Journal of Maternal and Child Health (2016) 1 (1): 28-33
Evaluation of “Jumat Pintar” Program in Reducing the Incidence of Anemia in Young Women in Sukoharjo, Indonesia Ayudhia Pratiwi 1), Nunuk Suryani 2), Dono Indarto 3) School of Public Health, Sebelas Maret University, Surakarta Faculty of Education and Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta 3) Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta 1)
2)
ABSTRACT Background: Anemia is iron deficiency in the body which gives a negative impact. Anemia in the short term can lead to vulnerable young women experience a decline in achievement of learning at school. While long-term, sustained anemia from adolescence until the pregnant can lead to complications of bleeding to death and in Sukoharjo, Jumat Pintar implementation prevents the incidence anemia especially in young women. The activity encouraged from this policy is the giving of Fe tablet. The evaluation was conducted to assess the performance of the implementation of the policy of running and achievements obtained in accordance with the original purpose. This study was aimed to evaluate the implementation of Jumat Pintar program in lowering the incidence of anemia of young women. Subject and Methods: This was a qualitative study, was conducted in September-October 2016 in Sukoharjo. A total of 20 samples were selected by using purposive sampling technique. The data was collected using in depth interviews, observation and study of documentation. The data were analyzed using the interactive analysis techniques to compare the data obtained with data triangulation. Results: The execution of Jumat Pintar at stages of planning activities, the determination of the amount of goals and services granting Fe tablet was in adherence with the standard procedures of implementation. The stage of the expansion of the network of independent outlets and stages of monitoring and oversight have not run optimally. The scope of consumption of Fe tablet is not can be traced and decrease in the numbers of Genesis anemia in teenagers does not represent the entire area. The main constraints implementation comes from the absence of a legal umbrella agreement work, lack of financial support from various parties, the low commitment of the education sector, and low awareness of the goal. Conclusion: The implementation of Jumat Pintar is running optimally. The formation of independent outlets have yet to be implemented at each high school in Sukoharjo Regency, the absence of funding sources and still low level of involvement of target. Keywords: anemia, the movement of young women, the evaluation of the implementation of Jumat Pintar program. Correspondence: Ayudhia Pratiwi School of Public Health, Sebelas Maret University, Surakarta
LATAR BELAKANG Anemia secara global masih merupakan sorotan utama masalah kesehatan karena 28
angka kejadiannya yang tetap tinggi dari tahun ke tahun meskipun telah dilakukan berbagai upaya penanggulangan. Salah satu kelompok yang rawan menderita anemia
Pratiwi et al./ Evaluation of “Jumat Pintar” Program
adalah remaja putri. Menurut data Riskesdas tahun 2013, prevalensi anemia di Indonesia sebesar 21,7% dengan penderita anemia berumur 5-14 tahun sebesar 26,4% dan 18,4% penderita berumur 15-24 tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2015a). Pada tahun 2013, prevalensi anemia di provinsi Jawa Tengah mencapai 57, 1%. Disisi lain, remaja putri juga merupakan calon ibu yang akan melahirkan generasi penerus di masa mendatang. Remaja putri perlu mempersiapkan kesehatan tubuhnya untuk melahirkan keturunan-keturunan yang berkualitas. Anemia yang berkelanjutan sejak masa remaja akan memberikan dampak negatif pada masa kehamilan nanti. Menurut Wiknjosastro (2007), wanita yang hamil dengan riwayat anemia akan meningkatkan resiko perdarahan baik saat kehamilan maupun persalinan. Sebagaimana dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan RI (2015a) perdarahan merupakan penyebab tertinggi kejadian kematian ibu yakni sebesar 30,3%. AKI (Angka Kematian Ibu) di Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2015 juga meningkat dibandingkan tahun 2014, yakni sebesar 159,06 per 100.000 kelahiran hidup (Dinkes Sukoharjo, 2016). Selain itu, kebiasaan pola konsumsi makanan keseharian remaja putri yang tidak tepat demi menjaga berat badannya tetap ideal menyebabkan kekurangan zat-zat gizi pada remaja tersebut (Dewi, et.al, 2013), khususnya untuk pembentukan hemoglobin (Hb). Pola konsumsi remaja putri yang tidak tepat antara lain kebiasaan tidak makan pagi, diet tidak sehat, pilihan menu tidak beraneka ragam (mengabaikan sumber protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral), makan 1 kali dalam sehari, dan mengkonsumsi mie
instan secara berlebihan (Kec. Sukoharjo, 2014). Secara fisiologis, remaja putri juga mengalami kehilangan darah secara reguler karena menstruasi setiap bulannya. Ini akan memperberat kejadian anemia jika tidak disertai pengetahuan yang cukup mengenai arti penting asupan zat gizi. Sesuai yang disampaikan dalam penelitian Ngatu dan Rohmawwati (2015) bahwa pengetahuan tentang anemia pada siswi memiliki korelasi positif dengan pemenuhan kebutuhan zat besi. Berakar dari masalah tersebut, pemerintah Kabupaten Sukoharjo melakukan upaya penanggulangan anemia berawal sejak masa remaja. Berawal pada tahun 2014, pemerintah menggalakkan kegiatan “Gerakan Jumat Pintar” yang merupakan salah satu strategi utama penanggulangan anemia pada remaja putri dengan memberikan suplementasi TTD. Kegiatan penyediaan TTD yang dilakukan Dinkes Sukoharjo menyasar pada kelompok anak sekolah menengah. Dosis pencegahan yang diberikan yaitu 1 tablet/hari selama 6 hari saat mentruasi dan 1 tablet tiap minggunya selama 3 bulan (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Target pencapaian sasaran sesuai RPJMN tahun 2019 sebesar 30% remaja putri yang mendapat TTD (Kementerian Kesehatan RI, 2015b). Kegiatan yang ditujukan bagi remaja putri ini telah dilakukan melalui promosi dan kampanye melalui sekolah dan pesantren secara mandiri. Untuk memastikan efektivitas pelaksanaan Gerakan Jumat Pintar diperlukan evaluasi kinerja pelaksanaan kebijakan apakah sudah berjalan dengan baik atau belum. Kualitas kinerja dinilai dari 29
Journal of Maternal and Child Health (2016) 1 (1): 28-33
manajemen pemberian TTD. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Gerakan Jumat Pintar pada tahap persiapan, proses pelaksanaan dan capaian keberhasilan yang diraih dalam menanggulangi anemia pada remaja putri.
METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif fenomenologi. Waktu pelaksanaan pada bulan September-Oktober 2016 dari tiga Puskesmas di Kabupaten Sukoharjo yaitu Puskesmas Mojolaban, Puskesmas Nguter dan Puskesmas Kartasura. Subjek penelitian yang bersedia menjadi informan sejumlah 20 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan jenis criterion sampling. Informan dari jajaran pemegang kebijakan Dinas Kesehatan dan Puskesmas beserta stakeholder dari pihak sekolah diambil untuk memperoleh informasi mengenai pendalaman kebijakan. Sedangkan kriteria informan dari remaja putri dengan anemia diambil untuk memperoleh informasi mengenai hasil pelaksanaan. Teknik pengumpulan data menggunakan in depth interview, observasi dan studi dokumentasi. Data dianalisis menggunakan teknik analisis interaktif dimana data yang diperoleh dari lapangan selalu diinteraksikan dengan unit data yang lain. HASIL PENELITIAN 1. Persiapan penyedia layanan Persiapan penyedia layanan perlu direncanakan sebelum terjun langsung melaksanakan kegiatan pemberian suplementasi TTD pada remaja putri. 30
Perencanaan yang pertama adalah kesepakatan lintas sektor. Tahapan kerjasama lintas sektor diawali dari advokasi Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten yang selanjutnya mengintegrasikan ke Dinas Pendidikan di tingkat Kecamatan dan ke sekolah-sekolah. Namun, kelemahan dalam pelaksanaan kebijakan Gerakan Jumat Pintar ini adalah tidak adanya landasan hukum (SK atau kesepakatan kerja) yang dijadikan dasar aturan hukum pelaksanaan suatu kebijakan. “Yang launching kemarin pak Ganjar itu pada tahun 2014, he’e kalau landasan hukum tidak ada nggih, hanya kami berpikir untuk pemasaran aja” (Dinkes) Hasil penelitian juga tidak menemukan ketersediaan buku panduan atau buku pedoman yang mencakup pelaksanaan kegiatan dalam Gerakan Jumat Pintar. Padahal petunjuk teknis yang tertulis sangat dibutuhkan untuk memahami tujuan dan tugas pokok dalam melaksanakan kebijakan oleh pelaksana di lapangan. “Kalau buku pedoman atau petunjuk teknis untuk kegiatan ini tidak ada, kayaknya belum ada yang diberikan dari Kabupaten” (Petugas Gizi) “Pas dilakukan sosialisasi dulu materi disampaikan dari pihak Kabupaten, hanya diberikan penjelasan yang dipresentasikan tidak ada buku pedoman yang diberikan” (Petugas UKS) Komponen persiapan selanjutnya adalah dari sisi ketersediaan tenaga pelaksana. Tenaga pelaksana gizi bertugas sebagai penanggung jawab kegiatan yang artinya petugas gizi bertugas melakukan pendampingan dan pemantauan dalam pelaksanaan kegiatan. Tenaga pelaksana selanjutnya adalah petugas UKS yang memiliki tugas dalam proses pendistribusian
Pratiwi et al./ Evaluation of “Jumat Pintar” Program
TTD dan pemantauan kepatuhan remaja putri dalam mengkonsumsi TTD yang diberikan. “Ya dilapangan kita serahan pelaksanaan pada petugas gizi di masingmasing Puskesmas dan kalau disekolah dengan petugas UKSnya. Kita hanya mendistrbusikan, memantau, meminta laporan dari Puskesmas secara berkala” (Dinkes) “Tugas saya disini ya memberikan sosialisasi ke sekolah terus koordinasi dengan petugas UKS untuk penyediaan TTD, laporan ke dinas hasil dari pelaksanaanya. Kalau ada keluhan dari siswa ya saya tindak lanjuti untuk diperiksa sama dokternya” (Petugas Gizi) Meskipun seluruh informan tenaga pelaksana didapatkan selama wawancara sebenarnya telah memahami dengan benar apa tugas pokok yang menjadi tanggung jawabnya, tetapi komponen SK kesepakatan bersama yang tidak tersedianya, petunjuk teknis dan buku panduan, menyebabkan pelaksanaan Gerakan Jumat Pintar yang seharusnya dipahami dari pembuat kebijakan hingga pelaksana kebijakan menjadi tidak optimal. 2. Strategi Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Bentuk strategi KIE dalam kebijakan ini dilakukan melalui dua tahap penyuluhan/sosialisasi. Tahap pertama dilakukan di tingkat Kabupaten dengan sasaran petugas UKS selaku pelaksana tingkat sekolah. Sedangkan tahap kedua adalah sosialisasi dari petugas pelaksana gizi tingkat Puskesmas langsung kepada remaja putri. Sosialisasi dilaksanakan di masing-
masing sekolah dengan peserta berjumlah 100 orang yang ditentukan secara acak dari sekolah. “Eee dulu ini ada surat dari dinas kesehatan yang ditujukan ke sekolah untuk mengirimkan salah satu guru untuk mengikuti sosialisasi yang diadakan oleh pihak dinas kesehatan kota itu….” (Petugas UKS) “Ini kerjasama dengan Puskesmas dan juga sering dihadiri dari Puskesmas dan dikasih penyuluhan pada anak-anak biasanya ya sampai 100 itu yang disediakan untuk anak-anak “(Kepala Sekolah) Penyediaan dan penyusunan materi KIE ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten yang kemudian dapat dikembangkan oleh pelaksana lini Puskesmas. Pemaparan sosialisasi diberikan dengan bantuan media power point agar dapat menarik perhatian sasaran. Dengan demikian sasaran menjadi lebih memperhatikan materi yang diberikan. Komponen isi KIE yang diberikan secara menyeluruh mulai dari tujuan Gerakan Jumat Pintar, bahaya anemia, penanganan anemia, manfaat suplementasi TTD, efek yang ditimbulkan mengkonsumsi TTD dan makanan yang bereaksi terhadap penyerapan zat besi, anjuran untuk pola konsumsi gizi seimbang serta anjuran untuk membentuk outlet mandiri. “Kalo materi istilahnya secara umum itu eeemm, pencegahan dan penanggulang anemi materinya. Itu materinya dari dinas terus kita pengembangan sendiri “(Petugas Gizi) “Materi untuk sosialisasi itu copian dari dinas dan yang menyampaikan dalam sosialisasi sama Puskesmas” (Petugas Gizi) 31
Journal of Maternal and Child Health (2016) 1 (1): 28-33
3. Sasaran dan dosis pemberian TTD Penentuan jumlah sasaran remaja putri yang akan mendapatkan suplementasi TTD dilakukan oleh petugas gizi yang ada di Puskesmas. Data sasaran petugas gizi didapatkan dari jumlah siswi di setiap sekolah yang didata oleh petugas UKS. “Banyaknya sasaran ya sesuai dengan jumlah siswi perempuan di sekolah tersebut, kita dapatkan data dari permintaan yang diberikan guru UKSnya untuk tahun 2015 ini kita juga sebanyak 300, 300 siswi jadi setiap siswi mendapat satu set berisi 30 tablet itu untuk konsumsi selama 90 hari” (Petugas Gizi)
Kandungan yang digunakan dalam pemberian suplementasi TTD hampir sama antara TTD program dengan TTD mandiri (Tabel 1.1). Dosis pemberian TTD program yaitu satu sachet TTD yang berisi 30 pil. Pil ini diminum setiap 1x per minggu dan setiap hari selama masa menstruasi sehingga pendistribusian TTD pada remaja putri satu kali untuk 12 minggu. Sedangkan pembagian TTD di SMA yang memiliki outlet mandiri hanya dilakukan setiap satu minggu sekali setiap hari Jumat dan dianjurkan untuk diminum di sekolah. Sedangkan dosis setiap hari selama menstruasi hanya disampaikan melalui informasi lisan saja.
Tabel 1.1 Perbandingan Kandungan Zat Besi pada TTD Program dan TTD Mandiri Nama TTD Kandungan Zat Besi Tablet Tambah Darah Program 200 mg Fero sulfat eksikatus Omegavit 89,5 mg Ferro Fumarate Fermia 60 mg Ferro Fumarat Sumber: Data sekunder, 2016 4. Pengadaan dan pendistribusian TTD Perencanaan pengadaan TTD baik pada sekolah yang masih disuplai pemerintah maupun outlet mandiri berdasarkan jumlah sasaran riil. Pendanaan untuk pengadaan TTD pada sekolah yang masih membutuhkan subsidi TTD berasal dari dana APBN dan APBD tingkat II. Sedangkan pendanaan pada outlet mandiri didapatkan dari iuran masingmasing remaja putri yang dikelola oleh petugas UKS dibantu oleh petugas PMR. “Penarikan uang dikelolanya lewat PMR baru nanti ke saya baru saya belikan di apotik. Nanti kembali lagi dari saya ke anak-anak, dibagikannya lewat PMR” (Petugas UKS) 32
Jalur pendistribusian TTD program berasal dari Gudang Farmasi di tingkat Kabupaten. Jika pada TTD mandiri, pendistribusian dilaksanakan secara mandiri oleh pihak petugas UKS melalui apotik yang telah direkomendasikan bidan Puskesmas.
5. Pemantauan dan pengawasan Pelaporan dan pencatatan secara khusus untuk proses pemantauan dan pengawasan pelaksanaan Gerakan Jumat Pintar tidak ada. Hanya dinilai dari hasil pencatatan distribusi tablet besi yang telah direkap dipuskesmas kemudian dilaporkan ke seksi gizi Dinas Kesehatan Kabupaten.
Pratiwi et al./ Evaluation of “Jumat Pintar” Program
“Pelaporannya saya yang minta laporannya cuman sasarannya berapa, tiap bulan yang dikasih berapa, yang minum itu berapa, cuman itu aja” (Petugas Gizi) Hasil penelitian ditemukan bahwa pemantauan dan pengawasan baik dari lini paling bawah sampai lini teratas tidak berjalan dengan baik. Pelaporan hanya dilakukan sekali dalam setahun. Pelaporan dan pemantauan yang baik adalah dilakukan secara rutin dan berkala, setiap sebulan sekali atau minimal tiga bulan sekali untuk mengetahui ketersediaan stok TTD dan kepatuhan remaja putri dalam mengkonsumsi TTD. 6. Capaian keberhasilan Berdasarkan survei penjaringan remaja putri anemia oleh bagian Promizi Dinkes Sukoharjo tahun 2015, remaja putri yang terdeteksi menderita anemia sebanyak 337 (28,08%) dari 1.200 remaja putri yang dilakukan pemeriksaan Hb (Dinkes Sukoharjo, 2015). Selama proses penelitian diperoleh kesan bahwa cakupan konsumsi TTD oleh kelompok sasaran remaja putri tidak tercapai. Dibuktikan dengan 5 dari 8 remaja putri menyatakan bahwa tidak patuh dalam mengkonsumsi suplemen TTD yang diberikan. Beberapa alasan yang disampaikan remaja putri terkait rendahnya konsumsi TTD yaitu takut efek samping, tidak mau mual dan tidak suka minum obat. “Enggak saya minum, tapi masih saya simpen pilnya. Soalnya saya dikasih tau temen-temen itu kalau minum nanti trus gimana-gimana, mual, haidnya banyak gitu, jadi saya takut mau minum” (Remaja Putri Anemia)
”Ada salah satu temen saya bilang kalau waktu menstruasi itu jangan minum soalnya nanti darah yang keluar itu malah tambah banyak, apa temen saya bilang gitu. Sayanya apa namanya, udah gitu trus sayanya takut. Trus g saya minum sampai sekarang, berhentinya itu mulai masuk kelas XI itu udah g minum” (Remaja Putri Anemia) Komitmen sektor pendidikan dalam mengadakan outlet mandiri sangat berpengaruh pada keberlangsungan kebijakan Gerakan Jumat Pintar. Komitmen stakeholder masih rendah disebabkan karena tidak adanya dana yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan terkait kebijakan “Sekolah Gratis”. “Kendalanya itu karena sekolahnya sekolah gratis, tidak ada sumber dana untuk mengalokasikan itu. Uang gedung ya tidak ada, SPP ya tidak ada, tarikan untuk kegiatan itu ya tidak ada” (Wakil Kepala Sekolah) “Belum dicoba ya, ya coba itu nanti saya anukan ke PMR, coba disosialisasi kalo itu bersedia g, kalau mau beli itu, terkait dana ya kita harus tanya dulu dia siap g, karena yo riskan kan narik dana itu sekarang di Sukoharjo itu (Petugas UKS)
PEMBAHASAN 1. Persiapan penyedia layanan Menurut hasil penelitian Rogayah, et.al (2015), adanya organisasi program secara tertulis berupa SK atau kesepakatan kerja antara pihak terkait dapat mengikat komitmen, dukungan dan tanggung jawab dari pengelola program terkait. Integrasi seluruh sektor memerlukan keterlibatan dan komitmen di berbagai tingkat lembaga yang terlibat. Akan tetapi advokasi pada 29
Journal of Maternal and Child Health (2016) 1 (1): 28-33
pelaksanaan kebijakan Gerakan Jumat Pintar ini hanya terjadi secara lisan sehingga komitmen mitra pun tidak kuat. Kelemahan lainnya adalah petunjuk pelaksanaan yang disampaikan hanya secara lisan pada saat pertemuan sosialisasi dan kesepakatan Gerakan Jumat Pintar pada tahun 2014. Sementara pedoman operasional sangat penting untuk menjelaskan peran dan tanggung jawab bersama antara petugas kesehatan terkait dan penyedia layanan mandiri yaitu sekolah. Seperti pada penelitian yang dilakukan Tondong, et.al (2014) dihasilkan bahwa kurangnya kejelasan peran tiap anggota mitra dalam manajemen kemitraan dan tidak adanya pedoman kebijakan yang jelas dapat menghambat pelaksanaan proses kemitraan sehingga menyebabkan kemitraan gagal mencapai tujuan. Menurut karakteristik dan jumlah SDM pelaku kebijakan Gerakan Jumat Pintar yang telah ada saat ini dirasa telah mencukupi. Ketersediaan SDM penting dalam pelaksanaan manajemen kegiatan dari suatu kebijakan yang tentu saja harus didukung oleh sumber daya lain dalam penelitian ini adalah kecukupan persediaan TTD (Suharno, 2013). 2. Strategi KIE Secara keseluruhan strategi KIE yang diupayakan telah semaksimal mungkin dalam penyampaian informasi mengenai tujuan dan manfaat Gerakan Jumat Pintar agar dapat menarik perhatian sasaran remaja putri dengan berbagai metode dan media terkini. Akan tetapi hasil akhir dari pemahaman materi yang ditindaklanjuti adalah adanya kesadaran dan kepatuhan mengkonsumsi TTD kembali tergantung 30
pada pribadi individu masing-masing remaja putri tersebut. 3. Sasaran dan dosis pemberian TTD Pada tahap penentuan jumlah sasaran ditentukan dengan menggunakan data riil yang ada di wilayah kerja setiap puskesmas sesuai yang diajukan oleh masing-masing sekolah terkait. Hal ini sudah sesuai dengan pedoman yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan RI (2015c), bahwa salah satu cara untuk menghitung target sasaran dapat menggunakan data sasaran riil dari Puskesmas yakni data rekapitulasi jumlah remaja anemia dari tingkat kecamatan. Proses pelayanan pemberian TTD program telah sesuai dengan prosedur yang ada seperti tercantum pada Permenkes No. 88 Tahun 2014 tentang Standar Tablet Tambah Darah Bagi Wanita Usia Subur Dan Ibu Hamil. Akan tetapi terdapat ketidaksesuaian pada pelaksanaan pemberian TTD outlet mandiri karena hanya diberikan setiap satu minggu sekali saja. 4. Pengadaan dan pendistribusian TTD Sumber dana pelaksanaan kebijakan ini sebagian besar masih berasal dari subsidi pemerintah yang juga memiliki keterbatasan penganggaran sehingga pengadaan TTD tidak akan bisa mencukupi kebutuhan di waktu mendatang. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rogayah, et al (2015) yang menyatakan bahwa ketergantungan dana terhadap donor tanpa dilakukan adanya exit strategy untuk sumber pembiayaan lain akan berdampak pada berhentinya kegiatan di lapangan. Namun, disisi lain jika mengkoordinir dana dari remaja putri khususnya siswi
Pratiwi et al./ Evaluation of “Jumat Pintar” Program
sekolah dalam membentuk outlet mandiri juga akan terbentur dengan adanya kebijakan “Sekolah Gratis” dimana kebijakan tersebut melarang untuk memungut iuran pada anak didik di sekolah. Sedangkan sekolah juga memiliki keterbatasan dana yang hanya mendapatkan dana operasional sekolah dari dana BOS saja. Pendistribusian tablet telah sesuai dengan prosedur yang ada (Depkes RI, 2003). Jika pada sekolah yang belum mandiri pendistribusian TTD dilakukan oleh petugas gizi dari Puskesmas yang mengambil barang ke gudang farmasi kabupaten dan selanjutnya mendistribusikan ke masingmasing sekolah sesuai dengan kebutuhan sasaran. Sedangkan pendistribusian TTD pada sekolah outlet mandiri dimulai dari pemesanan petugas UKS kepada apotik penyuplai obat, baru kemudian apotik membelikan dari distributor pedagang besar farmasi. Terdapat kelemahan dalam alur ini dikarenakan sulitnya mencari mitra apotik yang mau menyediakan kebutuhan TTD terkait kepercayaan apotik yang tidak bisa sembarangan menjual barang/TTD. 5. Pemantauan dan pengawasan Diperlukan persamaan persepsi dalam sistem pencatatan dan pelaporan sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam pemantauan dan pengawasan pencapaian keberhasilan kebijakan (Irawati, 2012). Pemantauan dan pengawasan (monitoring) yang diperoleh dari penelitian ini belum maksimal dilaksanakan baik dari jajaran level atas maupun level bawah. Pelaporan hanya dilakukan secara informal/lisan dari sekolah ke Puskesmas terkait cakupan distribusi tablet tanpa
dilaporkan cakupan konsumsi TTD oleh remaja putri. Kemudian dari Puskesmas melaporkan secara tertulis hasil yang diperoleh dari sekolah hanya sekali dalam setahun. Padahal dalam pelaksanaan suatu kebijakan, pemantauan dan pengawasan berguna untuk mengevaluasi kegiatan yang berjalan dengan baik atau tidak. Sesuai dengan pendapat Dunn (2010), dimana evaluasi atau penilaian merupakan tahapan yang berkaitan erat dengan kegiatan monitoring karena kegiatan evaluasi dapat menggunakan data yang disediakan dari kegiatan monitoring. 6. Capaian keberhasilan Indikator keberhasilan yang pertama yaitu menurunnya prevalensi anemia pada remaja putri yang diperoleh sudah sesuai harapan yakni turun menjadi 28,08% (Dinkes Sukoharjo, 2015). Akan tetapi penurunan prevalensi yang dimaksudkan oleh pihak Dinkes tersebut belum bisa menggambarkan prevalensi anemia pada remaja putri di Kabupaten Sukoharjo yang sebenarnya. Penyebab dari kekeliruan penentuan prevalensi anemia remaja putri oleh Dinkes Sukoharjo adalah angka kejadian anemia remaja putri diperoleh dari data saat penjaringan remaja putri dengan anemia yang dibagi jumlah total remaja yang diikutsertakan sosialisasi sejumlah 1.200 remaja bukan keseluruhan remaja putri yang ada di kabupaten Sukoharjo. Sedangkan teori Najmah (2015) menyatakan bahwa untuk mendapatkan angka prevalensi dihitung dengan membagi jumlah orang yang memiliki penyakit dengan jumlah total orang berisiko dalam kelompok tersebut. 31
Journal of Maternal and Child Health (2016) 1 (1): 28-33
Kemudian sampel yang digunakan dalam survei pemeriksaan darah hanyalah remaja putri dari 12 sekolah saja terkait dengan keterbatasan dana yang diterima. Pemeriksaan darah pun dilakukan hanya satu kali dalam satu tahun tanpa adanya evaluasi pemeriksaan darah ulangan pada sasaran yang diberikan TTD. Dengan demikian hasil ini belum mencakup secara global remaja putri dengan anemia di Kabupaten Sukoharjo. Cakupan kepatuhan mengkonsumsi TTD juga merupakan faktor penentu keberhasilan kebijakan Gerakan Jumat Pintar. Sedangkan 5 dari 8 subjek penelitian ini ternyata mengaku jika tidak patuh mengkonsumsi TTD yang diberikan. Meskipun mereka memahami dengan baik makna dari penanggu-langan anemia sejak dini. Sejalan dengan hasil penelitian Kautshar (2013) menyimpulkan bahwa pengeta-huan mengenai anemia yang cukup baik belum dapat mendorong ibu hamil untuk lebih patuh mengonsumsi tablet Fe akan tetapi terdapat kecenderungan bahwa sebagian besar ibu hamil yang patuh memiliki pengetahuan yang baik. Pernyataan tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Suryani, et.al (2015), bahwa pengetahuan yang baik pada subjek penelitian belum tentu dapat mempengaruhi perilaku mereka dalam menanggulangi anemia. Indikator keberhasilan yang terakhir adalah terbentuknya outlet mandiri. Dari 12 sekolah yang ada di Kabupaten Sukoharjo hanya 1 sekolah saja yang berkomitmen untuk menindaklanjuti pemberian TTD secara mandiri melalui outlet mandiri. Padahal menurut Tondong (2014), komitmen diperlukan untuk memperkuat pelaksanaan 32
kebijakan. Proses implementasi kebijakan harus memiliki dasar hukum yang jelas sehingga menjamin terjadinya kepatuhan para petugas lapangan dan kelompok sasaran, juga dukungan dari para stakeholders dan komitmen serta keahlian dari para pelaksana kebijakan sehingga implementasi kebijakan dapat berhasil. Penyebab utama kurangnya komitmen pemangku kepentingan dalam mewujudkan outlet mandiri adalah tidak adanya ketersediaan sumber pendanaan kegiatan. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan kebijakan Gerakan Jumat Pintar dalam menurunkan kejadian anemia remaja putri di Kabupaten Sukoharjo nampaknya belum berjalan secara efektif. Hal ini dinilai dari pencapaian tujuan dan target yang belum optimal. Ketiadaan dasar hukum merupakan penyebab utama rendahnya komitmen dari pelaku kebijakan dan sasaran. Ditandai dengan rendahnya minat sekolah dalam membentuk outlet mandiri rendahnya kesadaran remaja putri dalam mengkonsumsi TTD dengan rutin.
DAFTAR PUSTAKA Depkes RI. (2003). Program Penanggulangan Anemia Gizi pada Wanita Usia Subur (WUS). Jakarta: Depkes RI Dewi, A.B. Pujiastuti, N. dan Fajar, I. (2013). Ilmu Gizi untuk Praktisi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu Dinkes Sukoharjo. (2015). Data Anemia dan KEK Remaja Putri Kab. Sukoharjo Tahun 2015. Sukoharjo: Dinas Kesehatan Kab. Sukoharjo ____________. (2016). Profil Kesehatan Kabupaten Sukoharjo Tahun 2015.
Pratiwi et al./ Evaluation of “Jumat Pintar” Program
Sukoharjo: Dinas Kesehatan Kab. Sukoharjo Irawati, E. (2012). Gambaran Keterpaduan Program KIA dan Gizi dalam Pelaksanaan Distribusi Tablet Fe Ibu hamil di Puskesmas Perawatan Pagatan Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan Tahun 2012. Skripsi. UI: Fakultas Kesehatan Masyarakat Kautshar, N; Suriah dan Jafar, N. (2013). Kepatuhan Ibu Hamil dalam Mengonsumsi Tablet zat Besi (Fe) di Puskesmas Bara-Baraya Tahun 2013. Available from: http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/2 838ec295ddbb8912d283bac2b79fa48.p dfDiakses tanggal 18 November 2016 Kec. Sukoharjo. (2014). Sosialisasi Penanggulangan Anemia Gizi pada Remaja Putri/WUS. Available from: http://www. sukoharjo.sukoharjokab.go.id/sosialisa si-penanggulangan-anemia-gizi-padaremaja-putri-wus.html. Diakses tanggal 15 Mei 2016 Kementerian Kesehatan RI. (2014). Permenkes No. 88 Tahun 2014 tentang Standar Tablet Tambah Darah Bagi Wanita Usia Subur Dan Ibu Hamil. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI _____________________. (2015a). Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI _____________________. (2015b). Petunjuk Pelaksanaan Surveilans Gizi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI ____________________________ dan Millenium Challenge AccountIndonesia. (2015c). Pedoman Program Pemberian dan Pemantauan Mutu
Tablet Tambah Darah Untuk Ibu Hamil di Wilayah Program Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Najmah. (2015). Epidemiologi: untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat. Jakarta: RajaGrafindo Persada Ngatu, E. R. dan Rochmawwati, L. (2015). Hubungan Pengetahuan tentang Anemia pada Remaja dengan Pemenuhan Kebutuhan Zat Besi pada Siswi SMKN 4 Yogyakarta. Jurnal Kebidanan Indonesia, 6(1): 16-26 Rogayah H, Mahendradhata Y, dan Padmawati R. S (2015). Evaluasi Program Terpadu Pengendalian Malaria, Pelayanan Ibu Hamil dan Imunisasi di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kota Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 4(1). 26-31 Suharno. (2013). Dasar-dasar Kebijakan Publik: Kajian Proses dan Analisis Kebijakan. Yogyakarta: UNY Press Suryani, D. Hafiani, R. dan Junita, R. (2015). Analisis Pola Makan dan Anemia Gizi Besi pada Remaja Putri Kota Bengkulu. JKMA, 10(1): 11-18 Tondong, M. A, Mahendradhata, Y, dan Ahmad R. A. (2014). Evaluasi Implementasi Public Private Mix Pengendalian Tuberkulosis di Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2012. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 3(1): 37-42 Wiknjosastro, H. (2007). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
33