Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
EVALUASI PROGRAM SERTIFIKASI MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGURUS DAN PEJABAT BANK UMUM (Studi Pada Bank-Bank Umum di Wilayah Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya) DEWI GUNHERANI* ABSTRACT The objective of this research is to evaluate the risk management certification program for the administrator and officer of comercial bank in Jakarta, Bandung, Semarang and Surabaya Area. The evaluation focused on urgency, design, planning, implementation, outcome and impact of risk management certification program. Qualitative approach used in this research with program evaluation design. Program evaluation used in this researh is discrepansy model. Data collecting in-depth interview, orbservation and docemantation study. Interview conducted with administrator and official of commercial bank as a key informant. Data analyzed quantitatively stage, that is data reduction, data display, and conclussion drawing. Based on the findings, then be concluded that aspect of generally urgency, design, planning, implementation, outcome and impact of risk management certification program meet or in accordance with the criteria that established to evaluted risk management certification program. Only aspect evaluation and supervisory from the central bank of the Republic of Indonesia as program owner that not in accordance with the criteria. Therefore, risk management certification program must be continued and take improving on evaluation and supervisory aspects. Keywords: evaluation program, certification, and risk management. PENDAHULUAN 9 Pengelolaan risiko perbankan merupakan salah satu pilar penting dalam rangka mewujudkan perbankan yang memiliki daya saing. Implementasi manajemen risiko sebagai manifestasi prinsip kehati-hatian juga sangat penting dalam mewujudkan salah satu pilar Arsitektur Perbankan Indonesia (API), yaitu menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko. Oleh karena itu, salah satu langkah yang diambil Bank Indonesia meningkatkan kemampuan manajemen risiko perbankan adalah menyelenggarakan program sertifikasi manajemen risiko yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 9
DEPUTI BPR OJK
11/19/PBI/2009 tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum. Penyelenggaraan program sertifikasi manajemen risiko dilakukan oleh Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR) dan Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP). Perkembangan implementasi kebijakan sertifikasi manajemen risiko bagi pengurus dan pejabat bank umum masih lambat, karena masih banyak pengurus dan pejabat bank yang belum memiliki sertifikasi masih terkendala infrastruktur untuk penyelenggaraan sertifikasi manajemen risiko. Secara konsep, menurut Sartono (2001: 42), risiko diartikan sebagai probabilitas tidak tercapainya tingkat keuntungan yang diharapkan atau kemungkinan return yang diterima menyimpang dari return yang diharapkan.
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1075 1075
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
Semakin besar penyimpangan tingkat keuntungan semakin besar pula tingkat risikonya. Kemudian Cade (1997: 73) mendefinisikan risiko sebagai exposure to uncertainity of outcome, yaitu paparaan terhadap ketidakpastian hasil. Risiko yang dihadapai oleh bank harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan kerugian bagi sektor perbankan. Tampubolon (2004: 33) menyatakan bahwa manajemen risiko adalah upaya menetapkan beberapa kebijakan dalam suatu organisasi supaya risiko yang akan terjadi dapat dihilangkan atau diperkecil sedapat mungkin dengan cara memfungsikan unit-unit yang sudah ada. Menurut Djohanputro (2004: 27), manajemen risiko melalui beberapa tahap, yaitu identifikasi risiko, pengukuran risiko, pemetaan risiko, model pengelolaan risiko, pengawasan dan pengendalian risiko. Program sertifikasi manajemen risiko yang selama ini telah dilakukan perlu dilakukan evaluasi agar dapat diketahui sejauhmana efektivitasya. Perlu dipahami bahwa secara konseptual menurut Grinnell dan Unrau yang dikutip Royse, Thyer, dan Padgett (2010: 12) evaluasi program berarti sebuah bentuk penilaian menggunakan metode penelitian yang valid dan reliabel guna menguji proses atau hasil organisasi yang ada untuk memenuhi kebutuhan sosial. Evaluasi program merupakan penelitian aplikasi yang digunakan sebagai proses manajerial. Dalam pandangan lain, Langbein, Felbinger, dan Langbein (2003: 3) menyatakan evaluasi program merupakan aplikasi atas metode penelitian ilmu sosial empiris terhadap proses menilai efektivitas program atau proyek, baik menyangkut manajemen maupun implementasi dengan maksud mengambil keputusan. Menurut Weiss yang dikutip Vendung (2009: 3), evaluasi program bertujuan untuk mengukur dampak sebuah program terhadap tujuan
yang telah ditetapkan untuk dilaksanakan sebagai cara berkontribusi terhadap pengambilan keputusan keputusan berikutnya tentang program dan meningkatkan program di masa mendatang. Salah satu model evaluasi yang dapat digunakan untuk melakukan evaluasi program adalah model evaluasi kesenjangan (The Discrepancy Evaluation Model) yang dikembangkan malcolm M. Provus (1971). Menurut Provus yang dikutip Tayibnapis (2008: 3), model evaluasi kesenjangan bertujuan membuktikan hubungan sebab akibat, tetapi untuk memahami bukti sebaik mungkin untuk membuat asumsi yang masuk akal tentang penyebab dan dampak. Sementara menurut McLaughlin dan Jordan (2010: 13), model kesenjangan menyediakan sebuah perangkat bagi evaluator untuk bekerja secara kolaboratif dengan staf untuk mengidentifikasi masukan program, proses, dan hasil. Tujuan evaluasi mengidentifikasi sejauhmana kinerja program sesuai dengan standar. Penelitian sebelumnya terkait program sertifikasi manajemen risiko dilakukan Biro Riset InfoBank (BIRI) pada tahun 2008. Secara garis besar temuan dari penelitiannya yaitu mayoritas bankir setuju program sertifikasi manajemen risiko diterapkan bagi bankir, bankir cenderung setuju program sertifikasi manajemen risiko diperlukan untuk menstandarkan kemampuan bankir, penyelenggaraan ujian sertifikasi selama ini telah berjalan dengan baik, kualitas training provider dinilai baik oleh sebagian besar bankir. Sementara biaya sertifikasi masih menjadi isu sensitif yang menjadi salah satu hal yang diberatkan kalangan perbankan, dan untuk ujian level 1 dan level 2, tingkat kesulitan materi ujian pada kedua level tersebut dinilai masih standar, sedangkan materi ujian level 3 dinilai bankir cenderung sulit.
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1076 1076
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini secara umum bertujuan melakukan evaluasi terhadap program sertifikasi manajemen risiko dan secara spesifik bertujuan mengetahui dan menganalisis; (1) capaian program sertifikasi manajemen risiko dan (2) dampak program sertifikasi manajemen risiko. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan model evaluasi ke-senjangan (discrepancy evaluation model), yaitu membandingkan antara kriteria dengan temuan di lapangan. Penelitian mengambil tempat pada Bank Umum di wilayah Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, observasi dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan secara kualitatif melalui tahapan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Pengolahan data menggunakan coding untuk mengklasifikasikan data. Penguijian keabsahan data dilakukan dengan triangulasi sumber. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebagaimana telah disebutkan pada pendahuluan, bahwa penelitian evaluasi program sertifikasi manajemen risiko dalam artikel ilmiah ini difokuskan pada dua aspek, yaitu (1) capaian program sertifikasi mana-jemen risik dan (2) dampak program sertifikasi manajemen risiko. Capaian program sertifikasi manaemen risiko. Pelaksanaan program sertifikasi manajemen risiko telah memberikan dua dampak penting terhadap meningkatnya kompetensi dan tumbuhnya budaya peduli risiko (risk awareness culture) di kalangan pengurus dan pejabat bank.
Pertama, yaitu terkait dengan kompetensi. Hasil penelitian melalui wawancara menunjukkan sudah ada peningkatan kompetensi di kalangan pejabat dan pengurus bank umum dalam pengelolaan risiko, ditunjukkan dengan kemampuannya dalam meminimalisasi kredit macet, dan memiliki tindakan yang lebih hati-hati dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, juga dapat dilihat peningkatan jumlah pejabat dan petugas yang memiliki sertifikat manajemen risiko. Dari data di atas diketahui pemegang sertifikat manajemen risiko yang dikeluarkan oleh BSMR terbanyak dari bank swasta nasional, diikuti dengan BPD, pemerintah, asing dan campuran. Secara keseluruhan sertifikat terbanyak yang diperoleh adalah sertifikat manajemen risiko pada tingkat I. Jumlah peserta sertifikasi manajemen risiko di LSPP mulai tahun 2010 sampai dengan 2013 yaitu sebanyak 43833 peserta. Peserta terbanyak tahun 2012 yaitu 26705. Perlu diketahui bahwa LSPP sebagai penyelenggara sertifikasi tidak hanya untuk sertifikasi manajemen risiko, tetapi juga bidang seperti treasury dealer, general banking, audit, dan wealth management. Kedua, capaian terkait dengan budaya risiko. Budaya peduli risiko merupakan salah satu tujuan penting yang akan dicapai terkait dengan penyeleng-garaan program sertifikasi manajemen risiko. Dengan adanya budaya peduli risiko, maka kehatihatian para pengurus dan pejabat bank akan meningkat sehingga akan meminimalisir kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan bank. Ada beberapa aspek penting yang berhubungan dengan kesadaran terhadap risiko ini, seperti ketaatan prosedural dari pegurus dan pejabat bank, ada kelembagaan atau unit kerja khusus yang melakukan penanganan terhadap risiko bank, dan ada insentif kinerja bagi pengurus dan pejabat bank yang melakukan pengelolaan risiko.
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1077 1077
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
Menyangkut ketaatan prosedural, hasil wawancara menunjukkan bahwa ada peningkatan ketaatan prosedural dari pegurus dan pejabat bank setelah adanya sertifikasi manajemen risiko. Ketaatan prosedural merupakan indikasi dari adanya kesadaran terhadap budaya risiko dan lebih spesifik lagi terlihat dari kesadaran proses identifikasi dan penilaian risiko, proses komunikasi dan konsultasi, melakukan perhitungan keseimbangan risko, dan melaksanakan prinsip kehati-hatian. Berkenaan dengan kelembagaan atau unit kerja khusus yang melakukan penanganan terhadap risiko bank, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bank pada umumnya sudah memiliki satuan kerja tersendiri yang berfungsi untuk mengelola risiko. Satuan kerja khusus manajemen risiko di bank dinilai sudah menjadi kebutuhan setiap bank, sehingga setiap bank perlu memiliknya agar pengelolaan risiko fokus dan memberikan hasil yang efektif dan efisien. Sementara berkenaan dengan insentif kinerja bagi pengurus dan pejabat bank yang melakukan pengelolaan risiko, sejauh ini belum ada, namun untuk sanksi sudah diberlakukan. Hal itu ada hubungannya dengan belum adanya penilaian kinerja khusus yang diberlakukan untuk pengurus dan pejabat bank. Penilaian kinerja masih mengacu pada penilaian kinerja secara umum yang berlaku untuk pengurus dan pejabat bank bagian lain. Dampak program sertifikasi manajemen risiko merupakan hal-hal yang diakibatkan atas capaian dari program tersebut, yaitu dengan adanya kompetensi dan terbentuknya budaya sadar risiko pada pengurus dan pejabat bank. Dampak yang terjadi terutama pada kesehatan perbankan. Bank yang sehat antara lain diindikasikan dengan tingkat kinerjanya yang terus meningkat atau berada di atas standar. Khususnya dalam industri perbankan,
kinerja bank dapat dilihat dari tingkat kredit macet (NPL), kecukupan modal (CAR), laba bersih (NIM) dan rasio antara keuntungan dengan aset. Indikator kinerja keuangan pertama adalah NPL. Terkait dengan indikator ini, diperoleh keterangan dari informan bahwa ada kecenderungan perbaikan kualitas kredit selama program sertifikasi manajemen risiko diberlakukan. Berdasarkan data NPL, juga memperlihatkan semenjak diberlakukan program sertifikasi manajemen risiko, yaitu tahun 2005, ada kecenderungan penurunan nilai NPL. Pada tahun 2005 NPL perbankan secara keseluruhan masih cukup tinggi, yaitu 7,56% dan berangsur-angsur mengalami penurunan sampai terakhir tahun 2012 sebesar 1,87%. Ini menunjukkan adanya dampak yang cukup positif pemberlakuan proram sertifikasi manajemen risiko terhadap kualitas kredit perbankan secara umum. Indikator kedua kinerja keuangan adalah rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio= CAR). Dalam kaitannya dengan program sertifikasi manajemen risiko ini, berdasarkan hasil wawancara diketahui ada hubungannya dengan peningkatan CAR meskipun tidak terlalu besar. Jika dilihat berdasarkan data secara nasional tentang perkembangan CAR perbankan di Indonesia, memang kecenderungan tidak ada peningkatan atau penurunan secara signifikan CAR perbankan. Kecenderungan secara umum CAR perbankan bergerak sedikit fluktuatif baik sebelum maupun sesudah penerapan program sertifikasi manajemen risiko. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa penerapan program sertifikasi manajemen risiko tidak terlihat memberikan dampak signifikan bagi kecukupan modal perbankan. Indikator ketiga kinerja keuangan perbankan adalah keuntungan
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1078 1078
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
bersih bank (Net Interest Margin=NIM). Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan ada kaitan dengan keuntungan bersih bank. Apabila merujuk pada data empirik NIM perbankan nasional, terlihat bahwa perkembangan NIM cenderung datar atau tidak mengalami kenaikan atau penurunan secara signifikan baik, terutama selama dilaksanakan program sertifikasi manajemen risiko. Mulai tahun 2005 sampai dengan 2012, keuntungan bersih bank cenderung tidak berfluktuasi secara signifikan atau bergerak datar. Ini mencerminkan bahwa secara nasional perbankan tidak mengalami peningkatan atau penurunan yang signifikan keuntungan bersih dengan adanya program sertifikasi manajemen risiko. Indikator keempat kinerja keuangan bank yaitu perkembangan rasio keuntungan dengan aset (Return on Asset= ROA). Dari hasil wawancara diperoleh penjelasan bahwa ROA menunjukkan trend peningkatan dan tentu ada kaitannya dengan pelaksanaan program sertifikasi manajemen risiko. Bagi peserta yang mengikuti dengan baik pelaksanaan sertifikasi akan berusaha untuk lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya, agar tindakan dan keputusan. Data empirik tentang perkembangan ROA memperhatikan perkembangan, karena terlihat ada kecenderungan meningkat rasio ROA dalam kurun waktu pelaksanaan program sertifikasi manajemen risiko, yaitu tahun 2005 sampai dengan 2012. Ini dapat menjadi indikasi bahwa program sertifikasi dapat meningkatkan kemampuan bank untuk menghasilkan laba melalui aset yang dimilikinya. Temuan pertama dalam penelitian ini yaitu terkait dengan capaian atau hasil program sertifikasi manajemen risiko. Paling tidak ada dua hal penting hasil yang dapat diperoleh dari pelaksanaan program
sertifikasi manajemen risiko, yaitu meningkatnya kompetensi dan tumbuhnya budaya peduli risiko (risk awareness culture) di kalangan pengurus dan pejabat bank. Kedua hasil ini dinilai sebagai pilar penting bagi terwujudnya perbankan yang sehat. Terkait dengan kompetensi pengurus dan pejabat, pencapaian antara lain dapat dilihat dari peningkatan kompetensi pejabat dan pengurus bank, peningkatan persentase jumlah pejabat dan petugas yang memiliki sertifikat manajemen risiko. Menyangkut peningkatan kompetensi pejabat dan pengurus bank, untuk saat ini sudah menjadi kewajiban bahwa pengurus dan pejabat yang menangani risiko memiliki kompetensi dan keahlian manajemen risiko. Sertifikasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian tersebut. Dalam Booklet Pebankan (2012: 103) dijelaskan bahwa dalam menerapkan manajemen risiko secara efektif dan terencana, Bank wajib mengisi jabatan pengurus dan pejabat Bank dengan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan keahlian di bidang manajemen risiko yang dibuktikan dengan sertifikat manajemen risiko yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. Kepemilikan sertifikat manajemen risiko bagi pengurus dan pejabat Bank merupakan salah satu aspek penilaian faktor kompetensi dalam Fit and Proper Test. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa ada peningkatan kompetensi pejabat dan pengurus bank terkait dengan pelaksanaan program sertifikasi manajemen risiko. Hal itu diketahui dari sudah banyaknya pengurus dan pejabat yang memiliki sertifikasi, dapat meminimalisasi kredit macet, dan memiliki tindakan yang lebih hati-hati dalam menjalankan tugasnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa ada hasil positif atas pelaksanaan sertifikasi manajemen risiko terhadap tindakan-
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1079 1079
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
tindakan peserta sertifikasi yang terkait dengan penanganan risiko. Selanjutnya terkait dengan peningkatan jumlah pejabat dan petugas yang memiliki sertifikat manajemen risiko, maka hal ini dapat menjadi indikasi capaian atas pelaksanaan sertifikasi manajemen risiko. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sudah ada peningkatan peserta sertifikasi manajemen risiko. Petugas dan pejabat bank yang telah memiliki sertifikasi berarti telah memperoleh pengakuan akan kompetensinya dalam mengelola risiko sesuai level yang diikuti. Dengan demikian hal itu menjadi indikasi sudah adanya peningkatan kompetensi di kalangan para pejabat dan petugas bank. Ukuran capaian berikutnya adalah budaya peduli risiko (risk awareness culture). Munculnya budaya peduli risiko yang kuat di kalangan pengurus dan pejabat bank pengelola risiko adalah hasil yang sangat diharapkan atas dilaksanakannya sertifikasi manajemen risiko. Hal itu disebabkan dengan adanya budaya peduli risiko, maka kehati-hatian para pengurus dan pejabat bank akan meningkat sehingga akan meminimalisir kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan bank. Ada beberapa aspek penting yang berhubungan dengan kesadaran terhadap risiko ini, yaitu: Pertama, ketaatan prosedural dari pegurus dan pejabat bank. Aspek ini sangat diperlukan dalam proses pelaksanaan tugas sehari-hari oleh pengurus dan pejabat bank. Oleh karena itu, setiap pengurus dan pejabat harus bertindak sesuai dengan prosedur yang berlaku untuk menghindari melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Hasil penelitian ini mengungkap bahwa ada peningkatan ketaatan prosedural dari pegurus dan pejabat bank setelah adanya sertifikasi manajemen risiko. Ketaatan prosedural merupakan indikasi dari adanya kesadaran terhadap budaya risiko setelah
mengikuti sertifikasi manajemen risiko yang lebih spesifik lagi terlihat dari kesadaran proses identifikasi dan penilaian risiko, proses komunikasi dan konsultasi, melakukan perhitungan keseimbangan risko, dan melaksanakan prinsip kehatihatian. Hasil ini menunjukkan peran penting program sertifikasi manajemen risiko dalam usaha meningkatkan ketaatan dalam mematuhi prinsip-prinsip kerja yang berlaku di lingkungan kerjanya. Kedua, ada kelembagaan atau unit kerja khusus yang melakukan penanganan terhadap risiko bank. Adanya kelembagaan atau unit kerja khusus yang menangani risiko sangat penting agar bank memiliki fokus dalam mengelola risiko. Untuk membuat unit kerja tersendiri, maka bank perlu memiliki kesadaran akan pentingnya risiko bank, sehingga harus ditangani dengan sebaik-baiknya. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa bank pada umumnya sudah memiliki satuan kerja tersendiri yang berfungsi untuk mengelola risiko. Satuan kerja khusus manajemen risiko dinilai sudah menjadi kebutuhan setiap bank, sehingga setiap bank perlu memiliknya agar pengelolaan risiko fokus dan memberikan hasil yang efektif dan efisien. Ketiga, ada insentif kinerja bagi pengurus dan pejabat bank yang melakukan pengelolaan risiko. Bank yang memiliki kesadaran tinggi terhadap pentingnya faktor risiko, tentu akan memperhatikan lebih pengurus dan pejabat yang menangani risiko. Perhatian tersebut dapat diwujudkan dengan adanya reward dan punishment. Strategi tersebut akan memberikan dorongan positif bagi pengurus dan pejabat pengelola risiko untuk bertindak secara hati-hati dalam menjalankan tugasnya. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk insentif secara khusus bagi pengurus dan pejabat bank belum ada, namun untuk
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1080 1080
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
sanksi sudah diberlakukan. Hal itu ada hubungannya dengan belum adanya penilaian kinerja khusus yang diberlakukan untuk pengurus dan pejabat bank. Penilaian kinerja masih mengacu pada penilaian kinerja secara umum yang berlaku untuk pengurus dan pejabat bank bagian lain. Temuan kedua dalam penelitian ini yaitu menyangkut dampak program sertifikasi manajemen risiko, terutama terhadap kinerja keuangan perbankan. Dengan adanya capaian-capaian dari penerapan sertifikasi manajemen risiko, maka diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi bank. Jika bank memiliki pengurus dan pejabat yang kompeten dalam pengelolaan risiko dan memiliki budaya peduli risiko, maka hal ini tentu akan memberikan dampak terwujudnya kesehatan perbankan. Bank yang sehat antara lain diindikasikan dengan tingkat kinerjanya yang terus meningkat atau berada di atas standar. Pada industri perbankan, kinerja bank dapat dilihat dari tingkat kredit macet (NPL), kecukupan modal (CAR), laba bersih (NIM) dan rasio antara keuntungan dengan aset. Pertama, kredit macet. Kredit macet menunjukkan jumlah kredit yang tidak dapat tertagih oleh bank. Berdasarkan Surat Edaran BI No. 6/23/DPNP/2004 bahwa kualitas asset yang diwakili kredit macet sebelumnya 5% didorong untuk maksimal 2%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semenjak diberlakukan program sertifikasi manajemen risiko, yaitu tahun 2005, ada kecenderungan penurunan nilai kredit macet bank secara umum. Pada tahun 2005 NPL perbankan secara keseluruhan masih cukup tinggi, yaitu 7,56% dan berangsur-angsur mengalami penurunan sampai terakhir tahun 2012 sebesar 1,87%. Ini menunjukkan adanya dampak yang cukup positif pemberlakuan proram sertifikasi manajemen risiko terhadap
kualitas kredit perbankan secara umum. Kecenderungan penurunan kredit macet tersebut tidak dapat dilepaskan atas diterapkannya sertifikasi manajemen risiko. Penerapan sertifikasi manajemen risiko yang efektif akan meningkatkan kompetensi dan kepedulian terhadap risiko di kalangan pengurus dan pejabat pengelola risiko. Kedua, rasio kecukupan modal. Bank dalam menjalankan usahanya tidak terlepas dari modal yang harus dimilikinya. Modal merupakan salah satu faktor penting bagi bank dalam rangka pengembangan usaha dan menampung resiko kerugian. Persyaratan kecukupan modal dalam Basel II sama dengan Basel I sebagaimana dirujuk Hardanto (2006: 34), yaitu minimum 8%. Sementara berdasarkan Surat Edaran BI No. 6/23/DPNP/2004 bahwa permodalan yang diwakili CAR dari sebelumnya 8% didorong menjadi 12%. Permodalan bank juga berperan penting dalam meningkatkan kesehatan bank. Dikemukakan Sugiarto (2004: 16) bahwa dalam rangka mendukung terwujudnya struktur perbankan yang sehat, maka salah satu caranya adalah dengan memperkuat permodalan bank-bank. Hasil penelitian ini menunjukkan kecenderungan secara umum CAR perbankan bergerak sedikit fluktuatif baik sebelum maupun sesudah penerapan program sertifikasi manajemen risiko. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa penerapan program sertifikasi manajemen risiko tidak terlihat memberikan dampak signifikan bagi kecukupan modal perbankan. Ketiga, keuntungan bersih bank (Net Interest Margin=NIM). Keuntungan bersih bank merupakan indikator penting yang menunjukkan kesehatan suatu bank. Bank yang mampu menghasilkan keuntungan bersih tinggi mengindikasikan bahwa bank tersebut memiliki kesehatan yang baik. Dalam kaitanya dengan sertifikasi, maka menurut pendapat beberapa informan ada
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1081 1081
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
kaitan dengan keuntungan bersih bank. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keuntungan bersih bank cenderung tidak berfluktuasi secara signifikan atau bergerak datar. Ini mencerminkan bahwa secara nasional perbankan tidak mengalami peningkatan atau penurunan yang signifikan terkait dengan keuntungan bersih bank dengan adanya program sertifikasi manajemen risiko. Namun, sebenarnya jika dikaitkan dengan kredit macet yang meningkat, maka seharusnya ada peningkatan NIM. Hal ini seperti dijelaskan dalam surat Keputusan Direksi BI No. 31/148/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998, bahwa setiap bank umum wajib membentuk cadangan khusus yang ditujukan guna menampung kemungkinan kerugian yang terjadi akibat penurunan kualitas aktiva produktif. Menurut Dendawijaya (2006: 146), dampak dari naiknya non performing loan adalah penurunan pendapatan bunga kredit dan penggunaan dana cadangan aktiva produktif atas kredit bermasalah tersebut yang akan mempengaruhi pendapatan bank secara keseluruhan serta mempengaruhi penurunan atas laba bank. Penjelasan ini menunjukkan bahwa dengan adanya kredit macet yang tinggi menyebabkan bank mengalami penurunan keuntungan. Sebagaimana diketahui bahwa kredit macet perbankan nasional selama penerapan sertifikasi manajemen risiko mengalami peningkatan, yang seharusnya juga diikuti dengan keuntungan bank. Namun, tidak adanya peningkatan keuntungan juga dipahami mengingat banyak faktor yang berhubungan dengan keuntungan bank, sehingga tidak hanya tergantung pada satu faktor. Keempat, perkembangan rasio keuntungan dengan aset. Tingkat rasio keuntungan dengan aset juga merupakan indikator penting kesehatan bank, karena rasio ini menunjukkan rasio kinerja bank
kemampuan untuk menghasilkan laba dari aset yang dimiliki. Bank yang sehat tentu dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu pelaksanaan program sertifikasi manajemen risiko, yaitu tahun 2005 sampai dengan 2012 ada kecenderungan meningkat nilai ROA. Ini dapat menjadi indikasi bahwa program sertifikasi dapat meningkatkan kemampuan bank untuk menghasilkan laba melalui aset yang dimilikinya. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan program sertifikasi manajemen risiko memberikan beberapa dampak terhadap meningkatnya kompetensi dan tumbuhnya budaya peduli risiko. Adanya peningkatan kompetensi di kalangan pejabat dan pengurus dalam pengelolaan risiko ditunjukkan dengan kemampuannya meminimalisasi kredit macet, dan memiliki tindakan lebih hati-hati. Selain itu, juga dapat dilihat peningkatan jumlah pejabat dan petugas yang memiliki sertifikat manajemen risiko dan peningkatan budaya peduli risiko. Hal itu ditunjukkan dengan peningkatan ketaatan prosedural dari pegurus dan pejabat bank setelah adanya sertifikasi manajemen risiko dan dibentuknya unit kerja khusus yang melakukan penanganan terhadap risiko bank. Hanya saja reward dan punishment belum diberlaukan dengan baik bagi pengurus dan pejabat yang bertugas menangani risiko. Namun, dampak program sertifikasi manajemen risiko bagi pengurus dan pejabat bank umum terhadap kinerja perbankan masih terbatas, terutama terhadap kredit macet (NPL) dan ROA, sedangkan terhadap laba bank dan kecukupan modal bank belum terlihat. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka Bank Indonesia sebagai perumus dan
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1082 1082
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
pemilik program sertifikasi manajemen risiko harus bertindak pro aktif, terutama dalam hal melakukan evaluasi dan monitoring pelaksanaan sertifikasi manajemen risiko. Bank Indonesia juga harus memiliki sikap yang tegas terhadap Bank-Bank yang belum melaksanakan program sertifikasi manajemen risiko. Selain itu, juga perlu diberikan reward bagi pengurus dan pejabat bank yang memiliki prestasi memuaskan dalam melakukan pengelolaan risiko. DAFTAR PUSTAKA Booklet Perbankan 2012. Jakarta: Bank Indonesia, 2012. Boulmetis, John, dan Phyllis Dutwin. The ABCs of Evaluation: Timeless Techniques for Program and Project Managers(San Fransisco: JosseyBass, 2005. Cade,
Eddie. Managing Bank Risks. Cornwell: TJ International Ltd., 1997.
Dendawijaya, Lukman. Manajemen Perbankan. Bogor: Ghalia Indonesia, 2006. Djohanputro, Bramantyo. Manajemen Risiko Korporat Terintegrasi: Memastikan Keamanan dan Kelanggengan Perusahaan Anda. Jakarta: PPM, 2004. Hardanto, Sulad S. Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006. Langbein, Laura Irwin, Claire L. Felbinger, dan Laura Irwin Langbein. Public Program Evaluation: A Statistical
Guide. New York: M. E. Sharp, Inc., 2006. McLaughlin, John A. dan Gretchen B.Jordan, Using Logic Model, eds. Joseph S. Wholey, Harry P. Hatry, dan Kathryn E. Newcomer. San Fransisco: Jossey-Bass, 2010. Mello,
Jeffrey A., Strategic Human Resource Management 4 edition. USA: Cengange Learning, 2015.
Miner, John B., Organizational Behavior, Essential Theories of Motivation and Leadership (New York: M.E. Sharpe, 2005. Mitchell, Douglas E., Work orientation and job performance. New York: SunnyPress, 1997. Mullins, Laurie J., Management and Organisational Behaviour. 9 Edition. England: Pearson Education Limited, 2010. Nelson, Debra L., James Campbell Quick, Organizational Behavior Foundations, Realities & Challenges 5 th Edition. South Western: Thomson, 2006. Newstrom, John W., Organizational Behaviour Human Behavior at Work, fourteenth edition. New York: McGraw Hill, 2014. Phillips, Jean, Stanley M. Gully, Organizational behavior tools for success. Mason: Cengange Learning, 2010.
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1083 1083
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
Robbins, Stephen P., Mary Coulter, Management 12 edition. England : Pearson, 2014.
Schuurman, Jasper. Job Characteristics, Health and Satisfaction. Rotterdam: Netspar, 2011.
Robbins, Stephen P., Timothy A. Judge, Organizational Behavior 16 Edition. England: Pearson, 2015.
Schwan, Charles J., William G. Spady, leading in the age of empowerment. New York: Rowman & Littlefield education, 2010.
Royse, David, Bruce A. Thyer, dan Deborah K. Padgett. Program Evaluation: An Introduction. Belmont, CA: Cengage Learning, 2010. Rue, Leslie W, Lloyd L. Byars, Human Resource Management. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. 2008. Russell & Taylor, Operations Management Quality and Competitiveness in Global Environment. USA: John Willey & Sons Inc, 2006. Santrock, John W., Educational psychology 5 edition. New York: McGraw-Hill, 2012.
Shemerhorn, John R., Jr., Richard N. Osborn, Mary Uhl-Bein, James G. Hunt, Organizational Behavior 12 Edition. Asia: Wiley, 2012. Steve M.Jex, Organizational Psychology. USA: John Wiley, 2002. Sugiarto, Agus. “Membangun Fundamental Perbankan yang Kuat.” Harian Media Indonesia 26 Januari 2004. Tampubolon, Robert. Manajemen Risiko: Pendekatan Kualitatif untuk Bank Komersial. Jakarta: Gramedia, 2004.
Sartono, Agus. Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: BPFE, 2001.
Tayibnapis, Farida Yusuf. Evaluasi Program dan Instrumen Evaluasi untuk Program Pendidikan dan Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Schemerhorn, John R., Jr, Paul Davidson, David Poole, Peter Woods, Alan Simon and Ellen McBarron, Management 5 edition. USA: John Wiley,2014.
Vedung, Evert. Public Policy and Program Evaluation. New Jersey: Transaction Publishers, 2009.
Schermerhorn, John R., Introduction to Management. Asia: John Wiley. 2010. Schneider, Benjamin, D. Brent Smith, Personality and Organizations. USA. Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publisher, 2004.
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1084 1084
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
EVALUATION THE LECTURER PERFORMANCE (BE REVIEWED FROM CERTIFICATION AND WORK EXPERIENCE IN STATE INSTITUTE FOR ISLAMIC STUDIES SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI) FIRDAUS ZUHRI∗ ABSTRACT The purpose of this research is in order to know the lecturer performance be reviwed from certification and work experience in State institute for islamic studies Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Researcher in conducting this research , causal comparative / expost-facto and (Two Way Analisis of Variance)factorial 2 x 2 as statistikal analysis method for improving cause and effect variables relationship. The hypothesis were built that Certification, work experience impact the lecturer performance. Technic sample was used random sampling upon 96 lecturers as respondents. The result of this research proved that certification, work experience imfacted the lecturer performance. Keyword: Performance , Certification, work experience. PENDAHULUAN∗ Perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tinggi dituntut untuk dapat menghasilkan lulusan yang unggul. Cita-cita tersebut dapat dicapai apabila didukung oleh dosen yang kualified dan kompeten dalam mengemban tridharma perguruan tinggi. Banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih jauh dari standar yang diharapkan. Peringkat pendidikan tinggi umumnya masih rendah dan memprihatinkan, sehingga dibutuhkan beragam cara untuk memperbaiki kondisi tersebut. Pemerintah melalui Implementasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen mengamanatkan sertifikasi dosen dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas, kreatifitas dan integritas dosen dalam bentuk kinerja agar mampu melakukan aktualisasi potensi diri dan tugasnya dalam melaksanakan tridarma perguruan tinggi harus terjaga konsistensinya melalui upaya Dosen IAIN Jambi
evaluasi kinerja. Evaluasi dalam bahasa Inggris evaluation dapat dipahami sebagai proses yang sistematis untuk menentukan keputusan tentang suatu tujuan program yang telah dilaksanakan. Definisi tentang evaluasi yang dikemukakan oleh pakar. Diantaranya yang dikemukakan oleh Gronlund dalam Djaali (2008: 1) mendefinisikan evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai sejauhmana tujuan atau program telah tercapai. Selanjutnya Cronbach dan Stufflebeam dalam Arikunto (2012: 3) mendefinisikan bahwa proses evaluasi bukan sekedar mengukur sejauhmana tujuan tercapai, tetapi digunakan untuk membuat keputusan. Sementara itu Wandt dan Brown dalam Sudijono (2012: 1) mendefinisikan “Evaluation refer to the act or process to determining the value of something”. Menurut definisi ini, maka istilah evaluasi itu menunjuk kepada atau mengandung pengertian: suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1085 1085
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
Sudijono juga mengatakan bahwa evaluasi mencakup dua kegiatan yang telah dikemukakan terdahulu, yaitu mecakup “pengukuran” dan “penilaian”. Evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu. Ralph Tyler dalam Tayibnapis (2008: 3) menyatakan evaluasi adalah proses yang menentukan sampai sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai. Artinya perlu pengukuran terhadap program sejauh mana program tersebut telah dilakukan dan sejauh mana ketercapaian tujuan program pendidikan.Dunn menyatakan bahwa evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment) sebagai usaha untuk menganalisis hasil kebijakan. Dari kedua pendapat Ralph Tyler dan Dunn (2003: 608) dapat disimpulkan evaluasi adalah pengukuran dan penilaian terhadap program dalam pencapaian tujuan pendidikan. Dari beberapa definisi evaluasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi adalah suatu proses kegiatan secara sistematis mengumpulkan, mengolah, menganalisis dan menginterpretasikan informasi yang diperoleh secara valid dan reliability untuk kemudian dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan apakah suatu proses perlu untuk diperbaiki, dihentikan atau diteruskan. Masih terkait dengan kinerja, Bernandin & Russell sebagaimana dalam Gomes (2003: 135) menyatakan bahwa performance atau kinerja adalah catatan yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama suatu periode waktu tertentu. Disisi lain Bolt dan Rummler dalam Cikmat mengemukakan bahwa kinerja mungkin tidak seperti yang diharapkan bila terdapat kelemahan diantara mata rantai antar individu, sumber daya,
kejelasan tugas, umpan balik, dan akibatakibat. Baik buruknya kinerja tidak hanya dilihat dari tingkat kuantitas yang dapat dihasilkan seseorang dalam bekerja, akan tetapi juga diukur dari segi kualitasnya. Mangkunegara (2011: 45) mengatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Deming dalam Dessler (2006: 322) pada dasarnya kinerja karyawan merupakan fungsi dari pelatihan, komunikasi, alat, dan pengawasan daripada motivasi pribadi. Artinya Deming menekankan pada manajemen kinerja pada penetapan tujuan, penilaian, dan pengembangan yang terpadu, karena meningkatnya pemanfaatan manajemen kinerja sebagai akibat makin populernya konsep Total Quality Management. Nawawi ( 2011: 234) mengemukakan kinerja dimaksudkan hasil pelaksanaan sesuatu pekerjaan, baik bersifat fisik/material maupun non fisik/non material. Hasil pekerjaan yang bersifat fisik/material adalah hasil pekerjaan yang berwujud dapat dilihat diraba. Jika dikaitkan dengan kinerja dosen bersifat fisik/material diantaranya silabus, satuan acara perkuliahan (SAP), modul, bahan ajar, karya tulis, laporan hasil penelitian, dan karya tulis. Unjuk kerja dosen yang bersifat non fisik adalah unjuk kerja tidak berwujud, antara lain: ide-ide, konsep, dan lain-lain. Menurut Danim (2008: 70) bahwa kinerja (performance) merupakan competency in action. Artinya kinerja dipandang sebagai bagian integral dari kompetensi. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi juga
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1086 1086
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
dapat didefinisikan sebagai spesifikasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki seseorang serta penerapannya di dalam pekerjaan, sesuai dengan standar kinerja kebutuhan oleh masyarakat dan dunia kerja. Taksonomi standar kompetensi mencakup standar isi (content standards), standar proses (process standars) dan standar penampilan (performance standards). Standar penampilan berkenaan dengan kriteria penampilan. Merujuk pada ketiga standar tersebut, kinerja dipandang sebagai bagian integral dari kompetensi, meski sesungguhnya kompetensi dan kinerja berbeda. Selanjutnya dikatakan bahwa kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni; (1) pengetahuan, (2) keterampilan, dan (3) nilai dasar. Menurut Abdul Wahab (2014: 6) kebijakan (policy) itu seringkali penggunaannya dalam komunikasi politik saling dipertukarkan (interchangeably) dengan istilah-istilah lain, seperti tujuan (goals), program, keputusan, undangundang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan, dan rancangan-rancangan besar (grand design) yang dibuat oleh pemerintah. Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi dan misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu. Dengan demikian, pada dasarnya kebijakan mengandung makna target andmeans (sasaran dan cara kerja). UndangUndang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan kebijakan pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Pada pendidikan dasar dan menengah, kebijakan tersebut diimplementasikan dalam program sertifikasi guru, sedangkan pada pendidikan tinggi diwujudkan dalam program sertifikasi
dosen. Maka sasaran dari program sertifikasi dosen adalah pengajar di perguruan tinggi, sedangkan targetnya adalah meningkatnya produktivitas dosen dari kinerjanya. Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan sertifikasi dosen dalam penelitian ini adalah pemberian sertifikat pendidik kepada dosen sebagai pengakuan profesionalitas dosen dalam melaksanakan tridharma perguruan tinggi, setelah melalui uji kompetensi yang dilakukan dengan portofolio. Menurut Witherington sebagaimana dalam Ocin (2011: 54) pengalaman adalah menghayati situasi yang sebenarnya dan bereaksi dengan sunguh-sungguh terhadap berbagai aspek situasi untuk mencapai tujuan yang nyata. Hal ini menggambarkan bahwa pengalaman itu merupakan unsur pokok dalam proses pencapaian tujuan dan sebagai penuntun untuk melaksanakannya. Situasi yang terjadi dan dirasakan akan dapat memperbaiki dan mempercepat kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan pendapat selanjutnya Ricard (1994: 55) pengalaman merupakan landasan untuk memperoleh ide-ide dan prilaku yang baru yang memberikan wawasan, pengertian dan cara-cara yang sulit untuk menggambarkan kepada seseorang yang tidak mengalami hal yang sama. Bagi seseorang untuk sampai pada keadaan mengalami pengalaman dan menghubungkan apa yang sudah dialami dan apa yang dipelajari dari apa yang dialaminya. Pengalaman merupakan praktek lansung dan pengalaman yang diperoleh berupa teori berlaku bagi semua pekerjaan, termasuk pekerjaan mengajar bagi seorang dosen. Adapun pengalaman kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masa kerja dosen dalam melaksanakan tugas sebagai pengajar di perguruan tinggi sesuai
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1087 1087
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
dengan surat tugas dari lembaga yang berwenang (pemerintah) dalam kurun waktu diatas sepuluh tahun dan dibawah sepuluh tahun. Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah untuk mengahui pengaruh sertifikasi dan pengalaman kerja di Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif komparatif atau expost-facto, dimana ANAVA dua jalur sebagai metode analisis statistik yang dipakai untuk membuktikan hubungan kausal antar variabel. Hipotesa penelitian yang dibangun adalah bahwa sertifikasi dosen, pengalaman kerja mempengaruhi kinerja dosen. Random sampling adalah teknik sampling yang digunakan terhadap 96 orang dosen sebagai responden. Populasi penelitian adalah seluruh dosen Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, yaitu dosen yang telah memilki sertifikat pendidik (A1) dan dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik (A2) sebagai variabel bebas. Pengalaman Kerja >10 tahun (B₁) dan pengalaman kerja < 10 tahun (B₂) sebagai variabel atribut (level), sedangkan sebagai variabel terikat adalah kinerja dosen. Pengumpulan data melalui Instrumen kinerja dosen. Validitas konstruk divalidasi oleh ahli sedangkan validitas empirik dengan korelasi product moment. Pada kuisioner bidang pendidikan dan pengajaran dari 36 item butir 35 yang valid dan 1 yang tidak valid. Pada bidang penelitian dari 69 item butir terdapat 60 yang valid dan 9 yang tidak valid. Pada bidang pengabdian kepada masyarakat dari 58 item butir tedapat 54 yang valid dan 4 yang tidak valid. Instrumen menggunakan kuisioner kinerja dosen bidang pendidikan dan pengajaran
mempunyai nilai reliabilitas 0,82058. bidang penelitian memiliki reliabilitas sebesar 0,892772. Bidang pengabdian masyarakat dengan reliabilitas 0,887815. Analisis data (1) secara deskriptif (2) uji prasyarat analisis inferensial, Uji normalitas menggunakan Uji Liliefors dan uji homogenitas menggunakan uji fisher dan Uji Bartlett (3) Analisis data secara inferensial untuk menguji hipotesis menggunakan ANAVA Dua Jalan. Sedangkan untuk mengetahui signifikansi perbedaan dari masing-masing kelompok perlakuan dilakukan uji lanjut menggunakan Uji t-Dunnet, jika jumlah sampel tiap kelompok sama diteruskan Uji simpel efek dengan Uji Scheffie. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari data sumber variansi A di tabel 2 di atas terlihat bahwa Fhitung = 13,230 dengan signifikansi 0,000 yang menunjukan bahwa terdapat perbedaan kinerja antara kelompok dosen yang memiliki sertifikat pendidik dengan kelompok dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik. Rata-rata menunjukan kinerja dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik lebih tinggi (X= 499,979) dibandingkan dengan kinerja dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik (X= 467,375), artinya kinerja kelompok dosen yang memiliki sertifikat pendidik lebih tinggi dari kinerja kelompok dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik. Kemudian pada sumber variansi B menunjukan nilai F bahwa Fhitung = 4,716 dengan signifikansi 0,032 (kecil dari 0,05) artinya terdapat perbedaan kinerja antara kelompok dosen yang memiliki pengalaman diatas 10 tahun dengan kelompok dosen yang memiliki pengalaman dibawah 10 tahun. Rata-rata menunjukan kinerja dosen yang telah memiliki pengalaman diatas 10 tahun (X= 499,725) dibandingkan dengan
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1088 1088
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
kinerja dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik (X= 472,214), artinya kinerja kelompok dosen yang memiliki pengalaman diatas 10 tahun lebih tinggi dari kinerja kelompok dosen yang memiliki pengalaman dibawah 10 tahun. Kemudian pada sumber variansi A*B menunjukkan nilai Fhitung = 11,722 dengan signifikansi 0,001 (kecil dari 0,05), artinya bahwa terdapat pengaruh interaksi antara status sertifikasi dengan pengalaman kerja terhadap kinerja dosen. Hal ini mengharuskan dilakukannya uji simpel efek dengan uji scheffe Perhitungan tabel diatas menunjukan bahwa pada kelompok A1B1 dan A1B2 Fhitung > Ftabel yakni (21,19) > (2,704) pada taraf signifikan α =0,05 artinya kinerja dosen antara yang telah memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di atas 10 tahun lebih tinggi daripada kinerja dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di atas 10 tahun. Hal yang sama juga ditunjukan pada kelompok A1B2 dan A2B2 Fhitung < Ftabel yakni (0,03) < (2,704) pada taraf signifikan α =0,05 artinya kinerja dosen antara yang telah memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di bawah 10 tahun relatif sama daripada kinerja dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di bawah 10 tahun. Pada kelompok A1B1 dan A1B2 Fhitung > Ftabel yakni (16,63) > (2,704) pada taraf signifikan α =0,05 maka kinerja dosen antara yang telah memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di atas 10 tahun lebih tinggi daripada kinerja dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di bawah 10 tahun. selanjutnya pada kelompok A2B1 dan A2B2 Fhitung < Ftabel yakni (0,74) < (2,704) pada taraf signifikan α =0,05 maka kinerja dosen antara yang belum memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di atas 10 tahun relatif sama daripada kinerja dosen
yang belum memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di bawah 10 tahun. Pembahasan hasil penelitian berdasarkan deskripsi data kinerja dosen dan pengujian hipotesis yang telah disajikan sebelumnya. Adapun pembahasan hasil pengujian hipotesis adalah sebagai berikut: Hipotesis Pertama: Berdasarkan hasil pengujian hipotesis Ho ditolak, hipotesis teruji. Hal ini menunjukan Kinerja dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik kinerjanya lebih tinggi dibandingkan dengan dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik. Salah satu tujuan sertifikasi dosen adalah untuk menilai profesionalisme dosen, dan tentunya seorang profesional siap untuk dievaluasi, dan terbuka, sesuai dengan teori Payong bahwa seorang profesional adalah orang yang senantiasa terbuka dan tanggap terhadap berbagai perubahan, terutama yang terkait dengan bidang profesinya. Sebagai pendidik profesional dosen harus membuat Rencana Beban Kerja Dosen (RBKD) yang dilakukan dalam satu semester. Dosen yang memiliki sertifikat pendidik telah teruji kompetensinya dan akan dievaluasi kinerjanya setiap semester melalui Laporan Kinerja Dosen(LKD). Penelitian relevan yang mendukung ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Sihotang, tentang “Pengaruh Sertifikasi Dosen, dan Konsep diri terhadap Kinerja Dosen PTS Kopertis Wilayah III Jakarta”. Sihotang menyatakan hasil penilitian menunjukkan bahwa kinerja dosen yang telah mimiliki sertifikat pendidik lebih tinggi dibandingkan dengan kinerja dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan sertifikasi dosen sesuai dengan harapan kebijakan pemerintah. Pemerintah membuat kebijakan sertifikasi dengan tujuan agar dosen dalam melaksanakan tugasnya
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1089 1089
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
profesional sehingga berhak memperoleh reward. Dengan demikian berdasarkan teori dan hasil penelitian menunjukkan bahwa sertifikasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja dosen. Hipotesis Kedua: Berdasarkan hasil pengujian hipotesis Ho ditolak, hipotesis teruji. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja dosen yang memiliki pengalaman kerja di atas 10 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan kinerja dosen yang memiliki pengalaman kerja di bawah 10 tahun. Pengalaman dikatakan sebagai sesuatu yang sudah dilakukan dalam hidup atau pengetahuan, keterampilan yang didapat dari melakukan atau melihat sesuatu. Ini menunjukkan bahwa pengalaman membuat seseorang lebih terampil. Dosen yang telah lama bekerja akan lebih mengenal segala hal yang berhubungan dengan tugasnya, sehingga dia akan mendapatkan banyak pengalaman tentang tugasnya, dan pengalaman ini akan menjadi pengetahuan baginya. Makin sering mengulangi sesuatu, makin bertambah kecakapan dan penguasaan yang bersangkutan terhadap hal tersebut, sesuai dengan teori Suriasumantri berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapat lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang kongkret. Penelitian relevan dengan mendukung ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Kurnia, tentang “Kemampuan Mengajar Guru: Hubungan Antara Motivasi Berprestasi, Sikap Terhadap Profesi dan Pengalaman Mengajar Dengan Kemampuan Mengajar Guru”. Kurnia menyatakan hasil penilitian menunjukkan pengalaman mengajar berpengaruh dengan kemampuan mengajar Guru seperti halnya juga dosen. Ini menunjukan bahwa dosen yang memiliki pengalaman kerja akan melaksanakan tugas
dengan penuh tanggungjawab. Satu contoh dalam kompetensi pedagogik dosen tersebut akan menyiapkan silabus dan SAP, mengajar dengan menggunakan metode pembelajaran yang tepat dan mampu menyesuaikan materi dengan lingkungan mahasiswa, melakukan evaluasi secara transparan, dapat mengelola kelas dengan baik, selalu berupaya meningkatkan mutu pembelajaran secara terus menerus. Sebaliknya dosen yang belum mempunyai pengalaman kerja maka dia melaksanakan tugas hanya sekedar kewajibannya. Dengan demikian berdasarkan teori dan hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja dosen. Hipotesis ketiga: Berdasarkan hasil pengujian hipotesis Ho ditolak, hipotesis teruji. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara sertifikasi dan pengalaman kerja terhadap kinerja dosen. Dosen yang telah sertifikasi berarti juga memiliki pengalaman kerja karena ini syarat diusulkanya menjadi peserta seleksi sertifikasi dosen. Dengan demikian berdasarkan teori dan hasil penelitian menunjukkan bahwa sertifikasi dan pengalaman kerja dosen berpengaruh secara bersama terhadap kinerja dosen. Hipotesis keempat dan lima: Berdasarkan hasil pengujian hipotesis keempat Ho ditolak, hipotesis teruji. Hal ini menunjukan kinerja dosen antara dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja diatas 10 tahun lebih tinggi daripada dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di atas 10 tahun. Pada kelompok dosen yang memiliki pengalaman kerja diatas 10 tahun sertifikasi telah memberi motifasi dan wawasan baru kepada dosen dalam hal pengembangan kompetensi. Dengan
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1090 1090
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
demikian berdasarkan teori dan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kinerja dosen. Berbeda dengan hipotesis keempat, hipotesis kelima ini berdasarkan hasil pengujian hipotesis tidak teruji. Hal ini menunjukan kinerja dosen antara yang telah memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di bawah 10 tahun relatif sama dengan kinerja dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di bawah 10 tahun. Pada kelompok dosen pengalaman kerja dibawah 10 tahun ini dosen menganggap sertifikasi hanyalah sebagai usaha meningkatkan kesejahteraan dosen semata bukan meningkatkan kinerja dan pemahamannya masih rendah sehingga pengaruhnya kecil serta perbedaannya tidak signifikan. Hipotesis keenam dan tujuh: Berdasarkan hasil pengujian hipotesis keenam, hipotesis teruji. Hal ini menunjukan kinerja dosen antara yang telah memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di atas 10 tahun lebih tinggi daripada kinerja dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di bawah 10 tahun. Pada kelompok dosen telah yang memilki sertifikat pendidik, sertifikasi mendukung profesionalitas dosen sehingga kinerja lebih baik dan dosen berusaha memenuhi tugasnya dengan baik serta adanya reward ini mempengaruhi kinerja dosen. Tidak ditemui teori dan penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Dengan demikian berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kinerja dosen. Berbeda dengan hipotesis keenam, hipotesis ketujuh tidak teruji. Hal ini menunjukan kinerja dosen antara yang belum memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di atas 10 tahun relatif sama dengan kinerja
dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di bawah 10 tahun. Pada kelompok dosen belum memiliki sertifikat pendidik sertifikasi tidak dominan sebab kurangnya syarat-syarat untuk diikutkan dalam pengusulan sertifikasi. hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kinerja dosen KESIMPULAN Kinerja dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik lebih tinggi daripada kinerja dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik, hal ini juga berlaku pada dosen yang memiliki pengalaman kerja di atas 10 tahun yang memiliki kinerja lebih tinggi daripadadosen yang memiliki pengalaman kerja di bawah 10 tahun. Serta terdapat pengaruh interaksi sertifikasi dosen dan pengalaman kerja terhadap kinerja dosen. Disamping itu Kinerja dosen antara yang telah memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di atas 10 tahun lebih tinggi daripada kinerja dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik dan yang memiliki pengalaman kerja di atas10 tahun. Kinerja dosen antara yang telah memiliki sertipikat pendidik dan pengalaman kerja di bawah 10 tahun relatif sama daripada dosen yang belum memiliki sertipikat pendidikan dan pengalaman kerja di bawah 10 tahun. Kinerja dosen antara yang telah memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di atas 10 tahun lebih tinggi daripada kinerja dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik dan yang memiliki pengalaman kerja di bawah10 tahun. Kinerja dosen antara yang belum memiliki sertifikat pendidik dan pengalaman kerja di atas 10 tahun relatif sama daripada kinerja dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik dan yang memiliki pengalaman kerja di bawah10 tahun. DAFTAR PUSTAKA
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1091 1091
Jurnal Ilmiah Educational Management Volume 6 Nomor 1 Desember 2015
Abdul Wahab, Solichin. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Bumi Aksara, 2014. Arikunto, Suharsimi. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2012. Arends, Richard I. Learning to Teach. (New York: McGraw-Hill Company, 1994. Buku Pedoman Sertifikasi Pendidikan Untuk Dosen tahun 2010. Jakarta: Ditjen Dikti, 2010. Buku Pedoman Sertifikasi Pendidik Untuk Dosen (Serdos) Terintegrasi: Buku 1 Naskah Akademik. Jakarta: Ditjen PT Kemendikbud, 2014. Danim,
Sudarwan. Kinerja Staf dan Organsasi. Bandung: Pustaka Setia: 2008.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustakan Utama Jakarta, 2008. Dessler, Gary. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Indeks, 2006. Djaali dan Pudji Muljono. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Grasindo, 200 Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003.
Gomes,
Faustino Cardoso Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset, 2003.
Mangkunegara, A.A. Anwar.Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011. Nasution, S. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara , 1995 Nawawi, Hadari. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis Kompetitif. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2011. Ocin, A. “Kemampuan Mengajar Guru: Hubungan Antara Motivasi Berprestasi, Sikap Terhadap Profesi dan Pengalaman Mengajar Dengan Kemampuan Mengajar Guru.” Disertasi, UNJ, 2008. Suriasumantri, Jujun S. Filasafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Muliasari, 2000. Sudijono, Anas. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grasindo Persada, 2012. Sudiyono. Manajemen Pendidikan Tinggi. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Tayibnapis, Farida Yusuf. Evaluasi Program dan Instrumen Evaluasi untuk Program Pendidikan dan Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 2008. Whitmore, Jhon. Coaching For Performance: Membangun Individu, Kinerja, dan Sasaran. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2002.
© 2015 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1092 1092