EFEKTIVITAS PEMBERIAN VAKSIN Ichthyophthirius multifiliis TERHADAP IKAN MAS (Cyprinus carpio L) PADA SUHU MEDIA PEMELIHARAAN YANG BERBEDA
HENNI SYAWAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Efektivitas Pemberian Vaksin Ichthyophthirius multifiliis terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio L) pada Pemeliharaan Suhu Media yang Berbeda” Adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
ABSTRACT HENNI SYAWAL. Provision of Vaccine Effectiveness Against Ichthyophthirius multifiliis Common Carp (Cyprinus carpio L) at Different Temperatures of Media. Under direction of NASTITI KUSUMORINI, WASMEN MANALU, and RIDWAN AFFANDI. The aims of this study were to assess the physiological and haematological responses of fish due to different water temperatures, Ichthyophthirius multifiliis (ich) infection, and vaccination with ich theront stadia. The research was conducted in three stages. The first stage was designed to determine the temperature range that could cause stress in fish and had potency to cause ich infection. In the second stage, fish was infected with ich. The last stage was carried out to investigate the effect of vaccination. Physiological changes in fish from each stage were determined. The results of the first stage showed that cortisol levels at 20, 24, and 28⁰C and glucose levels at 24 and 28oC increased until 21st day. Fish that was kept at 24oC had the lowest survival rate (87±3.35%) and fish that was kept at 32oC had the highest survival rate (100%). In the second stage, infected fish at 20oC was under great stress, which was characterized by the increase in cortisol levels by 51.38% on 3rd day, increase in glucose levels by 60.93%, decrease in osmolarity by 18.40%, decrease lymphocytes percentage by 16.44%, and the lowest survival rate (58.11±2.16%). The damage that was affected by I. multifiliis could be seen by the presence of hypercellular, many goblet cells, and infiltration of lymphocytes cells. Lastly, vaccination caused the decrease in cortisol levels and increase in glucose levels until 14th day. The prevalence of I. multifiliis in the vaccinated fish decreased with the increase in temperature, and I. multifiliis prevalence at 20⁰C was 80.03±10.00% and at 28⁰C was 0%, and the highest survival rate was obtained at 28⁰C (100%). Keywords: Cyprinus carpio, Ichthyophthirius multifiliis, temperature, vaccine.
RINGKASAN HENNI SYAWAL. Efektivitas Pemberian Vaksin Ichthyophthirius multifiliis terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio L) pada Suhu Media Pemeliharaan yang Berbeda. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI, WASMEN MANALU, dan RIDWAN AFFANDI. Ichthyophthirius multifiliis (ich) adalah salah satu jenis ektoparasit dari golongan Protozoa, yang biasa menyerang ikan-ikan air tawar. Penyakit yang ditimbulkannya dinamakan Ichthyophtiriasis atau lebih dikenal dengan “White spot”, karena gejala yang ditimbulkan berupa bintik putih yang terdapat pada bagian kulit, sirip, insang, dan mata. Akibat patogenitas ich dapat menyebabkan kematian hingga 80-100% dalam waktu yang relatif singkat sehingga dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis. Tingkat patogenitas dan siklus hidup ich dipengaruhi oleh suhu lingkungan media pemeliharaan ikan. Pencegahan terhadap penyakit ini sudah banyak dilakukan dengan menggunakan bahan kimia, namun hasilnya tidak memuaskan karena bahan tersebut tidak dapat membunuh semua stadia dari ich. Salah satu usaha untuk mencegah serangan penyakit ini adalah dengan pemberian vaksin yang berasal dari salah satu stadia ich, yaitu stadia theront. Pemberian vaksin pada ikan lebih aman, karena dapat melindungi dari penyakit tersebut dalam jangka waktu yang relatif lama, dan tidak menimbulkan resistensi. Keberhasilan pemberian vaksin pada ikan dipengaruhi oleh suhu media pemeliharaan. Perubahan suhu di lingkungan media pemeliharaan dapat mempengaruhi kehidupan ikan bahkan dapat menyebabkan stres. Ikan yang mengalami stres berkepanjangan akan mudah terinfeksi oleh mikroorganisme patogen. Tujuan penelitian adalah, pertama untuk mengkaji respons fisiologis dan hematologis ikan yang dipelihara pada suhu media pemeliharaan yang berbeda. Kedua, mengkaji respons fisiologis dan hematologis ikan yang diinfeksi dengan ich stadia theront dan kemudian dipelihara pada suhu media pemeliharaan yang berbeda. Ketiga, mengkaji respons fisiologis dan hematologis ikan yang diberi vaksin ich stadia theront dan kemudian dipelihara pada suhu media yang berbeda. Metode penelitian untuk mengkaji respons fisiologis dan hematologis ikan yang dipelihara pada suhu media pemeliharaan yang berbeda, dilakukan dalam tiga tahap sebagai berikut: 1). Penentuan kisaran suhu yang dapat menimbulkan stres pada ikan dan berpotensi untuk terinfeksi ich. Hewan uji yang digunakan adalah ikan mas berukuran panjang 6.61±0.68 cm dengan bobot 6.29±0.79 g sebanyak 480 ekor. Ikan dipelihara dalam akuarium berukuran 60x40x35 cm³, dengan kepadatan satu ekorL-1. Untuk mempertahankan suhu air di dalam akuarium dipasang alat pemanas listrik (heater) sesuai perlakuan, yaitu 20, 24, 28, dan 32⁰C. Pemeliharaan ikan uji dilakukan selama 21 hari, selama pemeliharaan ikan diberi pakan komersil tiga kali sehari (ad libitum). Kisaran suhu yang dapat menimbulkan stress pada ikan pada tahap pertama dijadikan dasar untuk penelitian tahap kedua. 2). Penelitian tahap kedua adalah untuk melihat patogenitas ich pada ikan yang dipelihara pada suhu 20, 24, dan 28⁰C. Ikan uji berukuran 5-7 cm, dengan bobot 6.0±1.65 g, juga dipelihara dalam akuarium berukuran 60x40x35 cm³, dengan kepadatan satu ekorL-1. Ikan diinfeksi dengan ich stadia theront selama 30 menit, dengan cara merendam ikan tersebut dalam wadah yang berisi sel theront sebanyak 5.000 selL-1, selama penginfeksian tetap
diberi aerasi. Selanjutnya dipelihara selama 1 minggu, selama pemeliharaan ikan tetap diberi pakan komersil tiga kali sehari (ad libitum). 3). Penelitian tahap ketiga adalah berupa pencegahan terhadap serangan penyakit Ichthyophthiriasis, dengan cara pemberian vaksin ich stadia theront yang telah diinaktifkan pada suhu 47⁰C selama 30 menit. Pemberian vaksin pada ikan uji dengan cara perendaman selama 15 menit, dosis tiga mLL-1 (kepadatan sel theront 8.000 selMl-1 vaksin), untuk melihat kemanjuran dari vaksin dilakukan uji tantang pada hari ke-15 pascaimunisasi dengan dosis 5.000 sel/ikan. Perubahan fisiologis ikan uji dari setiap tahap penelitian, seperti kadar kortisol diukur dengan metode RIA kit (CORTISOL[125]) IZOTOP, kadar glukosa dengan metode enzimatis colorimetric kit Glucose liquicolor GOD-PAP, nilai osmolaritas diukur dengan OSMOTAT 030. Untuk melihat perubahan gambaran darah, seperti kadar hemoglobin diukur dengan metode Cyanmethemoglobin, nilai hematokrit, total eritrosit, dan total leukosit dengan cara pemeriksaan darah rutin. Parameter tambahan pada tahap kedua dan ketiga adalah menghitung tingkat prevalensi ich pada ikan, gambaran jaringan insang dianalisis melalui preparat histologis yang diwarnai dengan Hematoksilin dan Eosin. Pada tahap ketiga dilakukan uji immobilisasi untuk mengetahui titer antibodi. Temuan hasil penelitian pada tahap pertama adalah sebagai berikut: perubahan nilai fisiologis dan hematologis ikan mas selama pengamatan secara keseluruhan mengalami penurunan seiring dengan lamanya waktu pemeliharaan dan meningkatnya suhu media pemeliharaan. Pada penelitian ini, ikan yang dipelihara pada suhu 20 dan 24⁰C mengalami stres yang ditandai dengan tingginya kadar kortisol dan glukosa. Sintasan yang dihasilkan berkisar antara 87100%, sintasan tertinggi didapatkan pada suhu 32⁰C. Hasil penelitian pada tahap kedua menunjukkan bahwa ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu 20⁰C mengalami stres berat, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar kortisol, kadar glukosa, penurunan persentase limfosit, dan terjadinya kerusakan insang pada hari ke-3. Tingginya patogenitas ich pada suhu rendah terlihat dari tingginya angka prevalensi pada suhu 20⁰C, yaitu sebesar 62.77±5.17%. Kesemua ini mempengaruhi angka sintasan. Sintasan terendah didapatkan dari ikan yang dipelihara pada suhu 20⁰C, yakni sebesar 58.11±2.16%. Hasil penelitian pada tahap ketiga menunjukkan bahwa kadar kartisol mengalami penurunan hingga mendekati nilai normal sampai hari ke-14 dan kembali meningkat sebesar 20.35% pada hari ke-21 setelah dilakukan uji tantang. Pada suhu rendah, titer antibodi lebih lama terbentuk dan titernya juga lebih rendah dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada suhu hangat atau mendekati suhu optimum. Tingkat prevalensi ich tertinggi didapatkan pada suhu media pemeliharaan 20⁰C, yakni sebesar 80.03±0.00%. Selanjutnya efektivitas pemberian vaksin terlihat dari hasil sintasan ikan uji setelah dilakukan uji tantang, didapatkan hasil bahwa semakin tinggi suhu media pemeliharaan maka sintasan yang dihasilkan semakin tinggi. Sintasan tertinggi diperoleh pada suhu 28⁰C, adalah sebesar 100% dan terendah pada suhu 18⁰C, yakni sebesar 69.9±1.48%. Kata kunci: Cyprinus carpio L, fisiologis, Ichthyophthirius multifiliis, suhu.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
EFEKTIVITAS PEMBERIAN VAKSIN Ichthyophthirius multifiliis TERHADAP IKAN MAS (Cyprinus carpio L) PADA SUHU MEDIA PEMELIHARAAN YANG BERBEDA
HENNI SYAWAL
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Drh. Damiana Rita Ekastuti, MS (Departemen AFF-FKH IPB)
2. Dr. MuntiYuhana, S.Pi. M.Si. (Departemen Budidaya Perairan FPIK-IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Drh. Angela Mariana Lusiastuti, M.Si (Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar, KKP) 2. Dr. Ir. Sukenda, M.Sc (Departemen Budidaya Perairan FPIK-IPB)
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan judul: Efektivitas Pemberian Vaksin Ichthyophthirius multifiliis terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio L) pada Suhu Media Pemeliharaan yang Berbeda. Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Dra. Nastiti Kusomorini, Prof. Ir. Wasmen Manalu, PhD dan Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA selaku komisi pembimbing yang telah banyak mem-berikan bimbingan dan arahan, mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian dengan segala kemudahan fasilitas laboratorium baik di lingkungan FKH maupun FPIK IPB, hingga penulisan disertasi. Terima kasih penulis sampaikan pada Dr. Munti Yuhana, SPi. MSi dan Dr. Drh. Damiana Rita Ekastuti, MS yang telah ber-sedia sebagai penguji luar komisi pada sidang tertutup. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ayahanda Syawal Hassan, Ibunda (Almh. Nurliam, M), Etek Yulinar, M dan keluarga, Ayahanda Yuliar dan ibunda Yunidar (mertua), Kakanda Yunisda dan keluarga, adik-adik beserta adik ipar semua, yang selama ini telah banyak memberikan motivasi dan doa buat keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi program doktor. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suami tercinta Drs. Yufrizal, MSi, dan anak-anakku tersayang (Mohd. Syahrizal SPt, RH. Fitri Faradilla, STp, dan M. Putra Wibowo) yang selama ini sudah banyak berkorban dengan penuh keikhlasan dalam memberikan dukungan demi keberhasilan penulis meraih gelar akademis tertinggi. Terima kasih kepada pihak berwenang di Kementrian Pendidikan dan Nasional yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPS Dikti dan dana penelitian melalui Hibah Bersaing tahun 2010 dan 2011. Terima kasih juga kepada Pimpinan dan rekan-rekan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Lembaga Penelitian Universitas Riau, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam masa studi, penelitian, dan penulisan disertasi hingga selesai. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para teknisi/laboran di lingkungan Fakultas Kedokteran Hewan (Bu Ida, Bu Sri, Mba Esti, dan Shelin). Selanjutnya Bpk. Ranta, Ruslan, dan Mba Tina di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Selanjutnya ucapan terima kasih juga penulis sampaikan buat temanteman di Mayor IFO (S-2 dan S-3) angkatan 2007-2011, khususnya Bpk. Sunarno, Mba Hernawati, Mba Syafrida, dan Bpk. Adri Jems terima kasih atas segala bantuan dan diskusinya selama ini, teman-teman di Mayor AKU 2007 khususnya (Mba Ilmiah, Mba Yulintine, Mba Hesti, dan Pak Usman), Mayor PSL 2007 (Dr.
Saida, Dr. Elida Novita, dan Pak Fuad) serta teman-teman di Mayor IKL 2007 (Mba Isni, Bpk. Efrieldi, dan Bpk. Supriadi) terima kasih atas kebersamaan, diskusi dan motivasinya. Terima kasih juga buat Dr. Ernawati Yunizar, Dr. Hera Maheswari, Dr. Aryani Sismin, Dr. Anita Esfandiari, dan Dr. Susderthi yang selalu meluangkan waktu buat penulis untuk berdiskusi. Semoga Allah SWT yang maha luas kasih sayang-Nya membalas semua kebaikan itu dengan keselamatan, kesehatan, dan keberkahan hidup yang berlipat ganda. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang perikanan dan berguna bagi yang memerlukan,…… Amin.
Bogor, Juni 2012 Henni Syawal
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lirik (Indragiri Hulu-Riau) pada tanggal 12 Maret 1962, anak pertama dari tujuh bersaudara pasangan berbahagia Syawal Hasan dan Almh. Nurliam Mahmud. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1989 diterima sebagai dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau. Pada tahun 1994, penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan S-2 di Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Sains Veteriner, lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2007, kembali melanjutkan pendidikan S-3, dan diterima pada Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, dengan mendapatkan beasiswa dari Badan Penyelenggara Program Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Departemen Pendidikan Nasional. Selain itu penulis juga mendapatkan dana bantuan penelitian melalui Program Hibah Bersaing dari DP2M DIKTI pada tahun 2010 dan 2011. Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, dari tahun 1989 sampai sekarang. Bidang studi yang diajarkan adalah Parasit dan Penyakit Ikan dan Avertebrata Air. Selama mengikuti program S-3, penulis telah menulis beberapa karya ilmiah antara lain, berjudul “Imunisasi Ikan Jambal Siam dengan Vaksin Ichthyophthirius multifiliis” yang diterbitkan pada Jurnal Veteriner. Jurnal Kedokteran Hewan Indonesia 2010.11(3). “Respons Fisiologis Ikan Jambal Siam (Pangasius hypopthalamus) pada Suhu Media Pemeliharaan yang Berbeda” diterbitkan pada Berkala Perikanan Terubuk 39 (1) Feb 2011. ISSN. Kedua tulisan ini merupakan penelitian pendahuluan untuk disertasi, yang didanai oleh DP2M DIKTI melalui proyek penelitian Hibah Bersaing tahun 2007 dan 2008. Karya ilmiah selanjutnya merupakan bagian dari disertasi dengan judul “Respons Fisiologis dan Hematologis Ikan Mas (Cyprinus carpio L) pada Suhu Media Pemeliharaan yang Berbeda” yang dipublikasikan pada Jurnal Iktiologi Indonesia, vol 12 no 1 (Juni 2012).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xviii
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kebaruan Kerangka Berpikir
1 2 3 3 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Adaptasi Ikan terhadap Lingkungan Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Ikan Faktor Fisika Faktor Kimia Faktor Biologi Respons Ikan terhadap Suhu Sistem Kekebalan pada Ikan Sistem Kekebalan Nonspesifik Sistem Kekebalan Spesifik (humoral) Hematologi Morfologi dan Siklus Hidup Ichthyophthirius multifiliis Patogenitas Ichthyophthirius multifiliis Vaksinasi Metode Pemberian Vaksin Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Vaksinasi Klasifikasi dan Habitat Ikan Mas (Cyprinus carpio L)
5 5 6 7 8 9 13 13 14 16 18 20 21 21 23 24
RESPONS FISIOLOGIS DAN HEMATOLOGIS IKAN MAS (Cyprinus carpio L) PADA SUHU MEDIA PEMELIHARAAN YANG BERBEDA Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Kesimpulan Daftar Pustaka
27 27 28 30 36 40 40
xiii
RESPONS STRES IKAN MAS (Cyprinus carpio L) AKIBAT DIINFEKSI Ichthyophthirius multifiliis PADA SUHU MEDIA PEMELIHARAAN YANG BERBEDA Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Kesimpulan Daftar Pustaka
45 45 47 49 60 64 64
RESPONS STRES IKAN MAS (Cyprinus carpio L) AKIBAT PEMBERIAN VAKSIN Ichthyophthirius multifiliis PADA SUHU MEDIA PEMELIHARAAN YANG BERBEDA Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Kesimpulan Daftar Pustaka
67 67 68 72 83 87 87
PEMBAHASAN UMUM
91
KESIMPULAN DAN SARAN
95
DAFTAR PUSTAKA
97
LAMPIRAN
109
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Rataan nilai parameter fisiologis ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda
31
Rataan nilai hematologis ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda
33
3.
Rata-rata kualitas air dari setiap perlakuan selama pengamatan
36
4.
Rataan nilai gambaran darah ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda
50
Persentase nilai diferensiasi sel leukosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda
54
Rataan kadar kortisol dan glukosa ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda
56
Nilai osmolaritas ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda
57
Rataan persentase prevalensi ich dan sintasan ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda
60
Nilai parameter hematologis ikan mas yang diberi vaksin ich
68
10. Persentase nilai diferensiasi sel leukosit ikan mas yang diberi vaksin ich
73
11. Kadar kortisol dan kadar glukosa ikan mas yang diberi vaksin ich
76
12. Rataan nilai osmolaritas plasma ikan mas yang diberi vaksin ich
80
13. Hasil uji imobilisasi pada serum ikan mas yang diberi vaksin ich
81
14. Persentase prevalensi dan sintasan ikan mas yang diberi vaksin
82
2.
5. 6. 7. 8. 9.
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka berpikir penelitian
4
2.
Interaksi ikan dengan faktor fisika, kimia, dan biologi
6
3.
Mekanisme peningkatan kadar kortisol dalam darah
10
4.
Mekanisme peningkatan kadar glukosa plasma
11
5.
Mekanisme kortisol menghambat pembentukan antibody
12
6.
Perlindungan nonspesifik dan spesifik dari serangan agen infeksius
15
7.
Proses pembentukan antibodi
16
8.
Interaksi antara makrofag, antigen, dan limfosit pada ikan
16
9.
Siklus hidup Ichthyophthirius multifiliis
19
10. Kadar kortisol ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu media pemeliharaan yang berbeda
31
11. Kadar glukosa ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu media pemeliharaan yang berbeda
32
12. Kadar hemoglobin ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu media pemeliharaan yang berbeda
33
13. Kadar hematokrit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu media pemeliharaan yang berbeda
33
14. Total eritrosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu media pemeliharaan yang berbeda
35
15. Rataan total leukosit ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda
35
16. Persentase sintasan ikan mas pada akhir pengamatan
36
17. Kadar hemoglobin ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
50
18. Nilai hematokrit ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
51
19. Total eritrosit ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
52
20. Total leukosit ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
53
21. Persenase limfosit ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
54
22. Persentase monosit ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
55
xvi
23. Persentase neutrofil ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
55
24. Kadar kortisol ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
56
25. Kadar osmolaritas ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
58
26. Preparat histologis insang ikan mas 72 jam pascainfeksi
59
27. Kadar hemoglobin ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
73
28. Nilai hematokrit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
74
29. Total eritrosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
74
30. Total leukosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
75
31. Nilai limfosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
76
32. Nilai monosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
77
33. Nilai neutrofil ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
78
34. Kadar kortisol ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
79
35. Kadar glukosa ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
80
36. Nilai osmolaritas ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich
xvii
81
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Gejala ikan terinfeksi Ichthyophthirius multifiliis dan ciri-ciri
2.
Ichthyophthirius multifiliis
109
3.
Menghitung kepadatan sel theront dari Ichthyophthirius multifiliis
109
4.
Histopatologi insang ikan mas akibat diinfeksi dengan Ich
110
5.
Prosedur pembuatan vaksin ich dan uji viabilitas terhadap sel theront
111
6.
Prosedur uji imobilisasi
112
7.
Analisis ragam kadar kortisol ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda
113
Analisis ragam kadar glukosa ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda
114
Analisis ragam nilai hematokrit ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda
115
8. 9.
10. Analisis ragam kadar hemoglobin ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda
116
11. Analisis ragam total eritrosit ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda
117
12. Analisis ragam total leukosit ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda
118
13. Analisis ragam kadar hemoglobin ikan mas yang diinfeksi dengan ich
119
14. Analisis ragam nilai hematokrit ikan mas yang diinfeksi dengan ich
120
15. Analisis ragam total eritrosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich
120
16. Analisis ragam total leukosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich
121
17. Analisis ragam nilai limfosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich
121
18. Analisis ragam nilai monosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich
122
19. Analisis ragam nilai neuterofil ikan mas yang diinfeksidengan ich
122
20. Analisis ragam kadar kortisol ikan mas yang diinfeksi dengan ich
123
21. Analisis ragam kadar glukosa ikan mas yang diinfeksi dengan ich
123
22. Analisis ragam untuk nilai osmolaritas ikan mas yang diinfeksi dengan ich
124
xviii
23. Analisis ragam prevalensi ikan mas yang diinfeksi dengan ich
124
24. Analisis ragam sintasan ikan mas yang diinfeksi dengan ich
124
25. Analisis ragam nilai hematokrit ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich
125
26. Analisis ragam kadar hemoglobin ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich
126
27. Analisis ragam total eritrosit ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich
126
28. Analisis ragam total leukosit ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich
127
29. Analisis ragam nilai limfosit ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich
128
30. Analisis ragam nilai monosit ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich
129
31. Analisis ragam nilai neuterofil ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich
129
32. Analisis ragam kadar kortisol ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich
130
33. Analisis ragam kadar glukosa ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich
130
34. Analisis ragam nilai osmolaritas ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich
131
35. Analisis ragam prevalensi ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich
131
36. Analisis ragam sintasan ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich
131
xix
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha budi daya ikan mas telah banyak dilakukan masyarakat secara intensif, baik yang dipelihara di kolam, keramba, maupun jaring apung. Usaha intensif ini biasanya dilakukan dengan kepadatan tinggi dan pemberian pakan yang maksimal agar ikan tumbuh dengan cepat. Namun, usaha ini sering juga mengalami kegagalan karena adanya serangan penyakit. Kegagalan akibat penyakit ini bisa mencapai 30-90%, bahkan dapat mencapai 100% apabila kondisi lingkungan ekstrim dan adanya mikroorganisme patogen di perairan (Supriyadi dan Komaruddin 2003). Kendala utama dalam pengembangan usaha budi daya ikan air tawar adalah penyediaan benih yang masih terbatas, baik kualitas maupun kuantitas. Salah satu penyebab timbulnya kendala tersebut adalah karena tingginya angka kematian pada saat masih berukuran benih. Angka kematian atau mortalitas bisa mencapai 80–100% yang disebabkan oleh serangan parasit, bakteri, virus, dan jamur (Nigrelli et al. 1976). Salah satu penyakit yang kerap menyerang adalah Ichthyophthiriasis atau “White Spot”. Penyakit ini
disebabkan oleh parasit
golongan protozoa (Ichthyophthirius multifiliis). Parasit ini menyerang organ ikan bagian luar, seperti kulit, sirip, insang, dan mata, yang akibatnya
dapat
menimbulkan kematian pada ikan peliharaan, terutama yang masih berukuran benih, dengan laju kematian mencapai 100% dalam waktu relatif singkat (Matthews 2005). Keberadaan parasit ich di perairan akan lebih mudah penyebarannya apabila diikuti oleh padat penebaran yang tinggi, sedangkan faktor lingkungan yang sangat berpengaruh pada perkembangan parasit ich adalah suhu. Suhu merupakan faktor pengontrol di perairan karena dapat mempengaruhi siklus hidup dan ukuran parasit ich, selain itu juga mempengaruhi kadar oksigen terlarut dan NH3 di dalam air. Pengendalian penyakit ichthyophthiriasis ini sudah dilakukan dengan menggunakan bahan kimia, namun cara ini tidak efektif apabila ich telah melakukan penetrasi ke kulit dan insang. Selain itu, bahan tersebut tidak dapat membunuh semua stadia ich, dan dampak lain akibat penggunaan bahan kimia
2
adalah tercemari lingkungan dan produk makanan (Xu et al. 2007). Kesulitan dalam mengatasi penyakit tersebut dikarenakan siklus hidup ich sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan pemeliharaan. Selain pengendalian suhu, usaha lain untuk mengatasi hal tersebut di atas adalah melakukan pencegahan dengan cara pemberian vaksin ich. Suhu merupakan salah satu faktor penyebab stres pada ikan. Perubahan suhu pada media pemeliharaan akan sangat berpengaruh pada semua proses fisiologis ikan, seperti laju pernapasan, metabolisme, denyut jantung, dan sirkulasi darah di dalam tubuh (Nofrizal et al. 2009). Ikan yang mengalami stres akan menunjukkan peningkatkan sekresi katekolamin dan kortisol (Berne dan Levy 1988). Kedua hormon tersebut pada kadar yang tinggi akan berpengaruh negatif pada sistem imunitas ikan. Hal ini disebabkan karena meningkatnya kortisol dalam plasma akan menurunkan aktivitas sel-sel leukosit. Akibatnya, kekebalan ikan akan menurun sehingga rentan terinfeksi oleh bakteri, virus, parasit, dan jamur. Dengan demikian, infeksi dapat menimbulkan kematian dalam jumlah yang banyak. Perumusan Masalah Kondisi lingkungan pada kegiatan budi daya intensif sering bermasalah karena luasan wadah yang digunakan terbatas, kepadatan ikan dalam wadah pemeliharaan tinggi, dan pemberian pakan yang banyak. Dengan demikian, banyak dihasilkan sisa pakan yang tidak termanfaatkan dan feses ikan yang kemudian menumpuk di dasar perairan. Kondisi ini akan memicu penurunan kualitas air, dan sebagai akibatnya dapat meningkatkan populasi mikroorganisme patogen yang sebetulnya juga sudah ada di perairan tersebut. Akibat kondisi perairan yang buruk ini, ikan akan mengalami stres dan kondisi fisiologisnya terganggu sehingga
memicu terjadinya penurunan fungsi kekebalan tubuh.
Dengan demikian, ikan mudah terinfeksi oleh mikroorganisme patogen, seperti parasit, bakteri, jamur, dan virus. Akibatnya, angka mortalitas ikan menjadi tinggi, terutama pada saat ikan masih di kolam pendederan atau saat awal pemeliharaan di kolam pembesaran. Kematian umumnya disebabkan oleh kegagalan ikan beradaptasi dengan lingkungan.
3
Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dicari suatu alternatif untuk pencegahan agar usaha budi daya intensif tetap berhasil. Pemberian vaksin pada ikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kekebalan ikan terhadap suatu penyakit. Dengan demikian, angka sintasan dapat ditingkatkan dan pada akhirnya produksi dapat meningkat. Penelitian tentang penyakit Ichthyophthiriasis yang disebabkan oleh parasit Ichthyophthirius multifiliis di Indonesia jarang sekali dilakukan. Sejauh ini penelitian-penelitian lebih banyak mengkaji tentang patogenitas dan cara pencegahan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus yang biasa menyerang ikan, sedangkan tentang parasit sangat jarang dilakukan. Penelitian ini tidak hanya mengkaji patogenitas I. multifiliis, pencegahan dengan pemberian vaksin, tetapi juga mengkaji kondisi fisiologis ikan akibat patogenitas I. multifiliis dan pemberian vaksin serta pengaruh suhu media pemeliharaan yang berbeda. Suhu perairan sangat mempengaruhi kondisi fisiologis ikan dan siklus hidup
parasit ich. Suhu dapat menimbulkan stres pada ikan dan juga dapat
mempengaruhi sistem kekebalan sehingga ikan rentan terhadap serangan ich. Pengaturan suhu media pemeliharaan dan pemberian vaksin dapat memperbaiki kualitas hidup ikan. Salah satu keberhasilan dalam pemberian vaksin ke ikan juga sangat ditentukan oleh suhu lingkungan. Tujuan Penelitian 1. Mengkaji respons stres pada ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda 2. Mengkaji respons stres pada ikan mas yang diinfeksi dengan Ich thyophthirius multifiliis dan dipelihara pada suhu media yang berbeda 3. Mengkaji respons stres pada ikan mas akibat diberi vaksin I. multifiliis dan dipelihara pada suhu media yang berbeda
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai dasar untuk pengembangan pembuatan vaksin yang berasal dari Ichthyophthirius multifiliis.
4
Kebaruan (Novelty) Penggunaan stadia theront sebagai vaksin dari Ichthyophthirius multifiliis yang diinaktifkan dapat mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh I. multifiliis. Kerangka Berpikir Penelitian Faktor lingkungan perairan, seperti suhu, tidak hanya berpengaruh pada kehidupan ikan, tetapi juga berpengaruh pada siklus hidup dan patogenitas I. multifiliis. Pada suhu tinggi, kandungan oksigen terlarut rendah sehingga dapat menimbulkan kondisi hipoksia dan akibatnya ikan akan kekurangan energi. Demikian juga pada suhu rendah, proses metabolisme juga tidak dapat berlangsung dengan baik sehingga ikan menjadi lemah dan mudah terinfeksi. Siklus hidup I. multifiliis pada suhu rendah lebih lama dan patogenitasnya juga tinggi. Untuk lebih jelasnya tentang kerangka berpikir penelitian ini disajikan dalam bentuk bagan alir (Gambar 1).
KADAR OKSIGEN TERLARUT
ERITROPOIESIS
HIPOKSIA
Optimum Laju pencernaan
SUHU MEDIA
Tk. Kekosongan lambung
Derajat lapar
Tingkat konsumsi pakan
PARASIT I.multifiliis
IKAN STRES
Kortisol Kortisol
Respons imun
Respons imun
VAKSIN I. multifiliis Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian
-
+
_
Pertumbuhan
+
Sintasan
5
TINJAUAN PUSTAKA
Adaptasi Ikan terhadap Lingkungan Ikan telah berevolusi sehingga cara beradaptasi dengan lingkungan berbeda dari hewan teresterial. Adanya sisik, sirip, dan lendir (mukus) pada permukaan tubuh dapat melindungi ikan dari gangguan eksternal. Ikan memiliki 6-8 sirip, dengan adanya sirip-sirip ini akan memudahkan ikan bergerak maju dan mundur. Karena air memiliki kepadatan molekul yang tinggi, yaitu 800 kali lebih padat dibandingkan udara, maka ikan memerlukan sejumlah besar kekuatan otot. Sisik yang ada melekat erat pada kulit dan ditutupi lendir berfungsi untuk melindungi kulit dari cedera dan infeksi. Ikan-ikan yang tidak bersisik telah berevolusi dengan tanpa sisik, tetapi memiliki duri tajam di beberapa bagian sirip, yang berfungsi untuk melindungi diri dari predator. Adanya lendir di atas sisik sangat efektif untuk menghambat pelekatan dan melumpuhkan serangan mikroorganisme patogen, mengurangi gesekan, dan memudahkan pergerakan. Suhu pada lingkungan akuatik relatif stabil sehingga hewan yang hidup di dalamnya tidak mengalami permasalahan yang serius terhadap perubahan suhu lingkungan. Pelepasan panas dari tubuh ikan terutama melalui insang. Kelebihan panas pada hewan akuatik akan diserap oleh air sehingga suhu tubuh ikan akan stabil dan relatif sama dengan suhu air di sekitarnya. Pada hewan teresterial, suhu tubuh selalu berubah dengan variasi cukup besar. Cara
hewan teresterial
mengatur suhu tubuhnya yaitu dengan cara konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi (Hoar 1984). Suhu dapat mempengaruhi proses fisiologis dan biokimia pada beberapa hewan, termasuk ikan. Pengaruh suhu tersebut, antara lain mempengaruhi asupan makanan, laju metabolisme, proses enzim, fungsi membran, dan sintesis protein (Wedemeyer 1996). Selanjutnya dilaporkan bahwa perubahan suhu dalam waktu yang lama, baik terhadap suhu rendah atau tinggi, dapat mempengaruhi kondisi fisiologis dan biokimia dan secara umum proses ini dinamakan aklimatisasi suhu. Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Ikan Perubahan faktor lingkungan harus direspons oleh ikan. Respons ikan terhadap perubahan lingkungan ini pada dasarnya adalah dalam upaya untuk
6
mempertahankan hidupnya, termasuk di dalamnya agar dapat tumbuh dan berkembang biak. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi kesehatan dan kondisi fisiologis ikan. Faktor lingkungan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga faktor, yaitu faktor fisika, kimia, dan biologi. Interaksi antara ketiga faktor lingkungan tersebut diilustrasikan pada Gambar 2 (Wedemeyer 1996). Faktor kimia (kualitas air) - Kandungan oksigen - Toksin metabolit (NH3, CO2)
Faktor biologi - Mikroorganisme patogen dan nonpatogen
Faktor Fisika - Suhu - Kepadatan - Cahaya
Gambar 2. Interaksi ikan dengan faktor fisika, kimia, dan biologi (Wedemeyer 1996)
Faktor Fisika Suhu perairan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan besarnya intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan. Besarnya intensitas cahaya akan menentukan derajat panas, yakni semakin banyak sinar matahari yang masuk maka semakin tinggi suhu air. Namun, semakin bertambahnya kedalaman air maka akan menurun suhu perairan. Suhu yang terdeteksi di permukaan air dipengaruhi oleh keadaan meteorologi, seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin, dan intensitas cahaya matahari (Nontji 1984
7
dalam Purnamawati 2009). Kedalaman perairan merupakan parameter penting untuk kelayakan luasan wadah usaha budi daya ikan. Hal ini juga terkait dengan kualitas air, seperti suhu, kecerahan, dan kecepatan arus. Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat menimbulkan stres pada ikan. Stres adalah ketidak mampuan suatu organisme mempertahankan kondisi homeostasis akibat terganggunya individu tersebut oleh adanya rangsangan dari luar yang dinamai dengan stresor (Kubilay dan Ulukoy 2002). Suhu juga dapat mempengaruhi daya tahan berenang ikan dan denyut jantung ikan Trachurus japonicus, yaitu 25.3 denyut per menit pada suhu 10°C, 38.9 pada suhu 15°C, dan 67.2 denyut per menit pada suhu 22°C. Denyut jantung juga meningkat dengan meningkatnya kecepatan renang ikan (Nofrizal et al. 2009). Kepadatan atau padat tebar yang tinggi di suatu wadah pemeliharaan ikan dapat mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut, terjadinya akumulasi ammonia yang berasal dari sisa metabolisme, dan banyaknya feses yang menumpuk. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas air, dan berdampak buruk pada ikan yang ditandai dengan tingginya kadar kortisol dan kadar glukosa pada ikan (Ortuno et al. 2002). Kepadatan adalah salah satu penyebab stres pada ikan tilapia dan terjadi peningkatan kadar glukosa setelah 2 jam pengurungan yang ditandai dengan terjadinya proses glikogenolisis. Faktor Kimia Ikan memerlukan energi untuk melakukan aktivitas, seperti berenang, pertumbuhan, dan reproduksi. Kebutuhan ikan akan oksigen bergantung pada laju metabolisme, dan pada dasarnya terkait dengan suhu air dan ukuran ikan. Ikan di air hangat lebih banyak membutuhkan oksigen dibandingkan ikan di air dingin. Konsumsi oksigen pada ikan kecil lebih banyak per unit bobot badan dibandingkan ikan besar (Wedemeyer 2001). Proses pengambilan oksigen dan pelepasan karbon dioksida dinamakan respirasi. Masuknya oksigen melalui insang dengan cara memompakan air terus menerus, menyebabkan terjadinya pergerakan oksigen ke dalam pembuluh kapiler darah insang yang jumlahnya ribuan. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan oksigen (PO2) di dalam insang lebih besar dari pada PO2 di
8
pembuluh darah kapiler, sehingga oksigen akan berdifusi ke pembuluh darah kapiler. Apabila oksigen telah berdifusi dalam darah maka akan berikatan dengan Fe++ yang terkandung dalam hemoglobin. Hemoglobin bertanggung jawab untuk mengatur PO2 di dalam jaringan. Tekanan oksigen di dalam kapiler jaringan tidak lebih dari 40 mmHg. Apabila PO2 lebih tinggi dari 40 mmHg, oksigen yang diperlukan oleh jaringan tidak dapat ke luar dari hemoglobin (Fujaya 2004). Pengikatan oksigen oleh hemoglobin di dalam darah, kemudian dibawa ke jaringan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti suhu (Nielsen 1997). Konsentrasi oksigen dalam air dipengaruhi oleh laju difusi dari udara, fotosintesis oleh tumbuhan air, dan respirasi organisme perairan. Jika fitoplankton di perairan melimpah, konsentrasi oksigen akan tinggi hingga sore hari. Konsentrasi
oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis berlangsung pada
siang hari dengan bantuan cahaya matahari. Pada malam hari, konsumsi oksigen meningkat, karena semua organisme hidup memanfaatkan oksigen untuk respirasi akibatnya pada pagi hari konsentrasi oksigen rendah (Tucker 1993). Kelarutan oksigen dalam air menurun dengan meningkatnya suhu dan salinitas. Ketersediaan oksigen di perairan sering menjadi faktor pengontrol dalam kehidupan ikan. Ikan yang mengalami kekurangan oksigen atau dalam kondisi hipoksia akan mengalami penurunan nafsu makan, energi yang dihasilkan
sedikit sehingga
pergerakan juga lambat (Randall et al. 2004). Banyak permasalahan pada kegiatan budi daya intensif baik langsung maupun tidak langsung, pada perubahan patofisiologi darah dan sistem sirkulasinya. Sebagai contoh, insang yang terinfeksi parasit dapat berakibat terjadinya penyempitan kapiler dan kerusakan struktur anatomi lamella sekunder insang, akibatnya terjadi gangguan pernapasan. Apabila ikan dalam kondisi stres akibat penanganan, maka produksi epinefrin dapat meningkatkan sirkulasi darah ke insang sehingga terjadi peningkatan pengambilan oksigen dari air (Wedemeyer 1996). Faktor Biologi Interaksi antara ikan dan organisme lain di dalam lingkungan wadah pemeliharaan harus dapat dikendalikan, terutama terhadap agen yang dapat menimbulkan penyakit. Agen ini biasanya bisa berasal dari sumber air, atau dari
9
pakan alami, seperti cacing tubifex. Faktor lain yang juga dapat mengganggu kenyamanan ikan adalah pemangsa, seperti adanya burung pemakan ikan. Pemangsa ini dapat membantu penyebaran penyakit ke dalam perairan (Woo et al. 2002). Kondisi lingkungan perairan yang subur karena terjadinya ledakan populasi alga (algae bloom), dapat berdampak buruk pada usaha budi daya. Pada umumnya algae bloom hanya melibatkan spesies tunggal dan sering dinamai berdasarkan warna koloni algae penyebabnya.
Alga Microcystis (bluegreen
algae) adalah alga air tawar yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan dan hewan perairan, karena dapat menurunkan kadar oksigen di perairan dan toksin yang dihasilkan alga tersebut dapat mengganggu pernapasan (Irianto 2005). Respons Ikan terhadap Suhu Respons stres pada ikan secara umum dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu respons stres primer, sekunder, dan tersier (Iwama dan Nakanishi 1996). Respons stres primer ditandai dengan pelepasan hormon katekolamin dan kortisol ke dalam sirkulasi sehingga kadar kortisol di dalam plasma meningkat dan merupakan indikator utama stres. Hormon katekolamin berasal dari jaringan chromaffin, sedangkan kortisol berasal dari jaringan interrenal. Respons stres sekunder sering juga dikatakan sebagai efek metabolik yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa plasma. Respons stres tersier adalah apabila ikan tidak mampu untuk melakukan aklimasi atau beradaptasi terhadap stressor, maka ikan akan mengalami gangguan pertumbuhan dan reproduksi. Mekanisme peningkatan kadar kortisol diilustrasikan pada Gambar 3 dan kadar glukosa plasma Gambar 4.
10
Gambar 3. Mekanisme peningkatan kadar kortisol dalam darah (Molina 2010)
11
STRESOR
HIPOTHALAMUS
HIPOFISIS CRF
ACTH
Jaringan cromaffin Jaringan interrenal Kortek adrenal Medula adrenal Kortikostreoid Kortisol Plasma
Katekolamin Adrenalin dan Noradrenalin
Glukoneogenesis
Glikogenolisis
Glukosa Plasma Keterangan: ACTH = Adrenocorticosteroid CRF= Corticotrophin releasing factor
Gambar 4. Mekanisme peningkatan kadar glukosa plasma (Isnaeni 2006: Purbayanto et al. 2010) Kadar kortisol yang tinggi dapat mempengaruhi respons imun, yang ditandai dengan menurunnya aktivitas fagositik leukosit, meningkatnya pelepasan neutrofil dari sumsum tulang, namun efektivitasnya menurun (Berne dan Levy 1988). Selanjutnya juga dikatakan bahwa kortisol menghambat produksi interleukin-1 oleh makrofag dan interleukin-2 oleh sel T helper. Mekanisme kortisol menghambat produksi interleukin disajikan pada Gambar 5. Ikan yang mengalami stres berkepanjangan dapat berisiko tinggi untuk terinfeksi bakteri dan parasit (Costas et al. 2008). Jorgensen dan Buchmann (2007) menjelaskan bahwa meningkatnya kadar kortisol dapat menyebabkan ikan dalam kondisi kronis atau akut selama diinfeksi dengan Ichthyophthiriusmultifiliis. Stres menyebabkan terjadinya hiperglisemia, kondisi ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam mempertahankan homeostasis.
12
Gambar 5. Mekanisme kortisol menghambat pembentukan antibodi (Berne dan Levy 1988)
Keberhasilan transfer glukosa ke dalam sel sangat ditentukan oleh kinerja insulin. Apabila kinerja insulin meningkat, maka masuknya glukosa ke dalam sel akan lebih efektif sehingga glukosa segera tersedia sebagai sumber energi. Naiknya transfer glukosa ke dalam sel yang disebabkan oleh peran kromium mengakibatkan turunnya glukosa dalam darah dengan cepat (Hastuti 2004). Hal ini dijelaskan karena kortisol dapat menyebabkan terjadinya immunosupresif. Pelepasan kortikosteroid dan katekolamin, memicu terjadinya peningkatan glukosa plasma dan gangguan osmotik (Mazeaud et al. 1977 dalam Shrimton et al. 2001). Suhu air dikenal sebagai suatu regulator penting dari respons kekebalan ikan. Suhu lingkungan yang rendah dapat meningkatkan penekanan respons imun baik pertahanan nonspesifik maupun spesifik (Koeypudsa dan Jongjareanjai 2010). Selanjutnya Bozorgnia et al. (2011) juga melaporkan bahwa suhu berpengaruh signifikan pada proses fisiologis ikan, seperti respons imun, pertumbuhan dan metabolisme. Suhu normal untuk ikan beradaptasi di daerah tropis berkisar antara 22-35⁰C (Howerton 2001). Suhu optimum untuk
13
pertumbuhan berkisar antara 25-31⁰C (Popma dan Masser 1999 dalam Atli dan Canli 2008). Suhu dapat mempengaruhi aktivitas Na+K+-ATPase dan morfologi insang ikan air tawar maupun air laut. Pola perubahannya, pada ikan air tawar lebih konsisten apabila dibandingkan dengan ikan air laut (Evans dan Claiborne 2006). Na+K+-ATPase berperan penting pada saat adaptasi terhadap perubahan faktor suhu dan salinitas (Inman dan Lockwood 1977 dalam Atli dan Canli 2008). Sistem Kekebalan pada Ikan Ikan termasuk hewan vertebrata yang sistem pertahanannya mirip dengan hewan mamalia dan burung. Sistem pertahanannya dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu sistem pertahanan bawaan dari lahir (innate) dan sistem pertahanan yang didapatkan (adaptive). Perlindungan didasarkan atas kekebalan bawaan (innate immunity) secara umum tidak bergantung pada struktur organisme yang menyerang. Namun, komponennya bereaksi cepat dan relatif tidak bergantung pada suhu. Ikan memiliki kemampuan respons imun nonspesifik dan spesifik (humoral) yang diperantarai sel (cell-mediated immune response) (Woo 2006). Sistem Kekebalan Nonspesifik Sistem kekebalan nonspesifik adalah jika inang memberikan respons yang sama terhadap berbagai jenis antigen, baik antigen berkontak untuk pertama kali dengan inang maupun yang sudah berulang, tanpa menimbulkan respons memori pada tubuh inang. Jika suatu individu terpapar oleh bahan asing maka yang pertama kali akan merespons adalah sistem pertahanan bawaan atau nonspesifik. Kulit dan mukus, merupakan sistem pertahanan fisik pertama (kekebalan nonspesifik) pada ikan yang dapat mencegah masuknya mikroorganisme patogen (Stoskopf 1993). Keuntungan lainnya dari kulit adalah dapat mempertahankan osmolaritas terhadap lingkungan perairan (Ellis 1988). Selanjutnya dilaporkan mukus atau lendir yang terdapat pada permukaan tubuh ikan, juga berfungsi untuk menghambat kolonisasi mikroorganisme pada integumen. Mukus pada kulit dihasilkan oleh sel-sel goblet, yang berfungsi untuk mencegah menempelnya bakteri, fungi, parasit, dan virus. Mukus mengandung lisosim, komplemen, dan immunoglobulin (Ig), kesemua ini tergolong ke dalam
14
sistem kekebalan nonspesifik. Baru-baru ini ditemukan antibodi yang dihasilkan sebagai akibat infeksi parasit dan bakteri di lendir dan antibodi yang dihasilkan bukan berasal dari serum, tetapi dihasilkan oleh limfosit yang terdapat pada kulit. Molekul humoral pada mukus ikan ini termasuk lektin (kharbohidrat), transferin, dan merupakan komponen dari sistem komplemen. Sel-sel nonspesifik dari sistem imun ikan termasuk monosit atau makrofag jaringan, granulosit (heterofil), dan sitotoksit (Craig et et al. 2005). Selanjutnya, Douglas et al. (2001) melaporkan bahwa mukus yang terdapat di kulit dan usus
juga mengandung bahan
antimikrob, yaitu berupa peptida, seperti pleurosidin. Bahan ini diekpresikan pada hari pertama hingga hari ketiga setelah menetas, dan diduga memegang peranan penting dalam kehidupan ikan sebelum berkembangnya sistem
kekebalan.
Lisozim mempunyai aktivitas antibakteri (khususnya pada Gram positif) yang menyebabkan lisis dan dapat juga berperan sebagai opsonin (Ellis 1988). Lisozim juga dilaporkan dapat meningkatkan fagositosis (Engstad et al. 1992). Mekanisme sistem kekebalan ini tidak menunjukkan spesifisitas terhadap bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap berbagai jenis patogen. Ikan yang dipelihara pada suhu 20οC mempunyai aktivitas dan produksi komplemen yang meningkat bila dibandingkan dengan yang dipelihara pada suhu 5 dan 10οC. Namun, peningkatan aktivitas komplemen ini apakah akibat peningkatan produksi protein komplemen atau perubahan fungsi protein komplemen pada ikan yang dipelihara pada suhu tinggi belum diketahui (Nikoskelainen et al. 2004). Selanjutnya dilaporkan juga bahwa terjadi penurunan aktivitas hemolitik dari serum ikan channel catfish pada musim semi dan musim dingin. Demikian juga dengan kemampuan opsonisasi plasma ikan menurun pada pemeliharaan di suhu rendah. Efisiensi opsonisasi plasma ikan rainbow trout lebih efisien pada kisaran suhu 10–15οC, dengan rasio OZ (Opsonisasi Zymozan) dan NOZ (Non Opso-nisasi Zymozan) tidak lebih dari 1.0 (Nikoskelainen et al. 2004). Sistem Kekebalan Spesifik (humoral) Kekebalan spesifik atau humoral erat kaitannya dengan pembentukan antibodi. Perkembangan respons ikan terhadap kekebalan nonspesifik, spesifik, dan memori kekebalan sepesifik diilustrasikan pada Gambar 6. Apabila agen infeksius melakukan penetrasi ke ikan, maka mekanisme kekebalan nonspesifik
15
akan terstimulasi dan menghambat serangan agen infeksi. Jika sistem kekebalan nonspesifik ini dapat bekerja dengan baik, maka penyakit tidak akan berkembang. Sebaliknya, apabila sistem ini tidak bisa melawan antigen yang masuk maka penyakit akan berkembang. Untuk mengatasi hal ini maka mekanisme pertahanan spesifik akan berperan dalam proses penyembuhan dan memblok perkembangan infeksi. Selanjutnya, apabila terinfeksi kembali, maka sistem kekebalan memori spesifik akan langsung merespons sehingga ikan terlindungi dari penyakit.
Gambar 6. Perlindungan nonspesifik dan spesifik dari serangan agen infeksius (www. dsm.com/en_VS/downloads/dnp/51644_vitaminC.pdf). Mekanisme pertahanan spesifik dalam pembentukan antibodi adalah dimulai dari adanya antigen yang masuk kemudian ditelan oleh makrofag, selanjutnya makrofag akan mengaktivasi sel limfosit B untuk melakukan proliferasi. Makrofag diaktivasi juga untuk menghasilkan interleukin-1 yang kemudian akan mengaktifkan sel limfosit T untuk kembali memproduksi interleukin-2, yang mendukung terjadinya proliferasi sel-sel limfoblas dan menstimulasi sel limfosit B untuk menghasilkan immunoglobulin. Ikan hanya mensintesis satu jenis immunoglobulin, yaitu immunoglobulin M (IgM) Stoskopf 1993. IgM lebih efisien dari pada IgG dalam aktivasi komplemen, opsonisasi netralisasi dari virus, dan aglutinasi (Tizar 1987). Mekanisme pembentukan antibodi mulai dari hadirnya antigen hingga terbentuknya antibodi diilustrasikan pada Gambar 7 dan 8.
16
Gambar 7. Proses pembentukan antibodi (www. dsm.com/en_VS/downloads/dnp/51644_vitaminC.pdf) Antigen
IgM
Macrophage
Lymphocyte proliferation
Gambar 8. Interaksi antara makrofag, antigen, dan limfosit ikan Lymphopada cyteProliferation (Stoskofp 1993)
Hematologi Hematologi adalah ilmu yang mempelajari tentang darah serta jaringan yang membentuknya. Darah merupakan bagian yang terpenting dalam sistem transportasi di dalam tubuh. Jumlah darah di dalam tubuh, berkisar antara 6-8% dari bobot badan (Robert 1978). Fungsi darah dalam sirkulasi adalah sebagai media pembawa bahan nutrisi dari saluran pencernaan ke jaringan, dan sisa metabolisme dari sel ke organ eksresi, sebagai regulasi suhu tubuh, dan lain-lain. Secara rinci fungsi darah adalah; 1) membawa zat makanan yang telah disiapkan
17
oleh saluran pencernaan menuju ke seluruh jaringan tubuh, 2) membawa oksigen ke jaringan, 3) membawa karbon dioksida dari jaringan, 4) membawa produk buangan dari berbagai jaringan untuk diekresikan, 5) membawa hormon dari kelenjar endokrin ke organ lain, 6) berperan penting dalam pengendalian suhu tubuh, 7) berperan dalam mempertahankan keseimbangan air, 8) berperan dalam sistem buffer untuk membantu mempertahankan pH, 9) penggumpalan atau pembekuan darah sehingga dapat mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebihan pada saat luka, dan 10) mengandung berbagai faktor penting untuk mempertahankan tubuh dari serangan penyakit (Anderson dan Swicki 1995; Iwama dan Nakanishi 1996). Darah
ikan terdiri atas sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih
(leukosit). Eritrosit merupakan bagian utama dari sel darah, warna merah disebabkan oleh adanya hemoglobin. Hemoglobin merupakan zat warna (pigmen) darah yang berupa ikatan kompleks protein terkonjugasi, yang dibentuk oleh pigmen dan protein sederhana. Protein ini adalah suatu histon yang disebut globin. Warna merah dari hemoglobin disebabkan oleh heme, yaitu suatu ikatan metalik mengandung sebuah atom besi (Fe) (Swenson 1984 dalam Hidayaturrahmah 2011). Produksi hemoglobin dipengaruhi oleh kadar Fe di dalam tubuh karena besi merupakan komponen terpenting dalam pembentukan molekul heme. Jika tidak terdapat transferin dalam jumlah yang cukup akan menyebabkan kegagalan dalam pengangkutan zat besi menuju eritroblast. Hal ini dapat menimbulkan kondisi anemia hipokromik yang berat, yaitu terjadinya penurunan jumlah eritrosit yang mengandung lebih sedikit hemoglobin (Guyton dan Hall 1997). Nilai hematokrit adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan persentase (berdasarkan volume) dari darah yang terdiri atas sel-sel darah merah. Nilai hematokrit dapat digunakan sebagai perkiraan jumlah eritrosit di dalam tubuh secara cepat. Jika nilai hematokrit dalam darah rendah maka dapat diartikan bahwa jumlah sel darah merah di dalam tubuh lebih sedikit dibandingkan dengan kondisi normal (Foster et al. 2006). Leukosit merupakan salah satu sel darah yang mempunyai peran sangat penting dalam sistem kekebalan ikan. Leukosit sangat berbeda dari eritrosit karena
18
memiliki kemampuan bergerak bebas dan mampu keluar dari pembuluh darah menuju jaringan dalam melakukan fungsinya. Jumlah leukosit jauh di bawah eritrosit dan bervariasi bergantung pada jenis hewannya. Jumlah leukosit yang menyimpang dari keadaan normal mempunyai arti klinik penting dalam mengevaluasi gangguan kesehatan. Jumlah leukosit akan meningkat secara pesat dalam waktu singkat apabila terjadi suatu penyakit infeksi ( Iwama dan Nakanishi 1996). Sel leukosit, terdiri atas limfosit, monosit, neutrofil, dan trombosit dengan fungsi yang berbeda-beda. Morfologi dan Siklus Hidup Ichthyophthirius multifiliis Ichthyophthirius multifiliis (ich) adalah parasit golongan protozoa yang biasa menyerang ikan air tawar pada usaha budi daya intensif. Patogenitas ich dapat menyebabkan mortalitas hingga 100%. Parasit ini bersifat obligat dan hidup atau tinggal di bawah epitelium kulit, insang, dan sirip, serta memakan jaringan inangnya (Lobo-da-Cunha dan Azevedo 1990). Ichthyophthiriusmultifiliis bentuknya bundar, seluruh permukaan tubuh ditutupi oleh silia yang berguna untuk bergerak dan melakukan penetrasi ke lapisan epidermis ikan. Ich memiliki sejumlah vakuola, mikro dan makro nukleus. Makro nukleus bentuknya seperti tapal kuda yang merupakan ciri khas dari I. multifiliis. Stadia trophozoid dari I. multifiliis berukuran 0.5-1cm, sedangkan theront berukuran 25-70x1522μm (Lom dan Dykova 1992). Ich stadia dewasa dinamakan trophozoid dan akan lepas dari tubuh ikan, dinamakan trophont. Trophont akan mensekresikan gelatin dan membentuk kista. Trophont tersebut akan bergerak secara perlahan dan mulai melakukan pembelahan sel secara binary fision. Trophont akan menghasilkan theront yang jumlahnya berkisar antara 250-2.000 sel (Lom dan Dykova 1992). Kemampuan trophont menghasilkan theron sangat bergantung pada ukuran trophozoid dan lamanya berada di tubuh ikan (Ewing dan Kocan 1986). Siklus hidup ich terdiri atas tiga fase, yaitu fase hidup bebas (theront), fase bersifat parasit (trophozoid), dan fase reproduksi (trophont) (Lobo-da-Cunha dan Azevedo1994). Theront yang dihasilkan akan langsung bergerak aktif mencari inang (host), apabila tidak menemukan inang dalam waktu maksimal 94 jam theront akan mati. Siklus hidup ich langsung dan tidak membutuhkan inang perantara (Ewing dan Kocan 1992).
19
Faktor lingkungan, seperti suhu, sangat berpengaruh pada siklus hidup ich. Pada suhu 10oC siklus hidup lebih kurang 20 hari, pada suhu 13-15⁰C menjadi 12 hari, pada suhu 18–20οC turun menjadi 7 hari, dan pada suhu 22–24οC adalah 3–6 hari. Faktor lain yang berpengaruh adalah pH, dan kandungan oksigen. pH di bawah 5 atau di atas 10, dan konsentrasi oksigen 0.2 mgL-1 akan menyebabkan kematian ich pada semua stadia (Lom dan Dykova 1992). Siklus hidup ich diliustrasikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Siklus hidup Ichthyophthirius multifiliis Noga (2000) Keterangan : a. Trophozoid, b. Trophont, c. Theront Suhu yang optimum bagi ich (stadia theront) untuk melakukan invasi ke ikan adalah pada suhu 24–26οC, sedangkan pada suhu 29οC I. multifiliis tidak mampu menginfeksi ikan. Hal ini terbukti dari ikan yang terinfeksi ich ditularkan ke ikan sehat yang dipelihara pada suhu 29οC tidak terjadi infeksi, sebaliknya ikan yang sebagai sumber infeksi ini jadi sembuh (Syawal et al. 2001). Penyebaran penyakit ini dipicu oleh adanya peningkatan aktivitas budi daya dan perdagangan ikan hias. Patogenitasnya meningkat apabila ikan dalam kondisi stres akibat tingginya populasi ikan dalam wadah pemeliharaan, kualitas air yang buruk, dan mutu pakan yang rendah (Paperna 1996 dalam Woo et al. 2002). Penyakit ichthyophthiriasis biasanya berkembang apabila suhu air relatif hangat dan ikan dalam kondisi stres akibat kandungan oksigen rendah, atau kepadatan ikan tinggi (Woo 2006).
Jutaan ikan mati pada usaha budi daya
intensif disebabkan oleh parasit ich (Valtonen dan Keranen 1981 dalam Elsayed et
20
al. 2006). Kasus ini sering terjadi pada sistem budi daya tertutup, seperti di kolam dan akuarium, serta adanya ikan baru yang membawa parasit ich (Maki 2002). Patogenitas Ichthyophthirius multifiliis Theront melakukan penetrasi dan perporasi ke dalam epitel kulit ikan dimungkinkan oleh adanya enzim yang dihasilkan ich, yaitu enzim hialuronidase. Enzim hialuronidase selain digunakan untuk merobek dinding sel trophont agar theront dapat keluar, juga digunakan untuk melarutkan lapisan zat tanduk dari sisik sehingga ich dapat masuk ke dalam lapisan epitel (Stanley 1995). Parasit ich menyerang epitel insang dan kulit sehingga menimbulkan kerusakan dan akibatnya keseimbangan osmotik terganggu (Witeska et al. 2010). Xu et al. (2000) melaporkan bahwa theront adalah stadia infektif dari ich yang menyerang ikan Lepomis macrochirus, kemudian menempel dan berkembang menjadi trophozoid, serta bergerak secara memutar pada jaringan epidermis ikan tersebut. Lebih dari 88% theront dapat menempel pada sirip, insang, dan kulit setelah satu jam pascainfeksi. Theront berkembang menjadi trophozoid dan meningkat diameternya dari 27.21μm menjadi 30+3.1 μm setelah 4 jam pascainfeksi pada organ insang. Peningkatannya, sebesar 9.6% dengan rata-rata 1.2% / jam dari 4 sampai 8 jam pascainfeksi. Patogenitas ich dimulai ketika theront sudah menempel pada permukaan kulit atau insang, maka ich mulai melakukan perforasi ke bagian epidermis. Selanjutnya ich mengeluarkan enzim yang bersifat racun bagi jaringan sehingga terbentuk nekrosis pada lapisan spongosum pada dua jam pascainfeksi. Kemudian nekrosis berkembang hingga ke lapisan kompaktum, 3–48 jam pascainfeksi. Dengan demikian, sistem osmoregulasi terganggu dan keseimbangan ion-ion di dalam tubuh menjadi tidak stabil sehingga berakhir dengan kematian (Mulyana 1999). Ikan yang terinfeksi berat dapat menimbulkan reaksi inflamasi pada kulit, terjadinya peningkatan hiperplasia pada sel-sel epitel, dan secara umum juga meningkatkan jumlah sel-sel mukus pada kulit (Hines dan Spira 1974 dalam Dickerson 2006). Selanjutnya dilaporkan bahwa hasil pengamatan histopatologi di tempat-tempat yang terjadi nekrosis ditemukan sel trophozoid.
21
Vaksinasi Vaksin Vaksin merupakan sediaan antigen yang diperoleh dari mikroorganisme patogen atau substrat yang merupakan produk dari patogen tersebut dan bersifat immunogenik, antigenik, dan protektif yang kemudian dilemahkan atau dimatikan (Kamiso 1996). Suatu vaksin bersifat immunogenik apabila dapat merangsang pembentukan antibodi. Idealnya suatu vaksin adalah harga relatif murah, mudah diberikan, aman terhadap ikan maupun lingkungan, dan efektif dapat meningkatkan kekebalan ikan (Stoskopf 1993). Vaksinasi adalah suatu proses pemasukan antigen ke dalam tubuh untuk mendapatkan kekebalan spesifik dan nonspesifik sehingga tanggap terhadap jenis patogen tertentu (Kamiso 1996). Ellis (1988) melaporkan bahwa respons kekebalan yang timbul setelah vaksinasi adalah respons spesifik (humoral), sesuai dengan jenis antigen yang diberikan. Selanjutnya dilaporkan juga bahwa vaksin tidak menimbulkan dampak negatif berupa munculnya jenis patogen yang resisten dan tidak menyebabkan akumulasi di dalam tubuh. Secara umum ada dua jenis vaksin, yaitu vaksin hidup (aktif) dan inaktif. Vaksin hidup bisa berasal dari parasit, seperti menggunakan ich stadia trophont maupun stadia theront, sedangkan vaksin inaktif didapatkan dengan cara melemahkan atau mematikan bakteri, parasit, dan virus. Perkembangan vaksin parasit lebih lambat bila dibandingkan dengan perkembangan vaksin dari bakteri dan virus. Ada beberapa alasan kenapa vaksin parasit sulit untuk dikembangkan. Pertama, karena kesulitan dalam memanipulasi parasit protozoa dan helmin di laboratorium. Kedua, kesulitan dalam mengkultur baik secara in vivo maupun in vitro. Ketiga, pada hakikatnya parasit mempunyai siklus hidup yang komplit dan melibatkan beberapa inang atau host (Ellis 1988). Metode Pemberian Vaksin Vaksinasi pada ikan dapat dilakukan dengan cara penyuntikan pada bagian intramuskular atau intraperitoneal, pencelupan, perendaman, penyemprotan bertekanan tinggi, dan secara oral, yaitu melalui pakan. Aplikasi vaksinasi dengan cara perendaman ternyata lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan teknik
22
lain karena dapat dilakukan pada berbagai ukuran serta dalam jumlah yang banyak (Ellis 1988). Pemberian vaksin dengan cara penyuntikan biasanya dilakukan pada ikan berukuran besar atau induk, sedangkan ikan yang berukuran kecil dengan cara perendaman. Anderson 1974 dalam Ellis 1988 melaporkan bahwa pemberian vaksin secara penyuntikan di bagian intraperitoneal lebih baik, karena antigen cepat diserap, namun perlu dilakukan secara cermat agar tidak mengena usus. Pemberian vaksin melalui oral juga ada kelemahannya, karena antigenik yang diberikan dapat mengalami kerusakan di dalam saluran pencernaan (Austin dan Austin 1987 dalam Stoskopf 1993). Ling et al.(1993) melaporkan bahwa induk ikan tilapia yang divaksin dengan 0.1 mL garam fisiologis yang mengandung 2.3x105 sel theront dapat memberikan hasil sintasan yang tertinggi, yaitu 95.3% pada anak ikan tilapia, setelah dilakukan uji tantang (pemaparan) dengan ich stadia theront. Selanjutnya ikan channel catfish yang diimunisasi
dengan theront hidup, baik secara
perendaman maupun diinjeksikan secara intraperitonium (i.p.), maupun trophont yang telah disonikasi
kemudian
diberikan secara injeksi di bagian
intraperitonium (i.p.), dapat memberikan respons kekebalan
humoral dan
memberikan perlindungan terhadap parasit ich setelah dilakukan uji tantang (Xu et al. 2004). Hasil penelitian juga dilaporkan bahwa semua ikan yang diimunisasi dengan theront hidup, baik secara perendaman maupun dengan cara
injeksi
menghasilkan lebih dari 90% ikan yang diimunisasi secara injeksi intraperitonium (i.p.) dengan trophont yang disonikasi berhasil hidup setelah diuji tantang dengan theront. Ikan kontrol tidak mendapatkan perlindungan sehingga terjadi mortalitas 100%. Syawal dan Siregar (2010) juga telah melaporkan bahwa pemberian vaksin sel utuh dari theront yang diinaktifkan dengan pemanasan, dan diberikan ke ikan jambal siam secara perendaman dengan dosis 3mLL-1 selama 15 menit dapat menghasilkan sintasan hingga 100% setelah dilakukan uji tantang. Ikan rainbow trout yang diimunisasi dengan trophont yang disonikasi dan diberikan secara injeksi di bagian intraperitonium (i.p.) dengan dosis rata-rata 10– 20 trophont per gram ikan, memperlihatkan tingkat infeksi lebih rendah dibandingkan dengan ikan yang diimunisasi secara perendaman atau yang tidak diimunisasi (kontrol). Tidak ada informasi tentang anti-ich antibodi
pada
23
cutaneous (bagian kulit) pada ikan yang diimunisasi pada penelitian ini. Informasi lain adalah 2 dari 20 ikan yang diimunisasi dengan trophont yang disonikasi dan diberikan secara injeksi secara intraperitonium terlihat adanya trophont setelah 5 hari diuji tantang dengan theront (Dalgaard et al. 2002). Ikan mas (Carassius auratus) yang diimunisasi dengan theront hidup baik secara perendaman maupun diinjeksi, dapat melindungi ikan pada level yang tinggi dari infeksi ich setelah dilakukan uji tantang. Pada ikan Carassius auratus yang diimunisasi dengan trophont baik yang disonikasi maupun yang tidak disonikasi dan pemberiannya secara injeksi, maka hasilnya lebih rendah dari ikan yang diimunisasi dengan trophont yang disonikasi maupun yang tidak disonikasi dan diberikan secara perendaman (Osman et al. 2009). Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Vaksinasi Pemberian vaksin kepada ikan sudah banyak dilakukan, terutama vaksin yang berasal dari antigen bakteri dan virus. Namun, vaksin yang berasal dari parasit jarang dilakukan karena isolat dan media kulturnya belum tersedia. Dengan demikian akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan antigen dalam jumlah yang banyak. Demikian juga halnya dengan parasit Ichthyophthirius multifiliis, karena ich adalah parasit obligat pada ikan sehingga hanya bisa didapatkan dari ikan hidup. Jadi untuk mendapatkan ich sebagai antigenik dalam skala besar untuk membuat vaksin mengalami kesulitan ( Dickerson 2006). Keberhasilan pemberian vaksin untuk meningkatkan kekebalan terhadap suatu penyakit pada ikan sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan pemeliharaan. Pada suhu rendah, terjadi penekanan mekanisme kekebalan nonspesifik, humoral, dan sel yang diperantari. Dengan demikian, pada suhu rendah antibodi yang terbentuk lebih lama dan kadarnya juga rendah. Sebaliknya, pada suhu tinggi, pembentukan antibodi lebih cepat dan kadarnya juga tinggi (Stoskopf 1993). Suhu rendah dapat menurunkan kapasitas opsonisasi dalam serum. Opsonisasi pada serum ikan rainbow trout akan lebih efisien pada suhu 10 dan 15οC (Nikoskelainen et al. 2004). Selanjutnya juga dikatakan bahwa pada suhu rendah akan menyebabkan terjadinya penekanan imun (imunosupresif), sehingga akan mempengaruhi terbentuknya titer antibodi. Ikan rainbow trout yang diberi vaksin ich (theront) dan dipelihara pada suhu 12ºC dan 20ºC, titer antibodi tertinggi yang
24
dihasilkan pada suhu 12ºC adalah sebesar 34.3, sedangkan pada suhu 20ºC adalah sebesar 46.0 (Alishahi dan Buchmann 2006). Hal-hal yang perlu diperhatikan selain dari faktor suhu agar pemberian vaksin dapat mencapai hasil yang maksimal adalah antigen harus bersifat antigenik, metode vaksinasi yang digunakan harus tepat, termasuk dosis, dan adjuvan yang digunakan serta tingkat perkembangan sistem kekebalan ikan (Zapata et al. 1997 dalam Darmanto 2003). Klasifikasi dan Habitat Ikan Mas (Cyprinus carpio L) Ikan merupakan sumber makanan yang penting bagi manusia karena memiliki kandungan gizi yang tinggi, seperti protein dan asam lemak tak jenuh. Ikan mas (Cyprinus carpio) adalah
salah satu jenis ikan air tawar yang
mempunyai cita rasa tinggi dan banyak digemari masyarakat sehingga termasuk ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Oleh karena itu, usaha budi daya ikan mas banyak dilakukan baik secara tradisional maupun intensif. Usaha budi daya ikan mas tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai sumber protein, tetapi juga sebagai sumber pendapatan keluarga (Mert et al. 2008). Ikan termasuk hewan poikiloterm, artinya suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Wedemeyer, 1996). Secara taksonomi, ikan mas termasuk ke dalam phylum Chordata, klas Osteichthyes, ordo Cypriniformes, family Cyprinidae, genus Cyprinus, dan spesies Cyprinus carpio, Linnaeus. Ikan mas dikenal juga dengan nama ikan karper, tomroh, atau ameh. Ikan ini berasal dari Cina dan Rusia lalu tersebar ke berbagai wilayah, termasuk Indonesia. Ikan ini hidup dan berkembang dengan baik pada ketinggian 150–1.000 m di atas permukaan laut, serta pH antara 7 sampai 8. Ikan mas termasuk ikan pemakan segala (ommivor) dan menyukai air yang dangkal, arus tidak begitu deras baik di sungai, genangan air, atau di danau (Saanin 1986). Kriteria kualitas air yang sesuai untuk budi daya intensif adalah memiliki kadar oksigen terlarut antara 3 sampai 4 mgL-1 dan kadar CO2 tidak lebih dari 20 mgL-1. Pada umumnya, kadar CO2 di perairan sebesar 2 mgL-1, CO2 mudah larut dalam air. Kualitas air yang buruk akan menyebabkan ikan rentan terhadap penyakit dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu relatif singkat (Wedemeyer 2001). Selanjutnya, Flajšhans dan Hulata (2007) melaporkan bahwa ikan mas tumbuh baik pada kisaran suhu 23-30°C, salinitas lebih dari 5‰, pH
25
6.5-9.0. Ikan mas bersifat omnivora, namun ada kecenderungan mengkonsumsi organisme bentik, seperti insekta air, larva insekta, cacing, moluska, dan zooplankton.
PHYSIOLOGICAL AND HEMATOLOGICAL RESPONSE OF COMMON CARP (Cyprinus carpio L) IN DIFFERENT TEMPERATURES OF MEDIA Henni Syawal, Nastiti Kusumorini, Wasmen Manalu, Ridwan Affandi
ABSTRACT This research was conducted to explore the effect of different enviromental temperatures on the physiological and hematological conditions of common carp (Cyprinus carpio L). Fish was exposed for 21 days in four level of temperatures; 20, 24, 28, and 32ºC. Water electric heater was applied to maintain the temperature. About 450 of common carps with 6.61±0.68 cm of size, and weight 6.29±0.79 g were utilized in this experiment. The parameters of physiological properties were the plasma concentrations of cortisol, glucose, haemoglobin level, haematocrit, the total of red and white blood cells, and survival rate. The measurements of these parameters were done four times; before the treatment (0 day), 7th day, 14th day, and 21st day. The results showed that media temperatures influenced the physiological condition of fish which was marked by the increased plasma cortisol and glucose concentrations. The highest level of cortisol (552.99 nmolL-1) were found on 21th day in 20ºC, glucose (151.65± 23.57 mg100 dL-1) were found on 7th day in 20ºC of temperature treatment, respectively. At the temperature treatment of 20, 24, and 28ºC, the values of physiological parameters (plasma cortisol) increased, while the hematological values decreased. Finally, the highest survival rate (100%) was found in 32ºC, and the lowest (87±3.35%) was in 24°C.
Keywords:Cyprinus carpio, physiological, hematological responses, temperature.
PENDAHULUAN Kepekaan ikan terhadap perubahan suhu dikarenakan suhu tubuhnya mengikuti perubahan suhu lingkungan (poikilothermal) sehingga suhu lingkungan dapat berpengaruh langsung pada perubahan fisiologis ikan (Wedemeyer 1996). Perubahan suhu yang cukup besar dan mendadak dapat menimbulkan stres pada ikan. Ikan yang mengalami stres dalam jangka waktu yang lama akan mengalami penurunan fungsi
imunitas seluler dan humoral sehingga ikan akan mudah
terinfeksi oleh mikroorgnisme patogen (Kubulay dan Ulukoy 2002). Ikan yang dipelihara pada suhu dingin mempunyai respons imunitas yang lebih rendah bila dibandingkan dengan yang dipelihara pada suhu air yang lebih hangat (Nikoskelainen et al. 2004). Flajšhans dan Hulata (2007) melaporkan bahwa ikan mas tumbuh baik pada kisaran suhu 23-30°C.
28
Perubahan suhu air pada media pemeliharaan akan berpengaruh pada proses fisiologis ikan, seperti laju pernapasan, metabolisme, denyut jantung, dan sirkulasi darah di dalam tubuh (Nofrizal et al. 2009). Penelitian tentang pengaruh suhu pada respons fisiologis dan hematologis ikan-ikan di daerah tropis belum banyak diteliti, apabila dibandingkan dengan daerah subtropis. Perubahan suhu di perairan tidak hanya akan berpengaruh pada kehidupan ikan, tetapi juga erat hubungannya dengan keberadaan dan siklus hidup dari mikroorganisme patogen yang ada di perairan. Mikroorganisme patogen yang biasa menyerang ikan-ikan air tawar antara lain adalah parasit dari golongan Protozoa, seperti Ichthyophthirius multifiliis, dan golongan Plathyhelmintes (Monogenia), seperti Dagtilogyrus dan Girodactylus (Buchmann dan Bresciani 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi respons ikan mas (Cyprinus carpio L) pada suhu media pemeliharaan yang berbeda melalui kajian fisiologis dan hematologis. Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui tentang kisaran suhu pemeliharaan yang optimum untuk pertumbuhan ikan, dan suhu yang dapat menghambat perkembangan dari parasit yang biasa menyerang ikan. Dengan demikian, informasi yang didapatkan dari hasil penelitian ini dapat menjadi acuan dalam mengendalikan parasit pada kegiatan budi daya.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Mei sampai akhir September 2010. Bahan dan Alat Persiapan Wadah dan Ikan Uji Hewan uji yang digunakan adalah ikan mas (Cyprinus carpio) berukuran panjang 6.61±0.68 cm dan bobot 6.29±0.79 g sebanyak 480 ekor. Ikan dipelihara dalam akuarium berukuran 60x40x35 cm3, yang diisi dengan air sebanyak 40L. Kepadatan ikan satu ekor L-1dan untuk mempertahankan suhu air dipasang alat pemanas listrik (heater). Ikan uji dipelihara selama 21 hari, dan selama
29
pemeliharaan ikan diberi pakan komersil, tiga kali sehari
ad libitum. Untuk
mempertahankan kualitas air setiap hari dilakukan penyiponan dan air diganti sebanyak yang terbuang. Air stok yang digunakan terlebih dahulu diberi perlakuan, yaitu pertama ditambahkan sebanyak 30 ppm hipoklorid kemudian diaerasi selama 24 jam. Selanjutnya ditambahkan 10-15 ppm tiosulfat, aerasi tetap diberikan dan dibiarkan hingga satu minggu baru air tersebut dapat dipergunakan. Ikan uji sebelum diberi perlakuan terlebih dahulu direndam dalam larutan kalium permanganate (PK) 5 ppm selama 15 menit. Pengambilan Sampel Darah Darah ikan diambil dari vena caudalis dengan menggunakan syringe (1 mL) yang telah diberi heparin sebagai antikoagulan. Sebelum darah ikan diambil, terlebih dahulu ikannya dibius dengan phenoxyethanol dosis 0,3 mLL-1 air (Rigal et al. 2008). Sebagian darah yang didapat, langsung digunakan untuk mengukur kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah total eritrosit, dan jumlah total leukosit. Sisanya, diambil plasmanya dengan menggunakan “centrifuge” dan plasma tersebut digunakan untuk mengukur kadar kortisol dan kadar glukosa. Kadar kortisol plasma diukur dengan metode RIA (radio immuno assay) Cortisol (125I) RIA KIT (Ref: RK-240CT) IZOTOP, mengikuti prosedur (Ramsay et al. 2006).
Pengukuran kadar glukosa plasma dengan
colorimetric kit Glucose liquicolor GOD-PAP
metode enzimatis
produksi Human. Kadar
hemoglobin diukur dengan metode Cyanmethemoglobin dan kit modifikasi dari Merck, pembacaan hasil dengan spektrofotometer. Nilai hematokrit, total sel eritrosit dan leukosit diukur mengikuti prosedur Johnny et al. (2003). Sintasan ditentukan dengan menggunakan rumus
Effendi (1979), S = Nt / No x 100.
Parameter kualitas air, seperti pH, kandungan oksigen terlarut, dan NO2 juga diukur dua kali, yaitu pada hari ke-0 dan hari ke-14. Pengukuran parameter dilakukan empat kali, yaitu hari ke-0 atau sebelum perlakuan (ikan yang disampling pada awal diambil dari ikan stok yang telah diadaptasi pada suhu 18⁰C), hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-21. Jumlah ikan yang digunakan untuk setiap kali analisis adalah 15 ekor dari setiap perlakuan.
30
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Faktorial dalam waktu yang menjadi faktor adalah suhu dan waktu (hari pengamatan). Suhu terdiri atas empat taraf perlakuan, yaitu suhu 20, 24, 28, dan 32°C, dan waktu pengamatan, yaitu hari ke-0 (H-0), hari ke-7 (H-7), hari ke-14 (H-14), dan hari ke-21 (H-21). Masing-masing perlakuan memiliki ulangan tiga kali. Analisis Data Data yang didapatkan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data diuji secara statistik dengan analisis ragam (ANOVA), menggunakan perangkat lunak software SAS 9.1,.3 dan minitab 16 (Mattjik dan Sumertajaya 2006). HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Kondisi Fisiologis Ikan Mas (Cyprinus carpio L) Ikan Mas yang Dipelihara pada Suhu Media yang Berbeda Data hasil pengamatan terhadap nilai fisiologis ikan mas, mencakup kadar kortisol dan kadar glukosa disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan data pada Tabel 1, terlihat bahwa hari pengamatan dan suhu lingkungan mempengaruhi kadar kortisol (p<0.01). Kenaikan kadar kortisol terlihat sejalan dengan lamanya masa pemeliharaan pada kelompok ikan yang dipelihara pada suhu 20, 24, dan 28⁰C. Meningkatnya kadar kortisol menandakan bahwa ikan dalam kondisi stres. Untuk melihat perubahan kadar kortisol hasil level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 10. Berdasarkan Gambar 10 terlihat bahwa pola perubahan kadar kortisol menunjukkan adanya pengaruh lama waktu pengamatan (p<0.01) dan suhu media pemeliharaan (p<0.01) terhadap kadar kortisol. Dengan bertambahnya hari pengamatan dan meningkatnya suhu media pemeliharaan maka kadar kortisol menurun mendekati nilai normal. Perubahan kadar glukosa selama pengamatan disajikan pada Tabel 1. Dari data tersebut terlihat bahwa kadar glukosa juga dipengaruhi oleh hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Terjadinya peningkatan kadar glukosa ikan hari ketujuh pada suhu pemeliharaan 20⁰C menandakan ikan dalam kondisi stres.
31
Tabel 1. Rataan nilai parameter fisiologis ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda Suhu media pemeliharaan 32⁰C Nilai P Respons Waktu 20⁰C 24⁰C 28⁰C H-0 235.31 235.31 235.31 235.31 D <0.0001 Kortisol* H-7 397.44 264.11 249.11 189.28 C -1 (nmolL ) H-14 478.08 372.46 326.72 167.82 B H-21 552.99 440.42 397.44 153.52 A A B C D Glukosa H-0 125.38± 5.71 125.38± 5.71 125.38± 5.71 125.38± 5.71 A 0.0005 (mgdL-1) H-7 151.65± 23.57 117.42± 0.79 114.39± 9.92 117.86± 10.21 A H-14 83.56± 2.65 81.74± 7.19 84.85± 7.30 84.62± 3.67 B H-21 74.92± 15.00 94.07± 2.62 83.94± 8.73 59.09± 6.91 B A AB AB B Keterangan:* kadar kortisol berasal dari plasma yang dipool Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata. P < 0.05.
KORTISOLnmolL-1
500 400 300
200
d
c
a b
a
100
b c
d
0 H-0
H-7 H-14 H-21 HARI
S-20 S-24 S-28 S-32 SUHU
Gambar 10. Kadar kortisol ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu media pemeliharaan yang berbeda Perubahan kadar glukosa berdasarkan level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 11. Dari Gambar 11 terlihat bahwa kadar glukosa dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.05) dan suhu media pemeliharaan (p<0.05). Perubahan kadar glukosa menurun sejalan dengan peningkatan suhu media pemeliharaan dan lamanya waktu pemeliharaan. Namun penurunan kadar glukosa mendekati nilai normal tidak secepat penurunan kadar kortisol.
32
GLUKOSAmgdL-1
150
100 a
a
50
b
b
a
ab
ab
b
0 H-0 H-7 H-14 H-21
HARI
S-20 S-24 S-28 S-32
SUHU
Gambar 11. Kadar glukosa ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu media pemeliharaan yang berbeda Berdasarkan Gambar 11 terlihat bahwa pada hari ke-7 kadar glukosa masih tinggi dan kemudian menurun mendekati nilai normal seiring dengan lamanya masa pemeliharaan. Hal ini diduga bahwa ikan mengalami stres pada awal masa pemeliharaan dan kemudian sejalan dengan lamanya masa pemeliharaan ikan mulai beradaptasi. Demikian juga dengan meningkatnya suhu media pemeliharaan mendekati suhu optimum maka kadar glukosa juga menurun mendekati nilai normal, nilai normal glukosa ikan adalah 23 mg/dL. Kondisi Hematologis Ikan Mas (Cyprinus carpio L) yang Dipelihara pada Suhu Media yang Berbeda Nilai hematologis ikan mas, seperti nilai hematokrit, kadar hemoglobin, total eritrosit, dan total leukosit disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan data pada Tabel 2 terlihat bahwa kadar hemoglobin ikan mengalami fluktuasi selama pengamatan. Hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan berpengaruh pada kadar hemoglobin (p<0.01). Untuk melihat perubahan kadar hemoglobin ikan berdasarkan interaksi antara level hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan yang berbeda ditampilkan pada Gambar 12. Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa kadar hemoglobin menurun seiring dengan lamanya masa pemeliharaan (p<0.01) dan meningkatnya suhu media pemeliharaan (p<0.01). Namun penurunan kadar hemoglobin ini masih dalam batas nilai normal ikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penurunan kadar hemoglobin mendekati nilai normal menandakan ikan sudah melakukan adaptasi dengan lingkungan.
33
Tabel 2. Rataan nilai hematologis ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda Respons
Waktu H-0 H-7 H-14 H-21
Hemoglobin (gdl-1)
Hematokrit (%)
H-0 H-7 H-14 H-21
T. eritrosit (x106selmm-3)
H-0 H-7 H-14 H-21
T. Leukosit (x103sel mm-3)
H-0 H-7 H-14 H-21
20⁰C 8.24± 0.46 7.86± 0.34 7.70± 0.15 8.41± 0.20 C 20.66± 2.56 12.16± 1.52 14.33± 1.89 13.60± 2.08 B 1.65± 0.23 1.55± 0.07 1.41± 0.26 1.25± 0.14 AB 2.16± 1.97 3.86± 0.3 4.00± 0.40 6.06± 0.41 A
Suhu media pemeliharaan 24⁰C 28⁰C 8.24± 0.46 8.24± 0.46 6.61± 0.28 8.27± 0.43 8.39± 0.16 8.06± 0.34 9.44± 0.11 9.41± 0.05 CB B 20.66± 2.56 20.66± 2.56 14.66± 2.02 18.63± 0.48 14.83± 3.25 18.40± 0.63 21.00± 4.58 19.41± 0.05 A A 1.65± 0.23 1.65± 0.23 1.15± 0.17 1.39± 0.81 1.16± 0.17 1.29± 0.03 1.48± 0.12 1.52± 0.04 B B 2.16± 1.97 2.16± 1.97 2.02± 0.99 1.46± 0.23 2.40± 0.69 2.13± 0.30 5.06± 0.64 3.06± 0.61 B CB
Nilai P 32⁰C 8.24± 0.46 B <0.0001 7.80± 0.70 C 10.22± 0.62 B 9.16± 0.81 A A 20.66± 2.56 A 0.0401 17.80± 0.70 C 18.66± 0.92 CB 18.17± 1.04 B A 1.65± 0.23 A 0.0001 1.64±0.53 B 1.53± 0.05 B 1.25± 0.13 B A 2.16± 1.97 A 0.0263 1.80± 0.69 C 2.20± 0.34 C 1.33± 0.30 B C
Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata. P< 0.05.
HEMOGLOBINgdl-1
11 9 7 5
b
c
b
a
c
cb
b
a
S-20
S-24
S-28
S-32
3 1 H-0
H-7
HARI
H-14 H-21
SUHU
Gambar 12. Kadar hemoglobin ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu media pemeliharaan yang berbeda
34
Perubahan nilai hematokrit ikan pada pemeliharaan suhu media yang berbeda disajikan pada Tabel 2. Dari data tersebut terlihat bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.05). Untuk melihat perubahan nilai hematokrit berdasarkan interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 13. Dari gambar tersebut
terlihat bahwa perubahan nilai hematokrit menurun sejalan
dengan lama waktu pengamatan (p<0.01) dan peningkatan suhu media pemeliharan (p<0.01).
HEMATOKRIT %
25 20 15 a 10
c
cb
b
b
a
a
5
a
0 H-0
H-7 H-14 H-21
S-20 S-24 S-28 S-32
HARI
SUHU
Gambar 13. Kadar hematokrit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu media pemeliharaan yang berbeda Tabel 2 menunjukkan bahwa total eritrosit juga dipengaruhi oleh hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Total eritrosit ikan yang dipelihara pada suhu 20⁰C mengalami penurunan hingga hari ke-21. Terjadinya penurunan total eritrosit diduga ada hubungannya dengan lambatnya laju metabolisme pada suhu rendah sehingga akan mempengaruhi pembentukan sel-sel eritrosit. Selanjutnya untuk melihat perubahan total eritrosit berdasarkan interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 14. Dari gambar tersebut terlihat bahwa total eritrosit dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.01) dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Berdasarkan data pada Tabel 2 terlihat bahwa total leukosit dipengaruhi oleh hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.05). Selanjutnya, untuk melihat perubahan total leukosit hasil interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 15.
ERITROSITx106selmm-3
35
2 1.5
a
1
b
b
ab
b
b
b
c
0.5 0 H-0
H-7 H-14 H-21
S-20 S-24 S-28 S-32
HARI
SUHU
LEUKOSITx103sel mm-3
Gambar 14. Total eritrosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu media pemeliharaan yang berbeda 7 6 5 4 3 2 1 0
a H-0
c
c
b
H-7 H-14 H-21 HARI
a
cb
b
c
S-20 S-24 S-28 S-32 SUHU
Gambar 15. Total leukosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu media pemeliharaan yang berbeda Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa total leukosit dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.05) dan suhu media pemeliharaan (p<0.05). pada hari ke-7 total leukosit
mengalami
peningkatan
yang
signifikan
sebesar
85.92%
bila
dibandingkan dengan hari ke-0, namun peningkatan ini masih dalam kisaran normal. Total leukosit normal ikan berkisar antara 30.000-100.000 selmm-3. Selanjutnya berdasarkan suhu, total leukosit menurun dengan meningkatnya suhu media pemeliharaan. Kualitas Air Media Pemeliharaan Ikan Mas (Cyprinus carpio L) Data hasil pengukuran kualitas air, berupa pH, Total Amonia Nitrogen (TAN), Nitrit, dan Oksigen terlarut ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa kadar oksigen terlarut mengalami penurunan dengan meningkatnya suhu dan lama waktu pemeliharaan, penurunan terbesar terjadi pada suhu 24⁰C, yakni sebesar
36
17.88%. Selain kelarutan oksigen, pada suhu 24⁰C juga terjadi peningkatan konsentrasi nitrit (NO2) yang tertinggi hingga mencapai 80%. Kedua parameter ini diduga dapat menyebabkan ikan menjadi stres. Tabel 3. Rata-rata kualitas air dari setiap perlakuan selama pengamatan Hari dan Suhu Parameter
20⁰C H-0 H-14 7.04 6.72
pH TAN (mgL-1) -1
NO2 (mgL )
24⁰C H-0 H-14 6.81 6.50
28⁰C 32⁰C H-0 H-14 H-0 H-14 6.43 6.35 6.21 6.07
0.15
0.51
0.20
0.59
0.35
0.48
0.49
0.61
0.022
0.035
0.020
0.036
0.021
0.033
0.023
0.028
6.05
6. 15
5.05
4.93
4.65
4.09
3.94
Oksigen terlarut 6.25 (mgL-1)
Sintasan Ikan Mas (Cyprinus carpio L ) yang Dipelihara pada Suhu Media yang Berbeda Sintasan adalah jumlah ikan yang berhasil hidup pada akhir masa pemeliharaan. Dari penelitian ini terlihat bahwa suhu media pemeliharaan 32⁰C merupakan suhu yang optimal untuk kehidupan ikan mas, karena memiliki nilai sintasan 100%. Suhu di bawah 32⁰C menunjukkan kondisi yang kurang kondusif
SINTASAN %
untuk kehidupan ikan mas.
100 80 60 40 20 0
93.32
87
91.66
100
20⁰C
24⁰C
28⁰C
32⁰C
SUHU
Gambar 16. Persentase sintasan ikan mas pada akhir pengamatan
PEMBAHASAN Terjadinya peningkatan kadar kortisol terutama pada ikan mas yang dipelihara pada suhu 20, 24, dan 28⁰C hingga akhir pengamatan atau hari ke-21, menandakan ikan dalam kondisi stres. Kadar kortisol dalam plasma yang tinggi
37
merupakan salah satu indikator stres. Secara umum, stres dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu respons stres primer, sekunder, dan tersier. Respons stres primer ditandai dengan
pelepasan hormon katekolamin dan kortisol ke
dalam sirkulasi darah sehingga kadar kortisol di dalam plasma meningkat. Hormon katekolamin berasal dari jaringan chromaffin, sedangkan kortisol berasal dari jaringan interrenal. Respons stres sekunder sering juga dikatakan sebagai efek metabolik yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa plasma. Respons stres tersier adalah apabila ikan tidak mampu untuk melakukan aklimasi atau beradaptasi terhadap stressor, maka ikan akan mengalami gangguan pertumbuhan dan reproduksi (Iwama dan Nakanishi 1996). Efek dari tingginya kadar kortisol dalam jangka waktu yang lama dapat menurunkan reaksi kekebalan ikan. Penurunan reaksi kekebalan ikan tersebut disebabkan karena kortisol dapat menghambat pembentukan interleukin-1dan 2 sehingga
menyebabkan sel limfosit T mati dan tidak dapat merangsang sel
limfosit B untuk memproduksi antibodi (Berne dan Levy 1988). Dengan demikian, ikan akan mudah terinfeksi oleh parasit, bakteri, jamur, dan virus (Kubilay dan Ulukoy 2002 ; Varsamos et al. 2006). Kondisi yang sama juga terjadi peningkatan kadar kortisol pada ikan mas yang mengalami stres pada saat persiapan panen, pemanenan, setelah panen, dan dalam masa transportasi, yaitu dari 243±215 hingga 573±108 ngmL-1 (Svobodova et al. 2006). Nilai normal kadar kortisol ikan Acipenser naccarii pada suhu 17⁰C adalah 32.0±18.7 nmolL-1, dan yang dipelihara pada suhu 25⁰C adalah sebesar 107.8±88.0 nmol.L-1, nilai ini sudah mengindikasikan kondisi stres kronis (Cataldi et al. 1998). Kadar kortisol ikan common carp sebelum diberi stresor kepadatan 113.6 kg m−3, adalah: 19 nmolL-1 dan setelah 87 jam meningkat menjadi 206 nmolL-1 (Raune et al. 2002). Kadar kortisol normal ikan berkisar antara 19-150 nmol/L (Evans dan Claiborne 2006). Hormon kortisol sangat penting peranannya dalam kehidupan, karena kortisol dapat mempengaruhi metabolisme basal, mekanisme pertahanan, tekanan darah, dan respons terhadap stres. Peningkatan kadar kortisol dalam plasma, sering dijadikan sebagai indikator utama stres, sedangkan indikator kedua adalah peningkatan kadar glukosa (Evans dan Claiborne 2006). Selanjutnya Purbayanto
38
et al. (2010) melaporkan bahwa stres dapat menimbulkan efek primer berupa gangguan hormonal dan metabolik, dan efek sekunder berupa gangguan osmoregulasi, perubahan hematologis, dan penurunan imunitas ikan. Ikan yang mengalami stres akan membutuhkan banyak energi untuk beradaptasi melawan stres yang disebabkan oleh suhu. Dengan demikian, akan memicu terjadinya mobilisasi glukosa ke dalam darah (Costas et al. 2008; Porchas et al. 2009). Hal ini terbukti dengan meningkatnya kadar glukosa plasma pada hari ke-7 suhu 20⁰C. Perubahan kadar glukosa dalam plasma sering digunakan sebagai indikator kedua dari respons metabolik terhadap stres pada ikan (Evans dan Claiborne 2006). Adanya respons stres, akan merangsang hipothalamus untuk melepaskan corticotrophin releasing factor (CRF), dan CRF ini akan merangsang kelenjar hipofisa anterior untuk melepaskan
hormon adrenocorticotropin
(ACTH), kemudian ACTH akan merangsang sel-sel interrenal (medulla adrenal) untuk menghasilkan kortisol dan hormon katekolamin,
seperti epinefrin
(Wedemeyer 1996). Hormon-hormon ini berperan dalam proses glukoneogenesis yang akan mendeposisi cadangan glikogen di hati dan otot untuk meningkatkan kadar glukosa darah (Hastuti 2004). Perubahan nilai parameter hematologis berkaitan
dengan peningkatan
penyebab stres (stressor) (Gabriel et al. 2007). Terjadinya penurunan kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan total eritrosit pada suhu media pemeliharaan 24⁰C mengindikasikan bahwa ikan mengalami anemia. Sebagai akibat dari penurunan kadar hemoglobin, maka ketersediaan oksigen di jaringan akan berkurang atau jaringan mengalami kekurangan oksigen (hipoksia), sehingga proses metabolisme terganggu. Dengan demikian, ikan akan mengalami kekurangan energi.
Lebih dari 90% oksigen yang dibawa oleh hemoglobin
berasal dari oksigen yang masuk melalui epitel insang secara difusi dan kemudian berikatan dengan hemoglobin pada sel darah merah yang berada pada kapiler darah (Evans dan Claiborne 2005). Kadar hemoglobin ikan common carp adalah 6.40 gdL-1 (Houston dan De Wilde 1968 dalam Moyle dan Cech 2004), selanjutnya Konstantinov dan Zdanovich (2007) juga melaporkan bahwa kadar hemoglobin ikan mas pada suhu 30⁰C, adalah sebesar 8.2 gdL-1. Rafatnezhad et al. (2008) menyatakan bahwa
39
kadar hemoglobin dalam darah ikan berkaitan dengan jumlah eritrosit (sel darah merah). Nilai pameter hematologis ikan mas, seperti total eritrosit adalah sebesar 3.240±0.046x106 selmm-3, total leukosit sebesar 9.688 ±1.015x103 selmm-3, dan kadar hemoglobin sebesar 4.45±0.163 gdL-1 (Ramesh dan Saravanan 2008). Menurut Hrubec dan Smith (2010) nilai hematokrit ikan berkisar antara 20-45% dan kadar hemoglobin adalah sebesar 5-10 gdL-1. Penghitungan total leukosit penting dilakukan untuk mengetahui status kesehatan ikan. Sel leukosit pada ikan atau hewan, merupakan sistem pertahanan yang bertanggung jawab terhadap berbagai serangan penyakit (Gbore et al. 2006). Tingginya total leukosit pada hari ke-0 disebabkan ikan mengalami stres selama masa aklimatisasi pada suhu 18⁰C. Secara umum, respons stres pada ikan ditandai dengan terjadinya kondisi heteropilia dan limpopenia (Hines dan Spira 1973 dalam Stoskopf 1993). Rata-rata total leukosit ikan mas adalah sebesar 9.688 ± 1.015x103 sel mm-3 (Ramesh dan Saravanan 2008). Menurut Hrubec dan Smith (2010) total leukosit pada ikan Cyprinus carpio (koi) adalah: 19.900-28.100 sel mm-3. Selanjutnya juga dilaporkan bahwa ikan yang mengalami stres, dicirikan dengan kondisi limfopenia, heterofilia, respons inflamasi, dan meningkatnya konsentrasi protein dalam darah. Perubahan nilai-nilai ini dipengaruhi oleh suhu air, pH ekstrim, umur, dan jenis kelamin. Rendahnya nilai sintasan pada suhu 24°C, diduga ikan mengalami stres akibat adanya perubahan kualitas air, seperti terjadinya peningkatan konsentrasi nitrit dan penurunan kadar oksigen terlarut. Peningkatan konsentrasi nitrit dapat menimbulkan permasalahan pada kegiatan budi daya intensif atau pada budi daya ikan hias. Konsentrasi nitrit di perairan tidak boleh lebih dari 0.06 mgL-1 (Effendi 2003). Konsentrasi nitrit
yang tinggi dalam perairan biasanya berasal dari
pembusukan bahan organik akibat ketidakseimbangan proses nitrifikasi atau denitrifikasi (Eddy dan Williams dalam Jensen et al. 1993). Keberadaan nitrit dalam perairan pada konsentrasi tertentu akan masuk ke dalam tubuh dan diikat oleh darah yang ada di insang pada saat respirasi berlangsung atau yang diserap melalui epithelium usus. Nitrit ini akan terakumulasi secepatnya di dalam plasma darah ikan jauh di atas konsentrasi lingkungan perairan. Selanjutnya, nitrit akan menembus membran sel darah merah dan mengoksidasi besi (Fe+2 ) dalam
40
hemoglobin menjadi Fe+3 (ferrihemoglobin) dan dikenal dengan nama methaemoglobin (Wedemeyer 1996; Jensen 2003).
Reaksi pembentukan
methamoglobin adalah: 4Hb (Fe2+) O2 + 4NO-2 + 4H+ 4Hb (Fe3+) + 4NO3 + O2 + 2H2O Laju pembentukan methaemoglobin akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi nitrit dalam darah. Kemampuan methaemoglobin untuk mengikat dan mentranspor oksigen dari lingkungan ke seluruh bagian sel/jaringan sangat rendah, sehingga akan menyebabkan terjadinya hipoksia (kekurangan oksigen) dan cyanosis (lebam, biru pada kulit karena darah balik tertahan) (Colt 1983). Kekurangan kemampuan transpor oksigen akan memberikan warna cokelat pada darah dan dinamakan penyakit darah cokelat. Tingginya kadar nitrit pada hari ke14 pemeliharaan terjadi karena proses akumulasi dari sisa makanan dan hasil metabolisme dari ikan itu sendiri. Penggunaan pakan yang berlebihan dapat menyebabkan tingginya amoniak dan nitrit (Triyanto dan Said 2006). KESIMPULAN Ikan yang dipelihara pada suhu rendah mengalami stres yang ditandai dengan tingginya kadar kortisol dan glukosa. Suhu optimal untuk kehidupan ikan mas adalah 32°C. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada DP2M Dikti yang telah memberi bantuan dana melalui kegiatan penelitian Hibah Bersaing tahun 2010.
DAFTAR PUSTAKA Berne R, Levy MN. 1988. Physiology. Second Edition. Mosby Company. St. Louis. Washington, DC. Toronto. Halaman 962-969. Buchmann K, Bresciani J. 2006. Monogenia (Phylum Platyhelmintes). Dalam Woo PTK. Fish diseases and disorders. Volume 1 Protozoa and metazoan infections 2nd edition. University of Guelph Canada. Halaman 297-344.
41
Cataldi E, P.Di Marco, Mandich A, Cataudella S. 1998. Serum parameter of adriatic sturgeons Acipenser naccarii (Pisces: Acipenseriformes): effects of temperature and stress. Comparative Biochemistry and Physiology Part A 121: 351–354. Colt J. 1983. Pond culture practices. In JE. Lannan, RO. Smitherman, and G.Tchobanoglous (eds.). Principle & Practices of Pon Aquaculture: A State of the Art Review. Oregon State University, Newport, Oregon. Halaman 187-195. Costas B, Aragao C, Mancera JM, Dinis MT, Conceicao LEC. 2008. High stocking density induces crowding stress and affects amino acid metabolism in Senegalese sole Solea senegalensis (Kaup 1858) juveniles. Aquaculture Research 39: 1-9. Effendi MI.1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor 112 halaman Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius Yogyakarta. 258 halaman. Evans DH, Claiborne JB. 2006. The physiology of fishes. Third Edition.Taylor & Francis. Halaman. 231–340. Flajšhans M, Hulata G. 2007. Common carp-Cyprinus carpio. Genimpact final scientific report. Halaman 32-39. Gabriel UU, Amakiriand EU, Ezeri GNO. 2007. Haematology and gill pathology of Clarias gariepinus exposed to refined petroleum oil, kerosene under laboratory conditions. Journal of Animal and Veterinary Advances 6(3): 461–465. Gbore FA, Oginni O, Adewole AM, Aladetan JO. 2006. The effect of transportation and handling stress on haematology and plasma biochemistry in fingerlings of Clarias gariepinus and Tilapia zilii. Word Journal of Agriculture Sciences 2(2): 208-212. Hastuti S. 2004. Respons fisiologi ikan gurami (Osphronemus gouramy, Lac.) yang diberi pakan mengandung kromium-ragi terhadap penurunan suhu lingkungan. (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Halaman 12-44. Hrubec TC, Smith SA. 2010. Hematology of Fishes.Dalam Weiss DJ dan Wardrop KJ Schalm’sVeterinary hematology 6rd edition.Wiley- Blackwell. Ltd., Publication. Halaman 994–1003. Jensen FB. 2003. Nitrite disrupts multiple physiological function in aquatic animals. Comparative Biochemistry and Physiology 135: 9-24.
42
Jensen FB, Nikinmaa M, and Weber RE. 1993. Environmental perturbations of oxygen transport in teleost fishes: causes, cosequences and compensations. Dalam Rankin JC. and Jensen FB. (eds.), Fish Ecophysiology. Chapman & Hall. London. Halaman 161-175. Johnny F, Zafran, Rosa D, Mahardika K. 2003. Hematologis beberapa spesies ikan laut budi daya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 9 (4): 63-71 Konstantinov AS, Zdanovich VV. 2007. Influence of temperature oscillations on some hematological value and metabolism of fish. Moscow University Biological Sciences Bulletin 62(2): 59–61. Kubulay A, Ulukoy G. 2002. The effects of acute stress on rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Turkish Journal of Zooloogy 26: 249-254. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. 276 halaman. Moyle PB, Cech JJ. 2004. Fishes an introduction to ichthyology. Fifth edition. Prentice-Hall, Inc. Upper Saddle River, NJ 07458. Halaman 51-75. Nikoskelainen S, Bylund G, Lilius EM. 2004. Effect of environmental temperature on rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) innate immunity. Developmental and Comparative Immunology 28: 581-592. Nofrizal, Yanase K, Arimoto T.2009. Effect of temperatur on the swimming endurance and post-exercise recovery of jack mackerel Trachurus japonicus as determined by monitoring. Fish Sciences 75: 1369-1375. Porchas MM, Cardova LRM, Enriquez RR. 2009. Cortisol and glucosa: Reliable indicators of fish stress?. Pan-American Journal of Aquatic Sciences 4(2): 158-178. Purbayanto A, Riyanto M, Fitri ADP. 2010. Fisiologi dan tingkah laku ikan pada perikanan tangkap. IPB Press. 208 halaman. Rafatnezhad S, Falahatkar B, GilaniMHT. 2008. Effects of stocking density on haematological parameter, growth and fin erosion of great sturgeon (Huso huso) juvenile. Aquaculture Research 39:1506–1513. Ramesh M, Saravanan M. 2008. Haematological and biochemical responses in a freshwater fish Cyprinus carpio exposed to chlorpyrifos. International Journal of Integrative Biology 3(1): 80–83. Ramsay JM, Feist GW, Varga ZM, Westerfield M, Kent ML, Schreek CB. 2006. Whole-body cortisol is an indicator of crowding stress in adult zebrafish, Danio rerio. Aquaculture 258: 565-574.
43
Rigal F, Thibaud C, Catherine LN, Guy C, Jean-Antoine T, Fabien A, Patrick B. 2008. Osmoregulation as a potensial factor for the differential distribution of two cryptic gobiid spesies, Pomatoschistus microps and P. marmoratus in French Mediterranean lagoons. Scientia Marina 72(3): 469–476. Ruane NM, Carballo EC, Komen J. 2002. Increased stocking density influences the acute physiological stress response of common carp (Cyprinus carpio L). Aquaculture Research 33: 777-784. Stoskopf SK. 1993. Immunology. Dalam Stoskopf MK Fish medicine. WB. Saunders Company. Harcout Brace Jovanovich, Inc. Philadelphia London Toronto Montreal Sydney Tokyo. Halaman 149–159. Svobodova Z, Vykusova B, Modra H, Jarkovsky J, Smutna M. 2006. Haematological and biochemical profile of harvest-size carp during harvest and post harvest storage. Aquaculture Research 37: 959–965. Triyanto, Said DS. 2006. Pengaruh perlakuan jenis pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan ikan pelangi (Marosatherina ladigesi). Jurnal Iktiologi Indonesia 6 (2): 85-90. Varsamos S, Flik G, Pepin JF, Wendelaar, Bonga SE, Breul G. 2006. Husbandry stress during early life stages affects the stress response and health status of juvenile seabass, Dicentrarchus labrax L. Fish and Shellfish Immunology 20: 83-96. Wedemeyer GA. 1996. Physiology of fish in intensive culture system. Chapman and Hall. 115 Fifth Avenue New York. 232 halaman.
TEMPERATURE STRESS RESPONSE OF COMMON CARP (Cyprinus carpio L) AFTER INFECTION WITH Ichthyophthirius multifiliis Henni Syawal, Nastiti Kusumorini, Wasmen Manalu, Ridwan Affandi
ABSTRACT This study was conducted to determine the physiological properties of common carps (Cyprinus carpio L) which were infected by Ichthyophthiriusmultifiliis (ich) in theront stadia, and kept at three different media temperatures. The design of the experiment was a Factorial in Time with two factors (temperature and observation times) and three replications. Fish was infected with theront by 5.000 cellsL-1and then was exposed for 7 days to mediatemperatures of 20, 24, and 28ºC. To maintain the water temperature, electric heaters were used. Five hundred and forty common carps with 5-7 cm of length and two months of age were used in the experiment. Parameters measured were haemoglobin, hematocrit, total red blood cells, and white blood cells, cortisol levels, glucose, osmolarity values, histology of gill, and survival rate. Parameter measurements were performed three times; at the beginning before treatment (day 0), 3rd, and 5thday after infection. The results showed that the temperature and ich infection influenced haematological values of fish at 20ºC media temperature. Hematocrit and erythrocytes decreased until the end of the treatment (5th day), while the total leucocyte increased. The physiological properties of fish were characterized by the increase in cortisol and glucose levels to temperature (20ºC) but decrease in osmolarity value. The highest cortisol and glucose levels were observed in the 3rdday after infection at 20ºC media temperature (cortisol 657 nmolL-1 and glucose 77.44±18.09mg 100 dL-1). Osmolarity values decreased until the last day of observation for all treatments with the lowest value at 20ºC media temperature (275.00±25.69 mMkg-1H2O). Conclusion, fish that was kept at 20ºC and infected with ich experienced more stress than fish kept in 24 and 28ºC temperatures. Keywords: Cyprinus carpio L, Ichthyophthirius multifiliis, temperature, stress. PENDAHULUAN Usaha budi daya ikan mas sudah banyak dilakukan masyarakat secara intensif, baik yang dipelihara di kolam, keramba, maupun jaring apung. Pemeliharaan ikan mas umumnya dilakukan dengan kepadatan tinggi, dan pemberian pakan yang maksimal agar ikan tumbuh dengan cepat. Namun, usaha ini sering juga mengalami kegagalan karena adanya serangan penyakit sehingga dapat menimbulkan kematian yang berkisar antara 30-90%, bahkan dapat mencapai 100% apabila kondisi lingkungan sangat ekstrim dan adanya mikroorganisme patogen (Supriyadi dan Komarudin 2003). Salah satu jenis
46
penyakit yang menyerang benih ikan air tawar adalah penyakit Ichthyophthiriasis, yang disebabkan oleh parasit Ichthyophthirius multifiliis (ich). Parasit ich dapat menyerang organ bagian luar ikan, seperti kulit, sirip, mata, dan insang. Patogenitas ich dapat menimbulkan kematian pada ikan peliharaan, terutama yang berukuran benih (kematian hingga100%) dalam waktu relatif singkat sehingga dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis (Ogut et al. 2005). Selain menimbulkan kerugian secara materi juga dapat berdampak buruk pada kekurangan sumber protein asal hewani, karena ikan merupakan sumber protein asal hewani yang sangat baik untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Parasit ini bersifat obligat dan hidup atau tinggal di bawah epitelium kulit, insang, dan sirip, serta memakan jaringan inangnya (Lobo-da-Cunha dan Azevedo 1990). Selanjutnya Lobo-da-Cunha dan Azevedo (1994) menyatakan bahwa ich stadia dewasa,yang dinamakan trophozoid akan lepas dari tubuh ikan, kemudian membentuk kista, hidup bebas di perairan atau menempel pada substrat, dan melanjutkan siklus hidupnya. Xu et al. (2000) melaporkan bahwa theront adalah stadia infektif dari ich yang menyerang ikan Lepomis macrochirus, kemudian menempel dan berkembang menjadi trophont (trophozoid) serta bergerak secara memutar pada jaringan epidermis ikan tersebut. Lebih dari 88% theront dapat menempel pada sirip, insang, dan kulit setelah satu jam pascainfeksi. Pengendalian penyakit Ichthyophthiriasis ini sudah dilakukan dengan menggunakan antibiotik dan bahan kimia, namun hasilnya belum memuaskan karena bahan tersebut tidak dapat membunuh semua stadia ich. Dampak lain penggunaan bahan tersebut adalah pencemaran lingkungan dan menimbulkan resistensi pada mikroorganisme patogen. Kesulitan dalam mengatasi penyakit ini dikarenakan siklus hidup ich sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan pemeliharaan. Suhu merupakan faktor pengontrol dalam usaha budi daya. Fluktuasi suhu siang dan malam hari dapat menimbulkan stres pada ikan. Hal ini terbukti dari hasil penelitian tahap pertama bahwa suhu dapat mempengaruhi kondisi fisiologis dan hematologis ikan. Pada suhu 24⁰C, sintasan ikan mas paling rendah dan dari ikan yang mati terlihat adanya gejala terinfeksi parasit. Hasil tersebut dijadikan dasar untuk penelitian tahap kedua. Penelitian pada tahap kedua ini bertujuan
47
untuk mengkaji respons stres ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu media yang berbeda. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air FPIK, dan Laboratorium Fisiologi FKH IPB. Waktu pelaksanaan dimulai bulan Februari sampai dengan Maret 2011. Bahan dan Alat Ikan Uji Sebanyak 540 ekor ikan mas berukuran 5-7 cm telah digunakan dalam penelitian ini. Ikan mas ini berasal dari salah satu panti pembenihan di daerah Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Ikan uji dipelihara dalam akuarium berukuran 60x45x35 cm3, yang diisi air sebanyak 60L, dengan padat tebar satu ekor L-1, dan diberi aerasi. Air yang digunakan untuk pemeliharaan ikan uji terlebih dahulu diberi perlakuan agar terbebas dari mikroorganisme patogen, yaitu pertama dimasukkan larutan hipoklorid 30 ppm dan diaerasi selama 24 jam kemudian ditambahkan 10-15 ppm natriumtiosulfat setelah satu minggu baru air tersebut dapat dipergunakan. Sebelum diinfeksi, ikan uji terlebih dahulu dibebaskan dari mikroorganisme patogen lainnya
dengan cara merendam di
dalam larutan kalium permanganat (5 ppm) selama 15-20 menit. Untuk memastikan bahwa ikan uji tidak ada terinfeksi oleh I. multifiliis adalah dengan cara menyampling ikan stok sebanyak 15 ekor, kemudian diperiksa lendir yang ada di permukaan tubuh dan insang di bawah mikroskop. Selama penelitian ikan diberi pakan tiga kali sehari sampai kenyang (ad libitum). Kultur Theront dari Ichthyophthirius multifiliis (Ich) Stadia theront diperoleh dari kultur trophozoid. Trophozoid adalah ich stadia dewasa yang berasal dari 200 ekor ikan sakit yang positif terinfeksi ich (Lampiran 1). Trophozoid didapatkan dengan cara mengerik lendir yang ada pada permukaan tubuh dengan menggunakan pisau scalpel. Kemudian lendir hasil
48
kerikan dimasukkan ke dalam petridis yang telah diisi akuades, dan selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama18-24 jam sehingga didapatkan stadia theront (Syawal et al. 2007). Penginfeksian Ikan diinfeksi dengan ich stadia theront. Kepadatan theront yang diinfeksikan 5.000 selL-1 (Lampiran 2). Penginfeksian dilakukan selama 30 menit, dengan cara merendam ikan uji dalam wadah (bervolume 30 L) yang berisi theront dan selama penginfeksian tetap diberi aerasi. Setelah dilakukan penginfeksian, ikan dikembalikan ke dalam akuarium sesuai perlakuan, dan dipelihara selama satu minggu. Pengambilan Sampel Darah Darah diambil dari vena caudalis dengan menggunakan syringe (1 mL) yang diberi heparin sebagai antikoagulan. Sebelum darah diambil, ikan terlebih dahulu dibius dengan phenoxyethanol dosis 0.3 mLL-1 air (Rigal et al. 2008). Sebagian darah yang didapat, langsung digunakan untuk mengukur kadar hemoglobin, nilai hematokrit, total eritrosit, dan total leukosit. Sisanya, diambil plasmanya dengan menggunakan sentrifuse dan plasma tersebut digunakan untuk mengukur kadar kortisol, kadar glukosa, dan nilai osmolaritas. Parameter yang Diukur Pengukuran parameter dilakukan tiga kali, yaitu pada hari ke-0 sebelum dilakukan penginfeksian, pada hari ke-3 pascainfeksi, dan pada hari ke-5 pascainfeksi. Adapun parameter yang diukur adalah gambaran darah (meliputi: hemoglobin, hematokrit, total eritrosit, dan total leukosit), diferensial leukosit, kadar kortisol, kadar glukosa, nilai osmolaritas, histologi jaringan insang, dan prevalensi,
serta
sintasan.
Kadar
hemoglobin
diukur
dengan
metode
Cyanmethemoglobin modifikasi dari Merck, dengan kit produksi Human. Nilai hematokrit, total eritrosit, total leukosit, dan diferensiasi leukosit diukur dengan mengikuti prosedur Johnny et al. (2003). Kadar kortisol diukur dengan menggunakan metode RIA (radio immune assay) kit (CORTISOL[125I] RIA KIT (Ref: RK-240CT) IZOTOP, kadar glukosa diukur dengan metode enzimatis
49
colorimetric kit GLUCOSE liquicolor GOD-PAP produksi Human, nilai osmolaritas plasma diukur langsung dengan menggunakan OSMOTAT 030. Persentase prevalensi ich pada ikan didapat dengan menggunakan rumus P = Jt/ Jo x 100. P adalah prevalensi, Jt adalah jumlah ikan yang terinfeksi dan Jo adalah jumlah ikan yang diperiksa. Persentase sintasan ditentukan dengan rumus: S = Nt / No x 100, Effendi (1979). S adalah sintasan, Nt adalah jumlah ikan yang hidup pada akhir pengamatan, dan No adalah jumlah ikan pada awal pemeliharaan. Gambaran jaringan insang dianalisis melalui preparat histologis yang diwarnai dengan Hematoksilin dan Eosin (HE). Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Faktorial dalam Waktu, dan yang menjadi perlakuan adalah suhu media pemeliharaan (20⁰C, 24⁰C, dan 28⁰C) dan waktu pengamatan adalah (hari ke-0, hari ke-3,dan hari ke-5 pascainfeksi). Masing-masing perlakuan memiliki tiga ulangan. Analisis Data Data yang didapatkan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data diuji secara statistik dengan analisis ragam (ANOVA) menggunakan perangkat lunak software SAS 9.1,.3 dan minitab 16 (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Gambaran histologi dibahas secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Gambaran Darah Ikan Mas yang Diinfeksi dengan Ich Hasil pengamatan terhadap gambaran darah, mencakup hemoglobin, hematokrit, total eritrosit, dan total leukosit disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan data pada Tabel 4 terlihat bahwa kadar hemoglobin ikan mas setelah diinfeksi dengan ich (stadia theront) mengalami peningkatan selama pengamatan, baik berdasarkan waktu (hari) pengamatan maupun suhu media pemeliharaan (p< 0.01). Peningkatan kadar hemoglobin tertinggi terjadi pada hari ke-5 pada suhu 20⁰C, yakni sebesar 138.14% bila dibandingkan dengan hari ke-0, sedangkan rata-
50
rata kadar hemoglobin tertinggi berdasarkan suhu media pemeliharaan diperoleh pada suhu 28⁰C hari kelima. Untuk lebih jelasnya, perubahan kadar hemoglobin hasil interaksi antara hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 17. Tabel 4. Rataan nilai gambaran darah ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda Respons
Waktu
Hemoglobin (gdL-1)
H0 H3 H5
Hematokrit (%)
H0 H3 H5
T. eritrosit (x106selmm-3)
H0 H3 H5
T. Leukosit (x103sel mm-3)
H0 H3 H5
Suhu media pemeliharaan 20⁰C 24⁰C 28⁰C 3.72 ±0.57 9.68 ±1.95 10.57 ± 3.06 B 15.00 ± 1.20 8.45 ± 1.84 24.75± 3.72 A 2.95 ± 0.30 2.21 ± 0.51 2.57 ± 1.24 A 5.74 ± 1.64 4.11 ± 0.69 10.50 ± 2.16 A
4.71 ± 1.31 11.14 ± 1.64 11.83 ± 1.64 AB 18.25 ± 0.95 12.63 ± 2.66 9.17 ± 4.17 A 3.93 ± 0.61 2.60 ± 0.51 2.56 ± 0.62 A 8.53 ± 4.26 4.60 ± 1.76 2.60 ± 0.63 AB
Nilai P
6.13 ± 2.39 10.98 ± 1.22 12.26 ± 0.72 A 18.90 ± 3.48 13.94 ± 3.51 20.50 ± 2.27 A 3.05 ± 1.06 2.22 ± 0.94 2.96 ± 0.92 A 1.87 ± 1.26 5.05 ± 0.07 3.90 ± 1.31 B
B A A
0.0005
A B A
0.006
A B AB
0.0111
A A A
0.0016
HEMOGLOBIN g/dL
Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang sama pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata, P< 0.05. 15 10 5 b
a
a
b
ab
a
0 H-0
H-3 H-5 HARI
S-20 S-24 S-28 SUHU
Gambar 17. Kadar hemoglobin ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
51
Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa kadar hemoglobin dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.01) dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Kadar hemoglobin meningkat sejalan dengan lamanya masa pemeliharaan dan meningkatnya suhu media pemeliharaan. Hal ini diduga ada hubungannya dengan kondisi yang dialami oleh ikan akibat diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu media yang berbeda. Meningkatnya suhu media pemeliharaan dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut di dalam air sehingga dapat menyebabkan ikan kekurangan oksigen. Selain itu, kekurangan oksigen di jaringan juga bisa disebabkan oleh keberhasilan ich menginfeksi insang ikan. Kekurangan oksigen ini dapat memicu pembentukan darah merah yang salah satunya ditandai dengan meningkatnya kadar hemoglobin. Berdasarkan Tabel 4, nilai hematokrit ikan mas setelah diinfeksi dengan ich dipengaruhi oleh suhu media pemeliharaan dan lama pengamatan (p<0.05). Nilai hematokrit mengalami penurunan pada hari ketiga dan kembali meningkat pada hari kelima pada ikan yang dipelihara pada suhu 20 dan 28⁰C, namun pada suhu 24⁰C mengalami penurunan hingga akhir pengamatan, yakni sebesar 49.75% dari nilai awal (H-0). Penurunan nilai hematokrit ini diduga ada hubungan antara terjadinya infeksi pada ikan akibat invasi sel theront. Untuk melihat perubahan nilai hematokrit hasil interaksi antara hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 18. Dari data terlihat bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh hari pengamatan (p< 0.01) namun tidak dipengaruhi oleh suhu media pemeliharaan.
HEMATOKRIT %
20 15 10
a
b
a
H-0
H-3
H-5
5 0
HARI
S-20
S-24
S-28
SUHU
Gambar 18. Nilai hematokrit ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
52
Pada Tabel 4 terlihat bahwa total eritrosit ikan mas dipengaruhi oleh infeksi ich dan suhu media pemeliharaan (p<0.05). Pengaruh infeksi ich terhadap total eritrosit hasil interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media
ERITROSIT x106selmm-3
pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 19.
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
a
b
ab
H-0
H-3
H-5
HARI
S-20 S-24 S-28 SUHU
Gambar 19. Total eritrosit ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich Berdasarkan Gambar 19 terlihat bahwa total eritrosit hanya level waktu pengamatan yang memberikan beda nyata (p<0.05). Total eritrosit pada hari ketiga mengalami penurunan yang berarti bila dibandingkan dengan H-0. Hal ini diduga pada hari ketiga sudah terjadi infeksi pada ikan yang disebabkan oleh ich sehingga menyebabkan turunnya total eritrosit, dan pada hari kelima kembali meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan sudah mampu mengatasi terjadinya infeksi. Perubahan nilai total leukosit ikan mas setelah diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu media yang berbeda selama pengamatan ditampilkan pada Tabel 4. Dari data pada Tabel 4 terlihat bahwa total leukosit ikan yang dipelihara pada suhu 20⁰C mengalami peningkatan hingga akhir pengamatan. Hal ini menandakan terjadi infeksi yang berat sebagai akibat dari kondisi stres ikan pada suhu rendah. Untuk lebih jelasnya perubahan total leukosit berdasarkan interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 20. Berdasarkan Gambar 20 terlihat bahwa total leukosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich hanya berpengaruh nyata berdasarkan waktu pengamatan (p<0.05). Pada hari ketiga, total leukosit mengalami peningkatan sebesar 214.31%
53
bila dibandingkan dengan hari ke-0 yang diduga merupakan reaksi pertama dari
LEUKOSIT x103selmm-3
infeksi ich. 25 20 15 10 5 0
a
ab
b
H-0
H-3
H-5
S-20 S-24 S-28
HARI
SUHU
Gambar 20.Total leukosit ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich Diferensiasi Sel Leukosit Ikan Mas yang Diinfeksi dengan Ich Hasil pengamatan terhadap diferensiasi sel leukosit, mencakup limfosit, monosit, dan neutrofil ikan mas yang telah diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu media yang berbeda disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan data pada Tabel 5 terlihat bahwa infeksi ich mempengaruhi persentase limfosit (p<0.05). Nilai limfosit ikan yang dipelihara pada suhu 20⁰C mengalami penurunan hingga hari kelima, demikian juga pada ikan yang dipelihara pada suhu 28⁰C. Nilai limfosit dari ikan yang dipelihara pada suhu 24⁰C mengalami peningkatan pada hari ketiga dan kembali menurun pada hari kelima. Untuk lebih jelasnya, perubahan nilai limfosit hasil interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 21. Dari gambar terlihat bahwa penurunan limfosit hanya terjadi pada hari kelima (p<0.01). Semua tingkatan suhu media pemeliharaan mempengaruhi jumlah limfosit (p<0.05). Perubahan nilai persentase monosit ikan mas setelah diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu media yang berbeda disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan data pada Tabel 5 terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai persentase monosit untuk semua kelompok ikan yang dipelihara (p<0.05). Peningkatan ini sehubungan dengan fungsi sel monosit, yaitu berperan dalam proses fagositosis. Dengan demikian, perubahan nilai persentase monosit ini erat hubungannya
54
dengan keberhasilan ich menimbulkan infeksi pada ikan. Untuk lebih jelasnya perubahan nilai monosit berdasarkan interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 22. Nilai monosit meningkat hanya pada hari kelima (p<0.05) dan pada suhu media pemeliharaan 28⁰C (p<0.05). Tabel 5. Persentase nilai diferensiasi sel leukosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda Respons
Waktu
Limfosit %
H0 H3 H5
Monosit %
H0 H3 H5
Neutrofil %
H0 H3 H5
Suhu media pemeliharaan 24⁰C 28⁰C
20⁰C 54.75 ± 3.86 51.25 ± 5.50 45.75 ± 3.10 B 38.50 ± 4.93 41.75 ± 4.65 42.50 ± 5.00 B 7.50 ± 3.70 10.00 ± 1.63 11.75 ± 2.63 A
53.05 ± 3.86 56.50 ± 1.91 44.75 ± 2.75 A 37.05 ± 4.93 37.25 ± 0.96 48.25 ± 2.63 B 8.50 ± 3.70 6.25 ± 2.06 7.00 ± 4.16 B
52.85 ± 3.86 38.00 ± 3.37 38.00 ± 0.82 C 37.75 ± 4.93 51.25 ± 4.57 50.25 ± 3.50 A 7.50 ± 3.70 10.75 ± 2.22 9.25 ± 3.77 A
Nilai P A A B
0.0005
B B A
0.0001
A A A
0.0412
LIMFOSIT %
Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standardeviasi. Huruf yang sama pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata, P< 0.05
60 50 40 30 20 10 0
b
a
H-0
H-3 HARI
H-5
b
S-20
a
c
S-24
S-28
SUHU
Gambar 21. Persenase limfosit ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
MONOSIT %
55
60 50 40 30 20 10 0
b
b
a
b
b
a
H-0
H-3
H-5
S-20
S-24
S-28
HARI
SUHU
. Gambar 22. Persentase monosit ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich Persentase neutrofil ikan mas setelah diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu media yang berbeda disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa nilai neutrofil dipengaruhi oleh infeksi ich (p<0.05). Pada suhu 20⁰C nilai neutrofil mengalami peningkatan terus hingga hari ke-5, mencapai 56.66%. Demikian juga dengan ikan yang dipelihara pada suhu 24⁰C mengalami peningkatan hingga hari ke-5, sebesar 42.30%. Selanjutnya untuk melihat perubahan nilai neutrofil hasil interaksi level hari atau suhu lingkungan
NEUTROFIL %
ditampilkan pada Gambar 23. 12 10 8 6 4 2 0
a
H-0
H-3 HARI
H-5
S-20
b
a
S-24
S-28
SUHU
Gambar 23. Persentase neutrofil ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich Berdasarkan Gambar 23 terlihat bahwa peningkatan nilai neutrofil pada ikan mas yang diinfeksi ich hanya dipengaruhi oleh suhu media (p<0.05).
56
Kadar Kortisol dan Kadar Glukosa Ikan Mas yang Diinfeksi dengan Ich Hasil pengukuran kadar kortisol dan glukosa ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu media yang berbeda disajikan pada Tabel 6. Dari data pada Tabel 6 terlihat bahwa infeksi ich dapat mempengaruhi kadar kortisol (p<0.01). Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa kadar kortisol ikan pada hari ketiga pascainfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu 20°C memiliki kadar tertinggi. Selanjutnya untuk melihat perubahan kadar kortisol hasil interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 24. Tabel 6. Rataan kadar kortisol dan glukosa ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda Suhu media pemeliharaan Nilai P 20⁰C 24⁰C 28⁰C H0 434.38 402.44 350.89 B Kortisol* 0.000 H3 657.58 547.98 439.19 A -1 (nmolL ) H5 293.95 279.32 488.25 C A C B H0 48.12 ± 2.65 48.57 ± 5.14 45.71 ± 9.16 A Glukosa 0.5317 H3 77.44 ± 2.89 59.51 ± 9.78 50.89 ± 7.87 A (mgdL-1) H5 60.06 ± 8.77 51.96 ± 7.23 61.14 ± 9.95 A A A A Keterangan: * kadarkortisol berasaldari plasma yang dipool Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan, ± standar deviasi. Huruf yang sama pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata P < 0.05 KORTISOLnmolL-1
Waktu
600 500 400 300 200 100 0
b
H-0
a
c
H-3
H-5
HARI
a
c
b
S-20 S-24 S-28 SUHU
Gambar 24. Kadar kortisol ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich
57
Bedasarkan Gambar 24 terlihat bahwa penginfeksian ich mempengaruhi kadar kortisol berdasarkan hari pengamatan (p<0.01) dan suhu media (p<.0.01) Tingginya kadar kortisol ini menandakan ikan dalam kondisi stres berat karena diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu rendah. Seiring dengan perubahan kadar kortisol juga akan diikuti oleh perubahan kadar glukosa. Namun demikian pada penelitian ini kadar glukosa tidak berpengaruh nyata Nilai Osmolaritas Ikan Mas yang Diinfeksi dengan Ich Hasil pengukuran nilai osmolaritasikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu media yang berbeda disajikan pada Tabel 7. Dari data pada Tabel 7 terlihat bahwa nilai osmolaritas dipengaruhi oleh hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.05). Nilai osmolaritas terendah didapatkan dari ikan
yang dipelihara pada suhu 20⁰C pada hari ketiga. Rendahnya nilai
osmolaritas ini diduga disebabkan karena keberhasilan ich menginfeksi ikan terutama pada organ insang dan kulit. Kedua organ tersebut berfungsi sebagai osmoregulator. Terjadinya kerusakan pada insang akibat ich menyebabkan banyaknya air yang masuk ke dalam tubuh sehingga konsentrasi zat-zat terlarut akan berkurang, dengan demikian nilai osmolaritas menjadi rendah. Selanjutnya untuk melihat perubahan nilai osmolaritas hasil interaksi level hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 25. Berdasarkan Gambar 25 terlihat bahwa nilai osmolaritas dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.05) dan suhu media pemeliharaan (p< 0.05). Pada hari ketiga nilai osmolaritas mengalami penurunan yang signifikan pascadiinfeksi dengan ich. Tabel 7. Nilai osmolaritas ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda Respons
Waktu
Osmolaritas mMolkg-1 H2O
H-0 H-3 H-5
Suhu media pemeliharaan 20⁰C 24⁰C 28⁰C 303.33 ± 5.51 247.50 ± 24.78 287.50 ± 16.53 B
302.00 ± 4.36 284.17 ± 19.53 366.83 ± 10.37 A
320.33 ± 11.55 283.50 ± 22.50 325.83 ± 23.23 A
Nilai P A B A
0.0008
Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi.Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata P < 0.05
58
Osmolaritas mMolkg-1 H2O
350 300 250 200 150
a
b
a
b
H-3
H-5
S-20
100
a
a
S-24
S-28
50 H-0
HARI
SUHU
Gambar 25. Kadar osmolaritas ikan mas hasil interaksi pada level hari pengamatan dan suhu media setelah diinfeksi dengan ich Gambaran Histologi Insang Ikan Mas yang Diinfeksi dengan Ich Gambaran histologi insang ikan 72 jam pascainfeksi dengan ich pada suhumedia pemeliharaan yang berbeda ditampilkan pada Gambar 26. Gambar 26a adalah preparat histologis insang ikan pada suhu media pemeliharaan 20⁰C yang menunjukkan adanya perbesaran sel (hiperseluler), banyaknya sel-sel goblet, dan adanya infiltrasi sel limfosit. Disimpulkan bahwa insang ikan mengalami inflamasi. Selanjutnya pada Gambar 26b terlihat bahwa infiltrasi sel limfosit yang ditemukan sangat sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan Gambar 26a, dan tidak ditemukan adanya perbesaran sel, sedangkan pada Gambar 26c juga ditemukan infiltrasi sel limfosit, namun jumlahnya juga tidak sebanyak pada Gambar 26a. Dapat disimpulkan bahwa insang ikan pada suhu media air pemeliharaan 24⁰C dan 28⁰C tidak mengalami inflamasi. Prevalensi Ich dan Sintasan Ikan Mas yang Diinfeksi dengan Ich Persentase prevalensi ich pada ikan mas disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa prevalensi ich dipengaruhi oleh suhu media pemeliharaan (p<0.05). Pada suhu 20⁰C prevalensi ich lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada suhu media 24 dan 28⁰C. Tingginya prevalensi ich menandakan bahwa patogenitas ich tinggi pada suhu 20⁰C. Selain itu juga diduga bahwa ikan yang dipelihara pada suhu 20⁰C sudah mengalami stres sehingga mudah terinfeksi. Sintasan ikan mas yang diinfeksi dengan ich dipengaruhi oleh suhu media pemeliharaan (p<0.01). Rendahnya sintasan yang dihasilkan menandakan bahwa
59
kisaran suhu 20⁰C sampai 28⁰C merupakan kisaran suhu yang baik untuk ich melakukan invasi pada ikan.
3 2 1
Gambar 26a.Preparat histologis insang ikan mas 72 jam pascainfeksi pada suhu 20⁰C (Pewarnaan H&E, Bar 200 μm) Keterangan: (a) hiperseluler : (b) infiltrasi sel limfosit : (c) sel goblet
3
2
1
Gambar 26b. Preparat histologis insang ikan mas 72 jam pascainfeksi pada suhu 24⁰C(Pewarnaan H&E, Bar 200μm) Keterangan: (1) hiperseluler : (2) sel goblet: (3) infiltrasi sel limfosit .
60
1 3 2
Gambar 26c. Preparat histologis insang ikan mas 72 jam pascainfeksi pada suhu 28⁰C (Pewarnaan H&E, Bar 200 μm) Keterangan: (1) hiperseluler : (2) sel goblet : (3) infiltrasi sel limfosit
Tabel 8. Rataan Persentase prevalensi ich dan sintasan ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu yang berbeda Renpons
Nilai P
Prevalensi (%)
Suhu media pemeliharaan 20⁰C 24⁰C 28⁰C 62.77±5.17a 55.09±2.94b 53.48±1.76b
Sintasan (%)
58.11±2.16a
0.000
73.88±1.62b
74.10±4.18b
0.0402
Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi.Huruf yang sama pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata , P < 0.05
PEMBAHASAN Stres yang diakibatkan oleh suhu dan infeksi ich dapat mempengaruhi gambaran darah ikan. Rendahnya kadar hemoglobin pada hari ke-0 dan suhu 20⁰C bila dibandingkan dengan suhu 24⁰C, dan 28⁰C menandakan bahwa suhu mempengaruhi kadar hemoglobin. Pada suhu rendah, laju metabolisme rendah sehingga mempengaruhi laju pembentukan eritrosit. Rendahnya jumlah total eritrosit pada suhu rendah diikuti pula dengan rendahnya kadar hemoglobin. Sebaliknya pada suhu tinggi, laju metabolisme tinggi dan diikuti oleh
61
pembentukan eritrosit. Rendahnya laju metabolisme juga erat kaitannya dengan ketersediaan oksigen di lingkungan. Hal ini dapat dimengerti bahwa pada suhu rendah ketersediaan oksigen terlarut lebih tinggi bila dibandingkan pada suhu tinggi (Wedemeyer 2001). Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut pada suhu 20⁰C adalah 6.3 mgL-1, sedangkan pada suhu 24⁰C dan 28⁰C adalah 4.5 mgL-1. Dengan demikian,
ikan mas yang dipelihara pada suhu 24⁰C dan 28⁰C
mengalami kekurangan oksigen (hipoksia). Untuk mengatasi kekurangan oksigen di jaringan maka produksi eritrosit meningkat atau disebut juga eritropoiesis. Dengan meningkatnya jumlah total eritrosit maka kadar hemoglobin juga meningkat, karena hemoglobin terkandung di dalam eritrosit dan berfungsi mengangkut oksigen ke jaringan. Hal ini terbukti bahwa kadar hemoglobin pada suhu tinggi nilainya lebih besar bila dibandingkan dengan suhu rendah. Peningkatan kadar hemoglobin pada hari ketiga dan kelima erat kaitannya dengan keberhasilan ich menginfeksi ikan. Ich yang berhasil menempel pada epitel insang ikan akan berkembang menjadi dewasa.
Akibatnya, terjadi
kerusakan pada organ insang, seperti yang terlihat pada hasil preparat histologis (Gambar 26). Mekanisme infeksi ich telah memicu terjadinya hiperplasia pada sel-sel epitel insang, sehingga interlamela insang mengecil ukurannya dengan demikian tempat pertukaran oksigen menjadi terbatas. Akibatnya, proses respirasi terganggu (Dang et al. 2000). Peningkatan kadar kortisol juga diikuti oleh peningkatan kadar glukosa pada hari ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa ikan mengalami stres akibat suhu dan diinfeksi dengan ich. Terjadinya peningkatan kadar kortisol ini disebabkan oleh adanya stresor suhu dan infeksi ich sehingga merangsang bagian hipothalamus untuk melepaskan hormon adrenocorticosteroid (ACTH). Hormon ini merangsang korteks adrenal untuk menghasilkan kortisol dan hormon kortikosteroid lainnya. Kadar kortisol yang tinggi dapat menekan sistem imunitas ikan, karena kortisol dapat menghambat terbentuknya interleukin-1 dan interleukin-2, sehingga dapat mempengaruhi atau menghambat sel limfosit T dalam membantu sel B untuk mengasilkan antibodi (Berne dan Levy 1988; Isnaeni 2006). Dengan demikian, kekebalan ikan menurun dan mudah terinfeksi oleh ich.
62
Tingginya kadar kortisol pada hari ketiga pascainfeksi menandakan ikan dalam kondisi stres berat akibat dipelihara pada suhu rendah dan diinfeksi dengan ich. Dengan demikian, ikan akan mudah terinfeksi (Kubilay dan Ulukoy 2002 ; Varsamos et al. 2006). Hal yang sama juga terjadi pada hasil penelitian yang dilaporkan oleh Jorgensen dan Buchmann (2007) bahwa peningkatan kadar kortisol terjadi baik pada kondisi kronis maupun akut pada ikan rainbow trout yang terinfeksi Ichthyophthirius multifiliis dan diperlakukan dengan formalin. Akibat stres ini, ikan membutuhkan energi yang besar untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Costas et al. 2008). Dengan demikian, hormon stres ini akan merangsang peningkatan produksi glukosa melalui jalur glukoneogenesis dan glikogenolisis untuk mengatasi kebutuhan energi yang disebabkan oleh stres. Tingginya kebutuhan energi untuk mempertahankan hidup oleh ikan yang mengalami stress akan merangsang terjadinya mobilisasi glukosa ke dalam darah. Pada kondisi ini, sel-sel chromaffin melepaskan hormon katekolamin, adrenalin, dan noradrenalin ke sirkulasi darah (Porchas et al. 2009). Hal ini terbukti dengan meningkatnya kadar glukosa plasma pada semua suhu pemeliharaan pascainfeksi ich. Perubahan kadar glukosa dalam plasma sering digunakan sebagai indikator kedua dari respons metabolik terhadap stres pada ikan (Evans dan Claiborne 2006). Stres pada ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu air media yang berbeda tidak hanya meningkatkan kadar kortisol dan glukosa plasma, tetapi juga dapat menurunkan nilai osmolaritas plasma pada hari ke-3 pascainfeksi. Penurunan nilai osmolaritas plasma berkaitan dengan kerusakan organ insang akibat invasi ich. Keberhasilan ich (sel theront) menginvasi ikan terkait dengan masa aktifnya sel theront, yaitu 48 jam dan apabila tidak menemukan ikan maka theront mati (Gratzek 1993). Kerusakan pada insang selain diakibatkan oleh perforasi sel theront ke lapisan epitel juga dipicu oleh tingginya kadar kortisol di dalam plasma. Peningkatan kadar kortisol pada ikan tilapia juga mengakibatkan meningkatnya jumlah sel-sel chloride pada lamella insang. Dengan demikian, kortisol mampu menginduksi terbentuknya hiperplasia dan hipertropi dan secara bersamaan dengan meningkatnya sel-sel chloride dalam membrane
plasma (Dang et al. 2000). Akibat, terjadinya hiperplasia dan
63
hipertropi pada lamella insang maka ikan akan mengalami gangguan respirasi dan proses osmoregulasi. Selanjutnya Purbayanto et al. (2010) melaporkan bahwa stres dapat menimbulkan efek primer berupa gangguan hormonal dan metabolik, dan efek sekunder berupa gangguan osmoregulasi, perubahan hematologis, dan penurunan imunitas ikan. Rendahnya sintasan ikan mas pada suhu 20⁰C pascainfeksi bila dibandingkan dengan suhu 24⁰C, dan 28⁰C diduga karena pada suhu 20⁰C ikan mengalami kondisi
stres akut akibat infeksi ich. Hal ini terbukti dari tingginya tingkat
prevalensi pada suhu 20⁰C, yakni sebesar 62.77%. Tingginya tingkat prevalensi yang dihasilkan menandakan keberhasilan ich menginvasi ikan. Akibatnya terjadi kerusakan pada insang sehingga menyebabkan gangguan respirasi dan proses osmoregulasi. Pada suhu 24 dan 28⁰C ikan juga mengalami stres tetapi lebih rendah bila dibandingkan dengan suhu 20⁰C. Hal ini ada hubungannya dengan tingkat patogenitas ich, dan terbukti dari ikan yang dipelihara pada suhu 20⁰C tanpa dilakukan penginfeksian dengan ich maka sintasan yang dihasilkan lebih tinggi, yakni sebesar 87% (hasil penelitian tahap 1) sedangkan pada ikan yang diinfeksi dan dipelihara pada suhu 20⁰C, angka sintasannya adalah: 58.11%. Tingkat prevalensi ich pada suhu tinggi lebih rendah bila dibandingkan dengan suhu rendah. Keberhasilan ich menginfeksi ikan juga didukung oleh faktor suhu, pada suhu air media pemeliharaan yang rendah ikan mengalami stres yang ditandai dengan tingginya kadar kortisol. Selanjutnya karena adanya infeksi oleh ich juga menyebabkan terjadinya penurunan nilai limfosit. Limfosit diketahui sebagai benteng pertahanan tubuh dan berperan utama dalam pembentukan kekebalan humoral dan seluler untuk menyerang dan menghancurkan agen penyakit (Jain 1993 dalam Esfandiari 1997). Akibat penurunan nilai limfosit maka ikan akan mudah terinfeksi.Hal ini terbukti pada suhu 20⁰C tingkat prevalensi ich tinggi dan kondisi ini akan merangsang terbentuknya monosit. Sel monosit berperan dalam proses peradangan yang bersifat kronis dan dalam proses fagositosis. Papenfuss (2010) melaporkan bahwa terjadinya peradangan akan merangsang terbentuknya monositosis. Meningkatnya jumlah monosit merupakan respons tubuh untuk menghancurkan patogen yang terlalu sulit untuk dihancurkan oleh sel neutrofil.
64
Osman et al. (2009) melaporkan bahwa ikan goldfish (Carassius auratus) yang diinfeksi dengan ich stadia trophont menghasilkan mortalitas hingga 100% pada suhu 24-27⁰C. Selanjutnya Syawal et al. (2001) juga melaporkan bahwa tingginya patogenitas ich pada ikan patin yang diinfeksi dengan ich stadia trophont dan dipelihara pada suhu 24-26⁰C menyebabkan terjadinya mortalitas hingga 100%. KESIMPULAN Berdasarkan data gambaran darah, kadar kortisol, kadar glukosa, dan nilai osmolaritas plasma maka ikan mas yang diinfeksi dengan ich dan dipelihara pada suhu 20⁰C mengalami stres berat dan menghasilkan sintasan yang rendah.Tingkat stres dan mortalitas ikan mas yang diinfeksi dengan ich dapat menurun dengan meningkatnya suhu pemeliharaan.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada DP2M Dikti
yang telah
memberi bantuan dana melalui kegiatan penelitian Hibah Bersaing tahun 2010.
DAFTAR PUSTAKA Berne R, Levy MN. 1988. Physiology. Second Edition. Mosby Company. St. Louis. Washington, D.C. Toronto. Halaman 962-969. Costas B, Aragao C, Mancera JM, Dinis MT, Conceicao LEC. 2008. High stocking density induces crowding stress and affects amino acid metabolism in Senegalese sole Solea senegalensis (Kaup 1858) juveniles. Aquaculture Research 39: 1-9. Dang Z, et al. 2000. Cortisol increases Na+/K+-ATPase density in plasma membranes of gill chloride cell in the freshwater tilapia Oreochromis mossambicus. The Journal of Experimental Biology 203: 2349-2355. Effendi MI. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor 112 halaman.
65
Esfandiari A.1997. Perubahan profil hematologi kambing local yang diinfeksi dengan Haemonchuscontortus (Rudolphi,1983). [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 68 halaman. Evans DH, Claiborne JB. 2006. The physiology of fishes. Third Edition.Taylor & Francis. 601 halaman. Gratzek JB.1991. Parasites associated with freshwater tropical fishes Dalam Fish Medicine. WB.Sounders Company Harcourt Brace Jovanovich, Inc. halaman 575-576. Isnaeni W. 2006. Fisiology Hewan. Kanisius Yokyakarta. 288 halaman. Johnny F, Zafran, Rosa D, Mahardika K. 2003. Hematologis beberapa spesies ikan laut budi daya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9(4):63-71 Jorgensen TR, Buchmann K. 2007. Stress response in rainbow trout during infection with Ichthyophthirius multifiliis and formalin bath treatment. ACTA Ichthyologica et Piscatoria 37 (1):25–28. Kubulay A, Ulukoy G. 2002. The effects of acute stress on rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Turkey Journal Zoology 26: 249–254. A, Azevedo C. 1990. Ultrastructural localization of Lobo-da-Cunha phosphatases with cerium in ciliated protozoa. Acta Histochem cytochem 23: 467–473. Lobo-da-Cunha A, Azevedo C. 1994. The Golgi apparatus of ciliated protozoon Ichthyophthirius multifiliis (Fouquet). Europa Journal Protistology 30: 97–103. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. 276 halaman. Ogut H, Akyol A, Alkan MZ. 2005. Seasonality of Ichthyophthirius multifiliis in the trout (Oncorhynchus mykiss) farms of the eastern black sea region of Turkey. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 5: 23-27. Osman HAM, Monier MM, Abd El Ghany OA, Ibrahim TB, Ismail MM. 2009. Protection of goldfish (Carasius auratus) against Ichthyophthirius multifiliis by immunization with live theronts, trophontts and sonicated trophontts. Global Veterinaria 3 (4): 329–334. Papenpuss TL. 2010. Monocytes and dendritic cell production and distribution. Dalam Weiss DJ, Wardrop KJ. Schalm’sveterinary hematology.6rd edition.Wiley-Blackwell. Ltd., Publication. Halaman 50-60.
66
Porchas MM, Cardova LRM, Enriquez RR. 2009. Cortisol and glucosa: Reliable indicators of fish stress?. Pan-American Journal of Aquatic Sciences 4(2): 158–178. Purbayanto A, Riyanto M, Fitri ADP. 2010. Fisiologi dan tingkah laku ikan pada perikanan tangkap. IPB Press Kampus IPB Taman Kencana Bogor. 208 halaman. Rigal F, Thibaud C, Catherine LN, Guy C, Jean-Antoine T, Fabien A, Patrick B. 2008. Osmoregulation as a potensial factor for the differential distribution of two cryptic gobiid spesies, Pomatoschistus microps and P. marmoratus in French Mediterranean lagoons. Scientia Marina 72(3). 469–476, Barcelona (Spain) ISSN: 0214–8358. Supriyadi H, Komarudin O. 2003. Kerusakan jaringan ikan nila (Oreochromis niloticus) yang terinfeksi penyakit streptococciasis. Jurnal Penelitan Perikanan Indonesia 9 (2): 35-38. Syawal H, Mulyadi, Aryani N. 2001. Pengaturan suhu dan padat tebar benih ikan jambal siam (Pangasius hypophthalmus) terhadap derajat insiden Ichthyophthirius multifiliis. Jurnal Perikanan dan Ilmu Kelautan 6 (2):6672. Syawal H, Siregar YI, Aryani N. 2007. Pembuatan vaksin sel utuh Ichthyophthirius multifiliis. Laporan penelitian Hibah Bersaing tahun ke-1. Lembaga Penelitian Universitas Riau. 42 halaman. Varsamos S, Flik G, Pepin JF, Wendelaar, Bonga SE, Breul G. 2006. Husbandry stress during early life stages affects the stress response and health status of juvenile sea-bass, Dicentrarchus labrax L. Fish and Shellfish Immunology 20: 83-96. Wedemeyer G. 2001. Fish Hatchery Management.Second Edition. American Fisheries Society Bathesda, Maryland. Halaman 91-186. Xu-DH, Klesius PH, Shoemaker CA, Evan JJ. 2000. The early development of Ichthyophthirius multifiliis in channel catfish in Vitro. Journal of Aquatic Animal Health 12 (4): 290-296.
STRESS RESPONSE OF COMMON CARP (Cyprinus carpio L) DUE TO APPLICATION OF Ichthyophthirius multifiliis VACCINE IN DIFFERENT TEMPERATURES OF MEDIA Henni Syawal, Nastiti Kusumorini, Wasmen Manalu, Ridwan Affandi
ABSTRACT This study was conducted to assess the physiological responses of commonfish due to administration of ich vaccines and different water temperatures. The design for this study was Completely Randomized Factorial Design. The number and the size of the experimental fish were 720 and 5-7 cm, respecttively. Fish was vaccinated by immersing the fish in water that contained 3 mLL-1 of ich vaccines for 15 minutes. Then, fish was kept for 21 days at various temperatures: at 18ºC which was room temperature without heater and fish had not been vaccinated and at 20, 24, and 28ºC where fish was given the vaccines and the aquarium is facilitated with electric heater. On the 15th day after immunization, challenge test was performed with 5.000 cells of life theront fish-1. Levels of cortisol, glucose, plasma osmolarity values, haematological profile, leukocyte differentiation, prevalence rates, and survival rates were measured. The measurements of these parameters were performed four times: before the treatment (day 0), 7th day, 14th day, and 21st day. The results showed that the vaccine could reduce the stress on the fish that were kept at 20, 24, and 28ºC, could reduce the prevalence of ich, and could increase survival rates after challenge test. The highest survival rate which was 100% was found in fish that was kept in 28ºC. Keywords: Cyprinus carpio L, Ichthyophthirius multifiliis, temperature, vaccine. PENDAHULUAN Kendala utama dalam pengembangan usaha budi daya ikan air tawar adalah penyediaan benih yang masih terbatas baik secara kuantitas maupun kualitas. Salah satu penyebab tingginya angka kematian pada saat masih berukuran benih adalah akibat serangan parasit Ichthyophthirius multifiliis (Ich). Penyakit yang ditimbulkannya dinamakan Ichthyophthiriasis atau sering juga disebut “White Spot”. Ichthyophthirius multifiliis termasuk ektoparasit dan organ yang diserangnya adalah insang, kulit, sirip, dan mata. Patogenitas ich dapat menyebabkan kematian ikan hingga 100% dalam waktu yang relatif singkat sehingga menimbulkan kerugian secara ekonomis (Matthews 2005). Pengendalian terhadap penyakit Ichthyophthiriasis sudah dilakukan dengan menggunakan bahan kimia, namun hasilnya tidak efektif. Alasan pertama,
68
bahan kimia tidak efektif apabila ich telah melakukan penetrasi ke kulit dan insang maka akan sulit untuk lepas. Kedua, bahan kimia tersebut tidak dapat membunuh semua stadia dari ich. Ketiga, penggunaan bahan kimia dapat mencemari lingkungan dan produk makanan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan dengan cara pemberian vaksin ich. Pemberian vaksin dapat melindungi ikan terhadap patogen tertentu dalam jangka waktu yang lama. Keberhasilan pemberian vaksin ke ikan dalam meningkatkan kekebalan atau dalam pembentukan antibodi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti suhu. Pada suhu rendah, induksi pembentukan antibodi membutuhkan waktu lebih lama dan titer antibodi yang dihasilkan lebih sedikit. Hal ini disebabkan karena suhu dapat menimbulkan imunosupresi pada ikan. Akibatnya, terjadi hambatan dan penekanan sintesis antibodi untuk melawan antigen yang masuk. Berdasarkan hal di atas dan dari hasil penelitian tahap pertama dan kedua maka perlu dilakukan penelitian tentang pencegahan penyakit ichthyophthiriasis dengan cara pemberian vaksin ich dan dipelihara pada suhu media yang berbeda. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekebalan ikan terhadap
penyakit
Ichthyophthiriasis dan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air, FPIK dan Laboratorium Fisiologi, FKH - IPB. Waktu pelaksanaan dimulai bulan Mei sampai dengan Oktober 2011. Bahan dan Alat Ikan Uji Sebanyak 720 ekor ikan mas berukuran 5-7 cm dengan bobot rata-rata 6±1.65 g diperoleh dari Balai Benih Ikan Cibitung di Kecamatan Ciampea Bogor. Ikan dipelihara dalam akuarium berukuran 60x45x35 cm3, yang diisi dengan air sebanyak 60 L dengan padat tebar satu ekorL-1. Sebelum perlakuan diberikan, ikan terlebih dahulu direndam dalam larutan kalium permanganat (PK), sebanyak
69
5 ppm selama 15 menit agar terbebas dari mikroorganisme patogen yang menempel. Untuk memastikan bahwa ikan uji tidak ada terinfeksi oleh I. multifiliis adalah dengan cara menyampling ikan stok sebanyak 15 ekor, kemudian diperiksa lendir yang ada di permukaan tubuh dan insang di bawah mikroskop. Selanjutnya, ikan uji diadaptasi selama satu minggu. Kemudian ikan uji diberi perlakuan dan dipelihara selama 21 hari. Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan komersil hingga kenyang (ad libitum) tiga kali sehari dan untuk mempertahankan kualitas air dilakukan penyiponan setiap dua hari sekali. Persiapan Antigen Ichthyophthirius multifiliis (Ich) Trophozoid didapatkan dari ikan yang terinfeksi ich, kemudian lendir yang ada pada permukaan tubuh ikan dikerik dengan menggunakan pisau scalpel. Lendir hasil kerikan ditampung dalam cawan petridis yang telah diisi dengan akuades, selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 18-24 jam, sehingga didapatkan stadia theront (Syawal et al. 2007). Stadia theront digunakan sebagai bahan antigen dalam pembuatan vaksin. Selain itu, theront juga digunakan untuk uji tantang. Pembuatan Vaksin Metode pembuatan vaksin memodifikasi prosedur Sakai (1984), yaitu dengan cara menginaktifkan sel theront di water bath pada suhu 47oC selama 30 menit. Setelah dilakukan pemanasan dilanjutkan dengan uji viabilitas, yaitu dengan cara mengambil beberapa tetes larutan vaksin kemudian diamati di bawah mikroskop. Theront dinyatakan tidak aktif apabila pada waktu pengamatan tidak ada yang bergerak (Uji viabilitas) Lampiran 4. Pemberian Vaksin kepada Ikan Pemberian vaksin kepada ikan adalah dengan cara perendaman. Dosis vaksin yang diberikan adalah 3 mlL-1 dengan kepadatan sel theront 8.000 sel mL-1 (Lampiran 2), sedangkan lama perendaman 15 menit (Syawal dan Siregar 2010). Ikan direndam dalam wadah bervolume 30 liter, selama perendaman tetap diberi aerasi.
70
Pemeliharaan Ikan Ikan yang telah diberi vaksin dikembalikan ke akuarium dan dipelihara selama 21 hari pada suhu 20, 24, dan 28⁰C untuk mempertahankan suhu, dipasang alat pemanas listrik (heater), ikan yang dipelihara pada suhu 18⁰C (tanpa heater) dan diberi vaksin dijadikan sebagai kontrol. Penyiponan dilakukan dua hari sekali hingga hari ke-14 pascaimunisasi. Uji Tantang Uji tantang dilakukan untuk melihat efektivitas vaksin, maka pada hari ke15 pascaimunisasi dilakukan uji tantang dengan cara menginfeksikan sel theront hidup sebanyak 5.000 sel ikan-1 (Alishahi dan Buchmann 2006). Penginfeksian dilakukan di dalam akuarium pemeliharaan. Pengamatan dilakukan hingga hari ke-7 pascaujitantang. Selama uji tantang, ikan tetap diberi makan tiga kali sehari. Penyiponan tidak dilakukan karena dikhawatirkan therontnya akan terbawa pada waktu penyiponan. Setiap dua hari sekali dilakukan penambahan air ke dalam akuarium sebanyak jumlah air yang berkurang akibat penguapan. Pengambilan Sampel Darah Darah ikan diambil dari vena caudalis dengan menggunakan syirenge 1 mL dan diberi heparin sebagai antikoagulan. Jumlah ikan yang diambil darahnya dari setiap perlakuan adalah 15 ekor. Sebelum darah diambil terlebih dahulu ikan tersebut dibius dengan phenoxyethanol dosis 0.3 mLL-1 air (Rigal et al. 2008). Sebagian darah yang didapat, langsung digunakan untuk mengukur kadar hemoglobin, hematokrit, total eritrosit, total leukosit, dan diferensiasi leukosit. Sisanya, diambil plasmanya dengan menggunakan “centrifuse”. Plasma tersebut digunakan untuk mengukur kadar kortisol, kadar glukosa, dan nilai osmolaritas. Selanjutnya dibutuhkan serum untuk uji imobilisasi. Serum didapatkan dengan cara mensentrifuse darah ikan yang berasal dari darah yang diambil dengan menggunakan syrenge 1 mL tanpa diberi antikoagulan. Jumlah ikan yang dibutuhkan untuk keperluan mendapatkan serum adalah 10 ekor dari setiap perlakuan.
71
Parameter yang Diukur Pengukuran parameter dilakukan empat kali, yaitu pada hari ke-0 sebelum dilakukan imunisasi, pada hari ke-7 pascaimunisasi, hari ke-14 pascaimunisasi, dan hari ke-21 pascaimunisasi atau hari ke-7 pascaujitantang. Adapun parameter yang diukur adalah gambaran darah (meliputi: hemoglobin, hematokrit, total eritrosit, total leukosit, dan diferensiasi leukosit), kadar kortisol, kadar glukosa, nilai osmolaritas, dan uji imobilisasi. Kadar hemoglobin diukur dengan metode Cyanmethemoglobin modifikasi dari Merck, dengan kit produksi Human. Nilai hematokrit, total eritrosit, total leukosit, dan diferensiasi leukosit diukur dengan mengikuti prosedur Johnny et al. (2003a). Kadar kortisol diukur dengan menggunakan metode RIA (radioimmunoassay) kit (CORTISOL[125I] RIA KIT (Ref: RK-240CT) IZOTOP, kadar glukosa diukur dengan metode
enzimatis
colorimetric kit GLUCOSE liquicolor GOD-PAP produksi Human, nilai osmolaritas plasma diukur langsung dengan menggunakan OSMOTAT 030. Uji imobilisasi mengikuti prosedur (Sigh dan Buchmann 2002). Persentase prevalensi ich pada ikan didapat dengan menggunakan rumus P = Jt/ Jo x 100. P adalah prevalensi, Jt adalah jumlah ikan yang terinfeksi dan Jo adalah jumlah ikan yang diperiksa. Presentase sintasan ditentukan dengan rumus: S = Nt / No x 100, Effendi (1979). S adalah sintasan, Nt adalah jumlah ikan yang hidup pada akhir pengamatan, dan No adalah jumlah ikan pada awal pemeliharaan (Effendi 1979). Rancangan Percobaan Rancangan
yang digunakan adalah Rancangan Faktorial dalam waktu.
Faktor perlakuannya adalah suhu dan waktu pengamatan. Suhu yang digunakan adalah 18oC (tanpa dipasang heater), 20, 24, dan 28oC untuk mempertahankan suhu dipasang alat pemanas listrik (heater). Waktu pengamatan ialah hari ke-0 sebelum dilakukan imunisasi, hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-21 pascaimunisasi, masing-masing perlakuan memiliki tiga ulangan.
72
Analisis Data Data yang didapatkan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, dan diuji secara statistik dengan analisis ragam (ANOVA), dengan menggunakan perangkat lunak software SAS 9.1,3 (Mattjik dan Sumertajaya 2006). HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Gambaran Darah Ikan Mas yang Diberi Vaksin Ich Hasil pengamatan terhadap gambaran darah, mencakup hemoglobin, hematokrit, total eritrosit, dan total leukosit disajikan pada Tabel 9. Dari data pada tabel tersebut terlihat bahwa kadar hemoglobin tidak dipengaruhi oleh hari pengamatan maupun suhu media pemeliharaan. Namun demikian, terdapat beda nyata
kadar hemoglobin hasil interaksi level waktu pengamatan (p<0.05) mau-
pun suhu media pemeliharaan (p<0.05). Hasil interaksi level tersebut ditampilkan pada Gambar 27. Kadar hemoglobin mengalami peningkatan hingga hari ke-14 dan mengalami penurunan pada hari ke-21. Terjadinya penurunan kadar hemoglobin diduga akibat adanya infeksi oleh ich setelah dilakukan uji tantang pada hari ke-15. Suhu media pemeliharaan tidak mempengaruhi kadar hemoglobin. Berdasarkan data pada Tabel 9 terlihat bahwa hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan berpengaruh pada nilai hematokrit (p<0.05). Untuk melihat perubahan nilai hematokrit hasil interaksi antara hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 28. Nilai hematokrit ikan dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.05), sedangkan suhu media pemeliharaan tidak berpengaruh pada nilai hematokrit. Berdasarkan Gambar 28 terlihat bahwa nilai hematokrit mengalami penurunan yang signifikan pada hari ke-7 sebesar 30.67% bila dibandingkan dengan hari ke-0, dan kembali meningkat mendekati nilai normal pada hari ke-14 dan ke-21. Terjadinya penurunan dan peningkatan nilai hematokrit ini diduga akibat pengaruh pemberian vaksin.
73
Tabel 9. Nilai parameter hematologis ikan mas yang diberi vaksin ich Respons
Suhu media pemeliharaan
Waktu
Nilai P
18⁰C
20⁰C
24⁰C
28⁰C
Hemoglobin gdL-1
H0 H7 H14 H21
11.34 ± 2.32 11.02 ± 1.52 10.31 ± 0.76 8.54 ± 1.37 A
9.40 ± 1.09 8.08 ± 0.42 9.99 ± 2.82 8.01 ± 2.82 B
9.57 ± 2.50 10.33 ± 1.27 11.75 ± 0.78 9.02 ± 2.82 A
9.15 ± 3.18 10.47 ± 2.22 9.99 ± 1.39 7.50 ± 1.73 AB
A A A B
Hematokrit %
H0 H7 H14 H21
20.40 ± 2.88 12.30 ± 3.47 17.50 ± 6.07 15.50 ± 1.97 A
20.90 ± 4.92 13.76 ± 1.45 9.30 ± 7.50 16.00 ± 1.84 A
19.00 ± 2.09 16.00 ± 6.47 19.10 ± 4.07 18.45 ± 3.23 A
19.00 ± 10.23 12.90 ± 4.46 23.30 ± 7.50 18.40 ± 1.56 A
A B AB AB
0.0022
Total Eritrosit x 106 selmm-3
H0 H7 H14 H21
2.44 ± 0.64 1.74 ± 0.41 2.40 ± 0.79 1.33 ± 0.59 BC
2.31 ± 0.82 1.80 ± 0.05 1.74 ± 1.20 1.74 ± 0.84 C
2.65 ± 0.47 2.49 ± 0.81 2.40 ± 0.33 2.04 ± 1.14 AB
3.05 ± 0.50 2.60 ± 0.79 3.04 ± 0.25 1.61 ± 1.20 A
A BC AB C
0.0111
AB A C BC
0.0016
H0 H7 H14 H21
2.96 ± 1.96 2.60 ± 1.20 3.88 ± 2.93 3.56 ± 1.34 6.84 ± 3.28 6.10 ± 1.29 1.44 ± 1.04 2.48 ± 1.83 2.44 ± 1.12 1.32 ± 0.52 1.40 ± 0.87 1.84 ± 1.33 3.32 ± 2.04 3.16 ± 2.41 2.16 ± 0.65 1.32 ± 0.67 A A A A Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata P <0.05
HEMOGLOBIN(gdl-1)
Total Leukosit x 103 selmm-3
sama
12 10 8 6
a
b
H-0
H-7
a
ab
a
a
S-18
S-20
a
ab
S-24
S-28
4 2 0 H-14 H-21
HARI
SUHU
Gambar 27. Kadar hemoglobin ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
0.1724
74
HEMATOKRIT %
25 20 15 10
a
b
ab
ab
5 0 H-0
H-7 H-14 H-21
S-18 S-20 S-24 S-28
HARI
SUHU
Gambar 28. Nilai hematokrit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Berdasarkan data pada Tabel 9 terlihat bahwa total eritrosit dipengaruhi oleh hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.05). Selanjutnya untuk melihat perubahan total eritrosit hasil interaksi level hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 29. Dari gambar tersebut terlihat bahwa total eritrosit dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.01) dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Total eritrosit pada hari ke-21 mengalami penurunan sebesar 35.68% bila dibandingkan dengan hari ke-0. Rendahnya total eritrosit pada hari ke-21 diduga ada hubungannya dengan terjadinya infeksi pada ikan akibat dilakukan uji tantang dengan sel theront hidup pada hari ke-15
ERITROSIT x 10-6 sel mm-3
pascaimunisasi. 3 2.5 2 1.5
a
bc
ab
c
bc
c
ab
a
1 0.5 0 H-0
H-7 H-14 H-21 HARI
S-18 S-20 S-24 S-28 SUHU
Gambar 29. Total eritrosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
75
Data hasil
pengukuran total leukosit ikan yang diberi vaksin selama
pengamatan disajikan pada Tabel 9. Berdasarkan data pada tabel tersebut terlihat bahwa total leukosit dipengaruhi oleh waktu pengamatan maupun suhu media pemeliharaan (p<0.01). Tingginya total leukosit pada hari ke-7 pascaimunisasi pada suhu 18 dan 20⁰C, diduga ada hubungan dengan pemberian vaksin. Perubahan total leukosit hasil interaksi hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 30. Hari pengamatan berpengaruh pada total leukosit (p<0.01) sedangkan suhu media pemeliharaan tidak mempengaruhi
LEUKOSITx103selmm-3
total leukosit. 3 2.5 2 1.5
ab
a
c
1
bc
0.5 0 H-0 H-7 H-14 H-21
S-18 S-20 S-24 S-28
HARI
SUHU
Gambar 30. Total leukosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Diferensiasi Leukosit Ikan Mas yang Diberi Vaksin Ich Diferensiasi leukosit perlu untuk diketahui melihat status kesehatan ikan. Hasil pengamatan terhadap nilai diferensiasi leukosit disajikan pada Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10, terlihat bahwa limfosit dipengaruhi oleh hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.05). Untuk melihat hasil interaksi antara level hari pengamatan maupun suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 31. Dari gambar tersebut terlihat bahwa nilai limfosit dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.05) tetapi tidak dipengaruhi oleh suhu media pemeliharaan. Nilai limfosit menurun sejalan dengan lama masa pemeliharaan dan cenderung meningkat dengan peningkatan suhu. Rendahnya nilai limfosit pada hari ke-21 menandakan ikan dalam kondisi terinfeksi akibat dilakukan uji tantang. Sesuai dengan fungsinya, sel limfosit berperan dalam pembentukan antibodi. Pada suhu
76
28⁰C pembentukan antibodi lebih cepat dan kadarnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu rendah. Tabel 10. Persentase nilai diferensiasi sel leukosit ikan mas yang diberi vaksin ich Respons
Limfosit
Monosit
Nilai P
18⁰C
20⁰C
24⁰C
28⁰C
H0
48.00 ± 5.89
40.25 ± 7.93
42.50 ± 2.52
52.50 ± 4.43
A
H7
40.50 ± 5.74
39.50 ± 3.42
41.50 ± 1.52
38.75 ± 1.89
B
H14
36.75 ± 3.60
38.50 ± 7.19
34.00 ± 1.55
39.00 ± 3.83
B
H21
36.00 ± 7.30 A
42.00 ± 1.63
42.50 ± 1.91
32.00 ± 4.62
B
A
A
A
H0
39.50 ± 3.42
46.50 ± 8.85
34.25 ± 3.50
35.25 ± 1.50
B
H7
43.75 ± 4.19
48.50 ± 2.52
34.52 ± 3.50
47.25 ± 1.50
A
H14
44.50 ± 4.12
47.00 ± 6.00
40.50 ± 3.42
45.00 ± 6.22
A
H21
14.00 ± 2.83 A
12.25 ± 1.26
13.50 ± 1.91
13.00 ± 2.58
C
A
B
A
H0 Neutrofil
Suhu media pemeliharaan
Waktu
7.75 ± 2.63
5.50 ± 1.91
12.50 ± 4.12
8.25 ± 2.87
C
H7
5.00 ± 1.15
7.50 ± 1.00
14.00 ± 2.83
5.75 ± 1.71
C
H14
15.00 ± 2.00
8.75 ± 2.22
13.75 ± 2.06
13.00 ± 2.00
B
36.50 ± 3.42 37.00 ± 2.50 36.50 ± 2.52 45.00 ± 1.15 A B B A A Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang sama pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata P < 0.05
LIMFOSIT %
H21
46 44 42 40 38 36 34
a
H-0
b
b
b
H-7 H-14 H21
S-18 S-20 S-24 S-28
HARI
SUHU
Gambar 31. Nilai limfosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Perubahan nilai monosit disajikan pada Tabel 10. Nilai monosit dipengaruhi oleh hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Untuk melihat perubahan nilai monosit hasil interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 32.
0.0413
< 0.0001
< 0.0001
77
MONOSIT (%)
50 40 30 20
b
a
a
c
a
a
b
a
10 0 H-0
H-7 H-14 H21 HARI
S-18 S-20 S-24 S-28 SUHU
Gambar 32. Nilai monosit ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Berdasarkan Gambar 32 terlihat bahwa nilai monosit dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.05) dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Tingginya nilai monosit pada hari ke-21 berhubungan dengan keberhasilan ich menginfeksi ikan akibat dilakukan uji tantang pada hari ke-15. Perubahan nilai neutrofil ikan mas selama pengamatan disajikan pada Tabel 10. Nilai neutrofil ikan yang diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich dipengaruhi oleh lama hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Selanjutnya untuk melihat interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 33. Dari gambar tersebut terlihat bahwa nilai neutrofil dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.01) dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Nilai persentase neutrofil tertinggi diperoleh pada hari ke-14. Hal ini diduga ada hubungannya dengan peningkatan respons imun ikan sebagai efek pemberian vaksin. Pada hari ke-21 nilai neutrofil menurun sehubungan dengan terjadinya infeksi akibat dilakukan uji tantang. Rendahnya nilai neutrofil pada suhu 20⁰C menandakan bahwa pada suhu rendah respons imun ikan terhadap serangan mikroorganisme patogen juga rendah.
78
NEUTROFIL (%)
25 20 15 10
c
c
b
a
b
b
a
a
5 0 H-0
H-7 H-14 H21 HARI
S-18 S-20 S-24 S-28 SUHU
Gambar 33. Nilai neutrofil ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich Keterangan:tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Kadar Kortisol dan Kadar Glukosa Ikan Mas yang Diberi Vaksin Ich Pengukuran kadar kortisol perlu dilakukan karena merupakan indikator pertama untuk mengetahui tingkat stres, dan kadar glukosa merupakan indikator kedua. Hasil pengukuran kadar kortisol dan kadar glukosa disajikan pada Tabel 11. Kadar kortisol dipengaruhi oleh hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Untuk melihat perubahan kadar kortisol berdasarkan interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar
34.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa hari pengamatan mem-
pengaruhi kadar kortisol (p<0.01) dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Kadar kortisol menurunan mendekati nilai normal hingga hari ke-14 dan kembali meningkat pada hari ke-2. Peningkatan ini disebabkan karena keberhasilan ich menginfeksi ikan pada saat dilakukan uji tantang, sehingga ikan mengalami stres. Data kadar glukosa ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan sel theront hidup disajikan pada Tabel 11. Kadar glukosa dipengaruhi oleh hari pengamatan dan suhu media pemeliharaan (p<0.01). Kadar glukosa secara umum mengalami peningkatan hingga hari ke-14 pada semua suhu media pemeliharaan. Peningkatan tertinggi terjadi pada suhu 28⁰C hari ke-14, yakni sebesar 155.52% bila dibandingkan dengan suhu media lainnya. Perubahan kadar glukosa tidak seiring dengan perubahan kadar kortisol. Hal ini diduga ada hubungannya dengan proses pembentukan antibodi yang dihasilkan oleh ikan setelah dilakukan
79
pemberian vaksin ich. Glukosa digunakan sebagai sumber energi oleh tubuh selama dalam proses pembentukan antibodi. Tabel 11. Rataan kadar kortisol dan kadar glukosa ikan mas yang diberi vaksin ich Respons
Waktu
Kortisol* nmolL-1
H0 H7 H14 H21
756.60 556.67 359.57 434.08 B
Glukosa mgdL-1
H0 H7 H14 H21
94.89 ± 9.12 86.96 ± 17.63 92.59 ± 13.43 42.88 ± 25.42 B
18⁰C
Suhu media pemeliharaan 20⁰C 24⁰C 579.28 574.35 439.56 509.54 389.56 515.96 651.23 607.60 C A 64.34 ± 13.65 57.33 ± 18.11 84.05 ± 8.58 102.15 ± 8.00 103.03 ± 9.33 110.44 ± 6.28 61.93 ± 2.14 54.59 ± 33.46 B A
28⁰C 502.14 317.94 506.95 489.50 D 43.22 ± 11.42 84.20 ± 8.41 110.44 ± 6.90 50.63 ± 32.47 A
KORTISOLnmol L-1
Keterangan: * kadar kortisol berasal dari plasma yang dipool, Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang sama pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata P < 0.05
250 200 150
100
a
c
d
b
b
c
a
d
50 0 H-0 H-7 H-14 H21 HARI
S-18 S-20 S-24 S-28 SUHU
Gambar 34. Kadar kortisol ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Untuk melihat pola perubahan kadar glukosa berdasarkan interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 35. Kadar glukosa terlihat dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.01) dan suhu media pemeliharaan (p<0.05).
Nilai p A C D B
0.000
C B A C
< 0.0001
80
GLUKOSA gdL-1
120 100 80 60 40 20
c
b
a
c
b
b
a
a
0 H-0
H-7 H-14 H-21 HARI
S-18 S-20 S-24 S-28 SUHU
Gambar 35. Kadar glukosa ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Nilai Osmolaritas Plasma Ikan Mas yang Diberi Vaksin Ich Data nilai osmolaritas plasma ikan mas yang diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan theront disajikan pada Tabel 12. Pemberian vaksin ich dan uji tantang terlihat mempengaruhi nilai osmolaritas (p<0.05). Selanjutnya untuk melihat pola perubahan nilai osmolaritas hasil interaksi antara level hari pengamatan atau suhu media pemeliharaan ditampilkan pada Gambar 36. Dari gambar tersebut terlihat bahwa nilai osmolaritas dipengaruhi oleh hari pengamatan (p<0.05), tetapi tidak dipengaruhi oleh suhu media pemeliharaan. Nilai osmolaritas pada hari ke-21 mengalami penurunan terutama pada ikan yang dipelihara pada suhu kurang dari 28⁰C. Terjadinya penurunan nilai osmolaritas di bawah nilai normal ini ada kaitannya dengan keberhasilan ich menginvasi ikan setelah dilakukan uji tantang. Keberhasilan
ich menginfeksi terutama organ
insang dan kulit telah menyebabkan terjadinya gangguan osmoregulasi. Hal ini mengindikasikan bahwa respons kebal ikan rendah pada suhu kurang dari 28⁰C. Tabel 12. Rataan nilai osmolaritas plasma ikan mas yang diberi vaksin ich Respons
Waktu H0 H7 Osmolaritas -1 H14 mMolkg H21 H 2O
18⁰C 318.33±16.07 286.67±12.58 295.00±10.00 276.67±33.29 A
Suhu media pemeliharaan Nilai P 20⁰C 24⁰C 28⁰C 0.0042 310.00±31.22 306.67±7.64 311.67±±25.17 A 305.67±19.01 301.67±8.78 301.67±15.27 AB 298.33±12.58 300.00±5.00 325.00±20.00 AB 281.67±37.86 296.67±29.30 305.00±26.46 B A A A
Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang sama pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata P<0.05
OSMOLARITAS mMolkg1H2O
81
350 300
250
a
ab
H-0
H-7
ab
b
200 150 100 H-14 H21
S-18 S-20 S-24 S-28
HARI
SUHU
Gambar 36. Nilai osmolaritas ikan mas hasil interaksi pada level hari dan suhu setelah diberi vaksin ich dan diuji tantang dengan ich Keterangan: tanda panah menunjukkan uji tantang pada hari ke-15
Uji Imobilisasi Hasil uji imobilisasi ikan sebelum dan sesudah pemberian vaksin serta uji tantang disajikan pada Tabel 13. Uji imobilisasi dilakukan untuk melihat titer antibodi. Titer antibodi pada kondisi awal atau hari ke-0 tidak ada terdeteksi antibodi ikan terhadap ich. Titer antibodi baru terdeteksi pada hari ke-14 dari ikan yang dipelihara pada suhu 20, 24, dan 28⁰C. Hasil uji imobilisasi ditandai dengan tidak bergeraknya sel theront pada saat ditambahkan serum yang berasal dari ikan yang telah diberi vaksin. Titer yang tertinggi didapatkan dari ikan yang dipelihara pada suhu 28⁰C, yaitu sebesar 0.78. Pembentukan antibodi dipengaruhi oleh suhu lingkungan pemeliharaan, yakni pada suhu tinggi mendekati suhu optimum titer antibodi akan cepat terbentuk dan titer yang dihasilkan juga tinggi. Sebaliknya, pada suhu rendah, pembentukan antibodi lama dan titer yang dihasilkan juga rendah. Tabel 13. Hasil uji imobilisasi pada serum ikan mas yang diberi vaksin ich Suhu media pemeliharaan Waktu
18⁰C
20⁰C
24⁰C
28⁰C
H-0
0.00
0.00
0.00
0.00
H-14
0.00
0.48
0.60
0.78
H-21
0.30
0.60
0.70
0.78
Titer uji imobilisasi log (titer +1).
82
Prevalensi Ich dan Sintasan Ikan Mas yang Diberi Vaksin Ich Data hasil pengamatan terhadap tingkat prevalensi ich pada ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang disajikan pada Tabel 14. Nilai prevalensi ich dipengaruhi oleh suhu media pemeliharaan (p<0.01). Nilai prevalensi ich tertinggi didapatkan pada suhu 20⁰C, yakni sebesar 80.03±10.00%. Tingginya prevalensi ich pada ikan yang dipelihara pada suhu 20⁰C menandakan bahwa patogenitas ich tinggi, sehingga berhasil menginfeksi ikan setelah dilakukan uji tantang. Namun demikian, tingginya prevalensi ich ini tidak menyebabkan angka sintasan menjadi rendah. Hal ini diduga ada hubungannya dengan fungsi vaksin yang diberikan, yaitu dapat meningkatkan kekebalan spesifik ikan terhadap invasi ich. Tingginya prevalensi ich pada suhu 20⁰C dibandingkan pada suhu 18⁰C menandakan bahwa tingkat patogenitas ich lebih tinggi pada suhu 20⁰C bila dibandingkan dengan suhu 18⁰C. Dengan demikian, pemberian vaksin ich telah mampu meningkatkan angka sintasan. Tabel 14. Persentase prevalensi dan sintasan ikan mas yang diberi vaksin Renpons Prevalensi (%)
Suhu media pemeliharaan 18⁰C 20⁰C 24⁰C a b 65.28±4.92 80.03±0.00 33.73±7.42c
Sintasan (%)
69.90±1.48a
82.00±3.36b
89.66±3.53c
Nilai P 28⁰C 0.00d
0.000
100.00d
0.000
Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang sama pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata , P < 0.05
PEMBAHASAN Perubahan lingkungan dapat berpotensi sebagai sumber stres pada ikan sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis. Secara teori, respons tersebut pada ikan dan hewan vertebrata lainnya dapat dilihat dari perubahan hormonal atau konsentrasi zat dalam plasma, atau peningkatan eritrosit (Donaldson dalam Farabi et al. 2009). Rendahnya nilai total eritrosit pada suhu rendah, seperti pada suhu 18⁰C diduga ada hubungannya dengan rendahnya laju
83
metabolisme sehingga
mempengaruhi pembentukan eritrosit. Penurunan total
eritrosit akan berpengaruh pada kadar hemoglobin dan hematokrit. Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen pada saat darah mengalir ke seluruh tubuh, hemoglobin melepaskan oksigen ke sel dan mengikat karbondioksida. Banyaknya oksigen yang diterima oleh jaringan bergantung pada kadar hemoglobin yang tersedia. Pada hari ke-21 terjadi penurunan kadar hemoglobin pada semua suhu pemeliharaan. Hal ini disebabkan karena pada hari ke-15 dilakukan uji tantang dengan sel theront hidup dan diduga pengaruhnya terlihat pada hari ke-21. Akibat invasi theront ke ikan, maka dapat menyebabkan kerusakan pada insang sehingga ikan mengalami gangguan respirasi dan osmoregulasi. Namun, penurunan kadar hemoglobin pada suhu 28⁰C masih dalam kisaran normal (kadar hemoglobin ikan common carp berkisar antara 7.1–13.0 gdL-1 (Klontz 1994) sehingga tidak mempengaruhi nafsu makan ikan dengan demikian tidak terjadi kematian. Ikan juga diberi vaksin ich dan dipelihara pada suhu 28⁰C lebih cepat terbentuknya antibodi dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada suhu rendah, sehingga ikan dapat melawan serangan ich pada saat diuji tantang. Nilai hematokrit erat kaitannya dengan total eritrosit, karena hematokrit adalah persentase dari kandungan volume sel eritrosit dalam darah. Berdasarkan data tersebut terlihat penurunan nilai hematokrit. Penurunan ini juga diikuti oleh penurunan total eritrosit. Penurunan ini ada kaitannya dengan terjadinya infeksi akibat dilakukan uji tantang. Sebagaimana dilaporkan oleh Bastiawan et al. 2001 bahwa apabila ikan terinfeksi penyakit atau nafsu makan menurun maka nilai hematokrit menjadi rendah. Penurunan nilai hematokrit dan total eritrosit jelas mengindikasikan terjadinya kondisi anemia pada tipe kronis normal (Siakpere et al. 2008). Nilai hematokrit ikan common carp berkisar antara 26–39%, ikan rainbow trout sebesar 13–42% (Klontz 1994), ikan tilapia sebesar 27–37% (Hrubec et al. 2000). Total eritrosit pada ikan common carp berkisar antara 0.84x106 sel mL-1, ikan rainbow trout sebesar 1.01x106 sel mL-1 (Klontz 1994), ikan tilapia, yaitu sebesar 1.91–2.83x106sel mL-1 (Hrubec et al. 2000). Jumlah eritrosit sangat dipengaruhi oleh spesies dan suhu lingkungan, rata-rata berkisar antara 1.69-
84
1.91x106selmm-3 (Hrubect et al. 2010). Total eritrosit ikan mas selama perlakuan cenderung lebih tinggi apabila dibandingkan dengan nilai normal. Tingginya nilai eritrosit ini ada hubungannya dengan kondisi stres yang dialami ikan. Nilai total leukosit pada suhu 24 dan 28⁰C hasilnya berbeda nyata bila dibandingkan dengan suhu 18⁰C dan suhu 20⁰C. Perbedaan ini diduga ada hubungannya dengan pemberian vaksin ich, pemberian vaksin dapat meningkatkan kekebalan ikan terhadap mikroorganisme patogen. Sel leukosit adalah sel yang bertanggung jawab dalam sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi mikroorganisme patogen (Johnny et al. 2003b). Secara umum, respons stres pada ikan adalah mengalami heterophilia dan limphopenia (Hines dan Spira 1973 dalam Stoskopf 1993). Selanjutnya juga dilaporkan total sel leukosit pada ikan mirror carp sebesar 34.000 sel mL-1. Total leukosit ikan mas (Cyprinus carpio L) pada kontrol ialah 189.688±1.015 x 103sel mL-1 (Ramesh dan Saravanan 2008). Tingginya total leukosit pada hari ke-21 pada suhu 18, 20, dan 24⁰C, disebabkan terjadinya infeksi setelah dilakukan uji tantang, sedangkan pada suhu 28⁰C terjadi penurunan. Hal ini diduga bahwa pemberian vaksin ich kepada ikan yang dipelihara pada suhu 28⁰C telah mampu meningkatkan kekebalan ikan terhadap penyakit yang disebabkan oleh ich. Ikan yang diberi vaksin dan dipelihara pada suhu 28⁰C, terlihat bahwa pembentukan antibodinya lebih cepat dibandingkan dengan yang dipelihara pada suhu 24 dan 20⁰C. Tingginya persentase limfosit pada awal pengamatan menandakan bahwa ikan mengalami stres selama masa adaptasi. Kondisi yang demikian dinamakan limfositosis. Nilai persentase heterofil mengalami peningkatan hingga hari ke-21. Hal ini diduga ada kaitannya dengan pemberian vaksin dan uji tantang. Heterofil (neutrofil) merupakan garis terdepan pada pertahanan seluler dalam menghadapi serangan mikroorganisme patogen. Pembentukan antibodi juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Pada suhu rendah memerlukan waktu
yang lebih lama untuk terbentuknya antibodi,
sedangkan pada suhu tinggi lebih cepat terbentuknya demikian juga dengan titer yang dihasilkan juga lebih tinggi. Hal ini terbukti bahwa titer antibodi ikan pada hari ke-14 yang dipelihara pada suhu 28⁰C adalah lebih tinggi, apabila dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada suhu 20 dan 24⁰C. Pada suhu 28⁰C,
85
yaitu sebesar 0.78, pada suhu 20⁰C, yakni sebesar 0.48, sedangkan pada suhu 24⁰C adalah sebesar 0.60. Ikan salmon yang diberi vaksin vibrio pada suhu 10⁰C memerlukan waktu 14 hingga 21 hari, sedangkan pada suhu 5⁰C butuh 40 hari untuk terbentuknya kekebalan, berbeda lagi dengan ikan carp pada suhu 12⁰C dapat menekan respons kekebalan (Ellis 1988). Pemberian vaksin ich dapat meningkatkan produksi mukus (lendir) yang berfungsi sebagai barier pertahanan ikan terhadap invasi ich (Xu et al. 2007). Hal ini menandakan bahwa dengan pemberian vaksin dapat meningkatkan kekebalan ikan melalui sistem pertahanan spesifik. Penurunan kadar kortisol ikan mas pada hari ke-7 menandakan bahwa ikan tersebut telah melakukan homeostasis dengan cara beradaptasi terhadap suhu pemeliharaan, sedangkan pada hari ke-14 pascaimunisasi kembali mengalami peningkatan pada suhu 24 dan 28⁰C. Peningkatan ini diduga ada hubungannya dengan pemberian vaksin dan dalam proses pembentukan antibodi di dalam tubuh ikan. Vaksin ich yang diberikan merupakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh sehingga sistem pertahanan tubuh, seperti
makrofag akan aktif untuk
menghancurkan antigen dan menghasilkan interleukin-1 selanjutnya juga mengaktifkan sel limfosit T untuk menghasilkan interleukin-2 dan sel T membantu sel limfosit B melakukan proliferasi, sehingga dihasilkan antibodi. Pembentukan antibodi juga dipengaruhi oleh suhu, pada suhu rendah (suhu 20⁰C) akan lebih lama terbentuknya antibodi apabila dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada suhu yang lebih hangat, yaitu suhu 24 dan 28⁰C (Alishahi dan Buchmann 2006). Tingginya kadar kortisol pada hari ke-21 pada suhu 20 dan 24⁰C disebabkan karena ikan kembali mengalami stres akibat dilakukan uji tantang dengan theront hidup pada hari ke-15. Kondisi stres yang kembali dialami oleh ikan, diduga ada hubungannya dengan lama dan rendahnya titer antibodi yang dihasilkan pada suhu rendah. Pada suhu 28⁰C, kadar kortisol menurun mendekati nilai normal setelah dilakukan uji tantang. Hal ini disebabkan karena vaksin yang diberikan telah mampu melindungi ikan dari serangan ich. Dengan demikian, ikan tidak lagi mengalami stres. Pemberian vaksin ich dapat meningkatkan kekebalan ikan terhadap serangan penyakit Ichthyophthiriasis yang
86
disebabkan oleh parasit Ichthyophthirius multifiliis ( Xu et al. 2004 ; Alishahi dan Buchmann 2006). Peningkatan kadar glukosa terjadi hingga hari ke-14. Peningkatan ini tidak sejalan dengan perubahan kadar kortisol. Hal ini menandakan bahwa ikan membutuhkan energi yang banyak untuk pembentukan antibodi. Hal ini terbukti dengan mulainya terdeteksi antibodi pada hari ke-14. Peningkatan kadar glukosa merupakan indikasi stres sekunder setelah peningkatan kadar kortisol yang merupakan indikator stres primer. Sebagai akibat dari peningkatan kadar kortisol maka akan terjadi mobilisasi glukosa ke dalam darah. Peningkatan kadar glukosa di dalam darah dapat berasal dari proses glikogenolisis maupun glukoneogenesis. Adrenalin dan kortisol berperan penting dalam peningkatan kosentrasi glukosa dalam plasma setelah stres. Hal ini berperan untuk mempertahankan kadar glukosa plasma pascaterjadinya stres (Evans dan Claiborne 2006). Pemberian vaksin ich dapat mengurangi stres dan meningkatkan kekebalan ikan terhadap penyakit Ichthyophthiriasis (Osman et al. 2009) serta dapat melindungi ikan dari infeksi ich dalam jangka waktu yang lama (Xu et al. 2010). Nilai normal osmolaritas ikan air tawar berkisar antara 280–350 mMolkg-1 (Evans 1979 dalam Rigal et al. 2008). Perubahan nilai osmolaritas dapat mempengaruhi keseimbangan ion-ion di dalam tubuh. Terjadinya penurunan nilai osmolaritas pada suhu rendah (suhu 18 dan 20⁰C) hingga hari ke-21. Hal ini diduga ada hubungannya dengan keberhasilan ich menginfeksi ikan terutama pada organ insang dan kulit. Insang dan kulit adalah organ yang berfungsi sebagai osmoregulasi. Hal lain yang dapat mengakibatkan perubahan osmolaritas tubuh adalah akibat kerusakan pada insang dan kulit yang ditimbulkan oleh pengaruh infeksi ich pada saat uji tantang. Pada suhu rendah, tingkat prevalensi ich tinggi. Hal ini dapat dimengerti karena ikan yang dipelihara pada suhu rendah terbentuknya antibodi lama dan titer antibodi yang dihasilkan juga rendah. Keberhasilan ich menginfeksi ikan pada bagian kulit dan insang dapat menimbulkan gangguan ion-ion di dalam tubuh (Dickerson 2006), karena kulit dan insang merupakan organ osmoregulasi pada ikan (Evans dan Claiborne 2006). Tingginya angka prevalensi ich pada suhu 20⁰C, yakni sebesar 80.03±10.00% tidak berdampak buruk pada angka sintasan diakhir masa peme-
87
liharaan, bila dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada suhu 18⁰C. Hal ini diduga ada hubungannya dengan efektivitas pemberian vaksin. Dengan adanya pemberian vaksin pada ikan yang dipelihara pada suhu rendah, telah mampu mencegah terjadinya penyakit Ichthyophthiriasis. Sintasan tertinggi didapatkan pada suhu 28⁰C, yaitu 100% sedangkan pada suhu 20 dan 24⁰C masih terjadi mortalitas meskipun sudah dilakukan vaksinasi. Hal ini diduga bahwa pada suhu 20 dan 24⁰C antibodi yang terbentuk masih rendah kadarnya sehingga belum mampu melindungi invasi ich pada saat dilakukan uji tantang. Pada suhu 18⁰C angka sintasannya masih tinggi setelah dilakukan uji tantang, yaitu sebesar 71.11%. Hal ini diduga karena patogenitas ich lebih rendah pada suhu 18⁰C bila dibandingkan pada suhu 20⁰C sehingga ikan masih dapat melawan serangan ich tersebut. Suhu optimum untuk ich adalah 21-24⁰C (Ellis 1988) sedangkan Dickerson (2006) melaporkan suhu optimum untuk ich adalah 25-28⁰C.
KESIMPULAN Berdasarkan data hasil pengamatan terhadap parameter fisiologis, gambaran darah, prevalensi, uji imobilisasi, dan sintasan, maka ikan yang diberi vaksin ich dapat menghasilkan sintasan yang tinggi setelah dilakukan uji tantang.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada DP2M Dikti yang telah memberi bantuan dana melalui kegiatan penelitian Hibah Bersaing tahun 2011.
DAFTAR PUSTAKA Alishahi M, Buchmann K. 2006. Temperature dependent protection against Ichthyophthirius multifiliis (Fouquet) following immunization of rainbow trout using live theronts. Diseases of Aquatic Organisms 72: 269–273.
88
Bastiawan, Wahid DA, Alifuddin M, Agustiawan I. 2001. Gambaran darah lele dumbo (Clarias spp) yang diinfeksi cendawan Aphanomyces spp pada pH yang berbeda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 7(3): 4–61. Dickerson HW. 2006. Ichthyophthirius multifiliis and Cryptocaryon irritans (Phylum Ciliophora). Dalam Woo PTK. Fish diseases and disorders. Volume 1 Protozoa and metazoan infections 2nd edition. University of Guelph Canada. Halaman 116-153. Effendi MI. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor 112 halaman Ellis AE.1988. Fish vaccination. Academic Press London. 255 halaman. Evans DH, Claiborne JB. 2006. The physiology of fishes. Third Edition.Taylor & Francis. Halaman 231–340. Farabi SMV, Najafpour SH, Najafpour GD. 2009. Aspect of osmotic-ions regulation in juvenile ship, Acipenser nudiventris (Lovetsky,1828) in the shoutheast of Caspian sea. World Applied Sciences Journal 7(9): 1090– 1096. Hrubec TC, Jenifer LC, Stephen A, Smit. 2010. Haematologi and plasma chemistry referance interval for cultured tilapia (Oreochromis hybrid). Veterinary Clinical Pathology 29 (1): 7–12. Johnny F, Zafran, Rosa D, Mahardika K. 2003a. Hematologis beberapa spesies ikan laut budi daya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9 (4). 63-71. Johnny F, Tridjoko, Des Rosa 2003b. Studi pendahuluan pengaruh hormone steroid terhadap keragaan hematologi induk ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Jurnal Veteriner (Veterinary Journal).4 (4). http:// www.jvetnud.com/archives/66. Kunjungan 10/02/2008 19:57. Klontz GW.1994. Fish hematology. Dalam Stolen et al. (Eds). Techniques in Fish Immunology-3. Sos Publications. Fair Haven, NJ07704–3303. USA. Halaman 121 Matthews RA. 2005. Ichthyophthirius multifiliis Fouquet and Ichthyophthiriasis in freshwater teleosts. Advances Parasitology 59: 159–241. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. 276 halaman. Osman HAM, Monier MM, Abd El Ghany OA, Ibrahim TB, Ismail MM. 2009. Protection of goldfish (Carasius auratus) against Ichthyophthirius multifiliis by immunization with live theronts, trophonts and sonicated trophonts. Global Veterinaria 3 (4): 329–334.
89
Ramesh M, Saravanan M. 2008. Haematological and biochemical responses in a freshwater fish Cyprinus carpio L exposed to chlorpyrifos. International Journal of Integrative Biology (IJIB) 3 (1): 80–83. Rigal F, Thibaud C, Catherine LN, Guy C, Jean-Antoine T, Fabien A, Patrick B. 2008. Osmoregulation as a potensial factor for the differential distribution of two cryptic gobiid spesies, Pomatoschistus microps and P. marmoratus in French Mediterranean lagoons.Scientia Marina 72(3). 469–476, Barcelona (Spain) ISSN: 0214–8358. Robert RJ. 1978. Fish pathology. Bailliere Tindall. London. 531 halaman. Sakai DK. 1984. Opsonization by fish antibody and complement in the immune phagocytosis by peritoneal exudates cells from salmoned fish. Journal Fish Diseases 7: 29–38. Siakpere K. Ovie. Obogu, Oghoghene E. 2008. Sublethal haematological effects of zinc on the freshwater fish, Heteroclarias sp. (Osteichthyes: Clariidae). African Journal of Biotechnology 7(12): 2068–2073. Sigh J, Buchmann K. 2002. Comparative analysis of cross-reactivity between Ichthyophthirius and Tetrahymena. Bull. Eur. Ass. Fish Pathology 22(1): 37-44. Syawal H, Siregar YI. 2010. Imunisasi ikan jambal siam dengan vaksin Ichthyophthirius multifiliis. Jurnal Veteriner. Jurnal Kedokteran Hewan Indonesia 11(3): 163–167. Stoskopf SK. 1993. Immunology. Dalam Michael K. Fish medicine. WB. Saunders Company. Harcout Brace Jovanovich, Inc. Philadelphia London Toronto Montreal Sydney Tokyo. Halaman 149–159. Xu-DH, Klesius PH, Shelby RA. 2004. Immune responses and host protection of channel catfish, Ictalurus punctatus (Rafinesque), against Ichthyophthirius multifiliis after immunization with live theronts and sonicated trophonts. Journal of Fish Diseases 27, 135-141. Xu-DH, Klesius PH, Shoemaker CA. 2007. Evaluation of a cohabitation challenge model in immunization trials for channel catfish Ictalurus puntatus against Ichthyophthirius mulifiliis. Journal Deseases of Aquatic Organisms 74: 49-55. Xu-DH, Klesius PH, Shoemaker CA. 2010. Protective immunity of nile tilapia against ichthyophthirius (Abstract). World Aquaculture Society. P. 1111. USDA Agriculture Research Service. Last Modified: 09/23/2011.
PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data dari ketiga tahap penelitian maka didapatkan hasil bahwa suhu dapat mempengaruhi kondisi fisiologis ikan sehingga menimbulkan stres pada ikan. Ikan yang mengalami stres ditandai dengan tingginya kadar kortisol dan glukosa dalam plasma. Kadar kortisol ikan yang dipelihara pada suhu rendah, lebih tinggi kadarnya apabila dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada suhu tinggi. Akibat tingginya kadar kortisol di dalam plasma dapat mengakibatkan menurunnya fungsi imun sehingga ikan mudah terinfeksi. Peningkatan kadar kortisol dalam jangka waktu yang lama akan berdampak buruk pada sistem pertahanan tubuh, karena kortisol dapat menghambat produksi interleukin-I oleh makrofag dan interleukin-2 oleh sel T helper sehingga menghambat sel T dalam membantu sel B untuk menghasilkan antibodi (Berne dan Levy 1988). Selanjutnya juga dikatakan bahwa kortisol juga dapat menurunkan kemampuan fagositosis dan aktivitas sel leukosit. Terjadinya peningkatan kadar kortisol dalam darah sebagai akibat stres juga akan memobilisasi glukosa dari sumber produksi glukosa melalui proses glikogenolisis dan glukoneogenesis. Kadar glukosa yang tinggi dalam darah diperlukan sebagai sumber energi terutama pascastres (Evans dan Claiborne 2006). Hasil penelitian tahap pertama terlihat bahwa ikan mas yang dipelihara pada suhu 20, 24, dan 28⁰C mengalami peningkatan kadar kortisol hingga akhir pengamatan, yaitu hari ke-21. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar kortisol akan menurun seiring dengan lamanya masa pemeliharaan dan meningkatnya suhu media pemeliharaan. Hal ini menandakan bahwa ikan telah melakukan homeostasis terhadap perubahan suhu media pemeliharaan sehingga dapat beradaptasi dengan lingkungan. Penurunan kadar kortisol juga diikuti oleh penurunan kadar glukosa. Selanjutnya gambaran hematologis ikan, seperti kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan total eritrosit juga mengalami penurunan sehubungan dengan lamanya masa pemeliharaan dan meningkatnya suhu media pemeliharaan. Secara keseluruhan data hasil pengukuran dari setiap parameter menunjukkan bahwa ikan yang dipelihara pada suhu rendah mengalami stres. Kondisi stres ini juga ditandai dengan tingginya total leukosit pada suhu rendah.
92
Akibat terjadinya stres pada ikan yang dipelihara pada suhu rendah maka dapat mengganggu kemampuan ikan dalam memproduksi antibodi yang dibutuhkan dalam merespons patogen yang menginvasi tubuh sehingga memungkinkan ikan akan mudah terinfeksi (Irianto 2005). Sintasan yang dihasilkan dari masing-masing suhu media pemeliharaan juga menunjukkan perbedaan. Sintasan yang tertinggi diperoleh pada suhu 32⁰C, yakni sebesar 100% dan yang terendah pada suhu 24⁰C, yakni sebesar 87%. Seharusnya pada penelitian ini tidak terjadi angka mortalitas karena ikan mas yang digunakan masih dapat hidup pada kisaran suhu 20-32⁰C. Namun masih terjadi juga mortalitas pada suhu media pemeliharaan di bawah 32⁰C, walaupun sudah dilakukan pemberian desinfektan yaitu dengan merendam ikan uji selama 15 menit dalam
larutan
5 ppm kalium permanganat. Kemudian juga telah
dilakukan penyiponan agar kualitas air dapat dipertahankan namun masih juga terjadi mortalitas. Hal ini
menandakan bahwa kemampuan ikan untuk dapat
beradaptasi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor luar saja tetapi juga dipengaruhi oleh faktor dalam, seperti faktor genetik. Dengan demikian, keragaman individu dapat mempengaruhi keberhasilan suatu individu tersebut untuk dapat melakukan adaptasi. Hasil penelitian pada tahap kedua, yaitu ikan uji yang dipelihara pada suhu rendah (20⁰C) dan diinfeksi dengan ich mengalami stres berat, yang ditandai dengan tingginya kadar kortisol dalam plasma. Tingginya kadar kortisol plasma telah memicu terjadinya hiperplasia pada organ insang (Dang et al. 2000). Kondisi ini terlihat dari hasil pengamatan secara mikroskopis pada preparat histologis. Hasilnya menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan pada organ insang, seperti yang terlihat pada Gambar 26. Akibat terjadinya kerusakan pada insang, maka fungsinya sebagai alat respirasi dan osmoregulator mengalami gangguan. Dengan demikian, dapat menyebabkan ikan dalam kondisi hipoksia (kekurangan oksigen) dan keseimbangan ion-ion di dalam tubuh juga tertanggu. Ikan yang mengalami hipoksia akan berakibat kekurangan energi. Kekurangan energi ini disebabkan karena proses metabolisme tidak dapat berjalan dengan normal sehingga energi yang dihasilkan tidak dapat memenuhi kebutuhannya dengan demikian ikan menjadi lemas dan berakhir dengan kematian.
93
Ikan yang mengalami stres berkepanjangan dapat menyebabkan menurunnya fungsi imun sehingga mudah terinfeksi. Terjadinya infeksi ich pada ikan ditandai dengan meningkatnya jumlah monosit dan neutrofil (heterofil) pada ikan yang dipelihara pada suhu 20⁰C. Hal ini menandakan bahwa ikan melakukan perlawanan terhadap agen penyebab timbulnya penyakit. Sel monosit berfungsi mengawasi daerah infeksi dan memfagositosis benda-benda asing dan sel-sel mati. Selain itu sel monosit juga mengikuti neutrofil masuk ke daerah infeksi membentuk garis pertahanan kedua yang secara kuantitatif lebih penting (Ganong 1995). Suhu tidak hanya berpengaruh pada kondisi fisiologis ikan, tetapi juga mempengaruhi siklus hidup dan patogenitas parasit ich. Hal ini terbukti dari tingginya angka prevalensi ich pada suhu 20⁰C, yakni sebesar 62.77±5.17% dan rendahnya angka sintasan yang dihasilkan, yakni sebesar 58.11±5.45%. Pada suhu media pemeliharaan 24⁰C, angka sinsatan yang dihasilkan juga masih rendah, yakni sebesar 73.88±1.62%. Rendahnya angka sintasan pada akhir pengamatan menandakan bahwa pada suhu 20-24⁰C adalah suhu yang efektif oleh ich untuk melakukan invasi ke ikan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Ellis (1988) bahwa suhu optimum ich adalah 21-24⁰C. Faktor lingkungan, seperti suhu, sangat mempengaruhi siklus hidup ich. Pada suhu 10oC lebih kurang 20 hari, pada suhu 13-15⁰C menjadi 12 hari, pada suhu 18– 20οC turun menjadi 7 hari, dan pada suhu 22–24οC adalah 3–6 hari. Faktor lain yang berpengaruh adalah pH dan kandungan oksigen. pH di bawah 5 atau di atas 10, dan konsentrasi oksigen 0.2 mgL-1 akan menyebabkan kematian ich pada semua stadia (Lom dan Dykova 1992). Ich dilaporkan dapat menyebabkan kematian baik terhadap ikan peliharaan untuk konsumsi maupun sebagai ikan hias. Wabah penyakit ich di daerah subtropis biasanya terjadi selama musim semi dan musim panas, ketika suhu air hangat terjadi peningkatan replikasi parasit. Faktor lain yang mendukung terjadinya wabah penyakit adalah pada saat kandungan oksigen terlarut menurun, kepadatan populasi tinggi, kerentanan spesies, dan kualitas air menurun sehingga ikan mengalami stres (Maki 2002). Berdasarkan pengalaman empiris, kasus kematian ikan akibat invasi ich di daerah tropis sering terjadi pada saat akhir musim hujan dan di awal musim
94
kemarau, serta adanya fluktuasi suhu (perbedaan suhu yang menyolok antara siang dan malam, atau setelah panas turun hujan lebat). Akibat terjadinya perubahan suhu sehingga ikan mengalami stres. Dengan demikian, akan mudah terinfeksi oleh penyakit. Mikroorganisme patogen termasuk ich pada umumnya sudah ada di perairan. Ich stadia dewasa yang sudah lepas dari ikan dinamakan stadia trophont dapat bertahan lama di alam apabila suhu perairan rendah karena sudah membentuk kista dan menempel pada substrat. Wabah penyakit Ichthyophthiriasis ini sering terjadi pada usaha budi daya ikan yang dipelihara di akuarium atau di kolam yang sering kemasukan ikan-ikan baru yang berpeluang membawa parasit. Pencegahan terdahap munculnya suatu penyakit pada ikan merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk pencegahan tersebut adalah dengan pemberian vaksin. Pemberian vaksin ich pada awal masa pemeliharaan ikan merupakan suatu hal yang perlu dilakukan agar ikan tidak terinfeksi oleh parasit ich. Pemberian vaksin mempunyai banyak kelebihan, apabila dibandingkan dengan penggunaan bahan kimia. Vaksin dapat meningkatkan kekebalan ikan melalui kekebalan spesifik, pemberian vaksin juga aman untuk ikan (Ellis 1988). Hal ini terbukti dengan pemberian vaksin ich (stadia theront yang diinaktifkan) kepada ikan mas yang dipelihara pada suhu 20⁰C telah mampu meningkatkan angka sintasan dari 58.12±2.16% (tanpa pemberian vaksin ich) menjadi: 82.00±3.36% (setelah diberi vaksin). Demikian juga dengan ikan yang dipelihara pada suhu 24⁰C yang tidak diberi vaksin adalah sebesar 73.88±1.62% sedangkan yang diberi vaksin adalah sebesar 89.66±3.53%, demikian juga pada suhu 28⁰C yang tidak diberi vaksin adalah: 74.10±4.18%, sedangkan yang diberi vaksin meningkat menjadi 100%. Keberhasilan pemberian vaksin ich kepada ikan juga dipengaruhi oleh suhu air media pemeliharaan. Alishahi dan Buchmann (2006) melaporkan bahwa ikan rainbow trout yang diberi vaksin theront dan dipelihara pada suhu 12ºC dan 20ºC, titer antibodi tertinggi pada suhu 12ºC adalah: 34.3, sedangkan pada suhu 20ºC adalah sebesar 46.0. Rendahnya titer antibodi yang dihasilkan pada ikan yang dipelihara pada suhu 20ºC menandakan bahwa pada suhu rendah titer antibodi yang dihasil lebih sedikit bila dibandingkan dengan ikan yang dipelihara
95
pada suhu 24 dan 28ºC. Nikoskelainen et al. (2004) melaporkan bahwa pada suhu rendah terjadi imunosupresif (penekanan imun) pada ikan. Dengan demikian ikan masih bisa terinfeksi oleh ich. Hal ini juga terbukti dengan masih tingginya angka prevalensi ich pada ikan yang telah diberi vaksin ich dan dipelihara pada suhu 20ºC, yaitu sebesar 80.03%. Walaupun angka prevalensi ich tinggi namun tidak menimbulkan angka kematian yang tinggi. Hal ini terbukti dengan masih tingginya angka sintasan yang dihasilkan pada suhu 20ºC, yakni sebesar 82.00±3.36%. Dengan demikian jelas bahwa pemberian vaksin ich dapat meningkatkan angka sintasan ikan mas yang dipelihara pada suhu rendah. KESIMPULAN UMUM 1. Suhu dapat mempengaruhi kondisi fisiologis dan hematologis ikan. 2. Ikan yang dipelihara pada suhu rendah mengalami stres dan mudah terinfeksi oleh ich. 3. Pemberian vaksin ich pada ikan menyebabkan berkurangnya stres dan meningkatkan angka sintasan.
SARAN 1. Perlu penelitian tentang potensi dari setiap stadia ich sebagai sumber antigen dalam pembuatan vaksin 2. Disarankan untuk menurunkan prevalensi ich dan laju mortalitas sebaiknya ikan mas dipelihara pada suhu 28⁰C 3. Pemberian vaksin ich diutamakan untuk ikan-ikan yang dipelihara pada suhu rendah
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada DP2M Dikti yang telah memberi bantuan dana melalui kegiatan penelitian Hibah Bersaing tahun 2010 dan 2011.
96
DAFTAR PUSTAKA Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air, Unri Press. 217 halaman. Alishahi M, Buchmann K. 2006. Temperature dependent protection against Ichthyophthirius multifiliis (Fouquet) following immunization of rainbow trout using live theronts. Diseases of Aquatic Organisms 72: 269–273. Anderson DP, Swicki AK. 1995. Basic hematology and serology for fish health program. Dalam : Sharif, Arthur R, Subangshinghe RP. (ed) Fish health section Asian fisheries society. Halaman 185–202. Anderson DP.1996. Environmental factors in fish health, Immunologycal aspect. Dalam Iwana G dan Nakanishi T. The fish immune system. Academic Press, London. Halaman 289-310 Atli G, Canli M. 2008. Characterization of branchial Na,K-ATPase from three freshwater fish species (Oreochromis niloticus, Cyprinus carpio, and Oncorhynchus mykiss). Turkey Journal Zooloogy 32, 299–304. Bastiawan,Wahid DA, Alifuddin M, Agustiawan I. 2001. Gambaran darah lele dumbo (Clarias spp) yang diinfeksi cendawan Aphanomyces spp pada pH yang berbeda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 7(3): 4–61. Berne R, Levy MN. 1988. Physiology. Second Edition.Mosby Company. St. Louis. Washington, D.C. Toronto. Halaman 962-969. Bozorgnia A, Hosseinifard M, Alimohammadi R. 2011. Acute effect of different temperature in blood parameters of common carp (Cyprinus carpio). 2011 2nd International Conference on Enviromental Science and Technology. IPCBEE 6.52-55. IACSIT Press, Singapore. Cataldi EP, Marco D, Mandich A, Cataudella S. 1998. Serum parameter of adriatic sturgeons Acipensernaccarii (Pisces: Acipenseriformes): effects of temperature and stress. Comparative Biochemistry and Physiology Part A 121: 351–354. Cholik F, Jagatraya AG, Poernomo RP, Jauzi A. 2005. Akuakultur tumpuan harapan masa depan bangsa. Masyarakat Perikanan Nusantara kerjasama dengan Akuarium Air Tawar. Jakarta 415 halaman. Costas B, Aragao C, Mancera JM, Dinis MT, Conceicao LEC. 2008. High stocking density induces crowding stress and affects amino acid metabolism in Senegalese sole Solea senegalensis (Kaup 1858) juveniles. Aquaculture Research 39: 1-9.
98
Craig S, Philip K, Xu DH, Richard S. 2005. Overview of the immune sytem of fish (Abstrak). Aquaculture America Conference. http// www.ars.usda.gov.recearch/publication/htm. Kunjungan 15/02/2008. Dang Z, et al. 2000. Cortisol increases Na+/K+-ATPase density in plasma membranes of gill chloride cell in the freshwater tilapia Oreochromis mossambicus. The Journal of Experimental Biology 203: 2349-2355. Dalgaard M, Li A, Buchmann K. 2002. Immunitation of rainbow trout fry with Ichthyophthirius multifiliis sonicate: protection of host and immunological changes. Bulletin of the European association of fish pathologist 22: 287– 297. Darmanto. 2003. Respons kebal ikan mas koki (Carasius auratus L.) melalui vaksinasi dan imunostimulasi terhadap infeksi bakteri Aeromonashydrophila. [tesis] Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 54 halaman. Dharmawan NS. 2002. Pengantar patologi klinik veteriner: Hematologi Klinik. Universitas Udayana. Denpasar. 111 halaman. Dickerson HW. 2006. Ichthyophthirius multifiliis and Cryptocaryon irritans (Phylum Ciliophora). Dalam :Fish Diseases and Disorders. Volume 1 Protozoan and Metazoan Infections 2nd Edition. University of Guelph Canada. Halaman 130-131. Douglas SE, Gallant JW, Gong Z, Hew C. 2001. Cloning and developmental expression of a family of pleurosidin-like antimikrobial peptides from winter flounder, Pleuronectes americanus (Walbaum). Developmental and Comparative Immunology 25: 137–147. Effendi MI. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor 112 halaman Ellis AE.1988. Fish vaccination.Academic Press London. 255 halaman. Elsayed EE, Ezz El Dien N, Mahmoud MA. 2006. Ichthyopthiriasis: Various fish susceptibility or presence of more than one strain of the parasite. Nature and Science 4 (3): 5–13. Engstad RE, Robersten B, Frifold E. 1992. Yeast glucan induced increase in lysozyme and complement-mediated haemolytic activity in atlantic salmon blood. Fish and Shelfish Immunology 2: 287–297. Esfandiari A.1997. Perubahan profil hematologi kambing local yang diinfeksi dengan Haemonchus contortus (Rudolphi,1983). [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 68 halaman.
99
Evans DH, Claiborne JB. 2006. The physiology of fishes. Third Edition. Taylor & Francis. 601 halaman. Ewing MS, Kocan KM. 1986. Ichthyophthirius multifiliis (Ciliophora) development in gill epithelium. Journal Protozoology 33(3): 369-374. Flajšhans M, Hulata G. 2007. Common carp-Cyprinus carpio Genimpact final scientific report. Halaman 32-39. Farabi SMV, Najafpour Sh, Najafpour GD. 2009. Aspect of osmotic-ions regulation in juvenile ship, Acipenser nudiventris (Lovetsky,1828) in the shoutheast of Caspian sea. World Applied Sciences Journal 7(9): 1090– 1096. Foster R, Smith M, Nash H. 2006. Complete blood count (CBC). http//peteducation.com./article.cfm (2 Juni 2012). Fujaya Y. 2004. Fisiologi ikan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 179 halaman Gabriel UU, Amakiriand EU, Ezeri GNO. 2007. Haematology and gill pathology of Clarias gariepinus exposed to refined petroleum oil, kerosene under laboratory conditions. Journal of Animal and Veterinary Advances 6(3). 46–465. Ganong WF. 1995. Buku ajar fisiologi kedokteran. Alih bahasa: Andrianto P. Editor Oswari J. Penerbit Buku Kedokteran.757 halaman. Gbore FA, Oginni O, Adewole AM, Aladetan JO. 2006. The effect of transportation and handling stress on haematology and plasma biochemistry in fingerlings of Clarias gariepinus and Tilapia zilii. Word Journal of Agriculture Sciences 2(2): 208-212. Gratzek JB.1991. Parasites associated with freshwater tropical fishes Dalam Fish Medicine. WB. Sounders Company Harcourt Brace Jovanovich, Inc. halaman 575-576. Guyton AC, Hall JE. 1997. Textbook of medical physiology . (Buku Ajar Fisiologi Kedokteran). Ed ke-7. Diterjemahkan oleh Setiawan I, Tengadi KA, Sentoso A. Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta 1353 halaman. Harper C, Wolf JC. 2009. Morphologic effects of the stress response in fish.
ILAR Journal 50(4): 387-396. Hastuti S. 2004. Respons fisiologi ikan gurami (Osphronemus gouramy, Lac.) yang diberi pakan mengandung kromium-ragi terhadap penurunan suhu lingkungan. (disertasi). Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 103 halaman.
100
Hidayaturrahmah 2011. Dinamika lipid dan profil asam lemak volatil (VFA) parsial serta hematologi domba yang diberi fraksi ekstrak daun katuk (Sauropus-androgynus L. Merr). (thesis). Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 75 halaman. Hoar WS. 1984. General & comparative physiology. Third Edition. Prentice Hall of India Private Limited. Halaman 659–676. Howerton R. 2001. Best management practices for Hawaiian aquaculture. Center for tropical and subtropical aquaculture. Publication 148: 7-31. Hrubec TC, Jenifer LC, Smit SA. 2000. Haematologi and plasma chemistry referance interval for cultured tilapia (Oreochromis hybrid). Veterinary Clinical Pathology 29 (1): 7–12. Hrubec TC, Smith SA. 2010. Hematology of fishes. Dalam Weiss DJ. dan Wardrop KJ, editor. Schalm’s Veterinary hematology. 6rdEd. WileyBlackwell. Ltd., Publication. Halaman 994–1003. Irianto
A. 2005. Patologi ikan teleostei. Gajah Mada University Press. 256 halaman
Isnaeni W. 2006. Fisiology Hewan. KanisiusYokyakarta. 288 halaman Iwama G, Nakanishi T. 1996. The fish immune system. Academic Press, London. Johnny F, Zafran, Rosa D, Mahardika K. 2003a. Hematologis beberapa spesies ikan laut budi daya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9 (4). 63-71. Johnny F, Tridjoko, Des Rosa. 2003b. Studi pendahuluan pengaruh hormone steroid terhadap keragaan hematologi induk ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Jurnal Veteriner (Veterinary Journal) 4 (4). http:// www.jvetnud.com/archives/66. Kunjungan 10/02/2008 19:57. Jorgensen TR, Buchmann K. 2007. Stress response in rainbow trout during infection with Ichthyophthirius multifiliis and formalin bath treatment. ACTA Ichthyologicaet Piscatoria 37 (1): 25–28. Kamiso HN. 1996. Metode pencegahan hama dan penyakit ikan karantina dengan menggunakan vaksin. Makalah disampaikan pada seminar hama dan penyakit ikan karantina pada tanggal 13 Desember 1996. Cipanas Bogor. Klontz GW. 1994. Fish hematology. Dalam Stolen et al. (Eds). Techniques in Fish Immunology-3. Sos Publications. Fair Haven, NJ07704–3303. USA. Halaman 121. Koeypudsa W, Jongjareanjai M. 2010. Effect of water temperature on hematology and virulence of aeromonas hydrophila in hybrid catfish (Clarias
101
gariepinus burchell x C. macrocephalus gunther). Thailan Journal Veterinary Medicine 40(2): 179-186. Konstantinov AS, Zdanovich VV. 2007. Influence of temperature oscillations on some hematological values and metabolism of fish. Moscow University Biological Sciences Bulletin 62 (2): 59-61. Kubulay A, Ulukoy G. 2002. The effects of acute stress on rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Turkey Journal Zoology 26: 249–254. Kucukgul A, Sahan A. 2008. Acute stress response in common carp (Cyprinus carpio Linnaeus,1758) of some stressing factors. Journal of Fisheries Science. Com 2(4): 623-634. Ling KH, Sin YM, Lam TJ. 1993. Protection of gold fish against some common ectoparasitic protozoons using Ichthyophthirius multifiliis and Tetrahymena pyriformis for vaccination. Aquaculture 116: 303-314. Lobo-da Cunha A, Azevedo C. 1990. Ultrastructural localization of phosphatases with cerium in ciliated protozoa. Acta Histochem cytochem 23: 467–473. Lobo-da Cunha A, Azevedo C. 1994. The Golgi apparatus of ciliated protozoon Ichthyophthirius multifiliis (Fouquet). Europa Journal Protistology 30: 97–103. Lom J, Dykova I. 1992. Protozoan parasite of fish development in Aquaculture and Fisheries. Science 26. Halaman 253–258. Maki JL. 2002. Ichthyophthirius multifiliis infection and elements of mucosal immunity in the channel catfish, ictalurus punctatus. A Dissertation Submitted to the Graduate Faculty of The University of Georgia in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree. Electronic Version Approved. 136 halaman. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. 276 halaman. Matthews RA. 2005. Ichthyophthirius multifiliis Fouquet and ichthyophthiriasis in freshwater teleosts. Advances Parasitology 59: 159–241. Molina PE. 2010. Lange Endocrine Physiology. Mc Graw Hill. Http://www.study temple.com/ (kunjungan 3 Juni 2012). Mulyana. 1999. Ichthyophthirius multifiliis pada ikan jambal siam (Pangasius hypophthalmus) dan respons fisiologisnya (tesis). Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 65 halaman .
102
Nielsen KS. 1997. Animal physiology adaptation and environmental. Fifth edition. Cambridge University Press. Halaman 217–293. Nigrelli RF, Pokamy KS, Ruggieri GD. 1976. Note on Ichthyophthirius multifiliis a ciliate parasitic on freshwater fishes with some remark on possible physiological races and species. Transaction of The American Microscopic Society, 251: 60–613. Nikoskelainen S, Bylund G, Lilius EM. 2004. Effect of environmental temperature on rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) innate immunity. Developmental and Comparative Immunology, 28: 581–592. Nofrizal, Yanase K, Arimoto T. 2009. Effect of temperatur on the swimming endurance and postexercise recovery of jack mackerel Trachurus japonicus as determined by monitoring. Fish Sciences 75: 1369–1375. Noga EJ. 2000. Fish diseases diagnosis and treatment. Iowa State University Press. Halaman 95-97. Ogut H, Akyol A, Alkan MZ. 2005. Seasonality of Ichthyophthirius multifiliis in the trout (Oncorhynchus mykiss) farms of the eastern black sea region of Turkey. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 5: 23-27. Ortuno J, Esteban MA, Meseguer J. 2002. Effect of high dietary intake of vitamin C on non-spesific immune response of gilthead seabream (Sparusa urata L). Fish and Shelfish Immunology 9: 429-443. Osman HAM, Monier MM, Abd El Ghany OA, Ibrahim TB, Ismail MM. 2009. Protection of goldfish (Carasius auratus) against Ichthyophthirius multifiliis by immunization with live theronts, trophonts and sonicated trophonts. Global Veterinaria 3 (4): 329–334. Porchas MM, Cardova LRM, Enriquez RR. 2009. Cortisol and glucosa: Reliable indicators of fish stress?. Pan-American Journal of Aquatic Sciences 4(2): 158–178. Purbayanto A, Riyanto M, Fitri ADP. 2010. Fisiologi dan tingkah laku ikan pada perikanan tangkap. IPB Press. 208 halaman. Purnamawati 2009. Tingkat perombakan bahan organik sedimen waduk cirata pada kondisi anaerobik skala laboratorium. [tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 85 halaman. Ramesh M, Saravanan M. 2008. Haematological and biochemical responses in a freshwater fish Cyprinus carpio exposed to chlorpyrifos. International Journal of Integrative Biology (IJIB), 3(1): 80–83.
103
Ramsay JM, et al. 2006. Whole-body cortisol is an indicator of crowding stress in adult zebrafish, Daneo rerio. Aquaculture 258: 565-574. Randall DJ, Hung CY, Poon WL. 2004. Response of aquatic vertebrates to hypoxia. Proceedings of the Eighth International Symposium, Chongqing, China October 12-14, 2004. Halaman 1-10. Rigal F, Thibaud C, Catherine LN, Guy C, Jean-Antoine T, Fabien A, Patrick B. 2008. Osmoregulation as a potensial factor for the differential distribution of two cryptic gobiid spesies, Pomatoschistus microps and P. marmoratus in French Mediterranean lagoons. Scientia Marina 72(3). 469–476, Barcelona (Spain) ISSN: 0214–8358. Robert RJ. 1978. Fish pathology. Bailliere Tindall. London. 485 halaman. Romo ZM, Re AD, Diaz F, Mena A. 2010. Physiological responses of pink abalone Haliotis corrugata (Gray,1828) exposed to different combinations of temperature and salinity. Aquaculture Research 41: 953–960. Saanin 1986. Taksonomi dan kunci identifikasi ikan. Bina Cipta. Bandung. Sakai DK. 1984. Opsonization by fish antibody and complement in the immune phagocytosis by peritoneal exudates cells from salmoned fish. Journal Fish Diseases 7: 29–38. Shrimpton JM, Zydlewski JD, McCormick D. 2001. The stress response of juvenile American Shad to handling and confinement is greater during migration in freshwater than in seawater. Transactions of the American Fisheries Society, 130: 1203–1210. Siakpere K. Ovie. Obogu, Oghoghene E. 2008. Sublethal haematological effects of zinc on the freshwater fish, Heteroclarias sp. (Osteichthyes: Clariidae). African Journal of Biotechnology 7(12): 2068–2073. Sin YM, Ling KH, Lam TL. 1996. Cell-mediated immune response of goldfish Carassius auratus (L), to Ichthyophthirius multifiliis. Journal Fish Diseases 19: 1-7. Stanley DW. 1995. A hyaluronidase from Ichthyophthirius multifiliis (Fouquet). http://www.google.co.id/#q=A+hyaluronidase+from+Ichthyophthirius+multifiliis
(kunjurngan Oktober 2008). Stoskopf SK. 1993. Immunology. Dalam Fish medicine.WB. Saunders Company. Harcout Brace Jovanovich, Inc. Philadelphia London Toronto Montreal Sydney Tokyo. Halaman 149–159.
104
Supriyadi H, Komarudin O. 2003. Kerusakan jaringan ikan nila (Oreochromis niloticus) yang terinfeksi penyakit streptococciasis .Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9 (2): 35-38. Syawal H, Mulyadi, Aryani N. 2001. Pengaturan suhu dan padat tebar benih ikan jambal siam (Pangasius hypophthalmus) terhadap derajad insiden I. multifiliis. Jurnal Perikanan dan Ilmu Kelautan 6 (2): 66-72. Syawal H, Siregar YI, Aryani N. 2007. Pembuatan vaksin sel utuh Ichthyophthirius multifiliis. Laporan penelitian Hibah Bersaing tahun ke-1. Lembaga Penelitian Universitas Riau. 42 halaman. Syawal H, Siregar YI. 2010. Imunisasi ikan jambal siam dengan vaksin Ichthyophthirius multifiliis. Jurnal Veteriner. Jurnal Kedokteran Hewan Indonesia 11(3): 163–67. Tizard I.1987. Pengantar imunologi veteriner. Airlangga University Press Surabaya. 497 halaman. Tucker CS. 1993. Water analysis. Dalam: Fish Medicine. Harcout Brace Jovanovich WB. Saunders Company. Inc. Philadelphia London Toronto Montreal Sydney Tokyo. Halaman166–197. Varsamos S, Flik G, Pepin JF, Wendelaar, Bonga SE, Breul G. 2006. Husbandry stress during early life stages affects the stress response and health status of juvenile sea-bass, Dicentrarchus labrax L. Fish and Shellfish Immunology 20: 83-96. Wedemeyer GA. 1996. Physiology of fish in intensive culture system. Chapman and Hall. 115 Fifth Avenue New York. 232 halaman. Wedemeyer GA. 2001. Fish hatchery management. Edition, 2. American Fisheries Society. 733 halaman Witeska M, Kondera E, Lugowska K. 2010. The effects of ichthyophthiriasis on some haematological parameter in common carp. Turkey Journal Veterinary Animal Science 34 (3): 267–271. Woo PTK, Bruno DW, Lim LHS. 2002. Diseases and disorders of finfinsh in cage culture. CABI Publishing. Halaman 193-230. Woo PTK. 2006. Fish diseases and disorders. Volume 1 Protozoa and Metazoan Infections 2nd edition. University of Guelph Canada. www.cabi.or. Xu-DH, Klesius PH, Shoemaker CA, Evan JJ. 2000. The early development of Ichthyophthirius multifiliis in channel catfish in Vitro. Journal of Aquatic Animal Health 12 (4): 290-296.
105
Xu-DH, Klesius PH, Shelby RA. 2004. Immune responses and host protection of channel catfish, Ictalurus punctatus (Rafinesque), against Ichthyophthirius multifiliis after immunization with live theronts and sonicated trophonts. Journal Fish Diseases 27: 135-141. Xu-DH, Klesius PH, Shoemaker CA. 2007. Evaluation of a cohabitation challenge model in immunization trials for channel catfish Ichtaluruspuntatus against Ichthyophthirius mulifiliis. Deseases of Aquatic Organisms 74: 49-55. Xu-DH, Klesius PH, Shoemaker CA. 2010. Protective immunity of nile tilapia against ichthyophthirius (Abstract). World Aquaculture Society. P. 1111. USDA Agriculture Research Service. Last Modified: 09/23/2011
LAMPIRAN
109
Lampiran 1. Gejala ikan terinfeksi Ichthyophthirius multifiliis dan ciri-ciri Ichthyophthirius multifiliis Gejala ikan terinfeksi Ichthyophthirius Ciri-ciri Ichthyophthirius multifiliis multifiliis -
Adanya bintik permukaan tubuh Sirip putus Sisik lepas
putih
di
-
-
-
Ichthyophthirius multifiliis dewasa bentuknya bundar, permukaan tubuh dikelilingi oleh silia. Warna transparan Mempunyai makro nukleus seperti tapal kuda Pergerakan aktif Ukuran 30-1000μm Ichthyophthirius multifiliis bentuknya bundar hingga oval (seperti buah peer) tubuh dikelilingi oleh silia Bergerak sangat aktif Warna transparan Ukuran 30-45μm
Sumber: Gratzek 1993
Lampiran 2. Menghitung kepadatan sel theront dari Ichthyophthirius multifiliis -
Ambil satu tetes dari media kultur theront kemudian diamati di bawah mikroskop dan dihitung berapa jumlah sel theront yang terlihat dari satu lapang pandang, pengamatan dilakukan empat lapang pandang. Prosedur yang sama dilakukan tiga kali ulangan
-
Hasil yang didapatkan dirata-ratakan kemudian dikonversikan untuk mengetahui kepadatan dalam 1 mL media kultur, yaitu dengan cara mengalikan jumlah sel theront dalam 1 tetes media dikali dengan 20
-
Angka 20 didapatkan dari 1 mL media terdiri atas 20 tetes.
Sumber : Syawal et al. 2007.
110
Lampiran 3. Histopatologi insang ikan mas akibat diinfeksi dengan Ich Waktu/Org an 72 Jam PI Insang
Perlakuan T20
-hyperseluler, infiltrasi limfosit
T24
T28
-nekrosis, sel desquamasi selepitel, sel goblet dan infiltrasi sel limfosit
-nekrosis, desquamasi sel epitel, cyste, hemorrhage, infiltrasi sel imfosit dan magrofag
-terdapat sel Goblet, infiltrasi sel mononuklear (limfosit dan makrofag)
-nekrosis, infiltrasi sel limfosit, makrofag dan eosinofil, terdapat sel Goblet
Kulit -infiltrasi sel mononuklear (limfosit dan makrofag) fragmentasi serabut
-nekrosis, hemosiderin, insang, dan vakuolisasi -nekrosis insang, dermatitis
-nekrosis -peradangan dermatitis insang dan kulit Keterangan PI = pascainfeksi Sumber: Laboratorium Diagnostik BALIVET Bogor. Diagnosis
111
Lampiran 4. Prosedur pembuatan vaksin ich dan uji viabilitas terhadap sel theront (modifikasi dari Sakai 1984) Kultur ich stadia trophozoid 1. Stadia trophozoid didapatkan dari ikan yang positif terinfeksi ich 2. Trophozoid diisolasi dengan cara mengerik lendir yang ada di permukaan tubuh ikan yang terinfeksi ich 3. Lendir dimasukan ke dalam botol erlimeyer berukuran 500 mL yang telah diisi dengan akuades 4. Diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu ruang Untuk memastikan bahwa stadia trophozoid sudah berubah menjadi stadia theront, dilakukan pengecekan di bawah mikroskop. Pengecekan dilakukan dengan cara mengambil satu tetes dari media kultur kemudan diletakan di atas gelas objek dan ditutup dengan kaca penutup lalu diamati dengan menggunakan mikroskop perbesaran 10x40. Pengamatan dilakukan dengan lima lapangan pandang 5. Sel theront dipisahkan dari lendir dengan cara sentrifuse, selama 5 menit dengan kecepatan 3.000 rpm. 6. Supernatan yang dihasilkan diambil beberapa tetes diamati di bawah mikroskop untuk dihitung kepadatan sel theront (250-300 sel/mL) 7. Inaktivasi sel theront dilakukan dengan cara pemanasan di waterbath pada suhu 47⁰C selama 30 menit. Hasil pemanasan ini diistilahkan sebagai vaksin ich 8. Uji viabilitas yaitu dengan cara mengambil beberapa tetes larutan vaksin diamati di bawah mikroskop dengan 5 lapang pandang (theront tidak bergerak lagi). Vaksin dinyatakan aman apabila tidak ditemukan lagi sel theront yang bergerak
112
Lampiran 5. Prosedur uji imobilisasi (Sigh dan Buchmann 2002) Persiapan Bahan -
Kultur theront
-
Serum
-
PBS (Phosfat Buffer Saline) pH 7.2
Peralatan -
Waterbath, mikropipet, 96 well microtitre plate, mikroskop
Prosedur -
Serum dipanaskan dalam waterbath suhu 44⁰C selama 20 menit
-
Ke dalam masing-masing sumur (96 well microtitre plate) dimasukkan 50μL PBS
-
Tambahkan pada sumur pertama serum sebanyak 50μL, lalu homogenkan. Diambil 50μL dari sumur pertama yang telah dihomogenkan masukkan ke sumur kedua, homogenkan lagi. Kemudian diambil 50μL dari sumur kedua dimasukkan ke dalam sumur ketiga dan dihomogenkan lagi, demikian seterusnya sampai sumur ke-12
-
Tambahkan 25 sel theront ke dalam masing-masing sumur, kemudian diinkubasi pada suhu ruang. Setiap 30 menit selama 2 jam diamati di bawah mikroskop. Titer immobilisasi dinyatakan apabila 50% sel theront tidak bergerak pada pengenceran tertinggi
-
Angka titer immobilisasi didapatkan dengan menggunakan rumus log (n+1), n adalah pada pengenceran tertinggi didapatkan 50% sel theront tidak bergearak.
113
Lampiran 6. Analisis ragam kadar kortisol ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda Source
DF
Anova SS
Mean Square
F Value
Pr > F
Hari
3
159172.6837
53057.5612
9.72E15
<.0001
Suhu
3
322280.4913
107426.8304
1.97E16
<.0001
Hari*Suhu
9
151773.9170
16863.7686
3.09E15
<.
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari H-0 H-7 H-14 H-21
N 12 12 12 12
Mean 235.31000 275.09000 336.27000 386.09250
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28 32
N 12 12 12 12
Mean 415.95500 328.07500 302.25000 186.48250
114
Lampiran 7. Analisis ragam kadar glukosa ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda Source
DF
Hari Suhu Hari*Suhu
Anova SS
3 3 9
24097.43349 961.58886 3990.07715
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari H-0 H-7 H-14 H-21
N 12 12 12 12
Mean 125.380 125.584 83.693 78.009
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28 32
N 12 12 12 12
Mean 109.129 104.656 102.142 96.739
Mean Square 8032.47783 320.52962 443.34191
F Value 86.38 3.45 4.77
Nilai P <.0001 0.0281 0.0005
115
Lampiran 8. Analisis ragam nilai hematokrit ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda Source
DF
Anova SS
Mean Square
F Value
Nilai P
Hari
3
164.9844500
54.9948167
11.68
<.0001
Suhu Hari*Suhu
3 9
120.4453500 97.4962000
40.1484500 10.8329111
8.53 2.30
0.0003 0.0401
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari H-0 H-7 H-14 H-21
N 12 12 12 12
Mean 20.6667 15.8175 16.5575 18.0450
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28 32
N 12 12 12 12
Mean 15.1917 17.7917 19.2792 18.8242
116
Lampiran 9. Analisis ragam kadar hemoglobin ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda Source
DF
Hari Suhu Hari*Suhu
3 3 9
Anova SS
Mean Square
13.75898958 4.64523958 13.29621875
13.29621875 1.54841319 1.47735764
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari H-0 H-7 H-14 H-21
N 12 12 12 12
Mean 8.2433 7.6367 8.5942 9.1083
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28 32
N 12 12 12 12
Mean 8.0558 8.1742 8.4958 8.8567
F Value 24.39 8.23 7.86
Nilai P <.0001 0.0003 <.0001
117
Lampiran 10. Analisis ragam total eritrosit ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda Source
DF
Hari Suhu Hari*Suhu
3 3 9
Anova SS
Mean Square
159172.6837 322280.4913 151773.9170
53057.5612 107426.8304 16863.7686
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari H-0 H-7 H-14 H-21
N 12 12 12 12
Mean 235.31000 275.09000 275.09000 235.31000
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28 32
N 12 12 12 12
Mean 415.95500 328.07500 302.25000 186.48250
F Value 9.72E15 1.97E16 3.09E15
Nilai P <.0001 <.0001 <.0001
118
Lampiran 11. Analisis ragam total leukosit ikan mas yang dipelihara pada suhu media yang berbeda Source
DF
Hari Suhu Hari*Suhu
3 3 9
Anova SS
Mean Square
765.9482250 33.6135583 27.0266750
255.3160750 11.2045194 3.0029639
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari H-0 H-7 H-14 H-21
N 12 12 12 12
Mean 2.0667 3.8333 2.6833 2.2883
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28 32
N 12 12 12 12
Mean 6.5000 5.3883 4.6833 4.3000
F Value 214.03 9.39 2.52
Nilai P <.0001 0.0001 0.0263
119
Lampiran 12. Analisis ragam kadar hemoglobin ikan mas yang diinfeksi dengan ich Source
DF
Hari Suhu Hari*Suhu
2 2 4
Anova SS
Mean Square
315.266 20.266 2.675
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari 0 3 5
N 12 12 12
Mean 4.854 10.598 11.556
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28
N 12 12 12
Mean 7.993 9.226 9.789
157.633 10.133 .669
F Value 53.213 3.421 .226
Nilai P .000 .047 .922
120
Lampiran 13. Analisis ragam nilai hematokrit ikan mas yang diinfeksi dengan ich Source
DF
Hari Suhu Hari*Suhu
2 2 4
Anova SS 299.879 119.892 499.782
Mean Square 149.939 59.946 124.946
F Value 5.440 2.175 4.533
Nilai P .010 .133 .006
Analisis ragam untuk faktor utama Hari :
Hari 0 3 5
N 12 12 12
Mean 17.379 11.672 18.138
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28
N 12 12 12
Mean 16.068 13.345 17.777
Lampiran 14. Analisis ragam total eritrosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich
Source
DF
Hari Suhu Hari*Suhu
2 2 4
Anova SS 5.727 1.268 1.878
Analisis ragam faktor untuk utama Hari Hari 0 3 5
N 12 12 12
Mean 3.307 2.341 2.699
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28
N 12 12 12
Mean 2.576 3.030 2.741
Mean Square 2.864 .634 .470
F Value 4.463 .988 .732
Nilai P .021 .385 .578
121
Lampiran 15. Analisis ragam total leukosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich
Source
DF
Hari Suhu Hari*Suhu
2 2 4
Anova SS 1038.879 1741.968 2000.538
Mean Square 519.439 870.984 500.134
F Value .852 1.428 .820
Nilai P .438 .257 .524
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari 0 3 5
N 12 12 12
Mean 5.381 16.917 5.667
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28
N 12 12 12
Mean 19.113 5.244 3.607
Lampiran 16. Analisis ragam nilai limfosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich Source Hari Suhu Hari*Suhu
DF 2 2 4
Anova SS 203.389 1452.722 192.611
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari 0 3 5
N 12 12 12
Mean 46.500 48.583 42.833
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28
N 12 12 12
Mean 48.833 51.917 37.167
Mean Square 101.694 726.361 48.153
F Value 11.721 83.721 5.550
Nilai P .000 .000 .002
122
Lampiran 17. Analisis ragam nilai monosit ikan mas yang diinfeksi dengan ich Source Hari Suhu Hari*Suhu
DF 2 2 4
Anova SS 122.167 666.500 180.333
Mean Square 61.083 333.250 45.083
F Value 4.436 24.204 3.274
Nilai P .022 .000 .026
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari 0 3 5
N 12 12 12
Mean 42.833 43.417 47.000
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28
N 12 12 12
Mean 41.250 41.500 50.500
Lampiran 18. Analisis ragam nilai neutrofil ikan mas yang diinfeksi dengan ich Source Hari Suhu Hari*Suhu
DF 2 2 4
Anova SS 12.389 83.389 135.444
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari 0 3 5
N 12 12 12
Mean 8.833 10.250 9.333
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28
N 12 12 12
Mean 10.333 7.333 10.750
Mean Square 6.194 41.694 33.861
F Value .910 6.127 4.976
Nilai P .414 .006 .004
123
Lampiran19. Analisis ragam kadar kortisol ikan mas yang diinfeksi dengan ich Source Hari Suhu Hari*Suhu
DF 2 2 4
Anova SS 251096.316 17032.673 201378.040
Mean Square
F Value
125548.158 8516.336 50344.510
Nilai P . . .
. . .
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari N Mean 0 12 395.9033 3 12 548.25 5 12 353.84 Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28
N 12 12 12
Mean 461.97 409.9133 426.11
Lampiran 20. Analisis ragam kadar glukosa ikan mas yang diinfeksi dengan ich Source Hari Suhu Hari*Suhu
DF 2 2 4
Anova SS 1436.989 631.072 1064.930
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari 0 3 5
N 12 12 12
Mean 47.47083 62.61333 57.80833
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28
N 12 12 12
Mean 61.8725 53.34667 52.67333
Mean Square 718.494 315.536 266.232
F Value 2.252 .989 .835
Nilai P .125 .385 .515
124
Lampiran 21. Analisis ragam untuk nilai osmolaritas ikan mas yang diinfeksi dengan ich Source Hari Suhu Hari*Suhu
DF 2 2 4
Anova SS 6718.056 2977.556 2406.944
Mean Square 3359.028 1488.778 601.736
F Value
Nilai P
5.750 2.548 1.030
.008 .097 .410
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari 0 3 5
N 12 12 12
Mean 302.167 272.583 300.917
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 20 24 28
N 12 12 12
Mean 280.167 302.333 293.167
Lampiran 22. Analisis ragam prevalensi ikan mas yang diinfeksi dengan ich Source Hari*Suhu
DF 2
Anova SS 147.8786000
Mean Square 73.9393000
F Value 5.76
Nilai P 0.0402
Lampiran 23. Analisis ragam sintasan ikan mas yang diinfeksi dengan ich Source Hari*Suhu
DF 2
Anova SS 252.159
Mean Square 126.079
F Value 30.452
Nilai P .000
125
Lampiran 24. Analisis ragam nilai hematokrit ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich Source
DF
Hari Suhu Hari*Suhu
Anova SS 3 3 9
374.106 152.481 454.002
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari N Mean 0 12 19.82 7 12 13.74 14 12 17.30 21 12 17.08 Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 16.425 14.99 18.13 18.40
Mean Square 124.702 50.827 50.445
F Value 4.944 2.015 2.000
Nilai P .004 .121 .054
126
Lampiran 25. Analisis ragam kadar hemoglobin ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich Source
DF
Hari Suhu Hari*Suhu
Anova SS 3 3 9
56.193 28.803 28.441
Mean Square 18.731 9.601 3.160
F Value 4.987 2.556 .841
Nilai P .004 .063 .581
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 9.865 9.977 10.511 8.266
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 10.304 8.870 10.167 9.279
Lampiran 26. Analisis ragam total eritrosit ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich Source Hari Suhu Hari*Suhu
DF 3 3 9
Anova SS 11.048 10.427 7.044
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 2.612 1.909 2.396 1.680
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 1.978 1.650 2.395 2.575
Mean Square 3.683 3.476 .783
F Value Nilai P 6.515 .001 6.149 .001 1.385 .214
127
Lampiran 27. Analisis ragam total leukosit ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich Source
DF
Hari Suhu Hari*Suhu
Anova SS 3 3 9
Mean Square
66.791 39.115 88.692
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 3.250 4.215 1.750 2.490
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 3.890 3.295 2.220 2.300
22.264 13.038 9.855
F Value 7.500 4.392 3.320
Nilai P .000 .007 .002
128
Lampiran 28. Analisis ragam nilai limfosit ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich Source
DF
Hari Suhu Hari*Suhu
Anova SS 3 3 9
217.938 664.338 1127.413
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 45.250 43.400 39.500 38.100
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Suhu 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 41.300 39.650 41.100 44.200
Mean Square 72.646 221.446 125.268
F Value 3.632 11.072 6.263
Nilai P .017 .000 .000
129
Lampiran 29. Analisis ragam nilai monosit ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich Source Hari Suhu Hari*Suhu
DF
Anova SS 3 290.437 3 1070.838 9 642.912
Mean Square F Value Nilai P 96.812 6.393 .001 356.946 23.571 .000 71.435 4.717 .000
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 39.500 42.700 43.550 44.600
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 44.300 46.300 36.550 43.200
Lampiran 30. Analisis ragam nilai neutrofil ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich Source Hari Suhu Hari*Suhu
DF
Anova SS 3 597.037 3 328.838 9 486.812
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 16.050 17.100 21.450 17.950
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 17.150 14.600 22.150 18.650
Mean Square F Value Nilai P 199.012 21.706 .000 109.613 11.955 .000 54.090 5.899 .000
130
Lampiran 31. Analisis ragam kadar kortisol ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich Source Hari Suhu Hari*Suhu
DF
Anova SS 3 44413.873 3 1027.360 9 39513.443
Mean Square F Value Nilai P 14804.624 77.745 .000 342.453 1.798 .167 4390.383 23.056 .000
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 236.872 165.046 160.372 193.023
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 190.677 186.396 195.289 182.951
Lampiran 32. Analisis ragam kadar glukosa ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich Source Hari Suhu Hari*Suhu
DF
Anova SS 3 53757.478 3 4986.879 9 3024.025
Analisis ragam untuk faktor utama Hari Hari 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 49.944 89.339 104.125 42.507
Analisis ragam untuk faktor utama Suhu Suhu 0 7 14 21
N 12 12 12 12
Mean 64.330 63.087 81.127 77.372
Mean Square F Value Nilai P 17919.159 64.770 .000 1662.293 6.008 .001 336.003 1.215 .302
131
Lampiran 33. Analisis ragam nilai osmolaritas ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich Source
DF
Hari Suhu Hari*Suhu
Anova SS 3 3 9
56384.896 29508.896 44590.021
Mean Square 18794.965 9836.299 4954.447
F Value 21.686 11.349 5.717
Nilai P .000 .000 .000
Lampiran 34. Analisis ragam prevalensi ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich
Source
DF
Anova SS
Mean Square
F Value
Hari*Suhu
3
11371.38063
3790.46021
84.50
Nilai P
<.0001 .
Lampiran 35. Analisis ragam sintasan ikan mas yang diberi vaksin dan diuji tantang dengan ich Source
Hari *Suhu
DF
3
Anova SS
724.606
Mean Square
241.535
F Value
74.346
Nilai P
.000