Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
EVALUATION OF JUNIOR HIGH SCHOOL TEACHER CERTIFICATION POLICY IMPLEMENTATION IN BOGOR DISTRICT EDUCATION OFFICE LITA GUNAWATI∗ ABSTRACT The objective of this research was to evaluate the implementation of junior high school teacher certification policies in Bogor District Education Office. This evaluation research used a qualitative approach with CIPP evaluation model. The data in this research was got through interview, observation, and documentation study. Data analysis conclude that, (1) the purpose of certification is defined well, possess a time limit, operated, and understood well, (2) planning and allocation of resources have been classified properly, according to sources, the allocation of funds, execution time, as well as performance indicators, (3) the implementation of the certification process has followed the guidelines of the central (4) performance of professional teachers have the ability to plan a good learning, manage and evaluate student learning. Welfare certified teacher can only meet primary needs, not the needs of secondary and so forth. Recommendations are given is the purpose of certification should be specified achievement standards to be more objective, transparent and accountable, the need for good cooperation in development and teacher professional development, as well as more transparency in the socialization of policies on equality of civil servants and non-civil servant teachers. Keyword: Public Policy Implementation, Teacher Certification and Evaluation. PENDAHULUAN 7 Profesionalisme guru seringkali menjadi pokok permasalahan mengapa mutu pendidikan di Indonesia tidak sebaik negaranegara lain. Berbagai analisa pakar kemudian bermunculan, mulai dari rendahnya tingkat kesejahteraan, sistem perekrutan yang belum jelas, hingga perlunya perumusan kebijakan nasional untuk menaikkan martabat guru. Dengan segala upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, maka puncak dari terobosan yang dilakukan pemerintah ialah dengan melahirkan UU
Guru Pondok Pesantren Fajar Dunia Bogor
Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Sebagai sebuah profesi, maka sejatinya guru dan dosen memiliki hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dalam menjalankan amanah yang diembannya. Hak untuk hidup sejahtera dan bahagia kemudian diawali pemerintah dengan diberlakukannya kebijakan sertifikasi guru. Kebijakan ini menurut Kemendikbud memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. 2. Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan.
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1144
Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
3. Meningkatkan martabat guru. 4. Meningkatkan profesionalitas guru, dan. 5. Meningkatkan kesejahteraan guru. Dari tujuan sertifikasi tersebut, jelasnya memberikan implikasi dan memunculkan gagasan bahwa guru wajib menjaga martabat, meningkatkan profesionalitas serta dedikasinya kepada bangsa dan negara. Selain itu, keseriusan pemerintah untuk mensertifikasi guru terbukti dengan ditargetkannya tahun 2015 (10 tahun sejak diterbitkannya UU Guru dan Dosen Tahun 2005), sebagai tahun di mana seluruh guru di Indonesia wajib mendapatkan sertifikat. Target ini tertera dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 pasal 82 ayat 2 yang menyebutkan bahwa, Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada UndangUndang ini wajib memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik paling lama (10) tahun sejak berlakunya undangundang ini. Dengan demikian, berbagai usaha percepatan untuk meraih target telah dilakukan pemerintah, sehingga sejak tahun 2007 s.d. tahun 2014 sertifikasi guru telah mengalami beberapa perubahan. Mulai dari sistem PSPL (Pemberian Sertifikat Pendidik Langsung), portofolio, Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), ataupun Pendidikan Profesi Guru (PPG). Bahkan hingga tulisan ini dibuat pola terbaru tahun 2015 akan dilaksanakan melalui Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan (selanjutnya disebut PPGJ) dengan pemberlakuan RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau). Dari Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bogor dipilih peneliti sebagai latar penelitian yang potensial karena menerima kuota sebesar 2.918 guru atau 0,97% dari
kuota nasional, dan sebagai peraih kuota terbesar keempat di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan Kabupaten Bogor ini, didasarkan pula dengan adanya temuan dokumen yang mengindikasikan penyelenggaraan sertifikasi guru SMP belum sesuai harapan, dan termasuk sembilan indikator kinerja Dinas yang realisasinya di bawah target, yaitu hanya 23,32 % dari perencanaan 75,07%. Data lain menyebutkan, belum terdapatnya kegiatan pembinaan dan pengembangan pasca sertifikasi guru SMP, serta daya serap anggaran sertifikasi hanya sebesar 97,05% dari Rp 106.406.000 yang terealisasi hanya Rp 103.272.100 (khusus kegiatan operasional). Selain itu, diketahui bahwa guru SMP rata-rata mengalami penunggakan tunjangan profesi sebesar Rp 4.019.975, lebih besar dibandingkan dengan guru TK, SD, ataupun SMA dan SMK, sehingga dengan adanya tunggakan di atas, berimplikasi terhadap keterlambatan pencairan tunjangan dengan waktu yang bervariasi. Mulai dari 3 bulan s.d 1 tahun lamanya. Bahkan dari penelurusan data didapatkan bahwa beberapa sekolah melakukan potongan sebesar Rp 400.000 setiap triwulan kepada setiap guru. Dengan demikian, melihat fakta di lapangan terkait berbagai permasalahan yang muncul, maka implementasi kebijakan sertifikasi guru SMP di Kabupaten Bogor menjadi hal yang penting untuk dievaluasi. Untuk melihat konsistensi antara kebijakan yang telah diatur oleh pusat, dengan implementasinya di lapangan mulai dari dinas, satuan pendidikan, hingga para guru profesional. METODE Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi dengan model CIPP (context, input,
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1145
Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
process, dan product), dan pendekatan yang digunakan ialah kualitatif. Pemilihan model ini, dinilai memiliki karakteristik yang sama antara CIPP dengan sertifikasi sebagai sebuah sistem ataupun siklus sehingga memudahkan peneliti untuk mengidentifikasi komponen yang belum, telah sesuai, ataupun melebihi standar evaluasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan sertifikasi guru SMP di Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, agar dapat melakukan perbaikan untuk peningkatan sertifikasi guru pada tahun-tahun berikutnya. Untuk mencapai tujuan evaluasi ini, peneliti menggunakan teknik dan prosedur analisis data yang terarah. Adapun teknik dan prosedur pengumpulan data menggunakan; (1) studi dokumentasi dengan mengkaji beberapa dokumen, seperti rencana strategis, pedoman sertifikasi tahun 2007 s.d. tahun 2015, data peserta, dokumen sosialisasi sertifikasi, rencana kerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor tahun 2015, laporan kegiatan tahun 2014 dan arsip-arsip lainnya yang mendukung komponen evaluasi sertifikasi, (2) wawancara kepada beberapa informan, diantaranya Sekretaris Dinas, Kasubag Kepegawaian dan staf, Kepala Bina Pendidik dan Tenaga Kependidikan, para pengawas, kepala sekolah, juga beberapa guru professional, dengan total informan 12 orang. Pemilihan informan ini menggunakan teknik purposive sampling (sampel bertujuan) dan snowball sampling, (3) observasi, dengan mengamati beberapa kegiatan seperti sosialisasi sertifikasi, penetapan peserta, input data sistem dapodik, dan proses penilaian kinerja guru. HASIL DAN PEMBAHASAN Tujuan Sertifikasi Guru
Tujuan sertifikasi yang telah ditentukan pemerintah secara umum telah memenuhi kriteria tujuan yang baik. Dengan beberapa indikator yang peneliti temukan sebagai berikut; (a) untuk menentukan kelayakan guru dalam proses belajar mengajar, sertifikasi dipandang sebagai sistem seleksi yang cukup valid, karena mempersyaratkan kualifikasi akademik dan kompetensi untuk melegalisasikan profesi guru. Tentunya, dengan serangkaian ujian yang cukup panjang, (b) untuk meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan guru, sertifikasi dinilai telah memiliki serangkaian strategi dengan adanya kerjasama yang baik antara dinas, satuan pendidikan, para guru dan stakeholders, (c) tujuan sertifikasi telah memiliki standar dan batasan waktu yang jelas, seperti standar yang tercantum pada level SMP yaitu > 35%. Capaian pada tahun 2012 adalah 33,24 %, dan tahun 2013 yaitu 30,70%. Meski belum mencapai 100%, tetapi setidaknya dengan adanya standar dan batasan waktu akan menjadikan tujuan sertifikasi berada pada rel yang tetap terarah. a. Kebutuhan sertifikasi guru Sertifikasi menjadi kebutuhan dari 6.696 guru SMP yang ada di Kabupaten Bogor. Sementara itu, guru yang telah disertifikasi hingga tahun 2013 berjumlah 2.609 orang. Terdiri dari guru PNS 1.613 dan guru non PNS 996. Alhasil, setelah melakukan pelacakan data, peneliti mendapatkan fakta bahwa sebenarnya penetapan kuota peserta antara PNS dan Non PNS dengan tegas telah diatur dalam buku pedoman sertifikasi. Bahwa kuota guru yang berstatus PNS minimal 75% dan maksimal 85%, kuota bukan PNS minimal 15% dan maksimal 25%, disesuaikan dengan proporsi jumlah guru pada masing-masing daerah.
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1146
Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
Sebagai pelengkap, jika diamati lebih lanjut, jika jumlah guru SMP yang berhasil disertifikasi berjumlah 2.609, sementara jumlah totalnya yaitu 6.669, maka masih ada 4.087 guru SMP yang belum tersertifikasi, sehingga data ini memberikan penjelasan bahwa sertifikasi menjadi kebutuhan yang sangat mendesak terutama untuk guru swasta, dan merupakan pekerjaan rumah yang besar untuk segera diselesaikan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan masih tersisa 4.087 guru SMP yang belum disertifikasi, ditambah dengan kuota yang diberikan Pemerintah hanya 2.918 guru (di semua level), maka bisa dibayangkan berapa lama lagi guruguru di Kabupaten Bogor harus mengantri, meski hanya berstatus calon peserta sertifikasi. Bahkan berdasarkan analisa peneliti, Kabupaten Bogor akan menyelesaikan sertifikasi guru selama 11 tahun (hasil perbandingan dari jumlah guru 33.212 orang: 2.918 kuota yang diberikan pemerintah pusat). b. Permasalahan yang dihadapi Dari hasil penelitian terdapat dua permasalahan implementasi kebijakan sertifikasi yang dihadapi oleh Dinas, yaitu faktor strategis dan faktor teknis. Jika dilihat dari faktor strategis, yaitu ketidakjelasan pola sertifikasi tahun 2015 yang menggunakan sistem RPL (Rekognisi Pembelajaran Masa Lampau). Terdapat simpang siur informasi terkait sasaran, kapan pelaksanaannya, siapa prioritas peserta dan sebagainya. Bahkan, hingga bulan Agustus di penghujung tahun 2015 ini belum adanya kejelasan sasaran peserta yang akan dituju. Adapun kendala dari faktor teknis ialah pencairan tunjangan yang seringkali terlambat. Setelah dianalisa, hal ini disebabkan oleh kekeliruan input data
dalam sistem Dapodik, beban mengajar guru yang belum terpenuhi 24 jam, rekening yang sudah tutup karena saldo tidak mencukupi dan kendala teknis lainnya. Bahkan, akibat data yang tidak sinkron tersebut, menyebabkan tidak cairnya dana tunjangan untuk SMP sebesar Rp 12.116.204.800, dengan ratarata tunggakan setiap guru mencapai angka Rp 4.019.975. c. Kesempatan yang dimiliki Untuk mencapai tujuan sertifikasi, pemerintah pusat telah memberikan kesempatan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor dengan kepemilikian kuota sebesar 2.918 dari total kuota Nasional 300.000 orang. Meski hanya 0.97%, namun ternyata Kabupaten Bogor merupakan penerima kuota terbesar keempat dari 32 Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Barat. Selain itu, Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor memiliki otoritas mulai dari sosialisasi, seleksi peserta, persiapan UKG, hingga proses tunjangan profesi guru. Kesempatan ini telah diberdayakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor terhadap 570 SMP negeri maupun swasta. Perencanaan dan Pengalokasian Sumber Daya Sertifikasi Guru Perencanaan sertifikasi guru di Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor menjadi bagian yang terintegrasi dengan Rencana Strategis tahun 2014 s.d. tahun 2018. Disebutkan dalam Renstra tersebut visi yang dimiliki yaitu, “Terselenggaranya Layanan Pendidikan Yang Prima Untuk Membentuk Manusia Yang Berkualitas Dalam Rangka Mewujudkan Kabupaten Termaju di Indonesia”. Dari rumusan visi di atas, terdapat tiga rencana kerja, yaitu; (1) peningkatan kualifikasi akademik, (2)
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1147
Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
kompetensi guru dan sertifikasi, serta (3) peningkatan kesejahteraan guru. Hasil Sertifikasi ditinjau dari Kinerja Guru Profesional Terkait kinerja guru professional, peneliti melakukan supervisi kelas untuk mendapatkan data tentang perbedaan kinerja antara guru bersertifikat dengan belum bersertifikat. Aspek yang diamati saat guru mengajar ialah; (1) administrasi perencanaan pembelajaran, (2) administrasi penilaian pembelajaran, dan (3) kegiatan belajar mengajar. Penilaian supervisi ini menggunakan perhitungan antara 1 sd. 4. Hasil supervisi guru bersertifikat memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang belum bersertifikat. Selisih dari hasil total yang didapatkan yaitu 130 point. Dengan demikian, secara perhitungan, bahwa kinerja guru profesional memiliki kategori yang baik dengan rentang nilai 88-92. Selain itu, untuk menilai kinerja guru pasca sertifikasi, Dinas pun telah memiliki target dan pagu anggarannya tersendiri. Terhitung sejak tahun 2013 sd. tahun 2018 ditargetkan sekitar 35.272 guru yang berhasil dinilai kinerjanya dengan alokasi anggaran yang tersedia yaitu Rp 1.901.938.000. Hasil Sertifikasi Ditinjau Dari Kesejahteraan Guru Kesejahteraan guru bersertifikat dapat dikatakan telah meningkat, meskipun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Sementara kebutuhan pendidikan, jaminan hari tua, serta kebutuhan minimum lainnya, belum dapat terpenuhi. Padahal, secara tegas pemerintah telah mengamanatkan dalam undang-undang, bahwa tunjangan yang diberikan kepada guru bersertifikat harus dapat memenuhi
kebutuhan minimumnya yang mencakup, sandang, pangan, papan, rekreasi, kesehatan, jaminan hari tua. Baik bagi guru itu sendiri ataupun untuk keluarganya. Namun, nampaknya kesejahteraan yang dirancang pemerintah harus lebih dioptimalkan kembali. Terutama untuk guru-guru non PNS. Jika dibandingkan dengan UMR Kab/Kota Bogor Rp 2.590.000, maka guru bersertifikat memiliki nilai lebih sejumlah Rp 710.0000 - Rp 3.010.000 setiap bulannya. Sementara yang belum bersertifikat, masih berada di bawah UMR sebesar Rp 1.090.000-Rp1.965.000. Data ini mengindikasikan, bahwa guru-guru bersertifikat terutama PNS masih lebih sejahtera dibandingkan dengan guru Non PNS, dan pemerintah harus berupaya lebih baik lagi, untuk meningkatkan kesejahteraan guru non PNS terutama di daerah pedesaan. Sebagai komponen input, tujuan sertifikasi yang telah ditetapkan pemerintah, pada dasarnya telah sejalan dengan teori tentang kriteria tujuan yang baik. Diantaranya, memiliki definisi yang jelas, menggunakan kalimat operasional sehingga mudah diukur pencapaiannya. Sebagaimana pendapat Foster (2010: 477) berikut ini, goal should be well defined and operational and should reflect each unit’s contribution to the total organization. Selain itu, sebagai komponen proses antara perencanaan dan pengalokasian sumber daya keduanya merupakan bagian integral dalam sistem kerja. Alokasi sumber daya yang meliputi anggaran, sumber daya manusia, dan lain sebagainya merupakan point-point penting yang harus dikelola oleh seorang manajer. Terutama saat pengambilan keputusan ketika rencana akan dibuat. Semakin tepat mengalokasikan sumber daya, maka akan semakin terarah perencanaan yang dirancang, yang pada
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1148
Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
gilirannya, akan mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan sertifikasi guru secara berkelanjutan. Sebagai pelengkap proses sertifikasi antara Indonesia dengan negara-negara lain, peneliti mencoba mendeskripsikan proses sertifikasi yang dilakukan oleh Chilie, China, NYC (New York City). Di Chilie, sertifikat pendidik akan diberikan jika guru dan sekolah mampu mencapai standar kompetensi lulusan para siswa. Artinya, ada hasil terlebih dahulu yang harus ditunjukkan, sebelum mendapatkan sertifikat pendidik. Sementara proses sertifikasi di China, menerapkan sistem ekonomi yang memiliki daya saing yang cukup ketat. Semua guru di China harus berkompetisi dengan guru lainnya di berbagai wilayah. Siapa yang terseleksi, maka akan mendapatkan sertifikasi guru. Dampak positif dari sistem kompetisi ini adalah semua guru berlomba-lomba untuk lulus agar mendapatkan penghargaan dari pemerintah, dan terseleksi sebagai guru profesional. Sistem rekruitmen ini sangat penting, karena disinyalir sebagai langkah awal untuk memperbaiki pendidikan dalam suatu negara. Sebagaimana keterangan Delor dalam Soedijarto (2008:160), improving quality of education depends on first improving recruitment, training, social status, and conditions work of teachers. Meningkatkan kualitas pendidikan, bergantung pada langkah awal bagaimana proses penerimaan, pelatihan, status sosial, dan kondisi tempat guru bekerja. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa, (1) tujuan sertifikasi guru yang ditetapkan pemerintah telah didefinisikan dengan baik, memiliki batasan waktu yang jelas, dioperasionalkan, dan
difahami dengan baik, sehingga dapat dikatakan telah sesuai dengan kriteria evaluasi, (2) perencanaan dan pengalokasian sumber daya manusia telah diklasifikasikan dengan baik, berdasarkan sumber, alokasi dana, waktu pelaksanaan, serta indikator kinerja, sehingga memudahkan dinas dalam pengimplementasikan kebijakan sertifikasi ini, (3) proses penyelenggaraan sertifikasi telah diawali dengan sosialisasi, penetapan peserta, jalur sertifikasi, serta pembinaan dan pengembangan guru, dan secara keseluruhan telah mengikuti pedoman dari pemerintah pusat (4) hasil sertifikasi ditinjau dari sisi kinerja guru telah menunjukkan kemampuan dalam merencanakan pembelajaran yang baik, mengelola dan mengevaluasi pembelajaran siswa, sehingga terjadi interaksi aktif antara guru dan siswa saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Sementara itu, hasil sertifikasi ditinjau dari perspektif kesejahteraan hanya mampu memenuhi kebutuhan primer, sementara kebutuhan sekunder dan lain sebagainya belum terpenuhi terutama untuk guru-guru non PNS. DAFTAR PUSTAKA Christopher Achua F. dan Robert N. Lussier. Effective Leadership. Canada: Cengange Learning. 2007. Colquitt, LePine, Wesson, Organizational Behavior Improving Performance and Commitment in the Workplace. New York: McGraw-Hill, 2009. Departemen Pendidikan Nasional RI, Teacher Certification in Indonesia: A Strategy for Teacher Quality Improvement. Jakarta: Depdiknas, 2009
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1149
Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun 2008 Foster S. Thomas, Managing Quality Integrating The Supply Chain. USA: Pearson Education, 2010. Gultom, Syawal, Kualitas Guru Masih Rendah, Jakarta: Kompas 07 Maret 2012. Diakses pada tanggal 24 Juni 2015. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI BPSDMP, Pedoman Penetapan Sertifikasi Guru Tahun 2008. Pedoman Penetapan Sertifikasi Guru Tahun 2008. Jakarta: Kementrian dan Kebudayaan RI BPSDMP-PMP, 2008. Rencana Strategis Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor Tahun 2013. Stufflebeam. Daniel L dan Anthony J. Shinkfield, Evaluation Theory, Models, and Application . USA: Jossey Bass, 2007. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, pasal 82, ayat 2. Yin Robert K., Case Study Research Design and Methods. USA: Sage Publication, 2003. Yin Robert K. Qualitative Research From Start to Finish. New York: The Guilford Press, 2011.
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1150