EFEKTIFITAS PERLINDUNGAN PATEN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 Farah Liza Adnan, SH, MH Dosen Tetap Fakultas Hukum Usahid Jakarta Abstract The regulation of intellectual property rights especially in paten right had been already changed many times. The first Act was called Octroii Wet that was published on the Netherlands East Indies official gazatte (No. 313/1910). This Act was drawn by the Paten Act (No. 13/1997), which was about the changging of the Act (14/2001). In fact, this Act itself has handicape to be implemented particularly in protecting the ploson who has patens right. Key words: Intellectual, property, protecting, efektivity. A. PENGANTAR Pasal II aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 adalah pasal yang terpenting. Peraturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, KUH Dagang, KUH Pidana, Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie, Indische Staatsregeling dan berbagai peraturan lainnya yang tersebar dalam bentuk parsial yang berasal dari masa sebelum proklamasi masih tetap diberlakukan. Demikianlah semua badan-badan negara, termasuk institusi peradilan terus dilanjutkan fungsi dan peranannya untuk mengisi kekosongan kelembagaan sampai terbentuknya lembaga baru yang sesuai dengan jiwa dan semangat kemerdekaan. Setelah mengalami waktu yang panjang maka berangsur-angsur isi dari Kitab Undangundang Hukum Perdata (KUHPer) dan peraturan perundangundangan lainnya itu dinyatakan dicabut. Sebagai contoh dapat dikemukakan Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dinyatakan tidak berlaku setelah dikeluarkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, dan dilengkapi pencabutannya dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang juga mencabut peraturan tentang hipotek dan credit verband. Demikian juga mengenai peraturan lain yang dimuat di luar KUHPer seperti Auterswet Stb. Nomor 600 Tahun 1912 dinyatakan tidak berlaku setelah keluarnya Undang-undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta; Octrooi Wet yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1910 Nomor 313 dicabut melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (LN RI, 1989: 39), kemudian secara berturut-turut direvisi melalui Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 6 tahun 989 tentang Paten (LN RI, 1997 : 30, dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (LN RI, 2001: 109); kemudian Reglement Industriele Eigendom yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1912 Nomor 545 yang digantikan dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (LN RI, 1961: 290), kemudian berturut-turut direvisi melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (LN RI, 1992: 81), kemudian diganti lagi dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek (LN RI, 1997: 31) dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (OK Saidin, 1995: 3).
Undang-Undang ini ternyata mengalami banyak hambatan dalam pelaksanaannya, dan pada saat yang sama tantangan untuk menggantikan hukum kolonial dengan hukum Indonesia belum selesai, timbul pula tantangan baru. Tantangan tersebut adalah bahwa undang-undang produk Indonesia merdeka yang semula dimaksudkan untuk menggantikan hukum kolonial ternyata belum siap untuk menjawab problem hukum dalam masyarakat Indonesia. Untuk kasus ini sebut saja misalnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (LN RI, 1982: 15) yang merupakan produk hukum negara Republik Indonesia yang baru saja berusia lima tahun (pada saat harus direvisi) dengan berbagai pertimbangan, terpaksa harus direvisi. Hal ini disebabkan ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan tuntutan hukum masyarakat Indonesia dan masyarakat Internasional yaitu antara lain, adalah misalnya dibidang Hak Cipta dengan adanya desakan Amerika serikat terhadap Indonesia untuk melindungi Hak Cipta Warga Negara Asing, setelah kasus pembajakan lagu-lagu milik warga negara AS (Bob Geldoff dan Madonna ketika itu) dibajak oleh penrsahaan/produser rekaman Indonesia. Disamping itu digelarnya berbagai persidangan diluar negeri (Amerika Serikat) dengan tersangkanya warga negara Indonesia (Antony) yang melakukan pembajakan atas karya cipta milik warga negara AS. Sederetan kasus pelanggaran Hak Cipta pads periode 1980-1986 begitu marak yang membuat Pemerintah Amerika Serikat menjadi berang dan mendesak Ronald Reagan (Presiden AS ketika itu) rnengadakan pembicaraan empat mata dengan Soeharto (Presiden RI ketika itu) di hotel Nusa Dua Bali, yang akhirnya Presiden memberi keputusan untuk membentuk tim penyempurnaan Undang-undang Hak Cipta 1982 dan lahirlah Undangundang Nomor 7 Tahun 1987 (LN RI, 1987: 42. id. h. 4). Keputusan tersebut dituangkan kedalam Keppres Nomor 34 Tahun 1986 tentang pembentukan tim kerja yang pada waktu itu diketuai oleh Murdiono selaku Menteri Sekretaris Kabinet. Setelah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 ini juga dirasa tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat, yang lagi-lagi atas desakan masyarakat internasional yang pada saat Indonesia tidak dapat menghindarkan din untuk turut meratifikasi GATT 1994/WTO hasil putaran Uruguay di Marakesh bulan April 1994 yang antara lain memuat tentang persetujuan Trade Related Aspects of Intelectual Property Right/TRIPs (LN RI, 1987: 42. id. h. 5). Indonesia telah meratifikasi kesepakatan GATT 1994/WTO ini melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the world Trade Organization/ persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia (LN RI, 1994: 57). Terakhir Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 ini juga dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (LN RI, 2002: 85). Bidang Hak Kekayaan Intelektual lainnya yaitu Paten juga memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan bangsa, industri dan perdagangan internasional. Secara Etimologis istilah “Paten” berasal dari bahasa Perancis. Hak Paten berarti hak yang khusus diberikan oleh pemerintah kepada suatu perusahaan atau pabrik untuk membuat dan memperdagangkan suatu produk dagang dan tidak boleh dibuat oleh perusahaan lain atau barang seperti itu dengan merek tertentu (Pipin Syarifin., et.al, 2004: 127). Peraturan di bidang Paten pun mengalami perubahan sesuai dengan keinginan masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional. Setelah negara Indonesia meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization (Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang disahkan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengesahan Agreement the World Trade Organization (LR RI, 1994: 57) dan persetujuan TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) serta Patent Cooperation Treaty (PCT) dengan
Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997, negara Indonesia juga mengalami perubahan terhadap peraturan Patennya. B. RUMUSAN MASALAH Bertitik tolak dan latar belakang masalah, maka maalah yang diteliti adalah sebagai berikut : 1. Sejauhmanakah Undang-undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 memberikan perlindungan Paten bagi Pemegang Paten ? 2. Apakah Undang-undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 sudah memenuhi aturan-aturan Internasional yang terdapat dalam persetujuan TRIPs-WTO ? 3. Apakah sistem PCT yang disyaratkan dalam persetujuan TRIPs-WTO sangat bermanfaat bagi pemohon Paten ? C. TUJUAN PENELITIAN a. Untuk menganalisa sejauhmana Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 memberikan perlindungan Paten bagi pemegang Paten. b. Untuk menganalisa apakah Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 sudah memenuhi aturanaturan Internasional yang terdapat dalam persetujuan TRIPs-WTO. c. Untuk menganalisa apakah sistem PCT bermanfaat bagi pemohon Paten. D. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Penelitian hukum Normatif, maka data utama yang dipergunakan adalah data sekunder yang diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan (Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 1995: 1314). Penelitian ini menggunakan alat pengumpul data, berupa studi dokumen dan wawancara, sebagai penunjang data sekunder. Alat pengumpul data tersebut adalah sebagai berikut : 1. Studi Dokumen yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer yang meliputi peraturan Perundang-undangan yaitu diantaranya Undang-undang Hak Cipta Nomor 6 Tahun 1982, dan UndangUndang Perubahan Hak Cipta Nomor 7 tahun 1987, dan peraturan pelaksanaannya, Kemudian Undang-undang Paten Nomor 6 tahun 1989 (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3390) jo. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 30; Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3444) dan kini Undangundang Nomor 14 tahun 2001 (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109; Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4130) tentang Paten dan penjelasannya; dan beberapa konvensi Internasional seperti Konvensi World Intellectual Property Organization yang disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979. b. Bahan Hukum Sekunder yang mendukung seperti hasil karya ilmiah yang tertuang dalam buku-buku, artikel-artikel pada surat kabar dan majalah, penelitian-penelitian terdahulu, dan lain-lain yang berhubungan dengan obyek penelitian. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus yaitu yang akan dipakai adalah “Black’s Law Dictionary” dan ensiklopedi yaitu yang dipakai adalah “Ensiklopedi Keluarga”
2. Wawancara Untuk menunjang data sekunder, peneliti melakukan wawancara dengan Pejabat Direktorat Paten Ditjen HKI, Depkum & HAM yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, Komisi Banding Ditjen HKI, Sekretaris Jenderal HKI dan Biro Paten PD-II LIPI sebagai narasumber dan instansi terkait lainnya. Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif (Soerjono Soekanto, 1986: 85) E. TINJAUAN UMUM PATEN Mengingat lingkup perubahan serta untuk memudahkan penggunaannya oleh masyarakat, Undang-undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 ini disusun secara menyeluruh dalam suatu naskah (single text) pengganti Undang-undang Paten lama yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997. Dalam hal ini, ketentuan dalam undang-undang Paten lama, yang substansinya tidak diubah dituangkan kembali ke dalam undang-undang yang baru. Secara umum ruang lingkup perubahan yang dilakukan terhadap undang-undang Paten lama meliputi penyempurnaan, penambahan dan penghapusan. Penyempurnaan dilakukan dengan 5 (lima) segi sebagai berikut : 1. Segi terminologi istilah invensi (penemuan) dan istilah inventor (penemu) Segi ini digunakan untuk penemuan dan istilah inventor digunakan untuk penemu. Istilah penemuan diubah menjadi invensi dengan alasan istilah invensi berasal dari invention secara khusus dipergunakan dalam kaitannya dengan paten. Sehingga istilah invensi jauh lebih tepat dibanding dengan penemuan, sebab kata penemuan memilkiki aneka pengertian. Termasuk dalam pengertian penemuan, misalnya menemukan benda yang tercecer, sedangkan istilah invensi dalam kaitannya dengan paten adalah hasil serangkaian kegiatan sehingga tercipta sesuatu yang baru atau yang tadinya belum ada (tentu dalam kaitan antara manusia dengan kesadaran bahwa semuanya tercipta karena Tuhan). Dalam bahasa Inggris juga dikenal antara lain kata-kata to discover to find, and to get. Kata-kata itu secara tajam berbeda artinya dari to invent dalam kaitannya dengan Paten. Dalam hal ini rumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (yang kemudian akan disebut sebagai UUP) mengenai invensi yang dapat di beri Paten mengandung 3 (tiga) unsur, antara lain: a. Invensi yang baru b. Mengandung langkah inventif c. Bidang Industri 2. Segi Paten Sederhana Setiap invensi berupa produk atau alat yang baru dan mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi atau komponennya dapat memperoleh perlindungan hukum dalam bentuk Paten Sederhana (Pasal 6 UUP). Paten Sederhana diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang (Pasal 9 UUP). Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang (Pasal 8 ayat (1) UUP). Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu Paten dicatat dan diumumkan (Pasal 8 ayat (2) UUP). Yang dimaksud dengan dicatat dan diumumkan, adalah dicatat dalam daftar umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten (Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten).
Invensi tidak mencakup sebagai berikut: a. Kreasi estetika b. Skema c. Aturan dan metode untuk melakukan kegiatan : 1) yang melibatkan kegiatan mental 2) Permainan 3) Bisnis d. Aturan dan metode mengenai program komputer e. Prestasi mengenai suatu informasi Objek Paten Sederhana hanya dibatasi pada hal-hal yang kasat mata (tangible), bukan yang tidak kasat mata (intangible), di beberapa negara seperti di Jepang, Amerika Serikat, Filipina, Thailand, pengertian Paten Sederhana disebut dengan utility model, petty patent, atau simple patent yang khusus ditujukan untuk benda (article) atau alat (device). Perlindungan Paten Sederhana dimulai sejak tanggal penerimaan karena Paten Sederhana menurut undang-undang Paten lama tidak diumumkan sebelum pemeriksaan substantif diubah menjadi diumumkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal penerimaan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat luas guna mengetahui adanya permohonan atas suatu invensi serta menyampaikan pendapatnya mengenai hal tersebut. Selain itu denganpengumuman tersebut, dokumen permohonan yang telah diumunikan tersebut segera dapat digunakan sebagai dokumen pembanding, jika diperlukan dalam pemeriksaan substantif tanpa harus melanggar invensi. Konsep perlindungan Paten Sederhana yang diubah menjadi terhitung sejak tanggal penerimaan, bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pemegang Paten Sederhana mengajukan gugatan ganti rugi akibat pelanggaran terhitung sejak tanggal penerimaan. Gugatan ganti rugi baru dapat diajukan setelah Paten Sederhana diberikan (Pipin Syarifin., et.al, 2004: 134). Sifat baru dari Paten Sederhana dalam undang-undang Paten yang baru ini ditegaskan sifat kebaruan bersifat universal. Ketentuan dalam undang-undang Paten lama tidak begitu jelas, memberikan kemungkinan banyaknya terjadi peniruan invensi dari luar negeri untuk dimintakan Paten Sederhana (Pipin Syarifin., et.al, 2004: 134). Jangka waktu pemeriksaan substantif atas Paten Sederhana yang semula sama dengan Paten, yakni 36 (tiga puluh enam) bulan diubah menjadi 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan. Hal ini dimaksudkan untuk mempersingkat jangka waktu pemeriksaan substantif agar sejalan dengan konsep Paten dalam rangka meningkatkan layanan kepada masyarakat (Pipin Syarifin., et.al, 2004: 135). 3. Segi Peraturan Pemerintah atau Keputusan presiden Terdapat beberapa pengaturan yang dalam undang-undang Paten lama ditetapkan dengan Keputusan Menteri, sedangkan dalam undang-undang Paten baru diubah ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dan dalam undang-undang Paten lama ditetapkan dengan Keputusan Presiden, sedangkan dalam undang-undang Paten baru diubah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah atau sebaliknya. 4. Segi Pemberdayaan Pengadilan Niaga Mengingat bidang Paten sangat terkait erat dengan perekonomian dan perdagangan mengenai penyelesaian perdata yang berkaitan dengan Paten harus dilakukan secara tepat dan
segera. Hal itu berbeda dengan undang-undang Paten lama mengenai penyelesaian perdata di bidang Paten dilakukan di Pengadilan Negeri.
5. Segi lisensi wajib Dengan undang-undang Paten yang baru ini, instansi yang ditugasi untuk memberikan lisensi wajib adalah direktorat Jenderal. Berbeda dengan undang-undang Paten lama yang menugaskan pemberian lisensi wajib kepada pengadilan negeri. Hal itu dimaksudkan untuk penyederhanaan prosedur dan meningkatkan layanan kepada masyarakat, serta sejalan dengan yang dilakukan di berbagai negara, seperti Thailand, Filipina, Brazil dan Cina (Pipin Syarifin., et.al, 2004: 135). F. TATA CARA PENDAFTARAN PATEN Pasal 20 Undang-undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 menetapkan : paten diberikan atas dasar permohonan”. Hal in jelas bahwa Paten tidak akan diberikan begitu saja tanpa ada permohonan dari inventor. Dan permohonan Paten ini diajukan dengan disertai membayar biaya. Pasal 30 sampai dengan Pasal 41 menetapkan : Pasal 30 : (1) Tanggal penerimaan adalah tanggal Direktorat Jenderal menerima permohonan yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, huruf b, huruf f, huruf h, dan huruf i, serta huruf j, jika permohonan tersebut dilampiri gambar serta setelah dibayarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 (2) Dalam hal dimaksud deskripsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf h dan huruf i ditulis dalam bahasa inggris, deskripsi tersebut harus dilengkapi dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan harus disampaikan paling lama 30 hari sejak tanggal penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (3) Apabila terjemahan dalam bahasa Indonesia tidak diserahkan dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) permohonan itu dianggap ditarik kembali. (4) Tanggal penerimaan dicatat oleh Direktorat jenderal. Pasal 31 : Dalam hal terdapat kekurangan sebagaimana dimasud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), tanggal penerimaan adalah tanggal diterimanya seluruh persyaratan minimum tersebut oleh Direktorat Jenderal. Pasal 32 : (1) apabila ternyata syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 telah dipenuhi, tetapi ketentuan-ketentuan lain dalam Pasal 24 belum dipenuhi, Direktorat Jenderal meminta agar kelengkapan tersebut dipenuhi paling lama 3 bulan terhitung sejak tanggal pengiriman permintaan pemenuhan seluruh persyaratan tersebut oleh Direktorat Jenderal (2) Berdasarkan alasan yang disetujui oleh direktorat Jenderal, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipeipanjang paling lama 2 bulan atas permintaan pemohon.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang paling lama 1 bulan setelah berakhirnya jangka waktu tersebut dengan ketentuan bahwa pemohon dikenai biaya Pasal 33 : Apabila seluruh persyaratan dengan batas jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak dipenuhi, Direktorat Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada pemohon bahwa permohonan dianggap ditarik kembali. Pasal 34 : 1) Apabila untuk suatu invensi yang sama ternyata diajukan lebih dari satu permohonan oleh yang berbeda, permohonan yang diajukan pertama yang dapat diterima. 2) Apabila beberapa permohonan untuk invensi yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan pada tanggal yang sama, Direktorat Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada para pemohon untuk berunding guna memutuskan permohonan mana yang diajukan dan menyampaikan hasil keputusan itu kepada Direktorat Jenderal paling lama 6 bulan terhitung sejak tanggal pengiriman pemberitahuan tersebut. 3) Apabila tidak tercapai persetujuan atau keputusan diantara para pemohon, tidak dimungkinkan dilakukannya perundingan, atau hasil perundingan tidak disampaikan kepada Direktorat Jenderal pada waktu yang ditentukan pada ayat (2), permohonan itu ditolak dan Direktorat Jenderal memberitahukan penolakan tersebut secara tertulis kapada para pemohon. Pasal 35 : Permohonan dapat diubah dengan cara mengubah deskripsi dan / atau klaim dengan ketentuan bahwa perubahan tersebut tidak memperluas lingkup invensi yang telah diajukan dalam nermohonan semula. Pasal 36 : (1) Pemohon dapat mengajukan permohonan semula apabila suatu permohonan terdiri atas beberapa invensi yang tidak merupakan suatu kesatuan invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. (2) Permohonan pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan secara terpisah dalam satu permohonan atau lebih dengan ketentuan bahwa lingkup perlindungan yang dimohonkan dalam setiap permohonan tersebut tidak memperluas lingkup perlidungan yang telah diajukan dalam permohonan semula (3) Permohonan pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan paling lama sebelum permohonan semula tersebut diberi keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) atau Pasal 56 ayat (1) (4) Permohonan pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 24, dianggap diajukan pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan semula (5) Dalam hal pemohon tidak mengajukan permohonan pemenahan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pemeriksaan substantif atas permohonan hanya dilakukan terhadap invensi sebagaimana dinyatakan dalam urutan klaim yang pertama dalam permohonan semula. Pasal 37 :
Permohonan dapat diubah dari Paten menjadi Paten sederhana atau sebaliknya oleh pemohon dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam undang-undang ini. Pasal 38 : Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, pasal 36 dan Pasal 37 diatur dengan Keputusan Presiden. Pasal 39 : (1) Permohonan dapat ditarik kembali oleh pemohon dengan mengajukan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penarikan kembali permohonan diatur dengan Keputusan Presiden. Pasal 40 : Selama masih terikat dinas aktif atau hingga selama satu tahun sesudah pensiun atau sesudah berhenti karena alasan apapun dari Direktorat Jenderal, pegawai Direktorat Jenderal atau orang yang karena tugasnya bekerja untuk dan atas nama Direktorat Jenderal, dilarang mengajukan permohonan, memperoleh Paten atau dengan cara apapun memperoleh hak atau pemegang hak yang berkaitan dengan Paten, kecuali apabila pemilikan Paten itu diperoleh karena pewarisan. Pasal 41 : Terhitung sejak tanggal penerimaan, seluruh aparat Direktorat Jenderal atau orang, yang karena tugasnya terkait dengan tugas Direktorat Jenderal wajib menjaga kerahasiaan invensi dan seluruh dokumen permohonan sampai dengan tanggal diumumkannya permohonan yang bersangkutan. Setelah 18 bulan permintaan Paten diajukan Ditjen HKI wajib mengumumkan permohonan Paten tersebut. Pengumuman dilaksanakan selama : a. 6 bulan terhitung sejak tanggal diumumkannya permohonan paten b. 3 bulan terhitung sejak tanggal diumumkannya permohonan paten sederhana Pengumuman dilakukan dengan mencantumkan : a. Nama dan kewarganegaraan inventor; b. Nama dan alamat lengkap pemohon dan kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa; c. Judul invensi; d. Tanggal penerimaan; dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas, tanggal prioritas, nomor dan negara tempat permohonan yang pertama kali diajukan; e. Abstrak; f. Klasifikasi invensi; g. Gambar, jika ada; h. Nomor pengumuman dan i. Nomor permohonan Setiap pihak dapat melihat pengumuman dimaksud dan dapat mengajukan secara tertulis pandangan dan/atau keberatannya atas permohonan yang bersangkutan dengan mencantumkan alasannya. Dalam hal terdapat pandangan dan/atau keberatan, Direktorat Jenderal segera mengirimkan salinan surat yang berisikan pandangan dan/atau keberatan tersebut kepada pemohon. Pemohon berhak mengajukan secara tertulis sanggahan dan/atau penjelasan sebagai tambahan bahan permohonan dalam tahap pemeriksaan substantif. Setelah berkonsultasi dengan
instansi pemerintah yang tugas dan wewenangnya berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara, apabila diperlukan, Direktorat Jenderal dengan persetujuan menteri dapat menetapkan untuk tidak mengumumkan permohonan apabila menurut pertimbangannya, pengumuman invensi tersebut diperkirakan akan dapat mengganggu atau bertentangan dengan kepantingan pertahanan dan keamanan negara. Ketetapan untuk tidak mengumumkan permohonan tersebut diberitahukan secara tertulis oleh Direktorat Jenderal kepada pemohon atau kuasanya. Konsultasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal tersebut, termasuk penyampaian informasi mengenai invensi yang dimohonkan yang kemudian berakhir dengan ketetapan tidak diumumkannya permohonan, tidak dianggap sebagai pelanggaran kewajiban untuk menjaga kerahasiaan. Ketentuan ini tetap mewajibkan instansi pemerintah yang bersangkutan beserta aparatnya untuk tetap menjaga kerahasiaan invensi dan dokumen pennohonan yang dikonsultasikan kepadanya terhadap pihak ketiga. Terhadap permohonan yang tidak diumumkan dilakukan pemeriksaan substantif setelah 6 bulan sejak tanggal penetapan Direktorat Jenderal mengenai tidak diumumkannya permohonan yang bersangkutan. Pemeriksaan substantif ini tidak dikenai biaya. Mengenai tata cara pendaftaran Paten ini dapat di lihat dalam bagan berikut ini: F. PROSEDUR PERMOHONAN PATEN (Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten)
G. PATENT COOPERATION TREATY (PCT) Patent Cooperation Treaty (PCT), didirikan pada tanggal 19 Juni 1970 di Washington dalam suatu konferensi para diplomat dari 78 negara dan 22 organisasi internasional (OK Saidin, 1995: 311). PCT telah diubah-2 kali yaitu pada tahun 1979 dan tahun 1984. Terhitung sejak tanggal 1 Januari 1988 sebanyak 40 negara telah menyatakan tunduk kepada PCT (Cita Citrawinda Priapantja, 2003: 71). Negara Indonesia sendiri baru meratifikasi Patent Cooperation Treaty pada tahun 1997 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 tentang Pengesahan Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulations under the PCT (Cita Citrawinda Priapantja, 2003: 71). Tujuan permohonan internasional Paten adalah agar paten tersebut mendapat perlindungan di beberapa negara. Untuk itu si pemohon harus mengajukannya di setiap negara dimana perlindungan itu di kehendaki. Dengan demikian setiap kantor Paten nasional masing-
masing negara harus melaksanakan penelitian terhadap permohonan paten tersebut. Sistem ini tentu banyak memerlukan pekerjaan, waktu dan biaya yang diperlukan. Pemecahan permasalahan inilah yang merupakan tujuan PCT. Untuk itu PCT mengadakan sistem permohonan internasional dan publikasi internasional, pemeriksaan permulaan internasional atas setiap permohonan Paten yang lebih berdaya guna, hemat dan sederhana, jika perlindungan itu dikehendaki secara internasional. Adapun sistem permohonan internasional menurut PCT adalah sebagai berikut: dengan kemungkinan untuk meminta hak prioritas berdasarkan Konvensi Paris, setiap warga negara dari negara-negara yang mengadakan perjanjian berhak untuk mengajukan permohonan kepada PCT. PCT akan. membuat suatu badan penelitian internasional, akan tetapi karena badan tersebut belum ada, maka untuk sementara PCT menunjuk Kantor Urusan Paten yang telah memenuhi syarat untuk melakukan penelitian. Kantor-kantor yang telah memenuhi syarat adalah, Kantor Paten Rusia, Jepang, Swedia, dan Amerika Serikat. Hasil penelitian dari Kantor Paten tersebut dikirimkan kepada pemohon dan biro internasional yang akan mengirim pengiriman laporan kepada Kantor Paten dari negara yang ditunjuk. PCT akan memberikan tahap kedua, yaitu pemeriksaan permulaan internasional. Pada tahap ini suatu penemuan akan diperiksa, apakah bersifat inventif dan dapat diterapkan dalam kegiatan industri. Selain mengatur tentang permohonan internasional atas permohonan Paten, PCT juga memberikan bantuan tehnik yang merupakan perhatian khusus bagi negara-negara berkembang. PCT sepakat bahwa biro internasional (WIPO) dengan biaya rendah harus memberikan pengetahuan tehnik dan teknologi untuk negara-negara tersebut, termasuk pengetahuan yang ada yang dipublikasikan berdasarkan dokumen yang diterbitkan. Selanjutnya sebuah komisi bantuan tehnik telah dibentuk yang bertugas untuk menyelenggarakan dan mengawasi bantuan tehnik dalam mengembangkan sistem Paten secara wilayah dan secara terpisah (OK Saidin, 1995: 312). Patent Law Treaty (PL7) baru-baru ini disimpulkan untuk mengharmonisasikan dan mempersingkat prosedur yang berkaitan dengan permohonan Paten nasional dan regional serta Hak-hak Paten. Dengan pengecualian yang berarti bagi syarat-syarat tanggal penerimaan atau filing date PLT menetapkan seperangkat syarat maksimum pada maa kantor dari pihak yang turut serta menandatangani dapat menerapkannya. Kantor Paten tidak dapat bergantung pada syarat-syarat formal lainnya sehubungan dengan hal-hal yang berkenaan dengan traktat ini. Pada saat ini hanya lima negara yang sudah menandatangani menjadi negara anggota. Masih banyak negara anggota PCT lainnya yang bagaimanapun memungkinkan mendapat perlindungan Paten bagi suatu invensi secara serentak di tiap sejumlah negara dengan mengajukan permohonan Paten “internasional”. Permohonan Paten “internasional” serupa itu dapat diajukan oleh siapa saja yang menjadi warga negara atau bertempat tinggal di negara anggota PCT (Cita Citrawinda Priapantja, 2003: 72). Perlu diketahui, proses pendaftaran Paten di Indonesia dapat memalui dua cara yaitu : 1. Melalui Kantor Paten Nasional 2. Langsung ke Kantor Paten Internasional (Wawancara dengan Bpk. Syafrudin, Anggota Komisi Banding Paten Ditjen HKI, tanggal 11 Juli 2005, menurut beliau biaya pendaftaran melalui PCT adalah sekitar US$500, dengan transmital fee sebesar Rp. 500.000,- dengan menjalani phase yaitu 20 bulan atau bulan ke-21 diajukan ke negara masing-masing dan atau 30 bulan sudah dilengkapi dengan kelengkapan awal). Manfaat yang diperoleh dari pemakaian sistem PCT dapat diringkaskan sebagai berikut :
1. Pada saat pengajuan, cukup satu permintaan Paten, yang diajukan dalam satu bahasa, pada satu Kantor Paten, untuk menggantikan pengajuan Paten ke banyak negara; 2. Tetap dapat menggunakan hak prioritas; 3. Tanggal penerimaan permintaan internasional adalah tanggal penerimaan permintaan nasional di semua Kantor Paten yang dituju; 4. Persyaratan formal yang seragam dapat diterima oleh semua Kantor Paten yang dituju; 5. Pengendalian pemrosesan terhadap pennintaan Paten dapat lebih mudah dilakukan dilakukan dari negara asal; 6. Untuk membantu mengambil keputusan perlu tidaknya melanjutkan pemrosesan permintaan Paten, para pemohon dapat memanfaatkan laporan penelusuran pendahuluan yang memberikan indikasi tentang peluang mereka memperoleh Paten; 7. Seringkali, pemohon tidak perlu memutuskan untuk memasuki tahap nasional atas permintaan Patennya sampai 30 bulan sejak tanggal prioritas permintaan, yang berarti 30 bulan sejak penerimaan paten di negara asal (Syafrudin, 2005: 16-17).
H. PENGARUH PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA DI BIDANG PATEN Berkenaan dengan Uruguay Round perundingan perdagangan multilateral GATT (General Agreement of Tariffs and Trade) dapat disaksikan adanya perkembangan tertentu dibidang perlindungan Hak Milik Intelektual. Dari segi pandangan Amerika Serikat, pembicaraan ini dianggap telah membawa hasil yang baik. Hasilnya menunjukkan adanya kepercayaan kepada GATT sebagai sistem perdagangan secara multilateral. Perlu diketahui adanya berbagai bidang yang menjadikan pembicaraan GATT ini perlu pertentangan diantara negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Bidang-bidang ini antara lain pertanian, hak milik perindustrian dan tekstil. Mengenai Hak Milik Perindustrian, pembicaraan dalam GATT telah berhasil membuka pertukaran pikiran. Negara-negara yang sedang berkembang yang dipimpin India dan Brasil menentang diakuinya GATT sebagai forum yang baik bagi masalah Hak Milik Intelektual. Mereka tidak sependapat dengan Amerika Serikat bahwa masalah ini dapat dimasukkan kedalam Bab “Service” atau “Jasa” yang dapat ditaruh dalam sistem multilateral persetujuan perdagangan GATT ini. Negara-negara berkembang berkeinginan agar WIPO (World Intellectual Property Organization) merupakan organisasi internasional yang khusus mengurus masalah-masalah yang berkenaan dengan Paten, copyright, dan perlindungan Hak Milik Intelektual lainnya. Menurut mereka, sebaiknya tetap dibiarkan dibawah WIPO, dan tidak ditarik kedalam GATT sebagai yang hendak dilakukan oleh pihak Amerika serikat (Soedjono Dirjosisworo, 2000: 6). Seperti diketahui, GATT merupakan forum utama perundingan dagang internasional secara multilateral. Para pihak yang turut serta merundingkan kemungkinan adanya pertukaran konsesi-konsesi atau dibuatnya perjanjian-perjanjian yang berkenaan dengan perdagangan dan soal-soal yang berkaitan dengan perdagangan. Hak Milik Intelektual yang disebut sebagai Hak Milik Perindustrian merupakan suatu hal yang disebut dalam Pasal 20 sub d dari Perjanjian GATT yang mengatur masalah General exceptions. Pasal 20 sub d dari GATT ini menyatakan bahwa apa yang telah di mufakatkan ini tidak berarti menghindarkan tindakan-tindakan oleh negara peserta GATT yang dianggap penting untuk menjamin ditaatinya peraturan-peraturan yang diadakannya sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan GATT. Termasuk ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan perlindungan Paten, Merek Dagang, dan Copyright serta penghindaran peniruan. Negara masingmasing diberi kelekuasaan untuk menerima atau melaksanakan tindakan-tindakan untuk menjamin peraturan-peraturan yang berkenaan dengan Paten, Merek Dagang, dan Copyright ini. Negara-negara berkembang yang menghendaki perundingan mengenai Hak Milik Intelektual ini dilakukan dalam WIPO beranggapan bahwa hal ini lebih menguntungkan bagi negara berkembang, karena WIPO menganut sistem one country one vote, negara-negara itu masing-masing mempunyai satu suara. Maka dianggap sistem pemberian suara inilah yang lebih menguntungkan untuk kepentingan pihak negara berkembang. Ternyata perundingan dalam GATT tidak begitu berhasil dibandingkan dengan pendekatan secara bilateral yang telah diambil oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia di tahun 2000, dalam memberikan perlindungan yang lebih baik di dalam negeri terhadap Hak Milik Intelektual luar negeri. Perundingan secara bilateral ini, baik pada tingkat formal maupun informal, telah dilakukan, maka jalan inilah yang telah dipilih pemerintah kita dengan masyarakat Eropa, dan direncanakan juga dengan Amerika Serikat melalui Exchange of letters. Tidak cukupnya perlindungan mengakibatkan dicabutnya sebagai fasilitas. Dalam usaha untuk memperoleh lebih banyak perlindungan Hak Milik Intelektual di negara-negara berkembang seringkali dilontarkan berbagai “ancaman”. Misalnya akan dicabut fasilitas yang diberikan dalam General System of Preference (GSP) atau diadakan sanksi perdagangan dan pembalasan terhadap tiap negara yang mengekspor barang ke Amerika, tetapi tidak memberikan cukup perlindungan terhadap - warga negara Amerika Serikat. Wakil Amerika dalam Bank Dunia - diminta untuk memveto pinjaman-pinjaman yang hendak diberikan kepada suatu negara yang tidak memberikan perlindungan. Menurut Prof Soedjono, tampak segi-segi politis di sekitar masalah perlindungan terhadap Hak Milik Intelektual asing ini. Sebagai contoh dapat disebut adanya “tekanan-tekanan” terhadap Korea agar mengubah hukum-hukumnya dan memberikan lebih banyak proteksi produksi kepada Milik Intelektual Asing. Demikian pula Thailand telah didesak untuk mengadakan perubahan pada perundang-undangan hak ciptanya (Soedjono Dirjosisworo, 2000: 21). Pengaruh perjanjian Internasional terhadap kebijakan pemerintah Indonesia nampak dari dasar atau latar belakang diundangkannya Undang-undang Nomor 14 tahun 2001 yaitu : a. Sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan teknologi industri, dan perdagangan yang semakin pesat, diperlukan adanya Undang-undang Paten yang dapat memberikan perlindungan yang wajar bagi inventor; b. Bahwa hal tersebut pada butir a juga diperlukan dalam rangka menciptakan iklim persaingan usaha yang jujur serta memperhatikan kepentingan masyarakat pada umumnya c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut dalam huruf a dan b serta memperhatikan pengalaman dalam melaksanakan Undang-undang Paten yang ada, dipandang perlu untuk menetapkan Undang-undang Paten yang baru menggantikan Undangundang Nomor 6 tahun 1989 tentang paten sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten. Melihat kepada Undang-undang Paten Lama dan Undang-undang Paten Baru maka secara garis besar hal-hal yang bersifat baru adalah: 1. Mengenai istilah-istilah :
Kata “penemu” pada Undang-undang lama diganti dengan kata “inventor” pada Undangundang baru; “Penemuan” diganti dengan “invensi”; pemeriksaan ditambah dengan “substantif ‘; disebut pula “Direktorat Jenderal’ yang menggantikan “Kantor Paten” 2. Penambahan pada Bab IX yaitu tentang Permohonan melalui Patent Coopertion Treaty (Traktat Kerjasama Paten) dan hal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah 3. Penambahan dilakukan dengan 6 (enam) segi sebagai berikut : a. Penegasan mengenai istilah hari Penegasan mengenai istilah hari mengingat bahwa istilah hari dapat mengandung beberapa pengertian dalam undang-undang Paten, baru ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah hari adalah hari kerja. b. Invensi yang tidak dapat diberi Paten Penambahan Pasal 7 huruf d berbunyi : 1) Semua mahluk hidup kecuali jasad renik 2) Proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan kecuali proses non biologis atau proses mikrobiologis. Penambahan Pasal 7 huruf d dimaksudkan untuk mengakomodasi usulan masyarakat agar bagi invensi tentang mahluk hidup (yang mencakup manusia, hewan atau tanaman) tidak dapat diberikan Paten. Sikap tidak dapat dipatenkannya Invensi tentang manusia karena hal itu bertentangan dengan moralitas agama, etika, atau kesusilaan. Disamping itu mahluk hidup mempunyai sifat dapat merefleksikan dirinya sendiri. Pengaturan diberbagai negara sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan teknologi masing-masing. Persetujuan TRIPs hanya meletakkan persyaratan minimum pengaturan mengenai kegiatan-kegiatan yang boleh atau tidak boleh dipatenkan. Paten diberikan terhadap invensi mengenai jasad renik atau proses non-biologis serta proses mikrobiologis untuk memproduksi tanaman atau hewan dengan pertimbangan bahvva pertimbangan bioteknologi yang pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir ini telah secara nyata menghasilkan berbagai invensi yang cukup besar manfaatnya bagi masyarakat. Dengan demikian pei lindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam bidang Paten diperlukan sebagai penghargaan (rewards) terhadap berbagai invensi tersebut. c. Penetapan sementara Pengadilan Penambahan Bab XIII tentang penetapan sementara pengadilan dalam Undang-undang Paten Nomor 14 tahun 2001 dimaksudkan sebagai upaya awal untuk mencegah kergian yang lebih besar akibat pelaksanaan Paten oleh pihak yang tidak berhak. d. Penggunaan penerimaan bukan pajak (PNBP) Hal ini berbeda dari Undang-undang Paten lama, karena adanya ketentuan mengenai kemungkinan menggunakan sebagian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh direktorat jenderal yang berasal dan semua biaya yang berhubungan dengan Paten. Yang dimaksud dengan menggunakan adalah menggunakan PNBP berdasarkan sistem dan mekanisme yang berlaku. Dalam hal ini, seluruh PNBP disetorkan langsung ke kas negara sebagai PNBP. Kemudian Direktorat Jenderal mengajukan permohonan melalui Menteri kepada Menteri keuangan untuk diijinkan menggunakan sebagian PNBP sesuai dengan keperluan yang dibenarkan oleh Undangundang RI Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 43)
e.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan Penyelesaian sengketa diluar pengadilan pada umumnya akan mempergunakan waktu yang lama dan biaya besar. Mengingat sengketa Paten akan berkaitan erat dengan masalah perekonomian dan perdagangan yang harus tetap berjalan, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimungkinkan dalam Undang-undang Paten baru, selain relatif lebih cepat, biayanyapun lebih ringan. f. Pengecualian dari ketentuan pidana (Pipin Syarifin., et.al, 2004: 135) Adanya ketentuan ini dalam Undang-undang Paten baru ini mengatur hal-hal yang tidak dikategorikan tindak pidana yaitu hal yang berkaitan dengan kepentingan kesehatan masyarakat. Pengaturan semacam ini terdapat dalam legislasi di berbagai negara. 4. Penghapusan dari ketentuan Undang-undang Paten lama yang dinilai tidak sejalan dengan persetujuan TRIPs misalnya ketentuan yang berkaitan dengan penundaan pemberian Paten dan lingkup hak eksklusif pemegang Paten. I.
EFEKTIFITAS PERLINDUNGAN PATEN DI INDONESIA Keberadaan Hak kekayaan Intelektual memang tidak terlepas dari kegiatan ekonomi, industri, dan perdagangan. Era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi telah mendorong efisiensi dan efektifitas bagi para produsen untuk memasarkan produk-produknya ke luar negeri melalui pasar bebas. Sebagian besar barang dan jasa yang diperdagangkan merupakan produkproduk teknologi mutakhir. Oleh karena itu, salah satu kunci agar dapat bertahan dalam perdagangan bebas terletak pada penguasaan teknologi dan kemampuan melakukan inovasi di bidang teknologi. Dalam tatanan ekonomi global, Hak Kekayaan Intelektual dipandang sebagai masalah perdagangan yang mencakup interaksi dari 3 aspek utama, yaitu kekayaan Intelektual, komersialisasi dan perlindungan hukum. Artinya Hak Kekayaan Intelektual menjadi penting ketika ada karya intelektual yang akan dikomersialkan sehingga pemilik karya intelektual tersebut membutuhkan perlindungan hukum formal untuk melindungi kepentingan mereka dalam memperoleh manfaat dari komersialisasi karya intelektual mereka tersebut. Berdasarkan hal ini jelas, bahwa saat ini setiap proses komersialisasi dari setiap komoditi perdagangan, baik bernuansa ekspor maupun untuk pasar dalam negeri tidak dapat terlepas dari aspek perlindungan kekayaan intelektualnya. Saat ini jumlah permohonan permohonan Paten oleh peneliti lokal ke Kantor Paten Indonesia masih sangat rendah, terlihat pada tabel berikut:
Tabel 1 Permohonan Paten ke Kantor Paten Indonesia Per September 2004 No
Peneliti
Paten
Paten Sederhana
1
Peneliti 3,47% 3,15% lokal 2 Peneliti 96,53% 96,85% Asing Sumber : Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, 2005 Pendaftaran Paten ke Luar negeri oleh orang Indonesia juga masih rendah. Sebagai contoh dapat dilihat pada pengajuan Paten pada United State Patent and Trade Office/USPTO (Subroto, MA. & Supradedi., Jakarta 11-12 Agustus 2004) berikut. Tabel 2 Permohonan Paten ke USPTO Per September 2003 No Negara Total 1 Jepang 522.047 2 China 2.932 3 Singapore 2.667 4. India 2.005 5 Malaysia 631 6 Thailand 421 7 Filipina 318 8 Indonesia 199 Sumber : Supradedi, 2004 Data lain dapat dilihat pada Patent Aplication Filed and Patent Granted during 2001 (sumber: WIPO, tahun 2001) yang terlampir pada lampiran tulisan ini. Banyak faktor yang bertanggung jawab atas masih rendahnya laju invensi dan inovasi nasional, diantaranya adalah penegakan hukum Hak Kekayaan Intelektual yang masih lemah, dan Iklim usaha yang belum kondusif, disamping manajemen riset nasional yang juga belum jelas (Supradedi, Seminar Pemanfaatan Sistem HKI, Jakarta,12 Juli 2005) 1. Penegakan Hukum di Bidang Paten Pada dasarnya penegakan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan kepanjangan dari misi Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) yaitu memberikan perlindungan hukum bagi karya-karya intelektual dan menggalakkan peningkatan karya kreatif dengan menyempurnakan sistem Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Penegakan hukum adalah kunci untuk kesuksesan misi ini. Menurut Thomes Jefferson seperti dikutip oleh Zen Umar Purba, “Ignorance of the law is any country, because if it were, the laws would lose their effect, because it can always pretended” (Zen Umar Purba, Kompas, 22 Mei 2000). Menurut Zen Umar Purba, tanpa penegakan hukum yang efektif sistem Hak Kekayaan Intelektual akan berantakan, pekerjaan administrator Hak Kekayaan Intelektual untuk memberikan hak kepada pemohon Hak Kekayaan Intelektual akan pupus begitu saja. Jadi hukum harus ditegakkan. Penegakan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual khususnya Paten, berkaitan dengan berbagai faktor, antara lain: Konsepsi Hak Kekayaan Intelektual, Kemauan Politik (political will) pemerintah, Kualitas pengaturan, “dilema pasar”, Transparansi Proses pengadilan, instansi penegak hukum dan Hak Kekayaan Intelektual yang terus berkembang (Zen Umar Purba, Kompas, 22 Mei 2000). Penegakan Hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual
bertujuan untuk mengharga karya intelektual pihak lain. Dan secara makro penegakan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual, berakibat pada aspek perekonomian. Kemauan Politik pemerintah di bidang Paten sudah cukup jelas, yaitu dengan keikutsertaan dalam Convention Establishing the World Trade Organization (Konvensi WTO) / Agreement on Trade-Related Aspect of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs), Karena itu kitapun tunduk pada prinsip-prinsip globalisasi sebagaimana diatur dalam kesepakatan dunia itu. Bersamaan itu juga negara Indonesia meratifikasi konvensi-konvensi yang berkaitan dengan Persetujuan Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Organization (Keppres Nomor 15 Tahun 1997) Patent Coopertion Treaty (Keppres Nomor 16 Tahun 1997) Patent Law Treaty (Keppres Nomor 17 Tahun 1997) WIPO Copyright Treaty (Keppres Nomor 19 tahun 1997) termasuk Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Keppres Nomor 18 Tahun 1997). Keberhasilan Indonesia dalam menarik investasi asing sangat tergantung pada ada atau tidaknya kerjasama di pihak yudikatif. Saat ini para investor sangat berharap adanya sinergi yang baik antara pihak eksekutif, yudikatif dan legisletif dan komitmen berbagai pihak tersebut dalam menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Seperti diungkapkan oleh Gunawan Suryomurcito (konsultan paten) banyak investor memiliki pengalaman buruk terhadap lemahnya perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia. Sengketa atas merek rokok Davidoff yang di Mahkamah Agung dimenangkan oleh Pihak Davidoff setelah putusan Pengadilan Niaga yang tidak memuaskan, membuat Duta Besar Swiss untuk Indonesia George martin mengungkapkan harapannya agar pemerintah Indonesia lebih memberi perhatian kepada penciptaan peradilan yang bersih dengan hakim dan jaksa yang bersih pula (Gunawan Suryomurcito, Media Indonesia, 2 Pebruari 2005). Maka disaat pemerintah Indonesia di tahun 2005 menawarkan 91 Proyek Infrastruktur senilai US$22,5 miliar selama II Summit itu, dengan memberikan jaminan bahwa investasi di Indonesia akan aman, para investor cenderung berhati-hati sebelum berkomitmen tanpa adanya tindakan nyata dari pemerintah Indonesia yaitu dalam dua hal : kepastian hukum dan korupsi yang merajalela. Indonesia masuk dalam Priority Watch list pemerintah Amerika serikat (AS) selama empat tahun berturut-turut. Artinya, Indonesia bersama dengan beberapa negara lain seperti Argentina, Bahama, Mesir, dan Korea masuk dalam kategori sebagai negara yang keadaan pelanggaran dan Penegakan hukum atas Hak kekayaan Intelektual tergolong masih buruk. Walaupun sejak 1 Mei 2000 Indonesia sudah masuk Watch list bukan lagi Priority Wacht list (Zen Umar Purba, Kompas 22 Mei 2000). Sejak Tahun 1998 hingga Maret 2000 tercatat 23 pelanggaran pidana yang ditangani oleh PPNS yaitu terdiri dari Hak Cipta: 10, Paten: 3, dan Merek: 10. Dan lebih dari itu pada umumnya ketertiban PPNS dilakukan bersama-sama dengan pihak terkait yaitu Ditjen HKI. Dalam Kurun waktu yang sama Ditjen HKI telah memberi kesaksian ahli untuk 25 kasus pelanggaran hak cipta 12 kasus pelanggaran paten, dan 78 kasus pelanggaran Merek (Zen Umar Purba, Kompas 22 Mei 2000). Menurut Zen Umar Purba, penegakan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang masih lemah adalah bagian atau cermin dari lemahnya penegakan hukum secara keseluruhan. Menurut Ansori Sinungan, kendala penegakan Hukum mengenai Hak kekayaan Intelektual di Indonesia sebagai kondisi dilematis dapat dipengaruhi oleh beberapa dimensi berikut :
1. Dimensi Budaya Timur-Barat dalam hal memandang kepemilikan individu adalah berbeda. 2. Dimensi Sosial dimana penegakan hukum terkadang berdampak pada permasalahan sosial yang lainnya. 3. Dimensi ekonomi (adalah dilema antara mahalnya barang yang asli dengan daya beli masyarakat 4. Dimensi hukum yang dipengaruhi oleh terbatasnya anggaran; sarana, dan prasarana; aparat penegak hukum; dan kesadaran masyarakat (Ansori Sinungan, Jakarta, 11 Juli 2005). 2. Budaya Hukum Masyarakat Telah diakui secara luas bahwa pembangunan melibatkan transformasi yang amat dalam dari keseluruhan ekonomi dan struktur sosial. Pola-pola transformasi struktur yang berlaku akan cenderung bervariasi dari satu negara dengan nnegara lainnya, yang tergantung pada sejumlah faktor termasuk sumber penghasilan, geografi, dan kemampuan-kemampuan dari populasi. Setiap negara hams inengeksploitasi kesempatan-kesempatan terbuka untuk memperkuat ekonominya. Dalain kenyataannya, tidak ada dua hukum negara yang persis sama, mungkin beberapa sistem hukum nasional cukup sama dalam beberapa hal kritis tertentu. Peranan nilai-nilai dan sikap-sikap sosial merupakan suatu fenomena universal. Sekarang dengan adanya harmonisasi hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual, khususnya peraturan mengenai Paten, tentunya perlu di pertimbangkan pula sistem-sistem hukum negara-negara lain dengan melihat kembali kepada. budaya hukum masing-masing negara tersebut. Latar belakang sejarah dan perkembangan dari sistem hukum, teori-teori dan tingkat sumber-sumber hukum, metodologi kerja para ahli hukum di dalam sistem hukum itu sendiri, karakteristik konsep hukum yang diterapkan dalam sistem itu lembaga hukum dari sistem tersebut penting untuk mengetahui budaya hukum dari masing-masing negara. Dalam suatu lingkungan yang baru, satu aturan hukum yang datang dan luar sering sepenuhnya ditransformasikan bertentangan dengan kehendak setempat di mana sistem hukum yang ada pada pokoknya terus berfungsi sesuai dengan tradisi-tradisi sebelumnya. Empat tradisi hukum yang penting dalam dunia masyarakat modern adalah “Anglo American common law”, “Romano Germanic civil law”, Islamic Law” dan “Socialist law” (Cita Citrawinda Priapantja, 1999: 201). Disamping itu di berbagai negara tetap hidup “Common Law “. Perlu dibedakan kehadiran tradisi-tradisi yang bukan Western tradition, dan apabila keempat tradisi hukum tersebut menyebar, maka budaya hukum lokal belum tentu akan hilang. Pada masyarakat yang sederhana, aturan-aturan mengenai hukum hanya terdiri dari kebiasaan dan normanorma, yang ditegakkan melalui sanksi sosial yang informal. Begitu suatu masyarakat berkembang, baik dalam jumlah anggotanya maupun kompleksitasnya, aturan dari sikap tindak dituangkan dalam bentuk formal, biasanya dalam bentuk peraturan perundangundangan dan keputusan pengadilan. Dalam masyarakat hukum yang bersifat sederhana, misalnya masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia yang komunitasnya cenderung bersifat sederhana. Keadaan sebaliknya akan dijumpai dalam suatu masyarakat industri yang cenderung bersifat kompleks dan variatif. Karena variasi kepentingan masyarakatnya, kompleksitas juga dipengaruhi oleh keragaman nilai yang dianut oleh kesatuan-kesatuan yang membentuk sistem masyarakat hukum itu. Kenyataan yang sangat dekat dengan pernyataan ini adalah kondisi masyarakat Indonesia yang tersusun atas kompleksitas komunitas yang menganut sistem nilai yang cenderung bersifat khusus dan variatif, seperti dalam sifatnya yang umum, yaitu keadilan, kebenaran, maupun yang bersifat khusus, misalnya sistem kontrak, kerjasama,
dan lain-lainnya, yang dapat diamati melalui keragaman budayanya (Cita Citrawinda Priapantja, 1999: 202). Seperti dikutip Oleh Cita Citrawinda, Ruth L. Gana mengatakan, bahwa pengakuan dan perlindungan produk-produk hasil hanya kreatifitas intelektualital manusia pada masyarakat agraris sangat berbeda dengan masyarakat industri memperlakukan kekayaan intelektual dan keadaan ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : 1. Terdapatnya perbedaan bentuk kepemilikan terhadap properti; 2. Perbedaan Perlakuan terhadap kekayaan intelektual karena tujuan perlindungan itu sendiri (tujuan utama peraturan Hak Kekayaan Intelektual Anglo Amerika adalah untuk mendorong kreativitas sedangkan di negara ketiga adalah untuk tujuan-tujuan sosial, politik dan ekonomi; 3. Berbedanya teori mengenai “ciptaan atau kreativitas” (misalnya, pada hukum aborigin, hak mencipta lukisan dan karya karya cipta lainnya yang menggambarkan kisah-kisah mimpi atau khayalan berasal dari pemilik tradisional, dan berdasarkan paham theocratitic Israel kuno, kreatifitas diakui sebagai pemberian Tuhan, sehingga tidak dapat diperdagangkan; 4. Perwujudan dari karya-karya ciptaan yang terdapat pada masyarakat penduduk asli dianggap dimiliki bersama-sama oleh kelompok secara keseluruhan; dan 5. Prinsip-prinsip pengaturan HAKI pada masyarakat penduduk asli dan negara-negara industri sangat berkaitan dengan kepemilikan hak-hak perseorangan (Cita Citrawinda Priapantja, 1999: 203). Penggunaan hukum untuk menakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat berhubungan erat dengan konsep penyelenggaraan kehidupan sosial ekonomi dalam masyarakat. Apabila proses sosial ekonomi dibiarkan berjalan menurut hukum kemasyarakatan sendiri, maka hukum tidak akan digunakan sebagai instrumen perubahan. Sebaliknya, apabila proses-proses sosial ekonomi disesuaikan dengan perencanaan, maka peranan hukum menjadi penting untuk membangun masyarakat. Jadi peranan hukum berkaitan erat dengan perkembangan masyaratyang didasarkan pada perencanaan. Pilihan telah ditentukan oleh Indonesia dengan turut sertanya Indonesia dalam perdagangan internasional, melalui persetujuan TRIPs-WTO. Sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh Koencaraningrat yang dikutip oleh Cita Citrawinda (Cita Citrawinda Priapantja, 1999: 205): “... apabila suatu kebudayaan atau suatu sub kebudayaan di dalam sebuah kelas tertentu dalam suatu masyarakat memiliki sualu tradisi turun temurun yang sudah mantap, dan yang karena itu memiliki kepentingan untuk mempertahankan tradisi kuno dan panjang itu, maka akan ada kecondongan timbulnya suatu sikap penolakan yang lebih intensif terhadap perubahan, daripada dalam kebudayaan yang tidak mempunyai tradisi yang panjang” Hal ini sebagian besar sesuai dengan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap Hak Kekayaan Intelektual khususnya tentang Paten Dapat kita ambil contoh terhadap Paten yang berasal dari Indikasi Geografis. Sebut saja kopi jenis arabika yang berasal dari Toraja, Sulawesi Selatan, yang ternyata sudah lebih dahulu didaftarkan oleh Key Coofee di Jepang oleh pengusaha asal Amerika Serikat Lantaran pendaftaran Paten dan merek kopi tersebut, maka laju ekspor kopi Toraja menjadi terhambat. Sebab, ekspornya harus melewati Key Coffee dan volume ekspornya diatur oleh mereka dan nilai tambahnya tentu bukan Pengusaha kopi Toraja yang menikmati (Insan Budi Maulana, 16 April 2004). Awamnya pemahaman masyarakat Indonesia di bidang Hak Kekayaan Intelektual adalah sebagian besar didasari dengan berbagai faktor budaya hukum antara lain karena adanya
anggapan bahwa pendaftaran tersebut tidak terlalu penting, faktor ekonomi mereka tetap terpenuhi, karena masyarakat Toraja tetap bisa menjual hasil kopinya kepada pengusaha kopi. Disamping itu masyarakat menganggap pengurusan Paten dan Merek membutnhkan biaya yang mahal dan memakan waktu yang lama. Hal ini seperti dikeluhkan oleh Insan Budi Maulana yang harus membayar sampai jutaan rupiah ketika mengajukan permohonan Paten dan Merek. “..Selain mahal, pengurusannya pun cukup lama sehingga kalau dibiarkan terus, bukan tidak mungkin Paten yang akan didaftarkan itu keburu ditemukan oleh negara lain” (Insan Budi Maulana, 16 April 2004) Apa yang dituturkan Insan itu pernah menimpa pengusaha produk kecantikan Martha Tilaar, ketika perusahaannya ingin mendaftrakan temuannya. Namun, akibat lamanya mengurus hak Paten tiba-tiba di luar negeri ada pengusaha asal Jepang, Shiseido, yang mendahului mendaftarkan Patennya dan mengklaim sebagai milik mereka. Akibat kasus tersebut, kini pihak Martha Tilaar harus berhati-hati menginformasikan hasil penelitiannya dan membatasi kerjasamanya dengan pihak asing (Insan Budi Maulana, 16 April 2004). J. PERBANDINGAN PERLINDUNGAN PATEN 1. Keinginan Masyarakat Internasional Tertuang dalam Patent Cooperation Treaty (PCT) PCT (yang ditandatangani di Washington pada tahun 1970) mempunyai satu kelebihan yaitu mempersingkat prosedur yang berkaitan dengan permohonan Paten nasional dan regional serta hak-hak Paten (Terrel, 2000: 7). Negara Indonesia baru meratifikasi Patent Cooperation Treaty pada tanggal 5 Mei 1997 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 tahun 1997 tentang Pengesahan Patent Cooperation Treaty dan Regulation Under The PCT dan berlaku secara efektiff pada tanggal 5 September 1997. Mengenai Permohonan Paten melalui Patent Coopertion Treaty ini telah menjadi perhatian para praktisi HKI sejak tahun 1998 seperti yang diungkapkan oleh Cita Citrawinda yang dikutip oleh Soedjono Dirdjosisworo, bahwa permohonan Paten dari luar negeri melalui Konsultan Paten Lokal kini berkurang. sebagai konsekuensi dari ratifikasi Patent Cooperation Treaty. Dengan PCT, maka permohonan Paten untuk berbagai negara dapat dilakukan memalui Biro Internasional di Jenewa, sehingga peranan Konsultan Paten Lokal otomatis berkurang (Soedjono Dirjosisworo, 2000: 333). Cita Citrawinda memberi contoh seorang Pemilik Paten dari Eropa yang menginginkan perlindungan hukum di Indonesia, Malaysia atau negara lain yang meratifikasi PCT, maka permohonan cukup melalui Biro Internasional di Jenewa itu, tanpa harus langsung ke negara yang dituju. Undang-undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten mengatur hal ini pada Pasal 109 yaitu sebagai berikut : (1) Permohonan dapat diajukan melalui Paten Cooperation Treaty (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 menyebutkan bahwa : (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kecepatan kepada seorang pemohon di Indonesia dalam mengajukan permohonan Patennya ke beberapa negara lain (yang juga merupakan anggota Patent Coopertion Treaty (PCT), dan sebaliknya pemohon yang berasal dari negara lain yang juga merupakan anggota PCT dapat dengan mudah dan cepat mengajukan permohonannya ke Indonesia.
(2) Hal-hal yang dimuat dalam Peraturan pemerintah antara lain mencakup : a. Persyaratan administratif tambahan yang harus dipenuhi oleh pemohon seperti : penggunaan bahasa asing yang dimungkinkan, penunjukkan kantor Paten yang akan ditugaskan sebagai institusi penelusur internasional (international search authority), dan institusi pemeriksaan pendahuluan internasional (international preliminary examination authority) oleh pemohon, dan sebagainya. b. Kewajiban Direktorat jenderal sebagai kantor penerima (receiving office) atau sebagai kantor tujuan (designated office) dari sistem ini, dan sebagainya. Peraturan pemerintah mengenai hal ini memang belum ada, akan tetapi permohonan paten melaui PCT sudah dilaksanakan dengan perangkat peraturan yang ada. 2. Perlindungan Paten di Indonesia Pengaturan mengenai Hak Kekayaan Intelektual yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2001 tentu saja dimaksudkan untuk memenuhi keinginan masyarakat dan masyarakat internasional yaitu menghargai hasil karya cipta yang dihasilkan oleh seseorang, dan ketentuan Paten ini tentunya membawa implikasi terhadap perlindungan hukum di bidang paten di Indonesia. Undang-undang Nomor 14 tahun 2001 tidak hanya memberikan perlindungan terhadap Paten-paten yang dimiliki orang Indonesia (Paten nasional) tetapi juga memberikan kesempatan kepada warga negara asing umtuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap patennya di Indonesia Ini merupakan konsekuensi dan keikutsertaan Indonesia di dalam konvensi paris dimana, konvensi ini mempunyai prinsip persamaan hak nasional (National Treatment Principle) yang diatur dalam Pasal 2 dan 3 (OK Saidin, 1995: 325). Terbukanya kesempatan kepada warga negara asing untuk mendapatkan perlindungan patennya di Indonesia diatur pada pasal 26, 27 dan 29 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Pasal-pasal ini mengautr tentang permintaan paten yang diajukan oleh warga negara asing Idham Ibrahim seperti dikutip oleh OK Saidin memberikan ulasan bahwa adanya perlindungan terhadap paten asing tidaklah cukup untuk mengalihkan teknologi dari negara maju, apabila Paten tersebut tidak dilaksanakan di negara berkembang. Hal ini disebabkan negara industri maju lebih senag mengerjakan patennya di negara sendiri atau negara-negara industri maju lainnya, kemudian hasilnya akan dipasarkan di negara berkembang. Dengan demikian biaya produksi lebih rendah, investasi lebih menguntungkan, pemasaran akan lebih luas, efisiensi lebih tinggi, keuntungan lebih besar, jika paten tersebut dilaksanakan di negara-negara maju (OK Saidin, 1995: 326). Sebaliknya negara berkembang akan lebih senang, agar paten asing tersebut dilaksanakan dinegaranya, hal ini untuk inenambah nilai tambah di negaranya sendiri seperti penggunaan bahan baku, tenaga buruh dan meningkatkan tenaga terampil di dalam negeri. Untuk itu Undangundang Paten 2001 dalam beberapa pasalnya mengatur tentang kewajiban untuk melaksanakan paten yang telah diberi perlindungan hukumnya di Indonesia. Ketentuan yang mengatur tentang hal ini diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, dimana ditentukan pemegang Paten wajib melaksanakan Patennya di wilayah negara Republik Indonesia. Kemudian Pasal 75 menentukan bahwa apabila dalam jangka waktu 3 tahun Paten tersebut tidak dilaksanakan, Ditjen Hak Kekayaan Intelektual dapat mengenakan lisensi wajib. Mengenai lisensi wajib ini diatur dalam Pasal 74-87 Undang-undang Paten 2001.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa Undang-undang paten tidak hanya memberi fungsi perlindungan hukum, tetapi dalam rangka proses alih teknologi, Undang-undang paten mewajibkan kepada paten-paten asing yang dimintakan perlindungan hukumnya di Indonesia. Pelaksanaan Paten asing tersebut di Indonesia tidak boleh sampai merugikan perkonomian nasional dan menghalangi alih teknologi di Indonesia. Untuk itu diperlukan jenis peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang paten tersebut, sehingga merupakan kewajiban badan yang berwenang untuk membuatnya. Apabila peraturan pelaksanaannya belum ada atau tidak dibuat, maka khususnya materi-materi yang perlu diatur segera menurut Undang-undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, tidak dapat dilaksanakan secara cepat dan efektif, karena pengaturan pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Keputusan Menteri, masih merujuk kepada ketentuan undang-undang yang lama yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi (Undangundang Nomor 6 tahun 1989 tentang Paten dan Undang-undang Nomor 13 tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang RI Nomor 6 tahun 1989 tentang Paten). Adapun dalam Undang-undang Paten Nomor 14 tahun 2001, ada beberapa Pasal yang memerlukan peraturan pelaksanaan yang lebih lanjut yaitu dengan Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres) seperti tertera dalam tabel berikut ini : Tabel 3 Peraturan Perundang-undangan sebagai Pelaksanaan Undang-undang RI Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten Perintah No Pasal dalam Masalah yang produk Urut UU No perlu diatur Hukum 14/2001 1 Pasal 15 Tata cara Peraturan ayat (5) memperoleh Pemerintah pengakuan pemakai terdahulu atas paten 2 Pasal 17 SyaratPeraturan ayat (4) syarat dan Pemerintah tata cara pengajuan permohonan tertulis terhadap produk yang dibuat atau penggunaan proses yang dilakukan secara regional
3
Pasal 24 ayat (3)
4
Pasal 25 ayat (4)
5
Pasal 59
6
Pasal 65
7
Pasal 73
8
Pasal 87
9
Pasal 103
10
Pasal 108 Pasal 109 ayat (2)
11
12
Pasal 113 ayat (1)
Mengenai tata cara pengajuan permohonan paten Mengenai syarat-syarat konsultan HaKI Pemberian sertifikat paten bentuk dan isi, serta pencatatan dan permohonan salinan dokumen Paten
Peraturan pemerintah
Susunan organisasi tugas dan fungsi komisi banding Paten Mengenai Perjanjian Lisensi Paten Mengenai Lisensi Wajib atas Paten Tata cara pelaksanaan Paten oleh pemerintah sendiri Mengenai Paten Sederhana Mengenai permohonan Paten melalui Patent Cooperation Teaty (PCT) Mengenai biaya penyelesaian permohonan paten yang wajib dibayar oleh pemohon Paten
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah Peraturan pemerintah
Peraturan pemerintah Peraturan Pemerintah Peraturan pemerintah
Peraturan Pemerintah Peraturan pemerintah
Peraturan pemerintah
13
Pasal 25 ayat (4)
14
Pasal 29
15
Pasal 38
16
Pasal 39
17
Pasal 48 ayat (2)
18
Pasal 63
19
Pasal 66 ayat (5)
20
Pasal 99 ayat (2)
Tata cara pengangkatan Konsultan HKI Permohonan bukti Hak Prioritas dari Direktur Jenderal dan permohonan yang diajukan dengan Hak Prioritas
Keputusan Presiden
Perubahan permohonan Paten yang diajukan semula Tata cara syarat-syarat penarikan kembali permohonan Paten
Keputusan Presiden
Tata cara permohonan pemeriksaan, serta penyelesaian banding atas penolakan permohonan Paten Tata cara permohonan pemeriksaan serta penyelesaian banding atas penolakan permohonan Paten Mengenai syarat dan tata cara pencatatan pengalihan Paten Mengenai penetapan pelaksanaan sendiri suatu Paten oleh pemerintah
Keputusan Presiden
Keputusan Presiden
Keputusan Presiden
Keputusan Presiden
Keputusan Presiden
Keputusan Presiden
21
Pasal 113 ayat (2)
Mengenai Keputusan syarat, jangka Presiden waktu, dan tata cara pembayaran biaya permohonan Sumber : Disusun oleh Pipin Syarifin, et. al, dalam bukunya : Peraturan Hak kekayaan Intelektual di Indonesia, 2004, h. 146-148 Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, baru akan dapat dianggap sempurna dan lengkap mengenai peraturan Paten jika telah dibuat Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri Kehakiman yang dapat dipakai sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan Paten bagi masyarakat pencari keadilan dan bagi penegakan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual, khususnya bidang hukum Paten di Indonesia. Adapun Peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang Paten lama adalah sebagai berikut : a. Peraturan pemerintah RI Nomor 11 Tahun 1991 tentang Bentuk dan Isi Surat Paten b. Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1991 tentang Impor bahan Baku Produk Tertentu yang dilindungi Paten bagi Produksi Obat Dalam Negeri. c. Peraturan pemerintah RI Nomor 33 Tahun 1991 tentang Pendaftaran Khusus Konsultan Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1991 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3443) yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 Juni 1991 d. Peraturan pemerintah RI Nomor 34 Tahun 1991 tentang Tata Cara permintaan Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1991 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3444) yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Juni 1991 Peraturan pemerintah RI Nomor 31 Tahun 1995 tentang Komisi Banding Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1995 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3606) yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 1995 (Pipin Syarifin., et.al, 2004: 151). K. KESIMPULAN Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Perlindungan Paten menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten masih memiliki beberapa kelemahan yaitu antara lain : a. Masih banyaknya peraturan pelaksanaan yang mendukung dilaksanakannya undangundang tersebut, belum ada, sehingga masih menggunakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang terdahulu yang sudah tidak berlaku lagi; b. Efektifitas perlindungan Paten belum dapat dilaksanakan secara maksimal disebabkan faktor Penegakan hukum yang lemah yaitu yang dipengaruhi oleh sarana dan prasarana yang kurang mamadai, aparat hukum yang belum mempunyai komitmen yang tinggi terhadap perlindungan Hak Kekayaan Intelektual; dan budaya hukum masyarakat yang awam tentang Hak kekayaan Intelektual yang disebabkan oleh belum adanya persamaan persepsi diantara aparat penegak hukum, dan kurangnya kesadaran masyarakat. 2. Secara substansi pengaturan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 sudah memenuhi keinginan yang tertuang dalam perjanjian Internasional yang dapat disebabkan oleh sedikitnya dua faktor yang mendukung yaitu :
a. Merupakan konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia di dalam perjanjian Internasional yaitu Konvensi Paris. Konvensi ini mempunyai prinsip persamaan hak nasional (National Treatment Principle) yang diatur dalam Pasal 2 dan 3. Terbukanya kesempatan kepada warga negara asing untuk mendapatkan perlindungan Patennya di Indonesia diatur pada pasal 26, 27 dan 29 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Pasal-pasal ini mengatur tentang permintaan Paten yang diajukan oleh warga negara asing. b. Terhadap PCT yaitu dengan dimungkinkannya sistem permohonan Paten melalui PCT c. Agar alih teknologi dapat dilaksanakan, yaitu dengan cara memberikan kepastian hukum terhadap para investor, yang tentunya akan berakibat terhadap aspek perekonomian Indonesia. 3. Ketentuan dalam PCT sangat bermanfaat bagi Pemohon Paten, antara lain dapat disimpulkan sebagai berikut. a. Pada saat pengajuan, cukup satu permintaan Paten, yang diajukan dalam satu bahasa, pada satu Kantor Paten, untuk menggantikan pengajuan Paten ke banyak negara; b. Tetap dapat menggunakan hak prioritas; c. Tanggal penerimaan permintaan internasional adalah tanggal penerimaan permintaan nasional di semua Kantor Paten yang dituju; d. Persyaratan formal yang seragam dapat diterima oleh. semua Kantor Paten yang dituju; e. Pengendalian pemrosesan terhadap permintaan Paten dapat lebih mudah dilakukan dari negara asal; f. Untuk membantu mengambil keputusan perlu tidaknya melanjutkan pemrosesan permintaan Paten, para pemohon dapat memanfaatkan laporan penelusuran pendahuluan yang memberikan indikasi tentang peluang mereka memperoleh Paten ; g. Seringkali, pemohon tidak perlu memutuskan untuk memasuki tahap nasional atas permintaan Patennya sampai 30 bulan sejak tanggal prioritas permintaan, yang berarti 30 bulan sejak penerimaan paten di negara asal. DAFTAR PUSTAKA Buku : Adisumarto, Harsono, Hak Milik Intelektual, Khususnya Paten dan Merek Hak milik Perindustrian (industrial Property), CV Akademika Pressindo, Jakarta, 1990 Apeldoorn, LJ.van, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, cet. 29, 2001 Dirdjosiswono, Soedjono., Hukum Perusahaan mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (Hak Cipta, Hak Paten, Hak Merek), Mandar Maju, Bandung, 2000 Griffin, Ricky W., Bisnis (judul Asli : Business, Forth Edition), Prenhalindo, Jakarta, 2000 Indonesia, Direktorat Jenderal HaKI, Paket Informasi, Jakarta, 2002 Indonesia, Direktorat Jenderal HaKI, Tanya Jawab UU No.14/2001 tentang Paten (lengkap dan terpadu dengan penjelasannya), Dahara Prize, Semarang, 2004 Jumhana, Muhammad dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia), Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2003
Kansil, CST, Perlindungan Hak Milik Intelektual dan Pengaruhnya Terhadap Industri dan Perdagangan Intrnasional (Seminar tentang Pengaruh Hak Milik Intelektual Terhadap Industri dan Perdagangan Internasional di Jakarta, 1993) Lindsey., Tim, Eddy Damian, Simon Butt, dan Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (Suatu Pengantar), PT. Alumni, Bandung, 2002 Markoff, John, A High Techology Outcry Against the US Paten System, The New York Times, 3 Januari 1994 Muhammad, Abdulkadir, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2001 Pamuntjak, Amir, Sistem Paten : Pedoman Praktik dan Alih Teknologi, Djambatan, Jakarta, 1994 Priapantja, Cita Citrawinda, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globaliasi (Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi), Chandra Pratama, Jakarta, Cet. 1, 1999 ____________, Hak Kekayaan Intelektual Tantangan Masa Depan, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003 Riswandi, Budi Agus, dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2004 Saidin, OK., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property right), Grafindo Persada, Jakarta, 1995 Syarifin, Pipin, dan Dedah Jubaedah, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Pustaka Bani Quraisy Bandung, 2004 Soekanto, Soerjono, Pengantar penelitian Hukum, UI Press Jakarta, 1986 Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Grafindo, Jakarta, 1995 Terrel, On The Law of Patents, Sweet & Maxwell, London, 2000 Tim Redaksi Tatanusa, Undang-undang Rahasia Dagang, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Paten, Merek Hak Cipta, Tatanusa, Jakarta, 2002 Usman, Rachmadi, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2003 Makalah dan Majalah : Darjoto, S. Widatoen, Informasi Teknologi Paten dalam Pemasyarakatannya, (Seminar sehari Peranan Informasi Teknologi Paten Menunjang Industrialisasi di Jakarta tanggal 30 Agustus 1988, diadakan oleh Biro Oktroi Rooseno dan PD II - LIPI)
Tim Keppres, Strategi dan Peranan Hukum Hak Milik Intelektual dalam Menyongsong Era Globalisasi, (Panel diskusi bidang hukum hak milik intelektual di Jakarta tanggal 4 Pebruari 1992, diadakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya) Supradedi, Kebijakan dan Pemberdayaan Unit Pengelola Hak Kekayaan Intelektual pada Perguruan Tinggi dan Penelitian dan Pengembangan, makalah Seminar Pemanfaatan Sistem HKI oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian Pengembangan (diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal HKI bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency, Jakarta, 11-12 Juli 2005 Sinungan, Ansori, Perkembangan Global dan Sistem Perlindungan Hak Cipta dan Desain Industri di Indonesia, makalah Seminar Pemanfaatan Sistem HKI oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian Pengembangan (diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal HKI bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency, Jakarta, 11-12 Juli 2005 Majalah Gatra, Kebangkitan Iptek Nasional, Edisi Khusus 17 Agustus 2004 Surat Kabar Harian Media Indonesia, tanggal 2 Pebruari 2005 Harian Republika, tanggal 24 Mei 2004. Warta Ekonomi, tanggal 16 April 2004 Kompas, tanggal 22 Mei 2000 Internet http://www.dgip.go.id http://www.indonesia.go.id http://www.ccpit-patent.com.cn/News/2003082602.htm Peraturan Perundang-undangan : Indonesia, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten beserta Penjelasannya Indonesia, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang paten.