Indonesian Journal of Medicine (2016), 1(1): 82-89
Effect of Purple Sweet Potato (Ipomoea Batatas L.) on Reducing Renal Tissue Damage of House Mice (Mus Musculus L.) After Excessive Physical Exercise Rika Nailuvar Sinaga1), Herla Rusmarilin2), T.Helvi Mardiani3), Ayu Elvana 4) 1)Faculty
of Sport Science, Medan University, Indonesia of Agriculture, University of North Sumatera, Indonesia 3)Faculty of Medicine, University of North Sumatera, Indonesia 4)Health Polytechnic Medan, Indonesia
2)Faculty
ABSTRAK Background: Heavy physical exercise can reduce blood flow and metabolism in kidney that eventually release free radicals. The free radicals can form oxydative stress and damage renal tissue. Exogenous antioxydant administration is usually recommended to minimize the renal tissue damage. This study aimed to examined the effect of purple sweet potato (Ipomoiea batatas L.) extract on renal tissue damage in mice (mus musculus L.) after heavy physical exercise. Subjects and Method: This was a randomized controlled trial with post test only control design. The study subjects included twenty four male white mice with DD Webster strain. These mice were divided into six groups. After undergoing excessive swimming exercises that lasted forteen days, purple sweet potato extract was given to the experimental group. There were three experimental groups receiving three different doses of purple sweet potato. The mice kidney was taken as sample for microscopic examination to determine the extent of tissue damage. Difference in renal tissue damage was tested by Kruskal-Wallis. Results: Microscopic examination showed statistically significant difference in tissue damage both in right (p=0.001) and left (p=0.036) kidneys, between study groups. The experimental groups showed less damaged than control group. Conclusion: Purple sweet potato (Ipomoiea batatas L) can lessen renal damage in male white mice (Mus musculus L) undergoing excessive physical exercise. Keywords: purple sweet potato (Ipomoiea batatas L), renal tissue damage mice. Corespondance: Rika Nailuvar Sinaga Faculty of Sport Science, Medan University
[email protected]
LATAR BELAKANG Latihan fisik dapat meningkatkan konsumsi oksigen karena terjadi peningkatan metabolisme di dalam tubuh seperti pada otot, jantung dan otak. Di sisi lain, aliran darah dan metabolisme menurun secara signifikan pada hati dan ginjal selama latihan (Radak et al., 2013). Penurunan aliran darah pada ginjal tersebut menyebabkan terjadinya iskemiareperfusi yang akan mengaktifkan sistem 82
xantin oksidase. Proses iskemia-reperfusi dan aktivasi leukosit melalui sistem NADPH oksidase dapat menyebabkan stres oksidatif selama dan setelah latihan pada ginjal. Kedua mekanisme ini sangat bertanggung jawab untuk terjadinya stres oksidatif di dalam organ dan jaringan ekstramuskular setelah latihan fisik (Kocer et al., 2008). Stres oksidatif merupakan ketidakseimbangan antara senyawa oksigen reaktif dan antioksidan (Urso dan Clarkson, 2003).
Sinaga et al./ Effect of Purple Sweet Potato (Ipomoea Batatas L.) on Reducing Renal Tissue
Senyawa oksigen reaktif dihasilkan dari molekul oksigen sebagai akibat dari metabolisme sel normal. Tiga senyawa oksigen reaktif utama yang memiliki pengaruh fisiologis adalah anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (OH•), dan hidrogen peroksida (H2O2) (Birben et al., 2012). Umumnya 25% dari oksigen yang digunakan mitokondria akan membentuk radikal bebas (Urso dan Clarkson, 2003). Saat kebutuhan metabolisme meningkat seperti pada latihan fisik, sel mungkin mengalami keadaan hipoksia relatif walaupun aliran darah normal pada beberapa organ termasuk ginjal. Hipoksia pada sel tubulus ginjal dapat menyebabkan terjadinya apopotosis pada sel (Nangaku, 2006). Okolow et al (2006) menemukan bahwa latihan fisik yang intensif dapat menginduksi apoptosis pada sel tubulus distal tikus yang mendapat latihan fisik yaitu treadmill sampai tikus kelelahan selama sembilan puluh menit. Setelah latihan fisik selesai darah dengan cepat akan kembali ke ginjal dan bersamaan dengan itu akan terbebaskan oksidan dalam jumlah yang besar (Daniel et al., 2010). Stres oksidatif dan hipoksia relatif tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada sel ginjal. Lebih dari 40% orang yang melakukan latihan fisik mengonsumsi suplemen antioksidan untuk menjaga kesehatan (Bucioli et al., 2011). Nangaku (2006) mengemukakan bahwa antioksidan merupakan salah satu pengobatan yang targetnya adalah hipoksia pada ginjal dengan memperbaiki proses respirasi seluler. Salah satu tumbuhan di Indonesia yang mengandung antioksidan dalam jumlah cukup besar adalah ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L). Warna ungu pada umbi merupakan akibat dari keberadaan senyawa yang dikenal dengan antosianin dan berperan sebagai antioksidan. Umbi
pada ubi jalar ungu mengandung antosianin yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 519 mg/100 g berat basah (Richana, 2013). Antosianin mampu bertindak sebagai antioksidan secara langsung dengan mendonorkan elektron atau mentransfer atom hidrogen dari gugus hidroksil kepada radikal bebas (Prior, 2003) dan dapat berikatan dengan spesies oksigen reaktif (ROS) seperti superoksida (O2-), singlet oksigen (1O2), peroksida (ROO-), hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal hidroksil (OH•) (Pojer et al., 2013). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif dan hipoksia relatif pada ginjal yang akhirnya merusak sel ginjal. Oleh karena ubi jalar ungu merupakan salah satu sumber antioksidan yang baik, maka akan dilakukan penelitian tentang pengaruh ekstrak umbi ubi jalar ungu terhadap histopatologi ginjal mencit setelah latihan fisik maksimal. SUBJEK DAN METODE Sampel dalam penelitian ini adalah mencit putih jantan (Mus musculus L.), Strain DD Webster, berumur 8-9 minggu dengan berat badan 25-35 g yang diperoleh dari FMIPAUSU Medan. Mencit diaklimatisasi selama satu minggu dikandang hewan coba dan diberikan makan dan minum sepuasnya. Cahaya ruangan dikontrol persis 12 jam terang (06.00-18.00) dan 12 jam gelap (18.00-06.00), sedangkan suhu dan kelembapan ruangan dibiarkan berada pada kisaran alamiah. Untuk penggunaan dan penanganan hewan coba telah mendapat “Ethical Clearance” dari komite etik FMIPA-USU Medan. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 30 ekor mencit. Desain Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental murni dengan rancangan penelitian post test only 83
Indonesian Journal of Medicine (2016), 1(1): 82-89
control group design. Sampel dibagi menjadi 6 kelompok masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor mencit. Kelompok pertama sebagai kontrol yang tidak diberi perlakuan apapun hanya makan dan minum secara ad libitum. Kelompok kedua mendapat latihan fisik maksimal renang selama 60 menit dan 0.5 ml/ekor/hari aquabidest secara oral. Kelompok ketiga mendapat 0.5 ml/ekor/hari ekstrak umbi ubi jalar ungu secara oral. Kelompok keempat mendapat latihan fisik maksimal renang selama 60 menit dan 0.5 ml/ ekor/hari ekstrak umbi ubi jalar ungu secara oral. Kelompok kelima mendapat latihan fisik maksimal renang selama 60 menit dan 1 ml/ekor/hari ekstrak umbi ubi jalar ungu secara oral. Kelompok keenam mendapat latihan fisik maksimal renang selama 60 menit dan 1.5 ml/ekor/hari ekstrak umbi ubi jalar ungu secara oral. Pencekokan aquabidest dan ekstrak umbi ubi jalar ungu dilakukan 3 jam setelah berenang. Semua perlakuan dilakukan selama 14 hari. Sampai di hari ke-14 satu ekor mencit dari setiap kelompok mati (6 ekor mencit mati) sehingga hanya 24 ekor yang didekapitasi dan diambil organ ginjalnya. Latihan fisik maksimal Latihan dimana mencit melakukan aktivitas berenang sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam atau tampak tanda-tanda kelelahan berupa tenggelamnya hampir semua badan kecuali hidung dan melemahnya gerakan anggota gerak. Berenang dilakukan selama 60 menit dimana waktu berenang ini didapatkan dari hasil preeliminari sebelum melakukan penelitian. Pembuatan ekstrak Umbi ubi jalar ungu dicuci dengan air bersih kemudian dikupas kulitnya lalu dipotong-potong melintang dengan ketebalan 2-2,5 cm. Potongan umbi ubi jalar 84
dikukus selama ± 15 menit hingga lunak dan dijaga jangan sampai pecah atau terbelah. Setelah itu umbi ubi jalar didinginkan kemudian ditempatkan dalam suatu tempat untuk dilakukan fermentasi dengan menambahkan ragi tape yang dibeli dipasar. Fermentasi dilakukan selama 36 jam dan hasilnya (tape) dicampur dengan air minum yang bersih dengan perbandingan 1 kg tape ditambah air 1 liter lalu diblender dan disaring dengan tiga lapis kain kasa. Hasil saringan ini yang diberikan kepada mencit. Kadar antosianin diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada gelombang 520 nm dan 720 nm. Dari pengukuran didapatkan kadar antosianin pada umbi ubi jalar ungu segar adalah 9,984 mg/100 g dan pada umbi ubi yang difermentasi adalah 89,666 mg/100 g. Histopatologi ginjal Ginjal difiksasi menggunakan larutan formalin buffer 10% dan dilakukan parafinisasi. Blok parafin yang telah dipotong berikutnya diwarnai dengan pewarnaan Haematoxyline-Eosin (H-E), pengamatan dilakukan dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 40x dan 400x. Pengamatan dilakukan dengan membagi preparat dalam lima bagian, pada setiap bagian dilihat luasnya kerusakan tubulus ginjal berupa degenerasi hidrofik dan nekrosis. Degenerasi hidrofik ditandai dengan adanya pembengkakan sel karena penimbunan cairan didalam sitoplasma. Nekrosis ditandai dengan adanya degenerasi inti berupa Karyopiknosis (inti kecil dan padat), Karyolisis (inti pucat dan terlarut) dan Karyoreksis (inti pecah menjadi beberapa gumpalan). Persentase luas kerusakan tubulus ginjal dari ke-5 bagian tersebut kemudian dijumlahkan dan dibagi lima. Kemudian tingkat kerusakan tubulus ginjal dinilai dengan kriteria Santoso dan Nurliani dalam Manurung (2011) yang dimodifikasi
Sinaga et al./ Effect of Purple Sweet Potato (Ipomoea Batatas L.) on Reducing Renal Tissue
sebagai berikut : 0 = Normal: bila tidak ditemukan degenerasi hidrofik dan nekrosis, 1= Ringan: bila ditemukan degenerasi hidrofik, 2 = Sedang: bila ditemukan luas nekrosis tubulus ginjal < 25%, 3 = Berat: bila ditemukan luas nekrosis tubulus ginjal 26% - 50%, 4 = Sangat Berat: bila ditemukan luas nekrosis tubulus ginjal >50%. Data yang diperoleh dari penelitian terlebih dahulu ditentukan distribusinya dengan uji Normalitas dan dilakukan juga uji Homogenitas. Apabila data berdistribusi normal dan homogen dilanjutkan dengan uji ANOVA. Bila data tidak berdistribusi normal maka akan dilakukan uji KruskalWallis. Semua analisa data dilakukan
dengan menggunakan software SPSS 19. Dalam penelitian ini untuk keputusan uji statistik diambil taraf nyata 5% (p = 0,05) yang dianggap bermakna atau signifikan. HASIL Dari hasil pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop didapatkan bahwa tubulus ginjal pada kelompok kontrol tidak mengalami kerusakan atau normal, sedangkan pada kelompok yang mendapat perlakuan tubulus ginjal mengalami kerusakan berupa nekrosis dengan adanya kariolisis yaitu inti menjadi pucat dan terlarut. Nekrosis pada tubulus ginjal memiliki luas yang berbedabeda. Kerusakan pada tubulus ginjal secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 1.
85
Indonesian Journal of Medicine (2016), 1(1): 82-89
T T G G E F Gambar 1. Gambaran mikroskopis ginjal. Ginjal dalam batas normal terdapat pada kelompok P1(1A). Kerusakan tubulus ginjal (T) berupa nekrosis (kariolisis) terdapat pada kelompok P2 (1B), P3 (1C), P4 (1D), P5 (1E) dan P6 (1F). Glomerulus (G) dalam batas normal. (HE 400X).
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tubulus ginjal kanan pada kelompok P1 tidak mengalami kerusakan atau normal. Kelompok P2 mengalami kerusakan dalam kategori sangat berat. Kelompok P3 dan P4 mengalami kerusakan dalam kategori
sedang dan berat. Kelompok P5 mengalami kerusakan dalam kategori berat dan kelompok P6 mengalami kerusakan dalam kategori berat dan sangat berat, seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Derajat kerusakan tubulus ginjal kanan secara mikroskopis Derajat kerusakan tubulus ginjal kanan Total p Sangat Kelompok Normal Sedang Berat berat n % n % n % n % n % P1 4 100 0 0 0 0 0 0 4 100 P2 0 0 0 0 0 0 4 100 4 100 P3 0 0 3 75 1 25 0 0 4 100 0.001 P4 0 0 2 50 2 50 0 0 4 100 P5 0 0 0 0 4 100 0 0 4 100 P6 0 0 0 0 2 50 2 50 4 100 Uji Kruskal-Wallis Keterangan: (P1) Kontrol; (P2) Latihan fisik maksimal; (P3) Ekstrak 0,5 ml; (P4) Latihan fisik maksimal + ekstrak 0,5 ml; (P5) Latihan fisik maksimal + ekstrak 1 ml; (P6) Latihan fisik maksimal + ekstrak 1,5 ml. Dikarenakan data tidak berdistribusi normal dan varians data tidak sama maka dilakukan uji Kruskal-Wallis. Pada uji Kruskal-Wallis yang tertera pada tabel 1 diperoleh nilai p = 0.001 yang artinya terdapat perbedaan bermakna pada histo86
patologi tubulus ginjal kanan mencit pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok yang mendapat perlakuan. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tubulus ginjal kiri pada kelompok P1 tidak mengalami kerusakan atau normal.
Sinaga et al./ Effect of Purple Sweet Potato (Ipomoea Batatas L.) on Reducing Renal Tissue
Kelompok P2 mengalami kerusakan dalam kategori berat dan sangat berat. Kelompok P3, P4 dan P5 mengalami kerusakan dalam kategori sedang , berat dan sangat berat.
Kelompok P6 mengalami kerusakan dalam kategori berat dan sangat berat, seperti yang terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Derajat kerusakan tubulus ginjal kiri secara mikroskopis Derajat kerusakan tubulus ginjal kiri Total p Sangat Kelompok Normal Sedang Berat berat n % n % n % n % n % P1 4 100 0 0 0 0 0 0 4 100 P2 0 0 0 0 3 75 1 25 4 100 P3 0 0 1 25 2 50 1 25 4 100 0.036 P4 0 0 1 25 2 50 1 25 4 100 P5 0 0 1 25 2 50 1 25 4 100 P6 0 0 0 0 2 50 2 50 4 100 Uji Kruskal-Wallis Keterangan: (P1) Kontrol; (P2) Latihan fisik maksimal; (P3) Ekstrak 0,5 ml; (P4) Latihan fisik maksimal + ekstrak 0,5 ml; (P5) Latihan fisik maksimal + ekstrak 1 ml; (P6) Latihan fisik maksimal + ekstrak 1,5 ml. Dikarenakan data tidak berdistribusi normal dan varians data tidak sama maka dilakukan uji Kruskal-Wallis. Pada uji Kruskal-Wallis yang tertera pada tabel 2 diperoleh nilai p = 0.036 yang artinya terdapat perbedaan bermakna pada histopatologi tubulus ginjal kiri mencit pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok yang mendapat perlakuan. PEMBAHASAN Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tubulus ginjal kanan dan kiri pada kelompok kontrol tidak mengalami kerusakan atau normal. Kerusakan tubulus ginjal kanan dan kiri terjadi pada semua kelompok perlakuan. Kerusakan ditandai dengan adanya nekrosis yang luasnya berbeda-beda. Kerusakan pada sel dapat terjadi secara reversibel dan irreversibel. Kerusakan yang bersifat reversibel ditandai dengan adanya pembengkakan (swelling) dan perubahan
pada lemak sel. Swelling terjadi karena membran plasma gagal dalam memompakan ion sehingga homeostasis ion dan cairan terganggu. Perubahan lemak sel terjadi karena adanya hipoksia yang ditandai dengan adanya vakuola lemak yang kecil atau besar dalam sitoplasma (Kumar et al., 2007). Kerusakan yang bersifat ireversibel ditandai dengan adanya nekrosis. Nekrosis terjadi karena adanya degradasi enzim pada sel. Sel-sel nekrotik tidak mampu untuk mempertahankan kesatuan membran, sehingga isi dari sel sering keluar. Dengan mikroskop elektron sel-sel nekrotik ditandai dengan adanya: kerusakan membran plasma dan membran organel; pelebaran mitokondria dengan munculnya densitas besar yang berbentuk amorf; terganggunya lisosom dan perubahan inti sel yang berakhir dengan rusaknya (dissolution) inti sel. Kerusakan tubulus ini disebabkan karena terjadinya stres oksidatif selama latihan 87
Indonesian Journal of Medicine (2016), 1(1): 82-89
fisik maksimal. Stres oksidatif akibat latihan dapat menyebabkan kerusakan otot dan juga mempengaruhi beberapa jaringan termasuk jantung, ginjal, hati, otak dan eritrosit. Sumber stres oksidatif yang bekerja pada ginjal mungkin didasarkan pada dua sistem enzim yaitu aktivasi leukosit (sistem enzim NADPH oksidase) dan proses iskemia-reperfusi (sistem enzim xantin oksidase) yang merupakan sumber ROS yang dihasilkan oleh jaringan ekstramuskular selama latihan (Kocer et al., 2008). ROS diidentifikasi sebagai penyebab kemungkinan cedera sel dalam banyak penyakit. Selain dua sistem enzim tersebut kerusakan tubulus juga disebabkan karena terjadinya hipoksia relatif pada ginjal. Saat kebutuhan metabolisme meningkat seperti pada latihan fisik, sel mungkin mengalami keadaan hipoksia relatif walaupun aliran darah normal pada beberapa organ termasuk ginjal. Hipoksia, atau kekurangan oksigen, dapat mengganggu respirasi oksidatif aerobik dan merupakan penyebab yang sangat penting dan umum dari cedera dan kematian sel (Kumar et al., 2007). Pada penelitian ini pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu yang mengandung antosianin tidak dapat membuat sel kembali menjadi normal. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Sreedevi dan Pavani (2012) yang menemukan bahwa pemberian antosianin dapat memperbaiki nekrosis di tubulus ginjal tikus albino jantan yang diberi injeksi cisplatin. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) tidak dapat membuat sel kembali menjadi normal pada ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan yang diberi latihan fisik maksimal. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mempertimbangkan kadar 88
alkohol yang terbentuk selama pembuatan ekstrak dengan cara fermentasi. DAFTAR PUSTAKA Birben E, Sahiner UM, Sackesen C, Erzurum S, Kalayci O (2012). Oxidative Stress and Antioxidant Defense. WAO Journal: 9-19. Bucioli SA, Abreu LC, Valenti VE, Leone C, Vannucchi H (2011). Effects of vitamin E supplementation on renal nonenzymatic antioxidants in young rats submitted to exhaustive exercise stress. BMC Complementary and Alternative Medicine, 11:133. Daniel RM, Dragomir C, Stelian S (2010). The effect of acute physical exercise on liver and kidney in the Wistar rat. Romanian Biotechnological Letters, 15(3):51-55. Kocer G, Senturk UK, Kuru O, Gunduz F (2008). Potential sources of oxidative stress that induce postexercise proteinuria in rats. J Appl Physiol, 104: 1063-1068. Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell (2007). Robbins Basic Pathology (8th ed.). Philadelphia : Elsevier. Manurung RD (2011). Tesis : Manfaat Pemberian Madu terhadap Perubahan Ureum dan Kreatinin serta Makroskopik Ginjal dan Histopatologi Tubulus Proksimal Ginjal Mencit (Mus musculus L) Jantan yang diberi Rhodamin B. Universitas Sumatera Utara. Medan. Nangaku M (2006). Chronic Hypoxia and Tubulointerstitial Injury: A Final Common Pathway to End-Stage Renal Failure. American Society of Nephrology,17:17-25. Okolow MP, Dziegiel P, Gomulkiewicz A, Kisiela D, Krajewska BD, Jethon Z, Carraro U (2006). Exercise-induced
Sinaga et al./ Effect of Purple Sweet Potato (Ipomoea Batatas L.) on Reducing Renal Tissue
apoptosis in rat kidney is mediated by both angiotensin II AT1 and AT2 receptors. Histology and Histopathology, 21:459-466. Pojer E, Mattivi F, Johnson, Stockley CS (2013). The Case for Anthocyanin Consumption to Promote Human Health: A Review. Institute of food technologists, 12:483-508. Prior RL (2003). Fruits and vegetables in the prevention of cellular oxidative damage. Am J Clin Nutr, 78:570S-8S. Radak Z, Zhao Z, Koltai E, Ohno H, Atalay M (2013). Oxygen Consumption and Usage During Physical Exercise: The
Balance Between Oxidative Stress and ROS-Dependent Adaptive Signaling. Antioxidants & Redox Signaling, 18(10): 1208-1246. Richana N (2013). Menggali potensi ubi kayu dan ubi jalar. Edisi kedua. Bandung: Nuansa Cendikia. Sreedevi A, Pavani B (2012). Effect of anthocyanin fraction on cisplatininduced nephrotoxicity. IJRAP, 3(4):587-590. Urso ML, Clarkson PM (2003). Oxidative stress, exercise, and antioxidant supplementation.Toxicology;189(12):41-54.
89