Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan
Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu membuat kita kembali mempertanyakan eksistensi hasil keputusan Konvensi Jenewa tentang perlindungan warga sipil dan hak asasi manusia. Konvensi Jenewa termasuk hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia seharusnya paling tidak dapat membatasi gerakan agresi negara-negara yang terlibat konflik dengan pertimbangan atas penderitaan yang akan ditimbulkan selama konflik bersenjata. Hal ini sebenarnya tidak saja menyangkut warga sipil saja, tapi juga segala fasilitas yang diperlukan oleh kemanusiaan (makanan, tempat tinggal, dan keamanan) termasuk juga korban luka (baik warga sipil maupun tentara yang terluka) akibat konflik. Akan tetapi, kedudukan konvensi jenewa sepertinya tidak cukup kuat di mata negara-negara. Buktinya, masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran HAM berat. Bahkan, serangan Israel terhadap Palestina selama konflik Gaza dinilai secara sengaja menargetkan warga palestina secara keseluruhan (terntara dan warga sipil) oleh tim independen pencari fakta PBB. Kesimpulan awal yang dapat diambil adalah konvensi Jenewa tidak dapat mempengaruhi Israel dalam menerapkan metode serangan mereka terhadap Palestina. Hal ini juga berarti bahwa konvensi Jenewa tidak cukup kuat untuk membatasi gerakan negara-negara dalam menjalankan aksi agresi
mereka.
Konflik Gaza adalah cermin betapa lemahnya kedudukan konvensi jenewa. Pelanggaran HAM berat selama konflik Gaza baik berupa penembakan warga sipil, penghancuran fasilitas kesehatan, penyebaran aksi teror, dan lain-lain perlu diperhatikan sebagai pelanggaran terhadap konvensi jenewa dan kebiasaankebiasaan Internasional yang terkandung didalamnya. Sebagai respon atas konflik yang terjadi di Gaza, Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa membentuk Tim Pencari Fakta mengenai Konflik Gaza pada tanggal 3 April 2009. Tujuannya untuk melakukan identifikasi menyeluruh terhadap pelanggaran hukum internasional hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional yang mungkin terjadi selama konflik berlangsung.
Tim Pencari Fakta ini dipimpin oleh seorang hakim Richard Goldstone yang notabene mantan hakim peradilan konstitusi Afrika Selatan. Berdasarkan laporan tim pencari fakta tersebut (UNHRC 2009), korban konflik Gaza dari pihak Palestina belum diketahui secara pasti oleh karena sumber data yang bervariasi. Data yang diperoleh dari beberapa organisasi nonpemerintah menyebutkan korban berjumlah 1.417 orang, sedangkan pihak berwenang Gaza menyebutkan ada 1.444 orang, dan pemerintah israel menyebutkan ada 1.166 orang. Tidak semua dari korban tersebut merupakan pelanggaran terhadap konvensi Jenewa. Ada setidaknya 36 kasus yang dijadikan perhatian utama sebagai bukti bahwa pihak Israel melakukan tindakan penyerangan yang disengaja dan sistematis terhadap warga sipil. 11 kasus dari 36 kasus menyebutkan adanya penembakan terhadap warga sipil yang tidak bersenjata dan sedang tidak terlibat secara langsung dalam konflik (bukan milisi). Pelanggaran lain terfokus pada metode serangan Israel yang membabi buta sehingga banyak menimbulkan korban tambahan (collateral damage)
yang
sebenarnya tidak perlu terjadi, misalnya dengan penggunaan senjata kimia ‘White Phosphorus’ di wilayah pemukiman. Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk pelanggaran Israel terhadap konvensi Jenewa. Laporan tersebut juga menyebutkan pelanggaran konvensi Jenewa yang dilakukan oleh Palestina. Penggunaan senjata roket jarak jauh dinilai melanggar konvensi Jenewa karena efek ledakannya yang random dapat merugikan warga sipil Israel. Penangkapan Ghilad Shalit (Wikipedia 2011), seorang tentara Israel, juga dipandang sebagai tindakan pelanggaran HAM oleh Palestina dinilai dari cara penangkapan dan perlakuan yang diterima Ghilad. Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Human Rights Counsil) kemudian mengesahkan sebuah resolusi terkait hasil laporan tim pencari fakta konflik Gaza. Resolusi tersebut pada intinya bertujuan untuk mendesak kedua belah pihak untuk melakukan pemeriksaan terhadap militernya terhadap dugaan pelanggaran HAM berat berdasarkan hasil laporan tim pencari fakta. Sebuah artikel koran Kompas (Wahono 2010) menyebutkan bahwa resolusi ini sebenarnya bertujuan untuk mendesak Israel untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan mendesak untuk membawa persoalan tersebut ke
Mahkamah Pidana International (International Criminal Court) bila Israel dinilai tidak serius dalam menangani kasus tersebut. Resolusi ini disetujui oleh 25 negara anggota UNHRC yang kebanyakan negara islam, 11 negara lainnya abstain, dan 6 negara menolak untuk menyetujui resolusi termasuk Amerika Serikat dengan alasan proporsi yang tidak seimbang. Negara yang menolak resolusi tersebut berpendapat bahwa resolusi UNHRC terlalu berfokus pada Israel saja dan mengabaikan tindakan pelanggaran yang dilakukan Palestina. Dari wacana tentang resolusi UNHRC tersebut, kesimpulan yang ddapat diambil adalah konvensi Jenewa masih dipandang sebagai hukum internasional yang harus dipatuhi oleh semua negara di dunia. Hal ini terbukti dari jumlah negara yang setuju untuk melakukan tindakan tegas terhadap negara yang melanggar konvensi tersebut. Walaupun demikian, kekuatan konvensi Jenewa tidaklah sekuat hukum nasional. Kurang tegasnya proses peradilan yang akan diberlakukan terhadap Israel dan Palestina dan sanksi yang tidak tertulis secara jelas adalah bukti bahwa konvensi Jenewa tidak mampu mengikat seluruh negara secara utuh dan tidak memiliki kekuatan paksa yang cukup untuk menghukum negara yang melanggar konvensi tersebut. Kedudukan konvensi Jenewa di masa depan diperkirakan akan sama seperti kedudukannya sekarang sebagai hukum internasional yang berlaku untuk semua negara (law making treaty). Kedudukan konvensi Jenewa akan semakin kuat bila ada sanksi yang tertulis secara jelas dan penindakan terhadap negara yang melanggar konvensi Jenewa diberlakukan secara universal dan adil. Hal ini berarti dalam proses penindakan negara-negara tersebut, tidak boleh ada campur tangan pihak lain (terutama negara-negara Great Powers). Proses peradilan harus dilakukan berdasarkan fakta yang ditemukan dan semua negara yang melanggar harus diadili secara otomatis tanpa melalui usulan pihak manapun dan tanpa persetujuan pihak manapun. Kemungkinan ini bukan tidak mungkin terjadi. Ketika semua negara di dunia memandang bahwa kejahatan perang dan kejahatan terhadap hak asasi manusia merupakan kejahatan berat yang ruang lingkupnya berada diluar teritori negara, maka suatu saat konvensi Jenewa akan memiliki kedudukan yang sangat kuat.
REFERENCE
Ghilad Shalit [online] (diakses pada 27 Maret 2011) tersedia dari
United nations fact finding mission on the gaza conflict [online] (diakses pada 27 Maret 2011) tersedia dari
Unites Nations Human Rights Council 2009, Report of the united nations fact finding mission on the gaza conflict, Author, London.
Wahono, T 2010 ‘Dewan HAM PBB sahkan resolusi konflik gaza’ [online] (diakses pada 27 Maret 2011) tersedia dari
Please download full document at www.DOCFOC.com Thanks