PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
EVALUASI DAYA SAING DAERAH PERSPEKTIF ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DI ERA OTONOMI (Studi Kasus Pemerintah Kabupaten Barito Utara Provinsi Kalimantan Tengah) Azhari Fazli Alumni Prodi S1 Akuntansi STIE Indonesia Banjarmasin Riswan Yudhi Fahrianta Prodi S1 Akuntansi STIE Indonesia Banjarmasin
[email protected] ABSTRAK Kebutuhan akan peningkatan daya saing nasional dan daerah dilatarbelakangi oleh pengalaman perekonomian Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat dengan tren pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat terutama pada lima tahun terakhir ini. Daya saing ekonomi daerah bertujuan untuk memberikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, yaitu mengembangkan sektor unggulan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, peran pemerintah daerah dalam mengupayakan daya saing daerah menjadi sangat penting dan strategis untuk bisa bersaing di era global secara kompetitif. Kebijakan transfer ke daerah oleh pemerintah pusat untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan alokasi transfer ke daerah yang terus meningkat, idealnya dibarengi dengan penyempurnaan manajemen keuangan daerah oleh pemerintah daerah, baik dari sisi pendapatan maupun belanja daerah. Pendapatan daerah menuju kemandirian fiskal daerah, sedangkan belanja daerah fokus pada quality of spending. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi daya saing daerah dengan perspektif analisis kinerja keuangan daerah Pemerintah Kabupaten Barito Utara Provinsi Kalimantan Tengah pada era otonomi daerah periode 2003-2013. Dimana teknik analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif kuantitatif dengan menggunakan rasio-rasio kinerja keuangan pemerintah daerah, yaitu: rasio kemandirian daerah, rasio efisiensi dan efektivitas PAD (Pendapatan Asli Daerah), rasio keserasian, rasio DSCR, indeks kapasitas fiskal, dan rasio pertumbuhan PAD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada era otonomi daerah Pemerintah Kabupaten Barito Utara Provinsi Kalimantan Tengah periode 2003-2013 dari sisi pendapatan untuk menuju kemandirian fiskal cenderung menunjukkan kinerja yang kurang baik, walaupun indeks kapasitas fiskal berkategori sangat tinggi. Dari sisi pengelolaan PAD menunjukkan kecenderungan pengelolaan sudah sangat baik dengan kecenderungan pertumbuhan PAD dengan tren positif. Sedangkan dari sisi kualitas belanja daerah (quality of spending) kecenderungan masih belum berkualitas, dimana prioritas belanja modal/pembangunan yang masih sangat kurang jika dibandingkan belanja rutin yang cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Disarankan untuk Pemerintah Kabupaten Barito Utara untuk mengoptimalkan pengelolaan PAD terutama pajak dan retribusi daerah dan mengoptimalkan BUMD untuk menghasilkan laba agar menambah PAD serta menselaraskan porsi belanja fungsi dalam APBD dengan sasaran strategis daya saing daerah guna mendukung kinerja pembangunan. Kata kunci: daya saing daerah, kinerja keuangan daerah 1
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
ABSTRACT The necessity of national and regional competitiveness enchancement is motivated by the experience of Indonesian economy which faced a tough challenge while the trend of economic growth tends to slow down, especially for the last five years. Regional economic competitiveness aims to make sustainable economic growth by developing the leading sectors that suit with the potential and needs of the region in order to improve the welfare of society. In line with the implementation of regional autonomy and fiscal decentralization, local government's role in improving regional competitiveness to be very important and strategic to be able to compete in a competitive global era. Transfer’s policy from the central to the regional government is to support the implementation of fiscal decentralization while the transfer allocation to the region continues to increase, ideally coupled with the improvement of regional financial management by the local government, both in terms of regional income and expenditure. Regional income toward fiscal independence area, while the regional expenditure is focus on quality of spending. The objective of this study is to evaluate the regional competitiveness from the perspective of regional financial performance analysis of the Government of North Barito regency, Central Kalimantan Province for the regional autonomy period 2003-2013. The analysis technique used in this research is quantitative analysis descriptive using ratios of financial performance of local governments, that is: the ratio of local independency, the ratio of the efficiency and effectiveness of the PAD (Regional Income), the ratio of harmony, the ratio DSCR, fiscal capacity index and the ratio of PAD growth. The results of this study shows that in the era of regional autonomy, the Government of North Barito regency, Central Kalimantan Province period 2003-2013 in terms of income towards fiscal independence tends to show a poor performance, although the fiscal capacity index is in very high category. In terms of the management of PAD, the result shows the trend of management has been very good with the positive income growth’s trend. In terms of quality of spending, the tendency is still not qualified, where capital expenditure priorities/development is still very poor compared to routine expenditures which is continue to increase from year to year. The suggestion for the Government of Barito Utara regency is to optimizing the management of PAD especially taxes and regional retribution, and also optimizing BUMD to generate profits in order to increase PAD and to synchronize the function of expenditure’s portion in APBD with the strategic objectives of regional competitiveness in order to support the regional development performance. Keywords: regional competitiveness, regional financial performance PENDAHULUAN Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sangat erat hubungannya dengan daya saing daerah terutama dalam hal pelaksanaan pembangunan. Daya saing ekonomi daerah bertujuan
untuk
memberikan
pertumbuhan
ekonomi
yang berkelanjutan,
yaitu
mengembangkan sektor unggulan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, peran pemerintah daerah dalam mengupayakan daya saing 2
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
daerah menjadi sangat penting dan strategis untuk bisa bersaing di era global secara kompetitif. Peran pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah meliputi (1) keselarasan, dan (2) keserasian. Selaras dalam memberikan pelayanan dan meningkatkan peran serta, prakarsa, dan memberdayakan masyarakat yang memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Serasi dalam menyelenggarakan hubungan antar tingkat pemerintahan, baik antar daerah maupun antara pusat dan daerah. Instrumen utama dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pendanaan atas penyerahan urusan kepada daerah yang proporsional, adil, demokratis, dan transparan dengan memperhatikan potensi dan kebutuhan daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal bermakna pada mengelola keuangan secara efektif, efisien dan akuntabel guna mendukung pelayanan publik. (Kementerian Keuangan, 2014) Kebijakan transfer ke daerah oleh pemerintah pusat untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan alokasi transfer ke daerah yang terus meningkat, idealnya dibarengi dengan penyempurnaan manajemen keuangan daerah oleh pemerintah daerah, baik dari sisi pendapatan maupun belanja daerah. Pendapatan daerah menuju kemandirian fiskal daerah, sedangkan belanja daerah fokus pada quality of spending. Salah satu bentuk evaluasi kinerja pembangunan ekonomi daerah adalah dengan menganalisis kinerja dalam pengelolaan keuangan daerah (APBD) yang telah ditetapkan dan dilaksanakan, sehingga dapat dijadikan tolok ukur dalam: (1) menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah, (2) mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah, (3) mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya, (4) mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah, dan (5) melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu. (Widodo dalam Halim, 2012) Implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia yang sudah berjalan sudah lebih dari satu dekade, dimana peran kabupaten dan kota menjadi semakin menonjol jika dibandingkan dengan provinsi. Peran yang semakin menonjol ini membawa konsekuensi bahwa kiprah kabupaten dan kota akan sangat mempengaruhi kinerja pembangunan nasional dan daya saing bangsa Indonesia. Tidak terkecuali dengan Kabupaten Barito Utara yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah. 3
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
Perekonomian Kabupaten Barito Utara (selanjutnya disingkat KBU) dominan ditopang oleh kegiatan usaha pertambangan dan pertanian dengan komoditas berupa batubara, karet dan kelapa sawit yang merupakan komoditas ekspor, sehingga tidak dapat dipungkiri sektor primer penyumbang nilai tambah terbesar ini sekaligus menjadi pintu penghubung perekonomian KBU dengan ekonomi global. Dinamika ekonomi global dengan tren perlambatan dalam empat tahun terakhir yang berdampak fluktuatif pada permintaan komoditas ekspor, sehingga tidak dapat dihindari memberikan dampak fluktuatif terhadap pertumbuhan ekonomi KBU, dimana pertumbuhan ekonomi berturutturut pada tahun 2011 sampai dengan 2013 sebesar 7,93%; 6,23%; 7,13%, atau rata-rata rata-rata pertumbuhan ekonomi masih dapat dipertahankan sekitar 7,10%. Kinerja perekonomian KBU ini dapat dikatakan relatif cukup baik karena di atas kinerja perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah (rata-rata 6,91%) maupun nasional (rata-rata 6,17%) dalam kurun waktu yang sama. (BPS Kabupaten Barito Utara, 2015a dan BAPPENAS, 2014) Dapat disimpulkan dari sisi kinerja makro perekonomian KBU relatif cukup baik pada periode 2010-2013 tersebut. Kondisi tersebut akan lebih komprehensif jika diikuti evaluasi kinerja pembangunan ekonomi dengan menganalisis kinerja dalam pengelolaan keuangan daerah (APBD) yang telah ditetapkan dan dilaksanakan dalam kurun waktu implementasi otonomi daerah di KBU Tahun 2003-2013. Bahwa tantangan terberat dalam membangun desentralisasi fiskal tidak sekedar memberikan dana kepada pemerintah daerah, tetapi bagaimana menciptakan dampak positif terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik dan pertumbuhan ekonomi daerah (World Bank, 2007 dalam Sumardjoko dan Irwanto, 2015).
Penelitian ini bertujuan untuk melengkapi evaluasi kinerja pembangunan ekonomi KBU dengan menganalisis kinerja pengelolaan keuangan daerah (APBD) dengan rasiorasio kinerja keuangan pemerintah daerah, yaitu: rasio kemandirian daerah, rasio efisiensi dan efektivitas PAD (Pendapatan Asli Daerah), rasio pertumbuhan PAD, rasio aktivitas/keserasian, rasio DSCR, dan indeks kapasitas fiskal. Dari sisi akademis, penelitian ini juga bertujuan untuk melengkapi referensi atas penggunaan rasio-rasio penilaian kinerja keuangan pemerintah daerah dengan studi spesifik/kasus pada pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Barito Utara Provinsi Kalimantan Tengah.
4
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
LANDASAN TEORI Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah di Indonesia didasarkan kepada dua pertimbangan substantif: (1) bahwa otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (2) bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan. daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. (UU 32 Tahun 20041) Salah satu tujuan penting dari penerapan otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia adalah untuk menciptakan efisiensi dalam penyediaan barang dan jasa publik melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintahan paling rendah yang memiliki informasi paling lengkap sehingga alokasi sumber daya secara lebih produktif dapat tercipta (Utama dan Syahrul, 2011). Pendelegasian kewenangan tersebut disertai dengan penyerahan dan pengalihan pendanaan, sarana dan perasarana serta sumberdaya manusia (SDM) dalam kerangka Desentralisasi Fiskal, dimana kewenangan pendanaan yang diserahkan tersebut dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri dan (2) mekanisme perimbangan keuangan pusat-daerah dan antar daerah (Mardiasmo, 2006). Kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan sumber pendapatan terdiri dari: pajak daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, sedangkan perimbangan keuangan dilakukan melalui mekanisme Dana Perimbangan yang terdiri atas: dana bagi hasil; dana alokasi umum; dan dana alokasi khusus.
1
UU RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah direvisi dan ditetapkan kembali menjadi UU RI Nomor 23 Tahun 2014 pada tanggal 30 September 2014 dengan masa transisi implementasi paling lama 2 (dua) tahun sejak UU RI Nomor 23 Tahun 2014 ini ditetapkan.
5
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
Dikemukakan oleh Sumardjoko dan Irwanto (2015) bahwa dalam Fiscal Federalism Theory menyatakan pertumbuhan ekonomi dapat dicapai melalui desentralisasi fiskal atau pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya sendiri sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya. Pelaksanaan desentralisasi fiskal bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui instrumen revenue dan expenditure antar pemerintah. Bahwa desentralisasi fiskal mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan memperkuat insentif fiskal yang diberikan kepada masyarakatnya (Shah, 1994). Dua instrumen penting dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah kewenangan memungut pajak dan transfer ke daerah. Pengelolaan belanja daerah yang mengedepankan quality spending akan memberi efek multiplier yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi (Musgrave, 1980 dalam
Sumardjoko dan Irwanto, 2015). Pengelolaan penyelenggaraan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dari perspektif keuangan pemerintah daerah direfleksikan pada pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), analog dengan kedudukan APBN dalam keuangan negara yang merupakan inti keuangan (akuntansi) pemerintahan terutama di era reformasi di Indonesia (Halim, 2012). APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Dalam hal ini APBD mempunyai enam fungsi, yaitu fungsi: otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi (Permendagri Nomor 13 Tahun 2006). Evaluasi kemampuan pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah daerah dalam era otonomi daerah cukup banyak diukur menggunakan kinerja keuangan daerah dengan penggunaan analisis rasio keuangan pada APBD, walaupun secara teori belum ada kesepakatan yang seragam mengenai nama dan kaidah pengukurannya namun paling tidak dengan informasi yang dihasilkan dari upaya untuk mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan pemerintah daerah, dengan menguraikan pos-pos laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih rinci dan melihat hubungan antar pos untuk mengetahui kondisi keuangan, meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan pada sektor privat. Selain itu hasil dari analisis laporan keuangan diharapkan dapat meminimalkan bahkan menghilangkan penilaian yang bersifat dugaan semata, ketidakpastian dan pertimbangan pribadi.
6
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
Analisis rasio keuangan pada APBD dapat dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi, atau dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi rasio keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya (Widodo dalam Halim, 2012). Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rasio kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain misalnya bantuan pemerintah pusat maupun pinjaman. Rasio kemandirian keuangan daerah juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, dimana semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama PAD, yang berarti tingginya partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi. (Widodo dalam Halim, 2012) Rasio Efektivitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah Rasio efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditelah ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Dikategorikan efektif jika rasio yang dicapai mencapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100%, artinya semakin tinggi rasio efektivitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik. Rasio efektivitas PAD biasanya disandingkan dengan rasio efisiensi PAD, yaitu rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Dikategorikan efisien dalam pemungutan PAD apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau di bawah 100%, artinya semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemerintah daerah semakin baik. Penggunaan kedua rasio ini secara bersamaan untuk memberikan informasi kinerja pemungutan PAD yang lebih komprehensif, karena meskipun pemerintah daerah berhasil merealisasikan penerimaan pendapatan sesuai dengan target yang ditetapkan, namun keberhasilan itu kurang memiliki 7
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
arti apabila jika ternyata biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan target penerimaan pendapatannya itu lebih besar daripada realisasi pendapatan yang diterima. (Widodo dalam Halim, 2012) Rasio Pertumbuhan PAD Dalam konteks APBD, rasio pertumbuhan digunakan untuk mengukur seberapa besar kemampuan daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan belanja/pengeluaran, dapat digunakan untuk mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu mendapatkan perhatian (Widodo dalam Halim, 2012). Rasio pertumbuhan PAD menarik untuk di evaluasi karena rasio ini dapat menunjukkan sejauhmana perkembangan pertumbuhan PAD setelah pemberian hak otonomi daerah dalam pengelolaan PAD untuk mencapai tujuan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Rasio Keserasian Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin (belanja operasi) dan belanja pembangunan (belanja investasi atau belanja modal) secara optimal. Rasio ini saling meniadakan, dimana semakin tinggi presentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti persentase belanja pembangunan yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat semakin kecil (Widodo dalam Halim, 2012). Belum ada patokan ideal untuk proporsi optimal besarnya rasio belanja rutin maupun rasio belanja pembangunan, karena sangat dipengaruhi oleh dinamisasi kegiatan-kegiatan pemerintahan di daerah, baik untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintahan maupun untuk kegiatan pembangunan untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan. Idealnya belanja pembangunan seharusnya dapat menjadi komponen yang cukup berperan dalam peningkatan akses masyarakat terhadap sumber-sumber daya ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, yang pada gilirannya apabila kesejahteraan masyarakat telah meningkat maka diharapkan akan berdampak kepada perekonomian daerah secara luas (Kementerian Keuangan, 2013). Debt Sevice Coverage Ratio (DSCR) Rasio ini menggambarkan syarat untuk pemerintah daerah dalam melakukan pinjaman untuk membiayai pemerintahannya jika diperlukan pinjaman dan sepanjang prosedur dan pelaksanaannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan persyaratan: 8
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
(1) jumlah kumulatif pinjaman daerah yang wajib dibayar maksimal 75% dari penerimaan APBD tahun sebelumnya, dan (2) DSCR minimal 2,5 (Widodo dalam Halim, 2012). Indeks Kapasitas Fiskal Kapasitas fiskal merupakan gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yang tercermin melalui penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) untuk membiayai tugas pemerintah setelah dikurangi belanja pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin. Gambaran Kapasitas Fiskal mencerminkan Peta Kapasitas Fiskal Daerah yang dikelompokkan berdasarkan Indeks Kapasitas Fiskal (IKF) daerah, yang dikategorikan dalam empat kategori indeks, yaitu: Sangat Tinggi (IKF ≥ 2); Tinggi (1 ≤ IKF < 2); Sedang (0,5 < IKF < 1); dan Rendah (IKF ≤ 0,5). Peta Kapasitas Fiskal dapat digunakan atau sebagai dasar bagi pemerintah pusat untuk: (1) pengusulan Pemerintah Daerah sebagai penerima hibah; (2) penilaian atas usulan pinjaman daerah; (3) penentuan besaran dana pendamping, jika dipersyaratkan; dan/atau (4) hal lain yang diatur secara khusus
dalam
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
(Permenkeu
Nomor
226/PMK.07/2012)
METODE Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan menggunakan analisis rasio keuangan untuk mendapatkan gambaran tentang kinerja keuangan Pemerintah KBU Tahun 2003-2013. Sehingga jenis data yang digunakan dominan adalah data kuantitatif berupa Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LPKD) KBU yang didapatkan dari Bagian Keuangan Sekretariat Daerah untuk LPKD Tahun 2003-2008 dan Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) untuk LPKD Tahun 2009-2013. Sedangkan data umumnya lainnya untuk mendukung analisis kinerja keuangan, baik kualitatif maupun kuantitatif didapatkan dari publikasipublikasi
resmi
tentang
Pemerintah
KBU,
seperti:
website
resmi
di
http://www.baritoutarakab.go.id/; publikasi resmi statistik di http://barutkab.bps.go.id/. Adapun pengukuran rasio-rasio keuangan untuk mengevaluasi kinerja keuangan Pemerintah KBU Tahun 2003-2013 dengan menggunakan formulasi-formulasi yang digunakan oleh Widodo dalam Halim (2012) sebagai berikut:
9
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
1. Rasio Kemandirian Daerah = 2. Rasio Efektivitas PAD
=
3. Rasio Efisiensi PAD
=
4. Rasio Pertumbuhan PAD = 5. Rasio Keserasian Belanja Rutin
=
6. Rasio Keserasian Belanja Modal =
7. Debt Sevice Coverage Ratio
=
Sedangkan untuk Indeks Kapasitas Fiskal (IKF) direkap dari publikasi Kementerian Keuangan RI melalui Peraturan Menteri Keuangan tentang Peta Kapasitas Daerah yang dikeluarkan setiap tahun, sejak tahun 2008.
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Perekonomian Kabupaten Barito Utara Ditinjau dari pemerintahan dan wilayah administrasi pembentukan Kabupaten Barito Utara (KBU) sekarang adalah berdasarkan UU RI Nomor 5 Tahun 2002, dimana kabupaten yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah dimekarkan menjadi 13 kabupaten yang semula hanya 5 kabupaten. Dengan ibukota KBU adalah Muara Teweh yang meliputi luas wilayah 8.300 km2 atau 5,40% dari luas wilayah Kalimantan Tengah. Terdapat 9 kecamatan dengan 93 desa dan 10 kelurahan dengan proyeksi jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 126.494 jiwa, yang bermakna kepadatan penduduk pada tahun 2014 adalah 15 jiwa/km2. (http://kalteng.go.id/ dan BPS Kabupaten Barito Utara, 2015a) Tulang punggung perekonomian KBU ditunjang dominan oleh sektor primer yaitu pertanian dan pertambangan, atau masih bercorak perekomian berbasis sumberdaya alam (agraris), dimana kalau dilihat struktur perekonomian dalam 4 tahun terakhir (2010-2013) peran kategori pertambangan dan penggalian serta kategori pertanian rata-rata sekitar 60% dalam pembentukan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) KBU. Kategori pertambangan dan penggalian sendiri berperan hampir sekitar 50% dalam pembentukan 10
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
PDRB dengan subkategori peranan terbesar adalah pertambangan batubara dan lignit (coal brown) dengan kontribusi rata-rata sekitar 36%. Sedangkan kategori pertanian sendiri berperan rata-rata sekitar 11% dalam pembentukan PDRB KBU Tahun 2010-2013 dengan subkategori peranan terbesar adalah perkebunan tahunan berperan rata-rata sekitar 4,5% dengan komoditas karet dan kelapa sawit. (BPS Kabupaten Barito Utara, 2015b) Sejalan dengan peran lapangan usaha dalam pembentukan PDRB KBU, pembentukan PDRB per kapita (satu orang penduduk) juga menunjukkan dominasi kategori pertambangan dan penggalian yang terbesar dibandingkan kategori pertanian. Dimana dalam 4 tahun terakhir (2010-2013) rata-rata kontribusi pertambangan dan penggalian sebesar 50% atau sekitar 21 juta rupiah/kapita dari rata-rata total PDRB per kapita sebesar 42 juta rupiah. Sedangkan kategori pertanian (terbesar kedua) hanya memiliki kontribusi rata-rata sebesar 11% atau hampir mendekati 5 juta rupiah/kapita. (BPS Kabupaten Barito Utara, 2015b) Berkebalikan dengan struktur perekonomian dan pendapatan per kapita penduduk pada sektor primer (pertanian dan pertambangan), penyerapan angkatan kerja (pasar kerja) di KBU dominan di sektor primer rata-rata di atas 60%, dimana pada kategori pertanian rata-rata di atas 50%, sedangkan kategori pertambangan dan penggalian menyerap rata-rata di bawah 10% angkatan kerja. Kondisi ini terkait tidak terlepas dengan tingkat pendidikan angkatan kerja di KBU hampir 77% hanya tamat SMP ke bawah, dimana pada bidang pertanian tidak memerlukan keahlian/keterampilan kerja seperti yang dibutuhkan pada bidang pertambangan dan penggalian. (BPS Kabupaten Barito Utara, 2015b) Kondisi ini merupakan tantangan bagi Pemerintah KBU untuk mengoptimalkan potensi sumberdaya alam dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang berkualitas dengan tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang positif. Tantangan yang harus diatasi oleh pemerintah daerah adalah perlunya mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian yang dapat menciptakan lapangan kerja alternatif dan lebih berkualitas serta memberikan nilai tambah dan pendapatan yang lebih besar, serta peningkatan sumberdaya manusia yang berkualitas sangat penting dalam mendukung percepatan pertumbuhan dan perluasan pembangunan ekonomi daerah, dimana semakin tinggi kualitas sumberdaya manusia di suatu daerah, semakin produktif angkatan kerja, dan semakin tinggi peluang melahirkan inovasi yang menjadi kunci pertumbuhan secara berkelanjutan dan memiliki daya saing yang tinggi di pasar kerja (pro growth, pro job, pro human development). 11
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
Analisis Rasio Keuangan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya PAD dibandingkan dengan pendapatan yang berasal dari sumber lain, yaitu bantuan pemerintah pusat/provinsi ataupun dari pinjaman. Pada Gambar 1 ditunjukkan perkembangan rasio kemandirian keuangan KBU Periode 2003-2013 yang memperlihatkan perkembangan yang berfluktuasi dengan rasio rata-rata sebesar 4,30% serta memiliki kecenderungan/tren kemandirian keuangan daerah yang menurun dalam sepuluh tahun era otonomi daerah. Mendasarkan kepada kriteria Kepmendagri No.690.900.327 Tahun 1996 (LAKIP Provinsi Jawa Timur, 2015), dengan rata-rata kemandirian keuangan daerah sebesar 4,30% dapat dikategorikan kemampuan keuangan rendah sekali dengan pola hubungan instruktif (di bawah 25%), yaitu peranan kemampuan keuangan pemerintah pusat lebih dominan daripada peran keuangan asli daerah. Pola ini dari sisi finansial menunjukkan adanya ketergantungan sangat tinggi dari dana perimbangan pemerintah pusat sehingga peran Pemerintah KBU hanya menerima instruksi (sangat tergantung) dari (dengan) pemerintah pusat.
Gambar 1. Perkembangan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD) Kabupaten Barito Utara Tahun 2003-2013 (%) Sumber: Diolah dari LKPD Kabupaten Barito Utara Tahun 2003-2013 Rasio Efektivitas dan Efisiensi PAD Untuk perhitungan rasio ini data target dan realisasi PAD periode 2003-2013 diakses dari Bagian Keuangan Setda KBU, sedangkan data biaya pemungutan PAD diakses dari DPPKAD KBU dan data tersedia hanya periode 2009-2013 karena DPPKAD sendiri baru terbentuk tahun 2008. Untuk menghindari bias beda tahun maka diputuskan analisis rasio keserasian hanya menggunakan data periode 2009-2013. 12
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
Efektivitas dan efisiensi PAD KBU pada periode 2009-2013 yang ditampilkan pada Gambar 2 menunjukkan tren meningkat, walaupun dari sisi rasio efisiensi PAD cenderung berfluktuasi, dimana terjadi penurunan lebih dari 60% pada periode 2012-2013. Berdasarkan kriteria Kepmendagri No.690.900.327 Tahun 1996, dengan
rata-rata rasio
efektivitas sebesar 105,26% dan rata-rata rasio efisiensi sebesar 30,73%, dapat dikategorikan pengelolaan PAD KBU pada periode 2012-2013 adalah sangat efektif (di atas 100%) dan sangat efisien (di bawah 60%).
Gambar 2. Perkembangan Rasio Efektivitas (EVPAD) dan Efisiensi (ESPAD) PAD Kabupaten Barito Utara Tahun 2009-2013 (%) Sumber: Diolah dari LKPD Kabupaten Barito Utara Tahun 2009-2013 Rasio Pertumbuhan PAD Pertumbuhan PAD KBU menjadi fokus analisis rasio untuk mengetahui setelah pemberian hak otonomi daerah dalam mengelola PAD untuk kemampuan daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Gambar 3 (sebelah kiri) menunjukkan perkembangan pertumbuhan PAD KBU periode 2004-2013 dengan kecenderungan pertumbuhan berfluktuasi dengan kesenjangan cukup besar namun tren pertumbuhan adalah meningkat dari tahun ke tahun, walau terjadi penurunan lebih dari 40% pada periode 2012-2013. Rasio Keserasian Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin (belanja operasi) dan belanja pembangunan (belanja investasi atau belanja modal) secara optimal. Dari Gambar 3 (sebelah kanan) ditunjukkan bahwa rasio belanja rutin Pemerintah KBU memiliki kecenderungan terus meningkat dengan ratarata rasio sebesar 64,09% yang jika dibandingkan dengan rasio belanja pembangunan dengan kecenderungan menurun dengan rata-rata rasio sebesar 33,41% dalam periode
13
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
2003-2013, meskipun pada periode 2006-2007 terjadi rasio belanja pembangunan lebih besar (49,42%; 58,68%) dari belanja rutin (41,22%; 41,32%). Dapat disimpulkan bahwa Pemerintah KBU masih lebih memperioritaskan belanjanya pada belanja rutin daripada belanja pembangunan. Semakin tinggi presentase yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti presentase belanja pembangunan yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Pemerintah KBU perlu menekan belanja operasi seperti belanja pegawai dan belanja barang yang terlalu besar guna dialokasikan untuk belanja modal. Hal ini dianggap perlu untuk diperhatikan walaupun patokan untuk besarnya proporsi ideal belanja rutin dan belanja pembangunan terhadap APBD belum ada. Namun sebagai daerah yang berada di negara berkembang pemerintah daerah seharusnya meningkatkan belanja pembangunan dalam menyediakan sarana prasarana yang mendukung untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik.
Gambar 3. Perkembangan Rasio Pertumbuhan PAD (PPAD), Rasio Belanja Rutin (RBR) dan Rasio Belanja Modal (RBM) Kabupaten Barito Utara 2003-2013 Sumber: Diolah dari LKPD Kabupaten Barito Utara Tahun 2003-2013 Debt Sevice Coverage Ratio (DSCR) Jika Pemerintah KBU melakukan pinjaman untuk membiayai pemerintahannya, jika diperlukan pinjaman dan sepanjang prosedur dan pelaksanaannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka dari hasil perhitungan yang ditunjukkan pada Tabel I (sebelah kiri) masing memungkinkan melakukan pinjaman pada tahun 2014, karena rata-rata DSCR selama lima tahun terakhir rata-rata sebesar 37,62, lebih besar dari DSCR minimal yang ditentukan sebesar 2,5. Dana pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. 14
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
Selain itu, daerah dimungkinkan pula melakukan pinjaman dengan tujuan lain, seperti mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus kas daerah. Pinjaman daerah ini perlu disesuaikan dengan kemampuan daerah, karena dapat menimbulkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun-tahun berikutnya, diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam pengelolaan pinjaman daerah, sehingga perlu didukung dengan keterampilan perangkat daerah dalam mengelola pinjaman daerah untuk meningkatkan kemampuan objektif dan disiplin pemerintah daerah melaksanakan pengembalian pinjaman. (PP 107 Tahun 2000) Indeks Kapasitas Fiskal Peta Kapasitas Fiskal dapat digunakan atau sebagai dasar bagi pemerintah pusat untuk: (1) pengusulan Pemerintah Daerah sebagai penerima hibah; (2) penilaian atas usulan pinjaman daerah; (3) penentuan besaran dana pendamping, jika dipersyaratkan; dan/atau (4) hal lain yang diatur secara khusus dalam ketentuan peraturan perundangundangan (Permenkeu Nomor 226/PMK.07/2012). Indeks Kapasitas Fiskal (IKF) Pemerintah KBU periode 2008-2013 selalu masuk dalam kategori daerah yang mempunyai kemampuan fiskal sangat tinggi, ditunjukkan pada Tabel I (sebelah kanan) rata-rata IKF KBU selalu di atas 2. Umumnya daerah-daerah yang struktur perekonomiannya dominan pada sektor primer kategori pertambangan dan penggalian untuk IKF memang tinggi karena relatif daerah-daerah ini menerima dana bagi hasil yang lebih besar. Tabel I Rekap Perhitungan DSCR Tahun 2009-2013 dan Rekap Indeks Kapasitas Fiskal Tahun 2008-2013 Kabupaten Barito Utara
TAHUN
DEBT SERVICE COVERAGE RATIO (PAD + BD + DAU) - TOTAL (PA + BW BUNGA + BP) (Rp)
2008
INDEKS KAPASITAS FISKAL DSCR
IKF
KETERANGAN
(Rp) -
-
-
2,5415
Sangat Tinggi
2009
21.790.070.652,00
15.589.654,00
13,97
2,8844
Sangat Tinggi
2010
77.948.489.864,00
22.692.213,00
34,35
2,2830
Sangat Tinggi
2011
112.140.210.478,00
8.513.943,00
131,71
2,3572
Sangat Tinggi
2012
125.792.416.726,00
274.337.155,00
4,59
2,4046
Sangat Tinggi
2013
182.341.043.006,00
526.263.651,00
3,46
2,4046
Sangat Tinggi
37,62 2,4792
Sangat Tinggi
Rata-rata Sumber: Diolah dari LKPD Kabupaten Barito Kuala Tahun 2009-2013.
Sumber: Permenkeu (PMK) tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah Tahun 2008-2013
15
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
Pembahasan Umum Kemandirian daerah antara lain dapat dicapai melalui peningkatan daya saing, dimana daya saing tidak hanya berorientasi pada indikator perekonomian saja, melainkan lebih luas artinya meliputi seluruh upaya mengelola sumberdaya yang dimiliki. Tantangan ke depan yang akan dihadapi semakin berat, dimana globalisasi ekonomi menjadikan arus barang, uang, orang dan jasa bergerak lintas daerah-regional-negara seperti tanpa batas (borderless). Kemampuan bersaing (daya saing) menjadi ujung tombak agar sektor-sektor ekonomi dapat tetap tumbuh dan berkembang dan memberikan kesejahteraan masyarakat. Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki diskresi yang besar dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya berdasarkan prioritas yang ditentukan. Sebagai daerah yang kaya akan sumberdaya alam Pemerintah Kabupaten Barito
Utara (KBU) masih belum optimal memanfaatkan era otonomi daerah serta memanfaatkan peluang dari perekonomian daerah yang relatif cukup baik dan stabil untuk menggali dan mengoptimalkan potensi daerah untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerah yang cenderung menurun dalam satu dekade (2003-2013) otonomi daerah di KBU. Hal lain yang juga bisa ditempuh oleh Pemerintah KBU adalah mengoptimalkan peran BUMD untuk upaya memberikan kontribusi kepada PAD. Pengelolaan BUMD dilakukan dengan pengawasan dan pembinaan secara langsung oleh pemangku kebijakan yang dilakukan oleh kepala daerah selaku pemegang otoritas tertinggi di pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerah selaku pemegang otoritas dapat melakukan intervensi kebijakan dalam konteks yang positif terkait kinerja dari BUMD melalui dewan pengawas. Dalam pengelolaan PAD Pemerintah KBU dapat disimpulkan sangat efektif dan sangat efisien serta pertumbuhan PAD yang cenderung terus meningkat, namun perkembangan dan pertumbuhan yang berfluktuasi cukup besar dari tahun ke tahun terutama dari sisi efisiensi dan pertumbuhan PAD perlu menjadi perhatian untuk meminimalkan ketidakpastian penerimaan PAD yang pada akhirnya dapat mengganggu rencana dan program pembangunan di KBU. Walaupun belum ada patokan ideal untuk besarnya proporsi antara belanja rutin (termasuk di dalamnya belanja pegawai) dengan belanja pembangunan (modal atau invetasi), perlu juga diperhatikan bahwa belanja rutin yang dilakukan oleh Pemerintah KBU adalah belanja rutin yang berkualitas. Seperti untuk belanja pegawai (PNS), hampir 50% PNS di KBU adalah guru (2.331 orang PNS adalah guru dari 4.736 seluruh PNS). 16
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
Banyak pihak yang menyoroti dan mengkritisi mengenai jumlah Belanja Pegawai yang dinilai terlalu besar dalam APBD. Pihak yang mengkritisi tersebut berargumen bahwa hal ini mengakibatkan berkurangnya alokasi untuk belanja pembangunan, yang dipandang lebih mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pemenuhan pelayanan publik kepada masyarakat. Hal ini sebenarnya bisa dikompromikan, apabila ditinjau dari sisi kewajiban pemerintah daerah dalam peraturan perundangan bahwa belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dengan prioritas kepada pelaksanaan urusan daerah yang sifatnya wajib, salah satunya bidang pendidikan, maka belanja untuk gaji guru sebenarnya mendukung pencapaian tujuan tersebut. Pembebanan gaji guru bersifat wajib dalam rangka menjamin kelangsungan pemenuhan pendanaan pelayanan dasar masyarakat dalam bidang pendidikan. Pembebanan gaji guru menjadi sangat krusial karena guru adalah ujung tombak langsung dalam pemenuhan pelayanan dasar pendidikan. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada era otonomi daerah Pemerintah Kabupaten Barito Utara Provinsi Kalimantan Tengah periode 2003-2013 dari sisi pendapatan untuk menuju kemandirian fiskal cenderung menunjukkan kinerja yang kurang baik, walaupun indeks kapasitas fiskal berkategori sangat tinggi. Dari sisi pengelolaan PAD menunjukkan kecenderungan pengelolaan sudah sangat baik dengan kecenderungan pertumbuhan PAD dengan tren positif. Sedangkan dari sisi kualitas belanja daerah (quality of spending) kecenderungan masih belum berkualitas, dimana prioritas belanja modal/pembangunan yang masih sangat kurang jika dibandingkan belanja rutin yang cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Disarankan untuk Pemerintah Kabupaten Barito Utara untuk mengoptimalkan pengelolaan PAD terutama pajak dan retribusi daerah dan mengoptimalkan BUMD untuk menghasilkan laba agar menambah PAD serta menselaraskan porsi belanja fungsi dalam APBD dengan sasaran strategis daya saing daerah guna mendukung kinerja pembangunan.
17
PROSIDING MEBC 2016
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
GLOBAL NETWORKING: BUILD UP BUSINESS COMPETITIVENESS
DAFTAR PUSTAKA BPS Kabupaten Barito Utara. 2015a. Statistik Daerah Kabupaten Barito Utara 2015. Muara Teweh: Nopember. (http://barutkab.bps.go.id/, diakses Januari 2016) BPS Kabupaten Barito Utara. 2015b. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Kabupaten Barito Utara 2010-2014. Muara Teweh: Oktober. (http://barutkab.bps.go.id/, diakses Januari 2016) Halim, Abdul dan M Syam Kusufi. 2012. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Empat. Jakarta: Salemba Empat. Kementerian Keuangan. 2013. Deskripsi dan Analisis APBD 2013. Jakarta: Dirjen Perimbangan Keuangan. (http://www.djpk.depkeu.go.id/ebook/buku/book/16deskripsi-dan-analisis-apbd-2013/2-buku, diakses Januari 2016) Kementerian Keuangan. 2014. Kajian atas Kebijakan Penguatan Daya Saing Daerah dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta: Dirjen Perimbangan Keuangan. (http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/opac/themes/bappenas4/templateDetail.jsp ?id=152720&lokasi=lokal, diakses Januari 2016). Mardiasmo. 2006. Perwujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik: Suatu Sarana Good Governance. Jurnal Akuntansi Pemerintah. Vol.2 No.1: 1-17. Menteri Dalam Negeri RI. 2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta. Pemerintah Provinsi Jawa Timur. 2015. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Provinsi Jawa Timur Tahun 2014. Surabaya. (http://jatimprov.go.id/ppid/, diakses Februari 2016). Republik Indonesia. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 204. Jakarta: Sekretariat Kabinet. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125. Jakarta: Sekretariat Kabinet. Shah, Anwar. 1994. The Reform of Intergovernmental Fiscal Relations in Developing and Emerging Market Economies. Policy Reserarch of the World Bank. Washington DC: The World Bank. (http://213.154.74.164/invenio/record/12291/files/Shah.pdf, diakses Februari 2016) Sumardjoko, Imam dan Andry Irwanto. 2015. Peran Transfer Dana Penyesuaian dan Dana Perimbangan Terhadap Peningkatan Belanja Modal Daerah untuk Menciptakan Quality Spending. Makalah Simposium Nasional Akuntansi XVIII IAI-KPd. Universitas Sumatera Utara: Medan 16-19 September. Utama, Sampurna Budi dan Syahrul. 2011. Analisis Pengaruh Unconditional Grants, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Pemerintah Daerah: Studi Empiris pada Kabupaten/Kota di Indonesia. Kajian Akademis Tahun 2011. Jakarta: BPPK Kemenkeu. (www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/, diakses Januari 2016). 18