CONTINUING MEDICAL EDUCATION CONTINUING MEDICAL EDUCATION CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Akreditasi PB IDI–2 SKP
Ensefalopati Hepatikum Minimal Suzanna Ndraha Ahli Penyakit Dalam, Konsultan Gastroenterohepatologi, Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK Ensefalopati hepatik (EH) merupakan salah satu komplikasi sirosis hati, angka kejadiannya lebih tinggi pada penderita sirosis hati malnutrisi. Ensefalopati hepatik minimal (EHM) adalah keadaan di mana tidak terdapat gangguan klinis, namun pada tes psikometrik ditemukan kelainan. EHM penting karena mengurangi kualitas hidup dan berisiko berkembang menjadi EH. Beberapa tahun belakangan ini, tes critical flicker frequency (CFF) telah dikembangkan untuk mendiagnosis EHM. Tes ini telah divalidasi terhadap baku emas PHES. ESPEN 2006 merekomendasikan diet 35-40 kkal/kgBB/hari dan protein 1,5 g/kgBB/hari untuk sirosis hati dengan malnutrisi. L-ornitin-Laspartat (LOLA) terbukti dapat menurunkan kadar amonia darah. Beberapa studi telah membuktikan manfaat LOLA dan protein 1,5 g/ kgBB/hari termasuk BCAA dapat memperbaiki kondisi ensefalopati dan status gizi. Kata kunci: Ensefalopati hepatik, L-ornitin-L-aspartat, sirosis hati
ABSTRACT Hepatic encephalopathy (HE) is one of the complications in liver cirrhosis, the incidence is higher in malnutrition. Minimal hepatic encephalopathy (MHE) is clinically asymptomatic, detected by impaired psychometric test. MHE has been found to affect the quality of life and is a risk to develop overt HE. In recent years, critical flicker frequency (CFF) test has been developed for the diagnosis of MHE. This test has been validated to the gold standard PHES. ESPEN 2006 recommend that diet 35-40 kcal/kgBW/day and protein 1.5 g/kgBW/day for liver cirrhosis with malnutrition. Recent studies proved the efficacy of L-ornithine-L-aspartate (LOLA) and 1.5 g protein/kgBW including BCAA improve encephalopathy as well as nutritional status. Suzanna Ndraha. Minimal Hepatic Encephalopathy. Keywords: Hepatic encephalopathy, L-ornithine-L-aspartate, liver cirrhosis
PENDAHULUAN Sirosis hati merupakan perjalanan patologi akhir berbagai macam penyakit hati, seperti hepatitis virus kronik, alkoholisme, hepatitis autoimun, nonalcoholic steatohepatitis (NASH), sirosis bilier. Akibat proses sirosis, terjadi penurunan fungsi sintesis hati, penurunan kemampuan hati untuk detoksifikasi, dan hipertensi portal dengan segala penyulitnya.1 Salah satu komplikasi yang perlu diwaspadai ialah ensefalopati hepatik. Ensefalopati hepatik (EH) adalah sindrom disfungsi neuropsikiatri yang disebabkan oleh portosystemic venous shunting, dengan atau tanpa penyakit intrinsik hepar. Pasien EH sering menunjukkan perubahan status mental mulai dari kelainan psikologik ringan hingga koma dalam.1 Alamat korespondensi
824
PATOFISIOLOGI Banyak hipotesis diajukan untuk menerangkan mekanisme EH, yang paling banyak diterima adalah teori peningkatan amonia akibat berkurangnya fungsi hati dan pintasan portosistemik.2 Amonia adalah neurotoksin yang pada dosis tinggi menimbulkan kejang dan kematian. Kadar amonia dalam otak, cairan serebrospinal, dan arteri berkorelasi baik dengan stadium klinik EH.3 Peningkatan pembentukan amonia dapat terjadi akibat tingginya asupan protein, konstipasi, perdarahan saluran cerna, infeksi, azotemia, atau hipokalemia. Dehidrasi, hipotensi arteri, hipoksemia, serta anemia dapat menimbulkan hipoksia hepatik, sehingga kemampuan detoksifikasi hati berkurang, dan akibatnya kadar amonia meningkat.
Progresivitas penyakit hati dan degenerasi hepatoma mengakibatkan penurunan fungsi cadangan hati, sehingga kemampuan metabolisme toksin oleh hati ikut berkurang. Pada sirosis hati, sering terjadi perlambatan transit makanan di saluran cerna, sehingga paparan dengan bakteri usus terjadi lebih lama, mengakibatkan produksi amonia meningkat.4 Norenberg (2006) mengajukan teori patogenesis EH yang melibatkan reseptor benzodiazepine perifer (PBR/Peripheral Benzodiazepine Receptor) dan neurosteroid. Dikemukakan bahwa amonia adalah toksin utama pada EH dan astrosit adalah target utama. Peningkatan amonia mengakibatkan peningkatan jumlah reseptor PBR, termasuk pada astrosit. PBR kemudian meningkatkan produksi radikal bebas (ROS/Reactive
email:
[email protected]
CDK-234/ vol. 42 no. 11, th. 2015
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Gambar 2. Siklus glutamat-glutamin di otak. Glutamat presinaptik menuju reseptornya di postsinaps. Ambilan glutamat postsinaptik dimediasi oleh transporter glutamat astrosit/ Gambar 1. Terjadinya disfungsi astrosit akibat hiperamonemia.5
Excitatory Amino Acid Transporters (EAAT).6
Oxygen Species). Radikal bebas ini menimbulkan stres oksidatif pada mitokondria, sehingga terjadi disfungsi mitokondria. Disfungsi mitokondria ini kemudian mengakibatkan disfungsi astrosit.3 (Gambar 1)
mengaktifkan nuclear factor kappa B, yang kemudian mengaktifkan iNOS (inducible nitric oxide synthase), lalu menghasilkan nitric oxide, yang akhirnya menyebabkan disfungsi astrosit.
Lemberg (2009) mengajukan teori patofisiologi EH yang melibatkan amonia, glutamin, glutamat, dan stres oksidatif. Metabolisme amonia di otak terjadi melalui glutamin sintetase yang ada di astrosit. Glutamin sintetase mengubah amonia dan glutamat menjadi glutamin.6 Glutamin bersifat osmotik aktif, sehingga peningkatan glutamin menyebabkan air masuk ke astrosit dan terjadi edema (Gambar 2,3).6,7
Penilaian beratnya EH, antara lain menggunakan klasifikasi status mental berdasarkan kriteria West Haven modifikasi oleh Conn dan Bircher 1994.8 Ensefalopati hepatik derajat mild, yang juga disebut ensefalopati hepatik minimal (EHM), adalah keadaan klinis di mana tidak terdapat tanda gangguan mental, namun pada tes psikometrik sudah ditemukan kelainan. EHM penting karena mengurangi kualitas hidup,9 dan merupakan risiko nyata EH.10 Pasien EHM sering mengalami gangguan tidur, gangguan inteligensia, dan gangguan kemampuan mengemudi kendaraan yang sering mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.9,10
Peningkatan amonia menimbulkan deplesi glutamat otak, padahal glutamat adalah neurotransmiter eksitatori utama di otak. Hiperamonemia juga menimbulkan stres oksidatif di mitokondria. Stres oksidatif ini
Gambar 3. Peranan neurotoksin amonia pada astroglia7
CDK-234/ vol. 42 no. 11, th. 2015
DIAGNOSIS Tes diagnostik yang awalnya digunakan untuk EHM adalah tes psikometrik dan elektrofisiologik. Tes elektrofisiologik yang meliputi visual-evoked, somatosensory-evoked, dan brain stem auditory– evoked potentials, ternyata tidak mudah dilakukan dalam praktik karena biayanya mahal, memerlukan peralatan canggih, dan ternyata sensitivitasnya masih di bawah tes psikometrik. Tes psikometrik yang meliputi 5 tes, yaitu the digit symbol test (DST), the number connection test A (NCTA), the number connection test B (NCT-B), the serial dotting test (SDT), dan the line drawing test (LDT), direkomendasikan sebagai baku emas diagnosis EHM dalam konsensus di Viena tahun 1998.15 Kelima tes yang dinamakan PHES (the Psychometric Hepatic Encephalopathy Score) ini juga ternyata tidak mudah dalam pelaksanaannya, karena memerlukan waktu lama dan sangat dipengaruhi oleh tingkat edukasi dan usia penderitanya.11,12 Kesulitan tes psikometrik dan elektrofisiologik membuat EHM sulit didiagnosis. Hal ini mendorong para ahli untuk mencari alat diagnosis lain yang lebih mudah namun akurat. Kircheis (2002) mulai memperkenalkan tes critical flicker frequency (CFF) untuk diagnosis EHM. Berdasarkan hipotesis bahwa gliopati retina dapat dijadikan petanda adanya gliopati serebral, maka gangguan fungsi visual dapat menjadi dasar diagnosis EHM, dengan menggunakan cut off 39 Hz, dengan sensitivitas 76,2% dan spesifisitas 61,4%. Karena tes CFF kurang dipengaruhi
825
CONTINUING MEDICAL EDUCATION oleh tingkat pendidikan dan usia, dan mempunyai sensitivitas serta spesifisitas yang baik, disimpulkan bahwa tes CFF dapat digunakan untuk mendiagnosis dan memantau EHM.11,12 Gomez (2007) melakukan penelitian CFF dengan menggunakan cut off lebih rendah, yaitu 38 Hz, didapatkan sensitivitas lebih baik (72,4%) dan spesifisitas 77,2%. Gomez juga melakukan validasi CFF terhadap baku emas EHM, yaitu PHES, dan didapatkan bahwa CFF berkorelasi baik dengan PHES dengan spesifisitas 77,2% dan sensitivitas 72,4%. Berdasarkan hasil ini, disimpulkan bahwa CFF merupakan alat diagnosis yang mudah dan akurat untuk menilai EHM.12 Di India, Sharma (2007) menggunakan cut off 39 Hz, dan menyimpulkan bahwa CFF mempunyai sensitivitas serta spesifisitas yang baik (96% dan 77%), serta mempunyai akurasi 83,3% dibandingkan terhadap tes psikometri dan P300ERP.11 Di Indonesia, juga telah dilakukan penelitian untuk menilai presisi tes CFF5 yang dibutuhkan untuk validasi tes CFF di Indonesia. Penelitian terhadap pasien sirosis hati di RSCM dan RS Koja mendapatkan hasil bahwa tes ini mempunyai presisi yang baik.5,15 Berdasarkan uji validasi CFF di Spanyol dan India yang mendapatkan hasil baik, dan uji presisi CFF di Indonesia yang juga mendapatkan hasil baik, maka tes CFF dapat dilakukan sebagai alat diagnostik EHM di Indonesia.5,10 Suatu pemeriksaan diagnostik mempunyai presisi tinggi jika hasilnya tidak jauh berbeda bila diulang, dengan Coeficient of Variation (CoV) <5%. Uji validasi membandingkan suatu pemeriksaan diagnostik dengan baku emasnya. Knottnerus (2009) menyatakan, agar dapat diaplikasikan dengan baik, maka suatu tes membutuhkan presisi yang baik.13 Irwig (2009) mengemukakan, uji validasi di suatu negara tidak perlu diulang bila memenuhi persyaratan tertentu, yaitu definisi penyakit konstan dan tes yang digunakan sama; maka uji validasi CFF tidak perlu dilakukan di Indonesia.14 PENGARUH MALNUTRISI Pembatasan asupan protein sering diberikan kepada pasien sirosis hati yang mengalami EH. Pada tahap akut diberikan 20 g/hari, kemudian ditingkatkan 10 gram tiap 3-5 hari. Para ahli kemudian menyadari bahwa
826
pembatasan protein jangka panjang akan berakibat malnutrisi, yang berdampak pada meningkatnya angka mortalitas. Keseimbangan nitrogen positif dibutuhkan untuk regenerasi hati dan mempertahankan massa otot yang dibutuhkan untuk detoksifikasi amonia.17 European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (1997) merekomendasikan diet 35-40 kkal/kgBB/hari dan protein 1,5 g/kgBB/hari untuk sirosis hati dengan malnutrisi. ESPEN juga merekomendasikan penggunaan asam amino rantai cabang (AARC) untuk meningkatkan status nutrisi pada sirosis hati dengan malnutrisi. Pada EH derajat 1-2, protein diturunkan menjadi 0,5 –1,5 g/kgBB/hari.16 Setelah ensefalopati membaik, secara bertahap pemberian protein ditingkatkan kembali menjadi 1,2-1,5 g/kgBB/hari. Namun, konsensus ESPEN 2006 tidak lagi merekomendasikan pembatasan protein pada EH derajat 1-2, karena makin disadari bahwa malnutrisi akan memperburuk prognosis.18
gangguan absorpsi, dan hipermetabolik. Asupan kurang dapat disebabkan karena ensefalopati, gangguan indra perasa/kecap, rasa cepat kenyang karena penekanan asites yang masif, ataupun batasan diet oleh dokter. Gangguan absorpsi dapat disebabkan karena berkurangnya garam empedu, overgrowth bakteri yang mengakibatkan gangguan motilitas usus halus, hipertensi portal, ataupun obat (misalnya neomisin). Sedangkan keadaan hipermetabolik dapat terjadi karena infeksi dan asites.16 Malnutrisi dihubungkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien penyakit hati kronik. Penderita sirosis hati yang malnutrisi mempunyai angka kejadian ensefalopati, infeksi, dan perdarahan varises yang lebih tinggi.16 Kalaitzakis, dkk. mempelajari status nutrisi dan kejadian EH pada sejumlah penderita sirosis hati. Didapatkan bahwa 40% pasien sirosis tergolong malnutrisi, dan ternyata pada kelompok pasien dengan malnutrisi lebih banyak kejadian EH. Pasien malnutrisi telah terbukti mempunyai angka survival lebih rendah.17
Malnutrisi pada sirosis hati antara lain disebabkan oleh asupan yang kurang,
Pembatasan asupan protein masih merupakan kontroversi dalam penatalaksanaan
Gambar 4. Mekanisme kerja L-ornitin L-aspartat di hepatosit21
CDK-234/ vol. 42 no. 11, th. 2015
CONTINUING MEDICAL EDUCATION EH. Di masa lalu, asupan protein selalu dibatasi pada EH. Namun, pembatasan ini akan memperburuk malnutrisi, sedangkan pada beberapa penelitian didapatkan bahwa malnutrisi juga akan meningkatkan angka kejadian EH pada sirosis hati.4,16 Sebagian ahli menganjurkan pembatasan protein,7 dengan tujuan mengurangi pembentukan amonia. Namun, sebagian lain tidak menganjurkan karena akan memperburuk malnutrisi. Banyak penelitian kemudian membuktikan bahwa diet protein adekuat tidak memperburuk EH. Gheorghe19 dan Parrish20 membandingkan efek diet rendah protein terhadap protein normal pada EH, keduanya menyatakan bahwa pemberian diet protein normal tetap menunjukkan perbaikan EH, sehingga restriksi protein tidak dibutuhkan lagi pada EH. Konsensus ESPEN 2006 juga tidak lagi merekomendasikan pembatasan protein pada EH derajat 1-2, karena makin disadari bahwa malnutrisi akan memperburuk prognosis.18 PERANAN LOLA LOLA adalah garam asam amino ornitin dan aspartat yang stabil dan telah terbukti menurunkan kadar amonia darah dan memperbaiki psychometric performance pasien EH dengan hiperamonia. LOLA menstimulasi siklus urea dan sintesis glutamin, yang merupakan mekanisme penting dalam detoksifikasi amonia (Gambar 4).21 Pada hepatosit periportal, amonia akan diubah menjadi urea melalui siklus urea. Ornitin berfungsi mengaktifkan enzim carbamyl phosphate synthetase (Cbm-P), sehingga siklus urea bisa berlangsung, di samping itu ornitin juga menjadi substrat dalam siklus
urea itu sendiri. Pada hepatosit perivenous, amonia akan diubah menjadi glutamin melalui siklus glutamin. Aspartat berfungsi membentuk dan mengaktifkan enzim glutamin sintetase, di mana enzim tersebut akan mengubah amonia menjadi glutamin. Pada sirosis, sel hati yang sehat tinggal sedikit sehingga dibutuhkan lebih banyak ornitin dan aspartat untuk mengimbangi detoksifikasi secara cepat. Demikian juga pada organ lain membutuhkan tambahan ornitin dan aspartat yang dibutuhkan juga dalam siklus glutamin.22 TATALAKSANA Penatalaksanaan umum adalah dengan memperbaiki oksigenasi jaringan.1 Penataksanaan khusus adalah dengan mengatasi faktor pencetus koma hepatik, misalnya asupan protein dikurangi atau dihentikan sementara, kemudian baru dinaikkan secara bertahap.1,2 Namun, pembatasan asupan protein masih merupakan kontroversi dalam penatalaksanaan EH. Sumber protein yang diberikan pada ensefalopati hepatik terutama merupakan asam amino rantai cabang dengan harapan neurotransmiter asli dan palsu akan berimbang, dan dengan ini, metabolisme amonia di otot dapat bertambah. Selain itu, diberikan laktulosa dengan dosis 10-30 ml, 3 kali/hari dengan harapan pH asam pada usus akan menghambat penyerapan amonia. Sterilisasi usus juga harus dilakukan dengan pemberian neomisin 4 x 1-2 gram/hari per oral.1,2 L-ornitin-L-aspartat (LOLA) saat ini sudah mulai banyak digunakan untuk mengatasi EH, karena terbukti dapat menurunkan
kadar amonia darah.21,23 Dengan adanya LOLA, maka upaya menurunkan kadar amonia darah tidak perlu melalui pembatasan asupan protein. Protein yang tidak dibatasi akan menguntungkan penderita EH yang malnutrisi, karena status nutrisi dapat diperbaiki tanpa kuatir terjadi EH.22 LOLA bekerja melalui stimulasi siklus urea, maka tidak dianjurkan pada gangguan fungsi ginjal dengan kadar kreatinin di atas 3 mg/ dL.7 Karena EHM dan malnutrisi meningkatkan mortalitas dan morbiditas pada sirosis hati, maka perlu dipikirkan pemberian LOLA bersama-sama dengan upaya perbaikan gizi. Ndraha, dkk.22,24 dalam penelitiannya telah melaporkan manfaat pemberian LOLA dan diet protein 1,5 g/kgBB/hari pada EHM di Indonesia. Dalam penelitiannya, pada sirosis hati dengan malnutrisi, pemberian LOLA digabungkan dengan perbaikan gizi bersama substitusi asam amino rantai cabang (AARC), dengan perbaikan klinis dan parameter laboratorium yang signifikan. Didapatkan peningkatan kadar prealbumin yang merupakan parameter perbaikan status nutrisi, dan peningkatan nilai CFF yang merupakan parameter perbaikan ensefalopati hepatik. SIMPULAN EHM masih merupakan masalah dalam diagnosis dan tatalaksananya, khususnya bila disertai penyulit malnutrisi. Pemberian LOLA disertai diet protein 1,5 g/kgBB/hari dan substitusi asam amino rantai cabang (AARC) pada sirosis hati dengan malnutrisi diharapkan dapat memberi hasil yang menjanjikan.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Kusumobroto HO. Sirosis hati. In: Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, Noer HMS, editors. Buku ajar ilmu penyakit hati. 1st ed. Jakarta: Jayabadi; 2007. p. 335-45.
2.
Ndraha S. Sirosis hati. In: Ndraha S, editor. Bahan ajar gastroenteroheapatologi. 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit UKRIDA; 2013. p.173-90.
3.
Norenberg MD, Jayakumar AR, Rama Rao KV, Panickar KS. The peripheral benzodiazepine receptor and neurosteroids in the pathogenesis of hepatic encephalopathy and amonia
4.
Kalaitzakis E, Olsson R, Henfridsson P, Hugosson I, Bengtsson M, Jalan R. Malnutrition and diabetes mellitus are related to hepatic encephalopathy in patients with liver cirrhosis. Liver
5.
Iskandar M, Ndraha S, Hasan I, Setiati S. Presisi ensefalopati minimal pada pasien sirosis hepatis rawat jalan di RS Cipto Mangunkusumo [Kumpulan Abstrak]. Jakarta: KOPAPDI; 2009.
6.
Lemberg A, Fernández MA. Hepatic encephalopathy, amonia, glutamate, glutamin and oxidative stress. Annals of Hepatology 2009; 8: 95-102.
7.
Merz Pharmaceuticals GmbH. Liver diseases and hepatic encephalopathy. Scientific Product Monograph. Frankfurt: Merz Pharmaceuticals GmbH; 2004. p.112-3.
8.
Munoz SJ. Hepatic encephalopathy. Med Clin N Am. 2008; 92: 795-812.
9.
Bajaj J. Management options for minimal hepatic encephalopathy. Expert Review of Gastroenterology & Hepatology 2008; 2: 785-90.
neurotoxicity. In: Häussinger, Kircheis G, Schliess F, ediotrs. Hepatic encephalopathy and nitrogen metabolism. The Netherlands: Springer; 2006. p.143-59.
International 2007; 27: 1194-201.
10. Ortiz M, Jacas C, Co´rdoba J. Minimal hepatic encephalopathy: Diagnosis, clinical significance and recommendations. J Hepatol. 2005; 42: 45-53. 11. Sharma P, Sharma BC, Puri V, Sarin SK. Critical flicker frequency: Diagnostic tool for minimal hepatic encephalopathy. J Hepatol. 2007; 47: 67-73. doi:10.1016/j.jhep. 2007.02.022. 12. Gomez MR, Cordoba J, Jover R, Olmo JA, Ramirez M, Rey R. Value of the critical flicker frequency in patients with minimal hepatic encephalopathy. Hepatology 2007; 45: 879-85.
CDK-234/ vol. 42 no. 11, th. 2015
827
CONTINUING MEDICAL EDUCATION 13. Knottnerus JA, Muris JW. Assessment of the accuracy of diagnostic tests: The cross sectional study. The evidence base of clinical diagnosis: Theory and methods of diagnostic research. 2nd ed. Singapore: Blackwell; 2009. p.42-62. 14. Knottnerus JA, Irwig LM, Bossuyt PMM, Glasziou PP, Lijme JG. Designing studies to ensure that estimates of test accuracy will travel. The evidence base of clinical diagnosis: Theory and methods of diagnostic research. 2nd ed. Singapore: Blackwell; 2009. p.96-117. 15. Ndraha S, Hasan I. Critical flicker frequency pada sirosis hati di RSUD Koja. Kumpulan Abstrak (CD). Jakarta: KOPAPDI; 2009. 16. Henkel AS, Buchman AL. Nutritional support in patients with chronic liver disease. Nature Clinical Practice Gastroenterology & Hepatology 2006; 3: 202-9. 17. Abdo AA. An evidence-based update on hepatic encephalopathy. The Saudi Journal of gastroenterology 2006; 12: 8-15. 18. Plauth M, Cabre´ E, Riggio O, Camilo MA, Pirlich M, Kondrup J. ESPEN guidelines on enteral nutrition: Liver diseases. Clinical Nutrition 2006: 25: 285-94. 19. Gheorghe L, Iacob R, Vădan R, Iacob S, Gheorghe C. Improvement of hepatic encephalopathy using a modified high-calorie high-protein diet. Rom J Gastroenterol. 2005; 14: 231-8. 20. Perrish CR. Nutrition update in hepatic failure. Practical Gastroenterology [Internet]. 2014 April; 47-55. Available from: http://www.medicine.virginia.edu/clinical/departments/medicine/ divisions/ digestive-health/clinical-care/nutrition-support-team/practical-gastro/Parrish%20April% 2014.pdf 21. Rose CF. Ammonia lowering strategies for the treatment of hepatic encephalopathy. Clin Pharmacol Ther. 2012; 92(3): 321-31. doi: 10.1038/clpt.2012.112. [Epub 2012 Aug 8]. 22. Ndraha S, Simadibrata M. Normal protein diet and L-ornithine-L-aspartate for hepatic encephalopathy. Acta Med Indones. 2010; 42(3): 158-61. 23. Poo JL, Gongora J, Avila FS, Castillo SA, Ramos GG, Zertuche MF. Efficacy of L-ornitin L-aspartate in cirrhotic patients with hyperammonemic hepatic encephalopathy. Results of a randomized, lactulose controlled study. Annals of Hepatology 2006; 5: 281-8. 24. Ndraha S, Hasan I, Simadibrata M. The effect of L-ornithine L–aspartate and branch chain amino acids on encephalopathy and nutritional status in liver cirrhosis with malnutrition. Acta Med Indones. 2011; 43(1): 18-22.
828
CDK-234/ vol. 42 no. 11, th. 2015