UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI DAYA PENETRASI ETIL PMETOKSISINAMAT HASIL ISOLASI DARI RIMPANG KENCUR (KAEMPFERIA GALANGA L.) PADA SEDIAAN SALEP, KRIM, DAN GEL
SKRIPSI
CHARINNA AGUS PRABAWATI 1111102000057
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA OKTOBER 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI DAYA PENETRASI ETIL PMETOKSISINAMAT HASIL ISOLASI DARI RIMPANG KENCUR (KAEMPFERIA GALANGA L.) PADA SEDIAAN SALEP, KRIM, DAN GEL
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
CHARINNA AGUS PRABAWATI 1111102000057
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA OKTOBER 2015
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah benar hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan benar.
Nama
: Charinna Agus Prabawati
NIM
: 1111102000057
Tanda Tangan :
Tanggal
iii
:16 Oktober 2015
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama NIM Program Studi Judul Skripsi
: : : :
Charinna Agus Prabawati 1111112000057 Farmasi Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi dari Rimpang Kencur (Kaempferia Galanga L.) pada Sediaan Salep, Krim, dan Gel
Disetujui oleh
Pembimbing I
Pembimbing II
Yuni Anggraeni, M. Farm., Apt. NIP. 198310282009012008
Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. NIP. 197806302006042001
Mengetahui, Kepala Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah jakarta
Yardi, Ph.D., Apt. 197411232008011014
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh: Nama : Charinna Agus Prabawati NIM : 1111102000057 Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi dari Rimpang Kencur (Kaempferia Galanga L.) pada Sediaan Salep, Krim, dan Gel
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
DEWAN PENGUJI
Pembimbing 1
: Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt.
(
)
Pembimbing 2
: Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt.
(
)
Penguji 1
: Lina Elfita, M.Si., Apt.
(
)
Penguji 2
: Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt.
(
)
Ditetapkan di Tanggal
: Ciputat : 16 Oktober 2015
v
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul Skripsi
: : :
Charinna Agus Prabawati Farmasi Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) pada Sediaan Salep, Krim, dan Gel
Etil p-metoksisinamat (EPMS) merupakan senyawa isolat terbesar dari ekstrak minyak atsiri kencur (Kaempferia galanga L.) yang memiliki aktivitas antiinflamasi. Pada penelitian ini EPMS diformulasikan ke dalam tiga bentuk sediaan setengah padat untuk tujuan terapi lokal antiinflamasi. Efek optimal dari sediaan yang telah dibuat dapat dinilai dari daya penetrasi obat melalui kulit teratas melalui uji penetrasi secara in vitro. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat profil pelepasan EPMS dari pembawanya, mempelajari pengaruh perbedaan formulasi sediaan tehadap kecepatan penetrasi EPMS melalui membran difusi, dan menentukan sediaan dengan daya penetrasi EPMS tertinggi. EPMS diisolasi dari ekstrak n-heksan kencur melalui tahap pemisahan kristal dan pencucian kristal. Kemurnian isolat kristal EPMS di uji dengan metode KLT, titik leleh dan Kromatografi Gas Spetrofotomeri Massa (GC-MS). Kristal EPMS hasil isolasi kemudian diformulasikan ke dalam sediaan salep, krim dan gel dengan kadar 1% pada masing-masing sediaan. Kadar EPMS dalam sediaan ditetapkan dengan metode Spektrofotometri UV-Vis. Pengujian penetrasi in vitro dilakukan dengan alat sel difusi franz menggunakan membran difusi berupa kulit tikus galur Sprague Dawley. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kristal isolat dari kencur adalah murni EPMS 100%. Kadar EPMS dalam sediaan salep, krim, dan gel berturut-turut yaitu 0,86%, 1,03% dan 1,00%. Persentase jumlah kumulatif EPMS yang terpenetrasi per luas area pada jam ke-6 dari sediaan salep, krim dan gel berturut-turut yaitu 49,71 ± 3,85%, 77,29 ± 3,01%, dan 89,98 ± 4,82%. Kecepatan penetrasi EPMS pada jam ke-6 dari sediaan salep, krim, dan gel berturut-turut yaitu 45,22 ± 3,50 µgcm-2jam-1, 84,39 ± 3,29 µgcm-2jam-1 dan 98,24 ± 5,26 µgcm-2jam-1. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sediaan gel memiliki daya penetrasi tertinggi diikuti sediaan krim dan salep. Kata kunci
:
EPMS, kencur (Kaempferia galanga L.), krim, gel, salep, penetrasi, sel difusi franz
vi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT Name Study Program Title
: : :
Charinna Agus Prabawati Pharmacy Penetration Ability Evaluation of Ethyl pMethoxycinnamate that Isolated from Kencur Rhizome (Kaempferia galanga L.) in The Ointment, Cream and Gel Dosage Forms
Ethyl p-methoxycinnamate (EPMC) is the main isolate compound from essensial oil of kencur (Kaempferia galanga L.) extract that has anti-inflammatory activity. In this study, EPMC was formulated in the three kinds of semi solid dosage forms with the purpose of local therapy. The optimum effect of semi solid dosage forms that had been made can assessed from penetration ability of the drugs through top skin layer by in vitro penetration test. This research aims to see the releasing profile of EPMC from its carriers, studied influence of different formulation toward flux penetration of EPMC through diffusion membrane, and deciding the kind of dosage form that has the highest penetration ability of EPMC. EPMC was isolated from n-hexane extract of kencur rhizome through separation of crystals and crystal purification stages. The purity of isolate EPMC crystals was examined by TLC, melting point and Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC-MS) method. The isolate EPMC crystals was prepared in ointment, cream and gel dosage forms with 1% concentration of EPMC respectively. EPMC concentration in all of the dosage forms was determined by spectrophotometry UV-Vis method. Penetration ability test was examined by in vitro franz diffusion cell test uses rats Sprague Dawley strain skin as membrane diffusion. The results of this research shown that the isolate crystals of kencur is pure 100% EPMC. The percentage concentration of EPMC in ointment, cream and gel were 0,86%, 1,03% and 1,00% respectively. The percentage total cumulative penetration of EPMC from ointment, cream and gel preparation at 6th hour were 49,71 ± 3,85%, 77,29 ± 3,01%, and 89,98 ± 4,82% respectively. Flux penetration of EPMC from ointment, cream and gel preparation at 6th hour were 45,22 ± 3,50 µgcm-2jam-1, 84,39 ± 3,29 µgcm-2jam-1 and 98,24 ± 5,26 µgcm-2jam-1 respectively. Based on the result, it can be concluded that penetration ability of gel dosage form is higher than ointment and cream. Keywords
:
EPMC, kencur (Kaempferia galanga L.), cream, gel, ointment, penetration, franz diffusion cell
vii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) pada Sediaan Salep, Krim, dan Gel”. Shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada junjungan, Nabi Muhammad SAW, teladan bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi tugas akhir guna mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada penulisan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari bimbingan, arahan, bantuan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segenap kerendahan dan kesungguhan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Bapak Dr. Arif Sumantri S.K.M., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Yardi, Ph.D., Apt., selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. Sebagai Pembimbing I dan Ibu Ismiarni Komala, Ph.D., Apt sebagai Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, ilmu, nasihat serta dedikasinya selama masa penelitian hingga penulisan skripsi.
4.
Bapak Surya, Bapak Mono, dan Bapak Endang dari PT. Iratco yang telah membantu dalam memperoleh bahan penelitian.
5.
Seluruh dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan.
6.
Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Agus Sutaji dan Ibunda Lusia Suratini yang senantiasa memberikan cinta dan kasih sayang, doa yang tidak pernah terputus serta dukungan moral dan materi terbaiknya untuk penulis. viii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7.
drh. Bima Febryan Nugroho yang telah membantu menyiapkan bahan penelitian, senantiasa memberikan nasihat dan semangat, doa yang tidak pernah terputus serta dukungan moral untuk penulis.
8.
Seluruh anggota keluarga, Tante Herma, Om Eko, Nenek dan Kakek, Bayu, Luthfi, Shofi yang senantiasa memberi kasih sayang, nasihat, hiburan serta dukungan baik moral maupun materi untuk penulis.
9.
Segenap laboran FKIK yang telah banyak membantu penulis melakukan penelitian di laboratorium.
10. Happy, Beryl, Arum dan Kak Mentari yang selalu ada dan tak henti memberikan semangat serta saran kepada penulis selama masa penelitian. 11. Teman-teman seperjuangan “Geng Unyils” (Diyah dan Robbani) atas kebersamaan, bantuan, dan saran yang telah diberikan kepada penulis. 12. Rekan-rekan Mahasiswai S1 Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2011, yang telah menjadi bagian penting hidup penulis selama menjalankan perkuliahan. 13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah membantu dengan ikhlas baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penelitian dan penulisan skripsi. Semoga semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT.Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, penulis berharap semoga ilmu dan pengetahuan yang penulis tuangkan dalam skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi rekan sejawat dan semua pihak yang membutuhkan, serta menjadi keberkahan tersendiri bagi penulis.
Jakarta, Oktober 2015
Penulis,
ix
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Charinna Agus Prabawati
NIM
: 1111102000057
Program Studi
: Strata-1 Farmasi
Fakultas
: Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Jenis Karya
: Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul :
EVALUASI DAYA PENETRASI ETIL P-METOKSISINAMAT HASIL ISOLASI RIMPANG KENCUR (KAEMPFERIA GALANGA L.) DARI SEDIAAN SALEP, KRIM DAN GEL
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain, yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian persetujuan publikasi skripsi/karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Ciputat Pada tanggal: 16 Oktober 2015 Yang menyatakan,
(Charinna Agus Prabawati)
x
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i HALAMAN JUDUL ........................................................................................... ii HALAMAN PENYATAAN ORISINILITAS .................................................. iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iv HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. v ABSTRAK .......................................................................................................... vi ABSTRACT ....................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................... x DAFTAR ISI ....................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xv DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1
Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah .......................................................................... 3
1.3
Tujuan Penelitian ........................................................................... 3
1.4
Manfaat Penelitian ......................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4 2.1
Kencur ............................................................................................ 4 2.1.1 Taksonomi Tumbuhan ........................................................ 4 2.1.2 Habitat Tumbuh .................................................................. 5 2.1.3 Morfologi Tanaman ............................................................ 5 2.1.4 Kandungan Kimia dan Kegunaan ....................................... 6
2.2
Senyawa Etil p-Metoksisinamat dan Aktivitasnya ........................ 7
2.3
Kulit ............................................................................................... 8 2.3.1 Anatomi Kulit ..................................................................... 8 2.3.2 Fisiologi dan Fungsi Kulit ................................................ 11
2.4
Penetrasi Obat Melalui Kulit ........................................................ 14 xi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5
Sediaan Salep ............................................................................... 16
2.6
Sediaan Krim ................................................................................ 18
2.7
Sediaan Gel .................................................................................. 21
2.8
Formulasi Sediaan Setengah Padat .............................................. 24 2.8.1 Lanolin Hidrat ................................................................... 24 2.8.2 Setil Alkohol ..................................................................... 25 2.8.3 Vaselin Album .................................................................. 25 2.8.4 Asam Stearat ..................................................................... 26 2.8.5 Isopropil Miristat .............................................................. 26 2.8.6 Minyak Zaitun .................................................................. 26 2.8.7 Vitamin E .......................................................................... 27 2.8.8 Karbopol 940 .................................................................... 27 2.8.9 Natrium Metabisulfit ........................................................ 28 2.8.10 Metil Paraben dan Propil Paraben .................................... 29 2.8.11 Trietanolamin .................................................................... 30 2.8.12 Propilen Glikol .................................................................. 30 2.8.13 Alkohol 96 % .................................................................... 31
2.9
Ekstrak dan Ekstraksi ................................................................... 32 2.9.1 Maserasi ............................................................................ 33 2.8.7 Vaccum Rotary Evaporator .............................................. 33
2.10 Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro Menggunakan Sel Difusi Franz ............................................................................................. 34 2.11 Spektrofotometri UV-Vis ............................................................. 35 2.12 Kromatografi Lapis Tipis ............................................................. 36 2.13 Kromatografi Gas Spektrofotometri Massa (GC-MS) ................. 38 BAB 3 METODE PENELITIAN .................................................................... 40 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................... 40
3.2
Alat dan Bahan ............................................................................. 40
3.3
3.2.1
Alat ................................................................................... 40
3.2.2
Bahan ................................................................................ 40
Prosedur Kerja .............................................................................. 41 3.3.1 Isolasi Kristal Etil p-Metoksisinamat ............................... 41 xii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.1.1 Pengambilan Sampel .......................................... 41 3.3.1.2 Penyiapan Simplisia ........................................... 41 3.3.1.3 Ekstraksi ............................................................. 42 3.3.1.4 Isolasi Kristal Etil p-Metoksisinamat dari ekstrak Kencur ................................................................ 42 3.4
3.5
3.6
Identifikasi dan Uji Kemurnian Kristal Etil p-Metoksisinamat ... 42 3.4.1
Pemeriksaan Organoleptis ................................................ 42
3.4.2
Pengujian Kromatografi Lapis Tipis (KLT) .................... 43
3.4.3
Pengujian Titik Leleh ....................................................... 43
3.4.4
Pengujian Kromatografi Gas Spektrometri Massa ........... 43
Pembuatan Sediaan ...................................................................... 43 3.5.1
Sediaan Salep ................................................................... 44
3.5.2
Sediaan Krim .................................................................... 44
3.5.3
Sediaan Gel ...................................................................... 45
Penetapan Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan .............. 46 3.6.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Metanol ............................................................................. 46 3.6.2 Pengukuran Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan 47
3.7
Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro .......................................... 47 3.7.1 Penyiapan Membran Difusi .............................................. 47 3.7.2 Pembuatan Larutan EDP ................................................... 48 3.7.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Larutan EDP ..................................................................... 48 3.7.4 Uji Penetrasi Sediaan ........................................................ 49 3.7.5 Perhitungan Jumlah Kumulatif dan Kecepatan Penetrasi Zat Aktif ............................................................................ 49
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 51 4.1
Isolasi kristal Etil p-Metoksisinamat ............................................ 51 4.1.1 Pembuatan Ekstrak Kencur ............................................... 51 4.1.2 Isolasi kristal Etil p-Metoksisinamat dari Ekstrak Kencur 52
4.2
Identifikasi dan Uji Kemurnian Kristal Etil p-Metoksisinamat ... 52 4.2.1 Pemeriksaan Organoleptis ................................................ 53 4.2.2 Pengujian Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ..................... 53 xiii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2.3 Pengujian Titik Leleh ....................................................... 54 4.2.4 Pengujian Kromatografi Gas Spektrofotometri Massa ..... 54 4.3
Pembuatan Sediaan ...................................................................... 56 4.3.1 Pembuatan Sediaan Salep ................................................. 56 4.3.2 Pembuatan Sediaan Krim ................................................. 57 4.3.3 Pembuatan Sediaan Gel .................................................... 58
4.4
Penetapan Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan ............. 58 4.4.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Metanol ............................................................................. 59 4.4.2 Pengukuran Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan 59
4.5
Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro .......................................... 60 4.5.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Larutan EDP ..................................................................... 60 4.5.2 Penyiapan Membran Sel Difusi dari Kulit Tikus ............. 60 4.5.3 Pengujian Penetrasi Etil p-Metoksisinamat ...................... 61 4.5.4 Jumlah Kumulatif Zat Aktif Terpenetrasi Per Luas Area . 63 4.5.5 Fluks Penetrasi .................................................................. 66
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 68 5.1
Kesimpulan .................................................................................. 68
5.2
Saran ............................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 69
xiv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) ...................................... 4 Gambar 2.2 Struktur Etil p-Metoksisinamat ......................................................... 7 Gambar 2.3 Anatomi Kulit ................................................................................... 9 Gambar 2.4 Rute Penetrasi Obat Melalui Kulit .................................................. 15 Gambar 2.5 Kompartemen Sel Difusi Franz ...................................................... 34 Gambar 2.6 Skema Kromatografi Lapis Tipis .................................................... 38 Gambar 4.1 Serbuk Simplisia Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) ....... 51 Gambar 4.2 Kristal Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi .................................... 53 Gambar 4.3 Spot Senyawa Etil p-Metoksisinamat pada Plat Silica Gel F254nm Visualisasi Sinar UV λ 254 nm ....................................................... 54 Gambar 4.4 Kromatogram Standar Etil p-Metoksisinamat ................................ 55 Gambar 4.5 Kromatogram Isolat Kristal Etil p-Metoksisinamat ........................ 56 Gambar 4.6 Sediaan Salep, Krim, dan Gel dengan Kandungan EPMS 1% ....... 58 Gambar 4.7 Grafik Jumlah Kumulatif Etil p-Metoksisinamat yang Berdifusi Per Luas Area .................................................................................. 63 Gambar 4.8 Grafik Fluks Penetrasi Etil p-Metoksisinamat yang Berdifusi Tiap Satuan Waktu................................................................................... 67
xv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1 Formula Sediaan Salep ...................................................................... 44 Tabel 3.2 Formula Sediaan Krim Struktur Etil p-Metoksisinamat ................... 44 Tabel 3.3 Formula Sediaan Gel ......................................................................... 45 Tabel 4.1 Jumlah Kumulatif Difusi Etil p-Metoksisinamat Per Luas Area dari Sediaan Salep, Krim dan Gel ............................................................ 63 Tabel 4.2 Persentase Kumulatif Difusi Etil p-Metoksisinamat Per Luas Area .. 64 Tabel 4.3 Fluks Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Tiap Satuan Waktu .............. 66
xvi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Halaman Kerangka Penelitian ...................................................................... 76
Lampiran 2.
Bagan Alur Ekstraksi Rimpang Kencur ....................................... 77
Lampiran 3.
Bagan Alur Rekristalisasi dan Karakterisasi Kristal EPMS ......... 78
Lampiran 4.
Gambar Alat Penelitian ................................................................ 79
Lampiran 5.
Gambar Uji Difusi ........................................................................ 79
Lampiran 6.
Perhitungan Rendemen Kristal...................................................... 80
Lampiran 7.
Nilai Luas Puncak dan Persentase |Kadar Etil p-Metoksisinamat 80
Lampiran 8.
Data Hasil Uji Titik Leleh ............................................................. 81
Lampiran 9.
Scanning Panjang Gelombang Maksimum Etil p-Metoksisinamat dalam Metanol .............................................................................. 81
Lampiran 10. Data Absorbansi Kurva Standar EPMS dalam Metanol ............... 81 Lampiran 11. Kurva Standar Etil p-Metoksisinamat dalam Metanol ................. 82 Lampiran 12. Data Hasil Penetapan Kadar EPMS dalam Sediaan ..................... 82 Lampiran 13. Scanning Panjang Gelombang Maksimum Etil p-metoksisinamat dalam Larutan EDP ...................................................................... 83 Lampiran 14. Data Absorbansi Kurva Standar EPMS dalam Larutan EDP ....... 83 Lampiran 15. Kurva Standar Etil p-Metoksisinamat dalam Larutan EDP ......... 84 Lampiran 16. Data Hasil Uji Difusi Salep .......................................................... 84 Lampiran 17. Data Hasil Uji Difusi Krim ........................................................... 85 Lampiran 18. Data Hasil Uji Difusi Gel ............................................................. 85 Lampiran 19. Data Fluks Penetrasi Salep ........................................................... 86 Lampiran 20. Data Fluks Penetrasi Krim ............................................................ 87 Lampiran 21. Data Fluks Penetrasi Gel .............................................................. 87 Lampiran 22. Uji Statistik Anova Persentase EPMS Terpenetrasi Perluas Area 88 Lampiran 23. Uji Statistik Anova Fluks Penetrasi .............................................. 92 Lampiran 24. Contoh Perhitungan Kadar EPMS dalam Sediaan Gel ................. 96 Lampiran 25. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Zat Aktif Per Luas Area Sampel 1 Sediaan Salep Pada Menit ke 10 .................................. 98 Lampiran 26. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Zat Aktif Per Luas Area Sampel 1 Sediaan Salep Pada Menit ke 30 .................................. 99
xvii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 27. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Zat Aktif Per Luas Area Sampel 1 Sediaan Salep Pada Menit ke 30 ................................ 100 Lampiran 28. Surat Keterangan Sehat Hewan Uji .............................................101
xviii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan salah satu dari lima jenis
tumbuhan yang dikembangkan sebagai tanaman obat asli Indonesia. Kencur merupakan tanaman obat yang bernilai ekonomis cukup tinggi sehingga banyak dibudidayakan. Banyaknya manfaat kencur memungkinkan pengembangan pembudidayaannya dilakukan secara intensif yang disesuaikan dengan produk akhir yang diinginkan (Rostiana et al., 2005). Penelitian Hasanah dkk (2011) melaporkan bahwa ekstrak rimpang kencur ternyata memiliki aktivitas antiinflamasi. Dalam studi in vitro yang dilakukan oleh Umar et al., (2012) menyatakan bahwa efek antiinflamasi kencur terutama berasal dari komponen aktifnya yaitu etil p-metoksisinamat (EPMS). EPMS secara non-selektif menghambat aktivitas enzim COX-1 dan COX-2, dimana enzim ini berguna dalam pembentukan prostaglandin yang merupakan mediator inflamasi (Gosal et al., 2012). Menurut penelitian terbaru yang dilakukan Umar et al., (2014). EPMS yang diisolasi dari kencur memiliki efek analgesik dan antiinflamasi yang signifikan melalui mekanisme utama penghambatan sintesis de novo cytokines pro-inflamatory, meliputi TNF-α dan IL-1. Efek ini juga melibatkan penghambatan fungsi vital sel endogen seperti proliferasi, migrasi dan sintesis dari vaskular endotel growth factor. Dengan demikian, EPMS dapat menjadi precursor potensial untuk pengembangan agen terapi dengan potensi untuk mengobati penyakit yang melibatkan peradangan. Berdasarkan hasil uji efektivitas antiinflamasi in vitro dengan metode uji inhibisi denaturasi Bovine Serum Albumin (BSA) yang dilakukan oleh Mufidah (2014) melaporkan bahwa EPMS memiliki aktivitas antiinflamasi dengan nilai IC50 34,9 ppm. Hal ini turut memvalidasi potensi EPMS sebagai precursor agen terapi antiinflamasi sebagaimana dijelaskan pada penelitian William et al., (2008) bahwa suatu senyawa dianggap memiliki aktivitas antiinflamasi jika memberikan % inhibisi > 20% dengan rentang konsentrasi uji 50-0,035 ppm. 1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Banyaknya penelitian yang memperkuat bukti bahwa EPMS memiliki aktivitas antiinflamasi mendasari dilakukannya formulasi sediaan antiinflamasi dengan zat aktif EPMS hasil isolasi dari ekstrak kencur. Bentuk sediaan setengah padat dipilih karena dinilai memiliki efek samping yang lebih sedikit dan kemampuan melekat yang cukup baik dan tahan lama serta pengaplikasiannya yang mudah dibandingkan dengan sediaan topikal lainnya seperti, linimen, lotio dan bedak (Asmara dkk, 2012). Selain itu, pemilihan bentuk sediaan ini juga mengacu pada bentuk sediaan anti inflamasi topikal yang beredar di pasaran. Menurut ISO Indonesia Vol. 49 (2014-2015), sediaan topikal antiinflamasi terbanyak di pasaran yaitu bentuk sediaan krim dengan persentase sebesar 79%, sediaan gel 11%, sediaan salep hanya 2% dan 18% sisanya terdiri dari bentuk sediaan lainnya. Pemilihan bentuk salep, krim dan gel memiliki tujuan untuk terapi lokal inflamasi. Tujuan terapi lokal hanya membutuhkan penetrasi obat melalui kulit pada organ atau jaringan tertentu tubuh yang mengalami gangguan, dengan harapan hanya sedikit atau tidak ada obat yang terakumulasi di sistemik (Ranade et. al, 2004). Selain itu ketiga bentuk sediaan tersebut merupakan suatu alternatif untuk menghindari variabilitas ketersediaan hayati obat pada penggunaan peroral (Ramadon, 2012). Salah satu cara untuk melihat efek yang optimal dari sediaan setengah padat adalah dengan melihat penetrasi obat melalui lapisan kulit teratas sehingga efek farmakologinya dapat dirasakan (Iswandana, 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi penetrasi obat melalui kulit antara lain profil pelepasan obat dari pembawanya, afinitas zat aktif terhadap pembawa, kelarutan zat aktif dalam pembawa dan pH pembawa. Pada penelitian Iswandana (2011) yang mengacu pada artikel yang ditulis oleh Witt, K & Buck, D (2003) menyatakan bahwa penelitian daya penetrasi secara in vitro merupakan cara termudah dan hemat dalam mengkarakterisasi absorpsi dan penetrasi obat melalui kulit. Hal tersebut diperlukan untuk pengembangan formula sediaan setengah padat agar diperoleh formula yang terbaik. Berdasarkan latar belakang tersebut maka akan dilakukan evaluasi daya penetrasi EPMS dari sediaan salep, krim dan gel. Pengujian daya penetrasi dilakukan terhadap tiga formulasi sediaan tersebut menggunakan alat sel difusi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
franz dengan tujuan untuk membandingkan daya penetrasi dari ketiga bentuk sediaan. Selanjutnya akan dihitung nilai persentase kumulatif dan kecepatan penetrasi EPMS dari sediaan, kemudian ditentukan sediaan yang paling baik sebagai pembawa EPMS berdasarkan parameter persentase kumulatif zat aktif terpenetrasi per luas area dan kecepatan penetrasi zat aktif melalui membran difusi.
1.2
Rumusan Masalah a.
Bagaimanakah
profil
pelepasan
etil
p-metoksisinamat
yang
terkandung dalam sediaan salep, krim, dan gel? b.
Bagaimanakah pengaruh perbedaan formulasi sediaan salep, krim, dan gel terhadap kecepatan penetrasi etil p-metoksisinamat melalui membran difusi?
c.
Sediaan setengah padat manakah yang memiliki daya penetrasi senyawa etil p-metoksisinamat tertinggi?
1.3
Tujuan Penelitian a.
Melihat profil pelepasan senyawa aktif etil p-metoksisinamat pada sediaan salep, krim dan gel.
b.
Mempelajari pengaruh perbedaan formulasi sediaan salep, krim dan gel terhadap kecepatan penetrasi etil p-metoksisinamat melalui membran difusi.
c.
Menentukan sediaan setengah padat yang memiliki daya penetrasi senyawa aktif etil p-metoksisinamat tertinggi.
1.4
Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a.
Meningkatkan
nilai
manfaat
isolat
rimpang
kencur
etil
p-
metoksisinamat sebagai precursor agen terapi untuk mengobati penyakit yang melibatkan peradangan. b.
Meningkatkan efektivitas terapi lokal inflamasi senyawa aktif etil pmetoksisinamat. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kencur
2.1.1 Taksonomi Tumbuhan (USDA) Kedudukan
kencur
(Kaempferia
galanga
L.)
dalam
sistematika
(Taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) [Sumber : koleksi pribadi]
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Traecheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Liliopsida (Berkeping satu/monokotil)
Sub Kelas
: Commenlinidae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae (Suku jahe-jahean)
Genus
: Kaempferia
Spesies
: Kaempferia galanga Linn.
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
2.1.2 Habitat Tumbuh Kencur merupakan terna kecil yang tumbuh subur di daerah dataran rendah atau pegunungan yang tanahnya gembur dan tidak terlalu banyak air. Kencur tumbuh dan berkembang pada musim tertentu, yaitu pada musim penghujan. Kencur dapat ditanam di dalam pot atau di kebun yang cukup sinar matahari, tidak terlalu basah dan di tempat terbuka (Depkes RI, 1987) Kencur tumbuh dengan baik pada tanah yang gembur, sedikit berpasir dan subur. Namun kencur cukup toleran terhadap tanah yang tidak terlalu subur. Bahkan pada musim kemarau panjang, kencur masih dapat bertahan hidup, namun tampak seolah mati suri. Di musim kemarau, semua daunnya mengering, tetapi rimpang kencur masih dapat bertahan. Saat hujan atau disirami air, maka tunas akan tumbuh kembali (Muhlisah, 1999).
2.1.3 Morfologi Tanaman Kencur (Kaempferia galanga L.) termasuk dalam tanaman jenis emponempon yang mempunyai daging buah paling lunak, tidak berserat, berwarna putih, dan kulit luarnya berwarna coklat. Rimpang kencur mempunyai aroma yang spesifik (Anonim, 1987). Kencur merupakan terna yang hampir menutupi tanah, tidak berbatang, rimpang bercabang-cabang, berdesak-desakan, akar-akar berbentuk gelendong, kadang-kadang berumbi, panjang 1-1,5 cm. Daun berbentuk jorong lebar sampai hampir bundar, pangkal hampir berbentuk jantung, ujung lancip, bagian atas tidak berambut, bagian bawah berambut halus, pinggir bergelombang berwarna merah kecoklatan, bagian tengah berwarna hijau, pinggir helai daun 7-15 cm, lebar 2-8 cm, tangkai pendek, berukuran 3-10 mm, pelepah terbenam dalam tanah, panjang 1,5-3,5 cm, warna putih (Depkes, 1977). Jumlah helaian daun kencur tidak lebih dari 2-3 lembar dengan susunan berhadapan (Anonim, 1987). Perbungaan, panjang 4 cm, bunganya tersusun setengah duduk dengan mahkota bunga berjumlah antara 4 sampai 12 buah, bibir bunga berwarna lembayung dengan warna putih lebih dominan dan mengandung 4-12 bunga. Kelopak berbentuk tabung, panjang lebih kurang 3 cm, bergerigi 2-3 buah. Tajuk berwarna putih dengan tabung panjang 2,5-5 cm, ujung berbelah-belah berbentuk pita, panjang 2,5-3 cm, lebar 1,5-3 mm (Depkes, 1977). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
Sampai saat ini karakteristik utama yang dapat dijadikan sebagai pembeda kencur adalah daun dan rimpang. Berdasarkan ukuran daun dan rimpangnya, dikenal 2 tipe kencur, yaitu kencur berdaun lebar dengan ukuran rimpang besar dan kencur berdaun sempit dengan ukuran rimpang lebih kecil. Biasanya kencur berdaun lebar dengan bentuk bulat atau membulat, mempunyai rimpang dengan ukuran besar pula, tetapi kandungan minyak atsirinya lebih rendah daripada kencur yang berdaun kecil berbentuk jorong dengan ukuran rimpang lebih kecil. Salah satu varietas unggul kencur dengan ukuran rimpang besar adalah varietas unggul asal Bogor (Galesia-1) yang mempunyai ciri sangat spesifik dan berbeda dengan klon dari daerah lain yaitu warna kulit rimpang cokelat terang dan daging rimpang berwarna kuning, berdaun membulat, ujung daun meruncing dengan warna daun hijau gelap (Rostiana et al., 2005).
2.1.4 Kandungan Kimia dan Kegunaan Rimpang tumbuhan kencur mengandung saponin, flavonoid, polifenol, dan minyak atsiri (Depkes, 2001). Kencur mengandung pati (4,14 %), mineral (13,73 %), minyak atsiri (0,02 %) berupa sineol, asam metil kanil dan penta dekan, asam sinamat, etil ester, borneol, kamphen, paraeumarin, asam anisat, alkaloid, dan gom (Anonim, 1987). Menurut Umar et al., (2012) kandungan kimia dalam ekstrak minyak atsiri kencur diantaranya ialah asam propionate (4,71%), pentadekan 2,08%), asam tridekanoat &(1,81%), 1,21-docosadiene (1,47%), beta-sitosterol (9,88%), dan komponen terbesar adalah etil para metoksisinamat (80,05%). Selain itu pada penelitian Tewtrakul et al.,(2005) juga disebutkan bahwa terdapat kandungan apinen, kamphen, karvon, benxen, eukaliptol, borneol dan metil sinamat. Sebagai tanaman obat, kencur memberikan manfaat cukup banyak terutama rimpangnya. Rimpang kencur berkhasiat untuk obat batuk, gatal-gatal pada tenggorokan, perut kembung, rasa mual, masuk angin, pegal-pegal, pengompresan bengkak, tetanus, penambah nafsu makan dan juga sebagai minuman segar. Kencur dapat pula mengobati penyakit radang lambung, radang telinga pada anak, influenza pada bayi, sakit kepala, menghilangkan darah kotor, diare, memperlancar haid, mata pegal, keseleo, lelah (Anonim, 1987). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
Berbagai penelitian terbaru mengungkap banyak manfaat kencur lainnya, diantaranya penelitian Tewtrakul et al., (2005) menyatakan ekstrak minyak kencur memiliki aktivitas anti mikroba dan antifungi. Ekstrak metanol kencur memiliki toksisitas terhadap larva dan pupa Anopheles stephensi dan juga berpotensi sebagai repellent (Dhandapani et al., 2011). Ekstrak air dari kencur ternyata memiliki aktivitas sebagai antinosiseptif dan antiinflamasi (Sulaiman et al., 2008). Ekstrak alkohol dari kencur diteliti memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi dan analgesik (Vittalrao et al., 2011), juga memiliki aktivitas sebagai penyembuh luka (Tara V et al., 2006)
2.2
Senyawa Etil p-Metoksisinamat dan Aktivitasnya Etil p-metoksisinamat adalah suatu ester yang mengandung cincin benzen
dan gugus metoksi yang bersifat non polar dan mengandung gugus karbonil yang mengikat etil yang bersifat semi polar. Hal ini menyebabkan senyawa ini mampu larut dalam beberapa pelarut dengan kepolaran bervariasi seperti etanol, etil asetat, metanol, air dan n-heksan. (Taufikurohmah, Rusmini, Nurhayati, 2008)
Gambar 2.2 Struktur etil p-metoksisinamat [Sumber : www.chemicalbook.com]
Etil p-metoksisinamat atau C12H14O3 termasuk turunan asam sinamat, dimana asam sinamat adalah turunan senyawa fenil propanoad. Etil pmetoksisinamat sebelumnya dimanfaatkan sebagai bahan tabir surya (Windono Jany, Widji, 1997), namun dewasa ini telah diteliti lebih lanjut bahwa etil pmetoksisinamat merupakan senyawa isolat kencur yang memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi non-selektif menghambat COX-1 dan COX-2 secara in vitro (Umar et al., 2012). Senyawa etil p-metoksisinamat berbentuk kristal berwarna putih, berbau aromatik khas lemah dengan berat molekul 206.4 g/mol dan memiliki titik lebur 49°C (Umar et al., 2012). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
Etil p-metoksisinamat (EPMS) menghambat induksi edema karagenan pada tikus dengan MIC 100mg/kg dan juga berdasarkan hasil uji in vitro, etil pmetoksisinamat secara non-selektif menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2, dengan masing-masing nilai IC50 1,12 µM dan 0,83 µM. Hasil ini memvalidasi aktivitas anti-inflamasi kencur yang dihasilkan oleh penghambatan COX-1 dan COX-2 (Umar et al, 2012)
2.3
Kulit Kulit merupakan selimut yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki
fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan dari luar (Tranggono, 2007). Kulit adalah bagian terluas dari tubuh, terhitung lebih dari 10% dari massa tubuh dan bagian yang paling utama berinteraksi dengan lingkungan (Walters, 2002). Kulit tersusun dari jaringan yang tumbuh, berdiferensiasi, dan beregenerasi (Gregoriadis, Florence dan Patel, 1993). Kulit adalah organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh tubuh. Luas kulit pada manusia rata-rata sekitar 2 m2 dengan berat sekitar 10 kg jika ditimbang dengan lemaknya atau 4 kg jika tanpa lemak, atau beratnya sekitar 16% dari berat badan seseorang (Kusantati, Prihatin, dan Wiana, 2008). Kulit merupakan organ yang pertama kali terkena polusi oleh zat-zat yang terdapat di lingkungan hidup, termasuk jasad renik (mikroba) yang tumbuh dan hidup di lingkungan.Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, serta bervariasi pada keadaan ilkim, umur, jenis kelamin, ras, dan lokasi tubuh (Kusantati, Prihatin, dan Wiana, 2008).
2.3.1 Anatomi Kulit Kulit terbagi menjadi tiga lapisan utama, yaitu: epidermis, dermis, dan subkutan (subkutis) (Seeley, Stepens dan Tate, 2003). Tidak ada garis tegas yang memisahkan antara dermis dan subkutis. Subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan sel-sel yang membentuk jaringan lemak. Lapisan epidermis dan dermis dibatasi oleh taut dermoepidermal (Kusantati, Prihatin, dan Wiana, 2008).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
Gambar 2.3 Anatomi kulit [Sumber : Neubert, 2006]
a.
Lapisan epidermis Lapisan epidermis merupakan lapisan kulit yang paling luar. Epidermis
merupakan jaringan epitel berlapis pipih, dengan sel epitel yang mempunyai lapisan tertentu. Epidermis tersusun dari beberapa lapisan sel dengan tebal sekitar 0,1-0,3 mm (Mitsui, 1997). Di dalam epidermis paling banyak mengandung sel keratinosit yang mengandung protein keratin (Tranggono dan Latifah, 2007). Lapisan ini terdiri atas: 1) Stratum korneum (lapisan tanduk), merupakan lapisan sel kulit mati yang mengandung air paling rendah sekitar 10-30%. Lapisan ini tersusun atas lipid (asam lemak bebas atau esternya, fosfolipid, skualen, dan kolesterol), urea, asam amino, asam organik, dan air serta dilapisi oleh lapisan tipis lembab dan bersifat asam disebut “mantel asam kulit” (Tranggono dan Latifah, 2007). 2) Stratum lusidum (lapisan jernih) 3) Stratum granulosum (lapisan berbutir-butir), merupakan lapisan yang berperan dalam proses keratinisasi untuk menghasilkan lapisan tanduk.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
4) Stratum spinosum (lapisan malphigi), merupakan lapisan sel yang lebih dalam dan lapisan paling tebal dalam epidermis yang mengandung serat protein. 5) Stratum germinativum (lapisan basal), merupakan pembatas membran dasar yang kontak dengan dermis (Mitsui, 1997). Normalnya dibutuhkan 3-4 minggu untuk replikasi epidermis dengan proses divisi dan diferensiasi. b.
Lapisan dermis Lapisan dermis merupakan lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih
tebal dari pada epidermis (sekitar empat kali tebal dermis, tergantung area tubuh). Secara metabolisme, dermis kurang aktif dibandingkan dengan epidermis serta terdiri dari polisakarida dan protein (kolagen dan elastin). Di dalam dermis terdapat benyak pembuluh darah, serabut saraf, kelenjar keringat, kelenjar minyak, dan folikel rambut (Tranggono dan Latifah, 2007). Dermis tersusun atas matriks ekstraseluler yang disintesis dan disekresikan oleh fibroblast.Bahan dasar matriks ekstraseluler ini terdiri dari glikosaminoglikan atau mukopolisakarida asam (asam hialuronat dan dermatan sulfat), dan protein berserat.Glikosaminoglikan ada sebagai proteoglikan yang menggabungkan protein, dan berisi sejumlah besar air sehingga dapat membentuk gel. Protein berserat tertanam dalam gel ini yang tersusun dari serat kolagen dan elastin (Mitsui, 1997). Kolagen merupakan protein utama dari matriks ekstraseluler dan memelihara bentuk jaringan. Kolagen tersusun atas beberapa asam amino, terutama glisin, prolin, dan hidroksiprolin. Kolagen lebih tebal daripada elastin. Serat-serat elastin dihubungkan satu sama lain oleh ikatan cross-link untuk mempertahankan elastisitas jaringan. Selain itu, matriks ekstraseluler berfungsi sebagai mediator interaksi induksi reseptor antar sel sehingga mempengaruhi proliferasi dan diferensiasi sel. Kolagen tipe I dan II merupakan urat saraf. Kekuatan tegangan kulit diakibatkan oleh dominasi kolagen ini (Zhang & Falla, 2009). Oleh karena itu, dermis memegang peranan penting dalam elastisitas dan kekencangan kulit (Mitsui, 1997).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
Pada dermis terdapat sel mast, makrofag, melanosit, leukosit dan sel endotelial dari pembuluh darah. Fungsi dermis adalah menutrisi epidermis dan menghubungkan ke jaringan subkutan. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis dan fibrosa dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut (Wirakusumah, 1994). Secara garis besar dibagi menjadi 2 bagian yaitu: 1) Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke dalam epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah. 2) Pars retikulare, yaitu bagian bawahnya yang menonjol ke arah subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen elastis dan retikulin. c.
Lapisan subkutan Lapisan subkutan adalah kelanjutan dermis atas jaringan ikat longgar,
berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir karena sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh trabekulua dan fibrosa. Lapisan sel lemak disebut panikulus adiposus, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan saluran getah bening. Tebal jaringan lemak tidak sama, bergantung pada lokasi, di abdomen 3 cm, sedangkan di daerah kelopak mata dan penis sangat tipis. Lapisan lemak ini juga berfungsi sebagai bantalan (Kusantati, Prihatin, dan Wiana, 2008). Fungsi dari lapisan hipodermis yaitu membantu melindungi tubuh dari benturan-benturan fisik dan mengatur panas tubuh. Jumlah lemak pada lapisan ini akan meningkat apabila makan berlebihan. Jika tubuh memerlukan energi ekstra maka lapisan ini akan memberikan energi dengan cara memecah simpanan lemaknya (Wirakusumah, 1994). Pada lapisan ini juga terdapat pangkal dasar folikel rambut dan kelenjar keringat.
2.3.2 Fisiologi dan Fungsi Kulit Kulit merupakan batas antara tubuh dan lingkungan eksternal, sehingga memisahkan kita dari lingkungan eksternal tetapi juga memungkinkan untuk berinteraksi dengan lingkungan eksternal (Seeley, Stephens, Tate, 2003). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
Kulit sebagai organ tubuh yang paling utama mempunyai beberapa fungsi diantaranya sebagai berikut: a.
Fungsi proteksi (Dwikarya, 2003), terjadi karena beberapa hal: 1) Keasaman (pH) kulit akibat keringat dan lemak kulit (sebum) menahan dan menekan bakteri dan jamur yang berada di sekitar kulit. 2) Jaringan kolagen dan jaringan lemak menahan atau melindungi organ tubuh dari benturan. 3) Serabut elastis dari lapisan dermis dan jaringan lemak subkutan berfungsi untuk mencegah trauma mekanik langsung ke dalam tubuh. Lapisan tanduk dan mantel lemak kulit berfungsi sebagai penghalang penetrasi air dan kehilangan cairan tubuh serta melawan racun dari luar. Permukaan kulit yang tidak rata berperan dalam difraksi sinar untuk melindungi tubuh dari sinar yang berbahaya.
b.
Fungsi termoregulas Kulit menyesuaikan temperatur tubuh dengan mengubah aliran darah ke
kulit melalui mekanisme dilatasi dan konstriksi pembuluh kapiler kulit dan penguapan keringat, yang keduanya dipengaruhi oleh saraf otonom. Lapisan tanduk dan jaringan subkutan mencegah perubahan temperatur tubuh dengan menghalangi hantaran temperatur eksternal ke dalam tubuh. Kulit melakukan peran ini dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan otot dinding pembuluh darah kulit ketika terjadi peningkatan suhu. Dengan dikeluarkannya keringat, maka terbuang pula panas tubuh. Mekanisme termoregulasi ini diatur oleh sistem saraf simpatis yang mengeluarkan zat perantara asetil kolin (Langley dan Lenny, 1958). c.
Fungsi persepsi sensoris Kulit bertanggung jawab sebagai indra terhadap rangsangan. Ada
bermacam-macam reseptor pada kulit, yaitu reseptor yang sensitif terhadap tekanan, rabaan, temperatur, dan nyeri. Rangsangan dari luar akan diterima oleh reseptor-reseptor tersebut dan diteruskan ke sistem saraf pusat, selanjutnya diinterpretasikan oleh korteks serebri.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
d.
Fungsi absorpsi Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan maupun benda padat.
Tetapi cairan yang mudah menguap lebih mungkin diserap kulit, begitu pula zat yang larut dalam minyak. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban udara, metabolisme dan jenis pembawa zat yang menempel di kulit. Penyerapan dapat melalui celah antarsel, saluran kelenjar atau saluran keluar rambut (Langley dan Lenny, 1958). Beberapa senyawa dapat diabsorpsi ke dalam tubuh melalui dua jalur absorpsi, yaitu melalui jalur epidermis dan melalui kelenjar sebasea folikel rambut. Steroid dan bahan yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K) dapat diserap melalui kulit, namun bahkan yang larut dalam air tidak mudah diserap akibat dari fungsi penghalang lapisan tanduk. e.
Fungsi pembentukan pigmen (melanogenesis) Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal
epidermis. Sel ini berasal dari rigi saraf, jumlahnya 1:10 dari sel basal. Jumlah melanosit serta jumlah dan besarnya melanin yang terbentuk menentukan warna kulit. Pajanan sinar matahari mempengaruhi produksi melanin. Bila pajanan bertambah produksi melanin akan meningkat (Langley dan Lenny, 1958). f.
Fungsi keratinisasi Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah
bentuk lebih poligonal yaitu sel spinosum, terangkat ke atas menjadi lebih gepeng, dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke atas lebih gepeng, dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan akhirnya sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya mengering menjadi keras, gepeng, tanpa inti yang disebut sel tanduk. Proses ini berlangsung terus-menerus dan berguna untuk fungsi rehabilitasi kulit agar dapat melaksanakan fungsinya secara baik (Langley dan Lenny, 1958). g.
Fungsi poduksi vitamin D Kulit
juga
dapat
membuat
vitamin
D
dari
bahan
baku
7-
dihidroksikolesterol dengan bantuan sinar matahari. Namun produksi ini masih lebih rendah dari kebutuhan tubuh akan vitamin D dari luar makanan (Langley dan Lenny, 1958). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
h.
Fungsi lain Kulit dapat menggambarkan kondisi emosional, seperti memerah,
ketakutan (pucat dan rambut berdiri), dan sebagai organ penerima emosi.
2.4
Penetrasi Obat Melalui Kulit Penetrasi melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya proses
difusi melalui dua mekanisme, yaitu : a.
Absorpsi transepidermal Jalur absorpsi transepidermal merupakan jalur difusi melalui stratum
korneum yang terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur transelular yang berarti jalur melalui protein di dalam sel dan melewati daerah yang kaya akan lipid, dan jalur paraselular yang berarti jalur melalui ruang antar sel. Penetrasi transepidermal berlangsung melalui dua tahap. Pertama, pelepasan obat dari pembawa ke sratum korneum, tergantung koefisien partisi obat dalam pembawa dan stratum korneum. Kedua, difusi melalui epidermis dan dermis dibantu oleh aliran pembuluh darah dalam lapisan dermis. (Anggraeni, 2008) b.
Absorpsi transappendageal Jalur absorpsi transappendageal merupakan jalur masuknya obat melalui
folikel rambut dan kelenjar keringat disebabkan karena adanya pori-pori di antaranya, sehingga memungkinkan obat berpenetrasi. Penetrasi obat melalui jalur transepidermal lebih baik daripada jalur transappendageal, karena luas permukaan pada jalur transappendageal lebih kecil (Anggraeni, 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan adalah sifat-sifat fisikokimia dari obat, sifat pembawa yang digunakan, dan kondisi fisiologi kulit. Dari sifat-sifat tersebut, dapat diuraikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi absorpsi perkutan antara lain: 1) Harga koefisien partisi obat yang tergantung dari kelarutannya dalam minyak dan air. 2) Kondisi pH akan mempengaruhi tingkat disosiasi serta kelarutan obat yang lipofil. 3) Konsentrasi obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
4) Profil pelepasan obat dari pembawanya, bergantung pada afinitas zat aktif terhadap pembawa, kelarutan zat aktif dalam pembawa, dan pH pembawa. 5) Komposisi sistem tempat pemberian obat, yang ditentukan dari permeabilitas stratum korneum yang disebabkan hidrasi dan perubahan struktur lipid. 6) Peningkatan suhu kulit dapat menyebabkan perubahan difusi yang disebabkan oleh peningkatan kelarutan obat. 7) Pembawa yang dapat meningkatkan kelembaban kulit akan mendorong terjadi absorpsi obat melalui kulit. 8) Waktu kontak obat dengan kulit. 9) Ketebalan kulit. Absorpsi perkutan lebih besar jika obat digunakan pada kulit dengan lapisan tanduk yang tipis daripada yang tebal. 10) Bahan-bahan
peningkat
penetrasi
(enhancer)
dapat
meningkatkan
permeabilitas kulit dengan cara mengubah sifat fisika kimia stratum korneum sehingga mengurangi daya tahan difusi. Contohnya DMSO, DMF, DMA, urea, dan lain-lain. 11) Adanya sirkulasi darah in situ pada kulit akan meningkatkan absorpsi obat (Anggraeni, 2008).
Gambar 2.4 Rute penetrasi obat melalui kulit. (1) Rute transepidermal; (2)&(3) Rute transappendageal. [Sumber : www.skin-care-forum.basf.com]
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
2.5
Sediaan Salep Salep merupakan sediaan yang diaplikasikan secara eksternal, tetapi
berbeda dengan krim karena basis salep umumnya berminyak. Basisnya adalah anhidrat yang dapat bercampur dengan sekresi kulit. Salep biasanya mengandung suatu obat atau campuran obat terlarut atau terdispersi dalam basisnya. (Marriot, John F et al., 2010) Menurut British Pharmacopoeia: “ Salep diformulasikan untuk sediaan yang tidak dapat larut, larut atau dapat diemulsikan dengan sekresi kulit. Salep hidrofobik dan salep pengemulsi-air dapat diaplikasikan pada kulit atau selaput lendir untuk memperoleh efek emolien, pelindung, tujuan terapeutik atau profilaksis sesuai tingkat oklusi yang diinginkan. Salep hidrofilik dapat bercampur dengan sekresi kulit namun sifatnya kurang emolien (Marriot, John F et al., 2010). Terdapat 4 peraturan dalam pembuatan salep menurut F. Van Duin, yaitu: a.
Peraturan salep pertama “Zat-zat yang dapat larut dalam campuran lemak dilarutkan ke dalamnya, jika perlu dengan pemanasan.”
b.
Peraturan salep kedua “Jika tidak ada peraturan lain, bahan-bahan yang larut dalam air dilarutkan terlebih dahulu dalam air asalkan jumlah air yang digunakan dapat diserap seluruhnya oleh dasar salep dan jumlah air yang dipakai, dikurangi dari dasar salepnya.
c.
Peraturan salep ketiga “Bahan-bahan yang sukar larut atau hanya sebagian larut dalam minyak dan air harus diserbukkan terlebih dahulu, kemudian diayak dengan pengayak No. 60.”
d.
Peraturan salep keempat “Campuran salep yang dibuat dengan cara dicairkan harus digerus sampai dingin.” (Bahan-bahan yang ikut dilebur, penimbangannya harus dilebihkan 10-20% untuk mencegah kekurangan bobot) (Syamsuni, H. 2002)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
Metode pembuatan salep, diantaranya : a.
Metode fusi 1) Pembuatannya harus dilebihkan karena akan terjadi ketertinggalan produk saat dipindahkan dalam wadah yang sesuai. 2) Tentukan titik leleh dari basis lemak kemudian dilelehkan atau dicairkan secara bersamaan. Proses pencairan diawali dengan basis yang memilki titik leleh tinggi, masing-masing basis harus mencair pada suhu serendah mungkin atau saat dimana campuran sudah mulai dingin. 3) Tambahkan
bahan-bahan
menghindari
pemanasan
pada
wadah
berlebih.
diatas
Gunakan
waterbath
untuk
termometer
untuk
pemeriksaan suhu secara teratur. 4) Bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam basis harus sesuai dengan suhu titik leleh masing-masing bahan. Aduk terus menerus sampai sediaan homogen.
Pengadukan
menghindari
adanya
harus udara
dilakukan berlebih
secara
yang
perlahan
dapat
untuk
mempercepat
pendinginan dan membuat sediaan menjadi kental (Marriot, John F et al., 2010). b.
Penambahan zat aktif dalam bentuk padatan ke dalam dasar salep 1) Zat aktif yang larut dalam dasar salep Zat aktif ditambahkan ke dalam dasar salep lemak pada temperatur yang sangat rendah dan pencampuran dilakukan sampai campuran tersebut dingin (Marriot, John F et al., 2010). 2) Zat aktif yang tidak larut dalam dasar salep a) Serbuk kasar Dasar salep yang sudah meleleh atau mengental dimasukkan ke dalam lumpang. Kemudian masukkan serbuk kasar dan gerus dengan cara levigasi sampai homogen. Kecepatan pengadukan harus dperhatikan untuk menghindari produk yang berpasir. Pengadukan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
dilakukan sampai sediaan menjadi dingin (Marriot, John F et al., 2010). b) Serbuk halus Serbuk halus dicampurkan dengan cara triturasi. Masukkan dasar salep ke dalam lumpang dan ratakan untuk mencegah dasar salep masuk ke pori-pori lumpang. Kemudian tambahkan serbuk halus dan tambahkan dasar salep dengan cara “doubling-up” atau secara geometri.
Penambahan
secara
geometri
maksudnya
adalah
penambahan dasar salep yang jumlahnya sesuai dengan bobot yang terdapat dalam lumpang dilakukan secara perlahan-lahan dan bertahap. Kemudian campuran dicampurkan denga cara triturasi sampai homogeny (Marriot, John F et al., 2010). c.
Penambahan zat aktif dalam bentuk cairan ke dalam dasar salep 1) Cairan yang tidak menguap atau cairan yang larut Cairan yang dapat larut dapat dicampur dengan dasar salep minyak. Jika menggunakan dasar salep yang pre-prepared pencampuran dapat dikatakan sebagai cairan yang mudah menguap atau bercampur (Marriot, John F et al., 2010). 2) Cairan yang mudah menguap atau cairan yang tidak larut Cairan yang mudah menguap harus ditriturasi dengan bahan dasar salep dalam lumpang. Dasar salep dimasukkan ke dalam lumpang, kemudian tambahkan dasar salep lain secara geometri. Kemudian aduk hingga homogeny (Marriot, John F et al., 2010).
2.6
Sediaan Krim Krim adalah sediaan setengah padat yang berupa emulsi yang mengandung
satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai dan mengandung air tidak kurang dari 60 %. (Syamsuni,H. 2002). Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
terdispersi dalam dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsentrasi relatif cair yang diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air atau lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika. Fungsi krim adalah sebagai bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit, sebagai bahan pelumas untuk kulit, dan sebagai pelindung untuk kulit yaitu mencegah kontak permukaan kulit dengan larutan berair dan rangsangan kulit (Anief, 2000). Menurut British Pharmacopoeia, “ Krim diformulasikan untuk sediaan yang dapat bercampur dengan sekresi kulit. Sediaan krim dapat diaplikasikan pada kulit atau membran mukosa untuk pelindung, efek terapeutik, atau profilaksis yang tidak membutuhkan efek oklusif” (Marriot, John F et al., 2010). Prinsip umum dalam preparasi sediaan krim, seperti sediaan emulsi dan yang lainnya, kebersihan merupakan hal yang penting. Spatula dan peralatan lainnya harus dibersihkan dengan IMS (Industrial Methylaed Spirits). IMS lebih baik daripada air suling karena cepat menguap dan tidak meninggalkan residu. Pembuatan krim harus dilebihkan karena pada proses pemindahan sediaan krim ke wadah akhir, ada kemungkinan tertinggalnya sediaan di tempat yang sebelumnya. Menentukan bahan yang larut dalam fase air atau yang larut dalam fase minyak. Larutkan bahan yang larut air dalam fase air. Lelehkan basis lemak dalam cawan evaporasi di atas waterbath dalam suhu serendah mungkin. Proses ini diawali dengan melelehkan basis yang memiliki titik leleh tinggi. Setelah itu didinginkan pada suhu 60°C (pemanasan yang berlebihan dapat mendenaturasi agen pengemulsi dan menghilangkan stabilitas produk). Zat-zat yang dapat larut dengan fase minyak harus diaduk sampai mencair. Suhu fase cair harus disesuaikan 60°C. Fase terdispersi kemudian ditambahkan ke dalam fase pendispersi pada suhu yang sama. Oleh karena itu, untuk produk minyak dalam air, maka minyak yang ditambahkan ke dalam air. Sedangkan untuk produk air dalam minyak, yang ditambahkan adalah air ke dalam minyak. Pengadukan harus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
terus dilakukan tanpa adanya udara. Jangan mempercepat proses pendinginan karena akan menghasilkan produk yang buruk. (Marriot, John F et al., 2010) Syarat-syarat krim yang baik adalah : a.
Stabil selama dalam pemakaian pada suhu kamar dan kelembaban yang ada dalam kamar
b.
Lunak yaitu semua zat dalam keadaan halus
c.
Seluruh produk homogen
d.
Mudah dipakai Pertimbangan yang terpenting bagi sediaan emulsi seperti krim di bidang
farmasi dan kosmetika adalah stabilitas dari produk jadi. Menurut Anief (2000) ketidakstabilan emulsi dapat digolongkan menjadi : a.
Flokulasi atau creaming
b.
Koalesen atau pecahnya emulsi (breaking, cracing)
c.
Macam-macam perubahan fisika dan kimia
d.
Inverse Creaming adalah terpisahnya emulsi menjadi dua lapiasan, dimana lapisan
yang satu mengandung butir-butir tetesan (fase terdispersi) lebih banyak dari pada lapisan yang lain. Creaming merupakan proses bolak-balik, sedangkan pemecahan merupakan proses searah. Krim yang menggumpal bisa didispersikan kembali dengan mudah, dan dapat terbentuk kembali suatu campuran yang homogen dari suatu emulsi yang membentuk krim dengan pengocokan, karena bola-bola minyak masih dikelilingi oleh suatu lapisan pelindung dari zat pengemulsi. Jika terjadi pemecahan, pencampuran biasa tidak bisa mensuspensikan kembali bola-bola tersebut dalam suatu emulsi yang stabil (Martin, 1993). Inversi adalah peristiwa berubahnya tipe emulsi dari tipe M/A menjadi A/M atau sebaliknya. Inverse dapat dipengaruhi oleh suhu, atau inverse merupakan fungsi suhu (Lachman et. al, 1994). Bahan-bahan umum yang biasa ditambahkan pada sediaan krim yaitu : Basis krim, emulsifying agent, stiffening agent, buffer, antioksidan, pengawet, penetrating agent, humektan dll.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
2.7
Sediaan Gel Gel merupakan sediaan semi padat yang transparan yang digunakan secara
topikal. Fase cair dari gel akan ditahan dalam tige dimensi matriks polimer. Bahan obat dapat tersuspensi dalam matriks atau larut dalam fase cairnya. Gel cenderung memiliki struktur yang lebih besar dari salep atau emulsi tergantung pada polimer matriks pembentuknya (Marriot, John F et al., 2010). Gel sering digunakan dalam penghantaran obat yang mengandung polimer yang dapat menjerap sejumlah air yang dikenal dengan hidrogel. Penyerapan cairan berlangsung melalui pengembangan. Hal ini diikuti dengan peningkatan volume dan membesarnya tekanan (tekanan pembengkakan sampai 100 Mpa, 103 at), dan peristiwa tersebut berkaitan erat dengan dihasilkannya panas positif. Koloid linier yang digunakan untuk membentuk gel dapat mengembang tanpa batas, artinya kondisi gel dapat diubah menjadi larutan dengan penambahan pelarut yang lebih banyak. Dengan demikian jumlah air yang digunakan untuk pengembangan sangat menentukan sifat rheology sediaan yang terbentuk. Komposisi sediaan gel umumnya terdiri dari komponen bahan yang dapat mengembang dengan adanya air, humektan, dan pengawet, terkadang diperlukan bahan yang dapat meningkatkan penetrasi bahan berkhasiat. a.
Gel tautan –silang (cross link) secara kimia Pada sistem ini, pemisahan fase makroskopik dicegah dengan adanya
tautan silang dan semakin tinggi densitas massa jenis dari senyawa penaut silang maka semakin kuat. Kekuatan gel dapat diukur dengan Texture analyzer. Surfaktanionik dapat terikat dengan polimer nonionik, sehingga cara yang efektif untuk memasukkan muatan ke dalam gel polimer nonionik adalah dengan menambahkan surfaktan ionik. Muatan tersebut bergantung bergantung pada ikatan kooperatif dari surfaktan pada rantai backbone polimer, maka pengembangan dari gel bergantung pada parameter yang mengendalikan ikatan pada surfaktan. Saat panjang rantai alkil pada surfaktan meningkat, afinitas ikatan pada polimer pun akan meningkat, sehingga secara efektif meningkatkan densitas polimer. Derajat pengembangan secara langsung mempengaruhi pelepasan senyawa yang bergabung dalam gel cross-linked. Sehingga dengan meningkatkan pengembangan, difusi dari senyawa yang tergabung meningkat. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
b.
Gel yang terbentuk oleh polimer polisakarida Gel
polisakarida
bersifat
temperature-reversible,
terbentuk
pada
konsentrasi polimer yang relatif rendah umumnya dari turunan selulosa, struktur gel dapat dibentuk pada konsentrasi antara 2-6%. Gel polisakarida dapat dibentuk dengan memodifikasi ikatan silang secara kimia, yang dipengaruhi oleh pH. c.
Pembentuk gel alami Pembentuk gel alami yang umum digunakan adalah xantan gum, gellan
gum, pektin dan gelatin. Xanthan gum dan gellan gum adalah polisakarida dengan berat molekul besar yang diperoleh dari fermentasi menggunakan mikroba. Larutan xanthan gum memiliki viskositas yang tinggi pada tekanan geser (shear rate) yang rendah yang dapat menjaga partikel padat tetap tersuspensi dan mencegah emulsi mengalami koalesen. Gellan gum adalah pembentuk gel, efektif pada penggunaan dengan jumlah yang sedikit, membentuk gel yang padat pada konsentrasi rendah. Selain bahan pembentuk gel, bahan tambahan lainnya yang sering digunakan dalam pembuatan gel yaitu humektan, chelating agent, enhancer dan zat pengawet. Metode pembuatan gel secara umum, diantaranya : a.
Panaskan semua komponen gel (terkecuali dengan air), kurang lebih sekitar 90o C.
b.
Panaskan air, kurang lebih sekitar 90o C.
c.
Tambahkan air ke minyak, aduk terus. Hindari pengadukan kuat karena hal ini akan menimbulkan gelembung (Marriot, John F et al., 2010). Fungsi gel menurut Lachman et al., 1989 yaitu gel dapat digunakan untuk
pemberian oral, sediaan obat long-acting yang diinjeksikan secara intramuskular, bahan pengikat pada granulasi tablet, bahan pelindung koloid pada suspensi, bahan pengental pada sediaan cair per oral, dan basis supositoria. Selain itu gel juga dapat digunakan untuk obat yang diberikan secara setengah padat (non steril) atau dimasukkan ke dalam lubang tubuh atau mata (steril) dan telah digunakan dalam berbagai produk kosmetik.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
Sifat dan karakteristik gel menurut Lachman et al 1989 adalah sebagai berikut : a.
Swelling Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat
mengabsorbsi larutan sehingga terjadi pertambahan volume. Pelarut akan berpenetrasi di antara matriks gel dan terjadi interaksi antara pelarut dengan gel. Pengembangan gel kurang sempurna bila terjadi ikatan silang antar polimer di dalam matriks gel yang dapat menyebabkan kelarutan komponen gel berkurang (Lachman et al.,1989). b.
Sinerasis Suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa gel.
Cairan yang terjerat akan keluar dan berada di atas permukaan gel. Pada waktu pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis, sehingga terbentuk massa gel yang padat. Mekanisme terjadinya kontraksi berhubungan dengan fase relaksasi akibat adanya tekanan elastis pada saat terbentuknya gel. Adanya perubahan pada kepadatan gel akan mengakibatkan jarak antar matriks berubah, sehingga memungkinkan cairan bergerak menuju permukaan. Sineresis dapat terjadi pada hidrogel maupun organel (Lachman et al.,1989). c.
Efek suhu Efek suhu mempengaruhi struktur gel. Gel dapat terbentuk melalui
penurunan temperatur tapi dapat juga pembentukan gel terjadi setelah pemanasan hingga suhu tertentu. Polimer seperti MC, HPMC, terlarut hanya pada air yang dingin membentuk larutan yang kental. Pada peningkatan suhu larutan tersebut membentuk gel. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang disebabkan oleh pemanasan disebut thermogelation (Lachman et al.,1989). d.
Efek elektrolit Konsentrasi elektrolit yang sangat tinggi akan berpengaruh pada gel
hidrofilik di mana ion berkompetisi secara efektif dengan koloid terhadap pelarut yang ada dan koloid digaramkan (melarut). Gel yang tidak terlalu hidrofilik dengan konsentrasi elektrolit kecil akan meningkatkan rigiditas gel dan mengurangi waktu untuk menyusun diri sesudah pemberian tekanan geser. Gel Na-alginat akan segera mengeras dengan adanya sejumlah konsentrasi ion kalsium UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
yang disebabkan karena terjadinya pengendapan parsial dari alginat sebagai kalsium alginat yang tidak larut (Lachman et al.,1989). e.
Elastisitas dan rigiditas Sifat ini merupakan karakteristik dari gel gelatin agar dan nitroselulosa,
selama transformasi dari bentuk larutan menjadi gel terjadi peningkatan elastisitas dengan peningkatan konsentrasi pembentukan gel. Bentuk struktur gel resisten terhadap perubahan atau deformasi dan mempunyai aliran viskositelastik. Struktur gel dapat bermacam-macam tergantung dari komponen pembentuk gel (Lachman et al.,1989). f.
Rheologi Larutan pembentuk gel (gelling agent) dan dispersi padatan yang terflokulasi
memberikan sifat aliran pseudoplastis yang khas, dan menunjukkan jalan aliran non-newton yang dikarakterisasi oleh penurunan viskositas dan peningkatan laju aliran (Lachman et al.,1989).
2.8
Formulasi Sediaan Setengah Padat
2.8.1 Lanolin Hidrat Lanolin hidrat atau disebut juga adeps lanae cum aqua (PhEur) dideskripsikan sebagai campuran dari adeps lanae dan 25-30% b/b air suling. Lanolin hidrat berfungsi sebagai agen pengemulsi dan basis salep. Lanolin hidrat berwarna kuning pucat, dengan bau khas lemah. Lanolin hidrat biasanya digunakan pada pembuatan sediaan salep dan krim tipe air dalam minyak (a/m). Ketika meleleh oleh pemanasan dengan penangas air, lanolin akan terpisah menjadi lapisan minyak jernih dan lapisan air jernih. Lanolin hidrat melebur pada suhu 38-44°C, praktis tidak larut dalam kloroform, eter dan air. Hanya komponen lemak dari lanolin hidrat yang larut dalam pelarut organik. Lanolin hidrat harus disimpan dalam wadah tertutup baik, tertutup rapat dan terlindung dari cahaya, kelembaban dan di tempat kering. Penyimpanan normal bertahan sampai 2 tahun. Lanolin hidrat dapat mengandung pro-oksidan yang mungkin mempengaruhi stabilitas beberapa zat aktif (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
2.8.2 Setil Alkohol Nama lain dari setil alkohol adalah alcohol cetylicus dan crodacol. Penggunaan setil alkohol pada sediaan farmasi sangat luas, diantaranya coating agent; emulsifying agent (2-5%); stiffening agent (2-10%). Setil alkohol merupakan serpihan putih licin, granul, atau kubus, putih, bau khas lemah, rasa lemah. Setil alkohol memiliki titik lebur 45-52°C, larut dalam etanol 95% dan eter, kelarutan meningkat dengan kenaikan suhu, praktis tidak larut dalam air. Mudah larut ketika dilebur bersama dengan lemak, paraffin padat atau cair, dan isopropil miristat. Setil alkohol tetap stabil meskipun terdapat asam, basa, cahaya dan udara tidak menjadi tengik. Sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup baik di tempat yang kering dan sejuk. Inkompatibel dengan agen pengoksidasi kuat (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
2.8.3 Vaselin Album Vaselin album berwarna kuning pucat, transparan, massa lembut, sedikit berbau dan sedikit berasa. Fungsi vaselin album adalah sebagai emolien, dan basis salep. Kelarutan praktis tidak larut dalam aseton, etanol 95% panas atau dingin, gliserin, dan air, larut dalam benzen, karbon disulfida, kloroform, eter, heksan dan minyak lemak dan menguap. Pada paparan sinar, kemurnian dari vaselin album menurun akibat berubah warna dan teroksidasi serta menghasilkan bau yang tidak diinginkan. Oksidasi dapat dicegah dengan penambahan antioksidan yang cocok seperti BHT, BHA dan tokoferol. Vaselin album dapat disterilisasi dengan pemanasan kering. Meskipun vaselin album dapat disterilisasi dengan iradiasi gamma, tetapi proses tersebut dapat mempengaruhi sifat fisik dari vaselin album seperti mengembang, berubah warna, bau dan sifat rheologi. Vaselin album harus disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya di tempat sejuk dan kering. Vaselin album merupakan bahan inert dengan sedikit inkompatibilitas (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
2.8.4 Asam Stearat Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari lemak sebagian besar terdiri dari asam oktadekanoat, C18H36O2 dan asam heksadekanoat, C16H32O2 (Ditjen POM, 1979). Pemerian asam stearat yaitu zat padat; putih atau kuning pucat; beberapa terlihat mengkilap, padatan kristal atau serbuk putih atau putih kekuningan. Bau khas kuat dan rasanya mirip lemak. Asam stearat memiliki titik lebur ≥ 54°C. Kelarutannya mudah larut dalam benzen, karbon tetraklorida, kloroform, dan eter. Larut dalam etanol 95%, heksan dan propilen glikol, praktis tidak larut dalam air. Penggunaannya adalah sebagai basis krim dan saleb juga sebagai lubrikan tablet (Rowe, Sheskey, Owen, 2006). Asam stearat merupakan bahan yang stabil, penambahan antioksidan dapat dilakukan untuk menjaga kestabilannya. Asam stearat harus disimpan dalam wadah tertutup baik di tempat sejuk dan kering. Asam stearat inkompatibel dengan banyak logam hidroksida dan agen pengoksida (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
2.8.5 Isopropil Miristat Isopropil miristat merupakan cairan tidak berwarna dan praktis tidak berbau. Larut dalam aseton, kloroform, etanol 95%, etil asetat, praktis tidak larut dalam gliserin, glikol dan air. Isopropil miristat tidak kompatibel dengan parafin padat karena akan menghasilkan campuran butiran, tetapi isopropil miristat kompatibel dengan oksidator kuat. Isopropil miristat tahan terhadap oksidasi dan hidrolisis, dan tidak menjadi tengik. Bahan ini harus disimpan dalam wadah yang tertutup di tempat yang sejuk dan kering serta terlindung dari cahaya (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
2.8.6 Minyak Zaitun Minyak zaitun disebut juga olive oil merupakan minyak lemak dari buah Olea europaea. Minyak zaitun merupakan cairan minyak yang jernih, berwarna kuning kehijauan atau hampir tidak berwarna. Sangat larut dalam etanol 96%, larut dalam eter, kloroform dan petrolatum (50-70ºC) dan karbon disulfida. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
Minyak zaitun sering digunakan sebagai fase minyak dalam berbagai sediaan farmasi, diantranya salep, linimen, enema, sabun, dan dapat juga sebagai pembawa injeksi minyak. Ketika didinginkan, minyak zaitun akan berkabut pada kisaran suhu 10ºC dan akan seperti masa butter pada suhu 0ºC. Minyak zaitun harus disimpan di tempat yang sejuk dan kering dalam wadah yang tertutup rapat terhindar dari sinar matahari. Minyak zaitun dapat tersaponifikasi oleh alkali hidroksida. Minyak zaitun mudah teroksidasi dan inkompatibel dengan agen pengoksida (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
2.8.7 Vitamin E Vitamin E dengan nama lain alfa tokoferol merupakan produk natural dan dideskripsikan sebagai cairan minyak yang jernih, kuning kecoklatan atau hampir tidak berwarna, dan kental. Penggunaannya sebagai agen terapetik atau antioksidan dalam sediaan dengan kandungan bahan yang mudah teroksidasi. Titik didih vitamin E mencapai 235°C. Vitamin E praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam aseton, etanol, eter dan minyak sayur. Vitamin E teroksidasi perlahan oleh oksigen atmosfir dan sangat cepat oleh besi dan garam perak. Vitamin E harus disimpan di bawah gas inert dalam wadah kedap udara di tempat sejuk, kering dan terlindungi dari cahaya. Vitamin E inkompatibel dengan peroksida dan ion logam seperti besi, tembaga, perak. Vitamin E mungkin terabsorbsi ke dalam plastik (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
2.8.8 Karbopol 940 Karbopol merupakan polimer sintetis dengan BM tinggi dari asam akrilat yang di campurkan dengan alil sukrosa lain atau eter alil dari penta eritrol. Karbopol mengandung antara 56%-68% dari asam karboksilat (COOH) terhitung dengan basis kering. Karbopol berwarna putih, halus, bersifat asam, higroskopis, serbuk dengan bau sedikit khas. Larut dalam air dan setelah dinetralisasi dapat larut dalam etanol 95% dan gliserin. Meskipun dinyatakan terlarut dalam air, tetapi karbopol tidak terdisolusi tetapi hanya mengembang. Fungsi karbopol adalah sebagai agen bioadhesif, agen pengemulsi, agen pelepasan termodifikasi,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
agen pensuspensi, pengikat tablet dan agen peningkat viskositas (Rowe, Sheskey, Owen, 2006). Karbopol memiliki pH yang sangat asam yaitu 2,7-3,5 dalam 0,5% b/v dispersi dalam air dan 2,5-3,0 dalam 1 b/v bagian air, oleh karena itu pada tahap pembuatannya sebagai basis gel seringkali ditambahkan dengan NaOH atau golongan amin untuk menyesuaikan pH sediaan mendekati pH kulit. Titik leleh dari karbopol cukup tinggi, tetapi dapat terdekomposisi pada suhu 260ºC selama 30 menit. Karbopol merupakan senyawa yang stabil, bersifat higroskopis yang memungkinkan untuk dipanaskan dibawah suhu 104°C sampai 2 jam tanpa mempengaruhi efisiensinya. Bagaimanapun paparan temperatur yang sangat tinggi dapat menyebabkan perubahan warna dan penurunan stabilitas. Bentuk serbuk kering dari karbopol tidak mendukung pertumbuhan dari mikroba dan fungi. Sebaliknya mikroorganisme dapat tumbuh dengan baik dalam dispersi dalam air tanpa pengawet, namun pengawet antimikroba seperti 0,1% b/v klorokresol, 0,18% b/v metil paraben-0,02 % b/v propil paraben atau 0,1% b/v timerosal dapat ditambahkan (Rowe, Sheskey, Owen, 2006). Pada temperatur ruangan dispersi karbopol dapat terjaga viskositasnya selama penyimpanan dalam periode berkepanjangan. Demikian pula, viskositas dispersi terjaga atau hanya sedikit terjadi penurunan pada suhu penyimpanan tinggi jika terdapat antioksidan didalamnya atau jika dispersi tersebut disimpan terlindungi
dari
cahaya.
Paparan
sinar
menyebabkan
oksidasi
yang
memungkinkan terjadinya penurunan viskositas dispersi. Serbuk karbopol harus disimpan dalam wadah kedap udara, wadah resistensi korosi, di tempat kering. Penggunaan dari gelas, plastik, atau wadah resin direkomendasikan untuk menyimpan formula dengan kandungan karbopol. Karbopol berubah warna oleh resorsinol dan inkompatibel dengan fenol, polimer-polimer kationik, asam kuat, dan elektrolit level tinggi (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
2.8.9 Natrium Metabisulfit Natrium metabisulfit memiliki rumus empiris Na2S2O5 dengan bobot molekul 190,15. Natrium metabisulfit berupa kristal prisma tidak berwarna, atau krem-putih, bubuk kristal yang memiliki bau sulfur dioksida dan asam, rasa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
seperti garam. Penggunaan natrium metabisulfit adalah sebagai antioksidan tetapi dapat pula digunakan sebagai pengawet pada beberapa sediaan farmasi. Natrium metabisulfit larut dalam etanol 95%, sangat larut dalam gliserin, larut 1 bagian dalam 1,9 bagian air dan larut 1 bagian dalam 1,2 bagian air mendidih 100°C. Titik lebur dan dekomposisi natrium metabisulfit kurang dari 150°C. Pada paparan udara dan kelembaban, natrium metabisulfit perlahan teroksidasi menjadi natrium sulfat dengan disintegrasi kristal. Penambahan asam kuat membebaskan sulfur dioksida. Larutan berair natrium metabisulfit juga terurai di udara, terutama pada pemanasan. Larutan yang akan disterilkan dengan autoklaf harus diisi ke dalam wadah di mana udara telah diganti dengan gas inert, seperti nitrogen. Bahan massal harus disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya, di tempat yang sejuk dan kering. Natrium metabisulfit bereaksi dengan simpatomimetik dan obat derivat alkohol lainnya. Obat-obatan dapat terinaktivasi adalah epinefrin (adrenalin) dan turunannya. Selain itu, natrium metabisulfit tidak kompatibel dengan kloramfenikol karena reaksi yang lebih kompleks, juga menginaktivasi cisplatin dalam larutan. Natrium metabisulfit tidak cocok dengan fenil merkuri asetat saat diautoklaf dalam preparasi sediaan tetes mata. Natrium metabisulfit dapat bereaksi dengan tutup karet botol dosis ganda (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
2.8.10 Metil Paraben dan Propil Paraben Metil paraben dengan nama lain nipagin, merupakan serbuk hablur halus, putih, hampir tidak berbau, tidak mempunyai rasa, kemudian agak membakar diikuti rasa tebal. Larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih, dalam 3,5 bagian etanol 95% dan dalam 3 bagian aseton, mudah larut dalam eter dan dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam 60 bagian gliserol panas dan dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas, jika didinginkan larutan tetap jernih. Inkompatibilitas dengan zat lain, seperti bentonit, magnesium trisilikat, talk, tragakan, natrium alginat, minyak esensial, sorbitol, dan atropin. Larutan berair dari metil paraben pada pH 3-6 dapat disterilkan dengan autoklaf pada 120°C selama 20 menit, tanpa dekomposisi. Larutan berair pada pH 3-6 stabil (kurang dari 10% dekomposisi) sampai sekitar 4 tahun pada suhu kamar, sedangkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
larutan air pada pH 8 atau di atas tunduk pada hidrolisis yang cepat (10% atau lebih setelah sekitar 60 hari penyimpanan pada suhu kamar) (Rowe, Sheskey, Owen, 2006). Propil paraben dengan nama lain nipasol merupakan serbuk hablur putih, tidak berbau, tidak berasa. Sangat sukar larut dalam air, larut dalam 3,5 bagian etanol 95%, dalam 3 bagian aseton, dalam 140 bagian gliserol dan dalam 40 bagian minyak lemak, mudah larut dalam larutan alkali hidroksida. Propil paraben berubah warna dengan adanya besi dan dihidrolisis oleh alkali lemah dan asam kuat. Larutan propil paraben pada pH 3-6 dapat disterilkan dengan autoklaf, tanpa dekomposisi. Pada pH 3-6, larutan stabil (kurang dari 10% dekomposisi) sampai sekitar 4 tahun pada suhu kamar. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik. (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
2.8.11 Trietanolamin Trietanolamin biasa disingkat TEA merupakan cairan kental, tidak berwarna hingga kuning pucat, bau lemah mirip amoniak, higroskopik. TEA mudah larut dalam air dan dalam etanol 95%, larut dalam kloroform. Trietanolamin akan bereaksi dengan asam mineral membentuk garam kristal dan ester. Trietanolamin juga akan bereaksi dengan tembaga untuk membentuk garam kompleks. Trietanolamin dapat berubah coklat pada paparan udara dan cahaya. 85% trietanolamin cenderung stratifikasi di bawah 15°C, dapat homogen dengan pemanasan kembali sebelum digunakan untuk pencampuran. Penyimpanan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
2.8.12 Propilen Glikol Propilen glikol merupakan cairan berwarna, kental, praktis berbau dengan rasa sedikit manis pedas mirip gliserin. Larut dengan aseton, kloroform, etanol (95%), gliserin, dan air; larut pada 1 dari 6 bagian dari eter, tidak larut dengan minyak mineral ringan atau minyak tetap, tetapi akan memisah pada beberapa minyak esensial. Penggunaan propilen glikol dibidang farmasi diantaranya sebagai pengawet antimikroba, desinfektan, humektan, plasticizer, pelarut, stabilizer untuk vitamin, pelarut campur dengan air. Propilen glikol juga dapat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
digunakan sebagai agen peningkat penetrasi pada konsentrasi 1-10% (William Barry, 2004 dalam Sany, 2009). Pada suhu dingin, propilen glikol stabil di wadah tertutup, tetapi pada temperatur tinggi, di tempat terbuka, cenderung mudah teroksidasi, menghasilkan produk seperti propionaldehid, asam laktat, asam piruvat, dan asam asetat. Propilen glikol stabil bila dicampur dengan etanol 95%, gliserin, atau air. Larutan mengandung air dapat disterilkan dengan cara autoklaf. Propilen glikol tidak kompatibel dengan reagen oksidasi seperti kalium permanganat. Propilen glikol higroskopis dan harus disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya, di tempat sejuk dan kering. (Rowe, Sheskey, Owen, 2006)
2.8.13 Alkohol 96% Alkohol 96% atau disebut juga etanol memiliki rumus empiris C2H6O dan bobot molekul 46,07. Alkohol 96% memiliki fungsi sebagai pengawet antimikroba, disinfektan, agen penetrasi kulit, dan pelarut. Penggunaannya sebagai pelarut dalam sediaan topikal sebanyak 60-90%, sedangkan sebagai pengawet penggunaannya ≥ 10%. Efek peningkat penetrasi alkohol 96% tergantung dari konsentrasi yang digunakaan (William dan Barry, 2004 dalam Sany, 2009). Alkohol jernih, tidak berwarna, dapat bergerak dan cairan yang menguap perlahan, bau khas dan rasa terbakar. Etanol 96% memiliki titik didih 78,15°C. Larut dalam kloroform, eter, gliserin dan air (dengan rise temperature dan kontraksi volume). Larutan etanol dapat disterilisasi dengan metode autoklaf atau penyaringan dan harus disimpan dalam wadah kedap udara dan ditempat sejuk. Pada kondisi asam, larutan etanol dapat bereaksi keras dengan bahan pengoksidasi. Campuran dengan alkali dapat menggelapkan warna karena reaksi dengan jumlah sisa aldehida. Garam organik atau akasia dapat diendapkan dari larutan berair atau dispersi. Larutan etanol juga tidak sesuai dengan wadah aluminium dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
2.9
Ekstrak dan Ekstraksi Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Soesilo, 1995). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang sesuai, diluar pengaruh cahaya matahari langsung (Tiwari, et al., 2011). Parameter yang mempengaruhi kualitas dari ekstrak adalah (Tiwari, et al., 2011): a. Bagian dari tumbuhan yang digunakan. b. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. c. Prosedur ekstraksi Ekstraksi adalah pemisahan bahan aktif sebagai obat dari jaringan tumbuhan ataupun hewan menggunakan pelarut yang sesuai melalui prosedur yang telah ditetapkan (Tiwari, et al., 2011). Selama proses ekstraksi, pelarut akan berdifusi sampai ke material padat dari tumbuhan dan akan melarutkan senyawa dengan polaritas yang sesuai dengan pelarutnya. Efektifitas ekstraksi senyawa kimia dari tumbuhan bergantung pada ; a. Bahan-bahan tumbuhan yang diperoleh b. Keaslian dari tumbuhan yang digunakan c. Proses ekstraksi d. Ukuran partikel Macam-macam perbedaan metode ekstraksi yang akan mempengaruhi kuantitas dan kandungan metabolit sekunder dari ekstrak, antara lain : a. Tipe ekstraksi b. Waktu ekstraksi c. Suhu ekstraksi d. Konsentrasi pelarut e. Polaritas pelarut Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi dua cara, yaitu cara panas dan cara dingin (Diitjen POM, 2000). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
a.
Ekstraksi cara dingin 1) Maserasi 2) Perkolasi
b.
Ekstraksi cara panas 1) Sokletasi 2) Digesti 3) Dekok 4) Infusa 5) Refluks
c.
Teknik ekstraksi lain 1) Sonikasi 2) Supercritical Fluid 3) Vaccum Rotary Evaporator
2.9.1 Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar (Ditjen POM, 2000). Keuntungan ekstraksi dengan cara maserasi adalah pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, sedangkan kerugiannya yakni cara pengerjaannya lama, membutuhkan pelarut yang banyak dan penyarian kurang sempurna. Dalam maserasi (untuk ekstrak cairan), serbuk halus atau kasar dari tumbuhan obat yang kontak dengan pelarut disimpan dalam wadah tertutup untuk periode tertentu dengan pengadukan yang sering, sampai zat tertentu dapat terlarut. Metode ini paling cocok digunakan untuk senyawa yang termolabil (Tiwari, et al., 2011).
2.9.2 Vaccum Rotary Evaporator Vaccuum rotary evaporator adalah alat yang berfungsi untuk memisahkan suatu larutan dari pelarutnya sehingga dihasilkan ekstrak dengan kandungan kimia tertentu sesuai yang diinginkan. Cairan yang ingin diuapkan biasanya ditempatkan dalam suatu labu yang kemudian dipanaskan dengan bantuan penangas, dan diputar. Uap cairan yang dihasilkan didinginkan oleh suatu pendingin (kondensor) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
dan ditampung pada suatu tempat (receiver flask). Setelah Pelarutnya diuapkan, akan dihasilkan ekstrak yang dapat berbentuk padatan atau cairan (Nugroho, et al., 1999). Kelebihan dari alat ini adalah diperolehnya kembali pelarut yang diuapkan. Penggunaan rotary evaporator meningkatkan presentase air yang terevaporasi dibandingkan dengan menggunakan waterbath (Mutairi & jasser, 2012). Prinsip kerja alat ini didasarkan pada titik didih pelarut dan adanya tekanan yang menyebabkan uap dari pelarut terkumpul di atas, serta adanya kondensor (suhu dingin) yang menyebabkan uap ini mengembun dan akhirnya jatuh ke tabung penerima (receiver flask). 2.10
Uji Penetrasi Sediaan Secara In vitro Menggunakan Sel Difusi Franz Studi penetrasi kulit secara in vitro berhubungan dengan mengukur
kecepatan dan jumlah komponen yang menembus kulit dan jumlah komponen yang tertahan pada kulit. Salah satu cara untuk mengukur jumlah obat yang terpenetrasi melalui kulit yaitu menggunakan sel difusi franz. Sel difusi franz terbagi atas dua komponen yaitu kompartemen donor dan kompartemen reseptor. Membran yang digunakan dapat berupa kulit manusia atau kulit hewan. Membran diletakkan di antara kedua kompartemen, dilengkapi dengan o-ring untuk menjaga letak membran. Gambar alat sel difusi franz dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Kompartemen sel difusi franz [Sumber : Particle Science Drug Development Service Vol. 10, 2009]
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
Kompartemen reseptor diisi dengan larutan penerima. Suhu pada sel dijaga dengan sirkulasi air menggunakan water jacket disekeliling kompartemen reseptor. Sediaan yang akan diuji diaplikasikan pada membran kulit. Pada interval waktu tertentu diambil beberapa ml cairan dari kompartemen reseptor dan jumlah obat yang terpenetrasi melalui kulit dapat dianalisis dengan metode analisis yang sesuai. Setiap diambil sampel cairan dari kompartemen reseptor harus selalu digantikan dengan cairan yang sama sejumlah volume yang terambil (Anggraeni, 2008).
2.11
Spektrofotometri UV-Vis Spektrofotometri serap merupakan pengukuran interaksi antara radiasi
elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit dan mendekati monokromatik, dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa molekul selalu mengabsorbsi cahaya elektromagnetik jika frekuensi cahaya tersebut sama dengan frekuensi getaran dari molekul tersebut. Elektron yang terkait dan elektron yang tidak terkait akan tereksitasi pada suatu daerah frekuensi, yang sesuai dengan cahaya ultraviolet dan cahaya tampak (UVVis) (Henry, Suryadi, Yanuar 2002). Spektrum absorbsi daerah ini adalah sekitar 220 nm sampai 800 nm dan dinyatakan sebagai spektrum elektron. Suatu spektrum ultraviolet meliputi daerah bagian ultraviolet (190-380 nm), spektrum Vis (Visibel) bagian sinar tampak (380-780 nm) (Henry, Suryadi, Yanuar 2002). Instrumentasi dari spektrofotometer UV-Vis ini dapat diuraikan sebagai berikut : a. Suatu sumber energi cahaya yang berkesinambungan yang meliputi daerah spektrum yang mana alat tersebut dirancang untuk beroperasi. b. Suatu monokromator, yakni sebuah piranti untuk memencilkan pita sempit panjang gelombang dari spektrum lebar yang dipancarkan oleh sumber cahaya. c. Suatu wadah untuk sampel (dalam hal ini digunakan kuvet) d. Suatu detektor yang berupa transduser yang merubah energi cahaya menjadi suatu isyarat listrik.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
e. Suatu amplifier (pengganda) dan rangkaian yang berkaitan yang membuat isyarat listrik itu memadai untuk dibaca. f. Suatu sistem baca dimana diperagakan besarnya isyarat listrik yang ditangkap. (Henry, Suryadi, Yanuar 2002). Spektrofotometri UV-Vis digunakan terutama untuk analisa kuantitatif, tetapi dapat juga untuk analisa kualitatif. Penggunaan untuk analisa kuantitatif didasarkan pada hukum Lambert-Beers yang menyatakan hubungan empirik antara intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan tebalnya larutan (Hukum Lambert/Bouger), dan hubungan antara intensitas tadi dengan konsentrasi zat (Hukum Beers) (Henry, Suryadi, Yanuar 2002). Hukum Lambert-Beer dapat dijelaskan dengan persamaan (2.1) A = Log Io/It = Ɛ. b. c = a. b. c
(2.1)
dimana : A = serapan; Io = intensitas sinar yang datang; It = intensitas sinar yang diteruskan (ditransmisikan); Ɛ = absorbtivitas molekuler / konstanta ekstingsi (L.mol-1. Cm-1); a = daya serap (L.g-1.cm-1); b = tebal larutan / kuvet (cm); c = konsentrasi (g.L-1 , mg. mL-1) ( Henry, Suryadi, Yanuar 2002) Panjang gelombang yang digunakan untuk melakukan analisis kuantitatif suatu zat biasanya merupakan panjang gelombang dimana zat yang bersangkutan memberikan serapan pada umumnya landai sehigga perubahan yang tidak terlalu besar pula (dapat diabaikan) (Henry, Suryadi, Yanuar 2002) Serapan yang optimum untuk pengukuran dengan spektrofotometri UvVis ini berkisar antara 0,2-0,8. Namun menurut literatur lain, serapan sebesar 2-3 relatif masih memberikan hasil perhitungan yang cukup baik untuk campuran, walaupun disarankan agar serapan berada dibawah 2 untuk hasil yang lebih baik, dengan cara mengencerkan larutan zat yang akan di ukur (Henry, Suryadi, Yanuar 2002)
2.12
Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan
yang memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan ditotolkan berupa bercak atau pita (awal). Setelah pelat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
atau lapisan ditaruh didalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl Egon dalam Khoirrunni’mah, 2013) Diantara berbagai jenis teknik kromatografi, kromatografi lapis tipis adalah yang paling banyak digunakan untuk analisis obat di laboratorium farmasi. Metode ini hanya memerlukan investasi kecil untuk perlengkapan dan menggunakan waktu yang singkat untuk menyelesaikan analisis 915-60 menit), memerlukan jumlah cuplikan yang sangat sedikit (kira-kira 0,1 g). Selain itu, hasil palsu yang disebabkan oleh komponen sekunder tidak mungkin terjadi, kebutuhan ruangan
minimum
dan
penanganannya
sederhana
(Stahl
Egon
dalam
Khoirunni’mah, 2013) Totolkan larutan uji dan larutan baku, menurut cara yang tertera pada masing-masing monografi dengan jarak antara lebih kurang 1,5 cm dan lebih kurang 2 cm dari tepi bawah lempeng, dan biarkan mengering (tepi bawah lempeng adalah bagian lempeng yang pertama kali dilalui oleh alat membuat lapisan pada waktu melapiskan zat penjerap). Ketika bekerja dengan lempeng, gangguan fisik harus terhindarkan dari zat penjerap (Depkes RI, 1995). Beri tanda pada jarak 10 cm hingga 15 cm di atas titik penotolan. Tempatkan lempeng pada rak penyangga, hingga tempat penotolan terletak di sebelah bawah, dan masukkan rak ke dalam bejana kromatografi. Pelarut dalam bejana harus mencapai tepi bawah lapisan penjerap, tetapi titik penotolan jangan ampai terendam. Letakkan tutup bejana pada tempatnya, dan biarkan sistem hingga pelarut merambat 10 cm hingga 15 cm di atas titik penotolan, umumnya diperlukan waktu lebih kurang 15 menit hingga 1 jam. Keluarkan lempeng dari bejana, buat tanda batas rambat pelarut, keringkan lempeng di udara, dan amati bercak mula-mula dengan cahaya ultraviolet gelombang pendek (254 nm) dan kemudidan dengan cahaya ultraviolet gelombang panjang (366 nm). Ukur dan catat jarak tiap bercak dari titik penotolan serta catat panjang gelombang untuk tiap bercak yang diamati. Tentukan harga Rf untuk bercak utama. Jika diperlukan, semprot bercak dengan pereaksi yang ditentukan, amati dan bandingkan kromatogram zat uji dengan kromatogram baku pembanding (Depkes RI, 1995). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
Gambar 2.6 Skema kromatografi lapis tipis [Sumber : Mufidah, 2014]
2.13
Kromatografi Gas Spektrometri Massa Perkembangan teknologi instrumentasi menghasilkan alat yang merupakan
gabungan dari dua sistem dengan prinsip dasar yang berbeda satu sama lain tetapi dapat saling melengkapi, yaitu gabungan antara kromatografi gas dan spektrometri massa (GC-MS). Kedua alat dihubungkan dengan satu interfase. Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah berbagai komponen campuran dalam sampel, sedangkan spektrometri massa berfungsi untuk mendeteksi masing-masing molekul komponen yang telah dipisahkan pada sistem kromatografi gas. Berdasarkan kromatogram GC-MS akan diperoleh informasi jumlah senyawa yang terdeteksi dan dari spektra GC-MS akan diperoleh informasi struktur senyawa yang terdeteksi (Astuti, 2006). Dalam kromatografi gas, pemisahan terjadi ketika sampel diinjeksikan ke dalam fase gerak. Fase gerak yang biasa digunakan adalah gas inert seperti Helium. Fase gerak membawa sampel melalui fase diam yang ditempatkan dalam kolom. Sampel dalam fase gerak berinteraksi dengan fase diam dengan kecepatan yang berbeda-beda. Saat terjadi interaksi, yang tercepat akan keluar dari kolom lebih dulu, sementara yang lambat keluar paling akhir. Komponen-komponen yang telah terpisah kemudian menuju detektor. Detektor akan memberikan sinyal yang kemudian ditampilkan dalam komputer sebagai kromatogram. Pada kromatogram, sumbu x menunjukkan waktu retensi, RT(Retention Time, waktu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
saat sampel diinjeksikan sampai elusi berakhir), sedang sumbu y menunjukkan intensitas sinyal. Dalam detektor, selain memberikan sinyal sebagai kromatogram, komponen-komponen yang telah terpisah akan ditembak elektron sehingga terpecah menjadi fragmen-fragmen dengan perbandingan massa dan muatan tertentu (m/z). Fragmen-fragmen dengan m/z ditampilkan komputer sebagai spektra massa, dimana sumbu x menunjukkan perbandingan m/z sedangkan sumbu y menunjukkan intensitas. Dari spektra tersebut dapat diketahui struktur senyawa dengan membandingkannya dengan spektra massa standar dari literatur yang tersedia dalam komputer. Pendekatan pustaka terhadap spektra massa dapat digunakan untuk identifikasi bila indeks kemiripan atau Similarity Indeks (SI) berada pada rentangan ≥80 % (Astuti, 2006). Analisis GC-MS merupakan metode yang cepat dan akurat untuk memisahkan campuran yang rumit, mampu menganalisis campuran dalam jumlah yang kecil, dan menghasilkan data yang berguna mengenai struktur serta identitas senyawa organik (Astuti, 2006).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian I, Laboratorium Penelitian
II, Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Kimia Obat dan Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Waktu penelitian dimulai pada tanggal 29 Oktober 2014 hingga selesai.
3.2
Alat dan Bahan
3.2.1 Alat Alat yang dibutuhkan yaitu spektrofotometri UV/Vis (U-2900, Hitachi, Amerika), kromatografi gas spektrometri massa (5975 Inert MSD, The Agilent Technologies, USA), blender, corong, kertas saring, botol maserasi, spatel logam, cawan penguap, digital waterbath (SB-100, Eyela, Japan), kapas, vacuum rotary evaporator (N-1000, Eyela, Japan), wadah krim, batang pengaduk, kertas perkamen, oven (NDO-500, Eyela, Japan), lemari pendingin (DW-40W100, Haier, Tiongkok), mortar, stamper, sudip, pot salep, timbangan digital (GH 202, OGS, Japan), labu ukur (Pyrex, USA), aluminium foil, plastic wrap, pengaduk magnetik (MST Basic, Wiggen Hauser, USA)), digital stirring hotplate (Cimarec, USA), timbangan kilogram, mikropipet (Rainin, USA), gelas ukur (Scott Duran, Germany), gelas piala (Scott Duran, Germany), kaca arloji, pH meter (F-52, Horiba, Japan), Erlenmeyer (Pyrex, USA), pipet volumetric (Pyrex, USA), pipa kapiler, plat silica gel F254 (Merck Millipore, Germany), seperangkat alat uji KLT, apparatus melting point (Stuart, UK), spuit, tabung reaksi, seperangkat alat uji sel difusi franz.
3.2.2 Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah simplisia kencur (Kaempferia galanga L.), kulit bagian abdomen tikus putih betina galur Sprague Dawley (PT. Iratco, Bogor), n-heksan teknis yang telah didestilasi, vaselin album, 40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
adeps lanae, propilen glikol (Bratachem, Jakarta), metil paraben (Bratachem, Jakarta), propil paraben (Bratachem, Jakarta), natrium metabisulfit, trietanolamin, natrium hidroksida (Bratachem, Jakarta), kalium dihidrogen fosfat (Bratachem, Jakarta), alkohol 96% (Bratachem, Jakarta), metanol, etil asetat, karbopol 940 (Sahdong, Bio-Technology), asam stearat, isopropil miristat, setil alkohol, minyak zaitun, vitamin E dan air suling.
3.3
Prosedur Kerja
3.3.1 Isolasi Kristal Etil p-Metoksisinamat 3.3.1.1 Pengambilan Sampel Rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) diperoleh dan dikumpulkan dari Balittro, Cimanggu, Bogor pada tanggal 29 Oktober 2014. Rimpang kencur tersebut dipanen pada pukul 09.00 WIB dengan kondisi tanah kering.
3.3.1.2 Penyiapan Simplisia Rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) sebanyak 20 kg, dipisahkan dari cabang dan rantingnya, dan dibersihkan dengan air mengalir. Selanjutnya bahan disortasi basah, kemudian dikeringanginkan pada suhu ruangan selama satu hari. Rimpang kencur yang sudah kering dan bersih, kemudian dirajang membentuk irisan tipis-tipis sekitar 2-3 mm, lalu dikeringanginkan pada suhu ruangan, penjemuran irisan kencur dilakukan dengan menyebarkan irisan tersebut sehingga tidak terjadi penumpukan yang mengakibatkan tumbuhnya jamur. Pengeringan dilakukan selama 5-6 hari tanpa kena sinar matahari. Setelah irisan rimpang tersebut kering kemudian dilakukan penyortiran kering untuk memisahkan simplisia yang berjamur atau busuk. Setelah disortir simplisia yang kering dan berwarna coklat muda tersebut kemudian diblender hingga menjadi serbuk halus (Barus, 2009). Serbuk simplisia rimpang kencur kemudian disimpan dalam wadah tertutup, pada suhu ruangan. Penyimpanan serbuk tersebut dijauhkan dari sinar matahari langsung dan tempat yang lembab atau berair.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
3.3.1.3 Ekstraksi Serbuk simplisia rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) dimaserasi dengan menggunakan pelarut n-heksan yang sebelumnya telah dimurnikan. Sebanyak 500 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam botol maserasi dan ditambahkan n-heksan sebanyak 1 L sampai serbuk simplisia terendam seluruhnya dan terdapat lapisan pelarut setebal 3 cm di atas serbuk simplisia. Selanjutnya ditutup dan didiamkan selama 48 jam sambil sesekali diaduk. Hasil maserasi disaring dengan menggunakan kapas dan kertas saring. Selanjutnya pada serbuk dilakukan maserasi kembali sebanyak 3 kali pengulangan hingga pelarut hasil maserasi bening kekuningan. Hasil maserasi kencur disatukan dan dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator pada suhu 48-50°C sampai diperoleh larutan pekat ekstrak yang berwarna coklat kekuningan.
3.3.1.4 Isolasi Kristal Etil p-Metoksisinamat dari Ekstrak Kencur Ekstrak kental rimpang kencur yang disimpan dalam suhu kamar akan mengkristal hampir 80% nya. Penyimpanan pada lemari pendingin akan mempercepat terbentukya kristal. Kristal yang terbentuk kemudian dipisahkan dari ekstrak kental dengan cara melarutkan ekstrak kental rimpang kencur yang mengkristal dengan pelarut n-heksan lalu dilakukan penyaringan. Larutan ekstrak hasil penyaringan kemudian dipekatkan kembali menggunakan vaccum rotary evaporator pada suhu 48-50°C, lalu proses pemisahan kristal diulangi hingga ekstrak kental yang diperoleh tidak mengkristal lagi. Kristal yang tertinggal diatas kertas saring kemudian dicuci menggunakan n-heksan dan sedikit metanol. Kristal yang tidak ikut terlarut selama proses pencucian disaring untuk dipisahkan dengan kristal yang terlarut. Kristal yang terlarut dipekatkan kembali dengan vaccum rotary evaporator pada suhu 48-50°C. Kemudian proses pencucian diulangi beberapa kali sampai didapatkan kristal murni (Mufidah, 2014 telah dimodifikasi).
3.4
Identifikasi dan Uji Kemurnian Kristal Etil p-Metoksisinamat
3.4.1 Pemeriksaan Organoleptis Pemeriksaan secara fisik menggunakan panca indera yang meliputi pemeriksaan bentuk, warna, bau dan rasa (Depkes RI, 2000). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
3.4.2 Pengujian Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Pengujian KLT kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi dilakukan menggunakan plat silica gel F254 dengan eluen n-heksan dan etil asetat dengan perbandingan 3:2. Spot yang didapatkan kemudian dihitung nilai Rfnya dan dibandingkan dengan standar etil p-metoksisinamat. Tujuan dilakukannya pengujian KLT ini adalah untuk melihat kemurnian kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi (Mufidah, 2014 telah dimodifikasi).
3.4.3 Pengujian Titik Leleh Uji ini dilakukan dengan cara memasukkan sedikit kristal ke dalam pipa kapiler kecil yang kemudian dimasukkan ke dalam alat uji titik leleh. Rentang titik leleh dimulai dari suhu awal dimana kristal mulai melebur hingga seluruhnya melebur. Uji titik leleh dilakukan dengan tujuan untuk melihat kemurnian kristal etil p-metoksisinamat (Ruswanto dan Lestari 2013).
3.4.4 Pengujian Kromatografi Gas Spektrometri Massa (GC-MS) Pengujian kristal hasil isolasi menggunakan kromatografi gas spektrometri masa bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengukur kadar senyawa etil pmetoksisinamat yang terkandung didalam kristal hasil isolasi tersebut. Larutan induk etil p-metoksisinamat dengan konsentrasi 1000 ppm disiapkan dengan cara melarutkan 100 mg kristal hasil isolasi dalam metanol pro chromatography hingga 100 mL. Larutan tersebut kemudian diinjekkan ke dalam kromatografi gas spektrometri massa. Kolom yang digunakan adalah HP-5MS (30 m x 0,25 mm ID x 0,25 µm); suhu awal 70°C selama 2 menit, dinaikkan ke suhu 285°C dengan kecepatan 20°C/min selama 20 menit. Suhu MSD 285°C. Kecepatan aliran 1,2 mL/min dengan split 1:100. Parameter scanning dilakukan dari massa paling rendah yakni 35 sampai paling tinggi 550 (Umar et al., 2012).
3.5
Pembuatan Sediaan Sediaan yang akan dibuat meliputi, sediaan salep, krim dan gel, dimana
masing-masing formula mengandung etil p-metoksisinamat 1%. Penentuan dosis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
sediaan ini mengacu pada dosis sediaan setengah padat anti inflamasi natrium diklofenak yang beredar dipasaran.
3.5.1 Sediaan Salep Tabel 3.1 Formula Sediaan Salep Formula
Persentase Jumlah Bahan (%)
Kristal EPMS
1
Vaselin album
20
Setil alkohol
7
Propilen glikol
15
Alkohol 96%
5
Lanolin hidrat
ad 100
Cara pembuatan : Lanolin hidrat disiapkan dari hasil leburan adeps lanae sebanyak 75% dan ditambahkan air suling sebanyak 25% kemudian digerus hingga terbentuk masa setengah padat. Pembuatan salep diawali dengan meleburkan seluruh bahan dasar salep yaitu lanolin hidrat, vaselin album dan setil alkohol dalam cawan penguap di atas penangas air hingga suhu 60°C. Kemudian setelah melebur cawan tersebut diangkat dan dituangkan ke dalam lumpang dan ditambahkan propilen glikol sedikit demi sedikit sambil digerus hingga homogen. Setelah basis salep terbentuk dan dingin, kristal kencur yang sebelumnya telah dilarutkan dengan alkohol 96% ditambahkan sedikit demi sedikit sambil digerus hingga homogen.
3.5.2 Sediaan Krim Tabel 3.2 Formula Sediaan Krim Formula
Persentase Jumlah Bahan (%)
Kristal EPMS
1
Asam stearat
5
Isopropil miristat
3
Setil alkohol
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
Minyak zaitun
1
Trietanolamin
0,2
Propilen glikol
15
Metil paraben
0,2
Propil paraben
0,1
Vitamin E
0,1
Alkohol 96%
5
Air suling
ad 100
Cara pembuatan : asam stearat, isopropil miristat, setil alkohol, minyak zaitun dilebur menjadi satu dalam cawan I hingga suhu 60°C (fase minyak). Metil paraben, propil paraben, propilen glikol, trietanolamin dan air suling dilebur hingga suhu 60°C dalam cawan penguap II sebagai (Fase air). Kedua fase tersebut dicampur menjadi satu dalam lumpang, kemudian digerus terus menerus hingga terbentuk masa krim. Setelah masa krim terbentuk dan suhunya telah menurun ditambahkan vitamin E kemudian digerus hingga homogen. Setelah itu kristal kencur yang sebelumnya telah dilarutkan dengan alkohol 96% ditambahkan dengan sedikit demi sedikit sambil digerus hingga homogen.
3.5.3 Sediaan Gel Tabel 3.3 Formula Sediaan Gel Formula
Persentase Jumlah Bahan (%)
Kristal EPMS
1
Karbopol 940
1
Propilen glikol
15
Matil paraben
0,2
Propil paraben
0,1
Natrium metabisulfit
0,2
Trietanolamin
1
Alkohol 96%
5
Air suling
Ad 100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
Cara pembuatan : Karbopol didispersikan dalam air suling dingin kemudian diaduk sampai homogen, setelah itu ditambahkan air suling panas secukupnya diaduk hingga homogen, kemudian didiamkan beberapa saat setelah itu ditambahkan trietanolamin dan diaduk perlahan hingga homogen dan membentuk gel. Kemudian ditambahkan campuran air suling dengan propilen glikol, natrium metabisulfit, metil paraben dan propil paraben yang telah dididihkan sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga homogen. Setelah itu kristal kencur yang sebelumnya telah dilarutkan dengan alkohol 96% ditambahkan sedikit demi sedikit sambil digerus hingga homogen.
3.6
Penetapan Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan Penetapan kadar etil p-metoksisinamat dilakukan dengan metode
spektrofotometri UV-Vis terhadap tiga sediaan yang telah dibuat. Penetapan kadar dilakukan dengan cara mengekstraksi etil p-metoksisinamat dari sediaan dengan menggunakan pelarut metanol. Sebanyak 500 mg sediaan dilarutkan dalam metanol sampai 50 mL kemudian disaring menggunakan kertas saring. Hasil penyaringan yang merupakan hasil ekstraksi dengan konsentrasi 100 ppm kemudian dibuat pengenceran dengan konsentrasi 5 ppm untuk masing-masing sediaan. Pengenceran hasil ekstraksi tersebut kemudian dibaca serapannya. Serapan yang didapatkan kemudian dikurangi dengan serapan blanko (basis sediaan) dan disubstitusikan ke persamaan linier yang diperoleh dari kurva kalibrasi untuk mendapatkan nilai kadar etil p-metoksisinamat dalam masingmasing sediaan. Perlakuan ini dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan pada titik pengambilan yang berbeda pada masing-masing sediaan.
3.6.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Metanol Kristal etil p-metoksisinamat sebanyak 10 mg dilarutkan dalam 100 mL metanol untuk dibuat larutan induk 100 ppm. Larutan induk tersebut kemudian diencerkan dan dibuat seri konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm, 5 ppm, 6 ppm, 7 ppm, dan 8 ppm. Sebelum diukur serapan pada masing-masing seri konsentrasi, terlebih dahulu ditentukan panjang gelombang maksimum pada satu konsentrasi.
Kemudian
masing-masing
seri
konsentrasi
tersebut
diukur
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
serapannya pada panjang gelombang yang telah didapatkan dan dibuat kurva kalibrasinya. Persamaan regresi linier yang didapatkan dari kurva kalibrasi kemudian digunakan untuk menghitung konsentrasi sampel pada penetapan kadar etil p-metoksisinamat dalam sediaan.
3.6.2 Pengukuran Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan Sampel hasil pengenceran dari larutan induk hasil ekstraksi masingmasing sediaan kemudian diukur serapannya. Serapan yang didapatkan dikurangi dengan serapan blanko (basis kosong tanpa zat aktif) kemudian disubstitusikan ke persamaan regresi linier kurva kalibrasi untuk didapatkan nilai konsentrasinya. Kemudian kadar etil p-metoksisinamat ditentukan dalam persen dengan cara membagi hasil konsentrasi sebenarnya dengan konsentrasi teoritis dikalikan seratus persen.
3.7
Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro Uji penetrasi sediaan dilakukan dengan menggunakan alat sel difusi franz.
Membran difusi yang digunakan adalah membran kulit abdomen tikus putih betina galur Sprague Dawley berumur 2-3 bulan dengan kisaran berat badan 150200 gram. Ukuran diameter membran yang digunakan 3,14 cm² disesuaikan dengan alat uji difusi dengan ketebalan 0,6 mm ± 0,1 mm. Medium kompartemen reseptor yang digunakan pada pengujian ini adalah larutan yang terdiri dari dapar fosfat pH 7,4-etanol 96% (1:1) yang selanjutnya larutan ini disebut dengan larutan EDP (Ramadon, 2012). Pengujian dilakukan terhadap tiga formula sediaan yang telah dibuat dengan kandungan etil p-metoksisinamat 1%. Pegukuran kadar etil pmetoksisinamat yang terpenetrasi menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Dari hasil pengukuran yang diperoleh kemudian dilakukan perhitungan jumlah zat aktif yang terpenetrasi per luas area dan kecepatan penetrasi zat aktif tiap satuan waktu.
3.7.1 Penyiapan Membran Difusi Membran difusi yang digunakan adalah membran kulit abdomen tikus putih betina galur Sprague Dawley yang berumur 2-3 bulan dengan kisaran berat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
badan 150-200 gram. Tikus putih betina yang telah dibius dengan eter hingga mati, kemudian dicukur bulunya pada bagian abdomen secara hati-hati dan secepat mungkin. Kulit tersebut kemudian dipotong dan dibersihkan dari lemak subkutan yang menempel menggunakan air mengalir (Ramadon, 2012). Kulit yang telah bersih kemudian dipotong sesuai ukuran alat difusi kemudian dimasukkan ke dalam botol yang telah berisi larutan NaCl 0,9% fisiologis. Botol tersebut kemudian disimpan dalam lemari pendingin bersuhu -20°C (Bartosova, Bajgar, 2012).
3.7.2 Pembuatan Larutan EDP Pembuatan larutan EDP diawali dengan pembuatan larutan dapar fosfat pH 7,4 dengan cara sebanyak 250 ml larutan kalium dihidrogen fosfat 0,2 M dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 mL, kemudian ditambahkan kira-kira 195,5 ml larutan natrium hidroksida 0,2 M dan dilakukan pengujian pH menggunakan pH meter hingga pH 7,4. Selanjutnya ditambahkan air suling sampai tanda batas, kemudian labu ukur dikocok hingga larutan homogen, setelah itu larutan dapar fosfat pH 7,4 tersebut disimpan dalam wadah tertutup rapat, dibungkus dengan alumunium foil (Depkes RI, 1995 dalam Ramadon, 2012 ). Campuran etanol 96% dan dapar fosfat pH 7,4 (1:1) dibuat dengan cara memasukkan dapar fosfat pH 7,4 sebanyak 10 mL ke dalam labu ukur 100 mL kemudian ditambahkan etanol 96% sebanyak 50 mL dan ditambahkan dapar fosfat pH 7,4 sampai batas garis 100 mL, dikocok hingga homogen.
3.7.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Larutan EDP Dibuat larutan induk 100 ppm etil p-metoksisinamat dalam larutan EDP sebanyak 100 mL dengan cara menimbang 10 mg etil p-metoksisinamat dilarutkan dalam larutan EDP secukupnya, dipindahkan ke dalam labu ukur dan ditambahkan larutan EDP sampai batas garis 100 mL. Larutan induk tersebut kemudian dibuat seri konsentrasi larutan 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm, 5 ppm, 6 ppm, 7 ppm, dan 8 ppm. Sebelum dilakukan pengukuran serapan pada tiap-tiap seri konsentrasi, terlebih dahulu ditentukan panjang gelombang maksimum pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
satu konsentrasi. Setelah didapatkan panjang gelombang maksimum, masingmasing seri larutan tersebut diukur serapannya pada panjang gelombang maksimal tersebut. Hasil dari pengukuran tersebut kemudian dibuat kurva regresi linier dan diperoleh nilai persamaan yang akan digunakan untuk perhitungan kadar etil pmetoksisinamat terpenetrasi.
3.7.4 Uji Penetrasi Sediaan Sediaan ditimbang 200 mg dan diratakan di atas membran. Suhu media adalah 37 ± 0,5 ºC dengan total volume cairan reseptor 21 mL serta diaduk dengan pengaduk magnetik dengan kecepatan 500 rpm. Proses dilakukan selama 8 jam. Cuplikan diambil dari media kompartemen reseptor pada menit ke 10, 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360, 420, dan 480 sebanyak 1 ml dan segera digantikan dengan larutan EDP sejumlah volume yang sama (Lachman et al.,1994). Cuplikan yang diperoleh kemudian dilakukan pengenceran dan diukur serapannya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimal yang telah didapatkan sebelumnya. Proses yang sama dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan terhadap ketiga sediaan.
3.7.5 Perhitungan Jumlah Kumulatif dan Kecepatan Penetrasi Zat Aktif Jumlah kumulatif zat aktif yang terpenetrasi per luas area difusi (µg/cm2) dapat dihitung dengan rumus :
Keterangan :
=
+ ∑
.
Q
= jumlah kumulatif zat per luas area difusi (µg/cm2)
Cn
= konsentrasi zat (µg/mL) pada sampling ke-n
∑
.
= jumlah konsentrasi zat (µg/mL) pada sampling pertama (menit ke-10 hingga sebelum menit ke –n)
V
= volume medium reseptor difusi franz (mL)
S
= volume sampling (500 mL)
A
= luas area membran (cm2)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
Kemudian dilakukan perhitungan fluks (kecepatan penetrasi tiap satuan waktu) obat berdasarkan hukum Fick I : =
Keterangan : J
= fluks (µg cm-2 jam-1)
S
= luas area difusi (cm2)
M
= jumlah kumulatif zat yang melalui membran (µg)
T
= waktu (jam)
Setelah itu dibuat grafik jumlah kumulatif yang terpenetrasi (µg) perluas area difusi (cm2) terhadap waktu (jam) (Ramadon, 2012).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Isolasi Kristal Etil p-Metoksisinamat dari Ekstrak Kencur
4.1.1 Pembuatan Ekstrak Kencur Rimpang kencur segar yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 20 kg, setelah melalui serangkaian proses pembuatan simplisia diperoleh serbuk simplisia rimpang kencur sebanyak 4,2 kg. Serbuk simplisia yang dihasilkan berwarna kuning kecoklatan. Pembuatan serbuk simplisia bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel simplisia dan memperluas permukaan simplisia, sehingga simplisia akan lebih banyak kontak dengan pelarut ketika diekstrasi dan menghasilkan banyak senyawa yang tersari ke dalam pelarut. Gambar sebuk simplisia dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Serbuk simplisia rimpang kencur [Sumber : koleksi pribadi]
Serbuk simplisia sebanyak 3,5 kg diekstraksi menggunakan cara dingin yaitu dengan metode maserasi menggunakan pelarut n-heksan teknis yang telah didestilasi. Metode maserasi dipilih karena pengerjaannya mudah dan peralatan yang digunakan sederhana, selain itu metode ini juga cocok untuk senyawa yang termolabil (Tiwari et al., 2011). Penggunaan pelarut n-heksan sebagai penyari berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Taufikurohmah, Rusmini dan Nurhayati tahun 2008 yang menyatakan bahwa kepolaran etil p-metoksisinamat lebih mendekati heksan karena dalam etil p-metoksisinamat terdapat dua gugus 51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
yang mendukung sifat non-polar yaitu gugus ester yang mengandung cincin benzen dan gugus metoksi, sedangkan gugus yang mendukung ke arah polar hanya satu yaitu adanya karbonil yang mengikat etil. Proses maserasi diulangi sebanyak 3 kali pengulangan (lihat skema proses ekstraksi pada Lampiran 2) dan menghasilkan ekstrak kental berwarna coklat kekuningan 106,53 gram. Ekstrak kental yang didapatkan sebagian akan mengkristal saat penyimpanan pada suhu ruangan (Umar et al., 2012).
4.1.2 Isolasi Etil p-Metoksisinamat Isolasi senyawa etil p-metoksisinamat dilakukan dengan cara rekristalisasi senyawa (lihat skema rekristalisasi senyawa pada Lampiran 3).Senyawa etil pmetoksisinamat mengkristal pada suhu ruang, sehingga tahap isolasi menjadi mudah. Hampir 80% dari ekstrak kental yang didapatkan mengkristal saat dibiarkan disuhu ruang (Umar et al., 2012). Proses rekristalisasi senyawa ini dilakukan dengan dua tahapan proses yaitu pemisahan kristal dan pencucian kristal. Pemisahan kristal dilakukan dengan menambahkan pelarut n-heksan pada ekstrak kental, kemudian disaring. Tahapan ini bertujuan untuk memisahkan kristal etil p-metoksisinamat yang terbentuk dari kandungan ekstrak lainnya. Selanjutnya dilakukan proses pencucian kristal etil pmetoksisinamat menggunakan pelarut n-heksan dan metanol. Pencucian kristal bertujuan untuk memisahkan pengotor yang menempel pada kristal sehingga didapatkan kristal yang murni. Penggunaan pelarut n-heksan dan metanol pada tahap ini bertujuan untuk memisahkan senyawa semi polar yang sulit terpisah dari kristal etil p-metoksisinamat (Mufidah, 2014 telah diolah kembali). Kristal yang didapatkan sebanyak 40 gram dengan nilai rendemen kristal sebesar 1,143% (lihat perhitungan rendemen kristal pada Lampiran 6) 4.2
Identifikasi dan Uji Kemurnian Kristal Etil p-Metoksisinamat Identifikasi dan uji kemurnian kristal etil p-metoksisinamat dilakukan
dengan empat cara yaitu pengamatan organoleptis, uji kromatografi lapis tipis, uji titik leleh, dan uji kromatografi gas spektrofotometri massa.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
4.2.1 Pemeriksaan Organoleptis Pemeriksaan organoleptis terhadap kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi bertujuan untuk melihat identitas kristal etil p-metoksisinamat. Pemerian kristal berdasarkan hasil pengamatan secara organoleptis yaitu kristal berbentuk jarum, berwarna kuning pucat dan berbau khas aromatik lemah. Gambar kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi [Sumber : koleksi pribadi]
4.2.2 Pengujian KLT (Kromatografi Lapis Tipis) Uji KLT dilakukan terhadap kristal hasil isolasi untuk memastikan kemurnian dari kristal tersebut. Penggunaan plat silica gel F254 bertujuan agar spot senyawa dapat terlihat saat pembacaan pada sinar UV 254 nm. Penggunaan eluen n-heksan dan etil asetat dengan perbandingan 3:2 bertujuan agar senyawa etil pmetoksisinamat yang bersifat semi polar dapat tertarik dan terpisah dengan senyawa lain. Parameter kemurnian dapat dilihat dari jumlah spot dan perbandingan nilai Rf antara kristal hasil isolasi dengan standar etil pmetoksisinamat (Ruswanto dan Lestari, 2013). Berdasarkan nilai Rf kristal hasil isolasi dengan standar etil p-metoksisinamat menunjukkan nilai yang sama yaitu 0,8 dan hanya terdapat satu spot, sehingga kristal hasil isolasi dapat dikatakan murni senyawa etil p-metoksisinamat (Mufidah, 2014). Spot standar etil pmetoksisinamat dan isolat kristal dapat dilihat pada Gambar 4.3.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
(a)
(b)
Gambar 4.3 Spot senyawa etil p-metoksisinamat pada plat silica gel F254 (visualisasi sinar UV λ 254 nm). (a) Standar etil p-metoksisinamat; (b) isolat kristal etil p-metoksisinamat [Sumber : koleksi pribadi]
4.2.3 Pengujian Titik Leleh Uji titik leleh dilakukan terhadap kristal hasil isolasi untuk memastikan kemurnian dari kristal tersebut. Rentang titik leleh dimulai dari suhu awal dimana kristal mulai melebur hingga seluruhnya melebur. Parameter kemurnian suatu senyawa dapat dinilai dari rentang titik leleh awal hingga melebur sempurna tidak lebih dari 2°C (Ruswanto, 2013). Rentang titik leleh yang didapatkan dari pengujian ini yaitu 49-50°C hanya lebih 1°C dengan titik leleh standar etil pmetoksisinamat yaitu 49°C (Umar et. al., 2014). Oleh karena itu kristal hasil isolasi dapat dikatakan murni senyawa etil p-metoksisinamat (Mufidah, 2014). 4.2.4 Pengujian Kromatografi Gas Spektrometri Massa (GC-MS) Pengujian kristal hasil isolasi dengan metode kromatografi gas spektrometri massa (GC-MS) dilakukan untuk melihat identitas kristal dan kemurnian
senyawa
etil
p-metoksisinamat.
Penggunaan
metanol
pro
chromatography sebagai pelarut sampel pada pengujian ini dikarenakan etil pmetoksisinamat memiliki kelarutan tertinggi pada pelarut tersebut. Identitas senyawa etil p-metoksisinamat ditunjukkan oleh waktu retensi, bobot molekul dan fragmentasi masa. Hasil interpretasi GC-MS menunjukkan bahwa senyawa isolat kencur muncul pada waktu retensi 9,914 menit, bobot molekul 206,1 dengan fragmentasi massa 161, 134, 118, 89, 77, 63 dan 51. Sedangkan standar etil pmetoksisinamat muncul pada 9,913 menit, bobot molekul 206,0 dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
fragmentasi massa 161, 134, 118, 89, 77, 63 dan 51. Kedua hasil tersebut sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa senyawa etil p-metoksisinamat muncul pada waktu retensi 9,9, bobot molekul 206,4 serta memiliki fragmentasi massa pada 161, 134, 118, 89, 77, 63 dan 51 (Umar et al., 2012). Parameter kemurnian ditunjukkan dari hasil nilai luas puncak kristal etil p-metoksisinamat. Berdasarkan nilai luas puncak baik kristal hasil isolasi maupun standar etil p-metoksisinamat menunjukkan bahwa kadar senyawa etil p-metoksisinamat adalah murni 100% (lihat pada Lampiran 7). Kromatogram standar etil p-metoksisinamat dapat dilihat pada Gambar 4.4, sedangkan kromatogram isolat kristal etil p-metoksisinamat dapat dilihat pada Gambar 4.5. (a)
(b)
(c) (a) (b) (c)
(b)
Gambar 4.4 Kromatogram standar etil p-metoksisinamat. (a) waktu retensi; (b) fragmentasi massa dan bobot molekul. [Sumber : koleksi pribadi] UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
(a)
(b)
Gambar 4.5 Kromatogram isolat kristal etil p-metoksisinamat. (a) waktu retensi; (b) fragmentasi massa dan bobot molekul. [Sumber : koleksi pribadi]
4.3
Pembuatan Sediaan
4.3.1 Pembuatan Sediaan Salep Sediaan salep dibuat dengan cara meleburkan seluruh bahan dasar salep yaitu lanolin hidrat, vaselin album, dan setil alkohol dalam cawan penguap di atas penangas air hingga suhu 60°C. Lanolin hidrat dipilih sebagai basis utama dalam sediaan ini karena kemampuannya yang dapat menyerap sedikit air. Setil alkohol digunakan sebagai pengemulsi tipe A/M, sedangkan vaselin album berfungsi untuk pencukup volume dan pembentuk tekstur salep sehingga tidak terlalu lembek dan cair. Peleburan dilakukan hingga suhu 60°C karena pada suhu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
tersebut seluruh basis salep telah melebur dengan sempurna. Setelah melebur sempurna, campuran tersebut diangkat dan dituangkan kedalam lumpang kemudian digerus sambil ditambahkan propilen glikol hingga terbentuk masa salep. Propilen glikol berfungsi sebagai agen peningkat penetrasi yang membantu senyawa etil p-metoksisinamat berdifusi kedalam kulit. Kristal etil p-metoksisinamat yang telah ditimbang sebanyak 1% dari bobot sediaan yang dibuat kemudian dilarutkan dalam alkohol 96%. Tujuan dilarutkannya kristal etil p-metoksisinamat dalam alkohol 96% adalah untuk mempermudah mencampurkannya ke dalam basis salep, selain itu alkohol 96% juga berfungsi sebagai agen peningkat penetrasi etil p-metoksisinamat kedalam kulit. Pemilihan alkohol 96% sebagai pelarut dalam sediaan karena toksisitasnya lebih rendah dibandingkan pelarut semi polar lainnya yang dapat melarutkan etil p-metoksisinamat.
Larutan
etil
p-metoksisinamat
dalam
alkohol
96%
dicampurkan kedalam basis salep yang telah dingin sedikit demi sedikit hingga homogen. Sediaan yang dihasilkan berwarna kuning, berbau khas lemah dengan bentuk semi padat, jika dioleskan meninggalkan bekas minyak dikulit.
4.3.2 Pembuatan Sediaan Krim Sediaan krim dibuat dengan cara melebur masing-masing fase minyak dan fase air dalam cawan penguap diatas penangas air hingga suhu 60°C. Fase minyak pada sediaan krim ini terdiri asam stearat, setil alkohol, isopropil miristat dan minyak zaitun. Pemilihan fase minyak pada sediaan ini telah disesuaikan dengan kompatibilitas zat aktif. Perbandingan persentase masing-masing fase minyak didalam sediaan juga disesuaikan dengan konsentrasi lazim dalam Handbook of Pharmaceutical Excipient serta disesuaikan dengan tekstur krim yang semi padat, mudah dioleskan dan tidak meninggalkan bekas minyak dikulit. Fase air pada sediaan krim ini terdiri dari air suling, propilen glikol, metil paraben, propil paraben dan TEA. TEA berfungsi sebagai emulgator fase air dan juga pengatur pH agar sesuai dengan pH kulit (4,5-6,5). Metil paraben dan propil paraben berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan bakteri pada sediaan, mengingat hampir 50% sediaan mengandung fase air yang mudah ditumbuhi jamur dan bakteri. Setelah kedua fase melebur sempurna dan masing-masing UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
mencapai suhu yang telah ditetapkan, kedua fase dituangkan dalam suatu lumpang yang bersih dan digerus hingga terbentuk masa krim. Setelah masa krim yang terbentuk dingin, kemudian ditambahkan vitamin E. Vitamin E berfungsi sebagai antioksidan dalam sediaan.Tahap selanjutnya sama dengan tahap pembuatan salep. Sediaan krim yang terbentuk berwarna kuning kehijauan, berbau khas lemah dengan bentuk semi padat dan tidak meninggalkan bekas minyak setelah dioleskan di kulit.
4.3.3 Pembuatan Sediaan Gel Sediaan gel dibuat dengan cara mendispersikan karbopol 940 dengan air suling, lalu ditambahkan air suling panas kemudian ditambahkan TEA. Karbopol 940 digunakan sebagai bahan utama basis gel, sedangkan TEA bertujuan untuk mengembangkan karbopol menjadi basis gel. Basis gel yang terbentuk kemudian ditambahkan campuran air suling, propilen glikol, metil paraben, propil paraben dan natrium metabisulfit yang sebelumnya telah dipanaskan. Propilen glikol, metil paraben dan propil paraben dalam sediaan ini memiliki fungsi yang sama dengan fungsi pada sediaan krim. Tahap selanjutnya sama dengan tahap pembuatan salep dan krim. Sediaan yang terbentuk berwarna kuning sedikit transparan, berbau khas lemah dan cepat meresap kedalam kulit. (a)
(b)
(c)
Gambar 4.6 (a) Sediaan salep; (b) Sediaan krim; (c) Sediaan gel dengan kandungan etil p-metoksisinamat 1%. [Sumber : koleksi pribadi]
4.4
Penetapan Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan Kadar
etil
p-metoksisinamat
dalam
sediaan
ditetapkan
dengan
menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis. Seperti halnya penetapan kadar hasil uji penetrasi, metode ini dipilih karena selain cepat, sederhana dan mudah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
penanganannya, metode ini juga sering digunakan sebagai analisa kuantitatif untuk penetapan kadar suatu senyawa (Henry, Suryadi, Yanuar 2002). Penetapan kadar dengan metode spektrofotometri UV-Vis terlebih dahulu harus dibuat kurva kalibrasi standar etil p-metoksisinamat dalam pelarut yang akan digunakan untuk mengekstraksinya dalam sediaan. Setelah itu etil p-metoksisinamat yang terkandung dalam masing-masing sediaan diekstraksi pada konsentrasi tertentu, kemudian diukur serapannya menggunakan spektrofotometri UV-Vis.
4.4.1
Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Metanol Pembuatan kurva kalibrasi etil p-metoksisinamat dalam metanol dilakukan
untuk mendapatkan persamaan regresi linier yang akan digunakan untuk menetapkan kadar etil p-metoksisinamat dalam masing-masing sediaan. Tahap ini diawali dengan penentuan panjang gelombang etil p-metoksisinamat dalam metanol. Berdasarkan hasil pengukuran panjang gelombang tersebut didapatkan puncak serapan yaitu pada 308,2 nm. Menurut Tanjung pada penelitiannya tahun 1997, identifikasi kristal etil p-metoksisinamat secara spektrofotometri UV-Vis dengan pelarut etanol memberikan dua puncak pada panjang gelombang 225 nm dan 307 nm. Sedangkan menurut Rohmah, Taufikurohmah dan Poernowo pada penelitiannya tahun 2009, menyatakan bahwa senyawa etil p-metoksisinamat memiliki panjang gelombang maksimum 228 nm (benzen) dan 310 nm (sinamoil). Panjang gelombang maksimal tersebut kemudian digunakan sebagai optimasi pada pembuatan kurva kalibrasi standar etil p-metoksisinamat dan pengukuran larutan uji. Pembuatan kurva kalibrasi etil p-metoksisinamat dalam pelarut metanol pada panjang gelombang maksimum 308,2 nm menghasilkan persamaan regresi linier y = 0,125x - 0,009 dengan nilai koefisien relasi = 0,9995. Data kurva kalibrasi dapat dilihat pada Lampiran 10. Kurva kalibrasi penetapan kadar etil pmetoksisinamat dalam sediaan dapat dilihat pada Lampiran 11.
4.4.2
Pengukuran Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan Pada penetapan kadar etil p-metoksisinamat ini perlu dilakukan ekstraksi
etil p-metoksisinamat dari masing-masing sediaan. Ekstraksi tersebut dilakukan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
dengan cara melarutkan sediaan di dalam metanol. Metanol dipilih sebagai pelarut pengekstraksi sebab etil p-metoksisinamat sangat mudah larut dalam metanol. Larutan hasil ekstraksi kemudian dilakukan pengenceran dengan konsentrasi 5 ppm pada masing-masing sediaan. Larutan hasil pengenceran kemudian diukur serapannya menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 308,2 nm. Perlakuan ini diulangi hingga 3 kali pengulangan pada masing-masing sediaan di titik-titik pengambilan yang berbeda. Perlakuan tersebut juga dilakukan terhadap basis masing-masing sediaan tanpa etil p-metoksisinamat. Kemudian hasil absorbansi sampel yang didapatkan dikurangi dengan absorbansi basis tanpa etil p-metoksisinamat. Data hasil pengukuran kadar etil p-metoksisinamat dalam sediaan dapat dilihat pada Lampiran 12. Berdasarkan hasil penetapan kadar diketahui bahwa kadar etil pmetoksisinamat dalam sediaan salep, krim dan gel berturut–turut yaitu 0,86%, 1,03% dan 1,00 %.
4.5
Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro
4.5.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Larutan EDP Pembuatan kurva kalibrasi etil p-metoksisinamat untuk uji penetrasi sama halnya dengan pembuatan kurva kalibrasi untuk penetapan kadar etil pmetoksisinamat dalam sediaan. Perbedaannya terletak pada pelarut yang digunakan untuk melarutkan standar etil p-metoksisinamat. Panjang gelombang maksimum standar etil p-metoksisinamat dalam larutan EDP yaitu 310,2 nm. Persamaan regresi linier hasil pembuatan kurva kalibrasi yaitu y = 0,117x + 0,002 dengan nilai koefisien relasi= 0,9997. Kurva kalibrasi dapat dilihat pada Lampiran 15, sedangkan data kurva kalibrasi dapat dilihat pada Lampiran 14.
4.5.2 Penyiapan Membran Sel Difusi dari Kulit Tikus Uji penetrasi secara in vitro menggunakan kulit sebagai membran. Membran dapat berupa membran biologis dari hewan atau membran artificial seperti membran selofan. Membran yang digunakan pada penelitian ini adalah membran dari kulit abdomen tikus putih betina galur Sprague Dawley yang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
berumur 2-3 bulan dengan kisaran berat 150-200 gram. Membran yang digunakan diseleksi dengan ketebalan 0,6 ± 0,1 mm dan luas membran 3,14 cm2 disesuaikan dengan alat uji difusi. Kulit tikus ini dipilih sebagai membran difusi karena cukup mudah didapatkan dan permeabilitas kulit tikus yang telah dicukur bulunya mirip dengan permeabilitas kulit manusia. Kulit manusia memiliki koefisien permeabilitas sebesar 93 cm/jam x 105, sedangkan kulit tikus yang telah dicukur bulunya memiliki koefisien permeabilitas sebesar 103 cm/jam 105 (Kielhorn, Kollmuβ, Mangelsdorf, 2006). Akan tetapi, penggunaan kulit tikus ini juga memiliki kekurangan lainnya yaitu memiliki luas penampang yang kecil. Untuk mengatasinya, kulit diambil pada daerah yang sama sehingga memperkecil variasi tempat yang akan digunakan untuk uji penetrasi (Hadyanti, 2008). Tikus yang sehat dibius dengan eter hingga mati, kemudian kulit bagian abdomen dicukur bulunya secara hati-hati. Pencukuran bulu pada kulit dilakukan secepat mungkin agar tidak terjadi luka pada kulit yang dapat berpengaruh terhadap laju penetrasi suatu obat. Kulit bagian abdomen yang telah dicukur kemudian dipotong dan dibersihkan dari lemak subkutan yang menempel. Lemak subkutan yang masih menempel pada kulit dapat mengganggu penetrasi etil pmetoksisinamat ke dalam kulit (Ramadon, 2012). Kulit yang telah dibersihkan dengan air kemudian dipotong sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan, lalu disimpan di dalam botol yang berisi NaCL 0,9% fisiologis pada suhu -20°C. Penyimpanan kulit segar dapat bertahan selama 1 bulan jika disimpan pada suhu -20°C dan tidak memiliki efek relevan pada permeabilitas in vitro baik kulit manusia maupun kulit hewan (Bartosova, Bajgar, 2012).
4.5.3 Pengujian Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Pada pengujian ini dilakukan uji penetrasi etil p-Metoksisinamat secara in vitro menggunakan sel difusi franz. Uji ini dilakukan untuk mengetahui jumlah etil p-metoksisinamat terpenetrasi melalui kulit selama interval waktu tertentu dari sediaan salep, krim dan gel yang telah dibuat (Bartosova, Bajgar, 2012). Hal yang harus diperhatikan pada uji penetrasi secara in vitro adalah kelarutan zat aktif. Pada pengujian ini etil p-metoksisinamat harus larut dalam cairan kompartemen reseptor yang digunakan. Berdasarkan struktur kimia etil pUIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
metoksisinamat diketahui bahwa etil p-metoksisinamat bersifat hidrofobik, sehingga akan sulit larut dalam medium kompartemen reseptor jika medium yang digunakan air atau dapar fosfat pH 7,4. Untuk mengatasi masalah kelarutan obat hidrofobik, maka diperbolehkan untuk menambahkan bahan pensolubilisasi ke dalam kompartemen reseptor (Ramadon, 2012). Medium kompartemen reseptor yang digunakan pada penelitian ini adalah campuran yang terdiri dari etanol 96% dan dapar fosfat pH 7,4 dengan perbandingan 1:1 (Larutan EDP). Dapar fosfat pH 7,4 dipilih untuk medium reseptor sebagai simulasi cairan biologis tubuh. Penambahan etanol 96% pada medium reseptor digunakan sebagai bahan pensolubilisasi. Sebelum dilakukan uji penetrasi, membran kulit yang disimpan pada suhu -20°C diambil kemudian direndam pada medium kompartemen reseptor selama 10-30 menit. Perendaman ini dilakukan untuk mengkondisikan kulit seperti sebelum dilakukan penyimpanan (Bartosova, Bajgar, 2012). Sediaan ditimbang sebanyak 200 mg dan diratakan di atas membran yang telah diletakkan diatas alat uji difusi. Penentuan bobot sediaan yang diaplikasikan berdasarkan luas membran dan penyebaran sediaan yang merata. Pengaplikasian sediaan dengan bobot yang terlalu besar pada luas membran yang kecil akan menyebabkan terjadinya penumpukan sediaan pada lapisan atas membran. Sehingga zat aktif tidak sepenuhnya terlepas dari sediaan dan hanya tertinggal di permukaan kulit (Simanjuntak, 2006). Pengujian dilakukan selama 8 jam, dengan suhu medium kompartemen reseptor 37 ± 0,5°C disesuaikan dengan kondisi suhu tubuh. Total volume cairan reseptor yaitu 21 mL dengan kecepatan pengadukan 500 rpm. Pencuplikan dilakukan pada menit ke 10, 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360, 420 dan 480 (Anggraeni, 2008). Pencuplikan sebanyak 1 ml dan digantikan dengan medium kompartemen
reseptor
yang
baru
dengan
volume
yang
sama
untuk
mempertahankan sink condition (Lachman et al.,1994). Hasil cuplikan kemudian dilakukan pengenceran dan di ukur serapannya menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang maksimum 310,2 nm.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
4.5.4 Jumlah Kumulatif Zat Terpenetrasi Per Luas Area Jumlah kumulatif zat aktif terpenetrasi per luas area dapat dihitung dari data absorbansi hasil pengukuran menggunakan spektrofotometri UV-Vis (contoh perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 25 & 26). Data hasil perhitungan jumlah kumulatif difusi etil p-metoksisinamat per luas area dapat dilihat pada tabel 4.1, sedangkan grafik jumlah kumulatif etil p-metoksisinamat per luas area dapat dilihat pada Gambar 4.7. Tabel 4.2 menunjukkan data persentase kumulatif difusi etil p-metoksisinamat. Tabel 4.1 Jumlah Kumulatif Difusi Etil p-Metoksisinamat Per Luas Area dari Sediaan Salep, Krim dan Gel. Waktu (Menit)
Jumlah Zat Aktif Terpenetrasi Per Luas Area (µg/cm²)
0 10 30 60 90 120 180 240 300 360 420 480
Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per Luas Area (µg/cm2) Salep Krim Gel 0 ,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 7 ,58 ± 1,81 7,41 ± 1,44 6,82 ± 0,51 28,60 ± 7,33 19,98 ± 5,02 28,59 ± 5,98 59,42 ± 13,19 56,65 ± 12,79 90,11 ± 11,91 92,93 ± 15,64 153,88 ± 8,36 210,55 ± 20,02 113,01 ± 22 ,05 234,83 ± 18,56 335,58 ± 30,25 182,57 ± 30 ,05 296,14 ± 33,30 501,13 ± 30,13 226,99 ± 23 ,80 402,86 ± 32,82 571,75 ± 37,61 256,01 ± 21 ,01 473,29 ± 23,83 582,24 ± 31,60 284,55 ± 19 ,51 506,32 ± 19,75 589,46 ± 31,55 308,52 ± 22 ,90 538,10 ± 10,34 561,14 ± 27,81 299,69 ± 12 ,70 548,12 ± 5,85 541,80 ± 17,31
600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Salep Krim Gel
0
60
120 180 240 300 360 420 480 Waktu (Menit)
Gambar 4.7 Grafik jumlah kumulatif etil p-metoksisinamat yang berdifusi per luas area. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
Tabel 4.2 Persentase Kumulatif Difusi Etil p-Metoksisinamat Per Luas Area Waktu (Menit) 0 10 30 60 90 120 180 240 300 360 420 480
% Kumulatif Difusi Etil p-Metoksisinamat Per Luas Area Salep Krim Gel 0 ,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 1 ,11 ± 0,33 1,13 ± 0,22 1,04 ± 0,08 4,17 ± 1,34 3,05 ± 0,77 4,36 ± 0,91 9,16 ± 2,42 8,65 ± 1,95 13,75 ± 1,82 14,34 ± 2,86 23,49 ± 1,28 32,14 ± 3,06 19,21 ± 4,04 35,85 ± 2,83 51,23 ± 4,62 29,25 ± 5,51 45,20 ± 5,08 76,50 ± 4,60 37,07 ± 4,36 61,50 ± 5,01 87,28 ± 5,74 44,94 ± 3,82 72,25 ± 3,64 88,88 ± 4,82 49,71 ± 3,85 77,29 ± 3,01 89,98 ± 4,82 51,21 ± 4,19 82,14 ± 1,58 85,66 ± 4,24 54,25 ± 2,33 83,67 ± 0,89 82,71 ± 2,64
Dari hasil difusi etil p-metoksisinamat selama 8 jam pada tabel 4.1 dan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa nilai persentase dan jumlah kumulatif zat aktif terpenetrasi per luas area melalui membran kulit tikus tertinggi pada jam ke- 6 dihasilkan oleh sediaan gel yaitu 89,98 ± 4,82%, diikuti oleh sediaan krim yaitu 77,29 ± 3,01%, dan nilai terendah dihasilkan oleh sediaan salep yaitu 49,71 ± 2,33%. Nilai tersebut menunjukkan kadar etil p-metoksisinamat yang terdapat didalam cairan reseptor. Selain yang terakumulasi dalam medium reseptor, etil pmetoksisinamat yang berdifusi sebagian tertinggal dalam jaringan kulit tikus yang digunakan sebagai membran difusi. Oleh karena itu jumlah total etil pmetoksisinamat yang berdifusi sebenarnya lebih besar dari nilai terukur dalam cairan reseptor (Anggraeni, 2008). Penetrasi etil p-metokisisinamat ke dalam kulit dapat terjadi karena beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi penetrasi etil pmetoksisinamat ke dalam kulit yaitu agen peningkat penetrasi. Agen peningkat penetrasi yang terkandung dalam sediaan yaitu alkohol 96% dan propilen glikol. Alkohol dalam sediaan yang berfungsi sebagai pelarut etil p-metoksisinamat juga mampu meningkatkan penetrasi etil p-metoksisinamat ke dalam kulit. Hal ini terjadi karena alkohol dapat mengekstrak lipid dan protein pada stratum korneum sehingga kepolaran stratum korneum meningkat dan senyawa hidrofilik dapat masuk menembus stratum korneum. Alkohol juga meningkatkan kelarutan zat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
lipofilik dalam area lipofilik stratum korneum (Kielhorn, Kollmuβ, Mangelsdorf, 2006). Propilen glikol dilaporkan dapat meningkatkan penetrasi senyawa lipofilik. Mekanisme kerja propilen glikol sebagai agen peningkat penetrasi hanya dapat terjadi pada senyawa yang lebih larut dalam alkohol daripada air. Hal ini sesuai dengan sifat kelarutan etil p-metoksisinamat yang lebih larut dalam alkohol daripada air (Nuebert, 2006). Adanya komponen zat pembawa yang dapat menghidrasi kulit juga turut mendorong terjadinya absorpsi dalam kulit. Hidrasi stratum korneum merupakan salah satu faktor utama yang meningkatkan penetrasi zat aktif baik hidrofilik atau lipofilik melalui membran. Hal ini disebabkan oleh struktur histologi sel tanduk dan oleh benang-benang keratin yang dapat mengembang dalam air dan pada media lipida amorf yang meresap disekitarnya (Simanjuntak, 2006). Umumnya stratum korneum mengandung 5-20% air, dan dapat meningkat hingga diatas 50% ketika terjadi hidrasi. Terjadinya hidrasi kulit maka kulit akan bersifat lebih permeabel. Sifat permeabilitas kulit yang meningkat akan meningkatkan penetrasi obat (Kielhorn, Kollmuβ, Mangelsdorf, 2006). Dalam hal ini, sediaan gel memiliki kandungan air yang paling tinggi dibandingkan dengan sediaan krim dan salep. Faktor lain yang tidak kalah penting yaitu afinitas zat aktif terhadap pembawanya. Afinitas zat aktif terhadap pembawanya berkaitan dengan kelarutan zat aktif dalam pembawanya. Dalam hal ini, diketahui bahwa etil pmetoksisinamat merupakan senyawa semi polar maka kelarutan etil pmetoksisinamat paling tinggi terjadi pada sediaan salep, diikuti krim dan gel. Afinitas zat aktif yang terlalu tinggi terhadap pembawanya justru menghambat pelepasan senyawa untuk menembus stratum korneum Bila sifat lipofilik sangat besar pada campuran senyawa dan pembawanya maka senyawa akan tertumpuk di atas stratum korneum dan akibatnya tidak mampu berdifusi kedalam epidermis. Sediaan gel merupakan sediaan yang memiliki afinitas terkecil dibandingkan sediaan krim dan salep, hal ini dikarenakan kelarutan etil p-metoksisinamat dalam pembawa berair yang rendah. Hal tersebut akan menyebabkan etil pmetoksisinamat lebih mudah terlepas dari pembawanya, sehingga akan lebih mudah berdifusi ke dalam stratum korneum (Simanjuntak, 2006). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
Dari hasil pengolahan data menggunakan SPSS 16 dengan metode Uji One Way Anova menunjukkan bahwa hasil persentase kumulatif etil p-metoksisinamat per luas area dari ketiga sediaan tidak memiliki perbedaan secara bermakna pada menit ke-60 dikarenakan nilai signifikansi < 0,05, tetapi pada menit ke-120 hingga 300 memiliki perbedaan secara bermaknanilai. Pada menit ke-360 dan 480 dediaan krim dan gel tidak memiliki perbedaan secara bermakna, tetapi kedua sediaan tersebut memiliki perbedan secara bermakna dengan sediaan salep ditunjukkan dengan nilai signifikansi > 0,05 (lihat pada Lampiran 22).
4.5.5 Fluks Penetrasi Fluks penetrasi etil p-metoksisinamat dapat dihitung dari data jumlah kumulatif etil p-metoksisinamat terpenetrasi (contoh perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 27). Berdasarkan hasil perhitungan tersebut didapatkanlah hasil seperti yang tertera pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Kecepatan Penetrasi (Fluks) Etil p-Metoksisinamat Tiap Satuan Waktu Waktu (Menit) 0 10 30 60 90 120 180 240 300 360 420 480
Fluks Penetrasi (µg cm-² jam-¹) Salep Krim Gel 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 36,39 ± 10,33 44,34 ± 8,64 40,85 ± 3,07 45,56 ± 14,34 39,96 ± 10,05 57,19 ± 11,96 50,02 ± 13,42 56,65 ± 12,79 90,11 ± 11,91 52,19 ± 10,86 102,58 ± 5,57 140,37 ± 13,35 52,42 ± 11,04 117,42 ± 9,28 167,79 ± 15,12 53,22 ± 10,51 98,71 ± 11,10 167,04 ± 10,04 50,58 ± 5,36 100,71 ± 8,20 142,94 ± 9,40 49,06 ± 4,82 94,66 ± 4,77 116,45 ± 6,32 45,22 ± 3,85 84,39 ± 3,29 98,24 ± 5,26 39,94 ± 3,19 76,87 ± 1,48 80,16 ± 3,97 37,02 ± 1,33 68,52 ± 0,73 67,72 ± 2,16
Berdasarkan data pada tabel 4.3 dapat diketahui bahwa nilai fluks penetrasi sediaan salep, krim dan gel pada jam ke- 6 berturut –turut yaitu 45,22 ± 3,85 µg cm-² jam-¹, 84,39 ± 3,29 µg cm-² jam-¹, dan 98,24 ± 5,26 µg cm-² jam-¹. Grafik fluks penetrasi etil p-metoksisinamat tiap satuan waktu dapat dilihat pada Gambar 4.8. Kurva yang menaik menunjukkan adanya peningkatan kecepatan penetrasi pada sediaan, sedangkan kurva yang menurun menunjukkan penurunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
kecepatan penetrasi etil p-metoksisinamat dari sediaan ke dalam kulit. Berdasarkan kurva pada Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa titik maksimal pada sediaan salep terjadi pada menit ke- 180, sedangkan pada sediaan krim dan gel
Fluks Penetrasi (µg cm-² jam-¹)
terjadi pada menit ke-120. 180 160 140 120 100
Salep
80
Krim
60
Gel
40 20 0 0
60
120 180 240 300 360 420 480 Waktu (Menit)
Gambar 4.8 Grafik fluks penetrasi etil p-metoksisinamat tiap satuan waktu Titik maksimal pada kurva menunjukkan bahwa pada menit tersebut terjadi penetrasi etil p-metoksisinamat dalam jumlah yang terbesar dibandingkan pada waktu yang lainnya. Perbedaan titik maksimal fluks penetrasi disebabkan perbedaan kecepatan suatu zat terpenetrasi ke dalam kulit. Kecepatan penetrasi senyawa berbanding lurus dengan jumlah kumulatif zat aktif terpenetrasi per luas area menurut hukum Ficks I. Oleh karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kumulatif etil p-metoksisinamat yang terpenetrasi per luas area turut mempengaruhi kecepatan penetrasi etil p-metoksisinamat melalui membran difusi (Anggraeni, 2008). Dari hasil pengolahan data menggunakan statistik SPSS 16 dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai fluks penetrasi etil p-metoksisinamat dari ketiga sediaan yang diuji tidak memiliki perbedaan secara bermakna pada menit ke-60 dikarenakan nilai signifikansi > 0,05. Adanya perbedaan secara bermakna pada nilai fluks ketiga sediaan mulai dari menit ke-90 hingga 360. Pada menit terakhir yaitu menit ke-480, perbedaan secara bermakna hanya ditunjukkan oleh sediaan salep terhadap kedua sediaan lain, sedangkan sediaan krim dan gel tidak memiliki perbedaan secara bermakna (lihat pada Lampiran 23). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil uji penetrasi secara in vitro menggunakan sel difusi
franz dengan kulit abdomen tikus betina galur Sprague Dawley sebagai membran difusi didapatkan hasil nilai persentase kumulatif etil p-metoksisinamat yang terpenetrasi per luas area mulai dari jumlah tertinggi hingga terendah pada jam ke6 berturut-turut yaitu 89,98 ± 4,82% pada sediaan gel, diikuti oleh sediaan krim yaitu 77,29 ± 3,01%, dan nilai terendah dihasilkan oleh sediaan salep yaitu 49,71 ± 2,33%. Kecepatan penetrasi etil p-metoksisinamat tertinggi hingga terendah pada jam ke -6 berturut-turut yaitu 98,24 ± 5,26 µg cm-² jam-¹ pada sediaan gel, diikuti oleh sediaan krim yaitu 84,39 ± 3,29 µg cm-² jam-¹, dan nilai terendah dihasilkan oleh sediaan salep yaitu 45,22 ± 3,85 µg cm-² jam-¹. Menurut parameter nilai persentase kumulatif dan kecepatan penetrasi yang telah didapatkan dapat disimpulkan bahwa sediaan gel merupakan sediaan yang terbaik sebagai pembawa etil p-metoksisinamat, karena memiliki daya penetrasi tertinggi diikuti oleh sediaan krim dan sediaan salep.
5.2
Saran a.
Perlu dilakukan uji penetrasi sediaan salep, krim dan gel yang mengandung etil
p-metoksisinamat
hasil
isolasi
dari
kencur
(Kaempferia galanga L,) menggunakan membran kulit manusia untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat b.
Perlu dilakukan penelitian terkait dosis efektif senyawa etil pmetoksisinamat sebagai agen terapi lokal inflamasi dalam bentuk sediaan setengah padat.
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mutairi, K, S. Al-jasser, S, M. 2012. Effect of Using Rotary Evaporator on Date Dibs Quality. Journal of American Science. Anggraeni, Citra Ayu. 2008. Pengaruh Bentuk Sediaan Krim, Gel dan Salep Terhadap Penetrasi Aminofilin Sebagai Antiselulit Secara In Vitro Menggunakan Sel Difusi Franz. Skripsi Sarjana Farmasi: FMIPA UI Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Press Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Depkes RI Anonim. 1987. Analisis Obat Tradisional I. Jakarta: Depkes RI. Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Depkes RI Anonim. 2014. Informasi Spesialite Obat Indonesia. ISSN 854-4492 Vol. 49 20142015. Penertbit Isfi Asmara, A; Daili, S.F; Noegrohowati T; Zubaedah, I. 2012. Vehikulum Dalam Dermatoterapi Topikal. MDVI Vol. 39 No 1 Tahun 2012: 25-35 Astuti, Meiria Sylvi. 2006. Isolasi Dan Identifikasi Komponen Minyak Atsiri Umbi Teki (Cyperus rotundus L.). Skripsi Sarjana Farmasi: UNS Bangun,
Robijanto.
2011.
Semi
Sintesis
N,N-Bis(2-Hidroksietil)-3-(4-
Metoksifenil) Akrilamida Dari Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi Rimpang Kencur (Kaempferia galanga, L) Melalui Amidasi dengan Dietanolamin. Skripsi Sarjana Farmasi: USU Barus, Rosbina. 2009. Amidasi Etil p-Metoksi Sinamat yang Diisolasi dari Kencur (Kaempferia Galanga, Linn). Medan : Sekolah Pasca Sarjana USU Chemical Book. Akses online via http://www.chemicalbook.com/ (Diakses pada tanggal 26 Januari 2014) Depkes, RI. 1977. Materia Medika Indonesia jilid I. Jakarta: Depkes RI.
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
Depkes, RI. 2001. Inventaris Tanaman Obat Indonesia jilid II. Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. Dhandapani, Abirami; Shobaba Kumar; Murugan Kadarkarai. 2011. Lavricidal, Pupicidal And Smoke Toxicity Effect Of Kempferia Galanga To the Malarial Vector, Anopheles Stephensi. The Bioscan Journal 6(2) ; 329333. Ditjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Draelos, Z. D. 2010. Cosmetic Dermatology Products and Procedures. Singapore: John Wiley & Sons. Dwikarya, Maria., DSSK. 2003.
Merawat Kulit dan Wajah. Jakarta:
PenerbitKawanPustaka. Gregoriadis, G, A.T. Florence dan H.M. Patel. 1993. Liposom in Drug Delivery. Switzerland: Harwood Academic. Hadyanti. 2008. Pengaruh Tretionin Terhadap Penetrasi Kafein dan Aminofilin Sebagai Antiselulit dalam Sediaan Krim, Gel dan Salep Secara In Vitro. Skripsi Sarjana Farmasi: FMIPA UI Hasanah, Aliya Nur, dkk. 2011. Analisis Kandungan Minyak Atsiri dan Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.). Skripsi Sarjana Farmasi: UNPAD. Heinrich, M. Barnes, J. Gibbons, S. Williansom, M, E. Fundamental Of Pharmacognosy and Phytotherapy. Philadelpia: Penerbit Elsevier. Henry, Arthur dkk. 2002. Analisis Spektrofotometri UV-Vis Pada Obat Influenza Dengan Menggunakan Aplikasi Sistem Persamaan Linier. Jakarta : KOMMIT UGM Iswandana, R; Anwar, E; Mun’im, A. 2011. Uji Penetrasi Secara In Vitro & Uji Stabilitas Fisik Sediaan Krim, Salep dan Gel yang Mengandung Kurkumin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
71
dari Kunyit (Curcuma Longa L.). Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 7 No. 7, Septemner 2011. Khoirunni’mah, Zulfa. 2013. Modifikasi Struktur dan Senyawa Metil Sinamat Melalui Proses Degradasi Sinamat Seta Uji BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) Terhadap Senyawa Hasil Modifikasi. Skripsi Sarjana Farmasi: UIN Syarif Hidayatullah Kielhorn, J., S. M. Kollmuβ. I. Mangelsdorf. 2006. Dermal absorption. Dalam: Environmental Health Criteria 235. World Health Organization. Kusantati, H., Prihatin, P.T., danWiana, W. 2008. Tata Kecantikan Kulit. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Lachman, Leon. 1994, Teori dan Praktek Farmasi Industri II (Penerjemah: Siti Suyatmi). Penerbit: UI-Press; Jakarta Langley,& Lenny Lester. 1958. Dynamic Anatomy and Physiology. USA: McGraww Hill. Marriot, John F, et al.
2010. Pharmaceutical Compounding and Dispensing
Second Edition. London : Pharmaceutical Press Mitsui, T. 1997. New Cosmetic Science. Amsterdam: Elsevier Science B.V. Mufidah, Syarifatul. 2014. Modifikasi Struktur Senyawa Etil p-metoksisinamat yang Diisolasi dari Kencur (Kaempferia galangal Linn.) Melalui Transformasi Gugus Fungsi Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi. Skripsi Sarjana Farmasi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Muhlisah, F. 1999. Temu-temuan dan Empon-empon.CetakanKelima. Yogyakarta: PenerbitKanisius, hal.29-33. Neubert, R. H. H; Trommer, H. Overcoming The Stratum Corneum : The Modulation Of Skin Penetration. Skin Pharmacol Physiol 2006, 19 : 106121.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
72
Nugroho, B. W., Dadang, & Prijono, D. 1999. “Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami”. Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, IPB. Bogor Ramadon, Delly. 2012. Penetapan Daya Penetrasi Secara In Vitro Sediaan Gel dan Emulgel yang Mengandung Kapsaisinoid dari Ekstrak Buah Cabai Rawit. Skripsi Sarjana Farmasi: Universitas Indonesia Ranade, V. V. and M. A. Hollinger, 2004, Transdermal Drug Delivery, in: Drug Delivery Systems, V. V. Ranade and M. A. Hollinger, 2nd ed., CRC Press LLC, New York, 211-243 Rostiana, Otih dkk. 2005. Budidaya Tanaman Kencur. Bogor : Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika Rowe, RC., Paul JS., Sian CO. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipient Fifth Edition. London : Pharmaceutical Press Ruswanto, Lestari, T. 2013. Sintesis Senyawa 1-Benzoyl-3-Phenyl-Thiourea Sebagai Kandidat Anti Kanker. Tasikmalaya : Stikes Bakti Tunas Husada Sany, Utary Sukria. 2009. Efek Penambahan Berbagai Peningkat Penetrasi Terhadap Penetrasi Perkutan Gel Piroksikam Secara In Vitro. Skripsi Sarjana Farmasi: Universitas Muhammadiyah Surakarta Seeley, R. R., T. D. Stephensdan P. Tate. 2003. Anatomy and Physiologi 6th edition. New York: McGraw-Hill. Simanjuntak, M. T. 2005. Biofarmasi Sediaan Yang Diberikan Melalui Kulit. Universitas Sumatera Utara Sulaiman, M. R.; Z. A. Zakaria; I. A Daud; F. N. Ng; Y.C. Ng; M. T. Hidayat. 2008. Antinociceptive and Anti-inflammatory activities of The Aqueous extract of Kaempferia galanga leaves in animal models. J. Nat Med 62:221-227. Syamsuni, H. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
73
Tara
V.,
Shanbag;
Sharma
Candrakala;
Adiga
Sachidananda;
Bairy
Laximinarayana Kurady; Shenoy Smita; Shenoy Ganesh. 2006. Wound Healing Activity Of Alkoholic Extract of Kaempferia Galanga in Wistar Rats. Indian J. Physiol Pharmacol 50 (4) : 384-390. Tanjung, M. 1997. Isolasi dan Rekayasa Senyawa Turunan Sinamat dari Kaempferia galangal L. Sebagai Tabir Surya. Surabaya : Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Taufikurohmah, T; Rohmah, J; Poernowo, H. Optimasi Suhu Sintetis Isoamil pMetoksisinamat Melalui Reaksi Transesterifikasi dari EPMS Hasil Isolasi Rimpang Kencur. Prosiding Seminar Nasional Kimia UNESA ISBN : 978979-028-103-5. 14 Februari 2009. Taufikurohmah, T; Rusmini; Nurhayati. 2008. Pemilihan Pelarut dan Optimasi Suhu Pada Isolasi Senyawa Etil Para Metoksisinamat (EPMS) dari Rimpang Kencur Sebagai Bahan Tabir Surya Pada Industri Kosmetik. Tewtrakul, Supinya; Supreeya Yuenyongsawad; Sopa Kummee; Latthya Atsawajaruwan. 2005. Chemical Components and Biological Activities of Volatile Oil of Kaempferia galanga Linn. Songklanakrin J. Sci. Technol Vol. 27 (Suppl. 2) : Thai Herbs. Tranggono, R.I. danLatifah, F. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. Jakarta: Penerbit Pustaka Utama. Tiwari, P. Kumar, B. Kaur, M. Kaur, G. Kaur, H. 2011. Phytochemical screening and Extraction: A Review. Internationale Pharmaceutica Sciencia. Vol. 1. Issue. 1. Umar, Muhammad I.; Mohd Zaini Asmawi; Amirin Sadikun; Item J. Atangwho I; Mun Fei Yam; Rabia Altaf; Ashfaq Ahmed. 2012. Bioactivity-Guided Isolation
of
Ethyl-p-methoxycinnamate,
an
Anti-inflammatory
Constituent, from Kaempferia galangal L. Extracts. Molecules, 17, 87208734
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
74
Umar, Muhammad I.; Mohd Zaini Asmawi; Amirin Sadikun; Item J. Atangwho I; Mun
Fei
Yam;
methoxycinnamate
Rabia
Altaf;
isolated
from
Ashfaq
Ahmed.
kaempferia
2014.
Ethyl-p-
galangal
inhibits
inflammation by suppressing interleukin-1, tumor necrosis factor-a, and angiogenesis by blocking endothelial functions. Clinics 2014;69(2);134144 USDA (United States Department
of Agriculture).
Natural
Resources
Conservation Service. Akses online via plants.usda.govpadatanggal 3-22015 pukul 10.00 Vittalrao, Ambekar Monhabu; Tara Shanbag; Meena Kumari K; K.L Bairy; Smita Shenoy. 2011. Evaluation of Antiinflamatory and analgesic activities of alcoholic extract of Kaempferia Galangan in rats. Indian J. Physiol Pharmacol 55 (1) : 13-24. Walters, A.K. 2002. Dermatological and Transdermal Formulations. New York: Marcel Dekker. Williams, LAD; A.O Connar; L. Latore; O Dennis; S. Ringer; J.A Whittaker; J Conrad; B. Volger; H Rosner; W Kraus. 2008. The In Vitro Antidenaturation Effects Induced by Natural Product and Non-steroidal Compounds in Heat Treated (Immunogenic) Bovine Serum Albumin is Proposed as a Screening Assay for the Detection of Anti-inflammatory compounds, without the Use of Animals, in the Early Stages of The Drug Discovery Process. West Indian Medical Journal 57 (4):327. Windono, Tri; Jany; Widji Suratri. 1997. Aktivitas Tabir Matahari Etil pmetoksisinamat yang Diisolasi dari Rimpang Kencur. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Volume 3 No.4 Wirakusumah, E. S. 1994. Cantik dan Bugar dengan Ramuan Nabati. Edisi Keempat. Jakarta: PenerbitPenebarSwadaya. hal. 3-6 Zhang, L., Falla, T.J. 2009. Cosmeceuticals and Peptides: Clinics in Dermatology, 27, 485-494. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
Lampiran 1. Kerangka Penelitian Ekstraksi rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) Isolasi kristal etil p-metoksisinamat Penetapan kadar
Identifikasi dan Uji Kemurnian kristal etil pmetoksisinamat
Uji KLT
Salep Krim
Organoleptis Uji titik leleh
Pembuatan sediaan
Gel
Penetapan kadar etil pmetoksisinamat dalam sediaan
Uji penetrasi sediaan
Pengukuran serapan Spektrofotometer UV-Vis
Perhitungan kadar etil pmetoksisinamat dalam sediaan
Penetapan kadar etil pmetoksisinamat terpenetrasi
Perbandingan persentase kumulatif zat aktif terpenetrasi per luas area
Perbandingan fluks penetrasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
Lampiran 2. Bagan Alur Ekstraksi Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.). Rimpang kencur segar (Kaempferia galanga L.) Dicuci, dikeringkan dan diserbuk Serbuk kering rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) Maserasi dengan n-heksan murni dan disaring
Ampas
Filtrat 1
Remaserasi dengan n-heksan murni dan disaring
Filtrat 2
Ampas Remaserasi dengan nheksan murni dan disaring
Campuran filtrat 1,2,3
Ekstrak n-heksan rimpang kencur (Kaempferia galanga L)
Filtrat 3
Evaporasi suhu 48-50OC
Ekstrak kental rimpang kencur (Kaempferia galanga L.)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
78
Lampiran 3. Bagan Alur Rekristalisasi, Identifikasi dan Uji Kemurnian Kristal Etil p-Metoksisinamat. Ekstrak kental rimpang kencur (Kaempferia galanga L.)
Diendapkan pada suhu kamar
Pemisahan kristal dari ekstrak kental menggunakan pelarut n-heksan
Kristal kotor
Larutan ekstrak
Pencucian kristal dengan n-heksan dan metanol
Dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator suhu 48-50ºC
Kristal yang tidak terlarut
Kristal yang terlarut
Dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator suhu 48-50ºC
Uji KLT
Banyak spot
Satu spot
Pengamatan organoleptis Uji titik leleh Penetapan kadar dengan GCMS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
79
Lampiran 4. Gambar Alat Penelitian
Hot Plate
Alat Uji TL Mikropipet Perangkat KLT
Spektrofotometer UV-Vis
Vaccum Rotary Evaporator
Neraca Analitik
GCMS
Alat Uji pH
Refrigerator
Lampiran 5. Gambar Uji Difusi
Keterangan :
(a) Kulit tikus bagian abdomen sebelum dipotong; (b) Potongan kulit tikus sebelum pengujian; (c) Perendaman kulit tikus dalam medium kompartemen reseptor sebelum pengujian; (d) Sampel uji difusi; (e) Pengolesan sampel pada membran difusi; (f) Kompartemen donor dan reseptor; (g) Pencuplikan medium kompartemen reseptor; (h) Kulit tikus setelah uji difusi; (i) Rangkaian alat franz diffusion cell
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
80
Lampiran 6. Perhitungan Rendemen Kristal
% %
= =
40 3500
= 1, 143%
ℎ 100%
100%
Lampiran 7. Nilai Luas Puncak dan Persentase Kadar Etil p-Metoksisinamat (a)
(b)
Keterangan : (a) Standar etil p-metoksisinamat ; (b) Kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
81
Lampiran 8. Data Hasil Uji Titik Leleh Pengujian Ke1 2 3
Rentang Titik Leleh (°C) 49-50 49-50 49-50
Absorbansi
Lampiran 9. Scanning Panjang Gelombang Maksimum Etil p-metoksisinamat dalam Metanol
308,2 nm
Panjang Gelombang
Keterangan : Serapan maksimum etil p-metoksisinamat dalam pelarut metanol dengan konsentrasi 5ppm terbaca pada panjang gelombang 308,2 nm
Lampiran 10. Data Absorbansi Kurva Standar Etil p-Metoksisinamat dalam Metanol Konsentrasi (ppm) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Absorbansi 0,000 0,120 0,229 0,370 0,474 0,628 0,729 0,874 1,001 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82
Lampiran 11. Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Metanol Kurva Kalibrasi EPMS dalam Metanol 1,2 y = 0,125x - 0,009 R = 0,9995 R² = 0,9990
Absorbansi
1 0,8 0,6
Abs.
0,4
Linear (Abs.)
0,2 0 0
2
4
6
8
10
Konsentrasi (ppm)
Keterangan : Analisa dilakukan pada panjang gelombang 308,2 nm, nilai r = 0,9995
Lampiran 12. Data Hasil Penetapan Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan Sampel Pengujian Berat keSampel (mg) Salep
1 2 3 1 2 3 1 2 3
Krim
Gel
500 500 500 500 500 500 500 500 500
Abs
0,525 0,526 0,529 0,627 0,641 0,633 0,615 0,610 0,614
Kadar EPMS terukur (mg) 4,27 4,28 4,30 5,09 5,20 5,12 4,99 4,95 4,99
Kadar Rata-rata (%) %
0,85 0,86 0,86 1,02 1,04 1,03 1,00 0,99 1,00
SD
0,86
0,96
1,03
3,24
1,00
1,22
Keterangan : Analisa dilakukan pada panjang gelombang 308,2 nm dengan pelarut pengekstraksi metanol SD
:
Standar Deviasi (dinyatakan dalam persen)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
83
Absorbansi
Lampiran 13. Scanning Panjang Gelombang Maksimum Etil p-Metoksisinamat dalam Larutan EDP
310,2 nm
Panjang Gelombang Keterangan : Serapan maksimum etil p-metoksisinamat dalam larutan EDP dengan konsentrasi 5ppm terbaca pada panjang gelombang 310,2 nm
Lampiran 14. Data Absorbansi Kurva Standar Etil p-Metoksisinamat dalam Larutan EDP Konsentrasi (ppm) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Absorbansi 0 0,123 0,234 0,355 0,470 0,577 0,708 0,837 0,928
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
84
Lampiran 15. Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Larutan EDP Kurva Kalibrasi EPMS dalam Lar. EDP 1
y = 0,117x + 0,002 R = 0,9997 R2= 0,9994
Absorbansi
0,8 0,6
Abs.
0,4
Linear (Abs.)
0,2 0 0
2
4
6
8
10
Konsentrasi (ppm)
Keterangan : Analisa dilakukan pada panjang gelombang 310,2 nm, nilai r = 0,9997
Lampiran 16. Data Hasil Uji Difusi Salep Waktu (Menit)
0 10 30 60 90 120 180 240 300 360 420 480
% Kumulatif Difusi Etil pMetoksisinamat Per Luas Area 1 2 3 Rata- SB Rata 0 0 0 0 0 1,39 1,50 0,45 1,11 0,33 5,24 5,77 1,51 4,17 1,34 10,89 12,21 4,39 9,16 2,42 17,02 17,38 8,62 14,34 2,86 20,70 25,33 11,58 19,21 4,04 33,45 35,97 18,33 29,25 5,51 41,58 41,27 28,35 37,07 4,36 46,90 50,36 37,55 44,94 3,82 52,13 54,83 42,17 49,71 3,85 56,52 54,19 42,93 51,21 4,19 54,90 57,92 49,94 54,25 2,33
Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per Luas Area (µg/cm2) 1 2 3 RataSB Rata 0 0 0 0 0 7,58 8,18 2,47 6,08 1,81 28,60 31,51 8,22 22,78 7,33 59,42 66,67 23,96 50,02 13,19 92,93 94,89 47,03 78,28 15,64 113,01 138,29 63,22 104,84 22,05 182,57 196,32 100,07 159,65 30,05 226,99 225,28 154,74 202,34 23,80 256,01 274,90 205 245,30 21,01 284,55 299,31 230,20 271,35 19,51 308,52 295,79 234,34 279,55 22,90 299,69 316,15 272,59 296,14 12,70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
85
Lampiran 17. Data Hasil Uji Difusi Krim Waktu (Menit)
0 10 30 60 90 120 180 240 300 360 420 480
% Kumulatif Difusi Etil pMetoksisinamat Per Luas Area 1 2 3 Rata- SB Rata 0 0 0 0 0 0,92 1,57 0,90 1,13 0,22 3,94 1,52 3,68 3,05 0,77 11,24 4,82 9,88 8,65 1,95 25,63 23,63 21,21 23,49 1,28 36,20 40,57 30,77 35,85 2,83 51,81 35,21 48,59 45,20 5,08 67,07 51,50 65,91 61,50 5,01 76,64 65,03 75,08 72,25 3,64 78,60 71,54 81,73 77,29 3,01 84,17 79,03 83,22 82,14 1,58 82,80 82,75 85,46 83,67 0,89
Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per Luas Area (µg/cm2) 1 2 3 RataSB Rata 0 0 0 0 0 6,06 10,29 5,87 7,41 1,44 25,82 9,98 24,13 19,98 5,02 73,66 31,59 64,70 56,65 12,79 167,88 154,77 138,98 153,88 8,36 237,14 265,76 201,58 234,83 18,56 339,41 230,66 318,34 296,14 33,30 439,40 337,36 431,80 402,86 32,82 502,05 425,99 491,82 473,29 23,83 514,92 468,64 535,40 506,32 19,75 551,41 517,74 545,17 538,10 10,34 542,45 542,09 559,83 548,12 5,85
Lampiran 18. Data Hasil Uji Difusi Gel Waktu (Menit)
0 10 30 60 90 120 180 240 300 360 420 480
% Kumulatif Difusi Etil pMetoksisinamat Per Luas Area 1 2 3 Rata- SB Rata 0 0 0 0 0 1,08 1,15 0,89 1,04 0,08 6,02 4,20 2,87 4,36 0,91 15,94 15,18 10,15 13,75 1,82 32,68 37,14 26,59 32,14 3,06 55,18 56,47 42,02 51,23 4,62 77,28 84,05 68,17 76,50 4,60 88,89 96,31 76,62 87,28 5,74 90,80 96,11 79,73 88,88 4,82 91,79 97,27 80,88 89,98 4,82 86,20 92,73 78,05 85,66 4,24 84,88 85,79 77,45 82,71 2,64
Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per Luas Area (µg/cm2) 1 2 3 RataSB Rata 0 0 0 0 7,09 7,5 5,83 6,82 0,51 39,45 27,49 18,84 28,59 5,98 104,41 99,46 66,47 90,11 11,91 214,09 243,32 174,23 210,55 20,02 361,51 369,96 275,28 335,58 30,25 506,58 550,58 446,58 501,13 30,13 582,35 630,94 501,96 571,75 37,61 594,81 629,60 522,32 582,24 31,60 601,34 637,19 529,85 589,46 31,55 564,66 607,45 511,30 561,14 27,81 556,04 562,01 507,36 541,80 17,31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
86
Lampiran 19. Data Fluks Penetrasi Salep
Waktu (Menit) 0 10 30 60 90 120 180 240 300 360 420 480
Fluks Penetrasi Zat Aktif ( µg cm-2Jam-1) 1 2 3 RataSB Rata 0 0 0 0 0 45,41 49,00 14,77 36,39 10,86 57,20 63,03 16,45 45,56 14,65 59,42 66,67 23,96 50,02 13,19 61,95 63,26 31,35 52,19 10,42 56,51 69,15 31,61 52,42 11,03 60,86 65,44 33,36 53,22 10,02 56,75 56,32 38,69 50,58 5,95 51,20 54,98 41,00 49,06 4,18 47,42 49,88 38,37 45,22 3,50 44,07 42,26 33,48 39,94 3,27 37,46 39,52 34,07 37,02 1,59
Lampiran 20. Data Fluks Penetrasi Krim Waktu (Menit) 0 10 30 60 90 120 180 240 300 360 420 480
Fluks Penetrasi Zat Aktif ( µg cm-2Jam-1) 1 2 3 RataSB Rata 0 0 0 0 0 36,28 61,61 35,14 44,34 8,64 51,64 19,96 48,27 39,96 10,05 73,66 31,59 64,70 56,65 12,79 111,92 103,18 92,65 102,58 5,57 118,57 132,88 100,79 117,42 9,28 113,13 76,89 106,11 98,71 11,10 109,85 84,34 107,95 100,71 8,20 100,41 85,20 98,36 94,66 4,77 85,82 78,11 89,23 84,39 3,29 78,77 73,96 77,88 76,87 1,48 67,81 67,76 69,97 68,52 0,73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
87
Lampiran 21. Data Fluks Penetrasi Gel Waktu (Menit) 0 10 30 60 90 120 180 240 300 360 420 480
Fluks Penetrasi Zat Aktif ( µg cm-2Jam-1) 1 2 3 RataSB Rata 0 0 0 0 0 42,44 45,18 34,91 40,85 3,07 78,91 54,98 37,67 57,19 11,96 104,41 99,46 66,47 90,11 11,91 142,73 162,22 116,15 140,37 13,35 180,75 184,98 137,64 167,79 15,12 168,74 183,53 148,86 167,04 10,04 145,59 157,73 125,49 142,94 9,40 118,96 125,92 104,46 116,45 6,32 100,22 106,20 88,31 98,24 5,26 80,67 86,78 73,04 80,16 3,97 69,51 70,25 63,42 67,72 2,16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
88
Lampiran 22. Uji Statistik Anova Persentase Kumulatif Etil p-Metoksisinamat Terpenetrasi Per Luas Area One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Menit_60 N Normal Parameters
a
Menit_120
Menit_240
Menit_360
Menit_480
9
9
9
9
9
Mean
10.5222
35.4244
61.9444
72.3267
64.9378
Std. Deviation
3.95627
15.05285
23.03324
18.79498
28.46458
Most Extreme
Absolute
.213
.128
.145
.186
.290
Differences
Positive
.147
.108
.145
.157
.232
Negative
-.213
-.128
-.124
-.186
-.290
Kolmogorov-Smirnov Z
.640
.383
.435
.559
.869
Asymp. Sig. (2-tailed)
.807
.999
.991
.914
.436
Keterangan : Signifikansi > 0,05, kesimpulan data terdistribusi normal
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic Menit_60
Menit_120
Menit_240
Menit_360
Menit_480
df1
df2
Sig.
.293
2
6
.756
.705
2
6
.531
.101
2
6
.905
.429
2
6
.669
1.945
2
6
.223
Keterangan : Signifikansi menit 60-480 >0,05, kesimpulan data terdistribusi homogeny sehingga dapat dilanjutkan dengan uji Anova
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
89
(Lanjutan) ANOVA Sum of Squares Menit_60
47.478
2
23.739
Within Groups
77.739
6
12.956
125.217
8
1538.723
2
769.361
273.983
6
45.664
Total
1812.705
8
Between Groups
3781.980
2
1890.990
462.260
6
77.043
Total
4244.240
8
Between Groups
2543.365
2
1271.683
282.645
6
47.107
Total
2826.010
8
Between Groups
1675.860
2
837.930
79.138
6
13.190
1754.998
8
Between Groups Within Groups
Menit_240
Within Groups
Menit_360
Within Groups
Menit_480
Mean Square
Between Groups
Total Menit_120
Df
Within Groups Total
F
Sig.
1.832
.239
16.848
.003
24.545
.001
26.995
.001
63.530
.000
Keterangan : Signifikansi menit ke 60 > 0,05, data tidak berbeda secara bermakna. Signifikansi menit 120-480 < 0,05, data berbeda secara bermakna.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
90
(Lanjutan) Multiple Comparisons LSD 95% Confidence Interval Dependent
(I)
(J)
Variable
Sediaan Sediaan
Menit_60
Salep
Krim Gel
Krim
Salep Gel
Gel
Salep Krim
Menit_120
Salep
Krim
Salep
Sig. Lower Bound
Salep
Salep
Krim
Salep
Salep Krim
Upper Bound
.51667 2.93899 .866
-6.6748
7.7081
-4.59333 2.93899 .169
-11.7848
2.5981
-.51667 2.93899 .866
-7.7081
6.6748
-5.11000 2.93899 .133
-12.3015
2.0815
4.59333 2.93899 .169
-2.5981
11.7848
5.11000 2.93899 .133
-2.0815
12.3015
*
-30.1441
-3.1426
*
-45.5208
-18.5192
*
3.1426
30.1441
*
-28.8774
-1.8759
*
18.5192
45.5208
*
1.8759
28.8774
*
-41.9631
-6.8903
*
-67.7431
-32.6703
*
6.8903
41.9631
*
-43.3164
-8.2436
*
32.6703
67.7431
*
8.2436
43.3164
-32.02000 5.51747 .001
Gel Gel
Error
Gel
Gel
Krim
Difference (I-J)
-16.64333 5.51747 .024
Krim Menit_240
Std.
Krim
Gel Gel
Mean
16.64333 5.51747 .024 -15.37667 5.51747 .032 32.02000 5.51747 .001 15.37667 5.51747 .032 -24.42667 7.16674 .014 -50.20667 7.16674 .000 24.42667 7.16674 .014 -25.78000 7.16674 .011 50.20667 7.16674 .000 25.78000 7.16674 .011
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
91
Menit_360
Salep
Krim Gel
Krim
Salep Gel
Gel
Salep Krim
Menit_480
Salep
Krim
Gel Krim
Salep Gel
Gel
Salep Krim
Keterangan :
*
-41.2925
-13.8675
*
-53.9825
-26.5575
27.58000 5.60401 .003
*
13.8675
41.2925
-12.69000 5.60401 .064
-26.4025
1.0225
40.27000 5.60401 .000
26.5575
53.9825
12.69000 5.60401 .064
-1.0225
26.4025
*
-36.6725
-22.1608
*
-35.7092
-21.1975
29.41667 2.96531 .000
*
22.1608
36.6725
.96333 2.96531 .756
-6.2925
8.2192
28.45333 2.96531 .000
21.1975
35.7092
-.96333 2.96531 .756
-8.2192
6.2925
-27.58000 5.60401 .003 -40.27000 5.60401 .000
*
-29.41667 2.96531 .000 -28.45333 2.96531 .000
*
Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi > 0,05 data tidak berbeda secara bermakna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
92
Lampiran 23. Uji Statistik Anova Fluks Penetrasi One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Menit_60 N Normal
Mean a
Menit_90 Menit_120 Menit_240 Menit_360 Menit_480
9
9
9
9
9
9
65.5933
98.3789
112.5422
98.0789
75.9511
57.7522
2.65734E1 4.13083E1
53.25648
41.78906
24.59972
15.74082
Parameters
Std. Deviation
Most Extreme
Absolute
.186
.136
.126
.172
.211
.307
Differences
Positive
.159
.136
.126
.172
.189
.214
Negative
-.186
-.112
-.122
-.149
-.211
-.307
Kolmogorov-Smirnov Z
.558
.407
.377
.516
.634
.922
Asymp. Sig. (2-tailed)
.915
.996
.999
.953
.816
.363
Keterangan :
Signifikansi > 0,05, kesimpulan data terdistribusi normal
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic Menit_60 Menit_90 Menit_120 Menit_240 Menit_360 Menit_480
Keterangan :
df1
df2
Sig.
.030
2
6
.970
1.073
2
6
.400
.832
2
6
.480
.356
2
6
.714
.537
2
6
.610
2.230
2
6
.189
Signifikansi > 0,05, data terdistribusi homogen
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
93
(Lanjutan) ANOVA Sum of Squares Menit_60
Between Groups
2
1385.769
2877.614
6
479.602
5649.153
8
11743.117
2
5871.558
1907.909
6
317.985
Total
13651.026
8
Between Groups
20070.976
2
10035.488
2619.048
6
436.508
Total
22690.025
8
Between Groups
12824.015
2
6412.008
1146.592
6
191.099
13970.607
8
4536.894
2
2268.447
304.274
6
50.712
Total
4841.168
8
Between Groups
1935.763
2
967.881
46.425
6
7.737
1982.188
8
Total Between Groups Within Groups
Menit_120
Within Groups
Menit_240
Within Groups Total Menit_360
Between Groups Within Groups
Menit_480
Mean Square
2771.538
Within Groups
Menit_90
df
Within Groups Total
F
Sig.
2.889
.132
18.465
.003
22.990
.002
33.553
.001
44.732
.000
125.090
.000
Keterangan : Signifikansi menit 60 > 0,05, data tidak berbeda secara bermakna. Signifikansi menit 90-480 < 0,05, data berbeda secara bermakna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
94
(Lanjutan) Multiple Comparisons LSD Dependent
(I)
Variable
Sediaan Sediaan
Menit_60
Salep
Krim
(J)
Menit_90
Salep
Krim
Menit_120
Salep
Krim
Gel
Menit_240
Salep
Krim
Menit_360
Salep
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
17.88113
.723
-50.3869
37.1202
Gel
-40.09667
17.88113
.066
-83.8502
3.6569
6.63333
17.88113
.723
-37.1202
50.3869
-33.46333
17.88113
.110
-77.2169
10.2902
Salep
40.09667
17.88113
.066
-3.6569
83.8502
Krim
33.46333
17.88113
.110
-10.2902
77.2169
Krim
-50.39667
*
14.55987
.013
-86.0234
-14.7699
Gel
-88.18000
*
14.55987
.001
-123.8067
-52.5533
50.39667
*
14.55987
.013
14.7699
86.0234
-37.78333
*
14.55987
.041
-73.4101
-2.1566
Salep
88.18000
*
14.55987
.001
52.5533
123.8067
Krim
37.78333
*
14.55987
.041
2.1566
73.4101
Krim
-64.99000
*
17.05888
.009
-106.7316
-23.2484
Gel
-115.36667
*
17.05888
.001
-157.1082
-73.6251
64.99000
*
17.05888
.009
23.2484
106.7316
Gel
-50.37667
*
17.05888
.026
-92.1182
-8.6351
Salep
115.36667
*
17.05888
.001
73.6251
157.1082
Krim
50.37667
*
17.05888
.026
8.6351
92.1182
Krim
-50.12667
*
11.28712
.004
-77.7453
-22.5081
Gel
-92.35000
*
11.28712
.000
-119.9686
-64.7314
50.12667
*
11.28712
.004
22.5081
77.7453
-42.22333
*
11.28712
.010
-69.8419
-14.6047
Salep
92.35000
*
11.28712
.000
64.7314
119.9686
Krim
42.22333
*
11.28712
.010
14.6047
69.8419
Krim
-39.16333
*
5.81448
.001
-53.3909
-24.9358
Gel
-53.02000
*
5.81448
.000
-67.2475
-38.7925
Salep
Salep
Salep
Salep Gel
Gel
Std. Error
-6.63333
Gel Gel
(I-J)
Krim
Gel Gel
95% Confidence Interval
Mean Difference
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
95
Krim
Gel
Salep
*
5.81448
.001
24.9358
53.3909
Gel
-13.85667
5.81448
.055
-28.0842
.3709
Salep
53.02000
*
5.81448
.000
38.7925
67.2475
13.85667
5.81448
.055
-.3709
28.0842
Krim
Menit_480
Salep
Krim
Krim
-31.49667
*
2.27120
.000
-37.0541
-25.9392
Gel
-30.71000
*
2.27120
.000
-36.2674
-25.1526
31.49667
*
2.27120
.000
25.9392
37.0541
.78667
2.27120
.741
-4.7708
6.3441
*
2.27120
.000
25.1526
36.2674
-.78667
2.27120
.741
-6.3441
4.7708
Salep Gel
Gel
39.16333
Salep Krim
30.71000
Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi > 0,05 data tidak berbeda secara bermakna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
96
Lampiran 24. Contoh Perhitungan Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan Sediaan yang diuji 500 mg
Kandungan etil p-metoksisinamat sebenarnya = 1% x 500 mg = 5 mg
Dibuat larutan induk 100 ppm dalam 50 mL
Dibuat pengenceran 5 ppm dalam 10 mL
Diukur serapannya dengan spektro UV-Vis , dan diulangi sebanyak 3x pengulangan
Diketahui : Serapan basis (ybasis)
= 0,019
Persamaan regresi linier (y) = 0,125x - 0,009
Didapatkan absorbansi sebagai berikut : a. y1 = 0,634 x1 = 4,995 ppm konsentrasi etil p-metoksisinamat yang terukur dalam sediaan 500 mg = 4,995 x(
) x 50 = 4995 µg = 4,995 mg
Kadar etil p-metoksisinamat yang diperoleh = (4,995 mg/500mg) x 100% = 0,999%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
97
b. y2 = 0,629 x2 = 4,955 ppm Konsentrasi etil p-metoksisinamat yang terukur dalam sediaan 500 mg = 4,955 x(
) x 50 = 4955 µg = 4,955 mg
Kadar etil p-metoksisinamat yang diperoleh = (4,955 mg/500mg) x 100% = 0,991% c. y3 = 0,633 x3 = 4,987 ppm
Konsentrasi etil p-metoksisinamat yang terukur dalam sediaan 500 mg = 4,987 x(
) x 50 = 4987 µg = 4,987 mg
Kadar etil p-metoksisinamat yang diperoleh = (4,987 mg/500mg) x 100% = 0,997%
d. Kadar rata-rata etil p-metoksisinamat dalam sediaan =
0,999 % + 0,991 % + 0,997% = 0,996% ~1% 3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
98
Lampiran 25. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Etil p-Metoksisinamat Per Luas Area Sampel 1 Sediaan Salep Pada Menit ke 10.
Serapan Menit ke 10 (y10) = 0,068 y = 0,117x + 0,002 0,068 = 0,117x + 0,002 x10 = 0,567 Konsentrasi terpenetrasi = x10 x Faktor Pengenceran = 0,567 x 2 = 1,134 µg/mL Rumus Jumlah Kumulatif Zat Aktif Ter penetrasi Per Luas Area : =
+ ∑
.
Cn
= Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke 10 = 1,134 µg/mL
V
= Volume sel difusi = 21 mL
∑
= Jumlah konsentrasi zat pada sampling pertama = 0 µg/mL
S
= Volume sampling = 1 mL
A
= Luas area membran = 3,14 cm2
Q
= {(1,134 µg/mL x 21 mL) + (0 x 1 mL)}/ 3,14 cm2 = 7,583 µg/cm2
% Kumulatif
= (Q x A x 100) / kandungan zat aktif dalam sediaan
% Kumulatif
= (7,583 µg/cm2 x 3,14 cm2 x 100) / (0,86% x 2000 µg) = 1,389 %
Jadi Jumlah kumulatif etil p-metoksisinamat terpenetrasi perluas area pada menit ke 10 adalah 7,583 µg/cm2 dengan % Kumulatif 1,389 %.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
99
Lampiran 26. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Etil p-Metoksisinamat Per Luas Area Sampel 1 Sediaan Salep Pada Menit ke 30.
Serapan Menit ke 30 (y30) = 0,249 y = 0,117x + 0,002 0,249 = 0,117x + 0,002 x30 = 2,111 Konsentrasi terpenetrasi = x30 x Faktor Pengenceran = 2,111 x 2 = 4,222 µg/mL Rumus Jumlah Kumulatif Zat Aktif Ter penetrasi Per Luas Area : =
+ ∑
.
Cn
= Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke 30 = 4,222 µg/mL
V
= Volume sel difusi = 21 mL
∑
= Jumlah konsentrasi zat pada sampling menit ke 10 = 1,134 µg/mL
S
= Volume sampling = 1 mL
A
= Luas area membran = 3,14 cm2
Q
= {(4,222 µg/mL x 21 mL) + (1,134 µg/mL x 1 mL)}/ 3,14 cm2 = 28,599 µg/cm2
% Kumulatif
= (Q x A x 100) / kandungan zat aktif dalam sediaan
% Kumulatif
= (28,599 µg/cm2 x 3,14 cm2 x 100) / (0,86% x 2000 µg) = 5,239 %
Jadi Jumlah kumulatif etil p-metoksisinamat terpenetrasi perluas area pada menit ke 30 adalah 28,599 µg/cm2 dengan % Kumulatif 5,239 %
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
100
Lampiran 27. Contoh Perhitungan Fluks Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Sampel 2 Sediaan Gel Pada Menit ke 120
Kecepatan penetrasi etil p-metoksisinamat (fluks, J, µg cm-2 jam-1) dihitung dengan rumus :
= Dimana : J
= Fluks (µg cm-2 jam-1)
S
= Luas area difusi (cm2)
M
= Jumlah kumulatif zat yang melalui membran (µg)
t
= Waktu (jam)
Diketahui : M/S
= 369,96 µg cm-2
t
= 2 jam
Maka : J
= 369,96 µg cm-2 / 2 jam = 184,98 µg cm-2 jam-1
Jadi, kecepatan penetrasi sampel 2 sediaan gel pada menit ke 120 adalah 184,98 µg cm-2 jam-1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
101
Lampiran 28. Surat Keterangan Sehat Hewan Uji
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta