106
INOVASI, Volume XIX, Nomor 1, Januari 2017
Ekologi Religi dalam Naskah-naskah Drama Karya Akhudiat: Perspektif Ekologi Budaya Kaswadi Email :
[email protected] Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sains Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan aspek ekologi religi yang juga diharapkan bermuara pada pemahaman dan pemosisian NDKA dalam jajaran sejarah sastra drama Indonesia. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan berkontribusi pada penguatan teori ekologi budaya untuk menganalisis karya sastra. Sumber data penelitian ini adalah NDKA 1970-an, yakni (1) Grafito (G) (1972), (2) Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Jauh (RBRL) (1974), (3) Jaka Tarub (JK) (1974), (4) Bui (B) (1975), dan (5) Re (R) (1977). Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi atau pustaka dengan penelitini sebagai instrumen utama pengambil data. Triangulasi terhadap data penelitian dengan menggunakan triangulasi waktu.Teknik analisis data penelitian ini menggunakan teknik analisis data Creswell. Analisis terhadap ekologi religi NDKA menunjukkan adanya responsrespons religi dalam membentuk NDKA. Respons-respons tersebut merupakan wujud adaptasi NDKA terhadap ekologi religi pada waktu penciptaan NDKA yang tampak pada bentuk, cara, dan fungsi ekologi religi dalam NDKA. Kata kunci: ekologi budaya, ekologi religi, respons, adaptasi Pendahuluan Naskah-naskah drama karya Akhudiat (NDKA) mulai menyemarakkan dunia teater Indonesia pada 1970-an. Kemunculan NDKA tersebut bersamaan dengan penyelenggaraan lomba penulisan naskah drama yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Dalam lomba tersebut NDKA beberapa kali keluar sebagai pemenangnya. NDKA yang dimaksud adalah Grafito (G) (1972), Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Jauh (RBRL) (1974), Jaka Tarub (JK) (1974), Bui (B) (1975), dan Re (R) (1977). Setelah era 1970-an, NDKA yang ditulis kemudian ialah Suminten dan Kang Lajim (1982), Dewa Mabuk, Monolog (seri naskah teater) (2010) dan Wak Ayam/Cawik Ngatur MR. Mamok/Pethak Atawa Sekolah Skandal (2011), Sketsa-sketsa atawa Ten Minute (5 lakon pendek) (2011), Dilarang Masuk, Rakyat, Kubik (3 monolog pendek) (2014).
Deretan karya dan prestasi serta rentang waktu yang panjang kemunculannya menunjukkan posisi penting NDKA dalam sejarah sastra drama Indonesia. NDKA tidak hanya telah mengisi lembaran sejarah sastra Indonesia dengan deretan naskah drama, tetapi juga beberapa di antaranya menjadi tonggaktonggak besar dalam perjalanan sastra drama Indonesia. Naskah-naskah yang tergolong sebagai tonggak-tonggak besar tersebut berupa naskah-naskah drama yang berhasil menjadi juara lomba dan bahkan ada yang telah menjadi warga sastra dunia. Selain beberapa hal yang telah dikemukakan, NDKA menunjukkan karakteristik yang penting dalam rangka perkembangan dan eksistensi sastra drama Indonesia. Karakteristik NDKA tersebut menjadi pembeda NDKA dengan naskahnaskah drama yang lain. Dengan karakteristik tersebut, NDKA pantas ditempatkan dalam deretan naskah-naskah drama Indonesia yang berkualitas. Karakteristik yang dimaksud
Kaswadi, Ekologi Religi dalam Naskah-naskah Drama Karya Akhudiat adalah sebagaimana di kemukakan para pakar sastra yang telah meneliti NDKA. Pertama, NDKA dikenal sebagai naskah-naskah eksperimental, nonkonvensional, radikal (Satoto, 1997:1; Damono, 2009:81). Kedua, NDKA dikatakan sebagai naskah-naskah absurd (Soemanto, 2007:47). Ketiga, NDKA dikenal sebagai naskah-naskah berwarna daerah berupa seni tradisional (Wasono, 2007; Damono, 2009:80−84). Jelas bahwa penelitian terhadap NDKA penting, baik secara khusus dalam kaitannya dengan keberadaan naskah-naskah tersebut maupun secara umum dalam kaitannya dengan dunia drama Indonesia. Terhadap NDKA, pada satu sisi, penting dipublikasikan dan di sisi lain, diungkapkan aspek-aspek tertentu yang terkadung di dalamnya. Penelitian tersebut juga bermanfaat dalam mengurangi kelangkaan penelitian naskah drama selama ini. Dalam penelitian ini dikaji NDKA berupa lima naskah lakon, yaitu Grafito (G) (1972), Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Jauh (RBRL) (1974), Jaka Tarub (JK) (1974), Bui (B) (1975), dan Re (R) (1977). Pilihan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa kelima naskah tersebut pertama, merupakan puncak prestasi kepengarangan naskah drama Akhudiat, dan kedua, menunjukkan ekologi budaya yang kuat. Kelima naskah drama tersebut merupakan puncak prestasi kepengarangan naskah drama Akhudiat tampak bukti-bukti baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, bila dibandingkan dengan masa setelah 1970-an, kelima naskah tersebut mencerminkan masa produkvitas tinggi Akhudiat karena dalam kurun waktu lima tahun telah dihasilkan lima naskah drama besar. Kecuali naskah drama Suminten dan Kang Lajim (1982) dan Wak Ayam/Cawik Ngatur MR. Mamok/Pethak Atawa Sekolah Skandal (2011), naskah-naskah drama karya Akhudiat yang lain hanya berupa framenfragmen kecil yang lebih sesuai untuk berlatih teater. Secara kualitatif, kelima naskah tersebut telah memenangi lomba penulisan naskah drama yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada era 1970-an. Kemenangan pada lomba menunjukkan tingkat kualitas naskah drama yang bersangkutan. Fakta lain yang membuktikan prestasi NDKA tersebut adalah sambutan masyarakat
107
yang luas. Pertama, oleh para pakar, naskahnaskah drama tersebut sering dijadikan contoh sebagai naskah drama yang berkualitas dan menjadi penanda eksistensi Akhudiat sebagai penulis naskah drama Indonesia. Pakar-pakar sastra yang dimaksud, misalnya Damono (1983, 2007, 2009), Satoto (1997), Soemanto (2007), Wasono (2007), dan Yoesoef (2013). Kedua, sebagian dari NDKA tersebut telah menjadi sastra dunia. JK selain pernah dimuat di majalah sastra Horison (2002), Antologi Drama Indonesia Jilid 4 (2006), juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dimuat di The Lontar Anthology of Indonesian Drama (2010). Menurut penuturan Akhudiat (wawancara, 7 Februari 2012), RBRL sering dipentaskan oleh mahasiswa yang memelajari bahasa Jawa di Australia. Ketiga, sambutan luas terhadap NDKA juga tampak pada terbitnya kelima naskah tersebut dalam bentuk buku kumpulan naskah drama pada 2014. Luasnya pengenalan suatu karya sastra pada masyarakat dan mencakup kurun waktu yang panjang menunjukkan kemantapan dan kemampuan daya estetiknya menghadapi harizon harapan penyambut (Abdullah, 1991:11). Hal tersebut juga menunjukkan NDKA merupakan karya sastra yang berkualitas, karena karya sastra yang berkualitas seslalu memiliki kesesuaian dengan masa kini (Gadamer dalam Hadi W.M., 2004:94). Kelima naskah drama tersebut juga menunjukkan ekologi budaya yang kuat. Ekologi budaya yang dimaksud adalah keseluruhan realitas kehidupan manusia, sebagai sebuah sistem yang melingkupi kehidupan dan menjadi dasar tingkah laku dalam kaitan dengan proses adaptasi terhadap lingkungan yang menjadi konteks penciptaan NDKA sebagaimana tampak dalam NDKA.Ekologi budaya yang tampak dalam NDKA adalah ekologi budaya masa Orde Baru. Karakteristik NDKA tersebut berkaitan dengan aspek-aspek tertentu di luar dirinya sebagai lingkungan atau ekologi penciptaannya. Aspek ekologi adalah segala sesuatu yang ada di sekitar karya sastra yang menjadi inspirasi penciptaan karya sastra. Aspek ekologis tersebut dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu ekologi alam dan ekologi budaya. Ekologi alam adalah realitas alam yang menjadi konteks penciptaan karya sastra. Ekologi budaya adalah realitas budaya yang
108
INOVASI, Volume XIX, Nomor 1, Januari 2017
menjadi konteks penciptaan karya sastra. Konteks suatu karya sastra perlu diketahui agar dipahami genealoginya untuk memahami proses produksi suatu karya dalam hubunganhubungannya yang bersifat historis (Kleden, 2004:13). Dengan demikian, kajian ekologi terhadap karya sastra penting dilakukan. Berkaitan dengan kajian ekologis tersebut McNaughton dan Wolf (1989:13) mengemukakan bahwa ada pertanyaanpertanyaan ekologis penting dalam kajian ekologis. Pertama, organisme-organisme dan faktor-faktor lingkungan apa yang terdapat di suatu wilayah tertentu? Kedua, bagaimana organisme-organisme tersebut beserta faktorfaktor lingkungannya terkait secara fungsional? Ketiga, mengapa organisme tersebut secara fungsional berhubungan satu sama lain serta berhubungan dengan lingkungannya dalam cara-cara tertentu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengarahkan agar kajian ekologis berfokus pada bentuk, cara, fungsi interaksi ekologi. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini difokuskan pada bentuk, cara, dan fungsi ekologi religi dalam NDKA. Penelitian ini secara praktis diharapkan berkontribusi dalam penguatan teori ekologi budaya. Sampai saat ini, di Indonesia, teori ekologi budaya, terutama untuk analisis karya sastra, belum dikembangkan atau diperhatikan secara memadai. Dalam penelitian ini dikembangkan dasar-dasar teoritis dan metode penelitian ekologi budaya terhadap naskah drama. Oleh karena itu, penelitian ini berkontribusi terhadap ilmu sastra. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat (a). Sebagai teladan pemahaman NDKA, terutama dalam perspektif ekologi budaya, bagi mahasiswa, pengajar, dan pembaca sastra; (b). sebagai dasar memosisikan NDKA di antara naskahnaskah drama Indonesia yang bermuara pada penghargaan terhadap NDKA; (c). sebagai sarana pemasyarakatan karya sastra drama, khususnya NDKA, yang seperti disinyalir pemerhati sastra, sampai saat ini paling tidak populer di masyarakat bila dibandingkan dengan jenis karya sastra puisi dan prosa; dan (d). membuka cakrawala baru bagi sastrawan dan peneliti sastra, terhadap dimensi-dimensi karya sastra drama khususnya dan karya sastra umumnya dalam rangka pengembangan cipta sastra dan penelitian sastra ke depan.
Kajian Teori 1. Teori Ekologi Budaya Pendekatan ekologi budaya pertama kali dilakukan oleh Julian H. Steward dengan memakai istilah cultural ecology (Poerwanto, 2005:68). Steward (1955) memberikan batasan ekologi budaya adalah ilmu yang memelajari proses manusia sebagai makhluk hidup menyesuaikan dirinya atau beradaptasi dengan lingkungannya. Menurutnya, proses perkembangan kebudayaan di dunia ini memiliki corak khas yang disebabkan oleh lingkungan-lingkungan tertentu. Hubungan antara kebudayaan dengan alam sekitarnya dapat dijelaskan melalui aspek-aspek tertentu dalam suatu kebudayaan, meskipun alam sekitar belum tentu berpengaruh terhadap kebudayaan. Dalam kaitan tersebut, kebudayaan sebagai sistem budaya merupakan seperangkat gagasan yang membentuk tingkah laku seseorang atau kelompok dalam suatu ekosistem. Proses penjadian kebudayaan tersebut diperlukan adaptasi yang mengacu pada proses interaksi antara perubahan yang ditimbulkan oleh suatu organisme pada suatu lingkungan dan perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan dari organisme tersebut. Dengan kebudayaannya, untuk jangka waktu panjang yang telah dijalaninya, makhluk manusia berkembang dan tetap survival karena mampu melakukan proses penyesuaian timbal balik (Poerwanto, 2005:61). Oleh karena itu, kebudayaaan sebagai ciptaan atau warisan hidup bermasyarakat adalah hasil daya cipta atau kreativitas para pendukungnya dalam rangka berinteraksi dengan ekologinya (Poerwanto, 2005:91). Steward (1955:41−42) mengemukakan bahwa pendekatan ekologi budaya memunyai tiga unsur dasar; pertama, ada hubungan antara teknologi yang dipergunakan dengan keadaan lingkungan tertentu; kedua, pola-pola kelakuan dalam rangka wilayah erat kaitannya dengan bentuk teknologi yang diciptakan; ketiga, pola-pola kelakuan dalam rangka eksploitasi tersebut berpengaruh terhadap berbagai aspek kebudayaan yang bersangkutan. Mengacu pada pendapat tersebut, karya sastra, yang merupakan produk budaya, juga merupakan bentuk atau cara dan pola perilaku masyarakat dalam mencapai tujuan tertentu yang memiliki keterkaitan dengan lingkungannya. Lingkungan menjadi faktor
Kaswadi, Ekologi Religi dalam Naskah-naskah Drama Karya Akhudiat penting dalam proses penjadian sebuah karya sastra. Dalam kaitannya dengan kajian sastra, istilah ekologi digunakan dalam beragam pengertian. Pertama, ekologi yang dipakai dalam pengertian yang dibatasi dalam konteks ekologi alam. Kajian ekologis dengan pengertian lingkungan alam tersebut populer sebagai kajian ekokritik (Glotfelty, 1996; Phillips, 2003; Garrard, 2004). Kedua, ekologi yang dipakai dalam pengertian ekologi budaya (Carey, 1986; Sudewa, 1992; Sumardjo, 2007). Pada intinya ekokritik, sebagaimana dikemukakan oleh Glotfety (!996:xix), adalah kajian hubungan antara sastra dan lingkungan fisik, kajian sastra yang berpusat pada dunia. Kajian yang juga disebut sebagai kajian hijau tersebut antara lain memperbincangkan cara alam diwakili dalam puisi, cara menjelaskan ciri-ciri genre kesusastraan alam sekitar, cara krisis alam sekitar memasuki kesusastraan komtemporer, dan sebagainya. Menurut Garrard (2004:14) pengetahuan ekologi bukan hanya untuk melihat harmoni dan stabilatas lingkungan tetapi juga untuk mengetahui sikap dan perilaku manusia. Oleh karena itu, menurutnya analisis ekokritik bersifat interdisipliner yang merambah disiplin ilmu lain, yaitu sastra, budaya, filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah lingkungan, politik dan ekonomi, dan studi keagamaan. Kajian sastra dengan perspektif ekologi budaya dilakukan oleh Carey (1986) terhadap naskah-naskah yang berisi Perang Dipanagara atau babad Dipanagara, Sudewa (1992) dalam membahas pandangan tentang individu dan masyarakat dalam Serat Wulangreh, dan Sumardjo (2007) dalam mengaji sastra lakon Indonesia. Ketiga peneliti tersebut menunjukkan hubungan suatu bentuk karya manusia (karya sastra) dengan lingkungannya (seni, sastra, sosial, politik). 2. Konsep Ekologi Religi Religi dan agama sering dibedakan. Mangunwijaya (1982:11), misalnya, mengutarakan bahwa agama menunjuk kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang melimgkupi segi-segi kemasyarakatan. Religiusitas lebih melihat aspek yang di dalam
109
lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, cita rasa yang mencakup totalitas, termasuk rasio dan rasa manusia, kedalaman pribadi manusia. Oleh karena itu, religiusitas mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal, resmi. Religius lebih bergerak dalam tata paguyuban yang cirinya lebih intim. Religiusitas tidak bekerja dalam pengertianpengertian otak, tetapi dalam pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis atau konseptualisasi. Bagi manusia religus, ada sesuatu yang dihayatinya keramat, suci, kudus, atas kodrati. Oleh karena itu, Mangunwijaya (1982:15) mengemukakan religiusitas tidak dihubungkan secara langsung dengan ketaatan ritual atau agama, tetapi lebih dalam, lebih mendasar dalam pribadi manusia. Dalam penelitian ini, pengertian agama dan religi dipakai dalam pengertian yang sama. Perbedaan pengertian sebagaimana dikemukakan Mangunwijaya tersebut hanyalah perbedaan gradasi dalam hal intensitas atau tingkat kedalaman penghayatan. Akan tetapi, pengertian agama dan religi berhubungan dengan penghayatan terhadap Tuhan dan ketuhanan. Penghayatan terhadap Tuhan dan ketuhanan itu berbasis pada pemahaman nilai-nilai yang bersifat tradisional keaagamaan atau religi. Durkheim (2011, 49−56) juga tidak membedakan agama dan religi. Menurutnya, satu konsep yang biasanya dipandang menjadi karakteristik segala sesuatu yang religius adalah konsep supernatural. Yang supernatural adalah hal-ihwal yang berada di luar kemampuan pemahaman manusia, dunia misteri yang tidak dapat diketahui atau ditangkap akal dan dicerap indera. Oleh karena itu, lebih baik menggunakan sesuatu yang spiritual sebagai definisi minimum untuk agama. Yang spiritual harus dimengerti sebagai subjek-subjek berkesadaran yang memiliki kemampuan melebihi kemampuan manusia biasa. Arwah, jin, setan, dan dewadewi dapat dimasukkan dalam definisi tersebut. Religi atau agama secara ekologis menjadi komponen yang turut membentuk karya sastra. Lebih-lebih dalam masyarakat yang religius atau agamis, atmosfer religi atau agama dominan menyelimuti sendi-sendi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, wajar bila religi tertentu entah sadar atau tidak, entah
110
INOVASI, Volume XIX, Nomor 1, Januari 2017
sedikit atau banyak, turut memwarnai karyakarya masyarakat, termasuk karya sastra. Unsur agama dalam sastra tidak sama dalam berbagai karya sastra. Dalam satu karya sastra agama mungkin hanya disinggung sepintas, tetapi dalam karya yang lain dominan dalam keseluruhan karya sastra. Agama dalam sastra, menurut Mohamad (1982:137), dimanfaatkan dalam dua hal: pertama, menitikberatkan kehidupan beragama sebagai latar belakang, dan kedua, menitikberatkan kehidupan beragama sebagai pemecah persoalan. Hal tersebut berkaitan dengan motif-motif penciptaan karya sastra.
3. Teknik Pengumpulan dan Pemeriksaan Keabsahan Data Untuk mendapatkan data penelitian perlu dilakukan langkah pengumpulan data. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi atau pustaka, yakni teknik pengumpulan data dengan mengidentifikasi dan menginventarisasi data penelitian dalam NDKA dengan cara membaca secara cermat dan berulang-ulang. Untuk keperluan pengumpulan data diperlukan instrumen pengumpulan data. Dalam penelitian ini, peneliti merupakan instrumen utama dalam pengumpulan data. Triangulasi terhadap data penelitian dengan menggunakan triangulasi waktu.Triangulasi dilakukan dengan cara membaca dan mencermati berulang-ulang dalam waktu yang berbeda untuk memeroleh keajegan dan validitas data dan hasil penelitian. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data penelitian ini menggunakan teknik analisis data Creswell (2015, 251−263). Analisis data penelitian ini dimulai dengan menyiapkan dan mengorganisasikan data, mereduksi data, dan menyajikan data dalam bentuk pembahasan data. Secara rinci langkah-langkah atau tahapan yang ditempuh peneliti dalam analisis data sebagai berikut. (a) Mengorganisasikan data dengan mengonversi catatan-catatan data menjadi satuan-satuan teks yang sesuai berupa kata, kalimat, atau penggalan teks drama.(b) Membaca berulang-ulang keseluruhan data, menengelamkan diri dalam detailnya dan kemudian membuat memo atau catatan-catatan mengenai karakter data. (c) Mendeskripsikan, menglasifikasikan, menafsirkan data menjadi kode dan tema, dan memaknai data. Pada tahap ini data digolong-golongkan atau dipilah-pilah sesuai fokus penelitian dan dilakukan pengodean data. Untuk memudahkan pembacaan, data tersebut diberi kode atau penomoran sesuai dengan urutan pokok bahasan, misalnya, data 1.1.G dibaca subpokok bahasan kesatu, data kesatu, sumber data naskah drama Grafito; data 3.3.JK dibaca subpokok bahasan ketiga, data ketiga, sumber data naskah drama Jaka Tarub. Data kemudian dimaknai secara lebih luas dengan menghubungkan dengan teori ekologi budaya. (d) Menyajikan dan memvisualisasi data dalam bentuk pembahasan data.
Metodologi 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan teori ekologi budaya. Dalam pandangan ekologi, eksistensi budaya dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan berarti semua faktor eksternal yang langsung memengaruhi pembentukan, pertumbuhan, perkembangan, dan pemroduksian budaya. Kajian ekologi terhadap karya sastra dimungkinkan karena secara ekologis, ada kesejajaran antara fenomena karya sastra dengan fenomena organisme dalam lingkungannya. Keduanya sama-sama merupakan suatu komponen dari suatu ekosistem tertentu dan tumbuh dan berkembang dalam hubungan dengan komponen-komponen ekosistem yang lain. 2. Sumber Data dan Data Penelitian Sumber data penelitian ini adalah NDKA 1970-an, yakni (1) Grafito (G) (1972), (2) Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Jauh (RBRL) (1974), (3) Jaka Tarub (JK) (1974), (4) Bui (B) (1975), dan (5) Re (R) (1977). Kelima naskah drama tersebut diterbitkan dalam satu buku kumpulan naskah drama dengan judul Antologi 5 Lakon akhudiat oleh penerbit Pagan Press pada 2014. Data penelitian ini adalah informasi berupa fakta-fakta tentang fokus penelitian ini yang terdapat pada teks pokok dan teks samping NDKA. Informasi yang dimaksud meliputi bentuk, cara, dan fungsi ekologi politik, ekologi religi, ekologi sosial, dan ekologi seni dan sastra NDKA.
Kaswadi, Ekologi Religi dalam Naskah-naskah Drama Karya Akhudiat Walaupun secara teoritis langkahlangkah tersebut berurutan, dalam praktik penelitian, langkah-langkah tersebut merupakan sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar untuk membangun wawasan yang umum yang disebut analisis. Langkah tersebut sesuai dengan yang disarankan Creswell (2015:254) bahwa dalam analisis data, peneliti supaya bergerak dalam lingkaran analisis daripada menggunakan linier yang tetap. Selama dalam spiral analisis, peneliti bersinggungan dengan saluran-saluran analisis dan berputar dan terus berputar. 5. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Penelitian Pemeriksaan keabsahan penelitian dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan hasil penelitian yang memiliki derajad objektivitas yang tinggi. Hal itu dipandang penting dalam menghindari subjektivitas peneliti. Pemeriksaan keabsahan penelitian dilakukan agar hasil penelitian memiliki kepercayaan dan kebenaran ilmiah. Teknik pemeriksaan keabsahan penelitian dilakukan dengan dua cara. Pertama, melakukan diskusi dengan pakar yang dianggap menguasai pokok masalah penelitian ini. Kedua, melakukan publikasi ilmiah dalam bentuk makalah dalam seminar ilmiah dan artikel di jurnal ilmiah untuk mendapatkan masukan-masukan terhadap teori dan metode. Pembahasan Walaupun Akhudiat tidak dikenal sebagai pengarang keagamaan dan karyakaryanya tidak dikenal sebagai karya sastra religius, dalam NDKA ditunjukkan interaksi antara sastra dan ekologi religi, terutama pada tiga naskah lakon G, JK, dan R. Dalam B juga ditunjukkan adanya warna religi, tetapi hanya dalam satu adegan. Religi atau agama yang terdapat pada NDKA adalah Nasrani, Islam, dan kepercayaan Jawa. Ekologi religi yang dimaksud tampak pada (1) masalah-masalah beragama, dan (2) berbagai kosakata dari khazanah religi yang terdapat dalam cakapan tokoh. 1. Masalah-masalah Kereligian dalam NDKA Dalam NDKA terdapat beberapa masalah kereligian yang disebabkan oleh beda pemahaman, gradasi penghayatan, dan
111
kecenderungan terhadap ajaran religi. Masalah-masalah keregilian yang dimaksud adalah (1) kawin beda agama, (2) perilaku dalam penguburan jenazah, dan (3) sikap terhadap kepercayaan tradisi. Dalam NDKA, masalah-masalah kereligian tersebut diungkapkan dengan cara dijadikan sumber konflik drama. Pemanfaatan masalah religi sebagai sumber konflik lakon, misalnya, terdapat pada G. Konflik G berupa permasalahan kawin beda agama yang pada waktu penciptaan G menjadi perdebatan sengit di Indonesia. Untuk konteks Indonesia, larangan kawin beda agama digulirkan sejak 1970-an. Dalam rangka merespons permasalahan kawin beda agama tersebut, pada 1974, pemerintah mensahkan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berbagai keputusan yang sifatnya memberikan pedoman bagi masyarakat Islam Indonesia mencapai pada puncaknya dengan dikeluarkannya fatwa MUI pada 1 Juni 1980. Keputusan tersebut kemudian diikuti oleh ormas-ormas Islam dan para ahli hukum Islam Indonesia (Mujtahid, 2010). Akan tetapi, dalam kenyataan sehari-hari, dalam kehidupan beragama, perdebatan kawin beda agama masih terus berlangsung. Bahkan, pada tahun 2014, perdebatan tersebut mengemuka kembali (Suma, 2014). G menceritakan pertemuan Limbo (pemuda Katolik) dan Ayesha (muslimat) yang kemudian saling jatuh cinta. Akan tetapi, cinta mereka membentur dinding aturan agama ketika akan melangsungkan cinta mereka ke jenjang pernikahan. Baik Kyai maupun Pastur tidak bersedia menikahkan karena mereka berbeda agama. Menurut Kyai, agama melarang muslimat menikah dengan pemuda lain agama. Demikian pula, Pastur tidak bersedia menikahkan Limbo dan Ayesha dengan alasan mereka berbeda agama. Menurut Pastur, agama memerintahkan pemuda Katolik menikah dengan pemudi Katolik juga. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang pluralis atau beragam, baik dari segi budaya, suku, ras, agama. Sebagai suatu bangsa, kontak antara satu golongan masyarakat dengan yang lain tidak dapat dihindarkan. Kontak antargolongan masyarakat yang berbeda latar belakang itu menimbulkan fenomena perkawinan campuran. Perkawinan campuran yang paling banyak mengundang perdebatan adalah
112 perkawinan campuran pasangan yang berbeda agama (Mas’ud, 2013). Perdebatan sengit yang marak pada tahun 1970-an tersebut akhirnya membawa pemerintah untuk mengatur perkawinan campuran dengan mengesahkan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Aturan perkawinan beda agama dicantumkan pada pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu”. Dalam uraian di atas dipaparkan bahwa penciptaan G diilhami oleh realitas kehidupan beragama di masyarakat, yaitu perdebatan perkawinan beda agama. Kehadiran problem beragama pada karya sastra tmerupakan hal wajar karena problem beragama bagi bangsa Indonesia merupakan masalah yang sensitif dan fundamental. Sampai tingkat tertentu, sastra melukiskan kecenderungankecenderungan utama dalam masyarakat, baik karena sebuah teks dengan sadar atau tidak mengungkapkannya, maupun karena teks tersebut dengan sengaja atau tidak menghindari atau mengelabuinya (Kleden, 2004:47). Dalam G, realitas perdebatan perkawinan beda agama tersebut dijadikan sumber konflik lakon dengan menghadirkan tokoh Limbo (Katolik) dan Ayesha (Islam). Konflik lakon tercipta oleh kengototan Limbo dan Ayesha untuk bisa menikah secara Islam atau Katolik dan sikap Kyai dan Pastur yang tegas menolak menikahkan pasangan beda agama tersebut. Limbo dan Ayesha di satu sisi menjadi simbol sikap liberal dan perlawanan terhadap pihak-pihak yang mengharamkan perkawinan beda agama. (1.1.G) AYESHA Tapi kenapa seorang laki-laki Islam boleh kawin dengan Wanita bukan Islam? KYAI Itu sudah ketentuan Kitab Suci. AYESHA Saya tidak mengerti, Kyai. KYAI Agama bukan selalu pengertian yang bisa dimengerti. Cukup diyakini. Iman namanya. AYESHA Apakah iman sama dengan keyakinan sempit, Kyai. KYAI
INOVASI, Volume XIX, Nomor 1, Januari 2017 Iman ialah pernyataan sah pasrah manusia kepada al Khaliq. AYESHA TETAPI Tuhan tidak menyempitkan gerak bebas manusia, mahluk yang dikaruniai keistimewaan. Al aql. Akal fikiran dengan segala manifestasinya.\ KYAI Al aql dibatasi oleh An Naql. Wahyu Tuhan dan sabda Rasul. AYESHA Justru itulah, Kyai, an naql kita tafsirkan dengan kemampuan Aql. Keduanya saling isi-mengisi. An Naql diturunkan Kepada manusia karena memiliki Aql. Al Aql diberikan kepada setiap kepala sebagai tafsir dan pemahaman an Naql.... AYESHA Limbo seorang Katolik dan saleh. Saya terkesan oleh Jiwa Agama dan dinamisnya. Itulah calon suami yang cocok bagi Ayesha. Peduli dia agama apa. KYAI Kau liberal, Ayesha. (Akhudiat, 2014:41−43) G berakhir dengan pernikahan Ayesha dan Limbo atas restu Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih, sepasang dewa-dewi yang dalam mitologi Nusantara dipercaya sebagai DewaDewi Asmara. Ayesha dan Limbo yang gagal meminta bantuan Kyai dan Pastur, akhirnya meminta Pawang untuk menikahkan mereka. Atas panggilan dan permintaan Pawang, Kamajaya dan Ratih menikahkan ayesha dan Limbo. Lakon ini berakhir dengan ironi. Pilihan Ayesha dan Limbo yang meminta bantuan Pawang setelah menemui jalan buntu di hadapan Kyai dan Pastur merupakan sindiran atau bahkan cemooh dalam praktik beragama. Agama yang semestinya menjadi way of live, bagi Ayesha dan Limbo tidak mampu menyelesaikan masalah mereka. Perdebatan panjang yang tidak berujung dalam pengamalan agama dapat membuat bingung, putus asa, atau menimbulkan sikap apatis terhadap agama kalangan masyarakat tertentu seperti Ayesha dan Limbo. Apabila para rohaniawan tidak mampu mengelola masalah
Kaswadi, Ekologi Religi dalam Naskah-naskah Drama Karya Akhudiat keagamaan dengan tepat, umat lari dari agama. Kemunculan tokoh Kamajaya dan Ratih merupakan hiperbola dalam ironi penyelesaian konflik Ayesha dan Limbo berhadapan dengan Kyai dan Pastur. Ironi merupakan gaya yang menampilkan kontras antara yang dikatakan, diperlihatkan, atau samar-samar ditampilkan dan arti sesungguhnya sebuah ungkapan atau situasi. Ungkapan ironi sering menggunakan gaya hiperbola (melebihlebihkan), litotes (merendah), atau antifrasa (pemutarbalikan) (Ensiklopedi Sastra Indonesia, 2004:361). Kesan hiperbola timbul oleh pemunculan kontras antara manusia dan dewa, Kyai dan Pastur (agama) dan Kamajaya dan Ratih (mitos). Ironi, sebagai cara mencemooh bahan atau masalah yang dibahas, dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu ironi ala Sokrates, ironi romantik, dan ironi dramatis. Ironi ala Sokrates merupakan ironi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang pura-pura polos pembicara menelanjangi sikap sok tahu atau sikap munafik seseorang yang teramati sadar diri. Ironi romantik merupakan ironi dengan cara pengarang dengan sengaja menisbikan ungkapan-ungkapan sendiri. Ironi dramatik atau situasional merupakan ironi yang tidak menggunakan kata-kata melainkan dengan perbuatan (Ensiklopedi Sastra Indonesia, 2004:361). Berdasarkan kriteria perbedaan tersebut, ironi dalam G dapat digolongkan sebagai ironi dramatik. Tindakan Ayesha dan Limbo datang ke Pawang dan kemudian dinikahkan oleh dewa bermakna Kyai dan Pastur yang merupakan simbol keberadaan agama, dianggap tidak mampu memberi solusi pada masalah yang sedang dialami. Kemunculan tokoh Pawang, Kamajaya, dan Ratih dengan tata cara ritus dan mantranya juga membuktikan bahwa G juga diilhami oleh religi Jawa, yaitu kepercayaan terhadap kekuatan supranatual atas dewa-dewi yang dikenal dalam budaya Jawa. Kamajaya dan Ratih, oleh sebagian masyarakat Jawa, terutama yang masih tradisional, dipercaya sebagai dewa dan dewi yang memiliki kekuatan supranatural dapat membangkitkan rasa cinta pada seseorang. Oleh karena itu, Kamajaya dan Ratih digunakan untuk menggambarkan keserasian dan kesempurnaan hubungan cinta pasangan kekasih. Kamajaya dan Ratih juga disebut dalam mantra-mantra Jawa yang memiliki
113
maksud untuk membangkitkan cinta. Religi Jawa tersebut menunjukkan warna Jawa dalam NDKA. Religi sebagai sumber konflik juga terdapat dalam JK. Religi yang menjadi sumber konflik adalah religi Jawa, yakni mengenai kepercayaan terhadap danyang sebagai sumber kekuatan supranatural. Adanya religi Jawa sebagai sumber konflik tersebut juga memperkuat warna Jawa dalam NDKA. Konflik pada JK dibangun oleh pertentangan antara tradisi, yang diwakili oleh tokoh Dalang dan modernitas yang diwakili oleh Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Pada satu sisi, Dalang merupakan tokoh tua yang masih dalam kungkungan tradisi dan mengupayakan kelanggengan tradisi yang dimetaforkan dengan mempertahankan pakem dongeng Jaka Tarub dan Nawang Wulan sebagaimana tertulis dalam babad. Di sisi lain, Jaka Tarub merupakan tokoh muda yang melakukan pemberontakan terhadap tradisi yang dimetaforkan dengan penampilan dan perwatakan Jaka Tarub dan Nawang Wulan yang menyimpang dari pakem babad. Konflik religi merupakan bagian dari konflik tradisi dan modernitas tersebut. Dalang, yang merupakan tokoh tradisi, percaya pada danyang sebagai sumber kekuatan supranatural, sedangkan Jaka Tarub, sebagai tokoh modern, tidak lagi percaya pada kekuatan tersebut. Konflik tersebut tidak berujung, tidak digambarkan pihak yang menang dan yang kalah. Di akhir lakon, Jaka Tarub dan Nawang Wulan pergi meninggalkan Dalang, sedangkan Dalang masih sibuk dengan babad dan mantranya. Fungsi penghadiran konflik religi pada JK tidak pada akhir, tetapi pada proses konflik. Pada proses konflik tersebut terdapat adegan-adegan yang berisi ironi-ironi sosial. 2. Perilaku Beragama dalam NDKA Ekologi religi dalam NDKA juga tampak pada perilaku beragama tokoh-tokoh dalam R. R berlatar prosesi pemakaman mayat secara Islam dengan berbagai kegiatan seperti umumnya pemakaman orang Islam, ada mayat membujur, ada kumpulan orang-orang berkabung/pelayat dengan aneka rupa, (Malaikat) El Maut, ada Kyai membaca talqin, dan sebagainya. R juga memuat naskah talqin yang dikutib dari buku Primbon Jenazah, Talqin dan Tahlil terbitan Toko Kitab Al Munawar, Semarang yang dibaca tokoh Pengabar dalam bentuk lampiran naskah
114
INOVASI, Volume XIX, Nomor 1, Januari 2017
drama. Dilihat dari sisi latar tersebut, R memperlihatkan sebagai naskah drama bernafaskan Islam. Akan tetapi, berbeda dengan G, dalam R tidak dibahas ajaran agama atau konflik beragama. R justru banyak menampilkan realitas perilaku masyarakat pada saat menghadiri pemakaman. Peristiwa kematian dan suasana perkabungan dalam R merupakan ruang sosial dan menjadi bagian dari kehidupan sosial sehari-hari. Di ruang sosial, di sela-sela perkabungan tersebut terjadi interaksi sosial berupa percakapan yang berkaitan maupun yang tidak dengan orang yang meninggal (Yoesoef, 2013:87). Bahkan, percakapan dapat bermuara ke hal-hal dan suasana yang berbalikkan. Suasana perkabungan yang semestinya penuh duka cita dan berbela sungkawa justru dipenuhi percakapan dan sikap-sikap penuh gurauan. Hal tersebut, misalnya, tampak pada data berikut. (2.1.R) RUANG I 20/Menuding si Mati “Dia Hamlet apa Romeo? Ayo tebak.” “Yuliet.” “Ah, yang bener aja.” “Karamazov.” “Orang mana itu?’ “Siberia.” “Bukan, dia ini orang...” “Raja?” “Oedipus Complex.” “Raja mana?” “Raja obat.” “Ndasmu, mentang-mentang Apoteker.”....(Akhudiat, 2014: 267−268)
suasana penuh canda kontras dengan peristiwa pemakaman. Bahkan, cakapan tersebut ditujukan pada si Mati yang semestinya diberikan doa-doa. Latar sosial prosesi pemakaman tersebut menunjukkan suatu ironi suasana pemakaman yang semestinya berlangsung khitmad penuh doa justru dipenuhi sendau gurau. Ironi tersebut merupakan sindiran terhadap perilaku beragama masyarakat. 3. Kosakata Religi dalam NDKA Ekologi religi yang lain, yang tampak dalam NDKA berupa kata, istilah, nama tokoh, nama tempat, nama benda, salam, seruan, dan nama perbuatan yang bersumber dari khasanah agama. Hal-hal tersebut terdapat pada semua NDKA, terutama pada G, B, dan R. Penggunaan kosakata religi tersebut tampak pada data 3.1.G dan 3.2.G berikut. (3.1.G) LIMBO Betul, aku memang diimpor dari Negeri jauh, Negeri Ruh, Lebih tinggi dari Malaikat AYESHA Pakai impotir LIMBO Pakai dong, Tuhan. AYESHA Jailah, haibat. LIMBO Itulah kehebatan mahluk Tuhan yang disebut manusia. (Akhudiat, 2014:27−28) (3.2.G) LIMBO Segala yang hitam persis asalku AYESHA Segala yang hitam persis perut ibuku LIMBO Aku ngendon dalam Rahim AYESHA Aku kerasan sebagai janin LIMBO Kurindu darah dan susu tanpa pisah AYESHA Kuhirup cinta dan benci tanpa katub LIMBO Aku sel yang cair AYESHA Barangkali sengaja berbuah LIMBO Aku ruh dekat Kursi Tuhan AYESHA Dan kudengar malaikat berbisik iri padaku LIMBO
Prosesi pemakaman yang merupakan bagian dari pengamalan beragama dalam R berfungsi sebagai latar sosial, yaitu latar yang menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain (Nurgiantoro, 2010:233). Dalam R, prosesi pemakaman menjadi wahana interaksi sosial yang kadang asosial. Cakapan-cakapan pendek dan anonim seperti data 2.1.R membayangkan
Kaswadi, Ekologi Religi dalam Naskah-naskah Drama Karya Akhudiat Aku turun di lembah subur AYESHA Meluncur bagai bunga-bunga angina LIMBO Ditiup ke dalam Rahim AYESHA Ngendon sebagai janin LIMBO Hitam ialah sorga AYESHA Gelap sempurna (Akhudiat, 2014:19−20) Dialog pada data 3.1.G merupakan bagian adegan perkenalan Ayesha dan Limbo. Dalam data tersebut terdapat kata, istilah, nama yang berasal dari khasanah agama, yaitu malaikat, Tuhan, mahluk, dan ruh. Data 3.2.G berisi dialog antara Limbo dan Ayesha. Dalam dialog tersebut terdapat kosakata religi ruh, kursi Tuhan, malaikat, dan sorga. Kata atau istilah, nama tokoh, tempat, benda, salam, seruan, dan nama perbuatan yang bersumber dari khasanah agama digunakan sebagai latar lakon dan berfungsi sebagai metafor dan atmosfir lakon. Penggunaan metafora menyarankan pada suatu pembandingan yang berupa sifat, keadaan, suasana, atau sesuatu yang lain. Secara prinsip, metafora merupakan cara memandang atau menerima sesuatu melalui sesuatu yang lain. Atmosfer cerita merupakan udara yang dihirup pembaca sewaktu memasuki dunia rekaan. Atmosfer cerita berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana ceria, romantis, sedih, muram, dan sebagainya. Suasana tertentu yang tercipta itu sendiri tidak dideskripsikan secara langsung, eksplisit, melainkan merupakan sesuatu yang disarankan (Nurgiantoro, 2010:241−243). Dalam kehidupan sehari-hari untuk mengekspresikan berbagai keperluan, manusia menggunakan banyak bentuk metafora. Ekspresi yang berupa ungkapan-ungkapan tertentu sering lebih tepat disampaikan dalam bentuk metafora daripada secara literal (Nurgiantoro, 2010:241). Ekspresi metaforis tersebut dalam karya sastra lebih sering dijumpai mengingat karya sastra selain sebagai ekspresi seni yang memiliki unsur keindahan dominan juga banyak mengeksplorasi rasa dan imajinasi. Penggunaan latar agama yang berfungsi sebagai metafor tampak pada data 3.2.G. Pada data 3.2.G terdapat kosakata religi dalam
115
rangkaian gambaran asal penciptaan Ayesha dan Limbo sebagaimana proses penciptaan manusia, yaitu berawal dari sel kemudian menggumpal menjadi janin di rahim ibu, dan Tuhan melalui malaikat meniupkan ruh. Proses penjadian manusia seperti itu di antaranya termuat dalam Al Quran surat Al-Hajj ayat 5 sebagai berikut. Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Cakapan Ayesha: “Kudengar malaikat berbisik iri padaku.” Merujuk pada surat Al Baqarah ayat 30 yang berisi keraguan malaikat terhadap kemampuan manusia yang akan diserahi Tuhan untuk mengurus bumi. Surat tersebut sebagai berikut. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Paparan proses penciptaan manusia seperti itu secara metaforis membangun kesan bahwa tokoh Ayesha dan Limbo merupakan manusia yang memiliki derajat tinggi, ciptaan Tuhan yang mulia, lebih tinggi derajatnya daripada malaikat. Oleh karena itu, tidak sepantasnya diremehkan. Hal tersebut semakin jelas bila diperhatikan juga cakapan KOOR pengiring Ayesha dan Limbo: KOOR: “Wahai
116 Tuhan yang budiman, kami pengantin, kami calon-calon pengantin, kami cucu Hawa dan Adam, bukan kelinci percobaan.” (Akhudiat, 2014:34) Penggunaan latar agama yang berfungsi sebagai metafor dapat pula disimak pada data 3.3.JK berikut. Pada data tersebut, cawat Nabi Adam menjadi metafor pakaian-pakaian tradisional, termasuk pakaian tradisi Jaka Tarub, yang dikontraskan dengan mantel Astronaut yang menjadi metafor pakaianpakaian modern. (3.3.JK) DALANG Tukar pakaianmu. JAKA TARUB Alaaa soal embel-embel lagi. Pakaian kita untuk show. Mereka sedang memeragakan mulai cawat Nabi Adam sampai mantel Astronaut. Berani bertaruh mode Jaka Tarub laku keras. Baca besok di koran. (Menitipkan beban punggung pada kelompok Musik). Ayo kita mulai! (kepada Kelompok Suara) Panggil Nawang Wulan! (Akhudiat, 2014:75) Penggunaan latar agama sebagai atmosfir, misalnya, seperti data 3.4.G berikut. Pada data 3.4.G, terutama cakapan Pastur, terdapat serentetan simbol, tokoh, dan bentukbentuk ungkapan khas nasrani, seperti Yesus Kristus, Kain dan Kabil, Roh Kudus, amsal, kebon zaitun sorga. Rentetan kata-kata tersebut telah membangun adegan dengan atmosfir religi nasrani. (3.4.G) Di depan pintu Gereja KOOR Rama pastur, rama pastur Damai Kerajaan Sorga Damai Kerajaan Langit Damai semoga di Bumi Perang ialah Iblis jual-beli bedil Dor! Dor! Dor! Mampuslah kau! PASTUR melongok di sela pintu. KOOR Hidup Rama Pastur! PASTUR (muncul mengangkat tangan berdoa) Yesus Kristus, Raja Diraja Inilah amsal Kain dan Kabil Putera-putera Adam yang saling bertikam Junjungan Segala Raja
INOVASI, Volume XIX, Nomor 1, Januari 2017 Gereja-Mu terlalu sempit menampung mereka Yang terlahir dari dosa dan dosa Roh Kudus Datanglah menghampiri hati mereka Hembuskan angina nyaman kebun zaitun sorga Amen....(Akhudiat, 2014:44−45) Penggunaan latar agama sebagai pembangun atmosfir adegan juga terdapat pada data.3.5.B berikut. Pada data 3.5.B atmosfer adegan dibangun oleh cakapan OBI. Pada awalnya penyebutan benda-benda dan nama-nama berbagai jenis, dan disambung dengan bunyi-bunyi yang beruntun menjadi gambaran surealis dan menciptakan susana mistis. Setelah rentetan gambaran latar surealis tersebut diganti dengan penyebutan rangkaian perbendaharaan kata agamis maka suasana tersebut adegan berubah menjadi suasana religius. (3.5.B) OBI Saya keong. OBII Ayo jalan-jalan. OBI Saya lorong. OBII Omong dong. OBI dalam air ada air ada ikan ada insang ada hawa ada molekul ada atom ada ruang ada laying ada mata ada hari ada kosmos ada lolos ada uap ada kapal ada layar ada angin ada motor ada mesin ada bensin ada kotor ada kota ada benua adakutub ada katup ada lepas ada burung ada tanah ada tani ada kolam ada bulan ada cermin ada dongeng ada ngeng ada kumbang ada sarang ada jaring ada keranjang ada goncang ada bumi ada planet ada planet ada bintangbintangbintangbintangbintang bintangbintangbintangbintangbintangbintangbi ntangbintangbin tang tung ting tong tung tong tong ting tong tong tong tung teng ada lonceng ada jam ada waktu ada zaman ada dunia ada
Kaswadi, Ekologi Religi dalam Naskah-naskah Drama Karya Akhudiat akherat ada malaikat ada rasul ada TUHAN Ada wahyu jadilah air ada air ada mani ada laki ada bini (Akhudiat, 2014:222−223) Selain membangun atmosfer adegan, cakapan OBI tersebut juga merupakan metafor kejiwaan tokoh OBI. Latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mood emosional yang melingkupi sang karakter. Atmosfer dapat menjadi cermin yang merefleksikan suasana jiwa sang karakter atau sebagai satu di antara bagian dunia yang berada di luar diri sang karakter (Stanton, 2012:36). Dalam paparan di atas tampak ekologi religi berupa masalah-masalah kereligian, perilaku beragama, dan kosakata religi dalam NDKA. Hadirnya ekologi religi tersebut menunjukkan interaksi NDKA dengan realitas beragama masyarakat pada waktu penciptaan NDKA. Ekologi religi dalam NDKA dimanfaatkan sebagai sarana menyampaikan kritik terhadap permasalahan hidup beragama. Ekologi religi dalam NDKA merespons penyimpangan pelaksanaan religi yang belum ideal. Respons-respons tersebut merupakan wujud adaptasi NDKA terhadap ekologi religi pada waktu penciptaan NDKA yang tampak pada bentuk, cara, dan fungsi ekologi religi dalam NDKA. Penutup Dalam paparan di atas tampak ekologi religi berupa masalah-masalah kereligian, perilaku beragama, dan kosakata religi dalam NDKA. Hadirnya ekologi religi tersebut menunjukkan interaksi NDKA dengan realitas beragama masyarakat pada waktu penciptaan NDKA. Ekologi religi dalam NDKA dimanfaatkan sebagai sarana menyampaikan kritik terhadap permasalahan hidup beragama. Ekologi religi dalam NDKA merespons penyimpangan pelaksanaan religi yang belum ideal. Pada uraian di atas dipaparkan responsrespons religi dalam membentuk NDKA. Respons-respons tersebut merupakan wujud adaptasi NDKA terhadap ekologi religi pada waktu penciptaan NDKA yang tampak pada bentuk, cara, dan fungsi ekologi religi dalam NDKA.
117
Daftar Pustaka Abdullah, Imran Teuku. 1991. Hikayat Meukuta Alam. Jakarta: Intermasa. Akhudiat. (014. Antologi 5 Lakon Akhudiat. Jakarta: Pagan Press. Carey, Peter. 1986. Ekologi Kebudayaan Jawa & Kitab Kedung Kebo. Jakarta: Pustaka Azet. Creswell, John W. 2015. Penelitian Kualitatif fan Desain Riset: Memilih di antara Lima Pendekatan. Terjemahan Achmat Lintang Lazuardi. Yogjakarta: Pustaka pelajar. Damono, Sapardi Djoko. (1983). “Beberapa Catatan Sehabis Membaca Naskah Pemenang Sayembara Penulisan Lakon DKJ 1974”. Dalam Sapardi Djoko Damono. Kesusastraan Indonesia Modern: beberapa Catatan. Jakarta: Gramedia. Damono, Sapardi Djoko. (2007). “Modernisme sebagai Masalah: Kesusastraan Indonesia sebagai Kasus.” Dalam Sapardi Djoko Damono, dkk. Absurditas dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. Damono, Sapardi Djoko. (2009). Drama Indonesia: Beberapa Catatan. Jakarta: Editum. Durkheim, Emile. (2011). The Elementary Forms of The Religious Life. ( Inyiak R.M. dan M. Syukri, penerjemah). Yogjakarta: IRCiSod. Garrard, Greg. (2004). Ecocriticism. London and New York: Routledge. Hadi WM, Abdul. (1999). Kembali Ke Akar Kembali ke Tradisi: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus. Kleden, Ignas. (2004). Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Grafiti. Masud, Achmad Ali. (2013, Mei). Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Agama dan Ideologi Bangsa. Diperoleh dari http://daruttahfidz .blogspot.co.id /2013/05/pernikahan-beda-agamadalam-pandangan.html. . McNaughton, S.J. dan Wolf, Larry L. (1989). Ekologi Umum. New York: World Bank Educaation IX Project. Mohammad, Goenawan. (1996). “Sastra Pasemon: Pergumulan Bawah-Sadar Bahasa dan Kuasa.” Dalam Yudhi Latif dan I.S. Ibrahim(Eds.). Bahasa dan
118
INOVASI, Volume XIX, Nomor 1, Januari 2017
Kekuasaan: Politik wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan. Mujahid. (2010, Mei). Kawin Beda Agama dalam Perspektif Islam. Diperoleh dari http://mujtahidkomunitaspendidikan.blogspot.co.id/201 0/05/kawin-beda-agama-dalamperspektif-islam.html. Nurgiantoro, Burhan. (2010). Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gadjah Mada University press. Poerwanto, Hari. (2005). Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Satoto, Sudiro. (1997). Tokoh dan Penokohan dalam Caturlogi Drama Orkes Madun. Karya Arifin C. Noer. (Disertasi yang tidak dipublikasikan).Universitas Indonesia Jakarta. Jakarta. . Soemanto, Bakdi. (2007). “Absurditas dalam Lakon-lakon Indonesia.” Dalam Sapardi Djoko Damono, dkk. Absurditas dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.
Stanton, Robert. (2012). Teori Fiksi. (Sugiastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Steward, Julian H. (1955). Theory of Culture Change. Urbana: University of Illinois Press. Suma, Amin M. (2014). Nikah Beda Agama Hanya sebagai Pintu Darurat. Diperoleh dari http://www.hukumonline.com/berita/bac a/lt546049e2779c7/prof-m-amin-suma-nikah-beda-agama-hanya-sebagai-pintudarurat. Sumardjo, Jakob. (2007). Ekologi Sastra Lakon Indonesia. Bandung: Kelir. Wasono, Sunu. (2007). “Yang Lucu dan Yang Absurd dalam Lakon Tahun 1970-an”. Dalam Sapardi Djoko Damono, dkk. Absurditas dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. Yoesoef, M. (2013). Struktur, Tekstur, dan Intertekstualitas dalam Sastra Drama Karya Akhudiat. (Disertasi yang tidak dipublikasikan). Universitas Indonesia Jakarta. Jakarta.