Efektivitas European Union (EU) sebagai Institusi Internasional dalam Membentuk Kebijakan Ekonomi Negara Anggota Eurozone (2002-2012) Hana Hanifah dan Evi Fitriani Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Krisis euro yang terjadi sejak tahun 2009 mengindikasikan adanya masalah dalam pelaksanaan peraturan European Monetary Union (EMU) dalam kerangka European Union (EU). Sebagai institusi internasional yang dianggap paling berhasil mengatur hubungan interdependensi berdasarkan perspektif liberal institusionalis, EU ternyata tidak dapat mencegah dan memperbaiki pelanggaran tingkat defisit dan tingkat utang yang terjadi di beberapa negara anggota Eurozone, khususnya Yunani, Italia, Irlandia, Portugal, dan Spanyol, sehingga krisis euro dapat terjadi. Ini menunjukkan bahwa EU belum sepenuhnya efektif untuk membentuk kebijakan ekonomi negara-negara anggota Eurozone. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas EU membentuk kebijakan ekonomi negara-negara anggota Eurozone, dengan menggunakan dasar teori efek independen institusi internasional berdasarkan perspektif neoliberal institutionalism dan metode congruence. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa EU tidak efektif dalam membentuk kebijakan ekonomi negara-negara anggota Eurozone pada periode 2002-2012 karena lima alasan berikut: (1) tidak mempunyai kepentingan independen dalam EMU yang merepresentasikan seluruh negara anggota, (2) tidak dapat menghilangkan ketidakjelasan masa depan dalam pelaksanaan EMU, (3) tidak memberikan hasil kesejahteraan ekonomi yang diharapkan dari EMU, (4) tidak dapat memfasilitasi hubungan pengaruh politik dan kapasitas ekonomi yang setara dalam pelaksanaan EMU, dan (5) tidak mempunyai struktur institusi yang independen dan ajeg untuk pelaksanaan EMU. Kata kunci: anggota Eurozone; efektivitas institusi internasional; Economic and Monetary Union (EMU); European Union (EU); krisis euro.
The European Union (EU) Effectiveness as International Institution in Shaping Economic Policy of Eurozone Countries (2002-2012) Abstract The euro crisis that happened since 2009 indicates that there was a problem in executing European Monetary Union (EMU) rules within the European Union (EU) framework. Regarded by liberal institutionalists as the most successful international institution in dealing with interdependence, EU was proven to be ineffective in preventing and correcting excessive deficit and debt of several Eurozone countries, especially Greece, Italy, Ireland, Portugal, and Spain. This problem signifies that EU was ineffective in shaping economic policy of Eurozone countries. This study aims to uncover factors that influence EU effectiveness in shaping economic policy of Eurozone countries by using independent effect of international institution theory based on neoliberal institutionalism, with congruence method. The results 1 Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
2
show that EU was ineffective in shaping economic policy of Eurozone countries in 2002-2012 because of the following reasons: (1) EU did not have independent interest that represent all member countries‟ interests, (2) EU was not able to eliminate future unpredictability in implementing EMU, (3) EU was not able to deliver economic welfare that was expected from EMU, (4) EU was not able to facilitate political and economic equality in implementing EMU, and (5) EU did not have independent and firm structure in implementing EMU. Keywords: Economic and Monetary Union (EMU); effectiveness of international institution; European Union (EU); Eurozone countries; euro crisis.
Pendahuluan Ilmu Hubungan Internasional dibangun untuk menjelaskan dinamika interaksi antar aktor di kelompok sosial yang paling luas, yaitu masyarakat internasional. 1 Dalam perkembangan hubungan internasional di abad ke-21, isu ekonomi menjadi semakin signifikan,2 dan keberadaan institusi internasional dianggap penting untuk mengatur hubungan interdependensi ekonomi karena menyediakan „focal points‟ untuk bekerjasama.3 Namun ternyata hubungan keuangan dan moneter internasional masih rentan menyebabkan masalah,4 khususnya sejak sistem floating exchange rate berlaku pada tahun 1971. Dalam sistem tersebut gangguan terhadap stabilitas ekonomi internasional menjadi tanggung jawab masing-masing pemerintah karena tidak ada peraturan khusus bersama yang dapat dijadikan referensi.5 Dalam latar belakang tersebut, negara-negara Eropa mempunyai posisi yang unik karena memilih untuk mengembangkan institusi pengaturan moneter dan keuangan bersama. Dalam kerangka European Union, negara-negara Eropa membentuk Economic and Monetary Union (EMU) dengan mata uang tunggal bersama, yaitu euro, yang resmi diperkenalkan pada tahun 2002. Pengaturan EMU secara khusus aktif diimplementasikan di 17 negara anggota EU yang secara resmi menggunakan euro, yaitu Austria, Belgia, Cyprus, Jerman, Estonia, Yunani, Spanyol, Finlandia, Perancis, Irlandia, Italia, Luxembourg, Malta, Belanda, Portugal, Slovenia, dan Slovakia, yang seluruhnya dikenal sebagai anggota Eurozone. Treaty on Functioning of European Union (TFEU) yang berasal dari Maastricht Treaty, mengatur agar kebijakan moneter dalam EMU dilaksanakan secara independen oleh
1
Torbjörn Knutsen, A History of International Relations Theory (UK: Manchester University Press, 1992), 4. Joseph S. Nye, Jr., Understanding International Conflicts – An Introduction to Theory and History (7 th Edition) (USA: Pearson Longman, 2009), 202. 3 Robert O. Keohane, “International Institutions: Can Interdependence Work?” dalam Robert J. Art dan Robert Jervis, International Politics – Enduring Concepts and Contemporary Issues (8th Edition), (USA: Pearson Education, Inc., 2007), 123. 4 Susan Strange, Casino Capitalism (Manchester: Manchester University Press, 1997), 5 – 6. 5 Nye, Jr., op.cit., 219. 2
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
3
European Central Bank (ECB).6 Untuk kebijakan fiskal, TFEU mengatur agar defisit anggaran negara anggota tidak melebihi 3% dari Gross Domestic Product (GDP) nasional dan tingkat utang tidak melebihi 60% dari GDP nasional.7 Peraturan-peraturan tersebut dirancang untuk membentuk kebijakan ekonomi negara-negara anggota Eurozone dalam rangka mencapai stabilitas pertumbuhan ekonomi dan terselenggaranya single market dalam menjamin kesejahteraan di kawasan Eropa.8 Namun ternyata peran EU sebagai institusi internasional dalam mengatur hubungan ekonomi dan keuangan di kawasan Eropa masih menghadapi masalah, dibuktikan dengan terjadinya krisis ekonomi euro pada tahun 2009. Meskipun terdapat usaha EU dalam membentuk kebijakan ekonomi, tingkat utang dan defisit beberapa negara Eurozone melebihi batas yang ditentukan dalam pengaturan EMU. Secara umum, perbandingan kondisi defisit beberapa negara anggota Eurozone dapat dilihat di gambar 1. Pada grafik ini terlihat bahwa negara-negara seperti Yunani, Spanyol dan Irlandia hampir secara konstan mempunyai net lending atau net borrowing negatif, yang berarti terdapat defisit dalam anggaran negara.
10,0 5,0 0,0 -5,0
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
-10,0 -15,0 -20,0 -25,0 -30,0 -35,0 Jerman
Irlandia
Yunani
Spanyol
Perancis
Italia
Portugal
Inggris
Gambar 1. Net Lending atau Net Borrowing Umum Pemerintah 8 Negara Eurozone dalam Presentase GDP (1999 - 2012) Sumber: Eurostat (2013)
Indikator kestabilan ekonomi lainnya yang diatur dalam EMU adalah tingkat utang negara. Jika dilihat dari gambar 2, tingkat utang beberapa negara anggota Eurozone melebihi 100% GDP, terutama setelah tahun 2009. Yunani dan Italia menjadi dua negara dalam grafik 6
European Commission - Directorate-General for Communication, The European Union Explained: Economic and Monetary Union and the Euro (Luxembourg: Publications Office of the European Union, 2012), 5. 7 Article 126 dalam “Treaty on the European Union,” diakses dari http://www.eurotreaties.com/maastrichteu.pdf. pada tanggal 29 Juli 2013. 8 European Commission - Directorate-General for Communication, op. cit., 3.
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
4
yang melanggar ketentuan paling parah. Kondisi ekonomi yang ditunjukkan oleh gambar 1 dan gambar 2 ini dianggap menjadi pemicu krisis euro.
200,0 150,0 100,0 50,0 0,0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jerman
Irlandia
Yunani
Spanyol
Perancis
Italia
Portugal
Inggris
Gambar 2. Gross Debt Pemerintah 8 Negara Eurozone (1999-2012) Sumber: Eurostat (2013)
EU menggunakan berbagai mekanisme untuk memperbaiki kondisi ekonomi di beberapa negara tersebut, khususnya Yunani, Portugal, Italia dan Spanyol. Salah satu mekanismenya adalah dengan mekanisme corrective arm melalui Excessive Debt Procedures (EDP). Berdasarkan laporan yang diterbitkan EU, EDP secara konstan sudah diterapkan sejak tahun 2002. EDP pernah diterapkan di Yunani (2004 – 2007)9, Portugal (2002 – 2004)10 dan Italia (2005 – 2008)11 untuk mengatasi masalah tingkat utang dan defisit yang cukup tinggi. Selain itu, EU juga meminta beberapa negara dengan tingkat utang tinggi untuk melakukan pemotongan anggaran (austerity) dan menyelesaikan masalah utangnya. EU juga merancang pinjaman darurat dan membuat kesepakatan dengan International Monetary Fund (IMF) untuk memberikan dana bantuan, atau yang dikenal dengan paket bailout. Namun usaha ini belum berhasil karena pada bulan April tahun 2010, defisit Yunani tercatat mencapai 13,6% GDP, lebih buruk dari sebelumnya. Selain itu, nilai tukar euro masih menurun dan krisis ini mulai
9
European Commission, “Excessive Debt Procedure – Greece,” diakses dari ec.Europa.eu/economy_finance/economic_governance/sgp/deficit/countries/Greece_en.htm pada tanggal 1 Oktober 2013. 10 European Commission, “Excessive Debt Procedure – Portugal,” diakses dari ec.Europa.eu/economy_finance/economic_governance/sgp/deficit/countries/Portugal_en.htm pada tanggal 1 Oktober 2013. 11 European Commission, “Excessive Debt Procedure – Italy,” diakses dari ec.Europa.eu/economy_finance/economic_governance/sgp/deficit/countries/Italy_en.htm pada tanggal 1 Oktober 2013.
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
5
menyebar ke negara lain, khususnya ke Irlandia dan Portugal pada tahun 2010, dan Italia dan Spanyol pada tahun 2011. Hingga akhir tahun 2013 dan awal tahun 2014, meskipun banyak pendapat optimis yang menyatakan bahwa krisis euro mulai terselesaikan, kondisi ekonomi di negara-negara yang terkena krisis masih membutuhkan waktu lebih untuk kembali pulih.12 Krisis Eurozone menjadi masalah besar bagi EU karena inovasinya untuk menyelesaikan masalah, ternyata malah menimbulkan masalah. Hal ini bertolak belakang dengan kepercayaan umum bahwa EU merupakan institusi regional yang paling berkembang dan sering dijadikan sebagai model dalam menjelaskan integrasi regional, terutama di bidang ekonomi. Berdasarkan perspektif teori ekonomi liberal, integrasi ekonomi Eropa dalam institusi EMU akan mendukung efisiensi aktivitas ekonomi dan memberikan keuntungan bagi negara anggotanya sesuai dengan visi free market.13 Kesuksesan EU sebagai institusi atau rezim ini didukung oleh pandangan liberal dalam ilmu Hubungan Internasional yang melihat EU telah berhasil mengatur interdependensi di tingkat regional dengan melakukan proses koordinasi kebijakan.14 Namun ternyata EU masih menghadapi masalah sebagai institusi internasional dalam membentuk patterned behavior negara-negara anggotanya, dan tidak bisa mencegah terjadinya krisis di wilayahnya. Dari masalah tersebut, muncul pertanyaan yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: mengapa EU tidak dapat membuat negara anggota Eurozone menaati ketentuan kestabilan ekonomi dalam EMU selama periode 2002-2012? Penelitian dengan fokus pertanyaan permasalahan tersebut ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas institusi internasional dalam membentuk patterned behavior terhadap negara-negara anggotanya, dan mengetahui permasalahan yang dihadapi EU dalam integrasi ekonomi dan moneter di tingkat regional.
Tinjauan Teoritis Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran mengenai efek independen institusi internasional dengan dasar paradigma neoliberal institutionalism. Teori dan paradigma ini dipilih karena menjelaskan masalah endogeneity institusi internasional, yang sering menjadi fokus kritik dari pandangan realisme, sehingga dapat menjelaskan bagaimana kepentingan, struktur dan peraturan dalam institusi internasional dapat menjadi independen dan mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku negara. 12
Yle, “Finland‟s Bailout Payments Ease as Euro Crisis Passes Peak,” diakses dari http://yle.fi/uutiset/finlands_bailout_payments_ease_as_Euro_crisis_passes_peak/7028807 pada tanggal 14 Januari 2013. 13 Stephanie Blankenburg, et.al., “Prospect for the Eurozone,” Cambridge Journal of Economics, 37 (2013), 464. 14 Michelle Cini dan Nieves Borragan, European Union Politics (USA: Oxford University Press, 2003), 103.
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
6
Berdasarkan paradigma neoliberal institutionalism, dampak dari kondisi anarchy dapat dimitigasi oleh mutual interdependence dan karakter institutionalized politik internasional modern.15 Institusi internasional, atau disebut juga rezim internasional, didefinisikan sebagai seperangkat governing arrangements yang mencakup prinsip, norma, peraturan dan prosedur pembuatan kebijakan, implisit atau eksplisit, yang menjadi dasar dari konvergensi ekspektasi aktor.16 Dengan dasar paradigma tersebut, menurut kerangka pemikiran efek independen institusi dari Ronald B. Mitchell, identifikasi pengaruh institusi internasional membutuhkan analisis terhadap masalah endogeneity.17 Maksud dari masalah endogeneity ini adalah jika desain atau bentuk institusi seluruhnya ditentukan oleh struktur (endogenous terhadap struktur), maka institusi tidak mempunyai pengaruh. Institusi menjadi epiphenomenal atau hanya lanjutan dari pengaruh struktur, sehingga yang menentukan tingkah laku negara adalah struktur, bukan institusi. Oleh karena itu, penelitian terhadap pengaruh institusi harus melihat apakah struktur mendikte bentuk institusi dan tingkah laku negara anggotanya atau tidak. Yang harus ditunjukkan bukan struktur sama sekali tidak mempunyai pengaruh terhadap institusi atau tingkah laku negaranya, tetapi bagaimana struktur memberikan fleksibilitas pilihan bagi negosiator mengenai hal-hal yang berkaitan dengan institusi, namun tidak mendikte seluruhnya.18 Institusi internasional dapat mempunyai pengaruh karena institusi tidak endogen terhadap problem structure dan kepentingan yang dikodifikasikan dalam institusi berbeda dengan institution independent interest. Mitchell mengemukakan lima alasan mengapa kepentingan tersebut dapat berbeda. Pertama, kepentingan yang berasal dari masalah struktur dapat membatasi tetapi tidak mendefinisikan fitur-fitur dalam kesepakatan. Dengan kata lain, struktur menentukan „zone of possible agreement,‟ bukan isi dari kepakatan yang dicapai negara. Secara empiris, negosiasi yang berjalan lama justru menunjukkan bahwa kepentingan tidak langsung mendikte kesepakatan dalam institusi karena negara menggunakan negosiasi untuk mendefinisikan dan memilih berbagai alternatif.19 Dari proses negosiasi tersebut didapatkan kepentingan yang dapat merepresentasikan seluruh kepentingan atau preferensi negara-negara anggota yang menjadi kepentingan independen institusi internasional. 15
Ibid., 4. Stephen D. Krasner, “Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables,” dalam Stephen Krasner (ed.), International regimes, (Ithaca: Cornell University Press, 1983), 1. 17 Robert Keohane dan Lisa Martin, “Institutional Theory as a Research Program,” dalam C. Elman dan M. Elman (ed.), Progress in International relations Theory: Appraising the Field, (Cambridge: MIT Press, 2003), 73. 18 Ronald B. Mitchell, “The Influence of Internasional Institutions – Institutional Design, Compliance, Effectiveness, and Endogenity,” dalam Helen V. Milner dan Andrew Moravcsik (ed.), Power, Interdependence, and Nonstate Actors in World Politics, (New Jersey: Princeton University Press, 2009), 71. 19 Ibid., 72. 16
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
7
Alasan kedua, institusi dapat berpengaruh karena negara tidak dapat secara sempurna mengantisipasi situasi masa depan, sehingga fitur dari institusi yang dibentuk akan membantu negara untuk mencapai kepentingannya dalam situasi yang belum jelas tersebut. Jika negara dapat mengantisipasi masa depan secara sempurna dan membentuk institusi untuk mencapai kepentingan dalam situasi tersebut, maka institusi epiphenomenal atau hanya alat dari negara.20 Pengaruh institusi terlihat ketika tingkah laku negara berbeda dengan konstelasi power dan kepentingan awal pada saat pembentukan institusi dan prediksi dari power dan kepentingan yang baru.21 Institusi internasional dapat memberikan kejelasan masa depan jika dapat mengubah tingkah laku negara menjadi lebih berpola (patterned) sesuai dengan peraturan dalam institusi, tidak lagi ditentukan oleh power dan kepentingan terdahulu. Ketiga, negara tidak dapat selalu mencapai kepentingannya tanpa institusi. Masalah struktur dapat menyebabkan negara tidak dapat mencapai objektif mereka tanpa membentuk institusi. Dalam situasi tersebut, negara membentuk kontrak dalam institusi yang dapat membantu menjamin seluruh pihak yang terlibat untuk memenuhi bagian masing-masing dalam kesepakatan.22 Institusi internasional harus dapat menjamin bahwa objektif atau hasil yang diinginkan oleh negara-negara anggota dapat tercapai agar negara-negara anggota tersebut bersedia memenuhi kesepakatan. Keempat, pembentukan institusi didasari oleh norma umum yang diterima secara universal, yaitu negara mempunyai hak dan kewajiban yang setara, dan pembedaan terhadap hak dan kewajiban harus didasarkan oleh kriteria umum, bukan berdasarkan kriteria negara. Dengan adanya norma tersebut, terdapat pembatasan tertentu dalam pembentukan institusi sehingga kondisi realpolitik (the strong do what they can while the weak suffer what they must)23 tidak terjadi. Dalam institusi internasional, negara besar dan kecil disetujui untuk mendapatkan perlakuan yang sama, yang diatur dalam kesepakatan yang distandarisasi untuk semua proses bagi semua pihak yang terlibat.24 Oleh karena itu, institusi internasional harus dapat menjamin kesamaan posisi seluruh negara anggotanya agar peraturannya dapat diterima dan dilaksanakan. Alasan kelima berkaitan dengan keberadaan agen otonomi dalam institusi internasional yang mewakili kepentingan institusi. Kepentingan yang dikodifikasikan dalam institusi tersebut berbeda dengan kepentingan negara anggota yang independen dari institusi
20
Ibid, 73. Ibid. 22 Ibid., 73. 23 Torbjörn Knutsen, A History of International Relations Theory (UK: Manchester University Press, 1992), 32. 24 Mitchell, op.cit., 73. 21
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
8
(institution independent interests).25 Perbedaan ini terjadi dalam jangka waktu tertentu karena kepentingan yang dikodifikasikan dalam institusi cenderung berubah lebih lambat daripada institution independent interests. Jika institusi dan agen otonominya tetap stabil dalam perubahan kondisi variabel struktur, maka institusi tersebut dapat mempunyai pengaruh independen.26 Lima alasan tersebut merupakan faktor-faktor yang dapat menjelaskan apakah institusi mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku negara atau tidak dalam menghadapi masalah dalam struktur yang bervariasi. Dari identifikasi masalah di tingkat struktur, akan terlihat apakah institusi mempunyai pengaruh yang efektif atau tidak terhadap tingkah laku negara.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif, khususnya dengan metode studi kasus atau case study dengan single case. Bentuk ini dipilih karena penelitian berfokus untuk meneliti satu kasus yang spesifik,27 yaitu kasus pengaruh EU dalam membentuk kebijakan ekonomi negara Eurozone dalam konteks krisis euro. Studi kasus akan dilakukan dengan metode congruence, karena penelitian mencoba melihat kecocokan hubungan kausal dalam teori dengan kasus empiris. Elemen-elemen dalam kasus yang ditemukan dalam penelitian dicocokan oleh variabel-variabel yang ada dalam teori untuk melihat signifikansi hubungan kausal yang ditawarkan.28 Berdasarkan metode tersebut, model analisis yang digunakan dalam penelitian ini melihat efektivitas EU dari berhasil atau tidaknya EU memenuhi beberapa kondisi khusus yang menjadi variabel independen yang dijelaskan dalam teori. Sesuai dengan kerangka pemikiran, EU dapat berpengaruh efektif terhadap tingkah laku negara jika tidak endogen terhadap problem structure. Untuk membuktikan endogeneity EU tersebut, harus dianalisis apakah EU memenuhi beberapa syarat kondisi variabel independen. Syarat pertama adalah EU harus mempunyai kepentingan independen yang berbeda dengan problem structure. Kedua, EU dapat memberikan kejelasan masa depan sehingga tingkah laku negara berbeda dengan prediksi konstelasi kepentingan dan power sebelumnya. Ketiga, EU memberikan 25
Robert Keohane dan Lisa Martin, “Institutional Theory as a Research Program,” dalam Progress in International relations Theory: Appraising the Field, ed. C. Elman dan M. Elman (Cambridge: MIT Press, 2003), 100. 26 Ibid, 74. 27 John S. Odell, “Case Study Methods in International Political Economy,” dalam Detlef F. Sprinz dan Yael Wolinsky (ed.), Cases, Numbers, Models: International Relations Research Methods (USA: The University of Michigan Press, 2004), 65. 28 Alexander George dan Andrew Bennett, Case Studies and Theory Development – The Social Sciences (Cambridge: MIT Press, 2005), 181-185.
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
9
kejelasan hasil dalam kerja sama. Keempat, EU dapat menciptakan kondisi tanpa realpolitik atau menjamin kesetaraan posisi negara dalam berinteraksi. Terakhir, syarat yang kelima, EU harus mempunyai struktur independen yang tetap stabil dan tidak berubah-ubah. Jika memenuhi lima kondisi variabel independen tersebut, berarti EU dapat dikatakan sebagai institusi internasional mempunyai pengaruh efektif terhadap tingkah laku negara. Varibel dependen, yaitu efektivitas EU dalam membentuk tingkah laku negara anggota wilayah Eurozone, dilihat dari perubahan tingkat utang dan defisit negara-negara anggota Eurozone. Kategori variabel dependen akan terbagi menjadi dua, yaitu efektif dan tidak efektif. Jika efektif, maka EU dapat mempengaruhi kebijakan ekonomi negara anggota Eurozone sehingga tingkat utang negara-negara anggota Eurozone akan stabil pada kisaran 60% dari GDP, dan defisitnya stabil pada kisaran 3% dari GDP. Jika tidak efektif, maka tidak ada perubahan kebijakan ekonomi di negara anggota Eurozone dan terdapat fluktuasi tingkat utang dan defisit yang tidak sesuai dengan batas kestabilan yang sudah ditentukan. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode studi literatur terhadap data primer dan data sekunder. Data primer merupakan datadata yang didapatkan dari dokumen resmi EU, seperti misalnya laporan pelaksanaan pengaturan EMU, data mengenai tingkat defisit dan tingkat utang negara, serta berbagai macam treaty yang relevan. Data sekunder akan didapatkan dari dokumen lain, seperti misalnya buku, jurnal dan artikel ilmiah yang berhubungan dengan fokus penelitian ini.
Hasil Penelitian EU tidak memenuhi lima elemen variabel independen yang menjadi syarat bagi institusi internasional untuk mempunyai efek independen terhadap tingkah laku negara-negara anggotanya. Kegagalan pemenuhan lima variabel ini menghasilkan kebijakan ekonomi negara-negara anggota Eurozone yang tidak sesuai untuk memenuhi ketentuan kestabilan ekonomi dan moneter dalam EMU. Kondisi ini ditunjukkan dalam kondisi tingkat utang dan defisit beberapa negara anggota Eurozone, khususnya Yunani, Irlandia, Italia, Portugal, dan Spanyol, yang hampir secara konstan melanggar batas yang diperbolehkan dalam EMU pada periode 2002-2012. Pelanggaran ketentuan EMU oleh beberapa negara ini diterima oleh pandangan mayoritas dalam penelitian ekonomi sebagai penyebab terjadinya krisis ekonomi di Eurozone. Tetapi sebenarnya pelanggaran ketentuan EMU oleh Yunani, Irlandia, Italia, Portugal, dan Spanyol ini juga dipengaruhi oleh kinerja EU dalam menegakkan peraturan EMU di negara-negara tersebut. Sebagai institusi internasional yang menaungi negara-negara
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
10
tersebut, EU seharusnya dapat memfasilitasi perubahan kebijakan ekonomi untuk memenuhi peraturan EMU. Tetapi hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa EU tidak secara efektif memfasilitasi perubahan kebijakan ekonomi negara-negara anggota Eurozone untuk memenuhi ketentuan EMU sehingga pelanggaran tingkat utang dan defisit yang memicu krisis ekonomi dapat terjadi. EU tidak efektif membuat negara-negara anggota Eurozone menaati ketentuan EMU karena tidak memenuhi lima variabel berdasarkan teori efek independen institusi internasional. Dari variabel pertama, EU tidak mempunyai kepentingan independen dalam EMU yang merepresentasikan kepentingan bersama seluruh negara anggota Eurozone. Kegagalan pemenuhan indikator yang pertama ini dapat terjadi karena proses negosiasi perancangan ketentuan EMU gagal membentuk konvergensi kepentingan dan preferensi seluruh negara negara-negara anggota. Hal ini menyebabkan peraturan dan norma EMU yang disepakati dalam Maastricht Treaty didasarkan oleh kepentingan dan preferensi beberapa negara anggota yang dominan, yaitu Jerman dan Perancis. Dengan kata lain, EU tidak mempunyai kepentingan independen dalam EMU yang dapat dipromosikan sebagai landasan norma, peraturan, dan prosedur pengambilan kebijakan dalam pelaksanaan EMU. Oleh karena itu, EU tidak dapat secara efektif membuat negara-negara anggota Eurozone menaati ketentuan EMU karena peraturan EMU tidak dilandaskan representasi kepentingan seluruh negara anggota yang merupakan motif penting penentu tingkah laku negara. Dalam pemenuhan variabel yang kedua, EU tidak dapat secara efektif mempengaruhi tingkah laku negara-negara anggota Eurozone karena tidak dapat menghilangkan ketidakjelasan masa depan yang diakibatkan oleh terjebaknya pelaksanaan peraturan EU dalam dinamika kontelasi hubungan power dan kepentingan negara-negara anggotanya. Hal ini menyebabkan perancangan dan pelaksanaan peraturan EMU lebih ditentukan oleh hubungan power relatif negara-negara anggota Eurozone daripada tujuan ideal pembentukan EMU sendiri. Pelaksanaan EMU yang dipengaruhi oleh kondisi distribusi power dan kepentingan tersebut dapat terjadi karena negara-negara anggota Eurozone mempunyai hubungan interdependensi ekonomi yang tidak seimbang. Menurut Moravcsik, kondisi tersebut disebut sebagai hubungan interdependen asimetris (asymmetrical interdependen).29 Dalam hubungan interdependen asimetris, negara-negara dengan pengaruh ekonomi lebih lemah yang juga disebut sebagai negara periferi, dapat terjadi karena adanya pembatasan (constraints) dari faktor kondisi hubungan ekonomi di lingkungan internasional dan 29
Andrew Moravcsik, The Choice for Europe: Social Purpose and State Power from Messina to Maastricht (New York: Cornell University Press, 1998), 472.
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
11
keputusan negara-negara yang lebih kuat (powerful).30 Pembatasan tersebut semakin menyulitkan posisi negara-negara periferi dalam menyeimbangi pengaruh negara-negara core, baik dalam membentuk peraturan institusi yang lebih sesuai dengan kapasitas dan preferensi mereka dan dalam usaha mereka untuk meningkatkan kapasitas ekonominya. Masalah ini menyebabkan tingkah laku negara-negara anggota Eurozone tetap unpredictable karena EU gagal membentuk patterned behavior sesuai dengan preskripsi peraturan dalam EMU. Akibatnya, EU tidak dapat memberikan kejelasan masa depan berupa kestabilan kondisi ekonomi dan moneter dalam pelaksanaan EMU, yang kemudian dibuktikan dengan terjadinya krisis Eurozone pada tahun 2009. Untuk variabel yang ketiga, EU juga masih gagal menjadi institusi internasional yang independen dan efektif karena tidak memberikan hasil keuntungan ekonomi yang menjadi tujuan pembentukan EMU. Karena terbukti tidak menguntungkan, pelaksanaan EMU akhirnya tidak didasarkan oleh peraturan yang ada dalam EMU. Akibatnya, mekanisme preventive arm dan corrective arm, yang merupakan mekanisme collective enforcement, yang dilakukan oleh European Commission tidak berhasil mencegah dan memperbaiki pelanggaran tingkat utang dan defisit masih tetap terjadi sepanjang tahun 2002-2009.
Kegagalan
penerapan mekanisme collective enforcement ini menyebabkan kegagalan internalisasi peraturan dan norma EMU dalam negara-negara anggota Eurozone. Inilah mengapa kebijakan ekonomi negara-negara anggota Eurozone tetap dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan politik domestiknya, yang menyebabkan pelanggaran karena warga negara sebagai konstituennya tidak mendukung EMU dan cenderung pragmatis untuk menjamin kesejahteraan ekonomi dan sosialnya.31 EP yang selama ini dianggap sebagai badan penjamin legitimasi demokrasi EU dalam menjalankan berbagai peraturannya, termasuk EMU, ternyata tidak berhasil membuat EU lebih dekat dengan masyarakatnya.32 Masalah tersebut membuat EU semakin sulit untuk mengharmonisasi tingkah laku negara-negara anggota Eurozone dalam menaati ketentuan EMU pada periode 2002-2012 untuk mencapai tujuan pembentukan EMU. Dalam pemenuhan variabel yang keempat, EU juga masih tidak berhasil memfasilitasi hubungan pengaruh politik dan kapasitas ekonomi yang setara antara negara-negara anggota Eurozone dalam perancangan dan pelaksanaan EMU. Ini dapat terjadi karena EU tidak mempunyai standarisasi peraturan yang memberikan perlakuan yang sama bagi negara-negara
30
Robert Keohane, “The Demand for International Regimes,” International Organization, 36, no. 2 (1982), 146. Carlos Mulas-Granados, Economics, Politics and Budgets-The Political Economy of Fiscal Consolidations in Europe (New York: Palgrave Macmillan, 2006), 10. 32 --, “Briefing the European Parliament-Elected, yet Strangely Unaccountable,” dalam The Economist edisi 1723 Mei 2014, 20. 31
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
12
anggota Eurozone. Perancangan dan pelaksanaan EMU masih didasarkan oleh prosedur dalam EU yang membedakan posisi pengaruh politik berdasarkan keberagaman kondisi negaranegara anggota Eurozone. Dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan EMU di European Parliament dan European Council, masalah ketidaksetaraan posisi pengaruh negara-negara anggota direfleksikan dalam peraturan pembedaaan proporsi kursi dan berat suara antara negara-negara anggota yang ditentukan oleh besar populasi, performa ekonomi, serta pertimbangan politik lainnya. Dengan mekanisme qualified majority negara yang mempunyai suara tinggi, seperti Jerman, Perancis, dan Inggris, dapat mempengaruhi hasil keputusan dengan signifikan karena sudah mempunyai proporsi suara dan populasi yang cukup besar.33 Dana struktural yang ditujukan untuk menciptakan kesetaraan kapasitas ekonomi juga gagal diterapkan secara maksimal karena jumlahnya yang masih terlalu kecil, hanya sekitar 2-4% dari gabungan anggaran nasional seluruh negara-negara anggota,34 dan masalah manajemen penggunaan dana struktural di tingkat regional dan nasional yang masih dipengaruhi oleh kondisi politik negara-negara anggota Eurozone. Kegagalan dana struktural tersebut menyebabkan negara-negara periferi tetap mempunyai kemampuan ekonomi yang terbatas dalam melaksanakan EMU. Kondisi ini menyebabkan prinsip reciprocity gagal terwujud karena tidak semua negara anggota Eurozone dapat menerapkan kebijakan ekonomi yang sama sesuai ketentuan EMU. EU juga masih belum memenuhi variabel yang kelima, yaitu struktur institusi yang independen dan ajeg, karena struktur EU masih fleksibel untuk diubah-ubah berdasarkan preferensi negara anggotanya. Fleksibilitas struktur EU tersebut dapat terjadi karena proses intergovernmental yang memperkuat pengaruh negara anggota masih mendominasi penentuan rancangan dan pelaksanaan peraturan EU. Dominasi proses intergovernmental ini menyebabkan perubahan atau pembentukan dan pelaksanaan dalam EU, khususnya EMU, bergantung pada inisiasi dan dukungan negara-negara anggota karena EU lebih merupakan institusi dengan karakter pooling of sovereignty, bukan transfer of sovereignty akibat absennya badan supranasional yang dapat memulai perubahan dan merepresentasikan seluruh negara-negara anggota Eurozone.35 Hal ini juga berhubungan dengan prinsip free market yang menjadi penuntun ekonomi dasar bagi perancangan dan pelaksanaan ketentuan EMU, yang
33
Professor Klaus-Dieter Borchardt, The ABC of European Union Law (Brussels: European Union, 2010), 60. European Commission, Financial Regulation (Luxembourg: Publications Office of the European Union, 2014). 35 Neill Nugent, The Government and Politics of the European Union – 7th Edition (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 89. 34
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
13
lebih menekankan kompetisi dan individualisme bukan solidaritas.36 Akibatnya EU tidak memiliki efek independen sebagai institusi internasional yang menjadi focal point referensi peraturan dan tingkah laku negara-negara anggotanya. Kelima faktor tersebut menyebabkan ketidakefektifan EU dalam membuat negaranegara anggota Eurozone menaati ketentuan EMU pada periode 2002-2012
Pembahasan Penemuan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa setiap variabel dalam teori efek independen institusi internasional tidak berdiri masing-masing secara paralel, melainkan mempunyai keterhubungan satu sama lain. Variabel yang menentukan efektivitas EU dalam membuat negara-negara anggota Eurozone menaati ketentuan EMU saling mempengaruhi satu sama lain dan berkontribusi terhadap kinerja EU secara keseluruhan. Keterhubungan antara variabel yang ditemukan dalam penelitian ini juga membentuk pola hubungan kausal yang menjelaskan bagaimana variabel yang satu dapat mempengaruhi terjadinya variabel lainnya, sehingga berpengaruh terhadap efektivitas EU dalam membentuk tingkah laku negara-negara anggota Eurozone dalam pelaksanaan EMU. Masalah mendasar yang menyebabkan ketidakefektifan EU dalam membuat negaranegara anggota Eurozone menaati ketentuan EMU pada periode 2002-2012 adalah hubungan antara negara anggota yang tidak setara. Kondisi hubungan antara negara anggota Eurozone yang tidak setara, baik dalam pengaruh politik dan kapasitas ekonomi ini menyebabkan terjadinya dua masalah lain. Masalah pertama adalah terjadinya dominasi beberapa negara anggota yang mempunyai pengaruh politik dan ekonomi yang lebih kuat dalam perancangan dan pelaksanaan EMU. Dominasi beberapa negara kuat ini menyebabkan EU tidak mempunyai kepentingan independen yang merepresentasikan kepentingan bersama karena konvergensi seluruh kepentingan dan preferensi negara-negara anggota Eurozone tidak terjadi. Akibatnya, peraturan EMU yang terbentuk hanya merepresentasikan kepentingan dan preferensi negara-negara yang lebih kuat, sehingga sulit bagi negara lain untuk menyesuaikan diri dan mengikuti peraturan EMU. Masalah kedua yang ditimbulkan dari posisi negara-negara yang tidak setara adalah terjebaknya EU dalam konstelasi power dan kepentingan negara-negara anggotanya yang menyebabkan EU tidak bisa memberikan kejelasan masa depan. Ketidakjelasan masa depan 36
Philip Whyman dan Mark Baimbridge, “Fiscal Federalism and EMU: An Appraisal,” dalam Mark Baimbridge dan Philip Whyman (ed.), Fiscal Federalism and European Economic Integration, (London: Routledge, 2004), 1-3.
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
14
tersebut dapat terjadi karena tingkah laku negara-negara anggota pada akhirnya tetap ditentukan oleh hubungan konstelasi power dan kepentingan sebelum institusi terbentuk, bukan mengarah pada pola tingkah laku yang didasarkan oleh peraturan dalam EMU. Karena tidak tertata (patterned) berdasarkan definisi yang lebih pasti, maka tingkah laku negara menjadi tidak predictable, sehingga masa depan pelaksanaan EMU menjadi tidak jelas. Dua masalah tersebut menyebabkan terjadinya masalah lain yang menyebabkan ketidakefektifan EU, yaitu struktur EU yang tidak independen. Karena tidak mempunyai kepentingan independen yang merepresentasikan kepentingan bersama dan masih terjebak dalam hubungan konstelasi power dan kepentingan negara anggota yang berubah-ubah, EU akhirnya tidak mempunyai badan supranasional independen dan ajeg dalam struktur institusionalnya. Lemahnya badan supranasional yang tidak dapat berfungsi secara independen dalam EU ini menyebabkan dominasi proses intergovernmental, yang kemudian kembali menyebabkan dominasi beberapa negara anggota dan terjebaknya EU dalam konstelasi power dan kepentingan karena tidak didasarkan oleh hubungan negara anggota yang setara. Hal ini dapat terjadi karena berdasarkan penjelasan rational instutionalist, setiap aktor dalam institusi akan mempertahankan kondisi yang sesuai dengan kepentingan dan preferensinya.37 Seluruh masalah dalam struktur institusional EU tersebut pada akhirnya menyebabkan EU tidak dapat memberikan jaminan hasil yang sesuai tujuan yang diharapkan oleh negaranegara anggota Eurozone dalam pelaksanaan EMU. Kondisi pengaruh politik dan kapasitas ekonomi negara-negara anggota Eurozone yang tidak setara menyebabkan penerapan EMU mempunyai dampak yang berbeda di masing-masing negara tersebut. Sementara beberapa negara mendapatkan keuntungan dan dapat mencapai tujuan ekonominya, negara-negara lain dengan kondisi kapasitas ekonomi yang berbeda mengalami kerugian sehingga sulit untuk mencapai tujuan ekonomi. Kegagalan pencapaian tujuan tersebut membuat prospektif keuntungan dari pelaksanaan EMU berkurang sehingga sehingga negara-negara anggota yang mengalami kerugian akan kembali mencari strategi ekonomi sendiri yang lebih cocok untuk mencapai tujuannya dan memberikan kesejahteraan bagi warga negara sebagai konstituennya. Inilah mengapa mekanisme preventive arm dan corrective arm yang direkomendasikan European Commission sebagai collective enforcement untuk menegakkan peraturan EMU akhirnya tidak diterapkan secara maksimal oleh beberapa pemerintah negara anggota Eurozone, sehingga kemudian terjadi pelanggaran tingkat utang dan defisit yang sulit 37
Ben Rosamond, “New Theories of European Integration,” dalam European Union Politics, ed. Michelle Cini dan Nieves Borragan (New York: Oxford University Press, 2003), 111.
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
15
diselesaikan. Secara garis besar, keterhubungan antara variabel yang mempengaruhi efektivitas EU dalam pelaksanaan EMU dapat digambarkan dalam gambar 3. Hubungan tersebut berbeda dengan preskripsi dalam kerangka pemikiran yang menempatkan setiap elemen dalam variabel independen berdiri sendiri secara paralel tanpa hubungan yang jelas.
Hubungan Elemen-Elemen Variabel Independen Posisi politik dan kapasitas ekonomi negara-negara anggota yang tidak setara
Kegagalan pembentukan kepentingan independen EU karena dominasi beberapa negara
Ketidakjelasan masa depan EMU karena terjebak dalam konstelasi power dan kepentingan negara anggota
EU tidak mempunyai struktur supranasional yang independen dan ajeg
EU tidak dapat memberikan jaminan hasil sesuai tujuan EMU
Hubungan Elemen Variabel Dependen yang Dihasilkan EU tidak efektif membuat negara-negara anggota wilayah euro menaati EMU
Tingkat defisit dan utang negaranegara anggota wilayah euro melanggar ketentuan EMU Gambar 3. Hubungan antar Variabel dalam Mempengaruhi Efektivitas EU melaksanakan EMU (2002-2012)
Secara lebih umum, refleksi dari penemuan dalam penelitian terhadap ketidakefektifan EU dalam membentuk kebijakan ekonomi negara anggota Eurozone ini juga menunjukkan tiga hal penting yang berkaitan dengan penelitian-penelitian sebelumnya mengenai EU sebagai institusi internasional dan EMU. Pertama, hasil penemuan yang menunjukkan bahwa EU masih bukan merupakan institusi internasional yang efektif karena tidak memenuhi lima
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
16
variabel yang didefinisikan dalam kerangka pemikiran, mengindikasikan afirmasi terhadap paradigma realis institusionalis dalam ilmu Hubungan Internasional. Paradigma realis institusionalis mengakui pentingnya keberadaan institusi internasional, namun melihat bahwa institusi internasional tersebut masih dikontrol atau endogen terhadap struktur internasional dan negara anggotanya. Namun, EU sebagai institusi internasional tetap tidak kehilangan relevansinya karena tetap dipertahankan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan negara anggotanya. Kedua, hasil penemuan juga menunjukkan bahwa pelaksanaan EMU dalam EU hingga terjadinya krisis euro tahun 2012, masih mempunyai salah satu fokus utama yang sama, yaitu masalah sentralisasi fiskal dan moneter. Kebijakan fiskal dan moneter yang masih saling tumpang tindih antara badan supranasional EU dengan pemerintah negara anggota, menjadi salah satu masalah ekonomi-politik yang menjadi fokus hingga krisis euro. Penemuan ini mengindikasikan afirmasi terhadap penemuan penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa pelaksanaan EMU dalam EU tidak sesuai dengan prinsip OCA atau federalisme fiskal, yang sebenarnya penting bagi efisiensi ekonomi penggunaan mata uang bersama. Pertimbangan efisiensi ekonomi ini masih kalah dominan dengan pertimbangan politik negara-negara anggota yang merancang dan melaksanakan EMU. Hal ketiga yang juga penting dengan kaitan penelitian sebelumnya adalah bahwa pelaksanaan peraturan dalam EU, khususnya EMU, cenderung lebih mengutamakan legitimasi politik dibandingkan dengan efektivitas pelaksanaan peraturannya. Pertimbangan legitimasi yang cenderung lebih mengutamakan perspektif politik ini terutama terlihat dari keputusan-keputusan dalam pelaksanaan EMU, khususnya dalam periode krisis euro, yang lebih berfokus pada pemenuhan legitimasi demokrasi untuk warga negara. Hal ini kembali merefleksikan penemuan dalam penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa EU masih menghadapi masalah legitimasi politik, sehingga penekanan utama dalam perancangan dan pelaksanaan peraturan-peraturan di dalamnya, termasuk EMU, adalah peningkatan legitimasi bagi warga negaranya, bukan efektivitas dari pelaksanaan EMU sendiri.
Kesimpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa EU tidak efektif dalam membuat negara-negara anggota Eurozone menaati ketentuan EMU pada periode 2002-2012 karena mempunyai masalah endogeneity dalam perancangan dan pelaksanaannya. Masalah endogeneity EU ini disebabkan oleh lima faktor, yaitu EU tidak mempunyai kepentingan independen dalam EMU yang merepresentasikan seluruh negara anggota, EU tidak dapat menghilangkan
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
17
ketidakjelasan masa depan dalam pelaksanaan EMU, EU tidak memberikan hasil kesejahteraan ekonomi yang diharapkan dari EMU, EU tidak dapat memfasilitasi hubungan pengaruh politik dan kapasitas ekonomi yang setara dalam pelaksanaan EMU, dan EU tidak mempunyai struktur institusi yang independen dan ajeg untuk pelaksanaan EMU. Kegagalan EU untuk memenuhi kelima variabel yang dipreskripsikan dalam teori efek independen institusi internasional tersebut menunjukkan bahwa EU masih mempunyai masalah endogeneity karena perancangan dan pelaksanaan ketentuan EMU masih ditentukan oleh negara-negara anggota, bukan secara independen oleh pengaruh badan supranasional yang mewakili EU. Masalah endogeneity ini menyebabkan badan supranasional dalam EU, yaitu European Commission dan EP yang seharusnya dapat mendukung perancangan dan pelaksanaan peraturan EMU sebagai tujuan bersama seluruh negara dan masyarakat Eropa, tidak dapat menjalankan fungsi secara independen. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kelima faktor yang melemahkan efektivitas EU sebagai institusi internasional mempunyai hubungan keterkaitan satu sama lain, tidak berdiri secara paralel. Masalah dari ketidakefektifan EU dalam penerapan EMU ini adalah kondisi pengaruh politik dan kapasitas ekonomi negara-negara anggota Eurozone yang tidak setara, sehingga mengakibatkan perancangan dan pelaksanaan EMU terjebak dalam dominasi beberapa negara yang mempunyai power politik dan ekonomi yang lebih besar, sesuai dengan kondisi struktur hubungan internasional sebelum EU terbentuk. Inilah mengapa kemudian sulit
mengembangkan
struktur
supranasional
yang
independen
dan
stabil
untuk
merepresentasikan EU sebagai badan yang otonom karena perancangan dan pelaksanaan peraturan EMU masih sangat ditentukan negara anggota. Akibatnya, promosi tujuan atau hasil yang diharapkan dari pembentukan EMU sulit untuk dicapai, sehingga semakin melemahkan kredibilitas dan legitimasi EU sebagai institusi internasional. Jika dihubungkan dengan perkembangan kajian institusi internasional dalam ilmu Hubungan Internasional, hasil penemuan yang menunjukkan bahwa EU masih bukan merupakan institusi internasional yang efektif karena masih mempunyai masalah endogeneity, mengindikasikan afirmasi terhadap paradigma realis institusionalis dalam ilmu Hubungan Internasional. Meskipun masih dikontrol atau endogen terhadap struktur internasional dan negara anggotanya, EU masih relevan sebagai institusi internasional karena tetap dipertahankan dan dikembangkan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di dalamnya. Dari perspektif ekonomi-politik, penemuan dalam penelitian ini juga mengafirmasi signifikansi masalah sentralisasi fiskal dan moneter dalam perkembangan integrasi ekonomi dan moneter EU. Pertimbangan efisiensi ekonomi yang mengedepankan mekanisme
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
18
sentralisasi moneter dan fiskal yang terpusat, masih kalah dominan dengan pertimbangan politik negara-negara anggota untuk mempertahankan kedaulatan dan pengaruh politiknya. Selain itu, penemuan dalam penelitian ini merefleksikan kembali masalah legitimasi politik EU, yang sudah menjadi kritik dari penelitian-penelitian sebelumnya. Masalah legitimasi politik ini menyebabkan perancangan dan pelaksanaan peraturan dalam kerangka EU, khususnya EMU, masih cenderung menekankan upaya untuk memperkuat legitimasi politik daripada efektivitas dari pelaksanaan peraturan dalam EU. Kurangnya perhatian terhadap efektivitas pelaksanaan peraturan EMU dalam kerangka EU ini kembali berkontribusi terhadap masalah ketidakefektifan EU dalam membentuk kebijakan ekonomi negara-negara anggota Eurozone untuk menaati ketentuan EMU pada periode 2002-2012. Kegagalan EU dalam menegakkan peraturan EMU ini dapat dikatakan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pelanggaran tingkat utang dan tingkat defisit di beberapa negara anggota Eurozone, sehingga krisis ekonomi di Eurozone dapat terjadi.
Saran Hasil penelitian ini menjadi dasar rekomendasi bagi pengembangan penelitian dan penerapan kebijakan praktis yang berhubungan dengan institusi internasional. Untuk pengembangan penelitian, rekomendasi berdasarkan penelitian ini didasarkan oleh dua keterbatasan teknis untuk mengembangkan teori dan kajian ilmu Hubungan Internasional. Pertama, penelitian ini mempunyai keterbatasan dalam lingkup bahasan karena secara spesifik hanya berfokus pada masalah efektivitas EU dalam membuat negara-negara anggota Eurozone menaati ketentuan EMU pada periode 2002-2012. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk generalisasi dan pengembangan teori jika terdapat penelitian lebih lanjut yang didasarkan dengan model analisis yang sama dan mengkonfirmasi hasil penelitian ini dengan objek penelitian bidang kerja sama yang berbeda dalam EU, atau institusi internasional lain yang berbeda dengan EU. Kedua, penelitian ini juga mempunyai keterbatasan teknis dalam proses penelitian karena hanya didasarkan oleh data dari sumber sekunder berupa dokumen legal dan data-data dari EU, yang juga didukung oleh data dari berbagai literatur. Direkomendasikan agar penelitian selanjutnya dengan tema yang sama untuk melakukan studi lapangan langsung dengan mewawancarai pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan EMU, baik dalam level institusinal EU maupun dari pihak negara-negara anggota Eurozone, atau observasi langsung kondisi kebijakan ekonomi negara-negara anggota Eurozone. Dengan data yang komprehensif
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
19
dan mutakhir, diharapkan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih menyeluruh dan meyakinkan untuk mengembangkan teori dan kajian institusi internasional. Untuk penerapan kebijakan praktis, penelitian ini merekomendasikan agar pengembangan institusi internasional lainnya, khususnya ASEAN yang mempunyai karakter mirip dengan EU, tidak mengulang kesalahan yang dialami oleh EU dalam pengembangan dan pelaksanaan EMU. Pengembangan peraturan dalam institusi internasional yang melibatkan negara-negara dengan kondisi ekonomi dan politik yang berbeda, harus lebih memperhatikan fungsi badan supranasional untuk menjamin representasi seluruh kepentingan dan preferensi negara-negara anggota dalam hasil kesepakatan. Selain itu, posisi politik dan kapasitas setiap negara anggota harus disetarakan agar pelaksanaan peraturan dapat dilakukan secara maksimal oleh seluruh pihak tanpa menimbulkan masalah yang baru. Rekomendasi praktis tersebut relevan untuk ASEAN yang sedang mengembangkan integrasi ekonominya dengan membentuk komunitas ekonomi internal di wilayah Asia Tenggara. Agar benar-benar dapat berfungsi secara efektif, ada baiknya jika perancangan peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan komunitas ekonomi ASEAN lebih memperhatikan keseimbangan representasi seluruh kepentingan dan preferensi negara-negara anggotanya. ASEAN juga harus dapat menjamin pelaksanaan mekanisme supranasional yang dapat menyetarakan kapasitas seluruh negara anggota dalam mengimplementasikan peraturan komunitas ekonominya, sehingga perwujudan tujuan komunitas ekonomi tidak memberatkan atau merugikan negara-negara yang masih lemah. Indonesia sebagai salah satu negara yang aktif dalam keanggotaan institusi internasional,
terutama
ASEAN,
harus
memperhatikan
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi efektivitas institusi internasional agar dapat menghindari kerugian dari keanggotaannya dalam institusi internasional. Indonesia harus menjamin agar kepentingan dan preferensinya terepresentasi dalam peraturan dan pelaksanaan kerja sama institusi agar dapat mencapai keuntungan yang sesuai kebutuhan nasional. Di sisi lain, Indonesia juga harus menyesuaikan diri dengan peraturan yang sudah disepakati dalam institusi internasional agar tidak merugikan negara-negara lain.
Daftar Referensi Blankenburg, Stephanie, Lawrence King, et.all. (2013). “Prospect for the Eurozone” Cambridge Journal of Economics, 37, 463-477. Borchardt, Professor Klaus-Dieter. (2010). The ABC of European Union Law. Brussels: European Union. Cini, Michelle, dan Nieves Borragan. (2003). European Union Politcs. New York: Oxford University Press.
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014
20 European Commission. (2012). The European Union Explained: Economic and Monetary Union and the Euro. Luxembourg: Publications Office of the European Union. European Commission. (2014). Financial Regulation. Luxembourg: Publications Office of the European Union. Eurostat-European Commission. (2013). Taxation Trends in the European Union-Data for the EU Member States, Iceland and Norway. Luxembourg: Publications Office of the European Union. European Union, “ (1992). Treaty on Functioning of European Union (TFEU).” Diakses pada 29 Juli 2013. http://eur-lex.europa.eu/resource.html?uri=cellar:ccccda77-8ac2-4a25-8e66a5827ecd3459.0010.02/DOC_1&format=PDF. European Commission. “Excessive Debt Procedure – Greece.” (2013). Diakses dari ec.Europa.eu/economy_finance/economic_governance/sgp/deficit/countries/Greece_en.htm pada tanggal 1 Oktober 2013. European Commission. “Excessive Debt Procedure – Portugal.” (2013). Diakses dari ec.Europa.eu/economy_finance/economic_governance/sgp/deficit/countries/Portugal_en.htm pada tanggal 1 Oktober 2013. European Commission. “Excessive Debt Procedure – Italy.” (2013). Diakses dari ec.Europa.eu/economy_finance/economic_governance/sgp/deficit/countries/Italy_en.htm pada tanggal 1 Oktober 2013. Yle. “Finland‟s Bailout Payments Ease as Euro Crisis Passes Peak.” (2014). Diakses dari http://yle.fi/uutiset/finlands_bailout_payments_ease_as_Euro_crisis_passes_peak/7028807 pada tanggal 1 Januari 2014. George, Alexander dan Andrew Bennett. (2005). Case Studies and Theory Development – The Social Sciences. Cambridge: MIT Press. Keohane, Robert O. (2007). “International Institutions: Can Interdependence Work?” Dalam International Politics – Enduring Concepts and Contemporary Issues (8 th Edition), diedit oleh Robert J. Art dan Robert Jervis, 119-126. USA: Pearson Education, Inc. Keohane, Robert O. (1982). “The Demand for International Regimes.” International Organization, 36, no. 2, 325-355. Keohane, Robert O., dan Lisa Martin. (20013). “Institutional Theory as a Research Program.” Dalam C. Elman dan M. Elman (ed.). Progress in International relations Theory: Appraising the Field. Cambridge: MIT Press. Knutsen,Torbjörn L. (1992). A History of International Relations Theory. UK: Manchester University Press. Krasner, Stephen D. (1983). “Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables.” Dalam Stephen D. Krasner (ed.). International Regimes. Ithaca: Cornell University Press. Mitchell, Ronald B. (2009). “The Influence of Internasional Institutions – Institutional Design, Compliance, Effectiveness, and Endogenity.” Dalam Helen V. Milner dan Andrew Moravcsik (ed.). Power, Interdependence, and Nonstate Actors in World Politics.New Jersey: Princeton University Press. Moravcsik, Andrew. (1998). The Choice for Europe: Social Purpose and State Power from Messina to Maastricht. Cornell University Press: New York. 1998. Mulas-Granados, Carlos. (2006). Economics, Politics and Budgets-The Political Economy of Fiscal Consolidations in Europe. New York: Palgrave Macmillan. Nugent, Neill. (2010). The Government and Politics of the European Union – 7th Edition. New York: Palgrave Macmillan. Nye, Jr., Joseph S. (2009). Understanding International Conflicts – An Introduction to Theory and History (7 th Edition). USA: Pearson Longman. Odell, John S. (2004). “Case Study Methods in International Political Economy.” Dalam Detlef F. Sprinz dan Yael Wolinsky (ed.). Cases, Numbers, Models: International Relations Research Methods. USA: The University of Michigan Press. Rosamond, Ben. (2003). “New Theories of European Integration.” Dalam Michelle Cini dan Nieves Borragan (ed.). European Union Politics. New York: Oxford University Press. Strange, Susan. (1997). Casino Capitalism. UK: Manchester University Press. Whyman, Philip dan Mark Baimbridge. (2004). “Fiscal Federalism and EMU: An Appraisal.” Dalam Mark Baimbridge dan Philip Whyman (ed.). Fiscal Federalism and European Economic Integration. London: Routledge. --. (2014). “Briefing The European Parliament – Elected, yet Strangely Unaccountable,” dalam The Economist, edisi 17-23 Mei 2014.
Universitas Indonesia
Efektivitas European..., Hana Hanifah, FISIP UI, 2014