WORKING PAPER WPJ2003
Evolusi Kontrak Sosial di Indonesia
T
BANDUNG FE INSTITUTE research university on complexity in Indonesia
Evolusi Kontrak Sosial di Indonesia Catatan Awal 1
Hokky Situngkir & Yun Hariadi Bandung Fe Institute
2
“…takdir dari semua sistem di biosfir kita – mulai dari sel biologis hingga ekonomi – adalah ber-evolusi menuju keadaan alamiah antara teratur dan chaos, sebuah kompromi yang dahsyat antara hal yang terstruktur dan hal yang mengagetkan…” 3 Stuart Kauffman
1. Pengantar Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat heterogen, mulai dari suku, bangsa, dan bahasa. Namun sejarah telah menunjukkan bagaimana Ucok dari Medan, dapat bergaul dengan Anton dari Betawi, ataupun Herman yang Kristen dengan Ahmad yang muslim. Negara kesatuan dalam wilayah Indonesia telah menjadi sebuah rumah yang anggota keluarganya sangat beragam. Apakah kemampuan hidup bersama di Indonesia itu berhenti dengan alasan nasionalisme saja? Apakah ada motif rasional yang lain yang mendorong terjadinya kehidupan bersama dalam satu payung Indonesia? Bagaimanakah dinamika sistem kebangsaan Indonesia? Bagaimana dinamika pencitraan ke-Indonesia-an di mata anak-anak bangsa yang mendorong keberlangsungan hidup Indonesia? Mungkinkah suatu saat kita akan mengalami musibah runtuhnya kontrak sosial yang dibuat oleh para pendiri negara kita? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang mesti mampu dijawab oleh ilmu sosial kita dan dicoba kembangkan dalam riset yang catatan awalnya direpresentasikan dalam makalah ini. Harus diakui bahwa hal ini adalah masalah yang sangat mendesak dan urgent mengingat begitu tenggelamnya Indonesia saat ini dalam berbagai konflik yang berkepanjangan dan sangat jelasnya titik-titik kritis yang terlihat sementara pola yang didapat untuk dianalisis sangat sedikit (Situngkir, 2003b). Indonesia adalah sebuah negara yang telah cukup dewasa dan memiliki kesempatan mengembangan diri sendiri selama sekitar 58 tahun semenjak diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun rezim demi rezim berganti di Indonesia dan seringkali terasa masih memerlukan penanganan sistem sosial yang khusus dan terus-menerus. Hal ini terlihat dari berbagai konflik sosial yang terjadi mulai dari yang besar hingga yang kecil. Konflik agama di Ambon, konflik separatis di Aceh, Papua, dan sebagainya – menunjukkan krisis akan kontrak sosial yang meluas dan perlu ditangani secara ilmiah dengan serius demi keutuhan bersama (LIPI, 2000). Berbagai macam potensi konflik juga bermunculan di sana-sini yang seolah-olah menantang kontrak sosial yang pernah dibuat dan dipercayakan kepada pendiri negara. Lahirnya sebuah institusi sosial dalam bentuk negara dan proses dinamik yang menyertainya hingga ada kemungkinan runtuhnya sistem negara tersebut merupakan hal yang hendak menjadi fokus utama dari makalah ini dengan tujuan agar setiap langkah yang diambil tidak akan mengorbankan siapapun. Pena analisis yang digunakan adalah paradigma kompleksitas, secara spesifik terjadinya kerja sama (cooperation) yang memungkinkan munculnya tindakan bersama (collective action). Harus diakui bahwa pluralitas bangsa 1
Dept. Computational Sociology. Home-page: http://www.geocities.com/quicchote/. Kontak:
[email protected] 2 Dept. Dynamical System Modeling. Kontak:
[email protected] 3 Stuart Kauffman, dalam bukunya (1995), hal. 15.
Indonesia merupakan hal yang spesifik dan unik yang harus dimasukkan dalam pertimbangan penentuan fungsi utilitas agen di dalam model statik yang hendak dibangun. Secara kualitatif tentu kita bisa mengatakan bahwa heterogensi Indonesia dapat menjadi pisau bermata dua, yakni sumber daya bangsa namun dalam penanganan yang buruk akan menjadikannya kondisi awal terjadinya konflik dan keruntuhan sebuah negara. Dalam beberapa riset yang telah banyak dilakukan ditunjukkan bahwa besarnya sebuah kekuatan kelompok berdasarkan atas kesamaan etnik, agama, atau ras merupakan sebuah parameter ancaman terhadap keutuhan sebuah negara (Addison et.al., 2001). Dalam makalah ini akan ditunjukkan bagaimana terjadinya sebuah kontrak sosial adalah sebuah hal yang muncul dengan sendirinya meski di dalamnya terdapat agen-agen yang berbeda (heterogen) – dan bahkan cenderung non-koperatif. Dalam setiap permainan kooperatif selalu ada sebuah kesepakatan dari tiap agen sebagai aturan yang disepakati bersama – dan hal inilah yang menghasilkan kerja sama dan tindakan bersama tiap pemain. Menurut Thomas Hobbes (1962, 1998) dalam karya besarnya, Leviathan, untuk menciptakan sebuah negara yang teratur dan berfungsi dengan baik dan aspiratif, harus dilakukan semacam kontrak sosial di antara tiap warga negara yang akan memberikan aturan yang jelas tentang hukuman dan juga apresiasi dalam kehidupan bermasyarakat (dan bernegara). Namun hal ini menjadi tidak tepat, karena sulit sekali membayangkan (dan tidak realistis) sebuah negara yang hendak mendeklarasikan diri dan mengumpulkan seluruh elemen penyusun sistem sosialnya untuk menyusun sebuah kontrak sosial. Namun beberapa karya 4 kontemporer dengan pemodelan Dilema Tahanan menunjukkan bagaimana sebenarnya kerja sama dan tindakan kolektif dapat muncul tanpa kontrak atau aturan pra-peraturan. Dengan kata lain, kerja sama dapat timbul sedemikian sebagai sebuah karakter sosial. Karya-karya ini misalnya seperti Chaldas et.al. (1999) yang dengan model evolusioner menunjukkan terjadinya kerja sama di samping adanya kemungkinan tak tercapainya kerja sama dalam kondisi tertentu. Dengan kata lain, kerja sama dapat timbul dengan sendirinya. Penyebabnya menjadi spekulasi ilmiah yang menjadi bahan diskusi yang menarik saat ini. Karya monumental John Nash (1951) menunjukkan bagaimana tejadinya kondisi ekuilibrium Nash dari sistem agen yang non-koperatif. Lebih jauh beberapa diskusi juga menunjukkan adanya indikasi emosi pro-sosial yang inheren dengan sistem biologis manusia (Bowles & Gintis, 2002). Lebih jauh dapat dikatakan bahwa kerja sama akan terjadi tanpa kedaulatan dan kontrak pra-interaksi. Kerja sama timbul sebagai sebuah meta-kedaulatan tertentu sebagai bagian dari evolusi sosial manusia. Kerja sama dan kemungkinan terjadinya tindakan kolektif (termasuk hancurnya sebuah kolektifitas) merupakan sebuah faktor yang membrojol dari interaksi; dalam realitas yang terjadi adalah kuasi-kontrak-sosial. Dalam sejarah nasional Indonesia, sangat sering disebut-sebut bahwa salah satu faktor primer timbulnya rasa persatuan di kalangan bangsa Indonesia adalah perasaan senasib sebagai jajahan Belanda (dan Jepang). Hal inilah yang menyebabkan tatkala kondisi sistem telekomunikasi yang sangat terbatas, duet Ir. Soekarno dan Drs.M.Hatta dengan cepat dapat diterima sebagai proklamator kemerdekaan oleh delegasi yang berasal dari kondisi geografis yang arkipelagis. Saat ini, terjadi berbagai kekecewaan publik atas legitimasi negara yang seringkali 5 bersifat individual (belum bersifat delegatif). Tentunya atas nama keutuhan negara hal ini perlu dicermati secara mendalam. Hal ini harus menjadi umpan balik evaluatif bagi pihak yang berwenang untuk mencermati pencitraan negara dan pemerintah di mata publik (individu warga negara). Jika tidak tentunya akan terdapat nilai-nilai ambang yang dapat menjadi kalkulasi akan runtuhnya kuasi-kontrak-sosial yang disepakati pada awal negara berdaulat. Dalam makalahi ini akan dibangun sebuah model yang diharapkan mampu menjelaskan lahirnya tindakan bersama bangsa (dalam bentuk persatuan) yang melahirkan negara dan bagaimana pola dinamika kebangsaan tersebut secara evolusioner berkembang. Model juga diarahkan agar dapat menunjukkan bagaimana hubungan sistem pemerintahan dan warga negara secara luas untuk menghindari munculnya pemberontakan yang mengganggu jalannya sistem pemerintahan nasional. Basis yang digunakan dalam konstruksi 4
Diskursus dalam teori permainan yang menunjukkan aturan yang terjadi dalam permainan yang nonkoperatif. 5 Kalaupun sudah mengelompok masih sangat terbatas, misalnya Gerakan Aceh Merdeka, dan berbagai pemberontakan separatis (LIPI, 2000) dalam lima tahun belakangan.
halaman 2 dari 8 halaman
makalah ini adalah teori permainan yang secara lebih jauh dapat dikembangkan sebagai 6 model dinamik dan komputasional . Dari sini diharapkan terdapat refleksi yang terstruktur yang menerangkan permasalahan yang sedang atau akan terjadi.
2. Bangunan Model Statik Sebagaimana diterangkan di atas, model statik dapat kita bagi menjadi dua bagian, yakni masa sebelum terbentuknya kontrak sosial dan masa sesuadah terbentuknya kontrak sosial. Pada masing-masing sub-model tersebut pada dasarnya terlihat bagaimaimana fungsi utilitas berubah dan mengalami dinamika tertentu. Secara skematik dapat digambarkan: legitimasi INDIVIDU KONTRAK SOSIAL
PEMERINTAHAN
DELEGASI
PRA KONTRAK SOSIAL
evolusi
EVOLUSI KONTRAK SOSIAL
PEMERINTAHAN
DELEGASI Tanggapan individu terhadap pemerintahan aspirasi
INDIVIDU
aspirasi
Gambar 1 Skematik Model Statik Evolusi Kontrak Sosial 2.1. Pembentukan Kontrak Sosial Individu-individu (rakyat) tergabung dalam kelompok-kelompok berdasarkan suku/etnis dan wilayah, setiap kelompok memiliki perwakilan atau delegasi yang akan mewakili angota kelompoknya dalam melakukan interaksi dengan kelompok lain. Hubungan antara delegator dengan angota kelompok adalah dua arah, anggota kelompok menyampaikan pesan kepada delegator dan delegator akan menghitung seberapa penting pesan tersebut untuk dijadikan keputusan kelompok. Delegator dapat dianggap sebagai pemimpin kelompok dan memiliki pengaruh terhadap anggota kelompoknya, sehingga jika keputusan kelompok telah ditentukan maka masing-masing anggota kelompok akan menerima keputusan tersebut pada waktu itu. Proses ini akan terus berlangsung sehingga keputusan individu dalam kelompok tidak semata-mata tergantung kepada dirinya sendiri tetapi juga dipengaruhi faktor dari luar yaitu kondisi kelompok yang terwakili melalui peran delegator. Misalkan terdapat k kelompok, K={G1,…,Gk } dengan masing-masing kelompok terdiri dari beberapa individu, Gj={ij1,…,ijn(j)}, dan masing-masing kelompok memiliki delegasi dj di Gj sehingga dalam teori permainan yang mendasarkan pada dua pilihan keputusan, misalnya pada dilema tahanan, dengan pi (t) menyatakan peluang individu memilih “bekerjasama” pada periode waktu t dan pd(t)menyatakan peluang delegator memilih “bekerjasama”, maka pegaruh delegator terhadap individu dalam anggotannya secara formal dituliskan
6
Untuk hal ini dapat digunakan beberapa metode model evolusioner seperti pemodelan berbasis agen evolusioner dan algoritma genetika dengan menerapkan aturan-aturan yang dibahas dalam makalah ini.
halaman 3 dari 8 halaman
p i (t + 1) = pi (t ) + k
Od (t ) pd (t ) − p i (t )
dengan Od (t) menyatakan keputusan yang dihasilkan delegator, dan k konstanta yang menentukan tingkat pengaruh delegator terhadap individu. Hal ini sebagaimana digunakan dalam Suleiman (2000). Pada masa perjuangan fisik masyarakat terpecah dalam berbagai kelompok berdasarkan suku dan wilayah, dan pada saat itu pengaruh pemimpin kelompok k begitu besar terhadap anggota kelompoknya dan pengaruh ini makin besar dengan kehadiran Soekarno-Hatta, seberapa besar nilai k juga menentukan bahwa pada t=tanggal(17-8-1945), sebagian besar anggota kelompok menyetujui terbentuknya negara Indonesia yang merdeka. 2.2. Evolusi Kontrak Sosial & Kemungkinan Keruntuhannya Setiap kelompok mamiliki nilai tawar terhadap pemerintahan pusat, salah satu nilai tawar ini adalah sumber daya, baik alam maupun bukan, nilai sumber daya R merupakan perpaduan antara upaya ekspolitasi E dan upaya mempertahankannya/memperolehnya F, dan hubungan ini berbentuk linier (Addison et.al., 2001), yang bisa dituliskan
Ri = ai Ei + bi Fi dengan ai dan bi menyatakan tingkat eksploitasi dan tingkat mempertahankan sumber alam Ri oleh kelompok-i. pemerintah pusat sebagai pengelola negara akan mendapat keuntungan/hasil bagi terhadap setiap sumber daya yang ada di setiap wilayahnya, sehingga nilai utilitas pemerintah pusat bisa dituliskan
U P = YP − λR pendapatan pemerintah pusat sebagian dikembalikan kepada kelompok-kelompok dengan proposri yang tidak sama. Sehingga pendapatan kelompok-G memiliki nilai utilitas
U G = YG + λG RG (1 − β ) sebagian pendapatan kelompok dibagikan kepada anggota kelompok dengan proporsi ß, dengan nilai ß=1 menyatakan bahwa semua pendapatan hasil sumber daya yang diberikan pemerintah pusat akan diberikan selutuhnya kepada anggota individu. Sehingga nilai utilitas bagi bagi agen-i sebesar
U i = Yi + β i λG RG model sederhana diatas menunjukkan jalur pembagian sumber daya dari pemerintah pusat sampai level individu, sehingga individu mendapat keuntungan dari keberadaan sumber daya pada wilayahnya meski proporsi tiap individu tersebut tidak sama. Untuk menentukan seberapa besar proporsi yang akan diberikan pemerintah pusat kepada kelompok dan kelompok kepada individu dibutuhkan tawar-menawar diantara mereka. Dari model sederhana di atas bisa diamati bahwa bagi individu akan menghadapi tiga masalah yang mungkin: 1. pembagian proporsi yang tidak adil oleh pemerintah pusat ?G terhadap kelompoknya. 2. pembagian proporsi yang tidak adil oleh kelompoknya melalui delegasi ßi terhadap individu anggota kelompoknya. 3. gabungan antara masalah 1 dan 2. Pada model ini masalah hanya dibatasi pada masalah pertama, yaitu ketidakadilan yang hanya disebabkan pemerintah dengan asumsi bahwa delagasi tidak akan melakukan ketidakadilan terhadap anggota kelompoknya. Misalkan, sebuah sistem permainan Γk yang tersusun
Γk = ( N k , (Ci ) i∈N k , ( ui ) i∈N k ),
halaman 4 dari 8 halaman
dengan Nk menyatakan jumlah individu pada kelompok-k, Ci menyatakan himpunan strategi yang mungkin akan diambil dari individu, dan ui menyatakan nilai utilitas individu-i yang didefinisikan ui: R X CàR dengan
C = Χ Ci , dengan C menyatakan semua kemungkinan strategi yang mungkin dipilih i ∈N
bagi individu. Jika individu-i tidak puas pada pembagian ?G yang dilakukan oleh pemerintah kepada kelompoknya(misalnya kelompok k) sehingga menyebabkan pembagian terhadap individu-i menjadi lebih kecil dari yang seharusnya, maka individu-i akan melakukan “penolakan” (yang disimbolkan Xik=1) terhadap pemerintah dengan peluang aik atau
α ik = Pr{ X ik = 1} Xik=0 menyatakan bahwa individu “menerima” kebijakan pemerintah dan tidak melakukan aksi menentang. Jumlah individu yang melakukan penolakkan akan menentukan bagi keputusan kelompok, sehingga di dalam kelompok ditetapkan sebuah prosedur yang menentukan jumlah minimal individu yang menolak sebagai titik kritis bagi kelompokknya untuk menentukan sikap “menolak” kebijakan pemerintah, penolakan ini bisa diwujudkan dalam bentuk yang paling lunak hingga paling keras, misalnya ancaman untuk melepaskan diri dari pemerintah pusat sebagai bentuk pemutusan kontrak sosial. Misalnya kelompok-k menetapkan titik kritis nk sebagai batas ambang bagi kelompoknya untuk melepaskan diri dari pemerintah pusat
1 Nk
Nk
∑α i =1
ij
X ij ≤ n k
dan jika titik kritis tidak dicapai maka kelompok tersebut tidak melakukan usaha untuk melepaskan diri dari pemerintah pusat
1 Nk
Nk
∑α i =1
ij
X ij > nk
ketika kelompok-k memutuskan untuk melepaskan diri dari pemerintah pusat, maka nilai M utilitas dari kelompok-k akan berubah dari UG menjadi UG
U GM = YG + λ G RG (1 − β ) − FM + π G (YP − λR − FP ) dengan FM menyatakan biaya yang dikeluarkan kelompok-k untuk melepaskan diri, dan FR menyatakan biaya yang dikeluarkan pemerintah pusat untuk meredam upaya melepaskan diri. Sedangkan π i menyatakan peluang menang bagi kelompok -k dibanding total keseluruhan kelompok lainnya
πi =
Fi ∑ Fi i
dan bagi pemerintah jika terdapat kelompok yang ingin melepaskan diri maka akan merubah M nilai utilitas yang dipunya UP menjadi UP
U PM = (YP − λR − FM )(1 − π )
halaman 5 dari 8 halaman
1 m π = ∑ π i , m menyatakan banyakknya kelompok yang ingin melepaskan diri. m i Sehingga dengan makin membesarnya nilai π menyebabkan nilai utilitas pemerintah ketika dengan
menghadapi gerakan pemisahan diri makin mengecil. Sedangkan nilai utilitas bagi individu-i dalam anggota kelompok-k yang ingin M melepaskan diri dari pemerintah pusat memiliki nilai utilitas yang berubah dari Ui menjadi Ui
U iM = Yi + β i λG RG − c i k i + η iπ G (YP − λR − FP ) dengan c i menyatakan harga yang harus dikeluarkan individu-i ketika turut serta dalam kelompoknya untuk melepaskan diri dari pemerintah pusat dan ki=1 jika individu-i ikut serta dalam usaha tersebut , dan ?i menyatakan proporsi bagi individu-i jika kelompoknya berhasil melepaskan diri dari pemerintah pusat.
3. Analisis & Diskusi Model yang dibangun di atas adalah model tindakan bersama tiga level, yakni level individu rakyat, level kelompok delegatif, dan level negara atau pemerintah. Dari model tersebut terlihat bagaimana terjadi kontrak sosial yang direpresentasikan oleh sistem delegatif dari anggota kelompok ke pemimpin kelompoknya yang pada akhirnya membentuk konsensus berdirinya negara. Secara dinamik, setelah terjadi kontrak sosial, kita melihat adanya tiga level utilitas yang terjadi, yakni utilitas individual yang membentuk pelayanan publik, utilitas delegasi sebagai representasi dari individu, dan utilitas pemerintah. Pada masing-masing fungsi utilitas tersebut terlihat bagaimana ketiganya saling bertautan. Setelah negara berdiri, keputusan dari masing-masing level aksi adalah permasalahan bagaimana membagi kekuasaan atas sumber daya (pada level pemerintahan dan delegasi) serta bagaimana layanan publik dirasakan oleh individu warga negara (pada level individu). Dengan sendirinya, evolusi kontrak sosial menjadi sangat bergantung kepada aspirasi oleh individu kepada delegasi yang sampai kepada pemerintahan serta layanan publik yang diterima oleh individu masyarakat. Hal ini sesuai dengan hasil riset Situngkir (2003a) bahwa jika delegasi tidak mampu merepresentasikan aspirasi publik maka kekacauan akan terjadi dan kesinambungan negara akan bergerak menuju titik kritis. Titik kritis itu sendiri akan sangat bergantung kepada nilai nk sebagai batas ambang individu mulai berfikir untuk melepaskan diri dari kontrak sosial yang dibuat di awal pemerintahan negara. Dari sini terlihat dengan jelas bahwa peran individual sangat penting dalam terjadinya tindakan kolektif kelompok dalam penentuan nasib kontrak sosial di kemudian hari. Jika batas ambang nk dicapai, maka kontrak sosial dapat dibatalkan dan keutuhan serta stabilitas negara menjadi terancam. Untuk meredam hal ini, a f ktor-faktor layanan publik (ß) harus terpenuhi dan delegasi juga memiliki kekuatan yang baik di tengah masyarakatnya serta harus koperatif terhadap pemerintah. Ini merupakan faktor primer dalam evolusi (apakah penguatan atau pelemahan) dari sebuah kontrak sosial dalam masyarakat. Dengan pengertian ini kita dapat memahami bahwa contoh pelemahan kontrak sosial adalah inefisiensi pemerintah seperti merebaknya korupsi (Situngkir, 2003c), alokasi hasil sumber daya yang tidak tepat, dan sebagainya.
4. Riset Lebih Jauh Model yang dibangun di atas adalah model statik dan masih merupakan variabelvariabel statik yang perlu pengembangan lebih lanjut. Pengembangan lebih lanjut dari makalah ini meliputi verifikasi model tersebut di Indonesia dengan memperhatikan faktorfaktor interdisipliner sistem sosial di Indonesia, survey (baik lapangan maupun literatur) untuk mengisi variabel-variabel kuantitatif (dapat berupa interval nilai tertentu yang diperoleh melalui riset lebih lanjut), dan bagaimana mengaplikasikan model tersebut secara dinamik. Model dinamik yang mungkin digunakan merupakan model komputasi masyarakat buatan dalam algoritma genetika dan model spasial. Hal lain yang menarik untuk ditelusuri dengan model generik ini adalah dengan menggunakan masalah yang dipersempit, misalnya tentang sifat koperatif masyarakat Indonesia pada level lain, seperti koperatif masyarakat petani dalam pengenalan inovasi
halaman 6 dari 8 halaman
teknologi baru, animo masyarakat terhadap fakta-fakta aktual baik politik, ekonomi, atau budaya, dan sebagainya.
5. Beberapa Catatan Simpulan Dari uraian di atas, kita dapat melihat dengan jelas bahwa kerja sama dan tindakan bersama dalam perpsektif lahirnya kontrak sosial bukanlah persoalan adanya pra-kontrak sosial, karena kontrak sosial pada realita lebih bersifat kuasi-kontrak sosial yang direpresentasikan dengan adanya personifikasi delegasi yang membawa suara publik. Hal ini jelas sekali tercermin dalam sejarah kontrak sosial di Indonesia yang kondisi geografisnya sangat memerlukan peranan delegasi dalam pembentukan kontrak sosial. Lebih jauh, proposisi ini telah ditunjukkan dalam berbagai riset dengan model dilema tahanan yang menunjukkan lahirnya kerja sama dari agen-agen yang tidak koperatif pada awalnya. Secara spesifik, hubungan antara masyarakat (individual) dengan pemerintahnya memang harus dilihat sebagai tindakan kolektif tiga level, yakni individu, delegasi, dan pemerintah. Hal ini dikarenakan Indonesia adalah negara kepulauan yang luas dan dengan jumlah populasi penduduk yang relatif tinggi. Pada model analitik tindakan kolektif tiga level ini kita dapat melihat bagaimana ketiganya berinteraksi satu sama lain dalam konteks lebih jauh yakni bagaimana kontrak sosial ber-evolusi. Secara kualitatif pada dasarnya dapat dikatakan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia juga pada dasarnya dalam hal ini menjadi hal yang rasional. Hal ini juga harus didukung dengan berbagai layanan publik yang jelas kepada individu warga negara dan kuatnya sistem delegatif yang dibangun sebagai representasi aspirasi publik. Artinya, perlu ada upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi pemerintahan seperti pemberantasan korupsi, dan sebagainya. Riset lebih jauh akan dapat menunjukkan secara kuantitatif kira-kira kapan terjadi keruntuhan kontrak sosial jika tidak ada perubahan signifikan dalam perbaikan negara. Riset lebih jauh ini tentu juga akan lebih banyak memberikan alternatif kebijakan yang dapat menjadi referensi membangun pemerintahan yang berwibawa di depan masyarakat banyak. Melalui makalah ini, juga dapat terlihat dengan jelas bahwa dalam konteks Indonesia, pemerintah memang sangat perlu memperhatikan keterhubungan individu dan sistem delegatif yang mungkin terbentuk. Secara praktis fungsi delegatif tidak bisa dipandang sebagai munculnya partai politik atau jalur aspirasi formal seperti legislatif. Jalur delegasi dapat berupa paguyuban sosial masyarakat di mana individu-individunya bersepakat untuk mencapai tujuan tertentu, dapat berbasis primordialisme seperti etnis atau agama. Tinggal sekarang bagaimana pemerintah dapat melakukan manajemen layanan publik yang sebaik mungkin, agar sistem delegasi rakyat banyak lebih terdeteksi pada jalur formal dan nasionalisme dapat terbentuk secara rasional hingga ke level individu.
Pengakuan: Penulis berterima kasih atas percakapan yang berharga dengan Widi Aswindi dalam penulisan makalah ini. Penulis juga berterima kasih kepada rekan-rekan di BFI atas diskusi seputar penulisan makalah ini. Makalah ini dibuat tanpa adanya dukungan finansial dari manapun, dan mengharapkan adanya dukungan finansial dalam pengembangan lebih lanjut makalah ini untuk hasil yang lebih aplikatif dan berbunyi.
Kepustakaan: 1.
Addison. Tony., & Murshed, S. Monsoob. (2001). From Conflict to Reconstruction: Reviving the Social Contract. Discussion Paper No. 2001/48. United Nations University.
2.
Bowles, Samuel., & Gintis, Herbert. (2002). The Origin of Human Cooperation. Working Paper WP02247 Santa Fe Institute. Chaldas, José Castro., Coelho, Heider. (1999). The Origin of Institutions: SocioEconomic Processes, Choice, Norms, and Conventions. Journal of Artificial Societies and Social Simulations Vol. 2 No. 2. URL: http://www.soc.surrey.ac.uk/JASSS/2/2/1.html
3.
halaman 7 dari 8 halaman
4.
5.
6.
Chamberlain, R.B. (2000). Indian Discomfort: A Key to Conflict Avoidance. Dalam The Online Journal of Peace and Conflict Resolution Issue 3.3. URL: http://www.trinstitute.org/ojper/ Gavious, Arieh., & Mizrahi, Shlomo. (1999). Two-Level Collective Action and Group Identity. Journal of Theoretical Politics Vol. 11 No.4. hal. 497-517. Sage Publications. Hobbes, Thomas. (1962). Leviathan. Diterbitkan kembali on-line oleh Steve Thomas (1998). URL: http://www.library.adelaide.edu.au/etext/h/h68l/
7.
Huberman, Bernardo A., & Glance, Natalie S. (1993). Diversity and Collective Action. Dalam Haken, H., & Mikhailov, A. (eds.). Interdisciplinary Approaches to Non-linear Systems, Springer.
8. 9.
Kauffman, Stuart A. (1995), At Home in The Universe. Oxford University Press. nd Nash, John. (1951). Non-Cooperative Games. The Annals of Mathematics 2 Series. Vol. 54 No. 2. hal. 286-295. The Annals of Mathematics Publications.
10. Passerini, Eve., & Bahr, David. ( 1997), Collective Behavior Following Disasters: A Cellular Automaton Model. dalam Eve, Raymond A., Horsfall, sara., & Lee, Mary E. (eds.). Chaos, Complexity and Sociololgy. Sage Publications. 11. Situngkir, Hokky. (2003a). Powers of the Governmental State as Feedback Control Dynamical System. Journal of Social Complexity, Vol.1 No.1. hal. 7-17. Bandung Fe Institute Press. 12. Situngkir, Hokky. (2003b). Impotensi ‘Kronis’ Ilmu Sosial Kita. Makalah disampaikan pada diskusi terbuka YLBHI, Jakarta, 31 Maret 2003. 13. Situngkir, Hokky. (2003c). Moneyscape: A Generic Agent-Based Model of Corruption. Working Paper WPD2003, Bandung Fe Institute. 14. Suleiman, Ramzi. & Fischer, Ilan. (2000). When One Decides for Many: The Effect of Delegation Methods on Cooperation in Simulated Inter-group Conflicts. Journal of Artificial Societies and Social Simulation vol. 3, no. 4, URL: http://www.soc.surrey.ac.uk/JASSS/3/4/1.html 15. Tim Penulis LIPI. (2000). Bara Dalam Sekam. Penerbit MIZAN.
halaman 8 dari 8 halaman
PETUNJUK PENGGUNAAN DOKUMEN BFI 1. Tentang Dokumen Dokumen ini adalah hasil riset sebagai sikap umum dari Bandung Fe Institute (BFI). Dokumen ini telah melalui proses seleksi dan penjurian yang dilakukan oleh Board of Science BFI bersama dengan penulisnya dan beberapa narasumber terkait. Tanggung jawab terhadap kesalahan yang mungkin terdapat dalam isi dari masingmasing makalah berada di tangan penulisnya. 2. Tentang Ketersediaan & Penggunaan Dokumen • Dokumen ini disediakan secara gratis dalam bentuk kopi elektronis yang dapat diakses melalui alamat web: http://www.bandungfe.scripterz. Siapapun yang berkeinginan untuk melihat dan memiliki kopi elektronis dari dokumen ini dapat memperolehnya secara gratis dengan men-download dari alamat tersebut. • Dokumen yang di-download dapat diperbanyak, didistribusikan, ataupun dikutip untuk penggunaan non-komersil, pengayaan riset ilmiah, dan keperluan pendidikan tanpa perlu meminta izin tertulis dari BFI. Khusus untuk pengutipan, dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari BFI namun harus menyebutkan dengan baik sumber kutipan, meliputi nama penulis, nomor seri dokumen, penerbit BFI Press, dan tahun penerbitan sesuai dengan standar penulisan bibliografi di mana kutipan dilakukan. • Hard-Copy dari dokumen ini dapat diperoleh dengan permintaan tertulis kepada Kantor Administrasi BFI pada alamat di bawah. Hard-Copy dapat diperoleh dengan membayar uang pengganti cetak dokumen. Hard-Copy dapat diperbanyak, didistribusikan, ataupun dikutip untuk penggunaan nonkomersil, pengayaan riset ilmiah, dan keperluan pendidikan tanpa perlu meminta izin tertulis dari BFI. Khusus untuk pengutipan, dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari BFI namun harus menyebutkan dengan baik sumber kutipan, meliputi nama penulis, nomor seri dokumen, penerbit BFI Press, dan tahun penerbitan sesuai dengan standar penulisan bibliografi di mana kutipan dilakukan. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah pelanggaran hukum dan mendapat ancaman hukuman/sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia Hal-hal di luar petunjuk yang diatur di sini harus dikonsultasikan terlebih dahulu ke Kantor Administrasi BFI dengan alamat: BANDUNG FE INSTITUTE Jl. Cemara 63 Bandung 40161 JAWA BARAT – INDONESIA URL: http://www.bandungfe.scripterz.org Mail:
[email protected] Ph. +62 22 2038628 Ponsel: +62 818438435 a.n. Rio Siagian