i
EFEKTIVITAS TEKNOLOGI AKUAPONIK DENGAN KANGKUNG DARAT (Ipomoea reptans) TERHADAP PENURUNAN AMONIA PADA PEMBESARAN IKAN MAS
PENI SAPTARINI
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : ”Efektivitas Teknologi Akuaponik dengan Kangkung Darat (Ipomoea reptans) terhadap Penurunan Amonia pada Pembesaran Ikan Mas” adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal/dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2010
Peni Saptarini C24054263
ii
iii
RINGKASAN
Peni Saptarini. C24054263. Efektivitas Teknologi Akuaponik dengan Kangkung Darat (Ipomoea reptans) terhadap Penurunan Amonia pada Pembesaran Ikan Mas. Dibawah bimbingan Sigid Hariyadi dan Nuryadi Teknologi akuaponik (aquaponic) merupakan salah satu teknologi mengintegrasikan budidaya ikan secara tertutup (resirculating aquaculture) yang dipadukan sistem tanam kangkung (Nelson 1998 in DKP 2008). Selanjutnya Rakocy et al. (1993) in DKP (2008) menyatakan penggunaan teknik budidaya terpadu antara ikan dan tanaman akuatik di dalam sistem resirkulasi, tanaman akuatik dapat memanfaatkan unsur hara tersebut sehingga merupakan filter yang efektif dan memiliki beberapa keuntungan dikaji dari efisiensi penggunaan air dan pengurangan pencemaran limbah hasil buangan ke perairan umum. Kasus air di Cibalagung yang digunakan untuk pembesaran ikan mas berasal dari Sungai Cikaret yang telah terindikasi mengalami pencemaran antropogenik terlihat dari tingginya kandungan amonia. Amonia dalam kondisi anaerob dapat bersifat toksik dan mengganggu pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Penelitian ini bertujuan mengkaji efektivitas teknologi akuaponik dalam mempertahankan kualitas air yaitu kemampuan dalam menurunkan kadar amonia di air kolam serta pengaruhnya terhadap ukuran ikan produksi dan tingkat kelangsungan hidup ikan mas (SR). Analisis data yang digunakan adalah uji beda nilai tengah (uji-t) untuk kualitas air dan deskriptif untuk ikan dengan melihat hubungan panjang dan berat serta tingkat kelangsungan hidup ikan antara kolam konvensional dengan kolam akuaponik. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Kolam pembesaran ikan mas dengan sistem akuaponik lebih baik dibandingkan dengan sistem konvensional, terlihat dari kadar amonia di kolam akuaponik yang 91% lebih rendah dibandingkan di kolam konvensional dengan kisaran 0,019-0,211 mg/l. Kondisi tersebut disebabkan oleh adanya sistem resirkulasi, sehingga memicu laju dekomposisi dan nitrifikasi. Tinggi/rendahnya kadar amonia dan kualitas air kolam sangat mempengaruhi ukuran ikan produksi dan tingkat kelangsungan hidup ikan. Ukuran rata-rata produksi ikan di kolam konvensional sebesar 53,6 gram dengan SR sebesar 49,9%. Sedangkan, Ukuran rata-rata produksi ikan di kolam akuaponik sebesar 62,4 gram dengan SR sebesar 81,9%. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran ikan produksi di kolam akuaponik 1,25 kali lebih besar dibandingkan di kolam konvensional, begitu pula dengan tingkat kelangsungan hidup ikannya. Selain kadar amonia, oksigen terlarut merupakan salah satu parameter yang penting dalam pembesaran ikan. Kadar oksigen terlarut di kolam akuaponik cenderung lebih baik, namun tidak berbeda nyata dengan kolam konvensional. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh sistem resirkulasi yang tidak berjalan optimal, sehingga perlu adanya perbaikan pada sistem resirkulasi tersebut.
iii
iv
EFEKTIVITAS TEKNOLOGI AKUAPONIK DENGAN KANGKUNG DARAT (Ipomoea reptans) TERHADAP PENURUNAN AMONIA PADA PEMBESARAN IKAN MAS
PENI SAPTARINI C24054263
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 iv
v
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul
Nama Mahasiswa
: Efektivitas Teknologi Akuaponik dengan Kangkung Darat (Ipomoea reptans) terhadap Penurunan Amonia pada Pembesaran Ikan Mas : Peni Saptarini
NIM
: C24054263
Program Studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui : Pembimbing I,
Pembimbing II,
Nuryadi, S.Pi. NIP 950 001 370
Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc. NIP 19591118 198903 1 014
Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP 19660728 199103 1 002
Tanggal Lulus : 26 Januari 2010 v
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Efektivitas Teknologi Akuaponik dengan Kangkung Darat (Ipomoea reptans) terhadap Penurunan Amonia pada Pembesaran Ikan Mas; disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Instalasi Riset Lingkungan Perikanan Budidaya dan Toksikologi, Cibalagung, Bogor pada bulan Mei-Agustus 2009, dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc selaku dosen pembiimbing pertama dan Nuryadi, S.Pi selaku dosen pembimbing kedua, Ir. Agustinus Samosir, M.phil selaku Komisi Pendidikan S1, serta Dr. Ir. Etty Riani H., MS selaku dosen penguji tamu yang telah banyak membantu dalam pemberian bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian, penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.
Bogor, Februari 2010
Penulis
vi
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia, rahmat, dan hidayah-Nya serta kesempatan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi I dan Nuryadi, S.Pi selaku staf peneliti di BRPBAT Bogor sekaligus pembimbing skripsi II, atas bimbingan dan arahan-arahan yang telah diberikan selama berlangsungnya penelitian dan penulisan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik sekaligus ketua departemen atas segala bimbingan selama masa studi di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3. Dr. Ir. Etty Riani H., MS selaku dosen penguji tamu dan Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penulis. 4. Ayahanda Sunar Susatyo (Alm) dan Ibunda Sutarni, kakak-kakak serta keponakan-keponakanku yang tercinta atas doa, dukungan dan kasih sayang kepada penulis. 5. Bapak Sutrisno (Kepala Pelayanan & Tenis), Ibu Lilis S (staf peneliti) dan Bapak Ari (staf dokumentasi) di BRPBAT Bogor yang telah banyak membantu dan memberikan masukan selama berlangsungnya penelitian dan penulisan skripsi ini. 6. Bapak Kutub, Bapak Pepeng, Bapak Atin, Mas Asep, Mas Indra, dan teknisi lainnya yang telah berkenan membantu dengan tulus saat pengambilan data di lapangan dan perhatiannya selama ini. 7. Ibu Pipih yang telah berkenan membantu dengan tulus menyediakan tempat tinggal selama berlangsungnya penelitian dan perhatiannya selama ini. 8. Nine’s Family yang telah memberi dukungan dan motivasinya disaat suka maupun duka selama penyusunan skripsi ini. 9. Kak Yuki 41 yang telah membantu memberikan gagasan dan kak Shelly 41 yang telah membantu dalam pengolahan data statistik. 10. Diana, Dini, Priyasmoro, Japet, dan seluruh rekan-rekan MSP 42 yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas persaudaraan, bantuan dan motivasi selama penyusunan skripsi ini. 11. Okta dan teman-teman di wisma zulfa atas motivasi dan persaudaraannya yang telah diberikan selama ini.
vii
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang pada 15 September 1987 sebagai anak bungsu dari enam bersaudara dari pasangan Sunar Susatyo (Alm) dan Sutarni. Pendidikan formal yang ditempuh penulis yaitu TK Sukawati Semarang (1992), SD Al-Irsyad AlIslammiyah Semarang (1993), SMPN 8 Semarang (1999), SMAN 14 Semarang (2002). Pada tahun 2005, penulis melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Setelah mengikuti Tingkat Persiapan Bersama (TPB), setahun
kemudian
terdaftar
sebagai
mahasiswa
Departemen
Manajemen
Sumberdaya Perairan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti kegiatan ekstra Agrifarma
FAPERTA-IPB,
Masyarakat
Roempoet
FAHUTAN-IPB,
dan
HIMASPER FPIK-IPB. Penulis diberi kesempatan dan kepercayaan menjadi Asisten Mata Kuliah Avertebrata Air (2007/2008). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Efektivitas Teknologi Akuaponik dengan Kangkung Darat (Ipomoea reptans) terhadap Penurunan Amonia pada Pembesaran Ikan Mas”.
viii
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xiv
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang …………………………………………………… . 1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 1.3. Tujuan .............................................................................................. 1.4. Manfaat ............................................................................................
1 2 3 3
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Teknologi Akuaponik ......................................................... 2.2. Klasifikasi dan Morfologi .............................................................. 2.2.1. Ikan Mas (Cyprinus carpio) ................................................. 2.2.2. Kangkung Darat (Ipomoea reptans) .................................... 2.3. Nitrogen Anorganik ........................................................................ 2.4. Parameter Kualitas Air Terkait ....................................................... 2.4.1. Suhu ..................................................................................... 2.4.2. Kecerahan ............................................................................ 2.4.3. Derajat Keasaman (pH) ....................................................... 2.4.4. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) ................................. 2.4.5. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) ................................
4 6 6 10 10 13 13 14 15 16 17
3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................... 3.2. Alat dan Bahan ............................................................................... 3.3. Rancangan Penelitian ..................................................................... 3.4. Pengamatan .................................................................................... 3.5. Analisis Data .................................................................................. 3.5.1. Kualitas Air ......................................................................... 3.5.2. Ikan ...................................................................................... 3.5.2.1. Hubungan Panjang dan Berat ......................................... 3.5.2.2. Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan (SR) ........................
19 19 19 22 23 23 24 24 25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Nitrogen Anorganik ....................................................................... 4.1.1. Amonia (N-NH3) ................................................................. 4.1.2. Nitrit (N-NO2-) .................................................................... 4.1.3. Nitrat (N-NO3-) .................................................................... 4.2. Parameter Kualitas Terkait ............................................................
26 26 29 31 33
ix
x 4.2.1. Suhu ..................................................................................... 4.2.2. Kecerahan ............................................................................ 4.2.3. Derajat Keasaman (pH) ....................................................... 4.2.4. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) ................................. 4.2.5. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) ................................ 4.3. Ukuran Ikan Produksi .................................................................... 4.3.1. Kolam Konvensional ........................................................... 4.3.2. Kolam Akuaponik ...............................................................
33 34 36 37 41 43 45 46
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan .................................................................................... 5.2. Saran ..............................................................................................
48 48
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
49
LAMPIRAN .................................................................................................
52
x
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1. Jarak tanam beberapa jenis tanaman sayur ............................................
10
2. Hubungan pH air dan kehidupan ikan ...................................................
15
3. Pengaruh kadar oksigen terlarut terhadap kelangsungan hidup ikan .....
17
4. Kriteria kualitas air berdasarkan BOD5 .................................................
18
5. Metode yang digunakan dalam pengukuran parameter fisika dan kimia .......................................................................................................
22
xi
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema sederhana rumusan masalah penelitian ........................................
3
2. Ikan Mas (Cyprinus carpio) .....................................................................
6
3. Kangkung Darat (Ipomoea reptans) ........................................................
9
4. Skematik sederhana kolam konvensional dan titik-titik pengamatannya ........................................................................................
21
5. Skematik sederhana kolam akuaponik dan titik-titik pengamatannya ........................................................................................
21
6. Kadar amonia di sumber, kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan ..................................................................................
27
7. Kadar amonia di kolam akuaponik dari unit A-F1-F2 pada tiap pengamatan ..............................................................................................
28
8. Kadar nitrit di sumber, kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan
30
9. Kadar nitrit di kolam akuaponik dari unit A-F1-F2 pada tiap pengamatan ..............................................................................................
31
10. Kadar nitrat di sumber, kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan ..................................................................................
32
11. Kadar nitrat di kolam akuaponik dari unit A-F1-F2 pada tiap pengamatan ..............................................................................................
33
12. Kisaran suhu di kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan ..............................................................................................
34
13. Kisaran kecerahan di kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan
35
14. Kisaran pH di kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan ..............................................................................................
36
15. Kadar oksigen terlarut di kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan ..................................................................................
38
16. Pengamatan 24 jam oksigen terlarut dengan interval waktu 4 jam di kolam konvensional dan kolam akuaponik setiap sebulan sekali ............
39
17. Kadar oksigen terlarut di kolam akuaponik dari unit A-F1-F2 pada tiap pengamatan ..............................................................................................
41
18. Nilai BOD5 di kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan ..............................................................................................
42
xii
xiii 19. Kadar BOD5 di kolam akuaponik dari unit A-F1-F2 pada tiap pengamatan ..............................................................................................
43
20. Ukuran ikan produksi pada awal dan akhir pengamatan .........................
44
21. Pola pertumbuhan ikan di kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan ..................................................................................
44
xiii
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Skematik sederhana lokasi kolam penelitian ...........................................
53
2. Kondisi kualitas air di sumber, kolam konvensional dan kolam akuaponik ................................................................................................
54
3. Hasil analisis proksimat ikan mas ............................................................
55
4. Tingkat kelangsungan hidup dan berat rata-rata ikan mas di kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pembesaran .........................
55
5. Perhitungan debit air (Q) di kolam konvensional dan kolam akuaponik pada awal pengamatan ...........................................................
56
6. Uji statistik (uji beda nilai tengah) parameter kualitas air di kolam konvensional dan kolam akuaponik dengan t-test: two sample assuming unequal variances .....................................................................
57
7. Data mentah panjang dan berat ikan mas pada awal penebaran (10 Juni 2009) ..........................................................................................
60
8. Data mentah panjang dan berat ikan mas pada pengambilan contoh 1 (24 Juni 2009) ..........................................................................................
61
9. Data mentah panjang dan berat ikan mas pada pengambilan contoh 2 (8 Juli 2009) .............................................................................................
62
10. Data mentah panjang dan berat ikan mas pada pengambilan contoh 3 (23 Juli 2009) ...........................................................................................
63
11. Data mentah panjang dan berat ikan mas pada pengambilan contoh 4 (6 Agustusi 2009) .....................................................................................
64
12. Hubungan panjang dan berat ikan mas saat awal penebaran dan tiap pengambilan contoh di kolam konvensional dan kolam akuaponik ........
65
13. Data kelimpahan fitoplankton di kolam konvensional dan kolam akuaponik .................................................................................................
66
14. Dokumentasi yang diambil di lapangan dan laboratorium ......................
67
xiv
xv 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Seiring dengan makin pesatnya laju pembangunan maka salah satu konsekuensi yang harus dihadapi adalah semakin berkurangnya sumber air bersih, khususnya di daerah perkotaan. Padahal, air merupakan sumber utama yang sangat diperlukan dalam bidang perikanan. Kualitas perairan di daerah perkotaan sudah banyak yang tercemar oleh polutan antropogenik, sehingga sekarang ini sulit untuk mendapatkan sumber air bersih yang sesuai untuk pembesaran ikan. Oleh karena itu, perlu adanya teknologi yang murah dan efisien untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan. Salah satu alternatif pemecahannya adalah sistem akuaponik yang pada dasarnya memanfaatkan sistem resirkulasi (Nugroho & Sutrisno 2008). Teknologi
akuaponik
(aquaponic) merupakan
salah
satu
teknologi
mengintegrasikan budidaya ikan secara tertutup (resirculating aquaculture) yang dipadukan sistem tanam kangkung (Nelson 1998 in DKP 2008). Selanjutnya Rakocy et al. (1993) in DKP (2008) menyatakan penggunaan teknik budidaya terpadu antara ikan dan tanaman akuatik di dalam sistem resirkulasi, tanaman akuatik dapat memanfaatkan unsur hara tersebut sehingga merupakan filter yang efektif dan memiliki beberapa keuntungan dikaji dari efisiensi penggunaan air dan pengurangan pencemaran limbah hasil buangan ke perairan umum. Periode resirkulasi air berpengaruh terhadap kualitas serta kuantitas ikan dan kangkung yang dihasilkan. Pada sistem resirkulasi sebaiknya ditambahkan pengaliran air yang disesuaikan dengan komoditas ikan dan penambahan oksigen (aerasi). Ikan mas sangat rentan terhadap oksigen rendah, sehingga sebaiknya resirkulasi dilakukan secara terusmenerus selama 24 jam. Hasil dari metabolisme ikan dan sisa pakan yang terlarut dapat bersifat toksik bagi organisme akuatik seperti amonia, nitrit, H2S, gas metan dan sebagainya. Jika hal tersebut dibiarkan terjadi dalam pembesaran ikan di kolam maka akan mengganggu pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan tersebut. Amonia yang terakumulasi di kolam dioksidasi menjadi nitrit oleh bakteri Nitrosomonas yang selanjutnya nitrit tersebut dioksidasi oleh bakteri Nitrobacter menghasilkan nitrat. xv
2 xvi Nitrat inilah yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kangkung, sehingga dengan menggunakan teknologi akuaponik zat yang semula racun bagi ikan dapat dimanfaatkan untuk produksi kangkung organik. Dalam penelitian ini, tanaman yang digunakan adalah kangkung darat (Ipomoea reptans). Ikan yang dipelihara adalah ikan mas, salah satu ikan air tawar yang biasa dibudidayakan, cepat tumbuh, serta memanfaatkan sumber makanan yang ada namun rentan dengan kelarutan oksigen yang rendah.
1.2. Rumusan Masalah Air merupakan sumber utama bagi kehidupan ikan, namun kasus air di Cibalagung yang digunakan untuk pembesaran ikan mas berasal dari aliran air Sungai Cikaret yang telah melalui pemukiman penduduk dan kegiatan industri, sehingga telah terindikasi mengalami pencemaran antropogenik terlihat dari tingginya kandungan amonia yang melebihi ambang batas untuk perikanan adalah lebih dari 0,6 mg/l (Boyd 1979). Amonia dalam kondisi anaerob dapat bersifat toksik dan mengganggu pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Dengan teknologi akuaponik, kualitas air dapat dipertahankan dan mendukung pertumbuhan serta aktivitas bakteri dalam merombak amonia menjadi senyawa yang tidak berbahaya bagi kelangsungan hidup ikan. Amonia dioksidasi menjadi nitrit oleh bakteri Nitrosomonas yang kemudian dalam kondisi aerob nitrit dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Nitrat yang dihasilkan merupakan sumber utama bagi tanaman, khususnya pada penelitian ini dimanfaatkan oleh kangkung. Secara sederhana rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut (Gambar 1).
xvi
3 xvii Kualitas air Sungai Cikaret
Perlu pengelolaan
Konvensional Kegiatan pembesaran ikan
tidak
Sisa pakan & feses Layak dekomposisi
Akuaponik
?
Amonia tinggi
sistem resirkulasi ya Gambar 1. Skematik sederhana rumusan masalah penelitian
1.3. Tujuan Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengkaji efektivitas teknologi akuaponik dalam mempertahankan kualitas air yaitu kemampuan dalam menurunkan kadar amonia di air kolam serta pengaruhnya terhadap ukuran ikan produksi dan tingkat kelangsungan hidup ikan mas (SR).
1.4. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat dalam mengembangkan pembesaran ikan dengan teknologi akuaponik yang memiliki banyak keuntungan terutama dalam upaya untuk mempertahankan kualitas air kolam. Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai kajian dalam meningkatkan pengelolaan air limbah pembesaran ikan di daerah perkotaan dengan keterbatasan sumber air bersih.
xvii
xviii 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistem Teknologi Akuaponik Sistem teknologi akuaponik merupakan teknologi yang menggabungkan antara pemeliharaan ikan dan tanaman dengan memanfaatkan sistem resirkulasi. Sistem ini diharapkan dapat dijadikan suatu model perikanan perkotaan, sekaligus dapat diterapkan sebagai bahan dari tata kota dan pertamanan di komplek-komplek perumahan (Ahmad et al. 2007). Pada teknologi tersebut, air yang telah terpakai digunakan sebagai media penyubur pada bagian lainnya berupa usaha penanaman sayuran. Sistem resirkulasi adalah sistem yang memanfaatkan kembali air yang telah digunakan dalam usaha pemeliharaan ikan dengan filter biologi dan fisika berupa tanaman dan medianya. Secara ringkasnya, air yang berasal dari wadah pemeliharaan ikan dialirkan dengan menggunakan pompa air ke filter yang juga berfungsi sebagai tempat untuk menanam tanaman. Air yang sudah difilter tersebut dialirkan kembali ke dalam kolam ikan secara gravitasi. Proses resirkulasi tersebut berlangsung secara terus-menerus dan penambahan air dari luar hanya dilakukan pada saat tertentu untuk menjaga agar ketinggian air kolam tidak berkurang (Nugroho & Sutrisno 2008). Menurut Diver (2006), akuaponik adalah sistem integrasi biologi melalui resirkulasi akuakultur dan hidroponik sayuran, bunga, dan atau tanaman obat. Majunya teknologi sekarang ini oleh peneliti dan petani telah berkembang akuaponik dalam model pengerjaan produksi makanan yang berkelanjutan. Pada prinsipnya, hasil limbah buangan pada sistem biologi pertama merupakan nutrien bagi sistem biologi kedua, hasil integrasi ikan dan tanaman dalam polikultur dapat meningkatkan keragaman dan hasil panen yang berlipat ganda, air digunakan kembali melalui filtrasi biologi dan resirkulasi, produksi makanan lokal memberikan akses untuk makanan kesehatan dan meningkatkan ekonomi lokal. Menurut Harston (1998), sistem resirkulasi dalam akuaponik mempunyai lima komponen dasar yang meliputi meliputi biota air di kolam budidaya terjaga, mengatur suhu, adanya penambahan oksigen terlarut, penyaringan kotoran atau
xviii
5 xix partikel, biofilter dimana amonia yang dihasilkan oleh ikan menurun dengan bantuan bakteri aerob yang mengubah amonia menjadi nitrit dan nitrat. Jangkaru (2002) menjelaskan bahwa sistem resirkulasi dalam budidaya ikan memiliki kelebihan dan kelemahan, kelebihannya adalah sebagai berikut : 1. Volume air yang digunakan tidak terlalu besar karena setelah mengalami perlakuan tertentu air dapat digunakan kembali untuk pemeliharaan ikan. 2. Sistem resirkulasi menggunakan tempat atau wadah yang ukurannya terbatas. 3. Kualitas air yang terus terjaga memungkinkan pertumbuhan ikan tetap baik, terutama pada pembenihan ikan karena ikan sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. 4. Pertumbuhan ikan sangat baik, produksi meningkat, dan waktu pemeliharaan dapat dipersingkat. 5. Karena kualitas dan kuantitas air selalu terjaga, tingkat kematian ikan dapat ditekan serendah mungkin. 6. Sisa makanan dan kotoran hasil metabolisme yang mengendap dapat dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan tanaman dan pemeliharaan ikan, yang sangat tahan terhadap kualitas air yang buruk. Kelemahan menggunakan sistem resirkulasi adalah sangat tergantung pada listrik untuk menggerakkan mesin air karena apabila air memburuk dan meningkatkan tingkat keasaman yang mengakibatkan kematian pada ikan, investasi cukup tinggi karena harus menyediakan cadangan listrik berupa jenset agar pergerakan resirkulasi tidak terhenti, serta membutuhkan SDM yang terampil dalam bidang listrik. Menurut Nelson (2005), salah satu prinsip dasar ekosistem adalah siklus nutrien menyediakan sumberdaya dan mengatur limbah dengan daur ulang semua elemen. Sistem akuaponik adalah contoh terbaik dalam prinsip ini. Ikan (konsumen) memakan makanan yang berasal dari tanaman, dan ekskresi limbah yang telah mengalami penurunan oleh bakteri pengurai dalam proses nitrifikasi menjadi sumber makanan bagi tanaman yang menyediakan oksigen dan energi untuk kehidupan. Penanaman sayuran berperan penting dalam menunjang keberhasilan akuaponik. Hal ini disebabkan oleh kemampuan tanaman yang dapat menyaring air limbah pemeliharaan ikan. Kandungan racun yang sering kali dihasilkan dari usaha
xix
xx6 pemeliharaan ikan umumnya dalam bentuk amonia. Kandungan racun tersebut dapat direduksi oleh tanaman hingga 90% dari kadar yang ada, sehingga air tersebut masih layak digunakan kembali sebagai media dalam pemeliharaan ikan (Nugroho & Sutrisno 2008).
2.2. Klasifikasi dan Morfologi 2.2.1. Ikan Mas (Cyprinus carpio, L.) Menurut Saanin (1968) dan Tim Lentera (2002), taksonomi ikan mas diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Superkelas : Pisces Kelas
: Osteichthyes
Subkelas
: Actinopterygii
Ordo
: Cypriniformes
Subordo
: Cyprinoidea
Famili
: Cyprinidae
Genus
: Cyprinus
Spesies
: Cyprinus carpio
Gambar 2. Ikan Mas (Cyprinus carpio) Sumber : koleksi pribadi
xx
7 xxi Secara morfologis (Gambar 2), ikan mas mempunyai bentuk tubuh agak memanjang dan memipih tegak. Mulut terletak di ujung tengah dan dapat disembulkan. Bagian anterior mulut terdapat dua pasang sungut berukuran pendek. Secara umum, hampir seluruh tubuh ditutupi sisik dan hanya sebagian kecil saja yang tubuhnya tidak ditutupi sisik. Sisik berukuran relatif besar dan digolongkan dalam tipe sisik sikloid berwarna hijau, biru, merah, kuning keemasan atau kombinasi dari warna-warna tersebut sesuai dengan rasnya (www.wikipedia.org). Menurut Saanin (1968), ikan mas mempunyai badan yang memanjang, sedikit pipih ke samping. Kepala dan badan dipisahkan satu dengan yang lain oleh celah insang yang ditutupi oleh tulang-tulang penutup insang. Mulut dapat disembulkan, terletak di ujung tengah (terminal) dan mempunyai dua pasang sungut. Ikan mas merupakan jenis ikan air tawar yang menyukai tempat hidup (habitat) di perairan tawar yang airnya tidak terlalu dalam dan alirannya tidak terlalu deras, seperti di pinggiran sungai atau danau (www.wikipedia.org). Ikan mas tergolong jenis omnivora, yaitu ikan yang dapat memangsa berbagai jenis makanan, baik yang berasal dari tumbuhan maupun binatang renik. Namun, makanan utamanya adalah tumbuhan dan binatang yang terdapat di dasar dan tepi perairan. Kualitas air untuk pemeliharaan ikan mas harus bersih, tidak terlalu keruh, tidak tercemar bahan-bahan kimia beracun, dan minyak/limbah pabrik. Ikan mas dapat berkembang pesat di kolam, sawah, kakaban, dan sungai air deras. Suhu air yang baik berkisar 20-25 oC dan pH yang baik berkisar 7-8. (Sutanmuda 2007). Pembesaran (grow out) ikan bertujuan untuk menghasilkan ikan ukuran konsumsi. Dalam kegiatan pembesaran, ikan didorong untuk tumbuh secara maksimal hingga mencapai ukuran panen/ukuran pasar melalui penyediaan lingkungan media hidup ikan yang optimal dan pemberian pakan yang tepat jumlah, mutu, cara, serta waktu serta pengendalian hama dan penyakit. Selain pertumbuhan individu, dalam pembesaran penting untuk menekan tingkat kematian ikan dalam wadah produksi supaya produksi biomassa ikan dapat dicapai setinggi mungkin (Effendi 2004). Dalam penelitian dilakukan komoditas ikan yang digunakan adalah ikan mas karena mempunyai banyak keunggulan dibandingkan ikan tawar lainnya. Adapun beberapa keunggulan ikan mas meliputi memiliki daya tumbuh cepat, waktu pembesaran tidak lama, mudah dikembangbiakkan, mudah dalam pemeliharaan,
xxi
8 xxii mudah beradaptasi pada perubahan kondisi lingkungan, serta memiliki nilai ekonomis yang tinggi (Prahasta & Hasanawi 2009). Kualitas air yang memburuk dapat mengganggu pertumbuhan ikan mas dan banyak ikan yang mati karena stres. Stres pada ikan dapat memicu ikan mudah terserang penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Aeromonas hydrophila merupakan salah bakteri yang sering menyerang ikan terutama pada kondisi lingkungan yang buruk atau pada pemeliharaan dengan padat tebar yang tinggi (Irianto 2005). Menurut Ayuningtyas (2008), kematian ikan yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila dapat terlihat dari badan ikan terdapat bercak-bercak merah . Bakteri Aeromonas sp akan cepat tumbuh dan berkembangbiak pada air yang mengandung kadar amonia dan nitrit tinggi, gangguan pH dari kondisi normal, dan kelarutan oksigen yang rendah.
2.2.2. Kangkung Darat (Ipomoea reptans) Klasifikasi kangkung darat adalah sebagai berikut (www.plantamor.com) : Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Asteridae
Ordo
: Solanales
Famili
: Convolvulaceae
Genus
: Ipomoea
Spesies
: Ipomoea reptans
xxii
xxiii 9
Gambar 3. Kangkung darat (Ipomoea reptans) Sumber : koleksi pribadi Kangkung darat (Ipomoea reptans) sering disebut juga kangkung cina yang tumbuh secara alami di sawah, rawa, atau parit (Gambar 3). Kangkung merupakan tanaman yang tumbuh cepat dan memberikan hasil dalam waktu 4-6 minggu sejak dari benih. Kangkung darat berbunga putih bersih dengan batang putih kehijauan, sementara daun dan batangnya lebih kecil dibandingkan kangkung air. Jenis ini tumbuh di atas tanah atau batas yang mempunyai batang yang tegak dan daun yang panjang menirus, kebiasaannya ditanam secara komersil (www.wikipedia.org). Kangkung juga dapat tumbuh dengan baik pada badan air yang tidak terlalu dalam/bantaran sungai, danau, dan selokan. Kangkung merupakan tanaman yang mempunyai daya adaptasi yang cukup luas terhadap kondisi iklim dan tanah di daerah tropis serta selektif terhadap unsur hara tertentu, sehingga dapat menyerap semua unsur yang terkandung di dalam tanah. Manfaat kangkung adalah untuk menyembuhkan sembelit, obat diet, dan akarnya dapat untuk mengobati penyakit wasir (Siswono 2008). Menurut Nugroho & Sutrisno (2008), pemilihan kangkung pada penelitian ini dikarenakan kangkung adalah tanaman dengan akar yang tidak terlalu kuat dan dalam pemeliharaannya memerlukan air secara terus-menerus. Tanaman yang dapat dimanfaatkan dalam sistem akuaponik antara lain lobak, bayam, kangkung, seledri, peterseli, pakchoi, cabai, kemangi, bawang putih, bawang merah, tanaman yang berdaun harum (sedap malam), kacang-kacangan, tomat, buah ceri, mentimun, semangka, dan sebagainya (Rakocy et al. 2005). Dalam akuaponik, pemeliharaan tanaman tidak menggunakan pupuk anorganik, melainkan hanya dengan air yang telah diperkaya oleh limbah atau kotoran dari kolam ikan, sehingga dihasilkan xxiii
10 xxiv kangkung organik. Jarak tanam antar tanaman juga perlu diperhatikan, jarak tanaman tergantung dari jenis tanamannya. Jarak tanaman yang sesuai dengan jenis tanaman yang dibudidayakan akan membuat tanaman tersebut tumbuh dengan baik karena adanya ruang tumbuh yang memadai. Jarak tanam beberapa jenis tanaman sayur dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jarak tanam beberapa jenis tanaman sayur (Nugroho & Sutrisno 2008) Jenis Tanaman
Jarak Tanam (cm)
Kangkung dan selada
10
Cabai
40
Tomat
40
Terong sayur
40
2.3. Nitrogen Anorganik Limbah pembesaran ikan berasal dari sisa pakan dan feses ikan, akumulasi limbah tersebut akan terdekomposisi menjadi senyawa anorganik. Sisa pakan dan feses ikan banyak mengandung nitrogen, sehingga senyawa anorganik yang dihasilkan berupa nitrogen anorganik. Nitrogen anorganik terdiri atas amonia (NH3), amonium (NH4+), nitrit (NO2-), nitrat (NO3-), dan molekul nitrogen (N2). Tingginya konsentrasi nitrogen anorganik akan menambah kesuburan kolam dan dalam waktu cepat dapat menurunkan kualitas air kolam (Effendi 2003). Menurut Pillay (1992), jumlah dan komposisi limbah dari kolam budidaya ikan dipengaruhi oleh kepadatan ikan yang dipelihara, kualitas dan jumlah pakan yang diberikan, serta waktu retensi air di kolam budidaya ikan tersebut. Padatan terlarut dan nutrient terlarut, terutama N dan P merupakan faktor utama yang menentukan kualitas limbah yang dibuang ke perairan sekitar. Pada budidaya intensif, perubahan kualitas air dapat terjadi lebih cepat akibat pemberian pakan yang tinggi, akibatnya akumulasi bahan organik berupa sisa pakan dan feses ikan pada sistem budidaya meningkat pula (Hopkins et al. 1994). Karena akuaponik menggunakan aliran air secara tertutup, maka bahan organik dan anorganik cenderung terakumulasi pada sistem yang akan menyebabkan terjadinya pembentukan senyawa beracun bagi ikan.
xxiv
xxv11 Amonia yang tidak terionisasi bersifat racun bagi ikan dan berpengaruh signifikan
terhadap
nilai
pH.
Saat
amonia
terurai
di
air,
persamaan
kesetimbangannya adalah sebagai berikut :
NH3 + H2O NH4+ + OH1,3%
98,7%
Peningkatan kadar amonia terutama berasal dari pemberian pakan yang berlebihan, sehingga berakibat pada ekskresi amonia oleh ikan cukup tinggi dan di lain pihak populasi bakteri dekomposer tidak memadai (Irianto 2005). Amonia yang terurai menjadi amonium dalam kondisi aerob akan mengalami proses nitrifikasi. Nitrifikasi adalah oksidasi amonia menjadi nitrat oleh bakteri kemoautotrof, tahap pertama adalah Nitrosomonas dan kedua adalah Nitrobacter. Pemanfaatan ion amonium dan nitrit berturut-turut sebagai sumber energi dan nitrifikasi berlangsung cepat pada pH 7-8 dan suhu 25-35 oC. Oksidasi ion amonium merupakan sumber keasaman yang potensial dalam sistem akuatik (Boyd 1979). Nitrifikasi terjadi dalam dua tahap sebagai berikut :
NH4+ + 1½O2 NO2- +2H+ +H2O NO2- + ½O2 NO3-
Menurut Effendi (2003), toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut serta peningkatan pH dan suhu air. Nilai pH 7, amonia tidak terionisasi yang bersifat toksik terdapat dalam jumlah yang lebih banyak. Kadar amonia yang tidak terionisasi pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0.02 mg/l, kondisi tersebut mengakibatkan perairan bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan, adapun toksisitas akut pada ikan mas sebesar 2,0 mg/l (Irianto 2005). Konsentrasi sublethal amonia menyebabkan perubahan patologi dalam organ dan jaringan ikan. Pengaruh histologi tersebut akan terjadi apabila secara terus-menerus konsentrasi amonia berkisar 0,006-0,34 mg/l. Selain itu, akumulasi kadar amonia dapat menghambat pertumbuhan ikan budidaya (Boyd 1979). Menurut Irianto (2005), konsentrasi amonia pada lingkungan air kolam budidaya ditentukan oleh beberapa faktor, meliputi seberapa baik kolam budidaya dikelola, lama waktu ikan dipuasakan sebelum penanganan, pemanenan, dan
xxv
xxvi12 pemindahan, persentase penggunaan kembali air pada sistem resirkulasi, serta jumlah protein dalam pakan dan profil asam-asam aminonya. Pada air permukaan dengan kandungan oksigen cukup, amonia mengalami nitrifikasi menjadi ion nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3-). Nitrit dapat berperan sebagai sumber nitrogen bagi tanaman tetapi bersifat toksik bagi organisme air (Barus 2001). Pada proses nitrifikasi, nitrit yang akan dioksidasi oleh bakteri Nitrobacter menjadi nitrat terhambat apabila ikan mendapat pakan yang berlebih dan atau Nitrobacter tidak dapat bekerja optimal dalam mengoksidasi nitrit menjadi nitrat akibat faktor lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan atau aktivitasnya, maka terjadi akumulasi nitrit (Irianto 2005). Adapun pada pemeliharaan ikan dengan sistem resirkulasi air tertutup, akumulasi nitrit berkaitan dengan pemberian pakan yang tinggi dan filter biologis yang kurang efisien. Sejalan dengan penurunan amonia, terjadi peningkatan nitrit sebagai akibat proses nitrifikasi oleh bakteri. Akan tetapi, karena ketersediaan oksigen pada sistem masih kurang (<5 mg/l) maka proses nitrifikasi tidak berjalan sempurna, sehingga nitrit yang dihasilkan tidak dapat diubah sepenuhnya menjadi nitrat (Hopkins et al. 1994). Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001 mg/l dan sebaiknya tidak melebihi 0,06 mg/l, kadar nitrit yang lebih dari 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif (Effendi 2003). Menurut Cheng et al.( 2002) menjelaskan bahwa amonia dan nitrit beracun bagi ikan bila melebihi konsentrasi 0,65 dan 0,1 mg/l. Kisaran pH dan suhu sangat berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi amonia, pada pH<7 dan suhu rendah persentase dari total amonia nitrogen (TAN) lebih rendah dibandingkan pada pH>7 dan suhu tinggi. Menurut Rakocy et al. (2005), konsentrasi amonia dan nitrit harus berkisar < 1mg/l dan apabila kandungan oksigen terlarut rendah, perlu adanya aerasi atau laju pemberian pakan harus dikurangi. Oksigen terlarut harus lebih dari 5 mg/l dan pH 7 sangat baik untuk pertumbuhan ikan dan tanaman. Nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman yang selanjutnya dikonversi menjadi protein. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh ketersediaan nutrien. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan
xxvi
xxvii13 (Effendi 2003). Menurut Boyd (1979), nitrogen anorganik berupa nitrat mengalami denitrifikasi menjadi amonia, selanjutnya diserap oleh fitoplankton karena fitoplankton lebih banyak menyerap amonia dibandingkan dengan nitrat karena lebih banyak dijumpai diperairan baik dalam kondisi aerobik maupun anaerobik. Amonia merupakan nutrien bagi pertumbuhan organisme akuatik lainnya dan berperan juga sebagai penyubur di lingkungan air, yaitu untuk mikroorganisme fotosintesis seperti alga hijau dan alga biru-hijau, diatom, dan tanaman tingkat tinggi lainnya (Dugan 1972). Fitoplankton mampu mengubah zat-zat anorganik menjadi zat organik dengan bantuan cahaya matahari melalui proses fotosintesis dan juga sebagai pemasok oksigen.
2.4. Parameter Kualitas Air Terkait 2.4.1. Suhu Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman badan air (Effendi 2003). Menurut Irianto (2005) juga menjelaskan bahwa permukaan air peka terhadap perubahan suhu. Suhu antara lain dipengaruhi oleh letak geografis, ketinggian tempat, lama paparan terhadap matahari, dan kedalaman badan air. Dalam setiap penelitian pada ekosistem air, pengukuran suhu air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem air sangat dipengaruhi oleh suhu (Barus 2001). Menurut Effendi (2003), perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Peningkatan suhu dapat menurunkan kelarutan gas dalam air, misalnya gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya. Selain itu, peningkatan suhu juga dapat meningkatkan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik, dan selanjutnya mengakibatkan konsumsi oksigen meningkat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kandungan oksigen terlarut, sehingga keberadaan oksigen seringkali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan terganggu. xxvii
xxviii 14 Menurut Irianto (2005), ikan mempunyai derajat toleransi terhadap suhu dengan kisaran tertentu yang sangat berperan bagi pertumbuhan, inkubasi telur, konversi pakan, dan resistensi terhadap penyakit. Ikan akan mengalami stress manakala terpapar pada suhu di luar kisaran yang dapat ditoleransi. Suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan gangguan status kesehatan untuk jangka panjang, misalnya stres yang ditandai dengan tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku abnormal. Pada suhu rendah, akibat yang ditimbulkan antara lain ikan menjadi lebih rentan terhadap infeksi fungi dan bakteri pathogen akibat melemahnya sistem imun. Hujan dengan intensitas yang cukup tinggi dapat menyebabkan perubahan lingkungan perairan yang cukup besar, terutama fluktuasi suhu dan pH air, sehingga berpengaruh terhadap kondisi ikan budidaya. Gejala klinis yang tampak adalah gerakan ikan menjadi sangat lemah dan cenderung mengambang di permukaan air, kulit tubuh terutama pada pangkal sirip dan kepala berwarna putih bahkan mengelupas serta respon terhadap makanan rendah dan akhirnya mati (Ahmad et al. 2007).
2.4.2. Kecerahan Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi 2003). Di kolam, kekeruhan dan warna air dapat berasal dari koloid partikel tanah liat yang meresap ke limpasan air, koloid bahan organik yang dimulai dari pembusukan vegetasi, atau dari kelimpahan plankton seperti kolam yang digunakan untuk budidaya ikan secara intensif, sehingga kecerahan dapat digunakan untuk menduga kepadatan fitoplankton bila kekeruhan perairan terutama disebabkan oleh fitoplankton. Sampai batas tertentu melimpahnya fitoplankton tertentu sangat menguntungkan karena kebutuhan pakan alami tercukupi. Jika perairan sangat jernih, seringpula menjadi indikasi bahwa lingkungan kolam tersebut miskin fitoplankton, sehingga perlu dilakukan pemupukan (Boyd 1991 in Irianto 2005). xxviii
xxix 15 Nilai kecerahan untuk budidaya ikan di kolam berkisar 0,1-0,5 m karena pada kecerahan ini tingkat penetrasi cahaya yang masuk lebih dari 10%, sehingga fotosintesis masih dapat terjadi (Boyd 1979). Menurut Irianto (2005), ukuran ideal cahaya yang dianggap cukup untuk kolam atau tambak yaitu apabila mampu penetrasi sekurang-kurangnya pada kedalaman 40-60 cm.
2.4.3. Derajat Keasaman (pH) Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan. pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia, senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Amonium bersifat tidak toksik (innocuous). Namun, pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan amonia yang tidak terionisasi (unionized) dan bersifat toksik (Effendi 2003). Kestabilan pH dapat terjadi dengan nilai alkanitas yang tinggi, tingginya alkalinitas berperan sebagai penyangga (buffer) dan ion Ca2+ merupakan salah satu kation utama pembentuk alkalinitas di air tawar. Batu kerikil merupakan buffer yang baik untuk asam yang diproduksi dalam sistem tersebut. Oleh karena itu, pH harus tetap stabil (Rakocy et al. 2005). Dalam penelitian digunakan batu apung sebagai media tanam untuk kangkung, batu apung mengandung kapur atau (CaOH)2 yang merupakan sumber penghasil ion Ca2+ sehingga dapat membantu pH air kolam stabil/tidak berubah secara drastis. Nilai pH yang baik untuk budidaya ikan adalah 6,5-9,0, pH air yang tidak optimal
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan
dan
perkembangbiakan
ikan,
menyebabkan tidak efektifnya pemupukan air di kolam dan meningkatkan daya racun hasil metabolisme seperti NH3 dan H2S. Pengaruh pH terhadap kehidupan ikan budidaya dapat dilihat pada Tabel 2 (Kordi & Tancung 2007). Tabel 2. Hubungan pH air dan kehidupan ikan (Kordi & Tancung 2007) pH air < 4,5
Pengaruh terhadap ikan budidaya Air bersifat racun bagi ikan
5,0-6,5
Pertumbuhan ikan terhambat dan ikan sangat sensitif terhadap bakteri dan parasit
6,5-9,0
Ikan mengalami pertumbuhan optimal
>9
Pertumbuhan ikan terhambat
xxix
xxx 16 2.4.4. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, terutama dibutuhkan untuk proses respirasi bagi organisme akuatik (Effendi 2003). Menurut Irianto (2005), oksigen diperlukan ikan untuk katabolisme yang menghasilkan energi bagi aktivitas seperti berenang, reproduksi, dan pertumbuhan. Dengan demikian, konversi pakan dan laju pertumbuhan sangat ditentukan oleh ketersediaan oksigen disamping terpenuhinya faktor-faktor lainnya. Jumlah oksigen yang dikonsumsi ikan sangat tergantung pada laju metabolisme, suhu lingkungan, jumlah volume air, dan padat penebaran. Pada kondisi pemberian pakan normal, ikan membutuhkan oksigen yang lebih banyak dibandingkan saat ikan dipuasakan. Kandungan oksigen juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air (Effendi 2003). Menurut Kordi & Tancung (2007), kandungan oksigen terlarut berubah-ubah dalam siklus harian. Pada waktu fajar, kandungan oksigen terlarut rendah dan semakin tinggi pada siang hari yang disebabkan oleh fotosintesis, sampai mencapai titik maksimal lewat tengah hari. Pada malam hari saat tidak terjadi fotosintesis, pernapasan organisme di dalam tambak atau kolam memerlukan oksigen, sehingga menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut. Jumlah oksigen yang diperlukan bakteri dalam penguraian bahan organik di dalam lumpur tergantung dari konsentrasi dan banyaknya bahan organik yang terdapat pada dasar tambak atau kolam. Rendahnya kadar oksigen terlarut dapat berpengaruh terhadap fungsi biologis dan lambatnya pertumbuhan, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Di tambak dan di kolam, oksigen juga berfungsi sebagai pengoksidasi bahan organik yang ada di dasar. Begitu pula dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan organik yang banyak mengkonsumsi oksigen selama penguraian berlangsung. Apabila bahan buangan organik mengandung nitrogen maka hasil penguraiannya akan menghasilkan amonia. Kadar oksigen yang rendah tidak cukup untuk merombak amonia tersebut, sehingga dalam kondisi anaerob amonia bersifat toksik bagi ikan. Pengaruh kadar oksigen terlarut terhadap kelangsungan hidup ikan dapat dilihat pada Tabel 3 (Effendi 2003).
xxx
17 xxxi Tabel 3. Pengaruh kadar oksigen terlarut terhadap kelangsungan hidup ikan (Effendi 2003) Kadar oksigen Pengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan terlarut (mg/l) < 0,3
Hanya sedikit jenis ikan yang dapat bertahan pada masa pemaparan singkat (short exposure)
0,3-1,0
Pemaparan lama (prolonged exposure) dapat mengakibatkan kematian ikan.
1,0-5,0
Ikan dapat bertahan hidup akan tetapi pertumbuhannya terganggu.
> 5.0
Hampir semua organisme akuatik menyukai kondisi ini.
Menurut Irianto (2005), kekurangan oksigen dapat menyebabkan mortalitas ikan. Pada dasarnya konsentrasi oksigen terlarut 5 mg/l merupakan kandungan oksigen yang dianjurkan untuk kesehatan ikan yang optimum. Sensitivitas terhadap kadar oksigen terlarut yang rendah sangat spesifik untuk tiap jenis ikan. Pada umumnya, apabila kandungan oksigen terlarut turun menjadi 3-4 mg/l, ikan akan mengalami stres. Secara umum kematian ikan akibat kekurangan oksigen terlarut dalam air dapat dikenali dari beberapa hal, antara lain ikan mati pada waktu hampir bersamaan (umumnya pada malam hari atau menjelang fajar), ikan yang berukuran besar lebih terpengaruh dibandingkan yang kecil, ikan yang sekarat tampak di permukaan mencoba mencari oksigen dari udara, ikan yang mati menunjukkan punggung melengkung dan mulut terbuka.
2.4.5. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) Menurut Barus (2001), BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi senyawa organik, yang diukur pada suhu 200C (termasuk proses respirasi pada keadaan aerob) selama lima hari, dalam keadaan tanpa cahaya. BOD hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Bahan organik merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik dan industri. Pengukuran nilai BOD didasarkan pada lima hari inkubasi bertujuan untuk meminimumkan pengaruh oksidasi amonia yang juga menggunakan
xxxi
18 xxxii oksigen. Proses oksidasi amonia (nitrifikasi) berlangsung pada hari ke-8-10. Selama lima hari masa inkubasi, diperkirakan 70%-80% bahan organik telah mengalami oksidasi (Effendi 2003). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengukuran BOD adalah jumlah senyawa organik yang akan diuraikan, sejumlah oksigen yang dibutuhkan, dan tersedianya berbagai jenis mikroba aerob. Ketersediaan nutrien (nitrogen, fosfor, dan unsur renik atau trace) sangat diperlukan bagi pertumbuhan mikroba tersebut. Keberadaan bahan-bahan toksik akan mengganggu kemampuan mikroba dalam mengoksidasi bahan organik. Uji BOD pada kenyataannya hanya mengukur perubahan konsentrasi oksigen terlarut yang disebabkan oleh mikroorganisme sebagai akibat penguraian bahan organik, semakin banyak bahan organik yang diuraikan maka semakin besar pula oksigen yang digunakan (Davis & Cornwell 1991). BOD5 dalam suatu perairan dapat digunakan sebagai petunjuk terjadinya pencemaran. Lee et al. (1978), mengklasifikasikan besarnya tingkat pencemaran perairan untuk kehidupan organisme akuatik berdasarkan BOD5 (Tabel 4). Tabel 4. Kriteria kualitas air berdasarkan BOD5 (Lee et al. 1978) BOD5 (mg/l)
Kualitas air
<3
Tidak tercemar
3.0-4.9
Tercemar ringan
5.0-15
Tercemar sedang
< 15
Tercemar berat
xxxii
xxxiii 3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada tanggal 26 Mei-6 Agustus 2009 bertempat di Instalasi Riset Lingkungan Perikanan Budidaya dan Toksikologi, Cibalagung, Bogor. Skematik sederhana kolam penelitian yang digunakan dapat dilihat di Lampiran 1.
3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan selama penelitian di lapangan meliputi saringan, ember berukuran 20 liter, thermometer, secchi disk, timbangan digital (ACIS Multipurpose digital scales model BC 500 g x 0,1 g), penggaris, pH-meter (Lovibond Senso Direct pH 110), DO-meter (Lovibond Senso Direct Oxi 200). Sedangkan, alat yang digunakan di laboratorium meliputi Spectroquant pharo 300, HACH DR/200 Direct Reading Spectrophotometer, buret, pipet volumetrik, gelas piala, erlenmeyer, botol BOD, inkubator 20 oC. Bahan-bahan yang digunakan selama penelitian meliputi benih ikan mas, larutan fenol, Na-nitroprusid 0,5%, larutan pengoksidasi (100 ml larutan alkalin dan 25 ml Na-hipoklorit, kertas saring 0,45 µm, larutan sulfanilamide, NED dihidrochlorid, larutan MnSO4, larutan alkali iodide azida, larutan H2SO4, larutan NaS2O3, indikator amilum, serbuk cadmium.
3.3. Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan dengan memanfaatkan dua kolam, kolam satu (Gambar 4) tanpa sistem akuaponik (konvensional) berukuran 10x25 m2 dengan volume 150 m3 dan pergantian air 100% setiap harinya. Kolam dua (Gambar 5) dengan teknologi akuaponik, yaitu rancangan kolam berukuran 10x25 m2, kolam dibagi menjadi 4 bagian meliputi 3/4 bagian digunakan sebagai kolam ikan (volume air 150 m3) dan 1/4 bagian digunakan sebagai kolam penyerapan dimana kolam penyerapan dibagi menjadi 3/4 bagian untuk bak filter 1, ¼ bagian bak pengendapan, sementara xxxiii
xxxiv 20 pematang dijadikan sebagai filter 2. Filter 2 dirancang sebagai tempat filter yang sekaligus menjadi substrat bagi kangkung, substrat yang digunakan adalah batu apung. Pada filter 1 terdapat jaring sebagai tempat menempelnya bakteri nitrifikasi dan untuk mempercepat berlangsungnya nitrifikasi ditambahkan aerasi. Pada awal penelitian (26 Mei 2009), air yang dimasukkan pertama kali ke kolam konvensional dan kolam akuaponik diadaptasikan terlebih dahulu selama dua minggu dan diukur suhu, pH, dan oksigen terlarutnya. Hal ini dimaksudkan agar terjadi penyesuaian biota akuatik dengan lingkungan air kolam, terutama pada kolam akuaponik agar air dalam sistem resirkulasi stabil yang bertujuan untuk menumbuhkan bakteri nitrifikasi. Pada Air yang telah stabil diuji kualitasnya untuk menyesuaikan dengan kualitas air yang dibutuhkan untuk pembesaran ikan mas seperti suhu, pH, oksigen terlarut, BOD5, amonia, nitrit, dan nitrat. Pada kolam konvensional, air mengalir dari inlet dan keluar dari outlet, debit air diatur sedemikian rupa hingga pergantian air 100% selama 24 jam (Lampiran 5). Sisa pakan dan sisa metabolisme ikan terakumulasi di dasar kolam, sehingga terjadi dekomposisi bahan organik tanpa proses nitrifikasi yang optimal menyebabkan kadar amonia di kolam meningkat. Debit air diukur dengan cara menampung air yang masuk ke kolam konvensional dari inlet dengan ember berukuran 10 liter, tepat saat air ditampung dihitung waktu yang dibutuhkan sampai ember tersebut penuh. Debit air dapat dirumuskan sebagai berikut (Suyanto & Mujiman 2003):
Q = debit air (m3/detik)
t = waktu selama pengisian (detik)
V = volume penampang (liter)
Pada kolam akuaponik, dalam rangka menyeimbangkan kebutuhan kangkung akan air dan kemampuan dekomposer mengurai bahan organik serta kebutuhan oksigen oleh ikan, pengisian air dilakukan sekali saat awal penelitian, selanjutnya sistem resirkulasi secara terus-menerus (24 jam) sampai panen. Air yang dialirkan dari kolam ikan ke bak pengendapan kemudian mengalir ke bak filter 1 yang merupakan tempat terjadinya nitrifikasi. Selanjutnya, air dipompa ke filter 2 dan nitrifikasi terjadi kembali untuk mengoptimalkan hasil rombakan amonia dan nitrat yang dihasilkan langsung dimanfaatkan oleh kangkung. Air yang telah mengalami filterisasi tersebut dialirkan kembali ke dalam kolam ikan secara gravitasi dan untuk xxxiv
xxxv 21 mempertahankan ketinggian air kolam maka dilakukan penambahan air dari luar pada saat tertentu. Berdasarkan skematik sederhana kolam konvensional (Gambar 4) dan kolam akuaponik (Gambar 5), titik 1 merupakan contoh air di sumber, titik 2 merupakan contoh air di kolam ikan, titik 3 merupakan contoh air di filter 1 (F1), titik 4 merupakan contoh air di filter 2 (F2), dan titik 5 merupakan titik pengukuran kecerahan.
Kolam Konvensional
m
A (Kolam Pembesaran)
1 5 2
m
1 dan 2 Titik pengambilan contoh air untuk pengukuran amonia, nitrit, nitrat, suhu, pH,DO dan BOD5 5
Titik pengukuran kecerahan
Gambar 4. Skematik sederhana kolam konvensional dan titik-titik pengamatannya
Kolam Akuaponik Kangkung dan batu apung (F2/Filter 2)
m 4
o
F1
3
A 5
(Kolam Pembesaran)
m
(Filter 1)
m
m
o
2
B
m
Bak Pengendapan 1
1,2,3,4 Titik pengambilan contoh air untuk pengukuran amonia, nitrit, nitrat, suhu, pH, DO dan BOD5 5 Titik pengukuran kecerahan
Gambar 5. Skematik sederhana kolam akuaponik dan titik-titik pengamatannya
xxxv
xxxvi 22 Adanya penambahan tanaman pada sistem akuaponik maka dilakukan penyemaian kangkung di filter 2 dengan media tanam batu apung. Ikan mas yang digunakan dalam penelitian berasal dari tempat pembenihan di Waduk Cirata dengan rataan berat individu 18,3 gram dengan padat tebar 20 ekor/m3 pada pengamatan 10 Juni 2009. Pemberian pakan (pelet) dilakukan secara at satiation (sekenyangnya), yaitu sedikit demi sedikit sampai ikan kenyang dengan frekuensi pemberian pakan tiga kali dalam sehari pada pukul 08.00, 12.00, dan 16.00 WIB.
3.4. Pengamatan Parameter fisika-kimia air yang diamati adalah amonia, nitrit, nitrat, suhu, kecerahan, pH, oksigen terlarut, dan BOD5. Parameter tersebut diukur setiap dua minggu sekali, kecuali kecerahan dilakukan dua hari sekali dan BOD5 dilakukan sebulan sekali. Pengambilan contoh air dilakukan di sumber sebanyak satu titik pengamatan, di kolam konvensional sebanyak satu titik pengamatan dan satu titik kecerahan (Gambar.4), pengambilan contoh air di kolam akuaponik sebanyak tiga titik pengamatan (kolam pembesaran/A, filter 1/F1, dan filter 2/F2), serta satu titik kecerahan (Gambar 5). Pengukuran suhu, kecerahan, DO, dan pH dilakukan langsung di lapangan (insitu), sedangkan untuk analisis BOD5, amonia, nitrit, dan nitrat dilakukan di laboratorium. Pengukuran parameter kualitas air seperti tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Metode yang digunakan dalam pengukuran parameter fisika dan kimia air Parameter Fisika: Suhu Kecerahan Kimia : Amonia Nitrit Nitrat pH Oksigen terlarut BOD5
Satuan o
C m
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Alat/Metode
Sumber
Termometer/Pemuaian Secchi disk/Transparansi
SNI 06-6989.23-2005 Effendi 2003
Spektrofotometer/Phenate Spektrofotometer/Sulfanilamide Spektrofotometer/Cadmium reduction pH-meter/Elektrometri DO-meter/Iodometri DO-meter, inkubator 20 oC/Iodometri
SNI 06-6989.30-2005 SNI 06-6989.9-2004 Standard Methods 1985 SNI 06-6989.11-2004 SNI 06-6989.14-2004 Standard Methods 1985
xxxvi
xxxvii 23 Pengambilan contoh ikan dilakukan setiap dua minggu sekali sebanyak 100 ekor di masing-masing kolam. Pengambilan contoh ikan menggunakan jaring dan saringan dengan pengambilan secara acak. Pengambilan contoh dilakukan setelah ikan dipuasakan selama 20 jam. Ikan contoh ditimbang dengan menggunakan timbangan digital dan diukur panjangnya kemudian ikan dikembalikan ke kolam kembali. Setiap hari dilakukan pencatatan jumlah ikan yang mati bertujuan untuk mengetahui pengaruh kualitas air terhadap kelangsungan hidup ikan pada dua kolam yang berbeda.
3.5. Analisis Data 3.5.1. Kualitas air Analisis data percobaan dengan menggunakan uji beda nilai tengah (uji-t) dua kolam yang berbeda. Uji ini dilakukan untuk menguji perbedaan dua nilai tengah kolam yaitu perbedaan parameter fisika dan kimia air pada setiap waktu pengamatan antara kolam konvensional dan akuaponik. Dalam percobaan ini dua contoh dikatakan saling bebas yaitu kolam konvensional tidak tergantung dengan kolam akuaponik. Uji nilai tengah dilakukan dengan asumsi bahwa ragam kolam
adalah sama (homogen), yaitu =
= . Rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut (Mattjik & Sumertajaya 2000):
1⁄ 1⁄
1 1
2 Keterangan: t = Nilai tengah dengan selang kepercayaan 95%
= Rata-rata variabel 1 (kolam konvensional)
= Rata-rata variabel 2 (kolam akuaponik) = Diasumsikan 0 = Jumlah data variabel 1 = Jumlah data variabel 2
= Ragam variabel 1 xxxvii
24 xxxviii
= Ragam variabel 2 = Ragam gabungan dari ragam contoh 1 dengan ragam contoh 2 Dengan
mengasumsikan
ragamnya
sama
maka
dasar
pengambilan
keputusannya menggunakan hipotesis sebagai berikut: ! !
Jika, t-hitung > t-tabel maka tolak Ho
! " !
t-hitung < t-tabel maka gagal tolak Ho
Keterangan: ! !
= Rata-rata parameter yang diuji pada kolam konvensional = Rata-rata parameter yang diuji pada kolam akuaponik
3.5.2. Ikan 3.5.2.1. Hubungan Panjang dan Berat Analisis data untuk ikan yaitu dengan melihat hubungan panjang dan berat ikan. Hubungan panjang dan berat ikan dapat menduga pola pertumbuhan ikannya (Effendie 1997). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : # $%&
transformasi ke dalam logaritma menjadi persamaan : log W = log a + b log L Y
%'( $
Keterangan : N = jumlah ikan W = berat ikan L = panjang ikan a dan b = konstanta
= a + bx
%'( # ∑ %'(% ∑ %'(% ∑ %'(% %'( # +
* ∑ %'( % ∑ %'(%
∑ %'( # * %'( $ ∑ %'( %
Hubungan panjang dan berat dapat dilihat dari nilai b : 1. Bila b=3, hubungan yang terbentuk adalah isometrik (pertumbuhan panjang sebanding dengan pertumbuhan berat). 2. Bila b≠3, hubungan yang terbentuk adalah allometrik, yaitu :
xxxviii
xxxix25 •
Bila b>3, dinamakan allometrik positif yang artinya pertambahan berat lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang
•
Bila b<3, dinamakan allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan berat
Untuk menentukan nilai b sama dengan tiga atau lebih besar dan lebih kecil dari tiga menggunakan uji-t yang akan membandingkan nilai t hitung dengan t tabel pada selang kepercayaan 95%. Keeratan hubungan antara panjang dengan berat dapat dilihat dari koefisien korelasi (r) dengan rumus : ,
∑ %'( % %'( #
∑ %'( % ∑ %'( #
Keterangan : r>0,7 = hubungannya sangat erat 0,5
3.5.2.2. Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan (SR) Survival Rate atau kelangsungan hidup ikan adalah perbandingan jumlah ikan yang hidup di awal dan akhir pembesaran. Rumus yang digunakan untuk menghitung SR adalah sebagai berikut (Effendie 1997): -
*
100% *
Keterangan : SR = Kelangsungan hidup ikan (%) Nt = Jumlah ikan yang hidup di akhir pembesaran (ekor) No = Jumlah ikan yang hidup di awal pembesaran (ekor)
xxxix
xl 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Nitrogen Anorganik 4.1.1. Amonia (N-NH3) Kadar amonia yang diperoleh dari air sumber berkisar 0,37-1,317 mg/l (Lampiran 2), sedangkan kadar amonia yang diperoleh di kolam konvensional berkisar 0,88–1,415 mg/l dengan kadar terendah pada awal pengamatan 9 Juni 2009 dan tertinggi pada waktu pengamatan 5 Agustus 2009 (Gambar 6). Menurut Boyd (1979), kadar amonia lebih dari 0,6 mg/l telah melebihi ambang batas untuk perikanan, sehingga tidak layak untuk kegiatan perikanan. Di kolam konvensional terjadi peningkatan konsentrasi amonia sampai akhir pengamatan, diduga karena meningkatnya bahan organik dan rendahnya konsentrasi oksigen terlarut di kolam, maka senyawa anorganik yang dihasilkan dari proses dekomposisi berupa amonia tidak langsung diurai menjadi nitrit maupun nitrat. Selain itu juga, mendapat masukan secara terus-menerus dari sumber yang telah mengandung amonia cukup tinggi. Menurut Boyd (1979), akumulasi kadar amonia secara terus-menerus dapat menghambat pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan, dapat dilihat dari jumlah ikan yang mati di kolam konvensional lebih banyak dibandingkan di kolam akuaponik. Ikan yang hidup di kolam konvensional sampai akhir pengamatan mencapai 1497 ekor. Menurut Taukhid et al. (2005), amonia bersifat racun biasanya disebabkan oleh pemberian pakan yang berlebihan/tingginya bahan organik, sementara populasi bakteri pengurai nitrogen yang ada tidak mencukupi. Daya racun amonia sangat dipengaruhi oleh pH dan suhu air, semakin tinggi suhu air dan pH maka semakin tinggi pula daya racun amonia. Meningkatnya konsentrasi amonia melebihi ambang batas perikanan menyebabkan lapisan epitel pada filamen insang tidak berfungsi melakukan difusi oksigen, sehingga haemoglobin dalam darah tidak cukup membawa oksigen ke seluruh tubuh. Hal ini mengakibatkan sistem metabolisme terganggu dan ikan terlihat lemas serta berkumpul di saluran pemasukan air untuk mencari oksigen.
xl
xli 27
amonia (mg/l)
Kadar amonia selama pengamatan 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
Akuaponik Konvensional Sumber 9/6
23/6 7/7 22/7 waktu pengamatan
Gambar 6. Kadar amonia di sumber, kolam pengamatan
5/8
konvensional dan akuaponik selama
Pada pembesaran ikan di kolam akuaponik, kadar amonia lebih rendah yaitu berkisar 0,019-0,211 mg/l dengan kadar terendah pada waktu pengamatan 7 Juli 2009 dan tertinggi pada akhir pengamatan 5 Agustus 2009 (Gambar 6). Kadar amonia kurang dari 0,6 mg/l menunjukkan layak untuk kegiatan perikanan. Rendahnya kadar amonia dapat diduga karena di kolam akuaponik tidak memperoleh masukan dari sumber terus-menerus, memperoleh masukan dari sumber hanya pada awal penelitian yang selanjutnya menerapkan sistem resirkulasi menjaga kualitas air agar tetap stabil, seperti oksigen terlarut, pH, dan suhu. Berdasarkan hasil uji-t (Lampiran 6), kadar amonia di kolam konvensional berbeda nyata dengan kadar amonia di kolam akuaponik, terlihat dari nilai thitung>t-tabel (α=0,05; n=5). Dari awal sampai akhir pengamatan, di kolam akuaponik diperoleh kadar amonia 91% lebih rendah dibandingkan kolam konvensional. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugroho & Sutrisno (2008) yang menjelaskan bahwa kandungan racun yang dihasikan dari usaha pemeliharaan ikan berupa amonia dapat direduksi hingga 90% dari kadar yang ada. Kondisi lingkungan di kolam akuaponik diduga dengan adanya sistem resirkulasi, sehingga kualitas air dapat dipertahankan dan memberi peluang untuk bakteri dapat tumbuh dan berkembang mengurai bahan-bahan organik dan anorganik yang berbahaya bagi kelangsungan hidup ikan. Kadar amonia di kolam akuaponik dari unit A-F1-F2 cenderung meningkat pada akhir pengamatan yaitu pada pengamatan 22 Juli dan 5 Agustus 2009. Pada
xli
28 xlii pengamatan 9 Juni-7 Juli 2009, kadar amonia di F1 lebih tinggi dibandingkan di kolam (A) dan F2 (Gambar 7).
Kadar amonia di kolam akuaponik dari A-F1-F2 pada tiap pengamatan amonia (mg/l)
0,5 0,4
9/6
0,3
23/6
0,2
7/7 22/7
0,1
5/8
0 A
F1
F2
unit pengelolaan
Gambar 7. Kadar amonia di kolam akuaponik dari unit A-F1-F2 pada tiap pengamatan
Pada pengamatan 9 Juni, 23 Juni, dan 7 Juli 2009, kadar amonia dari unit A ke F1 meningkat tetapi saat di F2 menurun. Di F1 diasumsikan sebagai hasil keluaran dari kolam A dan bak pengendapan, kadar amonia di F1 cenderung meningkat diduga karena bahan organik terlarut dari bak pengendapan terbawa ke F1 dan amonifikasi terurai sempurna, sehingga mengakibatkan kandungan amonianya cukup tinggi. Selanjutnya, kadar amonia di F2 menurun setelah melewati proses penguraian di F1. Hal ini diduga amonia di F1 mengalami proses nitrifikasi menjadi nitrit dan nitrat kemudian saat dipompa ke F2 kandungan amonianya menjadi cukup rendah. Namun pada dua pengamatan terakhir, kadar amonia cukup tinggi di F2. Hal ini diduga karena kandungan BOD5 di kolam A semakin meningkat, sehingga oksigen yang tersedia di F1 untuk mengurai amonia tidak memadai dan mengakibatkan hasil keluaran amonia di F2 cukup tinggi. Menurut Hopkins et al. (1994), perubahan kualitas air pada budidaya intensif dapat terjadi lebih cepat akibat pemberian pakan yang tinggi, akibatnya akumulasi bahan organik berupa sisa pakan dan feses ikan pada sistem budidaya meningkat pula. Karena sistem akuaponik menggunakan aliran air secara tertutup, maka semakin lama bahan organik dan anorganik cenderung terakumulasi pada sistem yang akan menyebabkan terjadinya pembentukan senyawa beracun bagi ikan berupa amonia, sehingga kadar amonia di F2 cukup tinggi.
xlii
29 xliii Mengingat kadar amonia di dekat outlet pada kolam A relatif rendah, maka diduga terjadi proses nitrifikasi lanjutan di F1 dan F2 yang menghasilkan bahan anorganik berupa nitrat yang selanjutnya dimanfaatkan oleh tanaman kangkung untuk pertumbuhannya, sehingga diperkirakan saat sampai kolam pembesaran (A) kandungan amonianya menjadi relatif rendah. Selain itu, rendahnya kadar amonia di kolam A dikarenakan oleh banyaknya fitoplankton yang dapat menyerap amonia (Lampiran 13). Menurut Effendi (2003), fitoplankton lebih banyak menyerap amonia dibandingkan nitrat. Untuk mengetahui keefektivitasan di kolam akuaponik sendiri, maka perlu dilakukan pengambilan contoh air pada titik pengamatan yang tepat. Pengambilan contoh air yang disarankan adalah titik tengah dan saluran outlet di kolam ikan (A), titik saluran outlet di bak pengendapan (B), titik saluran yang dipompa dari filter 1 ke filter 2, dan titik keluaran dari kran sebelum masuk ke kolam ikan.
4.1.2. Nitrit (N-NO2-) Kadar nitrit yang diperoleh dari sumber berkisar 0,038–0,052 mg/l dengan kadar terendah pada akhir pengamatan 5 Agustus 2009 dan tertinggi pada pengamatan 23 Juni 2009 (Lampiran 2). Kadar nitrit yang diperoleh di kolam konvensional berkisar 0,023–0,041 mg/l dengan kadar terendah pada akhir pengamatan 5 Agustus 2009 dan tertinggi pada pengamatan 9 Juni 2009 (Gambar 8). Menurut Effendi (2003), kisaran tersebut baik untuk kegiatan perikanan karena kurang dari 0,05 mg/l. Kandungan nitrit di kolam konvensional tidak jauh berbeda dengan sumber, hal ini diduga karena adanya masukan dari air sumber secara terusmenerus ke kolam konvensional. Selain itu, tingginya nitrit di kolam konvensional diduga Nitrobacter kurang efektif dalam mengoksidasi nitrit menjadi nitrat akibat faktor lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan atau aktivitasnya, maka terjadi akumulasi nitrit (Irianto 2005), kerja Nitrobacter terganggu dapat diduga dikarenakan oleh pakan yang tidak termakan oleh ikan. Kadar nitrit yang diperoleh di kolam akuaponik berkisar 0,001–0,004 mg/l dengan kadar terendah pada pengamatan 22 Juli 2009 dan tertinggi pada awal pengamatan 9 Juni 2009 (Gambar 8). Prinsip kerja di kolam akuponik dengan menerapkan sistem resirkulasi air diperoleh kadar nitrit yang cukup rendah. Kondisi xliii
30 xliv ini diduga karena keinginan makan ikan di kolam akuaponik cenderung lebih tinggi dibandingkan di kolam konvensional, sehingga pakan yang diberikan seluruhnya termakan oleh ikan. Hal ini dapat mendukung
pertumbuhan dan aktivitas
Nitrobacter dalam mengurai menjadi nitrat.
Kadar nitrit selama pengamatan
nitrit (mg/l)
0,06 0,05 0,04 0,03
Akuaponik
0,02
Konvensional
0,01
Sumber
0 9/6
23/6 7/7 22/7 waktu pengamatan
5/8
Gambar 8. Kadar nitrit di sumber, kolam konvensional dan akuaponik selama pengamatan
Berdasarkan hasil uji-t (Lampiran 6), kadar nitrit di kolam konvensional berbeda nyata dengan kadar nitrit di kolam akuaponik, terlihat dari nilai t-hitung>ttabel (α=0,05; n=5). Dari awal sampai akhir pengamatan, di kolam akuaponik diperoleh kadar nitrit 93,2% lebih rendah dibandingkan kolam konvensional. Hal ini diduga karena cukup tersedianya oksigen terlarut di kolam akuaponik yang dapat memicu proses nitrifikasi yang terjadi. Kadar nitrit yang terjadi di kolam akuaponik pada pengamatan 9 Juni 2009 dari unit A-F1-F2 cenderung lebih tinggi. Kondisi tersebut diduga amonia lebih banyak diubah menjadi nitrit dibandingkan nitrat, mengakibatkan nitrit menjadi tinggi. Menurut Stickney (1993), tingginya konsentrasi nitrit pada awal pengamatan disebabkan oleh sistem resirkulasi yang baru dijalankan tepat saat penebaran ikan uji, sehingga bakteri Nitrobacter belum berkembang pada biofilter sementara itu bakteri Nitrosomonas lebih cepat berkembang dibandingkan bakteri Nitrobacter. Jumlah pakan yang berlebih dapat juga menghambat bakteri Nitrobacter dalam mengoksidasi nitrit menjadi nitrat dan atau Nitrobacter tidak dapat bekerja optimal akibat faktor lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan atau aktivitasnya maka terjadi akumulasi nitrit (Irianto 2005). xliv
xlv31 Kadar nitrit di kolam akuaponik dari A-F1-F2 pada tiap pengamatan
nitrit (mg/l)
0,006 0,005 9/6
0,004
23/6
0,003
7/7
0,002
22/7
0,001
5/8
0 A
F1 unit pengelolaan
F2
Gambar 9. Kadar nitrit di kolam akuaponik dari A-F1-F2 pada tiap pengamatan
Perubahan kadar nitrit baik dari A-F1-F2 pada pengamatan 23 Juni, 7 Juli dan 5 Agustus cenderung sama, diduga sistem resirkulasi yang berlangsung di kolam akuaponik tidak berjalan optimal, sehingga proses nitrifikasi pada pengamatan tersebut tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor bakteri pengurai dan ketersediaan oksigen di F1 dan F2 yang kurang memadai.
4.1.3. Nitrat (N-NO3-) Kadar nitrat yang diperoleh dari air sumber berkisar 0,9–1,2 mg/l (Lampiran 2), sedangkan kadar nitrat yang diperoleh di kolam konvensional berkisar 0,6–1,1 mg/l dengan kadar terendah pada akhir pengamatan 5 Agustus 2009 dan tertinggi pada pengamatan 7 Juli 2009 (Gambar 10). Kadar nitrat di kolam konvensional cenderung lebih tinggi dibandingkan di kolam akuaponik. Kondisi ini diduga karena nitrat yang ada hanya dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya, padahal jumlah fitoplankton di kolam konvensional relatif sedikit (Lampiran 13), sehingga dapat disimpulkan bahwa nitrat yang terserap juga tidak banyak maka mengakibatkan kadar nitrat di kolam konvensional cenderung lebih tinggi. Kadar nitrat yang diperoleh pada kolam akuaponik berkisar 0,4–0,6 mg/l dengan konsentrasi nitrat terendah pada waktu pengamatan 7 Juli dan 5 Agustus 2009 dan tertinggi pada waktu pengamatan 23 Juni dan 22 Juli 2009 (Gambar 10). Rendahnya kadar nitrat di kolam akuaponik sebagai akibat penyerapan nitrat oleh kangkung di F2, terlihat dari pertumbuhan kangkung yang cepat. xlv
32 xlvi
nitrat (mg/l)
Kadar nitrat selama pengamatan 1,4 1,2 1 0,8 0,6
Akuaponik
0,4 0,2
Konvensional Sumber
0 9/6
23/6 7/7 waktu pengamatan
22/7
5/8
Gambar 10. Kadar nitrat di sumber, kolam konvensional dan akuaponik selama pengamatan
Berdasarkan hasil uji-t (Lampiran 6), kadar nitrat di kolam konvensional berbeda nyata dengan kadar nitrat di kolam akuaponik, terlihat dari nilai t-hitung>ttabel (α=0,05; n=5). Nitrat di kolam konvensional lebih tinggi dibandingkan di kolam akuaponik, diduga karena nitrat hanya dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan fitoplankton, sedangkan fitoplankton di kolam konvensional relatif sedikit (Lampiran 13). Berbeda halnya di kolam akuaponik, sebelum nitrat dialirkan ke kolam pembesaran, nitrat terlebih dahulu diserap oleh kangkung dan saat berada di kolam, nitrat dimanfaatkan oleh fitoplankton. Kadar nitrat yang diperoleh di kolam akuaponik sebesar 41,9% lebih rendah dibandingkan di kolam konvensional. Daya serap kangkung yang kurang maksimal disebabkan luasan pematang yang kurang memadai untuk menyaring limbah budidaya yang dihasilkan dari kolam berukuran 150 m3 dengan padat tebar 20 ekor/m3. Luas permukaan kangkung yang diharapkan untuk dapat menyaring limbah pembesaran yaitu berkisar 30-70%, namun dalam penelitian hanya digunakan 10% maka daya serap kangkung kurang maksimal. Kadar nitrat di kolam akuaponik dari A-F1-F2 menurun pada pengamatan 12 Juni-10 Juli 2009, kadar nitrat di F2 lebih rendah dibanding di kolam (A) sedangkan pada pengamatan 22 Juli-5 Agustus 2009, kadar nitrat paling tinggi di F2 (Gambar 11). Kadar nitrat yang terjadi dari unit A-F1-F2 cenderung menurun pada pengamatan 9 Juni-7 Juli 2009 diduga proses penguraian amonia menjadi nitrat di F1 tidak berjalan diduga karena terjadinya akumulasi nitrit yang disebabkan oleh pertumbuhan dan aktivitas Nitrobacter terganggu, sehingga nitrat tidak mengalami penguraian secara sempurna. Pada dua pengamatan terakhir, kadar nitrat di F2 xlvi
33 xlvii cenderung meningkat diduga karena sistem resirkulasi di F1 sudah berjalan dengan baik maka pertumbuhan dan aktivitas antara Nitrosomonas dan Nitrobacter seimbang, sehingga amonia yang diurai menjadi nitrit selanjutnya diubah menjadi nitrat oleh bantuan Nitrobacter.
nitrat (mg/l)
Kadar nitrat di kolam akuaponik dari A-F1-F2 pada tiap pengamatan 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
9/6 23/6 7/7 22/7 5/8
A
F1 unit pengelolaan
F2
Gambar 11. Kadar nitrat di kolam akuaponik dari A-F1-F2 pada tiap pengamatan
4.2. Parameter Kualitas Air Terkait 4.2.1. Suhu Berdasarkan hasil pengukuran secara insitu, suhu di kolam konvensional relatif lebih rendah dibandingkan kolam akuaponik berkisar 26,3–30,7 oC dengan suhu terendah diperoleh pada pengamatan 7 Juli 2009 dan suhu tertinggi diperoleh pada pengamatan 22 Juli 2009 (Gambar 12). Kondisi ini diduga karena partikel terlarut (senyawa anorganik) dan kepadatan plankton di kolam konvensional cukup rendah (Lampiran 13), sehingga mempengaruhi daya serap cahaya matahari. Semakin rendah partikel terlarut dan kepadatan plankton di kolam maka suhu air semakin rendah karena berpengaruh terhadap proses fotosintesis yang terjadi (Boyd 1979). Sebaliknya, partikel terlarut dan kepadatan plankton yang tinggi di kolam akuaponik menyebabkan suhu air cenderung lebih tinggi berkisar 27.9-32,4 oC. Selain itu, proses dekomposisi dan nitrifikasi yang berjalan membutuhkan banyak energi, sehingga mengakibatkan suhu lingkungan meningkat.
xlvii
34 xlviii
suhu (ºC)
Kisaran suhu selama pengamatan 35 30 25 20 15 10 5 0
Akuaponik Konvensional
26/5
9/6
23/6
7/7
22/7
5/8
waktu pengamatan
Gambar 12. Kisaran suhu di kolam konvensional dan akuaponik selama pengamatan
Berdasarkan hasil uji-t (Lampiran 6), suhu di kolam konvensional tidak berbeda nyata dengan suhu di kolam, terlihat dari nilai t-hitung
4.2.2. Kecerahan Hasil pengukuran,
kecerahan di kolam konvensional lebih tinggi
dibandingkan kolam akuaponik. Nilai kecerahan kolam konvensional dari awal sampai akhir pembesaran tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kepadatan fitoplankton (Lampiran 13), sehingga sedikit pakan alami tersedia untuk ikan mas. Kecerahan di kolam konvensional berkisar 30–65 cm dengan nilai terendah pada pengamatan 23 Juli 2009 dan tertinggi pada pengamatan 27 Juni-5 Juli 2009. Air di kolam konvensional tergolong jernih, sehingga menjadi indikasi bahwa lingkungan kolam tersebut miskin fitoplankton. Sedangkan, kecerahan di kolam akuaponik berkisar 18–80 cm dengan nilai terendah pengamatan 23 Juli 2009 dan tertinggi pada pengamatan 11 Juni 2009 (Gambar 13). Nilai kecerahan di kolam akuaponik pada awal pengamatan 11 Juni 2009 adalah tinggi disebabkan kepadatan plankton masih rendah. Kondisi ini diduga karena unsur hara (N dan P) berasal dari pakan belum banyak diberikan. Namun, selama periode xlviii
xlix 35 pembesaran kecerahannya semakin rendah. Keruhnya perairan diduga karena sisa pakan dan feses ikan, serta kelimpahan plankton akibat dari N dan P yang meningkat (Lampiran 13). Selain faktor internal, juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti keadaan cuaca dan ketelitian pengukuran. Kecerahan di kolam konvensional dan akuaponik sampai akhir pengamatan semakin rendah karena diduga terjadi akumulasi limbah budidaya yang berasal dari pakan yang tidak termakan oleh ikan dan feses ikan. Berdasarkan hasil uji-t (Lampiran 6), kecerahan di kolam konvensional berbeda nyata dengan kecerahan di kolam akuaponik, terlihat dari nilai t-hitung>ttabel (α=0,05; n=28). Kondisi ini diduga di kolam konvensional terjadi pergantian air 100% selama 24 jam, sehingga air yang digunakan selalu baru, resistensi air relatif cepat, dan limbah budidaya dibuang ke luar kolam yang mengakibatkan kolam miskin unsur hara dan menghambat pertumbuhan dan perkembangbiakan fitoplankton. Sebaliknya di kolam akuaponik, air mengalami resirkulasi dan dan memiliki residence time yang lebih lama, sehingga akumulasi sisa pakan dan feses ikan terdekomposisi menjadi unsur hara yang merupakan sumber utama bagi fitoplankton, mengakibatkan kepadatan fitoplankton di kolam akuaponik cenderung lebih tinggi (Lampiran 13) dan menyebabkan air kolam menjadi keruh dan berwarna lebih hijau dibandingkan kolam konvensional.
kecerahan (cm)
Kisaran kecerahan selama pengamatan 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Konvensional Akuaponik
waktu pengamatan
Gambar 13. Kisaran kecerahan di kolam konvensional dan akuaponik selama pengamatan
xlix
36 l 4.2.3. Derajat Keasaman (pH) Kisaran pH yang diperoleh di kolam konvensional adalah 6,49-6,68 dengan pH terendah pada pengamatan 26 Mei 2009 dan tertinggi pada pengamatan 7 Juli 2009 (Gambar 14). Sedangkan, kisaran pH yang diperoleh di kolam akuaponik adalah 6,48-7,97 dengan pH terendah pada pengamatan 5 Agustus 2009 dan tertinggi pada pengamatan 9 Juni 2009 (Gambar 14). Menurut Kordi & Tancung (2007), kisaran pH tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan yang optimal. Pola pertumbuhan ikan di kolam konvensional cenderung meningkat pada setiap pengamatan, kecuali pada pengamatan 24 Juni 2009 (Gambar 20). Hal ini diduga karena pada pengamatan 24 Juni 2009, ikan masih dalam proses penyesuaian terhadap pH air di kolam konvensional. Sebaliknya di kolam akuaponik, pola pertumbuhannya meningkat sampai pengamatan 7 Juli 2009 namun pada pengamatan 23 Juli dan 6 Agustus 2009 (Gambar 19), pertumbuhannya cenderung menurun. Hal ini diduga karena pH air di kolam akuaponik kurang stabil yang disebabkan oleh kurangnya batu apung di F2 yang dapat membantu kestabilan pH air karena penghasil ion Ca2+ (Rakocy et al. 2005).
Kisaran pH selama pengamatan 10
pH
8 6 4 Akuaponik Konvensional
2 0 26/5
9/6
23/6 7/7 waktu pengamatan
22/7
5/8
Gambar 14. Kisaran pH di kolam konvensional dan akuaponik selama pengamatan
Berdasarkan hasil uji-t (lampiran 6), nilai pH air di kolam konvensional tidak berbeda nyata dengan pH air di kolam akuaponik, terlihat dari nilai t-hitung
37 li 4.2.4. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Pada pengamatan 26 Mei 2009, air dari sumber dimasukkan pertama kali ke kolam konvensional dan kolam akuaponik untuk aklimatisasi selama dua minggu, kadar oksigen terlarut
di kedua kolam tidak terdapat perbedaan
yang
signifikan.Namun, di kolam akuaponik pada pengamatan 9 Juni 2009 terjadi peningkatan konsentrasi oksigen sebesar 5,51 mg/l. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya sistem resirkulasi yang telah berjalan selama dua minggu. Sedangkan, peningkatan konsentrasi oksigen terlarut di kolam konvensional tidak terlalu signifikan yaitu sebesar 3,29 mg/l. Kadar oksigen terlarut di kolam konvensional berkisar 1,73-3,29 mg/l dengan kadar terendah pada pengamatan 7 Juli 2009 dan tertinggi pada pengamatan 9 Juni 2009. Sedangkan, kadar oksigen terlarut di kolam akuaponik berkisar 2,38-5,51 mg/l dengan kadar terendah pada pengamatan 7 Juli 2009 dan tertinggi pada pengamatan 9 Juni 2009 (Gambar 15). Kadar oksigen terlarut baik di kolam konvensional maupun kolam akuaponik pada pengamatan 23 Juni cenderung menurun. Hal ini dapat diduga karena ikan ditebar pada pengamatan 10 Juni 2009, sehingga konsentrasi oksigen yang tersedia di kolam berkurang disebabkan oleh aktivitas ikan seperti respirasi, berenang, dan sebagainya. Kadar oksigen yang cukup rendah di kolam konvensional berakibat pada banyaknya ikan yang mati. Dalam hal ini, ikan saling berkompetisi dengan ikan yang lain untuk melakukan respirasi. Selain itu juga, ikan berkompetisi dengan bakteri aerob sehingga kondisi tersebut mengakibatkan konsentrasi oksigen terlarut di kolam menurun drastis. Berdasarkan hasil pengamatan jumlah kematian ikan maka dapat dilihat bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan di kolam konvensional sampai panen (6 Agustus 2009) sebesar 49,9%. Berbeda halnya dengan kadar oksigen terlarut di kolam akuaponik yang relatif lebih tinggi maka berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup ikannya sebesar 81,9% (Lampiran 4).
li
38 lii
Kisaran oksigen terlarut selama pengamatan oksigen terlarut (mg/l)
6 5 4 3 2
Akuaponik
1
Konvensional
0 26/5
9/6
23/6 7/7 waktu pengamatan
22/7
5/8
Gambar 15. Kadar oksigen terlarut di kolam konvensional dan akuaponik selama pengamatan
Berdasarkan hasil uji-t (Lampiran 6), kadar oksigen terlarut di kolam konvensional tidak berbeda nyata dengan kadar oksigen terlarut di kolam akuaponik
dengan nilai t-hitung
1-2 Juni 2009 di kolam konvensional berkisar 2,586-6,193 mg/l dan kolam akuaponik berkisar 4,755-6,776 mg/l. Pada pengamatan 7-8 Juli 2009, kadar oksigen terlarut yang diperoleh di kolam konvensional berkisar 2,05-3,783 mg/l dan di kolam akuaponik berkisar 3,366-12,293 mg/l. Pada pengamatan 3-4 Agustus 2009, kadar oksigen terlarut yang diperoleh di kolam konvensional berkisar 2,043-7,446 mg/l dan di kolam akuaponik berkisar 2,28-10,22 mg/l (Gambar 16).
lii
39 liii
Pengamatan oksigen terlarut selama 24 jam pada 1-2 Juni 2009 oksigen terlarut (mg/l)
8 7 6 5 4 3 2 1 0
Akuaponik Konvensional
waktu pengamatan
Pengamatan oksigen terlarut selama 24 jam pada 7-8 Juli 2009 oksigen terlarut (mg/l)
14 12 10 8 6 4
Akuaponik
2
Konvensional
0
waktu pengamatan
oksigen terlarut (mg/l)
Pengamatan oksigen terlarut selama 24 jam pada 3-4 Agustus 2009 12 10 8 6 4
Akuaponik
2
Konvensional
0
waktu pengamatan
Gambar 16. Pengamatan 24 jam oksigen terlarut dengan interval waktu 4 jam di kolam konvensional dan kolam akuaponik setiap sebulan sekali
Menurut Kordi & Tancung (2007), konsentrasi oksigen terlarut di kolam dan tambak berubah-ubah dalam siklus harian. Pada waktu fajar, konsentrasi oksigen terlarut rendah dan semakin tinggi pada siang hari yang disebabkan oleh fotosintesis, sampai mencapai titik maksimal lewat tengah hari. Pada malam hari saat tidak liii
40 liv terjadi
fotosintesis,
pernapasan
organisme
memerlukan
oksigen,
sehingga
menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut. Apabila kondisi tersebut dikaitkan dengan pengamatan 24 jam oksigen terlarut di kolam konvensional dan kolam akuaponik (Gambar 16), maka terdapat kesamaan pada beberapa waktu pengamatan. Di kolam konvensional terjadi pada pengamatan 3-4 Agustus 2009, sedangkan di kolam akuaponik terjadi pada pengamatan 7-8 Juli dan 3-4 Agustus 2009. Pada waktu fajar yaitu pukul 05.00 merupakan titik kritis bagi ikan karena pada waktu tersebut kadar oksigen terlarut sangat rendah, sehingga sangat berpengaruh terhadap banyaknya ikan yang mati dalam kondisi mulut terbuka karena kekurangan oksigen. Kadar oksigen terlarut semakin tinggi pada siang hari yaitu pukul 13.00 sampai mencapai titik maksimal lewat tengah hari yaitu pukul 17.00 dan cenderung mengalami penurunan pada malam hari saat tidak terjadi fotosintesis yang disebabkan oleh pernapasan organisme di dalam kolam. Pengamatan 1-2 Juni 2009, kadar oksigen terlarut di kolam konvensional dan kolam akuaponik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada tiap waktu pengamatan. Kondisi ini diduga karena di kedua kolam belum terdapat ikan maka di dalam kolam aktivitas organisme hanya berasal dari mikroorganisme dan hewanhewan bentik saja, sehingga belum terlihat perbedaan yang nyata pada siklus hariannya. Sedangkan, pada pengamatan 7-8 Juli 2009, perbedaan kadar oksigen pada siklus harian di kolam akuaponik sudah mulai terlihat nyata dengan titik maksimal pada pukul 17.00. Hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya fitoplankton, sehingga memicu proses fotosintesis yang berlangsung maka konsentrasi oksigen terlarut pada pukul 13.00 dan 17.00 meningkat drastis. Siklus harian oksigen terlarut di kolam konvensional belum terlihat perbedaan yang nyata pada tiap waktu pengamatannya, diduga karena jumlah fitoplankton yang cukup rendah sehingga proses fotosintesis tidak berlangsung optimal. Namun pada pengamatan 3-4 Agustus 2009, siklus harian baik di kolam konvensional maupun di kolam akuaponik sudah terlihat perbedaan yang nyata. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh semakin meningkatnya aktivitas ikan, jumlah pakan yang diberikan dan organisme lain yang berkontribusi dalam pemanfaatan serta ketersediaan oksigen di kolam. Kadar oksigen terlarut yang terjadi di kolam akuaponik dari unit A-F1-F2 cenderung menurun pada tiap pengamatan, F2 lebih rendah dibandingkan di unit A
liv
lv 41 dan F1 (Gambar 17). Proses penguraian yang terjadi di F1 diduga menyebabkan oksigen yang tersedia di F1 berkurang, sehingga saat dialirkan ke F2 menjadi sangat rendah dengan F2 diasumsikan sebagai hasil keluaran F1. Kandungan oksigen terlarut di unit A cenderung lebih tinggi dibandingkan di F1 dan F2 diduga karena adanya suplai dari fitoplankton dan juga penambahan dari air yang keluar secara gravitasi (difusi udara) dari unit F2 ke A.
Kadar oksigen terlarut di kolam akuaponik dari A-F1F2 pada tiap pengamatan oksigen terlarut (mg/l)
6 5 4
9/6
3
23/6 7/7
2
22/7
1
5/8 0 A
F1 unit pengaelolaan
F2
Gambar 17. Kadar oksigen terlarut di kolam akuaponik dari A-F1-F2 pada tiap pengamatan
4.2.5. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) Nilai BOD5 di kolam konvensional berbeda nyata dengan kolam akuaponik, nilai BOD5 di kolam konvensional berkisar 0,64-5,21 mg/l dengan nilai terendah pada pengamatan 9 Juni 2009 dan tertinggi pada pengamatan 7 Juli 2009. Sedangkan, BOD5 di kolam akuaponik berkisar 0,42-1,22 mg/l dengan nilai terendah pada pengamatan 9 Juni 2009 dan nilai tertinggi pada pengamatan 5 Agustus 2009 (Gambar 18). Pada bulan pertama (9 Juni 2009), BOD5 di kedua kolam tidak jauh berbeda namun pada bulan kedua (7 Juli 2009) BOD5 di kolam konvensional meningkat drastis dibandingkan pada kolam akuaponik. Kondisi tersebut disebabkan limbah pembesaran seperti sisa-sisa metabolisme dan pakan yang tidak efektif termakan ikan menumpuk di kolam. Hal ini berakibat pada peningkatan laju dekomposisi bahan organik di kolam, sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba untuk mendegradasi bahan organik meningkat pula maka nilai BOD5
lv
lvi42 yang dihasilkan sebesar 5,21 mg/l. Nilai BOD5 yang melebihi dari 5 mg/l menunjukkan bahwa air di kolam konvensional tercemar sedang (Lee et al. 1978).
Nilai BOD5 selama pengamatan 6 BOD5 (mg/l)
5 4 3 2
Akuaponik Konvensional
1 0 1
2 waktu pengamatan (bulan)
3
Gambar 18. Nilai BOD5 di kolam konvensional dan akuaponik selama pengamatan
Nilai BOD5 di kolam akuaponik cenderung lebih rendah diduga karena proses dekomposisi tidak seluruhnya terjadi di kolam ikan tetapi dengan adanya sistem resirkulasi, bahan-bahan organik yang dihasilkan dari proses metabolisme dan pakan yang tidak termakan oleh ikan sebagian diendapkan terlebih dahulu di bak pengendapan. Selanjutnya, sebagian lagi mengalami filtrasi di filter 1 dan 2. Saat melalui proses pengendapan dan filtrasi tersebut, bahan organik didekomposisi oleh bakteri menjadi senyawa anorganik maka saat masuk ke kolam ikan kembali bahan organik menjadi lebih rendah, sehingga nilai BOD5 yang diukur di kolam akuaponik rendah pula. BOD5 di kolam akuaponik kurang dari 3 mg/l menunjukkan bahwa air di kolam akuaponik tidak tercemar (Lee et al. 1978). Nilai BOD5 di kolam akuaponik dari unit A-F1-F2 cenderung menurun pada tiap pengamatan (Gambar 19). Pada pengamatan 7 Juli dan 5 Agustus 2009, kadar BOD5 di F1 cenderung meningkat diduga karena mendapat pengaruh dari tingginya bahan organik yang berasal dari limbah kolam ikan dan bak pengendapan, sehingga laju dekomposisi di F1 cukup tinggi.
lvi
43 lvii
BOD5 (mg/l)
Kadar BOD5 di kolam akuaponik dari A-F1-F2 pada tiap pengamatan 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
9/6 7/7 5/8 A
F1 unit pengelolaan
F2
Gambar 19. Kadar BOD5 di kolam akuaponik dari A-F1-F2 pada tiap pengamatan
Kadar BOD5 dari unit F1-F2 cenderung menurun diduga bahan organik di F2 sudah relatif karena bahan organik yang ada telah didekomposisi di F1, sehingga hasil keluarannya di F2 hanya membutuhkan oksigen yang relatif sedikit untuk mendegradasi kembali bahan organik yang belum terurai. Proses biokimiawi dalam mendegradasi bahan organik di F2 dapat dilihat dari nilai BOD5 di kolam ikan menjadi cenderung lebih rendah dan menunjukkan air di kolam akuaponik tidak tercemar karena nilai BOD5<3 (Lee et al. 1978).
4.3. Ukuran Ikan Produksi Berdasarkan data hasil panen pada tanggal 6 Agustus 2009 diperoleh ukuran ikan produksi di kolam akuaponik cenderung lebih besar dibandingkan ukuran ikan produksi di kolam konvensional. Ikan yang diproduksi di kolam akuaponik memiliki berat rata-rata sebesar 62,4 gram dengan nilai SR sebanyak 81,9%, sedangkan ikan yang diproduksi di kolam konvensional memiliki berat rata-rata sebesar 53,6 gram dengan nilai SR sebanyak 49,9% (Gambar 20). Hal ini dapat disimpulkan bahwa ikan yang diproduksi di kolam akuaponik 1,25 kali lebih besar dibandingkan ikan yang diproduksi di kolam konvensional.
lvii
lviii 44 Ukuran Ikan Produksi berat (gram)
80 60 40
Konvensional Akuaponik
20 0 Wo
Wt
Gambar 20. Ukuran ikan produksi pada awal dan akhir pengamatan
Untuk menduga pertumbuhan ikan, dilakukan pengamatan hubungan panjang dan berat ikan karena pengukuran panjang dan berat ikan dapat memberikan informasi mortalitas, pertumbuhan, dan produksi ikan. Hubungan panjang-berat ikan mas selama penelitian menunjukkan hubungan yang sangat erat antara panjang dan beratnya (r>0,7), dapat dilihat dari awal sampai akhir pengamatan di kolam konvensional berturut-turut adalah 0,921; 0,756; 0,725; 0,691; 0,711 dan di kolam akuaponik berturut-turut adalah 0,921; 0,748; 0,804; 0,795; 0,803 (Lampiran 12). Analisis uji-t untuk b>3 pada taraf nyata 0,05 (Gambar 21), menunjukkan bahwa pola pertumbuhan ikan mas yang diamati bersifat allometrik positif yaitu pertambahan berat lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang, dapat dilihat dari awal sampai akhir pengamatan di kolam konvensional berturut-turut adalah 5,829; 3,262; 5,3; 6,383; 6,951 gram dan di kolam akuaponik berturut-turut adalah 5,829; 6,313, 8,119; 7,815; 6,962 gram.
Pola pertumbuhan ikan di kolam konvensional dan akuaponik selama pengamatan 10 b (gram)
8 6 4
Konvensional Akuaponik
2 0 10/6
24/6
8/7
23/7
6/8
waktu pengamatan
Gambar 21. Pola pertumbuhan ikan di kolam konvensional dan akuaponik selama pengamatan
lviii
lix45 Berdasarkan koefisien korelasi (r), maka panjang dan berat ikan mas baik di kolam konvensional dan akuaponik memiliki korelasi positif, artinya kenaikan panjang akan meningkatkan berat ikan seperti terlihat pada pengambilan contoh 1 (24 Juni 2009) di kolam konvensional, setiap kenaikan panjang sebesar satu satuan akan meningkatkan berat sebesar 3,262 gram. Pertumbuhan ikan terhambat pada pengambilan contoh 1 diduga karena benih ikan mas yang diambil dari waduk Cirata memiliki kondisi lingkungan air yang berbeda dengan kolam konvensional.
4.3.1. Kolam Konvensional Pada pengambilan contoh 1 (24 Juni 2009), pertumbuhan ikan mas terganggu dan banyak kematian ikan yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas sp, yang terlihat dari badan ikan terdapat bercak-bercak merah (Ayuningtyas 2008) dan ketidaksesuaian terhadap kualitas air yang berbeda dari waduk Cirata. Bakteri Aeromonas sp akan cepat tumbuh dan berkembangbiak pada air yang mengandung kadar amonia dan nitrit tinggi, gangguan pH dari kondisi normal, dan kelarutan oksigen yang rendah. Jumlah ikan yang hidup sampai pengambilan contoh 1 sebanyak 2380 ekor dengan berat rata-rata ikan mencapai 31,8 gram (Lampiran 4). Pada pengambilan contoh 2 (8 Juli 2009), di kolam konvensional terdapat peningkatan pertumbuhan ikan mas. Hal ini diduga karena kemampuan ikan mas dalam menyesuaikan terhadap lingkungan air kolam sehingga pertumbuhan ikan meningkat secara bertahap dan kematian ikan berkurang apabila dibandingkan pada pengambilan contoh 1. Jumlah ikan yang hidup sampai sampling 2 sebanyak 2151 ekor dengan berat rata-rata ikan mencapai 40,6 gram (Lampiran 4). Pada pengambilan contoh 3 (23 Juli 2009), pertumbuhan ikan mas meningkat namun keinginan makan ikan cenderung berkurang. Kondisi ini diduga tubuh ikan yang semakin besar, dimana semakin besar ikan maka prosentase kebutuhan pakannya terhadap berat tubuh ikan semakin menurun. Jumlah ikan yang hidup sampai pengambilan contoh 3 sebanyak 1542 ekor dengan berat rata-rata ikan mencapai 45,8 gram (Lampiran 4). Disamping itu, juga dipengaruhi oleh kadar amonia di kolam yang semakin meningkat akibat dari kotoran dan sisa pakan yang terakumulasi di dasar kolam. Pada pengambilan contoh 4/panen (6 Agustus 2009), pertumbuhan ikan mas meningkat karena sebelum pengambilan contoh 4 ikan yang lix
46 20 mati adalah ikan yang berukuran relatif kecil sehingga semakin lama daya tahan tubuh ikan mas yang berukuran besar tidak rentan terhadap penyakit maupun perubahan kualitas air. Jumlah ikan yang hidup sampai waktu panen sebanyak 1497 ekor dengan berat rata-rata ikan mencapai 53,6 gram (Lampiran 4). Penurunan pola pertumbuhan yang ditunjukkan oleh nilai b pada pengambilan contoh 1 dibandingkan saat awal penebaran dapat diduga karena kadar amonia yang melebihi ambang batas dan gas terlarut lainnya yang dapat mengganggu keseimbangan kolam seperti rendahnya oksigen terlarut di kolam konvensional sebesar 1,2 mg/l. menyebabkan pertumbuhan ikan terganggu dan dengan tingginya konsentrasi amonia sebesar 0,88 mg/l dapat menyebabkan banyak ikan yang mati. Namun, pada pengambilan contoh 2 sampai panen terjadi peningkatan pertumbuhan, diduga ikan sudah mampu beradaptasidengan lingkungan air yang buruk, sehingga pertumbuhan secara bertahap meningkat dan berkurangnya prosentase ikan yang mati. Hasil pengamatan tingkat kelangsungan hidup ikan diperoleh nilai SR di kolam konvensional sebesar 49,9% (Lampiran 4). Menurunnya kualitas air berakibat pada ketahanan tubuh ikan saat terserang penyakit, kecepatan renang ikan lambat, kurangnya nafsu makan, adanya bercak merah di kulit dan bagian perut, kulit kering, kesat, melepuh dan pucat. Menurut Kabata (1985) in Ayuningtyas (2008), gejala tersebut merupakan gejala ikan yang telah terserang bakteri Aeromonas sp.
4.3.3. Kolam Akuaponik Pada pengambilan contoh 1 (24 Juni 2009), pertumbuhan ikan mas meningkat yang disebabkan oleh kandungan gas-gas terlarut yang mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan seperti tingginya oksigen terlarut yang melebihi 5 mg/l dan kadar amonia sebesar 0,02 mg/l sehingga masih dapat ditolerir oleh ikan. Jumlah ikan yang hidup sampai pengambilan contoh 1 sebanyak 2915 ekor dengan berat rata-rata ikan mencapai 32,8 gram (Lampiran 4). Pada pengambilan contoh 2 (8 Juli 2009), pertumbuhan ikan mas di kolam konvensional semakin meningkat, diduga pakan alami dan pelet cukup tersedia bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan, serta didukung oleh kualitas air yang dapat dipertahankan dengan memanfaatkan sistem resirkulasi. Jumlah ikan yang 20
47 21 hidup sampai pengambilan contoh 2 sebanyak 2766 ekor dengan berat rata-rata ikan mencapai 45,6 gram (Lampiran 4). Pada pengambilan contoh 3 (23 Juli 2009), pertumbuhan ikan mas
mengalami penurunan dibandingkan pada pengambilan
contoh 2 namun penurunannya tidak terlalu signifikan. Hal ini dapat disebabkan pengaruh keinginan makan ikan yang semakin berkurang tiap harinya karena semakin besar tubuh ikan maka semakin menurun prosentase kebutuhan pakannya. Jumlah ikan yang hidup sampai pengambilan contoh 3 sebanyak 2516 ekor dengan berat rata-rata ikan mencapai 58,6 gram (Lampiran 4). Pada pengambilan contoh 4/panen (6 Agustus 2009), pertumbuhan ikan mas mengalami penurunan apabila dibandingkan pada sampling sebelumnya. Meskipun, pola pertumbuhannya terjadi penurunan tetapi hasil panen ikan mencapai 62,4 gram dengan jumlah ikan sebanyak 2458 ekor (Lampiran 4). Pola pertumbuhan ikan di kolam akuaponik meningkat sampai pengambilan contoh 2 sebesar 8,119 gram dan pada pengambilan contoh berikutnya mengalami penurunan mencapai 6,962 gram. Kondisi ini diduga berkurangnya keinginan makan ikan karena air kolam yang semakin keruh akibat melimpahnya fitoplankton yang menutupi permukaan. Oleh karena itu, dilakukan pengenceran untuk menghindari blooming. Selain itu, juga disebabkan oleh ukuran ikan yang bertambah besar, semakin besar tubuh ikan maka kebutuhan pakan semakin berkurang. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh tingkat kelangsungan hidup ikan (SR) di kolam akuaponik lebih tinggi dibandingkan kolam konvensional yaitu sebesar 81,9% (Lampiran 4). Sistem resirkulasi dapat mempertahankan kualitas air agar tetap membaik, terlihat dari ikan yang dihasilkan lebih segar dan memiliki kandungan protein yang lebih tinggi (Lampiran 3). Menurut Harston (1998), sistem resirkulasi dalam akuaponik mempunyai lima komponen dasar yang meliputi meliputi biota air di kolam budidaya terjaga, mengatur suhu, adanya penambahan oksigen terlarut, penyaringan kotoran atau partikel, biofilter dimana amonia yang dihasilkan oleh menurun dengan bantuan bakteri aerob yang mengubah amonia menjadi nitrit dan nitrat.
21
55 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Kolam pembesaran ikan mas dengan sistem akuaponik lebih baik dibandingkan dengan sistem konvensional, terlihat dari kadar amonia di kolam akuaponik yang 91% lebih rendah dibandingkan di kolam konvensional dengan kisaran 0,019-0,211 mg/l. Kondisi tersebut disebabkan oleh adanya sistem resirkulasi, sehingga memicu laju dekomposisi dan nitrifikasi. Tinggi/rendahnya kadar amonia dan kualitas air kolam sangat mempengaruhi ukuran ikan produksi dan tingkat kelangsungan hidup ikan. Ukuran rata-rata produksi ikan di kolam konvensional sebesar 53,6 gram dengan SR sebesar 49,9%. Sedangkan, Ukuran rata-rata produksi ikan di kolam akuaponik sebesar 62,4 gram dengan SR sebesar 81,9%. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran ikan produksi di kolam akuaponik 1,25 kali lebih besar dibandingkan di kolam konvensional, begitu pula dengan tingkat kelangsungan hidup ikannya. Selain kadar amonia, oksigen terlarut merupakan salah satu parameter yang penting dalam pembesaran ikan. Kadar oksigen terlarut di kolam akuaponik cenderung lebih baik, namun tidak berbeda nyata dengan kolam konvensional. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh sistem resirkulasi yang tidak berjalan optimal, sehingga perlu adanya perbaikan pada sistem resirkulasi tersebut.
5.2. Saran Pada penelitian selanjutnya, keefektivitasan tiap komponen di kolam akuaponik dapat dilihat dengan mengambil contoh air di titik pengamatan yang tepat adalah pada tengah dan saluran outlet di kolam ikan (A), saluran outlet di bak pengendapan (B), saluran yang dipompa dari filter 1 ke filter 2, serta keluaran dari kran sebelum masuk ke kolam ikan. Pengoptimalan penyerapan unsur hara disesuaikan pada kebutuhan nutrien dan luasan permukaan tanaman. Hal yang perlu dilakukan adalah adanya bak–bak pengelolaan setelah mengalami filterisasi untuk mengkondisikan kebutuhan nutrien tanaman dan luasan tanaman disarankan 30-70%. 55
56 DAFTAR PUSTAKA
Ahmad T, Sofiarsih L, and Rusmana. 2007. The growth of patin (Pangasius hypopthalmus) in a close system tank. Indonesian Aquaculture Journal. 2 (1): 67-73. [APHA]. American Public Health Association. 1985. Standard methods for the examination of water and wastewater sixteenth edition. American Public Health Association 1015 Fifteenth Street NW Washington, DC 20005. p. 269-531. Ayuningtyas AK. 2008. Efektivitas campuran meniran Phyllanthus niruri dan bawang putih Allium sativum untuk pengendalian infeksi bakteri Aeromonas hydrophyla pada ikan lele dumbo Clarias sp [skripsi]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. hlm 11. Barus TA. 2001. Pengantar limnologi. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 164 hlm. Buchari, Arka IW, Dharma KGP, Panca KS. 2001. Kimia lingkungan. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 239 hlm. Boyd CE. 1979. Water quality in warmwater fish ponds. Department of fisheries and allied aquaculture. Craftmaster printers inc. Opelika, Alabama. p. 3-74. Cheng W, Chen SM, Wang FI, Hsu PI, Liu CH & Chen JC. 2002. Effect of temperature, PH, salinity, and ammonia on the phagocytic and clearance efficiency of giant freshwater prawn, Macrobrachium rosenbergii to Lactococcus garvieae. Aquaculture. 219:111-121. Davis ML & Cornwell DA. 1991. Introduction environmental engineering, 2nd edition. Mc-Graw-Hill, Inc. New York. p. 267. Diver S. 2006. Aquaponic-Integration of hydroponic with aquaculture. National Centre for Appropriate Technology. Department of Agriculture’s Rural Bussiness Cooperative Service. p. 28. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Distribusi hara dalam kolam ikan yang dirancang untuk akuaponik skala komersial. Laporan Hasil Riset Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Tahun Anggaran 2008. Departemen Kelautan dan Perikanan. hlm 175-184.
56
50 57 Dugan PR. 1972. Biochemical ecology of water pollution. Plenum Press. New York. p. 10 Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 257 hlm. Effendi I. 2004. Pengantar akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta. hlm 134-146. Effendie MI. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. hlm 92-98. Harston M. 1998. Hydroponics hawaiian style. Aquaponics Journal. 4 (2): 8-9. Hopkins JS, Sandifer, and Browdy. 1994. Sludge management in intensive pond culture on shrimp: Effect of management regime on water quality, sludge characteristic, nitrogen extinction, and shrimp production. Aquaculture engineering. 13: 11-30. Irianto A. 2005. Patologi ikan teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 256 hlm. Jangkaru Z. 2002. Pembesaran ikan air tawar di berbagai lingkungan pemeliharaan. Penebar Swadaya. Jakarta. hlm 72-73. Kamalsyam. 2008. Kangkung sipengusir racun. Blog. [terhubung berkala]. http://kamalsyam.wordpress.com/2008/01/04/kangkung-si-pengusir-racun/. [3 April 2009]. Kordi GH & Tancung AB. 2007. Pengelolaan kualitas air dalam budidaya perairan. Rineka Cipta. Jakarta. 210 hlm. Lee CD, Wang SB, Kuo CL. 1978. Benthic macroinvertebrates and fish as biological indicators of water quality with referense to community diversity index. Bull C Sci. p. 233-238. Mattjik AN & Sumertajaya M. 2000. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan minitab jilid 1, edisi 1. IPB PRESS. Bogor. hlm 47-49. Nugroho E & Sutrisno. 2008. Budidaya ikan dan sayuran dengan sistem akuaponik. Penebar Swadaya. Jakarta. 68 hlm. Pillay TVR. 1992. Aquaculture and the environment. Fishing News Book. England. p. 189. Prahasta A & Masturi H. 2009. Usaha budidaya ikan mas. Pustaka Grafika. Jakarta. 176 hlm.
57
58 51 Rakocy J, Nelson RL, and Wilson G. 2005. Aquaponic is the combination of aquaculture (fish farming) and hydroponic (growing plants without soil). In: Question and answer by Dr. James Rakocy. Aquaponics Journal. 4 (1): 8-11. Nelson RL. 2005. Aquaponics lesson plans. In: Lesson four-introduction to biology. Aquaponics Journal. 4 (1): 28-30.
Siswono. 2008. Kangkung, berkhasiat sebagai anti racun. Indonesian Nutrition Network.[terhubungberkala].http://www.gizi.net/cgibin/berita/fullnews.cgi?n ewsid1225355841,2262 [6 Juni 2009]. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2004. Metode standar nasional indonesia 066989. Badan Standardisasi Indonesia. Jakarta. ______. 2005. Metode standar nasional indonesia 06-6989. Badan Standardisasi Indonesia. Jakarta. Stickney RR. 1993. Culture of non salmonid freshwater, 2nd edition. CRC Press, Inc. Bota Raton. Florida. Sutanmuda. 2007. Budidaya ikan mas. [terhubung http://sutanmuda.wordpress.com/2007/10/22/budidaya-ikan-mas/ 2009].
berkala]. [6 Juni
Suyanto SR & Mujiman A. 2003. Budidaya udang windu. Penebar Swadaya. Jakarta. 68 hlm. Taukhid, Komarudin O, & Supriyadi H. 2005. Pengelolaan dan pengendalian penyakit dalam budidaya air tawar. In: Strategi pengeloloaan dan pengendalian penyakit KHV (suatu upaya pemecahan dalam pembudidayaan ikan air tawar). Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Tim lentera. 2002. Pembesaran ikan mas di kolam air deras cetakan pertama. Tetty (penyunting). Agromedia pustaka. Jakarta. 5 hlm. www.plantamor.com. Kangkung darat. [terhubung http://www.plantamor.com/index.php?plant=710 [6 Juni 2009].
berkala].
www.wikipedia.org. Ikan karper. [terhubung http://id.wikipedia.org/wiki/Ikan_karper [6 Juni 2009].
berkala].
www.wikipedia.com. Panduan menanam kangkung. pertanian satu perniagaan. [terhubungberkala].http://pertanianmjg.perak.gov.my/panduan_kangkung. htm [3 April 2009].
58
59
LAMPIRAN
59
60 53 Lampiran 1. Skematik sederhana lokasi kolam penelitian
U
1
3 2 4
6
5
8 7
9 10
11
12
13 14
18 15
16
18
GH 17
Keterangan : 1. Kolam pembesaran ikan patin
9,11,13. Kolam pembesaran ikan nila
2 dan 3. Kolam pembesaran ikan mas
10.Kolam akuaponik yang digunakan dalam penelitian
4. Penanaman benih kangkung
12 dan 15. Kolam pembesaran ikan gurame
5 dan 7. Kolam uji toksisitas
14 dan 16. Kolam pembesaran lobster
6. Kolam konvensional
17. Kolam pembenihan
8. Kolam akuaponik
18. Aliran air sumber
60
61 54 Lampiran 2. Kondisi kualitas air di sumber, kolam konvensional dan akuaponik Kondisi kualitas air di sumber Parameter
Satuan
Hasil Pengukuran
Kualitas air yang layak
Sumber
Suhu
o
C
26,1-31,2
20-25
Kordi & Tancung 2007
Kecerahan
cm
-
40-60
Irianto 2005
pH
-
6,39-6,57
7-8
Kordi & Tancung 2007
DO
mg/l
1,72-3,27
≥3
Effendi 2003
BOD5
mg/l
0,56-4,67
39878.00
Effendi 2003
Amonia
mg/l
0,37-1,317
< 0.6
Boyd 1979
Nitrit
mg/l
0,038-0,052
< 0.05
Effendi 2003
Nitrat
mg/l
0,9-1,2
<5
Effendi 2003
Kondisi kualitas air di kolam konvensional Parameter
Satuan
Hasil Pengukuran
Kualitas air yang layak
Sumber
Suhu
o
C
26,3-30,7
20-25
Kordi & Tancung 2007
Kecerahan
cm
30-65
40-60
Irianto 2005
pH
-
6,52-6,68
7-8
Kordi & Tancung 2007
DO
mg/l
1,73-3,29
≥3
Effendi 2003
BOD5
mg/l
0,64-5,21
39878.00
Effendi 2003
Amonia
mg/l
0,88-1,415
< 0.6
Boyd 1979
Nitrit
mg/l
0,023-0,041
< 0.05
Effendi 2003
Nitrat
mg/l
0,6-1,1
<5
Effendi 2003
Kondisi kualitas air di kolam akuaponik Parameter
Satuan
Hasil Pengukuran
Kualitas air yang layak
Sumber
Suhu
o
C
27,9-32,4
20-25
Kordi & Tancung 2007
Kecerahan
cm
18-80
40-60
Irianto 2005
pH
-
6,48-7,97
7-8
Kordi & Tancung 2007
DO
mg/l
2,38-5,51
≥3
Effendi 2003
BOD5
mg/l
0,42-1,22
39878.00
Effendi 2003
Amonia
mg/l
0,019-0,211
< 0.6
Boyd 1979
Nitrit
mg/l
0,001-0,004
< 0.05
Effendi 2003
Nitrat
mg/l
0,4-0,6
<5
Effendi 2003
61
62 55 Lampiran 3. Hasil analisis proksimat ikan mas Hasil Analisis Ikan Mas Parameter
Satuan
Konvensional
Akuaponik
Protein
%
54,36
57,47
Lemak
%
15,36
14,41
Serat Kasar
%
0,94
0,91
Abu
%
9,93
10,47
Kadar Air
%
74,6
72,59
BETN
%
19,41
16,74
*Analisa protein, lemak, serat kasar, dan BETN dilakukan dalam keadaan kering 1050C.
Lampiran 4. Tingkat kelangsungan hidup dan berat rata-rata ikan mas di kolam konvensional dan kolam akuaponik selama periode pembesaran Waktu pengamatan
10/06/09
24/06/09
08/07/09
23/07/09
06/08/09
SR (%)
Konvensional
3000
2380
2151
1542
1497
49,9
Akuaponik
3000
2915
2766
2516
2458
81,9
1 (gram) W
10/06/09
24/06/09
08/07/09
23/07/09
06/08/09
Konvensional
18,3
31,8
40,6
45,8
53,6
Akuaponik
18,3
32,8
45,6
58,6
62,4
a. Kolam konvensional 456
SR 7 100% 49,9% b. Kolam akuaponik SR
2458
100% 81,9% 3000
62
63 56 Lampiran 5. Perhitungan debit air (Q) di kolam konvensional dan kolam akuaponik pada awal pengamatan a.
Kolam konvensional
V-kolam = L x tinggi = 250 m3 x 0,6 m = 150 m3 = 150.000 dm3 V-ember = 20 dm3
7
t-kolam = 24 jam = 86.400 detik
= 11,52 detik
= 11,52 detik = 11,50 detik = 11,54 detik
Untuk memperoleh pergantian air kolam mencapai 100% selama 24 jam, maka Qkolam = Qember
Q. kolam
Q. ember
E. FG.4
,E
1,7361 dm7 /detik 150 m3/24 jam
1,7361 dm7 /detik 150 m3/24 jam
Jadi, Q-kolam = Q-ember = 150 m3/24 jam
sehingga pergantian air selama 24 jam sebesar 100%
b.
F1 ke F2 di kolam akuaponik
L-kolam seluruhnya L-wuffle di bak pengendapan (B) L-batas B dengan F1 L-pembatas dengan kolam A V-ember Kedalaman F2 L-pembatas seluruhnya V-kolam yang berisi air V-air kolam
7
= 15,10 detik = 15,50 detik = 15,40 detik
= 25,5 m x 10 m = 255 m2 = 15 m x 0,145 m x 6 buah = 1,305 m2 = 0,25 m x 6,25 m = 1,5625 m2 = 0,27 m x 10 m = 2,7 m2 = 20 dm3 = 80 cm = 0,8 m = 1,305 x 1,5625 x 2,7 = 5,5675 m2 = (255 – 5,5675) m2 x 0,8 m = 199,6 m3 = (250 – 5,5675) m2 x 0,8 m = 195,6 m3
= 15,33 detik
Q. ember E,77 1,3046 dm7 /detik 112,7 m3/24 jam Jadi, pergantian air di kolam akuaponik =
S.TU&TV
.WXV YZ[WU
63
100%
,6 644
5E,E4G
100% 57,6%
57 64 Lampiran 6. Uji statistik (uji beda nilai tengah) parameter kualitas air di kolam konvensional dan kolam akuaponik dengan t-test: two-sample assuming unequal variances A. Nitrogen Anorganik 1.
Amonia Data perbandingan amonia di kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan Unit/Waktu
09/06/09
23/06/09
07/07/09
22/07/09
05/08/09
Konvensional
0,88
1
1,1
0,935
1,415
Akuaponik
0,087
0,02
0,019
0,14
0,211
Perhitungan
K
A
1.066
0,0954
0,044768
0,006736
Observations Hypothesized Mean Difference
5
5
df
5
Mean Variance
0
t Stat (t-hit)
9,563253
P(T<=t) two-tail
0,000212
t Critical two-tail (t-tab)
2,570582
2.
Nitrit Data perbandingan nitrit di kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan Unit/Waktu
09/06/09
23/06/09
07/07/09
22/07/09
05/08/09
Konvensional
0,041
0,038
0,036
0,024
0,023
Akuaponik
0,004
0,002
0,002
0,001
0,002
Perhitungan
K
A
Mean
0,0324
0,0022
Variance
6,9E-05
1,2E-06
Observations Hypothesized Mean Difference
5
5
df
4
Hipotesis : H₀: µ₁ = µ₂ H₁ : µ₁ ≠ µ₂ Kesimpulan : T hitung > T tabel Tolak H₀ Nitrit yang berasal dari air sumber setelah dimanfaatkan pada pembesaran ikan mas di kolam konvensional dan akuaponik memiliki pengaruh yang berbeda nyata satu sama lain
0
t Stat (t-hit)
8,04262
P(T<=t) two-tail
0.0013
t Critical two-tail (t-tab) 3.
Hipotesis : H₀: µ₁ = µ₂ H₁ : µ₁ ≠ µ₂ Kesimpulan : T hitung > T tabel Tolak H₀ Amonia yang berasal dari air sumber setelah dimanfaatkan pada pembesaran ikan mas di kolam konvensional dan akuaponik memiliki pengaruh yang berbeda nyata satu sama lain
2.776445
Nitrat Data perbandingan nitrat di kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan Unit/Waktu
09/06/09
23/06/09
07/07/09
22/07/09
05/08/09
Konvensional
1
0,8
1,1
0,8
0,6
0,5
0,6
0,4
0.6
0,4
Akuaponik
64
58 65 Lampiran 6. (lanjutan)
Perhitungan
K
A
Mean
0,86
0,5
Variance
0,038
0,01
Observations Hypothesized Mean Difference
5
5
df
6
Hipotesis : H₀: µ₁ = µ₂ H₁ : µ₁ ≠ µ₂ Kesimpulan : T hitung > T tabel Tolak H₀ Nitrit yang berasal dari air sumber setelah dimanfaatkan pada pembesaran ikan mas di kolam konvensional dan akuaponik memiliki pengaruh yang berbeda nyata satu sama lain
0
t Stat (t-hit)
3,674235
P(T<=t) two-tail
0,010402
t Critical two-tail (t-tab)
2,446912
B. Suhu Data perbandingan suhu di kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan Unit/Waktu
26/05/09
09/06/09
23/06/09
07/07/09
22/07/09
05/08/09
Konvensional
27,9
29,9
28,6
26,3
30,7
28,9
Akuaponik
28,1
28,5
32,4
29,1
32
31,7
Perhitungan
K
A
Mean
28,71667
30,3
Variance
2,377667
3,756
Observations Hypothesized Mean Difference
6
6
df
10
Hipotesis : H₀: µ₁ = µ₂ H₁ : µ₁ ≠ µ₂ Kesimpulan : T hitung < T tabel Gagal tolak H₀ Suhu yang berasal dari air sumber setelah dimanfaatkan untuk pembesaran ikan mas pada kolam konvensional dan akuaponik memiliki pengaruh yang tidak berbeda nyata sayu sama lain
0
t Stat (t-hit)
-1,56599
P(T<=t) two-tail
0,14842
t Critical two-tail (t-tab)
2,228139
C. Kecerahan Data perbandingan kecerahan di kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan Waktu
K
A
1/7
65
35
21/7
51
20
11/6
50
80
3/7
65
36
23/7
30
18
65
34
25/7
43
31
13/6
55
60
5/7
15/6
50
62
7/7
59
32
27/7
33
23
17/6
49
55
9/7
45
22
28/7
32
23
21/6
47
35
11/7
65
25
30/7
43
37
23/6
49
36
13/7
55
24
1/8
48
38
25/6
47
34
15/7
59
26
3/8
43
31
27/6
65
65
17/7
51
23
5/8
40
29
29/6
65
35
19/7
59
20
65
66 59
Lampiran 6. (lanjutan) Perhitungan
K
A
51
35,39286
108,3704
244,2474
28
28
Mean Variance Observations Hypothesized Mean Difference
Hipotesis : H₀: µ₁ = µ₂ H₁ : µ₁ ≠ µ₂ Kesimpulan : T hitung > T tabel Tolak H₀ Kecerahan yang berasal dari air sumber setelah dimanfaatkan untuk pembesaran ikan mas pada kolam konvensional dan akuaponik memiliki pengaruh yang berbeda nyata satu sama lain
0
df
47
t Stat (t-hit)
4,397951
P(T<=t) two-tail
6,22E-05
t Critical two-tail (t-tab)
2,01174
D. Derajat Keasaman (pH) Data perbandingan pH di kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan Unit/Waktu
26/05/09
09/06/09
23/06/09
07/07/09
22/07/09
05/08/09
Konvensional
6,49
6,54
6,59
6,68
6,52
6,67
Akuaponik
6,74
7,97
7,11
7,1
6,72
6,48
Perhitungan
K
A
Mean
6,581667
7,02
Variance
0.006297
0,2754
Observations Hypothesized Mean Difference
6
6
df
5
0
t Stat (t-hit)
-2,02297
P(T<=t) two-tail
0.098995
t Critical two-tail (t-tab)
2,570582
Hipotesis : H₀: µ₁ = µ₂ H₁ : µ₁ ≠ µ₂ Kesimpulan : T hitung < T tabel Gagal tolak H₀ pH yang berasal dari air sumber setelah dimanfaatkan untuk pembesaran ikan mas pada kolam konvensional dan akuaponik memiliki pengaruh yang tidak berbeda nyata satu sama lain
E. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Data perbandingan DO di kolam konvensional dan kolam akuaponik selama pengamatan Unit/Waktu
26/05/09
09/06/09
23/06/09
07/07/09
22/07/09
05/08/09
Konvensional
3,1
3,29
2,43
1,73
2,6
2,16
Akuaponik
3,25
5,51
2,6
2,38
3,64
3,12
Perhitungan
K
A
Mean
2,551667
3,416667
Variance
0,338297
1,257867
6
6
Observations Hypothesized Mean Difference df
0 8
t Stat (t-hit)
-1,67708
P(T<=t) two-tail
0.13205
t Critical two-tail (t-tab)
2,306004
66
Hipotesis : H₀: µ₁ = µ₂ H₁ : µ₁ ≠ µ₂ Kesimpulan : T hitung < T tabel Gagal tolak H₀ DO yang berasal dari air sumber setelah dimanfaatkan untuk pembesaran ikan mas pada kolam konvensional dan akuaponik memiliki pengaruh yang tidak berbeda nyata satu sama lain
60 Lampiran 7. Data mentah panjang dan berat ikan mas pada awal penebaran (10 Juni 2009) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
L (cm) 8 9.8 10 10.7 10.8 10.2 9.7 7.8 8 7.6 7.6 8.1 8.1 7.6 7.6 7.7 9.1 9 9.5 9.6 10 9.1 9 7.2 8.7 6.9 8.1 9.3 10 8.5 8.4 10 10 8.5 8.5 8 9 9.6 9 8.5 7.1 7.8 7.8 8 7.2 9.2 10 9.5 8.4 8.6 7.5
W (gram) 20.3 24.1 28.2 32.8 30.7 29.8 25.7 16.1 13.3 13.4 11.8 14 13.5 13.1 11.7 11.7 20.2 24.6 24 25.5 28.7 24.8 21.9 12.3 19.2 10.3 12.9 23.7 26.5 21.5 17.8 29.1 32.2 17.1 19 16.9 20.9 26.1 19.3 21.7 11.6 13.6 16.2 14 10.8 23.5 26.2 27.7 17.5 20.3 10.9
52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103
8.6 7.4 9 8.9 9 8 8.2 8 7 8.3 7.2 7.6 7.5 7.5 7.3 8.9 7 8.5 8 9.8 9 8 7.9 8 7.9 9.5 8.2 8 9.8 9 9.8 8.6 9.8 9 9.7 8.2 9 8.6 8.4 9 8.8 8.5 8.8 9.5 9.5 8.6 9.2 10 9 9 8.5 9
60
20.2 12.9 18.7 22.8 23.9 14 14.4 14.6 8.9 14.6 10.6 12.3 11 10.6 11.4 17.9 12.1 16.9 15.4 27 24.8 14.8 14.6 13.8 11.2 24 21 22 30.3 19.7 21.9 19 25 19.9 27.2 20.2 20.6 19.6 20.8 18.6 21 23.1 25.8 30.8 22.7 18.4 22.3 31.2 21.2 18.8 17.8 19.1
104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150
8.7 9.2 8.6 9.1 7.6 7.6 7.6 8 7.8 8.2 8 7.8 7.5 6.8 8.6 7.6 7.5 8 7.5 7.5 9 7.4 7.5 7.8 7 8.2 6.8 7.9 7.5 6.8 7.5 7.6 7.5 7 6.7 6.6 7.5 7.5 7.5 7.2 7.8 9.5 9.1 10 9.1 8.5 8.8
16.1 21.4 18 19.9 18.5 13.7 16.3 16.7 14.8 15 16.3 14.3 13.6 10.7 20.6 15.8 11 13.2 11.5 14.2 19 12.1 13.9 14.9 10.4 14.4 10.7 12.2 13 10.9 11.2 15.4 12.3 12.3 11.2 10.5 12.2 16.7 13.3 12.2 13.2 29.9 21.3 28.4 20.2 23.1 25.6
61 60 Lampiran 8. Data mentah panjang dan berat ikan mas pada pengambilan contoh 1 (24 Juni 2009)
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Konvensional L W (cm) (gram) 9 23.6 10.5 37.6 9 23 9 27.2 10 32.2 10 23.6 9 29.5 10 26.8 8.5 28.7 9 36.3 10 28.8 10 39.3 9.5 31.2 10 26.3 10.5 34.4 9.7 30 10.5 38 9.5 38.1 9.5 28.2 9.5 33.5 8 23.7 8.7 24.4 10 38.1 9.2 34.7 10.5 32.7 10.7 40.3 6.7 30.1 9 30.1 11 38.1 11 39.2 9 29.3 9 22.7 9 28.9 10 36.2 9 22.5 9.7 31.7 10 26.1 8 31.8 11 39.1 10 31.4 10 36.3 7 22.8 10 30.5 10.5 34.2 10.2 39.5 9 26.8 11 44.1 9 24.2 9 33.8
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
Akuaponik L W (cm) (gram) 9 34.7 9 25.3 8.5 25.2 12 27.7 9.5 25.8 11.2 39.2 11.5 43.6 10.2 40.5 10 37.8 11.9 42.4 9.8 31.7 10.8 34.2 11 42.7 9.8 35.6 11 26.9 10.8 37.8 10.5 45.4 9.5 30.5 10.5 39.3 11 42.3 10 34.6 9.5 25.8 9.3 31.5 8.8 25.3 10 29.5 9.8 29.3 9.6 25.5 10 36.1 11.5 41.8 10 28.7 9 29.4 11 41.3 9.8 26.5 10.8 38.7 10 46.3 9.2 23.8 10 31.6 10 25.7 10.5 31.2 9 22.1 10.5 41.7 8 22 8.5 20.9 9 25.7 11 39.6 9 26.4 9.2 34.9 8.5 28.7 11 36.4
61
9.5 9 9 11 9 10 9.2 9 9 12 9 9 10 8 11 8 9.5 8.5 12 11 10 11 10 9.8 9.5 9 8 7 9 10.5 8.5 10.5 10 10 9 9 9 10 10 10.1 9 8.5 9.5 9 9 10.5 9.5 10 12 9 8
29.6 41.7 28.3 40.2 38.3 29.8 30.1 24 27.9 33.3 27.7 26.1 37.3 24.2 26.7 22.9 38 29.4 39 38.7 33.1 39.5 33.1 29.4 41.4 28.6 28.3 29.9 35 35.6 24.5 41.3 34.8 32.1 27.9 28.4 26 38.7 36 36.1 26.7 22.9 36.7 40.4 35.9 25.3 29.4 33.4 40.7 30.1 23.5
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
11 9.5 9.5 9.2 11.5 10 9 10.8 10.5 10 10 8.5 9 9 10 10 10 10 9 9 9 8 9.5 9 9.3 11.6 10 10.5 10.5 9.9 10.4 11.4 9.4 9.4 9.8 9.9 9.5 8.5 9 9.6 11.2 10.5 10.9 11.5 9.5 10 10 10.5 10.5 10 9.5
38.9 31.7 32.1 25.6 47.4 28.7 25.1 30.9 46.7 33.1 34.1 22.4 24.5 24 27.9 31.2 29.6 29.8 22.5 24.9 28.8 22.6 26.4 23.4 24.4 46.1 27.4 44.4 37.6 30.9 35.8 42.7 39.5 30.7 28.6 23.4 25.7 23.9 29.6 24.6 42.2 43.6 47.4 46.5 33 39.4 34.3 39 47.2 39 30.3
62 60 Lampiran 9. Data mentah panjang dan berat ikan mas pada pengambilan contoh 2 (8 Juli 2009) Konvensional L W No (cm) (gram) 1 10.5 44.6 2 10 33.8 3 10.7 55.1 4 11.7 49.4 5 10.2 35.5 6 9.7 32.2 7 10.5 35.4 8 10.6 36.6 9 11.5 43.2 10 8.5 29.8 11 9.5 34 12 11.5 46.5 13 8.5 30.7 14 12 55.6 15 12 48.1 16 11 52.8 17 11.5 50.1 18 11.5 41.5 19 11.5 56.1 20 12 54.4 21 10 39.1 22 10 31.8 23 10 30.5 24 11 36.2 25 10.5 44.1 26 10.5 41.8 27 10 33.6 28 11 50.1 29 11.2 40.1 30 11.5 49.7 31 11.5 59.6 32 11 38.8 33 12 52 34 12 55.3 35 11.5 42.1 36 10 35 37 10.5 41.2 38 10.2 48.5 39 12 46.5 40 11 45.4 41 12 50.8 42 11.5 60 43 9 33.4 44 8.2 35.7 45 10 38.7 46 10.5 45.5 47 11.6 47.9 48 11.2 40.3 49 11 55.3
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
Akuaponik L W (cm) (gram) 10 43.7 10.5 52.7 9.5 33.8 10 44.2 10.5 41.1 9.5 38.8 11.5 65.6 11.5 65.7 10.3 47.8 11 57.2 9.7 46.6 10.5 52.6 10 36.7 11 50.8 10.3 46.8 11 50.5 12 63.3 10.5 52.1 9.5 36.4 10.3 48.7 11 52.6 10 44.5 10 35.9 10.3 36.2 11 42.3 11 55.3 9.5 32.4 9.5 32.2 10.5 46.3 10 38.1 9.6 43.3 10.2 42.2 10.7 53.7 10 35.5 10.5 45.5 11 56.6 11.5 58.6 10.5 53.2 11.6 61.8 11.2 46.8 12 55.6 11 46.7 12 60.2 10.2 50.1 11.5 58.3 11 49.5 10.5 51.9 10.2 38.7 10.7 40.4
62
10.3 9.5 9 11.2 12 10 9.3 10.5 11.7 11 9.5 9.5 11 12 10 10.5 10 8 10.3 8.5 10.5 9 10.3 8 9 9 9 11 10.5 12 9 11.5 9.2 9 11.5 9 9 10 12 11.5 10.3 9 9.5 9.5 10.7 11 10 8.5 9.5 9.5 8
30.5 34.4 31.1 42.5 59.2 38.6 34 39.6 44.7 39.1 33.1 33.2 39.1 57.7 35.2 39.1 34.4 39.5 42.5 30.2 46.6 39.2 35.2 26.4 37.3 37.3 30 36.7 35.1 47.6 30.2 39.7 32.3 33.9 43.3 35.1 30.4 31.6 45.5 34.4 40.7 33.1 36 39.2 50.1 33.4 41.6 33.4 31 47.8 36.7
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
10.5 10 10 11 11.5 11 10.5 11 10 9.2 12 10.5 10 10 11.3 11 10 11.7 11 10.3 10.5 10 9.5 10 10.7 8.5 8.7 11.5 9 11 9 8.5 12.5 10.2 12 8 9.5 10.5 9 11 9.5 11.5 12.5 11 11 11 11 11 9.5 11 10
41.6 44.6 35.3 41.3 42.9 50.1 38.1 41.3 44.4 33.5 59.1 48.6 44.1 42.3 57 54.4 32.2 49 48.5 46.5 35.1 42.8 31.2 39.7 46.5 35.5 37.4 49.7 34.8 50.3 31.4 31.6 50.5 43.3 51.5 26.8 37.2 41.1 32.9 40.7 34.6 56.7 59.2 53.3 55.2 47 55.6 55.3 35.2 51.1 35.4
63 60 Lampiran 10. Data mentah panjang dan berat ikan mas pada pengambilan contoh 3 (23 Juli 2009) Konvensional L W No (cm) (gram) 1 10 41.2 2 10.5 38.8 3 10 35.7 4 10.5 47.2 5 12 53.4 6 12 54.7 7 10 34.8 8 12.5 46.6 9 12.5 61.9 10 9.5 42.2 11 10.5 40.2 12 10.5 47.7 13 9.6 40.6 14 11.5 45.1 15 10.8 40.7 16 9 34.2 17 10.5 49.5 18 10 40.5 19 9.7 38.5 20 10.5 38.2 21 12 63.5 22 11.5 53.8 23 12 64 24 10 33.4 25 10 43.8 26 11.5 55.9 27 10.5 43.7 28 9.5 49.6 29 11.6 46.9 30 10 46.1 31 10.2 46.9 32 10.5 40 33 13 61.1 34 10.5 40.8 35 9 38.7 36 10.6 41.1 37 11.5 44.6 38 12 66.9 39 12 64 40 11.3 40.3 41 12 46.2 42 9 42.2 43 11 42.1 44 10.5 41.4 45 10.5 43.7 46 11.2 60.3 47 10.5 52.6 48 12.5 56.8 49 12 72.2
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
Akuaponik L W (cm) (gram) 12 66.1 12 64.2 12 69.1 11.5 74.6 13 69.8 12.3 63.6 12 55.9 12 70.5 10.5 49.9 11.5 56.1 11 48.1 11.5 48.6 10.5 48.7 9 38 10.5 38.3 11 41.1 8.5 37.6 9.2 38.5 11 39.5 11.5 47.8 12 57.9 10 37.2 12 67.8 10 38.5 9.5 37.5 12.5 66.5 11.5 62.5 10.5 48.7 11.5 57.6 10 31.9 11 50.3 13.5 73.3 13.5 73.8 11.5 52.1 10 46.1 10.5 42.5 9.5 46.4 11.2 50.5 18.5 79.4 13.5 71.3 12 69.8 12 57.3 10 36.4 9 35.3 11.5 62.5 12 65.2 12 51.4 13.2 81 12.5 77.6
63
11.5 11.5 11 11.5 11 10.5 9.5 10 10 9.5 11 10.3 8.5 11 11 12 9.5 10 10.5 10.5 10 9 10.5 10.5 10.2 10.5 12 10.5 10.5 10.7 11 10 10.6 10.5 10.5 10 10.5 9.5 11 11 10 9.5 10 10 9.5 10 9 11.5 10 8 8.5
59.6 46.7 46.6 59.2 51 51.5 38.2 56.6 43.5 40 49 39.2 36 62.2 45.6 69 34.7 37.1 47.3 62.1 43.2 34.5 38.8 40.2 44 38.6 50.1 40.2 49 53.4 53.2 39.6 40 39.7 47.1 35 43.7 36 47.7 40.7 33.1 36.4 37.5 42.5 39.5 41.1 35.4 48.4 41.1 48.9 33.4
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
13 11 11.5 13.5 14.5 13 13 13 13 12.5 12 13 13.2 12 10.5 12 12 12 12 13.5 12 13 12 12.5 11.5 10.5 13 12 13 10.5 10.5 12 10 14 11.5 13 16.5 12 9.5 10 12 11.5 10.5 13 10 10.5 11 9 11.5 10.5 12
73.1 62.9 77.5 76 79.2 75.1 79.5 67.8 78.2 68.1 72.4 72.1 79.1 78.1 31.5 68.7 69.5 74.1 71.7 78.8 72.1 73.4 72 69.9 54.6 49.3 66.5 57.2 74.1 41.6 31.6 55.5 66.1 71.5 56.7 59.7 75.2 72.2 32.2 31.9 55.9 56.1 41.8 66.5 37.2 41.3 39.1 35.3 62.5 48.7 65.2
64 60 Lampiran 11. Data mentah panjang dan berat ikan mas pada pengambilan contoh 4 (6 Agustus 2009) Konvensional L W No (cm) (gram) 1 11 58.3 2 11 48 3 11.5 66.6 4 11 54.2 5 11.5 63.4 6 11 61.4 7 10.5 42.7 8 11.5 64.2 9 10.5 56.9 10 11 50.3 11 12.5 59.5 12 12.5 70.5 13 11 50.9 14 12.5 67.3 15 11 40.2 16 12.2 65.1 17 10 41 18 12 57.1 19 11 40.7 20 11.5 59.3 21 12 61.4 22 12 57.6 23 11.5 49.3 24 12 68.2 25 12 62.3 26 10.5 39.9 27 12.5 63.6 28 11 52.3 29 11.5 59.1 30 12 56.9 31 11.5 48.3 32 10.5 40.4 33 10 38.1 34 10 37.8 35 10 43 36 13 67.6 37 11 44.7 38 11.5 55 39 11 50.7 40 12 52.8 41 12.5 60.5 42 11 56.9 43 12.5 65.7 44 11.5 52.5 45 11 40.1 46 12 64.5 47 11 49.9 48 10 37.9 49 10.5 38.1
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Akuaponik L W (cm) (gram) 10.5 53.6 10 41.3 11 59.3 11 64.5 10 49.5 10 46.3 13 72 10.5 53.2 13.5 78.4 13.5 79.5 12.5 72.7 13 78.8 11.5 66.3 13 71.5 11 57.8 12 69.7 11.5 65.1 11 63.8 12 69 13 72.5 12.5 71.3 11 64.4 11.5 66.1 13 72.4 9.5 54.1 10.5 43.5 11 52.7 12 73.1 12 71.7 12.5 67.3 11.5 63.4 13 73.6 12 66.1 11 59 12.5 75.5 11.5 60.7 12 68.4 9.5 52.9 12 74.4 13 53.5 12 62 10 56.2 11.5 63.4 10.5 57.2 10.5 46.1 10.5 57.9 11 58.4 13 75.4 12 70.3
64
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
12.5 9.5 12 10 10.5 11 11 9.5 11 10 12.5 12 12 13 14 11.5 11.5 11.5 11 11.3 11.7 12.5 10 11.5 10.6 11.5 11.4 12 11 11.9 11.6 12 11 13.3 13 15.4 12.5 12.5 10.8 12.5 11.2 12.7 9.8 11.4 11.4 11.9 12.5 11.5 12.4 10.7 13.9
56.2 37.7 52 37.2 44.7 40.6 45.6 41 47 36 60.9 57.7 52 66 62.6 57.5 63 55.3 61.1 69.4 59.1 70.4 40.4 44.7 43.4 44.4 44.8 57.2 45.1 63.2 50.1 61.6 45.7 69.4 57.9 59 55.3 54.6 38.7 63.8 57.8 69.3 40 50.7 51.2 62.6 69.1 57.5 57.6 44.4 50.3
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
13 12.5 13 12 13 13 13 14 12 12.5 12 12.5 12 12.5 11.5 11 11 11 12 11.5 10.5 12.5 12 12.5 12.5 11 13 12.5 12.5 10.5 13 10 11 12 11 12 12.5 13.5 12 11 12 11.5 14 11.5 12 12 10.5 10.5 11 11 11.5
78.1 67.5 71.3 69.4 72.7 71.8 71.3 76.7 61.3 62.2 59.9 64.7 59.3 62.1 57.9 55.3 52.7 55.3 57.7 62.3 52.2 66.9 64.8 70.5 61.2 57.3 68.2 66.5 66.5 55.7 76.5 51.3 56.3 58.7 52.7 65.6 59.5 65.2 57.9 54.5 57.6 57.6 72.2 53.7 58 53.4 51.5 49.4 50.5 47 52.4
65 Lampiran 12. Hubungan panjang dan berat ikan mas saat awal penebaran dan tiap pengambilan contoh di kolam konvensional dan kolam akuaponik a.
Awal penebaran (10 Juni 2009)
berat (gram)
Hubungan panjang-berat ikan saat awal penebaran 35 30 25 20 15 10 5 0
y = 5,829x - 30,68 r = 0,921
0
b.
2
4
6 panjang (cm)
8
Kolam konvensional Pengambilan contoh 1
Pengambilan contoh 3
50
80 berat (gram)
berat (gram)
12
Tiap pengambilan contoh di kolam konvensional dan akuaponik 1.
40 30
y = 3,262x + 0,636 r = 0,756
20 10
60
y = 6,383x - 21,58 r = 0,691
40 20 0
0 0
5
10 panjang (cm)
0
15
Pengambilan contoh 2
5
10 panjang (cm)
15
Pengambilan contoh 4 100
70 60 50 40 30 20 10 0
berat (gram)
berat (gram)
10
y = 5,3x - 14,31 r = 0,725
80
y = 6,951x - 26,49 r = 0,711
60 40 20 0
0
5
panjang (cm)
10
15
0
5
10 panjang (cm)
15
20
66
Lampiran 12. (lanjutan) 2.
Kolam akuaponik Pengambilan contoh 3
Pengambilan contoh 1
berat (gram)
berat (gram)
50 40 y = 6,313x - 29,95 r = 0,748
30 20 10 0 0
5 panjang (cm)10
120 100 80 60 40 20 0
y = 7,815x - 32,80 r = 0,795
0
15
5
15
20
Pengambilan contoh 4
Pengambilan contoh 2 100
60
berat (gram)
80 berat (gram)
10 panjang (cm)
y = 8,119x - 39,53 r = 0,804
40 20
80
y = 6,962x - 19,64 r = 0,803
60 40 20 0
0 0
5 panjang (cm) 10
15
0
5
10 panjang (cm)
15
Lampiran 13. Data kelimpahan fitoplankton di kolam konvensional dan kolam akuaponik Jumlah kelimpahan (ind/l) No 1
Jenis Fitoplankton
Konvensional
Akuaponik
76
56
Cyanophyta Oscillatoria limnetica Gomphosphaeria
2
206
Chlorophyta Coelastrum Cladophora
4
5
502 6
Ankistrodesmus falcatus
23
Chlorella vulgaris
46
Pediastrum
78
Bacillariophyta Navicula viridula
26
Melosira
196
Nitzhia sigmoidea
16
Euglenophyta Euglena sp
14
34
67 Lampiran 14. Dokumentasi yang diambil di lapangan dan laboratorium
A. Foto kolam konvensional yang diambil di lapangan
B. Foto kolam akuaponik yang diambil di lapangan
68
Lampiran 14. (lanjutan) a.
Awal penelitian
C. Bak pengendapan (B) b.
D. Filter 1 (F1)
E. Filter 2 (F2)
G. Filter 1 (F1)
H. Filter 2 (F2)
Saat penelitian berlangsung
F. Bak pengendapan (B)
J. Pengukuran panjang ikan I. Pengukuran berat ikan
K. Spectoquant pharo 300
69 Lampiran 14. (lanjutan)
L. HACH DR/200 spectrophotometer
O. Lovibond senso direct pH 110
M. Pengukuran amonia
P. Lovibond senso direct Oxi 200
N. Buret untuk titrasi