ETIKA BISNIS ISLAM TENTANG MANAJEMEN LABA
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh: HANNI KHAIRANI NIM 1111046100114
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M. / 1436 H.
iv
ABSTRAK
Hanni Khairani, NIM. 1111046100114. ETIKA BISNIS ISLAM TENTANG MANAJEMEN LABA. Skripsi, Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam), Konsentrasi Perbankan Syariah. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1436H/2015M. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana praktik manajemen laba ditinjau dari sudut pandang etika bisnis Islam dengan tujuan untuk memaparkan pandangan etika Islam mengenai manajemen laba. Jenis penelitian pada skripsi ini ialah penelitian kepustakaan (Library research) dengan teknik pengumpulan data studi dokumentasi literatur terkait manajemen laba dan etika bisnis Islam. Sedangkan teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan metode dekriptif kualitatif dan analisis isi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada bentuk manajemen laba yang dibolehkan menurut syariat. Dan praktik manajemen laba belum sesuai dengan ajaran agama Islam maupun prinsip-prinsip dasar Etika Bisnis Islam karena masih mengandung unsur penipuan, kecurangan dan gharar. Serta tidak mencerminkan perilaku-perilaku pebisnis Islami yaitu Shiddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah. Kata Kunci : Etika Bisnis Islam, Manajemen Laba
Pembimbing : Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA Daftar Pustaka : Tahun 1993 s.d Tahun 2013
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis khususnya dan seluruh umat manusia pada umumnya. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan manusia dari jalan kegelapan ke jalan terang benderang. Penulisan skripsi ini berjudul “ Etika Bisnis Islam tentang Manajemen Laba”, ditujukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata 1 (S-1) dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kebahagiaan yang tak ternilai bagi penulis, sehingga dapat mempersembahkan skripsi ini untuk orang-orang yang penulis sayangi dan semua pihak yang terkait yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Tanpa penulis lupakan bahwa keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah atas berkat bimbingan, dukungan, dan saran-saran dari berbagai pihak. Tanpa partisipasi mereka, upaya penulis dalam menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terutama dalam menyelesaikan skripsi ini tentu akan terasa lebih sulit terwujud. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
vi
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH, selaku ketua program studi Muamalat dan Bapak H. Abdurrauf, Lc, MA, selaku sekretaris program studi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu selama perkuliahan sampai terselesaikannya skripsi ini. 3. Bapak Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A selaku dosen pembimbing yang tiada hentinya membimbing, meluangkan waktu dan memberi saran di dalam penulisan skripsi ini. 4. Bapak Dr. Muhammad Zen, M.A dan Ibu Nurul Handayani, S.Pd., M.Pd, selaku dosen penguji sidang munaqasyah yang telah memberikan banyak koreksi, saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu, pelajaran dan pengalamannya selama perkuliahan. Kepada Bapak Drs. Noryamin Aini, M.A, selaku dosen penguji proposal yang telah memberikan banyak kontribusi pemikiran di dalam penulisan skripsi ini. 6. Ayah Ibu tercinta Hanri Wirata dan Agatsih Purwiyani yang tidak hentihentinya memberikan dukungan moril dan materil. Terima kasih untuk kesabaran, nasehat dan curahan kasih sayang yang selalu diberikan kepada penulis. Doa yang dipanjatkan, menjadikan motivasi tersendiri yang vii
memberikan kekuatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini meskipun begitu banyak halangan dan rintangan. Farid Mahendra yang menjadi adik sekaligus teman penulis saat dirumah. Andung yang selalu memberikan kekuatan dan doa. Reihan, sebagai sepupu sekaligus teman satu kostan yang selalu membantu penulis dalam berbagi pengalaman dan bertukar pikiran dari mulai proposal skripsi sampai dengan penyelesaian skripsi ini sehingga kita bisa lulus bersama-sama. Dan juga seluruh keluarga besar yang turut mendoakan. 7. Sahabat-sahabat kesayangan, untuk Yella Novela, Assy Shella, Meiga Gemala, Astri Wulandari, Novita Zuhrowiya dan Siti Haura Ibtisamah yang selalu bersama selama dari awal hingga akhir masa kuliah, terima kasih atas kesetiaannya, waktunya, tawanya, candanya, kehadirannya yang selalu mengisi hari-hari penulis selama 4 tahun belakangan ini. Semoga persahabatan kita terus berlanjut sampai tua nanti. 8. Brahmantyo Akhmedika Fauzie, yang selalu memberikan doa, support dan dukungan tiada henti dikala penulis jenuh dan tidak bersemangat dalam mengerjakan skripsi ini. Terimakasih atas kata-katanya yang selalu memotivasi. 9. Anak-anak Kostan ibu Jahit : Niswah, Landu, Mira, Afida, Aul, Fajrin, Eftrida, Nissa, yang sudah dianggap sebagai keluarga dan adik-adik sendiri, Terimakasih atas seluruh canda tawa dan keceriaannya sehingga dapat
viii
menjadi energi dan semangat baru bagi penulis saat berada di rumah keduanya di Ciputat. 10. Teman-teman KKN CERIA 2014 terimakasih untuk Chea, Vita, Wulan, Babeh, Aziz, Bonte, Salman, Haikal, Riduan, Fauzan, Mahe, Amal, Yuan dan Anif. 1 Bulan di desa Harkatjaya telah memberikan pengalaman dan cerita tersendiri yang membekas di hati penulis, banyak sekali momen-momen seru yang berkesan selama tinggal disana. Terimakasih pula untuk warga desa yang masih tetap menjaga silaturahmi dan selalu mendoakan kelancaran perkuliahan penulis. 11. Teman-teman seperjuangan Perbankan Syariah C angkatan 2011, terimakasih untuk segala kekompakan, kebersamaannya. Semoga jalinan ukhuwah tetap terjaga sekalipun kita telah berada pada aktivitas masing-masing.
Ciputat, 7 Juli 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………………….. i ABSTRAK ……………………………………………………………………..... ii KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. iii DAFTAR ISI …………………………………………………………………… vii BAB I
PENDAHULUAN …………………………………………………… A. B. C. D. E. F. G.
BAB II
Latar Belakang Masalah ………………………………………….. Pembatasan Masalah ……………………………………………... Perumusan Masalah …………………………………………….… Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………….………... Metode Penelitian ………………………………………………… Literatur Review ………………………………………………….. Sistematika Penulisan ……………………………………………..
1 1 8 9 9 10 15 18
KONSEP DASAR ETIKA BISNIS ISLAM ……………….……….. 20 A. B. C. D. E. F. G. H.
Etika …………………………………….................................... Etika Bisnis ………………………………………………….… Etika Bisnis Islam ………………………………………….….. Prinsip-Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam ………………..…….. Tujuan Bisnis Islam …………………………………….……... Pedoman Bisnis dalam Islam ………………………….………. Aktivitas Bisnis yang terlarang dalam Syariah ………….…….. Etika Bisnis Islam kaitannya dengan Manajemen Laba ……….
20 22 25 31 40 42 44 46
BAB III KONSEP DASAR MANAJEMEN LABA ……………….………… 47 A. Laporan Keuangan …………………………….…………………... 47 B. Agency Theory ………………………….………………………….. 47 C. Asimetri Informasi ………………………….……………………… 50 x
D. E. F. G. H.
Manajemen Laba ……………………………………………….….. Prinsip Akuntansi Berbasis Akrual …………………………….….. Motivasi Manajemen Laba ………………………………………… Bentuk-Bentuk Manajemen Laba …………………………………. Manajemen Laba, Apakah Legal dan Etis …………………………
50 52 53 57 58
BAB IV TINJAUAN ETIKA BISNIS ISLAM TERHADAP MANAJEMEN LABA ……………………………………………………………………………. 64 A. Bentuk Manajemen Laba menurut Syariah ………………………. 61 B. Manajemen Laba ditinjau dari Etika Bisnis Islam ……………….. 68 BAB V
PENUTUP ……………………………………………………………. 79 Kesimpulan ……………………………………………………………. 79 Saran …………………………………………………………………… 80
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 81 LAMPIRAN ……………………………………………………………………… 85
xi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Dewasa ini, konsep-konsep materialistik menjangkau lebih besar dunia
ekonomi dan bisnis dibandingkan dengan konsep nilai-nilai spiritual. Konsep-konsep materialistik pun lebih mendominasi kebanyakan orang, khususnya para pelaku bisnis. Tidak dapat dipungkiri bahwa kekayaan, kedudukan dan kekuasaan menjadi kriteria umum dalam penilaian berhasil atau tidaknya seseorang dalam berbisnis. Akan tetapi kebanyakan mereka melupakan nilai-nilai moral dan perilaku yang sehat dalam berbisnis. Materi adalah makanan bagi tubuh, sementara etika adalah nutrisi bagi jiwa. Karena itulah, setiap saat masalah bisnis seringkali bertambah, sedangkan keberkahan dalam berusaha menjadi berkurang. 1 Yang membedakan Islam dengan materialisme ialah bahwa Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dengan etika, sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan akhlak, politik dengan etika, perang dengan etika dan kerabat sedarah daging dengan kehidupan Islam. Islam berbeda dengan konsep kapitalisme yang memisahkan akhlak dengan ekonomi. Manusia muslim, individu maupun kelompok, dalam lapangan ekonomi atau bisnis, disatu sisi diberi kebebasan untuk mencari
1
Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin, Transaksi dan Etika Bisnis Islam, Penerjemah Saptono Budi Satryo dan Fauziah R (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005), h. 22.
1
2
keuntungan sebesar-besarnya. Namun, di sisi lain, ia terikat dengan iman dan etika sehingga ia tidak bebas mutlak dalam menginvestasikan modalnya atau membelanjakan hartanya, namun tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam.2 Di dalam melakukan bisnis, Islam telah memperlihatkan adanya suatu struktur yang berdiri sendiri dan terpisah dari struktur lainnya. Hal ini disebabkan bahwa dalam ilmu akhlak (moral), struktur etika dalam Islam lebih banyak menjelaskan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran baik pada niat hingga perilaku atau perangainya. Nilai moral tersebut tercakup dalam empat sifat yaitu shiddiq, amanah, tabligh dan fathonah. Keempat sifat ini diharapkan dapat menjaga keberlangsungan institusi ekonomi dan keuangan secara professional dan menjaga interaksi ekonomi, bisnis dan sosial berjalan sesuai dengan aturan permainan yang berlaku. Salah satu problematika yang serius dalam dunia bisnis ialah rendahnya nilai dan moral, sehingga dapat membahayakan setiap transaksi-transaksi bisnis yang dilakukan oleh pebisnis. Rendahnya nilai moral ini dapat mempengaruhi hilangnya sistem kepercayaan, serta menimbulkan ketidakjujuran dan persekongkolan yang tidak baik.3 Teori yang dapat menjelaskan mengenai hal ini adalah Agency Theory. Agency Theory adalah hubungan antara Principal dan Agent. Principal dalam dunia bisnis
2
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam. (Jakarta: Gema insani Press, 1997), h. 51. Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin, Transaksi dan Etika Bisnis Islam, Penerjemah Saptono Budi Satryo dan Fauziah R (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005), h. 15. 3
3
disini ialah para investor maupun calon investor. Sedangkan Agent ialah para manajer perusahaan atau orang yang mengelola perusahaan. Teori ini mengasumsikan bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Pihak principal termotivasi mengadakan kontrak untuk menyejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Sedangkan agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agent. Agent mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal ini lah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan
informasi
yang
dimiliki
oleh
principal
dan
agent.
Ketidakseimbangan informasi inilah yang disebut dengan asimetri informasi. Asimetri informasi adalah suatu kondisi dimana adanya gap antara pengetahuan informasi yang dimiliki satu pihak dengan pihak lainnya. Dalam kondisi ini, dapat memunculkan kesempatan bagi pihak yang satu untuk melakukan manipulasi atau ketimpangan informasi atau ketidaktahuan informasi yang dimiliki oleh pihak yang lainnya. Dengan demikian terdapat adanya konflik kepentingan serta asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan dirinya sendiri. Dalam dunia bisnis, asimetri informasi ini dapat dialami oleh principal dan agent kaitannya dengan laporan keuangan dan besaran laba.
4
Setiap perusahaan tak terkecuali entitas bisnis syariah perlu untuk menampilkan sisi baik keuangan perusahaan, hal ini diperlukan sebagai bentuk tolak ukur hasil kinerja perusahaan dimata umum terutama stakeholder maupun investor. Hal ini terkait dengan kejamnya pasar kepada perusahaan yang tidak mampu memenuhi target atau meleset dari perkiraan pasar. Sehingga tekanan ini dapat mengakibatkan munculnya motif-motif tindakan manajerial terhadap tampilan laba yang dapat menurunkan kualitas laporan keuangan, yang mana tindakan ini disebut dengan manajemen laba. Manajemen laba adalah salah satu bentuk praktik masalah etis yang terjadi di perusahaan. Manajemen laba adalah upaya untuk mengubah, menyembunyikan dan merekayasa angka-angka dalam laporan keuangan dengan mempermainkan metode dan prosedur akuntansi yang digunakan perusahaan. Manajemen laba adalah satu bentuk dari bentuk kebijakan manajemen untuk memaksimumkan kepentingannya sesuai dengan asumsi teori akuntansi positif. Namun intervensi yang dapat dilaksanakan oleh manajemen ini terkadang dapat membawa praktik yang seharusnya bersifat baik, menjadi tidak baik. Hasil penelitian Beattie et al. (1994) menunjukkan bahwa investor cenderung lebih mementingkan informasi laba tanpa memperhatikan bagaimana proses yang digunakan untuk mencapai tingkat laba tersebut. Investor juga cenderung menghindari risiko (risk averse). Kondisi ini yang memotivasi manajer untuk melakukan praktik manajemen laba dengan cara menutupi kinerja perusahaan yang
5
sebenarnya, dan menampilkan kinerja yang sesuai dengan apa yang ingin manajer tampilkan. Contoh kasus intervensi manajemen laba yang memunculkan skandal akuntansi ialah pada kasus Enron Energy tahun 2000, kasus peningkatan pendapatan Xerox tahun 1997-2000 serta PT Kimia Farma, Global Crossing, Tyco , Green Tree Financial Corporation, Xerox, Worldcom.4 Di Indonesia, kasus serupa pun terjadi pada kasus mark up laba Indofarma tahun 2001 dan kasus pembukuan ganda Lippo Bank tahun 2002, kasus PT Citra Marga Nusapala Persada, Bank Duta, PT Perusahaan Gas Negara tahun 2006, PT Bank Lippo tahun 2002 , PT Ades Alfindo tahun 200 yang melakukan praktik manajemen laba melalui manipulasi berbagai prosedur akuntansi di bagian persediaan, produksi, penjualan, keuangan dan metode akuntansinya 5. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizky Syahfandi dan Siti Mutmainah juga menunjukkan bahwa 6 dari 9 bank umum syariah di Indonesia melakukan praktik manajemen laba dengan teknik income smoothing yang terjadi para tahun 2009 sampai dengan 2011. Hasil Penelitian Gandi Sukmajati (2012) juga menunjukkan adanya beberapa perusahaan public dalam Jakarta Islamic Index yang melakukan teknik manajemen laba dengan cara perataan laba, perusahaan tersebut diantaranya adalah Barito Pasific Tbk, Indika Energy Tbk, Telkom Indonesia Tbk, Truba Alam Manunggal Tbk, dan Wijaya Karya Tbk. Kemudian faktor yang berpengaruh 4
Kompas, 15 Juli 2002. Dedhy Sulistiawan, dkk, Creative Accounting Mengungkap Manajemen Laba dan Skandal Akuntansi. (Jakarta: Salemba Empat, 2011), h. 53. 5
6
signifikan ialah leverage, dimana para perusahaan perusahaan tersebut cenderung memanipulasi besaran hutangnya untuk menghindari default. Dapat dikatakan bahwa telah cukup banyak kasus manajemen laba baik yang telah diketahui oleh publik, maupun belum diketahui publik. Watts dan Zimmerman (1985) menyatakan bahwa indikasi praktik manajemen laba ialah dilakukan karena motivasi bonus, motivasi utang, motivasi pajak, motivasi penjualan saham, motivasi pergantian direksi, serta motivasi politis. Motivasimotivasi ini lah yang dapat mendorong suatu manajer atau otoritas di perusahaan untuk melakukan manajemen laba. Bertepatan dengan akan dibukanya pintu gerbang Masyarakat Ekonomi Asean pada tahun 2015, atas motivasi penjualan saham, diperkirakan akan terjadi banyak praktik manajemen laba dimana perusahaan akan berlomba-lomba menampilkan sisi terbaik perusahaannya demi menarik investor asing yang akan menginvestasikan dananya ke Indonesia. Dari beberapa contoh yang disebutkan diatas bahwa tidak sedikit pula perusahan atau entitas yang melakukan atau menerapkan praktik manajemen laba di dalam pelaporan tampilan keuangannya, tentunya dengan berbagai macam motif yang mendasarinya. Pada kenyataannya sampai saat ini terdapat pandangan yang berbeda-beda terhadap praktik manajemen laba. Pada satu sisi, manajemen laba dipandang sebagai suatu tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan karena dengan adanya menejemen laba maka informasi yang diberikan tidak mencerminkan keadaan
7
perusahaan dan mengaburkan nilai perusahaan sesungguhnya. Sehingga dengan adanya tindakan tersebut dapat menyebabkan stakeholder keliru dalam mengambil keputusan. Sedangkan pada sisi yang lain, manajemen laba dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan merupakan tindakan rasional untuk memanfaatkan fleksibilitas dalam ketentuan untuk pelaporan keuangan asalkan masih sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berlaku Umum. Di Indonesia pun terdapat Prinsip Akuntansi Berlaku Umum yang menggunakan dasar akrual sebagai metode pencatatan laporan keuangan. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 14/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah menyebutkan bahwa untuk kemaslahatan dalam pencatatan (laporan keuangan) sebaiknya digunakan system akrual basis, meskipun juga disebutkan bahwa dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi (Cash Basis). Berdasarkan PSAK No. 101 tentang Akuntansi Bank Syariah, diambil asumsi dasar konsep akuntansi bank syariah sama dengan asumsi dasar konsep akuntansi dasar konsep akuntansi keuangan secara umum yaitu konsep kelangsungan usaha (going concern) dan dasar akrual. Namun secara syariah, walaupun muamalat dilakukan tidak secara tunai, namun pencatatannya haruslah benar. Seperti disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 282:
8
Artinya: “Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua’malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.”
Dengan demikian perspektif etika terhadap suatu aktivitas bisnis sangatlah penting, khususnya pada bisnis-bisnis yang bergerak di bidang syariah, tentu tuntutan akan praktik secara Islami mengikuti visi dan misi dari entitas itu sendiri. Karena etika bisnis dapat digunakan sebagai cara untuk menyelaraskan kepentingan strategis suatu bisnis dengan tuntutan moralitas. Bagaimana etika bisnis Islam memandang praktik manajemen laba. Apakah bersifat sesuatu yang baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, atau diperbolehkan atau tidaknya perilaku manusia tersebut dalam kerangka etika bisnis Islam. Sehingga penelitian ini akan berusaha melihat aspek moralitas atau aspek normatif etika bisnis Islam tentang menejemen laba. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam bentuk penelitian dengan judul “ETIKA BISNIS ISLAM TENTANG MANAJEMEN LABA” B.
Pembatasan Masalah
9
Penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti pada aspek yang dianalisis agar tidak keluar dari pembahasan. Maka penelitian dibatasi pada Sumber yang digunakan adalah kajian kepustakaan dengan data yang bersumber pada Al-Quran, Al-Hadist, serta serta literatur-literatur terkait. Penelitian ini bersifat kajian normatif, karena hanya melihat fenomena manajemen laba secara keseluruhan dan ditarik kesimpulan berdasarkan konsep nilainilai etika bisnis Islam. Metode Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi, dimana penulis mengkaji materi atau literatur tertentu dari pokok bahasan masalah yang telah diteliti. Pembatasan masalah perihal objek yang menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini adalah Motivasi manajemen laba, Bentuk – bentuk manajemen laba, dan Praktik Manajemen Laba. C.
Perumusan Masalah Untuk dapat melihat lebih mendalam mengenai praktik manajemen laba agar
lebih terfokus pada tema yang dimaksud, akan dikumpulkan sumber-sumber kepustakaan yang nantinya akan diteliti sesuai dengan batasan kemampuan peneliti. Serta masalah yang dapat diidentifikasi penulis adalah sebagai berikut: 1.
Adakah bentuk manajemen laba yang diperbolehkan menurut Syariah?
2.
Bagaimana manajemen laba ditinjau dari etika bisnis Islam?
D.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
10
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab isu-isu tekait dengan bagaimana etika bisnis Islam memandang permasalahan manajemen laba. Tujuan dalam penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui bentuk manajemen laba yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan oleh syariah.
2.
Untuk mengetahui manajemen laba ditinjau dari etika bisnis Islam.
Manfaat yang dapat diberikan dengan adanya penelitian ini yaitu : 1. Manfaat teoritis adalah dapat memperluas dan menambah khazanah pengetahuan mengenai permasalahan terkait penelitian, serta dapat menjadi referensi untuk keperluan studi dan penelitian mengenai hal-hal yang terkait dengan penelitian. 2. Manfaat praktis adalah dapat menjadi rambu-rambu sekaligus pengingat bagi para praktisi agar dapat mengatur manajemen selaras dengan prinsip-prinsip islami.
E.
Metode Penelitian Metode penelitian ini ialah bentuk penelitian kualitatif deskriptif yang berarti
bahwa penelitian hanya menggunakan data literatur sebagai alat mempertajam dan memperkuat hasil analisis dan bukan merupakan data primer penelitian. Berikut ini adalah langkah-langkah penelitian yang dilakukan:
11
1.
Metode Pengumpulan Data Metode Pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah dengan cara library research , yaitu melakukan penelitian dengan cara mencari bahan materi baik teori maupun praktis melalui literatur berupa bahan-bahan pustaka (buku, majalah, jurnal, artikel, dokumen, dan sebagainya) dan dokumen-dokumen yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang diteliti sebagai data primer maupun sekunder, dalam penelitian ini, yang menjadi data primer adalah AlQuran, sedangkan data sekunder berasal dari bahan-bahan pustaka dan dokumen-dokumen terkait permasalahan diatas. Ini merupakan suatu penelitian yang
memanfaatkan
sumber
perpustakaan
untuk
memperoleh
data
penelitiannya.6 Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian dengan studi kepustakaan dengan mengandalkan teori-teori dan konsep-konsep yang ada untuk diinterpretasikan berdasarkan tulisan-tulisan yang mengarah kepada pembahasan. Sumber-sumber tersebut di dapat dari karya yang ditulis oleh intelektual dan ahli yang berkompeten tentang etika bisnis Islam dan manajemen laba, diantara sumber-sumber yang digunakan peneliti ialah: a. Al- Quran b. Al- Hadist
6
Mustika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan. (Jakarta: Yayasan Obor Nasional, 2004), h. 2-3
12
c. Husain Syahatah, dan Siddiq Muh. Al-Amin. Transaksi dan Etika Bisnis Islam. (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005) d. Faisal Badroen et al., Etika Bisnis dalam Islam. (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005) e. Muhammad Djakfar. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. (Malang: UIN Malang Press, 2007) f. Abdul Aziz. Etika Bisnis Perspektif Islam. (Bandung: Alfabeta, 2013) g. Veithzal Rivai, dkk. Islamic Bussiness and Economic Ethics. (Jakarta: Bumi Aksara, 2012) h. Dedhy Sulistyawan et al., Creative Accounting. (Jakarta: Salemba Empat, 2011) i. Sri Sulistyanto. Manajemen Laba, Teori dan Model Empiris. (Jakarta: Grasindo, 2008) j. Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006) k. Buchari Alma, Dasar-Dasar Etika Bisnis Islami. (Bandung: Alfabeta, 2003) 2.
Data yang Diperlukan Data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini bersifat kualitatif tekstual dengan menggunakan pijakan terhadap proporsi-proporsi ilmiah yang dikemukakan oleh para pakar etika bisnis Islam dan pakar akuntansi yang erat kaitannya dengan pembahasan.
13
3.
Sumber Data Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menggunakan sumber data berupa teori-teori yang berasal dari literatur dan karya ilmiah.
4.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi, mengidentifikasi wacana dari buku-buku, makalah atau artikel, majalah, jurnal, web atau internet, ataupun informasi lainnya yang berhubungan dengan judul penulisan untuk mencari hal-hal atau variabel yang dapat berupa catatan, transkrip, buku, dan sebagainya yang memiliki keterkaitan dengan kajian tentang konsepsi etika bisnis islam kaitannya dengan manajemen laba.
5.
Metode Pengolahan Data / Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, setelah data terkumpul maka data tersebut dianalisis untuk mendapatkan konklusi, bentuk-bentuk dalam teknik analisis data ialah sebagai berikut: a. Metode Deskriptif, yaitu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut. Pengolahan data yang dilakukan dengan cara memaparkan data-data yang ada secara apa adanya bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan saat ini dan melihat kaitan antara permasalahan penelitian dengan teori dalam Fikih Muamalat dan Etika Bisnis islam.
14
a) Analisis isi (content analysis), yaitu proses pengolahan data dengan cara menganalisis materi/isi tertentu dari data-data yang telah dipaparkan secara deskriptif sesuai dengan batasan masalah yang terkait. Menurut Weber, Content Analysis adalah metodologi yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang shahih dari sebuah dokumen. Menurut Hostli, Content Analysis adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha untuk menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis.7 Dengan cara analisis isi dapat dibandingkan antara satu buku dengan buku yang lain dalam bidang yang sama, baik berdasarkan perbedaan waktu penulisannya maupun mengenai kemampuan buku-buku tersebut dalam mencapai sasaran sebagai bahan yang disajikan kepada masyarakat atau sekelompok masyarakat tertentu. Syarat tentang Cintent Analysis yaitu objektif, sistematis, dan general. 6.
Metode Pembahasan Untuk mempermudah dalam penulisan ini, maka sangat diperlukan untuk menggunakan pendekatan-pendekatan yaitu:
7
163
Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosda, 2010), h.
15
a) Metode induktif adalah berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa kusus dan kongkrit, kemudian digeneralisasikan menjadi kesimpulan yang bersifat umum. b) Metode deduktif adalah metode yang berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum itu dan hendak menilai sesuatu kejadian yang sifatnya khusus. c) Metode komparasi adalah meneliti faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan situsi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkan satu faktor dengan yang lain, dan penyelidikan bersifat komparatif. F. Literatur Review 1. Sirman Dahwal, “Etika Bisnis Menurut Hukum Islam (Suatu Kajian Normatif) Bahwa
secara
normative,
etika
bisnis
menurut
hukum
Islam
memperlihatkan adanya struktur yang berdiri sendiri dan terpisah dari struktur lainnya. Hal ini disebabkan karena struktur etika dalam agama Islam lebih banyak menjelaskan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran baik pada tataran niat atau ide hingga perilaku dan perangai. Nilai moral tersebut tercakup dalam empat sifat, yaitu shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Serta etika bisnis menurut hukum Islam harus dibangun dan dilandasi oleh prinsip-prinsip kesatuan
(unity),
keadilan/keseimbangan
(equilibrium),
kehendak
bebas/ikhtiar (free will), pertanggungjawaban (responsibility) dan kebenaran (truth), kebajikan (wisdom) dan kejujuran (fair). Kemudian harus memberikan
16
visi bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari keuntungan yang bersifat sesaat melainkan mencari keuntungan yang mengandung hakikat baik yang berakibat atau berdampak baik pula bagi semua umat manusia. 2. Azharsyah Ibrahim, “Income Smoothing dan Implikasinya terhadap Laporan Keuangan Perusahaan dalam Etika Ekonomi Islam”. Jurnal Media Syariah Vol. XII No. 24, Juli 2010. Hasil kajian menunjukkan bahwa dari sudut pandang etika secara umum ada dua pendapat yang bertolak belakang yaitu yang menganggap wajar; dan yang menganggap tidak etis. Akan tetapi pendapat kedua lebih kuat. Praktik yang dilakukan pun memberi pengaruh yang signifikan terhadap laporan keuangan perusahaan karena mempengaruhi jumlah laba yang dihasilkan oleh suatu perusahaan, yang efeknya dapat mengelabui stakeholder terhadap kondisi keuangan perusahaan tersebut. 3. Syafrudin Arif, “Etika Islam dalam Manajemen Keuangan”, Jurnal HI Volume 9, Nomor 2, Desember 2011. Bahwa Islam mengakui motif laba, namun juga mengikat motif itu dengan syarat-syarat moral, social, dan temperance (pembatasan diri). Sehingga kalau ajaran Islam itu dilaksanakan, pemakaian motif laba seorang individu/perorangan, tidak sampai menjadikan individualism yang ekstrem, yaitu manusia yang hanya ingat akan kepentingan diri tanpa memperdulikan masyarakat. Sistem Ekonomi Islam jika diikuti dan dilaksanakan, merupakan
17
imbangan yang harmonis antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. 4. Tatang Ary Gumati. “Earning Management: Suatu Telaah Pustaka”. Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No.2, Nopember 2000. Penelitian ini meneliti bahwa earning management atau manajemen laba merupakan suatu fenomena baru yang telah menambah wacana perkembangan teori akuntansi. Istilah manajemen laba muncul sebagai konsekuensi langsung dari upaya manager untuk melakukan manajemen informasi akuntansi, khususnya laba demi kepentingan pribadi atau perusahaan. Manajemen laba tidak selamanya merupakan suatu upaya negatif yang merugikan karena tidak selamanya manajemen laba berorientasi pada manipulasi laba. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa praktek manajemen laba ditemui dalam banyak konteks. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa atau variabel-variabel ekonomi tertentu dapat dijadikan sarana untuk memanage laba. Dan hasil secara teoritis menunjukkan bahwa pada teori akuntansi positif menjelaskan bahwa manajer memiliki insentif atau dorongan untuk memaksimalkan kesejahteraannya.
5. Astri Faradila dan Ari Dewi Cahyati, “Analisis Manajemen Laba Pada Perbankan Syariah” Jurnal RAK Vol 4 No. 1, Februari 2013.
18
Penelitian ini mencari dan menganalisis adanya praktik manajemen laba pada bank syarah, menggunakan 11 BUS, dengan menggunakan Model Jones Modifikasi. Hasil menunjukkan bahwa nilai accrual discretioner pada sampel 11 Bank Umum Syariah masih berkisar di bawah angka 0 (nol), hal ini berarti bank syariah melakukan manajemen laba dengan cara menurunkan laba. Persamaan penelitian dengan penelitian sebelumnya ialah terletak pada tema penelitian, yaitu ada yang membahas mengenai etika bisnis Islam dan juga ada yang membahas mengenai manajemen laba. Perbedaan penelitian ini dengan penelitianpenelitian sebelumnya ialah pada penelitian ini mengkaji fenomena manajemen laba yang kerap terjadi pada entitas bisnis syariah ditinjau dari segi etika bisnis menurut Islam, karena sejauh ini telah banyak sekali penelitian yang mengkaji perihal manajemen laba dan faktor-faktor yang mempengaruhinya namun tidak dikaitkan secara langsung terhadap tataran atau nilai-nilai Islam. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengaitkan secara langsung bagaimana etika bisnis menejemen laba menurut Islam. G.
Sistematika Penulisan Metode Penulisan yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini adalah
metode penulisan yang mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi oleh Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2012. Selanjutnya untuk memudahkan dan lebih sistematisnya skripsi ini, penulis menyusunnya ke dalam lima (5) bab, yaitu:
19
Bab I
: Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi permasalahan pembatasan dan perumusan masalah, metodolgi penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II
: Pada bab ini akan dibahas dan dijelaskan mengenai Konsep Dasar Etika Bisnis Islam, yang mencakup didalamnya mengenai Etika, Etika Bisnis, Etika Bisnis Islam, Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam, Tujuan Bisnis Islam, Pedoman Bisnis dalam Islam, setika Bisnis Islam kaitannya dengan Manajemen Laba.
Bab III : Pada bab ini akan dibahas mengenai Konsep Manajemen Laba yang mencakup didalamnya Laporan Keuangan, Agency Theory, Asimetri Informasi, Manajemen Laba, Prinsip Akuntansi Berbasis Akrual, Motivasi Manajemen Laba, Bentuk-Bentuk Manajemen Laba, serta Manajemen Laba, Apakah Legal dan Etis. Bab IV : Pada Bab ini membahas tentang bagaimana Tinjauan Etika Bisnis Islam terhadap Manajemen Laba. Bab V : Pada Bab ini berisi Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.
BAB II KONSEP DASAR ETIKA BISNIS ISLAM
A.
Etika Etika adalah tata nilai yang diletakkan sebagai regulator kehidupan guna
mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh tingkah laku manusia.1 Ethics yang menjadi padanan dari etika, secara etimologis berarti ‘the discipline dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation’, ;a set of moral principle or values’, ‘a theory or system moral values.’2 Etika dapat diartikan sebagai sikap untuk memahami opsi-opsi yang harus diambil diantara sekian banyak pilihan tindakan yang ada. Etika tidaklah ditafsiri sebagai sesuatu yang merampas kebebasan manusia dalam berbuat. Malah etika sangat erat kaitannya dengan kebebasan namun kebebasan yang bertanggung jawab. Hal ini dapat dikatakan bahwa Etika adalah suatu kesadaran pada diri seseorang atas dasar nilai dan rasa tanggung jawab atas sesuatu yang dianggapnya baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Sehingga keseluruhan perbuatan yang dilakukan berdasarkan pada satu pemahaman kata yaitu benar dan baik. Etika mempunyai kendali intern dalam hati, berbeda dengan aturan hukum yang mempunyai unsur paksaan ekstern.
1
Faisal Badroen, dkk, Etika Bisnis dalam Islam. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 1. Joseph H, dkk, Webster’s New Collegiate Dictionary, (USA: Houghton Mifflin Hartcourt, 2012), h. 13-15 2
20
21
Sedangkan dalam Islam, istilah yang paling dekat berhubungan dengan istilah etika dalam al- quran adalah khuluq. Al-quran juga menggunakan sejumlah istilah lain untuk menggambarkan konsep tentang kebaikan: khair (kebaikan), birr (kebenaran), qist (persamaan), „adl (kesetaraan dan keadilan), haqq (kebenaran dan kebaikan), ma’ruf (mengetahui dan menyetujui) dan takwa (ketakwaan). Tindakan yang terpuji disebut sebagai shalihat dan tindakan yang tercela disebut sebagai sayyi’at.3 Etika dalam Islam, dipahami sebagai akhlak atau adab yang bertujuan untuk mendidik moralitas manusia. Etika merupakan jiwa ekonomi Islam yang membangkitkan kehidupan dalam peraturan dan syariat. Oleh sebab itu, etika atau akhlak adalah hakikat-hakikat yang menempati ruang luas dan mendalam pada akal, hati nurani, dan perasaan seorang muslim. Terdapat dua macam etika, yaitu:4 1. Etika Deskriptif Adalah etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, secara apa yang dikejar setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya.
3
Rafik Issa Beekun, dalam Veithzal Rivai, dkk, Islamic Bussiness and Economic Ethics. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), h. 3. 4 Johan Arifin, Etika Bisnis Islami, (Semarang: Walisongo Press, 2009), h. 13.
22
2.
Etika Normatif Etika Normatif adalah etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi etika normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.
B.
Etika Bisnis Definisi etika bisnis ialah seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar, salah
dalam dunia bisnis berdasarkan pada prinsip moralitas. Atau dapat disebut juga prinsip dan norma dimana para pelaku binis harus commit padanya dalam bertransaksi, berperilaku, dan berelasi guna mencapai tujuan-tujuan bisnisnya dengan selamat.5 Penerapan Etika pada Organisasi Perusahaan Apakah bisa pengertian moral seperti tanggung jawab perbuatan yang salah dan kewajiban, diterapkan terhadap kelompok seperti perusahaan? Ada dua pandangan yang muncul atas masalah ini, pandangan pertama, berpendapat bahwa karena aturan yang mengikat, organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa perusahaan bertindak seperti individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas apa
5
Faisal Badroen, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 15
23
yang mereka lakukan, kita dapat mengatakan bahwa tindakan mereka bermoral atau tidak bermoral dalam pengertian sama yang dilakukan manusia. Pandangan kedua ialah pandangan filsuf yang berpendirian, bahwa tidaklah masuk akal jika organisasi bisnis secara moral bertanggung jawab, karena ia gagal mengikuti standar moral, atau mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral. Organisasi bisnis seperti mesin yang anggotanya harus secara membabi buta menaati peraturan formal yang tidak ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya, lebih tidak masuk akal untuk menganggap organisasi bertanggung jawab secara moral karena ia gagal mengikuti standar moral daripada mengkritik organisasi seperti mesin yang gagal bertindak secara moral. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan itu disebabkan oleh pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan itu, jika perusahaan bertindak secara moral, maka hal ini disebabkan oleh pilihan individu dalam perusahaan yang bertindak secara bermoral.6 Mengapa perusahaan harus menetapkan kode etik dalam keseharian roda perjalanannya? Pertama, perusahaan yang punya standar etika dapat menciptakan suasana psikologis lingkungan kerja yang sehat, dan perusahaan yang tidak demikian akan mengalami sebaliknya. Kedua, ialah trust (kepercayaan) dalam sebuah perusahaan adalah hal yang sangat fundamental guna mencapai efisiensi transaksi dalam bisnis. Dan upaya 6
Veithzal Rivai, dkk, Islamic Bussiness and Economics Ethics, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), h. 5.
24
mempertahankan
perilaku
etis
yang
konsisten
sangat
diperlukan
guna
mempertahankan trust konsumen tersebut. Ketiga, melakukan tindakan yang benar atau salah di tempat kerja akan berefek pada produk-produk dan pelayanan yang dihasilkan serta menjamin hubungan baik dengan para stakeholder. Keempat, etika bisnis semata-mata persoalan menerapkan dasar apa yang baik atau buruk, salah atau benar, wajar atau tidak wajar, layak atau tidak layak, dan sebagainya sehingga perusahaan dapat menghasilkan produk atau jasa yang baik dan berharga. Kelima, etika bisnis adalah persoalan menghadapi posisi dilematis yang kerap dihadapi dalam aktivitas rutin bisnis yang tidak jelas dasar hukumnya, apakah itu benar atau salah.7 Namun apa yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan keputusan yang tak pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau moral. Karena dari itu dapat diasumsikan bahwa suatu organisasi merasa terikat dan dapat menciptakan beberapa struktur yang berwenang untuk mendorong organisasi ke arah etika dan moral bisnis. Lalu selanjutnya timbul pertanyaan, dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah laku etis pada pihak-pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan? 7
Faisal Badroen. 2005. Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 17-18.
25
Alasan mengejar keuntungan, atau lebih tepat, keuntungan adalah hal pokok bagi kelangsungan bisnis ialah hal utama bagi setiap perusahaan untuk berperilaku tidak etis. Pada hakikatnya keuntungan adalah hal yang baik. Karena pertama, keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya. Kedua, keuntungan adalah salah satu indikator yang dilihat oleh para investor untuk menanamkan
dananya
pada
perusahaan.
Ketiga,
keuntungan
tidak
hanya
memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat menghidupi karyawannya kearah tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan atau ekspansi perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru.8 C.
Etika Bisnis Islam Secara sederhana mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari tentang
mana yang baik atau buruk, benar atau salah, serta halal atau haram dalam dunia bisnis berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas Islam. Etika bisnis dalam kaitannya dengan ajaran Islam ialah sebuah pemikiran atau refleksi tentang moralitas yang membatasi kerangka acuannya kepada konsepsi sebuah organisasi dalam ekonomi dan bisnis yang didasarkan atas ajaran Islam. Etika bisnis Islam mengatur tentang sesuatu yang baik atau buruk, wajar atau tidak wajar,
8
Achyar Eldine, “Etika Bisnis Islam”. Jurnal Khazanah, Vol. 3 No. 3, Oktober 2007.
26
atau diperbolehkan atau tidaknya perilaku manusia dalam aktivitas bisnis baik dalam lingkup individu maupun organisasi yang didasarkan atas ajaran Islam. Titik sentral etika Islam adalah menentukan kebebasan manusia untuk bertindak dan bertanggungjawab karena kemahakuasaan Tuhan. Hanya saja kebebasan manusia itu tidaklah mutlak, dalam arti, kebebasan yang terbatas. Dengan kebebasan tersebut manusia mampu memiih antara yang baik dan jahat, benar dan salah, halal dan haram.9 Bisnis memberikan banyak dampak dalam kehidupan karena merupakan pilar ekonomi. Karena itu, bisnis juga menjadi wilayah hukum yang diatur oleh Islam dengan turunnya wahyu mengenai muamalah maupun hadits dan sunnah dari Nabi Muhammad saw. Seperti Nabi saw pernah bersabda bahwa sembilan dari sepuluh pintu rezeki terdapat dalam aktivitas dagang alias bisnis. 10 Bagan 2.1 Akhlak Pebisnis Muslim
Jujur
Akhlak Pebisnis Muslim
Amanah
Toleran
9
Syed Nawaib Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Penerjemah M. Saiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) 10 Bambang Trim. Bussiness Wisdom of Muhammad SAW, (Bandung: Madania Prima, 2008), h. 12
27
Sumber : Faisal Badroen, Etika Bisnis dalam Islam, 2005.
Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelaku bisnis itu sendiri, seorang pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami. Akhlak yang baik dalam bisnis Islam, Pertama ialah Kejujuran, bahwa dalam Hadist “Tetapkanlah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga”. Kedua ialah Amanah, Islam menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalahnya dari unsur yang melampaui batas. Ketiga ialah Toleran, bahwa rasa toleransi dapat mempermudah pergaulan, mempermudah urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal. Rasulullah saw. Sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis berikut ini adalah uraiannya.11 1.
Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam tataran ini, beliau bersabda: “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (HR. Al- Quzwani).
2.
Kesadaran tentang signifikansi social kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya mengajar keuntungan sebanyak-banyaknya, namun juga memberikan manfaat dalam menolong orang lain.
3.
Tidak melakukan sumpah palsu.
11
Veithzal Rivai, dkk, Islamic Bussiness and Economics Ethics, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), h. 39-43
28
4.
Seorang pelaku bisnis harus bersikap ramah tamah dalam melakukan bisnis. Nabi Muhammad mengatakan, ”:Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis”(HR. Bukhari dan Tarmizi)
5.
Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut.
6.
Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar membeli kepadanya.
7.
Tidak melakukan ikhtikar atau menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu , dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh.
8.
Dalam melakukan pengukuran, takaran, ukuran, dan timbangan nya harus benar.
9.
Bisnis tidak boleh mengganggu kegiatan ibadah kepada Allah swt
10. Membayar upah sebelum keringat karyawan kering. 11. Tidak melakukan monopoli. 12. Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan social. 13. Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, narkotika, dan sebagainya. 14. Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. 15. Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya.
29
16. Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditur) belum mampu membayar. 17. Bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Seperti dalam Firman Allah swt dalam Surat Al-Baqarah ayat 278:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman”.
Berikut ini adalah persamaan dan perbedaan antara etika bisnis Islami dengan Etika Bisnis Konvensional :
Tabel 2.1 Persamaan dan Perbedaan Etika Bisnis Islami dengan Etika Bisnis Konvensional
Aspek
Etika Bisnis Islami
Etika Bisnis Konvensional
1. Azas
Tauhid (nilai-nilai
Sekularisme (nilai-nilai
transendental)
material)
2. Motivasi
Dunia dan akhirat
Dunia
3. Orientasi
Profit dan berkah
Profit
4. Etos Kerja
Bekerja adalah ibadah
Bekerja adalah kebutuhan pribadi
5. Sikap Mental
6. Keahlian dan
Menjadi yang terbaik
Menjadi yang terbaik
karena Allah
karena aktualisasi diri
Kewajiban sebagai
Kewajiban perusahaan
30
Pengetahuan
muslim
7. Keberhasilan
Usaha dan doa
Usaha
8. Pertanggung
Khalifah (wakil) Allah
Pemimpin perusahaan
Jawaban
di muka bumi
9. Modal
Halal
Halal dan haram
10. Suber Daya
Tidak terbatas,
Terbatas, keinginan
keinginan manusia
manusia tidak terbatas
dibatasi 11. Informasi
Ayat qauliyah (Al-
Ayat-ayat kauniyah
Quran dan Sunnah)
(peristiwa alam)
dan ayat kauniyah (peristiwa alam) 12. Manajemen
Ayat qauliyah (Al-
Ayat-ayat kauniyah
Strategi
Quran dan Sunnah)
(peristiwa alam)
dan ayat kauniyah (peristiwa alam) 13. Manajemen
Sesuai koridor syariah
Efektif dan Efisien
Terhindar dari
Maksimalisasi profit
Operasi 14. Manajemen Keuangan
Maghrib (Maysir, gharar, riba)
15. Manajemen Pemasaran
Menciptakan produk
Menciptakan produk
kebutuhan masyarakat
keinginan masyarakat (menimbulkan konsumerisme)
16. Manajemen
Kepribadian Islami
Kebudayaan perusahaan
Zakat, infaq,
CSR
SDM 17. Instrumen
31
pemberdayaan
shadaqah, waqf
masyarakat Sumber : Siti Najma, Bisnis Syariah dari Nol.
Tindakan dan keputusan dianggap sesuai dengan etika ialah apabila tergantung pada niatnya. Niat yang baik diikuti dengan tindakan yang baik dinilai sebagai ibadah. Islam membolehkan individu untuk bebas percaya dan bertindak sesuai dengan apa yang ia inginkan, selama tidak mengorbankan akuntabilitas dan keadilan. Keputusan yang etis mendasarkan rujukan kepada ayat yang tertulis (Al-Quran) dan ayat yang tersebar di alam semesta (Kauniyyah). Tidak seperti sistem etika yang lain, etika Islam mendorong manusia untuk membersihkan diri (tazkiyyah) melalui partisipasi aktif dalam hidup. Dengan melakukan segala tindakan dalam koridor etika.12 Persamaan antara etika bisnis Islam dengan Konvensional ialah pada etika bisnis konvensional hubungannya hanya kepada sesama individu, selama tidak ada yang mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan orang lain, maka hal itu dianggap sah-sah saja. Lain halnya dengan pada sistem etika bisnis Islam, yang hubungannya tidak hanya kepada sesama manusia, namun juga pada Allah. Segala perbuatannya ialah akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Sehingga dalam melakukan bisnis dan transaksi akan berdampak pada kehidupannya di dunia dan akhirat.
12
Rafik Issa Beekun. 1997. Islamic Thought.
Islamic Bussiness Ethics. Virginia: International Institute of
32
D.
Prinsip-Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam Aksioma Dasar Etika Bisnis Islam Berikut ialah rumusan aksioma atau ketentuan umum yang diharapkan menjadi rujukan bagi moral awareness para pebisnis muslim untuk menentukan prinsip-prinsip yang dianut dalam menjelankan bisnisnya. Aksioma-aksioma tersebut adalah sebagai berikut:13 a. Keesaan (Tauhid) Bahwa Konsep persatuan atau juga disebut Tauhid ialah dimensi vertikal Islam. Konsep ini dimaksudkan bahwa sumber utama etika Islam adalah kepercayaan total dan murni terhadap keesaan Tuhan.14 Yang mana berarti Allah SWT sebagai Tuhan Maha Esa yang menetapkan batas-batas tertentu atas perilaku manusia sebagai khalifah, untuk memberikan manfaat pada individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya. Bahwa konsep ini menekankan bahwa sumber utama etika Islam adalah kepercayaan total dan murni terhadap keesaan Tuhan. Aturan-aturan itu sendiri bersumber pada kerangka konseptual masyarakat dalam hubungannya vertikal dengan Allah Swt dan hubungan horizontal dengan kehidupan sesama manusia dan alam semesta secara keseluruhan untuk menuju tujuan akhir yang sama. Individu-individu memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban ekonomik setiap individu 13 14
Haider Naqvi, Etika …. Djakfar, Etika Bisnis… h. 12
33
disesuaikan dengan kapabilitas dan kapasitas yang dimiliki dan sinkronisasi pada setiap peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial. Dengan mengintegrasikan aspek religius dengan aspek-aspek lainnya, seperti ekonomi, akan menimbulkan perasaan dalam diri manusia bahwa ia akan selalu merasa direkam segala aktivitas kehidupannya, termasuk dalam aktivitas berekonomi sehingga dalam melakukan segala aktivitas bisnis tidak akan mudah menyimpang dari segala ketentuanNya. Perhatian terus menerus untuk emmenuhi kebutuhan etik dan dimotivasi oleh ketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa akan meningkatkan kesadaran individu mengenai insting altruistiknya, baik terhadap sesama
manusia
maupun alam
lingkungannya. Ini berarti konsep tauhid akan emmiliki pengaruh yang paling mendalam terhadap diri seorang muslim.15
b.
Keseimbangan Keseimbangan atau keadilan menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam dan hubungan dengan harmoni segala sesuatu di alam semesta. Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali kepada pihak manapun. Adil dalam Islam bahwa agar hak semua orang sama dimata Allah, serta agar hak tersebut dapat ditempatkan sebagaimana mestinya sesuai dengan aturan syariah. Karena apabila dengan
15
Rafik Issa Beekun, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 33
34
tidak mengakomodir hak salah satu pihak, maka hal tersebut dapat dikatakan kedzaliman. Karenanya orang yang adil akan lebih dekat kepada ketakwaan. Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah (5) : 8
Artinya : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekalikali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Berlaku adil akan dekat dengan takwa, karena itu dalam perniagaan (tijarah), Islam melarang untuk menipu, walau hanya „sekedar‟ membawa sesuatu pada kondisi yang menimbulkan keraguan sekalipun. Kondisi ini dapat terjadi seperti gangguan adanya mekanisme pasar atau karena adanya informasi penting mengenai transaksi yang tidak diketahui oleh salah satu pihak (assymetric information). Gangguan pada mekanisme pasar dapat berupa gangguan dalam penawaran dan gangguan dalam permintaan.16 Konsep equilibrium juga dapat dipahami bahwa keseimbangan hidup di dunia dan di akhirat harus diusung oleh seorang pebisnis muslim. Maka karenanya, konsep keseimbangan berarti menyerukan kepada pengusaha 16
Faisal Badroen, dkk, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 78
35
muslim untuk bisa merealisasikan tindakan-tindakan (dalam bisnis) yang dapat menempatkan dirinya dan orang lain dalam kesejahteraan duniawi dan keselamatan akhirat. Moral hazard
(perilaku mendzolimi) adalah suatu tindakan yang
tercipta akibat ketidakseimbangan moral yang dapat mengakibatkan mudharat (kesulitan) atau mufsadaat (kerusakan). Moral hazard dalam tindakan bisnis muslim ialah bertindak curang dalam bertransaksi, tidak menuliskan yang sebenarnya dalam pelaporan keuangan, serta memanfaatkan kekurangan informasi pada pihak lain guna kepentingan diri sendiri.
c.
Kehendak Bebas Kehendak bebas ialah suatu rasa yang tertanam dalam diri manusia untuk dapat bertindak secara tidak dibatasi dalam pengendalian kehidupannya sendiri. Institusi ekonomi seperti pasar dapat berperan efektif dalam kegiatan ekonomi. Hal ini dapat berlaku apabila persaingan bebas dapat berlaku secara efektif, dimana pasar tidak mengharapkan adanya intervensi dari pihak manapun, tak terkecuali negara dengan otoritas penentuan harga atau private sektor dengan kegatan monopolistik. Aktivitas ekonomi dalam konsep ini mengarahkan kepada kebaikan setiap kepentingan bagi seluruh komunitas, baik sektor pertanian, perindustrian, perdagangan,
maupun
lainnya.
Larangan
adanya
bentuk
monopoli,
kecurangan, dan praktik riba adalah jaminan terhadap terciptanya suatu
36
mekanisme pasar yang sehat dan persamaan peluang untuk berusaha tanpa adanya keistimewaan pada pihak tertentu. Dalam ekonomi Islam, kebebasan disini ialah tetap menggabungkan antara nilai-nilai moral dan spiritual. Karena apabila tidak ada filter moral, maka kegiatan ekonomi akan rawan kepada perilaku destruktif yang dapat merugikan masyarakat luas. Telah menjadi tradisi di masyarakat sekarang ini bahwa dalam kegiatan ekonominya cenderung mengedepankan materialisme, tanpa memperdulikan moralitas. Rasululla bersabda, “Pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah bersama-sama para nabi, orang shadiqin dan para syuhada” (HR Tarmidzi dan Hakim). Hadist tesebut mengemukakan bahwa para pedagang yang utama ialah yang berlaku jujur dan terpercaya baik dalam proses penjualan maupun produksinya, pedagang harus berlaku jujur agar kunci keberkahan akan selalu ada padanya, terlebih lagi bagi pedagang yang berlaku jujur serta dapat dipercaya, maka mereka ialah bersama dengan para nabi, shadiqin serta para syuhada, karena mereka ialah merupakan para pedagang yang amanah dan profesional. Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis Islam, kebebasan bagi individu dibuka lebar, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Tidak ada pula batasan pendapatan bagi seseorang untuk aktif bekerja dan berkarya dengan segala potensi yang dimilikinya.
37
d.
Tanggung Jawab (Responsibility) Dengan adanya kebebasan ekonomi, maka tanggung jawab Muslim begitu
diperlukan
agar
menghasilkan
tindakan-tindakan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Tanggung jawab ini dimulai dari kebebasan yang luas, kemudian kebebasan untuk memilih keyakinan dan berakhir dengan keputusan yang tegas yang perlu diambilnya. Tanggung jawab sangat berhubungan dengan kebebasan, karena tanggung jawab dapat menetapkan batasan atas semua hal yang dilakukannya.
Kebebasan dan Tanggung Jawab Kebebasan manusia yang ada adalah kebebasan yang bertanggung jawab yaitu kebebasan yang didasari oleh ‘ilm (ilmu) dan kesadaran penuh. Manusia bebas dalam bertindak, yaitu manusia bebas berbuat sesuatu dengan tujuan dan disengaja yang dipengaruhi faktor internal dan eksternal dirinya. Bisa jadi hal itu disebabkan oleh pengaruh ajaran, agama, bacaan, lingkungan dan lain sebagainya. Kebebasan dengan kewajiban moral, yaitu bahwa seseorang yang melakukan sesuatu kewajiban karena ia setuju, walau itu membutuhkan pengorbanan, karena didapati tindakan tersebut ternyata dapat membuat ia merasa bebas. Kebebasan bertanggung jawab, yaitu sesungguhnya
38
sikap moral yang mature atau dewasa adalah sikap yang bertanggung jawab, dan tidak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan.17 Dapat disimpulkan bahwa kebebasan itu mengandung anasir berikut:18 -
Kemampuan seseorang untuk menentukan suatu tindakan secara independen.
-
Kemampuan untuk bertanggung jawab secara sadar.
-
Sikap yang dewasa dengan penuh pertimbangan dan konsekuen.
-
Adanya semua kondisi di mana seseorang dapat mewujudkan tujuan hidupnya.
e. Kebajikan Kebajikan artinya melaksanakan perbuatan baik yang dapat memberikan kemanfaatan kepada orang lain, tanpa adanya kewajiban tertentu yang mengharuskan perbuatan tersebut atau dengan kata lain beribadah dan berbuat baik seakan melihat Allah, jika tidak mampu maka yakinlah Allah melihat. Aksioma ihsan dalam bisnis, yaitu : (1) kemurahan hati (leniency); (2) motif pelayanan (service motives); dan (3) kesadaran akan adanya Allah dan aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan yang menjadi prioritas. Guna menyempurnakan prinsip-prinsip etika bisnis Islam sebagaimana dikemukakan diatas, perlu dikemukakan pula pendapat Rafik Issa Beekun dalam sebuah karyanya Etika Bisnis Islam. Dalam bukunya ia mengemukakan sembilan pedoman etika umum bagi bisnis kaum muslim, yaitu jujur dan 17 18
Faisal Badroen. 2005. Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 11. Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), Ed. III, h. 13-15
39
berkata benar, menepati janji, mencintai Allah lebih dari mencintai perniagaan, berbisnis dengan muslim sebelum dengan non muslim, rendah hati dalam menjalani hidup, menjalankan musyawarah dalam semua masalah, tidak terlibat dalam kecurangan, tidak boleh menyuap, dan berbisnis secara adil.19 M. Quraish Shihab menetapkan terdapat empat prinsip dalam ekonomi, yaitu Tauhid, Keseimbangan, Kehendak Bebas, dan Tanggung Jawab. Selanjutnya dalam menetapkan etika bisnis ia merincinya yaitu: 20 a) Kejujuran b) Keramahtamahan c) Penawaran yang jujur d) Pelanggan yang tidak sanggup membayar diberi waktu e) Penjual hendaknya tidak memaksa pembeli dan tidak bersumpah dalam menjual f) Tegas dan adil dalam timbangan dan takaran g) Tidak dibenarkan monopoli h) Tidak dibenarkan adanya harga komoditi yang boleh dibatasi i) Kesukarelaan.
19
Muhammad Djakfar, Agama, Etika, dan Ekonomi: Wacana Menuju Pengembangan ekonomi Rabbaniyah, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 30-32. 20 Quraish Shihab, “Etika Bisnis dalam Wawasan Al- Qur‟an”, dalam Jurnal Ulum Al— Quran, No. 3 VII/1997, h. 5-9.
40
Lain halnya dengan Abd. Muin Salim; ia memberikan uraian tentang prinsipprinsip filosofi ekonomi Qur‟ani, yaitu: a) Tauhid, b) Isti’mar atau Istikhlaf, b) Kemaslahatan (Al-silah) dan keserasian (al-adalah), d) Keadilan (al- qist), e) Kehidupan sejahtera dan kesentosaan dunia akhirat. E.
Tujuan Bisnis Islam Setiap manusia memerlukan harta untuk mencukupi segala kebutuhan
hidupnya, dan salah satu upaya untuk memperolehnya adalah dengan cara bekerja. Islam mewajibkan Muslim untuk bekerja. Dan Allah melapangkan bumi dan seisinya dengan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mencari rezeki, antara lain seperti dalm firman Allah swt. QS Al-Mulk : 15
Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu , maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya”
Selanjutnya, firman-Nya dalam QS. Al-A‟raf : 10
Artinya: “Sesungguhya kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan”
41
Demikian pula firman Allah Swt dalam QS. Hud : 61
Artinya : “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” Di samping anjuran untuk mencari rezeki, Islam sangat menekankan atau mewajibkan aspek kehalalan, baik dari segi perolehan maupun pendayagunaannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bisnis Islam dapat diartikan sebagai berbagai macam bentuk aktivitas bisnis yang tidak dibatasi, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendanan hartanya. Dalam hal kendali syariah, bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai empat hal utama, yaitu sebagai berikut: 21 1) Target Hasil ; Profit Materi dan Benefit Nonmateri Terdapat paling tidak tiga tujuan atau orientasi bisnis, yaitu pertama nilai materi (qimah madiyah) yang berhubungan dengan nilai profit atau keuntungan. Kedua, ialah nilai-nilai Akhlak (qimah khuluqiyah) yaitu nilai-nilai akhlak mulia yang menjadi suatu kemestian yang muncul dalam kegiatan bisnis, sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang islami. Ketiga, ( qimah ruhiyah) berarti perbuatan tersebut dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau dalam melaksanakan kegiatan bisnis semata-mata kesadaran hubungannya dengan Allah. Inilah yang dimaksud bahwa setiap perbuatan muslim adalah
21
Veithzal Rivai, dkk, Islamic Bussiness and Economics Ethics, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012) h. 13.
42
ibadah. Amal perbuatannya bersifat materi, sedangkan kesabaran akan hubungannya dengan Allah ketika melakukan bisnis dinamakan ruhnya. 2) Pertumbuhan Jika profit materi dan non materi telah diraih, maka diupayakan pertumbuhan atau kenaikan akan terus menerus meningkat setiap tahunnya dari profit dan benefit tersebut. 3) Keberlangsungan Pencapaian target hasil dan pertumbuhan terus diupayakan keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup lama dan dalam menjaga keberlangsungan itu baik dalam koridor syariat Islam. 4) Keberkahan Faktor keberkahan atau upaya dalam menggapai ridho Allah, merupakan puncak kebahagiaan hidup Muslim. Para pengelola bisnis harus mematok orientasi keberkahan ini menjadi visi bisnisnya, agar senantiasa dalam kegiatan bisnis selalu berada dalam kendali syariat dan diraihnya keridhoan Allah. 22 Dalam ekonomi Islam yang berlandaskan ketuhanan, maka tujuan akhir pencapaiannya adalah ridho Allah SWT, dengan tetap memegang syariat Islam dalam segala aktivitasnya, begitu pula dengan aktivitas ekonomi yang tidak dapat pula dipisahkan dengan nilai-nilai keIslaman.
22
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 31.
43
F. Pedoman Bisnis dalam Islam Di dalam Islam, manusia berhak dan diperbolehkan untuk bekerja dan mencari rezeki sesuka hatinya, namun dibatasi pada kerangka yang boleh dan tidak boleh, seperti yang tidak diperbolehkan itu diantaranya adalah penipuan, kecurangan, sumpah palsu, dan perbuatan bathil lainnya. Dalam melakukan bisnis juga antara pihak yang bertransaksi harus mencapat kesepakatan suka sama suka, sehingga tidak ada pihak yang merasa terdzalimi. Semua jalan yang saling mendatangkan manfaat antara individu-individu dengan saling relamerelakan dan adil, adalah dibenarkan. Prinsip ini telah ditegaskan dalam QS. An-Nisa : 29-30
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
Ayat ini menjelaskan bahwa sangat dilarang sekali bagi orang yang beriman untuk memakan harta dengan jalan yang bathil. Maksudnya ialah dengan jalan curang yang memberikan kerugian di pihak lain, sedangkan
44
memberikan keuntungan di pihak kita. Karena sesungguhnya yang berbuat demikian melanggar hak dan menganiaya pihak lainnya, sehingga balasannya adalah neraka. Dapat diambil kesimpulan dalam ayat ini ialah perdagangan boleh dilangsungkan dengan dua hal, yaitu perdagangan harus dilakukan atas dasar saling rela antara kedua belah pihak. Tidak boleh bermanfaat untuk satu pihak dengan merugikan pihak yang lain; tidak boleh saling merugikan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Sebab, hal ini seolah menghisap darahnya dan membuka jalan kehancuran untuk dirinya sendiri, misalnya mencuri, menyuap, berjudi, menipu, mengaburkan, mengelabui, riba, atau pekerjaan lain yang diperoleh dengan jalan yang tidak dibenarkan. Pada masa Rasulullah, nilai-nilai moralitas sangat diperhatikan dalam kehidupan pasar. Bahkan sampai pada masa awal kerasulannya, beliau adalah seorang pelaku pasar yang aktif, dan kemudian menjadi seorang pengawas yang cermat sampai akhir hayatnya. Beliat telah memulai pengalaman dagangnya sejak usia 12 tahun.23
G.
Aktivitas Bisnis yang Terlarang dalam Syariah Dalam melakukan bisnis, pelaku usaha diharapkan tidak melakukan halhal yang dilarang dalam Syariah, diantaranya ialah:24
23
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Pedagang, Penerjemah: Dewi Nurjulianti, (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997), h.5. 24 Veitzal Rivai, Islamic and Bussiness Ethics, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012)
45
a. Melakukan transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim harus berkomitmen dalam berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang pengusaha muslim tidak boleh melakukan kegiatan bisnis dalam hal-hal yang diharamkan oleh syariah serta dituntut untuk selalu melakukan usaha yang mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak halal atau mengandung bahan tak halal, minuman keras, narkoba, pelacuran atau semua yang berhubungan dengan dunia gemerlap seperti night club diskotik, suguhan minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: AlA‟Raf : 32. QS: Al Maidah : 100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan. b. Memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba yang menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS. Al Baqarah : 275-279). c. Melakukan pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang perbuatan memalsukan dan menipu karena dapat menyebabkan kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan percekcokan. Allah berfirman dalam QS. Al-Isra : 35, yang berbunyi ”Dan sempurnakanlah takaran ketika kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar”. Nabi bersabda ”Apabila kamu menjual maka jangan menipu orang dengan kata-kata manis”. Kemudian contoh penawaran atau promosi yang tidak terpuji ialah yang tidak fair. Hal sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur‟an
46
surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian kamu dengan cara yang batil”. 1) Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif 2) Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan 3) Eksploitasi wanita. Islam sebagai agama yang menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak dapat dipisahkan dengan bagian yang lain. Demikian pula pada proses jual beli harus dikaitkan dengan ‟etika Islam‟ sebagai bagian utama. Jika penguasa ingin mendapatkan rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang tentu ingin dinaikkan derajatnya sestara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti syari‟ah Islam secara menyeluruh, termasuk ‟etika jual beli‟.
H.
Etika Bisnis Islam kaitannya dengan Manajemen Laba Pekerjaan jual beli atau berdagang adalah sebagian dari pekerjaan bisnis.
Kebanyakan masyarakat jika berdagang, selalu ingin mencari laba besar. Jika ini tujuan usahanya, maka seringkali mereka menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan tersebut. dan hal ini yang kemudian seringkali melatarbelakangi mereka untuk berbuat atau berperilaku negatif. Salah satunya dengan berbuat curang, penipuan, melakukan pengukuran atau timbangan tidak benar, utang yang selalu ditunda pembayarannya, bila dipercaya ia khianat. Perilaku demikian sangat ditentang dalam ajaran Islam.
47
Sedangkan manajemen laba ialah suatu tindakan yang banyak menuai kontroversi, dan dapat dikatakan sebagai praktik manipulasi yang dapat merugikan pihak lainnya bila diteliti. Jikalau seseorang memiliki kode etik dan prinsip-prinsip etika bisnis islam di dalam dirinya, maka sejatinya ia takkan berbuat praktik yang dapat menyesatkan pengguna laporan keuangan seperti manajemen laba.
BAB III KONSEP MANAJEMEN LABA
A.
Laporan Keuangan Laporan keuangan ialah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan
sebagai alat untuk mengkomunikasikan data keuangan atau aktivitas perusahaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Dapat dikatakan bahwa laporan keuangan adalah suatu alat informasi yang menghubungkan perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan, yang menunjukkan kondisi kesehatan keuangan perusahaan dan kinerja perusahaan. Tujuan khusus laporan keuangan adalah menyajikan secara wajar dan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum mengenai posisi keuangan dan hasil usaha.1
B.
Agency Theory Konsep teori keagenan menurut Anthony dan Govindarajatan (1995) dalam
Pudyastuti (2009) adalah hubungan antara principal dan agent yang dibuat berdasarkan angka akuntansi sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Agency Conflict atau konflik keagenan timbul pada berbagai hal seperti berikut: (Jensen & Meckling, 1976, Jensen, 1986, Alijoyo & Zaini, 2004).
1
Hery, Teori Akuntansi, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet. 1, h. 46
48
49
1. Manajemen memilih investasi yang paling sesuai dengan kemampuan dirinya dan bukan yang paling menguntungkan bagi perusahaan. Misalnya, investasi yang bisa meningkatkan nilai individu manajer walaupun biaya penugasannya tinggi, sehingga para manajer berada pada posisi untuk mengekstrak tingkat renumerasi yang lebih tinggi dari perusahaan (Moral Hazard). 2. Manajemen cenderung mempertahankan tingkat pendapatan perusahaan yang stabil, sedangkan pemegang saham lebih menyukai distribusi kas yang lebih tinggi melalui beberapa peluang investasi internal yang positif (internal positive investment oppurtunities). 3. Manajemen cenderung mengambil posisi aman untuk mereka sendiri dalam mengambil keputusan investasi yang sangat aman dan masih dalam jangkauan kemampuan manajer. Mereka akan menghindari keputusan investasi yang dianggap menambah risiko bagi perusahaannya walaupun hal itu bukan pilihan terbaik bagi perusahaan (Risk Adversion). 4. Manajemen cenderung hanya memperhatikan cash flow perusahaan sejalan dengan waktu penugasan mereka. Hal ini dapat menimbulkan bias dalam pengambilan keputusan yaitu berpihak pada proyek jangka pendek dengan pengembalian akuntansi yang tinggi (short term high accounting return project) dan tidak berpihak pada proyek jangka panjang dengan pengembalian positif yang jauh lebh besar (Time-Horizon). 5. Asumsi dasar lainnya yang membangun agency theory adalah agency problem yang timbul sebagai akibat adanya kesenjangan antara kepentingan pemegang
50
saham sebagai pemilik dan manajemen sebagai pengelola. Pemilik memiliki kepentingan agar dana yang diinvestasikannya mendapatkan return yang maksimal, sedangkan manajer bekepentingan terhadap perolehan insentif atas pengelolaan dana pemilik (Agency Problem).
Teori agensi mengasumsikan bahwa principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agent (Azlina, 2010 :3). Agent dalam hal ini adalah manajemen suatu perusahaan dimana mereka yang menjalankan aktivitas operasi perusahaan. Sedangkan principal adalah para pihak khususnya investor yang telah menanamkan dananya dalam perusahaan tersebut. Agent atau manajemen memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, perusahan secara keseluruhan dan prospek di masa yang akan datang. Sedangkan principal tidak mempunyai informasi yang cukup tentang kinerja agent. Sehingga dapat saja agent membuat praktik yang tidak diketahui oleh principal. Hubungan antara agen dan prinsipal didasarkan pada suatu kepercayaan (Luhgiatno, 2010: 18). Sehingga dalam praktiknya dapat terjadi konflik kepentingan ketika tidak semua keadaan diketahui oleh semua pihak. Dan sebagai akibatnya, ketika konsekuensi-konsekuensi tertentu tidak dipertimbangkan oleh pihak-pihak tersebut, hal ini dapat mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi (assimetric information) yang dimiliki oleh principal dan agent.
51
C.
Asimetri Informasi Asimetri informasi adalah ketidaksembangan informasi yang dimiliki satu pihak
dengan pihak lainnya. Asimetri informasi antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) dapat
membuka kesempatan bagi manajemen dalam penyajian
informasi yang tidak sebenarnya seperti menyembunyikan beberapa informasi yang tidak ingin disampaikan kepada pemilik terutama yang berkaitan dengan pengukuran kinerja manajemen. Dan pengukuran kinerja manajemen itu ditunjukkan oleh laporan keuangan dan salah satu indikator utamanya ialah laba. Sehingga dalam hal ini praktik yang dapat dilakukan berkenaan dengan asimetri informasi princpal dan agent dalam pengukuran laba ialah praktik manajemen laba.
D. Manajemen Laba Sampai saat ini, beberapa penulis mendefinisikan manajemen laba secara berbeda-beda. Ada yang menggunakan kalimat bersifat netral (tidak memihak), ada juga yang menggunakan kalimat bersifat skeptis (cenderung tidak menyetujui). Bahkan beberapa referensi menunjukkan istilah lain dengan konteks yang negatif, seperti magic accounting, cosmetic accounting, atau financial shenanigan.2 Scott (1997) mendefinisikan manajemen laba ialah bentuk upaya yang dilakukan manajer untuk mencapai keuntungan pribadi melalui rekayasa komponen akrual yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan yng dapat mengakibatkan 2
Dedhy Sulistiawan, dkk. Creative Accounting Mengungkap Manajemen Laba dan Skandal Akuntansi. (Jakarta: Salemba Empat, 2011), h.18
52
terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan yang dapat merugikan pihak lain, karena dengan adanya manajemen laba, laporan perusahaan tidak mencerminkan nilai fundamental dari perusahaan. Sulistyawan (2003) mendefinisikan manajemen laba yaitu aktivitas badan usaha untuk memanfaatkan teknik dan kebijakan akuntansi guna mendapatkan hasil yang diinginkan. Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba adalah campur tangan dalam proses penyusunan pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi. Healy & Wahlen (1999) mendefinisikan manajemen laba terjadi apabila manajer menggunakan penilaian dalam pelaporan keuangan dan dalam struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan guna menyesatkan pemegang saham mengenai prestasi ekonomi perusahaan atau mempengaruhi akibat-akibat perjanjian yang mempunyai kaitan dengan angka-angka yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Gumati (2001) menyatakan bahwa manajemen laba tidak harus selalu dikaitkan dengan upaya untuk manipulasi data atau informasi, tetapi lebih dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi (accounting method) untuk mengukur kuntungan yang bisa dilakukan karena memang diperkenankan menurut accounting regulations. Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu bahwa manajemen laba ialah suatu bentuk cara mempermainkan atau mengubah angka-angka dalam laporan keuangan dengan memanfaatkan teknik dan kebijakan akuntansi guna mendapatkan
53
hasil yang diinginkan, namun pada praktiknya hal ini dapat membawa kepada praktik yang menyesatkan pemegang saham. Menurut Gunny (2005) manajemen laba dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu fraudalent accounting, accrual earning management dan real earning management. Fraudalent accounting merupakan pilihan akuntansi yang melanggar General Accepted Accounting Principle (GAAP), sedangkan accrual earning management merupakan pilihan GAAP yang menutupi kinerja ekonomi yang sebenarnya dan real earning management terjadi ketika manajer melakukan tindakan yang menyimpang dari praktek yang sebenarnya untuk meningkatkan laba yang dilaporkan.
E. Prinsip Akuntansi Berbasis Akrual Pada dasarnya ada dua prinsip pencatatan yang umum digunakan yaitu accrual basis dan cash basis. Accrual basis merupakan dasar pencatatan akuntansi yang mewajibkan perusahaan untuk mengakui hak dan kewajiban tanpa memperhatikan kas akan diterima atau dikeluarkan. Basis akrual ini timbul karena akuntansi menggunakan periode waktu sebagai takaran pengukuran laba. Sedangkan cash basis hanya mengakui hak dan kewajiban apabila kas benarbenar diterima. Dengan demikian, laba yang diakui dalam satu periode baru akan diakui bila kas telah diterima.3
3
Sri Sulistyanto, Manajemen Laba: Teori dan Model Empiris, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 161
54
Diantara keduanya, prinsip berbasis akrual lah yang digunakan pada prinsip akuntansi berterima umum. Karena prinsip akuntansi berbasis kas tidak dapat mencerminkan kinerja perusahaan selama periode tertentu. Sedangkan prinsip akuntansi berbasis akrual dipandang lebih baik dalam mencerminkan kinerja perusahaan dalam satu periode. Namun kelemahan yng melekat pada akuntansi berbasis akrual ini yaitu adalah sifat account akrual yang rawan untuk direkayasa, tanpa harus melanggar prinsip akuntansi berterima umum.4 Dan letak manajemen laba ialah berada didalam koridor tatanan sistem metode akuntansi accrual basis dimana pos yang dituliskan dapat sekali di rekayasa, karena tidak perlu ada perpindahan kas namun transaksi telah dicatat didalam laporan keuangan.
F. Motivasi Manajemen Laba Passer dan Smith (2008) dalam Sulistiawan et al., 2011) mendefinisikan motivasi sebagai sebuah proses yang mempengaruhi arah, ketekunan, dan kekuatan perilaku individu atau organisasi dalam mencapai tujuan. Melalui pendekatan kognitif, perilaku pencapaian tujuan ini dibentuk oleh dua faktor, yaitu faktor ekspektasi dan faktor imbalan yang diformulasikan ke dalam model matematis sebagai berikut: Motivasi = ekspektasi x Imbalan
4
Ibid.,h. 211.
55
Dalam hal ini manajemen laba, maka suatu badan usaha akan semakin termotivasi untuk berperilaku kreatif dalam memanfaatkan teknik dan kebijakan akuntansi ketika badan usaha itu memiliki keyakinan (ekspektasi) akan menerima imbalan atas tindakan kreatifnya tersebut. Semakin tinggi imbalan yang akan didapatkan, semakin tinggi ekspektasi yang diterapkan sehingga motivasi untuk mencapai nilai tersebut pun semakin besar.5 Menurut studi yang dilakukan oleh Healy (1985) serta Watts dan Zimmerman (1986), Ada beberapa motivasi di balik perilaku manajemen laba yang dilakukan oleh manajer, yaitu:6 1. Motivasi Bonus Dalam bisnis, pemegang saham akan memberikan sejumlah insentif dan bonus sebagai feedback atau evaluasi atas kinerja manajer dalam menjalankan operasional perusahaan. Insentif ini diberikan dalam jumlah relatif tetap dan rutin. Sementara bonus yang relatif besar nilainya hanya diberikan ketika kinerja manajer berada di area pencapaian bonus yang diterapkan oleh pemegang saham. Kinerja manajemen salah satunya dapat diukur dari pencapaian laba usaha. Pengukuran kinerja berdasarkan laba dan skema bonus tersebut memotivasi para manajer untuk memberikan performa terbaiknya sehingga tidak menutup peluang mereka melakukan tindakan manajemen laba.
5
Dedhy Sulistiawan dkk. Creative Accounting Mengungkap Manajemen Laba dan Skandal Akuntansi. (Jakarta: Salemba Empat, 2011), h. 30. 6 Ibid, h. 31.
56
2. Motivasi Utang Selain melakukan kontrak bisnis dengan pemegang saham, manajer juga melakukan beberapa kontrak bisnis dengan pihak ketiga, atau kreditur. Agar kreditur mau menginvestasikan dananya di perusahaan, maka manajer harus menunjukkan performa yang baik dari perusahannya. Selain untuk mendapatkan pinjaman, kasus seperti itu berlaku untuk menjaga perjanjian utang. Jika suatu perusahaan mendapatkan dana dari kreditur, perusahaan berkewajiban menjaga rasio keuangannya agar berada pada batas bawah tertentu. Jika hal ini dilanggar, maka perjanjian utang dibatalkan. 3. Motivasi Pajak Tindakan manajemen laba tidak hanya terjadi pada perusahaan go public dan selalu untuk kepentingan harga saham, tetapi juga untuk kepentingan perpajakan. Kepentingan ini lebih didominasi oleh perusahaan yang belum go public. Perusahaan yang belum go public cenderung melaporkan dan menginginkan untuk menyajikan laporan laba fiskal yang lebih rendah dari nilai sebenarnya.kecenderungan ini memotivasi manajer untuk bertindak kreatif untuk melakukan manajemen laba agar seolah-olah laba fiskal yang dilaporkan lebih rendah tanpa melanggar aturan dan kebijakan akuntani perpajakan. 4. Motivasi Penjualan Saham Motivasi ini banyak digunakan oleh perusahaan yang akan go public ataupun sudah go public. Perusahaan yang akan go public akan melakukan penawaran saham perdananya ke publik atau lebih dikenal dengan istilah Initial Public
57
Offering (IPO) untuk memperoleh tambahan modal usaha dari calon investor. Demikian juga dengan perusahaan yang suah go public, untuk kelanjutan dan ekspansi usahanya, perusahaan akan menjual sahamnya ke publik baik melalui penawaran kedua, penawaran ketiga, dan seterusnya (Seasoned eiuty offerings – SEO), melalui penjualan saham kepada pemilik lama (right issue), maupun melakukan akuisisi perusahaan lain. 5. Pergantian Direksi Praktik manajemen laba biasanya terjadi pada sekitar pergantian direksi atau Chief Executive Officer (CEO). Menjelang berakhirnya masa jabatan, direksi cenderung bertindak kreatif dengan memaksimalkan laba agar performa kerjanya tetap baik pada tahun terakhir ia menjabat. Perilaku ini ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan laba yang cukup signifikan pada periode menjelang berakhirnya masa jabatan. 6. Motivasi Politik Memotivasi ini biasanya terjadi pada perusahaan besar yang bidang usahanya banyak menyentuh masyarakat luas, seperti perusahaan-perusahaan industri strategis perminyakan, gas, listrik, dan air. Demi tetap mendapatkan subsidi, perusahaan-perusahaan tersebut cendrung menjaga posisi keuangannya dalam keadaan tertentu sehingga prestasi atau kinerjanya tidak terlalu baik. Hal ini dikarenakan jika performa baik maka subsidi tidak akan diberikan.
58
G. Bentuk Manajemen Laba Scott (1997) dalam Sulistyawan (2011) merangkum pola umum yang banyak dilakukan dalam praktik manajemen laba, yaitu: 1. Taking a bath Pola ini dilakukan dengan cara mengatur laba perusahaan tahun berjalan menjadi sangat tinggi atau rendah dibandingkan dengan laba periode tahun sebelumnya atau tahun berikutnya. Pola ini biasa dipakai pada perusahaan yang sedang mengalami masalah organisasi (organisational stress) atau sedang dalam proses pergantian pimpinan manajemen perusahaan. Pada perusahaan yang baru mengalami pergantian pimpinan , jika perusahaan berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan sehingga harus melaporkan kerugian, manajer baru cenderung bersemangat melaporkan nilai kerugian dalam jumlah yang sangat ekstrim agar pada periode berikutnya dapat melaporkan laba sesuai target. 2. Income Minimization Pola ini dilakukan dengan menjadikan laba periode tahun berjalan lebih rendah dari laba sebenarnya. Secara praktis, pola ini sering dilakukan dengan motivasi perpajakan dan politis. Agar nilai pajak yang dibayarkan tidak terlalu tinggi, manajer cenderung menurunkan laba periode tahun berjalan , baik melalui penghapusan aset tetap maupun melalui pengakuan biaya-biaya periode mendatang ke periode tahun berjalan.
59
3. Income Maximization Pola ini dilakukan dengan cara menjadikan laba tahun berjalan lebih tinggi dari laba sebenarnya. Teknik yang dilakukan pun beragam. Seperti menunda pelaporan biaya-biaya tahun berjalan ke periode mendatang, pemilihan metode akuntansi yang dapat memaksimalkan laba, sampai dengan meningkatkan jumlah penjualan dan produksi. Pola ini biasanya banyak digunakan oleh perusahaan yang akan melakukan IPO agar mendapat kepercayaan dari kreditor. Hampir semua perusahaan go public meningkatkan laba dengan tujuan menjaga kinerja saham mereka. 4. Income Smoothing Pola ini dilakukan dengan mengurangi fluktuasi laba sehingga laba yang dilaporkan relatif stabil. Untuk investor dan kreditur yang memiliki sifat risk adverse, kestabilan laba merupakan hal penting dalam pengambilan keputusan. Dalam dunia keuangan, fluktuasi harga saham atau fluktuasi laba merupakan indikator risiko.
H. Manajemen Laba, Apakah Legal dan Etis? Praktik manajemen laba melalui akrual dan aktivitas riil merupakan praktik akuntansi yang legal, karena tidak melanggar Pernyataan Akuntansi Berterima Umum (PABU), namun praktik ini dapat memberikan penafsiran (interpretasi) yang salah bagi investor, kreditur, dan pihak-pihak lain terhadap informasi laba yang diperoleh perusahaan dalam laporan keuangan. (Sulistiawan, et al., 2011).
60
Masalah utama dalam manajemen laba terdapat pada kecenderungan manusia untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingannya sendiri. Karena manusia cenderung memanfaatkan pengetahuan atau informasi yang dimiliki guna mendapatkan tujuannya masing-masing. Teknik dan kebijakan akuntansi hanyalah alat untuk mencapai tujuan tersebut. Yang dapat membedakan apakah legal atau tidaknya, etis atau tidaknya, baik atau buruknya sebuah praktik manajemen laba ialah motivasi dan perilaku manusia di belakangnya. Masalah terbesar dalam praktik akuntansi adalah etika. Henderson dan Peirson (2002) menjelaskan kriteria untuk menilai perilaku akuntan dalam pelaporan keuangan ialah sebagai berikut: a. Kejujuran Kemampuan dan kemauan akuntan menyampaikan realitas ekonomi yang terjadi dan tidak memberikan informasi yang menyimpang. b. Reabilitas Kemampuan untuk memberikan keyakinan bagi pihak pengguna laporan keuangan bahwa informasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan. c. Taat Pada Hukum Kebijakan dan teknik akuntansi harus sesuai aturan. Pelanggaran terhadap aturan berarti pelanggaran terhadap hukum. d. Kompetensi Kejujuran tanpa kompetensi juga merupakan pelanggaran etika karena akuntan disewa jasanya atau dibayar oleh pihak lain karena kemampuannya
61
menjelaskan kejadian ekonomis dan melaporkannya dalam laporan keuangan perusahaan.
Ketidakmampuan
menganalisis
fenomena
bisnis
menurut
perspektif akuntansi mengakibatkan kesalahan dalam penyajian material laporan keuangan. Hasilnya, informasi yang salah akan merugikan orang lain walaupun didasari oleh motivasi dan kepentingan tertentu, Djakman (2003: 145) menyatakan bahwa manajemen laba yang dilakukan melalui manajemen akrual tidak sama dengan manipulasi laba. Manajemen laba dilakukan untuk memenuhi kepentingan manajemen dengan memanfaatkan kelemahan inheren dari kebijakan akuntansi akrual dan masih berada dalam koridor prinsip akuntansi berterima umum. Sedangkan, manipulasi laba merupakan tindak pelanggaran terhadap prinsip akuntansi berterima umum untuk menghasilkan kinerja keuangan perusahaan sesuai dengan kepentingan manajer atau perusahaan. Begitu pula dengan pernyataan Schroeder dan Clark (1998: 248) yang menyatakan bahwa apabila manejemen laba dilakukan atas dasar pertimbangan-pertimbanagan manajerial yang sehat atau melalui pemilihan metode dan prosedur akuntansi dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh standar akuntansi, manajemen laba bukanlah suatu tindak kecurangan (fraud), meskipun manajemen laba dengan cara-cara tersebut dapat mempengaruhi keputusan stakeholder.
Fischer dan Rosenweig (1994:436) pula mendefinisikan manajemen laba hanyalah upaya untuk “mempermainkan” angka laba diatas kertas. Dan tidak menimbulkan kerugian materi bagi siapapun. Permainan angka laba di atas kertas
62
ini dilakukan oleh manajer dengan memanfaatkan fleksibilitas standar akuntansi yang tersedia. Hal ini dimungkinkan karena standar akuntansi cukup memberikan peluang kepada manajer untuk mencatat fakta tertentu dengan cara yang berbeda, serta peluang untuk menggunakan subjektivitas dalam melakukan estimasi akuntansi. (Worthy, 1984: 52) Pendapat ini juga senada dengan pendapat para akuntan pendidik, akuntan manajemen dan akuntan publik yang mengatakan bahwa manajemen laba dibenarkan sepanjang tidak melanggar standar akuntansi keuangan. Para pemangku kebijakan tidak dapat disalahkan karena manajemen laba dengan cara yang seperti itu bukan merupakan tindakan curang, kecuali manajer atau akuntan yang melanggar standar akuntansi dalam bentuk manipulasi data, perhitungan dan pelaporan. Pendapat ini juga mengatakan manajemen laba hanyalah bentuk pemanfaatan dari kebebasan memilih bentuk dari metode akuntansi. Pemilihan metode akuntansi ialah fleksibel walau pada akhirnya hal itu akan berpengaruh pada besaran angka laba, dan hal ini bukanlah praktik kecurangan, dalam hal ini mereka mengikuti teori akuntansi positif sehingga dengan mengikuti pendapat diatas maka praktik manajemen laba dengan menurut pendapat diatas menjadi boleh-boleh saja dilakukan. Pandangan diatas ialah berasal dari perspektif akuntan yang mengatakan bahwa praktik manajemen laba bukanlah tindakan kecurangan sepanjang dilakukan dalam koridor standar akuntansi.
63
Sebaliknya, dalam perspektif yang berbeda Mujianto (penasihat investasi) tidak membenarkan adanya praktik manajemen laba karena walaupun ia adalah bentuk intervensi yang disengaja oleh manajer atau akuntan pada proses pelaporan keuangan eksternal atas motif tertentu namun tanpa melanggar standar akuntansi, tetap saja hal itu adalah tindakan atau perilaku koruptif. Karena menurutnya, walaupun dilakukan dengan menggunakan strategi apa pun, dengan melanggar standar akuntansi ataupun tidak, praktik manajemen laba adalah tindakan koruptif. Dikarenakan praktik tersebut pasti didasari oleh motivasi dan kepentingan pribadi dengan cara mengesampingkan kepentingan pihak lain. Praktik manajemen laba menyebabkan angka laporan keuangan terpengaruh dan berpihak pada kepentingan manajer.7 Seiring pula dengan pendapat Mujianto, IAI (2007) dalam KDPPLK paragraf 16 berkaitan dengan netralitas laporan keuangan, dan PSAK No. 1 (Revisi 1998) paragraf 5 berkaitan dengan tujuan laporan keuangan yaitu Informasi harus diarahkan pada kebutuhan umum pengguna dan tidak bergantung pada kebutuhan dan keinginan pihak tertentu. Tidak boleh ada usaha untuk menyajikan informasi yang menguntungkan beberapa pihak, sementara hal tersebut akan merugikan pihak lain yang mempunyai kepentingan yang berlawanan.8 Menurut penasihat investasi, Mujianto, tidak ada manajemen laba yang dilakukan tanpa motivasi atau kepentingan, baik kepentingan pribadi maupun 7
Ahmad Yusuf, “Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam”, Jurnal Dinamika Ekonomi dan Bisnis, Vol. 7, No. 1 Maret 2010. H. 8 8 KDPPLK Paragraf 16.
64
kepentingan perusahaan. “Untuk mencapai kepentingan tersebut, manajemen laba pasti dilakukan secara sengaja dan sistematis” Karena menurutnya, bahwa pemilihan metode akuntansi seharusnya dilakukan tanpa motivasi dan kepentingan tertentu yang memberikan manfaat lebih unggul pada satu pihak daripada pihak lainnya.9 Ia menyatakan bahwa praktik manajemen laba merupakan peilaku yang tidak dapat diterima, karena manajemen laba berimplikasi pada hilangnya kredibilitas laporan keuangan, menambah bias informasi dalam laporan keuangan, sehingga mengganggu pengguna laporan keuangan yang mempercayai angka laba tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa. Karena dengan adanya manajemen laba, investor tidak menerima informasi yang cukup akurat tentang laba dalam rangka mengevaluasi hasil dan risiko portofolio investasinya.
9
Riduwan, Akhmad. “Etika dan Perilaku Koruptif dalam Praktik Manajemen Laba: Studi Hermeneutika”. Jurnal Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya. h. 8
BAB IV TINJAUAN ETIKA BISNIS ISLAM TENTANG MANAJEMEN LABA
A. Bentuk Manajemen Laba menurut Syariah Mengenai bentuk manajemen laba, tidak ada ketentuan dari Dewan Syariah Nasional mengenai bentuk manajemen laba yang diperbolehkan, karena nilai-nilai yang terkandung pada praktik ini belum sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Saat ini terdapat fatwa mengenai salah satu bentuk dari manajemen laba, yaitu Income Smoothing.1 Namun fatwa ini memperbolehkan Income smoothing dengan pendekatan untuk melindungi lembaga keuangan dari risiko pengalihan dana besarbesaran, dan bukan dalam konteks ingin mengambil keuntungan, serta dengan seizin nasabah, bukan secara sembunyi-sembunyi. Dalam Fatwa Nomor 87/DSNMUI/XII/2012
tentang
Metode
Perataan
Penghasilan
(Income
Smoothing).
Disebutkan bahwa Income smoothing, yaitu perataan laba, ialah
pengaturan
pengakuan dan pelaporan laba atau penghasilan dari waktu ke waktu dengan cara menahan sebagian laba/penghasilan dalam satu periode, dan dialihkan pada periode lain dengan tujuan mengurangi fluktuasi yang berlebihan atas bagi hasil antara Lembaga keuangan Syariah (LKS) dan nasabah penyimpan dana (Dana Pihak Ketiga/DPK). Fatwa menyebutkan bahwa dalam kondisi tertentu yang diduga kuat akan menimbulkan risiko pengalihan/penarikan dana nasabah dari Lembaga
1
FatwaDSN-MUI Nomor 87/DSN-MUI/XII/2012 tentang Metode Perataan Penghasilan (Income Smoothing) Dana Pihak Ketiga.
65
66
Keuangan Syariah akibat tingkat imbalan yang tidak kompetitif dan wajar (displaced commercial risk). Hal itu pun diperbolehkan, namun dengan ketentuan-ketentuan seperti yang disebutkan di dalam fatwa.2 Dengan kata lain, tidak serta merta semua tenik income smoothing diperbolehkan, namun yang diperbolehkan ialah yang memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh fatwa. Salah satunya ialah bahwa praktik perataan laba hanya diperbolehkan dengan syarat apabila bagi hasil aktual melebihi tingkat imbalan yang diproyeksikan, dan dengan izin nasabah pemilik dana, serta dengan alasan kuat yang darurat dengan memperhatikan opini Dewan Pengawas Syariah. Sehingga dalam pelaksanaannya tetap menekankan kepada unsur transparansi dan keterbukaan terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan. Hal ini tidak dapat digeneralisasikan untuk semua Lembaga Keuangan Syariah atau khususnya perbankan syariah kemudian boleh malaksanakan income smoothing, karena yang diperbolehkan itu ialah yang memenuhi syarat dan ketentuan-ketentuan tersebut. Namun pada praktiknya, tidak jarang ditemukan perbankan syariah yang melakukan praktik perataan laba ini. Padahal Allah telah berfirman dalam Surah AlMaidah : 1
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…”
2
FatwaDSN-MUI Nomor 87/DSN-MUI/XII/2012 tentang Metode Perataan Penghasilan (Income Smoothing) Dana Pihak Ketiga, h. 6-8, diakses tanggal 1 Juli 2015.
67
Begitu pula anjuran untuk menunaikan janji, karena janji itu akan dimintai pertanggungjawaban, seperti dalam Surat Al-Isra ayat 34:
Artinya: "….. Dan tunaikanlah janji-janji itu, Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawaban ….. “
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Untuk memenuhi
tuntutan
keadilan
dan
kesatuan,
manusia
perlu
mempertanggungjawabkan tindakannya.3 Tanggung jawab merupakan suatu prinsip dinamis yang berhubungan dengan perilaku manusia. Bahkan merupakan kekuatan dinamis
individu
untuk
mempertahankan
kualitas
kesetimbangan
dalam
masyarakat.4 Kaidah fikih juga menyebutkan,
َحزِ ْيمِه ْ َعهَى ت َ ٌصمُ فِى ا ْن ُمعَا َمالَتِ اْإلِبَاحَةُ إِالَّ أَنْ يَ ُدلَّ َدنِ ْيم ْ َاَأل. “Pada dasarnya, segala bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengaramkannya.”
ُّض َز ُر ُيزَال َ ال “Kemudharatan harus dihilangkan.” 3
Rafik Issa Beekun, Islamic Bussiness Ethics, (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1997), h. 26. 4 Muhammad dan Lukman Fauroni, Visi Al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), h. 16
68
Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib dihilangkan.Yang dimaksud “darurat” ialah suatu keadaan yang bisa berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara yang luar biasa dan bahkan terkadang dengan cara melanggar hukum. Sedangkan yang dimaksud “hajat” ialah suatu keadaan biasa tidak diperkenankan menanganinya secara khusus, bisa timbul kesukaran dan kerepotan. Seperti dalam kaidah fikih,
Artinya : “Hajat tidak menyebabkan bagi seseorang boleh mengambil harta milik pihak lain.”5
Di sisi lain, pebisnis pun juga harus tetap jujur tanpa merugikan pihak lain. Seperti hadist riwayat Tirmidzi dan Hakim berikut ini,
Artinya : “Pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah bersama-sama para nabi, orang-orang yang benar dan para syuhada”(HR. Tirmidzi dan Hakim)
5
102
Ali Ahmad Al-Nadwi. Al-Qawa‟id al-Fiqhiyyah … , „(Damaskus: Dar al-Qalam. 1994), h.
69
Tempat yang terhormat ba‟i pedagang yang jujur disejajarkan dengan para Nabi. Karena bedagang dengan jujur berarti menegakkan kebenaran dan keadilan yang merupakan bagian dari amal salehnya, sedangkan persamaan degan para syuhada, karena berdagang adalah berjuang membela kepentingan dan kehormatan diri dan keluarganya dengan cara yang benar dan adil. Dalam melakukan perdagangan atau bisnis , baik dalam skala besar ataupun skala kecil, kebenaran ialah sangat diutamakan. Walaupun adalah hal yang sangat sulit, namun kebenaran ini akan membawa kepada ketenangan, seperti dinyatakan dalam hadist riwayat Tirmidzi berikut ini: ...وَا ْنكَذِبَ رِيْبَة
،طمَأْنِيْنَة ُ َإِنَ انصِّ ْدق...
Artinya: “Sesungguhnya kebenaran membawa ketenangan dan kedustaan menimbulkan keragu-raguan.”6
B. Manajemen Laba ditinjau dari Etika Bisnis Islam Manajemen laba jelas terjadi dengan alasan – alasan tertentu yang melandasinya, apapun bentuk yang melandasinya, maka disana terdapat faktor pendorong dalam diri individu khususnya manajer dalam melakukan praktik manajemen laba. Praktik manipulasi tidak akan terjadi jika dilandasi dengan moral yang tinggi. Moral dan tingkat kejujuran rendah akan menghancurkan tata nilai etika bisnis itu sendiri.
6
HR. Tirmidzi, no. 2518.
70
Motivasi ialah satu bentuk kendali intern dalam hati yang sangat erat kaitannya dengan etika.7 Letak etika ialah rasa dan pikiran yang mengkontrol motivasi sendiri. Hal ini tidak dapat ditakar dan dilihat oleh mata, namun implikasinya dapat berdampak besar. Apabila terdapat motivasi–motivasi yang mengunggulkan kepentingan satu pihak dan membuat pihak yang lain mengalami kerugian, hal tersebut disebut perbuatan curang atau dzalim. Perbuatan curang dalam bisnis seringkali dilakukan dalam menakar, menimbang, dan sebagainya. Al-Qur‟an sangat tidak setuju dengan segala penipuan dalam bentuk apapun. Penipuan (kelicikan) digambarkan oleh Al-Quran sebagai karakter utama kemunafikan, Allah berfirman dalam Surah An Nisa ayat 145:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.”
Prinsip Umum Etika Bisnis Islami ialah Kesatuan, Keseimbangan, Kehendak Bebas, Tanggung Jawab, dan Kebenaran.8 Pertama, Kesatuan. Dalam konteks kesatuan, hendaknya pebisnis muslim mempunyai satu asa antara kegiatan bisnis dengan moralitas dan pencarian ridha
7
Dedhy Sulistiawan, Creative Accounting Mengungkap Manajemen Laba dan Skandal Akuntansi. (Jakarta: Salemba Empat, 2008), h. 8 Abdul Aziz. Etika Bisnis Perspektif Islam: Implementasi Nilai Etika Islami untuk Dunia Usaha. (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 45.
71
Allah, karena pada hakikatnya kekayaan ialah merupakan amanah dari Allah. Bila Tauhid tidak ada didalam diri manusia, hal ini dapat mengakibatkan kehancuran karena sifat dasar manusia yang tidak pernah puas,dan salah satu contoh implikasinya ialah motivasi manajemen laba ini. Kesatuan di sini ialah adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, menjadi suatu “homogenous whole” atau keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh.9 Kedua, Keseimbangan. Dalam beraktivitas di dunia bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai.10 Seperti dalam Surat Al-Maidah ayat 8, yaitu:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekalikali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
9
Syed Nawab Naqvi, Ethics and Economics: An Islamic Syntesis, Penerjemah Husin Asin: Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Alami, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 50-51. 10 Abdul Aziz. Etika Bisnis Perspektif Islam: Implementasi Nilai Etika Islami untuk Dunia Usaha. (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 46
72
Rasulullah melaknat semua bentuk ketidakadilan dan menyatakan bahwasanya ketidakadilan dan kezaliman adalah bentuk kejahatan yang tidak akan pernah diampuni, dan orang yang melakukan kezaliman itu akan berada di kegelapan pada hari Kiamat. Seperti dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, “Kezhaliman itu adalah kegelapan di hari Kiamat”11 Ketiga, Kehendak Bebas. Kebebasan merupakan bagian penting dalam etika bisnis Islam, akan tetapi kebabasan yang diperkenankan disini ialah yang tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar, tidak ada batasan bagi seseorang untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya. Seperti halnya dengan adanya kontrak kepentingan antara pemilik dana dan juga manager, manager telah diberi kebebasan oleh pemilik dana untuk menggunakan dananya untuk usaha, sehingga sepatutnya amanah itu dipergunakan sebaik-baiknya, bukan malah dimanfaatkan untuk mengelabui dan mengedepankan keinginan nya sendiri. Keempat, tanggung Jawab. Kebebasan tanpa batas adalah hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena segala kebebasan tetap akan dimintai pertanggungjawabannya. Prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas, ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia namun disertai rasa tanggung jawab atas semua yang telah dilakukannya. Begitu pula lah dengan melakukan aktivitas bisnis, apapun yang tertuliskan dan dilakukan dengan benar saja dimintai pertanggungjawaban, apalagi pada praktik-praktik kecurangan yang dapat merugikan orang lain, hal ini tentu akan dimintai pertanggung jawaban. Tidak hanya oleh manusia, namun juga oleh Allah SWT. 11
Mustaq Ahmad, Etika bisnis dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 126
73
Kelima, Kebenaran. Kebenaran dalam konteks ini mengandung dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis, kebenaran dimaksudkan sebagai niat, sikap, dan perlaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) ataupun dalam proses merah atau menetapkan keuntungan. Dengan prinsip kebenaran ini, maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerja sama, atau perjanjian dalam bisnis.12
Dalam melaksanakan prinsip-prinsip dasar etika tersebut, Islam menuntut pemeluknya menjadi orang yang jujur dan amanah. Jujur disini ialah dengan menuliskan sebenar-benarnya laporan keuangan secara benar. Prinsip nilai kejujuran harus dianut oleh setiap pebisnis, dan bila ia menjual, maka wajib baginya menjelaskan apa kekurangan dari barang yang dijualnya agar pembeli tidak sakit hati setelah membeli. Dan apabila melakukan transaksi muamalah tidak secara tunai, maka hendaknya dituliskan dengan benar. Seperti dalam firman Allah dalam surat AlBaqarah ayat 282:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.” Selain jujur, sifat seorang pebisnis muslim ialah amanah. Sudah seharusnya pebisnis muslim ialah ia yang bener-benar bisa dipercaya, sehingga jika satu urusan 12
Abdul Aziz. Etika Bisnis Perspektif Islam: Implementasi Nilai Etika Islami untuk Dunia Usaha. (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 46
74
diserahkan kepadanya, maka orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Amanah di dalam kasus manajemen laba ini ialah dipegang penuh oleh manajer atau akuntan yang telah dipercayai stakeholder untuk mengelola keuangan dengan baik dan melaporkan keseluruhan transaksi dengan benar dan dapat diandalkan. Dalam Al- Qur‟an Allah berfirman,
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”
Kemudian sebuah hadist menyatakan: “Tiada beriman orang yang tidak memegang amanat dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji.” (HR. Adailami) Sehingga apabila ditinjau berdasarkan literatutur buku-buku terkait mengenai motivasi manajer dalam melakukan manajemen laba, dan bagaimana sebenarnya sebaiknya para pelaku bisnis dalam menjalankan bisnisnya sesuai prinsip dasar etika bisnis Islam, maka motivasi manajemen laba belum sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam amupun prinsip-prinsip dasar etika bisnis Islam. Terdapat perbedaan beberapa kalangan di dalam menyikapi fenomena manajemen laba, namun kategori praktik manajemen laba ini termasuk kedalam
75
praktik yang mengandung ketidakjelasan (gharar) dan bathil. Seperti dalam surat An Nisa ayat 29:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan harta orang lain dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian…” Ketidakjelasan (Gharar) Kata gharar dalam bahasa arab berarti akibat, bencana, bahaya dan risiko. Secara umum, bila dipandang dari sisi stakeholder manajemen laba dipandang sebagai sesuatu yang mengandung unsur ketidakjelasan (gharar). Gharar di dalam manajemen laba mencakup ambiguitas atau ketidakpastian mengenai mutu dari sebuah materi pokok kontrak yang dalam hal ini adalah laporan keuangan, reabilitasnya dipertanyakan. Apakah perusahaan ini laporan keuangannya dapat mencerminkan keadaan sebenarnya perusahaan atau tidak. Karena sebagai pihak yang hanya melihat laporan keuangan berdasarkan laporan angka-angka akuntansi, kita tidak mengetahui apakah laporan keuangan perusahaan ini telah dilakukan manajemen laba, ataukah laporan keuangan perusahaan itu tidak melakukan manajemen laba. Karena manajemen laba sesungguhnya hanya bisa dideteksi dengan menggunakan suatu teknik analisa tertentu yang membutuhkan perhitungan khusus. Sehingga dari kacamata pembaca laporan keuangan yang
76
tidak memperhatikan aspek lain selain dari aspek fundamental, hal ini sangat mengandung ketidakjelasan. Larangan utama gharar ialah merujuk kepada ketidakpastian atau risiko yang disebabkan kurangnya kejelasan sehubungan dengan pokok masalah atau harga dalam kontrak atau perdagangan. Sebuah jual beli atau kontrak bisnis lain yang menyebabkan unsur gharar adalah dilarang.13 Terdapat kaidah yang didasari sabda Nabi SAW, yaitu:
ِن بَيْ ِع الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْ ِع ا ْل َغ َزر ْ َعّلَيْ ِه َوسَّلَ َم ع َ صّلًَ الّلَ ُه َ َنهًَ َرسُىلُ الّلَ ِه Artinya: “Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam melarang jual beli alhashah dan jual beli al-gharar.” (HR. Muslim) Sedangkan Sayyid Sabiq mengartikan gharar sebagai berikut:
الغزراي الغزوروهىالخدالذٌ هىمظنة عدم الز ضابه عند تحقيقه Artinya: “Gharar adalah penipuan yang mana dengannya diperkirakan mengakibatkan tidak adanya kerelaan jika diteliti” Sehingga dapat dikatakan bahwa fenomena manajemen laba mengandung unsur gharar dari sisi pengguna laporan keuangan. Karena tidak dapat dipastikan mengenai pelaporannya bersifat bersih atau tidak. Gharar disini juga melekat dengan unsur penipuan melalui pelalaian oleh satu pihak atau lebih terhadap kontrak. Prinsip yang umum untuk menghindar gharar dalam transaksi jual beli atau dalam hal ini bisnis yang menggunakan laporan keuangan sebagai “display” ialah, 13
462.
Veithzal Rivai dkk, Islamic Business and Economic Ethics. (Jakarta: Buki Aksara, 2012),
77
kontrak haruslah bebas dari ketidakpastian yang berlebihan mengenai isi pokoknya dan nilai berlawanan dalam pertukaran; komoditinya harus jelas disebutkan; ditetapkan dan bisa dikirimkan serta diketahui dengan jelas oleh pihak-pihak yang berkontrak; mutu dan kualitas harus ditetapkan; kontrak tidak boleh meragukan atau samar-samar, karena hak dan kewajiban para pihak berkontrak disebutkan; dilarang ada jahl atau ketidakpastian mengenai ketersediaan; keberadaan dan keterkiriman barang dan para pihak harus tahu keadaan terkini barang-barang tersebut.14
Penipuan Al-Quran sangat tidak setuju dengan penipuan dalam bentuk apapun. Penipuan (kelicikan digambarkan oleh Al- Quran sebagai karakter utama kemunafikan, dimana Al- Quran telah menyediakan siksa yang pedih bagi tindakan ini, di dalam neraka. Allah berfirman seperti dalam Surah An Nisa ayat 145:
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka” Dalam kasus manajemen laba yang terjadi ini, maka penulisan laporan keuangan telah sedemikian pula direkayasa oleh manajer untuk menarik hati masyarakat agar menempatkan dana pada perusahaannya dengan memanfaatkan 14
Ibid, h. 469
78
gap informasi yang tidak diketahui oleh pemilik dana atau stakeholder, dan hal ini dianggap sebagai penipuan atau kelicikan. Orang yang melakukan penipuan dan kelicikan tidak dianggap sebagai umat Islam yang sesungguhnya. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Barang siapa yang melakukan penipuan maka dia bukan dari golongan kami” (HR. Ibnu Hibban dan Abu Nu‟aim) Apalagi penipuan tersebut asalnya dari persekutuan pihak-pihak yang berwenang diatasnya. Berkaitan dengan hal ini Firman Allah dalam surat Shaad ayat 24 berbunyi:
… Artinya : “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini. “
Al-Quran juga memberi petunjuk agar di dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi seperti dalam surat Al- Baqarah ayat 188:
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
79
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”
Hendaknya seorang pebisnis muslim memiliki konsep dan nilai-nilai etika di dalam dirinya, seperti Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathonah. Agar di dalam melakukan bisnis tetap terhindar dari perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada perbuatan yang dilarang oleh Islam seperti penipuan dan gharar.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan referensi/buku-buku/literatur yang memuat etika bisnis Islam dan manajemen laba, maka peneliti mempunyai pandangan (interpretasi) bahwa: 1. Tidak ada ketentuan mengenai bentuk manajemen laba yang diperbolehkan oleh syariat Islam. Hanya saja menurut Fatwa DSN-MUI bagi Lembaga Keuangan Syariah, Income Smoothing diperbolehkan dengan kondisi tertentu dengan motif menghindari penarikan dana besar-besaran oleh nasabah, dan yang diperbolehkan juga berdasarkan transparansi dan atas seizin nasabah DPK. Namun hal ini tidak berkaitan langsung dengan praktik bentuk manajemen laba keseluruhan yang dilakukan. Sehingga tidak ada ketentuan mengenai bentuk manajemen laba yang diperbolehkan. 2. Apapun motivasi yang melandasi manajemen laba ialah belum sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh ajaran agama Islam karena cenderung mengarah kepada praktik-praktik
yang menguntungkan satu pihak, serta merugikan
pihak lainnya. Sehingga terdapat unsur penipuan didalamnya. 3. Perilaku manajemen laba dengan memanipulasi angka laba diatas kertas, hal tersebut belum sesuai dengan ajaran agama Islam maupun prinsip-prinsip dasar Etika Bisnis Islam.
80
B. Saran 1. Bagi penelitian selanjutnya, agar dapat melakukan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara kepada pihak narasumber langsung seperti manajer, akuntan, penasihat investasi, maupun investor dari berbagai kalangan untuk meneliti praktik manajemen laba dalam tataran praktis. 2. Bagi para pelaku bisnis, agar senantiasa menanamkan prinsip-prinsip etika bisnis islami di dalam menjalankan aktivitas dan kegiatan usahanya, agar tidak hanya mengejar hal duniawi saja namun juga akhirat.
81
DAFTAR PUSTAKA
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Pedagang, Penerjemah Dewi Nurjulianti, Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997. Ahmad, Mustaq. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006. Ahmad, Yusuf, “Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam”, Jurnal Dinamika Ekonomi dan Bisnis, Vol. 7, No. 1 Maret 2010. Alma, Buchari. Dasar-Dasar Etika Bisnis Islam. Bandung: Alfabeta, 2003 Al-Nadwi, Ali Ahmad. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah … ,. Damaskus: Dar al-Qalam, 1994. Arifin, Johan. Etika Bisnis Islami. Semarang: Walisongo Press, 2009. Aziz, Abdul. Etika Bisnis Perspektif Islam: Implementasi Etika Islami untuk Dunia Usaha. Bandung: Alfabeta, 2013. Badroen, Faisal. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Kencana, 2006 Beekun, Rafik Issa. Islamic Bussiness Ethics. Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1997. Dahwal, Sirman. Etika Bisnis Menurut Hukum Islam (Suatu Kajian Normatif).
Dewan
Syariah Nasional. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 87/DSNMUI/XII/2012 tentang Metode Perataan Penghasilan (Income Smoothing) Dana Pihak Ketiga, Jakarta: DSN, 2012.
Djakfar, Muhammad. Etika Bisnis dalam Perspektif islam. Malang: UIN Malang Press, 2007. Eldine, Achyar. “Etika Bisnis Islam”. Jurnal Khazanah, Vol. 3 No. 3, Oktober 2007. Faradila, Astri dan Ari Dewi Cahyati, “Analisis Manajemen Laba Pada Perbankan Syariah”, Jurnal RAK Vol 4 No. 1, Februari 2013. Gumati, Tatang Ary. “Earning Management: Suatu Telaah Pustaka”. Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No.2, Nopember 2000. 82
Ibrahim, Azharsyah. “Income Smoothing dan Implikasinya terhadap Laporan Keuangan Perusahaan dalam Etika Ekonomi Islam”. Jurnal Media Syariah Vol. XII No. 24, Juli 2010. Jayanto. “Manajemen Laba: Mengapa Banyak Menuai Kontroversi?”. Jurnal Fokus Ekonomi Vol. 3 No 1 Juni 2008. Joseph H, dkk. Webster’s New Collegiate Dictionary. USA: Houghton Mifflin Hartcourt, 2012 Jusmaliani. Bisnis Berbasis Syariah. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Kompas, 15 Juli 2002. Kompas. “Kasus Kimia Farma Kesalahan Manajemen Lama”. Kompas, 21 November 2002. Luhgiatno. (2010). “Analisis Pengaruh Kualitas Audit Terhadap Manajemen Laba (Studi Pada Perusahaan Yang Melakukan IPO di Indonesia)”, Fokus Ekonomi, Vol. 5, No. 2. Marzuqi, Ahmad Yusuf dan Achmad Badarudin. “Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam”. Jurnal Dinamika Ekonomi dan Bisnis Vol. 7 No. 1 Maret 2010. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda, 2010. Muhammad dan Lukman Fauroni. Visi Al-Quran tentang Etika dan Bisnis. Jakarta: Salemba Diniyah, 2002. Naqvi, Syed Nawab. Ethics and Economics: An Islamic Syntesis, Penerjemah Husin Asin: Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Alami. Bandung: Mizan, 1993. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu, 2012. Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Jakarta: Rabbani Press, 1997.
83
Riduwan, Akhmad. Etika dan Perilaku Koruptif dalam Praktik Manajemen Laba: Studi Hermeneutika. Jurnal pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya. Rivai, Veithzal, dkk. Islamic Bussiness and Economics Ethics, Jakarta: PT Bumi, 2012. Shihab, Quraish. “Etika Bisnis dalam Wawasan Al- Qur’an”, dalam Jurnal Ulum Al— Quran, No. 3 VII, 1997. Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an. Jakarta: Penamadani, 2005. Sulistiawan, Dedhy, dkk. Creative Accounting Mengungkap Manajemen Laba dan Skandal Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat, 2011. Sulistyanto, Sri. Manajemen Laba: Teori dan Model Empiris. Jakarta: Grasindo, 2008. Syafrudin Arif, “Etika Islam dalam Manajemen Keuangan”, Jurnal Hukum Islam Volume 9, Nomor 2, Desember 2011. Syahatah, Husain dan Siddiq Muh. Al Amin Adh-Dhahir. Transaksi dan Etika Bisnis Islam, Penerjemah Saptono Budi Satryo dan Fauziah R. Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005. Syahfandi, Rizky dan Siti Mutmainah. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perataan Laba Penyiihan Penghapusan Aktiva Produktif (Praktik Manajemen Laba pada Perbankan Syariah di Indonesia). Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Penerjemah M. Saiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Tasmara, Toto. Etos Kerja Pribadi Muslim. Jakarta: Dhana Bhakti Prima Yasa, 1995. Trim, Bambang. Bussiness Wisdom of Muhammad SAW, Bandung: Madania Prima, 2008. Watts, R. L., and Zimmerman, J. L. “Positive Accounting Theory: A Ten Year Perspective,” The Accounting Review. 65(1), 1990. Widarto, dkk. Analisa Kritis Praktek Akuntansi Kreatif dalam Konteks Budaya Organisasi PT. Bumi dan Pandangan Islam dalam Menyikapi Praktek Tersebut. Jurnal WACANA Vol. 12 No. 2 April 2009, ISSN. 1411-0199. 84
Zed, Mustika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Nasional, 2004. Zubair, Achmad Charris. Kuliah Etika, Rajawali Press, Ed III, Januari 1995.
85
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL Nomor 87/DSN-MUI/XII/2012 Tentang Metode Perataan Penghasilan (Income Smoothing) Dana Pihak Ketiga ثِس ُِْ ه ُ١ِ ٱَّللِ ٱٌغهدْ َٰ َّ ِٓ ٱٌ هغ ِد Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah
Menimbang
:
a. bahwa dalam kondisi tertentu yang diduga kuat akan menimbulkan risiko pengalihan/penarikan dana nasabah dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) akibat tingkat imbalan yang tidak kompetitif dan wajar (displaced commercial risk), LKS membuat kebijakan yang dikenal dengan metode perataan pendapatan yang antara lain berupa: 1) perataan pendapatan tanpa membentuk cadangan penyesuaian keuntungan, dan 2) perataan pendapatan dengan membentuk cadangan penyesuaian keuntungan (Profit Equalization Reserve/PER); b. bahwa praktik perataan pendapatan dengan atau tanpa pembentukan cadangan penyesuaian keuntungan dalam bagi hasil dana pihak ketiga yang dilakukan oleh LKS memerlukan ketentuan syariah yang dapat dijadikan acuan dalam kegiatan operasionalnya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan b, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Metode Perataan Pendapatan (Income Smoothing) Dana Pihak Ketiga untuk dijadikan pedoman oleh LKS. 1. Firman Allah SWT: a. QS. al-Ma'idah [5]: 1: ْ ِصُْٛ ا ثِ ْبٌ ُؼمُْٛ فَْٚ ا إَُِٔٛ َٓ آ٠ْ َب اٌه ِظُّٙ٠ََبأ٠ … "Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu …" b. QS. al-Isra' [17]: 34:
Mengingat
:
... ًْ الُٛ َض َوبَْ َِ ْسئْٙ ِضئِ هْ ْاٌ َؼْٙ ْ ا ثِ ْبٌ َؼُْٛ فَٚأَٚ ... "… Dan tunaikanlah janji-janji itu, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggung jawaban …" c. QS. al-Baqarah [2]: 275: أَ َد هً هَٚ ... ... َد هغ ََ اٌ ِّغثَبَٚ َغ١ْ ََّللاُ ْاٌج "… Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba ..." d. QS. al-Baqarah [2]: 278: َٓ١ْ ِِِٕ َِِٓ اٌ ِّغثَب ئِ ْْ ُو ْٕزُ ُْ ُِ ْإَٟ ِْ ا َِب ثَمُٚ َطعَٚ َا َّللاُٛا ارهمَُِٕٛ َٓ آ٠ْ َب اٌه ِظُّٙ٠ََبأ٠ "Hai orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang yang beriman." e. QS. al-Nisa' [4]: 29: َْ رِ َجب َعحً ػ َْٓ رَ َغَٕٛ ُى ُْ ثِ ْبٌجَب ِط ًِ ئِاله أَ ْْ رَ ُى١ْ َاٌَ ُى ُْ ثَٛ ِْ َْ ا أٍُْٛ ا الَ رَأْ ُوَُِٕٛ َٓ آ٠ْ َب اٌه ِظُّٙ٠ََبأ٠ ُْ اع ِِ ْٕ ُى ٍ ... "Hai orang yang beriman! Janganlah kalian memakan (mengambil) harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian ..." f. QS. al-Baqarah [2]: 283: ْ ُٜ َإ ِّص اٌه ِظ١ٍْ َض ُى ُْ ثَ ْؼضًب ف ... ُٗك َّللاَ َعثه ُ فَا ِ ْْ أَ َِِٓ ثَ ْؼ... ِ َزه١ٌْ َٚ ،َُٗاؤرُ َِّٓ أَ َِبَٔز "… Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya …" g. QS. al-Nisa' [4]: 58: ٌَٗئِ هْ ا. ْ ا ثِ ْبٌ َؼ ْض ِيُّٛ بؽ أَ ْْ رَذْ ُى ِ ا ْاألَ َِبَٔبَٚأْ ُِ ُغ ُو ُْ أَ ْْ رُ َإ ُّص٠ ِ َٓ إٌه١ْ َئِ َطا َد َى ّْزُ ُْ ثَٚ َبٍِْٙ٘ َ أٌَِٝد ئ ... "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan hukum dengan adil …" 2. Hadis Nabi SAW: a. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari 'Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu 'Abbas, dan riwayat Imam Malik dari Yahya: هٝطٍه ٖطاَ ْةا ٖطعرأ( َي ه ُٛض َغا َع أَ هْ َعس َ َ أَ ْْ الٝض َ َ َسٍه َُ لَٚ ِٗ ١ْ ٍََّللاُ َػ َ َِّللا ِ َالَٚ ض َغ َع ٕٝ ِٓ ث: اٌ جبة،َ األد ىب: اٌ ى زبة،ٕٗ ٕ سٟ ػٓ ػ جبصح ث ٓ اٌ ظبِذ ف ٓ اٖ أدّض ػٓ اثٚعٚ ،1332 : ش٠ عل ُ اٌ ذض،ٖ ضغ ث جبع٠ د مٗ ِبٟ ف (ٟ ذ٠ ِٓبٌ ه ػٚ ،ػ جبؽ "Rasulullah SAW menetapkan: tidak boleh membahayakan/
merugikan orang lain dan tidak boleh (pula) membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya (perbuatan yang merugikannya)." (HR. Ibnu Majah) b. Hadis Nabi riwayat ath Thabarani dari Ibnu Abbas:: َْطب ِدجِ ِٗ أَ ْْ الَ َوب َ ٍَٝضب َعثَخً اِ ْشزَ َغطَ َػ َ ُِ ت ئِ َطا َصفَ َغ ْاٌ َّب َي ِ ٍَِِّّ ُضَٔب ْاٌ َؼجهبؽُ ثُْٓ َػ ْج ِض ْاٌ ُّط١َس ْ ً فَا ِ ْْ فَ َؼ ًَ َط ِي، ثِ ِٗ صَاثهخ َطادَ َوجِ ٍض َعطجَ ٍخٞ َ ٍَُ ْس٠َن َ َ ْشز َِغ٠ َالَٚ ،ًب٠ا ِصَٚ ِٗ َِ ْٕ ِؼ َي ث٠ َالَٚ ،ه ثِ ِٗ ثَذْ ًغا ، َِّٓ ض َ ُٖ َسٍه َُ فَأ َ َجب َػَٚ ِٗ ٌِآَٚ ِٗ ١ْ ٍَ َّللاُ َػٝطٍه َ ِْ َي َّللاُٛع(فَجٍََ َغ شَغْ طُُٗ َعسْٚاعةطيا ٖاٞ ( سظ ػٓ اث ٓ ػ جبؽٚ األٝ ف "Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu sampai pada Rasulullah, beliau membolehkannya." (HR. Thabarani dari Ibnu Abbas) c. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:: ٌ َصَال: ،ُضخ َسٍه َُ لَب َيَٚ ِٗ ٌِآَٚ ِٗ ١ْ ٍَ َّللاُ َػٝطٍه َ ٟأَ هْ إٌهجِ ه: ُ هٓ ْاٌجَ َغ َوخِٙ ١ْ ِس ف َ ْاٌ ُّمَب َعَٚ ،ًٍ أَ َجٌَِٝ ُغ ئ١ْ َاٌج ِْغ١َذ الَ ٌِ ٍْج ِ ١ْ َ ِْغ ٌِ ٍْج١س ٍَْظُ ْاٌجُ ِّغ ثِبٌ هش ِؼَٚ (عٚت( ْةا ٖا١ ِٙبجٗ ػٓ ط "Nabi bersabda, 'Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual." (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib) d. Hadis riwayat Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Kitab Ahkam, bab: "ma dzukira 'an Rasulillah", No: 1272: ٍََْٝ َػُّٛ ٍِ ْاٌ ُّ ْسَٚ ْ أَ َد هً َد َغا ًِبََٚٓ ئِاله ط ٍُْذًب َد هغ ََ َدالَالً أ١ِّ ٍَِٓ ْاٌ ُّ ْس١ْ َاٌظُّ ٍْ ُخ َجبئِ ٌؼ ث ْ أَ َحَٚ ُْ ئِاله شَغْ طًب َد هغ ََ َدالَالً أِٙ ِطُٚ هي َد َغا ًِب ُشغ. "Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." e. Atsar dari Sayyidina 'Ali karramallahu wajhah (al-Mushannaf,
Abdurrazzaq, 8/238, al-Maktab al-Islami 1403 H cet. II): ٌُ َعةِّ ْاٍَٝ َؼخُ ػ١ْ ض ِ َٛ ٌ ْاَٚ ِٗ ١ْ ٍَْ ا َػُٛ َِب اطْ طٍََذٍَٝاَ ِي اٌ ِّغ ْث ُخ ػ "Keuntungan ditentukan sesuai dengan kesepakatan, dan kerugian ditanggung pemilik modal." 3. Kaidah fikih, antara lain: a. َبِّٙ ٠ْ رَذْ ِغٍَٝ ًٌ َػ١ْ ٌَِ ُض هي َص٠ ْْ َد ْا ِإلثَب َدخُ ئِاله أ ِ َ ْاٌ ُّ َؼب َِالِٝاألطْ ًُ ف "Pada dasarnya, segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya." b. ِد ْاٌ َّظْ ٍَ َذخُ فَضَ هُ ُد ْى ُُ َّللا ِ ِج َضُٚ َٕ َّب٠ْ َأ "Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah." ُ اٌّـُزَجَ ِّغ c. ُجْ جَ ُغ٠ ع َال "Orang yang berderma tidak boleh dipaksa." (Durar al-Hukkam fi Syarh al-Majallah al-Ahkam, pasal 761, hlm. 216) d.
ْ طٌ ثِ ْبٌ َّظْ ٍَ َذ ِخَُِٕٛ ه ِخ١ اٌ هغ ِػٍَٝظغُّ فُ ْا ِإل َِ ِبَ َػ َ َ ٖاةشأيا( رٚيع عباظْياٜ َةٖط : اٌ مب٘غح،ُ١ ُ ث ٓ ٔ ج١ ٘ ٓ ث ٓ اث غا٠ ٓ اٌ ؼبث ض٠ فخ اٌ ٕ ؼّبْ ٌ ؼ١ ٕ دٟ أث ِإ س سخٝ اٌ ٕظبئ غ فٚ ٖ؛ األ ش جب321 . ص،8691 ،ٖ شغو بٚ ٟاٌ ذ ٍ ج ث ىغٟ ٓ ػ جض اٌ غدّٓ ث ٓ أث٠خ ٌ ج الي اٌ ض١ ع ف مٗ اٌ شبف ؼٚف غٚ اػضٛ ل (332 . ص،7891 ،ٟ صاع اٌ ى زبة اٌ ؼغث:دٚغ١ ث،ٟطٛ١ اٌ س "Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus mempertimbangkan mashlahat." (al-Asybah wa al-Nazha`ir 'ala Madzhab Abi Hanifah al-Nu'man, Zain al-Abidin Ibnu Ibrahim Ibn Nujaim, Kairo: Mu`assasah alHalabi wa Syirkah. 1968, hlm. 123;dan al-Asybah wa alNazha`ir fi Qawa'id wa Furu' Fiqh al-Syafi'iyyah, Jalal al-Din 'Abd al-Rahman Ibnu Abi Bakr al-Suyuthi, Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi. 1987, hlm. 233)
e.
ٖاةشأيا(اٌ َذب َجخُ رَ ْٕ ِؼ ُي َِ ْٕ ِؼٌَخَ اٌ هٚيع عباظْياٜ َةأ ةٖطٞ ْحٞحف ْ َع ِحُٚضغ ِإ س سخ: اٌ مب٘غح،ُ١ ُ ث ٓ ٔ ج١ ٘ ٓ ث ٓ ئث غا٠ ٓ اٌ ؼبث ض٠اٌ ٕ ؼّبْ ٌ ؼ عٚف غٚ اػضٛ لٝ اٌ ٕظبئ غ فٚ ٖ؛ األ ش جب19 . ص،8691 ،ٖ شغو بٚ ٟاٌ ذ ٍ ج خ١ ف مٗ اٌ شبف ؼ،ٟطٛ١ ث ىغ اٌ سٟ ٓ ػ جض اٌ غدّٓ ث ٓ أث٠ٌ ج الي اٌ ض (971 . ص،7891 ،ٟ صاع اٌ ى زبة اٌ ؼغث:دٚغ١ ث "Hajat menempati tempat darurat." (Dalam pengertian, hajat dapat berstatus sama dengan darurat).(al-Asybah wa al-Nazha`ir ala Madzhab Abi Hanifah al-
Nu`man, Zain al-Abidin Ibnu Ibrahim Ibnu Nujaim, Kairo: Mu`assasah al-Halabi wa Syirkah. 1968, hlm. 91; al-Asybah wa al-Nazha`ir fi Qawa'id wa Furu` Fiqh al-Syafi`iyah, Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibnu Bakr al-Suyuthi, Beirut: Dar al-Kitab alArabi, 1987, hlm. 179) ُّ قيا( رُ ِذٖٚقفيا صعاٖٞفَ حَٖٚا، ْاٖدأش، f. َ ِْغ ِٖ اٌ َذب َجخُ ال١َأْ ُس َظ َِب َي َغ٠ ْْ َك ِألَ َد ٍض أ أدّضٍٟ ػ،بٙ مبر١ ر ط ج،بّٙ زِٙ ،بٙ أصٌ ز،بٙ صعا سخ ِإٌ فبر،ع٘بٛر ط (201 . ص،4991 ،ٍُ صاع اٌ م: صِ شك،ٞٚاٌ ٕض "Hajat tidak menyebabkan bagi seseorang boleh mengambil harta milik pihak lain."(al-Qawa'id al-Fiqhiyyah ..., 'Ali Ahmad alNadwi, Damaskus: Dar al-Qalam. 1994, hlm. 102) g.
ٍّٟ ت شَغْ ِػ ٍ ََأْ ُس َظ َِب َي أَ َد ٍض ثِالَ َسج٠ ْْ َْ ُػ ِألَ َد ٍض أَُٛج٠ َقيا حعش(الٖٚقفيا صعاٞح، . ص،9891 ،ٍُ صاع اٌ م: صِ شك،ز ِذّض اٌ ؼعل ب١ ز أدّض ث ٓ اٌ ش١ ٌ ٍ ش 465)
"Seseorang/pihak tidak boleh mengambil harta milik pihak lain tanpa sebab yang sah menurut syara'." (Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, Syekh Ahmad Ibn Syekh Muhammad al-Zarqa, Damaskus: Dar al-Qalam. 1989, hlm. 465). a. Keputusan AAOIFI dalam Mi'yar Syar'i, nomor: 12 (angka 3/1/5/14) yang menyatakan bahwa: ْ ْا ِالدْ زِفَب ِظ ثِأَعٍَٝاع َِِٓ اٌ ُّش َغ َوب ِء َػ ٍ لَ َغٌَِْٝ ئَٚ ِٔظَ ِبَ اٌ ِّشغْ َو ِخ أٌَِْٝ ُػ إٌهضُّ ثِبْ ِال ْسزَِٕب ِص ئَُٛج٠ بح اٌ ِّشغْ َو ِخ ِ َث َْٚ أ، ٍْغ٠ْ ِػَْٛ َْ رٚ ِٓ ُص٠ْ ِٛ ْ ٌِزَ ْىَٚ أ،َخً ٌِ َّالَ َء ِح اٌ ِّشغْ َو ِخ٠ِٛ رَ ْمٞ َ ْ ْ ٍّ ْ ِعَٚبح ثِ َشى ًٍ ص ِ َهَٕ ٍخ َِِٓ األعْ ث١َدس ُِْ ِٔ ْسجَ ٍخ ُِ َؼ ْ َ ِخ َِ َشب ِطغ َس َسب َع ِح َعٙا َجَٛ ُّ ٌِ ٍّ سَبصٍّٟ َب ِط١ِعْ ثَبح ادْ ز. َ ِْغ ْاأل٠ْ ِػَٛ ُِ َؼ هض ِي رٍَْٝ ٌِ ٍْ ُّ َذبفَظَ ِخ َػَٚ أ،ؽ ْاٌ َّب ِي أ ِ ِ ِ
Memperhatikan:
"Berdasarkan anggaran dasar perusahaan atau keputusan dari para pemegang saham, perusahaan boleh menahan keuntungan perusahaan tanpa dibagikan, atau menyisihkan keuntungan dalam jumlah tertentu secara periodik untuk memperkuat kinerja perusahaan (solvency reserve), atau membentuk cadangan khusus untuk menanggulangi risiko kerugian modal (investment risk reserve), atau untuk menjaga kestabilan pembagian keuntungan (profit equalization reserve)." b. Pendapat Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu(juz V, hlm. 3939): ْ َِخٌ ئِ ْْ َػا َص اٌ ِّغٍُْٛ َصحٌ َِ ْؼٚ ِٓ َص َعا ِ٘ ُُ َِ ْؼ ُض٠ْ ُ ْشزَ َغطَ ِألَ َد ِض ْاٌ َؼبلِ َض٠ ْْ َه ِخ أ١ِْ ُػ ِػ ْٕ َض ْاٌ َذَٕفَُٛج٠َٚ َاع َو َظا ِ ِِ ْمضٍَْٝث ُخ َػ ْ ٌ ِّ َ َ َ َ َ ه ضب َع َ ٌِ فظ،ُِ ِ٘ ْخ َِِٓ اٌض َعا َ ُّ ٌط هذ ِخ ا َ ه شَغْ ط ِ ْٟ ُِ َإص ُغ ف٠ ٌخ ال١ْ ط ِذ ِ َبٌ ِخ اٌ ِّغثٙ َجٌِٝ ئُِّٜ َإص٠ ألَٔهُٗ ال،ثَ ِخ. "Ulama Hanafiah membolehkan untuk membuat syarat bahwa salah satu pihak yang berakad memperoleh dinar dengan jumlah tertentu yang
diketahui dalam hal keuntungan usaha melebihi nilai tertentu; syarat tersebut dipandang sah dan tidak berdampak pada sahnya akad mudharabah, karena hal tersebut tidak menyebabkan ketidakjelasan (bagian) keuntungan." c. Kesimpulan dan Rekomendasi Working Group Perbankan Syariah (Bank Indonesia, Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, dan Ikatan Akuntan Indonesia) tentang Pengaturan Pendapatan danPembentukan Cadangan dalam Rangka Penyesuaian Keuntungan (Profit Equalization Reserve), tanggal 20 Desember 2012; d. Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Jumat, tanggal 21 Desember 2012.
MEMUTUSKAN Menetapkan:
Pertama
:
Kedua
:
METODE PERATAAN PENGHASILAN (INCOME SMOOTHING) DANA PIHAK KETIGA Ketentuan Umum Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan: 1. Metode Perataan Penghasilan/Laba (Income Smoothing Method) adalah pengaturan pengakuan dan pelaporan laba atau penghasilan dari waktu ke waktu dengan cara menahan sebagian laba/penghasilan dalam satu periode dan dialihkan pada periode lain dengan tujuan mengurangi fluktuasi yang berlebihan atas bagi hasil antara Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Nasabah penyimpan dana (Dana Pihak Ketiga/DPK); 2. Metode Perataan Penghasilan dengan Membentuk Dana Cadangan adalah pengaturan distribusi keuntungan dari waktu ke waktu atas bagi hasil antara LKS dan Nasabah Penyimpan Dana dengan cara membentuk cadangan perataan laba/penghasilan (Profit Equalization Reserve); 3. Profit Equalization Reserve (PER) adalah dana cadangan yang dibentuk oleh LKS yang berasal dari penyisihan selisih laba LKS yang melebihi tingkat imbalan/hasil yang diproyeksikan untuk penyesuaian bagi hasil dana mudharabah (muthlaqah); dan dalam hal simpanan dana Nasabah menggunakan akad mudharabah muqayyadah, jika disepakati para pihak, pembentukan cadangan penyesuaian bagi hasil dapat pula berasal dari penyisihan keuntungan Nasabah yang melebihi tingkat bagi hasil yang diproyeksikan; 4. Metode Perataan Penghasilan Tanpa Membentuk Cadangan adalah pengaturan pengakuan dan pelaporan laba dari waktu ke waktu untuk tujuan pengaturan bagi hasil antara LKS dan Nasabah tanpa pembentukan cadangan. Ketentuan Hukum Metode Perataan Penghasilan dengan atau tanpa membentuk cadangan boleh
dilakukan dalam Bagi Hasil Dana Pihak Ketiga (DPK) dengan mengikuti ketentuanketentuan yang terdapat dalam fatwa ini. Ketentuan terkait Pembentukan Dana Cadangan
Ketiga
:
1. LKS boleh membentuk Dana Cadangan (PER) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya realisasi bagi hasil untuk Nasabah penyimpan dana di bawah tingkat imbalan yang diproyeksikan; 2. Dana Cadangan (PER) secara prinsip boleh dibentuk melalui penyisihan keuntungan sebelum dibagihasilkan dengan syarat: a. bagi hasil aktual melebihi tingkat imbalan yang diproyeksikan, dan b. dengan izin Nasabah DPK; 3. Dana Cadangan (PER) tidak boleh dibentuk dengan mengurangi bagi hasil yang merupakan hak nasabah DPK apabila bagi hasil aktual lebih kecil dari tingkat imbalan yang diproyeksikan; 4. Dalam hal akad Mudharabah Muqayyadah, Dana Cadangan (PER) boleh juga dibentuk melalui penyisihan keuntungan hak Nasabah yang melebihi tingkat imbalan yang diproyeksikan setelah dibagihasilkan dengan izin Nasabah DPK; 5. Dana Cadangan (PER) yang dibentuk LKS dari penyisihan keuntungan sebelum dibagihasilkan yang melebihi tingkat imbalan yang diproyeksikan merupakan hak Nasabah DPK secara kolektif yang harus dikelola secara terpisah oleh LKS untuk proses pengaturan pendapatan dan tingkat imbalan bagi Nasabah DPK; 6. Pengaturan dan pengawasan lebih lanjut terhadap kebijakan dan pelaksanaan LKS dalam Pembentukan Dana Cadangan (PER) dan penggunaannya merupakan kewenangan pihak otoritas. Ketentuan terkait Perataan Penghasilan dengan atau tanpa Pembentukan Cadangan
Keempat
:
1. Metode Perataan Penghasilan yang dibolehkan adalah: dengan membentuk cadangan atau tanpa membentuk cadangan; 2. Perataan Penghasilanhanya boleh digunakan LKS dalam kondisi yang diduga kuat berpotensi menimbulkan risiko penarikan dana nasabah akibat tingkat imbalan dari LKS yang tidak kompetitif (displaced commercial risk); 3. Kondisi sebagai dimaksud pada angka 2 di atas harus ditentukan oleh pengurus LKS berdasarkan pedoman operasional/standard operating prosedure (SOP) LKS dengan memperhatikan opini Dewan Pengawas Syariah; 4. Kebijakan Perataan Penghasilan hanya boleh diberlakukan terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) yang menggunakan akad mudharabah; 5. Kebijakan Metode Perataan Penghasilan tidak boleh dilakukan apabila dalam implementasinya menimbulkan kecenderungan praktik ribawi terselubung di mana imbalan diberikan tanpa memperhatikan hasil nyata; dan
6. Dalam penggunaan Metode Perataan Penghasilan Tanpa Cadangan yang dilakukan dalam hasil usaha yang dibagihasilkan lebih rendah dari proyeksi, LKS boleh melepaskan haknya (isqath al-haqq / at-tanazul 'an alhaqq) untuk menyesuaikan imbalan bagi nasabah DPK agar kompetitif dan dapat diberitahukan kepada nasabah.
Kelima
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari :ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di:Jakarta Tanggal 07 Shafar 1434 H : 21 Desember 2012 M
DEWAN SYARI'AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA Ketua K.H. MA Sahal Mahfudh Sekretaris Drs. H. M Ichwan Sam