EFEKTIVITAS METODE TRANSFEKSI DALAM PENYISIPAN GEN RED FLUORESCENT PROTEIN PADA ZIGOT DAN EMBRIOGENESIS IKAN CUPANG ALAM (Betta imbellis)
DWI ATMI NARWATI
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ABSTRAK DWI ATMI NARWATI. Efektivitas Metode Transfeksi dalam Penyisipan Gen Red Fluorescent Protein pada Zigot dan Embriogenesis Ikan Cupang Alam (Betta imbellis). Dibimbing oleh TRI HERU WIDARTO dan ENI KUSRINI. Ikan cupang alam (Betta imbellis) merupakan salah satu strain ikan cupang yang belum dibudidayakan secara luas karena warnanya kurang menarik. Usaha untuk meningkatkan kualitas warna pada ikan cupang alam salah satunya dapat dilakukan melalui transgenesis (transfer gen). Tujuan penelitian ini adalah melihat efektivitas metode transfeksi dalam penyisipan gen red fluorescent protein (RFP) pada zigot serta mengamati proses embriogenesis B. imbellis. Penelitian dilaksanakan di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok serta Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Sukamandi, Subang selama 6 bulan. Calon induk B. imbellis diseleksi dan dipijahkan dengan perbandingan 1:1, selajutnya dilakukan transfeksi telur, ekstraksi DNA, PCR, serta pengamatan embriogenesis. Perlakuan yang diberikan adalah RFP 1:1 dan RFP 3:1 masing-masing sebanyak 6 ulangan. Derajat penetasan telur setelah transfeksi tidak memperlihatkan pola yang jelas dari masing-masing perlakuan, namun secara umum tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kontrol non transgenik. Hasil PCR pada embrio dan larva menunjukkan bahwa DNA teramplifikasi dengan ukuran sekitar 0.6 kb. Pita DNA juga muncul pada kontrol non transgenik sehingga belum dapat menjelaskan keberhasilan metode transfeksi dalam menyisipkan RFP ke genom B. imbellis. Embriogenesis berlangsung selama lebih kurang 34 jam setelah fertilisasi yang diikuti dengan penetasan. Kata kunci: Betta imbellis, transgenesis, transfeksi, RFP, embriogenesis.
ABSTRACT DWI ATMI NARWATI. Effectivity of Transfection Method to Deliver Red Fluorescent Gene into Zygotes and Embryogenesis of Betta imbellis. Supervised by TRI HERU WIDARTO and ENI KUSRINI. Wild Betta (Betta imbellis) is one of the Betta strain not cultured widely since body pigments are not so attractive. Color improvement of the fish may increase its attractiveness and can carried out by several methods, one of them is by transgenesis. The aims of this research are to evaluate the effectiveness of transfection method to deliver red fluorescent (RFP) gene into zygotes of B. imbellis and to observe its embryogenesis. Research was conducted in Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok and Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Sukamandi, Subang for 6 months. The prospective broodstocks are selected and spawned in 1:1 ratio, followed by transfection of zygotes, DNA extraction, PCR, also the observation of embryogenesis. The treatments are RFP 1:1 and RFP 3:1 which repeated as much as 6 times. Hatching rate after transfection in each group did not show the clear pattern of treatment effect, but was not different significantly from non transgenic group overall. PCR from embryos and larvaes shown that DNA could be amplified in 0.6 kb DNA size. DNA bands also appear in non transgenic group so it has not been explain the success of transfection method to deliver fluorescent gene. The embryogenesis was taken place for approximately 34 hours after fertilization followed by hatching. Keywords: Betta imbellis, transgenesis, transfection, RFP, embryogenesis.
EFEKTIVITAS METODE TRANSFEKSI DALAM PENYISIPAN GEN RED FLUORESCENT PROTEIN PADA ZIGOT DAN EMBRIOGENESIS IKAN CUPANG ALAM (Betta imbellis)
DWI ATMI NARWATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi : Efektivitas Metode Transfeksi dalam Penyisipan Gen Red Fluorescent Protein (RFP) pada Zigot dan Embriogenesis Ikan Cupang Alam (Betta imbellis) Nama : Dwi Atmi Narwati NIM : G34070021 Departemen : Biologi
Disetujui Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Tri Heru Widarto, M.Sc. NIP. 19620513 198703 1 002
Eni Kusrini, M.Si. NIP. 19700913 200003 2 002
Diketahui Ketua Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.S. NIP. 196410021989031002
Tanggal Lulus :
PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberi kemudahan pada hamba-Nya untuk menuntut ilmu, sehingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini telah selesai dilaksanakan. Penelitian berjudul ”Efektivitas Metode Transfeksi dalam Penyisipan Gen Red Fluorescent Protein (RFP) pada Zigot dan Embriogenesis Ikan Cupang Alam (Betta imbellis)” ini dilaksanakan dari bulan Juni hingga Desember 2011 di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias (BPPBIH) Depok dan Balai Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (BPPI) Sukamandi, Subang. Penelitian ini didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2011 atas nama Anjang Bangun Prasetyo, M.Si. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Tri Heru Widarto, M.Sc serta Eni Kusrini, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan banyak arahan, masukan, serta motivasi. Terima kasih kepada Dr. Rita Megia, DEA selaku penguji pada ujian karya ilmiah atas saran dan masukan yang sangat membantu. Penghargaan juga disampaikan kepada BPPBIH Depok dan BPPI Subang, Jawa Barat yang telah memfasilitasi kegiatan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pak Pras, mas Sawung, mbak Murni, mas Ruby, mbak Riani, dan mas Asep dari BPPBIH Depok serta bu Wiwi, mas Irul, mbak Ria, mbak Narita, mbak Erma, mbak Diah, dan mas Ali dari BPPI Subang atas arahan dan pendampingan teknis selama pelaksanaan penelitian. Terima kasih kepada Eka Tjipta Foundation yang telah memberikan beasiswa selama penulis menjalani masa perkuliahan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada mas Bagas, Luki Unpad, Ratna, Eko P, teman-teman di Biologi angkatan 44, UKM Pramuka IPB, Wisma As Shaf, PMSB, dan Himabio yang telah memberikan bantuan, doa, dan semangat. Karya ilmiah ini saya persembahkan untuk kedua orang tua tercinta yang tak pernah putus mencurahkan doa dan kasih sayang. Penulis berharap agar karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Segala kekurangan dalam pelaksanaan maupun penyusunan karya ilmiah ini semata karena keterbatasan penulis. Semoga hasil ini dapat disempurnakan di masa mendatang. Bogor, Februari 2012 Dwi Atmi Narwati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 11 Juli 1989 dari pasangan Sahir dan Parni. Penulis merupakan anak pertama dari satu bersaudara. Penulis mengenyam pendidikan di SMA Negeri 1 Gondang dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis lolos seleksi USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Penulis mendapatkan beasiswa dari Eka Tjipta Foundation dari tahun 2007-2011. Selama masa perkuliahan, penulis telah menyelesaikan program minor Gizi Masyarakat. Penulis mempunyai pengalaman sebagai asisten praktikum pada mata kuliah Biologi Dasar pada tahun 2011. Penulis juga pernah menjadi tutor mata kuliah Biologi Dasar di Bimbingan Belajar B’Expert pada tahun 2009 dan tutor privat mata pelajaran Biologi SMA di Bimbingan Belajar Nucleus pada tahun yang sama. Penulis pernah melakukan penelitian kecil berjudul ”Keragaman Cendawan Endofit Anggrek di Wana Wisata Cangkuang, Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat” pada saat Studi Lapang. Penulis melakukan Praktik Lapangan berjudul ”Studi Komparasi Proses Embriogenesis Ikan Rainbow (Melanotaenia sp.)” di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok. Selama kuliah, penulis aktif berorganisasi di Dewan Mushalla Asrama Putri A3 TPB IPB, UKM Pramuka IPB, Paguyuban Mahasiswa Sukowati Bogor (PMSB), serta Himpunan Mahasiswa Biologi IPB. Penulis pernah menjadi salah satu delegasi IPB untuk Latihan Gabungan Pramuka Perguruan Tinggi se-Jawa yang diadakan di Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2008. Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan penulis berhasil lolos didanai oleh DIKTI pada tahun 2008 dan 2009, kemudian pada tahun 2010 lolos didanai DIKTI untuk PKM bidang Pengabdian Masyarakat.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL . .................................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ viii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................. viii PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1 Latar Belakang ................................................................................................................... 1 Tujuan ................................................................................................................................ 2 METODE ................................................................................................................................. 2 Waktu dan Tempat ............................................................................................................. Bahan dan Alat ................................................................................................................... Metode ............................................................................................................................... Pematangan Gonad Induk ........................................................................................... Koleksi Telur .............................................................................................................. Transfeksi Telur .......................................................................................................... Penghitungan Hatching Rate (HR) ............................................................................. Deteksi Integrasi RFP dengan PCR ............................................................................ Pengamatan Perkembangan Embrio ...........................................................................
2 2 2 2 2 2 3 3 3
HASIL ...................................................................................................................................... 3 Penghitungan Hatching Rate (HR) .................................................................................... 3 Deteksi Integrasi RFP dengan PCR ................................................................................... 3 Pengamatan Perkembangan Embrio ................................................................................... 4 PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 6 SIMPULAN .............................................................................................................................. 8 SARAN ..................................................................................................................................... 8 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 8 LAMPIRAN .............................................................................................................................. 10
DAFTAR TABEL Halaman 1 Hasil PCR pada embrio dan larva B. Imbellis setelah transfeksi ........................................... 3
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Induk jantan Betta imbellis .................................................................................................... 1 2 Konstruksi plasmid pmBA-DsRed (Clontech) ....................................................................... 3 3 Daya tetas telur setelah transfeksi .......................................................................................... 3 4 Visualisasi amplikon gen rfp pada gel agarose 1.5% ............................................................ 4 5 Konfirmasi PCR pada gel agarose 1.5% ............................................................................... 4 6 Tahap pembelahan embrio B. imbellis .................................................................................. 5 7 Fase embrio tingkat lanjut ..................................................................................................... 5 8 Larva telah menetas ............................................................................................................... 5
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Cara membuat campuran DNA plasmid pada media NACl 0.9% (0.01 µg/µL) ................... 11 2 Protokol ekstraksi DNA dengan kit Puregene ......................................................................... 12
1
PENDAHULUAN Latar belakang Ikan cupang termasuk dalam Kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Actinopterygii, ordo Perciformes, famili Osphronemidae, dan genus Betta (ITIS 2011). Ikan cupang bersifat karnivora. Induk jantan memiliki sirip yang lebih panjang dibanding induk betina (Lesmana & Dermawan 2001). Salah satu strain cupang alam yang ada di Indonesia dan belum dibudidayakan secara luas adalah Betta imbellis Ladiges (Gambar 1).
1 cm Gambar 1 Induk jantan Betta imbellis B. imbellis berwarna biru tua dengan sirip pelvic yang berwarna merah, warna merah pada bagian belakang sirip anal, dan dua garis berwarna hijau pada tutup insang. Ukuran tubuhnya tidak lebih dari 2 inci. B. imbellis terdistribusi di Thailand, Malaysia, dan Sumatra. Habitat aslinya adalah rawa, parit, dan perairan yang tergenang. B. imbellis dapat bertahan hidup pada perairan dengan kandungan oksigen terlarut rendah dan temperatur tinggi (Lertpanich & Aranyavalai 2007). B. imbellis bersifat bubblenester seperti Betta pada umumnya. Ikan ini membuat sarang busa sebelum memijah dan telur dimasukkan ke dalam sarang oleh induk jantan (Linke 1994 dalam Dewantoro 2001). Beberapa jenis cupang alam mempunyai kromatofor untuk warna merah, kuning, dan hijau yang masih tersembunyi. Peningkatan ekspresi warna tersebut perlu dikaji dengan penelitian rekayasa lingkungan untuk meningkatkan ekspresi kromatofor, selective breeding, serta di bidang genetika ikan. Hasil yang diharapkan dapat meningkatkan performa cupang alam, sehingga akan meningkatkan nilai jual. Metode seleksi telah banyak dilakukan untuk mendapatkan strainstrain baru seperti cupang hias yang sekarang banyak terdapat di pasaran. Metode yang lebih modern namun belum banyak dilakukan pada ikan hias adalah transgenesis (transfer
gen). Selain untuk kualitas warna ikan hias, aplikasi transgenesis di bidang akuakultur juga digunakan untuk peningkatan laju pertumbuhan, perbaikan kualitas daging, serta peningkatan daya tahan ikan terhadap lingkungan yang ekstrim dan penyakit. Transgenesis adalah suatu teknologi rekayasa gen dengan mengintroduksikan satu atau lebih gen asing ke organisme uji dengan tujuan untuk memanipulasi genotipenya ke arah yang lebih baik dan selanjutnya dapat ditransmisikan ke keturunannya (Beaumont & Hoare 2003). Metode yang biasa digunakan dalam transgenesis antara lain penyisipan dengan bantuan vektor virus, mikroinjeksi, elektroporasi, maupun transfeksi (Harrison et al. 1998). Pemilihan metode tergantung pada tujuannya dan karakteristik organisme target (Wall 2002). Pada penelitian ini, peningkatan kualitas warna ikan cupang dilakukan dengan penerapan metode transfeksi untuk menyisipkan gen penyandi Red Fluorescent Protein (RFP). Transfeksi adalah metode transfer gen yang berbasis pada penggunaan lipid sebagai agen untuk membawa gen asing melewati membran sel (Yamano et al. 2011). Reagen transfeksi adalah polimer kation dan lipid yang dapat berikatan dengan DNA pada permukaannya. Interaksi tersebut membentuk komplek yang dapat berikatan dengan membran sel target sehingga DNA asing dapat terinternalisasi melalui endositosis dan tidak terdegradasi oleh reaksi enzimatik di dalam sel. Transfeksi memiliki risiko kerusakan fisik yang lebih kecil pada organisme target, sehingga derajat penetasan telur pada transgen akan meningkat (Calderon 2004). Menurut Felgner et al. (1987), pengembangan metode transfeksi berbasis lipid dapat meningkatkan efisiensi transfer gen dan tidak bersifat toksik pada sel. Gen pemendar yang sering digunakan dalam kajian ilmiah ada beberapa jenis, salah satunya adalah red fluorescent protein (RFP. RFP dikloning dari coral Discosoma sp. RFP dapat berperan sebagai komplemen maupun substitusi GFP dari ubur-ubur. Fluorescent protein seperti RFP telah banyak digunakan sebagai penanda molekuler. RFP stabil pada perubahan pH yang ekstrim, denaturasi, dan photobleaching (Baird et al.2000, Gross et al. 2000, Campbell et al. 2002). Transfer gen GFP dan RFP telah menghasilkan ikan zebra berwarna-warni yang dapat dilihat pada kondisi cahaya biasa (Gong et al. 2003 dalam Parenrengi 2010).
2
Selain aspek ekonomis, masih ada beberapa aspek lain dari ikan cupang alam yang belum dieksplorasi lebih jauh. Sampai saat ini belum ada publikasi ilmiah tentang embriogenesis pada B. imbellis. Menurut Lagler (1972), embriogenesis adalah perkembangan dari zigot hingga menetas. Embriogenesis dibagi menjadi tiga stadium, yaitu pembelahan, embrionik, dan eleutheroembrionik. Menurut Balon (1975) stadium eleutheroembrionik adalah periode ikan menetas sampai ikan dapat mencari makan sendiri di luar. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah melihat efektivitas penyisipan gen RFP pada zigot B. imbellis hasil transfeksi dan mengamati proses embriogenesis ikan cupang alam.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni hingga Desember 2011 di Hatchery Cupang Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias (BPPBIH) Depok serta Laboratorium Genetika dan Patologi Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (BPPI) Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah induk jantan dan betina B. imbellis, plasmid pmBA-dsRed (Clontech), X-tremeGENE HP DNA transfection reagents (Roche), kit ekstraksi DNA (Puregene), kit PCR (Faststart), primer forward dan reverse, VC 100bp DNA ladder (Vivantis), loading dye (Vivantis), NaCl 0.9%, akuades, serbuk agarose, Tris ethidium bromida (TBE), dan air mineral. Alat-alat yang digunakan berupa mikropipet, tips, sentrifuge, thermo cycler (Biorad & Esco), tube berbagai ukuran, counter, mikroskop stereo (Olympus tipe BX41), vortex, water bath, mini horizontal elektroforesis, UV Transilluminator, dan cawan petri, cetakan agar, timbangan analitik, hot plate, dan toples. Metode Pematangan Gonad Induk Induk jantan maupun betina B. imbellis diambil dari alam (Aceh), diadaptasi dan didomestikasi di BPPBIH Depok selama 7 bulan. Induk yang dipilih adalah ikan yang fisiknya sehat, pergerakannya aktif, tidak terserang penyakit, dan telah matang gonad.
Ikan dipelihara secara massal di akuarium dengan pemberian pakan secara ad satiation. Pakan yang diberikan berupa bloodworm dan jentik nyamuk secara berseling dengan frekuensi dua kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. Induk B. imbellis belum teradaptasi pada kondisi budidaya sehingga pematangan gonadnya membutuhkan waktu yang cukup lama. Pengkayaan pakan dengan vitamin E dilakukan untuk mempercepat pematangan gonad. Sebanyak 100 g bloodworm ditambahkan dengan 0.240 g serbuk vitamin E dan dua kapsul natur-E. Campuran pakan yang telah diperkaya tersebut disimpan dalam bentuk beku agar vitamin E meresap dan terikat oleh minyak dari kapsul vitamin ke dalam bloodworm. Koleksi Telur Induk jantan dan betina dipijahkan dengan perbandingan 1:1 pada akuarium cm3 dengan ketinggian ukuran air ± 14 cm serta diberikan potongan styrofoam sebagai substrat. Ikan jantan yang siap memijah akan membuat sarang busa di sekitar substrat. Umumnya fertilisasi terjadi 23 jam setelah pemasangan induk. Telur yang telah terfertilisasi dikoleksi dalam cawan petri kemudian dicuci dengan NaCl fisiologis 0.9% dan dilanjutkan dengan pencucian pada akuades. Perlakuan yang dicobakan adalah RFP 1:1 dan RFP 3:1 dengan enam ulangan pada masing-masing perlakuan, serta dua ulangan untuk kontrol. Perlakuan yang dicobakan merupakan perbedaan perbandingan reagen : DNA. RFP 1:1 artinya menggunakan 1 µL reagen dalam 100 µL media berisi DNA, sedangkan RFP 3:1 artinya 3 µL reagen dalam 100 µL media. Jumlah telur yang digunakan pada masingmasing ulangan berjumlah 50 butir. Setelah dilakukan pencucian, telur yang akan diberi perlakuan dimasukkan ke dalam tube 2 mL berisi 0.5 mL air. Transfeksi Zigot Transfeksi dilakukan pada zigot fase 264 sel. Larutan transfeksi dibuat dari campuran DNA plasmid (Gambar 2) pada media NaCl 0.9% hingga mencapai konsentrasi akhir 0.01 µg/µL, artinya 1 µg plasmid dalam 100 µL media (Lampiran 1). Sebanyak 100 µL campuran tersebut dimasukkan ke dalam tube 2 mL dan diberi label sesuai perlakuan. Ditambahkan 1 µL reagen ke tube berlabel 1:1 dan 3 µL reagen pada tube dengan label 3:1 kemudian diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruang.
3
Campuran tersebut dimasukkan ke dalam tube yang berisi telur perlakuan dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu ruang. Embrio yang telah diberi perlakuan dipindah dalam wadah inkubasi berupa toples sampai menetas. Penggantian air pada wadah pemeliharaan dilakukan 12 jam sekali untuk menjaga kadar oksigen terlarut tetap tinggi dan suhu air tidak terlalu panas.
Age I
Bgl
Β-Actin
RFP
SV40
pmBA-DsRed (5.8 kb) Gambar 2 Konstruksi plasmid pmBA-DsRed (Clontech) Penghitungan Hatching Rate (HR) Hatching Rate atau derajat penetasan telur adalah persentase jumlah telur yang menetas dibagi jumlah keseluruhan telur yang diberi perlakuan dalam satu ulangan. Penghitungan HR dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap daya tetas. Secara ringkas, HR dapat dihitung dengan rumus sbb: HR
x 100%
Deteksi Integrasi RFP dengan PCR Sampel embrio dan larva diamplifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Sebelum PCR, dilakukan ekstraksi DNA terlebih dahulu menggunakan kit Puregene sesuai protokol pada manual (Lampiran 2). Jumlah embrio yang digunakan untuk PCR sebanyak 20-30 butir sedangkan untuk larva sekitar 25 ekor. Hasil ekstraksi kemudian dimigrasikan pada gel agarose 1.5% dengan voltase 65 V, kecepatan 400 mV, selama 3040 menit. DNA yang didapat lalu di PCR dengan primer dsRed-F: 5’ ATG GCC TCC GAG AAC GTC 3’ dan dsRed-R: 5’ GTC CAG CTT GGC GTC CAC GTA 3’. Komposisi PCR untuk masing-masing sampel adalah 12.5 µL master mix, 0.5 µL primer F, 0.5 µL primer R, 9 µL nuclease free water dan 2.5 µL DNA template. Predenaturasi dilakukan pada suhu 950C selama 4 menit sebanyak 1 siklus. Denaturasi dilakukan pada 940C selama 30 detik, annealing pada 620C selama 30 detik, dan ekstensi awal pada 720C selama 1 menit
masing-masing sebanyak 35 siklus. Ekstensi akhir dilakukan pada 720C selama 10 menit. Hasil PCR dimigrasi menggunakan gel agarose 1.5%, voltase 65 V, kecepatan 400 mV, selama 60 menit dan didokumentasikan dengan UV Transilluminator. Pengamatan Perkembangan Embrio Sebagai data pendukung dilakukan pengamatan embriogenesis di bawah mikroskop stereo Olympus tipe BX41 untuk melihat perkembangan telur B. imbellis dari zigot hingga menetas. Telur yang telah terfertilisasi diambil menggunakan pipet dan diteteskan pada kaca preparat lalu dilakukan pengamatan pada perbesaran 40x. Perkembangan zigot terus diamati dan diambil gambarnya pada setiap perubahan fase. Pengamatan dapat dilakukan 2 jam sekali setelah zigot mencapai fase morula. Jika melewati fase yang akan diamati, pengamatan diulangi menggunakan zigot lainnya.
HASIL Penghitungan Hatching Rate (HR) Daya tetas telur setelah transfeksi adalah bervariasi, akan tetapi jumlah telur yang menetas pada kontrol lebih tinggi dibanding pada kelompok perlakuan (Gambar 3). Meski demikian, nilai HR antara kontrol dan kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Gambar 3 Daya tetas telur setelah transfeksi Deteksi Integrasi RFP dengan PCR Untuk melihat keberhasilan integrasi gen asing, dilakukan PCR pada telur dan larva. Sampel yang diberi perlakuan menunjukkan hasil yang positif dengan ukuran DNA 0.6 kb, kecuali pada sampel telur dengan kode 5A (Tabel 1).
4
Tabel 1 Hasil PCR pada telur dan larva B. imbellis setelah transfeksi PCR Kode Perlakuan Telur Larva 1A RFP 1:1 ulangan 1 + 2A RFP 1:1 ulangan 2 3A RFP 1:1 ulangan 3 4A RFP 1:1 ulangan 4 + 5A RFP 1:1 ulangan 5 6A RFP 1:1 ulangan 6 + 1B RFP 3:1 ulangan 1 2B RFP 3:1 ulangan 2 3B RFP 3:1 ulangan 3 4B RFP 3:1 ulangan 4 + + 5B RFP 3:1 ulangan 5 6B RFP 3:1 ulangan 6 + K1 Kontrol ulangan 1 + + K2 Kontrol ulangan 2 + + Produk PCR dielektroforesis pada mini horizontal elektroforesis menggunakan gel agarose 1.5%. Visualisasi dan dokumentasi dilakukan dengan UV Transilluminator menggunakan pewarnaan Ethidium Bromida (Gambar 4).
Gambar 4 Visualisasi amplikon gen rfp pada gel agarose 1.5% (keterangan: M= 100 bp DNA ladder, KN R= kontrol negatif, KP R= kontrol positif, 4A= RFP 1:1 ulangan 4, 4B T= telur RFP 3:1 ulangan 4, 5A= RFP 1:1 ulangan 5, 4B L= larva RFP 3:1 ulangan 4, 1A= RFP 1:1 ulangan 1, 6A= RFP 1:1 ulangan 6, 6B= RFP 3:1 ulangan 6, KN TR= telur non transgenik, KN LR= larva non transgenik). Kelompok non transgenik teramplifikasi dengan ukuran pita DNA yang sama. Oleh karena itu dilakukan PCR pada sirip induk B. Imbellis dan sirip ikan mas (Cyprinus carpio) koleksi BPPI Sukamandi sebagai pembanding untuk melihat kespesifikan primer PCR yang digunakan. Hasil konfirmasi PCR menunjukkan bahwa pita DNA hanya muncul pada kontrol positif dan sampel sirip B. imbellis (Gambar 5).
0.6kb Gambar 5 Konfirmasi PCR pada gel agarose 1.5% (keterangan: M= 100 bp DNA ladder, KN 1 & KN 2= kontrol negatif, KP= kontrol positif, S1= sirip B. imbellis, A1= sirip C. carpio).
0.6kb
Pengamatan Perkembangan Embrio Telur B. imbellis berwarna putih keruh jika diamati tanpa menggunakan mikroskop. Di bawah mikroskop akan terlihat chorion yang bening dengan kuning telur yang berwarna keruh dan tidak tembus cahaya. Perkembangan embrio dibagi menjadi beberapa tahap. Tahap pertama adalah pembelahan atau cleavage dari 2 (dua) sampai menjadi 64 sel (Gambar 6). Tahap kedua ditandai dengan pembelahan 128
5
sampai dengan kurang lebih 1000 sel. Tahap ketiga adalah perisai embrio (embyo shield), keempat gastrula, dan tahap kelima adalah
segmentasi (Gambar 7). Tahap terakhir adalah tahap embrio menetas menjadi larva (Gambar 8).
ap bl
y
y
pv
8 sel
4 sel
blm
y
y
vp
ch
0.2 mm
(a)
(b)
(c)
(d) blm
blm
y
y
y
y
0.2 mm
(e)
(f)
(g)
(h)
Gambar 6 Tahap pembelahan embrio B. imbellis. Zigot 1 sel (a), 2 sel (b), 4 sel (c), 8 sel (d), 16 sel (e), 32 sel (f), fase pembelahan 64 sel lebih atau morula (g), blastula awal (h). Keterangan: bl= blastodisk, blm= blastomer, y= kuning telur (yolk), ch= chorion, pv= perivitellin, ap= kutub anima (animal pole), vp= kutub vegetal (vegetal pole).
0.5 mm
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 7 Fase embrio tingkat lanjut. Embryo shield (a), gastrulasi akhir (b), embrio awal (c), (d) embrio akhir. Keterangan: shield (sh), bakal mata (bm), somit (sm), tulang belakang (v), notochord (nc), mata (m), otocyst (otc), chorion (ch), kuning telur (y).
0.5 mm
Gambar 8 Larva telah menetas (keterangan: mata (m), kuning telur (y), tulang belakang (v), somit (s), bakal anus (ba), pigmen (p), bakal ekor (be)).
6
PEMBAHASAN Gen pemendar yang sering digunakan dalam kajian ilmiah ada beberapa jenis, diantaranya red fluorescent protein (RFP), green fluorescent protein (GFP), dan yellow fluorescent protein (YFP). Pada penelitian ini dipilih RFP dengan harapan dapat meningkatkan performa warna merah pada B. imbellis. Penyisipan fluorescent protein seperti RFP diharapkan dapat menghasilkan individu transgenik dengan mutu warna yang lebih baik seperti yang dilakukan oleh Gong et al (2003) dalam Parenrengi (2010). Penggunaan tiga metode transfer gen yakni mikroinjeksi, elektroporasi, dan transfeksi telah dilakukan oleh Sun et al. (2005) pada udang vaname (Litopenaeus vannamei). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode transfeksi merupakan metode yang paling sesuai berdasarkan alasan ukuran telur yang relatif kecil, daya tetas yang tinggi, dan dapat diaplikasikan dalam jumlah yang banyak. Telur ikan cupang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan telur udang vaname, sehingga metode transfeksi dipilih untuk transgenesis pada ikan cupang alam. Penelitian pendahuluan dengan menggunakan metode transfeksi dan elektroporasi menunjukkan bahwa metode transfeksi lebih efektif digunakan pada transgenesis ikan cupang alam dilihat dari hasil PCR. Konsentrasi DNA plasmid dan reagen transfeksi merupakan salah satu faktor utama yang menentukan optimalisasi prosedur transfeksi (Sakurai et al. 2000 dalam Calderon 2004). Konsentrasi DNA yang terlalu tinggi dapat bersifat toksik pada embrio target (Tseng et al. 2000 dalam Calderon 2004). Selain itu, rasio reagen dan DNA plasmid harus dioptimasi sesuai dengan tipe individu target. Pada penelitian ini, rasio reagen transfeksi dan DNA yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam derajat penetasan telur. Artinya konsentrasi DNA plasmid dan reagen transfeksi yang digunakan dalam penelitian ini tidak berdampak buruk bagi individu target. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata derajat penetasan telur dari perlakuan RFP 1:1, RFP 3:1, dan kelompok kontrol yang tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Reagen transfeksi memiliki mekanisme kerja yang unik dalam mengintegrasikan DNA asing ke organism target dengan risiko kerusakan fisik yang kecil. Sebelumnya, beberapa reagen telah dipelajari potensinya
dalam transgenesis, misalnya calcium phosphate dan DEAE-dextran (Calderon 2004). Meskipun kedua reagen tersebut memungkinkan terjadinya interaksi antara DNA dan membran sel, namun sifat kimianya dapat bersifat toksik bagi sel. Felgner (1987) mengembangkan prosedur transfeksi menggunakan lipid yang lebih efisien dan toksisitasnya rendah. Saat ini, reagen transfeksi yang berbasis lipid ini telah dikembangkan secara luas. Sun et al. (2005) dan Sucipto (2009) menyebutkan bahwa penggunaan reagen transfeksi JetPEI (Qbiogene) tidak bersifat toksik terhadap organisme uji. Pada penelitian ini dapat dilaporkan bahwa reagen yang digunakan, yaitu X-tremeGENE HP DNA transfection reagents (Roche) juga tidak bersifat toksik sehingga berpotensi untuk dikembangkan dalam transgensis. Jumlah telur yang menetas pada kelompok kontrol lebih tinggi dibanding kelompok perlakuan. Jumlah ikan yang hidup dari hasil perlakuan yang berbeda tidak memiliki pola yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa derajat penetasan telur bukan semata-mata pengaruh dari perlakuan, tetapi ada faktor lain selama embriogenesis maupun setelah ikan menetas. Faktor lain tersebut diduga disebabkan oleh faktor lingkungan yang ekstrim dan tidak stabil. Selain itu dapat pula disebabkan karena penanganan embrio pascaperlakuan yang belum tepat. Telur dan larva perlakuan diduga rentan terhadap fluktuasi suhu dan pH pada lingkungan. Dugaan lain adalah kualitas telur yang tidak seragam. Pada umumnya rata-rata derajat penetasan telur ikan cupang tanpa perlakuan dapat mencapai 90-100%, sedangkan pada penelitian ini berkisar antara 70-80%. Oleh karena itu penggunaan telur dari induk yang sama perlu dilakukan untuk mendapatkan keseragaman kualitas. Deteksi keberhasilan transfer gen dilakukan dengan polymerase chain reaction (PCR). PCR dilakukan pada fase embrio akhir dan larva untuk melihat kestabilan ekspresi gen asing pada setiap fase perkembangan. Hasil PCR telur dan larva menunjukkan bahwa pita DNA yang teramplifikasi sesuai dengan ukuran primer yang digunakan, yaitu sekitar 0.6 kb. Pada perlakuan RFP 1:1 ada pita DNA yang muncul (1A, 4A, dan 6A) dan ada yang tidak muncul (5A). Penyebab tidak munculnya pita diduga disebabkan karena proses ekstraksi yang tidak tepat atau konsentrasi DNA yang terlalu tinggi sehingga sulit annealing pada
7
saat proses PCR. Perlakuan dengan rasio 3:1 menunjukkan hasil PCR yang positif, baik pada sampel telur maupun larva. Secara keseluruhan, hasil PCR pada telur dan larva dari kedua perlakuan menunjukkan hasil yang positif. PCR pada kelompok kontrol non transgenik dilakukan untuk memastikan keberhasilan penyisipan gen melalui transfeksi. PCR pada kontrol seharusnya menunjukkan hasil yang negatif, akan tetapi kontrol pun ternyata dapat teramplifikasi dengan ukuran DNA yang sama. Hasil yang positif tersebut terjadi pada sampel telur maupun larva kontrol. Menurut Sambrook & Russel (2001), munculnya pita DNA pada kontrol non transgenik diduga disebabkan oleh kontaminasi larutan PCR atau peralatan yang digunakan dengan template DNA. Kontaminasi dapat terjadi saat ekstraksi DNA maupun saat PCR. Selain itu, positifnya hasil PCR pada kelompok non transgenik juga dapat terjadi karena primer PCR yang digunakan kurang spesifik. Untuk melihat spesifik atau tidaknya primer yang digunakan, dilakukan PCR pada sirip induk B. Imbellis dan pada sirip ikan mas (Cyprinus carpio). Pembanding pada konfirmasi PCR ini dapat dilakukan dengan sampel apa saja asalkan berbeda spesies dengan organisme uji, dalam hal ini dipilih genom C. carpio koleksi BPPI Sukamandi. Konfirmasi PCR menunjukkan bahwa pita DNA hanya muncul pada kontrol positif dan sampel sirip B. imbellis. Dalam hal ini, hasil PCR yang belum konsisten dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Diduga terdapat kontaminan pada sampel kontrol non transgenik sehingga pita DNA muncul dengan ukuran yang sama. Kondisi PCR yang belum optimal juga dapat menyebabkan hal tersebut terjadi. Proses ekstraksi DNA atau pengambilan supernatan yang kurang tepat juag dapat menjadi penyebabnya. Kespesifikan primer PCR juga harus dicobakan terlebih dahulu sebelum digunakan karena pada penelitian ini primer PCR tidak dapat mengamplifikasi genom ikan mas. Untuk mendapatkan hasil yang spesifik, seharusnya konstruksi plasmid didesain dari ikan cupang alam sendiri (allfish gene construct) seperti yang dilakukan oleh Parenrengi (2010) yang menggunakan all-shrimp gene construct untuk transgenesis pada udang windu. Hal tersebut membutuhkan waktu dan proses yang sangat panjang sehingga belum mungkin dilakukan pada penelitian ini.
Secara umum, hasil penyisipan RFP pada zigot B. imbellis melalui metode transfeksi memberikan hasil yang positif baik pada rasio 1:1 maupun 3:1 walaupun tidak dibuktikan dengan PCR pada seluruh perlakuan. Namun demikian hasil PCR terhadap telur yang ditransfeksi mewakili untuk melihat efektivitas metode ini dalam teknologi transgenesis ikan hias, khususnya ikan cupang alam. Proses embriogenesis pada B. imbellis belum dipublikasi secara ilmiah. Pada penelitian ini embriogenesis B. imbellis telah berhasil diamati. Telur B. imbellis berwarna putih keruh jika diamati tanpa menggunakan mikroskop. Di bawah mikroskop akan terlihat chorion yang bening dengan kuning telur yang berwarna keruh dan tidak tembus cahaya. Perkembangan embrio dibagi menjadi beberapa tahap, tahap pertama adalah pembelahan atau cleavage dari 2 (dua) sampai menjadi 64 sel lalu dilanjutkan dengan tahap kedua, pembelahan 128 sampai dengan kurang lebih 1000 sel. Tahap ketiga adalah perisai embrio, keempat gastrula, kelima segmentasi dan tahap terakhir adalah tahap embrio dan menetas menjadi larva (Kimmel et al. 1995 dalam Cindelaras 2005). Fase pembelahan dimulai sesaat setelah blastodisk terbentuk dan akan membelah menjadi dua sampai sekitar 32 sel (Kimmel et al. 1995 dalam Cindelaras 2005). Pada fase pembelahan, blastodisk akan membelah sesuai bidang pembelahan menjadi dua dengan bentuk yang sama. Pembelahan pertama pada B. imbellis terjadi dua menit setelah fertilisasi. Sebagai perbandingan, pembelahan pertama pada ikan Neon Tetra terjadi pada waktu 50 menit setelah pembuahan (Hartono 2002) dan 70 menit pada ikan Redfin Shark (Sedjati 2002). Perbedaan ini terutama disebabkan oleh perbedaan spesies. Setelah melewati fase pembelahan 128 sampai dengan 1000 sel atau blastula, pembelahan sudah mulai terlihat tidak jelas dengan sel yang saling bertumpuk. Tahap pembelahan sampai dengan 32 sel berlangsung selama 32 menit. Setelah fase blastula berakhir, dilanjutkan dengan fase gastrula dimana blastomer akan melakukan gerakan invaginasi dan membentuk rongga yang dinamakan gastrocoel. Blastomer kemudian menutupi 50% dari kuning telur yang menunjukkan berlangsungnya pembentukan perisai embrio (Gambar 7a). Fase ini berlangsung pada 404 menit atau lebih kurang 7 jam setelah terbentuknya blastodisk.
8
Pada perisai embrio akan terjadi penebalan pada satu sisi pada bidang lateral ekuator kuning telur yang membentuk germ ring (cincin germinal) (Kimmel et al, 1995 dalam Cindelaras 2011). Pembentukan cincin germinal akan terlihat jelas dari kutub anima. Pada fase perisai embrio seakan pembelahan terhenti beberapa saat, tetapi setelah itu epiboly akan menutup kembali ke arah kutub vegetal. Gastrulasi berakhir apabila epiboly telah menutupi 90% dari kuning telur. Fase ini berlangsung pada 668 menit atau 11 jam setelah pembuahan. Embrio mulai terlihat pada menit ke 878 setelah pembuahan yang ditandai dengan munculnya bakal kepala pada kutub anima dan bakal ekor di kutub vegetal serta epiboly telah menutup sebanyak 100% (Gambar 7c). Pada periode ini sel-sel mulai berubah menjadi bentuk seperti mata, notochord, jantung dan organ lain sesuai fungsinya. Pada jam ke-14 bakal mata terbentuk yang ditandai dengan adanya optic vesicle atau rongga mata (Gambar 7c. (bm)) yang diikuti dengan pembentukan notochord atau sumbu tulang belakang (Gambar 7c (nc)). Bakal otolith atau otocyst sudah terlihat dan berada di belakang kepala yang berbentuk seperti gelembung dengan dua buah titik (Gambar 7c (otc)). Pigmentasi pada B. imbellis terjadi pada saat larva belum menetas. di bawah mikroskop, pigmentasi terlihat seperti titik-titik yang menyebar di seluruh tubuh. Pada fase embrio akhir yang berlangsung pada 1233 menit atau 20 jam 33 menit embrio sudah tampak memenuhi bagian dalam chorion. Telur akan menetas apabila embrio telah lebih panjang dari diameter cangkangnya (Lagler 1972). Menurut Blaxter (1969), proses penetasan embrio terjadi jika chorion mengalami pelunakan dan adanya aktivitas enzim. Enzim ini dinamakan chorionase dan disekresikan oleh embrio. Chorionase terdiri dari pseudokeratin yang mereduksi chorion. Bersama-sama dengan substansi kimia yang dikeluarkan oleh kelenjar ektodermal di daerah faring, chorionase akan menurunkan kekuatan chorion. Menurut Effendie (1985), embrio sering mengubah posisinya pada waktu akan menetas karena kekurangan ruang di dalam cangkang. Pergerakanpergerakan tersebut menyebabkan bagian cangkang telur yang lembek akan pecah. Larva cupang akan menetas setelah mengalami perkembangan selama 2033 menit atau sekitar 38 jam. Biasanya pada cangkang telur yang pecah, ujung ekor embrio akan dikeluarkan terlebih dahulu sambil
digerakkan. Kepala dikeluarkan terakhir karena ukurannya lebih besar dibanding bagian tubuh yang lain. Larva yang baru menetas belum dapat berenang dan berdiam dalam posisi menggantung vertikal terhadap permukaan air.
SIMPULAN Penyisipan RFP pada zigot B.imbellis efektif dilakukan dengan metode transfeksi meskipun belum memberikan hasil yang optimal. Penggunaan rasio reagen : DNA yang berbeda tidak membahayakan individu target, hal ini terbukti dari derajat penetasan telur antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Telur B. imbellis menetas sekitar 34 jam setelah fertilisasi.
SARAN Pengataman dengan mikroskop fluoresens perlu dilakukan untuk meyakinkan hasil deteksi ekspresi transgen. Perlu dilakukan PCR pada sirip larva B. imbellis kandidat transgenik untuk mengkonfirmasi masuknya gen asing. PCR sebaiknya dilakukan pada kontrol non transgenik terlebih dahulu untuk meminimalisasi kontaminasi.
DAFTAR PUSTAKA Baird GS, Zacharias DA, Tsien RY. 2000. Biochemistry, mutagenesis, and oligomerization of DsRed, a red fluorescent protein from coral. PNAS 97: 11984-11989. Balon FK. 1975. Terminology of interval in fish development. J Fish Res Board Can 32: 1163-1670. Beaumont AR, Hoare K. 2003. Biotechnology and Genetics in Fisheries and Aquaculture. Oxford: Blackwell Science Ltd. Blaxter JHS. 1969. Development of Egg and Larvae. New York: Academic Press. Calderon FRO. 2004. Transfection reagentmediated gene transfer for the pacific white shrimp Litopenaeus vannamei [tesis]. University of Hawaii: Hawaii.
9
Campbell RE, et al. 2002. A monomeric red fluorescent protein. PNAS 99: 7877-7882. Cindelaras S. 2005. Perkembangan embrio ikan zebra danio (Brachydanio rerio) [skripsi]. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Dewantoro GW. 2001. Fekunditas dan produksi larva pada ikan cupang (Betta splendens Regan) yang berbeda umur dan pakan alaminya. Jurnal Iktiologi Indonesia I: 49-52. Effendie MI. 1985. Biologi Perikanan. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Felgner et al. 1987. Lipofection: a highly efficient, lipid-mediated DNAtransfection procedure. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 84: 7413-7417. Gross LA, Baird GS, Hoffman RC, Baldridge KK, Tsien RY. 2000. The structure of the chromophore within DsRed, a red fluorescent protein from coral. PNAS 97: 11990-11995. Harrison RL, Byrne BJ, Tung L. 1998. Electroporation-mediated gene transfer in cardiac tissue. FEBS Letters 435: 1-5. Hartono G. 2002. Perkembangan embrio dan larva ikan Tetra Neon (Paracheirodon innesi) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. ITIS [Integrated Taxonomy Information System].http://www.itis.gov/servlet/Single Rpt/SingleRpt. [22 November 2011]. Lagler KF. 1972. Freshwater Fishery Biology. Iowa: W. C. Braum Co. Publ. Lesmana DS, Dermawan I. 2001. Budidaya Ikan Hias Air Tawar Populer. Jakarta: Penebar Swadaya.
Lertpanich K, Aranyavalai V. 2007. Species diversity, distribution, and habitat characteristic of wild bubble nesting Betta (Betta spp.) in Thailand. KMITL Sci. J. 7: 37-42. Parenrengi A. 2010. Peningkatan resistensi udang windu Penaeus monodon terhadap penyakit White Spot Syndrome Virus melalui transfer gen Penaeus monodon antiviral [disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor: Bogor. Sambrook J, Russel DW. 2001. Molecular Cloning: a Laboratory Manual 3rded. NewYork: Cold Spring Harbor Laboratory Press. Sedjati IF. 2002. Embriogenesis dan perkembangan larva ikan Redfin Shark (Labeo erythropterus C.V) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sucipto A. 2009. Efektivitas promoter keratin, heat shock, dan β aktin pada transgenesis ikan nila [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor: Bogor. Sun PS, Venzon NC, Calderon FRO, Esaki DM. 2005. Evaluation of methods for DNA delivery into shrimp zygotes of Penaeus (Litopenaeus vannamei). Aquaculture 243: 19-26. Yamano S, et al. 2011. Modified Tat peptide with cationic lipid enhances gene transfection efficiency via temperaturedependent and caveolae-mediated endocytosis. J of Controlled Release 152: 278-285. Wall RJ. 2002. New gene transfer methods. Theriogenology 57: 189-201.
10
LAMPIRAN
11
1. Cara membuat campuran DNA plasmid pada media NACl 0.9% (0.01 µg/µL) Sampel untuk perlakuan GFP maupun RFP masing-masing berjumlah 12 ulangan; 6 ulangan untuk perlakuan 1:1 dan 6 ulangan untuk perlakuan 3:1. Maka, 12 x 100 => 100 µl media = 1200 µL 744 = 1200 x b, dimana 744 adalah konsentrasi plasmid b = 1200/744 b = 1.6 µL (plasmid) jadi media yang ditambahkan 1200 µl – 1.6 µl = 1198.4 µl NaCl
+ 1 µL reagen
1198.4 µl NaCl
@ 100 µL untuk RFP 1:1 (6 Ulangan)
1.6 µL plasmid
+ 3 µL reagen
@ 100 µL untuk RFP 3:1 (6 Ulangan)
12
2. Protokol Ekstraksi DNA dengan kit Puregene