Ekstraksi Pewarna Makanan dari Akar Kelapa HILDA F.G. KASEKE Balai Riset dan Standarisasi Industri Manado Jln. Diponegoro No. 21-23 Manado 95112, Sulawesi Utara
Email:
[email protected]
Diterima 4 Pebruari 2013 / Direvisi 5 Agustus 2013 / Disetujui 28 Oktober 2013
ABSTRAK Persyaratan pewarna untuk makanan harus murni dan tidak membahayakan kesehatan. Pewarna alami aman untuk kesehatan dibanding pewarna sintetis. Akar kelapa bermanfaat untuk kesehatan, namun perlu diteliti manfaat lain dari akar kelapa sebagai pewarna makanan alami. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengekstrak dan identifikasi zat warna pada akar kelapa yang dapat digunakan sebagai pewarna makanan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, yang terdiri dari ekstraksi dan identifikasi. Ekstraksi menggunakan pelarut etanol 90% dan air. Pada proses ekstraksi dihasilkan rendemen pewarna untuk akar kelapa tua 1,21 – 1,43% dan akar kelapa muda 0,32 – 0,57%. Identifikasi serapan maksimum pada akar kelapa tua pada panjang gelombang 307,0 nm dan 231,0 nm, sedangkan akar kelapa muda 307,0 nm. Analisis khromatografi kertas dengan dua jenis pelarut, yakni Butanol : Air : Asam Asetat dan NaCl 2% dalam etanol untuk akar tua dan muda memberikan nilai Reterdation Factor masing–msing 0,208 dan 0,333. Kata kunci : Akar kelapa, ekstraksi identifikasi, pewarna makanan.
ABSTRACT
Food Coloring Extraction of Roots of Coconut Tree’s Requirements for food coloring should be pure and not harmful to health. Natural dyes is safe for health than synthetic dyes. Coconut roots had to be beneficial to health, but it was necessary to research other benefits of coconut roots are as a natural food coloring. The purpose of this research was to extract and identification of dyes on coconut roots that could be used as a food coloring. The research used descriptive method wich consist of extraction and identification. The extraction used ethanol Solvent 90% and water. The results showed that the dye yield from the roots of an old coconut between 1.21 to 1.43% and the roots of young coconut between 0.32 to 0.57%. Identification of the maximum absorption of old coconut’s root at a wave length of 307.0 nm and 231.0 nm, while the young coconut’s roots 307.0 nm. The results of paper chromatography analysis with two differentsolvent Butanol : Water : Acetic Acid and 2% NaCl in ethanol for young and old roots are given a Reterdation Factor values 0.208 and 0.333 for each. Keywords : Coconut roots, extraction, identification, food coloring.
PENDAHULUAN Warna dalam bahan pangan dapat berasal dari warna alami makanan itu sendiri atau dari bahan pewarna yang ditambahkan ke dalam makanan, baik untuk meningkatkan daya tarik, maupun untuk memperoleh warna produk yang seragam. Pemakaian bahan pewarna dalam bahan makanan bukan suatu hal yang baru dan telah dilakukan oleh produsenprodusen makanan sejak dahulu. Dahulu bahan pewarna yang banyak dipakai ialah bahan pewarna alami yang berasal dari tumbuhan. Penampakan suatu warna dari makanan merupakan sensor pertama di dalam menilai makanan, baik kualitas maupun rasa dari makanan. Konsumen dapat menerima atau menolak suatu makanan hanya dengan melihat warna dari makanan tersebut (Leni, 2013).
Berkembangnya industri makanan, pemakaian bahan pewarna semakin bervariasi. Dengan ditemukannya zat warna sintetis untuk makanan, maka pemakaian bahan pewarna jenis ini yang dalam beberapa hal mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu telah mendesak bahan pewarna alami. Bahan pewarna alami yang telah dikenal masyarakat diantaranya kurkumin dari kunyit (Curcuma longa) untuk membuat warna kuning, klorofil dari daun suji untuk membuat warna hijau, fikosianin dari bunga telang untuk membuat warna biru, karotenoid dari annato untuk membuat warna merah dan jingga, anthosianin dari anggur untuk membuat warna merah (Andarwulan et al., 2011). Pewarna alami didapatkan dengan cara ekstraksi untuk memisahkan komponen-komponen bahan satu dengan yang lainnya dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Sebagai bahan pelarut, digunakan pelarut organik,
95
B. Palma Vol. 14 No. 2, Desember 2013: 95 - 99
yaitu petroleum etter, air, etanol, dan lain-lain (Endang et al., 2009). Persyaratan bahan pewarna untuk makanan sangat berlainan dengan zat warna untuk tekstil, cat atau keperluan industri lainnya. Zat warna makanan harus murni serta tidak membahayakan kesehatan. Fungsinya hanya memberi warna, agar penampilannya lebih mantap dan mempertinggi selera makan. Keamanan dalam penggunaan pewarna sebagai salah satu bahan tambahan adalah sangat penting dan harus diadakan berbagai pemeriksaan secara kontinu untuk mengetahui kemungkinan adanya efek yang tidak dikehendaki (Anonim, 2006b). Permasalahan yang sedang dihadapi sekarang adalah beberapa industri makanan skala kecil dan industri rumah tangga, masih menggunakan pewarna non pangan (pewarna untuk cat dan tekstil). Pewarna makanan sintetis harganya relatif murah dan kelebihan pewarna sintetis, yaitu warnanya homogen dan tahan lama tidak mudah pudar, serta penggunaannya sangat efisien karena hanya membutuhkan dalam jumlah sedikit. Pewarna sintetis mempunyai kekurangan, yaitu jika dalam proses pembuatannya terkontaminasi logam berat, maka akan meninggalkan residu dan bila dikonsumsi dapat mengganggu kesehatan. Pewarna alami juga mempunyai kelemahan, yaitu warna tidak homogen (kurang stabil) dan ketersediaannya yang terbatas (impor) serta harganya relatif mahal, namun kelebihannya ialah pewarna alami aman untuk kesehatan apabila dikonsumsi. Pada saat ini di negara-negara maju terdapat kecenderungan konsumen dalam mengkonsumsi makanan tidak hanya menilai dari segi kandungan gizi dan lezatnya tetapi juga mempertimbangkan pengaruh makanan tersebut terhadap kesehatan (Muchtady, 2012). Akar kelapa sangat bermanfaat untuk kesehatan sebagai obat. Alviano et al. (2004) menyatakan bahwa akar kelapa yang direbus dan digunakan sebagai obat kumur tidak menyebabkan iritasi pada kulit, akar kelapa yang muda dapat digunakan untuk obat sakit tenggorokan (Anonim, 2006a), juga sebagai obat diabetes mellitus (Sitty dan Yulfira, 2003). Dengan mulai bergesernya pengobatan penyakit dengan menggunakan obat tradisional, bagian–bagian dari kelapa mempunyai potensi yang sangat besar untuk diekploitasi (Manisha dan Syamapada, 2011). Potensi akar kelapa sebagai pewarna alami, mendorong untuk dilakukan penelitian melelui proses ekstraksi dan identifikasi karakteristiknya.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada bulan FebruariNovember 2007 di Laboratorium Balai Riset dan
96
Standardisasi Industri, Manado. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah akar kelapa Dalam yang diambil dari Desa Malalayang I, Kecamatan Malalayang Manado, etanol 90%, air, air suling, benang wol, NaOH, NH4OH, asam asetat, butanol, mesin penghancur/pemotong akar kelapa, alat ekstraksi pewarna dalam akar kelapa, spektrofotometer UV–Visible Double Beam merk Shimadzu model UV – 1601 dan Kromatografi kertas. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yang terdiri dari dua tahap : 1. Proses ekstraksi Pada proses ekstraksi divariasikan pelarut yang digunakan untuk mengekstrak akar kelapa dan juga dilihat apakah ada perbedaan penggunaan bahan baku akar kelapa tua dan muda. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah air dan etanol 90%. Cara ekstraksi : 1. Akar kelapa dicuci untuk mengeluarkan kotoran (tanah) dan lain-lain. 2. Akar kelapa bersih dimasukkan ke alat pemotong (slice macine). 3. Bahan/akar kelapa ukuran kecil-kecil dimasukkan ke dalam alat ekstraktor. 4. Ke dalam ekstraktor dimasukkan air atau etanol sampai pada batas atas akar kelapa kemudian alat dijalankan selama 24 jam dalam suhu ruang. 5. Cairan hasil ekstraksi dipekatkan dengan cara penguapan atau dikeringkan yang hasil akhirnya adalah bubuk zat warna (Gambar 1). 2. Identifikasi Zat Warna Bubuk zat warna hasil ekstraksi diidentifikasi dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan kromatografi kertas. Cara identifikasi : 1. Sampel dilarutkan dengan NH4OH 0,1 N. 2. Pipet dengan pipet kapiler kemudian totolkan pada kertas kromatografi. 3. Keringkan kemudian dimasukkan dalam bejana kromatografi yang berisi larutan butanol : asam asetat : air (4 : 1 : 5) yang telah didiamkan satu malam. 4. Biarkan 5 – 6 jam sehingga zat warna naik ke atas. 5. Angkat kertas lalu keringkan. 6. Hitung harga Refardation factor (Rf) zat warna dan dibandingkan dengan standar. Pengamatan dilakukan terhadap rendemen, senyawa dan jenis pewarna.
Ekstraksi Pewarna Makanan dari Akar Kelapa (Hilda F.G. Kaseke)
Akar Kelapa - Pencucian - Pengeringan - Penghancuran Etanol 90 % Air
Ekstraksi
Penyaringan
Ampas
Cairan
Pemekatan
Konsentrat Zat Warna Kelapa
Gambar 1. Figure 1.
Proses ekstraksi zat warna dalam akar kelapa. Extraction process of dye in the roots of coconut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Senyawa Pewarna
A. Rendemen Pewarna Rendemen zat warna dari akar kelapa yang diekstrak dengan etanol 90% dan air tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil ekstraksi akar kelapa. Table 1. Extraction results of coconut root. No. 1. 2.
Akar Kelapa Coconut’s root Akar Tua Old roots Akar Muda Young roots
Pelarut (%) Solvent (%) Etanol 90 % Ethanol 90% Air/Water Etanol 90 % Ethanol 90% Air/Water
Penggunaan pelarut etanol 90% lebih tinggi rendemennya dibanding dengan pelarut air karena sifat dari pelarut etanol semi polar, sehingga dapat melarutkan senyawa organik dalam akar kelapa yang hanya larut dalam pelarut non polar dan semi polar. Selain itu, etanol memiliki sifat selektifitas yang tinggi sebagai pelarut dalam proses ekstraksi serta memiliki kemampuan melarutkan ekstrak dalam jumlah besar (akar kelapa yang diekstrak 1 kg). Etanol sebagai pelarut mempunyai keunggulan, yaitu memiliki kemampuan melarutkan ekstrak yang besar, tidak bersifat racun, tidak eksplosif, tidak korosif, dan mudah didapatkan. Sedangkan pelarut air memberikan rendemen yang rendah dibandingkan pelarut etannol 90% karena air bersifat polar dan tidak dapat melarutkan senyawa organik dalam akar kelapa seperti senyawa akaloid, flavanoid, tanin dan lain-lain. Rendemen pada akar kelapa tua lebih tinggi dibandingkan pada akar kelapa muda dengan menggunakan kedua pelarut, baik pelarut etanol 90% maupun pelarut air. Hal ini disebabkan senyawa zat warna pada akar kelapa tua telah terbentuk sempurna dengan proses biokimia dalam akar kelapa, sehingga senyawa zat warna dalam bentuk alkaloid, flavanoid, tanin dan lain–lain ditemukan lebih banyak dan dapat dilihat dari warna coklat tua yang dimiliki akar kelapa tua. Pada akar kelapa muda ada beberapa senyawa zat warna yang belum terbentuk sempurna, hal ini ditunjukkan dengan warna akar kelapa yang masih coklat muda atau coklat keputihan.
Rendemen (%) Yield (%) 1,43 1,21 0,57 0,32
Pada Tabel 1, ternyata penggunaan pelarut etanol 90% lebih efektif dibanding dengan pelarut air, baik pada akar kelapa tua maupun kelapa muda dan rendemen zat warna dalam bentuk padatan lebih tinggi pada akar kelapa tua daripada kelapa muda.
Senyawa pewarna dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer UV-Visible dengan hasil panjang gelombang yang tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil identifikasi panjang gelombang akar kelapa. Table 2. Wave lenght identification results of coconut roots. No.
Jenis Akar Type of roots
1.
Akar Tua Old roots
2.
Akar Muda Young roots
Pelarut Solvent Etanol 90 % Ethanol 90% Air/Water Etanol 90 % Ethanol 90% Air/Water
Panjang Gelombang (nm) Wave lenght (nm) 231,0 307,0 307,0 307,0
Hasil analisis dengan Spektrofotometer UV– Visible terhadap senyawa pewarna dari hasil ekstraksi akar kelapa tua menunjukkan akar kelapa yang di ekstraksi menggunakan etanol 90% memberikan
97
B. Palma Vol. 14 No. 2, Desember 2013: 95 - 99
2 buah peak (grafik) pada panjang gelombang 307,0 nm dan 231,0 nm. Sedangkan penggunaan air dalam ekstraksi akar kelapa memberikan satu peak (grafik), yakni pada panjang gelombang 307,0 nm. Data tersebut berlaku juga terhadap analisis kandungan senyawa dalam akar kelapa muda yang diekstraksi dengan 2 jenis pelarut, yakni etanol 90% dan air. Etanol ternyata memberikan hasil optimal dalam proses ekstraksi senyawa-senyawa pewarna dalam akar kelapa. Hal ini terjadi kerena di duga dalam akar kelapa terdapat senyawa pewarna yang larut dalam etanol tapi tidak larut dalam air. Hasil analisis pewarna yang diekstraksi dari akar kelapa terlampir. Spektrofotometer UV–Visible banyak digunakan untuk menganalisis zat warna, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Penggunaan spektrofotometer secara kualitatif untuk mengidentifikasi zat warna dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Hasil analisis larutan pigmen dapat berupa gambar kurva serapan cahaya (absorbansi) dan panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimum. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Murbantan et al. (1997) menyatakan bahwa etanol lebih efektif dalam mengekstrak zat warna dalam tumbuhan daripada air. Ekstraksi menggunakan etanol memberikan rendemen zat warna lebih tinggi (9,6%) dibanding pelarut air (7,8%). Pada ekstraksi zat warna kayu secang (Caesalpiria sappan). Hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan pewarna sintetis akan berbeda karena proses ekstraksi dan pembuatannya berbeda, dimana untuk zat warna alami (pewarna alami) biasanya diproses dengan metode ekstraksi dari tumbuhan (akar, batang, bunga, daun, buah) mengggunakan pelarut (air, etanol dan pelarut organik lain) sedangkan pewarna sintesis dibuat melalui proses reaksi bahan–bahan kimia C. Jenis Pewarna Jenis pewarna dianalisis dengan menggunakan kromatografi kertas. Pengamatan nilai Reterdation Factor (Rf) dengan paper chromatography atau kromatografi kertas, yaitu salah satu cara untuk mengidentifikasi senyawa pewarna (pigmen) dari akar kelapa. Nilai Rf (Retardation Factor) didefinisikan sebagai perbandingan jarak senyawa dari titik awal dan jarak pelarut dari titik awal pada analisa kromatografi. Untuk mengetahui jenis pewarna dalam produk, maka harga Rf contoh yang dianalisis dibandingkan dengan nilai Rf standar (diketahui) atau dengan membandingkan dari literatur (referensi). Nilai Rf dihitung dengan membandingkan jarak yang dilalui oleh senyawa (spot/noda warna) terhadap
98
jarak yang dilalui oleh pelarut (eluen). Nilai Rf biasanya selalu berupa pecahan dan terletak antara 0,01 – 0,99. Untuk mengetahui jenis zat (senyawa) dalam pewarna alami hasil ekstraksi dan isolasi tumbuhtumbuhan dapat dilakukan dengan berbagai metode dan salah satu cara yang biasa digunakan adalah analisa kromatografi kertas. Senyawa zat warna hasil penelitian terdahulu menjadi standar atau acuan, sehingga untuk zat warna yang memiliki nilai Rf sama dapat disimpulkan memiliki zat warna yang sama atau mirip. Nilai atau harga Rf pada pewarna alami dan sintetis ada yang sama tapi ada juga yang berbeda, tergantung pada jenis pewarna baik alami maupun sintetis. Hasil penelitian terhadap ekstrak zat warna akar kelapa menggunakan eluen Butanol : Asam Asetat : Air ( 4 : 5 : 1). Eluen yang digunakan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia tentang Cara Uji Zat Warna Makanan dan Minuman (SNI 01 – 2895 1992) dan NaCl 2% dalam Etanol. Tabel 3. Hasil identifikasi senyawa dalam akar kelapa dengan metode kromatografi kertas. Table 3. The results of identification of compound in coconut roots with paper chromatography methode. No. 1.
2.
Jenis Akar Type of roots Akar Tua Old roots Akar Muda Young roots
Jenis Eluen Solvent
Nilai Rf Rf value
Butanol : Air : Asam Asetat Buthanol:Water: Acetic acide NaCl 2 % dalam etanol NaCl 2% in ethanol Butanol : Air : Asam Asetat Buthanol:Water: Acetic acide NaCl 2 % dalam etanol NaCl 2% in ethanol
0,208 0,333 0,208 0,333
Data Tabel 3, menunjukkan bahwa penggunaan eluen Butanol : Asam Asetat : Air dan larutan NaCl 2% dalam etanol 70% memberikan hanya satu spot (noda) pigmen. Nilai Rf dari senyawa pewarna dalam ekstrak akar kelapa masing-masing 0,208 (Butanol: Air: Asam Asetat) dan 0,333 (NaCl 2% dalam etanol). Pewarna yang terkandung dalam akar kelapa bersifat semi polar hal ini ditunjukkan dengan adanya kandungan minyak dalam analisis akar kelapa. Oleh karena itu, penggunaan eluen harus disesuaikan dengan sifat dari jenis pigmen yang akan dipisahkan.
Ekstraksi Pewarna Makanan dari Akar Kelapa (Hilda F.G. Kaseke)
KESIMPULAN 1.
2. 3.
Penggunaan pelarut etanol 90% memberikan rendemen (kadar padatan total) akar pohon kelapa tua maupun akar kelapa muda cukup tinggi, yakni 1,43% dan 0,57%, sedangkan penggunaan pelarut air rendemen yang diperoleh relatif rendah, yaitu 1,21% (akar kelapa pohon tua) dan 0,32% (akar kelapa pohon muda). Serapan maksimum senyawa pewarna dalam ekstrak akar kelapa terukur pada panjang gelombang 231,0 nm dan 307,0 nm. Hasil pemisahan jenis pewarna dalam ekstrak akar pohon kelapa dengan kromotografi kertas memberikan nilai Rf 0,208 (Butanol : Air : Asam Asetat) dan 0,333 (NaCl 2% dalam etanol).
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006a. Pewarna pangan. (http:// tekpan. unimus.ac.id/wp-content/uploads/ 2013/07/ Pewarna-Pangan.pdf. [diakses tanggal 21 Oktober 2013]. Anonim. 2006b. Informasi tanaman obat Indonesia. (http://tekpan.unimus.ac.id/wpcontent/ uploads/2013/07/Kliping-Informasi-TanamanObat-Indonesia.pdf. [diakses tanggal 21 Oktober 2013]. Andarwulan, N.F., F. Kusnandar, dan D. Herawati. 2011. Analisis pangan. Dian Rakyat. Jakarta.
Alviano D.S, K.F. Rodrigues, S.G. Leifao, M.L. Rodrigues, M.L. Matheus, and P.D. Fernandes. 2004. Antinoceptive and free vadical scavenging activities of Cocos nucifera L. (palmae) hush fiber aerueous extract. J.Enthropharmacal.92: 269-273. Dahrul, S. 2012. Pengantar teknologi pangan. IPB Press. Bogor. p. 133-139. Muchtady, D. 2012. Pangan fungsional dan senyawa bioaktif. Alfabeta. Bandung. p. 1-7. Endang, K., A.S. Dwi, W. Agus, T. Adi. 2009. Zat warna alami tekstil dari kulit manggis. Ekuilibrium. 8(1) : 41-47. Leni, H.A. 2003. Teknologi pengamatan pangan. Alfabeta. Bandung. Manisha, D.M., dan M. Syamapada. 2011. Coconut (Cocos nucifera L. (Arecaceae), In Health Promotion and Disease Prevention. Asian Pasific Journal of Tropical Medicine p. 241-247. Murbantan, A. Mustafa, M. Rasjidi dan H. Saputra. 1997. Proses ekstraksi dan powderisasi zat warna alam. Laporan Penelitian Industri Kecil dan Menengah, ISSN 1410-9891. p. 12-16. Sitty, S.S., dan M. Yulfira. 2003. Obat tradisional untuk penyakit diabetes mellitus dari pengobatan tradisional (BATTRA) di DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 2 : 239-248.
99