P R O S I D I N G | 19 ANALISIS PERTUMBUHAN TANAMAN DAN HASIL UBI JALAR (Ipomoea batatas (L.) Lam.)
1)Dosen
Nur Edy Suminarti 1) Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jl. Veteran, Malang 65145 e-mail :
[email protected] atau
[email protected];
PENDAHULUAN Ubi Cilembu telah lama dikenal dan banyak digemari oleh sebagian besar lapisan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini cukup beralasan karena selain rasanya yang lebih manis dari ubi jalar biasa, kadar pati yang terkandung di dalam umbi Cilembu juga lebih tinggi (66,2%) dari ubi jalar biasa (22,4%). Maryastuti (2002) menyatakan bahwa kandungan gula pada umbi Cilembu sekitar 3%- 6%, sedangkan pada ubi jalar biasa hanya sekitar 2,38%. Hal inilah yang menyebabkan ubi Cilembu mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dari ubi jalar biasa. Akan tetapi, dengan masih terbatasnya pengembangan ubi jalar Cilembu ini menyebabkan tingkat ketersediaan dan kontinuitas ubi Cilembu di pasaran maupun berbagai daerah masih sangat terbatas. Akibatnya, harga ubi Cilembu cenderung lebih mahal dibandingkan ubi jalar biasa. Umumnya tanaman ubi jalar Cilembu ini ditanam di wilayah dataran tinggi dengan ciri karakteristik suhu yang lebih rendah ( 15 – 30oC) dibandingkan wilayah dataran rendah yang suhunya cenderung lebih tinggi (20 – 33oC). Namun demikian, mengingat konsumen ubi cilembu ini cukup luas, dan tidak hanya terbatas dari wilayah dataran tinggi saja, maka upaya pengembangannya perlu diperluas ke wilayah yang mempunyai ketinggian tempat yang lebih rendah seperti Jatikerto. Berbedanya kondisi agro-ekologi dari kedua wilayah ini dimungkinkan akan memberikan pengaruh yang berbeda pada pertumbuhan dan hasil ubi jalar Cilembu yang akan ditanam di wilayah Jatikerto. Oleh karena itu, untuk melihat seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan akibat berbedanya kondisi lingkungan mikro tersebut, baik terhadap pertumbuhan maupun hasil, maka penelitian ini perlu dilakukan. Tanaman ubi jalar Cilembu diketahui cukup respon terhadap pemberian Nitrogen. Hal ini karena unsur N mempunyai peran penting dan terlibat langsung dalam penyusunan klorofil maupun protein, sehingga mempunyai pengaruh besar terhadap proses pembentukan umbi. Selain itu, berdasarkan hasil analisis tanah yang telah dilakukan, kandungan N –tanah Jatikerto cukup rendah, yaitu 0,104%, sehingga untuk memenuhi kebutuhan N bagi tanaman, maka pemupukan N sangat perlu dilakukan. BAHAN DAN METODE Penelitian telah dilakukan di Kebun Percobaan Universitas Brawijaya, di Desa Jatikerto, Kabupaten Malang, terletak pada ketinggian 303 m dpl dengan curah hujan bulanan sekitar 100 mm bulan-1, suhu minimum berkisar antara 18oC – 21oC serta suhu maksimum berkisar antara 30oc – 33oC ( Stasiun Pembantu Sumberpucung). Rancangan lingkungan yang digunakan adalah Acak Kelompok dengan 7 level pemupukan N, yaitu :0% (0 kg N ha-1), 25% (36,88 kg N ha-1), 50% (73,76 kg N ha-1), 75% (110,64 kg N ha-1) , 100% (147,52 kg N ha-1) , 125% (184,4 kg N ha-1) dan 150% (221,28 kg N ha-1). Setiap perlakuan diulang 4 kali sehingga diperoleh 28 unit perlakuan. Penentuan dosis pupuk N didasarkan pada hasil analisis tanah awal dan tingkat kebutuhan N maksimum tanaman ubi jalar
P R O S I D I N G | 20 Cilembu. Pengumpulan data dilakukan secara destruktif, meliputi aspek fisiologi tanaman (jumlah cabang, luas daun dan bobot kering total tanaman), analisis pertumbuhan tanaman ( Laju Pertumbuhan relatif, harga satuan daun dan indeks pembagian) serta hasil umbi per hektar. Uji F taraf 5% digunakan untuk menguji pengaruh perlakuan, sedang perbedaan diantara rata-rata perlakuan didasarkan pada nilai BNT taraf 5%. Analisis regresi digunakan untuk menjajagi hubungan diantara dua variable tanaman (Gomez and Gomez, 1983). HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum pemupukan N berpengaruh nyata pada semua parameter yang diamati, mencakup aspek fisiologi, analisis pertumbuhan tanaman maupun hasil per hektar. Pengamatan difokuskan pada saat tanaman berumur 80 hari setelah tanam (hst) dengan pertimbangan tanaman telah memasuki fase vegetatif maksimum. Aspek Fisiologi Aspek fisiologi tanaman mencakup pengukuran jumlah cabang, luas daun dan bobot kering total tanaman. Rerata pengukuran dari ketiga parameter tesebut disajikan pada Tabel 1 Tabel 1. Rerata jumlah cabang, luas daun dan bobot kering total tanaman pada saat tanaman berumur 80 hst Perlakuan
Jumlah cabang/ tanaman
Luas daun ( cm2)
Bobot kering total tanaman (g)
Level pemupukan N (%) 0% N 25% N 50% N 75% N 100% N 125% N 150% N
5,0 a 7,17 ab 7,17 ab 8,67 ab 8,83 b 7,67 ab 9,33 b
4073,58 a 4143,66 a 4324,78 a 5391,58 ab 6863,74 cd 5900,84 bc 8109,95 d
81, 43 a 115,77 ab 147,90 ab 132,72 ab 186,20 b 139,75 ab 118,70 ab
BNT 5%
3,50
1326,41
73,39
Keterangan : Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5% ; hst : hari setelah tanam
Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk tanaman yang dipupuk N sebanyak 100% maupun 125%, jumlah cabang yang dihasilkan lebih banyak 86,6% dan 76,6% dibandingkan dengan tanaman yang tanpa dipupuk N. Pada tanaman yang tidak dipupuk N, tingkat ketersediaan N sangat rendah sehingga berakibat pada rendahnya laju pertumbuhan tanaman (Suminarti et al., 206). N bagi tanaman berperan dalam penyusunan klorofil yang penting artinya dalam penyerapan cahaya untuk kegiatan fotosintesis. Oleh karena itu, apabila ketersediaan N rendah, maka laju fotosintesispun juga akan terhambat. N juga berperan dalam pembentukan protein, dan bersama-sama asimilat, protein ini berfungsi sebagai energi pertumbuhan. Pertumbuhan merupakan suatu proses pertambahan ukuran, bobot maupun
P R O S I D I N G | 21 volume yang diawali dengan proses pembelahan, perluasan maupun perpanjangan sel, dan untuk berlangsungnya kegiatan tersebut diperlukan sejumlah energi (Sitompul, 2016). Apabila energi yang tersedia rendah, maka proses pertumbuhan juga terganggu yang selanjutnya akan berdampak pada rendahnya pertambahan ukuran organ tanaman seperti jumlah cabang maupun luas daun (Mohammad et al., 2012). Di sisi lain, daun merupakan organ asimilasi tanaman, dan apabila daun yang terbentuk sedikit dan sempit, menyebabkan kapasitas tanaman dalam melakukan kegiatan fotosintesis juga terbatas. Akibatnya asimilat yang dihasilkan rendah. Asimilat ini merupakan cerminan bahan kering yang dihasilkan tanaman. Oleh karena itu, apabila bahan kering yang dihasilkan tanaman rendah, maka asimilat yang dihasilkan oleh tanaman juga rendah (Ogbonna and Nweze, 2012). Analisis Pertumbuhan Tanaman Pengamatan terhadap analisis pertumbuhan tanaman mencakup tiga aspek yaitu : laju pertumbuhan relatif (LPR), harga satuan daun (HSD) dan indeks pembagian (IP). Penghitungan terhadap LPR dan HSD dilakukan ketika tanaman akan memasuki fase vegetative puncak (antara umur 65 hst-80 hst), sedangkan penghitungan IP dilakukan pada saat panen. Rerata hasil analisis ketiga komponen tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rerata LPR, HSD dan IP pada kisaran umur 65 hst – 80 hst untuk LPR dan HSD dan umur 120 hst untuk IP. Perlakuan
Level pemupukan N (%) 0% N 25% N 50% N 75% N 100% N 125% N 150% N BNT 5%
LPR (g.g-1hari-1)
HSD (mg. cm-2 hari-1)
IP
0,02 a 0,03 ab 0,04 abc 0,06 cd 0,07 d 0,05 bcd 0,03 ab
1,0 bc 1,2 c 0,6 ab 0,6 ab 0,4 a 0,4 a 0,3 a
0,60 b 0,58 b 0,55 b 0,45 a 0,44 a 0,42 a 0,38 a
0,03
0,5
0,08
Keterangan : Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5% ; hst : hari setelah tanam
LPR menggambarkan banyaknya asimilat yang dihasilkan tanaman dari bobot awal per satuan waktu. LPR yang lebih rendah didapatkan pada perlakuan tanpa pupuk maupun yang dipupuk 25% N dan 50% N maupun 150% N. Pada tingkat pemupukan rendah, luas daun yang dibentuk lebih sempit sehingga berpengaruh pada rendahnya asimilat yang dihasilkan. Sedangkan pada tingkat pemupukan tinggi (150%), tingginya jumlah dan luas daun menyebabkan rendahnya penetrasi cahaya yang diterima oleh setiap lamina daun sebagai akibat terjadinya peristiwa saling menaungi diantara daun yang terbentuk. Akibatnya asimilat yang dihasilkan rendah. Hal ini juga dapat dibuktikan melalui hasil
P R O S I D I N G | 22 penghitungan harga luas daun. Umumnya HSD yang lebih rendah didapatkan pada tingkat pemupukan tinggi, dan menunjukkan peningkatan ketika dosis pemupukan N diturunkan. Indeks pembagian menggambarkan banyaknya asimilat yang dialokasikan ke bagian umbi dari total asimilat yang dihasilkan. Umumnya Indeks pembagian yang lebih rendah didapatkan pada tingkat pemupukan tinggi, karena sebagian dari asimilat yang dihasilkan dipergunakan untuk energi pertumbuhan maupun pemeliharaan tanaman. Hasil Umbi per hektar Hasil umbi per hektar dihitung berdasarkan luasan pada sampel petak panen. Rerata hasil umbi per hektar pada berbagai tingkat pemupukan N pada saat panen disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rerata hasil umbi per hektar pada berbagai tingkat pemupukan N pada saat panen Perlakuan Level pemupukan N (%) 0% N 25% N 50% N 75% N 100% N 125% N 150% N BNT 5%
Hasil umbi per hektar (ton)
23,73 a 34,22 b 36,05 b 36,55 b 36,59 b 34,59 b 31,73 b 7,3
Keterangan : Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5% ; hst : hari setelah tanam
Hasil umbi per hektar pada berbagai tingkat pemupukan N memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata, dan nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemupukan N. Oleh karena itu, untuk menentukan dosis optimum pada pemupukanber N tersebut, hasil analisis regresi memperlihatkan terbentuknya tanggapan kuadratik antara dosis pemupukan N (X) dengan hasil umbi per hektar (Y) sebagaimana disajikan pada Gambar 1.
P R O S I D I N G | 23
Berdasarkan persamaan tersebut di atas, maka dapat diketahui dosis optimum pupuk N yang diperlukan oleh tanaman ubi jalar varietas Cilembu, yaitu sebesar 83,33% atau setara dengan 122,92 kg N ha-1 (267,22 kg urea ha-1) dengan hasil maksimum sebesar 36,95 ton ha-1. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemupukan N berpengaruh nyata pada pertumbuhan dan hasil tanaman ubi jalar Cilembu. Pada tingkat pemupukan N paling rendah (0%), bobot umbi per hektar yang dihasilkan paling rendah (23,73 ton ha-1). Hasil ubi jalar maksimum per hektar (36,95 ton ha -1) didapatkan pada tingkat pemupukan N optimum sebesar 83,33% atau setara dengan 267,22 kg ha-1 DAFTAR PUSTAKA Maryastuti, A. 2002. Pengaruh penyimpanan dan pemanggangan terhadap kandungan zat gizi dan daya terima ubi jalar Cilembu. Skripsi Jurusan Gizi dan Sumberdaya Keluarga, Fak. Pertanian, IPB, Bogor. Mohammad,W., S. M.Shah, S. Shehzadiand S. A. Shah. 2012. Effect of tillage, rotation and crop residues on wheat crop productivity, fertilizer nitrogen and water use efficiency and soil organic carbon status in dry area (rainfed) of north-west Pakistan. Journal of Soil Science and Plant Nutrition 2012, 12 (4), 715-727 Ogbonna, P.E. and N.J. Nweze, 2012. Evaluation of growth and yield responses of cocoyam (Colocasia esculenta) cultivars to rates of NPK 15:15:15 fertilizer. Afr. J. Agric. Res.,7: 6553-6561. Suminarti, N.E., Ariffin, B. Guritno and M.L. Rayes. Effect of Fertilizer Application and Plant Density on Physiological Aspect and Yield of Taro (Colocasia esculenta (L.) Schott var.Antiquorum). Int. J.Agric. Res. 11 (1): 32-39, 2016. ISSN 1816-4897 / DOI: .3923/ijar.2016.32.39 © 2016 Academic Journals Inc.