ANALISIS FAKTOR YANG BERPENGARUH DAN GAP DALAM PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT BAGI INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KA YU (IPHHK)
Oleh: ELVIDA YOSEFI SURYANDARI
0606009433
Tesis Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Master Sains Ilmu Ekonomi Pada Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
DEPOK, 2007
PERSETUJUAN TESIS Nama
: ELVIDA YOSEFI SURYANDARI
N.P.M
: 0606009433
Kekhususan : Ekonomi Sumberdaya Alarn dan Lingkungan Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR YANG BERPENGARUH DAN GAP DALAM PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT BAGI INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU (IPHHK)
Depok, 13 Agustus 2007
Pembimbing Tesis ,
Penguji Tesis,
Prof. Dr. Mangara Tambunan
Dr. Mahyus Ekananda
Dr. Nachrowi D Nachrowi
ABSTRAK TESIS Analisis Faktor Yang Berpengaruh dan Gap Dalam Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Bagi lndustri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) ELVIDA YOSEFI SURYANDARI 0606009433 Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasaijana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Klasiflkasi JEL: Q21. Q23, F18, D44 Kata kunci : 1. Penawaran dan permintaan kayu bulat 2. lndustri kayu IPHHK 3.Gap
4. Hutan Tanaman Industri 5. Downsizing IPHHK 6. Bidding system
Ketidakseimbangan antara permintaan bahan baku kayu bulat oleh industri kehutanan saat ini dengan penurunan pasokan bahan baku khususnya IPHHK (lndustri kayu lapis, kayu gergajian dan pulp) akan menimbulkan gap yang semakin besar seiring dengan permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh industri kehutanan. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk menganalisa gap yang teijadi antara permintaan IPHHK dengan ketersediaan (supply) kayu, identiflkasi dan menganalisa faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap timbulnya gap dan memberikan rekomendasi untuk mengurangi gap yang teijadi. Penelitian ini menggunakan data time series dari tahun 1975 hingga 2005, dimana model dibentuk menggunakan persamaan TSLS untuk persamaan supply dan WLS untuk persamaan permintaan kayu bulat. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada sisi supply, variabel yang berpengaruh secara signiflkan adalah luas HTI yang dibangun, RKT dan tingkat upah tenaga keija. Sedangkan pada sisi permintaan oleh industri kayu lapis terutama dipengaruhi oleh harga ekspor kayu lapis dan volume ekspor kayu lapis. Permintaan kayu gergajian dipengaruhi secara signiflkan. oleh harga kayu bulat domestik, volume ekspor dan permintaan domestik kayu gergajian, dan jumlah perusahaan dalam industri kayu gergajian. Permintaan kayu bulat oleh industri pulp terutama dipengaruhi oleh harga ekspor pulp, volume ekspor pulp dan permintaan domestik terhadap pulp. Harga domestik kayu bulat memberikan koeflsien yang positif, hal ini menunjukkan bahwa permintaan kayu bulat oleh industri pulp tetap tinggi walapun harga kayu bulat domestik sangat bervariasi. Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa gap mulai teijadi mulai tahun 1982. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya permintaan kayu bulat dan rendahnya penyediaan bahan baku sudah lama teijadi. Salah satu penyebab gap adalah overcapacity industri dan rendahnya harga kayu bulat domestic yang cenderung di bawah harga pasar dunia. Salah satu solusinya adalah mempercepat lagi pembangunan HTI baik untuk pohon yang memiliki daur pendek maupun panjang, dan pembangunan hutan tanaman sejenis. Sedangkan pada sisi permintaan perlu dilakukan down sizing atau pengurangan kapasitas atau jumlah IPHHK, dan membentuk pasar kayu bulat melalui mekanisme lelang (bidding system).
iii
KA TA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas limpahan kasih dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master dalam bidang Ilmu Ekonomi pada Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasaijana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dalam penyusunan tesis ini,
tidak terlepas dari bantuan baik moril maupun
materil, baik lang sung maupun tidak langsung. Penulis menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak, teristimewa kepada pihak-pihak yang telah banyak memberi dukungan yaitu : 1. Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencana BAPPENAS yang telah memberikan beasiswa dan bantuan biaya untuk studi. 2. Kepala Pusat Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Departemen Kehutanan yang telah memberikan ijin tugas belajar.
3. Bapak Prof Dr. Mangara Tambunan selaku pembimbing yang telah memberikan araban, masukan dan dorongan dalam penyusunan tesis.
4. Bapak Dr. Nachrowi, selaku ketua tim penguji tesis yang telah memberikan masukan dan koreksi untuk perbaikan tesis.
5. Bapak Dr. Mahyus Ekananda, selaku anggota tim penguji tesis yang telah memberikan masukan dan koreksi untuk perbaikan tesis. 6. Para dosen dan seluruh staf Program Studi llmu Ekonomi Program Pascasaijana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
7. Tidak lupa say a haturkan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada orangtua atas segala usaha dan doanya, suami terkasih Widi Adi Djaja dan anakku tersayang Tristania Eva Meivia Kinanti atas segala pengorbanan karena kesibukan kuliah yang rnenyita banyak waktu dan perhatian.
8. Ternan-ternan di MIE-2006, Agung, Atik. Bilang, Dodi, Evi, Elvi, lndartik, Tunik, Tika, Wuri, Ratna, Saiful, Purwo, Torno, Tono, Heribertus, Heru, Nurfauziah, dan Pakde Sinung. Ucapan terirna kasih penulis sarnpaikan atas bantuan mas Sanjoyo dalarn pengolahan data tesis dan bang Rasidin Karo-karo atas pencerahan yang diberikan kepada penulis.
iv
9. Ternan-ternan di Puslit Sosek Kehutanan Bogor atas dukungannya. 10. Serta semua pihak yang tidak tersebut diatas dan telah banyak membantu dan memberi dukungan kepada penulis.
Penulis,
Elvida Yosefi Suryandari
v
DAFfARISI
Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................................. DAFTAR GAMBAR........................................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...... ... ... ...... ...... ... ... .......... I.
II.
III.
IV.
v.
vii viii viii
PENDAHULUAN.................................................................................................. 1.1. Latar Belakang................................................................................................ 1.2. Rumusan Permasalahan ....................................... ........................................... 1.3. Tujuan Penelitian............................................................................................. 1.4. Ruang Lingkup................................................................................................
2.1. Hutan Sebagai Penyedia Bahan Baku lndustri................................................ 2.2. Sistem Pengusahaan Hutan dan Perkembangan Industri Primer Hasil Hutan Kayu IPHHK)....................................................................................... 2.3. Perbedaan (Gap) Antara Ketersediaan (Supply) dan Permintaan Bahan Baku Kayu Bulat............................................................................................. 2.4. Penelitian Terdahulu......................................................................................
5
7 11 12
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ . 3.1. Kerangka Pemikiran ....................................................................................... . 3.2. ldentiflkasi Faktor Ketersediaan (Supply) Kayu Bulat Dan Permintaan ....... . 3.3. Spesiflkasi Model Penelitian .......................................................................... . 3.4. Hipotesa Studi. ............................................................................................... . 3.5. Jenis dan Sumber Data ................................................................................... .
17 17
19 22 24
27
ANALISA GAP : KETERSEDIAAN (SUPPLY) DAN PERMINTAAN KA YU BULAT .................................................................................................................. . 4.1. Analisa Data .................................................................................................. . 4.2. Uji Asumsi Dasar. .......................................................................................... . 4.3. Hasil Pendugaan Model Pacta Sisi Ketersediaan (Supply) Kayu Bulat.. ....... . 4.4. Hasil Pendugaan Pacta Sisi Permintaan Kayu Bulat Oleh IPHHK ................. . 4.5. Magnitude Gap: Ketersediaan (Supply) dan Permintaan Kayu Bulat Oleh IPHHK ............................................................................................................ .
Judul Halaman 5 Luas Penutupan Hutan dan Deforestasi Tahun 1985 dan 1997 ... .. ..... .... .. ....... Produksi Kayu Bulat Berdasarkan Sumber Produksi Tahun 1996/1997-2005 6 Produksi IPHHK dan Kebutuhan Bahan Baku................................................ 10 Data dan Sumber Data ..................................................................................... . 27 Matrik Korelasi An tar Variabel Bebas Persamaan Supply ............................. . 34 Hasil Pengujian Persamaan Supply·············································:··············· .... . Matrik Korelasi Antar Variabel Bebas Persamaan Harga Domestik Kayu Bulat ................................................................................................................ . Hasil Pengujian Persamaan Harga Domestik Kayu Bulat.. ............................ . Matrik Korelasi Antar Variabel Bebas Persamaan Permintaan Kayu Bulat oleh lndustri Kayu Lapis.................................................................................. Hasil Pengujian Persamaan Persamaan Permintaan Kayu Bulat oleh lndustri
35
Kayu Lapis .................................................................................. :···················· Matrik Korelasi Antar Variabel Bebas Persamaan Permintaan Kayu Bulat oleh lndustri Kayu Gergajian........................................................................... Hasil Pengujian Persamaan Persamaan Permintaan Kayu Bulat oleh lndustri Kayu Gergajian ............................................................................................... . Matrik Korelasi Antar Variabel Bebas Persamaan Permintaan Kayu Bulat oleh lndustri Pulp .......................................................................................... . Hasil Pengujian Persamaan Persamaan Permintaan Kayu Bulat pleh lndustri Pulp .................................................................................................................. .
40
37
38 39
42 43
44 45
vii
DAFfAR GAMBAR
Gam bar 1.
2. 3. 4. 5.
Judul Halaman 8 Perkembangan Jumlah HPH Tahun 1975 -2005.......................................... Kerangka Pemikiran Analisis Gap Permintaan dan Supply Bahan Baku..... 17 Kurva Penawaran Kayu Bulat....................................................................... 36 Produksi dan Ekspor Kayu Lapis.................................................................. 41 " Hubungan Antara Estimasi Supply Kayu Bulat ( Qs ), Estimasi " Permintaan Total Kayu Bulat Oleh Industri Kayu ( /Dtot )dan Estimasi " gapnya (Gap)................................................................................................ 47
DAFfAR LAMP IRAN Lampi ran
Judul
Halaman
1.
Hasil pengolahan Dengan TSLS dan WLS...................................................
Data Penelitian................................................... ...........................................
69
VIII
57
BABI PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hutan Indonesia merupakan aset sumberdaya alam nasional yang mempunyai peranan yang cukup besar antara lain memberikan kesempatan kerja, merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan penyumbang devisa non migas, sebagai pengatur kelestarian lingkungan serta menyediakan bahan baku industri pengolahan hasil hutan. Keinginan pemerintah untuk meningkatkan kontribusi sektor kehutanan dalam perekonomian indonesia mendorong penerapan kebijakan pengembangan industrialisasi kehutanan, yaitu sesuai amanat UU No.5 tahun 1967 yang menjadikan industri pengolahan kayu sebagai penopang perekonomian. lndustri yang utama dalam sektor kehutanan antara lain industri pulp dan kertas, industri kayu gergajian, industri kayu lapis dan industri wood working. Pada awalnya lndustri kayu gergajian dirintis terlebih dahulu, namun dalam perjalanannya industri ini kurang berkembang dibandingkan dengan industri kayu lapis. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan produksi kayu gergajian mulai tahun 1991 hingga saat ini. Pada awal perkembangan industi kayu lapis yaitu periode 1973 - 1980 bersifat inward oriented atau substitusi impor, karena produk kayu lapis pada masa itu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, yang selama periode tersebut diiimpor dari negara Malaysia, Taiwan, Singapura dan Korea, dapat dilihat dalam Timotius (2000). Dengan melemahnya harga minyak pada era tahun 1982 - 1996 pembangunan industri diarahkan untuk pengembangan industri berorientasi ekspor. Pada tahun 1982,industri kayu lapis tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri, akan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri (export). Menurut FAO (1998), total produksi kayu lapis pada tahun 1990 adalah 126.3 juta m 3 , dengan konsumsi 125 .1 juta m3 . Kenyataan yang ada sejak tahun 1980-an menunjukan bahwa kebijakan pemerintah dibidang industri kehutanan lebih condong mengutamakan industri kayu lapis, sehingga industri kayu lapis telah berkembang lebih pesat dibandingkan industri pengolahan kayu lainnya. Bahwa dalam periode 1980- 1996, ekspor kayu lapis ke luar negeri mengalami peningkatan yang cukup berarti, terlebih pada saat larangan ekpor kayu bulat diberhentikan pada tahun 1985.
1
Selanjutnya industri kayu lapis terns berkembang, dan menjadi salah satu komoditi ekspor unggulan dalam sektor kehutanan. Kenyataannya akhir-akhir ini menunjukkan bahwa industri kayu lapis yang menjadi primadona tersebut menghadapi berbagai permasalahan, yakni disamping langkanya bahan baku berkualitas tinggi, juga hambatan perdagangan, terntama dengan hadimya negara-negara produsen kayu lapis barn seperti Malaysia dan Cina.
Menurnt ITIO (2005), produksi kayu lapis Indonesia pada tahun
2004 - 2005 mengalami titik yang paling rendah semenjak tahun 1980an dimana produksi kayu lapis berkembang pesat. Sedangkan industri pulp mulai berkembang pada tahun 1989, yang ditandai dengan adanya ekspor pulp ke luar negeri. Penurnnan kapasitas produksi IPHHK Indonesia tidak terlepas dari berkurangnya pasokan bahan baku kayu lapis yaitu kayu bulat. Selama ini ketersediaan bahan baku kayu bulat semakin menurnn seiring dengan peningkatan deforestasi (rata-rata 1997 2000) yaitu sebesar 3.510.040 ha), perkembangan pembangunan HTI barn mencapai 3.2 juta ha dan isu over capacity industri kehutanan, dapat dilihat dalam Dephut (2005). Bahkan keterbatasan ketersediaan bahan baku bernpa kayu bulat telah dirasakan sejak tahun 1997. Lebih lanjut, industri kayu lapis pada saat itu mengalami over capacity karena peningkatan permintaan kayu bulat. Belum lagi tekanan terhadap hutan semakin berat karena produksi industri pulp yang semakin besar. 1996/1997 sebesar
Produksi pulp pada tahun
685.393 m 3 , produksi pulp terse but telah berkembang pesat hingga
tahun 2005 yaitu sebesar 2.593.926 m3 .Pada tahun 1997 menunjukkan bahwa kayu bulat hanya mensupply industri 30 - 50%. Menurnt Barr ( 2001), konsumsi secara agregat sebesar 61 juta m3 , sementara ketersediaan (supply ) kayu bulat hanya sebesar 26 juta m3 . Perkembangan industri perkayuan yang sangat pesat menyebabkan kapasitas total industri perkayuan Indonesia melampaui kemampuan hutan produksi untuk menyediakan bahan baku secara lestari. Barr (2001) menyatakan bahwa tanpa mengurangi sisi demand pada kayu bulat mustahil kelestarian hutan akan tercapai. Sehingga kebijakan down size industri diharapkan dapat turnt mempertahankan keletarian hutan. Terlebih saat ini, pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin besar akan berimplikasi terhadap besamya permintaan terhadap produk kayu bulat dan olahannya. Undang-undang kehutanan tahun 1999 telah menyebutkan ketentuan bahwa pengolahan hasil hutan tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari; artinya bahwa kapasitas industri pengolahan kayu tidak boleh melebihi daya dukung hutan yaitu bernpa pasokan bahan baku (kayu bulat) untuk industri tersebut.
2
Ketidakseimbangan antara permintaan bahan baku kayu bulat oleh industri kehutanan saat ini dengan penurunan pasokan bahan baku khususnya IPHHK akan menimbulkan kesenjangan (gap) yang semakin besar seiring dengan permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh industri kehutanan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk menganalisa gap yang terjadi antara IPHHK dengan supply bahan baku serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap timbulnya gap terse but.
1.2. Rumusan Permasalahan Perkembangan produk olahan kayu khususnya industri primer hasil hutan kayu (IPHHK) telah memberikan manfaat bagi pembangunan nasional yaitu sebagai penyumbang devisa negara. Produk kayu lapis Indonesia diimpor oleh negara-negara antara lain Korea, Saudi Arabia, Amerika, Inggris serta Jepang sebagai konsumen terbesar kayu lapis. Menurut data Dephut (2006), nilai ekspor untuk produk kayu lapis, kayu gergajian dan pulp pada tahun 2005 berturut-turut adalah 1.37 milyar US$, 3.4 juta US$ dan 932.7 juta US$. Perkembangan IPHHK yang semakin pesat berimplikasi pada peningkatan kapasitas produksi output yang berujung pada peningkatan kebutuhan akan kayu bulat. Permasalahan dalam perkembangan dan kinerja ekspor industri kayu di Indonesia ditunjukkan dengan adanya mesin-mesin yang tua, biaya produksi yang tinggi dan terutama permasalahan kelangkaan bahan baku yang menyebabkan adanya kesenjangan (gap) antara permintaan kayu bulat oleh industri kayu dan ketersediaan (supply) bahan
baku untuk produk kayu. Gap dapat ditunjukkan dengan menghitung keterbatasan ketersediaan (supply) kayu bulat sebagai bahan baku industri dan kebutuhan permintaan industri. Gap tersebut dikuatirkan akan memberi dampak yang negatif terhadap kelestarian hutan alam, sehingga pemenuhan bahan baku untuk industri diharapkan berasal dari hutan tanaman, baik berupa hutan tanaman industri (HTI), hutan rakyat dan bentuk yang lain. Dari permasalahan yang ada sehingga perlu diketahui penyebab kesenjangan (gap) antara permintaan IPHHK terhadap kayu bulat · dan ketersediaan (supply) bahan baku kayu bulat untuk produk kayu lapis, kayu gergajian dan pulp di
Indonesia. Kemudian perlu diketahui identifikasi variabel-variabel apa saja yang berpengaruh terhadap kesenjangan (gap) tersebut.
3
1.3. Tujuan Penelitian Secara umum tesis ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) dalam kaitannya dengan kelangsungan sumber bahan baku. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: I. Mengetahui besamya perbedaan (gap) antara ketersediaan (supply) dan pennintaan
bahan baku kayu bulat. 2. Mengidentifikasi dan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan (supply) dan pennintaan bahan baku kayu bulat oleh industri kayu (IPHHK). 3. Hasil analisa dari dua tujuan pertama dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi pemecahan pennasalahan gap, melalui kebijakan menambah ketersediaan (supply) kayu bulat atau mengurangi pennintaan kayu bulat oleh IPHHK.
l.4.Ruang Lingkup
Dalam tesis ini, dibatasi pada analisa perbedaan (gap) antara ketersediaan (supply) bahan baku kayu bulat dan pennintaan kayu bulat oleh IPHHK (industri kayu lapis, kayu gergajian dan industri pulp). Tidak membahas pennintaan kayu bulat oleh industri primer lain dan industri pengolahan kayu yang bersifat sekunder.
Dasar pemilihan IPHHK
seperti industri kayu lapis, kayu gergajian dan industri pulp, diletakkan pada besamya konsumsi terhadap kayu bulat dibanding industri kayu olahan yang lainnya.
4
BABII TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hutan Sebagai Penyedia Bahan Baku Industri Indonesia pada tahun 1950-an masih memiliki hutan yang lebat yaitu sekitar 162 juta ha.
Akan tetapi menurut survei menunjukkan bahwa luas hutan Indonesia pada
tahun 1985 mencapai 119 juta ha, yang berarti penurunan luas hutan sebesar 27% dari luas tahun 1950. Menurut Sunderlin dan Resosudarmo (1996), laju deforestasi hutan pada tahun 1970 dan 1990-an,diperkirakan antara 0.6 dan 1.2 juta ha.
Akan tetapi
berdasarkan survei yang dilakukan Departemen Kehutanan dan World Bank (2000), disimpulkan bahwa laju deforestasi rata-rata dari tahun 1985 hingga 1997 sebenamya mencapai 1.7 juta ha. Secara keseluruhan Indonesia telah kehilangan lebih dari 20 juta ha hutan alam antara tahun 1985 - 1997 atau sekitar 17 % dari seluruh luas kawasan hutan yang ada, Forest Watch Indonesia (2001). Adapun kondisi penutupan lahan hutan dan deforestasi pada tahun 1985 dan 1997 digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1. Luas Penutupan Hutan dan Deforestasi tahun 1985 dan 1997. 1985 Pulau
Sumatera Jawa & Bali Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Irian Jaya Total
Sumber: Tahun 1985 merupakan estimasi GFW dari Tropical Moist Forest and Protected Area, data Tahun 1997 adalah Depaetemen Kehutanan dan Bank Dunia (Forest Watch Indonesia, 2001).
Tidak dapat dipungkiri memang banyak kesulitan untuk mengetahui luas penutupan hutan secara tepat. Akan tetapi dari Tabel 1, menunjukkan kecenderungan penurunan luas hutan sudah mulai terjadi dari tahun 1985. Hal ini tidak hanya berdampak terhadap sisi ekologi saja, tetapi juga berdampak terhadap penurunan ketersediaan kayu bulat bagi industri pengolahan kayu.
5
Tanpa disadari bahwa keberadaan kawasan hutan memberikan manfaat yang sangat penting bagi kehidupan dan kelangsungan hidup manusia. Manfaat yang nyata dari keberadaan hutan tersebut antara lain adalah (1) keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah, (2) terpeliharanya siklus air (ketersediaan air untuk konsumsi rumah tangga dan pertanian), (3) melindungi dari erosi dan bahaya tanah longsor, (4) secara global dapat mengurangi emisi C02 dan mengurangi pemanasan global,dan (5) fungsi hutan sebagai penyedia bahan baku untuk keperluan industri pengolahan basil hutan, dapat dilihat dalam Darusman dan Widada ( 2004).
Tabel 2. Produksi Kayu Bulat Berdasarkan Sumber Produksi (Tahun 1996/1997 - 2005) Sumber Produksi Kayu Hutan Areal Hutan Tahun Rakyat A lam Konversi tanaman (RKT) (IPK) (m3) (m3) (Perhutani) (m3) (m3) 1996/1997 15.268134 8.021.328 1.623.545 682.006 1997/1998 15.784.161 10.038.228 1.256.455 1.821.297 1998/1999 10.179.406 6.056.174 628.818 1.682.336 1999/2000 10.373.932 7.271.907 187.831 1.890.901 2000 3.450.133 4.564.592 488.911 1.511.001 - 1.455.403 2001 1.809.100 2.323.614 - 1.559.026 2002 3.019.839 182.708 2003 4.104.914 956.472 59.538 976.806 2004 3.510.752 1.631.885 153.640 923.632 757.993 2005 5.720.515 3.614.347 1.311.584 Sumber: Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Dephut 2006.
Hutan Tanaman Indonesia (m3) 474.268 610.180 480.210 895.371 3.783.604 5.567.282 4.242.532 5.325.772 7.329.028 12.818.199
Bahan baku industri pengolahan kayu yaitu berupa kayu bulat dapat diperoleh baik dari hutan alam, hutan rakyat, Hutan Tanaman lndustri (HTI), Perum Perhutani dan areal konversi hutan alam.
Perkembangan produksi kayu bulat selama .periode 10 tahun
terakhir mengalami fluktuasi, dimana produksi kayu bulat paling besar pada tahun 1997/1998 sampai tahun 2000. Pada Tabel 2 dijelaskan bahwa produksi pada tahun 2000 hingga tahun 2002 mengalami penurunan. Produksi kayu bulat yang berasal dari RKT dan IPK mempunyai kecenderungan menurun selama tahun 1996/1997 hingga 2005, hal ini disebabkan karena luas hutan alam produksi semakin menurun karena adanya deforestasi. Sedangkan produksi kayu bulat yang berasal dari Perhutimi relatif konstan karena luas hutannya (lokasi di P. Jawa) dalam 10 tahun terakhir tidak mengalami perubahan yang berarti. Setelah tahun 2000, produksi kayu bulat yang berasal dari HTI
6
mulai mengalami peningkatan. Pembangunan HTI secara intensif dimulai pada awal tahun 1990, yang awalnya untuk mensubstitusi supply bahan baku karena adanya peningkatan permintaan kayu bulat oleh IPHHK, khususnya setelah teijadi peningkatan kapasitas produksi industri pulp. Pada tahun 2000, tanaman yang dibangun mulai tahun 1990 mulai dapat dipanen untuk menghasilkan kayu bulat bagi keperluan IPHHK sehingga teijadi peningkatan produksi kayu bulat. Masyarakat Indonesia umumnya enggan untuk membangun hutan rakyat karena alasan perijinan dan birokrasi yang berbelit-belit, sehingga produksi kayu bulat dari hutan semacam ini masih belum memberikan hasil produksi kayu bulat yang optimal.
2.2.Sistem Pengusahaan hutan dan Perkembangan lndustri Primer Hasil Hutan Kayo (IPHHK) Latar belakang munculnya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang merupakan sistem pengusahaan hutan tidak terlepas dari terbengkalainya pembangunan selama orde lama termasuk pembangunan kehutanan, Timotius (2000). Kondisi ekonomi negara Indonesia yang lesu pada masa itu tidak mampu membiayai eksploitasi sektor kehutanan. Untuk memudahkan mengalinmya dana-dana non pemerintah (swasta) dalam pengusahaan hutan, maka pemerintah menerbitkan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan dan UU No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Sektor Kehutanan menyambut baik kebijakan tersebut dan ditindaklanjuti dengan terbitnya PP No.21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Peraturan ini mengatur tentang sistem Hak pengusahaan Hutan (HPH) yang merupakan sistem pengelolaan hutan berdasarkan ijin atau hak yang diberikan kepada suatu pengusaha dalam jangka waktu pengusahaan selama 20 tahun atau diperpanjang sesuai ketentuan dari pemerintah. Peraturan Pemerintah ini merupakan tindak lanjut dari UU N0.1 tahun 1967 tentang PMA dan UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan PokokPokok Kehutanan dan UU No. 6 tahun 1968 tentang PMDN.
Perizinan usaha
pemanfaatan kayu (HPH) tidak ditetapkan standar luas maksimal konsesi bagi satu perusahaan. Sehingga teijadi konglomerasi penguasaan konsesi HPH hanya terpusat pada kelompok tertentu saja. Dalam PP tersebut, khususnya pasal 5 dan 14 menyebutkan bahwa HPH diwajibkan mendirikan industri pengolahan hasil hutan. Pemerintah berharap dengan terbitnya peraturan tersebut akan mendorong perkembangan industri pengolahan kayu di 7
Indonesia. Akibatnya sektor hulu dan hilir industri kehutanan dimonopoli oleh kelompok pengusaha tertentu. Akan tetapi terbitnya PP 21 tahun 1970 tersebut memberikan implikasi yang menunjukkan bahwa industri pengolahan kayu pada waktu itu tidak berkembang seiring dengan produksi kayu bulat Selama tahun 1971 sampai tahun 1979 menyebutkan bahwa ekspor kayu bulat adalah 70% dari total produksi kayu bulat, sedangkan sisanya sebanyak 30% merupakan bahan baku industri pengolahan hasil hutan, Darusman eta/. (1996). Praktek ini terus berlangsung hingga terbitnya PP 6 tahun 1999, tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi yang tidak lagi mewajibkan HPH untuk mempunyai industri pengolahan kayu sendiri atau mempunyai kerkaitan dengan industri tersebut. Setelah inisiasi HPH tahun 1970 tersebut, perkembangan peningkatan jumlah HPH mulai terlihat pada awal tahun 1975 hingga tahun 1993. Pada tahun 1970, jumlah HPH yang aktif beroperasi adalah 45 unit dan tahun 1975 berjumlah 286 unit, Timotius (2000). Perkembangan jumlah HPH dalam pengusahaan hutan digambarkan dari tahun 1975 hingga tahun 2005, seperti tersebut di bawah ini. Perkembangan Jumlah HPH Tahun 1975-2005 ooo ~--------------------
Tahun
Gambar 1. Perkembangan Jumlah HPH tahun 1975 - 2005 (Sumber Dephut) Semenjak tahun 1983 jumlah HPH relatif stabil hingga pada tahun 1992, jumlah HPH meningkat sampai 580 pemegang HPH dengan total areal konsesi seluas 60.38 juta ha. Terlihat pada Gambar 1, bahwa pada tahun 1997/1998 jumlah HPH sudah mulai berkurang yaitu sebanyak 461 HPH dengan luas areal konsesi 51.13 juta ha. Berkurangnya jumlah HPH ini terjadi terkait adanya pencabutan ijin pengusahaan oleh pemerintah. Pencabutan ijin ini terjadi karena pengusaha tidak memperhatikan peraturan
yang telah ditetapkan seperti kewajiban melaksanakan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), serta tidak memberikan Laporan Pengusahaan Hutan (LPH) yang sesuai dan bahkan tidak menanami kembali areal yang telah ditebang. Hal ini berimplikasi terhadap percepatan kerusahan hutan dan terjadi penurunan supply atau ketersediaan kayu bulat. Pada tahun 1980, pemerintah menerbitkan kebijakan yang bertujuan untuk membantu meningkatkan industri pengolahan hasil hutan yaitu tentang penyediaan kayu untuk kebutuhan dalam negeri yang selanjutnya diberlakukan larangan ekspor kayu bulat secara bertahap hingga tahun 1985 larangan ekspor kayu bulat diberhentikan total. Bersamaan dengan larangan ekspor kayu bulat pemerintah mengambil kebijakan yang mendorong pemegang ijin konsesi HPH untuk membangun industri. pengolahan kayu yang berintikan kayu lapis, dalam Manurung dan Buongiomo (1997). Kedua kebijakan tersebut menyebabkan terjadinya integrasi vertikal antara industri pengolahan kayu dengan pemilik konsesi yaitu Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dalam satu grup perusahaan kehutanan yang sama. Menurut Kusumawati (2001), integrasi vertikal ini menyebabkan perkembangan industri perkayuan di lndonesai tumbuh semakin pesat, dalam arti melebihi daya dukung hutan alam yaitu terjadi kelebihan kapasitas (overcapacity) dalam industri pengolahan kayu.
Pada tahun 2001, larangan ekspor kayu bulat kembali
diberlakukan. Dampak terjadinya integrasi vertikal antara HPH dan industri pengolahan kayu menyebabkan tidak terjadinya mekanisme pasar kayu bulat di Indonesia dan mengakibatkan harga bahan baku bagi industri pengolahan kayu menjadi murah, sehingga mendorong pembangunan kapasitas industri pengolahan kayu secara berlebihan, walaupun tanpa larangan ekspor kayu bulat. Berdasarkan kapasitas terpasang industri kayu lapis dan kayu gergajian (tahun 1985 - 1997), bahan baku kayu bulat yang dibutuhkan oleh kedua industri adalah sebesar 414 juta m3 , sedangkan realisasi produksi kayu bulat pada saat itu sebesar 253 juta m3 dalam Manurung (2002). Berdasarkan PP No. 34 Tahun 2002; lndustri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) adalah industri yang mengolah bahan baku atau bahan baku serpih menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. IPHHK terdiri dari industri kayu lapis (plywood), industri penggergajian (sawmill), industri pulp dan paper, dan industri chip wood. Besar kecilnya kebutuhan kayu bulat dan output tiap IPHHK tergantung kepada kapasitas terpasang yang dimiliki oleh tiap-tiap mesin industri tersebut. Menurut Kepmen Kehutanan No. 326 Tahun 2003; kapasitas terpasang adalah kapasitas mesin-mesin produksi utama yang ditetapkan dalam izin usaha industri. Sedangkan industri pengolahan kayu terbagi menjadi industri skala kecil dan sedang - besar berdasarkan
9
kapasitas terpasang dan orientasi pasar, yaitu : (l)lndustri yang digolongkan berskala kecil adalah industri kayu dengan kapasitas kurang dari 6000 m3/tahun, dengan orientasi pemasaran produk untuk lokal dan antar pulau; dan (2)1ndustri yang digolong berskala sedang - besar adalah industri kayu dengan kapasitas terpasang lebih dari 6000 m3/tahun, dengan orientasi pemasaran produk untuk ekspor dan, antar pulau dan lokal. Berdasarkan klasifikasi kapasitas terpasang dan orientasi pasar, industri kayu lapis dan pulp digolongkan kepada industri yang berskala besar karena memiliki kapasitas terpasang lebih dari 6000 m3/tahun. Tabel3. Produksi IPHHK dan Kebutuhan Bahan Baku Kayu Bulat lndustri Kayu Lapis Tahun 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Produksi kayu lapis, kayu gergajian dan pulp,serta kebutuhan bahan baku IPHHK hingga tahun 2005, digambarkan pada Tabel 3. Selama kurun waktu 1996/1997 hingga tahun 2005, produksi kayu lapis terbesar teijadi pada tahun 1996/1997; bahkan FAO mencatat volume ekspor pada tahun terse but mencapai 3.416.225 m3. Peningkatan produksi kayu lapis pada saat itu memerlukan kebutuhan kayu bulat yang besar pula. Besamya produksi kayu lapis terse but terns menurun hingga tahun 2005. Demikian juga dengan produksi kayu gergajian yang memiliki kecenderungan mengalami penurunan hingga tahun 2005.
Di lain pihak, industri pulp mengalami peningkatan kapasitas
produksinya. Dari tabel diatas menunjukk:an bahwa permintaan kayu bulat oleh industri kayu lapis dan kayu gergajian selama 10 tahun terakhir mengalami penurunan, akan tetapi justru sedangkan permintaan kayu bulat oleh industri pulp mengalami peningkatan. Secara umum, hal ini menunjukkan bahwa permintaan kayu bulat oleh IPHHK tetap tinggi hingga saat ini.
10
Kebutuhan bahan baku dihitung berdasarkan produksi kayu lapis atau produksi kayu gergajian dibagi dengan rendemennya, dimana rendemen kayu gergajian yaitu sebesar 0.62 dan kayu lapis sebesar 0.55, Dephut (2005). Gadas (2003) menyebutkan bahwa bahan baku industri yaitu kayu bulat sebesar 1 m3 akan menghasilkan 0.62 m3 kayu gergajian, dan 1 m3 kayu bulat akan menghasilkan 0.55 m3 kayu lapis. Sedangkan untuk pulp, 1 m3 kayu bulat akan menghasilkan 0.22 ton pulp.
2.3. Perbedaan (Gap) Antara Ketersediaan (Supply) Dan Permintaan Bahan Baku Kayu Bulat Akibat kebijakan pengusahaaan hutan di masa yang lalu, telah membawa kepada berbagai permasalahan terutama menyangkut kepada kelestarian hutan. Penelitian FAO (1990) menunjukkan adanya pengurangan penutupan hutan dari 74 % menjadi 54 % dalam waktu 30 - 40 tahun. Menurut World Bank (1995) luas hutan pada tahun 1960 1970an luas hutan di Indonesia mencapai 150 juta ha. Akan tetapi menurut data Dephut (2006) pada tahun 2005 luas hutan Indonesia menjadi seluas 93,924 juta ha. Dalam upaya menekan laju kerusakan hutan dan mencapai pengelolaan hutan yang lestari; Departemen Kehutanan telah menetapkan 5 (lima) kebijakan prioritas yaitu (1) pemberantasan penebangan liar, (2) pengendalian kebakaran hutan, (3) restrukturisasi sektor kehutanan, (4) rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan dan (5) desentralisasi kehutanan, Wardoyo (2004). Restrukturisasi sektor kehutanan meliputi pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman pada kawasan hutan produksi yang diikuti oleh penataan industri pengolahan hasil hutan menuju keseimbangan antara kemampuan supply bahan baku dan dengan kapasitas industri. Dalam sektor industri kehutanan, terutama perlunya dilakukannya penataan industri primer hasil hutan kayu (IPHHK) antara lain diarahkan untuk tercapainya kesinambungan antara kemampuan supply bahan baku dan permintaan input IPHHK. Keterbatasan di sisi supply dan tingginya permintaan bahan baku kayu bulat menimbulkan adanya kesenjangan (gap). Adanya gap antara kemampuan hutan untuk menghasilkan supply bahan baku dan permintaan input IPHHK memerlukan altematif yaitu berupa peningkatan kapasitas pembangunan hutan tanaman yang sangat berguna untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri. Hutan tanaman tersebut bisa berupa HTI, hutan rakyat atau bentuk hutan buatan lainnya. Pembangunan HTI menunjukkan angka yang menjanjikan walaupun proses pelaksanaannya relatif lambat. Mulai tahun
11
1989 hingga tahun 2003 tercatat sebanyak 96 unit HTI yang diberi ijin areal penanaman seluas 5.4 juta ha (RPKK, 2005). Menurut Dephut (2006), hingga tahun 2005, realisasi penanaman HTI barn mencapai 3.4 juta ha. Masa depan kehutanan Indonesia sangat tergantung pada keberhasilan pembangunan HTI, sebab hila pembangunannya tidak mencapai luasan yang memadai maka kondisi hutan alam akan terancam keberadaannya dalam rangka mencukupi kebutuhan bahan baku IPHHK, Sarijanto (2001). Terdapat 8 (delapan) aspek yang menjadi dasar pentingnya pembangunan HTI yaitu (1) perkembangan industri yang pesat melebihi pasokan bahan baku, (2) adanya luasan hutan yang tidak produktif dan lahan kosong, (3) produk hasil hutan hams mempunyai sertifikasi dari pengolaan hutan yang lestari,(4) hutan tanaman akan menghasilkan produksi yang lebih besar daripada hutan alam (5) pembangunan HTI dapat menyerap banyak tenaga kerja, (6) hila pemerintah berhasil membangun hutan tanaman seluas 6.28 juta ha sebelum 2018, hutan alam tidak perlu ditebang, (7) tersedianya dana yang cukup untuk membangun HTI dan (8) pembangunan HTI relatif mudah dilaksanakan dibanding dengan kegiatan pengkayaan di hutan alam. Altematif lain yang mungkin dilakukan adalah dengan mengurangi konsumsi kayu pada sisi permintaan; yang sekaligus akan dapat mengembangkan pengelolaan hutan yang lestari. Menurut Mangara (2005), kelestarian tersebut tidak hanya dipandang dari sisi lingkungan akan tetapi sumber kekayaan hutan hams berguna bagi generasi yang sekarang dan dapat diwariskan untuk generasi yang akan datang (intergenerational equity).
2.4. Penelitian Terdahulu Saat ini, penelitian-penelitian yang secara khusus menganalisa gap yang terjadi antara ketersediaan (supply) dan permintaan kayu bulat belum banyak dibahas secara tuntas. Sehingga metodologi pada tesis ini dapat dilihat pada sudut pandang yang berbeda, pada penelitian-penelitian yang mendekati yaitu mengenai analisis supply dan permintaan kayu bulat. Beberapa hal penting yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian terdahulu yaitu terdapat adanya metodologi yang beragam sehingga menghasilkan kesimpulan penelitian yang berbeda tergantung kepada asumsi, argumen dan metodologi penelitian yang digunakan. Adapun model-model supply dan permintaan kayu bulat pada penelitian-penelitian sebelumnya digambarkan berikut ini: Kangas dan Baudin (1997); memiliki tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui permintaan, penawaran dan perdagangan kayu da1am bentuk modeling : the multiple 12
equation approach. Dalam framework studi ini, konsumsi ditentukan oleh harga pasar domestik dan harga impor, sedangkan supply ditentukan oleh harga pasar domestik dan harga ekspomya. Penggunaan model ini bertujuan: (1) meningkatkan kemampuan model untuk memberikan penjelasan, dan (2) menerangkan penawaran produk. Untuk produk kayu solid, demand dan supply ditulis dalam bentuk fungsi berikut ini : (l)Demand =fn (Pd, Pm, X)
(2.1)
(2)Supply =fn (Pd, Px, Z)
(2.2)
dimana Pd adalah harga pasar domestik, Pm adalah harga import, Px adalah harga ekspor, X adalah faktor tambahan yang menentukan demand (demand shifter) dan Z adalah tambahan faktor yang menentukan supply (supply shifter). Dari persamaan (1) dan (2), lebih jauh dikembangkan untuk merefleksikan komponen dari konsumsi dan produksi seperti pada persamaan berikut : (3) Qo0 =f (Pd, Pm, D~
(2.3)
(4) QM =f (Pd, Pm, DM)
(2.4)
(5) Qs 0 =f (Pd, Px, S~
(2.5)
(6) Qx =f (Pd, Pm, Sx)
(2.6)
dimana Q0
° adalah permintaan untuk produk domestik, QM adalah permintaan impor,
Ql supply untuk pasar domestik, Qx merupakan supply untuk pasar ekspor, Pd adalah harga pasar domestik, Pm adalah harga import, Px adalah harga ekspor, D0 adalah demanfd shifter Untuk pasar domestik, DM adalah demand shifter Untuk demand impor, S0 adalah supply shifter untuk pasar domestik dan sx adalah supply shifter untuk pasar ekspor. Pada persamaan (2.3), harga domestik diharapkan memiliki tanda yang negatif
(negative sign), harga impor dapat memiliki tanda positif atau negatif tergantung apakah barang tersebut menunjukkan barang impor tersebut merupakan barang substitusi atau komplement untuk barang domestik. Sedangkan pada persamaan (2.4), diharapkan harga impor memiliki tanda negatif(negative sign), dan harga domestik bisa memiliki tanda positif ataupun negatif. Pada persamaan (2.5) dan (2.6) menunjukkan bahwa pasar ekspor dan pasar domestik merupakan altematif untuk produksi. Kelebihan dari model ini adalah model penawaran dan permintaan diberikan dalam framework yang konsisten, permasalahan dalam modelling supply secara tradisional dapat dihindari dan dapat digunakan ntuk keperluan proyeksi konsumsi dan produksi kayu. Salah satu keterbatasan model ini adalah harga tidak dihasilkan dari kondisi keseimbangan, akan tetapi ditetapkan secara endogenous.
13
Model permintaan untuk hasil hutan secara umum dirumuskan oleh Houthakker (1965) digunakan untuk memperkirakan elastisistas permintaan untuk komoditi, selanjutnya dikembangkan oleh Baudin dan Lundberg (1987).
Penelitian ini
menggunakan The Time Series Sectional Approach. Konsumsi yang sebenarnya dijelaskan menggunakan harga dan GOP, dengan persamaan sebagai berikut:
QT =fn (Pm, GOP, QT_I)
(2.7)
Oimana QT adalah konsumsi yang sebenarnya, Pm adalah harga impor, GOP adalah Gross domestik product dan QT_ 1 adalah konsumsi pada periode sebelumnya. Bolskesq dan Baardsen (2002) menganalisa supply kayu bulat di Norway pada tingkat mikro atau semacam non industrial private forest (hutan milik). Penelitian ini didasarkan pada two period utility maximizing consumption dan saving model, dengan menggunakan model Tobit dan simultaneous equation Tobit model ·. Penelitian yang menggunakan data tahun 1976- 1997 memberikan hasil bahwa harga kayu bulat saat ini dan jumlah pohon yang berdiri (standing stock) berpengaruh secara signifikan dan memiliki hubungan yang positif dengan supply kayu bulat. Sementara biaya pemanenan, usia pemilik hutan tingkat mikro, pajak dan harga kayu bulat periode sebelumnya memberikan hubungan yang negatif. Penelitian mengenai analisa penawaran dan permintaan kayu bulat di Indonesia juga telah dilakukan oleh Siregar (2003). Model yang dikembangkan dalam penelitian ini menggunakan persamaan simultan TSLS, yang terdiri dari 8 (delapan) persamaan struktural dan 2 (dua) persamaan identitas. Kelebihan model ini yaitu secara komprehensif telah mengidentifikasi supply kayu bulat baik yang dihasilkan secara legal maupun illegal, dan memperhitungkan time lag periode sebelumnya. Oari hasil penelitian menunjukkan bahwa supply legal log dipengaruhi secara signifikan oleh variabel yaitu harga kayu bulat domestik, upah pertanian dan supply legal log periode sebelumnya. Akan tetapi tidak dipengaruhi secara signifikan oleh harga ekspor kayu bulat dan interest rate. Sedangkan supply illegal log dipengaruhi secara signifikan oleh exchange rate dan supply illegal log periode sebelumnya, sementara variabel lain seperti variabel jumlah IPHHK, harga domestik kayu bulat, harga ekspor log, harga ekspor pulp tidak berpengaruh. Permintaan domestik kayu bulat oleh industri sawmill, plywood, pulp dan kertas ditentukan oleh adanya variabel harga sawn timber domestik, harga volume ekspor sawntimber, dan permintaan domestik kayu bulat oleh industri sawmill perode sebelumnya, memberikan hasil yang bervariasi.
Oari kelebihan yang dihasilkan dari
penelitian ini, juga tidak terlepas dari keterbatasan, yaitu asumsi yang digunakan dalam 14
penelitian adalah market clearing sehingga jumlah kayu yang ditawarkan sama dengan jumlah kayu yang diminta oleh industri kayu. Pendapat yang berseberangan diutarakan oleh Hetemaki dan Kuuluvainen (1992), mengasumsikan adanya pasar kapital tidak sempuma (imperfect capital markets) atau uncertainty, sehingga supply kayu yang optimal dan konsumsi tidak dalam posisi market
clearing. Pasar kayu bulat merupakan pasar untuk barang publik yang mana mekanisme tidak bekeija secara sempuma. Variabel yang mempengaruhi konsumsi yang optimal akan mempengaruhi keputusan untuk memanen kayu. Adapun model persamaan supply kayunya secara matematis dituliskan sebagai berikut : (1) Qts =Q 5
Dimana
P~o
(2.8)
dan Pt+ladalah harga net pulpwood ,Rt+l adalah suku bunga pasar, Vt adalah
stok dari kayu, It dan It+! income di luar kehutanan, B adalah limit kedit yang dihadapi oleh pengusaha/owner,£5 adalah rate of time). Dibawah kondisi credit rationing, pengaruh dari harga dan suku bunga tidak dapat ditentukan secara priori. Sebab pengaruh harga akan memberikan efek substitusi positif dan efek income negatif. Implikasi dari imperfect capital markets, income dari owner akan turut mempengaruhi supply. Mengabaikan inventarisasi bahan baku dan kondisi produski di bawah uncertainty, problem maksimisasi profit dari perusahaan dapat digunakan untuk menurunkan fungsi demand untuk pulpwood. (2) Qtd =Qd (PX~o Pt. W~o Ct)
(2.9)
dimana Qtd adalah demand untuk pulpwood, PXt adalah harga ekspor produk akhir, P1 adalah harga tegakan (stumpage price) ,W1 biaya 1 unit labor dan C1 adalah harga dari capital. Dari penelitian-penelitian yang ada sebelumnya, semuanya mengulas analisa penawaran (supply) dan permintaan (demand) terhadap produk kehutanan. Pada satu sisi beberapa penelitian diasumsikan bahwa pada saat kondisi keseimbangan, teijadi market
clearing yang memberikan suatu anggapan bahwa jumlah yang ditawarkan sama dengan jumlah permintaan terhadap suatu produk kehutanan, sehingga dapat dibentuk dalam satu sistem simultan secara keseluruhan.
Pada sisi lain kenyataannya, jumlah produk
kehutanan (kayu bulat) yang ditawarkan berbeda dengan jumlah permintaan, sehingga pada tesis ini ingin memperlihatkan adanya perbedaan (gap) antara ketersediaan kayu bulat (supply) dan permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui gap antara ketersediaan (supply) dan permintaan kayu oleh 15
sejumlah industri pengolahan kayu, sehingga asumsi market clearing tidak dapat digunakan. Kondisi yang ada sekarang, bahwa ketersediaan kayu bulat untuk memenuhi kebutuhan industri akan bahan baku kayu bulat sangat sangat terbatas; hal ini dapat disebabkan adanya fenomena deforestasi. Di lain pihak, permintaan industri terhadap kayu bulat semakin meningkat, yang pada akhimya menimbulkan gap.
16
BABID METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Pada bab ini, secara sistematik akan menjelaskan tentang perbedaan (gap) antara permintaan industri terhadap kayu bulat dan ketersediaan kayu bulat (supply). Sesuai UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa kapasitas produksi industri pengolahan kayu diamanatkan untuk dibatasi secara optimal. Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan antara kemampuan penyediaan bahan baku dengan industri pengolahannya, sehingga produksi industri pengolahan kayu idealnya tidak mendorong permintaan bahan baku yang melebihi supply dari pengusahaan hutan. Adapun kerangka pemikiran pada Gambar 2. lebih lanjut menjelaskan mengenai gap antara permintaan dan ketersediaan kayu bulat. Hutan Sbg Penyedia Bahan Baku
' •
Supply Bahan Baku Kayu
Produksi kayu bulat
Industri Primer Hasil Hutan Kayu
• <2> +-
• ~
' '
Pennintaan bahan baku kayu bulat oleh IPHHK
~
~
~
Permintaan kayu bulat oleh industri kayu lapis Permintaan kayu bulat oleh industri kayu gergaj ian Permintaan kayu bulat oleh industri pulp
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Analisis Gap Penawaran Dan Permintaan Baku Kayu Bulat bagi IPIDIK Fungsi hutan tidak hanya sebagai penghasil oksigen dan pengatur ekosistem, lebih jauh hutan dipandang sebagai faktor produksi yang dapat menyediakan kayu bulat
17
sebagai bahan baku untuk industri pengolahan kayu. Ketersediaan (supply) kayu bulat yang berasal dari hutan alam produksi, kenyataannya tidak cukup mampu memenuhi kebutuhan bahan baku IPHHK. lndustri kayu lapis, industri kayu gergajian dan industri pulp cukup mewakili IPHHK, karena besamya konsumsinya akan bahan baku kayu bulat. Kenyataan saat ini, permintaan bahan baku kayu bulat industri kehutanan melebihi kemampuan sumberdaya hutan untuk memasok bahan baku bagi kebutuhan industri pengolahan kayu tersebut. Tingginya permintaan bahan baku dengan supply bahan baku akan menyebabkan gap (kesenjangan). Supply kayu bulat didekati dengan produksi kayu bulat di Indonesia. Selanjutnya supply kayu bulat dapat didefinisikan akan dipengaruhi oleh variabel harga kayu bulat domestik, luas Hutan Tanaman lndustri (HTI), jumlah kayu bulat yang dipanen oleh HPH yaitu Rencana Karya Tahunan (RKT). Pengusahaan hutan dilakukan mulai adanya konsesi hutan pada tahun 1968, merupakan suatu periode bagi perkembangan HPH. Keberadaan HPH dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan pasokan bahan baku industri sehingga mampu mengekspor produk kayu yang memiliki nilai tambah, (Anonim, 2004). Tetapi dalam hal ini, jumlah tebangan tahunan yang dilakukan HPH memegang peranan penting dalam produksi kayu bulat. Di lain pihak, produksi kayu bulat juga dipengaruhi oleh luas hutan alam yang semakin menurun. Pada tahun 1960 -1970an luas hutan Indonesia tercatat sebesar 150 juta ha, akan tetapi pada tahun 1995 luas hutan Indonesia menjadi kurang lebih 93 - 112 juta ha. World Bank (1995) menyebutkan bahwa dengan luas hutan yang ada sekarang, maka jatah tebangan pada waktu itu adalah sebesar 22 juta m3 .Tingginya tebangan yang dilakukan terhadap hutan alam tidak hanya berdampak kepada penurunan luas hutan (deforestasi), tetapi dikuatirkan akan berdampak luas terhadap lingkungan secara umum. Sehingga yang paling relevan untuk dilakukan untuk meningkatkan supply kayu bulat adalah meningkatkan luas hutan buatan seperti Hutan Tanaman lndustri (HTI). Total permintaan industri terhadap bahan baku kayu bulat merupakan penjumlahan dari permintaan kayu bulat oleh industri kayu lapis, kayu gergajian dan pulp. Permintaan kayu bulat pada ketiga industri dipengaruhi oleh harga kayu bulat domestik, harga output ekspor dan volume ekspor (kayu lapis/kayu gergajian/pulp), permintaan konsumen domestik terhadap (kayu lapis/kayu gergajianlpulp) dan jumlah perusahaan dalam ketiga industri.
18
2.4Jdentifikasi Faktor Ketersediaan (Supply) Kayu Bulat dan Permintaan Bagaimanapun perlu diketahui kebutuhan industri dengan tersedianya bahan baku yaitu kayu bulat. Oleh karena telah tetjadi overcapacity industry ada dua pilihan yaitu (1) mempercepat perluasan HTI dan (2) sizing down (mengurangi kapasitas atau jumlah
industri) IPHHK. Untuk menyusun kebijakan eksploitasi hutan, kedua faktor diatas harus dianalisis secara cermat agar kebijakan pemerintah dapat berhasil. Gap kebutuhan kayu bulat dapat diketahui apabila kita dapat memetakan sisi kebutuhan dan penyediaan bahan baku. Dalam ilmu ekonomi, kekuatan hukum penawaran dan permintaan pada kayu akan menentukan harga kayu dan gap yang tetjadi kebutuhan kayu oleh IPHHK dan kayu bulat yang tersedia.
Tidak cukup untuk
mengetahui kuantitas faktor-faktor atau variabel yang mempengaruhi, penawaran (supply) dan permintaan (demand) akan kayu menjadi amat penting untuk diidentiftkasi.
3.2.1. Teori Penawaran (Supply) Tomek dan Robinson (1981), mendefmisikan penawaran (supply) sebagai hubungan yang menunjukkan jumlah barang suatu komoditas akan ditawarkan (bersedia dijual) pada suatu temp at dan dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga, ceteris paribus. Secara matematis dapat ditulis hubungan tersebut sebagai berikut : Qs =Qs(P)
(3.1)
Kurva penawaran diturunkan dari maksimisasi profit suatu fungsi produksi. Fungsi produksi suatu komoditas adalah suatu fungsi yang menggambarkan hubungan teknis antara faktor produksi (input) dan hasil produksi (output). Faktor produksi dapat dikelompokkan dalam kategori yang luas sebagai tenaga ketja, material (bahan baku), dan modal, dan selanjutnya masing-masing dapat dibagi lagi dalam kategori yang lebih sempit, dalam Pindick dan Rubinfeld (2003). Model penawaran (supply) kayu bulat yang dikembangkan oleh Toppinen (1998) pada periode ke t digambarkan secara materna tis, seperti persamaan berikut : (3.2) dimana
q/ adalah supply kayu bulat pada periode ke t, c adalah stumpage price pada saat
sekarang dan yang akan datang, r adalah suku bunga dan v adalah stok kayu awal. Sedangkan Siregar (2003), mengidentiftkasikan bahwa persamaan supply kayu bulat
19
dipengaruhi oleh variabel harga kayu bulat domestik, harga ekspor kayu bulat, interest rate, supply kayu bulat periode sebelumnya dan upah pertanian. Kurva penawaran menunjukkan hubungan yang positif antara jumlah jumlah komoditas yang ditawarkan (dijual) dengan tingkat harga komoditas tersebut, dalam Lantican (1990). Kenaikan harga komoditas (dengan asumsi ceteris paribus), akan mendorong produsen untuk meningkatkan jumlah komoditas yang ditawarkan (dijual). Demikian sebaliknya, penurunan harga suatu komoditas akan menurunkan jumlah komoditas yang akan ditawarkan oleh produsen. Nicholson (1989), menyebutkan bahwa selain harga, terdapat variabel-variabel lain yang mempengaruhi kurva penawaran, antara lain adalah harga komoditas lain, teknologi, pajak, subsidi, harga faktor produksi, tujuan perusahaan, keadaan alam, harga harapan yang akan datang. Koutsoyianis ( 1970) menunjukkan hubungan antara jumlah komoditas yang ditawarkan akan ditentukan oleh faktor-faktor harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain, biaya faktor produksi, kemajuan teknologi, dan faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi jumlah komoditas yang ditawarkan. Secara matematis, hal tersebut dapat dituliskan sebagai berikut : Qs = f(P,~ .... P,,C1 •••• Cn,T,Z)
(3.3)
Dimana Qs adalahjumlah komoditas yang ditawarkan (dijual), P adalah harga komoditas itu sendiri,
~ .... P, adalah
harga komoditas lain 1 hingga ke n, C1 ••• •em adalah biaya
produksi ke 1 hingga ke m, T adalah penggunaan teknologi dalam memproduksi, Z adalah faktor-faktor lain yang berpengaruh. Faktor-faktor lain yang mungkin berpengaruh terhadap supply kayu bulat adalah kebijakan pemerintah, pajak, dan nilai suku bunga, dilihat dalam Sinaga (1989). Peningkatan suku bunga akan menurunkan jumlah komoditas yang ditawarkan (dijual), peningkatan pajak juga akan berpengaruh terhadap penurunan komoditas yang ditawarkan. Dalam penelitian ini, pungutan kehutanan diasumsikan sebagai pajak atas penebangan pohon yang dilakukan oleh HPH. Penawaran diatas didasarkan pada asumsi bahwa produsen bertindak secara rasional, yaitu selalu akan berusaha memaksimumkan keuntungan. Sehingga produsen akan menggunakan faktor-faktor input sampai suatu kondisi dimana biaya input sama dengan nilai tambahan output, dalam Swastika (1999). Dalam ani, bahwa tingkat produksi akan diusahakan sampai pada tingkat dimana nilai maijinal suatu komoditas sama dengan harga satuan input.
20
3.2.2. Teori Permintaan lndustri Kayo Menurut Tomek dan Robinson (1981), permintaan merupakan jumlah komoditas yang mampu dan ingin dibeli oleh konsumen pada suatu tempat dan waktu tertentu pada suatu tingkat harga tertentu, dimana faktor lain diasumsikan tidak berubah.
Kurva
permintaan (demand curve) menyatakan seberapa banyak konsumen bersedia membeli karena harga per unit berubah. Kurva permintaan digambarkan mempunyai hubungan yang negatif antara jumlah komoditas yang diminta dengan suatu tingkat harga tertentu. Hubungan ini dapat dituliskan dalam suatu persamaan sebagai berikut: (3.4)
Qo=Qo(P)
Fungsi permintaan yang diturunkan dari maksimisasi utility dengan kendala anggaran disebut fungsi permintaan Marshallian. Konsumen diasumsikan bertindak rasional,
yaitu
konsumen
merencanakan
membelanjakan
pendapatannya
untuk
memperoleh kepuasan yang tertinggi. Perilaku konsumen ini diterangkan dengan teori pendekatan utility (kepuasan). Seorang konsumen akan membuat. pilihan terhadap sejumlah komoditas untuk mencapai kepuasan yang maksimum, dengan kendala anggaran pendapatan yang terbatas, sehingga pada akhimya didapatkan Misalkan konsumen mengkonsumsi n barang, yaitu x1• x2... x0 dengan harga pasar persaingan sempuma yaitu p 1, p 2..pn. Konsumen mempunyai penghasilan yang tetap sebesar M. Sehingga problem maksimisasi utility dengan kendala angaran dapat dinyatakan sebagai berikut oleh Hartono (2002).
Sehingga pada akhirnya didapatkan fungsi permintaan
marshallian adalah : Xi =Xim (pr,p2, ..pn,M)
(3.5)
Fungsi permintaan ini adalah merupakan fungsi dari p 1 yaitu harga barang ke 1, harga barang lain dan income).
Menurut Lipsey (1986), permintaan juga dipengaruhi oleh
variabel-variabel seperti harga komoditas yang bersangkutan, hargii komoditas lain, selera, preferensi, jumlah penduduk, pendapatan rumah tangga dan variable-variabel lain yang berpengaruh.
Model permintaan kayu bulat oleh industri kayu lapis dibangun
Dimana: SCQLt =permintaan kayu bulat oleh industri kayu lapis (m3) DWPLt =harga kayu bulat domestic (Rp)
21
IXPSt
= Harga ekspor kayu lapis (US$/ m3)
DWPSt =harga domestik kayu lapis (Rp/ m3) T
=time trend
Dengan analogi yang sama, akan dibentuk model persamaan permintaan kayu bulat oleh industri kayu gergajian. Sedangkan Siregar (2003), membentuk model permintaan terhadap kayu bulat oleh industri kayu lapis dan industri yang lain. Permintaan domestik kayu bulat oleh industri plwood ditentukan oleh faktor harga domestik plywood, harga ekspor plwood, nilai tukar, permintaan domestik kayu bulat oleh industri plywood periode sebelumnya. Pada saat kondisi ekuilibrium, kurva penawaran dan permintaan· berpotongan pada pada jumlah dan harga ekuilibrium (equilibrium price) atau market-clearing price. Pada harga ini, jumlah permintaan dan penawaran sama. Akan tetapi di dunia nyata didapatkan fakta bahwa penawaran dan permintaan tidak selalu berada dalam keadaan ekuilibrium.
3.3. Spesifikasi Model Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2003) menjadi acuan pengembangan untuk menganalisa perbedaan (gap) antara permintaan dan ketersediaan bahan baku kayu bulat oleh IPHHK.
Penelitian Siregar, cukup komprehensif untuk menggambarkan
penawaran dan permintaan kayu bulat karena didasarkan pada sumber kayu baik yang legal maupun ilegal. Asumsi yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah market
clearing, sehingga model dapat dibentuk seluruhnya dalam persamaan simultan. Adapun kekurangan dari model tersebut adalah mengabaikan adanya gap yang tetjadi antara sisi penawaran dan permintaan Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk melakukan analisa gap terhadap dua hal yaitu supply bahan baku dan permintaan kayu bulat oleh industri. · Supply didefmisikan sebagai ketersediaan kayu bulat, yang didekati dengan produksi kayu bulat. Dimana produksi kayu bulat dipengaruhi oleh variabel harga kayu bulat domestik, Rencana Karya Tahunan, dan luas HTI. Pada sisi persamaan supply dilakukan menggunakan analisis simultan yaitu Two Stage Least Square (TSLS), karena adanya hubungan timbal balik antara supply dan harga domestik kayu bulat. Sedangkan pada sisi permintaan, masing-masing dilakukan analsis Weigted Ordinary Least Square (WLS). Total permintaan akan kayu bulat merupakan penjumlahan dari pemiintaan input kayu bulat oleh industri kayu lapis, kayu gergajian dan pulp. Sedangkan untuk mendapat
22
estimasi gap, didapatkan dari selisih supply kayu bulat dan permintaan input total terhadap ketiga industri IPHHK. Persamaan-persamaan dalam tesis ini bersifat additive, dimana persamaan ditransformasi dalam bentuk logaritma natural yang memberikan keuntungan yaitu koefisien slope merupakan ukuran elastisitas, dalam Nachrowi et al. (2006).
Model yang digunakan dalam persamaan ini disebut model log log dimana
koefisien elastisitas variable dependen (misal Y) dan independen (misal X) selalu konstan. (1) Model persamaan Supply Kayu Bulat.
In Qs =a0 +a1 In Pd log +a2 ln RKT +a3 1n HTI +a4 In upah +&1
••••••••••••••••••..••.••••••••• (3 .7)
di mana: Qs =supply kayu bulat (m3) Pdlog =harga kayu bulat domestik (Rp/m3) HTI =luas HTI (ha) RKT =Rene ana Karya Tahunan (ha) Upah =upah pertanian (Rplbln). (2) Model persamaan harga kayu bulat domestik. lnPd log ={30 +{31 1nPW1og +{32 1nQs +{33 inf +&2 ••••••••••••••••••••••••••••••• : •••••••••••••••••••••• (3.8) di mana: Pdlog =harga kayu bulat domestik (Rp/m3) PWlog =harga dunia kayu bulat (US$/m3) Qs =supply kayu bulat (m3) lnf =infllasi (%) (3). Model persamaan permintaan industri kayu lapis terhadap kayu bulat. Ln/Dply =80 +81 In Pd log +82 ln Peply +83 ln Exply +84 In Dply +85 1n nply +&3 •..•••• (3 .9) Keterangan : IDPly =permintaan industri kayu lapis terhadap kayu bulat (m3) Pdlog =harga kayu bulat domestik (Rp/m3) Peply =harga ekspor kayu lapis (US$/m3) Dply =permintaan kayu lapis (m3) Exply =volume ekspor kayu lapis (m3) nply =jumlah perusahaan dalam industri kayu lapis (unit) (4) Model persamaan permintaan industri kayu Gergajian terhadap kayu bulat. ln/D.run
~ ~
lnPdlog+¢zlnPe.run
~InEtswn
-l-¢4 1nD.run +¢.;1nnswn +&4 •••••••• (3.10)
Keterangan : IDswn =permintaan industri kayu gergajian terhadap kayu bulat (m3) Pdlog =harga kayu bulat domestik (Rp/m3)
23
=harga ekspor kayu gergajian (US$/m3) =volume ekspor kayu gergajian (m3) = permintaan domestik kayu gergajian (m3) =jumlah perusahaan dalam industri kayu gergajian (m3)
Peswn Exswn Dswn Nswn
(5) Model persamaan permintaan industri Pulp terhadap kayu bulat. ln/Dpulp
Keterangan : IDpulp =permintaan industri pulp terhadap kayu bulat (m3) =harga kayu bulat domestik (Rp/m3) Pdlog Pepulp =harga ekspor pulp (US$/ton) Expulp =volume ekspor pulp (ton) Dpulp =permintaan domestik pulp (ton) Npulp =jumlah perusahaan dalam industri pulp (unit)
3.4. Hipotesa Studi Dari 5 (lima) persamaan yang dibangun untuk memahami gap, hipotesa umum dijelaskan sebagai berikut : Gap yang teijadi antara permintaan industri terhadap kayu bulat dan ketersediaan bahan baku (kayu bulat) didorong oleh beberapa factor baik di sisi ketersediaan (supply) dan permintaan (demand). Selanjutnya disusun sub hipotesa terkait tanda (sign) dari factor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap supply dan permintaan industri terhadap kayu bulat, yang secara khusus dijelaskan sebagai berkut :
(1) Model persamaan Supply Kayu Bulat
(Harga kayu bulat domestik, RKT, luas HTI dan upah tenaga keija tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap produksi kayu bulat)
H 1 =bukan H 0 (Harga kayu bulat domestik, RKT, luas HTI dan upah tenaga keija mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap produksi kayu bulat) Tanda parameter dugaan a 1 >0, dimana diasumsikan bahwa peningkatan harga domestik kayu bulat akan mendorong pengusaha untuk meningkatkan ketersediaan kayu bulat. Hipotesis bahwa a 2 >0, hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jatah tebang yang diimplementasikan melalui RKT akan menambah jumlah ketersediaan kayu bulat.
24
Tanda a 3 >0 , juga mengasumsikan bahwa semakin luas hutan tanaman yang dibangun maka supply kayu bulat juga akan bertambah. Sedangkan a 4 <0, karena upah tenaga keija memiliki kecenderungan untuk meningkatkan biaya produksi sehingga pacta akhimya akan mengurangi jumlah supply kayu bulat yang akan dihasilkan.
(2) Model persamaan harga kayu bulat domestik
Ho =f3o =/31 =/32 =/33 =0 (harga dunia kayu bulat, supply kayu bulat dan inflasi tidak akan mempengaruhi harga
kayu bulat domestik)
H 1 =bukan H 0 (harga dunia kayu bulat,supply kayu bulat dan inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga kayu bulat domestik) Tanda parameter dugaan untuk
/31 >0,
dimana peningkatan harga dunia kayu
bulat akan mempengaruhi peningkatan harga kayu bulat domestik, hal ini teijadi karena Indonesia merupakan negara yang melakukan transaksi dengan negara lain di dunia. Sedangkan /32 <0 diduga memberikan hubungan yang negatif, karena kelimpahan kayu bulat akan cenderung membuat harga kayu bulat di pasar menjadi murah. Tanda parameter
/33 >0,
karena peningkatan harga secara umum pacta barang-barang pokok
akan mempengaruhi peningkatan harga kayu bulat domestik.
(3) Model persamaan permintaan industri kayu lapis terhadap kayu bulat
H o =5o =51 =52 =53 =54 =5s =0
(harga kayu bulat domestik, harga ekspor kayu lapis, volume ekspor kayu lapis, permintaan domestik kayu lapis, dan jumlah industri kayu lapis tidak berpengaruh terhadap permintaan industri kayu lapis terhadap kayu bulat) H 1 =bukan H 0
(harga kayu bulat domestik, harga ekspor kayu lapis, volume ekspor kayu lapis, permintaan domestik kayu lapis, dan jumlah industri kayu lapis berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan industri kayu lapis terhadap kayu bulat) Tanda parameter dugaan yang diharapkan adalah 51 >0 , dimana semakin mahal harga kayu bulat domestik maka produsen kayu lapis akan menurunkan permintaan terhadap bahan baku kayu bulat. Tanda 52 <0 , menunjukkan bahwa semakin tinggi
25
harga ekspor kayu lapis, maka produsen akan bersedia dan mampu memproduksi output lebih banyak.demikian juga peningkatan volume ekspor kayu lapis akan lebih banyak membutuhkan bahan baku kayu bulat lebih banyak lagi 83 >0 . Tanda parameter 84 >0 menunjukkan bahwa peningkatan permintaan domestik terhadap output (kayu lapis) akan memerlukan lebih banyak kayu bulat dalam proses produksinya. Demikian juga, apabila jumlah perusahaan dalam industri kayu lapis bertambah maka semakin banyak kayu bulat yang dibutuhkan ( 85 >0).
(4) Model persamaan permintaan industri kayu Gergajian terhadap kayu bulat