bila pembeli merasa puas, atau ketidakpuasannya tidak terlalu mengecewakan sampai dapat dijadikan dasar pertimbangan beralih ke pesaing. 4. Langkah keempat: Keputusan membeli kembali Komitmen untuk membeli kembali merupakan sikap yang paling penting bagi loyalitas bahkan lebih penting dari kepuasan. Singkatnya tanpa pembelian berulang, tidak ada loyalitas. Motivasi untuk membeli kembali berasal dari lebih tingginya sikap positif yang ditunjukkan terhadap produk atau jasa tertentu, dibandingkan sikap positif terhadap produk atau jasa alternatif yang potensial. Keputusan membeli kembali seringkali merupakan langkah selanjutnya yang terjadi secara alamiah apabila pelanggan telah memiliki kekuatan emosional yang kuat dengan produk tertentu.
20
5. Langkah kelima: Pembelian kembali Langkah akhir dalam siklus pembelian adalah pembelian kembali yang aktual. Untuk dapat dianggap benar-benar loyal, pelanggan harus terus membeli kembali dari perusahaan yang sama, mengulangi langkah ketiga sampai kelima (lingkaran pembelian kembali) berkali-kali. Pelanggan yang benar-benar loyal menolak pesaing dan membeli kembali dari perusahaan yang sama kapan saja item itu dibutuhkan.
2.3.2 Empat Jenis Loyalitas Empat jenis loyalitas yang berbeda muncul bila kerterikatan rendah dan tinggi diklasifikasi silang dengan pola pembelian ulang yang rendah dan tinggi dapat diuraikan sebagai berikut : •
Tanpa loyalitas
Untuk berbagai alasan, beberapa pelanggan tidak mengembangkan loyalitas terhadap produk atau jasa tertentu. •
Loyalitas yang lemah
Ketertarikan yang rendah digabung dengan pembelian berulang yang tinggi menghasilkan loyalitas yang lemah (inertia loyalty). Pelanggan ini akan membeli karena kebiasaan. Dengan kata lain, faktor nonsikap dan faktor situasi merupakan alasan utama membeli. •
Loyalitas tersembunyi
Tingkat preferensi yang relatif tinggi digabung dengan tingkat pembelian berulang yang rendah menunjukkan loyalitas tersembunyi (latent loyalty). •
Loyalitas premium
Loyalitas premium, jenis loyalitas yang dapat ditingkatkan, terjadi bila ada tingkat ketertarikan yang tinggi dan tingkat pembelian berulang yang juga tinggi.
21
2.3.3 Tahapan Loyalitas Pelanggan Menurut Griffin (2005), tahapan loyalitas dibagi menjadi sebagai berikut : •
Tahap satu: suspect
Tersangka adalah orang yang mungkin membeli jasa anda. Disebut tersangka karena dipercaya atau menyangka mereka akan membeli tetapi masih belum cukup yakin. •
Tahap dua: prospek
Prospek adalah orang yang membutuhkan produk atau jasa anda dan memiliki kemampuan membeli. •
Tahap tiga: prospek yang didiskualifikasi
Prospek yang didiskualifikasi adalah prospek yang telah cukup dipelajari untuk mengetahui bahwa mereka tidak membutuhkan, atau tidak memiliki kemampuan membeli produk. •
Tahap empat: pelanggan pertama kali
Pelanggan pertama kali adalah orang yang telah membeli produk satu kali. Orang tersebut bisa jadi merupakan pelanggan dan juga sekaligus pesaing. •
Tahap lima: pelanggan berulang
Pelanggan berulang adalah orang-orang yang telah membeli produk dari dua kali atau lebih. Mereka mungkin telah membeli produk yang sama dua kali atau membeli produk atau jasa yang berbeda pada dua kesempatan atau lebih. •
Tahap enam: klien
Klien membeli apapun yang dijual dan dapat digunakan. Orang ini membeli secara teratur, memiliki hubungan kuat dan berlanjut, yang menjadikannya kebal terhadap tarikan pesaing.
22
•
Tahap tujuh: penganjur (advocate)
Seperti klien, pendukung membeli apa pun yang dijual dan dapat digunakan serta membelinya secara teratur. Tetapi, penganjur juga mendorong orang lain untuk membeli, melakukan pemasaran dan membawa pelanggan. •
Pelanggan/klien yang hilang
Seseorang yang pernah menjadi pelanggan atau klien tetapi belum membeli kembali dari sedikitnya dalam satu siklus pembelian yang normal.
2.4 Hubungan antara Experiential Marketing, Brand Image, Customer Loyalty
"Experiential marketing actually refers to the customer or consumers experiences with the brand, service or product that helps drive sales and increase brand image and awareness. An effective “Experiential Marketing” campaign is the difference between telling people about features of a product or service and letting them experience the benefits for themselves.” http://www.stuckforstaff.com/experiential-marketing.htm Experiential marketing ditujukan kepada pengalaman pelanggan dengan brand, jasa atau produk yang dapat membantu penjualan dan meningkatkan brand image dan brand awareness. Kampanye experiential marketing yang efektif berbeda dengan menginformasikan fasilitas-fasilitas dari produk itu sendiri atau jasa tetapi dengan membiarkan para pelanggan sendiri untuk merasakan pengalaman dan keuntungan. Dengan demikian berarti bahwa konsep tersebut menunjukan adanya pengaruh
experiential marketing dengan Brand image. Dalam buku Bernd H. Schmitt yang berjudul Experiential Marketing: How to
Get Customers to Sense, Feel, Think, Act and Relate to Your Company and Brands (1999), ia mengajak
para pemasar untuk keluar dari kotak pendekatan pemasaran
tradisional yang terlalu bertumpu pada produk (fitur) dan benefit dengan memasukkan
23
unsur
emosi
dalam
bauran
pemasaran
untuk
membujuk
konsumen,
dengan
menghadirkan pengalaman yang unik, positif, dan mengensankan pada konsumen. Bila konsumen terkesan dengan suatu produk, atau produk itu menghadirkan pengalaman positif yang tak terlupakan, pastinya konsumen juga merasakan kepuasan yang didapatkan. Sejak tahun 1980-an, kepuasan pelanggan selalu menjadi sebuah ukuran kesuksesan bisnis. Semua perusahaan berlomba-lomba untuk dapat memuaskan pelanggannya dengan berbagai cara agar pelanggan menjadi puas dan terpenuhi harapannya. Teorinya, jika jika pelanggan puas, maka konsumen akan membeli lebih dan terus membeli lagi. Perusahaan percaya bahwa kepuasan pelanggan memberikan hasil yang positif secara keuangan, khususnya dalam hal penjualan produk secara berulang. Namun, fokus perusahaan jangan sekadar kepuasan konsumen, tetapi harus menuju ke loyalitas konsumen. Inilah kata kunci yang harus mulai dipahami banyak perusahaan agar dapat terus tumbuh. Mittal dan Lassar dalam makalahnya Customer Loyalty: Towards an Integrated Framework menyatakan bahwa kepuasan konsumen selalu berimplifikasi pada loyalitas. (Asto S Subroto) http://www.sinarharapan.co.id/berita/0901/13/man04.html Menurut Bernd H. Schmitt, pendekatan tradisional terjebak dengan memperlakukan konsumen sebagai sosok rasional semata, dan menganggap orang berbelanja hanya semata-mata bersifat transaksional dan obyektif berdasarkan cost dan
benefit. Padahal, selain otak kiri, otak kanan pun sangat mempengaruhi dalam keputusan pembelian. Bahkan, emosi bukan sekedar memainkan peran yang sangat penting dalam pengambilan keputusan, tetapi sekaligus merupakan perekat kuat untuk menciptakan loyalitas. Sehingga menunjukan bahwa experiential marketing dapat menghadirkan kepuasan konsumen yang pada akhirnya menghasikan customer loyalty.
24
Produk yang memiliki citra yang baik akan dapat menimbulkan loyalitas konsumen pada merek. (Sudarmadi. 2005. Membangun Loyalitas Pelanggan). (http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian) Jacoby dalam beberapa paper-nya tentang brand loyalty menjelaskan bahwa, mempertahankan konsumen adalah bagaimana membuat konsumen tetap berkomitmen menjalin hubungan dengan perusahaan. Komitmen merupakan inti dari customer loyalty. Didapat pengertian bahwa brand image pada brand loyalty. http://www.astosubroto.com/?p=63
2.5 Kerangka Pemikiran
pelayanan Sense Feel
Lokasi
pelayanan berdasarkan demografis Pelayanan purna jual
Pembelian ulang secara teratur
Store ambience
Think
Experiential Marketing Act
H1
Brand Image
H3
Loyalitas Pelanggan
Memberi kan refrensi kepada orang lain
Promosi Relate
Pembel ian lini produk
H2 Menunjukkan kekebalan dari tarikan pesaing