ETNISITAS DALAM PILKADA KOLAKA UTARA 2012
Skripsi Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Ilmu Politik Pada Jurusan Ilmu Politik Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Disusun Oleh:
Adehfitri Ashar NIM E111 10 266
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2014
KATA PENGANTAR Assalamu Alaikum warahmatullahi Wabarakatuh Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena
atas
rahmat
dan
hidayah-Nya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan Laporan Tugas Akhir yang berjudul “Etnisitas Dalam Pilkada Kolaka Utara 2012” dengan lancer dan tepat pada waktunya. Skripsi ini penulis persembahkan sebagai wujud baktiku kepada kedua orang tua penulis yang tidak ada hentinya memberikan kasih sayang, kepercayaan, semangat, nasehat serta senantiasa Ayahanda Ashar dan Ibunda Azisah berikan kepada penulis. Beliau tak henti dan lelah selalu memanjatkan doa kepada Allah SWT untuk menjaga penulis dari hal-hal negative di tempat rantauan menuntut ilmu, serta memberi materi untuk kecukupan sehari-hari penulis. Semoga Allah memberi kemudahan dan kesempatan kepada penulis untuk berbakti kepada ayah dan ibu di dunia sebagai bekal di akhirat. Terima kasih atas doa dan dukungan dari kakakku Adhyatma Ashar selaku pengganti orang tua selama di perantauan, adikku Abdul Fatwa Ashar semoga bisa cepat nyusul sarjana dan si bungsu Afiah Putri Ashar semoga berbakti kepada keluarga. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada keluarga besar yang selalu mendoakan dan memberikan semangat untuk mama, bapak, kakek,
nenek, om, tante dan sepupu. Semoga segala doa dan dukungan kalian berikan kepada penulis dapat balasan yang lebih baik oleh Allah SWT. Skripsi ini tidak akan dapat penulis rampungkan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Sadar akan hal ini maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada: 1. Bapak Prof Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp. B, Sp. BO. FICS selaku mantan Rektor Universitas Hasanuddin Periode 2004-2014 dan Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina, MA selaku Rektor Universitas Hasanuddin. 2. Bapak Prof. Dr. H. Hamka Naping, M.A, selaku dekan fakultas Ilmu Sosial dan Bapak Dr. H. A. Gau Kadir, MA selaku ketua jurusan Politik Pemerintahan serta ibu Dr. Gustiana A. Kambo, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UNHAS. 3. Bapak Drs. H. A. Yakub M.Si, selaku Pembimbing I, terimakasih atas waktu, tenaga, dan arahan yang telah diberikan selama ini dan bapak A. Naharuddin, S.Ip, M.si selaku Pembimbing II dan sekretaris Jurusan Ilmu Politik Pemerintahan FISIP UNHAS, terima kasih atas waktu, tenaga dan arahan yang telah diberikan selama ini. 4. Bapak A. Ali Armunanto S.Ip, M.Si selaku penasehat akademik, terima kasih atas masukan yang telah diberikan selama ini.
5. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Politik yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalaman-pengalaman kepada penulis. Semoga segala yang diberikan dapat bernilai ibadah kepadaNya. 6. Seluruh dosen dan staf di lingkungan FISIP dan lingkungan Universitas Hasanuddin. 7. Keluarga besar HIMAPOL Fisip Unhas dari angkatan 2006 sampai 2013. Dan senior-senior yang tidak sempat penulis dapatkan sejak bergabung di Himapol. 8. Teman-teman Sospol angkatan 2010, terutama saudara-saudariku “Genealogi 2010”. Untuk cewek-cewek tangguh kita Au si ondeng yang tidak bisa move on, Fitrah si gemuk yang just a friend, Inda si kecil yang sudah cair hatinya, Pute si tipis yang tidak pernah saya susahi, Sinta yang sudah sold, Asma, Cia, Dian, Dila, Ika, Indar, Ira, Pipot, Sani, Bhete, Winda. Terus cowok-cowok yang selalu melindungi teman cewenya Edie, Cenne, Rangga, Dayat, Fian, Syukur, Wira, Anhar, Icad, Ode, Rendi, Ryo, Wanto, Wawan, Yaya, Bang Asok, Awa. Terima kasih atas kebersamaan yang telah kita lalui bersama dari MABA sampai Sarjana. 9. Terima kasih atas semangatnya kepada keluarga besar Ponpes Ummul Mukminin, terkhusus keluarga besar Republik VCE, keluarga besar Serum Institute, keluarga besar Tali Foundution, keluarga besar Pencak Silat UH, teman-teman kampong Pare Kediri.
10. Spesial
buat
kanda-kanda
yang
selalu
mengingatkan
dan
mendengarkan curhatanku, kak Srie, kak Nana, miss u all. 11. Keluarga besar KKN UH Gelombang 85 Kec. Kamanre terkhusus posko Salu Paremang Selatan kak Reza yang sekaligus telah mmbantu dan memberi semangat selama proses skripsiku berjalan, kak Aca, kak Junet, Du dan keluarga di posko. 12. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada para informan yang telah membantu penulis dalam proses penelitian, Drs. Saipul Amin, Drs. Syamsu Rijal, MM, Buhari, S.Kel, Drs. Ashar, MM, Drs. Masmur Lakahena, M.Si dan semua informan yang tidak sempat penulis tuliskan namanya. 13. Terima kasih kepada semua pihak terkait yang telah membantu penulis.
Semoga
Allah
SWT
membalas
semua
kebaikan
Bapak/Ibu/Saudara. Semoga segala yang telah dilakukan bernilai ibadah di sisiNya. Amin Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Makassar,
Agustus 2014
Adehfitri Ashar
ABSTRAC ADEHFITRI ASR (E111 10 266), with a thesis title ethnicity in local elections of Kolaka 2012 Under the guidance of Drs. H. A. Yakub, M.Si as the first counselor and A. Naharuddin, S. IP, M.Si as the second counselor. Enisitas is a group of people who share the same cultural and biological as well as acting in accordance with the same mindset. The Study about the ethnic as a group of people who have the same culture has evolved from the biological realm to the realm of culture and ultimately leads to the political sphere. As a democratic country, Indonesia applies election in choosing a leader to lead a region. Ethnic identity can be socially constructed which is used to negotiating to see specific boundaries in the groups, such as Bugis, Toraja and Tolaki more prone to ethnic of Bugis. This makes the researcher formulate a problem statement “how is the situational perspective of Bugis ethnic in 2012 local elections in the district of Kolaka.” The Author aims to analyze based on the situational perspective the victory of the incumbent Rusda mahmud - Bobby Alimuddin. The research was conducted in the regency of North Kolaka Lasusua districts, Southeast Sulawesi. The method used is qualitative research methods and basic descriptive type of case study research. Techniques used in the data collection process through in-depth interviews to several informants as well as from literature sources, documents, and articles associated with this research. Then the data obtained will be reduced based on the needs and inferred to be presented. The results of this study indicate that the General Election in the regency of North Kolaka raised polarization which is used as a the incumbent strategy to mobilize the people who are majority ethnic of Bugis in which primordial perspective have supporting factors in winning the election North Kolaka 2012 namely are creates money politic, the use of the bureaucracy power in mobilizing the community, as well as the utilization of the owned position of incumbent candidates in the previous period, there was also a political agreement made between the candidate and it is to add the voice of the Bugis ethnic communities, ethnic Tolaki and ethnic Toraja.
ABSTRAK ADEHFITRI ASHAR (E111 10 266), dengan judul skripsi etnisistas dalam pemilihan kepala daerah Kolaka Utara 2012. Di bawah bimbingan Drs. H. A. Yakub, M.Si sebagai pembimbing I dan A. Naharuddin, S.IP, M.Si sebagai pembimbing II. Enisitas merupakan kelompok manusia yang mempunyai kesamaan dalam hal kebudayaan dan biologis serta bertindak sesuai dengan pola pemikiran yang sama. Kajian tentang etnik sebagai kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan sama, berkembang dari ranah biologis menuju ranah kebudayaan dan akhirnya bermuara pada ranah politik. Sebagai negara demokrasi, Indonesia dalam memilih seorang pemimpin untuk memimpin suatu wilayah dengan melakukan Pemilihan Umum (Pemilu). Identitas etnik dapat dikontruksi secara sosial yang digunakan untuk bernegosiasikan untuk melihat batas-batas spesifik dalam klompok yakni etnik Bugis, Tolaki dan Toraja dan lebih cenderung pada etnik Bugis. Hal ini menjadikan peneliti mengangkat rumusan masalah bagaimanakah perspektif situasional etnik Bugis dalam pemilihan kepala daerah di kabupaten Kolaka Utara tahun 2012. Penulis bertujuan untuk menganalisis berdasarkan perspektif situasional kemenangan pasangan incumbent Rusda Mahmud – Bobby Alimuddin. Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Kolaka Utara kecamatan Lasusua, Sulawesi Tenggara. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif dan dasar penelitian studi kasus. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yakni melalui proses wawancara mendalam kepada beberapa informan serta dari sumber-sumber literatur, dokumen, dan atikel yang berhubungan dengan penelitian ini. Kemudian data yang diperoleh akan direduksi berdasarkan keperluan serta disimpulkan untuk disajikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pemilukada di kabupaten Kolaka Utara terjadi polarisasi yang digunakan sebagai strategi Incumbent untuk memobilisasi masyarakat yang mayoritas etnik Bugis dimana perspektif primordial mempunyai faktor-faktor pendukung dalam pemenangan pilkada Kolaka Utara 2012 yakni melahirkan politik uang, pemanfaatan kekuatan birokrasi dalam memobilisasi masyarakat, serta pemanfaatan posisi yang dimiliki kandidat incumbent pada periode sebelumnya, juga adanya perjanjian politik yang dilakukan antar kandidat dan hal tersebut untuk menambah suara dari masyarakat etnik Bugis, etnik Tolaki dan etnik Toraja.
DAFTAR ISI Lembar Judul Halaman Pengesahan Halaman Penerimaan Kata Pengantar………………………………………………………
i
Abstrac...………………………………………………………………
v
Abstrak...………………………………………………………………
vi
Daftar Isi…..……………………………………………………………
vii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah......................................................
1
1.2 Rumusan Masalah…............................................................
10
1.3 Tujuan Penelitian…..............................................................
10
1.4 Manfaat Penelitian……........................................................
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Etnisitas..................................................................
12
2.2 Identitas Etnik……...…………………………………………..
20
2.2.1 Perspektif Primordial…………………………………….
24
2.2.2 Perspektif situasional…………………………………....
27
2.3 Politik Etnik Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah……
29
2.4 Kerangka Pemikiran……......................................................
33
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian…………...................................................
36
3.2 Tipe dan Dasar Penelitian……............................................
36
3.3 Jenis Data Penelitian………................................................
37
3.4 Teknik Pengumpulan Data………........................................
38
3.5 Teknik Analisis Data………..................................................
39
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kronologi Pemekaran Kabupaten Kolaka Utara…………..
42
4.2 Letak Geografis dan Luas Wilayah………………………….
46
4.3 Pemerintahan………………………………………………….
48
4.4 Keadaan Penduduk…………………………………………..
49
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Perspektif Primordial Kandidat Dalam Memenangkan Pemilihan Kepala Daerah Kolaka Utara……………………..
60
5.2 Faktor Primordial pada Pilkada Kolaka Utara……………...
75
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan……………………………………………………
97
6.1.1 Perspektif Primordial Kandidat Dalam Memenangkan Pemilihan Kepala Daerah Kolaka Utara…………..
97
6.1.2 Faktor-faktor Perspektif Primordial Kandidat Dalam Memenangkan Pemilihan Kepala Daerah Kolaka Utara……………………………………………………. 6.2 Saran…………………………………………………………... DAFTAR PUSTAKA
98 100
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Enisitas
merupakan
kelompok
manusia
yang
mempunyai
kesamaan dalam hal kebudayaan dan biologis serta bertindak sesuai dengan pola pemikiran yang sama. Dalam hal ini, akan terdapat kelompok mayoritas ketika suatu etnik tertentu menempati wilayah yang menjadi asal dari etnik itu dan dapat dikatakan minoritas ketika kelompok tersebut menempati daerah perantau atau daerah pendatang yang telah bercampur dengan etnik lain yang telah menetap lama. Menurut Narrol kelompok etnik dikenal sebagai populasi yang mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain1. Kehidupan manusia dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu Negara. Manusia melakukan interaksi dengan manusia lainnya sehingga terbentuk komunitas yang unik yang dinamakan masyarakat. Kemudian sekumpulan masyarakat membentuk pola-pola hubungan antarmasyarakat hingga terbentuk komunitas yang besar yang 1
Alo Liliweri. Makna Budaya dalam komunikasi antarbudaya. LKiS. Hal 9
dinamakan bangsa atau Negara. Itulah sebabnya manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar saja, tapi mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain seperti status dalam masyarakat, menjadi anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya yang dapat meningkatkan martabat seseorang dalam suatu kelompok. Menurut Schermerhorn suatu kelompok etnis adalah suatu masyarakat kolektif yang mempunyai atau digambarkan memiliki kesatuan nenek moyang, mempunyai pengalaman sejarah yang sama di masa lalu, serta mempunyai fokus budaya di dalam satu atau beberapa elemenelemen simbolik yang menyatakan akan keanggotaannya, seperti polapola keluarga, ciri-ciri fisik, aliansi agama dan kepercayaan, bentuk-bentuk dialek atau bahasa, afiliasi kesukuan, nasionalitas, atau kombinasi dari sifat-sifat tersebut yang pada dasarnya terdapat ikatan antar anggotanya sebagai suatu kelompok2. Kajian
tentang
etnik
sebagai
sekelompok
manusia
yang
mempunyai kebudayaan sama, berkembang dari ranah biologis menuju ranah kebudayaan dan akhirnya bermuara pada ranah politik. Di dalam bangsa atau wilayah yang multi-etnik akan terjadi pola hubungan etnik ketika mereka saling kontak atau berinteraksi. Etnisitas merupakan 2
Sugiprawaty, Etnisitas dan Jejaring Politik Di Sulawesi Selatan.pdf. Hal. 46
fenomena tersendiri yang muncul dalam interaksi sosial. Etnisitas juga beraneka
ragam,
tergantung
pada
jenis
hubungan
yang
saling
mempengaruhi antara individu dan kelompok dengan lingkungan sosial maupun alam mereka3. Sulawesi Tenggara terdapat 22 etnis asli dan beberapa etnis pendatang yang bermukim di Sulawesi Tenggara yang tersebar di berbagai Kabupaten, Kecamatan sampai desa-desa yang terdapat di Sulawesi Tenggara. Kolaka Utara adalah salah satu dari 12 kabupaten dan kota dalam Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara yang terletak di ujung utara Provinsi Sulawesi Tenggara4. Kabupaten Kolaka Utara yang resmi berdiri sebagai kabupaten yang otonomi pada tanggal 7 Januari 2004 berdasarkan Undang-Undang Nomor : 29 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bombana, Wakatobi dan Kolaka Utara di provinsi Sulawesi Tenggara, telah mampu menunjukkan geliatnya dalam melaksanakan pembangunan diberbagai sektor5. Wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Kolaka Utara pada tahun 2012 terdiri atas 15 kecamatan, 127 desa, dan 6 kelurahan6 dan
3
(Fredrik Barth , Ethnic Groups and Boundariesi), 203, konflik Komunal Indonesia Saat Ini , Jakarta: INIS dan PBB 4 Profil Daerah Kabupaten Kolaka Utara,hal.1 5 Badan Arsip, Perpusda, Infokom dan PDE Kabupaten Kolaka Utara, Kolaka Utara Dalam Geliat Pembangunannya,(Lasusua: 2007), hal.1 6 Kabupaten Kolaka Utara Dalam Angka 2013, hal. 19
data penduduk Kabupaten Kolaka Utara berjumlah 126.843 jiwa atau meningkat sebanyak 2,77 persen7. Konsep demokrasi secara umum yakni pemerintah dari, oleh dan untuk rakyat. Demokrasi di Indonesia berkaitan dengan pembentukan sistem politik yang mencerminkan prinsip keterwakilan, partisipasi, dan kontrol. Demokrasi memberikan kebebasan bagi kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi seperti organisasi politik, ekonomi, sosial, etnik dan sebagainya
yang
ada
di
Indonesia
untuk
bebas
mengutarakan
pendapatnya bahkan masyarakat yang tidak tergabung dalam suatu kelompok atau organisasi mampu untuk mengutarakan pendapatnya dan meminta hak. Sebagai negara demokrasi, Indonesia dalam memilih seorang pemimpin untuk memimpin suatu wilayah dengan melakukan Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu telah ada sejak tahun 1945 yakni pada zaman demokrasi parlementer dan sampai saat ini yakni zaman reformasi masih dilakukan pemilu. Pemilukada terdapat banyak faktor yang mempengaruhi terutama dalam perilaku pemilih. Berbicara tentang etnis, tentu masih kuat diingatan kita, bagaimana faktor etnis menjadi faktor yang sangat sensitif dan kuat dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Bagaimana posisi etnis dalam Pemilukada? Untuk skala indonesia secara umum, terdapat berbagai
7
Ibid,hal.48
macam temuan dan pendapat, ada yang menyatakan bahwa faktor etnis sangat kuat mempengaruhi perilaku pemilih dalam proses Pemilukada, pemilih cenderung memilih calon dengan mendasarkan pada kesamaan etnis, dalam artian kesamaan ras dan etnis pemilih dengan partai atau pejabat publik cenderung mempengaruhi perilaku pemilih seseorang. Tetapi ada juga yang menyatakan, faktor etnis tidak terlalu mempengaruhi perilaku pemilih dalam proses Pemilukada. Kabupaten Kolaka Utara juga mengadakan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) untuk pertama kalinya pada tahun 2009 setelah pemekaran. Pada tahun 2012 Kolaka Utara mengadakan pemilukada untuk kedua kalinya dengan 180 Tempat Pemungutan Suara (TPS) serta diikuti oleh tiga pasangan calon bupati dan calon wakil bupati. Nomor urut satu H. Idrus Arasy, SE - Drs. Syamsu Rijal, MM dengan perolehan suara 4,56 persen, nomor urut dua Anton, SH - H. Abbas, SE dengan perolehan suara 31,95 persen dan nomor urut tiga pasangan incumbent Rusda Mahmud - Bobby Alimuddin, SE dengan perolehan suara 63,49 persen. Dengan hasil perolehan suara tersebut maka pasangan Rusda Mahmud Bobby Alimuddin, SE yang menjabat sebagai Bupati Kolaka Utara untuk periode 2012-2017. Kolaka Utara merupakan daerah yang mayoritas masyarakatnya pendatang dari etnik-etnik lain dari luar daerah Kolaka Utara. Pada mulanya, masyarakat Kolaka Utara asli berasal dari etnik Bugis yang memang pada zaman sebelum terbentuk sebagai kabupaten atau
kecamatan terdapat kerajaan Luwu. Namun lambat laun etnik Bugis telah tercampur dengan etnik-etnik yang lain seperti etnik Tolaki yang memang merupakan etnik terbesar yang terdapat di Sulawesi Tenggara dan kemudian menyusul etnik Toraja serta etnik-etnik yang minoritas seperti Jawa, Makassar dan sebagainya. Kabupaten Kolaka Utara dihuni oleh penduduk dari berbagai etnik. Sejauh ini jumlah penduduk yang terbesar berasal dari etnis Bugis sebanyak 65 persen, menyusul etnis Tolaki sebanyak 15 persen, etnis Toraja sebanyak 11 persen, kemudian sisanya 9 persen terbagi untuk etnis Makassar dan etnis lain dalam jumlah yang relatif kecil seperti Jawa, Bali, dan lain-lain. Etnis
Bugis
merupakan
penduduk
yang
memiliki
kuantitas
terbanyak yang terdapat di Kolaka Utara dibandingkan dengan etnis yang lain. Dalam keadaan tersebut kandidat yang berasal dari etnis Bugis secara primordial akan memiliki suara yang cukup banyak, namun dilihat dari segi situasional hal tersebut belum tentu akan terjadi karena lima kandidat berasal dari etnik Bugis dan satu kandidat berasal dari etnik Tolaki baik sebagai calon bupati maupun wakil calon bupati. Etnik Tolaki menempati tempat kedua sebagai penduduk yang memiliki kuantitas terbanyak di Kolaka Utara dan terdapat satu kandidat yang ikut andil dalam Pemilukada. Hal tersebut dapat menggoyahkan suara dari etnik Bugis karena secara primordial ketika suara etnik Tolaki
bersatu dan memilih satu kandidat maka suaranya akan meningkat karena suara dari etnik Bugis dapat pecah dengan banyaknya kandidat yang berasal dari etnik Bugis ikut andil dalam Pemilukada. Namun kemenangan kandidat nomor urut tiga Rusda Mahmud - Bobby Alimuddin, SE mengalahkan kandidat nomor urut satu H. Idrus Arasy, SE - Drs. Syamsu Rijal, MM dengan perolehan suara yang relatif jauh berbeda. Padahal kedua kandidat tersebut berasal dari etnis Bugis. Pemilukada pada tahun 2012 yang dimenangkan oleh pasangan incumbent nomor urut tiga Rusda Mahmud - Bobby Alimuddin yang berasal dari etnis Bugis mengalahkan pasangan nomor urut satu dan dua yang campuran antara etnis Bugis dan Tolaki. Dimana pasangan nomor urut satu yakni H. Idrus Arasy, SE - Drs. Syamsu Rijal, MM yang kedua pasangan tersebut berasal dari etnis Bugis dan nomor urut dua yakni Anton, SH - H. Abbas, SE campuran yang berasal dari etnis Bugis dan Tolaki. Kandidat nomor urut satu berasal dari etnik Bugis, tetapi pasangan nomor urut satu walaupun keduanya berasal dari etnis Bugis mereka mempunyai suara paling rendah dibandingkan dengan kandidat yang lainnya. Karena pasangan calon Bupati H. Idrus Arasy,SE berasal dari etnik Bugis yang lahir di Kolaka Utara tetapi mempunyai bisnis di Makassar sehingga dalam hal ini untuk mendapatkan suara akan lebih sulit dengan menyandang sebagai status pebisnis yang tidak fokus dalam pengembangan daerah sendiri, sedangkan kandidat calon wakil bupati
Drs. Syamsu Rijal, MM berasal dari etnik Bugis. Tetapi karena beliau berada pada posisi sebagai wakil bupati yang akan mengurangi kesempatannya untuk menang karena ketika dilihat secara primordial, maka penduduk yang berasal dari etnis Bugis menginginkan pada posisi Bupati diduduki oleh kandidat yang berasal dari etnik Bugis agar lebih mudah untuk menyatukan pendapat dan menyampaikan aspirasi karena menyandang status sebagai orang yang memiliki etnik yang sama. Kandidat nomor urut dua yang memiliki suara terbesar kedua yakni Anton, SH - H. Abbas, SE merupakan pasangan campuran antara etnis Bugis dan Tolaki. Pasangan tersebut dapat mengalahkan pasangan urut satu yang keduanya berasal dari etnis Bugis, dalam hal ini apakah karena pengaruh dari etnik Tolaki atau karena ada hal-hal yang dapat mempengaruhi suara kandidat dalam Pemilukada selain dari alasan suatu identitas etnik yang sama. Kandidat nomor urut tiga merupakan pasangan incumbent Rusda Mahmud - Bobby Alimuddin yang terpilih sebagai bupati dan wakil bupati. Dimana posisi sebagai bupati ditempati oleh kandidat yang berasal dari etnis Bugis dan posisi sebagai wakil bupati ditempati oleh kandidat yang berasal dari etnis Bugis. Rusda Mahmud merupakan kandidat yang telah menjabat sebagai bupati pada periode sebelumnya dan dilihat dari pembangunan daerah yang meningkat dari periode yang lalu, hal tersebut bisa saja menjadi kekuatan dan alasan masyarakat untuk memilih kandidat serta merekrut suara masyarakat. Namun, belum tentu seorang
kandidat terpilih karena suatu identitas etnik yang mayoritas dalam suatu daerah. Karena ada beberapa orang yang apabila ingin mencapai suatu tempat tertinggi atau ingin mencapai suatu target akan melakukan segala cara. Kaitannya dengan Pemilukada tidak asing apabila kandidat akan melakukan suatu kecurangan untuk mendapatkan suara pemilih. Salah satu masalah yang sering muncul dalam proses pemilihan kepada daerah adalah menguatnya sentimen primordial yang lebih terikat pada persamaan etnis, aliran, ikatan darah dan berbagai bentuk sifat kedaerahan lainnya. Munculnya masalah ini lebih disebabkan karena karakter masyarakat yang ada di daerah juga berbeda-beda etnis, aliran, ikatan darah dan agama, yang ternyata juga dapat mempengaruhi preferensi (pilihan) masyarakat untuk menentukan kepemimpinan di daerahnya, baik bupati atau wali kota maupun gubernur. Beberapa variabel seperti latar belakang etnis, status sosial ekonomi, golongan dan agama dapat menciptakan suatu polarisasi pilihan politik rakyat menjadi apakah itu sifatnya rasional ataukah emosional. Etnisitas di kabupaten Kolaka Utara manarik untuk dibahas karena hubungan antar etnis begitu terpolarisasi atau mencair. Jadi, setiap ada proses-proses yang berkaitan dengan proses politik, proses sosial atau yang lainnya yang berkaitan dengan antar masyarakat persoalan etnisitas selalu menjadi suatu hal yang diutamakan. Contohnya dalam mengisi jabatan penting dalam pemerintahan lebih dikuasai oleh etnik Bugis terbukti dalam pemerintahan Kolaka Utara yang menjadi mayoritas dalam
hal kebijakan pemerintah berasal dari etnik Bugis. Bahkan dalam hal perekonomian,
perindustrian,
pertanian
dan
sebagainya,
dominan
dikuasai oleh etnik Bugis karena sebagai kelompok mayoritas mereka memiliki kerja sama dan persatuan yang bagus. Kemudian terdapat etnik minoritas yakni etnik Tolaki dan Toraja yang dapat dimobilisisasi oleh etnik mayoritas yakni etnik Bugis. Sehubungan dengan penjelasan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk memahami dan melakukan penelitian mengenai: “Etnisitas Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kolaka Utara 2012” 1.2 Rumusan Masalah Memperhatikan luasnya cakupan masalah yang akan diteliti mengenai etnisitas dalam pemilukada Kolaka Utara 2012, maka penulis membatasinya pada persoalan sebagai berikut: Bagaimanakah perspektif primordial etnik Bugis dalam pemilihan kepala daerah di kabupaten Kolaka Utara tahun 2012? 1.3 Tujuan Penelitian: Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka penelitian ini bertujuan:
Menggambarkan
dan
menganalisis
berdasarkan
perspektif
primordial mengenai pengaruh etnisitas dalam pemilihan kepala daerah Kolaka Utara 2012. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis: a. Menjawab fenomena sosial-politik yang ada khususnya dalam perpolitikan lokal. b. Dalam wilayah akademis, memperkaya kajian ilmu politik untuk perkembangan keilmuan, khususnya masalah etnisitas. 1.4.2. Manfaat Praktis: a. Untuk memberikan bahan rujukan kepada masyarakat yang berminat dalam memahami realitas etnisitas dalam pilkada Kolaka Utara 2012. b. Sebagai salah satu prasyarat memperoleh gelar sarjana ilmu politik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini bermaksud untuk menguraikan beberapa konsep dan teori yang berkaitan dengan penelitian ini. Tinjauan pustaka yang dimaksud adalah konsep etnisitas, identitas etnik, politik etnik dalam pemilihan umum kepala daerah dan kerangka pemikiran. 2.1 Konsep Etnisitas
Istilah etnis dan etnisitas memiliki akar dalam bahasa Yunani, ethnos, yang berarti suatu komunitas yang penduduknya berasal dari keturunan yang sama8. Etnis hampir mirip dengan istilah etnik yakni etnik merupakan sekumpulan orang-orang dalam kelompok, sementara etnis merupakan orang-orang dalam kelompok. Namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) etnis dan etnik mempunyai kesamaan yakni bertalian dengan kelompok sosial, sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa dan disebut juga sebagai etnis9.
Etnisitas adalah esensi pokok sebuah fenomena politik seperti tradisi adat digunakan hanya sebagai idiom dan mekanisme penjajahan politik. Orang tidak membunuh satu dengan yang lain karena adat mereka 8
John T. Ishiyama & Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2013), hal. 232 9 http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/etnik-dan-etnisitas.html
berbeda. Laki-laki dapat bercanda pada adat yang lain dari suku yang berbeda tetap tidak mengakibatkan percekcokan yang serius. Jika laki-laki melakukan perkelahian dengan serius karena berdasarkan perbedaan budaya, itu hanya karena perbedaan budaya yang dihubungkan dengan perpecahan politik10. Kajian
tentang
etnik
sebagai
sekelompok
manusia
yang
mempunyai kebudayaan sama, berkembang dari ranah biologis menuju ranah kebudayaan dan akhirnya bermuara pada ranah politik. Kajian aspek sosio-politik tentang etnik ini pula yang belakangan disebut studi etnisistas (Bahar, 1995:139). Menurut Berghe (1981:17), etnisistas disikapi dan dipandang sebagai gejala pra-modern. Sebagai gejala pra-modern, etnisistas merupakan limbah partikularisme dan askripsi yang tidak sesuai dengan kecenderungan ke arah prestasi, univeralisme dan nasionalisme yang menjadi ciri utama masyarakat industri11. Hal senada juga pernah dikemukakan oleh Graetz dan McAllister (1984:75). Secara normatif, memang ada kecenderungan harapan agar sejalan dengan kemajuan teknologi dan integrasi sosio-politik yang lebih
10
John Hutchinson and Anthony D. Smith. Ethnicity,(New York:Oxford University Press,1996), hal.84 11 Dr. Achmad Habib, MA. Konflik Antaretnik di Pedesaan,(Yogyakarta:PT LKiS Pelangi Aksara,2004), hal. 15
besar, bayang-bayang etnisitas sebagai kekuatan mundur (declining force), secara bertahap akan menghilang12. Secara substantif, kajiana terhadap masalah etnisitas memang memberikan perhatian lebih besar terhadap bentuk interaksi konflik dan dalam konteks perkotaan. Begitu besar perhatian yang diberikan pada potensi konflik antaretnik di perkotaan, seakan-akan hanya interaksi yang bersifat konflik sosial yang terjadi, dan hanya berlangsung diperkotaan13. Pada tataran teoritik, ada tiga kecenderungan kuat untuk mengkaji masalah etnisitas dari perspektif makro-struktural. Secara ringkas, ketiga kecenderungan teoritik ilmu-ilmu sosial dalam memahami etnisitas ini dikemukan sebagi berikut: The resurgence of ethnic conflict contradicted three main social science theories. First, functionalist theory had traditionally regarded social class and status divisions as far more important than race of ethnicity. Second, developmental or modenization theories argued that racial of ethnic divisions would disappear as societies and the division of labour became more complex. Finaly Marxist theories was ethnicity as a remnant of pre-capitalist modes of production and as an important influence only in so far as a ruling elite might use it to devide the working class and prevent its members from perceiving their true class interest (Graetz and McAllister,1984:75)14. Kebangkitan konflik etnis bertentangan tiga teori ilmu sosial utama. Pertama, teori fungsionalis secara tradisional dianggap kelas sosial dan divisi berstatus sebagai jauh lebih penting daripada ras etnis. Kedua, teori perkembangan atau modenization berpendapat bahwa ras divisi etnis 12
Ibid, hal. 16 Ibid, hal. 20 14 Ibid, hal. 21 13
akan menghilang saat masyarakat dan pembagian kerja menjadi lebih kompleks. Terakhir teori Marxis adalah etnis sebagai sisa dari mode preproduksi kapitalis dan sebagai pengaruh penting hanya sejauh sebagai elit yang berkuasa mungkin menggunakannya untuk membagi kelas pekerja dan mencegah anggotanya dari memahami kepentingan kelas mereka yang sebenarnya. Para pengguna teori-teori fungsional, misalnya, menempatkan persoalan etnisitas dibawah bidang kajian pelapisan atau kelas sosial. Fenomena etnisitas tidak lagi dipertimbangkan sebagai komponen penting struktur sosial, sehingga bentuk-bentuk interaksi antaretnik pun dinilai tidak lagi ditentukan oleh etnisitas. Perspektif teoritik modernisasi menempatkan etnisitas sebagai gejala masyarakat pra modern. Secara hipotetik, etnisitas dipercaya akan tenggelam sejalan dengan proses pembagian kerja yang makin rumit dalam masyarakat modern15. Fredrik Barth (1969) lebih jauh berargumentasi bahwa etnisitas mengalami perubahan terus-menerus dan bahwa batas keanggotaan suatu kelompok etnis sering dinegosiasikan dan dinegosiasikan kembali, tergantung pada perjuangan politik di antara kelompok-kelompok16. Ronald Cohen (1978) juga menunjukkan karakter instrumental dari batas-batas etnis. Dia berpendapat bahwa etnisitas “dapat dipersempit atau diperluas batas-batasnya 15 16
sesuai dengan
Ibid, hal. 21 Ishiyama & Marijke Breuning, Op.Sit. hal. 361
kebutuhan spesifik
mobilisasi politik.” Itulah sebabnya mengapa keturunan kadang-kadang menjadi penanda (marker) etnisitas dan kadang-kadang tidak, tergantung pada situasi politik17. Abdillah mengemukakan tiga pendekatan dalam melihat etnisitas, yakni: 1) Pendekatan Primordialisme, melihat fenomena etnik dalam ranah sosiobiologis
yang
berarti
bahwa
kelompok-kelompok
sosial
dikarakteristikkan oleh gambaran seperti ciri-ciri fisik, kewilayahan, agama, bahasa dan organisasi sosial yang disadari sebagai objek given dan tidak bisa dibantah. 2) Pendekatan Konstruktivis yang dikembangkan Frederik Barth melihat identitas etnik sebagai hasil dari proses sosial yang kompleks: batasanbatasan simbolik terus menerus membangun dan dibangun oleh mitologi sejarah dan pengalaman masa lampau. 3) Pendekatan Instrumentalisme, menekankan pada proses manipulasi dan mobilisasi politik tatkala kelompok-kelompok sosial tersebut tersusun atas dasar atribut-atribut awal etnisitas, seperti kebangsaan, agama, ras dan bahasa18. Etnisitas menurut defenisi, tidak dapat diubah untuk seorang individu (sejak ditemukan berdasarkan garis keturunan), dan melewatinya 17
Ibid, hal. 362 Awaluddin Yususf. Media, Kematian dan Identitas Budaya Minoritas : Refresentasi Etnik Tionghoa dalam iklan dukacita. (Yogyakarta: UII press, 2005) hal. 23-24 18
dapat menjadi sulit. Karena etnisitas lebih disukai menjadi basis dari koalisi dalam distribusi politik sebab relatif mudah untuk mengeluarkan yang kalah dari koalisi kemenangan19. Etnisitas dalam kajian politik mempunyai keuntungan dalam berpolitik di mana Indonesia sangat terkenal akan keberagaman etnik, agama dan bahasa yang dimiliki serta tersebar diberbagai pulau atau provinsi yang terletak di seluruh Indonesia. Suatu kelompok masyarakat akan mudah membentuk suatu kelompok dalam satu wilayah yang sama untuk memperjuangkan hak mereka. Kelompok masyarakat yang berkumpul berdasarkan kesamaan etnik dalam memperjuangkan hak suara dalam berpolitik itu sah saja sehingga ada yang dinamakan etnisitas dalam berpolitik untuk identitas yang sama dalam satu kelompok dan mempengaruhi kelompok lain dalam hal kebijakan. Donald Horowitz (1985) merujuk kepada konsep etnisitas sebagai istilah yang memiliki pengertian luas yang “mencakup berbagai kelompok yang dibedakan berdasarkan warna kulit, bahasa, dan agama; yang meliputi “suku”, “ras”, “nasionalitas”, dan “kasta”. Banyak kepustakaan yang lebih mutakhir juga menggunakan istilah etnisitas dengan cara yang mirip sebagai istilah yang meliputi banyak penanda identitas yang lain20.
19
James D. Fearon,Ethnic Mobilization and Ethnic Violence, Departement of political science Stanford University (Possibly forthcoming in the Oxford Handbook of political economy), August 11, 2004. hal. 9 20 Ishiyama & Marijke Breuning, Op.Sit. hal. 362
Etnisitas adalah tipe identitas sosial berbasis kelompok, seperti identitas berbasis kelompok lainnya (seperti kelas dan klan)21. Multi-kulturalisme mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (subkultur) yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan masyarakat. Pada umumnya yang dikenal sebagai masyarakat awam adalah multikultural-isme dalam bentuk deskriptif,
yakni
menggambarkan
realitas
multikultural
di
tengah
masyarakat (Heywood, 2007). Parekh (1997) membedakan lima model multikulturalisme yakni: 1. Multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi minimal satu sama lain. 2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. 3. Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural yang kelompokkelompok
kultural
utamanya
berusaha
mewujudkan
kesetaraan
(equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima.
21
Ibid, Hal.363
4. Multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni masyarakat plural yang kelompok-kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned) dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif khas mereka. 5. Multikulturalisme kosmopolitan, yaitu masyarakat plural yang berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat dalam percobaanpercobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing (Azra, 2007). Selain
multikulturalisme
deskriptif,
terdapat
multikulturalisme
normatif, yakni suatu sokongan positif, bahkan perayaan atas keragaman komunal, yang secara tipikal didasarkan entah atas hak dari kelompokkelompok yang berbeda untuk dihargai dan diakui, atau atas keuntungankeuntungan yang bisa diperoleh lewat tatanan masyarakat yang lebih luas keragaman moral dan kulturalnya (Heywood, 2007: 313). Multikulturalisme normatif melibatkan kebijakan sadar, terarah, dan terencana dari pemerintah dan elemen masyarakat untuk mewujudkan multikulturalisme.
Menurut
Parekh
(2001),
ada
tiga
komponen
multikulturalisme, yakni kebudayaan, pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespon pluralitas itu22. Etnik merupakan sekumpulan orang-orang yang terdapat dalam satu kelompok yang sama dan mempunyai kesamaan dalam hal suku, bahasa, budaya, ras dan sebagainya. Masyarakat yang bernaung dalam kelompok tersebut mempunyai visi-misi yang sama, seperti halnya dalam berpolitik. Maka politik etnik merupakan kelompok yang dapat digunakan sebagai salah satu alat politik dalam mencapai kekuasaan dalam wilayah tertentu dalam ruang lingkup pemilukada. 2.2 Identitas Etnik Dalam bergaul dengan orang lain dan mendefinisikan identitas kita sendiri, adalah wajar jika kita harus melihat dulu ciri-ciri eksistensi sosial yang sangat jelas: ras, etnik, bahasa, dan agama. Secara wajar kita cenderung bergaul, tidak selalu tetapi biasanya, dengan mereka yang mempunyai latar belakang etnik, bahasa, kepercayaan sama. Ciri-ciri kebudayaan yang sama, jika terbagi merata untuk semuanya diantara jumlah penduduk tertentu, merupakan dasar rasa kesatuan, tujuan, dan konsensus politik bersama23. Identitas entik di negeri ini adalah kenyataan, dan pada pentas demokrasi dibutuhkan, selama dalam rangka menciptakan kepemimpinan 22
file:///C:/Users/Adhie/Downloads/3988-8556-1-SM%20(1).pdf Padmo Wahjono dan Nazaruddin Sjamsuddin,Pengantar Ilmu Politik,(Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2011),hal.252 23
bermoral. Itu harus, karena dalam sejarah konflik perebutan posisi, demokrasi hanya dapat dipahami pada dua persepsi. Sebagai kekuasaan dimana warga negara dapat melakukan self-government dan self regulation. Atau, alat bantu pengambilan keputusan, yaitu warga melegitimasi suatu keputusan yang diambil perwakilan dan memberi kekuasaan kepada keputusan tersebut dari waktu ke waktu (Models of democracy)24. Identitas etnik dapat digambarkan sebagai suatu cara dimana seseorang lantaran asal etnik mereka secara psikologis ditempatkan dalam hubungannya dengan satu atau lebih sistem sosial dan dimana mereka merasa orang lain menempatkan mereka dalam hubungannya dengan sistem itu25. Aspek-aspek eksternal dari identitas etnik berdasarkan perilaku yang tampak antara sosial dan budaya seperti: (1) berbicara dengan menggunakan keikutsertaan
bahasa dalam
etnik,
jaringan
mempraktekkan pribadi
etnik
tradisi
seperti
etnik,
(2)
keluarga
dan
persahabatan, (3) keikutsertaan dalam organisasi kelembagaan etnik seperti gereja, sekolah, perusahaan, media, (4) keikutsertaan dalam asosiasi relawan etnik seperti kelompok-kelompok masyarakat, organisasi
24
http://politik.kompasiana.com/2013/09/05/seharusnya-identitas-etnik-dalam-negarademokratis-589092.html 25 Wsevolod W. Isajiw, Defenition and Dimensions of Ethnicity: A Theoretical framework,(paper presented at “Joint Canada-United States Confrence on the measurement of ethnicity”, Ottawa Ontario, Canada, April 2, 1992), hal. 8
pemuda, (5) keikutsertaan dalam fungsi yang disponsori oleh organisasi etnik seperti tamasya, konser, kuliah publik, menari26. Aspek-aspek internal dari identitas etnik berdasarkan pada image, gagasan, sikap dan perasaan yang berhubungan dengan perilaku eksternal. Ada tiga aspek internal dari identitas etnik: 1) Dimensi kognitif meliputi image diri dan image dari suatu kelompok, mungkin gambaran dari diri atau kelompok dan merasa gambaran dari orang lain atau kelompok lain. Itu juga meliputi pengetahuan dari warisan kelompok seseorang dan sejarah masa lampau, pengetahuan ini tidak harus luas dan objektif melainkan fokus pada peristiwa atau aspek terpilih atau sejarah pribadi yang menjadi simbol pengalaman kelompok yang sudah diwariskan, pada akhirnya dimensi kognitif meliputi
pengetahuan
dari
nilai-nilai
suatu
kelompok,
ketika
pengetahuan adalah bagian dari warisan kelompok. 2) Dimensi moral dari identitas melibatkan perasaan dari kewajiban kelompok.
Secara
umum
perasaan
dari
kewajiban
kelompok
berhubungan dengan arti pentingnya seseorang atas kelompoknya dan implikasi kelompok terhadap perilaku seseorang. Secara rinci termasuk perasaan dan kewajiban yang penting untuk mengajar anak-anak bahasa etnik, atau menikah dengan kelompok, atau menolong anggota kelompok untuk menemukan pekerjaan. Perasaan dari kewajiban
26
Ibid, hal. 8
meliputi komitmen seseorang dari kelompoknya dan untuk solidaritas kelompoknya yang terjadi, mereka dapat dikatakan membuat dimensi pusat dari identitas subjektif. 3) Dimensi afektif atau dimensi identitas mengacu pada perasaan pemasangan kedalam kelompok. Perasaan seperti itu dapat dibedakan menjadi dua tipe: (1) Perasaan aman dengan simpati dan pilihan asosiasi kedalam satu anggota kelompoknya yang berlawanan dengan keanggotaan
kelompok lain,
(2) Perasaan aman dengan dan
kenyamanan dengan pola budaya dari kelompoknya yang berlawanan dengan pola budaya dari masyarakat dan kelompok lain27. Kanchan Chandra (2006) mengemukakan identitas etnis adalah sub-perangkat
dari
kategori-kategori
identitas,
dimana
eligibilitas
keanggotaannya ditentukan oleh atribut-atribut yang dikaitkan dengan, atau diyakini berkaitan dengan, garis keturunan. Atribut-atribut ini meliputi baik ciri-ciri objektif maupun keyakinan subjektif yakni: diperoleh secara genetik, atau melalui pewarisan budaya dan sejarah, atau diperoleh dan disandang sepanjang hayat sebagai penanda suatu warisan. Selanjutnya, termasuk pula atribut-atribut yang diyakini terkait dengan keturunan, yang berarti atribut-atribut yang terkait dengan mitos-mitos dan diasosiasikan
27
Ibid, hal. 9
dengan keturunan, apakah asosiasi itu benar-benar ada atau tidak dalam kenyataan28. Identitas etnis terdapat pada diri semua orang, sadar ataupun tidak disadari. Dalam hal ini identitas yang dimaksudkan sama dalam hal budaya, bahasa, agama atau perilaku sehingga membentuk rasa nyaman untuk bersama dan bergabung dalam suatu identitas yang sama agar lebih mudah tercipta kesamaan dengan kelompok tersebut. Dalam suatu kelompok identitas etnik akan tercipta solidaritas dan rasa empati pada anggota kelompok lain untuk saling membantu dalam menyelesaikan suatu masalah baik secara individu atau kelompok, sehingga tercipta rasa kekerabatan yang dekat dan erat. Kemudian dalam ranah politik, perilaku pemilih yang mempunyai kesamaan identitas akan memilih seorang kandidat dalam Pilkada yang mempunyai identitas dan latar belakang yang sama dengan kandidat calon. Secara
umum,
perbincangan
akademik
awal
mengenai
pembentukan identitas etnis ditandai oleh dua perdebatan besar, atau apa yang disebut perspektif primordial versus perspektif situasional. 2.2.1 Perspektif Primordial Perspektif primordialisme secara umum memandang identitas etnis sebagai “bawaan lahir” (innate) dan alamiah (natural) dalam konteks tertentu. 28
Anthony
Smith
(1986)
Ishiyama & Marijke Breuning, Op.Sit. hal. 362
mengidentifikasi
berbagai
variasi
primordialisme, termasuk primordialisme esensialis mengatakan bahwa etnisitas adalah fakta biologi alamiah, dan oleh sebab itu etnisitas mendahului masyarakat manusia. Sedangkan primordialisme kekerabatan mengemukakan bahwa kelompok etnis adalah perluasan komunitas kekerabatan berdasarkan hubungan darah. Salah satu versi dari pendekatan ini ditawarkan oleh Clifford Greetz, yang mengemukakan bahwa tidak sepenuhnya berdasarkan “hubungan darah,” tetapi ikatan etnis (ethnic ties) dan ikatan kelompok (group bonding) adalah proses natural (karena ciri-ciri objektif rasial dan fisik membantu terbentuknya ikatan sosial). James
D
mengemukakan
Fearon satu
dalam
pandangan
ethnic
mobilization
mengenai
politik
and
violence
etnik
yakni
“primordialist” bahwa tidak diperlukan penjelasan mengapa etnisitas seringkali membentuk basis diskriminasi dan mobilisasi politik. Kelompok etnik secara natural adalah politik, sebab keduanya mempunyai akar biologis atau karena dua-duanya diatur dalam budaya dan sejarah sebagai sesuatu yang terberi dan tidak dapat diubah dalam kehidupan sosial dan politik. Dengan kata lain primordialis berasumsi bahwa kategori etnik pasti selalu berhubungan dengan sosial, dan kaitannya dengan politik secara otomatis diikuti dari hubungan sosial. Objek utama dari
argumen primordialis bahwa mereka tidak dapat membuat perasaan berbeda dalam politik etnik sepanjang ruang dan waktu29. Faktor-faktor
terjadinya
primordialisme
sebagai
salah
satu
konsekuensi dari kenyataan adanya kemajemukan masyarakat atau diferensiasi sosial adalah terjadinya primordialisme, yaitu pandangan atau paham yang menunjukkan sikap berpegang teguh pada hal-hal yang sejak semula melekat pada diri individu, seperti suku bangsa, ras, dan agama. Primordialisme sebagai identitas sebuah golongan atau kelompok sosial merupakan faktor penting dalam memperkuat ikatan golongan atau kelompok yang bersangkutan dalam menghadapi ancaman dari luar. Namun, seiring dengan itu, primordialisme juga dapat membangkitkan prasangka dan permusuhan terhadap golongan atau kelompok sosial lain. Jenis-jenis primordialisme
primordialisme agama
dan
yakni
primordialisme
primordialisme
suku,
kedaerahan.
Ikatan
primordialisme keagamaan dan etnis menjadi salah satu alasan penting dari masyarakat dalam menyikapi terhadap elektabilitas pasangan calon. Jika seorang calon memiliki latar belakang ikatan primordialisme yang sama dengan ikatan primordialisme masyarakat, maka hal tersebut menjadi alternatif pilihan masyarakat. Ikatan emosional tersebut menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya.
29
James D. Fearon, Ethnic Mobilization and Ethnic Violence, Departement of political science Stanford University (Possibly forthcoming in the Oxford Handbook of Political economy),August 11, 2004.Hal. 6
Ikatan emosional masyarakat tidak hanya didasarkan atas sistim kekerabatan semata, akan tetapi agama menjadi pengikat ikatan emosional, asal daerah atau tempat tinggal, ras/suku, budaya, dan status sosial ekonomi, sosial budaya juga menjadi unsur penting dalam ikatan emosinal komunitas masyarakat tertentu. Hal tersebut terlihat pada basis komunitas masyarakat di daerah pemilihan, daerah/wilayah atau kantongkantong basis massa yang ditandai dengan adanya simbol-simbol partai yang memberikan gambaran dan sekaligus sebagai pertanda bahwa di wilayah tersebut merupakan kantong basis massa partai tertentu30. 2.2.2 Perspektif Situasional Perspektif
situasional
(juga
dikenal
sebagai
pendekatan
konstruksionis atau instrumentalis) mengemukakan bahwa identitas etnis dikonstruksi secara sosial. Dengan kata lain, defenisi kelompok, dan identifikasi
batas-batasnya,
kerap
kali
dinegosiasikan
dan
direnegoisasikan, dan bagaimana batas-batas ini diredefinisikan akan bergantung pada situasi dan lingkungan spesifik yang dihadapi oleh setiap kelompok. Pendekatan instrumentalis lebih sinis daripada konsep sederhana bahwa identitas adalah konstruksi sosial. Instrumentalis memandang terciptanya identitas adalah sebagai produk manipulasi simbol-simbol kebudayaan dan kekerabatan oleh para pelaku politik untuk mendapatkan
30
http://uda.ac.id/jurnal/files/Salomo%20Panjaitan.pdf
keuntungan politik (Cohen, 1974). Pendekatan ini memandang etnisitas sebagai hasil dari strategi politik, biasanya untuk mencapai tujuan yang lain, seperti kekuasaan politik, akses ke sumber daya, dan meningkatkan status dan kekayaan31. Dalam
perspektif
situasional,
beberapa
subteori
berupaya
menjelaskan bagaimana identitas etnis dibentuk dan dibentuk ulang. Beberapa sosiolog, misalnya, berargumen bahwa identitas etnis dapat muncul atau dapat dimunculkan kembali (resurgent). Orang-orang yang percaya pada adanya kebangkitan kembali identitas etnis menerima gagasan bahwa identitas tradisional atau nenek moyang dapat muncul kembali sebagai akibat dari kondisi historis khusus32. Teori situasional memandang bahwa kelompok etnis adalah entitas yang dibangun atas dasar kesamaan para warganya, bagi mereka yang lebih penting bukan wujud kesamaan itu sendiri melainkan perihal penentuan dan pemeliharaan batas-batas etnis yang diyakini bersifat selektif dan merupakan jawaban atas kondisi sosial historis tertentu (Barth dalam Simatupang, 2003). Teori ini menekankan bahwa kesamaan kultural merupakan faktor yang lebih besar dibanding kesamaan darah dalam penggolongan orang-orang kedalam kelompok etnik33.
31
Ishiyama & Marijke Breuning, Op.Sit. hal. 363 Ibid, hal. 364 33 http://smartpsikologi.blogspot.com. Loc.Cit 32
2.3 Politik Etnik Dalam Pemilihan umum Kepala Daerah Rothschild
dalam
ethnopolitics;
a
conceptual
framework,
mengutarakan bahwa politik etnik adalah (1) membuat seseorang mengetahui dan sadar akan keterkaitan politik dengan nilai-nilai budaya etnik mereka dan sebaliknya, (2) untuk mendorong perhatian mereka mengenai keterkaitan kedua hal tersebut, (3) untuk memobilisasi mereka kedalam kesadaran etniknya, dan (4) mengarahkan perilaku mereka kedalam aktivitas arena politik pada basis kesadaran, perhatian, kesadaran kelompok. Politisasi etnik seperti itu bisa meningkatkan, memperlambat, atau menghapuskan keadaan integrasi politik, dapat melegitimasi atau delegitimasi sistem politik mereka, dan menstabilkan atau mengukis pemerintahan dan regim mereka34. Sejak lama sudah muncul perhatian akademik mengenai Pemilihan Umum (pemilu) dan perilaku voting pada masyarakat yang “terbagi-bagi.” Banyak sarjana yang merasa khawatir bahwa pemilihan umum pada masyarakat yang terbagi-bagi secara etnis akan menghasilkan pemilu sensus, yang menjauh dari demokrasi. Dengan kata lain, pemilu seperti itu cenderung menciptakan blok-blok yang tegas batas-batasannya yang menjauh dari akomodasi antar-etnis. Meskipun ada kesepakatan umum bahwa etnisitas merupakan faktor penting di banyak Negara, ada perdebatan cukup sengit tentang mengapa voter memilih berdasarkan
34
Joseph Rothschild, Ethnopolitics: A Conseptual Framework, (New York: Columbia University Press,1981),Hal. 6
etnis itu? Sebagian orang berpendapat bahwa voter memilih calon berdasarkan etnisnya karena mereka yakin bahwa calon “mereka” akan melindungi
(menjadi
patron)
mereka35.
Karena
itu,
voting
yang
berdasarkan garis etnis tertentu sebagian tidak akan mendapatkan keuntungan patronase. Dengan cara ini, identitas etnis menawarkan informasi cepat, yang memberitahu voter bahwa memilih calon etnis atau partai etnis tertentu akan lebih memberikan keuntungan bagi pemilih daripada memilih calon atau partai dari kelompok etnis lain. Maka, pemilih yakin bahwa keuntungan akan lebih memungkinkan untuk diraih dengan cara menunjukkan solidaritas kepada komunitas. Dengan kata lain, mereka menyadarai “bahwa hanya anggota kelompok etnis mereka sendiri yang dapat membela kepentingan kelompok etnis secara keseluruhan, dan bahwa anggota kelompok etnis lain tentu tidak akan membela mereka36.” Robert mattes (1995) mencatat bahwa pada masyarakat yang majemuk, individu dari kelompok etnis yang sama memiliki preferensi bersama karena mereka kerap kali memiliki kepentingan politik dan ekonomi bersama. Karena preferensi terbentuk sebagai hasil dari interaksi sosial dan individu dalam komunitas etnis cenderung hanya berinteraksi
35 36
Ishiyama & Marijke Breuning, Op.Sit. hal. 367 Ibid, hal.368
dengan anggota-anggota kelompoknya sendiri, terbentuklah pola-pola bersama berasas kepentingan37. Dalam pemilukada tidak dapat dipungkiri bahwa atas dasar etnis seorang aktor dapat mempengaruhi perolehan suaranya. Suatu wilayah yang mempunyai keberagaman etnik, biasanya akan menonjol dalam pemilukada karena ketika dalam memilih seorang pemimpin masyarakat akan melihat latar belakang budaya yang dimiliki aktor tersebut baik dari segi etnik, bahasa, ras dan lain sebagainya. Dalam suatu wilayah, tentu akan nampak jelas bahwa ada etnik yang mayoritas dan minoritas. Etnik yang mayoritas akan selalu lebih menonjol dibandingkan dengan kelompok minoritas, namun bisa saja sebaliknya ketika kekuatan minoritas dapat mempengaruhi kelompok mayoritas. Mayoriti dianggap sebagai “yang berjumlah lebih besar” dan minoriti berarti “yang berjumlah lebih kecil”. Kinloch (1979, dalam Sunarto, 1999), sosiolog mencoba
mendefinisikan
konsep
mayoriti-minoriti dengan
mengajukan pemahaman mayoriti sebagai: “any power group that defines itself as normal and superior and others as abnormal and inferior on the basis of certain perceived characteristics and exploits or discriminantes against them in consequence.” Dari pemahaman tersebut, maka mayoriti berarti suatu kumpulan kekuasaan. Kumpulan tersebut menganggap dirinya normal sementara kumpulan lainnya (yang oleh Kinloch selanjutnya disebut sebagai minoriti)
37
Ibid, hal.368
dianggap tidak normal serta lebih rendah karena dinilai karakteristik tertentu (seperti fisik, budaya, tingkah laku, dll). Akibat dari anggapan itulah maka seringkali kumpulan minoriti mengalami macam-macam bentuk eksploitasi dan diskriminasi.
Hubungan antara kaum mayoritas-minoritas sering menimbulkan konflik sosial yang ditandai oleh sikap subyektif berupa prasangka dan tingkah laku yang tidak bersahabat (Schwingenschlogl, 2007). Secara umum, kelompok yang dominan cenderung mempertahankan posisinya yang ada sekarang dan menahan proses perubahan sosial yang mungkin akan
mengacaukan
status
tersebut.
Ketakutan
akan
kehilangan
kekuasaan mendorong mereka untuk melakukan penindasan dan menyianyiakan poteni produktif dari kaum minoritas (Griffiths, 2006). Adapun istilah “dominasi mayoritas”, dimana pihak mayoritas mendominasi sehingga pihak minoritas terkalahkan kepentingannya. Sedangkan di sisi sebaliknya, istilah yang benar adalah “tirani minoritas”, di mana pihak yang sedikit jumlahnya, tapi karena terlalu kuat menjadi sewenang-wenang dan menekan pihak yang jumlahnya lebih banyak (Huang, 2009). Namun, tidak selalu kaum mayoritas yang memegang pengaruh kuat, kaum minoritas pun dapat berpengaruh meskipun dengan jumlah anggota yang lebih sedikit dibandingkan dengan kaum mayoritas. Clark (1990, dalam Forysth) mengatakan bahwa kaum minoritas yang
mengajukan pendapat yang bertentangan dengan mayoritas cenderung lebih berpengaruh daripada minoritas yang gagal untuk membantah mayoritas. Mayoritas mutlak terjadi ketika jumlah anggota tersebut lebih banyak dan kekuatan kelompok tersebut juga lebih besar. Sedangkan minoritas mutlak terjadi ketika jumlah anggota kelompok lebih sedikit dan kekuatan kelompok ini juga rendah. Jadi kelompok ini sering terpengaruh oleh kelompok lain yang mayoritas38. Hubungan mayoritas dan minoritas, sangatlah erat karena apabila tidak ada mayoritas maka minoritas tidak ada begitu pula sebaliknya. Dalam satu wilayah, tentu ada kelompok mayoritas dan minoritas tetapi perlu diketahui bahwa belum pasti suatu kelompok mayoritas dapat dominan dalam satu wilayah tersebut, tergantung dengan kekuatan apa yang dimiliki kelompok tersebut. Sedangkan kelompok minoritas belum tentu tidak dominan karena bisa saja kelompok minoritas dapat mempengaruhi kelompok mayoritas sehingga kelompok minoritas menjadi suatu pengaruh dalam wilayah tersebut. 2.4 Kerangka Pemikiran Etnisitas
merupakan
suatu
komunitas
yang
penduduknya
mempunyai kesamaan dalam suatu identitas etnis, ras, agama, bahasa dan sebagainya yang telah ada sejak awal kelahirannya. Etnisitas akan 38
http://tugasdk.wordpress.com/bab-3/
terbentuk ketika seseorang merasa berbeda secara biologis,
psikologi
dan sosial dengan orang lain sehingga akan mencari seseorang yang mempunyai kesamaan identitas dengannya dan terbentuklah identitas etnis dalam suatu kelompok etnik. Manusia sejak dilahirkan telah mempunyai identitas sendiri yakni identitas yang telah diberikan kepada orang tua kita yang telah terbentuk karena lingkungan yang mempengaruhi. Dari identitas tersebut akan membentuk suatu kelompok di masyarakat yang membedakan antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya. Dalam satu kelompok manusia, mereka mempunyai satu kesamaan dan tujuan yang sama dibandingkan dengan kelompok yang lain. Di Kolaka Utara terdapat tiga etnis besar yakni Bugis, Tolaki dan Toraja. Dari ketiga etnis tersebut, etnis Bugis dominan dalam hal perekonomian, pertanian, pemerintahan dan sebagainya dibandingkan dengan etnik Tolaki dan Toraja. Penulis akan melihat dari perspektif situasional dari etnis Bugis, Tolaki dan Toraja dalam memilih kandidat terpilih dalam Pemilukada Kolaka Utara 2012 yakni Rusda Mahmud Bobby Alimuddin yang berasal dari etnis Bugis.
Skema gambar sebagai berikut:
ETNISITAS PEMILUKADA
ETNIK TOLAKI
ETNIK BUGIS
PERSPEKTIF PRIMORDIAL
BUPATI DAN WAKIL BUPAT
ETNIK TORAJA
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini telah dilaksanakan di wilayah kabupaten Kolaka Utara, untuk lokasi yang lebih spesifik dalam penelitian ini telah dilaksanakan di kecamatan Lasusua. Penulis memilih kecamatan Lasusua sebagai lokasi penelitian karena: 1. Etnik Bugis yang terdapat di kecamatan Lasusua dominan dari segi jumlah. 2. Latar belakang pekerjaan masyarakat yang terdapat di kecamatan Lasusua dari segi politik pemerintahan, pertanian, perekonomian dan sebagainya dominan berasal dari etnik Bugis. 3. Identitas etnik yang terdapat di kecamatan Lasusua ada berbagai macam, bukan hanya mayoritas etnik Bugis, tetapi terdapat etniketnik minoritas seperti Tolaki, Toraja dan sebagainya. 3.2 Tipe dan Dasar Penelitian Tipe dan dasar pada penelitian ini bersifat deskriftif-analisis yakni penelitian yang ditujukan agar dapat menggambarkan suatu fakta secara natural sesuai dengan data yang diperoleh dilapangan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bertujuan untuk menghasilkan temuan atau
kebenaran yang mendalam sehingga menghasilkan temuan data yang real sesuai dengan fakta yang terdapat dilapangan serta bersumber dari berbagai faktor yang mempengaruhi data tersebut yang sesuai dengan konteks kebenaran. Dasar penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang menelaah suatu kasus dalam fase spesifik yang dilakukan secara intensif, mendalam dan komprehensif 39. Penulis akan mengkaji secara mendalam hal apa saja yang berpengaruh serta berhubungan dengan etnik Bugis dalam Pemilukada Kolaka Utara 2012. 3.3 Jenis Data Penelitian 3.3.1 Data Primer Penulis telah mendatangi setiap rumah informan dimanapun berada dan melakukan wawancara secara face to face untuk mendapatkan hasil yang falid dari informan secara lansung sehingga dalam menggambarkan hasil penelitian akan lebih mudah. Selain melakukan wawancara penulis juga telah melakukan observasi di Kecamatan lasusua serta telah melakukan pengamatan dilingkungan masyarakat. 3.3.2 Data Sekunder Penulis telah melakukan telaah pustaka dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber yang berkaitan erat dengan masalah etnisitas
39
Sanapiah Faisal,Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta:Rajawali Press,2005), hal.22
dalam Pemilukada Kolaka Utara 2012 yang telah penulis dapatkan dari arsip-arsip seperti buku, jurnal, internet dan sumber lainnya yang berhubungan dengan penelitian. 3.4 Teknik Pengumpulan Data 3.4.1 Wawancara Mendalam Penulis
telah
melakukan
pengumpulan
data
dengan
cara
wawancara mendalam dengan informan secara face to face untuk memperoleh pemahaman dan informasi yang lebih jelas dan akurat sesuai dengan data yang dibutuhkan. Dengan cara, penulis telah mendengarkan secara seksama serta mencatat hal-hal yang penting dan menggunakan alat perekam agar tidak terjadi kekeliruan dalam penulisan. Para informan yang telah diwawancarai yakni: 1. Komunitas etnik Bugis 2. Komunitas etnik Tolaki 3. Komunitas etnik Toraja 4. Tim kampanye 5. Kandidat Bupati, dan 6. Tokoh Masyarakat Bugis 3.4.2 Arsip/Dokumen Arsip atau dokumen mengenai berbagai informasi yang berkaitan dengan fokus penelitian merupakan sumber data yang penting dalam
penelitian. Arsip atau dokumen yang dimaksud dapat berupa dokumen tertulis, gambar atau foto, film audio-visual, data statistik, tulisan ilmiah yang dapat mengembangkan data penelitian. Hal tersebut dapat mendukung kelengkapan dalam penelitian dan arsip yang dimaksudkan yakni penulis telah berusaha untuk mendapatkan data pemilih yang berbasis etnik dalam Pemilukada pada tahun 2012 di instansi-instansi yang terkait dengan Pemilukada tersebut. 3.5 Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan bersamaan atau hampir bersamaan dengan pengumpulan data. Pada tahap analisis data penulis telah melakukan beberapa tahap agar menghasilkan kesimpulan akhir yang baik dan mudah untuk dimengerti oleh pembaca. Pada tahap awal penulis telah melakukan proses pengumpulan data mentah, dengan menggunakan alat-alat yang perlu seperti alat perekam, alat tulis, serta alat-alat yang lain yang membantu dalam proses wawancara. Pada tahap ini penulis telah melakukan pula proses penyeleksian, penyederhanaan, pemfokusan dan pengabstraksian data dari data yang telah terkumpul. Proses ini telah penulis lakukan dengan lebih mudah pada saat penelitian karena telah membuat singkatan, kategorisasi,
memusatkan
tema
serta
menentukan
batas-batas
permasalahan yang diajukan kepada para informan. Reduksi data diperlukan sebagai analisis yang akan menyeleksi, mempertegas dan
membuat fokus serta membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur secara tersusun sesuai tema sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan. Pada tahap selanjutnya, setelah penulis memperoleh data hasil wawancara yang berupa rekaman, catatan dan pengamatan lainnya, penulis telah melakukan transkrip data dari hasil data yang didapatkan dilapangan dalam bentuk tulisan yang lebih teratur dan sistematis. Kemudian setelah penulisan telah selesai disusun, penulis kembali telah melakukan check terakhir dengan membaca berulang-ulang agar tidak ada kekurangan dalam huruf tulisan serta mengamati hasil tulisan yang telah selesai untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan bagus. Tahap selanjutnya penulis melakukan sajian data yakni suatu susunan informasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat sajian data, penulis dapat lebih memahami berbagai hal yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis maupun tindakan lain berdasarkan pemahaman tersebut. Sajian data diperoleh dari hasil interpretasi, usaha memahami, dan analisis data secara mendalam terhadap data yang telah direduksi, dikategorisasi dan dicheck akhir antara satu sumber data dengan sumber data yang lainnya. Sajian data yang baik dan jelas sistematikanya akan mudah dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Pada tahap akhir penulis melakukan penyimpulan akhir, penulis telah membaca ulang dari data awal yang telah didapatkan sampai data
terakhir yang diperoleh agar dalam penyimpulan akhir tidak terjadi kekeliruan dan masih menjurus pada pokok permasalahan yang telah ada pada rumusan masalah. Pada tahap penyimpulan akhir, penulis telah mengulang langkah satu sampai enam berkali-kali, sebelum mengambil kesimpulan akhir dan mengakhiri penelitian. Penelitian berakhir ketika penulis sudah merasa bahwa data sudah jenuh (saturated) dan setiap penambahan data baru hanya berarti ketumpang tindihan (redundant). Sebelum hal tersebut terjadi, maka penulis telah menyelesaikan pada tahap kesimpulan akhir agar pembaca mudah mengerti dengan hasil penelitian dan tidak jenuh dalam membaca akibat kalimat atau kata yang sering terulang-ulang.
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kronologi Pemekaran Kabupaten Kolaka Utara Kabupaten Kolaka Utara merupakan pemekaran dari Kabupaten Kolaka. Wacana pemekaran di masa Orde Baru, nyaris hanya sebatas impian yang sangat sulit terwujud. Sentralisasi kekuasaan politik menjadikan masyarakat yang berkeinginan melakukan pemekaran harus memendam dan membicarakannya dengan bisik-bisik. Kurun waktu yang panjang wilayah Kolaka bagian Utara, termasuk kategori daerah tertinggal dan nyaris terlupakan. Kenyataan demikian, dapat diamati dari kondisi infrastruktur yang sangat jauh dari memadai. Jalan dan jembatan kondisinya rusak parah jika melakukan perjalanan lewat darat dari ibukota kabupaten induk menuju ke wilayah-wilayah kecamatan dari Kolaka bagian Utara. Selain itu kondisi fisik badan selama dalam perjalanan harus tahan banting akibat kondisi jalan berlubang laksana kubangan kerbau.
Tabel : 1. Kronologi jejak pemekaran Kabupaten Kolaka Utara
Tanggal
Keterangan
(1)
(2)
8 Mei 1999
Gubernur Sultra La Ode Kaimoeddin memberi isyarat kabupaten se-Sulawesi Tenggara (Sultra) di Batu Putih
24 Mei 1999
Radiogram Gubernur Sultra Jangan Persulit Pemekaran Wilayah di Sultra
21 Agustus 1999
FKPPMKU Membawa
Aspirasi Pemekaran
ke
DPRD Provinsi Sultra 30 September 1999
Bupati Kolaka Adel Berty Bentuk Panitia Rencana Pemekaran Kabupaten Kolaka Utara
30 September 1999
Bupati Kolaka Adel Berty Angkat Informan dari Tokoh Masyarakat
2 Desember 1999
IMPPAK Gelar Seminar Pemekaran di Kolaka
20 Desember 1999
Bupati Kolaka Adel Berty Kirim Tim ke Kolaka bagian Utara
16 Oktober 2000
Digagas Forum Persiapan Pembentukan Pemekaran Kabupaten Kolaka Utara di Lapolu
20 Nopember 2000
Deklarasi Pembentukan Forum Persiapan Pembentukan Kabupaten Kolaka Utara (FPPKKU) dan H. Djafar Harun, S.Pd Terpilih sebagai Ketua FPPKKU
20 Juni 2001
FPPKKU Membuat Proposal Studi Kelayakan Kabupaten Kolaka Utara
18 Juni 2001
ISKU Desak Pemekaran Kolaka Utara
14 Agustus 2001
DPRD
Kabupaten
Kolaka
Setujui
Pemekaran
Kolaka Utara 12 Oktober 2001
Bupati Kolaka Bentuk Tim Teknis Persiapan Pemekaran
8 Juli 2002
Rusda Mahmud pimpin kelompok muda spontanitas datang di Kantor Bupati Kolaka
12 juli 2002
Kabupaten
Induk
Kolaka
Membuat
Proposal
Pemekaran 12 Agustus 2002
Persetujuan Pemekaran dari Gubernur Sultra La Ode Kaimoeddin
15 Agustus 2002
DPRD Sultra Setujui Pembentukan Kabupaten Kolaka Utara
27 Agustus 2002
Lembaga Adat Kodeoha Tolak Pemekaran
28 Agustus 2002
Persetujuan Pembagian Wilayah dari Kabupaten Kolaka dan Persetujuan pemberian Rp. 500 juta dari Kabupaten Kolaka
9 September 2002
Lasusua disetujui menjadi Ibukota Kabupaten Kolaka Utara dan Tim DPR RI Tinjau Wilayah Rencana Kabupaten Kolaka Utara
20 Desember 2002
Wahid di tunjuk L.O antara Pemkab dan Ditjen
Otoda Depdagri 30 April 2003
Tim DPOD Depdagri kunjungi wilayah di Kolaka Utara
7 Januari 2004
Mendagri Sahkan Kabupaten Kolaka Utara
21 Januari 2004
dr. H. Ansar Sangka Dilantik jadi Pelaksana Tugas Bupati Pertama
27 Oktober 2004
DPRD Kolaka Utara Terbentuk
25 Mei 2004
Penjabat Sekretaris Kabupaten, Drs. Syarifuddin Rantegau Dilantik
24 Januari 2005
Drs. H. Kamaruddin, MBA Dilantik menjadi Penjabat Bupati Kolaka Utara yang Kedua
12 April 2005
Tasrim, S.Ag Dilantik jadi Ketua KPU Kolaka Utara
29 September 2005
Pilkada Kolaka Utara Putaran Pertama
18 Januari 2006
Drs. Djaliman Mady Pelaksana Tugas Bupati Ketiga Dilantik
18 Agustus 2006
Drs. H. Andi Kaharuddin Pelaksana Tugas Bupati Kolaka Utara yang Keempat Dilantik
15 April 2007
Pilkada Bupati Kolaka Utara Putaran Kedua
19 Juni 2007
Pelantikan Bupati Definitif Rusda Mahmud dan Wakil Bupati Definitif, Hj. ST. Suhariah Muin
4.2 Letak Geografis dan Luas Wilayah Kabupaten Kolaka Utara berada di daratan tenggara Pulau Sulawesi dan secara geografis terletak pada bagian barat. Kabupaten Kolaka Utara memanjang dari utara ke selatan berada diantara 2 o46’45” – 3o50’50” Lintang Selatan dan membentang dari barat ke timur diantara 120o41’16” – 121o26’31” Bujur Timur. Batas daerah Kabupaten Kolaka Utara sebagai berikut:
Di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu Timur (Provinsi Sulawesi Selatan)
Di
sebelah
Timur
berbatasan
dengan
Kecamatan
Uluwoi
Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Konawe Utara (Provinsi Sulawesi Tenggara)
Di sebelah Barat berbatasan dengan Pantai Timur Teluk Bone.
Di
sebelah
Selatan
berbatasan
dengan
Kecamatan
Wolo
Kabupaten Kolaka (Provinsi Sulawesi Tenggara) Kabupaten Kolaka Utara mencakup jazirah daratan dan kepulauan yang memiliki wilayah daratan seluas + 3.391,62 km2 dan wilayah perairan laut membentang sepanjang Teluk Bone seluas + 12.376 km2. Kabupaten Kolaka Utara terbagi menjadi 15 Kecamatan.
Tabel : 2. Luas Wilayah Kabupaten Kolaka Utara Menurut Kecamatan 2013
Kecamatan
Luas Wilayah (km2)
(1)
(2)
Ranteangin
189,92
Lambai
162,74
Wawo
234,99
Lasusua
287,67
Katoi
82,64
Kodeoha
250,49
Tiwu
81,92
Ngapa
149,18
Watunohu
109,99
Pakue
313,25
Pakue Utara
131,25
Pakue Tengah
191,82
Batu putih
374,95
Porehu
647,23
Tolala
183,58
Kolaka Utara
1.786,01
Sumber : BPN Kabupaten Kolaka Utara
Gambar : 1. Presentase Luas Wilayah Kabupaten Kolaka Utara Menurut Kecamatan 2013
Tolala 5%
Ranteangin Lambai Wawo 6% 5% 7%
Porehu 19%
Lasusua 9% Katoi 3%
Batu Putih 11% Pakue 9% Pakue Tengah 6% Pakue Utara 4%
Kodeoha Tiwu 7% Ngapa 2% Watunohu 3%
4%
Sumber : BPN Kabupaten Kolaka Utara
4.3 Pemerintahan Sejak oktober 2007, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kolaka Utara No. 03 Thun 2007 wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Kolaka Utara mengalami pemekaran dari 6 kecamatan menjadi 12 kevamatan. Pada 5 Desember 2008 terbentuklah kecamatan Katoi yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Lasusua. Pada tahun 2009, berdasarkan Perda Kabupaten Kolaka Utara No. 17 Tahun 2008, terbentuklah Kecamatan Tiwu dan Tolala. Wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Kolaka Utara keadaan tahun 2012 terdiri atas 15 kecamatan, 127 desa, dan 6 kelurahan.
Tabel : 3. Pembagian Daerah Administratif Kabupaten Kolaka Utara 2012
Jumlah
Kecamatan
Ibu Kota
(1)
(2)
Ranteangin
Ranteangin
6
1
Lambai
Lambai
7
-
Wawo
Wawo
7
-
Lasusua
Lasusua
11
1
Katoi
Katoi
6
-
Kodeoha
Mala-Mala
11
1
Tiwu
Tiwu
7
-
Ngapa
Lapai
11
1
Watunohu
Watunohu
8
-
Pakue
Olo-Oloho
10
1
Pakue Utara
Pakue
9
-
Pakue Tengah
Latali
10
-
Batu putih
Batu putih
10
1
Porehu
Porehu
8
-
Tolala
Tolala
6
-
Kolaka Utara
Lasusua
127
6
Desa
Kelurahan
(3)
(4)
Sumber : Pemetaan 2010 Mapping 2010
4.4 Keadaan Penduduk Kesejahteraan
penduduk
merupakan
sasaran
utama
dari
pembangunan. Sasaran ini tidak mungkin tercapai bila pemerintah tidak dapat memecahkan masalah kependudukan. Berbagai usaha untuk menekan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi telah dilakukan
pemerintah melalui berbagai program Keluarga Berencana (KB) yang mulai awal tahun 1970-an. Pada tahun 2012 penduduk Kabupaten Kolaka Utara berjumlah 126.843 jiwa. Pada tahun 2013 penduduk Kabupaten Kolaka Utara bertambah menjadi jiwa. Data tahun 2013 menunjukkan bahwa 19 persen penduduk tinggal di Kecamatan Lasusua yang berstatus sebagai ibukota Kabupaten Kolaka Utara. Sementara itu 15 persen dari total seluruh penduduk tinggal di Kecamatan Ngapa. Kecamatan lainnya masingmasing dihuni oleh kurang dari 10 persen total penduduk. Maka terlihat penduduk lebih terpusat di Kecamatan Lasusua dan Kecamatan Ngapa.
Tabel : 4. Persebaran Penduduk Kabupaten Kolaka Utara Menurut Kecamatan 20122013
Kecamatan
Penduduk (2012)
Penduduk (2013)
(1)
(2)
(3)
Ranteangin
5.357
5.488
Lambai
5.520
5.656
Wawo
5.609
5.746
Lasusua
24.154
24.746
Katoi
6.085
6.234
Kodeoha
10.163
10.873
Tiwu
4.037
4.136
Ngapa
18.800
19.260
Watunohu
6.068
6.217
Pakue
9.308
9.536
Pakue Utara
7.326
7.506
Pakue Tengah
6.062
6.210
Batu putih
7,766
7.956
Porehu
7.134
7.310
Tolala
3.006
3.079
Kolaka Utara
126.843
129.953
Sumber : Diolah dari SP 2010 (Proyeksi Penduduk Pertengahan Tahun)
Gambar : 2. Persebaran Penduduk Kabupaten Kolaka Utara Menurut Kecamatan 20122013
Batu putih 6%
Porehu 6%
Tolala Ranteangin 2% 4%
Pakue Tengah 5% Pakue Utara 6%
Lambai 4%
Wawo 4%
Lasusua 20%
Pakue 7%
Ngapa 15%
Katoi 5%
Watunohu 5% Tiwu 3%
Kodeoha 8%
Sumber : Diolah dari SP 2010 (Proyeksi Penduduk Pertengahan Tahun)
Struktur umur penduduk pada suatu daerah sangat ditentukan oleh tingkat kelahiran, kematian, dan imigrasi. Jika angka kelahiran pada suatu daerah
tinggi
maka
daerah
tersebut
tergolong
sebagai
daerah
berpenduduk usia muda. Struktur umur penduduk di Kabupaten Kolaka Utara menunjukkan bahwa pada tahun 2012 penduduk usia muda (di bawah umur 15 tahun) sekitar 33,81 persen. Pada tahun 2013 penduduk Kabupaten Kolaka Utara anak-anak, dewasa, lansia yang berjenis laki-laki maupun perempuan berjumlah 129.954 jiwa.
Tabel : 5. Penduduk menurut kelompok usia dan jenis kelamin per kecamatan di Kabupaten Kolaka Utara 2012
Kecamatan
(1) Ranteangin Lambai Wawo Lasusua Katoi Kodeoha Tiwu Ngapa Watunohu Pakue Pakue Utara Pakue Tengah Batu putih Porehu Tolala
Anak-Anak
Dewasa
Lansia
(0 - 14 tahun)
(15 – 64 tahun)
(65 tahun +)
L
P
L+P
L
P
L+P
L
P
L+P
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
1.044
888
1.932
1.697
1.637
3.334
119
127
246
1.137
1.001
2.138
1.733
1.633
3.366
94
82
176
981
990
1.971
1.801
1.799
3.600
93
108
201
4.292
4.095
8.389
8.216
7.697
15.913
248
307
555
1.133
1.044
2.177
2.029
1.884
3.913
83
89
172
1.768
1.683
3.451
3.619
3.475
7.094
173
203
376
714
672
1.386
1.322
1.273
2.595
76
97
173
2.886
2.731
5.617
6.871
6.366
13.237
255
237
492
1.129
987
2.116
1.972
1.979
3.951
70
107
177
1.742
1.574
3.316
3.028
2.939
5.967
143
153
296
1.384
1.224
2.608
2.437
2.276
4.713
115
103
218
1.126
1.069
2.195
1.918
1904
3.822
112
110
222
1.493
1.412
2.905
2.476
2.400
4.876
103
108
211
1.319
1.264
2.583
2.639
1.992
4.631
64
65
129
604
570
1.174
991
822
1.813
55
50
105
Sumber : Diolah dari SP 2010 (Proyeksi Penduduk Pertengahan Tahun)
Kabupaten Kolaka Utara dihuni oleh penduduk dari berbagai etnik. Sejauh ini jumlah penduduk yang terbesar berasal dari etnis Bugis/Luwu, menyusul etnis Tolaki, etnis Toraja, Makassar dan etnis lain dalam jumlah yang relatif kecil seperti Jawa, Bali, dan lain-lain yang tersebar di berbagai kecamatan.
Pembangunan dalam sektor pertanian meliputi penggunaan tanah, tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Penggunaan tanah tahun 2012 yang terluas adalah hutan negara seluas 240.762,32 ha dari 339.162 ha seluruh luas penggunaan tanah di Kabupaten Kolaka Utara, kemudian terluas kedua adalah tanah perkebunan seluas 90.825,49 ha, dan ketiga adalah lahan bangunan dan pekarangan seluas 1.803,16 ha. Luas areal tanaman perkebunan pada tahun 2012 secara keseluruhan 104.998,61 Ha dan proporsi terbesar terdapat di kecamatan Kodeoha sebesar 18,57 persen dari luas lahan 6.160,39 Ha. Luas hutan yang terdapat di Kabupaten Kolaka Utara pada tahun 2012 sebesar 339.162 hektar dimana hutan lindung merupakan hutan paling luas mencapai 47,98 persen. Pembangunan
bidang
industri
di
Kabupaten
Kolaka
Utara
menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun. Investasi pada industri ini meningkat tajam sepanjang tahun 2012 dari Rp 325.000.000 menjadi Rp 1.035.000.000 atau mengalami peningkatan nilai produksi sebesar 68,16 persen. Perusahaan industri hasil pertanian dan kehutanan selama tahun 2012 berjumlah 275 perusahaan dan investasi yang ditanamkan meningkat sebesar 23,39 persen dari tahun sebelumnya. Selanjutnya terdapat 820 usaha kecil dan mikro di Kabupaten Kolaka Utara yang tersebar di kecamatan-kecamatan dan kecamatan Lasusua sebagai ibu kota kabupaten memiliki jumlah paling banyak jumlah usaha kecil dan
mikro yang mencapai 30,91 persen usaha dari seluruh usaha yang ada di Kolaka Utara. Sektor pariwisata di Kabupaten Kolaka Utara merupakan sektor yang cukup memiliki potensi dalam menghasilkan pendapatan daerah apabila dikelola dengan baik. Pada tahun 2012, di Kabupaten Kolaka Utara tercatat ada 30 obyek wisata dari yang sebelumnya yang hanya 22 obyek wisata namun baru 5 obyek wisata yang dikomersilkan, selebihnya masih belum dikelola. Obyek wisata yang sudah dikomersilkan yaitu Danau Biru di Kecamatan Wawo, Pasir Putih Danau Biru di Kecamatan Wawo, Goa Danau BIru di Kecamatan Wawo, Goa Tapparang Pasumbi di Kecamatan Ranteangin dan Pantai Tanjung Tobaku di Kecamatan Katoi. Penduduk Kabupaten Kolaka Utara adalah mayoritas beragama Islam sebesar 94,91 persen, berikutnya Agama Protestan sebesar 0,61 persen Agama Katholik sebesar 0,06 persen dan Hindu 0,02 persen. Jumlah masjid di Kabupaten Kolaka Utara sebanyak 226 serta mushalla yang meningkat 53,85 persen dari tahun sebelumnya dan jumlah gereja satu unit terdapat di Desa Walasiho Kecamatan Wawo.
Peta : 1. Kabupaten Kolaka Utara
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Identifikasi
identitas
etnik
sebagaimana
lazim
terjadi
pada
masyarakat yang multietnik senantiasa tergantung pada situasi dan konteks dimana seseorang berada. Dalam konteks politik di wilayah yang multietnik, terutama pada pilkada, identifikasi identitas etnik menjadi kemestian. Mengidentifikasi seseorang berdasarkan etnik adalah bagian dari perilaku dan tindakan komunikasi baik dalam aktifitas dan peran politik maupun dalam kehidupa sosial secara umum, terutama dalam rangka menarik simpati calon pemilih, meningkatkan popularitas dan tujuan politik lainnya. Keadaan ini jika dicermati relevan dengan asumsi Fredrik Barth (dalam Mulyana, 2002) yang menyebutnya situasional ethnicity. Dalam masyarakat yang multietnik, dinamika politik senantiasa memiliki “tegangan” yang lebih tinggi dibandingkan pada daerah yang relative homogeny (LSI, 2008). Hal tersebut dapat dilihat pada onstentasi politik di tingkat lokal pada beberapa pilkada provinsi, kabupaten dan kota yang selalu menyita perhatian pemerintah, pengamat politik maupun pimpinan partai politik karena persaingan yang melibatkan imbol-simbol etnisitas baik agama, suku, daerah asal, putra daerah atau pendatang. Simbol-simbol tersebut kerap dijadikan isu politik dalam sosialisasi dan komunikasi politik para calon yang bersaing, baik dalam jabatan politik
seperti eksekutif (Gubernur, Bupati, Walikota). Wacana etnik tersebut banyak muncul pada wilayah yng heterogen. Beberapa daerah provinsi di Indonesia yang penduduknya heterogen dari segi etnik dan gama seperti Riau kepulauan, Sumatera Utara, Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Utara. Sentimen etnik seringkali dinilai sebagai salah satu kekuatan sekaligus problematika dalam arena demokrasi. Tak terkecuali pada kontestasi Pemilu dan Pilkada di Indonesia. Etnisitas sebagai salah satu kategori dalam sosiologi politik berkembang seiring dengan perubahan pola politik identitas. Dalam tatanan rezim politik yang bersifat tertutup, etnisitas secara sengaja dicoba untuk dieliminasi dari panggung arena politik. Kendati demikian, etnisitas dalam kadar tertentu terus bermain dalam politik identitas dalam panggung kekuasaan secara laten. Sementara itu, dalam tatanan rezim politik yang bersifat terbuka, etnisitas justru Nampak terus mengalami penguatan, mendapatkan ruang ekspresi yang semakin luas. Bahkan etnisitas seringkali menjadi dasar legitimasi sejarah sosial politik struktur politik pada level lokal atau daerah. Enisitas
merupakan
kelompok
manusia
yang
mempunyai
kesamaan dalam hal kebudayaan dan biologis serta bertindak sesuai dengan pola pemikiran yang sama. Etnisitas seringkali muncul di masyarakat ketika menjelang pemilihan kepala daerah karena terjadi persaingan antar aktor untuk mencari kekuatan dari kelompok-kelompok
tertentu. Kolaka Utara dihuni oleh penduduk dari berbagai etnik, namun ada tiga etnik yang mayoritas yakni etnik Bugis, etnik Tolaki dan etnik Toraja serta etnik-etnik lain yang masuk dalam kelompok minoritas. Dalam hal ini, penulis akan menguraikan tentang etnisitas dalam pemilihan kepala daerah di Kabupaten Kolaka Utara dilihat dari segi perspektif primordial dan perspektif situasional etnik Bugis. Dalam ruang demokrasi, setiap individu diberikan ruang seluasluasnya untuk memilih kepala daerah secara langsung tanpa ada paksaan dari pihak manapun untuk memilih seorang aktor untuk memimpin suatu daerah. Ketika pemilihan kepala daerah berlangsung, maka setiap individu akan masuk pada situasi politik untuk memilih aktor tertentu. Dalam hal ini, individu akan memilih berdasarkan perspektif primordial atau situasional untuk menentukan pilihannya berdasarkan situasi pribadi yang mereka miliki. Pada penelitian ini penulis akan mengkaji lebih dalam mengenai pemenangan kandiat dalam pemilihan kepala daerah di kolaka utara. Untuk dapat memahami hal tersebut, pertama-tama penulis melakukan wawancara mendalam terhadap informan yang telah ditentukan, masingmasing berasal dari perwakilan dari tim kampanye, tokoh masyarakat, salah satu kandidat, serta salah satu perwakilan dari kelompok etnik Bugis, etnik Tolaki dan etnik Toraja yang mewakili etnik terbesar yang terdapat di Kolaka Utara. Selanjutnya penulis akan menarik suatu kesimpulan berdasarkan berbagai faktor pemenangan Rusda Mahmud
sebagai bupati dan Bobby Alimuddin sebagai wakil bupati yakni berdasarkan perspektif primordial dan lebih di perdalam pada perspektif situasional melalui data yang telah diperoleh dari para informan dan situasi yang terdapat di lapangan. 5.1 Perspektif Primordial Kandidat Dalam Memenangkan Pemilihan Kepala Daerah Kolaka Utara Perspektif primordialisme secara umum memandang identitas etnis sebagai “bawaan lahir” (innate) dan alamiah (natural) dalam konteks tertentu.
Anthony
Smith
(1986)
mengidentifikasi
berbagai
variasi
primordialisme, termasuk primordialisme esensialis mengatakan bahwa etnisitas adalah fakta biologi alamiah, dan oleh sebab itu etnisitas mendahului masyarakat manusia. Sedangkan primordialisme kekerabatan mengemukakan bahwa kelompok etnis adalah perluasan komunitas kekerabatan berdasarkan hubungan darah. Salah satu versi dari pendekatan ini ditawarkan oleh Clifford Greetz, yang mengemukakan bahwa tidak sepenuhnya berdasarkan “hubungan darah,” tetapi ikatan etnis (ethnic ties) dan ikatan kelompok (group bonding) adalah proses natural (karena ciri-ciri objektif rasial dan fisik membantu terbentuknya ikatan sosial). Pada penulisan ini Peneliti mengambil tiga sampel yakni, Bugis, Tolaki dan Toraja, namun penulis akan memusatkan penelitian terhadap etnik Bugis. Berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan dilapangan,
mayoritas masyarakat yang berdomisili di Kolaka Utara berasal dari etnis Bugis. Hal tersebut juga menjadi dugaan awal salah satu faktor kemenangan Rusda Mahmud dalam pemilihan kepala daerah di Kolaka Utara. Adanya konstruksi dan negosiasi yang dibangun atas dasar kesamaan etnis yang dimiliki oleh kandidat. kandidat merupakan pasangan kandidat yang pure ber-etnis Bugis yang dapat dijadikan salah satu alasan kemenangan dari pasangan ini, hal tersebut dapat berupa primordial yang dirasakan oleh masyarakat yang memiliki kesadaran sendiri atas kesamaan etnis tersebut. Namun dapat pula bersifat situasional dari bentuk strategi yang dilakukan oleh kandidat Rusda Mahmud dan Bobby Alimuddin untuk mengkonstruk karakter memilih mayarakat serta membentuk negosiasi guna mendapatkan tambahan suara. Peluang pemanfaatan etnis dapat saja terjadi sebab karakter masyarakat di Kolaka Utara yang sangat rentan atas mobilisasi. Hal tersebut dapat terjadi atas segala bentuk konstruk serta negosiasi yang dibentuk sebagai suatu strategi yang dijalankan oleh kandidat yang tidak mampu difilter langsung oleh masyarakat. Identitas etnis yang dibentuk dan dibentuk ulang bertujuan mencari celah dari fenomena karakter masyarakat yang dilihat terlebih dahulu oleh seorang kandidat, peristiwa tersebut terbentuk berdasarkan pengamatan
langsung serta cara seorang kandidat mempelajari karakter masyarakat terlebih dahulu. Kemudian membangun negosiasi yang akan dibentuk ataupun dibentuk ulang sesuai karakter masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menambah jumlah suara untuk memenangkan sebuah pemilihan umum. Strategi tersebut juga terlihat oleh kinerja yang dilakukan pasangan Rusda Mahmud dan Bobby Alimuddin dalam menggalang suara dari Masyarakat Kolaka Utara. Bentuk negosiasi dan konstruk yang dilakukan oleh pasangan Rusda Mahmud dan Bobby Alimuddin tersebut selalu menyesuaikan dengan keadaan masyarakat. Sebab, masyarakat Kolaka Utara yang semakin dinamis menjadikan pendekatan situasional yang dilakukanpun beragam, mulai dari membangun negosiasi mengenai etnis Bugis, kemudian
politik
uang
(money
politic),
mengerahkan
birokrasi,
pemanfaatan jabatan politik sebelumnya, serta membangun perjanjian politik terhadap kandidat yang lain. Faktor-faktor
terjadinya
primordialisme
sebagai
salah
satu
konsekuensi dari kenyataan adanya kemajemukan masyarakat atau diferensiasi sosial adalah terjadinya primordialisme, yaitu pandangan atau paham yang menunjukkan sikap berpegang teguh pada hal-hal yang sejak semula melekat pada diri individu, seperti suku bangsa, ras, dan agama. Primordialisme sebagai identitas sebuah golongan atau kelompok sosial merupakan faktor penting dalam memperkuat ikatan golongan atau kelompok yang bersangkutan dalam menghadapi ancaman dari luar.
Namun, seiring dengan itu, primordialisme juga dapat membangkitkan prasangka dan permusuhan terhadap golongan atau kelompok sosial lain. Ikatan primordialisme keagamaan dan etnis menjadi salah satu alasan penting dari masyarakat dalam menyikapi terhadap elektabilitas pasangan calon. Jika seorang calon memiliki latar belakang ikatan primordialisme yang sama dengan ikatan primordialisme masyarakat, maka hal tersebut menjadi alternatif pilihan masyarakat. Ikatan emosional tersebut
menjadi
pertimbangan
penting
bagi
masyarakat
untuk
menentukan pilihannya. Ikatan emosional masyarakat tidak hanya didasarkan atas sistem kekerabatan semata, akan tetapi agama menjadi pengikat ikatan emosional, asal daerah atau tempat tinggal, ras/suku, budaya, dan status sosial ekonomi, sosial budaya juga menjadi unsur penting dalam ikatan emosinal komunitas masyarakat tertentu40. Kolaka Utara merupakan sebuah provinsi yang memiliki ragam etnisitas (heterogen) inilah kemudian menjadikan dasar bagi asumsi potensi konflik horizontal di kabupaten ini. Terlebih jika dilihat di tiap daerah
yang
ada
padanya
menggambarkan
pluralistik
dan
multikulturalisme yang dominan. Pemilihan kepala daerah di kabupaten Kolaka Utara yang telah dilaksanakan pada tahun 2012 telah memenangkan nomor urut tiga pasangan incumbent Rusda Mahmud dan Bobby Alimuddin, dimana
40
http://uda.ac.id/jurnal/files/Salomo%20Panjaitan.pdf
kedua kandidat pasangan tersebut berasal dari etnis Bugis dengan perolehan suara 63.49 persen mengalahkan dua pasangan kandidat yang lain yakni nomor urut dua pasangan Anton, SH - H. Abbas, SE yang berasal dari etnis Tolaki dan etnis Bugis dengan perolehan suara 31,95 persen serta nomor urut satu pasangan H. Idrus Arasy, SE - Drs. Syamsu Rijal, MM yang berasal dari etnis Bugis dengan perolehan suara 4,56 persen. Kandidat nomor urut satu yakni H. Idrus Arasy, SE - Drs. Syamsu Rijal, MM keduanya berasal dari etnik Bugis, tetapi walaupun keduanya berasal dari etnis bugis mereka mempunyai perolehan suara paling rendah dibandingkan dengan kandidat yang lainnya. Salah satu tokoh masyarakat yakni Drs. Ashar, MM menyatakan bahwa: “Pasangan tersebut tidak memiliki Manajemen politik yang bisa mendukung mereka dalam memperjuangkan namanya di kecamatan atau di desa, walaupun Idrus putra daerah namun dia sudah puluhan tahun ada di luar wilayah kabupaten Kolaka Utara sebagai pengusaha sehingga kurang dikenal masyarakat jadi sulit untuk bersosialisasi karena maupi mencalonkan diri sebagai kandidat baru kembali lagi ke Kolaka Utara, apalagi basis suara yang dukung pak Syamsu dan Idrus hanya sedikit karena keduanya sama-sama orang Bugis dan sama-sama berdomisili di ibu kota kecamatan lasusua sehingga mengalami hambatan untuk sosialisasi di kolaka Utara bagian Utara maupun di bagian Selatan kabupaten Kolaka Utara, dan pak Syamsu juga PNS yang masih aktif menduduki jabatan sebagai staf ahli dan selama bekerja sebagai PNS kurangki prestasi yang bisa dikenang oleh masyarakat, padahal pak Idrus memilih pak Syamsu sebagai pasangan wakil yang di andalkan karena orang tuanya tokoh pemekarannya Kolaka Utara tapi orang tuanya sudah meninggal namanya itu H. Jaffar harun dan pak syamsu kurang mampu mewarisi jejak prakarsa yang dimiliki orang tuanya.” (wawancara 16 Mei 2014).
Dari
hasil
wawancara
yang
tertulis
sebelumnya,
penulis
menggambarkan bahwa pasangan calon bupati H. Idrus Arasy,SE dan calon wakil bupati Drs. Syamsu Rijal, MM yang keduanya berasal dari etnik Bugis dan keduanya berdomisili di Kolaka Utara lebih tepatnya di Kecamatan Lasusua. Namun, calon bupati H. Idrus Arasy,SE sudah lama meninggalkan Kolaka Utara dan menjadi pebisnis di daerah lain diluar Kolaka Utara. Walaupun H. Idrus Arasy,SE sebenarnya merupakan putra daerah namun karena Ia telah lama meninggalkan Kolaka Utara, namanya tidak popular di masyarakat. Bahkan hal ini menyebabkan H. Idrus Arasy,SE awalnya dianggap bukanlah berasal dari Kolaka Utara tetapi dianggap sebagai pendatang baru. Calon wakil bupati Drs. Syamsu Rijal, MM sendiri mempunyai sejarah keluarga yang cukup besar di Kolaka Utara. Berasal dari keluarga yang dapat diperhitungkan dan cukup sangat besar namanya di Kolaka Utara. Hal ini dikarenakan oleh orang tua dari Drs. Syamsu Rijal, MM merupakan salah satu tokoh inisiator dalam proses pemekaran Kolaka Utara. Tetapi pada kenyataannya hal tersebut tidak membuat masyarakat serta merta untuk memilih pasangan tersebut. Penulis mengkaji bahwa pemikiran masyarakat masih bersifat primordial, karena mereka tidak ingin memilih pasangan kandidat nomor satu dengan berbagai alasan yang bersifat tradisional. Alasan masyarakat tidak ingin memilih pasangan tersebut karena, Pertama, H. Idrus Arasy,SE telah lama tidak menetap di Kolaka Utara, jadi mereka tidak mengenali
kandidat ini sebagai putra daerah. Kedua, Drs. Syamsu Rijal, MM memang merupakan anak dari keluarga yang cukup dipandang di Kolaka Utara sebagai anak dari salah satu inisiator pemekaran Kolaka Utara, namun selama mempunyai jabatan di pemerintahan, kandidat calon wakil bupati ini kurang dalam memberikan terobosan baru dan tidak memiliki prestasi yang menonjol di masyarakat. Dari kedua alasan tersebut, ketika masyarakat mempunyai opsi lain yang secara emosional sama, tentu mereka akan memilih opsi tersebut dan apalagi ketika opsi tersebut lebih berpengaruh serta memiliki prestasi yang menonjol dimasyarakat. Ketika masyarakat telah merasa bahwa seorang aktor bisa memberikan keuntungan kepada mereka, maka mereka
akan
mempertahankan
hal
tersebut
agar
kesejahteraan
masyarakat dapat terwujud karena masyarakat memilih pemimpin untuk kesejahteraan
mereka
bukan
untuk menambah
penderitaan
atau
kebobrokan di daerahnya. Kandidat nomor urut dua (2) yang memiliki suara terbesar kedua yakni Anton, SH - H. Abbas, SE merupakan pasangan campuran antara etnis Tolaki dan etnis Bugis. Adapun salah satu informan yakni Drs. Saipul amin selaku tokoh yang berasal dari etnik Bugis menyatakan bahwa: “Jadi ini suatu fakta bahwa ternyata kita disini khususnya Kabupaten Kolaka Utara keterkaitan etnik itu masih sangat ketat, saya tidak tahu kalau di daerah lain. Saya saja ini terlepas dari Pilkada, waktu pemilihan DPD hanya ada satu kelompok suku Tolaki yang pilih saya walaupun pada umumnya bukan saya menyentuh uang, tapi yang namanya ikatan pembicaraan itu luar biasa tetapi ketika si kombe-
kombe itu datang atau si tolaki tentu dia pilih kembali lagi sukunya. Ada yang sempat pilih saya khususnya Tolaki sekaligus sebagai tim dan ketika itu muncul di lingkungan Tolaki dia dikatai penghianat. Begitu kuatnya ikatan emosionalnya orang Tolaki. Kalau Hj. Abbas memang suku Bugis cuman pak Hj. Abbas posisinya berada di nomor dua sebagai wakil, itu juga anggapan masyarakat bahwa kalau misalnya sama-sama orang Bugis tetapi ada yang nomor satu dan ada yang nomor dua mending mereka pilih nomor satu alasannya karena pasti nomor satu itu jauh pengaruhnya karena ketika di pemerintahan atau jadi pejabat dibandingkan nomor dua, itu kan hanya kalau ada mau istilahnya orang kalau ada undangan katakanlah mungkin undangan itu tahlilan ya di doronglah pak wakil tapi kalau ada undangan yang kira-kira ada yang bisa membantu pihak perusahaan nomor satu yang maju, jadi itu ada juga pengaruhnya bahwa sama-sama orang Bugis kalau ada yang jadi bupati dan ada jadi wakil bupati orang lebih cenderung akan memilih kalau orang Bugis jadi bupatinya.” (wawancara 17 Mei 2014).
Dari penjelasan informan tersebut, Penulis branggapan bahwa masyarakat Kolaka Utara dalam memilih masih sangat terpengaruh berdasarkan etnisitas. Menurut informan, bahwa etnik Tolaki dalam masih mempunyai ikatan emosional yang sangat kuat sesama para anggotanya. Hal ini mempengaruhi sikap masayarakat dalam memilih Bupati dan Wakilnya. Kandidat pasangan nomor urut dua, Anton, SH - H. Abbas, SE, dimana Anton, SH berasal dari etnik Tolaki. Seperti kita ketahui perolehan suara pada kandidat nomor urut dua ini merupakan suara kedua terbesar. Campuran antara dua etnik yang berbeda ini yaitu etnik Tolaki dan etnik Bugis berhasil memperoleh suara yang cukup besar. Etnik Tolaki memang mempunyai jumlah penduduk yang cukup sangat besar di Kolaka Utara. Hal ini membuat pemilih untuk pasangan ini cukup sangat signifikan besarnya.
Etnik Tolaki mempunyai ikatan emosional yang cukup sangat ketat dan kental. Ikatan emosional yang sangat kuat ini membuat masyarakat enik Tolaki sangat solid dan kompak dalam memutuskan sesuatu. Pun demikian dalam politik. Dalam memilih pemimpin daerah, etnik Tolaki selalu mengupayakan mencalonkan dan memilih kandidat yang berasal dari etnik Tolaki juga sendiri. Etnik Tolaki tidak ingin dipimpin dari etnik lainnya. Sehingga ketika dalam pilkada, etnik Tolaki mengupayakan ada kandidat dari etnik ini untuk mencalonkan diri. Ikatan emosional yang sangat tinggi ini mengakibatkan adanya tuntutan harus memilih kepala daerah yang berasal dari etnik sendiri. Jadi ketika ada anggota yang merupakan etnik Tolaki, namun membantu atau memilih kandidat yang berasal dari etnik lain, seperti etnik bugis, maka akan dianggap sebagai pengkhianat bagi etnik Tolaki. Hal berbeda telah dikemukakan oleh salah satu tokoh etnik Tolaki yakni Drs. Masmur Lakahena, M.Si menyatakan bahwa: “kekalahan Anton dengan pasangannya karena dukungan dari masyarakat Tolaki yang sedikit pada Anton atau artinya karena masyarakat Tolaki sedikit sehingga Anton kalah, kita tidak bisa tarik kesimpulan begitu sebab masyarakat Tolaki ini pintar, kami sudah melihat secara realistis jadi kami ini realistis dalam hal budaya tidak ada yang bisa menggeserkan kalau bicara masalah budaya, kalau SARA yang sudah diletakkan biar jabatannya tinggi pasti tunduk pada aturan kalau SARA, biar kita pernah bertengkar kalau bahas SARA pasti akan jabat tangan kalau tidak, itu namanya liaSARA nanti biar mati nda ada orang yang urus itu sudah sanksi sosial karena kita pernah marahi anakta kemudian anak ini mau datang baik-baik, kalau misalnya itu orang tua dia tolak maka itumi namanya lia SARA tidak ada lagi orang datang di rumahnya dan dibuang secara adat dan dia kena penyakit dan mati di jalan itu tidak bakal ada yang lihat dan urus itu makanya semarah-marahnyaki orang
Tolaki kalau sudah bahas SARA mau tak mau kalau dia memahami, jadi kalau bicara budaya pasti tidak bisa orang mendorong orang Tolaki tetapi kalau bicara politik artinya Anton juga ini tergantung dari dia bukan karena etnisitasnya, secara etnisitas tidak ada pengaruhnya.” (wawancara 17 Mei 2014).
Dari
hasil
wawancara
yang
tertulis
sebelumnya,
penulis
menggambarkan bahwa pasangan Anton, SH - H. Abbas, SE merupakan pasangan yang berasal dua etnis yang berbeda yakni berasal dari etnis Tolaki dan etnis Bugis. Drs. Saipul amin mengemukakan bahwa perspektif primordial yang ada dimasyarakat tidak dapat dihindari, terbukti ketika beliau maju sebagai salah satu kandidat dalam pemilihan legislatif bahwa salah satu etnik, lebih dikhususkan kepada etnik Tolaki yang mempunyai kekuatan emosional yang sangat kuat dikalangan masyarakat Tolaki terbukti ketika mereka ketahuan tidak memilih kandidat di luar daripada etniknya maka akan dikatakan sebagai penghianat. Namun hal berbeda justru dikemukakan oleh Drs. Masmur Lakahena, M.Si sebagai salah satu tokoh etnik Tolaki bahwa mereka sebagai masyarakat Tolaki dalam hal berpolitik memilih kandidat secara rasional bukan secara emosional, tetapi ketika membahas masalah SARA mereka memang menyatu dan hal tersebut tidak dapat terbantahkan dan begitupula dalam kekalahan kandidat bukan karena etnisnya tetapi karena sosok dari aktornya. Penulis mengkaji dari kedua informan yang bertolak belakang ini dalam memberikan pendapat terkhusus pada pemikiran masyarakat Tolaki dalam memberikan suaranya dalam memilih. Dalam hal ini penulis akan
menanggapai tentang hasil wawancara Drs. Masmur Lakahena, M.Si yang menyatakan dalam hal berpolitik perspektif primordial itu tidak ada dari etnik Tolaki, justru mereka telah berfikir rasional dalam berpolitik. Ketika seseorang mengatakan hal tersebut, tentu dilihat dari latar belakangnya sehingga mengatakan hal tersebut. Kandidat yang hanya satu-satunya berasal dari etnik Tolaki telah kalah dalam Pemilukada sehingga ada unsur penyangkalan dalam kekalahannya, lantaran kandidat tersebut
merupakan satu-satunya
berasal dari etnik Tolaki justru kalah padahal kalau dicermati ada banyak kandidat dari etnik Bugis yang suaranya akan pecah dalam Pemilukada walaupun masyarakat Kolaka Utara mayoritas berasal dari etnik Bugis. Dapat dilihat pula dari pernyataan Drs. Saipul amin dengan gamblang mengatakan sesuai dengan yang terjadi di lapangan dan sesuai dengan yang telah dialaminya secara pribadi bahwa tim kampanye yang mendukung beliau ketika pemilihan legislatif yang berasal dari etnik Tolaki dan menjadi tim suksesnya telah dikatakan penghianat dikalangannya sesama Tolaki lantaran tidak memilih kandidat yang berasal dari etniknya. Kandidat nomor urut tiga (3) merupakan pasangan incumbent Rusda Mahmud - Bobby Alimuddin yang terpilih sebagai bupati dan wakil bupati. Dimana posisi 01 (Bupati) ditempati oleh kandidat yang berasal dari etnis bugis dan posisi 02 (Wakil Bupati) ditempati oleh kandidat yang berasal dari etnis bugis. Rusda Mahmud merupakan kandidat yang telah menjabat sebagai bupati pada periode sebelumnya dan dilihat dari
pembangunan daerah yang meningkat dari periode yang lalu, hal tersebut bisa saja menjadi kekuatan dan alasan masyarakat untuk memilih kandidat. Adapun salah satu informan yang berasal dari etnik Bugis yakni Drs. Saipul Amin menyatakan bahwa: “pak Rusda itu kenapa memang banyak dipilih oleh suku Bugis karena pada masa jabatannya yang pertama utang budi masyarakat selama ini kalau mereka minta sumbangan masjid, pak Rusda nda tanggung-tanggung dan ini tokoh agama sangat berutang juga disitu sehingga ada beberapa kelompok masyarakat dengan sukarela tetap dia pilih pak Rusda. Jadi intinya persoalan suku dalam hal pilih memilih dalam Pilkada banyak yang cenderung ke pak Rusda karena dalam berkomunikasi juga, Dia itu sering menggunakan bahasa Tator ke orang Tator, Bugis, palopo jadi kalau na pengaruhi itu pemilih dia pake bahasanya.” (wawancara 17 Mei 2014).
Dari pernyataan informan di atas, Penulis melihat kekuatan posisi Rusda sebagai Incumbent sangat dimanfaatkan untuk memperoleh suara pemilih. Masyarakat pun yakin dengan kemampuan Rusda untuk memimpi kembali karena banyak masyarakat yang meraakan langkah nyata yang dilakukan oleh Rusda semasa kepemimpinannya. Pembangunan yang masayarakat rasakan sangat maju dan sangat membantu masyarakat sendiri. Strategi lainnya yaitu Rusda mendekati masyarakat dengan menggunakan pendekatan komunikasi bahasa lokal. Hal ini tentu saja menarik perhatian dan hati para pemilih. Karena hal itu membuktikan bahwa selain Rusda sangat dekat dengan masyarakat, hal itu juga membuktikan kepeduliaannya terhadap masyarakat etnik lain. Buktinya Rusda tidak membeda-bedakan atau mendeskriminasikan etnik lain yang ada di Kolaka Utara.
Hal senada juga telah dikemukakan oleh salah satu tokoh enik Toraja yakni Buhari, S.Kel menyatakan bahwa secara emosional masyarakat Toraja memilih beliau karena dalam melakukan komunikasi beliau menggunakan bahasa Toraja. “pak Rusda mengait orang Toraja juga menggunakan emosional dengan menggunakan bahasanya kita, bahasa Seperti saya ini terus terang kalau bicara dengan beliau nda pake bahasa Bugis tapi pakai bahasa Toraja.” (wawancara 2014).
ikatan Toraja. pernah 17 Mei
Penulis mengkaji dari kedua informan yang telah menyatakan pendapat kemenangan dari pasangan incumbent Rusda Mahmud – Bobby Alimuddin yang sangat berperan penting yakni Rusda Mahmud sebagai bupati pada saat ini untuk merekrut suara pemilih. Dimana Rusda Mahmud mempunyai talenta dan elektabilitas yang tinggi di kalangan etnik lain. Hal tersebut terlihat dari pemaparan Drs. Saipul Amin selaku tokoh etnik Bugis menyatakan bahwa pak Rusda dapat menggunakan bahasa daerah selain bahasa Bugis. Rusda dalam menggaet dan mendekati pemilih itu menggunakan strategi bahasa, jadi ketika Ia bertemu masyarakat Ia berkomunikasi dengan bahasa yang dipakai juga oleh masyarakat setempat. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi sangat dekat dengan kandidat ini. Dan membuktikan bahwa Rusda tidak bersikap deskriminasi dengan etnik lainnya. Hal ini menjadi sangat penting di kalangan
masyarakat,
karena
sosok
pemimpin
mendeskriminasikan masyarakatnya berdasarkan SARA.
yang
tidak
Ikatan primordialisme keagamaan dan etnis menjadi salah satu alasan penting dari masyarakat dalam menyikapi terhadap elektabilitas pasangan calon. Jika seorang calon memiliki latar belakang ikatan primordialisme yang sama dengan ikatan primordialisme masyarakat, maka hal tersebut menjadi alternatif pilihan masyarakat. Ikatan emosional tersebut
menjadi
pertimbangan
penting
bagi
masyarakat
untuk
menentukan pilihannya. Ikatan emosional masyarakat tidak hanya didasarkan atas sistim kekerabatan semata, akan tetapi agama menjadi pengikat ikatan emosional, asal daerah atau tempat tinggal, ras/suku, budaya, dan status sosial ekonomi, sosial budaya juga menjadi unsur penting dalam ikatan emosinal komunitas masyarakat tertentu41. Salah satu kandidat Calon bupati Drs. Syamsu Rijal, MM menyatakan bahwa: “Dalam Pilkada itu kalau kita mau mendekat dari segi etnis atau kekeluargaan sangat besar pengaruhnya karena cepat diterima sama orang dibanding yang tidak. Contohnya kayak saya masuk didaerah suku Bulukumba dia bilang saya orang kajang, saya diterima malah saya dites “coba kalau memang orang Bulukumba coba bicara bahasa konjo?” jadi kita kasimi perkenalan dengan visi misi dijabarkan dalam bentuk bahasa konjo mereka terima malah ada yang bersumpah demi Allah. Karena itu saja yang di gunung Meto begitu dia tau orang Bulukumba yang maju, langsung turun satu gunung penuh rumah makkadaka “nupanrasaka matu te’e” itu hari dilihat dengan duduk sama-samaki dia itu dia minta “kalau betul katanya orang Bulukumba kajang coba beng berikan perkenalan pake bahasa konjo?” betul itumi katanya.” (wawancara 17 Mei 2014).
41
http://uda.ac.id/jurnal/files/Salomo%20Panjaitan.pdf
Dari hasil wawancara yang tertulis sebelumnya, penulis mengkaji bahwa pendekatan primordial sangat mempengaruhi kandidat dalam memperoleh suara pemilih. Hal ini juga berpengaruh dalam merekrut suara masyarakat untuk memilih kandidat yang memiliki kesamaan identitas dengan aktor. Dengan memiliki kesamaan identitas, ketika dalam berkomunikasi akan lebih mudah dan akan saling menguntungkan antara dua bela pihak. Selain itu, juga kedekatan secara emosional ini akan menguntungkan dalam jangka waktu yang panjang untuk kedua belah pihak. Baik masyarakat, maupun kandidat jika terpilih. Abdillah dalam melihat etnisitas bahwa pendekatan primordial melihat fenomena etnik dalam ranah sosiobiologis yang berarti bahwa kelompok-kelompok sosial dikarakteristikkan oleh gambaran seperti ciriciri fisik, kewilayahan, agama, bahasa dan organisasi sosial yang disadari sebagai objek given dan tidak bisa dibantah42. Persaingan perebutan kursi Bupati Kolaka Utara tidak beranjak dari upaya penguasaan suara pemilih yang mengandalkan kesamaan identitas primordial. Kepemimpinan yang terbentuk dari pola semacam ini berpotensi memperlebar jurang pemerataan kesejahteraan warga. Strategi penguasaan pemilih tak lepas dari proporsi dan karakter masyarakat Kolaka Utara yang secara sosial terfragmentasi. Pola penguasaan pemilih berdasarkan konfigurasi identitas semcam ini menjadi jamak. Masyarakat
42
Awaluddin Yususf. Media, Kematian dan Identitas Budaya Minoritas : Refresentasi Etnik Tionghoa dalam iklan dukacita. (Yogyakarta: UII press, 2005) hal. 23-24
pun cenderung larut, bahkan sebagian menikmatinya. Seolah tidak pernah lepas dari “tradisi” yang ingin dipertahankan, kepala daerah bagi mereka harus sosok yang mempresentasikan identitas sosialnya ketimbang kualitas personalnya. Gagaan dan tawaran program kerja setiap calon hanya sebatas lampiran di balik tebalnya uraian suku, agama, dan asal kelahiran. 5.2. Faktor Primordial pada Pilkada Kolaka Utara a. Politik uang (money politik) Politik uang (money politik) merupakan suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan43. Politik uang bukan lagi merupakan hal baru yang dapat ditemukan di masyarakat ketika ada Pemilukada. Hal tersebut merupakan salah satu hal pokok yang akan dilakukan oleh kandidat atau aktor untuk merekrut suara serta memenangkan dirinya dalam Pemilukada. Ada berbagai macam cara politik uang yang akan di lakukan oleh aktor yakni dengan 43
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang
memberikan uang tunai serta memberikan sembako atau keperluan sehari-hari masyarakat yang membutuhkan. Hal tersebut dapat dilihat dengan hasil wawancara yang telah penulis lakukan pada salah satu tokoh etnik Bugis yang tidak ingin disebutkan namanya menyatakan bahwa: “Pak Rusda itu khusus untuk kontraktor-kontraktor, utang budi utang materi dia kasi semua untuk hidup dengan proyek sehingga mereka nda bisa lepas. faktor luar biasa juga itu terlihat pada pak Rusda dan pak Anton itu dilihat dari sisi materi nda berdaya pak Anton nda usah saya sebutkan nilainya tapi setiap orang itu ndada yang tidak tersentuh, semua nama-nama yang dikasi pak Rusda disentuh sama uang dengan jumlah yang sama.” (wawancara 17 Mei 2014).
Berdasarkan informan di atas, Penulis melihat strategi pasangan terpilih ini dengan menggunakan kekuatan uang. Pemberian hadiah/uang ini kepada beberapa kalangan membuat pasangan ini tentu akan dipilih oleh kalangan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh James Kerr Pollock (dalam Walecki: 2007) menyatakan bahwa relasi antara uang dan politik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi dan pemerintahan. Menurutnya, kehidupan politik yang sehat mustahil diwujudkan, selagi uang secara tanpa batas terus berbicara di dalam kehidupan politik. Peran uang memang kian vital dalam demokrasi modern, antara lain
digunakan
dalam
pembiayaan
iklan, pembuatan
spanduk,
baliho, proses seleksi kandidat, penyelenggaraan survei, dan juga mobilisasi pemilih selama kampanye. Namun, peran uang juga dianggap
kian membahayakan proses demokrasi ketika setiap parpol dan kandidat terus berlomba-lomba menumpuk uang dengan berbagai cara untuk membiayai proses pemenangannya. Beragam sumber uang haram, hasil korupsi, praktik pencucian uang, dan politik uang terus dijalankan oleh parpol dan kandidat dalam memenangi pemilu. Karena itulah reformasi pengaturan atas peran uang atau donasi politik menjadi agenda yang paling krusial dalam menyehatkan sistem demokrasi. Hal senada yang menyatakan bahwa pada kemenangan pasangan Rusda Mahmud – Bobby Alimuddin menggunakan politik uang untuk merekrut suara dalam pemenangannya yakni salah satu tokoh enik Toraja yakni Buhari, S.Kel menyatakan bahwa: “money politik itu sentuhan terakhir yang diberikan kandidat dan tetap ada, terus terang dulu itu ada yang dengan jelas untuk mempengaruhi masyarakat di bawah dengan hal tersebut.” (wawancara 17 Mei 2014).
Hal senada juga dikemukakan oleh salah satu informan yang tidak ingin disebutkan namanya menyatakan bahwa finansial yang kuat merupakan salah satu kekuatan untuk merekrut suara masyarakat. “kalau berdasarkan pengalaman yang kita dapat di lapangan sangat mempengaruhi itu faktor finansial, artinya mauki menutup mata tentang hal itu tapi memang itu yang terjadi karena kemenangan kandidat itu dari segi finansial yang sangat menentukan. Ada yang datang tiga kali bilang simpanmi itu uang yang 40 Miliar karena kalau idi’ lima ratus se’bu alena pasti se’di juta na geso’kangi jadi diammeki.” (wawancara 17 Mei 2014).
Dari hasil wawancara sebelumnya, penulis mengkaji bahwa politik uang atau money politik merupakan hal yang paling sering dilakukan oleh aktor dalam merekrut suara masyarakat. Hal tersebut terbukti pada Pemilukada yang diselenggarakan di kabupaten Kolaka Utara dimana kandidat Rusda Mahmud – Bobby Alimuddin menggunakan cara politik uang untuk merekrut suara masyarakat, bahkan kandidat tersebut memberikan dalam bentuk uang dan hampir semua masyarakat di kabupaten Kolaka Utara merasakannya. Suatu pandangan yang dikemukakan oleh Graetz dan McAllister memandang bahwa secara normatif, memang ada kecenderungan harapan agar sejalan dengan kemajuan teknologi dan integrasi sosiopolitik yang lebih besar, bayang-bayang etnisitas sebagai kekuatan mundur (declining force), secara bertahap akan menghilang44. Informan yang tidak ingin disebutkan namanya menyatakan bahwa semua warga yang tertulis dalam daftar nama yang disetor kepada kandidat, tersentuh semuanya dengan rata dan Buhari, S.Kel menyatakan bahwa politik uang merupakan sentuhan terakhir dalam merekrut suara serta informan yang tidak ingin disebutkan identitasnya memperkuat pernyataan
tersebut
dengan
menyatakan
bahwa
faktor
finansial
merupakan salah satu penentu dalam kemenangan kandidat. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa faktor etnik masyarakat dalam memilih seorang kandidat akan berkurang atau menipis seiring berjalannya waktu. 44
Ibid, hal. 16
Resiko politik uang terus dijalankan dalam pemilukada sungguh pasti sangat besar, baik untuk partai (kandidat) maupun untuk keberlangsungan
hidup
masyarakat.
Pertama,
Money
politik
menyebabkan mekanisme dalam pemilihan di tingkat lokal menjadi mandeg dan tidak sehat. Hal ini disebabkan karena uang dapat menjadi tolak ukur dalam meksnime dan pertarungan dalam pemilu. Karena itu, setiap kandidat mau tidak mau dipacu untuk mengumpulkan banyak uang jika mau diusung oleh satu partai dalam pilkada. Harapan akan lahirnya pemimpin politik yang mumpuni baik secara akademis maupun profesional tentu semakin jauh. Fakta ini menjelaskan bahwa para calon pemimpin daerah kita, tidak bersaing secara sehat dan bersih serta secara kualitas sangat tidak baik. Kedua, Politik uang membuat masyarakat menjadi pragmatis. Mereka hanya memikirkan apa yang mereka peroleh secara langsung dari setiap proses pemilu dan tidak pernah berpikir apa risiko yang mereka harus tanggung dari uang yang mereka terima. Ketiga, apapun alasannya, politik uang berkorelasi secara positif dengan tingkat kemajuan terutama pembangunan dalam suatu masyarakat. Semakin tinggi tingkat politik dalam pemilu, maka pembagunan dalam daerah tersebut semakin buruk. Penjelasannya sangat sederhana. Uang yang bagikan atau diberikan kepada pemilih pada saat pemilu adalah investasi yang harus dibayar ketiga kekuasaan untuk menjadi legislator itu direngkuh. Karena itu, daerah kita siap untuk tetap terbelakang dan miskin.
b. Kekuatan birokrasi Kemenangan kandidat incumbent dalam sebuah pemilihan umum di Indonesia seringkali dihubungkan oleh kinerja birokrasi. Hal ini terjadi dikarenakan korelasi antara birokrasi dan incumbent belum dapat terpisahkan satu sama lain. Korelasi tersebut terbentuk atas hubungan keterikatan satu sama lain. berdasarkan UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 Bab V Pasal 130 ayat 1 dan 2 yang berisikan “pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam Eselon II pada pemerintahan daerah sepenunya merupakan domain kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati)”, hal ini memberikan legitimasi hukum yang kuat terhadap kepala daerah menyangkut kewenangan daerah dalam mengelola kepegawaian daerah. Undang-undang otonomi daerah tersebut tentunya sangat jelas berimplikasi pada jabatan kepala daerah yang mudah disalahgunakan. Kepala
Daerah
mempunyai
otoritas
kuat,
sehingga
ia
memiliki
kewenangan dalam memetakan serta menentukan formasi jabatan di daerah. Dengan otoritas serta kewenangan yang ia miliki dan begitu kuat, berimplikasi kuat terhadap penyalahgunaan wewenang ini. Penyalahgunaan yang dilakukan oleh kepala daerah tersebut seringkali terjadi pada sistem demokrasi. Sebab hal tersebut akan memberikan dampak positif saat incumbent kembali mencalonkan. Peranan incumbent yang memiliki otoritas serta kewenangan yang kuat
terhadap birokrasi memberikannya kemampuan untuk mendapatkan konstituen yang berasal atau berlatar belakang dari birokrasi. Pada pemenangan bupati dan calon bupati pasangan incumbent Rusda Mahmud – Bobby Alimuddin terdapat kekuatan birokrasi yang ikut andil. Dimana Rusda Mahmud merupakan bupati periode sebelumnya dan kemudian naik kembali mencalonkan sebagai bupati serta berhasil duduk kembali menjadi bupati. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataaan yang diutarakan oleh salah satu informan tokoh etnik Bugis yakni Drs. Saipul Amin menyatakan bahwa : “Birokrat itakut sama pak Rusda tapi dia tidak pernah mengatakan bahwa jagako nda pilihka. Tidak ada kepala dinas yang di nonjobkan tapi kalau periode pertama memang iya, tapi periode kedua ini saya kira tidak ada malah pak Rusda mengembalikan semua yang pernah jatuh karena mungkin sudah dia pilih kembali yang jelas sudah berdamai kembali nda sama waktu periode pertama kan dia rasakan bagaimana rasanya kalau tidak memilih.” (wawancara 17 Mei 2014).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti melihat, sosok Rusda Mahmud yang mencari perhatian birokrasi dengan melakukan perombakan
terhadap
jabatan
struktural
birokrasi
pada
periode
sebelumnya kemudian mengembalikannya ke jabatan awal setelah berganti periode. Hal ini menurut amat peneliti merupakan konstruk terhadap pejabat birokrasi untuk bersikap lebih loyal lagi terhadapnya. Sehubungan dengan pilkada ini, sejatinya tidak dapat dipungkiri akan selalu ada sorotan ataupun gunjingan akan keberadaan birokrasi yang dipresentasikan oleh para Pegawai Negeri Sipil. Sorotan utama
adalah tentang netralitas dan atau keberpihakan para birokrat kepada calon peserta pilkada tertentu. Namun bagaimanapun aturan yang ada tersebut tetap ada celah yang tak bisa ditembus oleh perangkat kaca mata hukum karena beragamnya motif, model dan bentuk keberpihakan PNS terhadap kontestan pilkada yang ada, apalagi aturan tersebut hanya mengatur secara normatif belum menyentuh aspek substansial. Selain itu sulitnya membedakan antara kegiatan administratif formalistik yang dijalankan oleh birokrasi antara tuntutan profesionalitas dengan balutan yang sebenarnya dukungan informalistik terselubung terhadap pasangan calon tertentu, apalagi jika kegiatannya berlangsung disaat diluar jam dinas para PNS, maka kata netralitas itu hanya akan menjadi sebuah bayangan semu belaka dan akan tetap menjadi sebuah lobang yang gelap untuk diselidiki, dia terasa tetapi tidak teraba. Faktor internal yang mempengaruhi netralitas birokrasi yaitu sentimen primordialisme dan logika kekuasaan. Faktor primordialisme lebih kepada kedekatan etnisitas, kesukuan dan agama. Sedangkan faktor logika kekuasaan dikarenakan adanya ketidakpastian sistem dalam penjenjangan karir seorang PNS. Ada sebuah spekulasi politik dan kekuasaan yang diharapkan dari PNS yang memberikan dukungan politik kepada kontestan pilkada, yaitu akan meningkatkan karir di birokrasi ketika calon yang didukung menang. Secara
eksternal
adalah
adanya
ambiguitas
regulasi
yang
membuat birokrasi menjadi tidak netral dan independen atau apa yang
disebut dengan shadow state yaitu kekuatan diluar birokrasi yang mampu mengendalikan birokrasi. Kekuatan dominan muncul dari kelompok jawara dan pemilik modal yang memiliki akses politik dengan pusat kekuasaan. D. Sudiman juga menjelaskan bahwa liberalisasi dan reformasi politik,ternyata tidak diikuti oleh reformasi perubahan ditingkat regulasi. Pada satu sisi PNS diharapkan bersikap professional, akan tetapi dalam penjenjangan karirnya, karir PNS sangat ditentukan oleh pejabat Pembina PNS, dalam hal ini Gubernur, Bupati atau Walikota. Sementara mereka kepala daerah adalah pejabat politik yang dipilih melalui mekanisme politik. Oleh sebab itulah kepala daerah terpilih dari partai politik, memiliki kekuasaan yang sangat kuat (powerfull authority) untuk menarik PNS dalam politik praktis. Anehnya birokrat yang menjalankan prinsip netral (netralitas) malah menjadi korban dan dimutasi ke tempat-tempat yang tidak mereka kuasai bidangnya, tidak sesuai dengan latar belakang keilmuan atau dibiarkan kariernya jalan ditempat oleh kepala daerah terpilih melalui pilkada. Mereka yang aktif berpolitik dan menjadi tim sukses tentunya secara terselubung (dalam hal ini para pegawai negeri sipil) justru menuai banyak keuntungan pasca jagoan mereka terpilih sebagai kepala daerah. Akibat pengimplementasian konsep otonomi daerah yang salah kaprah, yang hampir semua daerah secara sadar atau tidak sadar menempatkan penunggang birokrasinyapun dengan yang berbau putra daerah, Akhirnya aroma primordialisme yakni kedekatan etnisitas,
kesukuan, latar belakang pendidikan, agama, dsb, dan logika kekuasaan akan mempengaruhi netralitas birokrasi. Hal ini menyebabkan hampir semua mesin birokrasi selalu dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal senada juga dikemukakan oleh tokoh enik Toraja yakni Buhari, S.Kel yang menyatakan bahwa tokoh-tokoh berpengaruh dari etnik Toraja sudah banyak yang diberikan jabatan penting dalam birokrat. “Orang Toraja memilih pak Rusda karena tokoh-tokoh yang berpengaruh sudah diambil sama pak Rusda, dia berikan jabatan eksekutif kepada orang Toraja secara proporsional, jadi tokoh-tokoh yang dia lihat pengaruhnya bagus dia kasilah jabatan, artinya memang ini berjalan alami tapi sebenarnya ini by design artinya dibuat dari dulu, kalau orang na liat ini pak Rusda berjalan alami jabatan-jabatan itu tapi sesungguhnya kalau saya liat itu by design artinya memang di buat sebelumnya terjadi Pilkada. Kalau saya pribadi terus terang nda dijanjikan tapi dikasi memang posisi dari awal memang dia buktikan sebelumnya jadi sebelum pemilihan memang tokoh Toraja sudah dapat jabatan sebelumnya. Jadi pak Rusda ini satu tahun sebelum pertarungan sudah dia lihat dilapangan “oh ini yang harus saya ambil” khususnya orang Toraja dia rangkul memang simpul-simpul, dia lepas satu tokoh dia ambil lagi tokoh yang lain, dia lihat simpulnya di Selatan di Utara siapasiapa simpulnya orang Toraja, jadi pada saat hari H, pasti orang akan lari ke dia karena sudah dari dulu di dekati.” (wawancara 17 Mei 2014).
Dari hasil wawancara sebelumnya, peneliti mengkaji bahwa kekuatan birokrasi yang dimili oleh kandidat dalam Pemilukada sangat berpengaruh
dalam
merekrut
suara.
Hal
tersebut
sesuai
yang
dikemukakan oleh Drs. Saipul Amin, pada periode pertama ada salah satu pejabat di nonjobkan karena tidak memilih kandidat sebelumnya. Hal
tersebut dilakukan agar memberikan teguran kepada pejabat-pejabat birokrasi untuk tetap memilih pada periode berikutnya agar tidak di nonjobkan karena sejak lama Rusda Mahmud telah mengatur strategi jauh sebelum berlangsungnya Pemilukada untuk memenangkan Pemilukada yang berlangsung pada tahun 2012. Suatu pandangan dikemukakan oleh Greetz and McAllister bahwa teori perkembangan atau modernisation berpendapat bahwa ras divisi etnis akan menghilang saat masyarakat dan pembagian kerja menjadi lebih kompleks45. Hasil wawancara Buhari, S.Kel yang menyatakan bahwa memang Rusda Mahmud telah melakukan pergerakan dengan menggunakan jabatannya sebagai bupati untuk merekrut tokoh-tokoh dari berbagai etnik, tokoh keagamaan dan memberikan jabatan penting dalam pemerintahan untuk dijadikan sebagai kekuatan dalam berkampanye serta merekrut suara dari birokrasi untuk tetap memilihnya. Hal tersebut menggambarkan bahwa ketika masyarakat telah diberikan suatu jabatan dan telah diberikan
suatu
pekerjaan
maka
mereka
tidak
lagi
memandang
berdasarkan etnik tetapi lebih melihat keuntungan dan kepentingannya. Henry Richardson, dalam karyanya Democratic Autonomy (2002), mengatakan bahwa pada saat masih lemahnya instrumen demokrasi, birokrasi dapat terancam oleh prosedur demokrasi yang salah kaprah.
45
Ibid, hal. 21
Birokrasi sebagai organisasi publik yang strategis, rawan diseret dan dimanipulasi sebagai kekuatan politik dengan tujuan pragmatis, tapi bersamaan dengan itu, birokrasi dapat menjadi kekuatan anti-demokrasi. Karena itu, Larry Diamond sebagai teoretisi tersohor tentang konsolidasi demokrasi, mengingatkan bahwa birokrasi berpotensi menggagalkan demokrasi di negara-negara yang baru mengadopsi sistem demokrasi. c. Brand Image Pasangan incumbent dalam Pemilukada memiliki keuntungan yang berbeda dari pasangan kandidat yang lainnya.sebab memiliki kesempatan pada periode sebelumnya untuk membangun pencitraan terhadap konstituen
menjadikan
kandidat
incumbent
tidak
lagi
perlu
memperkenalkan dirinya kembali. Namun, yang menjadi pertanyaan awal, apakah kandidat tersebut terkenal dengan pemerintahan sebelumnya yang baik ataukah buruk. Sehingga, hal tersebut akan berpengaruh pada hasil Pemilukada, karena masyarakat yang awam dengan masalah politik akan lebih mudah mengenal kandidat berdasarkan kinerja selama periode sebelumnya. Keuntungan yang lain yang dimiliki pasangan incumbent yakni mereka memiliki kekuatan birokrasi. Selain itu kandidat incumbent juga telah memiliki konstituen pada periode sebelumnya. Hal ini menjadikannya hanya perlu mempertahankan dan menambah jumlah suara yang ia miliki.
Faktor lain yang menguntungkan bagi seorang kandidat incumbent yakni, pada periode jabatan sebelumnya ia memperhatikan bagaimana karakter masyarakat yang telah ia pimpin selama empat tahun. Hal tersebut
menjadikannya
pendekatan
yang
akan
mudah ia
mempetak-petakkan
lakukan
terhadap
bagaimana
masyarakat
untuk
menggalang suara. Menurut Saiful Mujani, seorang pemilih akan cenderung memilih parpol atau kandidat yang berkuasa di pemerintahan dalam pemilu apabila merasa keadaan ekonomi rumah tangga pemilih tersebut atau ekonomi nasional pada saat itu lebih baik dibandingkan dari tahun sebelumnya, sebaliknya pemilih akan menghukumnya dengan tidak memilih jika keadaan ekonomi rumah tangga dan nasional tidak lebih baik atau menjadi lebih buruk. Pertimbangan ini tidak hanya terbatas pada kehidupan ekonomi, melainkan juga kehidupan politik, sosial, hukum dan keamanan. Menurutnya dalam mengevaluasi kinerja pemerintah, media massa terutama yang massif seperti televisi memiliki peranan yang sangat menentukan. Pada pemenangan bupati dan calon bupati pasangan incumbent Rusda Mahmud – Bobby Alimuddin dalam Pemilukada Kolaka Utara tahun 2012 dipengaruhi oleh kinerja selama periode sebelumnya. Sebagai daerah pemekaran, infrastruktur pembangunan Kolaka utara pada periode jabatan sebelumnya sangat meningkat pesat dan dapat dinikmati oleh masyarakat. Rusda Mahmud sebagai bupati pada periode sebelumnya
telah meninggalkan kesan yang sangat baik bagi masyarakat dan hal tersebut yang memberikan nilai yang positif bagi masyarakat untuk memilih kembali kandidat tersebut. Salah satu informan yang berasal dari etnik Bugis yakni Drs. Saipul Amin menyatakan bahwa: “Pembangunan fisiknya pak Rusda luar biasa baik, pembangunan fisik yang berhubungan dengan infrastruktur termasuk juga infrastruktur masjid yang berhubungan dengan agama, jalannya dan air juga sudah termasuk air bersih kebutuhan dari masyarakat. sumbangan-sumbangan yang berhubungan dengan masjid sudah tersebar kemana-mana malah orang minta atau tidak minta khususnya masjid yang ada di jalan pasti dia bantu dengan tempat wudhu, kamar kecil dan setiap masjid yang ada di pinggir jalan besar akan dibantu dengan dana. Sedangkan itu kandidat yang lain belum sempat kasihan memberikan seperti itu kepada masyarakat.” (wawancara 17 Mei 2014).
Dari informan di atas, Peneliti beranggapan bahwa masyarakat sangat percaya kepada kepemimpinan Rusda yang telah memberikan bukti secara nyata. Pembangunan yang berkembang pesat semenjak dirinya menjabat posisi Bupati. Kemajuan dalam segala bidang yang dilakukan oleh Rusda, sangat dirasakan oleh masyarakat. Jadi, ketika Rusda mencalonkan diri kembali sebagai kandidat incumbent, banyak masyarakat yang ingin memilihnya.
Secara alamiah, posisi seorang incumbent sebenarnya lebih menguntungkan ketimbang lawan lainnya dalam persaingan pilkada. Ibarat seorang pelari lintas alam (cross country), seorang incumbent sudah lebih berpengalaman mengenali lintasan yang akan menjadi tempat perlombaan. Modal pertama dan yang paling utama bagi para incumbent
adalah popularitasnya yang sudah terbangun sejak mereka menduduki jabatan publik tersebut.
Posisinya sebagai pejabat publik membuat dirinya lebih populer di masyarakat. Karena itu kunjungan langsung ke bawah yang dulu kerap dilakukannya membuatnya dikenal publik. Hubungan yang sudah terjalin dengan berbagai perangkat pemda di berbagai tingkatan termasuk staf kantor kelurahan/desa juga memudahkan para incumbent mendapat dukungan jaringan sosial. Bagi figur incumbent yang berada di wilayah perkotaan, tempat media massa sudah berkembang dengan baik, juga berpotensi
menguntungkan
melalui
liputan
pers
selama
mereka
menduduki jabatan publik.
Bagi para incumbent, sebenarnya mesin politik melalui partai-partai politik tidak menjadi perangkat utama pemenangan pemilu. Karena selain melalui jaringan partai politik, kandidat incumbent masih memiliki sederet perangkat lain yang bisa diberdayakan untuk mengampanyekan dirinya. Justru jika terlalu dekat dengan salah satu partai politik atau lekat dengan identitas partai tertentu, akan cenderung merugikan citra mereka. Karena sebelumnya mereka sudah dikenal sebagai pejabat publik yang melayani semua lapisan masyarakat, bukan hanya satu golongan masyarakat tertentu saja, bagi seorang figur incumbent, partai politik bukan menjadi kekuatan utama untuk mengangkat popularitasnya.
Hal senada telah dikemukakan oleh salah satu informan yang berasal dari enik Toraja yakni Buhari, S.Kel yang menyatakan bahwa Rusda Mahmud ketika periode sebelumnya telah memberikan bukti pembangunan daerah yang nyata dapat dirasakan masyarakat dengan pembangunan jalan yang merata sedangkan kandidat yang lain belum ada bukti kinerjanya. “proyek pembangunan itu memang berjalan, kalaupun umpamanya bilang proyek itu dikuasai keluarganya tapi berjalanji sesuai dengan semestinya kalau proyeknya 100 m itu dia mudah lakukan karena keluarganya yang pegang. pertimbangan membangun ada kita lihat ada nampak, yang lain belum terbukti jadi itu strateginya pak Rusda.” (wawancara 17 Mei 2014).
Dari hasil wawancara sebelumnya, penulis mengkaji bahwa sebagai pasangan incumbent, Rusda Mahmud – Bobby Alimuddin pada periode sebelumnya telah memberikan peluang terhadap kandidat karena telah menjabat pada periode sebelumnya, sehingga masyarakat dapat menilai pasangan kandidat dari kinerjanya dan hasilnya dapat dirasakan oleh masyarkat Kolaka Utara. Kecamatan
Lasusua
sebagai
daerah
kabupaten
telah
berkembang, jalanan dari pelabuhan ke pusat pemerintahan yang biasanya ditempuh sekitar 45 menit dan melewati gunung yang berkelokkelok dan sekarang dapat ditempuh hanya sekitar 15 menit dengan melalui jalan lurus dipinggir pantai dari hasil penimbunan untuk membuat jalan baru.
Pembangunan yang meningkat pesat tersebut dapat dijadikan alasan bagi masyarakat untuk tetap memilih pasangan incumbent karena program pada periode sebelumnya masih sementara berjalan, namun hal tersebut bisa saja dijadikan taktik oleh kandidat agar masyarakat tetap memilih. Jika bupati dan wakil bupati yang baru akan membuat program baru untuk daerah dan ketika pembangunannya tidak sebaik pada periode sebelumnya maka akan merugikan bagi masyarakat karena masyarakat belum merasakan kinerja dari kandidat yang lain. Daripada mengambil resiko, masyarakat akan lebih memilih kandidat yang pernah menjabat. Fenomena tersebut berdasarkan amat peneliti merupakan taktik yang dilakukan kandidat incumbent dalam menarik simpatik masyarakat. Sebab perubahan pembangunan yang terjadi secara pesat baru berjalan di tahun terakhir pemerintahan, dan peristiwa tersebut terjadi bersamaan dengan semakin dekatnya pemilihan kepala daerah periode selanjutnya. Hal tersebut tentunya dapat dijadikan kandidat sebagai ajang menarik simpatik masyarakat dengan mengimplementasikan kebijakan. Fenomena tersebut sesuai dengan konsep free raiding (pembonceng kepentingan)
peristiwa
tersebut
merupakan
strategi
khusus
yang
digunakan incumbent dengan membonceng kebijakan untuk membangun pencitraan terhadap konstituen. Hal ini sebagai keuntung pribadi bagi para kandidat incumbent dalam menarik suara masyarakat, untuk memilihnya kembali memimpin suatu daerah.
d. Perjanjian politik antar kandidat Usaha elite partai untuk membangun kesepahaman politik itulah yang kemudian populer disebut kontrak politik. Budaya kontrak politik menjadi tren sejak pemilu langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden, caleg, serta calon dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Jika ditengok ke belakang, budaya kontrak politik dimulai sejak Pemilu 2004. Kontrak politik juga mewarnai dinamika politik lokal seiring proses pilkada mulai provinsi, juga pilkada kabupaten dan kota. Bukan hanya saat pilpres dan pilkada, kontrak politik juga dilakukan calon anggota legislatif (caleg) pada pemilu legislatif lalu. Sebagian caleg melakukan kontrak politik dengan para calon pemilihnya. Misalnya, ada caleg yang berani meneken kontrak politik dengan janji memberikan seluruh gaji yang akan diperoleh pada rakyat jika
terpilih
sebagai
legislator. Juga
ada
kontrak
bercorak money
politics dengan menjanjikan imbalan uang dalam jumlah tertentu sesuai dengan perolehan suara. Secara umum kontrak politik dapat didefinisikan sebagai perjanjian yang melibatkan para elite partai koalisi, capres dan cawapres dengan partai pengusung, caleg dengan pemilih, dan rakyat dengan pemimpinnya. Sayangnya dalam kontrak politik yang dilakukan elite, posisi rakyat sering hanya sebagai pemandu sorak (cheer leaders) dan sasaran mobilisasi. Dalam posisi ini rakyat tetap mengalami marginalisasi baik
secara sosial maupun ekonomi. Bahkan secara politik rakyat mengalami tuna kuasa (powerlessness). Di era reformasi ini semua orang berpeluang menjadi pelaku kontrak politik. Termasuk kalangan elite agama (kiai) dan tokoh ormas keagamaan dan tokoh etnik yang pada masa sebelumnya hanya berjuang di ranah kultural. Apalagi saat ini banyak elite etnik yang menjadi pejabat publik di lembaga eksekutif dan legislatif. Kondisi ini tentu sangat memungkinkan mereka menjadi pemain dalam budaya kontrak politik. Sebagian elite agama dan ormas keagamaan bahkan telah sedemikian jauh bermain dalam ranah politik praktis. Realitas inilah yang kemudian menyebabkan munculnya suarasuara sumbang pada hampir setiap ada kontrak politik. Dalam pandangan sebagian orang, kontrak politik sering dianggap permainan di tingkat elite. Itu berarti hanya kelompok elite yang diuntungkan dari budaya kontrak politik. Pada proses Pemilukada, akan banyak terjadi kecurangan atau bahkan permainan uang yang dilakukan oleh para kandidat calon bupati dan calon wakil bupati untuk memenangkan Pemilukada. Kandidat akan melakukan berbagai cara untuk menang, bukan hanya menyerang masyarakat saja bahkan sampai menjanjikan materi kepada kandidat yang lainnya. Hal tersebut terjadi pula pada Pemilukada Kolaka Utara tahun 2012, dimana kandidat Rusda Mahmud – Bobby Alimuddin memberikan jaminan kepada kandidat yang lain untuk mundur dalam Pemilukada dengan memberikan uang tunai sebagai bahan untuk memenangkan
Pemilukada tanpa ada persaingan. Hal tersebut sesuai dengan informasi yang didapatkan dari salah satu informan yang tidak ingin disebutkan namanya, menyatakan bahwa: “Dia bilang mundurmi saja nanti katanya saya kasi posisi, malah dia mau kasi kita 1,5 miliar supaya pergi, supaya nda maju itu hari. Sebenarnya waktu malam terakhir kalau menarik berkas ada yang dikasi uang 5 miliar untuk mundur, menelpon semua timnya untuk sebar uang untuk kasi mundur pesaingnya yang lain. Ada banyak penghianat ternyata yang sudah di bayar mau pengaruhi kita supaya mundur.” (wawancara 17 Mei 2014).
Dari hasil wawancara sebelumnya, penulis mengkaji bahwa pasangan Rusda Mahmud – Bobby Alimuddin memberikan penwaran atau perjanjian politik kepada calon kandidat yang lain agar mundur dalam Pemilukada. Hal tersebut terjadi pada Pemilukada tahun 2012 dimana Rusda Mahmud – Bobby Alimuddin memberikan penawaran pada kandidat lain dengan perjanjian politik sesuai dengan yang dikatakan oleh informan yang tidak disebutkan namanya bahwa akan diberikan posisi dalam pemerintahan dan uang tunai. Dari hasil wawancara, penulis melihat bahwa ada kandidat yang tidak menerima penawaran tersebut. Pada Pemilukada tahun 2012 juga diikuti oleh tiga pasangan kandidat berarti dua kandidat yang lain tidak menerima perjanjian tersebut. Ada salah satu kandidat yang sangat berpegang teguh pada prinsipnya bahwa harga dirinya sangat penting, sehingga untuk menerima perjanjian politik tidak akan berlaku pada dirinya karena ketika kandidat tersebut terlanjur menerima penawaran
tersebut maka kandidat tersebut akan dikucilkan dimasyarakat. Hal tersebut akan berimbas sampai ke keluarganya dan akan merusak nama baik keluarga. Namun, masyarakat Kolaka Utara pada umumnya sudah tidak berfikir hal itu dan tidak menganggap hal tersebut penting. Ketika seseorang mempunyai jabatan, harta yang berlimpah maka pada saat itulah mereka dihargai dan tidak memandang dari mana asal kekayaan atau jabatan tersebut. Mayoritas mutlak terjadi ketika jumlah anggota tersebut lebih banyak dan kekuatan kelompok tersebut juga lebih besar. Kabupaten Kolaka Utara merupakan daerah yang mayoritas penduduknya berasal dari etnik Bugis. Pada proses pemilihan kepala daerah di kabupaten Kolaka Utara pada tahun 2012 dimenangkan oleh pasangan incumbent Rusda Mahmud – Bobby Alimuddin, dimana kedua kandidat berasal dari etnik Bugis. Suatu pandangan yang dikemukakan oleh Ronald Cohen yang menyatakan bahwa pendekatan instrumentalis memandang terciptanya identitas adalah sebagai produk manipulasi simbol-simbol kebudayaan dan kekerabatan oleh para pelaku politik untuk mendapatkan keuntungan politik. Pendekatan ini memandang etnisitas sebagai hasil dari strategi politik, biasanya untuk mencapai tujuan yang lain, seperti kekuasaan politik, akses ke sumber daya dan meningkatkan status serta kekayaan46.
46
Ishiyama & Marijke Breuning, Op.Sit. hal. 363
Dalam proses pemilihan kepala daerah di Kolaka Utara, strategi politik yang digunakan oleh pasangan Rusda Mahmud – Bobby Alimuddin dengan melakukan berbagai cara yakni politik uang, mempunyai kekuatan birokrasi dan memiliki kelebihan karena merupakan pasangan incumbent serta melakukan perjanjian politik dengan kandidat yang lain untuk merekrut
suara
mempertahankan sebelumnya.
masyarakat. kekuasaan
Hal
yang
tersebut telah
dilakukan
dibentuk
pada
untuk periode
BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan 6.1.1. Perspektif Primordial Kandidat Dalam Memenangkan Pemilihan Kepala Daerah Kolaka Utara Pemilihan Umum di daerah kita juga sesungguhnya adalah politik keluarga, politik primordial. Kandidat pada umumnya mengukur besar tidaknya keluarga, besar tidaknya dukungan dari tingkat kampung, dari segi ras dan dari segi agama. Demikian pun pada pemilih. Pemilih akan melihat kedekatan hubungan keluarga, kesamaan daerah/kampung, kesamaan agama dan suku. Penulis menyimpulkan bahwa pendekatan primordial sangat mempengaruhi kandidat dalam memperoleh suara pemilih pada Pilkada Kolaka Utara 2012. Hal ini juga berpengaruh dalam merekrut suara masyarakat untuk memilih kandidat yang memiliki kesamaan identitas dengan aktor. Dengan memiliki kesamaan identitas, ketika dalam berkomunikasi akan lebih mudah dan akan saling menguntungkan antara dua bela pihak. Selain itu, juga kedekatan secara emosional ini akan menguntungkan dalam jangka waktu yang panjang untuk kedua belah pihak. Baik masyarakat, maupun kandidat jika terpilih. Namun, hal ini juga membawa pengaruh yang buruk untuk dunia demokrasi Negara Indonesia.
6.1.2. Faktor-faktor Perspektif Primordial Kandidat Dalam Memenangkan Pemilihan Kepala Daerah Kolaka Utara a. Money Politics (Politik Uang) Politik uang atau money politik merupakan hal yang paling sering dilakukan oleh aktor dalam merekrut suara masyarakat. Hal tersebut terbukti pada Pemilukada yang diselenggarakan di kabupaten Kolaka Utara
dimana
kandidat
Rusda
Mahmud
–
Bobby
Alimuddin
menggunakan cara politik uang untuk merekrut suara masyarakat, bahkan kandidat tersebut memberikan dalam bentuk uang dan hampir semua masyarakat di kabupaten Kolaka Utara merasakannya. b. Kekuatan Birokrasi Kekuatan birokrasi yang dimiliki oleh kandidat dalam Pemilukada sangat berpengaruh dalam merekrut suara. Rusda Mahmud telah melakukan pergerakan dengan menggunakan jabatannya sebagai bupati untuk merekrut tokoh-tokoh dari berbagai etnik, tokoh keagamaan dan memberikan jabatan penting dalam pemerintahan untuk dijadikan sebagai kekuatan dalam berkampanye serta merekrut suara
dari
birokrasi
untuk
tetap
memilihnya.
Hal
tersebut
menggambarkan bahwa ketika masyarakat telah diberikan suatu jabatan dan telah diberikan suatu pekerjaan maka mereka tidak lagi memandang berdasarkan etnik tetapi lebih melihat keuntungan dan kepentingannya.
c. Brand Image Pasangan Rusda Mahmud – Bobby Alimuddin yang telah menjabat pada periode sebelumnya telah memberikan peluang terhadap kandidat untuk dapat menang. Karena masyarakat sangat percaya kepada kepemimpinan Rusda yang telah memberikan bukti secara nyata. Pembangunan yang berkembang pesat semenjak dirinya menjabat posisi Bupati. Kemajuan dalam segala bidang yang dilakukan oleh Rusda, sangat dirasakan oleh masyarakat. Jadi, ketika Rusda mencalonkan diri kembali sebagai kandidat incumbent, banyak masyarakat yang ingin memilihnya.
d. Perjanjian Politik antar Kandidat Pasangan Rusda Mahmud – Bobby Alimuddin memberikan penawaran atau perjanjian politik kepada calon kandidat yang lain agar mundur dalam Pemilukada. Hal tersebut terjadi pada Pemilukada tahun 2012 dimana Rusda Mahmud – Bobby Alimuddin memberikan penawaran pada kandidat lain dengan perjanjian politik akan diberikan posisi dalam pemerintahan dan uang tunai.
6.2 Saran Berdasarkan kesimpulan dari hasil temuan penulis di lapangan, penulis menyarankan kepada pihak-pihak yang bersangkutan agar: 1. Diharapkan agar kedepannya masyarakat kabupaten Kolaka utara dapat menjadi pemilih cerdas, dan menghilangkan budaya pemilih yang transaksional. 2. Agar birokrasi di kabupaten Kolaka Utara sebagai panutan bagi masyarakat dapat bersikap senetral mungkin dalam memilih kandidat untuk menjadi seorang pemimpin yang dilaksankan pada pemilihan kepala daerah. 3. Disarankan pula kepada setiap kandidat yang berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah dapat menciptakan persaingan yang sehat antar kandidat dalam menjalankan pesta demokrasi.
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Anwar. 2013. Perspektif Ilmu Politik. Jakarta: Pustaka Indonesia Badan Arsip, Perpusda, Infokom dan PDE Kabupaten Kolaka Utara. 2007. Kolaka Utara Dalam Geliat Pembangunannya. Lasusua BAPPEDA Kabupaten Kolaka Utara. 2011. Profil Daerah Kabupaten Kolaka Utara ____Kabupaten Kolaka Utara. 2006. Profil Kolaka Utara Tahun 2006 ____Kabupaten Kolaka Utara dan BPS-Statistik Kabupaten Kolaka Utara. 2013. Kabupaten Kolaka Utara Dalam Angka Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Bungin, Burhan. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Fearon, James D. 2004. Ethnic Mobilization and Ethnic Violence, Departement of political science Stanford University Habib, Achmad. 2004. Konflik Antaretnik di Pedesaan. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara Hutchinson, John dan Anthony D. Smith. 1996. Ethnicity. New York: Oxford University Press Inis dan PBB. 2003. Konflik Komunal Indonesia saat ini. Jakarta: INIS Universiteit Leiden Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Depok : Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI. Isajiw, Wsovolod W. 1992. Defenition and Dimensions of Ethnicity : A Theoretical framework. Ottawa, Ontario, Canada: paper presented at “Joint Canada-United States Confrence on the measurement of ethnicity” Ishiyama, John T. dan Marijke Breuning. 2013. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu. Jakarta: PT Kharisma Putra Utama Liliweri, Alo. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. LKiS Rodee, Carlton Clymer dan Carl Quimby Christol dan Totton James Anderson dan Thomas H. Greene dan Padmo Wahjono dan Nazaruddin Syamsuddin. 2011. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Rothschild, Joseph. 1981. Ethnopolitics: A Conseptual Framework. New York: Columbia University Press Setiadi, Elly M dan Usman Kolip. 2013. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group Yusuf, Awaluddin Iwan. 2005. Media, Kematian dan Identitas Budaya Minoritas: Refresentasi Etnik Tionghoa dalam iklan dukacita. Yogyakarta: UII press. Sumber lan : Skripsi Relasi Etnik Menjelang Pemilukada Sulawesi Selatan 2013 di Kota Makassar oleh Nurasma Aripin Skripsi Politik Etnik Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Enrekang Tahun 2008 Sumber dari internet : http://dayaknews.blogspot.com/2008/12/teori-etnik.html file:///C:/Users/Adhie/Downloads/3988-8556-1-SM%20(1).pdf http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang http://tugasdk.wordpress.com/bab-3/ http://uda.ac.id/jurnal/files/Salomo%20Panjaitan.pdf http://politik.kompasiana.com/2013/09/05/seharusnya-identitas-etnikdalam-negara-demokratis-589092.html diakses pada tanggal 26 Februari 2014 http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/etnik-dan-etnisitas.html http://www.bijaks.net/suksesi/index/113 pilkada_kabupaten_kolaka_utara_2012 Sugiprawaty. 2009. PDF Tesis Tentang Etnisitas, Primordialisme Dan Jejaring Politik Di Sulawesi Selatan. Semarang: Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Diponogoro