EVALUASI STATUS HARA KALIUM PADA TANAH SAWAH DI PULAU JAWA
HENI HARIYANI A14080008
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN HENI HARIYANI. Evaluasi Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa. Dibawah bimbingan ARIEF HARTONO dan SYAIFUL ANWAR. Tahun 1975 diketahui status hara kalium (K) tanah sawah di Pulau Jawa berkisar dari rendah sampai tinggi (pengekstrak 25% HCl). Pusat Penelitian Tanah pada tahun 2000 melaporkan sebagian besar lahan sawah di 18 provinsi di Indonesia berstatus K tinggi (pengekstrak 25% HCl) dan sebagian besar berada di Pulau Jawa. Sofyan et al. ( 2004) menyatakan lahan sawah berstatus K tinggi diakibatkan oleh pemupukan K yang dilakukan secara terus-menerus. Pemupukan K yang dilakukan secara terus-menerus menyebabkan ketidakseimbangan hara tanah yang disinyalir mengakibatkan terjadinya leveling off padi sawah. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap status hara K tanah sawah di Pulau Jawa guna meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan menjaga hasil padi sawah tetap tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi status hara K-dapat dipertukarkan pada tanah sawah di Pulau Jawa dengan pengekstrak 1 M NH4OAc pH 7 serta menganalisa K-tidak dapat dipertukarkan, dan K-total. Selain itu untuk mengetahui perbedaan lokasi dan jenis tanah terhadap K-dapat dipertukarkan, Ktidak dapat dipertukarkan, dan K-total. Sebanyak 23 contoh tanah sawah diambil di Pulau Jawa yang terdiri dari 7 contoh tanah sawah dari Jawa Barat, 11 contoh tanah sawah dari Jawa Tengah, dan 5 contoh tanah sawah dari Jawa Timur. Hasil menunjukkan bahwa Status hara K dapat dipertukarkan pada tanah sawah di Pulau Jawa di 23 lokasi contoh yang diambil bervariasi mulai dari rendah hingga tinggi. Menurut kriteria Puslittanak (1992), dari 23 lokasi contoh yang diambil terdapat 9 lokasi berstatus Kdd rendah, 8 lokasi berstatus Kdd sedang, dan 6 lokasi berstatus Kdd tinggi. Di Jawa Barat dari 7 lokasi terdapat 2 lokasi berstatus Kdd rendah, 3 lokasi berstatus Kdd sedang, dan 2 lokasi berstatus Kdd tinggi. Di Jawa Tengah dari 11 lokasi terdapat 4 lokasi berstatus Kdd rendah, 4 lokasi berstatus Kdd sedang, dan 3 lokasi berstatus Kdd tinggi. Di Jawa Timur dari 5 lokasi terdapat 3 lokasi berstatus Kdd rendah, 1 lokasi berstatus Kdd sedang, dan 1 lokasi berstatus Kdd tinggi. Berdasarkan nilai rata-rata pada setiap provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berstatus Kdd sedang. Pada setiap lokasi dan jenis tanah tidak berbeda nyata terhadap kadar Kdd, Ktdd, dan Kt. Jawa Tengah memiliki kadar rata-rata Kdd dan Ktdd tertinggi. Jawa Barat memiliki kadar Kt tertinggi. Jawa Timur memiliki kadar Kdd, Ktdd, dan Kt terendah. Inceptisols memiliki kadar Kdd dan Kt tertinggi sementara Vertisols memiliki kadar Ktdd tertinggi sedangkan Ultisols memiliki kadar Kdd, Ktdd, dan Kt terendah. Pemupukan K di Pulau Jawa bervariasi yang dapat dilihat dari standar deviasinya yang tinggi pada hasil analisis Kdd, Ktdd, dan Kt. Hasil menunjukkan bahwa kadar K-dapat dipertukarkan, K-tidak dapat dipertukarkan, dan K-total relatif sangat bervariasi untuk itu manajemen pemupukan K yang berbeda pada setiap provinsi harus diimplementasikan. Kata Kunci: Pulau Jawa, tanah sawah, kalium.
SUMMARY HENI HARIYANI. Evaluation of Potassium Status on Paddy Field in Java Island. Supervised by ARIEF HARTONO and SYAIFUL ANWAR. It was reported in 1975 by Research Centre for Soil and Agroclimate that the content of potassium (K) determined by HCl 25 % on paddy field in Java island ranged from low to high. Another report published in 2000 by above institution showed that most of paddy field in eighteen (18) provinces in Indonesia contained K in high status determined by HCl 25%, and most of them were located in Java island. The high content of K in paddy field especially in Java Island was due to application of K fertilizer in long periode. This long periode of K fertilizer application was supposed to cause unbalance soil nutrients status. The latter was one of the factors causing the leveling off in rice production. Therefore it is necessary to reevaluate the status of K in Java island to have good management and to maintain high rice production. The objectives of this research were to evaluate exchangeable K status on paddy field in Java island determined by 1 N NH4OAc pH 7, non exchangeable K and total K. Moreover the effect of location and soil order to the amount of exchangeable K, non exchangeable K and total K were also evaluated. Soil samples amounted to 23 samples from paddy field in Java island were collected. It consisted of 7 samples from West Java, 11 samples from Central Java and 5 samples from East java. Those soil samples were analysed for exchangeable K, non exchangeable K and total K. The results showed the content of exchangeable K, non exchangeable K and total K varied among locations and soil orders. For exchangeable K status in those samples varied from low to high status judged by criteria published by Research Centre for Soil and Agroclimate (1992). From 23 locations in Java Island, 9 locations were low status, 8 locations were medium status and 6 locations were high status. West Java consisted of 7 locations. From 7 locations in West Java, 2 locations were low status, 3 locations were medium status and 2 locations were high status. Central Java consisted of 11 locations. From 11 locations in Central Java, 4 locations were low status, 4 locations were medium status and 3 locations were high status. East java consisted of 5 locations. From 5 locations in East Java, 3 locations were low status, 1 location was medium status and 1 location was high status. Comparison of the mean values of exchangeable K among the provinces showed that all the provinces were in medium status. Locations and soil orders did not statistically significantly affected the differences of exchangeable K, non exchangeable and total K values. However this research revealed that Central Java contained the highest mean value of exchageable K and non exchangeable K and East Java contained the lowest mean values of those forms of K. As for total K, West Java contained the highest value of total K and East Java contained the lowest value of total K. Inceptisols contained the highest mean values of exchangeable K and total K, while Vertisols contained the highest mean values of non exchangeable K. Ultisols contained the lowest mean values of exchnageable K, non exchangeable K and total K. These results suggested that the amount of K fertilizer applied on the farmer fields in Java island were not uniform indicated by high standar deviation within the samples of one province. Moreover
this research revealed that non exchangeable K ranged from low to high so the different K fertilization management among the provinces should be implemented. Key words: Java Island, paddy field, potassium.
EVALUASI STATUS HARA KALIUM PADA TANAH SAWAH DI PULAU JAWA
HENI HARIYANI A14080008
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
HALAMAN PENGESAHAN Judul Skripsi : Evaluasi Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa Nama
: Heni Hariyani
NIM
: A14080008
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Lahan
Disetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Arief Hartono, M.Sc. Agr. NIP. 19680628 199303 1 012
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 19621113 198703 1 003
Diketahui, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 19621113 198703 1 003
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang Selatan, Banten pada tanggal 28 November 1989 dari ayah Naumar dan ibu Mariyam. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri Pamulang II, Tangerang Selatan dan lulus pada tahun 2002, dilanjutkan ke MTsN II Pamulang, Tangerang Selatan dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMA Muhammadiyah 25 Setiabudi Pamulang, Tangerang Selatan dan lulus pada tahun 2008, kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) Faperta IPB sebagai Sekretaris. Penulis juga aktif sebagai Asisten Praktikum Pengantar Ilmu Tanah, Asisten Praktikum Pengantar Kimia Tanah, Asisten Praktikum Kimia Tanah, dan Asisten Praktikum Fisika Tanah.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian yang diambil adalah Evaluasi Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Arief Hartono, M.Sc. Agr dan Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc selaku dosen pembimbing yang tanpa lelah dan penuh kesabaran membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Mama, kakakkakak tersayang (Mukti, Ahmad Fauzi, Tika dan Sri) dan Adik tercinta (Intan Kusumawati) serta keluarga besar atas doa, semangat, dan cinta yang selalu diberikan. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan selama penelitian (Adelia dan Tunggul) serta teman-teman Pondok Putri Perwira 49 khususnya Putri Jayanti. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Imam Ganesha Rizkiyadi atas waktu, perhatian, dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis serta kepada teman-teman seangkatan MSL 45 yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (Faperta IPB). Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2012 Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL…………………………………………………….…….....
x
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………..…........ xi I. PENDAHULUAN…………………………………………………….…......
1
1.1. Latar Belakang……………………………………………………..............
1
1.2. Tujuan…………………………………………………………...................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………...................
3
2.1. Peranan Kalium Terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi Sawah……........... 3 2.2. Fraksi-fraksi Kalium dalam Tanah………………………………...............
3
2.3. Sumber Kalium Tanah……………………………………………………..
6
2.4. Tanah Sawah………………………………………………….....................
6
III. BAHAN DAN METODE……………………………………………....…
8
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian……………………………………………...
8
3.2. Bahan dan Alat………………………………………………...................... 8 3.3. Metode Penelitian………………………………………………................. 3.3.1. Tahap Persiapan……………………………………………………... 3.3.2. Pengambilan Contoh Tanah………………………………................. 3.3.3. Analisis Contoh Tanah………………………………………............. 3.3.4. Pengolahan Data dan Penentuan Kelas Status Hara Kalium Tanah…
8 8 9 10 12
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………..…..... 13 4.1. Karakteristik Tanah Sawah di Pulau Jawa………………..…...................... 13 4.2. Hasil Analisis Fraksi-fraksi Kalium Tanah Sawah di Pulau Jawa…...…..... 4.2.1. K-dapat Dipertukarkan………………………………....................... 4.2.2. K-tidak Dapat Dipertukarkan………………………………...…….. 4.2.3. K-total………………………………………………………............. 4.2.4. Perbedaan Kadar Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Lokasi…………......
16 16 18 20 22
4.3. Status Hara Kalium………………………………………...………............ 22 4.4. Hubungan Jenis Tanah dengan Ketersediaan Kalium…...………………... 24 V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………...………
28
5.1. Kesimpulan……………………………………………………………....... 28 5.2. Saran………………………………………………………………………. 28 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..…...... 30 LAMPIRAN…………………………………………………………...………. 33
ix
DAFTAR TABEL No.
Teks
1.
3.
Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau Jawa Beserta Jenis Tanahnya…………………………...………………………….. Kriteria Kelas Status Hara Kalium Tanah Sawah (Puslittanak 1992 dan FDALR 2004)……………………………………….................... Hasil Analisis Pendahuluan Tanah Sawah di Pulau Jawa…………....
4.
Hasil Analisis Kdd Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa………………..
18
5.
Hasil Analisis Ktdd Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa………………..
20
6.
Hasil Analisis Kt Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa…………………
21
7.
Perbedaan Kadar Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Lokasi (n = 23)……..
22
8.
Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa………………
23
9.
Perbedaan Kadar Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Jenis Tanah (n = 23)…………………………………………………………………….
27
2.
Halaman 10 12 14
Lampiran 1.
3.
Titik Koordinat Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau Jawa………………………………………………………………….. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Berdasarkan Balai Penelitian Tanah (2009)…………………………………………………………. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kdd Pada Setiap Lokasi……..
35 35
4.
Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Ktdd Pada Setiap Lokasi…….
35
5.
Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kt Pada Setiap Lokasi………
36
6.
Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kdd Pada Setiap Jenis Tanah………………………………………………………………… Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Ktdd Pada Setiap Jenis Tanah………………………………………………………………… Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kt Pada Setiap Jenis Tanah…………………………………………………………………
2.
7. 8.
34
36 36 37
x
DAFTAR GAMBAR No.
Teks
1.
Bagan Perbandingan Relatif dari Kalium yang Tidak, Segera, dan Lambat Tersedia (Sumber: Brady 1990)………………………………. Keseimbangan Dinamik Antar Fraksi-fraksi Kalium Tanah (Sumber: Kirkman et al. 1994)………………………….……………………...... Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau Jawa dan Distribusinya……………………………………..…...……………….. Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Jenis Tanah…………….………………..
2. 3. 4.
Halaman 4 4 9 26
Lampiran 1. 2. 3.
Peta Tanah Pulau Jawa Skala 1:1.000.000 (Sumber: BSDLP, Departemen Pertanian, Indonesia)………………………….…………. Sebaran Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa (Puslittanak 1992)……………………………………………….…….. Sebaran Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa (FDALR 2004)………………………………………………………....
38 39 40
xi
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Pemupukan kalium (K) memegang peranan penting dalam meningkatkan
produksi pertanian disamping pupuk nitrogen (N) dan fosfor (P). Pemupukan K di Indonesia mulai berkembang pesat sejak dicanangkannya Program Bimbingan Massal (BIMAS) oleh pemerintah sekitar tahun 60-an yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian. Umumnya penggunaan pupuk tersebut belum didasarkan pada potensi atau status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Sementara tanggap tanaman terhadap pemupukan K berbeda, tergantung status K di dalam tanah dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyerapannya di sawah (Barus dan Andarias 2007). Tahun 1975 diketahui bahwa status hara K tanah sawah di Jawa berkisar dari rendah sampai tinggi, dan diantaranya 1.8 juta ha sawah diketahui kahat K (LPT 1977). Partohardjono et al. (1977) yang memakai batas kritikal 124 ppm K (Bray II) menduga bahwa luasan sawah yang ditanami padi sekali setahun yang kahat K ada 1.07 juta ha, sedangkan yang ditanami dua kali setahun ada 1.07 juta ha. Dengan demikian secara menyeluruh ada 3.40 juta ha luas panen padi sawah yang kahat K. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan Lembaga Penelitian Tanah (1977) yang memakai pengekstrak 25% HCl. Pusat Penelitian Tanah pada tahun 2000 melaporkan bahwa sebagian besar lahan sawah di 18 provinsi di Indonesia berstatus K tinggi (pengekstrak 25% HCl), yaitu sebanyak 54.97% lahan sawah berstatus K tinggi, 32.08% berstatus K sedang dan hanya 12.95% lahan sawah berstatus K rendah. Sebagian besar lahan sawah berstatus K tinggi tersebut berada di Pulau Jawa. Menurut Sofyan et al. (2004), lahan sawah yang berstatus K tinggi ini diakibatkan oleh pemupukan K yang dilakukan secara terus-menerus. Pemupukan K yang dilakukan secara terusmenerus akan menyebabkan ketidakseimbangan hara tanah yang disinyalir dapat mengakibatkan terjadinya pelandaian produktivitas (leveling off) padi sawah. Pupuk K bila diberikan pada tanah dalam jumlah berlebihan, tanaman akan menyerapnya dalam jumlah yang berlebihan melebihi apa yang diperlukan untuk mencapai hasil optimum. Pemakaian berlebihan ini merupakan pemborosan
(Soepardi 1983). Namun apabila jumlah K di dalam larutan tanah tidak mencukupi kebutuhan tanaman maka akan terjadi kekahatan K. Kahat K menimbulkan penurunan produksi dan mutu hasil tanaman yang menyolok dan menekan ketepatgunaan sarana produksi lainnya. Pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi dikenal sebagai lumbung beras nasional. Pulau Jawa diantara pulau-pulau lainnya merupakan lumbung beras andalan. Pada tahun 2008, Pulau Jawa dengan luas 5.74 juta ha mampu menyumbang 55% dari produksi gabah giling (GKG) di Indonesia. Ditinjau dari penyebarannya, lebih dari 60% tanah sawah di Indonesia berada di Pulau Jawa (Nurwadjedi 2011). Bertolak dari uraian tersebut maka perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap status hara K tanah sawah di Pulau Jawa guna meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan menjaga hasil padi sawah tetap tinggi. Sementara saat ini data mengenai kadar K-dapat dipertukarkan, K-tidak dapat dipertukarkan dan Ktotal di Pulau Jawa belum tersedia. Penelitian ini membagi status hara K ke dalam tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi dengan pengekstrak 1 M NH4OAc pH 7 untuk
K-dapat
dipertukarkan,
serta
menganalisa
kadar
K-tidak
dapat
dipertukarkan dan K-total tanah sawah di Pulau Jawa. 1.2.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi status hara K-dapat
dipertukarkan pada tanah sawah di Pulau Jawa. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar K-dapat dipertukarkan, K-tidak dapat dipertukarkan, dan K-total pada setiap lokasi dan jenis tanah.
II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Kalium Terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi Sawah Peranan utama kalium (K) dalam tanaman adalah sebagai aktivator
berbagai enzim (Soepardi 1983). K merupakan satu-satunya kation monovalen yang esensial bagi tanaman. K terlibat dalam semua reaksi biokimia yang berlangsung dengan tanaman dan merupakan batasan yang paling banyak diperlukan tanaman. K bukan penyusun bagian integral komponen tanaman, melainkan fungsinya sebagai katalis berbagai fungsi fisiologis esensial (Tisdale et al. 1985). Adanya K tersedia yang cukup dalam tanah menjamin ketegaran tanaman. Selanjutnya membuat tanaman lebih tahan terhadap berbagai penyakit dan merangsang pertumbuhan akar (Soepardi 1983). K dikenal sebagai hara penentu mutu produksi tanaman (Janke 1992). Kahat K pada tanaman akan menghambat seluruh proses metabolisme sehingga produksi turun. Pada tanaman padi sawah, kahat K menyebabkan tanaman cepat menua, pemasakan tidak merata, dan kehampaan gabah tinggi (Karama et al. 1992). Selain itu menurut Dobermann dan Fairhurst (2000), kahat K menyebabkan tanaman padi sawah tumbuh kerdil (daun lebih kecil, pendek, dan batang kurang keras), mudah rebah dan daun mudah menggulung. Kahat K juga menyebabkan bobot 1000 butir gabah turun, translokasi karbohidrat terhambat, sistem perakaran tidak sehat menyebabkan penurunan serapan hara lainnya, dan daya oksidasi akar buruk menurunkan ketahanan terhadap bahan-bahan toksik. 2.2.
Fraksi-fraksi Kalium dalam Tanah Kadar K di dalam tanah biasanya berkisar antara 0.5–2.5% dengan rata-
rata 1.2% tergantung keadaan mineral cadangan dan tingkat pelapukan (Leiwakabessy et al. 2003). Berdasarkan ketersediaannya, K di dalam tanah secara umum dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu K relatif tidak tersedia, K lambat tersedia, dan K segera tersedia. Hubungan diantara ketiganya tertera pada Gambar 1.
Relatif tidak tersedia (feldspar, mika, dan lain-lain) (90-98% dari K-total) Relatif segera tersedia K-dapat dipertukarkan dan K-larut (1-2% dari K-total)
Relatif lambat tersedia K-tidak dapat dipertukarkan (1-10% dari K-total)
90% K-tidak dapat ditukarkan Gambar 1.
10%
K-dapat ditukarkan
K-larut
Bagan Perbandingan Relatif dari Kalium yang Tidak, Segera, dan Lambat Tersedia (Sumber: Brady 1990)
Menurut Kirkman et al. (1994), Jumlah K yang berada dalam masingmasing fraksi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor tanah, antara lain: jenis dan jumlah mineral liat, serapan hara tanaman, penggunaan pupuk, pencucian, dan efektivitas proses fiksasi pelepasan yang berlangsung di dalam tanah. Keseimbangan dinamik antara fraksi-fraksi K tanah dapat dilihat pada Gambar 2. Mika terlapuk Liat intergrade Vermikulit Liat amorf
Mineral liat Bahan organik
Sisa Tanaman Pupuk Kandang
K-dapat dipertukarkan
Pupuk K A
F
K-larut
F
D R
R
Pencucian Serapan Tanaman
Gambar 2.
W
K-terfiksasi R
A = Adsorpsi D = Desorpsi F = Fiksasi R = Pelepasan W = Hancuran
Mika Feldspar Gelas volkan
K-struktural
F
K-tidak dapat dipertukarkan
Keseimbangan Dinamik Antar Fraksi-fraksi Kalium Tanah (Sumber: Kirkman et al. 1994)
4
Menurut Schroeder (1974) umumnya kadar Kdd kurang dari 2% dari Kt tanah atau berkisar antara 10-400 ppm. Namun demikian tanah-tanah yang ditanami secara intensif mengandung Kdd yang bervariasi sekitar 1-5% dari Kt tanah. K-dapat dipertukarkan (Kdd) didefinisikan sebagai K yang dijerap pada kompleks permukaan koloid tanah. Pada mineral liat, Kdd berada pada tapak jerapan non spesifik, yaitu posisi planar dan edge. Kdd dapat menjadi ukuran ketersediaan K dalam tanah. Kirkman et al. (1994) menyatakan bahwa aplikasi pemupukan K dapat diduga berdasarkan tingkat kadar Kdd tanah. Semakin tinggi kadar Kdd tanah maka semakin sedikit jumlah pupuk yang perlu ditambahkan dan begitu pula sebaliknya. Peranan utama dari Kdd adalah untuk mempertahankan kadar K dalam larutan (Leiwakabessy 2003). Bila dalam tanah dijumpai vermikulit, ilit, atau mineral tipe 2:1 lainnya, maka K dari pupuk seperti KCl tidak saja menjadi terjerap, tetapi juga dapat terikat selamanya oleh koloid tanah. Ion K dan ammonium pas dalam ruangan antara unit kristal dari mineral liat yang biasanya mengembang dan menjadi bagian integral dari kristal tersebut. K tersebut tidak dapat digantikan oleh cara pertukarkan hara dan oleh karena itu disebut sebagai K-tidak dapat dipertukarkan (Ktdd). Ktdd merupakan K cadangan walaupun pelepasannya sangat lambat sehingga dinilai sebagai K yang relatif tidak segera tersedia bagi tanaman (Soepardi 1983). Ktdd terdiri dari bentuk K-struktural dan K-terfiksasi. K-terfiksasi berada diantara lapisan mineral liat mika dimana posisi tersebut tidak memungkinkan terjadinya pertukaran dengan kation lain yang berada dalam larutan tanah (Goulding 1987). Perbedaan antara K-terfiksasi dengan K-struktural adalah pelepasan K dari K-terfiksasi dapat balik (reversible) sedangkan dari Kstruktural tidak dapat balik (ireversible). Menurut Brady (1990), K-total (Kt) terdiri dari K relatif tidak tersedia, K relatif lambat tersedia (Ktdd), K relatif segera tersedia (Kdd dan Kl) dan K dari komponen tanah lainnya (bahan organik). Sebagian besar tanah mineral, kecuali yang berpasir, mempunyai kadar Kt tinggi. K yang dapat ditukarkan pada umumnya berjumlah sedikit, sebagian besar terikat kuat dan agak sukar tersedia bagi tanaman. Besarnya Kdd merupakan bagian kecil dari K-total (Kt).
5
2.3.
Sumber Kalium Tanah Sumber K tanah dapat berasal dari bahan organik ataupun bahan
inorganik. Bahan organik umumnya memiliki kadar K rendah, sedangkan bahan inorganik berkadar K tinggi. K yang berasal dari hasil pelapukan bahan organik (pupuk kandang, sisa tanaman, kotoran lumpur dan lain-lain) umumnya juga menyumbangkan K+ inorganik yang tersedia bagi tanaman. Kadar K dalam kotoran hewan berkisar antara 0.2-2% atau 2-20 kg t-1 sedangkan dalam sampah sekitar 4.5 kg t-1 dari bahan kering (Havlin et al. 1999). Deposit garam K mudah larut banyak ditemukan di permukaan bumi dan juga di sungai mati dan laut. Deposit ini mempunyai kemurnian tinggi dan ditambang untuk keperluan pertanian dan industri yang disebut sebagai potash. Cadangan potash terbesar di dunia terdapat di Canada, yaitu sepanjang 450 mil, lebar 150 mil, dan kedalaman 3000-7000 kaki. Keperluan K untuk pertanian biasanya berada dalam bentuk pupuk yang berasal dari deposit K tersebut. Sumber K dalam bahan inorganik antara lain terdapat di pupuk KCl (60% K2O), K2SO4 (50% K2O), KNO3 (37% K2O), K fosfat (20-50% K2O), K2CO3 (68% K2O), dan lain-lain (Havlin et al. 1999). 2.4.
Tanah Sawah Tanah sawah (soil rice, paddy soil, lowland paddy soil, artificial
hydromorphic soils, great-group anthraquic, sub-group anthrophic, aquorizem, sub-group hydraquic), dalam klasifikasi tanah FAO (World Reference Base for Soil Resources) termasuk ke dalam Anthrosols (FAO 1998). Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija (Hardjowigeno et al. 2004). Istilah tanah sawah bukan merupakan suatu istilah taksonomi, akan tetapi merupakan istilah yang menggambarkan jenis penggunaan tanah seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya. Dengan demikian merupakan suatu tipe man made soil yang juga disebut sebagai anthropogenic soil. Ada juga yang menyatakan sebagai tanah yang telah mengalami perubahan akibat penggenangan oleh air irigasi atau tanah yang mengalami proses hidromorfik, baik secara buatan maupun alami. Di Indonesia tanah sawah berasal
6
dari jenis-jenis tanah yang cukup beragam antara lain: Entisol, Vertisol, Inceptisol, Alfisol, Ultisol, dan Histosol yang tersebar luas (Situmorang dan Sudadi 2001). Menurut Hardjowigeno et al. (2004), tanah sawah adalah tanah kering yang diairi, atau tanah rawa-rawa yang dikeringkan dengan membentuk saluransaluran drainase. Penggenangan selama pertumbuhan padi dan pengolahan tanah pada tanah kering yang disawahkan dapat menyebabkan berbagai perubahan sifat tanah, baik sifat morfologi, fisika, kimia, mikrobiologi maupun sifat-sifat lain. Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila sifat tanah sawah sangat beragam sesuai dengan sifat tanah asalnya.
7
III. 3.1.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Februari 2012 sampai dengan
Juni 2012. Pengambilan contoh tanah dilakukan di beberapa tanah sawah di Pulau Jawa. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 3.2.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah-tanah sawah di
Pulau Jawa dan bahan kimia. Bahan kimia terdiri dari 1 M NH4OAc pH 7, 1 M HNO3, HClO4 pekat, HNO3 pekat, K 1000 ppm, dan aquades. Alat yang digunakan GPS, plastik untuk contoh tanah, mortar, saringan 2 mm, mesin pengocok, tabung sentrifuse, sentrifuse, hot plate, pH meter, flamephotometer, alat destruksi, tabung destruksi, timbangan digital, oven, pipet volumetrik, labu takar (50 ml, 100 ml, 500 ml, dan 1000 ml), erlenmeyer (125 ml), gelas pengaduk, corong gelas, botol kontainer, label, spidol marker, tissue, jerigen, plastic wrap, aluminium foil, tabung plastik, tabung reaksi, dan kertas saring. 3.3.
Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu tahap persiapan,
pengambilan sampel tanah, analisa tanah, dan pengolahan data untuk penetapan kelas status hara K tanah sawah. 3.3.1. Tahap Persiapan Tahap ini meliputi tahap perencanaan sebelum pengambilan contoh tanah dilakukan, yaitu menetapkan lahan sawah yang akan diambil contoh tanahnya, jumlah dan lokasi pengambilan contoh tanah. Penetapan lokasi pengambilan contoh tanah didasarkan atas pertimbangan karena daerah tersebut merupakan sentra pertanian, terutama tanaman padi sawah.
3.3.2. Pengambilan Contoh Tanah Contoh tanah sawah diambil di 23 (dua puluh tiga) lokasi di Pulau Jawa. Contoh tanah tersebut diambil pada kedalaman sekitar 0-20 cm secara komposit. Contoh tanah komposit kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label. Setiap contoh tanah sawah yang diambil pada setiap lokasi dicatat koordinatnya (Tabel Lampiran 1). Sebaran pengambilan contoh tanah sawah dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3.
Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau Jawa dan Distribusinya
Jumlah contoh tanah sawah yang diambil di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berturut-turut sebanyak 7, 11 dan 5 contoh. Lokasi pengambilan contoh tanah sawah beserta jenis tanah selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Penentuan jenis tanah didasarkan pada Peta Tanah Pulau Jawa Skala 1:1.000.000 dari BSDLP, Departemen Pertanian, Indonesia (Gambar Lampiran 1).
9
Tabel 1. Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau Jawa Beserta Jenis Tanahnya Provinsi Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Nama Lokasi Karawang Jatisari Pamanukan Indramayu Palimanan Cicalengka Cikarawang Brebes Suradadi Batang Kendal Demak Jekulo Jogjakarta Borobudur Kutoarjo Karanganyar Buntu Bojonegoro Tambak Rejo Nganjuk Jombang Ponorogo
Ordo Tanah (USDA 2010) Inceptisols Inceptisols Inceptisols Inceptisols Inceptisols Inceptisols Ultisols Inceptisols Inceptisols Ultisols Inceptisols Vertisols Vertisols Vertisols Inceptisols Inceptisols Inceptisols Inceptisols Vertisols Vertisols Vertisols Inceptisols Vertisols
3.3.3. Analisis Contoh Tanah Seluruh contoh tanah yang diambil dari lapang dikeringudarakan kemudian dihaluskan. Setelah dihaluskan diayak dengan saringan tanah berdiameter 2 mm. Analisis Kdd dilakukan dengan pengekstrak 1 M NH4OAc pH 7, Ktdd dengan 1 M HNO3, dan Kt dengan campuran HClO4 pekat dan HNO3 pekat.
10
Analisis Pendahuluan Analisis pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik sifat kimia tanah sawah yang diambil. Analisis pendahuluan meliputi pH (H2O) yang diukur dengan pH meter. C-organik yang diperoleh dengan metode Walkley and Black. KTK dan basa-basa (Nadd, Cadd, Mgdd) yang diperoleh dari hasil ekstraksi dengan 1 M NH4OAc pH 7. N-total yang diperoleh dari hasil destruksi dengan metode NKjeldahl. Kejenuhan basa diperoleh dengan perhitungan yaitu rasio total basabasa dapat ditukar terhadap KTK tanah dan diekspresikan dalam persen. Nisbah CN diperoleh dengan perhitungan yaitu C-total terhadap N-total, serta EC yang diukur dengan EC meter. K-dapat dipertukarkan Tanah kering udara ditimbang sebanyak 5 g kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse. Lalu ditambahkan 1 M NH4OAc pH 7 sebanyak 25 ml. Kemudian dikocok selama 30 menit. Setelah dikocok, disentrifuse selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Lalu disaring ke dalam labu takar 100 ml. Setelah disaring, langkah tersebut dilakukan kembali hingga sebanyak 3 kali mulai dari menambahkan 1 M NH4OAc pH 7 sebanyak 25 ml ke dalam tabung sentrifuse yang berisi tanah. Kemudian ditera dengan 1 M NH4OAc pH 7 hingga 100 ml. Selanjutnya diukur dengan flamephotometer. K-tidak dapat dipertukarkan Sebanyak 2.5 g tanah dimasukkan ke dalam Erlenmeyer lalu ditambahkan 25 ml 1 M HNO3 dan dipanaskan di hotplate. Saat mulai mendidih, dibiarkan selama 15 menit. Setelah itu diangkat, didinginkan dan disaring dengan kertas saring di labu takar 100 ml. Kemudian ditambahkan 15 ml 0.1 M HNO3 sebanyak 4 kali ke dalam erlenmeyer dan disaring ke labu takar untuk membersihkan tanah pada permukaan erlemeyer. Kemudian ditera hingga 100 ml dengan larutan 0.1 M HNO3 dan diukur dengan flamephotometer. Selisih antara hasil ekstrak 1 M HNO3 dengan Kdd merupakan Ktdd (Oviasogie dan Aghimien 2011).
11
K-total Penetapan Kt dilakukan dengan menggunakan campuran HClO4 pekat dan HNO3 pekat. Sebanyak 0.5 g tanah ditambahkan 10 ml campuran HClO4 pekat dan HNO3 pekat dengan perbandingan 2:1. Kemudian didiamkan selama satu malam. Setelah itu didigestion dengan alat destruksi hingga berwarna putih. Lalu ditambahkan aquades dan disaring di labu takar 100 ml hingga tera. Selanjutnya diukur dengan flamephotometer. 3.3.4. Pengolahan Data dan Penentuan Kelas Status Hara Kalium Tanah Dilakukan penilaian dari hasil analisis Kdd dan hasilnya dibagi menjadi 3 kelas status hara K yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kriteria yang digunakan dalam penetapan status hara K tanah sawah di Pulau Jawa berdasarkan kriteria Puslittanak (1992) dan Federal Departement of Agriculture Land Resources (FDALR) (2004) secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kriteria Kelas Status Hara Kalium Tanah Sawah (Puslittanak 1992 dan FDALR 2004) Kelas Status Hara K
Kadar K-dapat dipertukarkan Puslittanak (1992)
FDALR (2004)
me 100g-1
me 100g-1
Rendah
< 0.26
< 0.20
Sedang
0.26 – 0.51
0.20 – 0.40
Tinggi
> 0.51
> 0.40
Tanah Sawah
Selain menentukan kelas status hara K, dilakukan uji Tukey lokasi dan jenis tanah terhadap K-dapat dipertukarkan, K-tidak dapat dipertukarkan, dan Ktotal. Pengujian ini dilakukan dengan rancangan acak lengkap dengan ulangan tidak sama.
12
IV. 4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Tanah Sawah di Pulau Jawa Hasil analisis pendahuluan sifat-sifat kimia tanah sawah di Pulau Jawa
disajikan pada Tabel 3. Status sifat kimia tanah yang diteliti dinilai berdasarkan kriteria penilaian Balai Penelitian Tanah (2009) yang disajikan pada Tabel Lampiran 2. Berdasarkan hasil analisis tersebut, rata-rata tanah sawah di Jawa Barat menunjukkan reaksi tanah yang agak masam dengan pH (H2O) sebesar 6.20. Kadar C-total termasuk dalam kategori sedang sebesar 2.14%. N-total termasuk dalam kategori sedang sebesar 0.21%. Nisbah CN termasuk dalam kategori rendah sebesar 9.90. Kadar Nadd berkategori sedang sebesar 0.57 cmol+ kg-1. Adapun kadar Cadd, Mgdd, KTK dan KB termasuk dalam kategori tinggi secara berturut-turut adalah 15.9 cmol+ kg-1, 7.70 cmol+ kg-1, 32.2 cmol+ kg-1, dan 74.1%. Nilai rata-rata EC sebesar 93.2 dS cm-1. Tanah sawah di Jawa Tengah rata-rata menunjukkan reaksi tanah yang netral dengan pH (H2O) sebesar 6.80. Umumnya memiliki kadar C-total, N-total dan nisbah CN yang rendah masing-masing sebesar 1.84%; 0.18%; dan 10.2. Kadar Nadd termasuk kategori sedang sebesar 0.66 cmol+ kg-1. Kadar Cadd sangat tinggi sebesar 21.2 cmol+ kg-1. Kadar Mgdd tinggi sebesar 7.93 cmol+ kg-1. KTK termasuk dalam kategori tinggi sebesar 29.1 cmol+ kg-1. Sedangkan KB sangat tinggi sebesar 116% dengan rata-rata EC sebesar 129 dS cm-1. Sementara tanah sawah di Jawa Timur, berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata tanah sawahnya memiliki reaksi tanah agak alkalin dengan pH (H2O) sebesar 8.00. Umumnya pada tanah sawah tersebut memiliki Ctotal dan N-total berkategori rendah masing-masing sebesar 1.55% dan 0.14%. Nisbah CN sedang sebesar 11.2. Kadar Nadd berkategori sedang sebesar 0.45 cmol+ kg-1. Kadar Mgdd tinggi sebesar 7.13 cmol+ kg-1. Sedangkan kadar Cadd, KTK dan KB termasuk dalam kategori sangat tinggi secara berturut-turut adalah 37.5 cmol+ kg-1, 42.0 cmol+ kg-1, dan 109%. Nilai rata-rata EC pada tanah sawahnya sebesar 116 dS cm-1.
Tabel 3. Hasil Analisis Pendahuluan Tanah Sawah di Pulau Jawa Nama Lokasi
pH (H2O)
C-total
N-total
-------(%)------
Nisbah CN
Nadd
Cadd
Mgdd +
KTK
-1
-------------------------(cmol kg )------------------------
KB
EC
(%)
(dS cm-1)
Jawa Barat Karawang
5.40
2.32
0.23
10.1
0.56
16.3
5.14
33.3
67.5
63.0
Jatisari
5.50
2.16
0.22
9.80
0.90
18.0
8.61
37.3
75.0
212
Pamanukan
6.90
2.70
0.25
10.7
0.85
20.1
13.1
39.9
87.2
144
Indramayu
7.00
1.72
0.20
8.70
0.77
19.6
12.6
38.3
88.5
97.8
Palimanan
7.30
0.81
0.08
10.3
0.26
20.0
8.19
32.7
87.7
45.8
Cicalengka
5.40
2.90
0.29
10.0
0.18
7.71
3.58
22.8
51.0
49.2
Cikarawang
6.00
2.36
0.23
10.1
0.47
9.60
2.71
20.8
62.1
40.1
Rata-rata
6.20
2.14
0.21
9.90
0.57
15.9
7.70
32.2
74.1
93.2
Agak masam
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
-
Brebes
7.70
1.31
0.14
9.60
3.41
32.9
19.7
13.5
430
566
Suradadi
7.40
1.60
0.17
9.20
0.38
21.1
17.6
38.9
102
94.0
Batang
5.40
2.99
0.30
10.1
0.14
6.61
1.06
22.1
35.7
30.1
Kendal
6.50
2.40
0.23
10.3
0.40
28.5
8.43
41.2
91.8
95.8
Demak
8.30
1.59
0.16
10.0
1.07
41.0
7.59
38.4
131
291
Jekulo
7.00
1.46
0.14
10.3
0.22
13.6
5.50
30.4
64.6
56.9
Jogjakarta
7.00
0.90
0.10
9.00
0.17
8.32
3.03
14.3
82.0
31.8
Borobudur
6.10
1.47
0.15
9.70
0.15
6.41
1.71
11.1
76.1
56.7
Status Hara Jawa Tengah
14
Lanjutan Tabel 3….. Nama Lokasi
Ph (H2O)
C-total
N-total
-------(%)------
Nisbah CN
Na dd
Ca dd
Mg dd
KTK
-------------------------(cmol+ kg-1)------------------------
KB
EC
(%)
(dS/cm)
Kutoarjo
6.80
1.86
0.18
10.2
0.61
27.5
8.99
37.6
99.4
63.3
Karanganyar
6.50
1.98
0.19
10.4
0.29
31.3
8.26
39.0
103
60.8
Buntu
5.80
2.70
0.26
10.2
0.46
16.2
5.38
33.3
67.5
76.9
Rata-rata
6.80
1.84
0.18
10.2
0.66
21.2
7.93
29.1
117
129
Netral
Rendah
Rendah
Rendah
Sedang
Sangat tinggi
Tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
-
Bojonegoro
7.60
1.82
0.16
11.5
0.43
48.9
8.43
60.1
96.6
69.2
Tambak Rejo
8.50
1.08
0.09
12.6
0.22
63.6
2.46
55.4
120
139
Nganjuk
8.10
1.49
0.14
11.0
0.39
30.5
10.2
39.5
105
138
Jombang
8.10
0.98
0.10
10.1
0.44
13.7
4.77
17.2
110
84.4
Ponorogo
7.70
2.38
0.22
11.0
0.77
31.1
9.78
37.6
112
151
Rata-rata
8.00
1.55
0.14
11.2
0.45
37.5
7.13
42.0
109
116
Agak alkalin
Rendah
Rendah
Sedang
Sedang
Sangat tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
-
Status Hara Jawa Timur
Status Hara
Keterangan : Status hara berdasarkan kriteria penilaian Balai Penelitian Tanah (2009).
15
Hasil evaluasi sifat-sifat kimia tanah sawah di Pulau Jawa, rata-rata di Jawa Barat menunjukkan reaksi tanah yang agak masam dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bereaksi netral dan agak alkalin. Hal ini mungkin disebabkan karena curah hujan di Jawa Barat lebih tinggi jika dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Soepardi (1983) menyatakan bahwa keadaan masam merupakan hal yang biasa pada tanah yang berada di daerah dengan curah hujan tinggi. Menurut Nurwadjedi (2011), distribusi tipe iklim di Jawa menunjukkan bahwa bagian Barat Jawa memiliki bulan basah lebih banyak daripada bagian Timur atau semakin ke Timur lebih kering sehingga pencucian di Jawa Barat lebih intensif bila dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu, KB di Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat tinggi bila dibandingkan dengan Jawa Barat. Tidak adanya pencucian secara intensif menyebabkan jumlah basa tanah demikian tinggi (Soepardi 1983). 4.2.
Hasil Analisis Fraksi-fraksi Kalium Tanah Sawah di Pulau Jawa
4.2.1. K-dapat Dipertukarkan Berdasarkan Tabel 4 hasil analisis Kdd menunjukkan bahwa kadar Kdd di Jawa Barat berkisar antara 0.13 cmol+ kg-1 sampai dengan 0.94 cmol+ kg-1. Kadar Kdd Jawa Tengah berkisar antara 0.08 cmol+ kg-1 sampai dengan 2.03 cmol+ kg-1. Kadar Kdd Jawa Timur berkisar antara 0.09 cmol+ kg-1 sampai dengan 0.64 cmol+ kg-1. Brebes memiliki kadar Kdd tertinggi diantara lokasi lainnya di Pulau Jawa dengan Kdd sebesar 2.03 cmol+ kg-1. Sementara Batang memiliki kadar Kdd terendah jika dibandingkan dengan lokasi lainnya di Pulau Jawa dengan kadar Kdd sebesar 0.08 cmol+ kg-1. Brebes dan Batang merupakan daerah satu provinsi yaitu Jawa Tengah namun memiliki kadar Kdd yang sangat jauh berbeda. Perbedaan kadar Kdd tersebut mungkin dapat disebabkan karena jenis tanah di kedua lokasi tersebut berbeda. Brebes mempunyai jenis tanah Inceptisols sedangkan Batang mempunyai jenis tanah Ultisols. Menurut Karama et al. (1992), Ultisols merupakan tanah mineral masam dengan tingkat kesuburan marginal, kahat hara esensial salah satunya hara K merupakan kendala utama pada tanah tersebut. Sementara tanah muda seperti Inceptisols umumnya menyediakan cukup K (Odjak 1992). Selain karena jenis tanahnya, kadar Kdd paling tinggi di Brebes
16
diduga karena pupuk K diberikan dalam jumlah yang banyak pada tanah sawah tersebut. Berdasarkan nilai rata-rata Kdd pada setiap provinsi, kadar Kdd tertinggi terdapat di Jawa Tengah sedangkan terendah di Jawa Timur. Kadar rata-rata Kdd Jawa Barat sebesar 0.45 cmol+ kg-1. Kadar rata-rata Kdd Jawa Tengah sebesar 0.50 cmol+ kg-1. Sementara kadar rata-rata Kdd Jawa Timur sebesar 0.30 cmol+ kg-1. Rata-rata Kdd Jawa Tengah lebih tinggi dibanding dengan Jawa Barat diduga karena pencucian di Jawa Barat lebih intensif dibandingkan dengan Jawa Tengah. Menurut Soepardi dan Ismunadji (1987), secara umum dapat dikatakan di daerah beriklim basah ditemukan tanah dengan kahat kalium lebih tinggi. Pelapukan yang kurang intensif tidak memberikan peluang tercucinya kalium dari profil tanah. Sementara rata-rata Kdd Jawa Tengah lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Timur diduga karena pemupukan K di Jawa Tengah lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan Jawa Timur. istribusi tipe iklim di Jawa menunjukkan bahwa bagian Barat Jawa memiliki bulan basah lebih banyak daripada bagian Timur atau semakin ke Timur lebih kering. Meskipun demikian hasil menunjukkan bahwa Jawa Timur memiliki kadar Kdd paling rendah dibandingkan dengan yang lainnya. Begitu juga dengan hasil survai yang dilakukan oleh Partohardjo et al. (1977) dan Sudjadi et al. (1985) yang menyebutkan bahwa kadar K juga dipengaruhi oleh air irigasi, diperoleh kadar rata-rata air sungai atau irigasi sebesar 2.60 ppm K untuk Jawa Barat, 3.10 ppm K untuk Jawa Tengah, dan 5.20 ppm K untuk Jawa Timur. Kadar rata-rata K air sungai atau irigasi di Jawa Timur yang tinggi tersebut tidak menunjukkan kadar Kdd Jawa Timur tinggi pada penelitian ini. Menurut Leiwakabessy et al. (2003), meskipun tanah memiliki kadar liat yang kaya akan K tetapi apabila tanah-tanah ini ditanami secara intensif tanpa penambahan pupuk K secara cukup, maka lambat laun akan kekurangan K. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada saat pengambilan contoh tanah terhadap petani setempat, pemupukan K tidak memiliki pola. Jumlah pupuk K yang diberikan hanya tergantung kepada kemampuan petani. Hasil analisis Kdd pada tanah sawah di Pulau Jawa selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
17
Tabel 4. Hasil Analisis Kdd Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa Nama Lokasi
Ordo Tanah (USDA 2010)
Kdd
(cmol+ kg-1)
Jawa Barat Karawang
Inceptisols
0.45
Jatisari
Inceptisols
0.45
Pamanukan
Inceptisols
0.78
Indramayu
Inceptisols
0.94
Palimanan
Inceptisols
0.26
Cicalengka
Inceptisols
0.17
Cikarawang
Ultisols
0.13
Rata-rata
0.45
Jawa Tengah Brebes
Inceptisols
2.03
Suradadi
Inceptisols
0.62
Batang
Ultisols
0.08
Kendal
Inceptisols
0.50
Demak
Vertisols
0.53
Jekulo
Vertisols
0.36
Jogjakarta
Vertisols
0.20
Borobudur
Inceptisols
0.18
Kutoarjo
Inceptisols
0.32
Karanganyar
Inceptisols
0.23
Buntu
Inceptisols
0.45
Rata-rata
0.50
Jawa Timur Bojonegoro
Vertisols
0.34
Tambak Rejo
Vertisols
0.19
Nganjuk
Vertisols
0.24
Jombang
Inceptisols
0.09
Ponorogo
Vertisols
0.64
Rata-rata
0.30
4.2.2. K-tidak Dapat Dipertukarkan Hasil analisis pada Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar Ktdd di Jawa Barat berkisar antara 0.07 cmol+ kg-1 sampai dengan 0.91 cmol+ kg-1. Kadar Ktdd di Jawa Tengah berkisar antara 0.09 cmol+ kg-1 sampai dengan 3.13 cmol+ kg-1. Kadar Ktdd di Jawa Timur berkisar antara 0.22 cmol+ kg-1 sampai dengan 0.46 cmol+ kg-1. Jika dibandingkan dengan semua lokasi di Pulau Jawa, Jekulo memiliki kadar Ktdd tertinggi sebesar 3.13 cmol+ kg-1. Sementara Cicalengka memiliki kadar Ktdd 18
terendah dibandingkan dengan lokasi lainnya dengan kadar Ktdd sebesar 0.07 cmol+ kg-1. Kadar Ktdd tertinggi di Jekulo mungkin disebabkan karena jenis tanah di Jekulo Vertisols. Tanah-tanah yang didominasi mineral liat tipe 2:1 seperti tanah Vertisols memiliki kemampuan mengikat K. Soepardi (1983) menyebutkan bahwa K yang berasal dari pupuk seperti kalium klorida (KCl) tidak saja menjadi terjerap, tetapi juga dapat terikat oleh koloid tanah. Ion K yang mempunyai ukuran yang pas untuk ruangan yang terdapat antara kristal, sehingga kristal tersebut menahannya. Pada waktu bersamaan, menjadi tidak dapat dipertukarkan atau diikat untuk sementara waktu. Nilai rata-rata Ktdd pada setiap provinsi pada Tabel 5 menunjukkan bahwa Jawa Tengah memiliki kadar Ktdd tertinggi sedangkan terendah Jawa Timur. Kadar rata-rata Ktdd Jawa Barat sebesar 0.40 cmol+ kg-1. Kadar rata-rata Ktdd Jawa Tengah sebesar 0.83 cmol+ kg-1. Kadar rata-rata Ktdd Jawa Timur sebesar 0.32 cmol+ kg-1. Jawa Tengah memiliki Ktdd paling tinggi diantara provinsi lainnya. Selain diduga karena terdapat mineral liat tipe 2:1 (berada di lokasi Demak, Jekulo, dan Jogjakarta) diduga juga karena pemupukan K pada tanah sawah di Jawa Tengah diberikan dalam jumlah yang sangat banyak. Menurut Soepardi (1983), selain sifat koloid tanah, pembasahan dan pengeringan, faktor lain yang mempengaruhi jumlah K yang diikat adalah adanya K berlebihan. Sementara Jawa Timur memiliki kadar rata-rata Ktdd paling rendah dibandingkan dengan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di Jawa Timur, meskipun contoh tanah sawahnya ada yang berjenis tanah Vertisols yaitu di Bojonegoro, Nganjuk, dan Ponorogo. Namun kadar Ktdd pada provinsi tersebut rendah. Kadar Ktdd rendah di Jawa Timur mungkin disebabkan karena pupuk K yang diberikan dalam jumlah sedikit. Hasil analisis kadar Ktdd tanah sawah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5.
19
Tabel 5. Hasil Analisis Ktdd Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa Nama Lokasi
Ordo Tanah (USDA 2010)
Ktdd
(cmol+ kg-1)
Jawa Barat Karawang
Inceptisols
0.20
Jatisari
Inceptisols
0.39
Pamanukan
Inceptisols
0.91
Indramayu
Inceptisols
0.76
Palimanan
Inceptisols
0.35
Cicalengka
Inceptisols
0.07
Cikarawang
Ultisols
0.12
Rata-rata
0.40
Jawa Tengah Brebes
Inceptisols
0.94
Suradadi
Inceptisols
0.81
Batang
Ultisols
0.09
Kendal
Inceptisols
1.11
Demak
Vertisols
1.27
Jekulo
Vertisols
3.13
Jogjakarta
Vertisols
0.40
Borobudur
Inceptisols
0.49
Kutoarjo
Inceptisols
0.33
Karanganyar
Inceptisols
0.30
Buntu
Inceptisols
0.29
Rata-rata
0.83
Jawa Timur Bojonegoro
Vertisols
0.46
Tambak Rejo
Vertisols
0.22
Nganjuk
Vertisols
0.30
Jombang
Inceptisols
0.33
Ponorogo
Vertisols
0.31
Rata-rata
0.32
4.2.3. K-total Hasil analisis kadar Kt tanah sawah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur disajikan pada Tabel 6. Hasil menunjukkan bahwa kadar Kt di Jawa Barat berkisar antara 0.04% sampai dengan 0.50%. Kadar Kt di Jawa Tengah berkisar antara 0.03% sampai dengan 0.53%. Kadar Kt di Jawa Timur berkisar antara 0.04% sampai dengan 0.14%. Berdasarkan hasil analisis Kt tanah sawah dari semua lokasi di Pulau Jawa menunjukkan bahwa Brebes memiliki kadar Kt 20
tertinggi diantara lokasi lainnya dengan Kt sebesar 0.53%. Sementara kadar Kt terendah yaitu Batang dengan kadar Kt sebesar 0.03%. Tabel 6. Hasil Analisis Kt Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa Nama Lokasi
Ordo Tanah (USDA 2010)
Kt
(%)
Jawa Barat Karawang
Inceptisols
0.28
Jatisari
Inceptisols
0.39
Pamanukan
Inceptisols
0.39
Indramayu
Inceptisols
0.50
Palimanan
Inceptisols
0.13
Cicalengka
Inceptisols
0.05
Cikarawang
Ultisols
0.04
Rata-rata
0.26
Jawa Tengah Brebes
Inceptisols
0.53
Suradadi
Inceptisols
0.34
Batang
Ultisols
0.03
Kendal
Inceptisols
0.37
Demak
Vertisols
0.42
Jekulo
Vertisols
0.21
Jogjakarta
Vertisols
0.07
Borobudur
Inceptisols
0.06
Kutoarjo
Inceptisols
0.10
Karanganyar
Inceptisols
0.25
Buntu
Inceptisols
0.41
Rata-rata
0.25
Jawa Timur Bojonegoro
Vertisols
0.14
Tambak Rejo
Vertisols
0.10
Nganjuk
Vertisols
0.05
Jombang
Inceptisols
0.04
Ponorogo
Vertisols
0.09
Rata-rata
0.08
Batang memiliki Kt terendah dibandingkan dengan lainnya diduga karena berjenis tanah Ultisols. Adiningsih (1984) menyebutkan bahwa Ultisols merupakan tanah berkadar K rendah karena tingkat pelapukan yang sangat intensif. Selain itu sumbangan K dari pupuk K maupun dari jerami dan sisa-sisa 21
tanaman padi juga diduga sedikit sehingga kadar Kt pada sawah tersebut sangat rendah. Berdasarkan nilai rata-rata Kt pada setiap provinsi, kadar Kt antara Jawa Barat dan Jawa Tengah tidak berbeda jauh. Kadar rata-rata Kt tertinggi adalah Jawa Barat dan terendah Jawa Timur. Kadar rata-rata Kt Jawa Barat sebesar 0.26%. Kadar rata-rata Kt Jawa Tengah sebesar 0.25%. Kadar rata-rata Kt Jawa Timur sebesar 0.08%. 4.2.4. Perbedaan Kadar Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Lokasi Perbedaan kadar Kdd, Ktdd, dan Kt pada setiap lokasi disajikan pada Tabel 7. Hasil menunjukkan bahwa uji lokasi tidak nyata secara statistik baik terhadap Kdd, Ktdd, maupun Kt. Hasil uji yang tidak nyata ini diduga karena keragaman antara provinsi yang tinggi satu sama lain. Selain itu dapat pula disebabkan karena sebaran penggunaan pupuk K di setiap lokasi bervariasi, yang dapat dilihat dari standar deviasinya yang tinggi (Tabel 7). Tabel 7. Perbedaan Kadar Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Lokasi (n = 23) Kdd (cmol+ kg-1) 0.45a
Jawa Tengah Jawa Timur
Lokasi Jawa Barat
0.31
Ktdd (cmol+ kg-1) 0.40a
0.50a
0.53
0.30a
0.21
SD
0.32
Kt (%) 0.26a
0.18
0.83a
0.85
0.25a
0.17
0.32a
0.09
0.08a
0.04
SD
SD
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada uji Tukey (P < 0.05).
4.3.
Status Hara Kalium Penetapan status hara K dinilai dari hasil analisis Kdd. Hal ini dikarenakan
Kdd merupakan K yang tersedia, labil dan merupakan faktor kapasitas (Leiwakabessy et al. 2003). Status hara K tanah sawah di Pulau Jawa berdasarkan lokasi yang diambil bervariasi mulai dari rendah hingga tinggi. Di Jawa Barat menurut kriteria Puslittanak (1992) Cicalengka dan Cikarawang termasuk dalam status hara K rendah. Karawang, Jatisari, dan Palimanan berstatus hara K sedang. Pamanukan dan Indramayu berstatus hara K tinggi. Menurut kriteria FDALR
22
(2004), Cicalengka dan Cikarawang termasuk dalam status hara K rendah. Palimanan berstatus hara K sedang. Karawang, Jatisari, Pamanukan dan Indramayu berstatus hara K tinggi. Status hara K di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa Nama Lokasi
Status Hara K
Ordo Tanah
Kdd
(USDA 2010)
(cmol+ kg-1)
Puslittanak (1992)
FDALR (2004)
Jawa Barat Karawang
Inceptisols
0.45
Sedang
Tinggi
Jatisari
Inceptisols
0.45
Sedang
Tinggi
Pamanukan
Inceptisols
0.78
Tinggi
Tinggi
Indramayu
Inceptisols
0.94
Tinggi
Tinggi
Palimanan
Inceptisols
0.26
Sedang
Sedang
Cicalengka
Inceptisols
0.17
Rendah
Rendah
Cikarawang
Ultisols
0.13
Rendah
Rendah
0.45
Sedang
Tinggi
Rata-rata Jawa Tengah Brebes
Inceptisols
2.03
Tinggi
Tinggi
Suradadi
Inceptisols
0.62
Tinggi
Tinggi
Batang
Ultisols
0.08
Rendah
Rendah
Kendal
Inceptisols
0.50
Sedang
Tinggi
Demak
Vertisols
0.53
Tinggi
Tinggi
Jekulo
Vertisols
0.36
Sedang
Sedang
Jogjakarta
Vertisols
0.20
Rendah
Sedang
Borobudur
Inceptisols
0.18
Rendah
Rendah
Kutoarjo
Inceptisols
0.32
Sedang
Sedang
Karanganyar
Inceptisols
0.23
Rendah
Sedang
Buntu
Inceptisols
0.45
Sedang
Tinggi
0.50
Sedang
Tinggi
Rata-rata Jawa Timur Bojonegoro
Vertisols
0.34
Sedang
Sedang
Tambak Rejo
Vertisols
0.19
Rendah
Rendah
Nganjuk
Vertisols
0.24
Rendah
Sedang
Jombang
Inceptisols
0.09
Rendah
Rendah
Ponorogo
Vertisols
0.64
Tinggi
Tinggi
0.30
Sedang
Sedang
Rata-rata
23
Berdasarkan Tabel 8, di Jawa Tengah, menurut kriteria Puslittanak (1992) Batang, Jogjakarta, Borobudur, dan Karanganyar termasuk dalam status hara K rendah. Kendal, Jekulo, Kutoarjo, dan Buntu berstatus hara K sedang. Brebes, Suradadi, dan Demak termasuk dalam status hara K tinggi. Menurut FDALR (2004), Batang dan Borobudur berstatus hara K rendah. Jekulo, Jogjakarta, Kutoarjo, dan Karanganyar berstatus hara K sedang. Brebes, Suradadi, Demak, Kendal, dan Buntu termasuk dalam status hara K tinggi. Sementara di Jawa Timur, menurut Puslittanak (1992) Tambak Rejo, Nganjuk, dan Jombang termasuk dalam status hara K rendah. Bojonegoro berstatus hara K sedang dan Ponorogo berstatus hara K tinggi. Menurut kriteria FDALR (2004), Tambak Rejo dan Jombang berstatus K rendah. Bojonegoro dan Nganjuk berstatus hara K sedang. Ponorogo berstatus hara K tinggi. Sebaran status hara K pada tanah sawah di Pulau Jawa berdasarkan kriteria Puslittanak (1992) dan FDALR (2004) dapat dilihat pada Gambar Lampiran 2-3. Rachim (1995) menyatakan bahwa kelas status hara K rendah mengindikasikan kebutuhan pupuk K yang banyak, respon pemupukan K tinggi, tanpa pupuk gejala kahat pasti muncul, pertumbuhan tanaman tanpa pupuk tidak normal, kemungkinan mati kecil meskipun tidak berubah. Kelas status hara K sedang menunjukkan bahwa kebutuhan hara K sedang, respon pemupukan K sedang, tanpa pupuk pertumbuhan tanaman kurang normal, gejala kahat tidak muncul, dan produksi rendah. Sedangkan untuk kelas status hara K tinggi tidak memerlukan pupuk, respon pemupukan rendah dan kebutuhan pupuk hanya untuk pemeliharaan. Berdasarkan nilai rata-rata pada setiap provinsi, menurut kriteria Puslittanak (1992), Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berstatus hara K sedang. Sementara menurut kriteria FDALR (2004), Jawa Barat dan Jawa Tengah berstatus hara K tinggi sedangkan Jawa Timur berstatus hara K sedang. 4.4.
Hubungan Jenis Tanah dengan Ketersediaan Kalium Contoh tanah sawah yang diambil di Pulau Jawa mempunyai jenis tanah
berbeda-beda yang terdiri dari Inceptisols, Ultisols, dan Vertisols. Gambar 4 menunjukkan kadar Kdd tertinggi Inceptisols dan terendah Ultisols. Kadar Kdd
24
Inceptisols, Ultisols dan Vertisols secara berturut-turut adalah 0.53 cmol+ kg-1, +
-1
+
-1
0.11 cmol kg , dan 0.36 cmol kg .
Tingginya kadar Ktdd pada Inceptisols diduga karena pada tanah Inceptisols perkembangan tanahnya belum begitu matang apabila dibandingkan dengan tanah matang seperti Ultisols (Nurwadjedi 2011) sehingga kadar Kdd lebih tinggi dibanding dengan Ultisols. Rayes (2000) melaporkan hasil penelitiannya tentang genesis tanah sawah berbahan volkan merapi, yang termasuk dalam ordo Inceptisols. Sementara Sofyan et al. (1992) menyatakan bahwa lahan-lahan sawah yang berstatus K tinggi umumnya terdapat pada lahan sawah intensifikasi dengan sistem irigasi teknis serta lahan sawah dengan bahan induk volkan. Tanah Ultisols mengalami pencucian intensif dari unsur pembentuk basabasa (kejenuhan basa < 35%). Tanah dengan jenis Ultisols secara umum mempunyai produktivitas yang rendah hingga sedang dan miskin akan unsur hara yang salah satunya hara K (Suwardi dan Wiranegara 2000). Selain itu, tanah Ultisols banyak mengandung mineral kaolinit, sehingga umumnya mempunyai kapasitas fiksasi rendah (Arifin et al. 1973). Oleh karena itu selain memiliki kadar Kdd rendah, Ultisols juga memiliki kadar Ktdd rendah dibandingkan dengan yang lainnya. Jenis tanah yang mempunyai kadar Ktdd tertinggi yaitu Vertisols dan terendah Ultisols. Kadar Ktdd Inceptisols, Ultisols dan Vertisols secara berturutturut adalah 0.52 cmol+ kg-1, 0.11 cmol+ kg-1, dan 0.87 cmol+ kg-1. Hasil menunjukkan bahwa kadar Ktdd tertinggi umumnya berjenis tanah Vertisols. Tanah-tanah yang didominasi mineral liat tipe 2:1 seperti tanah Vertisols umumnya mempunyai KTK, K-fiksasi serta kadar Kt tinggi. Penelitian yang dilaksanakan di India menunjukkan bahwa tanah-tanah Vertisols mempunyai kapasitas fiksasi K dan daya sangga terhadap K yang sangat tinggi. Pemberian pupuk K selalu meningkatkan cadangan K tersedia dalam bentuk Ktdd, tetapi tidak selalu memberikan kenaikan terhadap ketersediaan K (Kdd dan Kl) karena tergantung pada daya sangga K dalam Tanah (Ravoniarijaona 2009). Fiksasi K dapat menyebabkan kekahatan K bagi tanaman, namun demikian secara umum fiksasi ini juga berguna karena membantu proses retensi dan siklus K melalui sistem organik dan inorganik (Metson 1980). Dengan
25
demikian dapat dikatakan bahwa fiksasi K merugikan dalam jangka pendek tetapi bermanfaat dalam jangka panjang karena K-terfiksasi merupakan K cadangan bagi tanaman. Sementara jenis tanah yang mempunyai kadar Kt tertinggi Inceptisols dan terendah Ultisols. Kadar Kt pada jenis tanah Inceptisols, Ultisols, dan Vertisols secara berturut-turut adalah 0.28%, 0.03%, dan 0.15%.
Kdd Pada Setiap Jenis Tanah cmol+ kg‐1
0,60 0,40 0,20 0,00 K‐dd
Inceptisols
Ultisols
Vertisols
0,53
0,11
0,36
cmol+ kg‐1
Ktdd Pada Setiap Jenis Tanah 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 K‐tdd
Inceptisols
Ultisols
Vertisols
0,52
0,11
0,87
Kt Pada Setiap Jenis Tanah 0,30 %
0,20 0,10 0,00 K‐total
Inceptisols
Ultisols
Vertisols
0,28
0,03
0,15
Gambar 4. Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Jenis Tanah
Hasil uji Tukey (P < 0.05) menunjukkan bahwa jenis tanah tidak nyata secara statistik baik terhadap Kdd, Ktdd maupun terhadap Kt. Hal ini diduga karena keragaman kadar Kdd, Ktdd, dan Kt pada setiap jenis tanah yang tinggi satu sama lain. Selain itu dapat pula disebabkan karena sebaran penggunaan pupuk K di
26
setiap jenis tanah tidak sama atau bervariasi yang dapat dilihat dari standar deviasinya yang tinggi (Tabel 9). Perbedaan kadar Kdd, Ktdd, dan Kt pada setiap jenis tanah secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Perbedaan Kadar Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Jenis Tanah (n = 23) Jenis Tanah
Kdd +
-1
(cmol kg )
SD
Ktdd +
-1
(cmol kg )
SD
Kt (%)
SD
Inceptisols
0.53
0.49
0.52
0.32
0.28
0.17
Ultisols
0.11
0.03
0.11
0.01
0.03
0.01
Vertisols
0.36
0.17
0.87
1.06
0.15
0.13
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada uji Tukey (P < 0.05).
27
V. 5.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Status hara K dapat dipertukarkan pada tanah sawah di Pulau Jawa di 23
lokasi contoh yang diambil bervariasi mulai dari rendah hingga tinggi. Menurut kriteria Puslittanak (1992), dari 23 lokasi contoh yang diambil terdapat 9 lokasi berstatus Kdd rendah, 8 lokasi berstatus Kdd sedang, dan 6 lokasi berstatus Kdd tinggi. Di Jawa Barat dari 7 lokasi terdapat 2 lokasi berstatus Kdd rendah, 3 lokasi berstatus Kdd sedang, dan 2 lokasi berstatus Kdd tinggi. Di Jawa Tengah dari 11 lokasi terdapat 4 lokasi berstatus Kdd rendah, 4 lokasi berstatus Kdd sedang, dan 3 lokasi berstatus Kdd tinggi. Di Jawa Timur dari 5 lokasi terdapat 3 lokasi berstatus Kdd rendah, 1 lokasi berstatus Kdd sedang, dan 1 lokasi berstatus Kdd tinggi. Berdasarkan nilai rata-rata pada setiap provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berstatus Kdd sedang. Kadar Kdd, Ktdd, dan Kt pada setiap lokasi dan jenis tanah tidak berbeda nyata. Jawa Tengah memiliki nilai rata-rata kadar Kdd dan Ktdd tertinggi secara berturut-turut adalah 0.50 cmol+ kg-1 dan 0.83 cmol+ kg-1. Jawa Barat memiliki nilai rata-rata kadar Kt tertinggi sebesar 0.26%. Jawa Timur memiliki nilai ratarata kadar Kdd, Ktdd, dan Kt terendah secara berturut-turut adalah 0.30 cmol+ kg-1, 0.32 cmol+ kg-1, dan 0.08%. Inceptisols memiliki nilai rata-rata kadar Kdd dan Kt tertinggi sementara Vertisols memiliki nilai rata-rata kadar Ktdd tertinggi sedangkan Ultisols memiliki nilai rata-rata kadar Kdd, Ktdd, dan Kt terendah. Pemupukan K di Pulau Jawa bervariasi yang dapat dilihat dari standar deviasinya yang tinggi pada hasil analisis kadar K-dapat dipertukarkan, K-tidak dapat dipertukarkan,
dan
K-total.
Hasil
menunjukkan
bahwa
kadar
K-dapat
dipertukarkan, K-tidak dapat dipertukarkan, dan K-total relatif sangat bervariasi untuk itu manajemen pemupukan K yang berbeda pada setiap provinsi harus diimplementasikan. 5.2.
Saran Diperlukan penelitian lebih lanjut respon tanaman terhadap pemupukan K
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk memverifikasi data status hara K
tanah sawah pada penelitian ini. Untuk penelitian selanjutnya, pengambilan contoh tanah sawah diharapkan diambil dalam jumlah yang sama atau hampir sama pada setiap provinsi. Hara K dalam tanaman padi lebih banyak terdapat dalam jerami padi, Sekitar 80% K yang diserap tanaman berada dalam jerami. Jerami padi berpotensi sebagai pengganti pupuk anorganik K. Oleh karena itu, pengembalian jerami padi hasil panen harus dikembalikan ke dalam lahan sawah untuk meningkatkan efisiensi pemupukan K terutama pada lahan sawah yang mempunyai status K rendah.
29
DAFTAR PUSTAKA Adiningsih JS. 1984. Beberapa faktor terhadap penyediaan kalium tanah sawah daerah Sukabumi dan Bogor [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Arifin, HF Perkin, dan KH Tan. 1973. Potassium fixation and reconstitution of micaceous structures in soils. Soil Sci 116: 31-35. Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor: Balai Penelitian Tanah. Barus J dan Andarias. 2007. Status hara fosfor dan kalium lahan sawah Kabupaten Lampung Tengah. J Tanah dan Lingk 9(1): 16-19. Brady NC. 1990. The Nature and Properties of Soils. 10th ed. New York: Macmillan Publishing Company. Dobermann A dan T Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient Disorders and Nutrient Management. Canada: IRRI-PPI-PPIC. [FAO]. 1998. Word reference base for soil resourch. World Soil Resources Report 84. Rome: FAO. [FDALR] Federal Departement of Agriculture Land Resources. 2004. Soil tested based fertilizer recommendation for extension workers national: Special Programme for Food Security. J Abuja Nigeria 2223. Goulding KWT. 1987. Potassium fixation and release. Prosiding Of the Colloquium of the International Potash Institute 20: 137-154. Hardjowigeno S, H Subagyo, ML Rayes. 2004. Morfologi dan klasifikasi tanah sawah. Hlm. 1 dalam Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Havlin JL, JD Beaton, SL Tisdale, WL Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management. 6th ed. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall. Janke W. 1992. Role of potash toward yield of food crops in Asia countries. Hlm. 163-180 dalam Peranan Kalium dalam Pemupukan Berimbang untuk Mempercepat Swasembada Pangan. Prosiding Seminar Nasional Kalium. Jakarta, 4 Agustus 1992. Karama AS, Sri Adiningsih, M Supartini, M Sediarso, A Kasno, T Prihatini. 1992. Peranan pupuk kalium dalam peningkatan produktivitas lahan pertanian di Indonesia. Hlm. 9-48 dalam Peranan Kalium dalam Pemupukan Berimbang untuk Mempercepat Swasembada Pangan. Prosiding Seminar Nasional Kalium. Jakarta, 4 Agustus 1992.
Kirkman JH, A Basker, A Surapaneni, AA Macgregor. 1994. Potassium in the soils of New Zealand a review. New Zealand Journal of Agricultural Research 37: 207-227. Leiwakabessy FM, UM Wahjudin, Suwarno. 2003. Kesuburan Tanah. Bogor: Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [LPT] Lembaga Penelitian Tanah. 1977. Peta status kadar K tanah sawah Jawa Madura Skala 1 : 1.000.000. Soil Sci 149: 44-51. Metson AJ. 1980. Potassium in New Zealand soils. Departement of Scientific and Research. New Zealand Soil Bureau report 38: 61. Nurwadjedi. 2011. Indeks keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang: studi kasus di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Odjak M. 1992. Effect of potassium fertilizer in increasing quality and quantity of crop yield. Hlm. 94-104 dalam Peranan Kalium dalam Pemupukan Berimbang untuk Mempercepat Swasembada Pangan. Prosiding Seminar Nasional Kalium. Jakarta, 4 Agustus 1992. Oviasogie PO dan AE Aghimien. 2011. Fractionation of potassium in soil cultivated to the oil palm (Eleais guineensis jacq). Nig. J.Life Sc. 1 1: 74-78. Partohardjo S, M Ismunadji, G Soepardi. 1977. Penentuan areal persawahan di Jawa yang memerlukan pupuk kalium. Simposium I. Peranan Hasil Penelitian Padi dan Palawija dalam Pembangunan Pertanian Maros, 26-29 September 1977. Lembaga Pusat Penelitian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. [Puslittanak] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1992. Status kalium dan peningkatan efisiensi pemupukan KCl pada tanah sawah di Jawa Barat dan Jawa Tengah dalam Setyorini, JS Adiningsih, Rochayati S. 2003. Uji Tanah Sebagai Dasar Penyusunan Rekomendasi Pemupukan. Bogor: Balai Penelitian Tanah. Rachim A. 1995. Pembinaan Uji Tanah Hara Makro N, P, K, S, Ca, Mg. Bahan Penelitian Pembinaan Uji Tanah dan Analisis Tanaman. Bogor. Ravoniarijaona M. 2009. Aplikasi asam oksalat dan Fe pada Vertisol dan Alfisol terhadap pertumbuhan dan serapan K tanaman jagung [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rayes ML. 2000. Karakteristik, genesis, dan klasifikasi tanah sawah berasal dari bahan volkan merapi [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
31
Schroeder D. 1974. Relationship between soil potassium and the K nutrition of the plant. Prosiding The Congress of The International Potash Institute 10: 53-63. Situmorang R dan Untung S. 2001. Bahan Kuliah Tanah Sawah. Bogor: Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soepardi G dan M Ismunadji. 1987. Harkat kalium tanah dan pemakaian pupuk kalium di Indonesia dalam Diagnosis dan Perbaikan Kahat Kalium Pada Tanaman Utama. Hlm. 53-59. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sofyan A, Nurjaya, A Kasno. 2004. Status hara tanah sawah untuk rekomendasi. Hlm. 83 dalam Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Sudjadi M, JS Adiningsih, DW Gill. 1985. Potassium availability in soils of Indonesia. In 19th. Coll of the Int’l. Potash Inst.: 157-168 dalam Diagnosis dan Perbaikan Kahat Kalium Pada Tanaman Utama. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suwardi dan H Wiranegara. 2000. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tisdale SL, WL Nelson, JD Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. 10th ed. New York: Macmillan. [USDA] United States Departement of Agriculture. 2010. Keys to Soil Taxonomy. 10th ed. Natural Resources Conservation Service.
32
LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1. Titik Koordinat Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau Jawa Nama Lokasi
Lokasi
Elevasi
S
E
(m)
Karawang
06°16' 25.0"
107°17' 08.7"
31
Jatisari
06°21' 26.4"
107°32' 36.9"
45
Pamanukan
06°16' 43.4"
107°50' 39.2"
22
Indramayu
06°24' 57.7"
108°16' 33.2"
23
Palimanan
06°40' 52.3"
108°25' 32.6"
28
Cicalengka
07°06' 07.3"
108°06' 09.6"
785
Cikarawang
06°33' 05.1"
106°44' 22.4"
195
Brebes
06°52' 32.5"
109°03' 46.6"
19
Suradadi
06°52' 24.2"
109°15' 02.0"
23
Batang
06°58' 39.3"
109°53' 39.1"
178
Kendal
06°56' 29.5"
110°14' 36.1"
19
Demak
06°55' 46.7"
110°32' 38.7"
16
Jekulo
06°48' 07.8"
110°56' 02.7"
29
Jogjakarta
07°49' 49.3"
110°27' 21.4"
103
Borobudur
07°34' 39.0"
110°15' 01.8"
318
Kutoarjo
07°43' 26.4"
109°52' 20.5"
23
Karanganyar
07°37' 36.1"
109°33' 55.4"
22
Buntu
07°35' 24.2"
109°15' 07.3"
18
Bojonegoro
07°08' 14.3"
111°48' 47.9"
40
Tambak Rejo
07°15' 54.7"
111°35' 10.9"
79
Nganjuk
07°33' 56.7"
111°50' 34.3"
74
Jombang
07°31' 48.1"
112°15' 24.8"
39
Ponorogo
07°51' 53.2"
111°27' 17.3"
112
34
Tabel Lampiran 2.
Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Berdasarkan Balai Penelitian Tanah (2009) Nilai
Parameter Tanah C-total (%) N-total (%)
sangat rendah <1 < 0.1
rendah
sedang
tinggi
1-2 0.1-0.2
2-3 0.21-0.5
3-5 0.51-0.75
sangat tinggi >5 >0.75
<5
5-10
11-15
16-25
> 25
<5 <2 < 0.4 < 0.1 < 20 sangat masam < 4.5
5-16 2-5 0.4-1 0.1-0.3 20-40
17-24 6-10 1.1-2.0 0.4-0.7 41-60 agak masam 5.5-6.5
25-40 11-20 2.1-8.0 0.8-1.0 61-80
> 40 > 20 >8 > 1.0 > 80 agak alkalin 7.6-8.5
Nisbah CN -1
KTK (cmol kg ) Ca-dd (cmol kg-1) Mg-dd (cmol kg-1) Na-dd (cmol kg-1) KB (%)
pH (H2O)
masam 4.5-5.5
netral 6.5-7.5
Alkalin > 8.5
Tabel Lampiran 3. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kdd Pada Setiap Lokasi Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Keragaman
Bebas
Kuadrat
Tengah
Perlakuan
2
0.140
0.070
Galat
20
3.582
0.179
Total
22
3.722
F Hitung
P
0.39
0.682
Nyata pada taraf α = 0.05 Standar Deviasi (SD) : 0.4232
Tabel Lampiran 4. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Ktdd Pada Setiap Lokasi Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Keragaman
Bebas
Kuadrat
Tengah
Perlakuan
2
1.266
0.633
Galat
20
7.913
0.396
Total
22
9.178
F Hitung
P
1.60
0.227
Nyata pada taraf α = 0.05 Standar Deviasi (SD) : 0.6290
35
Tabel Lampiran 5. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kt Pada Setiap Lokasi Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Keragaman
Bebas
Kuadrat
Tengah
Perlakuan
2
77.0
38.5
Galat
20
333.3
16.7
Total
22
410.3
F Hitung
P
2.31
0.125
Nyata pada taraf α = 0.05 Standar Deviasi (SD) : 4.083
Tabel Lampiran 6. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kdd Pada Setiap Jenis Tanah Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Keragaman
Bebas
Kuadrat
Tengah
Perlakuan
2
0.391
0.195
Galat
20
3.331
0.167
Total
22
3.722
F Hitung
P
0.17
0.330
Nyata pada taraf α = 0.05 Standar Deviasi (SD) : 0.4081
Tabel Lampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Ktdd Pada Setiap Jenis Tanah Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Keragaman
Bebas
Kuadrat
Tengah
Perlakuan
2
1.079
0.539
Galat
20
8.100
0.405
Total
22
9.178
F Hitung
P
1.33
0.286
Nyata pada taraf α = 0.05 Standar Deviasi (SD) : 0.6364
36
Tabel Lampiran 8. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kt Pada Setiap Jenis Tanah Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Keragaman
Bebas
Kuadrat
Tengah
Perlakuan
2
0.1397
0.0699
Galat
20
0.4770
0.0238
Total
22
0.6167
F Hitung
P
2.93
0.077
Nyata pada taraf α = 0.05 Standar Deviasi (SD) : 0.1544
37
Gambar Lampiran 1. Peta Tanah Pulau Jawa Skala 1:1.000.000 (Sumber: BSDLP, Departemen Pertanian, Indonesia)
38
Gambar Lampiran 2. Sebaran Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa (Puslittanak 1992) 39
Gambar Lampiran 3. Sebaran Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa (FDALR 2004) 40