Evaluasi beberapa varietas ubi jalar (Ipomoea batatas L. (Lam.)) yang tahan kering dari berbagai daerah di Sumsel Abstrak FaridatulMukminah Fakultas Pertanian, Universitas Tridinanti Palembang
Ubi jalar (Ipomoea batatas L. (Lam.) adalah salah satu dari sumber pati terpenting di dunia. Diperkirakan lebih dari 2 milyar penduduk di Asia, Afrika dan Amerika Latin, pada tahun 2020 akan tergantung pada tanaman ini. Di sisi lain lahan produksi yang cocok untuk tanaman ini semakin berkurang. Oleh karena itu, pengembangan ubi jalar mengarah ke lahan marginal (kering maupun basah). Studi ini dilakukan pada tahun 2005, dengan menggunakan metode rancangan acak lengkap dengan perlakuan 3 level pengairan yg berdeda, yaitu 100%, 50%, dan 25% kapasitas lapang, pada 36 varietas lokal yang telah teridentifikasi secara morfologi. Dari 36 varietas tersebut, terdapat 18 varietas yang tahan terhadap kekeringan yang dicirikan oleh proses pertumbuhan masih berlangsung pada saat panen, meskipun hanya mendapatkan pengairan 25% kapasitas lapang, yaitu: Boled Nagri, Tidar, IR, Cilembu, Boled Kunir, Sebakul, Milenium, Jepang, Madu, Rujak, Bogor, Telok, Batu Ampar, Curup, Kepar A, dan Putri. Kata Kunci: ubi jalar, Ipomoea batatas, kekeringan, lahan marjinal Pendahuluan Ubi jalar adalah salah satu sumber pati terpenting di dunia. Diperkirakan pada tahun 2020 lebih dari 2 milyar penduduk di Asia, Afrika dan Amerika Latin akan sangat tergantung pada tanaman ini baik sebagai sumber makanan maupun pakan ternak (Hasanuddin dan Wargiono, 2003). Kurang lebih 8%, 16% and 28% dari produksi sebagai bahan pokok penghasil pati terjadi berturutturut di Korea, Taiwan dan Jepang. Di antara tanaman ubi-ubian yang tumbuh di Indonesia, ubi jalar adalah nomor dua yang terpenting setelah ubi kayu. Ubi jalar pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pakan dan sebagai bahan baku industri. Ubi jalar mempunyai kandungan karbohidrat yang sangat tinggi dan bisa dijadikan sebagai alternatif makanan pokok. Menurut Mukminah (2001) dan Mukminah (2003), beberapa klon ubi jalar Indonesia seperti AB94001.4 dan AB94078.1, kandungan pati pada ubinya mencapai bertutut-turut 83 % dan 78%. Walaupun merupakan bahan pangan yang penting, tetapi luas panen di Indonesia pada sepuluh tahun terakhir menurun, dari kurang lebih 208.700 ha pada tahun 1990 menjadi 184.200 ha pada tahun 2000. Selama periode ini, hasil produksi mengalami stagnasi pada 9,4 t/ha sampai 9,5 t/ha, sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi panennya yang bisa mencapai 30-40 t/ha (Saleh dan Hartojo, 2003). Untuk meningkatkan produksi dan efisiensi dari teknologi produksi ubi jalar, penelitian dalam bidang tersebut harus dijadikan prioritas, hal ini akan membantu pengembangan ubi jalar di Indinesia.
1
Walaupun merupakan tanaman pangan kedua, prioritas penelitian yang diberikan untuk ubi jalar masih rendah dibandingkan dengan tanaman leguminosa seperti kedelai dan kacang tanah. Informasi tentang karakterisasi plasma nutfah ubi jalar yang hidup dan dibudidayakan di suatu tempat sangat penting, terutama untuk mengetahui varietas dengan potensi hasil yang tinggi baik untuk biomasa maupun kualitas ubi (pati, gula, vitamin, dsb). Selain itu evaluasi varietas yang ada terhadap kondisi yang kurang menguntungakn seperti misalnya kekeringan akan sangat berarti di masa yang akan datang, dimana ekstensifikasi dihadapkan pada pemanfaatan lahan marginal seperti lahan kering atau lahan pasang surut. Hasil penelitian yang terkait dengan penelitian ini adalah : (1) telah berhasil diadakan karakterisasi respon pertumbuhan dan produksi beberapa klon ubi jalar terhadap kekeringan (Mukminah, 2001; Mukminah, 2003) dan (2) diketahui bahwa beberapa varietas atau klon ubi jalar mempunyai kandungan pati yang relatif tinggi (Wheatly et al., 1997; Moorty and Balagopalan, 1999; Mukminah, 2001; Mukminah, 2003; Saleh dan Hartojo, 2003) sehingga sangat prospektif sebagai sumber pati alternative di masa yang akan datang. Di samping itu, Fuglie (2003) melaporkan bahwa harga pati ubi jalar di tinggkat dunia sedikit lebih mahal dibandingakan pati yang berasal dari ubi kayu, karena ada bebera sifat pati ubi jalar yang tidak didapatkan pada ubi kayu. Selain itu evaluasi varietas yang ada terhadap kondisi yang kurang menguntungkan seperti misalnya kekeringan akan sangat berarti di masa yang akan datang, dimana ekstensifikasi dihadapkan pada pemanfaatan lahan marginal seperti lahan kering atau bahkan pasang surut. Dari berbagai studi di atas telah memunculkan ide untuk mengadakan eksplorasi dan mengembangkan ubi jalar di Sumatera Selatan yang tahan terhadap kekeringan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari dua percobaan, yaitu percobaan pertama diawali dengan mengumpulkan dan karakterisasi morfologi varietas lokal dari daerah di Sumatera Selatan yaitu Pagaralam, dataran rendah Banyuasin dan Pasang surut Telang. Karakterisasi berdasarkan prosedur Huaman, 1992 (Saleh dan Hartoyo, 2003) adalah untuk mengetahui karakter/ciri morfologi antara lain: bentuk dan warna daun, bentuk dan warna batang, bentuk dan warna ubi, potensial panen dan kualitas hasil. Percobaan kedua dilakukan di rumah kaca di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Tridinanti Palembang dari Juni 2005 sampai September 2005. Stek batang 36 varietas ubi jalar yang berasal dari tiga daerah di Sumatra Selatan (Pagar Alam, Pasang Surut Telang dan Dataran Rendah Kab. Banyuasin) diperbanyak pada tanggal 10 April 1999 dalam polybag berukuran dengan media 2
kompos. Pada tanggal 18 Mei 1999 tanaman dipindahkan ke dalam pot-pot berukuran 20 liter. Media yang digunakan adalah campuran antara tanah kebun, kompos dan pasir dengan perbandingan: 1:1:1. Perlakuan yang diberikan adalah: P0 (100% kapasitas lapang), P1 (50% kapasitas lapang), dan P3 (25% kapasitas lapang). Sebelum bahan tanam ditransplantasikan (21-06-2005) ke pot 35 cm (20 liter), semua media tanam diberi air sesuai dengan perlakuan. Untuk mempertahankan kapasitas lapang yang sesuai dengan perlakuan, dilakukan penimbangan pot sample untuk mengetahui kehilangan air (evapotranspirasi) setiap harinya. Disain penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok, dengan dua faktor (varietas ubi jalar dan banyaknya pemberian air), dan diuji lanjut dengan menggunakan DMRT (Duncan Multiple Range Test). Peubah yang diamati adalah parameter pertumbuhan (tingi tanaman, jumlah cabang, luas daun, berat brangkasan basah, berat brangkasan kering, berat ubi, dan berat kering ubi).
HASIL PENELITIAN Percobaan 1. Karakteristik Morfologi Percobaan berhasil mengumpulkan 41 varietas dari tiga tempat yang berdeda di Sumatera Selatan, yaitu dataran tinggi (Pagar Alam), pasang surut (Pasang Surut Telang) dan dataran rendah (Banyuasin). Dari 41 koleksi varietas local yang berhasil dikumpulkan dari tiga lokasi tersebut, ditemukan adanya duplikasi pada 5 varietas, sehingga jumlah varietas menjadi 36. Karakteristik atau cirri-ciri morfologi dari ke 36 varietas tersebut dapat dilihat pada Tabel 1-5. Percobaan 2. Evaluasi terhadap stress kekeringan a. Produksi (Berat basah ubi) dan Total Biomassa (dari daerah Pasang Surut)
Total Biomass (Pasang Surut)
P1 = 50% KL P2 = 25 % KL
100 50
I Ci R le m b M u en tik La pi s Ti da r Bo Uw le uk dK un ir Bo go Te r m ba Bo ku l r U en ng g Je u Bo ndr l e eal dN ag ri
Bo le
dB
eu re um
0
Varietas Lokal
Gambar 1. Grafik hubungan antara hasil produksi dan varietas lokal (pasangsurut)
P0 = 100% KL
100 80
P1 = 50% KL P2 = 25% KL
60 40 20 0 I Ci R le m b M u en tik La pi s Ti da r Bo Uw le uk dK un ir Bo go Te r m ba Bo ku l r U en ng g Je u Bo ndre a le dN l ag ri
P0 = 100% KL
150
140 120
eu re um
200
dB
250
180 160
Bo le
Produksi ubi (kg/pot)
300
Total Biomass (gr/tanaman)
Hasil produksi/Berat basah ubi (Pasang Surut)
Varietas lokal
Gambar 2. Grafik hubungan antara total biomassa dan varietas lokal (pasangsurut)
3
b. Dataran Tinggi Produksi dan total biomassa ubi varietas lokal dari daerah dataran tinggi dapat dilihat pada grafik berikut Hasil produksi ubi (Dataran tinggi)
Total Biomassa (Dataran Tinggi)
P1 = 50% KL
30
P2 = 25% KL
20
madu
bogor
jepang
rujak
g
ad u m
bo go r
je pa n
ru ja k
ar in da
sa m
nu ra ni ci le m bu se ba ku l m ar ko na
r
ci
am pa
ke rin
lo k ile ni um m
ba tu
Te
Varietas lokal
samarinda
0
0
sebakul
10
Telok
50
P0 = 100% KL
40
markona
P2 = 25% Kl
100
50
nurani
P1 = 50% KL
60
cilembu
P0 = 100% KL
70
kerinci
150
80
batu ampar
200
milenium
Total Biomassa (gram/pot)
Berat basah ubi (gram/pot)
250
Varietas lokal
Gambar 3. Grafik hubungan antara hasil produksi dan varietas lokal (dataran tinggi)
Gambar 4. Grafik hubungan antara total biomassa dan varietas lokal (dataran tinggi)
c. Dataran rendah Produksi ubi dan total biomassa varietas lokal dari daerah dataran rendah dapat dilihat pada grafik berikut Total Biomassa (Dataran Rendah) 100
250 200
P0 = 100% KL
150
P1 = 50% KL P2 = 25% KL
100 50
90 80 70 60
P0 = 100% KL
50
P1 = 50% KL
40
P2 = 25% KL
30 20 10
Varietas lokal
Gambar 5. Grafik hubungan antara hasil produksi dan varietas lokal (dataran rendah)
Cu ru p
Pu tr i
ad i Jo ng go l Th ai lan d
Ke l
Re bu s M er ah
Ke pa rB Ca ka rA ya m
ar A
ur up
Pu tr i
C
K el ad i Jo ng go l Th ai la nd
eb us M er ah
R
ya m rA
ak a
K ep
ar B
0
C
K ep
ar A
0
Total Biomassa (gram/pot)
300
Ke p
Berat basah ubi (gram/pot)
Produksi/berat basah ubi (Dataran Rendah)
varietas lokal
Gambar 6. Grafik hubungan antara total biomassa dan varietas lokal (dataran rendah)
PEMBAHASAN Dari hasil pengamatan pertumbuhan varietas lokal ubi jalar dapat dilihat bahwa perlakuan kekeringan yang diberikan baik dalam skala 50% kapasitas lapang maupun 25 % kapasitas lapang memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan semua varietas ubi jalar yang ditanam. Hal ini dapat difahami karena air merupakan faktor utama yang dibutuhkan tanaman dalam
4
pertumbuhannya, karena merupakan bahan baku proses meetabolisme tanaman yaitu fotosintesis (Nair and Nair, 1995). Varietas dari daerah pasang surut Perlakuan sangat kering yang diberikan, baik yang 50% kapasitas lapang (P1) maupun 25% kapasistas lapang (P2) cukup menekan pertumbuhan varietas ubi jalar dari daerah pasang surut. Walaupun demikian, ada beberapa varietas yang menunjukkan adanya ketahanan terhadap perlakuan kering tersebut (bahkan pada level 25% kapasitas lapang). Dari pengamatan tinggi tanaman, menunjukkan bahwa varietas Boled Nagri dan Tidar menunjukkan ketahanan, varietas IR dan Cilembu, walupun sempat terjadi penurunan tetapi tanaman mulai survive kembali. Sedangkan pada parameter luas daun, walaupun relatif rendah jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P0 = 100% kapasitas lapang), tetapi beberapa varietas misalnya Boled Kunir, Cilembu, IR dan Tidar menunjukkan masih adanya sedikit kenaikan luas daun pada beberapa pengamatan yang dilakukan. Beberapa varietas masih mampu berproduksi pada level pemberian air (P1 dan P2), walaupun relatif rendah jika dibandingkan pada perlakuan kontrol (P0), seperti varietas Lapis, Tidar, IR, Cilembu dan Boled Kunir. Tetapi beberapa varietas tidak menghasilkan ubi pada perlakuan P2, yaitu varietas Bolen, Tembakur Ungu, Jendral dan Boled Beureum. Hal ini kemungkinan disebabkan karena translokasi hasil fotosintesis terhambat dengan kurangnya asupan air oleh tanaman (Nilsen and Orcutt, 1996). Sebagai konsekuensi logis dari terhambatnya pertumbuhan, maka produksi biomassa juga terhambat (Nilsen and Orcutt, 1996; Mukminah, 2001). Pada penelitian ini terdapat empat varietas yang menghasilkan biomassa tinggi yaitu Boled Nagri, Tidar, IR dan Cilembu.
Varietas dari daerah dataran tinggi Seperti juga halnya pada variets dari daerah pasang surut, kekurangan air juga menghambat pertumbuhan varietas ubi jalar dari daerah dataran tinggi. Ada beberapa varietas yang menunjukkan indikasi tahan terhadap kekeringan yaitu varietas Sebakul, Milenium, Jepang dan Samarinda yang dapat ditunjukkan dati pengamatan tinggi dan luas daun. Varietas Rujak menunjukkan hal yang menarik, pada perlakuan sangat kering (P2) hasil produksi ubi segar justru lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P1, yaitu vaietas Rujak. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang mengatakan bahwa ubi jalar lebih cocok untuk dibudidayakan di daerah dengan kondisi media yang relatif kering, dibandingkan dengan media yang lembab (Nair and Nair, 1995). Varietas lainnya yang relatif tahan dan masih menghasilkan adalah
5
varietas Madu, Samarinda dan Cilembu. Tetapi terdapat juga varietas yang tidak menghasilkan ubi pada perlakuan kering, yaitu varietas Milenium.
Varietas dari daerah dataran rendah Untuk varietas dari dataran rendah, terdapat beberapa varietas yang tahan kering yang ditunjukkan oleh masih naiknya grafik tinggi tanaman dan luas daun, yaitu varietas Curup, Kepar A dan Putri. Pada parameter produksi ubi segar, kembali varietas Kepar A menunjukkan hasilyang paling tinggi, disusul oleh varietas Jonggol. . KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: Terdapat varietas-varietas lokal Sumatera Selatan yang tahan terhadap kekeringan yang berpotensi untuk dikembangkan di daerah marginal, yaitu: Boled Nagri, Tidar, IR, Cilembu, Boled Kunir, Sebakul, Milenium, Jepang, Madu, Rujak, Bogor, Telok, Batu Ampar, Curup, Kepar A, dan Putri.
DAFTAR PUSTAKA
Fuglie, Keith. 2003. Economic prospects for root and tuber crop utilization for starch and animal feed in Asia. Dalam Progress in Potato and Sweetpotato Research in Indonesia, Editor: Keith O. Fuglie. Proceedings of the CIP-Indonesia Research Review Workshop, Bogor Indonesia, March 26-27, 2002. International Potato Center East, Southeast Asia and Pacific Region (CIP-ESEAP); Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD): 157-170. Hasanuddin, Andi dan J. Wargiono. 2003. Research priorities for sweet potato in Indonesia. Dalam Progress in Potato and Sweetpotato Research in Indonesia, Editor: Keith O. Fuglie. Proceedings of the CIP-Indonesia Research Review Workshop, Bogor Indonesia, March 2627, 2002. International Potato Center East, Southeast Asia and Pacific Region (CIPESEAP); Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD): 21-28 Indira, P. and S. Kabberathumma. 1990. Physiometabolic changes in sweetpotato grown under different levels of soil moisture. J. Root Crops 16 (1): 28-32. Larcher, Walter. 2003. Physiological plant ecology. Ecophysiology and stress physiology of functional groups. 4th Edition. Springer. Berlin. Lopez-Hernandez, L; M.J. Gonzales-Castro, M.E. Vazquez-Blanco, M.L. Vazquez-Oderiz and J. Simal Rozaro. 1994. HPLC determination of sugar and starch in green beans. J. Food Science. 59 (5): 1048-1049.
6
Moorthy, S.N. and C. Balagopalan. 1999. Physicochemical properties of enzymatically separated starch from sweet potato. Trop. Sci. 39: 23-27. Mukminah, Faridatul. 2003. Pengaruh Beberapa Tingkatan Pemberian Air terhadap Hasil dan Kandungan Karbohidrat pada Umbi Ubi Jalar (Ipomoea batatas L. (Lam.)). Prosiding Seminar Lokakarya Nasional „Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Era Otonomi Daerah dan Globalisasi“. Fakultas Pertanian UTP, 2-3 Mei 2003 Mukminah, Faridatul. 2001. Growth, photosynthetic capacity and yield potential of sweet potato (Ipomoea batatas L. (Lam.)) as affected by irrigation levels. Cuvillier Verlag, Göttingen, Germany. Nair, G.M. and V.M. Nair. 1995. Influence of irrigation and fertilizers on the growth attributes of sweet potato. J. Root Crops 21(1): 17-23. Nilsen and Orcutt. 1996. Physiology of plants under stress. Abiotic factors. John Wiley and Sons, Inc, New York. 673 p Onwueme, I.C. 1978. The tropical tuber crops. Yam, cassava, sweet potato, cocoyams. J. Wiley & Sons Ltd, London. Onwueme, I.C. and W.B. Charles. 1994. Tropical root and tuber crops. Production, perspectives and future prospects. FAO Plant Production and Protection Paper. Rome, Italy: 115-134. Saleh, Nasir dan Koes Haritojo. 2003. Present status and future research in sweet potato in Indonesia. Dalam Progress in Potato and Sweetpotato Research in Indonesia, Editor: Keith O. Fuglie. Proceedings of the CIP-Indonesia Research Review Workshop, Bogor Indonesia, March 2627, 2002. International Potato Center East, Southeast Asia and Pacific Region (CIPESEAP); Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD): 137153. Scott, G.J. and L. Maldonado. 1999. Sweetpotato for the New Millenium: Trends in Production and Utilization in Developing Countries. In Impact on a Changing World. Program Report 1997-98 International Potato Center. Lima, Peru: 329-336. Schulze, E.D. 1991. Water and Nutrient Interactions with Plant Water Stress. In Mooney, Harold A., William E. Winner and Eva J.Pell (Editors) (1991). Response of Plants to Multiple Stresses. Academic Press.Inc. San Diego: 89-101. Wheatley, C.C., L.Lin, G.Sun and B.Song, 1997. Improving small-scale sweet potato starch enterprises in Schuan Province, China. Trop.Sci., 37: 228-237. Woolfe, Jennifer A. 1992. Sweet Potato, an untapped food resource. Published in collaboration with the International Potato Center, Peru. Cambridge University Press. Cambridge. 643 p. UCAPAN TERIMA KASIH: 1. Kepada DP2M DIKTI yang telah memberikan bantuan dana penelitian HIBAH BERSAING XIII tahun 2005 2. Yayasan Pendidikan Nasional Tridinanti yang telah memberikan bantuan transportasi dan penginapan pada acara Seminar Bersama ini. 7
8