PLANT AGRONOMY
EFEKTIFITAS PENGGUNAAN PUPUK KASCING DAN EKSTRAK TEH TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN SAWI HIJAU (Brassica juncea L.)
Palupi Puspitorini* dan Fery Jatmiko**
*Dosen Fakultas Pertanian Universitas islam Balitar **Mahasiswa Fakultas Universitas islam Balitar Abstract Green cabbage (Brassica juncea L.) is a vegetable plant with sub-tropical climate, but able to adapt well in tropical climates. Public demand for more and more increasing mustard. With the ever increasing demand for mustard greens, one of the efforts to increase production that can be done is through good land management, adequate irrigation, fertilization and pest prevention. This study aims to determine the effect of fertilizer use kascing and tea extracts on the growth and yield of green mustard plant (Brassica juncea L.). Location of the study was conducted in a research block of SMKN Kademangan Blitar district in May-June 2012. The study was conducted using a factorial design divided plot is the first factor with four dosage of fertilizer kascing extent that K0 (control), K1 (kascing dose of 10 g/tan), K2 (kascing dose of 20 g/tan), K3 (kascing dose of 30 g/tan ) and the second factor with four tea extract concentration level is P0 (control), P1 (tea extract concentration of 20 g/l), P2 (tea extract concentration of 30 g/l), P3 (tea extract concentration of 40 g/l), how no fertilizer kascing tea extracts on the green mustard plants spread and watered with a distance of 5 cm from the mustard plant with an adjusted dose of each treatment. Data obtained from this study were analyzed by analysis of variance (ANOVA), followed by the Smallest Real Differences test (LSD) 5%. The results of this study indicate that there are interactions on plant growth and yield of mustard greens on the use of kascing and tea extracts. Treatment with the use of kascing and tea extract at a dose of 30 g/tan and a concentration of 40 g/l (K3P3) gives the best results for plant height, leaf number and dosage of 20 g/tan and a concentration of 40 g/l (K2P3) for fresh weight green cabbage plants. Key words: Plant Green cabbage (Brassica juncea L), Tea Extract, Fertilizer , kascing
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /1
PLANT AGRONOMY
PENDAHULUAN Latar Belakang Sawi (Brassica juncea L.) merupakan tanaman sayuran dengan iklim sub-tropis, namun mampu beradaptasi dengan baik pada iklim tropis. Sawi pada umumnya banyak ditanam dataran rendah, namun dapat pula didataran tinggi. Sawi tergolong tanaman yang toleran terhadap suhu tinggi (panas). Saat ini, kebutuhan akan sawi semakin lama semakin meningkat seiring dengan peningkatan populasi manusia dan manfaat mengkonsumsi bagi kesehatan. (Haryanto, 2001) menyatakan sawi mempunyai nilai ekonomi tinggi setelah kubis crop, kubis bunga dan brokoli. Sebagai sayuran, sawi hijau atau dikenal dengan caisim mengandung berbagai khasiat bagi kesehatan. Kandungan yang terdapat pada sawi hijau adalah protein, lemak, karbohidrat, Ca, P, Fe, Vitamin A, Vitamin B, dan Vitamin C. Manfaat sawi hijau atau sawi bakso sangat baik untuk menghilangkan rasa gatal di tenggorokan pada penderita batuk, penyembuh sakit kepala, bahan pembersih darah, memperbaiki fungsi ginjal, serta memperbaiki dan memperlancar pencernaan. Daun Brassica juncea berkhasiat untuk peluruh air seni, akarnya berkhasiat sebagai obat batuk, obat nyeri pada tenggorokan dan peluruh air susu, bijinya berkhasiat sebagai obat sakit kepala (Anonim, 2008a). Permintaan masyarakat terhadap caisim semakin lama semakin meningkat. Dengan permintaan sawi hijau yang semakin meningkat, maka untuk memenuhi kebutuhan konsumen, baik dalam segi kualitas maupun kuantitas, perlu dilakukan peningkatan produksi. Salah satu upaya peningkatan hasil yang dapat dilakukan adalah melalu mekanisme pengolahan lahan yang baik, pengairan yang cukup, penanggulangan hama penyakit serta pemupukan. Dewasa ini pemupukan yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan melalui sistem organik sangat dianjurkan. Bahan pemupukan yang dapat digunakan salah satunya adalah berupa limbah
teh dan kascing (kotoran bekas pemeliharaan cacing). Air sisa teh yang dibuang dapat menjadi limbah rumah tangga. Padahal berdasarkan pengalaman di lapangan air sisa teh dapat menyuburkan tanaman ketika dibuang disamping tanaman. Menurut pengalaman Isroi (2008) tanaman yang disiram dengan air teh pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dengan yang tidak diberi air teh. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai limbah rumah tangga, air teh dapat dimanfaatkan sebagai pupuk bagi tanaman. Menurut Kustamiyati (2000) kandungan hara atau mineral air teh cukup beragam, baik unsur makro maupun mikro, namun, secara ilmiah perlu dibuktikan kebenarannya. Selain air teh, pupuk yang baik untuk tanaman adalah pupuk kascing. Pupuk kascing merupakan pupuk organik dari perombakan bahan-bahan organik dengan bantuan mikroorganisme dan cacing. Kascing mengandung berbagai unsur hara dan kaya akan zat pengatur tumbuh yang mendukung pertumbuhan tanaman. Kascing mengandung zat pengatur tumbuh seperti giberellin, sitokinin dan auxin, serta unsur hara N, P, K, Mg dan Ca dan Azotobacter sp yang merupakan bakteri penambat N nonsimbiotik yang akan membantu memperkaya unsur N yang dibutuhkan oleh tanaman. Kascing juga mengandung berbagai unsur hara mikro yang dibutuhkan tanaman seperti Fe, Mn, Cu, Zn, Bo dan Mo (Kartini, 2005). Penggunaan air/ekstrak teh dan pupuk kascing diharapkan dapat memberikan pengaruh yang positif karena keduanya merupakan penerapan pupuk organik yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Ekstrak teh dan pupuk kascing perlu dikaji lebih jauh dengan melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruhnya terhadap tanaman sawi hijau. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh penggunaan pupuk kascing dan ekstrak teh terhadap
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /2
PLANT AGRONOMY
pertumbuhan dan hasil tanaman sawi hijau (Brassica juncea L.). 2. Mengetahui penggunaan dosis pupuk kascing dan konsentrasi ekstrak teh yang efektif terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi hijau(Brassica juncea L). 3. Mengetahui pengaruh interaksi penggunaan pupuk kascing dan ekstrak teh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi hijau (Brassica juncea L.). METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Mei sampai tanggal 21 Juni 2012 di lahan pertanian SMKN Kademangan Blitar. Provinsi Jawa Timur. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian : Gelas Air Mineral, Pengaduk, Alat Tulis, Penggaris, Timbangan Digital, Ember, Alat Hitung, Gelas Ukur, Baki.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah : Tanah, Benih Sawi, Pupuk kascing, Ekstrak teh (teh 999), Air , Label. Metode Penelitian 1. Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan Rancangan Petak Terbagi (RPT) yang disusun secara faktorial dengan 2 faktor yaitu : A. Dosis pupuk kascing (Petak utama), dengan 4 taraf yaitu : 1. K0 : Pupuk kascing dosis 0 g/tan 2. K1 : Pupuk kascing dosis 10 g/tan 3. K2 : Pupuk kascing dosis 20 g/tan 4. K3 : Pupuk kascing dosis 30 g/tan B. Konsentrasi ekstrak teh (Anak petak), dengan 4 taraf yaitu: 1. P0 : Ekstrak teh konsentrasi 0 g/l. 2. P1 : Ekstrak teh konsentrasi 20 g/l 3. P2 : Ekstrak teh konsentrasi 30 g/l 4. P3 : Ekstrak teh konsentrasi 40 g/l
Didapatkan variasi kombinasi 16 perlakuan sebagai berikut : K0P0
K1P0
K2P0
K3P0
K0P1
K1P1
K2P1
K3P1
K0P2
K1P2
K2P2
K3P2
K0P3
K1P3
K2P3
K3P3
dan dilakukan ulangan sebanyak 3 kali. Dalam setiap ulangan ada 15 unit sampel, sehingga total 720 unit tanaman. Denah penelitian dengan Rancangan Petak Terbagi (RPT) Tanaman Sawi Hijau disajikan dalam Lampiran 5. 2. Pelaksanaan Penelitian a. Persemaian benih Persemaian benih dilakukan dengan menggunakan media tanah pasir. Benih
yang ditanam kemudian ditutup dengan arang sekam tipis. b. Pengolahan lahan Pengolahan tanah pada lahan dilakukan pada saat sebelum dilakukan pemindahan tanaman sawi ke lahan penelitian, pengolahan lahan dilakukan dengan cara tanah dibajak menggunakan traktor kemudian tanah hasil bajakan diberi pupuk dasar berupa kotoron ternak. c. Penanaman bibit Bibit yang telah berumur 2 minggu (berdaun 4 helai) dipindahkan ke lahan. Bibit yang dipilih adalah bibit yang sehat, baik dan seragam.
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /3
PLANT AGRONOMY
d. Membuat ekstrak teh Teh direndam dalam air dengan konsentrasi sesuai perlakuan dan dibiarkan selama semalam. Kemudian larutan disaring untuk memisahkan antara ampas dan ekstrak teh. Ekstrak teh siap untuk diaplikasikan pada tanaman. e. Pemeliharaan tanaman Penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari. Penyulaman dilakukan untuk
mengganti bibit yang mati 3 -7 Hari Setelah Tanam. Penyiangan dilakukan dengan cara mencabut gulma secara hati-hati agar tidak merusak tanaman. Pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara mekanik dan secara hayati menggunakan ekstrak daun mimba. Pemanenan. Pemanenan dilakukan setelah sawi berumur 42 HST. Kriteria panen sawi ketika daun paling bawah menunjukkan warna kuning dan belum berbunga. f. Aplikasi ekstrak teh Ekstrak teh yang telah siap disiramkan ke tanaman dengan menggunakan gelas air mineral. Aplikasi larutan teh dilakukan seminggu sekali pada waktu pagi hari. Setiap tanaman mendapatkan 100 ml ekstrak teh tiap aplikasi. Aplikasi dilakukan mulai 1 MST, 2 MST, 3MST, 4, MST. g. Aplikasi kascing Kascing yang sudah melalui proses pengeringan dan pengayakan di timbang sesuai dengan takaran yang akan diberikan pada masing-masing perlakuan, kascing diberikan pada tanaman dengan cara disebar sekitar tanaman. Aplikasi
dilakukan mulai 1 MST, 2 MST, 3MST, 4, MST. 3. Variabel Penelitian a. Tinggi tanaman (cm) Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal batang sampai bagian tertinggi tanaman. Pengukuran dilakukan setiap seminggu sekali. Pengamatan dilakukan mulai 3 MST, 4 MST, 5 MST, 6 MST. b. Jumlah daun Jumlah daun dihitung secara manual dengan menghitung jumlah daun tanaman. Daun yang dihitung yaitu daun yang sudah terbentuk sempurna. Penghitungan dilakukan setiap seminggu sekali. Pengamatan dilakukan mulai 3 MST, 4 MST, 5 MST, 6 MST. c. Luas daun(cm²) Luas daun dihitung dengan rumus pnjang x lebar x konstanta daun sawi (0,6), sedangkan pengukurannya menggunakan penggaris untuk mendapatkan jumlah panjang dan lebar daun. Pengamatan luas daun dilakukan mulai 3 MST, 4 MST, 5 MST, 6 MST. d.Berat segar tanaman tanpa akar (Kg) Berat segar tanaman tanpa akar diperoleh setelah tanaman di panen, dipotong pada pangkal batang dan di bersihkan kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan digital pada 6 MST HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pengamatan Tinggi Tanaman (cm) Berdasarkan hasil Analisis Ragam (Anova) 5% menunjukkan perlakuan utama pemberian pupuk kascing dan ekstrak teh pada pengamatan minggu ke 3, 4, 5, 6 MST (Minggu Setelah Tanam) menunjukkan interaksi yang tidak nyata terhadap peubah tinggi tanaman sawi hijau (Lampiran 1).
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /4
PLANT AGRONOMY
Tetapi masing-masing faktor yaitu dosis pupuk kascing (K) dan konsentrasi ekstrak teh (P) memberikan perbedaan nyata. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% dari masing – masing faktor K dan P disajikan pada (Tabel 1). Tabel 1. Rata-rata Tinggi Tanaman (cm) pada semua perlakuan 3,5,6 mst. Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang tidak sama berbeda nyata pada uji BNT 5%.MST =minggu setelah tanam. Pengamatan ke 3, 5, 6 MST pada perlakuan K3 menunjukkan hasil paling baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Perlakuan 3 mst 5 mst 6 mst K0 85.4 a 98.4 a 100.3 a K1 92.6 b 99.7 b 100.4 a K2 90.8 b 100.4 c 101.6 b K3 101.6 c 103.4 d 103.8 c BNT 5% 2.36 0.55 0.34 P0 85.6 a 98.9 a 99.6 a P1 94.6 b 100.0 b 101.2 b P2 92.3 b 100.7 c 102.1 c P3 97.8 c 102.4 d 103.3 d BNT 5% 2.36 0.55 0.34 Demikian juga pada perlakuan P3 menunjukkan hasil yang paling baik, dan hasil terendah pada peubah tinggi tanaman yaitu K0 dan P0.
Tetapi pada pengamatan 3 MST untuk Pengamatan Jumlah Daun (helai) faktor K yaitu dosis pupuk kascing Berdasarkan hasil Analisis Ragam memberikan perbedaan nyata, maka (Anova) 5% menunjukkan perlakuan utama dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil pemberian pupuk kascing dan ekstrak teh pada (BNT) 5% dari faktor K disajikan pada Tabel pengamatan minggu ke 3, 4, 5 MST (Minggu 2. Setelah Tanam) menunjukkan interaksi yang tidak nyata terhadap peubah jumlah daun tanaman sawi hijau. Tabel 2. Rata-Rata Jumlah Daun ( helai) Tanaman Sawi hijau pada 3 mst. Perlakuan K0 K1 K2 K3 BNT 5%
3 mst 24.9 27.6 26.8 28.7 0.80
A B B C
Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang tidak sama berbeda nyata pada uji BNT 5%. MST= minggu setelah tanam Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% dengan masing- masing faktor menunjukkan hasil pengamatan ke 3 MST terdapat perbedaan yang nyata. Pada pengamatan ke 3 MST menunjukkan hasil terbaik pada perlakuan K3 Tabel 2.
Interaksi yang terjadi pada peubah jumlah daun terjadi pada pengamatan 6 MST, jumlah daun terbaik terdapat pada perlakuan K3P3 data selengkapnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-Rata Jumlah Daun ( helai) Tanaman Sawi hijau pada 6 mst. GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /5
PLANT AGRONOMY
perlakuan Rerata notasi K0P0 12.3 a K0P1 12.4 a K0P2 13.1 a K0P3 12.7 a K1P0 12.5 a K1P1 12.9 a K1P2 13.2 a K1P3 14.0 b K2P0 12.9 a K2P1 13.0 a K2P2 13.8 b K2P3 13.7 b K3P0 13.2 a K3P1 13.7 b K3P2 14.0 b K3P3 14.3 b BNT 5 % 0.5 Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang tidak sama berbeda nyata pada uji BNT 5%. MST= minggu setelah tanam
Berdasarkan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% pada pengamatan ke 6 MST menunjukkan perbedaan hasil yang nyata. Pada hasil rata-rata jumlah daun sawi hijau terendah terdapat pada perlakuan K0A0 yaitu 12,2 helai dan rata-rata jumlah daun sawi hijau tertinggi pada perlakuan K3P3 yaitu perlakuan kombinasi pupuk kascing dosis 30 g/tan dan ekstrak teh 40g/l dengan rata-rata 14,3 helai dan hasil selengkap nya tersaji dalam Tabel 3.
Gambar 1. Grafik Jumlah Daun Dengan Macam Perlakuan Dari grafik yang tersaji diatas, jumlah daun perlakuan K3P3 pada pengamatan ke 6 MST menunjukkan grafik yang terbaik dibanding hasil perlakuan lainnya (Gambar 1). Pengamatan Luas Daun (cm²) Berdasarkan hasil Analisis Ragam (Anova) 5% menunjukkan perlakuan utama pemberian pupuk kascing dan ekstrak teh pada pengamatan minggu ke 3, 4, 5, 6 MST (Minggu Setelah Tanam) menunjukkan interaksi yang tidak nyata terhadap peubah luas daun tanaman sawi hijau. Tetapi pada pengamatan 5 MST masing-masing faktor yaitu dosis pupuk kascing (K) dan konsentrasi ekstrak teh (P) memberikan perbedaan nyata. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% dari masing – masing faktor K dan P disajikan pada (Tabel 4). GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /6
PLANT AGRONOMY
Tabel 4. Rata-Rata luas daun (cm²) pada semua perlakuan. Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang tidak sama berbeda nyata pada uji BNT 5%. MST= minggu setelah tanam Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% dengan masing- masing faktor pengamatan ke 5 MST terdapat perbedaan yang nyata. Pada pengamatan ke 5 MST menunjukkan hasil terbaik pada perlakuan K3 dan P3 Tabel 4. Pengamatan Berat Segar (kg) Berdasarkan hasil Anova 5% menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang berbeda nyata pada peubah berat segar pada pengamatan ke 6 MST . Untuk mengetahui perbedaan interaksi pupuk kascing dan ekstrak teh terhadap peubah berat segar tanaman maka dilanjutkan dengan menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5%, data selengkapnya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rata-Rata Berat Segar (kg) pada semua perlakuan. perlakuan K0P0 K0P1 K0P2 K0P3 K1P0 K1P1 K1P2 K1P3 K2P0 K2P1 K2P2 K2P3 K3P0 K3P1 K3P2 K3P3 bnt 5%
rerata 0.160 a 0.210 c 0.223 c 0.237 c 0.193 b 0.207 c 0.227 c 0.227 c 0.213 c 0.260 d 0.250 d 0.373 f 0.190 b 0.237 c 0.250 d 0.277 e 0.010
Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang tidak sama berbeda nyata pada uji BNT 5%. MST= minggu setelah tanam Perlakuan K0 K1 K2 K3 BNT 5% P0 P1 P2 P3 BNT 5%
5 mst 308.4 366.7 331.2 460.3 14.78 321.6 357.0 379.9 408.1 14.78
Notasi A C B D A B C D
Berdasarkan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% pada pengamatan ke 6 MST menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata. Pada hasil rata-rata berat segar tanaman sawi hijau terendah terdapat pada perlakuan K0A0 yaitu 0.160 gram dan rata-rata berat segar tanaman sawi hijau tertinggi pada perlakuan K2P3 yaitu perlakuan kombinasi pupuk kascing dosis 20 g/tan dan ekstrak teh 40 g/l dengan rata-rata 0.373 gram dan hasil selengkapnya tersaji dalam Tabel 5. Pada pengamatan berat segar tanaman sawi hijau, hasil yang terbaik terjadi pada perlakuan K2P3 pengamatan minggu ke 6MST, sebagaimana yang tersaji dalam Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Grafik berat segar tanaman tanpa akar dengan macam perlakuan.
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /7
PLANT AGRONOMY
Dari grafik yang tersaji diatas, hasil berat segar tanaman sawi hijau terdapat perbedaan yang nyata dengan hasil rata-rata yang berbeda.Pada perlakuan kombinasi K0A0 terdapat hasil lebih rendah dibanding perlakuan lainnya dan pada perlakuan kombinasi K2P3 menunjukkan hasil yang terbaik dari perlakuan lainnya (Grafik 2). Pembahasan Tinggi Tanaman Sawi Hijau Berdasarkan hasil Analisis Ragam (Anova) 5% menunjukkan perlakuan utama pemberian pupuk kascing dan ekstrak teh pada pengamatan minggu ke 3, 4, 5,6 MST (Minggu Setelah Tanam) menunjukkan interaksi yang tidak nyata terhadap peubah tinggi tanaman sawi hijau sehingga tidak dilanjutkan ke BNT 5 %. Data selengkapnya disajikan pada (Lampiran 1). Pada pengamatan minggu ke 3, 5, 6 MST masing – masing faktor menunjukkan perbedaan yang nyata. Sehingga pengamatan ke 3, 5, 6 MST pada perlakuan K3 tetap menunjukkan hasil paling baik atau berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Demikian juga pada perlakuan P3 menunjukkan hasil yang paling baik, dan hasil terendah pada peubah tinggi tanaman yaitu K0 dan P0. Hasil selengkapnya disajikan dalam Tabel1. Hal ini disebabkan pada minggu ke 3,5 dan 6 terjadi adanya faktor lingkungan, serta pupuk kascing dan pemberian ekstrak teh dengan waktu dan dosis yang tepat dalam pemberian sehingga tanaman sawi hijau mampu menyerap hara dengan baik dan dapat dimanfaatkan secara optimal terhadap tinggi tanaman. Sedangkan pada minggu ke 4 tidak terdapat hasil yang nyata disebabkan juga adanya factor iklim dan lingkungan yang kurang mendukung, pada minggu ke 4 suhu yang terjadi terlalu tinggi atau panas dan kurang ketersediaan air sehingga unsur makro maupun mikro pada saat pemberian pupuk kascing dan ektrak teh tidak terserap optimal terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. Padahal meskipun dibutuhkan
dalam jumlah yang lebih sedikit, unsur mikro ini tidak kalah pentingnya dengan unsur hara makro sebagai komponen struktural sel yang terlibat langsung dalam metabolisme sel dan aktivitas enzim (Haryanto. 2001). tetapi pada minggu berikutnya faktor iklim dan lingkungan mulai mendukung sehingga pada minggu ke 5 dan 6 terdapat hasil yang nyata pada masing – masing faktor. Tanaman setiap waktu terus tumbuh yang menunjukkan telah terjadi pembelahan dan pembesaran sel. Pertumbuhan tanaman sawi hijau sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, fisiologi dan genetik tanaman. Berdasarkan uji Beda Nyata Terkecil pada pengamatan ke 4 MST dari beberapa perlakuan terdapat perbedaan hasil yang tidak nyata. Hal ini disebabkan pemberian pupuk kascing dan ektrak teh dengan dosis yang kurang tepat. Sehingga pada proses penyerapan hara ke tanaman sawi dalam kebutuhan nutrisinya tergantung dari jumlah dosis yang ditentukan. Upaya peningkatan efisiensi penggunaan pupuk dapat ditempuh melalui prinsip tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, tepat waktu aplikasi, dan berimbang sesuai kebutuhan tanaman (Jamin. 2002). Pengamatan minggu ke 3,5 dan 6 setelah tanam pada perlakuan adalah (K3) pemberian pupuk kascing dosis 30 g/tan dan (P3) ektrak teh konsentrasi 40 g/l menunjukkan hasil rata-rata yang terbaik dan terjadi peningkatan tinggi tanaman yang signifikan. Haryanto (2001) mengemukakan bahwa peningkatan jumlah hara dapat meningkatkan hasil pada takaran tertentu. Sehingga efektivitas pertumbuhan tinggi tanaman sawi hijau mencapai rata-rata 35.5 cm terhadap pemberian pupuk kascing dosis 30 g/tan dan ektrak teh 40 g/l.
Jumlah Daun Tanaman Sawi Hijau Berdasarkan hasil Analisis Ragam (Anova) 5% menunjukkan bahwa perlakuan GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /8
PLANT AGRONOMY
pemberian pupuk kascing dan ekstrak teh pada pengamatan minggu ke 6 MST menunjukkan interaksi yang nyata pada jumlah daun sawi. Sehingga dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil 5 %. Hal ini disebabkan karena dosis atau konsentrasi yang berbeda pada tanaman sawi hijau dari beberapa perlakuan kombinasi, daya penyerapan hara yang diserap oleh tanaman sawi terjadi perbedaan, sehingga jika daya penyerapannya optimal dan cepat maka hasil dari jumlah daun akan meningkat baik, tetapi jika lambat dan kurang optimal maka jumlah daun pun belum bisa mencapai hasil yang terbaik, sehingga perlu adanya penambahan unsur hara. Seperti yang dijelaskan oleh Kariada (2000) penambahan hara dan zat pengatur tumbuh dari kascing berperan penting dalam pembentukan daun. Pada pengamatan minggu ke 3 MST tidak terdapat interaksi nyata terhadap pemberian pupuk kascing (Lampiran 2). Sehingga dilanjutkan dengan uji perbandingan perlakuan yang terbaik menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% dengan menghitung masing faktor K. disajikan pada Tabel 2. Pertumbuhan optimal tanaman sawi hijau akan tercapai jika kondisi lingkungan seperti cahaya, kelembaban, suhu dan jenis tanah mendukung. Pada pengamatan tinggi tanaman sebelumnya juga berkaitan dengan hasil jumlah daun (Arief, A. 1990). Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% dengan masing- masing faktor menunjukkan hasil pengamatan ke 3 MST terdapat perbedaan yang nyata. Pada pengamatan ke 3 MST menunjukkan hasil terbaik pada perlakuan K3 Tabel 2. Berdasarkan hasil rata-rata yang tersaji dalam Tabel 2 pada pengamatan ke 3 MST dan 6 MST pada beberapa perlakuan tedapat perbedaaan yang nyata hal ini. Tetapi pada minggu ke 4 dan 5 tidak terjadi perbedaan hasil yang nyata pada semua perlakuan hal ini disebabkan juga adanya cara daya penyerapan hara dan belum terdekomposisikan merata ke seluruh organ tanaman sawi. Sehingga pada
minggu ke 6 pupuk kascing dan ekstrak teh sudah terdekomposisi merata semua terhadap pertumbuhan jumlah daun. Sehingga efektivitas pertumbuhan jumlah daun tanaman sawi hijau mencapai rata-rata 10 - 14.3 cm² terhadap pemberian pupuk kascing dosis 30 g/tan dan ektrak teh 40 g/l. Luas Daun Tanaman Sawi Hijau Berdasarkan hasiluji analisa Anova 5% pengamatan ke 3,4,5,6 MST terhadap semua perlakuan menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata terhadap luas daun yang dihasilkan. Sehingga tidak dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil BNT 5 % (Lampiran 3) tetapi pada pengamatan ke 5 MST masih terdapat faktor yang nyata pada perlakuan K maupun P sehingga dilanjut dengan uji BNT 5% (Tabel4). Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% dengan masing-masing faktor pengamatan ke 5 MST terdapat perbedaan yang nyata. Pada pengamatan ke 5 MST menunjukkan hasil terbaik pada perlakuan K3 dan P3 Tabel 2. Pada pengamatan luas daun, luas daun yang terbaik terjadi pada perlakuan K3 dan P3 pengamatan ke 5 MST, sebagaimana yang tersaji dalam Gambar 3. Cahaya merupakan sumber energi yang digunakan untuk melakukan pembentukan fotosintat. Dengan luas daun yang tinggi, maka cahaya akan dapat lebih mudah diterima oleh daun dengan baik. Pada penelitian ini yang menunjukkan luas daun tidak terdapat hasil yang nyata namun terdapat rata-rata luas terbaik pada perlakuan K3 dan P3 pengamatan minggu ke 3-5 setelah tanam, tetapi pada pengamatan minggu ke 6 setelah tanam terjadi penurunan hasil luas daun. Hal tersebut disebabkan adanya unsur hara yang terkandung dalam pupuk kascing dan ektrak teh yang diberikan ke tanah sehingga tingkat kandungan hara pada tanah menjadi meningkat yang pada akhirnya diserap oleh tanaman sawi dan kandungan klorofil menjadi meningkat maka proses fotosintesis berjalan GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /9
PLANT AGRONOMY
lancar dengan adanya juga cahaya matahari yang mendukung. Luas daun dan jumlah klorofil yang tinggi akan menyebabkan proses fotosintesis berjalan dengan baik. Semakin besar luas daun tanaman maka penerimaan cahaya matahari juga akan lebih besar (Kariada. 2000). Berat Segar Tanaman Sawi Hijau Bedasarkan penelitian berat segar tanaman sawi hijau tedapat interaksi yang nyata pada perlakuan pupuk kascing dosis 20 g/tan yang dikombinasikan dengan ektrak teh konsentrasi 40 g/l pada perlakuan K2P3 yaitu dengan rata-rata 0.373 Kg dibandingkan hasil yang didapat pada perlakuan K3P3 penggunaan pupuk kascing dosis 30 g/tan dan ektrak teh konsentrasi 40 g/l. Hal tersebut disebabkan karena kemampuan organ-organ tanaman seperti akar, untuk menyerap dan menembus kedalam tanah guna menyerap unsur-unsur hara, air dan oksigen dalam tanah. Kemampuan organ batang untuk mensuplai unsur hara dan air kebagian daun serta melakukan proses fotosintesis dan respirasi sehingga fotosintat meningkat akibatnya karbohidrat yang terbentuk semakin banyak yang pada akhirnya memacu pertumbuhan dan perkembangan tanaman sawi hijau. Seperti yang dijelaskan dalam penelitian Jamin (2002) bahwa perkembangan fase generatif sangat berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif, apabila vegetatif baik akan menunjang fase generatif. Disamping hal tersebut juga dipengaruhi adanya kapasitas tukar kation yaitu kemampuan tanah untuk memberikan atau menerima kation, hara atau nutrisi tanaman. Kascing mengandung zat pengatur tumbuh dan juga asam humid yang fungsinya menghasilkan bunga dan buah dngan jumlah yang signifikan, seperti halnya pada perlakuan K2P3 terdapat hasil rata-rata yang jauh lebih baik dibanding perlakuan lainnya (Tabel 4), hal ini disebabkan karena pada pupuk kascing menyediakan hara N, P, K, Ca, Mg dalam
jumlah yang seimbang dan tersedia, meningkatkan kandungan bahan organik, meningkatkan kemampuan tanah mengikat legas, menyediakan hormon pertumbuhan tanaman, dan apabila dikombinasikan dengan ekstrak teh dapat mempermudah dalam proses dekomposisi (Kariada, I.K dan I.M Sukadana. 2000) Berat segar tanaman dipengaruhi oleh kadar air yang ada di dalam jaringan tanaman. Berat segar tanaman mencerminkan komposisi hara dari jaringan tanaman dengan mengikut sertakan air lebih dari 70% dari berat total tanaman adalah air, bahan organik seperti protein dan karbohidrat diserap oleh akar tanaman diangkut bersama dengan air yang nantinya akan mempengaruhi berat segar tanaman sawi hijau. Sehingga efektivitas berat segar tanaman sawi terhadap perlakuan kombinasi antara pupuk kascing dan ekstrak teh mencapai rata- rata terbaik yaitu 0.277 – 0.373 Kg. KESIMPULAN Kesimpulan Dari hasil penelitian dan telah dilakukan uji BNT 5% untuk perlakuan yang berpengaruh nyata, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Tidak terjadi interaksi antara perlakuan pupuk kascing dan ekstrak teh terhadap semua peubah tumbuh yang diamati, kecuali jumlah daun pada 6 MST dan berat segar pada 6 MST . 2. Penggunaan interaksi K2P3 yaitu pupuk kascing dosis 20 g/tan dan ekstrak teh dengan konsentrasi 40 g/l dalam pertumbuhan tanaman sawi hijau (Brassica juncea L.) dengan unsur-unsur makro dan mikro yang terkandung didalamnya merupakan salah satu solusi untuk mempercepat peningkatan pertumbuhan dan hasil, karena pupuk kascing dan ekstrak teh Terdapat interaksi pada perlakuan K2P3 sehingga menunjukkan hasil terbaik pada peubah berat segar dengan rata-rata 0,373 Kg. GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /10
PLANT AGRONOMY
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Brassica juncea (L.) Chern.http://free.vlsm.org/v12/artikel. Arief, A. 1990.Hortikultura. Penebar Swadaya. Jakarta. Fath. 1995. Anatomi Tumbuhan Edisi 3. Penerjemah Ahmad Sudirto, Trenggono Fuad Fahrudin, 2009. budidya caisim dengan ekstrak teh dan kascing. Koesoemaningrat, M. Natasaputra. Budidaya Sawi. Hilda Akmal. UGM Press.Yogyakarta. Fitter, A.H. dan R.K.M. Hay. 1998. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Penerjemah Sri Andani dan E.D. Purbayanti.UGM Press.Yogyakarta. Gardner, F. P., R. B. Pearce, R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerjemah Herawati Susilo. UI Press. Jakarta. Haryanto, E., T. Suhartini, dan E. Rahayu. 2001. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya. Jakarta. Isroi. 2008. Pupuk Organik. http://isroi.file.wordpress. Jamin, H.B. 2002.Agroekologi, Suatu Pendekatan Fisiologi. Rajagrafindo Persada. Jakarta. Kariada, I.K dan I.M Sukadana. 2000. Sayuran Organik.
http://www.pustaka_deptan.go.id/agrit ek/bali0208.pdf. Kartini, N.L. 2005. Pupuk Kascing Kurangi Pencemaran Lingkungan. http://kascing.com/news/2005/5/pupukkascing-kurangipencemaranlingkungan. Krisnawati. 2003. Pengaruh Pemberian Pupuk Kascing Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kentang. KAPPA (2003) Vol. 4, No.1, 9-12. Kustamiyati, B. 2000.Prospek Teh Indonesia Sebagai Minuman Fungsional.Prosiding Seminar Sehari Teh Untuk Kesehatan.Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung.Bandung 17 Oktober 2000. Margiyanto, E. 2008. Budidaya Tanaman Sawi. http://zuldesains.wordpress.com.
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /11
PLANT AGRONOMY
Pengaruh Jarak Tanam Rasio 2 : 1 (Solid Female) dan Rasio 4 : 1Terhadap Ketepatan Waktu Penyerbukan Pada Jagung (Zea Mays L) var .8001 Oleh : Tri Kurniastuti* dan Wahyono** *Dosen Fakultas Pertanian Universitas islam Balitar **Mahasiswa Fakultas Universitas islam Balitar ABSTRACT This research proposed to to know difference and or compare influence 2 (two) method plant ratio 2:1 and ratio 4:1 to process of synchronization maize flower ( Zea Mays L) seeding of varietas 8001. This research doing Countryside of Jatikerto District Of Unlucky Kromengan SubProvince, which in strarting in April 2012 and end in May 2012. This research doing by using system calculation of T Count ( Paired Samples Test) comparing 2 (two) variable. Intake of crop sampel in to becoming 3 shares, that is each female and masculine crop in taking 5 sampel at every restating to measure length of tassel, later;then 25 crop of sampel for the altimetry of flower phase age and crop, and last 50 crop of sample to get synchronization graph and data. From result of gathered datas and research, hence earning in concluding that synchronization maize crop ( Zea Mays L) earn in seeing early on before flower process happened ( 40 DAP), second that distance plant also have an effect on to process growth of flower synchronization and crop which in because competition between very high crop and storey;level of stres different between masculine crop and female crop, last from result of perception earn in concluding that synchronization result or process at ratio 4:1 nicer in comparing with result of synchronization of ratio 4:1. Keyword: Ratio 2:1 and Ratio 4:1, Synchronization, Maize ( Zea Mays L)
PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman jagung yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Zea mays L. adalah salah satu tanamn biji – bijian dari keluarga rumput – rumputan ( Graminaceae ) yang sudah terkenal di dunia. Luas areal tanaman dan produksi jagung cenderung terus meningkat meskipun berfluktuasi. Dari data Kementrian Pertanian, angka produksi nasional tahun 2000 tercatat 9.676.899 ton. Adapun angka impor tahun 1999 sebesar 541.056ton. Dari kedua angka tersebut konsumsi aktul jagung nasional diperkirakan tidak kurang dari 10 juta ton/ tahun. Jika produksi rata – rata 5 ton/ tahun, maka luas pertanaman yang diperlukan sekitar
2 juta hektar. Jika kebutuhan benih diperkirakan 30 Kg/ Ha maka kebutuhan benih per tahun adalah 60 ribu ton. Sedangkan produksi benih jagung di Jawa Timur tahun 2005 adalah 22.181,207 ton ( BPSB, 2005 ). Jagung sampai saat ini masih merupakan komoditi strategis kedua setelah padi karena di beberapa daerah, jagung masih merupakan bahan makanan pokok kedua setelah beras. Jagung juga mempunyai arti penting dalam pengembangan industri di Indonesia karena merupakan bahan baku untuk industri pangan maupun industri pakan ternak khusus pakan ayam. Dengan semakin berkembangnya industri pengolahan pangan di GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /12
PLANT AGRONOMY
Indonesia maka kebutuhan akan jagung akan semakin meningkat pula. Salah satu ciri organisme hidup seperti tumbuhan adalah berkembang biak menjadi lebih banyak atau memperbanyak diri. Ada dua cara tumbuhan dalam memperbanyak diri, yaitu dengan cara aseksual dan seksual. Cara perkembangbiakan secara aseksual adalah suatu cara perkembangbiakan dengan menggunakan organ vegetatif. Cara ini banyak dilakukan oleh tanaman yang tidak mempunyai bunga atau tidak mampu melakukan penyerbukan karena bunga tidak lengkap atau karena faktor lain yang menghalangi terjadinya penyerbukan. Bagian tanaman yang dipakai untuk berkembang biak adalah batang, umbi, atau mata tunas. Sedangkan cara perkembangbiakan secara seksual adalah perkembang biakan dengan menggunakan biji. Biji berasal dari bakal biji, yang dapat disamakan dengan makrosporangium dan terdapat di dalam bunga. Ciri yang amat penting dalam reproduksi seksual adalah pembuahan, yaitu penyatuan sel betina dan sel jantan, atau gamet untuk membentuk zigot. Zigot tumbuh menjadi embrio (janin) di dalam biji. Bila berkecambah akan menjadi tumbuhan dewasa (Tjitrosomo dkk, 1985). Bunga merupakan salah satu alat reproduksi secara seksual pada tumbuhan. Pada bunga yang sempurna terdapat benang sari yang merupakan alat reproduksi jantan dan putik yang merupakan alat reproduksi betina. Dari peleburan antara benang sari dan putik inilah nantinya akan muncul buah yang di dalamnya terdapat biji, dan biji inilah yang nantinya dijadikan alat perkembangbiakan pada suatu tumbuhan. Dari segi biologi bunga merupakan alat perkembangbiakan tanaman. Sebab, bunga dapat tumbuh menjadi buah yang berisi biji,
dan dari biji dapat tumbuh menjadi tanaman yang baru. Pembungaan, penyerbukan, pembuahan dan pembentukan buah merupakan faktor yang sangat menentukan produktivitas tanaman. Dari keempat faktor tersebut yang terpenting adalah pembungaan, karena tanpa pembungaan maka tidak akan terjadi penyerbukan bunga atau pembentukan buah dan tidak akan diperoleh biji dari suatu tanaman (Darjanto dan Satifah, 1984). Bunga juga dapat dipandang sebagai suatu batang atau cabang pendek yang berdaun dan telah mengalami perubahan bentuk (metamorfosis) sebelum suatu tumbuhan mati. Karena pentingnya keberadaan bunga bagi tanaman, maka perlu dipelajari lebih lanjut mengenai karakteristik berbagai macam bunga. Sebab setiap bunga memiliki karakteristik yang berbeda-beda pada setiap jenis tanaman yang akan menentukan tipe persilangan tanaman tersebut. Setiap bunga terbentuk pada tangkai khusus, yaitu tangkai bunga (pedicellus). Bagian bunga yang paling menyolok ialah daun mahkota (petal) atau biasa disebut mahkota bunga. Kelopak dan mahkota bunga, keduanya merupakan perhiasan bunga. Sedangakan. Putik dibentuk oleh satuan daun buah atau carpellum, yang secara kolektif dinamai gynaecium (Tjitrosoma, 1984). Tujuan Penelitian ini di lakukan adalah dengan tujuan agar kita dapat mengetahui seberapa besar perbedaan ketepatan fase penyerbukan (sinkronisasi) antara penerapan metode tanam 2:1 (Solid Female) dengan Ratsio 4:1. Rumusan Masalah Permasalahan pada penulisan tugas akhhir ini adalah, antara lain: 1. Bagaimana cara kita agar dapat mendeteksi proses sebuah sinkronisasi penyerbukan pada pembenihan jagung (Zea Mays L)
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /13
PLANT AGRONOMY
Metode
Jantan (Male) 25 25
Betina (Female) 25 25
Rasio 2:1 (SF) Rasio 4:1 (RS) 2. varietas 8001 sejak awal sebelum proses penyerbukan benar-benar terjadi / berlangsung. 3. Adanya perbedaan sinkronisasi penyerbukan pada pembenihan jagung (Zea Mays L) varietas 8001 antara metode tanam rasio 2:1 (Solid Female) dengan metode tanam rasio 4:1. Kegunaan Penelitian Untuk mendapatkan data dan informasi mengenai ketepatan penyerbukan (sinkronisasi) pada jagung (Zea Mays L) varietas 8001 yang di terapkan dengan menggunakan metode tanam 2:1 (Solid Female) dan metode 4:1, agar pada saat penanaman dengan metode yang sama di kemudian harinya di dapatkan sebuah proses sinkronisasi penyerbukan yang lebih baik atau lebih tepat untuk mendapatkan hasil yang maksimal. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini di laksanakan di areal pembenihan jagung PIONEER (PT. Du Pont Indonesia) varietas 8001 Desa Jatikerto, Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang. Pelaksanaan penelitian di mulai pada bulan April 2012 dan berakhrir pada bulan Mei 2012.
Alat, Bahan dan Fungsi Alat : - Gunting : Untuk memotong tali rafia. - Tali rafia: Untuk penanda tanaman yang akan di amati. - Kertas : Untuk media mencatat hasil selama pengamatan. - Bolpion : Untuk menulis dan atau mencatat hasil perhitungan pengamatan. - Meteran : Untuk mengukur tinggi tanaman. Bahan : 1. Lahan pembenihan dengan sistem rasio 2:1 (Solid Female) Tassel di tanaman jantan : Tetua Jantan vaietas 8001 Tongkol (Silk) di tanaman betina : Tetua Betina varietas 8001 2. Lahan pembenihan dengan sistem rasio 4:1 Tassel di tanaman jantan : Tetua Jantan vaietas 8001 Tongkol (Silk) di tanaman betina : Tetua Betina varietas 8001 Metode Penelitian Penelitian akan di lakukan dengan menggunakan dua metode penanaman, antara lain: 1. Metode Rasio 2:1 (Solid Female) 2. Metode Rasio 4:1 Jumlah tanaman yang akan di amati dari tiap metode, antara lain:
Tabel.1 (Jumlah Tanaman Sampel) Metode Rasio 2:1 (SF) Rasio 2:1 (SF)
Tanaman
Item
Jantan Betina Jantan Betina
Panjang bunga (Tassel) Panjang bunga (Tassel) Panjang bunga (Tassel) Panjang bunga (Tassel)
Panjang (Cm) Rata2 ... ... ... ...
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /14
PLANT AGRONOMY
Jumlah tanaman yang akan di amati dari tiap metode disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Tanaman Sampel
Metode Rasio 2:1 (SF) Rasio 4:1 (RS)
Jantan (Male) 25 25
Betina (Female) 25 25
Penelitian ini akan menggunakan sitem T Hitung dengan terdiri dari 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi, antara lain: Faktor I
:
Panjang (cm) bunga jantan dan bunga betina pada umur 40 HST. Tabel.3 (Rata-rata panjang tassel 40 HST)
Metode
HST
Rasio 2:1 (SF) Rasio 4:1 (RS)
45 45
Faktor II :
Tinggi Tanaman Rata2 Jantan (Male) Betina (Female) ... cm ...cm ...cm ...cm
Tinggi (cm) Tanaman Jantan dan Betina pada Umur 45 HS Tabel.3 (Rata-rata tinggi tanaman 45 HST) Metode
Rasio 2:1 (SF) Rasio 2:1 (SF)
Faktor III
Tanaman Jantan Betina Jantan Betina
Item Tassel pecah Rambut (silking) tongkol Tassel pecah Rambut (silking) tongkol
HST Rata2 ... ... ... ...
: Umur tanaman ketika bunga (tassel) jantan pecah dan ketika tongkol keluar rambut (silking). Tabel.4 (Rata-rata umur fase pembungaan dan reseptif)
Faktor Pendukung: Grafik Nicking Observasi (Umur dan Persentase tanaman jantan dan betina pada saat bunga tanaman jantan pecah dan rambut (silking) tongkol betina keluar). Pelaksanaan Penelitian Persiapan Lahan Dalam persiapan lahan, yang pertama di lakukan adalah: GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /15
PLANT AGRONOMY
a. b.
Pembajakan (penggemburan tanah), yang mana kegiatan ini dapat kita lakukan dengan cara manual menggunakan bajak sapi ataupun dengan menggunakan traktor. Pembuatan bedengan sebagai media tanam dengan ukuran sebagai berikut: Rasio 2:1
Gambar.3 (Bedengan Rasio 2:1) Rasio 4:1
Gambar.4 (Bedengan Rasio 4:1) Pemasangan Ajir Pemasangan ajir adalah suatu cara untuk memberikan tanda pada tiap barisan tanaman dalam bedengan, agar dapat di bedakan mana barisan tanaman jantan (male) dan mana berisan tanaman betina (female).
Rasio 2:1
Gambar.5 (Pemasangan Ajir Rasio 2:1) Keterangan: Ajir I (Satu)
Ajir II (Dua) : Barisan Jantan (Male) : Barisan Betina (Female)
Rasio 4:1
Gambar.6 (Pemasangan Ajir Rasio 4:1) Keterangan: Ajir I (Satu)
Ajir II (Dua) : Barisan Jantan (Male) : Barisan Betina (Female) GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /16
PLANT AGRONOMY
Tanam Dalam proses penanaman ini di lakukan dengan cara menugal dengan kedalaman ratarata 5 cm dengan memperhatikan tanda (ajir) yang sudah ada, agar tidak sampai terjadi salah baris. Hal ke-2 yang harus di perhatikan adalah penanaman harus 1 (satu) lubang 1 benih tanaman. Dan yang terakhir memastikan benih yang tertanam sudah tertutupi dengan rapat sebelum di lakukan pengairan. Perawatan Tanaman Pengairan Dalam hal pengairan pada tanaman jagung, yang perlu di perhatikan adalah metode / cara pengairan itu di lakukan. Di sini kita melakukan pengairan dengan cara resapan (bukan lep), yang artinya pengairan tidak di lakuakan sampai dengan air benar-benar menggenangi seluruh permukaan bedengan (media tumbuh) tanaman, melainkan cukup mengalir lewat got jantan dan segera buang airnya jika semua got jantan sudah terisi penuh oleh air sebelum air bergerak ke atas permukaan bedengan. Penyiangan Gulma Penyiangan bertujuan untuk membersih kan lahan dari tanaman pengganggu (gulma). Penyiangan di lakukan 2 minggu sekali. Penyiangan pada tanaman jagung yang masih muda biasanya di lakukan dengan tangan atau cangkul kecil, garpu dan lain sebagainya. Yang penting dalam penyiangan ini tidak mengganggu perakaran tanaman yang pada umur tersebut belum cukup kuat untuk mencengkeram tanah. Hal ini biasanya di lakukan setelah tanaman berumur 15 HST. Sumber : www.gerbangpertanian.com Pemupukan Apabila tanah yang akan di tanami tidak menjamin ketersediaan hara yang cukup, maka harus di lakukan pemupukan. Dosis pupuk yang di butuhkan tanaman sangat bergantung
pada kesuburan tanah dan di berikan secara bertahap. Adapun dosis rata-rata adalah : Urea 200 kg/Ha dan NPK 300 kg/Ha. Adapun dosis dan cara pemupukan untuk setiap hektar: Pemupukan dasar: 1/3 bagian pupuk Urea dan ½ bagian pupuk NPK di berikan saat tanam, di tugal kiri dan kanan lubang tanam sedalam 5 cm lalu di tutup tanah. Susula I : 1/3 bagian pupuk Urea dan ½ bagian pupuk NPK di berikan setelah tanaman berumur 30 HST, di tugal kiri dan kanan lubang tanam sedalam 10 cm lalu di tutup tanah. Susulan II : 1/3 bagian pupuk Urea di berikan saat tanaman berumur 45 HST. Sumber : www.gerbangpertanian.com Pengendalian Organisme Pengganggu Penggunaan pestisida hanya di perkenankan setelah terlihat adanya hama yang dapat membahayakan proses produksi jagung. Adapun pestisida yang di gunakan yaitu pestisida yang di pakai untuk mengendalikan ulat. Pelaksanaan penyemprotan hendaknya memperlihatkan kelestarian musuh alami dan tingkat populasi hama yang menyerang, sehingga perlakuan ini akan lebih efisien. Sumber : www.gerbangpertanian.com Panen Hasil panen jagung tidak semua berupa jagung tua / matang fisiologis, tergantung dari tujuan panen. Seperti pada tanaman padi, tingkat kemasakan buah jagung juga dapat di bedakan dalam 4 tingkat, masak susu, masak lunak, masak tua dan masak kering/masak mati. Ciri dan umur panen: a. Umur panen adalah 110-120 HST (tergantung kondisi lingkungan) b. Jagung siap di panen dengan tongkol atau kelobot mulai mengering yang di tandai dengan adanya lapisan hitam pada biji bagian lembaga.
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /17
PLANT AGRONOMY
c. Biji kering, keras dan mengkilat, apabila di tekan tidak meninggalkan bekas. Sumber : www.gerbangpertanian.com Pengamatan Parameter yang di amati adalah: a. Panjang (cm) bunga (Tassel) jantan dan bunga (Tassel) betina pada umur 40 HST di masing-masing metode tanam. b. Tinggi (cm) tanaman jantan (male) dan betina (female) pada fase sebelum berbunga (50 HST) di masing-masing metode tanam. c. Umur (HST) tanaman jantan (male) dan betina (female) pada fase bunga (tassel) jantan pecah dan bakal tongkol betina keluar rambut (silking) di masing-masing metode tanam. d. Umur (HST) dan Persentase (%) tanaman jantan (male) dan betina (female) pada fase bunga (tassel) jantan pecah dan bakal tongkol betina keluar rambut (silking) di masing-masing metode tanam. Gambar.7 (Barisan Tanam Rasio 2:1 Solid Female) Keterangan: o = Tanaman sampel (Betina) x = Tanaman sampel (Jantan)
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /18
PLANT AGRONOMY
Gambar.8 (Barisan Tanam Rasio 4:1) Keterangan:
o = Tanaman sampel (Betina) x = Tanaman sampel (Jantan)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Panjang bunga (Tassel) tanaman jantan dan tanaman betina pada umur 40 HST Dari hasil pengamatan di lapangan dapat di lihat bahwa dengan cara mendeteksi dari awal dengan cara mengukur panjang tassel pada tanaman jantan dan betina pada umur 40 HST dapat di simpulkan bahwa akan terdeteksi antara tanaman jantan dan betina akan sinkron atau tidak. Hal ini hampir sama pengertiannya dengan pendapat dari (Sujiprihati dkk., 2008) yang menerangkan bahwa pada tetua betina waktu emaskulasi harus diperhatikan. Juga waktu penyerbukan harus tepat ketika stigma reseptif.
Berikut adalah hasil pengukuran panjang (cm) tassel tanaman jantan dan tanaman betina di lapangan dari 5 (lima) tanaman sampel yang di ambil pada masing-masing metode: Tabel. 5 (Hasil pengamatan panajang tassel)
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /19
PLANT AGRONOMY
Tinggi (cm) tanaman jantan dan tanaman betina pada umur 45 HST Dari hasil pengamatan yang ada ternyata ada pebedaan tinggi tanaman antara tanaman jantan betina di rasio 2:1 dengan tanaman jantan betina di rasio 4:1. Langkah ini dapat kita lakukan langsung dengan cara mengukur tinggi tanaman dari pangkal / batang tanaman hingga daun teratas / yang termuda dengan menggunakan meteran kecil 5 Meter. Hal ini jelas di sebabkan oleh faktor kerapatan jarak tanam pada rasio 2:1, yang mana hampir sama dengan yang di jelaskan (Barri, 2003), bahwa sistem jarak tanam mempengaruhi
cahaya, CO₂, angin dan unsur hara yang diperoleh tanaman sehingga akan berpengaruh pada proses fotosintesa yang pada akhirnya memberikan pengaruh yang berbeda pada parameter pertumbuhan dan produksi jagung. Dan indikasi jika terjadi perbedaan tinggi postur tanaman, maka kemungkinan besar akan mempengaruhi sinkronisasi antara tanaman jantan dan betina. Dari hasil pengukuran 25 tanaman sampel yang kita ukur tingginya antara tanaman jantan dan tanaman betina pada masingmasing metode di lapangan, di dapatkan data ukur sebagai berikut:
Tabel. 6 (Hasil pengamatan tinggi tanaman)
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /20
PLANT AGRONOMY
Umur (HST) tanaman jantan dan tanaman betina pada saat bunga tanaman jantan pecah dan rambut (silking) tongkol tanaman betina keluar. Ketepatan waktu (umur) tanaman pada fase penyerbukan adalah salah satu faktor paling penting dalam keberhasilan hibridisasi. Hal ini di pertegas menurut Pusat Perlindungan Varietas Tanaman (2006) pada bunga jantan (malai) masa anthesisnya pada hari ke-65 setelah tanam, sedangkan pada bunga betina (tongkol) masa reseptifnya pada hari ke-71 setelah tanam. Masa anthesis malai
ditandai dengan munculnya bulir-bulir yang berwarna merah keunguan yang mengandung antosianin pada tangkai malai, dan pada bulir terdapat serbuk sari (pollen) yang berwarna kuning. Masa reseptif tongkol ditandai dengan tumbuhnya bulu-bulu rambut pada ujung tongkol yang berwarna kuning bening kehijauan. Dari pengamatan umur pecah tassel pada tanaman jantan dan keluarnya silking pada tanaman betina di lapangan, di dapatkan hasil / data sebagai berikut:
Tabel. 7 (Hasil pengamatan umur tanaman saat antesis dan reseptif)
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /21
PLANT AGRONOMY
Grafik Nicking Observasi (Umur dan Persentase tanaman jantan dan tanaman betina pada saat bunga tanaman jantan pecah dan rambut (silking) tongkol tanaman betina keluar). Berikut adalah grafik dari hasil pengamatan sinkronisasi varietas 8001 yang di peroleh di lapangan:
Gambar.9 (Grafik pengamatan sinkronisasi rasio 2:1)
Gambar.10 (Grafik pengamatan sinkronisasi rasio 4:1)
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /22
PLANT AGRONOMY
Pembahasan Panjang bunga (Tassel) tanaman jantan dan tanaman betina pada umur 40 HST Jika antara waktu anthesis bunga jantan dan waktu reseptif bunga betina tidak bersamaan, maka perlu dilakukan singkronisasi. Caranya dengan membedakan waktu penanaman antara kedua tetua, sehingga nantinya kedua tetua akan siap dalam waktu yang bersamamaan. Dari data hasil pengamatan di lapangan dapat kita lihat bahwa panjang tassel antara tanaman jantan dan tanaman betina pada rasio 4:1 lebih imbang panjangnya (cm) di banding dengan rasio 2:1 yang condong tassel tanaman jantan lebih pendek di bandingkan tassel tanaman betina. Dari sini sudah dapat kita prediksi bahwa pada rasio 4:1 potensi sinkronisasi / ketepatan penyerbukan akan lebih bagus di bandingkan dengan rasio 2:1. Tinggi (cm) tanaman jantan dan tanaman betina pada umur 45 HST Dari data ukur yang di peroleh di lapangan dapat di lihat bahwa, keseragaman tanaman jantan dengan tanaman betina pada rasio 4:1 lebih baik / bagus di bandingkan dengan keseragaman tanaman pada rasio 2:1 yang mana tanaman jantan performanya masih berada di bawah tanaman betina. Hal ini di sebabkan oleh: 1. Kerapatan jarak tanam yang berbeda antara rasio 2:1 rata-rata 51,7 cm dan rasio 4:1 rata-rata 70 cm. 2. Tingkat stress yang tinggi pada tanaman jantan di rasio 2:1, di karenakan posisi tanaman jantan yang berada di tengah bedengan dan di apit oleh kedua tanaman betina. Di tambah dengan persentase resapan air yang kurang pada tanaman jantan di bandingkan dengan tanaman betina yang posisinya berada di tepi got jantan.
3. Kurangnya resapan cahaya / sinar matahari pada tanaman jantan di rasio 2:1. 4. Tingginya kompetisi unsur hara antara tanaman jantan dan betina (dalam 1 bedengan ada 3 baris tanaman). Umur (HST) tanaman jantan dan tanaman betina pada saat bunga tanaman jantan pecah dan rambut (silking) tongkol tanaman betina keluar. Dari data yang kita dapatkan dari lapangan dapat kita lihat bahwa, pada rasio 4:1 secara kebersamaan umur saat pecah tassel tanaman jantan dengan keluar silking pada tanaman betina jauh lebih bagus / seragam di bandingkan dengan data yang ada pada rasio 2:1. Jika kita rata-rata umur tanaman jantan dan betina pada tiap-tiap metode, adalah: 1. Rasio 2:1 = Tanaman jantan 60,4 HST Tanaman betina 57,2 HST 2. Rasio 4:1 = Tanaman jantan 58,2 HST Tanaman betina 59,9 HST Dari sini sudah dapat kita lihat bahwa sinkronisasi penyerbukan pada rasio 4:1 akan lebih bagus / tepat waktunya di bandingkan dengan rasio 2:1. Umur dan Persentase tanaman jantan dan tanaman betina pada saat bunga tanaman jantan pecah dan rambut (silking) tongkol tanaman betina keluar Dari grafik hasil pengamatan sinkronisasi (Nicking Observasi) di lapangan dapat di lihat dengan jelas, bahwa pada rasio 2:1 bunga (tassel) jantan tampak tertinggal oleh silking betina. Artinya, sinkronisasi pada rasio 2:1 masih di katakan belum berhasil atau kurang bagus (tidak nick). Hal ini berbanding terbalik pada rasio 4:1 yang mana antara tassel jantan pecah dan silking betina keluar bisa / hampir bersamaan. Di sini sudah bisa di katakan bahwa sinkronisasi pada rasio 4:1 lebih pas / bagus di banding dengan sinkronisasi di rasio 2:1.
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /23
PLANT AGRONOMY
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil percobaan ini dapat di tarik kesimpulan, bahwa: a. Dalam mendeteksi sinkronisasi jagung (Zea Mays L) terutama dalam proses hibridisasi (pembenihan) dapat kita lakukan sejak dini, sebelum fase pembungaan benar-benar terjadi. Hal ini dapat kita manfaatkan untuk melakukan langkah-langkah berikutnya jika ada indikasi tanaman kita akan tidak sinkron, agar dapat mencapai hasil yang di harapkan. Dan di simpulkan dari awal penelitian bahwa, kemungkinan sinkronisasi pada rasio 4:1 akan lebih bagus di bandingkan dengan rasio 2:1. b. Jarak tanam yang kurang ideal ternyata dapat menghambat pertumbuhan tanaman, hal ini di karenakan oleh kompetisi yang berlebihan dan kurangnya penyerapan sinar matahari oleh tanaman itu sendiri. Dan tentunya hal berdampak buruk kepada proses sinkronisasi pada jagung (Zea Mays L) khususnya. Di sini dapat di simpulkan bahwa, pada rasio 4:1 keseragaman tanaman jantan dengan tanaman betina jauh lebih bagus di banding dengan rasio 2:1.
DAFTAR PUSTAKA Fergason, V. 1994. High amylose and waxy corn. In: A. R. Halleuer (Ed.) Specialty Corns. CRC Press Inc. USA. Hardman and Gunsolus. 1998. Corn growth and development. Extension Service. University of Minesota. p.5. Lambert, R.J. 1994. High oil corn hybrids. In: Arnel R. Halleuer (Ed.). Specialty corns. CRC Press Inc. USA.
c. Pada rasio 4:1 jelas lebih bagus / tepat sinkronisasinya di banding dengan rasio 2:1, yang mana salah satu faktor utamanya adalah perbedaan metode tanam. Di mana pada rasio 2:1 sama dengan penerapan triple row (3 baris) dalam satu (1) bedengan dan pada rasio 4:1 sama dengan penerapan double row (2 baris) dalam satu (1) bedengan. Dan hal ini juga sangat mempengaruhi petumbuhan (performance) tanaman antara tanaman jantan dan tanaman betina menjadi tidak seragam (pada rasio 2:1). Saran 1. Pada penelitian lebih lanjut perlu di lakukan dengan lebih mendalam, bagaimana pengaruh sinkronisasi terhadap kwalitas dan kwantitas hasil panen. Karena pada penelitian ini hanya sebatas proses sinkronisasi saja, tanpa mengetahui seberapa besar dan seberapa bagus perbedaan hasil panennya. 2. Dalam mengantisipasi kegagalan dalam
proses sinkronisasi juga perlu di lakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan tambahan hormon perangsang pembungaan ataupun perangsang pembuahan, dengan harapan untuk mencapai hasil semaksimal mungkin. Lee, C. 2007. Corn growth and development. www.uky.edu/ag/grain crops. McWilliams, D.A., D.R. Berglund, and G.J. Endres. 1999. Corn growth andmanagement quick guide. www.ag.ndsu.edu. Paliwal.R.L. 2000. Tropical maize morphology.In:tropical aize : improvement and production. Food and Agriculture Organization ofthe United Nations. Rome. p 13-20. Smith, M.E., C.A. Miles, and J. van Beem. 1995. Genetic improvement of GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /24
PLANT AGRONOMY
maizefor nitrogen use efficiency. In Maize research for stress environment.p. 39-43. Syafruddin. 2002. Tolok ukur dan konsentrasi Al untuk penapisan tanamanjagung terhadap kete nggangan Al. Berita Puslitbangtan 24: 3-4. Tracy, W. F. 1994. Sweet corn. In: A. R. Halleuer (Ed.) Specialty corns. CRC Press Inc. USA. Vasal, S.K. 1994. High quality protein corn. In: A. R. Halleuer (Ed.). Specialtycorns. CRC Press Inc. USA. White, P.J. 1994. Properties of corn strach. In: A. R. Halleuer (Ed.). Specialtycorns. CRC Press Inc. USA. Nuning Argo Subekti, Syafruddin, Roy Efendi, dan Sri Sunarti. Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan
Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros Pima Nasution Diana, 2009. Pengaruh Sistem Jarak Tanam dan Metode Pengendalian Gulma Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung (Zea Mays L) Varietas DK. Skripsi Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. 111 hal. Putu Budi Adnyana, Ida Bagus Putu Arnyana. 2000. Morfologi Tumbuhan. Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Singaraja Pusat Perlindungan Varietas Tanaman. 2006. Panduan Pengujian Individual Kebaruan, Keunikan, Keseragaman dan Kestabilan Jagung. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Allard, R.W. 1988. Pemuliaan Tanaman. Jakarta: Bina Aksara. 336 halaman
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /25
PLANT AGRONOMY
Pengaruh Perbedaan Varietas dan Perlakuan Stratifikasi Terhadap Pertumbuhan Awal Bibit Tebu (Saccharum officinarum L.) Oleh : Palupi Puspitorini* *Dosen Fakultas Pertanian Universitas islam Balitar
ABSTRACT This study aims to determine the interaction between the different varieties and treatment stratification, the effect of different varieties and the effect of treatment stratification on early seedling growth of sugarcane (Saccharum officinarum L.). The research was carried out in the garden in the village mothers Istiqomah Kauman Blitar City in May to July 2012. The design used was a randomized block design (RBD) with two factors namely Factor A, Variety (V) there are two levels: V1: BL sugarcane varieties and V2: sugarcane varieties Ps 864, while Factor B, Treatment Stratification (P) there are four levels: P0: without soaking, P1: Soaked with water at a temperature of 51ºC for 10 min, P2: Soaked with water at a temperature of 51ºC for 20 min and P3: Soaked with water at a temperature of 51°C for 30 min. Parameter study: percentage grow seedlings, plant height, stem diameter, leaf number and root length. Results: a). The existence of a real interaction that BL varieties are soaked with water at a temperature of 51ºC for 20 minutes (V1P2) on plant height at umur 20 dap and 40 dap, b). Varieties of BL (V1) significantly affect plant height age 20 HST, but no significant effect on all parameters of observations and c). Without treatment immersion (PO) significantly affect the percentage grow seedlings age 20 HST and immersion treatments at temperatures 51°C for 20 min (P2) significantly affect plant height age 20 dap, 30 dap and 40 dap and effect on root length age 40 HST. Keywords: sugarcane varieties, treatment stratifkasi. PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan paling tua dikenal oleh manusia dan memiliki peranan penting sebagai komoditas komersial, dimana 65% kebutuhan gula dunia berasal dari tanaman tebu. Tebu dapat digunakan sebagai bahan komponen utama industri farmasi, produk dari industri gula digunakan untuk pakan ternak, pabrik kertas dan sumber bahan bakar. Guna mendukung swasembada gula pada tahun 2014 salah satu faktor penting
adalah perluasan areal baik milik Perusahaan Perkebunan Nasional (PTPN) maupun perkebunan rakyat dan penggunaan varietas tebu unggul yang dianjurkan. Peningkatan produksi tanaman tebu dipengaruhi oleh penyediaan bibit unggul yang bermutu antara lain memiliki rendemen gula yang tinggi, kualitas gilingan yang tinggi, tipe kemasakan, tahan terhadap penyakit, serta dapat beradaptasi pada perubahan iklim global (antara lain drainase yang buruk). Persoalan yang masih dihadapi industri gula nasional khususnya yang berbasis tebu rakyat selama ini adalah persediaan bibit yang berkualitas masih belum mencukupi, untuk GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /26
PLANT AGRONOMY
memperoleh bibit tebu berkualitas baik dan sehat dapat melalui sortasi bibit dan perlakuan stratifikasi pada bibit yang sudah dipanen, yang berguna untuk mendapatkan pertumbuhan awal yang baik juga berguna mencegah terbawanya penyakit pada bibit tebu sehingga pertumbuhan tebu menjadi sehat (Dewi R.,2008). Ketersediaan bibit tebu merupakan faktor terpenting dalam pengusahaan tebu giling. Kualitas bibit tebu salah satu faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan pengusahaan tanaman tebu. pemakaian bibit yang bermutu dapat meningkatkan rendemen tebu, varietas unggul manapun tidak akan terlihat potensi yang sebenarnya apabila bibit yang digunakan bermutu rendah. Bibit tebu yang baik adalah bibit yang berumur 5 sampai 6 bulan, murni atau tidak tercampur dengan varietas lain, bebas dari hama dan penyakit serta tidak mengalami kerusakan fisik (Ahmad S. 1992). Perbaikan produktifitas tanaman baru, baik yang berasal dari komponen berat tebu maupun rendemen, sebagian besar ditentukan oleh mutu bibit, mka diperlukan bibit yang seragam tumbuhnya dan sehat sehingga perlu adanya suatu usaha untuk menyiapkan bibit tebu, baik dari segi mutu, jumlah, kuantitas maupun kualitas. Rumusan Masalah Percepatan dan keseragaman pertumbuhan bibit selama ini sangat lambat, untuk itu perlu suatu usaha yang dikembangkan untuk mengejar ketertinggalan percepatan pengadaan bibit yang berkualitas. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah ada interaksi antara perbedaan varietas dan perlakuan stratifikasi terhadap pertumbuhan awal bibit tebu? 2. Apakah varietas berpengaruh terhadap pertumbuhan awal bibit tebu? 3. Apakah perlakuan stratifikasi berpengaruh terhadap pertumbuhan awal bibit tebu?
Tujuan penelitian 1. Untuk mengetahui apakah ada interaksi antara perbedaan varietas dan perlakuan stratikasi terhadap pertumbuhan awal bibit tebu. 2. Untuk mengetahui apakah perbedaan varietas berpengaruh terhadap pertumbuhan awal bibit tebu. 3. Untuk mengetahui apakah perlakuan stratifikasi berpengaruh terhadap pertumbuhan awal bibit tebu. Manfaat Penelitian 1. Menambah keilmuan tentang pengaruh perbedaan varietas dan perlakuan stratifikasi terhadap pertumbuhan awal bibit tebu. 2. Memberikan sumbangan pengetahuan kepada petani tentang pengaruh varietas dan perlakuan stratifikasi terhadap pertunbuhan awal bibit tebu. 3. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain dalam pokok bahasan yang sama. Hipotesis 1. Diduga ada interaksi antara perbedaan varietas dan perlakuan stratifikasi terhadap pertumbuhan awal bibit tebu. 2. Diduga varietas berpengaruh terhadap pertumbuhan awal bibit tebu. 3. Diduga perlakuan stratifikasi berpengaruh terhadap pertumbuhan awal bibit tebu. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian di laksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2012, bertempat di kebun Ibu Istiqomah di Desa Kauman Kecamatan Kepanjenkidul Kota Blitar. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan adalah : bibit tebu, diperoleh dari kebun bibit PTPN X, cangkul, alat tulis, alat hitung, alat ukur,
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /27
PLANT AGRONOMY
thermometer, karung, gembor, pisau tajam, timba, panci, air. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan dua faktor antara lain : Faktor A, Varietas Tanaman Tebu (V) ada dua level antara lain : V1 : Varietas Tebu BL V2 : Varietas Tebu Ps 864 Faktor B, Perlakuan Stratifikasi (P) ada empat level antara lain : P0 : Tanpa perlakuan P1 : Direndam dengan air pada suhu 51ºC selama 10 menit P2 : Direndam dengan air pada suhu 51ºC selama 20 menit P3 : Direndam dengan air pada suhu 51°C selama 30 menit Percobaan faktorial ini untuk mengetahui Pengaruh perbedaan varietas dan perlakuan stratifikasi terhadap pertumbuhan awal bibit tebu. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok, penelitian ini terdiri atas delapan kombinasi perlakuan yang diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 24 satuan penelitian, setiap satuan penelitian terdiri atas 16 tanaman dengan jarak 10 cm x 10 cm dan setiap satuan penelitian terdiri dari tiga tanaman contoh yang diamati. V1P0 : Varietas tebu BL tanpa perlakuan V2P0 : Varietas tebu Ps 864 tanpa perlakuan V1P1 : Varietas tebu BL direndam dengan air pada suhu 51ºC selama 10 menit V2P1 : Varietas tebu Ps 864 direndam dengan air pada suhu 51ºC selama 10 menit V1P2 : Varietas tebu BL direndam dengan air pada suhu 51ºC selama 20 menit V2P2 : Varietas tebu Ps 864 direndam dengan air pada suhu 51ºC selama 20 menit V1P3 : Varietas tebu BL direndam dengan air pada suhu 51°C selama 30 menit V2P3 : Varietas tebu Ps 864 direndam dengan air pada suhu 51°C selama 30 menit
Gambar denah penelitian dan satuan penelitian ditunjukkan pada lampiran. Pelaksanaan Penelitian Teknis pelaksanaan penelitian meliputi : a. Pengolahan lahan. Pengolahan lahan dengan menggunakan cangkul untuk membersihkan lahan dari segala macamgulma dan akar-akar pertanaman sebelumnya, serta untuk memudahkan perakaran tanaman berkembang dan menghilangkan tumbuhan inang bagi hama dan penyakit, kemudian membuat petak, dengan ukuran panjang 50 cm lebar 50 cm jarak antar petak 30 cm merupakan sebagai parit. b. Persiapan tanam 1. Melakukan penyortiran atau seleksi bibit, pelepah daun pada batang tebu dikelupas untuk memudahkan mengambil mata tunasnya. perkecambahan yang paling baik ditemukan pada bagian tiga ruas dari pucuk, dimana mata tunas yang terletak pada ruas batang bagian pucuk (± 3 ruas dari pucuk) berkecambah lebih cepat dan lebih baik. Makin ke atas atau makin ke bawah akan makin lama perkecambahannya, karena makin ke atas tebu terlalu muda dan lembek sedangkan makin ke bawah makin tua yang kemungkinannya sudah rusak. 2. Memotong batang tebu untuk mengambil mata bibit, setelah itu dikumpulkan sesuai varietas dan dimasukkan ke karung untuk direndam air dengan suhu dan lama perendaman yang telah ditentukan. c. Penanaman. Bibit di tanam dengan posisi sejajar karena merupakan bibit bagal pada petak dengan jarak 10 cm × 10 cm, penanaman bibit diusahakan agar mata bibit menghadap keatas, karena tunas akan muncul lebih GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /28
PLANT AGRONOMY
dulu pada permukaan tanah dari pada mata bibit yang menghadap ke bawah. d. Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman tebu dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 1. Penyiraman, untuk menjaga kelembaban lahan yaitu dilakukan dengan menggunakan menggunakan alat kocor atau gembor, dilakukan 1 kali sebelum dan sesudah tanam kemudian dilanjutkan setiap 2 hari sekali atau lihat kondisi. 2. Penyiangan gulma, penyiangan bertujuan untuk menanggulangi kompetisi bibit dengan gulma yang dilakukan dengan manual. 3. Pemupukan bertujuan untuk menambah kandungan unsur hara dalam tanah yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman tebu, pemupukan diberikan secara bertahap. 4. Pembumbunan : menaruh sedikit tanah yang diambil dari gundukan ke sekitar pangkal tebu. Pembumbunan bertujuan untuk menutupi pupuk dan mendorong pertumbuhan tunas dan akar. 5. Pengendalian OPT. Salah satu faktor penghambat pertumbuhan awal tanaman tebu adalah adanya serangan hama, penyakit dan gulma. Hama yang menyerang pada awal pertumbuhan adalah rayap yang memakan batang tebu sehingga tanaman layu dan mati. Peubah Penelitian Persentase tumbuh bibit Prosentase tumbuh bibit diamati pada umur 15 hari setelah tanam, dihitung berdasarkan jumlah bibit yang dapat berkecambah. Penentuan jumlah perkecambahan dihitung menggunakan rumus: Prosentase tumbuh = Jumlah bibit yang tumbuh di bagi Jumlah total bibit dikalikan seratus persen, dengan satuan prosentase (Putra 2005).
Tinggi tanaman Tinggi tanaman diukur pada umur 20, 30, 40 hari setelah tanam, diukur dari pangkal batang sampai titik tumbuh teratas menggunakan alat meteran dengan satuan cm. Diameter batang Diameter batang diukur pada umur 20, 30, 40 hari setelah tanam, dengan cara mengukur batang paling tengah dengan menggunakan alat jangka sorong dengan satuan cm. Jumlah Daun Jumlah daun dihitung pada umur 20, 30, 40 hari setelah tanam, dengan cara menghitung semua daun yang telah membuka sempurna dan belum kering pada tiap tanaman tebu. Panjang akar Panjang akar diukur pada umur 40 hari setelah tanam, dengan cara destruktif yaitu mencabut tanaman sampel diukur mulai pangkal batang sampai titik ujung akar paling bawah dengan satuan cm. Analisis Data Analisis penelitian ini menggunakan sidik ragam RAK faktorial dimana jika F hitung lebih besar dari F tabel 5% maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur dan jika F hitung lebih kecil dari F tabel 5%, maka tidak dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur.
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Prosentase Tumbuh Bibit Berdasarkan analisis ragam 5% pada pengamatan umur 15 Hst menunjukkan interaksi tidak nyata antara perlakuan varietas dan perlakuan stratifikasi pada parameter prosentase tumbuh bibit (lampiran 1). GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /29
PLANT AGRONOMY
Pada perlakuan varietas (V) menunjukkan hasil yang tidak nyata pada parameter prosentase tumbuh bibit umur 15 hst (lampiran 1). Pada perlakuan stratifikasi (P) menunjukkan hasil yang sangat nyata pada parameter prosentase tumbuh bibit umur 15 hst, data rata-rata prosentase tumbuh bibit pada perlakuan stratifikasi umur 15 hst (lampiran 1). Tabel 1. Hasil pengamatan prosentase tumbuh bibit (%). Perlakuan 15 hst P0 87,50 d P1 76,39 c P2 66,66 b P3 44,44 a BNJ 5% 9,65 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut uji Beda Nyata Jujur 5% Dari hasil uji BNJ 5% pada perlakuan stratifikasi memberikan perbedaan sangat nyata. Prosentase tumbuh bibit tertinggi terdapat pada tanpa perlakuan perendaman (Po) yaitu 87,50%, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan perendaman air dengan suhu 51°C selama 30 menit (P3) yaitu 44,44%. tabel 1.
4.1.2. Tinggi Tanaman Berdasarkan analisis ragam 5% pada pengamatan umur 20 hst dan 40 hst perlakuan interaksi antara perlakuan varietas dan perlakuan stratifikasi menunjukkan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman (lampiran 2 dan 4), namun menunjukkan hasil tidak nyata umur 30 hst terhadap tinggi tanaman (lampiran 3). Pada pengamatan umur 20 hst perlakuan varietas (V) menunjukkan hasil yang nyata terhadap tinggi tanaman (lampiran 2), namun menunjukkan hasil tidak nyata umur 30 hst dan 40 hst terhadap tinggi tanaman (lampiran 3 dan 4). Pada perlakuan stratifikasi (P) menunjukkan hasil sangat nyata terhadap tinggi tanaman umur 20 hst dan 40 hst (lampiran2 dan 4), namun pada umur 30 hst menunjukkan hasil nyata terhadap tinggi tanaman (lampiran 3) .
Tabel 2. Hasil interaksi kombinasi perlakuan terhadap tinggi tanaman (cm) Perlakuan V1P0 V1P2 V1P2 V1P3 V2P0 V2P1 V2P2 V2P3 BNJ 5%
20 hst 3,87 d 3,93 d 3,50 bc 3,10 a 3,73 cd 3,93 d 3,60 cd 3,57 cd 0,33
40 hst 13,60 a 15,33 bc 15,58 c 13,27 a 14,13 a 13,83 a 14,57 ab 14,03 a 1,03 GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /30
PLANT AGRONOMY
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut uji Beda nyata jujur 5%. 4.1.3. Diameter Batang Dari hasil uji BNJ 5% pada Berdasarkan analisis ragam 5% pada pengamatan umur 20 hst menunjukkan pengamatan umur 20 hst, 30 hst dan 40 hst interaksi antara perlakuan stratifikasi dan menunjukkan interaksi antara perlakuan perlakuan varietas berpengaruh sangat nyata stratifikasi dan perlakuan varietas tidak terhadap tinggi tanaman, parameter tinggi memberikan pengaruh yang nyata terhadap tanaman tertinggi terdapat pada kombinasi diameter batang (lampiran5-7). perlakuan V1P1 dan V2P1 yaitu 3,93 cm Pada perlakuan varietas (V) sedangkan terendah pada kombinasi perlakuan menunjukkan hasil tidak nyata terhadap V1P3 yaitu 3,10 cm (tabel 2). diameter batang pada umur 20 hst,30 hst dan Pada pengamatan umur 40 hst 40 hst (lampiran5-7). menunjukkan interaksi antara perlakuan Pada perlakuan stratifikasi (P) stratifikasi dan perlakuan varietas berpengaruh menunjukkan hasil tidak nyata terhadap nyata pada tinggi tanaman, peubah tinggi diameter batang pada umur 20 hst, 30 hst dan tanaman tertinggi terdapat pada kombinasi 40 hst (lampiran 5-7). perlakuan V1P2 yaitu 15,58 cm sedangkan terendah pada kombinasi perlakuan V1P3 yaitu 13,27 cm, (Tabel 2).
Tabel 3. Hasil pengamatan diameter batang (cm). Perlakuan umur 20 hst V1P0 0,37 V1P1 0,39 V1P2 0,38 V1P3 0,3 V2P0 0,33 V2P1 0,35 V2P2 0,41 V2P3 0,35 BNJ 5% t.n Keterangan : t.n = tidak nyata
umur 30 hst 0,43 0,42 0,43 0,39 0,37 0,4 0,44 0,39 t.n
umur 40 hst 0,47 0,48 0,5 0,49 0,49 0,51 0,52 0,52 t.n
4.1.4. Jumlah Daun Berdasarkan analisis ragam 5%pada pengmatan umur 20 hst, 30 hst dan 40 hst menunjukkan interaksi tidak nyata antara perlakuan stratikasi dan perlakuan varietas terhadap jumlah daun. Pada perlakuan varietas (V) menunjukkan hasil tidak nyata terhadap jumlah daun umur 20 hst, 30 hst dan 40 hst . Pada perlakuan stratifikasi (P) menunjukkan hasil tidak nyata terhadap jumlah daun umur 20 hst, 30 hst dan 40 hst.
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /31
PLANT AGRONOMY
Tabel 4. Hasil pengamatan jumlah daun Perlakuan 20 hst V1P0 1,33 V1P1 1,33 V1P2 2,00 V1P3 1,67 V2P0 1,67 V2P1 2,00 V2P2 1,33 V2P3 1,67 BNJ 5% t.n Keterangan : t.n = tidak nyata
30 hst 2,33 2,67 2,33 2,67 2,67 3,00 2,67 2,67 t.n
40 hst 4,33 5,00 5,33 4,33 5,00 5,00 5,67 4,67 t.n
4.1.5. Panjang Akar Berdasarkan analisis ragam 5% pada pengamatan umur 40 hst menunjukkan interaksi tidak berbeda nyata antara perlakuan stratifikasi dan perlakuan varietas terhadap panjang akar. Pada perlakuan varietas (V) menunjukkan hasil tidak berbeda nyata terhadap panjang akar umur 40 hst (lampiran 11). Pada perlakuan stratifikasi (P) menunjukkan hasil berbeda nyata terhadap panjang akar umur 40 hst, data-data panjang akar pada perlakuan stratifikasi umur 40 hst, (lampiran 11). Tabel 5. Hasil pengamatan panjang akar umur 40 Hst (cm) Perlakuan
Umur 40 hst
P0
20,24 a
P1
21,74 a
P2
22,70 ab
P3
20,13 a
BNJ 5%
2,47
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut uji Beda nyata jujur 5%. Dari hasil uji BNJ 5% pada perlakuan stratifikasi menunjukkan hasil nyata pada umur 40 hst (table 5), hasil pengamatan panjang akar tertinggi terdapat pada perlakuan perendaman pada suhu 51°C selama 20 menit (P2) yaitu 22,70 cm dan terendah terdapat pada perlakuan perendaman pada suhu 51°C selama 30 menit (P3) yaitu 20,13 cm (tabel 5). 4.2. Pembahasan 4.2.1. Persentase Tumbuh Bibit
Berdasarkan analisis ragam 5% pada pengamatan umur 15 Hst menunjukkan interaksi tidak berbeda nyata antara perbedaan GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /32
PLANT AGRONOMY
varietas dan perlakuan stratifikasi pada parameter prosentase tumbuh bibit (lampiran 1). Perlakuan air panas pada suhu 50 derajat Celcius selama 1 jam dapat berpengaruh terhadap penurunan prosentase perkecambahan bibit tebu, penurunan daya tumbuh bibit tebu ini 10%-40%, tetapi dapat meminimalisir terserangnya penyakit pada bibit dan bibit tebu diberi perlakuan perendaman dengan air selama 12-24 jam dapat meningkatkan daya tumbuh bibit sampai 50% (Putra 2005). Berdasarkan hasil uji BNJ 5% pada perlakuan stratifikasi menunjukkan hasil berbeda nyata. Prosentase tumbuh bibit tertinggi terdapat pada tanpa perlakuan (P0) yaitu 87,50%, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan perendaman air dengan suhu 51°C selama 30 menit (P3) yaitu 44,44%. tabel 1. Hal ini diduga selama perlakuan stratifikasi terjadi sejumlah perubahan dalam bibit yang berakibat menghilangnya bahan-bahan penghambat pertumbuhan atau terjadi pembentukan bahan-bahan yang merangsang pertumbuhan (Lita S.,2010). Pada perlakuan varietas (V) menunjukkan hasil yang tidak nyata pada parameter prosentase tumbuh bibit umur 15 hst (lampiran 1), dikarenakan varietas hanya nampak pada hasil produksi, setiap varietas memiliki karakter dan cadangan nutrisi yang berbedabeda didalam batangnya (Eka S.,2008). 4.2.2. Tinggi Tanaman Berdasarkan analisis ragam 5% pada pengamatan umur 20 hst dan 40 hst perlakuan interaksi antara perbedaan varietas dan perlakuan stratifikasi menunjukkan pengaruh berbeda nyata terhadap tinggi tanaman (lampiran 2 dan 4), namun menunjukkan hasil tidak berbeda nyata umur 30 hst terhadap tinggi tanaman (lampiran 3). Dari hasil uji BNJ 5% pada pengamatan umur 20 hst parameter tinggi tanaman tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan V1P1 dan V2P1
yaitu 3,93 cm sedangkan terendah pada kombinasi perlakuan V1P3 yaitu 3,10 cm (tabel 2), pada pengamatan umur 40 hst parameter tinggi tanaman tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan V1P2 yaitu 15,58 cm sedangkan terendah pada kombinasi perlakuan V1P3 yaitu 13,27 cm, (tabel 2). Hal ini diduga selama perlakuan stratifikasi terjadi sejumlah perubahan dalam bibit yang berakibat menghilangnya bahan-bahan penghambat pertumbuhan sehingga dapat merangsang pertumbuhan selanjutnya (Lita S.,2010). Perlakuan varietas (V) menunjukkan hasil nyata umur 20 hst, dikarenakan setiap varietas memiliki respon yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi terhadap tinggi tanaman namun varietas BL memerlukan lahan yang cukup air dan drainase yang baik, lahan ringan sampai geluhan atau liat berpasir disukai oleh varietas ini dari pada lahan berat (Sugiyarta, 2007). 4.2.3. Diameter Batang Berdasarkan analisis ragam 5% pada pengamatan umur 20 hst, 30 hst dan 40 hst menunjukkan interaksi antara perlakuan stratifikasi dan perbedaan varietas menunjukkan hasil tidak berbeda nyata terhadap diameter batang (lampiran 5-7). karena setiap varietas mempunyai karakter yang sama dalam pertumbuhannya, tebu merupakan tanaman berbiji tunggal tanaman tebu memilki batang dalam pertumbuhannya hampir tidak bertambah besar, namun hanya bertambah tinggi dan merupakan tanman perkebunan semusim sehingga untunk perkembangan pada batang memerlukan waktu yang lama (Hasan BJ. 2002), Berdasrkan analisis ragam 5% pada pengamatan umur 20 hst,30 hst dan 40 hst menunjukkan perbedaan varietas tidak berpengaruh nyata karena setiap varietas mempunyai karakter yang berbeda–beda dalam pertumbuhannya tergantung dari
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /33
PLANT AGRONOMY
kerjasama antara varietas dan lingkungannya (Dewi R.,2008). 4.2.4. Jumlah Daun Berdasarkan analisis ragam 5%pada pengmatan umur 20 hst, 30 hst dan 40 hst menunjukkan interaksi tidak berbeda nyata antara perlakuan stratikasi dan perbedaan varietas terhadap jumlah daun (lampiran 810). Berhubungan dengan parameter tinggi tanaman yang menunjukkan hasil berbeda nyata maka pada masa pertumbuhan dengan bertambah panjang batang akan dikuti oleh jumlah daun, namun dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap jumlah daun, hal ini diduga pada waktu penghitungan jumlah daun terdapat daun yang telah mengering atau belum terbuka sempurna sehingga tidak termasuk hitungan pengamatan (Edi S. 2002). Ciri-ciri yang khas pada jenis suatu tanaman yang sedang tumbuh tampak pada perubahan tinggi, membesarnya batang, tumbuhnya daun dan meningkatnya jumlah daun, namun proses ini berlangsung mulai tebu umur 5 minggu (Hasan B.J. 2002).
pada perlakuan perendaman pada suhu 51°C selama 30 menit (P3) yaitu 20,13 cm (tabel 5), karena didalam bibit sudah tercukupinya air yang berfungsi untuk membantu proses metabolisme didalam bibit yang dapat mempengaruhi perkembangan akar (Lita S,2010) KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka disimpulkan: 1. Adanya interaksi yang nyata (V1P2) terhadap tinggi tanaman pada umur 20 hst dan 40 hst. 2. Varietas BL (V1) berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman umur 20 hst, namun tidak berpengaruh nyata terhadap semua pengamatan. 3. Tanpa perlakuan perendaman (PO) berpengaruh nyata terhadap prosentase tumbuh bibit umur 20 hst dan perlakuan perendaman pada suhu 51°C selama 20 menit (P2) berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman umur 20 hst, 30 hst dan 40 hst dan terhadap panjang akar umur 40 hst.
4.2.5. Panjang Akar Berdasarkan analisis ragam 5% pada pengamatan umur 40 hst menunjukkan interaksi tidak berbeda nyata antara perlakuan stratifikasi dan perbedaan varietas terhadap panjang akar (lampiran 11). Hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor genetik, karena tanaman tebu merupakan tanaman jenis rumput-rumputan yang memiliki sistem perakaran serabut yang peredarannya menyebar dangkal dipermukaan tanah.
5.2. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka disarankan dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari kombinasi perlakuan, sehingga diharapkan bisa mendapatkan kombinasi perlakuan yang dapat menghasilkan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan awal bibit tebu.
Dari hasil uji BNJ 5% pada perlakuan stratifikasi menunjukkan hasil berbeda nyata pada umur 40 hst (tabel 5), hasil pengamatan panjang akar tertinggi terdapat pada perlakuan perendaman pada suhu 51°C selama 20 menit (P2) yaitu 22,70 cm dan terendah terdapat
AAK, 1985.” Dasar-dasar Bercocok Tanam “. Penerbit Kanisius.
DAFTAR PUSTAKA
Adisewojo.R.S,1971.” Bercocok Taanam Tebu“. Sumur Bandung, Bandung.
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /34
PLANT AGRONOMY
Anonim, 2008.“Statistik Produksi Gula Indonesia“ Tahun Giling 2006, P3GI, Pasuruan. Anonymous,1975.”Budidaya tanaman tebu”. PTPN XXI-XXII Persero, Dinas Perkebunan Daerah Pasuruan. Ahmad S., 1992. “Rendemen dan Liku-liku Permasalahannya”. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Dewi R,2008.”Teknik memperoleh bibit tebu berkualitas”. http: //pengawas benih tanaman. Blogspot.com /2008/05/ penyediaanbibit-tebu-berkualitas.html. Edi S., 2002.“Budidaya Tanaman Tebu”. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Eka
S. 2008.”Peranan Varietas dalam Peningkatan Produksi dan Produktifitas Gula”. P3GI Pasuruan.
Foth H.D.1988.”Dasar-dasar Ilmu Tanah” edisi ketujuh, UGM Press. Yogyakarta. Harjowigeno,2003”Ilmu Tanah”. Akademika pressindo, Jakarta 286 hal. Hasan B.J.2002.“Agronomi “.PT. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta. Indriani,1992.”Pembudidayaan tebu di lahan sawah dan tegalan”. Penebar Swadaya, Jakarta. Leiwakabessy dan Sutadi, 1998.”Pupuk dan Pemupukan”. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB Bogor. Lita S.,2010. ”Teknologi Benih” PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Maharlika P, 2009. “Pengaruh perlakuan air panas untuk mengurangi intensitas SCMV pada bibit tebu”. Skripsi Faperta Unibraw, Malang. Novizan, 2003.”Petunjuk Penggunaan Pupuk yang Efektif”. Agromedia Pustaka Jakarta.114 hal. Putra, 2005.“Penyehatan bibit tebu denga perlakuan air panas“. Makalah training of trainers P3GI tanggal 1315, Pasuruan. 7 Hal. Salisbury dan Ross,1995.”Fisiologi Tumbuhaan “ jilid I, II dan III. Terjemahan dari Plant Physiology, Penerjemah: D.R. Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB Bandumg. Soepardi, 1983. Diktat Kuliah Pupuk dan Pemupukan. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. IPB Bogor. Rahmad A. 2000. “Usaha tani tebu antara system bongkar ratoon dengan system rawat ratoon di wilayah Kecamatan Prambon“. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional Surabaya, 2011 Soepardiman,1996.“ Bercocok Tanam Tebu“. LPP Yogyakarta. Sugiyarta .E 2007.“Perilaku beberapa tebu varietas unggul dan varietas harapan”. IKAGI, Pasuruan 30 (3). Tarsius S., 2011.“Pacu Produksi, PTPN X InovasiPembibitan”. Kutipan dari Direktur Produksi PTPN X, Surabaya. Toni S., 2005. “ Biologi “. Penerbit dan percetakan Mediatama.
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /35
PLANT AGRONOMY
Respon Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi Putih (Brassica juncea L) Terhadap Konsentrasi dan Waktu Pemberian Pupuk AnOrganik Nitrogen terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi Putih (Brassica juncea L) Oleh : Tri Kurniastuti *Dosen Fakultas Pertanian Universitas islam Balitar Abstracs : Public demand for chicory progressively increased, the optimal cultivation of Chinese cabbage in the highlands, requires soil texture and nutrient content of the maximum. Therefore, in the cultivation of Chinese cabbage in the highlands of sustainable farming systems applied. The research was conducted on Pebruari, 2012 until April, 2012 in the Green House of Agriculture Faculty Universitas Islam Balitar Blitar, East Java Province. The study design used was Randomized Complete factorial design is the first factor with four urea concentration level that is N0 (control), N1 (urea 15 g / L), N2 (urea 30 g / L), N3 (urea 45 g / L) and the second factor with four times the level of fertilizer application is W0 (control/0 week), W1 (week 1), W2 (week 2), W3 (week 3) Data obtained from this study were analyzed by analysis of variance (ANOVA), followed by the Smallest Real Differences test (LSD) 5%. Theresults of this study indicate that there is a significant effect of time of fertilizer urea fertilizer. Treatment with urea at week 3 with a dose of 30 g / l at week-3 gives the optimum results on the growth and yield of white mustard plant (Brassica juncea L). The study is expected to give useful advice about the possibility of cultivation in order chicory chicory plant expansion. Key words: white mustard (Brassica juncea L), urea fertilizer, week-3
PENDAHULUAN Latar Belakang Sawi putih (Brassica juncea L) merupakan komoditas sayuran yang penting dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Komoditas ini memiliki keragaman yang luas dan berperan sebagai sumber karbohidrat, protein nabati, vitamin, dan mineral yang bernilai ekonomi tinggi. Tanaman sawi putih merupakan sayuran daun yang sering dibudidayakan oleh
petani Indonesia karena banyak permintaan selain karena harganya terjangkau oleh masyarakat di Indonesia, sawi putih mudah di budidayakan di pot atau di poli bag sebagai upaya untuk menyiasati lahan-lahan sempit secara efisien. Mengingat usahatani sayuran sawi putih makin meningkat sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat terhadap mutu gizi sayuran, mendorong peningkatan produksi. Teknologi produksi yang tepat pada budidaya tanaman sawi diperlukan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil, sehingga dapat GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /36
PLANT AGRONOMY
memenuhi kebutuhan konsumsi dan permintaan pasar. Sawi putih dikonsumsi daunnya sehingga lebih banyak membutuhkan unsure N Umumnya jenis pupuk yang diberikan mengandung unsur N yang tinggi seperti pupuk urea. Pupuk urea merupakan pupuk tunggal yang sering diaplikasikan lewat daun. Pemupukan lewat daun ini dilakukan dengan cara melarutkan pupuk tersebut kedalam air lalu disemprotkan ke permukaan daun. Hal ini karena pupuk urea bersifat higroskopis, mudah larut dalam air, bereaksi cepat dan mudah menguap dalam bentuk amoniak. N merupakan unsur penyusun klorofil yang berpengaruh terhadap mutu sayuran daun. Pemberian N pada tanaman akan mendorong pertumbuhan organ – organ yang berkaitan dengan fotosintesis yaitu daun. Tanaman yang cukup mendapat suplai N akan membentuk daun yang memiliki helaian lebih luas dengan kandungan klorofil yang lebih tinggi, sehingga tanaman mampu menghasilkan karbohidrat dalam jumlah yang cukup untuk menopang pertumbuhan vegetatif (Wijaya.K.A, 2008). Unsur N mempengaruhi pertumbuhan tanaman, penampilan, warna dan hasil tanaman. N merupakan komponen penyusun banyak senyawa organik penting di dalam tanaman ( protein, enzim, vitamin B complex, hormon, klorofil ). Pemberian N pada tanaman akan mendorong pertumbuhan organ – organ yang berkaitan dengan fotosintesis yaitu daun. Tanaman yang cukup mendapat suplai N akan membentuk daun yang memiliki helaian yang lebih luas dengan kandungan klorofil yang lebih tinggi, sehingga tanaman mampu membentuk karbohidrat/asimilat dalam jumlah yang cukup untuk menopang pertumbuhan vegetatif. Pupuk urea sebagai sumber hara N dapat memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman, dimana tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N, berwarna lebih hijau (Hardjowigeno, 1987).
Pupuk urea merupakan pupuk tunggal yang mengandung unsur N 46%. Pemupukan dengan urea dilakukan dengan cara melarutkan 30 gr pupuk tersebut ke dalam air lalu larutan pupuk disemprotkan ke permukaan daun pada minggu ke-3. Hal ini karena urea bersifat higrokopis yaitu mudah menarik uap air, mudah larut dalam air dan mudah diserap tanaman. Perumusan Masalah 1.
2.
3.
Apakah terjadi interaksi antar konsentrasi pupuk urea (N) terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih. Bagaimana pengaruh konsentrasi pupuk Urea (N) pada pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih. Kapan pemberian pupuk Urea (N) yang tepat pada pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih.
Tujuan 1.
2.
3.
Untuk mengetahui interaksi konsentrasi pupuk anorganik Nitrogen (Urea) yang tertinggi untuk pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih. Untuk mengetahui konsentrasi pupuk anorganik Nitrogen ( Urea) yang terbaik l untuk pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih. Untuk mengetahui waktu pemberian pupuk anorganik Nitrogen (Urea) yang terbaikl untuk pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih.
Manfaat : 1. Sebagai masukan bagi petani untuk menerapkan dosis pupuk Anorganik Nitrogen dan waktu aplikasi yang tepat agarhasil tanaman sawi meningkat. 2. Sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /37
PLANT AGRONOMY
Hipotesis 1. Diduga terjadi interaksi konsentrasi dan waktu pemberian pupuk anorganik Nitrogen (Urea) terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih. 2. Diduga pemberian konsentrasi pupuk anorganik Nitrogen (Urea) yang berbeda dapat menhasilkan tanaman sawi putih yang berbeda. 3. Diduga pemberian pupuk anorganik Nitrogen (Urea) pada waktu yang berbeda dapat menghasilkam tanaman sawi putih yang berbeda. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Pebruari 2012 sampai Bulan April 2012 di Green Houe Fakultas Pertanian Unisba Blitar. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah polybag, botol 1,5 l, pengaduk, alat tulis, penggaris, timbangan, ember, alat, hitung, gelas ukur, baki. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tanah, pasir, benih sawi putih, pupuk an-organik urea, air, label dan polibag. Metode Penelitian 1. Rancangan Penelitinan Penelitian ini dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun dengan 2 faktor yaitu : Faktor 1 : Konsentrasi pupuk urea, dengan 4 taraf yaitu 0 g/L (N0), 15 g/L (N1), 30 g/L (N2), dan 45 g/L (N3) ,( Firlana,2010 ). Faktor 2 : Waktu pemberian pupuk urea (W) pada saat umur tanaman sawi putih 0 MST, 1 MST, 2 MST ,3 MST 2. Pelaksanaan Penelitian a. Persemaian benih
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Persemaian benih dilakukan dengan menggunakan media tanah dan pasir. Jarak tanam benih 1 cm x 3 cm. Benih yang ditanam kemudian ditutup dengan arang sekam tipis. Membuat media tanam Media yang digunakan tanah topsoil, pasir halus, pupuk kandang, kompos dengan perbandingan 2 : 1 : 1 : 1. Media tanam tersebut dicampur hingga merata, kemudian dimasukkan dalam polibag dengan ukuran 30 x 35 cm. Penanaman bibit Bibit yang telah berumur 2 minggu (berdaun 4 helai) dipindahkan ke media tanam dalam polibag dengan ukuran 30 cm x 35 cm. Bibit yang dipilih adalah bibit yang sehat, baik dan seragam. Pemberian pupuk urea Pupuk urea dicairkan dalam air dengan konsentrasi sesuai perlakuan. Pupuk urea siap untuk diaplikasikan pada tanaman. Pemeliharaan tanaman Penyiraman dilakukan setiap hari sekali yaitu pada pagi hari atau sore hari jika tanaman menunjukkan tanda-tanda kekurangan air. Penyulaman dilakukan untuk mengganti bibit yang mati 3 -7 hari setelah tanam. Penyulaman tidak dilakukan karena tanaman sawi tumbuh semua. Penyiangan dilakukan dengan cara mencabut gulma secara hati-hati agar tidak merusak tanaman. Pengendalian hama dan penyakit Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara mekanik dan secara hayati menggunakan ekstrak daun mimba. Pemanenan Pemanenan dilakukan setelah sawi putih berumur 42 HST. Kriteria panen sawi putih ketika daun paling bawah menunjukkan warna kuning dan belum berbunga. GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /38
PLANT AGRONOMY
j. Aplikasi pupuk urea Pupuk urea yang telah siap disiramkan ke tanaman dengan menggunakan gelas air mineral. Aplikasi pemupukan urea dilakukan b. Pemberian pupuk Nitrogen sesuai dengan perlakuan yaitu konsentrasi : 0 g/l, 15 g/l, g/l, 30 g/l , 45 g/l . Sedangkan waktu pemberian yaitu: 0 MST, 1 MST, 2 MST dan 3 MST. 3. Peubah Penelitian a. Tinggi tanaman Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan tanah pangkal batang sampai titik tumbuh. Tinggi tanaman diamati pada umur 7 HST 14 HST, HST, 21 HST, 28 HST, 35 HST. b. Jumlah daun Jumlah daun dihitung dengan menghitung jumlah daun tanaman. Daun yang dihitung yaitu daun yang sudah terbentuk sempurna. c. Luas daun (
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman Hasil analisis ragam (ANOVA) 5% menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pupuk urea (N) dan waktu pemberian pupuk (W) pada pengamatan ke 7 HST ke14, dan 21 HST (Hari Setelah Tanam) tidak memberikan pengaruh interaksi yang nyata pada peubah tinggi tanaman. Namun pengaruh pemberian N pada umur 14 dan 21 HST memberikan pengaruh yang nyata dimana perlakuan pemberian N dengan konsentrasi 30 g/tanaman (N2) dan 45 g/tanaman (N3) adalah yang terbaik. Pada pengamatan ke 28 dan 35 dan HST (hari setelah tanam) menunjukkan interaksi yang nyata pada peubah tinggi tanaman, Perlakuan yang terbaik terdapat pada kombinasi perlakuan N2W2 ( N 30 g/l dan
Dilakukan dengan faktor koreksi, yaitu : mengukur panjang dan lebar daun sampel, sampel setelah itu dilihat dengan menggunakan rumus. LD = p x l x fk x jumlah daun fk =
xl
Dimana : LD = Luas Daun p = panjang daun l = lebar daun A = bobot kertas yang dipotong B = bobot kertas C = luas kertas keseluruhan Fk = faktor koreksi, dilakukan pada saat panen. d. Bobot segar sawi putih Bobot sawi putih diperoleh dengan cara menimbang dengan menggunakan timbangan analitik dengan kapasitas 5 kg. Sawi putih dicuci bersih sebelum ditimbang setelah panen.
pemberian pupuk pada (W1) 2 MST) dan (N2W3) pemberian pupuk N 30 g/ltd an pemberian pupuk pada (W2) 3 MST adalah yang terbaik dan berbeda nyata. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% untuk mengetahui pengaruh perlakuan pupuk urea (N) dan perlakuan waktu pemberian pupuk (W) untuk peubah tinggi tanaman pada umur 7 HST, 14 dan 21 HST dan 28 HST disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Rerata tinggi tanaman sawi putih pada perlakuan pemberian pupuk anorganik Nitrogen (Urea) dan waktu pemberian pupuk anorganik Nitrogen (Urea )pada umur 7 , 14 dan 21 hst
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /39
PLANT AGRONOMY
PERLA KUAN
7 HST
14 HST
21 HST
N0 N1 N2 N3
23.97 25.12 24.50 25.23
a 36.06 a a 35.04 a b 39.606 b b 40.79 b
45.10 45.92 51.12 51.02
a a b b
W0 W1 W2 W3
24.02 25.12 25.90 26.88
a a a a
46.39 48.61 48.27 49.54
a a a a
31.37 33.09 34.12 35.45
a a a a
Keterangan: Angka-angka didampingi huruf yang tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 %. HST = hari setelah tanam
yang sama
Tinggi tanaman pada pengamatan ke 28 HST dan ke 35 HST terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan N 2W3 dengan rata-rata 75,21 cm pada umur 28 HST dan . Perlakuan N 2W3 menunjukkan hasil yang terbaik dibanding perlakuan lainnya rata-rata tinggi tanaman 89,91 cm pada pengamatan ke 35 HSTT (Tabel 2). Perlakuan N2W3 menunjukkan hasil yang terbaik dibanding perlakuan lainnya . Tabel 1 menunjukkan bahwa pengamatan ke 7 HST, 14 HST dan 21 HST menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada perlakuan waktu pemberian N. Tabel 2 : Rerata tinggi tanaman sawi putih pada perlakuan pemberian pupuk anorganik Nitrogen (Urea) dan waktu pemberian pupuk anorganik N (Urea )pada umur 28 dan 35 HST
NO
PERLA KUAN
28 HST
35 HST
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
N0W0 N0W1 N0W2 N0W3 N1W0 N1W1 N1W2 N1W3 N2W0 N2W1 N2W2 N2W3 N3W0 N3W1 N3W2 N3W3
69.21 a 60.32 a 66.53 a 61.55 a 64.34 a 66.09 a 65.74 a 66.43 a 68.32 a 67.36 a 75.21 ab 78.67 b 61.43 a 61.35 a 61.39 a 62.27 a
73.04 A 73.55 A 74.29 A 76.72 A 79.14 A 81.14 A 81.48 A 82.38 A 83.31 a 74.19 a 87.32 ab 89.91 b 75.47 a 75.26 a 75.98 A 76.83 a
Keterangan: Angka-angka didampingi huruf yang tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 %. HST = hari setelah tanam
yang sama
Jumlah Daun Hasil analisis ragam (ANOVA) 5% menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata pada perlakuan pemberian pupuk urea (N) dan waktu pemberian pupuk (W) pada pengamatan ke 14, 28 sampai ke 35 HST pada peubah jumlah daun . Namun pada pengamatan ke 21 menunjukkan interaksi yang nyata Pad tabel 3. menunjukkan pelakuan kombinasi N2W2 merupakan kombinasi yang paling baik untuk peubah jumlah daun dimana didapatkan rerata jumlah daun sebesar 9..32.. .
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /40
PLANT AGRONOMY
Tabel 3. Rerata jumlah daun tanaman sawi putih pada perlakuan pemberian pupuk N (urea) dan waktu pemberian pupuk N (Urea) pada umur 21 hst NO PERLAKUAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
N0W0 N0W1 N0W2 N0W3 N1W0 N1W1 N1W2 N1W3 N2W0 N2W1 N2W2 N2W3 N3W0 N3W1 N3W2 N3W3
21 HST 6.32 7.08 7.67 7.45 7.56 7.81 7.90 7.21 7.32 8.50 9.32 8.30 7.16b 8.78 8.24 8,56
Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang tidak sama berbeda nyata pada uji BNT 5 %. HST = hari setelah tanam Berdasarkan analisis ragam pengamatan jumlah daun pada pengamatan ke 14 HST, 28 HST, 35 HST dan 42 HST menunjukkan tidak terdapat interaksi yang nyata pada perlakuan pemberian konsentrasi pupuk dan waktu pemberian pupuk N (Urea) . Pada table 4 ditunjukkan bahwa jumlah daun pada pengamatan pada saat panen diperoleh bahwa pemberian pupuk anorganik Nitrogen (urea) a berbeda nyata pada pemberian konsentrasi 30 g/lt (N 2 (table 4) dan didapatkan jumlah daun tertinggi yaitu 2.56 helai. Sedangkan waktu pemberian pupuk anorganik Nitrogen (urea) yang terbaik adalah pada 2 MST.
a a a a a a a a a ab b ab a ab ab ab
Tabel 4.: Rerata jumlah daun tanaman sawi putih pada perlakuan pemberian pupuk Anorganik Nitrogen (Urea) dan waktu pemberian pupuk Organik Nitrogen (Urea) pada umur 7 HST, 1 HST, 28 HST dan 35 HST 14 HST
28 HST
35 HST
42 HST
N0 N1 N2 N3
4.32 5.303 7.77 5.22
a b b b
9.13 9.08 9.21 8.22
a a b a
10.23 12.67 12.21 13.53
a a a ab
20.34 20.21 24.56 21.87
a a b a
W0 W1 W2 W3
7.73 7.93 8.67 7.46
a a a a
9.56 12.07 10.33 11.53
a b a b
12.57 12.37 13.90 12.17
a a b a
21.32 2340 24.56 23.30
a ab b ab
PERLAKUAN
Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang tidak sama berbeda nyata pada uji BNT 5 %. HST = hari setelah tanam GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /41
PLANT AGRONOMY
Dari hasil analisis statistic didapatkan hasil bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan pemberian pupuk Anorganik Nitrogen (Urea) dan waktu pemberian pupuk Organik Nitrogen (Urea) pada umur 14 HST, 28 HST, 35 HST dan 42 HST. Pada tabel 4 ditunjukkan bahwa pada pengamatan ke 14 HST, 28dan 35 terdapat hasil yang berbeda nyata pada perlakuan pemberian pupuk anorganik Nitrogen (urea) dengan konsentrasi 30 g/l (N2) dibandingkan dengan perlakuan yang lain yaitu pada N0 dan N1 , dan pada perlakuan N3. Pada perlakuan konsentrasi pemberian N (Urea) ( N2) rerata jumlah daun sebesar 9,21 pada pengamatan ke 28 HST, dan 24.56 pada pengamatan ke 42 HST lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Demikian juga pada perlakuan waktu pemberian pupuk N (Urea). Pada perlakuan waktu pemberian pupuk anorganik Nitrogen (Urea) diperoleh hasil bahwa perlakuan W2 (pemberian pupuk anorganik Nitrogen pada minggu ke 2 ) berbeda nyata dibandingkan perlakuan yang lainnya. Pada perlakuan W 2 diperoleh jumlah daun terbanyak pada pengamatan ke 42 HST yaitu sebesar 24.56 . Pada perlakuam W1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan W 0 artinya bahwa waktu pemberian pada minggu ke 1 sama hasilnya dengan perlakuan pemberian pupuk anorganik Nitrogen (Urea) pada minggu ke 3. Namun kedua perlakuan tersebut mendapatkan jumlah daun yang lebih rendah dibandinagn dengan perlakuan W2 (Tabel 4). Luas Daun Hasil analisis ragam (ANOVA) 5% menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pupuk anorganik Nitrogen (Urea) dan waktu pemberian pupuk (W) pada
pengamatan ke 42 HST memberikan pengaruh interaksi yang nyata pada peubah luas daun. Pada pengamatan ke 42 HST perlakuan N 3W2 dengan rerata 220,25 cm² menunjukkan hasil yang terbaik dibanding perlakuan lainnya (Tabel 5). Tabel 5. Rerata Luas Daun Pengaruh Pemberian Pupuk anorganik Nitrogen (Urea) Dan Waktu Pemberian pupuk anorganik Nitrogen (urea) pada 42 (HST) N PERLAKUA NOTAS 42 HST O N I 1
N0W0
103.32
2
N0W1
111.23
a a
3
N0W2
121.32
a
4
N0W3
126.21
a
5
N1W0
125.27
a
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
N1W1 N1W2 N1W3 N2W0 N2W1 N2W2 N2W3 N3W0 N3W1 N3W2 N3W3
133.98 141.53 146.06 132.29 140.72 151.94 220.25 196.30 201.31 170.34 177.30
ab b b ab b bc d cd cd c cd
Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 %. HST = hari setelah tanam Hasil analisis ragam (ANOVA) 5% menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pupuk urea (N) dan waktu pemberian pupuk N ( urea) tidak memberikan pengaruh interaksi yang nyata pada peubah luas daun pada pemnagamatan ke 7 HST, GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /42
PLANT AGRONOMY
14 HST, 21 HST, 28 HST dan 35 HST demikian juga pada masing-masing perlakuan baik pada perlakuan pemberian konsentrasi pupuk N (Urea)maupun waktu pemberian pupuk N (Urea) . Pada table 5 ditunjukkan bahwa perlakuan N2W3 berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan menunjukkan hasil luas daun yang
NO
PERLA KUAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
N0W0 N0W1 N0W2 N0W3 N1W0 N1W1 N1W2 N1W3 N2W0 N2W1 N2W2 N2W3 N3W0 N3W1 N3W2 N3W3
RERATA NOTASI 530 581 672 680 632 671 681 656 690 702 865 1089 821 706 720 885
a a a a a a a a a ab ab b ab ab ab B
Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 %. HST = hari setelah tanam Berat kering tanaman Pada table 7 tersebut ditunjukkan bahwa Berat segar tanaman pada pengamatan panen pada perlakuan N2W3 berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada perlakuan N 2W3 menunjukkan hasil yang terbaik dibanding perlakuan lainnya..
terbaik dibanding perlakuan lainnya yaitu sebesar 220.25 . Tabel 6. Rerata Berat Segar Tanaman sawi putih Pengaruh Pemberian Pupuk anorganikitrogen N (Urea) Dan Waktu Pemberian Terhadap Berat Segar Tanaman Sawi Putih (g) panen
Tabel 7. Rerata Pengaruh Pemberian Pupuk anorganik Nitrogen (Urea) Dan Waktu Pemberian Terhadap berat segar Tanaman Sawi Putih (panen) N PERLAKUA RERAT NOTAS O N A I 1 N0W0 402.32 a 2 N0W1 419.27 a 3 N0W2 433.25 a 4 N0W3 470.40 a 5 N1W0 393.60 a 6 N1W1 395.74 a 7 N1W2 395.20 a 8 N1W3 650.79 b 9 N2W0 668.54 b 10 N2W1 673.19 b 11 N2W2 873.91 bc 12 N2W3 980.85 d 13 N3W0 856.52 bc 14 N3W1 883.72 bc 15 N3W2 784.90 b 16 N3W3 900.76 cd Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 %. HST = hari setelah tanam Pada table 7 didapatkan hasil bahwa Rerata nilai terendah berat segar tanaman pada pemberian pupuk N (urea) dengan konsentrasi 0 g/L dan waktu pemberian 0 MST sebesar 40.23 g sedangkan tertinggi GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /43
PLANT AGRONOMY
pada perlakuan pupuk urea 30 g pada 3 MST ((N2W3) sebesar 980.85 gr PEMBAHASAN Hasil analisis ragam (ANOVA) 5% menunjukkan bahwa pengaruh pemberian N (Urea) pada umur 7 HST 14 HST dan 21 HST memberikan pengaruh yang tidak nyata dimana pada perlakuan pemberian N dengan konsentrasi 30 g/tanaman (N2) dan 45 g/tanaman (N3) adalah yang terbaik Perlakuan yang terbaik terdapat pada perlakuan N2 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan N3 Pada perlakuan pemberian pupuk N (urea) tidak memberikan perbedaan yang nyata, hal ini menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi 30 g/l merupakan konsentrasi yang tepat Pada prinsipnya tanaman sawi akan tumbuh dengan baik jika kebutuhan semua unsurnya terpenuhi hal ini ditandai dengan tanaman yang tumbuh dengan normal. Jika konsentrasi pupuk yang diberikan tepat maka kebutuhan N oleh tanaman semakin terpenuhi, nitrogen sangat penting bagi pertumbuhan tanaman yaitu untuk pembentukan dan pembelahan sel baik dalam daun, batang dan akar. Fotosintesis meningkat dengan tersedianya unsur hara dan kandungan unsur N yang tinggi akan membuat C/N menjadi rendah sehingga dapat merangsang pertumbuhan vegetatif secara normal. Pengamatan ke, 28 dan 35 HST menunjukkan interaksi yang nyata antar konsentrasi pupuk urea (N) dengan waktu pemberian pupuk urea (W). Kombinasi perlakuan yang paling baik adalah perlakuan pemberian konsentrasi 30 g/l dan diberikan pada umur 3 MST. Hal ini diduga karena pemberian konsentrasi 30 g/l dan diberikan pada saat tanaman berumur 3 minggu setelah tanaman merupakan konsentrasi dan waktu yang tepat dimana pada saat tersebut tanaman sedang membutuhkan unsure nitrogen untuk menambah tinggi ukuran tanamannya Hal ini sesuai dengan pendapat Fahrudin F (2009)
menyatakan semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan maka kebutuhan N oleh tanaman semakin terpenuhi. Nitrogen sangat penting bagi pertumbuhan tanaman yaitu untuk pembentukan dan pembelahan sel baik dalam daun, batang dan akar. Upaya peningkatan efisiensi penggunaan pupuk dapat ditempuh melalui prinsip tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, tepat waktu aplikasi, dan berimbang sesuai kebutuhan tanaman (Sutojo Mul Mulyani, 2002). Analisis ragam menunjukkan bahwa pada peubah jumlah daun terdapat interaksi yang nyata perlakuan pemberian pupuk N (urea) pengamatan ke 21 HST . Rerata jumlah daun tertinggi terendah adalah pada perlakuan pupuk urea 0 g/L( N0W0) yaitu rerata sebesar 16,11 helai daun, sedangkan rerata jumlah daun tertinggi pada perlakuan 30g/L (N 2W2) yaitu 13.32 helai daun. Hal ini diduga bahwa konsentrasi pupuk N (Urea) dan waktu yang diberikan sudah tepat untuk menyokong pertumbuhan jumlah daun. Selain itu kondisi di Green House dengan sinar matahari yang cukup , air yang cukup dan udara yang sejuk turut membantu proses pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Haryanto dkk (1994) dalam Fahrudin (2009) yang mengemukakan bahwa tanaman sawi memerlukan udara yang sejuk, maka tanaman sawi akan lebih cepat berkembang jika ditanam pada daerah yang kelembabannya tinggi, tetapi tanaman sawi juga tidak menyukai air yang menggenang, sehingga tanaman sawi cocok ditanam pada akhir musim penghujan. Urea berpengaruh meningkatkan jumlah daun. Hal ini menunjukkan bahwa dengan tinggi tanaman yang hampir sama terdapat jumlah daun yang berbeda karena terdapat perbedaan ruas pada batang sawi putih. Ruas yang pendek memungkinkan jumlah daun yang lebih banyak. Jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan N3 (pupuk urea 30 g/L).
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /44
PLANT AGRONOMY
Daun memiliki klorofil yang berperan dalam melakukan fotosintesis. Semakin banyak jumlah daun, maka tempat untuk melakukan proses fotosisntesis lebih banyak sehingga hasilnya lebih banyak. Hal ini juga dipengaruhi tersedianya unsur yang ada dalam tanah. Nitrogen adalah unsur makro primer yang merupakan komponen utama berbagai senyawa dalam tubuh tanaman. Tanaman yang tumbuh harus mengandung N dalam membentuk sel-sel baru. Fotosintesis menghasilkan karbohidrat, O2, dan H2O; namun proses tersebut tidak dapat berlangsung untuk menghasilkan protein dan asam nukleat bilamana N tidak tersedia. Nitrogen yang tersedia bagi tanaman dapat mempengaruhi pembentukan protein, dan disamping itu juga merupakan bagian integral dari khlorofil (Nyakpa et al., 1988). Dengan adanya pemupukan, yaitu semakin meningkatnya dosis urea pada perlakuan N2 dan N3 juga semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Howard dan Tiller (1989) yang menyatakan bahwa takaran nitrogen tinggi nyata meningkatkan hasil biji jagung. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan antara peubah penelitian dengan berbagai kondisi yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman sawi . Jumlah daun tanaman sawi berhubungan atau dipengaruhi dengan tinggi tanaman sawi. Hal ini karena daun merupakan organ yang terletak pada buku batang sawi . Semakin tinggi tanaman maka jumlah daun yang terbentuk juga semakin banyak. Data analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pupuk urea terhadap sawi putih berpengaruh nyata terhadap luas daun sawi putih pada pengamatan ke- 42 HST. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman, sehingga dapat mempengaruhi luas daun sawi putih. Luas daun tersebut berperan dalam meningkatkan proses fotosintesis tanaman.
Semakin luas daun pada sawi dan semakin banyak jumlah klorofil maka fotosisntesis akan berjalan lancar dengan adanya cahaya matahari yang mendukung. Kualitas hidup tanaman juga sangat bergantung dari ketercukupan hara dari lingkungannya, selain ditentukan oleh kemampuan tanaman dalam menyerap, perolehan hara juga tergantung dari tingkat ketersediaan hara di tanah. Pemberian urea mampu menambah unsur hara dalam tanah, sehingga pertumbuhan tanaman meningkat karena fotosintesis meningkat dengan tersedianya unsur hara. Jumlah dan ukuran luas daun dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan. Urea mampu meningkatkan ketersediaan hara N tanah disekitarnya. Daun merupakan organ penting tanaman yang berperan dalam proses fotosintesis karena terdapat klorofil. Luas daun dan jumlah klorofil yang tinggi akan menyebabkan proses fotosintesis berjalan dengan baik. Semakin besar luas daun tanaman maka penerimaan cahaya matahari akan juga lebih besar. Cahaya merupakan sumber energi yang digunakan untuk melakukan pembentukan fotosintat. Luas daun yang tinggi, maka cahaya akan dapat lebih mudah diterima oleh daun dengan baik (Fahrudin, 2009) Hasil analisis ragam (ANOVA) 5% menunjukkan bahwa perlakuan pupuk urea (N) dan waktu pemberian pupuk (W) pada pengamatan ke-42 HST memberikan pengaruh interaksi yang nyata pada peubah berat segar tanaman. Pengaruh perlakuan pupuk urea (N) pada saat panen memberikan pengaruh nyata pada peubah berat segar tanaman, demikian juga perlakuan waktu pemberian pupuk (W) juga memberikan pengaruh nyata. Anova tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% untuk mengetahui pengaruh perlakuan pupuk urea (N) dan perlakuan waktu pemberian pupuk (W) untuk peubah berat segar tanaman pada umur 42 HST disajikan pada Tabel 8. GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /45
PLANT AGRONOMY
Perlakuan konsentrasi urea 30 g/L, memberikan berat segar tanaman tertinggi yaitu 900.76 g. Meningkatnya berat segar tanaman selain tinggi dan jumlah daun, juga karena luas daun. Luas daun tersebut berperan dalam meningkatkan proses fotosintesis tanaman. Semakin luas daun sawi putih dan semakin banyak jumlah klorofil maka fotosintesis akan berjalan lancar dengan adanya cahaya matahari yang mendukung. Luas daun menunjukkan berbeda nyata, berat segar tanaman ini dipengaruhi oleh keadaan hara yang tersedia dalam media. Tinggi tanaman dan jumlah daun berpengaruh pada berat segar tanaman. Semakin besar tinggi tanaman dan semakin banyak jumlah daun, maka berat segar tanaman akan meningkat. Berat segar tanaman dapat dipengaruhi oleh besar tinggi tanaman dan semakin banyak jumlah daun, maka berat kering tanaman akan meningkat. Penelitian ini menunjukkan bahwa berat segar tanaman meningkat dengan penggunaan pupuk urea. Meningkatnya berat segar tanaman selain tinggi dan jumlah daun, juga karena luas daun yang mempengaruhi berat segar tanaman sawi putih. Luas daun tersebut berperan dalam meningkatkan proses fotosintesis tanaman. Jumlah daun tanaman sawi dipengaruhi dengan tinggi tanaman sawi. Hal ini karena daun merupakan organ yang terletak pada buku batang sawi. Diduga semakin tinggi tanaman maka jumlah daun yang terbentuk juga semakin banyak, selain itu tinggi tanaman. Jumlah daun dan luas daun diduga berpengaruh terhadap hasil panen yaitu berat segar tanaman dan berat kering tanaman.
waktu aplikasi pemberian pupuk anorganik Nitrogen (urea) yang tepat pada 3 MST yaitu pada perlakuan N 2W3.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Adapun kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut : Agar tanaman mempunyai pertumbuhan dan hasil yang tebaik maka pemberian pupuk anorganik Nitrogen ( urea ) sebesar 30 g/l dan
Http://zuldesains.wordpress.com. Budidaya Tanaman Sawi.10 November 2011
2. Saran 1) Pemberian pupuk anorganik harus hatihati jangan mengenai daun tanaman karena dapat memberikan efek terbakar pada daun tanaman sawi. 2) Konsentrasi 30 g/l dan waktu 3 MST adalah tepat agar budidaya tanaman sawi putih . 3) Perlu adanya penelitian lanjutan terhadap pemberian pupuk urea terhadap waktu aplikasinya. DAFTAR PUSTAKA Cholil, M. 2008. Pengaruh dosis pupuk bokasi dan urea terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi. Blitar : Skripsi Agronomi Universitas Islam Balitar Fahrudin F. 2009. Budidaya Caisim (Brassica juncea L.) Menggunakan Ekstrak Teh Dan Pupuk Kascing. Surakarta. Skripsi Universitas Sebelas Maret. Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. PT. Medyatama sarana Perkasa. Jakarta. Hlm. : 73-76. Hardjowigeno. 1995. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Presindo. Hal 54 -123 Haryanto, E., T. Suhartini, E. Rahayu, dan H.H. Sunarjono. 2006. Sawi dan Selada. Jakarta: Penebar Swadaya. Http://free.vlsm.org/v12/artikel. Brassica juncea (L.) 9 November 2011
Jumin Hasan Basri. 2002. Agronomi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hal 98 – 124
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /46
PLANT AGRONOMY
Kasno. A. 2009. Jenis dan Sifat Pupuk Anorganik. Jakarta: Balai Penelitian Tanah Lingga Pinus & Marsono. 2007. Petunjuk Pengunaan Pupuk. Jakarta Penebar Swadaya. Niviza. 2007. Petunjuk Pemupukan Yang Efektif. Jakarta : PT Agromedia Puataka. Nyakpa, Y.M., A.A. Lubis, M.A. Pulung, A.G. Amrah, A. Munawar, Go Ban Hong dan N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Unila, Lampung. Pradani Aida dan Hariastuti Evi Muftiviani. 2009. Pemanfaatan Fraksi Cair Isolat Pati Ketela Pohon Sebagai Media Fermentasi Pengganti Air Tajin Pada Pembuatan Sayur Asin. Semarang: Universitas Diponegoro Semarang. Prasetyo B. 2009. Pengaruh dosis dan frekuensi pupuk cair terhadap serapan n dan pertumbuhan sawi (brassica juncea l.) Pada entisol. Malang. Jurnal Ilmu Tanah Universitas Brawijaya
Suwandi dan A. Azirin. 1986. Penelitian Pemupukan Berimbang dalam Meningkatkan Produksi dan Mutu Hasil Hortikultura (Sayuran). Prosiding lokakarya Efisiensi Penggunaan Pupuk. Cipayung, 6-7 Agustus 1986. PPT, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, pp. Suyitno Al dan Sudarsono. 2004. Pengaruh Jenis dan Dosis Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan Kangkung Darat (Ipomoea sp) dan Caisim (Brassica juncea) pada Tanah Pasir Kawasan Pantai Samas, Bantul. Yogyakarta Syukur. 2005. Pengaruh Pemberian Organik Terhadap Sifat-Sifat dan Pertumbuhan Caisim di Pasir Pantai. Karanganyar: Ilmu Tanah Dan Lingkungan
Bahan Tanah Tanah Jurnal
Wijaya K.A. 2008. Nutrisi tanaman. Jakarta : Prestasi Pustaka. Hal 17-33
Prihmantoro Heru. 2005. Memupuk Tanaman Sayur. Jakarta : Penebar Swadaya. Rukmana, R. 2002. Bertanam Petsai dan Sawi. Yogyakarta: Kanisius Sunarjono, H. 2004. Bertanam 30 Jenis Sayur. Jakarta: Penebar Swadaya Sunarjono, H. 2006. Bertanam 30 Jenis Sayur. Jakarta: Penebar Swadaya Sanchez, A.P. 1976. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Jilid I. Diterjemahkan oleh J.T. Jayadinata. Bandung: Penerbit ITB Sutejo Mul Mulyani.2002. Pupuk Dan Cara Pemupukan. Jakarta : Rineka Cita. Hal 14- 169.
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /47
PLANT AGRONOMY
Pengaruh Penggunaan Pupuk Petroganik Dan Seed Treatment Fungisida Berbahan Aktif Metalaksil Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung (Zea mays L.)
Oleh : Jeka Widiatmanta *Dosen Fakultas Pertanian Universitas islam Balitar ABSTRACT This study aimed to determine the effect of fertilizer use and determine Made Active Petroganik and fungicides metalaxyl proper plant growth corn (Zea mays L.). research was conducted in the village Karanganom, District Nglegok, Blitar, with height 90 meters above sea level, in May to July 2012. The study was conducted using a randomized block design (RBD) Contrast Orthogonal factorial with two factors. The first factor is Petroganik fertilizer dose of 100 grams/plant (P1), 200 grams/plant (P2), 300 grams/plant (P3) and the second factor is the dose of fungicide Metalaxyl 10 grams/kg seed (M1), 15 grams/kg seed (M2), 20grams/kg seed (M3). Based on the analysis of diversity and BNT 5% Petroganik fertilizer effect on plant growth (plant height and leaf area). Petroganik 300 grams of fertilizer planting showed the best growth. Interaction between fertilizer Petroganik with fungicide Metalaxyl on the parameters of plant height, P3M3 combination gives relatively better results compared with other treatments. Overall Metalaxyl fungicide dose did not significantly affect all plant vegetative growth parameters corn (Zea mays L.)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung (Zea mays L.) sampai saat ini masih merupakan komoditi strategis kedua setelah padi karena di beberapa daerah, jagung masih merupakan bahan makanan pokok kedua setelah beras. Di beberpa daerah di Indonesia jagung merupakan makanan pokok dan juga sebagai bahan baku untuk pakan ternak dan bahan baku industri. Dari tahun ketahun kebutuhan akan jagung terus mengalami peningkatan, memacu para petani untuk meningkatkan produktivitasnya. Dengan semakain berkembangnya industri pengolahan pangan dan taraf hidup ekonomi masyarakat,
maka kebutuhan akan jagung juga semakain menigkat pula. Penyakit adalah salah satu penghabat keberhasilan petani jagung karena kerugian yang diakibatkan sangat besar. Salah satu factor pembatas produksi dan kualitas hasil jaganung di Indonesia adalah penyakit, di samping tingkat kesuburan tanah yang rendah dan kekeringan (R. Neny Iriani et al. 2003). Penyakit-penyakit tersebut diantaranya adalah penyakit bulai (donwny mildew), penyakit bercak daun ( Leaf bligh), penyakit karat daun (Rust), penyakit tongkol bengkak (corn smut/boil smut), penyakit busuk biji dan busuk tongkol tahun. Pengendalian yang selama ini dilakukan masih mengalami berbagai GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /48
PLANT AGRONOMY
kesulitan terutama mengenai teknologi yang digunakan. Dengan teknik pengendalian yang benar dan tepat, makan penurunann produksi jagung akibat penyakit bulai tersebut dapat dikendalikan. Pengendalian yang efektif untuk menekan penyakit tanaman jagung pada saat ini masih menggunakan fungisida. Hal ini mengakibatkan kecenderungan petani menggunakan fungisida semakin meningkat. Cara pengendalian penyakit bulai pada tanaman jagung, dilakukan dengan cara mencampur fungisida sistemik pada biji jagung (seed treatment). Fungisida sistemik dengah bahan aktif Metalaksil diharapkan dapat menekan intensitas serangan penyakit bulai pada khususnya dan penyakit-penyakit lainya pada tanaman jagung. Pengujian tersebut dilakukan untuk mengetahui level dosis efektif yang dapat mengendalikan penyakit bulai. 1.2 Perumusan Masalah Kebutuhan jagung di Indonesia saat ini semakain meningkat, namun saat ini budidaya tanaman jagung mengalami kendala dengan mewabahnya penyakit bulai (donwny mildew) Untuk itu perlu adanya upaya untuk melalakukan antisipasi atau pengendalian yang efektif. 1. Bagaimanakah penggaruh interaksi penggunaan kombinasi pupuk Petroganik dengan Metalaksil terhadap tingkat serangan penyakit Bulai dan pertumbuhan vegetatif tanaman jagung hibrida. 2. Bagaimanakah pengaruh pupuk petroganik terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman jagung hibrida. 3. Bagaimanakah penggaruh fungisida berbahan aktif Metalaksil terhadap tingkat serangan penyakit Bulai pada tanaman jagung hibrida. 1.3 Tujuan Tujuan dari pada penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan pupuk Petroganik dan fungisida berbahan
aktif Metalaksil terhadap serangan Bulai (donwny mildew) dan terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman jagung hibrida. 2. Untuk mengetahui pengaruh pupuk Petroganik terhadap pertubuhan vegetatif tanaman jagung hibrida. 3. Untuk mengetahui pengaruh seed treatment Metalaksil terhadap pengendalian penyakit bulai. 1.3 Hipotesis 1. Diduga ada interaksi antara pemberianpupuk Petroganik dan fungisida Metalaksil terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman jagung hibrida. 2. Diduga dosis pupuk Petroganik tertentu memberikan pertubuhan vegetatif tanaman jagung yang baik dan seragam. 3. Diduga dosis fungisida berbahan aktif Metalaksil mampu mengendalikan serangan penyakit bulai (Downy mildew) pada tanaman jagung hibrida. BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan waktu Penelitian ini dilakukan di desa Karanganom, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar dengan ketinggian tempat 90 m dpl. Pelaksanaan sekripsi pada bulan Mei sampai Juli 2012. 1.2 Alat dan Bahan 1.2.1 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, meteran, tali rapia, cangkul, ajir, sabit, sarung tangan dan alat tulis. 1.2.2 Bahan Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih jagung varietas Hibrida, fungisida sistemik berbahan aktif metalaksil 35% (Redomil 35 SD) dan pupuk Petroganik dan air. GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /49
PLANT AGRONOMY
1.3 Metode Penelitian Metode penelitian ini merupakan percobaan Faktorial yang di susun dalam Rancangan Acak Kelompok ( RAK ) yang terdiri dari dua faktor dan di ulang tiga kali adapun faktor kedua tersebut adalah : Faktor I : Dosis pupuk Petroganik yang terdiri dari empat taraf yaitu : P0 : Tanpa pupuk Petroganik. P1 : Dosis pupuk Petroganik 100 gr per tanaman. P2 : Dosis pupuk Petroganik 200 gr per tanaman. P3 : Dosis pupuk Petroganik 300 gr per tanaman. Faktor II : Dosis fungisida Metalaksil yang terdiri dari empat taraf yaitu : Mo : Dosis fungisida Metalaksil 5 gr per 1 kg benih M1 : Dosis fungisida Metalaksil 10 gr per 1 kg benih M2 : Dosis fungisida Metalaksil 15 gr per 1 kg benih M3 : Dosis fungisida Metalaksil 20 gr per 1 kg benih Dengan demikian akan di peroleh 14 kombinasi yaitu : P0 M0 I ; P0 M1 II ; P0 M2 III P1 M0 I ; P1 M1 II ; P1 M2 III P2 M0 I ; P2 M1 II ; P2 M2 III P3 M0 I ; P3 M1 II ; P3 M2 III Kombinasi antara perlakuan di atas sebanyak tiga kali sehingga di peroleh 48 petak perlakuan. Penempatan 12 kombinasi perlakuan pada masing-masing ulangan di lakukan secara acak. 1.4 Pelaksanaan Penelitian 1.4.1 Tahap Persiapan a. Benih Benih jagung yang dipersiapkan yaitu jagung varietas Hibrida. b. Pengolahan tanah Tanah diolah/dibajak kedalaman 30 cm. Sebelum
dengan dilakukan
pemgemburan lahan, gulma terlebih dahulu dibersihkan dengan cara disemprot herbisida Gramogson 1 minggu sebelumnya. 1.4.2 Tahap Pelaksanaan 1.4.2.1 Cara Aplikasi Sebelum ditanam benih jagung dicampur dengan fungisida berbahan aktif metalaksil 35%, sesuai perlakuan sedangkan tanaman kontrol tanpa perlakuan fungisida. Setelah didiamkan selama satu malam sesuai perlakua. 1.4.2.2 Penanaman dan pemeliharaan Benih jagung ditanam dengan cara di tugal sedalam 5 cm, 1 biji perlubang tanam dengan jarak tanam 70 x 20 cm, kemudian diuruk pupuk petroganik sesuai perlakuan dan ditutup tanah. Pemeliharaan dilakukan dengan pengairan sesuai kebutuhan dan pemberiaan pupuk sesuai kebiasaan petani setempat. 1.5 Parameter Pengamatan Pengamatan dilakukan sampai tanaman jagung berumur 35 hari, yaitu dimulai pada saat tanaman berumur 15 hst sampai 35 hst dengan interval 5 hari. Pengamatan tersebut meliputi: 1. Tinggi tanaman di ukur dari permukaan tanah sampai titik tumbuh 2. Jumlah daun di hitung dari jumlah daun yang telah membuka sempurna dan masih hijau dari pangkal batang. 3. Luas daun (cm) dengan menggunakan metode factor koreksi dengan rumus: LD = P x L x FK ( Dimana LD : Luas Daun, P : Panjang daun maksimum, L : Lebar Daun maksimum, FK : 0,67 (Maftuchan dan Idiyah, 1994) 4. Prosentase tingkat serangan penyakit bulai 1.6 Analisa Data Data yang di peroleh dianalisis keragamannya dengan uji F, untuk mengetahui
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /50
PLANT AGRONOMY
perbedaan diantara perlakuan digunakan uji BNT 5%.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Tinggi Tanaman
Secara terpisah perlakuan dosis pupuk Petroganik memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 20 hari setelah tanam dan berpengaruh sangat nyata pada umur 30 hari setelah tanam. Sedangkan fungisida Metalaksil tidak menunjukan pengaruh yang nyata. Hasil uji rata-rata tinggi tanaman dari berbagai umur pengamatan menyangkut perlakuan pupuk Petroganik dan fungisida Metalaksil yang diberikan secara terpisah disajikan pada Tabel 3:
Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman ( cm ) pada berbagai umur pengamatan Perlakuan P0 P1 P2 P3 BNT 5% M0 M1 M2 M3 BNT 5%
15 hst 26.79 a 26.92 a 27.13 a 27.17 a tn 26.63 a 27.08 a 27.21 a 27.08 a tn
Rata-rata Tinggi Tanaman (cm) 20 hst 25 hst 30 hst 31.42 a 42.33 a 53.21 a 31.79 a 42.54 a 53.58 b 32.21 b 42.71 a 53.75 bc 32.25 b 43.96 a 53.67 c n tn n 31.67 a 42.54 a 53.42 a 31.79 a 43.38 a 53.58 a 32.04 a 42.54 a 53.58 a 32.17 a 43.08 a 53.63 a tn tn tn
35 hst 129.50 a 130.25 a 130.92 a 131.71 a tn 129.58 a 130.46 a 131.21 a 131.13 a tn
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n = nyata
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa tidak terjadi interaksi yang nyata antara dosis pupuk Petroganik dengan fungisida Metalaksil terhadap tinggi tanaman pada umur 15 hari setelah tanam sampai umur 30 hari setelah tanam. Namun terjadi interaksi yang nyata pupuk Petroganik dan fungisida Metalaksi
terhadap tinggi tanaman pada umur 35 hari setelah tanam (lampiran 15). Hasil uji ratarata tinggi tanaman pada berbagai umur pengamatan menyangkut interaksi pupuk Petroganik dengan fungisida Metalaksil dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata tinggi tanaman (cm) pada berbagai umur pengamatan Perlakuan P0M0 P0M1 P0M2
15 hst 26.67 a 26.83 a 26.67 a
Rata-rata Tinggi Tanaman (cm) 20 hst 25 hst 30 hst 31.17 a 42.83 a 53 a 31.33 a 42.5 a 53.33 a 31.67 a 42.33 a 53.17 a
35 hst 129.33 a 130 a 129.33 a
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /51
PLANT AGRONOMY
P0M3 P1M0 P1M1 P1M2 P1M3 P2M0 P2M1 P2M2 P2M3 P3M0 P3M1 P3M2 P3M3 BNT 5%
27 a 26.5 a 26.67 a 27.33 a 27.17 a 27 a 27.5 a 27.17 a 26.83 a 26.33 a 27.33 a 27.67 a 27.33 a tn
31.5 a 31 a 31.67 a 32 a 32.5 a 32.17 a 32 a 32.33 a 32.33 a 32.33 a 32.17 a 32.17 a 32.33 a tn
41.67 a 41.67 a 42.5 a 42.67 a 43.33 a 42.83 a 42.83 a 42.17 a 43 a 42.83 a 45.67 a 43 a 44.33 a tn
53.33 a 53.33 a 53.5 a 53.83 a 53.67 a 53.83 a 53.83 a 53.5 a 53.83 a 53.5 a 53.67 a 53.83 a 53.67 a tn
129.33 a 129 a 129.17 a 131.5 b 131.33 b 130.33 a 130.33 a 131.33 b 131.67 b 129.67 a 132.33 c 132.67 c 132.17 c n
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n = nyata
Tabel 4 menunjukan bahwa perberian perlakuan berbeda nyata dengan kontrol hanya pada umur 35 hari setelah tanam. Sedangkan pada tabel 4 menunjukan pemberian pupuk Petroganik 300 gram pertanaman menghasilkan rata-rata tinggi tanaman relatif lebih tinggi pada berbagai umur pengamatan meskipun berbeda nyata hanya pada umur 20 hari setelah tanam dan pada umur 30 hari setelah tanam. Dari hasil pengamatan terlihat perlakuan P3 menunjukkan tinggi tanaman yang relative lebih baik dan menunjukkan beda nyata terhadap tinnggi tanaman.
Sedangkan fungisida Metalaksil tidak berbada nyata terhadap tinggi tanaman. 4.1.2. Jumlah Daun Hasil analisis ragam menujukkan bahwa tidak terjadi perbedaan yang nyata antara pemberian dosis pupuk Petroganik dan fungisida Metalaksil terhadap jumlah daun pada berbagai umur pengamatan (lampiran 18, 21, 24 27 dan 30). Hasil uji rata-rata jumlah daun akibat pengaruh pupuk Petroganik dan fungisida Metalaksil disajikan pada tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata jumlah daun tanaman pada berbagai umur pengamatan Perlakuan P0 P1 P2 P3 BNT 5% M0
15 hst 7.00 a 7.08 a 7.25 a 7.33 a tn 7.00 a
Rata-rata Jumlah Daun 20 hst 25 hst 30 hst 8.83 a 11.25 a 13.33 a 8.75 a 11.42 a 13.67 a 9.08 a 11.08 a 13.42 a 9.08 a 11.58 a 13.50 a tn tn tn 8.83 a 11.17 a 13.17 a
35 hst 15.25 a 15.25 a 15.25 a 14.42 a tn 15.00 a
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /52
PLANT AGRONOMY
M1 M2 M3 BNT 5%
7.17 a 7.17 a 7.33 a tn
8.83 a 8.92 a 9.17 b tn
11.08 a 13.33 a 11.58 b 13.42 a 11.50 b 14.00 a tn tn
15.00 a 14.50 a 15.67 a tn
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n = nyata
Dari hasil analisis ragam menujukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang nyata antara pupuk Petroganik dengan fungisida Metalaksil terhadap jumlah daun pada berbagai pengamatan (lampiran 18,21,24 27 dan 30). Kombinasi P1M3 dan P3M3
menunjukkan nilai rata-rata tertinggi, namun tidakt terlihat berbeda nyata dengan perlakuan yang berbeda. Rata-rata jumlah daun tanaman pada berbagai umur pengamata disajikan pada tabel 6.
Tabel 6. Rata-rata jumlah daun tanaman pada berbagai umur pengamatan Perlakuan P0M0 P0M1 P0M2 P0M3 P1M0 P1M1 P1M2 P1M3 P2M0 P2M1 P2M2 P2M3 P3M0 P3M1 P3M2 P3M3 BNT 5%
15 hst 7a 7a 7a 7a 7a 7a 7a 7.33 a 7a 7.33 a 7.33 a 7.33 a 7a 7.33 a 7.33 a 7.67 a tn
Rata-rata Jumlah Daun 20 hst 25 hst 30 hst 8.67 a 11 a 13 a 8.67 a 11 a 13 a 9 a 11.33 a 13.33 a 9 a 11.67 a 14 a 8.67 a 11 a 13 a 8.67 a 11.33 a 13.67 a 8.67 a 11.67 a 13.67 a 9 a 11.67 a 14.33 a 9a 11 a 13.33 a 9a 11 a 13.67 a 9 a 11.33 a 13.33 a 9.33 a 11 a 13.33 a 9 a 11.67 a 13.33 a 9a 11 a 13 a 9a 12 a 13.33 a 9.33 a 11.67 a 14.33 a tn tn tn
35 hst 15 a 15 a 15.33 a 15.67 a 15 a 15 a 15.33 a 15.67 a 15 a 15 a 15.33 a 15.67 a 15 a 15 a 12 a 15.67 a tn
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n = nyata
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /53
PLANT AGRONOMY
4.1.3. Luas Daun Tabel 7. Rata-rata luas daun pada berbagai umur pengamatan
Perlakuan P0M0 P0M1 P0M2 P0M3 P1M0 P1M1 P1M2 P1M3 P2M0 P2M1 P2M2 P2M3 P3M0 P3M1 P3M2 P3M3 BNT 5%
15 hst 9.62 11.40 12.34 11.56 11.56 10.95 13.45 10.73 12.80 11.95 13.31 13.79 12.59 13.00 14.39 15.39 tn
Rata-rata luas daun (cm) 20 hst 25 hst 30 hst 43.49 122.83 207.70 45.72 128.42 221.07 134.00 134.00 214.37 44.67 145.17 227.73 47.95 145.17 227.37 48.02 150.75 240.73 49.13 150.75 226.08 50.19 145.17 227.77 50.25 150.75 220.67 47.95 139.58 230.98 51.37 161.92 242.83 50.80 145.17 236.53 53.47 139.58 243.23 46.90 161.92 240.33 50.80 150.75 240.87 58.07 150.75 262.50 tn tn tn
35 hst 339.60 328.55 328.75 366.27 335.89 330.50 330.50 328.35 335.89 366.27 355.55 373.41 346.41 346.41 375.20 382.35 tn
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n = nyata Hasil analisis ragam menunjukan bahwa tidak terjadi interaksi yang nyata antara dosis pupuk Petroganik dengan fungisida Metalaksil terhadap luas daun pada semua umur pengamatan (lampiran 33, 36, 39, 42 dan 45). Dari kombinasi pupuk Ptroganik dengan fungisida Metalaksil pada Tabel 7 : terlihat, P3M3 menunjukkan rata-rata luas daun yang relative lebih tinggi dibandingkan dengan kombinasi yang lain.
Secara terpisah pemberian pupuk Petroganik berpengaruh nyata terhadap luas daun pada umur 15 hari setelah tanaman sampai pengamatan umur 35 hari setelah tanam. Sedangkan pemberian pemberian sfungisida Metalaksil tidak berpengaruh nyata terhadap luas daun (lampiran 33, 36, 39, 42 dan 45).
Tabel 8. Rata-rata luas daun pada berbagai umur pengamatan
Perlakuan P0
15 hst 11.10 a
Rata-rata luas daun (cm) 20 hst 25 hst 30 hst 11.64 a 44.64 a 139.58 a
35 hst 340.79 b
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /54
PLANT AGRONOMY
P1 P2 P3 BNT 5% M0 M1 M2 M3 BNT 5%
11.68 b 12.96 ab 13.84 c N 11.64 a 11.82 a 13.37 a 12.74 a tn
11.82 b 13.37 ab 12.74 b n 47.15 a 48.26 a 48.99 a 51.60 a tn
48.82 b 50.76 c 51.78 c n 132.60 a 146.56 a 149.35 a 150.75 a tn
143.77b 149.35 b 146.56 ab n 224.74a a 233.28 a 231.04 a 238.63 ba tn
332.66 a 360.46 ab 362.59 c n 342.1 3 a 342.93 a 346.96 ba 364.48 a tn
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n = nyata
4.1.4. Serangan Penyakit Bulai (downy mildew L.) Hasil analisis ragam menunjukan bahwa tidak terjadi interaksi yang nyata antara dosis pupuk Petroganik dengan fungisida Metalaksil terhadap serangan penyakit bulai (downy mildew L.) pada semua umur pengamatan lampiran 48, 52, 55, 58 dan 61.
Perlakuan P0M0 P0M1 P0M2 P0M3 P1M0 P1M1 P1M2 P1M3 P2M0 P2M1 P2M2 P2M3 P3M0
Perlakuan P3M3 menunjukkan prosentase serangan penyakit bulai yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan pemberian pelakuan yng lainnya. Ini dapat dilihat dari hasil rata-rata prosentase serangan penyakit bulai pada berbagai umur pengamatan pada Tabel 9: Tabel 9. Rata-rata prosentase tingkat serangan penyakit Bulai (%)
Rata-rata Serangan Penyakit Bulai (%) 15 hst 20 hst 25 hst 30 hst 35 hst 1 1 3 3 1 1 1 2 2 1 1 1 2 2 0 0 0 0 0 1 2 2 3 3 0 1 1 2 2 1 1 1 2 2 0 0 0 0 0 0 1 1 2 2 1 1 1 2 2 0 2 2 2 2 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /55
PLANT AGRONOMY
P3M1 P3M2 P3M3 BNT 5%
1 0 0 tn
1 0 0 tn
1 0 0 tn
1 0 0 tn
0 0 0 tn
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n = nyata Secara terpisah pula pemberian fungisida Metalaksil juga tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan penyakit bulai (downy mildew L.) pada setiap pengamatan, demikian juga pemberian pupuk Petroganik. Dari perlakuan P3 dan M3
Perlakuan P0 P1 P2 P3 BNT 5% M0 M1 M2 M3 BNT 5%
menunjukkan tingkat serangan penyakit Bulai yang relatif lebih kecil di bandingkan dengan perlakuan yang lain. Rata-rata prosentase serangan penyakit bulai disajikan pada Tabel 10 :
Prosentase Tingkat Serangan Penyakit Bulai (%) 15 hst 20 hst 25 hst 30 hst 35 hst 0.75 a 0.75 a 1.75 a 1.50 a 0.75 a 1.00 a 1.00 a 1.50 a 1.50 a 0.25 a 1.25 1.25 a 1.75 a 1.75 a 0.25 a 0.50 a 0.50 a 0.50 a 0.50 a 0.00 a tn tn tn tn tn 1.25 a 1.25 a 1.75 a 1.75 a 0.5 a 1a 1a 1.75 a 1.75 a 0.5 a 0.75 a 1a 1.50 a 1.5 a 0a 0.25 a 0.25 a 0.50 a 0.25 a 0.25 a tn tn tn tn tn
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n = nyata
4.2. Pembahasan 4.2.1. Pengaruh penggunaan pupuk petroganik dan Seed Treatment fungisida berbahan aktif metalaksil terhadap pertumbuhan Vegetatif tanaman jagung (Zea mays L.)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang nyata antara dosis pupuk Petroganik dengan fungisida Metelaksil terhdap tinggi tanaman, jumlah daun dan panjang daun serta tingkat serangan penyakit bulai. namun telihat berbeda nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 35 hari setelah GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /56
PLANT AGRONOMY
tanam. Hal ini diduga unsur-unsur Nitrogen pada pupuk Petroganik baru bisa diserap oleh tanaman pada umur 35 hari setelah tanam. Perlakuan pupuk Petroganik P3M3 Menunjukkan interaksi yang bebeda nyata dengan perlakuan yang lain hal ini diduga pada umur 35 hari setelah tanam, unsur Metalaksil yang tersimpan masih banyak sehingga perkembangan jamur bulai terhambat. Demikian juga dengan dosis pupuk petroganik 300 gram pertanaman diduga lebih banyak menyediakan unsure C organik dan Nitrogen yang cukup. karena tidak ada perbedaan panjang batang atau tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun pada jagung yang diberi pupuk Petroganik dengan perlakuan berbeda dengan fungisida Metalaksil dengan perlakuan berbeda pula. Syarief (1988) menyatakan bahwa perlakuan pupuk kandang akan mengakibatkan persenyawaan Nitrogen yang terdapat dalam bahan dalam keadaan aerop. Ammonium yang terbentuk akan dioksidasi oleh jasad renik (Nitrosomonas dan Nitrosococcus) menjadi Nitrit dan akan diubah menjadi Nitrat oleh Nitrobacter yang kemudian dimanfaatkan oleha tanaman. Pemberian pupuk organik juga mampu meningkatkan kehidupan jasat renik, terutama dalam perombakan Phospat an organik, selanjutnya jasad renik akan melepaskan asam sehingga dapat melarutkan persenyawaan Phospat yang mudah diserap oleh tanaman. Selain itu, perlapukan dan perombakan bahan organik mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan tanah remah. Secara terpisah pemberian dosis pupuk Petroganik dengan dosis 300 gram pertanaman menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuan tanaman tinggi tanaman dan luas daun . Diduga terjadi perbaikan setruktur tanah yang berakibat perakaran tanaman jagung berkembang dengan baik sehingga dapat menyerap unsur hara tanah secara optimal. Sesuai pendapat Syarief (1988) bahwa pelapukan pupuk kandang akan
mengakibatkan persenyawaan Nitrogen yang terdapat dalam bahan dalan keadaan aerop, Ammonium yang terbentuk akan dioksidasi oleh jasad renik (Nitrosomonas dan Nitrosococcus) menjadi Nitrit dan akan diubah menjadi Nitrat oleh Nitrobacter yang kemudian dimanfaatkan oleh tanaman. Pemberian pupuk organik juga mampu meningkatkan kehidupan jasad renik, terutama dalam perombakan Phospat an organik, selanjutnya jasad renik akan melepaskan asam sehingga dapat melarutkan spersenyawaan Phospat yang mudah diserap oleh tanaman. Selain itu, pelapukan dan perombakan bahan organik mempunyai peran penting dalam pembentukan tanah remah. Dari hasil penelitan ini terlihat bahwa perlakuan pupuk Petroganik dan fungisida Metalaksil dengan dosis 300 gram per tanaman dan 20 gram 1 kg benih menunjukan tingkat luas daun atau tinggi tanaman yang relatif lebih baik dibandingkan dengan perlakuaan kombinasi pupuk Petroganik dan fungisida Metalaksi yang lain. Hasil analisa data rata-rata luas daun telihat bahwa penggunaan pupuk Petroganik dengan dosis 300 gram pertanaman menunjukkan tingkat perbedaan yang nyata. Hal ini diduga kandungan Nitrogen, Photspor dan C/N organik pada Petroganik mencukupi kebutuhan tanaman. Disamping itu diduga juga dengan pupuk organik yang melimpah setruktur tanah menjadi lebih remah dan gembur, sehingga daya serap akar tanaman lebih leluasa dan efektif dalam menyerap unsur-unsur hara pada tanah. Bahan organik tanah merupakan bagian dari tanah dan mempunyai fungsi yaitu : meningkatkan kesuburan tanah dan menyediakan mikro hara dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya yang biasanya tidak disediakan oleh pupuk kimia (anorganik). Tanah dengan bahan organik yang rendah, mempunyai daya sangga hara yang rendah, sehingga pemupukan kurang efisien. Tanah yang subur mengandung bahan organik sekitar 3-5%. Dengan penggunaan GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /57
PLANT AGRONOMY
pupuk organik atau pengembalian bahan organik kedalam tanah akan berpengaruh pada kesuburan tanah, sehingga terjadi peningkatan produksi hasil pertanian, efisiensi penggunaan pupuk dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.(Rizqi, 20012) Hasil penelitian Hendayani (2005) menunjukan bahwa Perlakuan pupuk organik kotoran yam memberikan hasil terbaik pada tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah dan kering tanaman, bobot basah dan kering akar. Dosis pupuk organik kotoran ayam 4kg/petak memberikan hasil terbaik pada jumlah cabang, jumlah polong total, jumlah biji total dan jumlah bintil akar pada tanaman kacang hijau. Pupuk kandang jenis kotoran ayam yang kering mengandung kadar air kurang dari 15 persen, hal ini akan mengurangi kekurangan ammonia dan akan menghasilkan pupuk kandang yang baik dan tidak terlalu bau, sehingga mudah ditangani dalam pendistribusiannya. Berat pupuk kotoran ayam ini lebih ringan dari pupuk kandang lainnya, tapi kandungan haranya lebih tinggi yakni 24 kg N/ton, 20 kg P2O5/ton dan 15 kg K2O/ton (Simpson, 1986). Setiap jenis hewan khususnya kotoran unggas misalnya ayam, termasuk pupuk kandang yang bernilai tinggi, karena pada umumnya unggas pemakan tanaman atau bagian-bagian tanaman utama. Kandungan unsur hara pada pupuk kandang ayam adalah N, P, K dan Ca berturut-turut adalah 1,63% Urea; 1,84% P2O5; 0,85% K2O dan 1,07% CaO dalam bahan kering 44,00 % (Sutedjo dan Kartasapoetra, 1988). Hasil penelitian Mustari (2004) menunjukan bahwa pupuk bokashi dapat diguanakan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman jagung. Hal ini berarti bahwa pupuk bokashi dapat digunakan dalam pengembangan usaha tani ramah lingkungan, karena selain tidak menyebabkan pencemaran, bahan tanaman juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Hasil penelitian terhadap tanaman jagung manis varietas Hawaii Super-
sweet dengan menggunakan bokashi kayambang pada takaran 11,82 t h-1 memberikan hasil jagung tanpa kelobot sebesar 11,03 t h-1, sedangkan pemberian pupuk anorganik sesuai anjuran hanya memberikan hasil jagung manis sebesar 7,90 t h-1. Hasil penelitian Mustari (2004) menunjukan bahwa pupuk bokashi dapat diguanakan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman jagung. Hal ini berarti bahwa pupuk bokashi dapat digunakan dalam pengembangan usaha tani ramah lingkungan, karena selain tidak menyebabkan pencemaran, bahan tanaman juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Hasil penelitian terhadap tanaman jagung manis varietas Hawaii Supersweet dengan menggunakan bokashi kayambang pada takaran 11,82 t h-1 memberikan hasil jagung tanpa kelobot sebesar 11,03 t h-1, sedangkan pemberian pupuk anorganik sesuai anjuran hanya memberikan hasil jagung manis sebesar 7,90 t h-1. Menurut Fisher dan Goldsworthy (1985), Pemberian pupuk dari bahan organik yang diberikan memacu perkembangan luas daun. Meningkatnya luas daun berarti kemampuan daun untuk menerima dan menyerap cahaya matahari akan lebih tinggi sehingga fotosintat dan akumulasi bahan kering akan lebih tinggi pula. Ratna (2002), mengemukakan bahwa apabila unsur hara tersedia dalam keadaan seimbang dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan bobot kering tanaman, akan tetapi apabila keadaan unsur hara dalam kondisi yang kurang atau tinggi akan menghasilkan bobot kering yang rendah. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat serangan penyakit bulai antara yang diberi pupuk Petroganik dan fungisida Metalaksil. Hal ini diduga karena telah mewabahnya penyakit pada musim panen yang menyeluruh pada tananam, Dan wilayah tersebut merupakan GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /58
PLANT AGRONOMY
lahan endemik penyakit bulai,sehingga perlu ditingkatkan intensitas pemberian pupuk organik dan dosis fungisida, selain itu
diperlukan kajian-kajian terhadap faktor lain selain pupuk organik dan fungsida.
KESIMPULAN DAN SARAN
selain itu diperlukan kajian-kajian terhadap faktor lain selain pupuk organik dan fungsida.
5.1 Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 1. Dengan penggunaan pupuk Petroganik dan fungisida Metalaksil terjadi interaksi yang nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 35 hari setelah tanam. Sedangkan parameter jumlah daun, luas daun dan sengangan penyakit bulai tidak terjadi interaksi. Perlakuan dosis pupuk petroganik 300 gram per tanaman dan fungisida 20 grm/kg memberikan hasil paling baik pada parameter jumlah daun, luas daun dan tingkat serangan penyakit bulai. 2. Perlakuan dosis pupuk Petroganik berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan berpengaruh sangat nyatat terhadap luas daun dan tidak berpengaru nyata terhadap jumlah daun dan tingkat serangan penyakit bulai. Perlakuan pupuk Petroganik 300 gram pertanaman memberikan hasil paling baik pada berbagai parameter. 3. Perlakuan fungisida Metalaksil tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tenaman jagung dan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat serangan penyakit bulai pada tanaman jagung. 5.2. Saran Hasil penelitian juga menunjukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat serangan penyakit bulai antara yang diberi pupuk 36 dan fungisida. Hal ini terjadi dikarenakan mewabahnya hama pada musim panen yang menyeluruh pada tananam di wilayah tersebut, sehingga perlu ditingkatkan intensitas pemberian pupuk organik dan dosis fungisida,
AAK. 1993. Teknik Bercocok Tanam Jagung. Kanisius. Yogyakarta. Anonim. 1996. Pesticed Information Profiles; Metalaxyl. http://extoxnet.orst.edu/pips/reflist10.h tm. diferifikasit tanggal 16 september 2008. Anonim. 1999. Jagung (zea mays L.). http://warintek,bantul.go.id./web.php? mod=basisdata=kat=1&sub2. Diferifikasi taggal 15 maret 2007. Anonim.
2000. Jagung (zea mays L.) http://warintek,progressiol.or.id/web.php?mod=basisdata=kat=1 &sub2. Diferifikasi taggal 15 maret 2007.
Anonim. 2007a. Phalloidin. http://en.wikipe dia.org/wiki/Phalloidin. diferifikasi taggal 19 September 2008. Anonim. 2007c. syarat dan tata cara pendaftaran pestisida. Peraturan menteri Pertanian Nomor : 07/Permentan/Sr.140/2/2007. Anonim. 2009. Berbisnis Pupuk Organik. Dalan artikel Maju Jaya Tani. Albouri Jean-Marc, Jeanne Tourvieille, and Dennis Tourvieille de Labrouhe. 1996. Resistance to metalaxyl in isolates of the sunflower pathogen Plasmapora halstedii. European Journal of Plant Patology Vol.104, No. 3. pp.235-240. Bahri S. Nurnina Nonci, dan Amran Muis. 2008. Juknis: Tehnologi Pendukung Pengembangan Agribisnis di Desa GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /59
PLANT AGRONOMY
P4MI. Badan Litbang Sulawesi Tengah. 120 hal.
Pertanian.
Budiarti, S.G., Sutoro, Hadiatmi, dan H. Purwnti.2001. Pembentukan Ibrida Jagung Than Penyakit Bulai. Laporan Penelitian Balitbio TA. 2000. 7hlm.http//.www.indobiogen.or.id/terbi tan/prosiding/fullext-pdf/prosidin g2002-193-198-srigajatri.pdf -. Diferifikasi tanggal 15 Maret 2007. Darmono. (2000). Toksisitas Pestisida. http://www.geocities.com/kuliahfarm/farmasi-forensik/Pestisida.com. diferifikasi tanggal 16 September 2008. Fisher,
N.M. dan Goldsworthy. 1985. Fisiologi Budidaya Tanaman tropic. Gajah Mada University Press. Yogyakarta
Guswara, Agus S. 1994. Budidaya Tanaman Jagung Muda Dalam : Buletin sinar Tani. 1 Oktober 1994. Hendayani, Yayan. 2005. Pengaruh Dosis Pupuk Organik Kotoran Ayam Inokulasi Rhizobium Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kacang Hijau (Vigna Radiata L) Varietas Perkutut . Irawan, Ujang S. 2006. Pertumbuhan miselia Cenococcum geophyllum pada beberpa konsentrasi pada semai Eucalyptus urophylla ST Blake. http://library.biotrop.org/go.php?node= 25. Diferifikasi tanggal 16 September 2008. Indra, 2009. Proses Pembuatan Pupuk Organik (petroganik) http://www.petroganikgresik.com./deptan.go.id. Diferifikasi tanggal 4 Juni 2009. Purwono dan Rudi Hartono. 2008. Bertanam Jagung Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta 67 hal.
Mustari, Kahar. 2004. Penggunaan Pupuk Bokashi pada Tanaman Jagung dalam Rangka Mengembangkan Usaha Tani Ramah Lingkungan. J. Agrivigor 4(1) :74-81. Jurusn Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanudin. R.
Neni Iriany M., Andi Takdir M., Muzdalifah, Marsum M, Dahlia dan Subandi. 2003. Evaluasi Daya Gabung Karakter Ketahanan Tanaman Jagung Terhadap Penyakit Bulai melalui Persilangan Diallel. Penelitian pertanian tanaman pangan vol. 22 no.3 2003. http//.www.pempropsu.go.id/download .php?filename=pathogen%Bulai.pdf&i d. Diferifikasi tanggal 15 Maret 2007.
Ratna,
D.I. 2002. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Pupuk Hayati dengan Pupuk Organik Cair terhadap Kualitas dan Kuantias Hasil Tanaman The (Camellia Sinensis (L.) O.Kuntze) Klon Gambung 4. Ilmu Pertanian 10(2): 17-25.
Sastrahidayat, I.R. 2003. Fitopatologi (Ilmu Penyakit Tumbuhan). Usaha Nasional Surabaya. Sarief, E. S. 1988. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Penerbit Pustaka Buana. Bandung. Simpson, K. 1986. Fertilizers and Manures. New York : Longman Inc. Soetikno S. 1992. Pestisida. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sutedjo, M.M dan A. G. Kartasapoetra. 1988. Pupuk dan Cara Pemupukan. PT Bina Aksara. Jakarta . Wakman dan Burhanudin. 2001. Pengelolaan Penyakit Prapanen Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros.
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /60
PLANT AGRONOMY
Wakman, W., A. H. Talanca, Surtikanti, dan Azri. 2008. Pengendalian penyakit bulai pada tanaman jagung di Bengkayang, Kalimantan Barat. Seminar mingguan Balitsereal, Jumat, 14 Juli 2008. (belum dipublikasi).
Yuanyang. 2000. http:/www.kingtaichem.com/pro-fmetalaxyl.htm. Diferifikasi tanggal 16 September 2008.
Warisno. 1998. Budidaya Jagung Hibrida. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Analisa Usaha Tani Mina Padi Pertanian Organik ( Studi Kusus di Desa Jabung Kecamatan Talun Kabupaten Blitar) Oleh : Luhur Aditya Prayudhi *Dosen Fakultas Pertanian Universitas islam Balitar Ringkasan Mina padi merupakan sistem pola pemeliharaan yang di lakukan secara bersamaan dengan tanaman padi di lahan pertanian. Budidaya ikan dan padi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan petani. Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang mendorong kesehatan tanah dan tanaman melalui praktek, seperti mendaur ulang unsur hara dari bahan-bahan organik (seperti kompos dan sampah tanaman), rotasi tanaman, pengolahan yang tepat dan menghindari pupuk pestisida secara bertahap. Berdasarkan uraian diatas di rumuskan beberapa permasalahan yaitu : Berapa besar tingkat biaya produksi, penerimaan, pendapatan dan efisiensi usaha tani mina padi pertanian organik. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa tingkat biaya produksi, penerimaan, pendapatan dan tingkat efisiensi pada usaha tani mina padi pertanian organik. Hipotesis yang di ajukan pada penelitian ini adalah diduga usaha tani mina padi pertanian organik dapat memberikan keuntungan bagi petani dan telah mencapai tingkat efisiensi. Lokasi penelitian di tentukan secara purposive. Responden petani mina padi di tentukan secara Proportionate Stratifred Random Sampling. Dari jumlah populasi jumlah 77, yang terdiri 51 petani yang mengusahakan Pola I (padi- ikan-padi) dan 26 petani yang mengusahakan Pola II (padi-ikan). Metode data yang di pergunakan adalah kuantitatif yang meliputi (a) perhitungan biaya, penerimaan, pendapatan dan efisiensi. (b) analisa rata-rata biaya penerimaan, pendapatan dan efisiensi. (c) perhitungan B/C Ratio. Hasil dari penelitian ini adalah : rata-rata total biaya produksi yang di keluarkan pada pola I Rp 11.346.982, sedang pola II Rp 9.313.160, rata-rata penerimaan pada pola I Rp 32.440.000, dan pola II Rp 27.700.000, dan pendapatan pada pola I Rp 20.233.018, dan pola II Rp 17.526.840
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /61
PLANT AGRONOMY
Dari Analisa hubungan antara hasil yang diterima dengan pemilihan pengusahaan usaha tani mina padi untuk Chi kuadrat diperoleh X² hit (3,89) > X² 0,05(1) (3,84), yang berarti ada hubungan hasil yang diterima dengan pemilihan pengusahaan usaha tani mina padi. Hasil analisa koefisiensi kontigensi di peroleh C= 0,219 secara signifikan berbeda dengan 0 , maka yang di observasikan bukan hasil kebetulan, melainkan mewakili hubungan yang sungguhsungguh terdapat di dalam populasinya. Dari hasil B/C Ratio di peroleh nilai (2,33) > 1 Sedangkan dari hasil tingkat efisien R/C Ratio pada pola I (2,96) pola II (2,97) > 1 Saran yang perlu di perhatikan adalah (1) Dalam usaha untuk meningkatkan pendapatan pada usaha tani mina padi di Desa Jabung, perlu kiranya tidak ada perubahan di antara ke dua pola tersebut. (2) Perlu kiranya perluasan usaha untuk mengembangkan usaha tani mina padi, mengingat usaha tani mina padi belum banyak di kembangkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Untuk meningkatkan produksi pertanian, khususnya tanaman bahan pangan, menurut Mubrianto, (1997) dan Teken (1974) antara lain dapat ditempuh dengan jalan diversivikasi salah satu pertimbangan utama dari usaha diversivikasi adalah stabilitasi dalam pendapatan pertanian dan menghindarkan ketergantungan pada salah satu jenis komoditi. Dimana salah satu bentuk dari diversivikasi, yaitu dengan cara mengusahakan perpaduan antara usaha tani bahan pangan dengan cabang usaha tani yang lainnya. Penggunaan pestisida yang berlebihan dan terus-menerus dalam jangka yang panjang akan berakibat rusak ekosistem dalam air serta polutan dalam air tanah, hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Herawati, (1997). Hal tersebut sangatlah beralasan karena secara otomatis binatang-binatang kecil baik itu hama maupun agen hayati akan mati karena pemberian pestisida yang terlebih. Secara tidak langsung hal tersebut akan merugikan petani itu sendiri dan generasi yang akan dating. Dengan terbentuknya usaha tani mina padi tersebut, maka daerah Talun dapat memanfaatkan ketersediaan air secara
maksimal dan lebih hemat dalam penggunaan pupuk dan pestisida. Diharapkan pelaksanaan usaha tani mina padi yang bebas residu pestisida ini akan mampu memberikan nilai tambah nilai jual terhadap produksi padi yang bebas pestisida. Sementasi penjualan padi mengarah kepada kalangan konsumen menengah keatas, yang mana jenis padi yang diusahakan pada usaha tani yang bebas pestisida lebih aman untuk dikonsumsi. Dengan demikian, pelaksanaan usaha tani mina padi akan mampu menerapkan kesinambungan pertanian yang berkelanjutan. Sistem perikanan terpadu, ini adalah suatu metode budidaya ikan yang dipadukan dengan usaha pertanian didalam lahan yang sama yang harus mengarah kepada peningkatan efisiensi penggunaan lahan, karena berbagai jenis usaha diterapkan. Budidaya ikan mendatangkan hasil atau panen setelah pemeliharaan selama kurang lebih 2-3 bulan. Selama itu petani kurang mendapatkan pemasukan sehingga berakibat terjerat hutang. Peristiwa semacam ini dapat dihindarkan dengan pelaksanaan metode budidaya secara terpadu, karena sumber masukan tidak hanya berasal dari perikanan atau padi saja tetapi dari sumbersumber lain yang mempunyai masa pemeliharaan yang lebih singkat, sehingga mengurangi tanah yang kosong. Usaha mina padi ini juga dapat memperkecil resiko GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /62
PLANT AGRONOMY
kehilangan sumber-sumber penghasilan, karena tidak hanya mengandalkan salah satu jenis usaha yang dapat digantikan (subtitusi) dengan usaha jenis lain. Faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi pemilihan tentang pola-pola pengusahaan usaha yang akan dilakukan antara lain: tingkat pendidikan petani, luas lahan yang dimiliki petani dan umur petani. Petani memilih pola pengusahaan tertentu dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga untuk memperoleh pendapatan tunai, meratakan penyebaran tenaga kerja, mengurangi resiko kegagalan, serta penghematan terhadap biaya produksi. Tidak itu saja, menjalani berbagai aktivitas usaha tani yang dilakukan harus dapat mengalokasikan sumber daya yang sama dengan tujuan yang hendak dicapai. Banyak keinginan untuk mencapai tujuan yang bermacam-macam, hal ini terlihat pada polapola pengusahaan yang beragam. 1.2. Perumusan Masalah Usaha tani mina padi pertanian organik yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, diperlukan suatu analisis yang akurat sehingga usaha yang dijalankan menjadi ekonomis dan efisien. Beras organik merupakan komoditi pangan yang berkualitas tinggi dan residu pestisida yang membahayakan kesehatan manusia memerlukan teknis budidaya yang cukup besar resikonya, namun dengan imbalan harga yang cukup tinggi nilainya. Mengusakan pertanian organik khususnya padi dan ikan berarti ikut menyelamatkan lingkungan dari pencemaran pupuk dan pestisida buatan. Dengan mengidentifikasi permasalahan dari beberapa aspek usaha tani mina padi dan hubungan dengan faktor-faktor sosial ekonomi yang ada hubungan dengan pemilihan pola yang diusahakan dalam kegiatan usaha tani mina padi pertanian organik. Penjelasan tentang pertanian organik diatas menimbulkan permasalahan pertanian
yang dapat di rumuskan menjadi sebagai pertanyaan peneliti berikut: Berapa besarnya tingkat biaya produksi, penerimaan, pendapatan dan efisiensi usaha tani mina padi pertanian organik pada dua pola usaha. 1.3. Tujuan dan Kegunaan 1.3.1. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Menganalisa tingkat biaya produksi, dan pendapatan pada usaha mina padi pertanian organik. 2. Mengetahui hubungan antara faktorfaktor sosial ekonomi dengan pemilihan pola pengusahaan usaha tani mina padi. 1.3.2. Kegunaan dari penelitian adalah : 1. Sebagai media informasi dalam usaha pengembangan usaha tani mina padi. 2. Rekomendasi untuk pengembangan usaha tani mina padi organik bagi petani organik. 1.4. Kerangka Pemikiran Usaha tani yang dimaksudkan adalah kombinasi dalam penggunaan dari perpaduan faktor-faktor, tenaga kerja, modal dan mempelajari cara-cara dari pada penelitian dari pada jenis dan jumlah cabang-cabang usaha tani baik cabang pertenakan, perikanan ataupn pertanian yang akan memberikan masukan pendapatan yang relative tinggi dan kontinyu. Usaha tani mina padi adalah suatu tipe usaha tani campuran (mixed farming) dengan sistem tumpang sari. Menurut Toher (1975), adfalah sistem bercocok tanam selama satu tahun, pada sebidang tanah yang terdiri dari beberapa jenis komoditi secara bergilir, bersisip, atau bertumpang sari untuk meningkatkan produksi tanaman pangan dan pendapatan petani per satuan serta per satuan waktu. Hasil tambah yang beupa ikan, produksi padi juga akan meningkatkan bila di
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /63
PLANT AGRONOMY
bandingkan produksi di sawah atau tidak sekali ditebari ikan, hal ini karena : 1. Ikan memakan tumbuh-tumbuhan kecil (gulma) dan plankton yang sering bersaing dengan tanaman padi dalam mendapatkan makanan. Jadi hal ini akan berakibat pada pertumbuhan padi yang menjadi lebih baik. 2. Ikan akan menghasilkan kotoran dari sisasisa metabolisme yang berfungsi sebagai pupuk untuk mempercepat pertumbuhan padi, sehingga akan meningkatkan jumlah produksi padi. 3. Ikan juga memakan jentik-jentik, serangga’ dan binatang air yang sering menjadi hama bagi tanaman padi. Hal ini akan menguntungkan petani karena dapat menekan penggunaan pestisida dalam pemberantasan hama tanaman padi. 4. Dalam mencari makan ikan (terutama ikan mas dan ikan majalaya) akan membolakbalikkan lumpur sawah, sehingga berdampak yang baik bagi tanah yaitu memperbaiki struktur tanah. Pada prinsipnya dalam usaha tani bermotivasi untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh keluarga, yaitu dengan memenuhi kewajiban sosialnya untuk mempertahankan dan meningkatkan statusnya serta berproduksi untuk mencapai efisiensi ekonomi setinggi-tingginya dari penggunaan sumber-sumber produktif yang dimiliki. Untuk menghitung efisiensi dalam unit ekonomi yaitu perbandingan antara penerimaan yang diperoleh dengan modal yang tanaman dalam suatu usaha. Bagi suatu usaha masalah efisiensi adalah lebih penting dibandingkan dari pada pendapatan, karena pendapatan yang besar belum bisa dipakai suatu ukuran bahwa suatu unit usaha tersebut telah berjalan secara efisiensi. Sedangkan efisiensi baru dapat diketahui dengan membandingkan penerimaan yang diperoleh dengan modal yang menghasilkan penerimaan tersebut (Anonymoun, 1982). Sehubungan dengan masalah efisiensi, Soekarjo (1976) berpendapat, bahwa efisiensi
adalah hubungan rata-rata input dan output baik dalam satuan fisik maupun kombinasi dari keduanya adalah kekhususan dalam memperhitungkan keuntungan maksimal tentang pertambahan input yang dihubungkan dengan harga masing-masing dalam usaha mencapai keuntungan. Dengan diketahuinya secara jelas dan nyata maka nilai efisiensi usaha taninya, dengan begitu maka diharapkan dapat merupakan salah satu factor yang menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan bagi petani dalam menjalankan usaha taninya. Petani dalam mengambil keputusan dan kebiksanaan mengenai usaha taninya selalu mempertimbangkan resiko yang akan diterimanya. Kemampuan petani dalam menerima resiko berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Petani sebagai pengusaha sudah barang tantu akan mempertimbangkan agar mendapatkan manfaat usaha taninya sehingga keuntungan dari usaha taninya selalu diharapkan oleh petani, dimana perbandingan nilai hasil produksi dalam usaha tani selalu dipertimbangkan. Dalam suatu kegiatan usaha tani adalah mengadakan perhitungan biaya produksi dan pendapatan usaha tani. Sedangkan pendapatan usaha tani yang diterima petani dipengaruhi oleh tingkat hasil, harga biaya usaha tani itu sendiri. Dengan demikian pendapatan petani selalu dipengaruhi oleh besar kecilnya dari usaha taninya. Walaupun produksi yang diperoleh tinggi penting artinya bagi petani, tetapi ditinjau dari segi ekonominya petani lebih tertarik kepada hubungan-hubungan antara biaya produksi dan penerimaan produksinya. Dimana hubungan biaya produksi tersebut pada dasarnya untuk mengetahui tingkat pendapatan usaha tani yang bersangkutan. Seharusnya petani dalam melaksanakan usaha taninya lebih memperhatikan dan memperhitungkan nilai ekonominya. GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /64
PLANT AGRONOMY
Adanya berbagi tingkat pendidikan dapat mempengaruhi usaha tani dalam mengelola usaha tanimya, terutama dalam pemilihan pola-pola pengusahaan yang akan diusahakan serta dalam mengadopsi teknologi yang inovatif. Makin tinggi tingkat pendidikan semakin dinamis sikapnya terhadap hal-hal yang sifat baru dan pola pemikirannya pun semakin rasional. Sehingga dalam mengambil keputusan tentang pola-pola pengusahaannya akan tepat dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai serta dapat memberikan efisiensi yang lebih menguntungkan. Luas lahan garapan juga mempunyai pengaruh terhadap pengambilan keputusa terhadap pola-pola pengusahaannya serta dalam penggunaan inovasi-inovasi baru. Dengan lahan yang luas maka mempunyai pola pengusahaannya lebih beraneka ragam dan lebih bebas dalam menilai jenis komoditi yang dapat memberikan keuntungan secara maksimal. Selain itu juga umur petani mempunyai pengaruh terhadap kemampuan fisik petani dalam mengelola usaha taninya. Hal ini juga pengaruh terhadap pengambilan kepuasan terhadap pola-pola pengusahaan dan penggunaan inovasi Komponen kedua yang diperlukan dalam analisa pendapatan dan efisiensi usaha tani adalah alokasi dan besarnya biaya produksi. Biaya produksi di dalam usaha tani. Pola-pola pengusahaan yang beragam akan memberikan biaya, penerimaan dan tingkat efisiensi yang berbeda-beda pula. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, maka dapat dibandingkan dan ditentukan pola yang lebih menguntungkan untuk di usahakan. Pola pengusahaan dengan pendapatan dan tingkat efisiensi yang tinggi adalah pola yang menjadi idaman petani. 1.5. Hipotesis Hipotesis dapat diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Diduga usaha tani mina padi organik dapat memberikan keuntungan bagi petani. b. Diduga usaha tani mina padi organik telah mencapai tingkat efisiensinya. 1.6. Pembatasan masalah dan pengukuran Variabel 1. Usaha Tani: adalah setiap organisasi dari alam, tenaga kerja, modal yang ditujukan pada produksi di lapangan pertanian atau ketatalaksanaan organisasi itu sendiri di usahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang. Dalam penelitian ini usaha yang diteliti adalah usaha tani mina padi. 2. Mina Padi: adalah suatu sistem pemeliharaan ikan yang dilaksanakan bersama padi di sawah. Dalam pelitian ini usaha tani mina padi dilakukan di sawah yang telah dimodifikasikan menjadi kolam. 3. Pendapatan Petani mina padi: adalah nilai bersih dari penerimaan usaha tani mina padi yang merupakan selisih antara total penerimaan total biaya produksi yang di nyatakan dengan uang. Pendapatan atau hasil diluar dari usaha mina padi tidak dianalisis dan usaha tani tersebut diperhitungkan secara perumusan. 4. Pertanian Organik: Sistem pertanian yang memperdayakan dan mempertahankan ekosistem secara berkelanjutan. Sistem ini hanya sedikit mengandalkan unsur kimia dalam meningkatkan produksi. Untuk kegiatan usaha taninya dilaksanakan pada musim tanam tahun 2010/2011 sampai musim tanam 2011, dengan pengusahaan sebagai berikut: Pola I : Padi-ikan-padi Pola II : Padi-ikan 1.6.2. Pengukuran Variabel 1. Biaya Produksi: adalah semua pengeluaran yang di nyatakan dengan uang yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk. GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /65
PLANT AGRONOMY
2. Biaya Tenaga Kerja: adalah suatu biaya yang dikeluarkan untuk sejumlah tenaga kerja yang digunakan dalam suatu usaha tani. Tenaga kerja yang diperlukan dalam usaha tani mina padi meliputi; tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga yang terdiri dari tenaga kerja pria dan wanita. Tenaga kerja diukur dari Satuan Harian Kerja Setara Pria (HKSP) dan berdasarkan upah yang berlaku pada waktu itu. Tenaga kerja wanita disamakan dalam satuan HKSP berdasarkan tingkat upah yang berlaku di daerah itu. Sedangkan tenaga kerja anggota keluarga petani didasarkan upah yang berlaku untuk jenis pekerjaan yang sama. Biaya tenaga kerja merupakan perkalian antara jumlah penggunaan tenega kerja (HKSP) dengan nilai satuan HKSP. 3. Biaya Sarana Produksi; adalah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh sarana produksi yang digunakan dalam suatu usaha tani. Biaya saprodi yang di gunakan dalam usaha tani mina padi adalah biya pembelian bibit padi, pupuk dan bibit ikan. Semua sarana produksi di pergunakan yang dihitung sebagai biaya. Sarana produksi yang dimiliki sendiri dinilai berdasarkan harga yang berlaku saat penggunaan Besarnya biaya saprodi di hitung dari jumlah fisik penggunaan dan harga pembelian per satuan berat fisik. 4. Biaya sewa lahan: merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menyewa lahan yang dipergunakan untuk proses produksi. Ditinjau dari segi perusahaan maka dalam usaha tani tidaklah berbeda antara lahan milik sendiri dan lahan sewa. Karena lahan milik sendiri dianggap sewa. Petani hendaklah memberikan balas jasa terhadap penyediaan dan penggunaan lahan milik sendiri yang besarnya sama dengan penerimaan petani seandai kata lahan tersebut disewakan. 5. Bunga modal: dalam perhitungan usaha tani rente atau bunga modal diperhitungkan
juga sebagai pengeluaran. Besarnya bunga modal usaha tani ditentukan besar kecilnya bunga uang yang di pinjam, yang dipergunakan dalam usaha taninya. Besarnya modal di tentukan oleh besarnya modal yang dipergunakan, jumlah waktu proses produksi dantingkat bunga yang dikeluarkan dalam usaha taninya. Dalam penelitian ini bunga modal dihitung dengan mengalikan jumlah penggunaan uang selama satu tahun dengan presentase bunga bank yaitu sebesar 1,5% setahun. 6. Produksi usaha tani: total pengeluaran dari usaha tani tersebut. Dalam penelitian ini produksi usaha taninya adalah padi dan ikan. Besarnya produksi tiap hektar di nyatakandengan satuan kwintal (kw) yang di perhitungkan dengan jalan membagi produksi fisik dan area usaha taninya. 7. Penerimaan usaha tani; adalah nilai produksi yang merupakan hasil kali produk yang diperoleh dengan tingkat harga yang berlaku, pada saat penelitian dinilai dengan uang. 8. Pendapatan usaha tani; adalah nilai bersih dari penerimaan usaha tani mina padi, yaitu merupakan selisih antara total penerimaan usaha tani dengan total biaya produksi, yang di nyatakan dengan uang dalam waktu satu tahun. 9. Koefisien Kontigensi: suatu ukuran keadaan asosiasi atau relasi antara dua himpunan artibur yang digunakan untuk memberikan petunjuk tentang tingkat hubungan antara dua himpunan atribut. BAB III METODE PENELITIAN Metode ini dilakukan dengan metode survei, karena dasar yang dipergunakan dalam penelitian ini akan diambil dari sebagaian populasi yang representative yang mewakili anggota populasi. Pengambilan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja berdasarkan studi GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /66
PLANT AGRONOMY
lapang yang dilakukan untuk melihat kesesuaian daerah penelitian dengan tujuan yang ingin dicapai dengan mempertimbangkan pada keterbatasan waktu, tenaga dan biaya. 3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian Penentuan penelitian yang dilakukan dengan sengaja. Dalam hal ini ditetapkan di desa Jabung kecamatan Talun kabupaten Blitar. Penetuan di desa Jabung sebagai daerah penelitian atas dasar pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang berpotensi dalam usaha mina padi, yang mempunyai pola pengusahaan sebagai berikut: 1) Pola I : padi-ikan-padi 2) Pola II: padi-ikan Disamping itu desa Jabung juga mempunyai areal yang cukup luas yang dipergunakan untuk usaha mina padi, dan produksi yang dihasilkan per ha relative tinggi. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan pada awal musim penghujan tahun 2010 sampai musim kemarau tahun 2011. 3.2. Metode Penelitian Petani Contoh Petani contoh adalah petani yang mengusahakan usaha tani mina padi pada lahan yang diusahakan. Penentuan petani contoh dilakukan dengan menggunakan metode “Pengambilan Sampel Acak terstrata” secara berimbang (Proportionate Stratifred Random Sampling). Pengambilan ini didasarkan pada pertimbangan keadaan populasi yang tidak homogen. Dengan demikian populasi petani didaerah penelitian akan terwakili dan tidak menumpuk pada salah satu strata tertentu. Sedangkan strata yang dipergunakan adalah berdasarkan pola pengusahaan, yaitu : 1. Strata I : Pola I (padi-ikan-padi) 2. strata II : Pola II (padi-ikan) Berdasarkan tujuan dilapang diperoleh besarnya populasi petani dengan jumlah 77, yang terdiri 51 petani yang mengusahakan pola I dan 26 petani yang mengusakan pola II.
Dari besarnya populasi di atas baik petani yang mengusahakan pola I atau pola II, maka penentuan jumlah sampel ditentukan sejumlah 40 % dari masing-masing populasi. Adapun respondan dari masing-masing strata adalah sebagai berikut : Untuk pola I : 25 responden dari 51 petani. Untuk pola II : 20 responden dari 26 petani. Tidak ada aturan tegas tentang jumlah sampel yang dipersyaratkan untuk suatu penelitian dari populasi yang tersedia. Namun mengenai jumlah sampel yang disebut adalah aturan sepersepuluh,dengan arti minimal pengmbilan sampel lebih dari sepuluh persen dari jumlah populasi. Dengan mengacu pada hal tersebut, maka jumlah sampel pada kedua pola yang diusahakan sudah memenuhi syarat. 3.3. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh langsung dari petani. Wawancara juga dilakukan kepada pihakpihak yang mengetahui permasalahan usaha mina padi, PPL dan Aparat desa. Untuk mendukung kelengkapan data dari petani , dikumpulkan juga data sekunder yaitu data yang diambil dari laporan laporan baik dari instansi-instansi pemerintahan yang terkait dengan penelitian ini maupun hasilhasil penelitian yang terdahulu yang dianggap cukup relevan. 3.4. Metode Analisa Data 3.4.1.Perhitungan biaya penerimaan, pendapatan dan efisiensi. 1. Perhitungan Biaya Perhitungan yang dilakukan secara perusahaan yaitu meliputi; biaya sewa lahan, bunga modal, biaya saprodi, biaya tenaga kerja. Besarnya biaya produksi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : TC=TFC+TVC Dimana : TC : Total Biaya (Rp) TFC : Total Biaya Tetap (Rp) TVC : Total Biaya Variabel (Rp) GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /67
PLANT AGRONOMY
2. Perhitungan Penerimaan Untuk menghitung besarnya pendapatan kotor atau penerimaan dapat digunakan rumus sebagai berikut : TR=PxQ Dimana : TR : Total Penerimaan (Rp) P : Harga Persatuan Produksi (Rp/kw) Q : Jumlah Produksi (kw) 3. Perhitungan pendapatan Pendapatan/keuntungan usaha tani merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya, maka di rumuskan : π = TR-TC Dimana : R : Pendapatan/keuntungan (Rp) TR : Total Penerimaan (Rp) TC : Total Biaya (Rp) 4. Perhitungan Efisiensi Efisiensi merupakan perbandingan antara total penerimaan dan total biaya, yang di rumuskan : TR R/C Ratio = TC Dimana : R/C Ratio : Tingkat Efisiensi TR : Total Penerimaan TC : Total Biaya Kreteria suatu usaha tani efisiensi, impas atau tidak efisien adalah sebagai berikut :
1. Bila R/C Ratio < 1, maka usaha tani dapat dikatakan tidak efisien/merugi. 2. Bila R/C Ratio = 0, maka usaha tani dapat dikatakan impas. 3. Bila R/C Ratio > 1, maka usaha tani dapat dikatakan efisien (menguntungkan). Perhitungan Keuntungan Cost Ratio (B/C Ratio) B/C Ratio perupakan perbandingan antara nilai tambah penerimaan dengan nilai tambah biaya, yang dirumuskan sebagai berikut : Selisih penerimaan usaha tani B/C Ratio= Selisih usaha tani Dengan kreteria sebagai berikut : 1. Bila B/C Ratio < 1, maka ada penerununan pendapatan 2. Bila B/C Ratio ≠ 0, maka tidak ada peningkatan pendapatan 3. Bila B/C Ratio > 1, maka ada peningkatan Untuk mengetahui terhadap pemilihan pola pengusahaan usaha tani mina padi di gunakan uji statistic chi kuadrat dan tabulasi. Cara pengujian untuk analisis chi kuadrat adalah dengan terlebih dahulu membuat tabeltabel arah, sehingga akan diperoleh tabel sebagai berikut
Tabel 1. Tabel dua arah dalam analisis chi kuadrat ( χ2 ). Variabel Bebas Pola pengusahaan Variabel tidak bebas < 20 Juta >20 Juta
Jumlah
Pola I
9 (11,7)
45 (58,4)
54(70,1)
Pola II
6 (7,8)
17(22,1)
23(29,9)
Total
15(19,5)
62(80,5)
77(100)
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /68
PLANT AGRONOMY
Selanjutnya chi kuadrat dari tabel 2X2 diatas dirumuskan sebagai berikut: N{|(ad – bc ) | - N / 2}2 X2
:
1. Jika ada asosiasi tidak terdapat nol sama sekali, koefisien harus sama dengan nol. 2. Jika korelasi sempurna, koefisien itu harus sama dengan nol.
(a + b)(c + d)(a + c)(b + d) Dimana; A,B,C,D : jumlah frekuensi kejadian N=a+b+c+d kejadian
: jumlah frekuensi keseluruhan
(a+b), (c+d) dalam baris
: jumlah frekuensi kejadian
(a+c), (b+d) : jumlah frekuensi kejadian dalam kolom Hipotesis yang di ajukan; H0 : Tidak ada hubungan antara pemilihan pola pengusahaan usaha tani mina padi. Hi : Ada hubungan antara pemilihan pola pengusahaan usaha tani mina padi. Kreteria uji; Jika X2 hit ≤ X2 α (1), terima H0 dengan taraf kepercayaan α = 0,05 Jika X2 hit > X2 α(1), terima Hi dengan taraf kepercayaan α = 0,05. Untuk mengetahui tingkat korelasi, dilanjutkan dengan uji koefisien kontigaensi dengan menggunakan rumus sebagai berikut; √X2 C: N+X2 Dimana : C : Koefisien kontigensi X2 : chi kuadrat N : Jumlah responden Kreteria uji;
4.2. Pembahasan 4.2.1.Analisa Biaya Produksi, Penerimaan, Pendapatan dan Efisiensi Usaha Tani Mina Padi. Dalam melaksanakan usaha tani maka tidak terlepas dari masalah biaya dan pendapatan. Angka dimaksut dengan biaya dalam hal ini adalah semua nilai korbanan dari berbagai input produksi selama proses berlangsung, selisih anrata hasil yang diterima dengan biaya yang di keluarkan di sebut pendapatan usaha tani. 4.2.2. Biaya Produksi Dalam setiap kegiatan usaha di bidang pertanian pada akhirnya akan dinilai hasil yang akan diperoleh dari biaya yang di keluarkan selama proses produksi berlangsung. Biaya produksi adalah semua pengeluaran yang dinyatakan dalm bentuk uang selama selama proses produksi berlangsung untuk menghasilkan sesuatu produk. Dalam analisis ini biaya produksi ditinjau dari sudut perusahaan, yaitu pengeluaran haruslah diperhitungkan sebagai biaya. Menurut sifatnya biaya usaha tani di golongkan menjadi biaya tetap dan biaya tidak tetap(variabel). Yang termasuk biaya variabel adalah bibit padi, bibit ikan dan biaya tenaga kerja. Dalam penelitian ini tidak ada biaya untuk membeli obat-obatan. Sedangkan biaya tetapnya meliputi biaya sewa tanah, bunga modal dan biaya lain-lain. 4.2.2.1. Biaya variabel. Biaya variabel adalah biaya yang dapat mempengaruhi maupun menentukan besar kecilnya nilai produksi, yang meliputi biaya:
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /69
PLANT AGRONOMY
A. Biaya Sarana Produksi. Biaya sarana produksi adalah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh sarana produksi yang digunakan dalam suatu usaha tani. Biaya sarana produksi yang di gunakan untuk usaha mina padi meliputi biaya pembelian bibit padi, pupuk dan bibit ikan. Rata-rata
Jenis Biaya Sarana Produksi
Bibit Padi (kg) Pupuk Kandang (kw) Bibit Ikan (rean) Koi Majalaya Jumlah
Fisik (kg) 60 9 ton 3 2
penggunaan tambahan biaya sarana produksi usaha mina padi per hektare yang di keluarkan oleh petani dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 6. Rata-rata penggunaan dan tambahan biaya srana produksi per hektare pada masing-masing pola pengusahaan usaha mina padi.
Pola Pengusahaan Mina Padi Pola I Pola II Nilai (Rp) Fisik (kg) Nilai (Rp) 300.000 1.902.700
30 6,5 ton
150.000 1.287.000
1.500.000 200.000 3.902.700
2 2
1.000.000 200.000 2.637.000
Harga untuk bibit padi Rp 5000,-/kg, harga pupuk kandang Rp 21.000,-/kw dan harga masing-masing untuk bibit ikan koi Rp 500.000,-/rean, bibit ikan majalaya Rp 100.000,-/rean. Dari tabel 6. terlihat bahwa adanya perbedaan dalam penggunaan bibit padi antara pola I dan pola II tersebut. Pada pola I rata-arta penggunaan bibit padi sebesar 60 kg/ha dan pola II sebesar 40 kg/ha. Penggunaan bibit padi pada pola I lebih besar. Hal ini disebabkan karena dalam pola II penanaman padi tidak terlalu banyak. Pada pola I rata-rata penggunaan pupuk kandang masing-masing sebesar 9 ton/ha. Sedangkan pada pola II rata-rata penggunaan pupuk kandang 6.5 ton/ha. Penggunaan pupuk pada kedua pola tersebut juga menunjukkan perbedaan. Hal ini di samping karena penggunaan bibit yang berbeda juga disebabkan karena dosis pemupukan yang berbeda. Dalam penggunaan bibit ikan ini sangat bervariasi, sesuai dengan keinginan petani
sendiri. Yang dianggap paling menguntungkan bagi usaha taninya, sehingga penggunaan bibit ikan menunjukkan adanya pebedaan antara kedua pola tersebut. Rata-rata penggunaan bibit ikan pada pola I masing-masing untuk koi dan majalaya adalah sebesar 3 rean/ha dan 2 rean/ha. Sedangkan pada pola II masing-masing ikan koi dan majalaya adalah sebesar 2 rean/ha dan 2 rean/ha. Dengan adanya perbedaan dalam penggunaan saran produksi, maka biaya sarana produksinya akan menunjukkan perbedaan juga antara pola I dan pola II. B. Biaya Tenaga Kerja. Biaya tenaga kerja adalah biaya yang di keluarkan untuk sejumlah tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tani. Tenaga kerja yang digunakan dalm usaha tani meliputi tenaga dalam keluarga dan tenaga luar keluarga yang terdiri dari pria dan wanita. Tenaga kerja dalam keluarga juga diperhitungkan sebagai tenaga kerja. Di daerah penelitian sekripsi upah untuk tenaga
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /70
PLANT AGRONOMY
kerja pria Rp 30.000,- dan tenaga kerja wanita lama jam kerja mulai pukul 07.00-11.00 dan sebesar Rp 17.000,12.30-16.30 dengan nilai Rp 30.000,- RataUntuk tenaga kerja wanita di sesuaikan rata penggunaan dan biaya tenaga keja yang di menurut tingkat upah dengan Satuan Hari keluarkan petani dapat dilihat dalam table Kerja Pria (SHKP). Suatu SHKP sama dengan berikut. Tabel 7. Rata-rata biaya tenaga kerja per hektar pada masing-masing pola pengusahaan Usaha mina padi. Jenis pekerjaaan Kegiatan Pengolahan Tanah Persemaian Penanaman Padi Penebaran bibit ikan Pemupukan Panen Jumlah
Biaya Pola Pengusahaan Mina Padi Pola I Pola II Fisik Nilai Fisik Nilai (HKPS) (Rp) (HKPS) (Rp) 15 450.000 12 360.000 2 60.000 1 30.000 36 612.000 17 289.000 1 20.000 1 20.000 2 60.000 2 60.000 20 600.000 13 390.000 76 1.802.000 46 1.149.000
Dalam kegiatan usaha tani memerlukan tenaga kerja meliputi hamper seluruh proses produksinya. Keperluan akan tenaga kerja sekaligus akan mendorong timbul biaya untuk mengupah tenaga kerja yang digunakan, jika tenaga kerja kurang mencukupi. Dalam table 7. menunjukkan bahwa terdapat perbedaan, baik pada penggunaan maupun biaya tenaga kerjanya. Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada pola I lebih besar yaitu 76 HKSP per hektare. Sedang pola II sebesar 46 HKSP per hectare. Hal ini disebabkan karena
pola I terdapat tambahan aktivitas kerja yaitu penanaman padi sebanyak dua kali, maka tenaga kerja antara kedua pola tersebut akan berbeda. C. Biaya Total Variabel Biaya total variabel adalah usaha mina padi adalah jumlah biaya variable yang digunakan dalam usaha mina padi. Biaya total variabel merupakan jumlah biaya tenaga kerja, rata-rata total variabel yang di keluarkan oleh petani di sajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 8. Rata-rata total biaya variabel per hektare pada masing-masing pengusahaan Usaha mina padi. Jenis Biaya Sarana Produksi Tenaga Kerja Jumlah
Biaya Pola Pengusahaan Mina Padi Pola I (Rp) Pola II (Rp) 3.902.700 2.637.000 1.802.000 1.149.000 5.704.700 3.786.000
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /71
PLANT AGRONOMY
Dari tabel 8. menunjukkan bahwa rata-rata padi. Biaya bunga modal dihitung berdasarkan total biaya variabel pada pola I lebih besar jumlah uang yang di keluarkan selama yaitu Rp 5.704.700,- perhektar. Karena berlangsungnya usaha mina padi tersebut. berbagai biaya variabel yang dikeluarkan oleh Dalam penelitian ini dinilai bunga modal di pola I selama proses produksi juga lebih besar. hitung dengan mengalikan jumlah penggunaan Sedangkan pada pola II sebesar Rp uang selama empat bulan dengan persentase 3.786.000,- per ha, karena adanya perbedaan yaitu 1,5 %. antara kedua pola tersebut, maka total biaya Dari hasil perhitungan di peroleh rata-rata variabelnya juga akan menunjukkan nilai bunga modal untuk pola I sebesar Rp perbedaan ini. 342.282,- per ha dan pola II sebesar Rp 4.2.2.2. Biaya Tetap 227.160,- per ha. Nilai bunga modal Biaya tatap adalah jenis biaya yang tidak menunjukkan perbedaan, karena biaya yang di mempengaruhi atau menentukan besar keluarkan oleh masing-masing pola tersebut kecilnya nilai produksi yang dimaksud dengan juga berbeda. biaya tetap pada usaha mina padi ini adalah c) Biaya lain-lain. biaya sewa lahan, bunga modal dan lain-lain. Selain biaya sarana produksi, biaya tenaga a) Biaya sewa lahan kerja, sewa lahan dan bunga modal masih ada Di lokasi penelitian pada umumnya petani biaya lain-lain yang dikeluarkan oleh petani memiliki lahan sendiri karena petaniu contoh dalam kegiatan usaha taninya, yang termasuk status pengusahaan lahanya adalah milik, biaya lain-lain diantaranya sewa diesel dan maka penentuan nilai sewa lahan bervariasi lain-lain. Biaya lain-lain antara pola I dan pola tergantung dari letak dan kondisi lahan II sama ,sebesar Rp 600.000,- per ha untuk tersebut, yaitu dalam kurun waktu satu tahun sewa diesel. sebesar Rp 14.000.000 : 3 = 4.700.000,- per d) Total Biaya Tetap ha. Total biaya tetap usaha mina padi adlah b) Bunga Modal (biaya atas modal) jumlah biaya tetap yang digynakan dalam Bunga modal pada usaha tani mina padi usaha mina padi. Total biaya tetap merupakan adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani jumlah biaya sewa lahan, dikeluarkan perani baik uang milik orang lain maupun milik di sajikan pada table berikut. sendiri yang digunakan dalam usaha mina Tabel 9. Rata-rata total biaya tetap per ha pada masing-masing pola pengusahaan usaha mina padi. Jenis Biaya Biaya pola pengolahan mina padi Pola I (Rp) Pola II (Rp) Sewa lahan 4.700.000 4.700.000 Bunga modal 342.282 227.160 Biaya lain-lain 600.000 600.000 Jumlah 5.642.282 5.527.160
Karena pada berbagai biaya tetap yang dikeluarkan selama proses produksi antara kedua pola tersebut sudah berbeda, maka total biaya tetap juga akan menunjukkan perbedaan. Pada pola I rata-rata sebesar Rp 5.642.282,per ha, nilainya lebih besar bila dibandingkan
pada pola II yaitu rata-rata sebesar Rp 5.527.160,- per ha. 4.2.2.3. Total Biaya Produksi Total biaya produksi pada usaha mina padi merupakan biaya total yang dikeluarkan untuk usaha mina padi yaitu penjumlahan dari biaya GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /72
PLANT AGRONOMY
sarana produksi, tenaga kerja, sewa lahan, biaya modal dan lain-lain.
Rata-rata total biaya produksi yang dikeluarkan petani di sajikan pada tabel berikut ini. Tabel 10. Rata-rata total biaya produksi per hektare pada masing-masing pola pengusahaa usaha mina padi. Jenis Biaya Saprodi Tenaga kerja Sewa lahan Bunga modal Biaya lain-lain Jumlah
Biaya pola Pengusahaan Mina Padi Pola I (Rp) Pola II (Rp) 3.902.700 2.637.000 1.802.000 1.149.000 4.700.000 4.700.000 342.282 227.160 600.000 600.000 11.346.982 9.313.160
Dari tabel 10, diatas tampak bahwa rata-rata total biaya produksi menunjukkan perbedaan nyata antara pola I dan pola II. Perbedaan pada nilai rata-rata total biaya produksi ini, karena di sebabkan oleh alokasi serta besar biaya variabel dan biaya tetap yang berbeda antara pola I dan pola II. 4.2.3. Penerimaan
Penerimaan adalah besarnya uang yang diterima petani dari hasil penjualan produksi yang diperoleh. Jadi penerimaan merupakan hasil kali total produksi dengan harga satuannya. Produksi adalah total hasil dari usaha tani yang di nyatakan dalam bentuk fisik. Rata-rata produksi dan total penerimaan yang diterima petani di sajikan pada table berikut ini.
Tabel 11. Rata-rata produksi dan total penerimaan per hectare pada masing-masing pola pengusahaan usaha mina padi. Produksi Pola Pengusahaan Mina Padi Pola I Pola II Nilai Nilai Nilai Nilai (kw) (Rp) (kw) (Rp) Majalaya 2 2.800.000 1,5 2.100.000 Koi A 200 3.000.000 350 5.250.000 B 550 4.950.000 170 1.530.000 C 450 2.250,000 380 1.900.000 Padi 54 19.440.000 47 16.920.000 Jumlah 32.440.000 27.700.000
Harga komoditi majalaya Rp 1.400.000 per kwintal, ikan koi A Rp 15.000, B Rp 9.000 dan C Rp 5.000 per biji dan komoditi padi Rp 360.000 per kwintal.
Dari table 11 tersebut tampak bahwa rata-rata total penerimaan menunjukkan perbedaan nyata antara pola I dan pola II. Perbedaan pada nilai rata-rata total penerimaan ini, disebabkan karena adanya perbedaan produksi yang dihasilkan, dan GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /73
PLANT AGRONOMY
produksi ini di pengaruhi oleh sarana produksi yang digunakan yaitu perbedaan antara pola I dan pola II (pada tabel II).
Pendapatan merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya produksi yang telah dikeluarkan selama berlangsungnya proses produksi dari usaha mina padi tersebut.
4.2.4. Pendapatan Tabel 12. Rata-rata pendapatan yang diterima petani disajikan pada tabel berikut. Pola pengusahaan mina padi Rata-rata pendapatan (Rp) Pola I 20.233.018 Pola II 17.526.840 Dari tabel tesebut menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan menunjukkan perbedaan nyata antara pola I dan pola II. Efisiensi antara kedua pola tersebut, karena belum adanya pedoman yang tepat dan efisien dalam kombinasi penggunaan bibit ikan dan pupuk yang optimal bagi komoditi ikan. Meskipun tidak ter dapat perbedaan pada nilai rata-rata efisiensi antara kedua pola tersebut. Namun dari analisis B/C Ratio (2,33)> 1. Sedangkan dari hasil R/C Ratio pada pola I (2,96)> 1 pada pola II (2,97)>1.
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari hasil-hasil kesimpulan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Rata-rata total biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani yang mengusahakan pola I adalah sebesar Rp 11.346.982 per ha, sedangkan pola II adalah sebesar Rp 9.313.160 per ha. 2. Rata-rata total penerimaan yang diterima oleh petani yang mengusahakan pola I adalah sebesar Rp 32.440.000 per ha, sedangkan pola II sebesar Rp 27.700.000 per ha. 3. Rata-rata pedapatan yang diterima oleh petani yang mengusahakan pola I adalah sebesar Rp 20.233.018 per ha,sedang pola II sebesar Rp 17.526.840 per ha.Dari hasil R/C Ratio diperoleh nilai pada pola I (2.96)>1, sedangkan pola II (2.97)>1. Maka usaha tani mina padi pertanian organik dapat dikatakan efisiensi antara kedua pola tersebut. Dari hasil B/C Ratio di peroleh nilai (2,33)>1, maka ada peningkatan dalam pengusahaan usaha tani mina padi pertanian organik. 4. Dari hasil uji chi kuadrat diperoleh X2 hit (3,89)>X20.05(1)(3.84),yang berarti ada hubungan antara hubungan antara hasil yang diterima dengan pemilihan pengusahaan usaha tani mina padi. Korelasi di nyatakan oleh suatu koefisien kontigensi antara hasil yang diterima dengan pemilihan kedua pola adalah C = 0,22. 5.2.Saran-saran 1. Dalam usaha untuk meningkatkan pendapatan pada usaha tani mina padi di Desa Jabung, perlu kiranya untuk memilih di antara pola I atau pola II. 2. Untuk memperoleh tingkat efisiensi yang tinggi, perlu kiranya di laksanakan penelitian lebih lanjut. 3. Perlu kiranya usaha untuk mengembangkan usaha mina padi, mengingat usaha tani mina padi belum banyak berkembang. Hal ini perlu di lakukan karena dalam usaha tani mina padi dapat meningkatkan pendapatan, memperluas atau dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak, pemanfaatan limbah lebih optimal serta dapat meningkatkan frekuensi pengawasan atau GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /74
PLANT AGRONOMY
pengembangan lahan oleh petani. Sehubungan dengan usaha pengembangan usaha tani mina padi di atas maka di harapkan pihak-pihak terkait dalam usaha pengembangan tersebut, dapat mempertimbangkan faktor-faktor sosial ekonomi dimana usaha tersebut akan dikembangkan.
Pengaruh Konsentrasi Pupuk Daun dan Jenis Media Tanam Pada Pertumbuhan dan Hasil Jamur Kuping (Auricularia politricha) Oleh : Agung Setya W* *Dosen Fakultas Pertanian Universitas islam Balitar Ringkasan Perkembangan budidaya jamur kuping di Indonesia semakin pesat. Besarnya permintaan pasar dan manfaat jamur kuping, maka perlu adanya peningkatan dalam produktivitas jamur kuping. Usaha peningkatan hasil budidaya jamur kuping ini salah satunya adalah dengan pemberian pupuk daun sebagai upaya untuk mencukupi kebutuhan hara pada pertumbuhan jamur kuping. Media tanam juga berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur kuping karena unsur dan teskstur yang berbeda sehingga pertumbuhan jamur kuping juga berbeda. Kandungan hara yang cukup dan tekstur yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu lunak mendukung pertumbuhan dan hasil jamur kuping. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama 2 level perlakuan faktor kedua 5 level, ulangan 3 kali sehingga kombinasi perlakuan dalam penelitian ini ada 30 kombinasi. Terdapat interaksi pada pemberian pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter dengan media tanam pada pertumbuhan misilium umur 7, 14, 21, dan 28 (HSI). Hasil penelitian menunjukn adanya interaksi pada pemberian pupuk daun Bayfolan 40 ml / liter dengan media tanam pada waktu muncul jamur pertama kali (HSI) jumlah jamur pada saat mucul pertama waktu panen pertama (HSI) berat basah jamur (gram). Berdasarkan hasil analisis ragam parameter yang ada interaksi yang berbeda nyata dimana data F hitung lebih besar dari data F tabel 5 % meliputi panjang misilium , panjang misilium (cm), waktu muncul jamur pertama kali (HSI), jumlah jamur pada saat mucul pertama, waktu panen pertama (HSI) berat basah jamur (gram). Hipotesis atau dugaan sementara yang terbukti dalam penelitian ini adalah H 1 atau antara media tanam dengan konsentrasi pupuk daun Bayfolan terdapat interaksi yang nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan M1B4 atau media cocopeat dengan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air merupakan kombinasi terbaik untuk peubah panjang misilium 7 hari mencapai 5,95 cm, panjang misilium 14 hari mencapai 8,98 cm, panjang misilium 21 hari mencapai 15,83 cm, panjang misilium 28 hari mencapai 30,64 cm. Waktu muncul jamur pertama kali mencapai 33 hari setelah inokulasi, jumlah jamur pada saat mucul pertama mencapai 8, waktu panen pertama mencapai 36 hari setelah inokulasi, bobot basah jamur 56,2 gram. kata kunci : jamur kuping, pupuk daun, bayfolan
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /75
PLANT AGRONOMY
I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang. Perkembangan budidaya jamur kuping di Indonesia semakin pesat, sehingga saat ini budidaya jamur kuping sangat merebak di berbagai daerah. Permintaan pasar yang tinggi dan besarnya manfaat jamur kuping maka perlu adanya peningkatan dalam produktivitas jamur kuping. Jamur kuping merupakan tanaman yang dapat hidup dimana saja, mulai dari kawasan hutan, pantai sampai dengan pegunungan tinggi dengan persyaratan tempat yang cukup lembab. Untuk meningkatkan hasil produksi jamur kuping ini adalah dengan pemberian unsur-unsur hara seperti pemberian konsentrasi pupuk daun merk Bayfolan. Kandungan pupuk daun Bayfolan dapat mempengaruhi membran sel yang dapat merangsang pertumbuhan sel dan sintesis protein sampai terjadinya proses pembelahan dan pemanjangan sel terutama pada bagian tanaman yang sedang berkembang seperti jaringan meristem. Jamur kuping digolongkan pada kelompok cendawan sejati. Menurut Darnetty (2006), jamur merupakan organisme yang tidak mempunyai klorofil, sehingga dia tidak mempunyai kemampuan untuk memproduksi makanan sendiri atau dengan kata lain jamur tidak bisa memanfaatkan karbondioksida sebagai sumber karbonnya. Jamur kuping hidup dan memperoleh makanan dari bahan organic mati seperti sisa- sisa hewan dan tumbuhan, sehingga dinamakan jamur saprofit. Sumber makanan jamur berupa unsur-unsur hara diantaranya C, N, P, K dan Ca, yang dapat diperoleh pupuk dan bekatul. Jamur mencerna dan menyerap makanan di luar tubuh. Budidaya jamur ini pada umumnya menggunakan media serbuk gergaji kayu. Jamur kuping dapat menyerap dan memanfaatkan kandungan hara yang terdapat pada serbuk gergaji untuk tumbuh dan
berkenbabg. Cocopeat merupakan bahan organik alternatif yang dapat digunakan sebagai media tanam. Cocopeat digunakan sebagai media tanam karena karakteristiknya yang mampu mengikat dan menyimpan air dengan kuat, sesuai untuk daerah panas. 1.2 Tujuan. Tujuan penelitian ini antara lain: 1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian konsentrasi pupuk daun Bayfolan terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jamur kuping. 2. Untuk mengetahui pengaruh jenis media tanam yang tepat terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jamur kuping. 3. Untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk daun Bayfolan dan jenis media tanam yang tepat terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jamur kuping. II. Tinjauan Pustaka 2.1 Botani Jamur kuping (Auricularia politricha) merupakan salah satu kelompok jelly fungi yang masuk ke dalam kelas Basidiomycota dan mempunyai tekstur jelly yang unik. Fungi yang masuk ke dalam kelas ini umumnya mudah dilihat dengan mata telanjang. Misiliumnya bersekat dan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu misilium primer yang sel-selnya berinti satu, umumnya berasal dari perkembangan basidiospora dan misilium sekunder yang sel penyusunnya berinti dua, misilium ini merupakan hasil konjugasi dua misilium primer atau persatuan dua basidiospora. Jamur ini disebut jamur kuping karena bentuk tubuh buahnya melebar seperti daun telinga manusia atau kuping. Karakteristik dari jamur kuping ini adalah memiliki tubuh buah yang kenyal jika dalam keadaan segar (Agus, 2002). Ada tiga jenis jamur kuping yang sering di jumpai yaitu jamur kuping putih yaitu tubuh buahnya seperti rumbai-rumbai tidak beraturan, berwarna putih dan sangat GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /76
PLANT AGRONOMY
bening seperti agar-agar. Jamur kuping hitam yaitu tubuh buahnya berwarna coklat tua setengah bening, berbentuk mangkuk menyerupai daun telinga manusia. Tubuh buah menempel di atas batang kayu yang sudah membusuk di tempat basah dan lembab. Jamur yang sudah di masak mempunyai tekstur garing sewaktu memakan tulang muda dan tidak memilki rasa. Jamur kuping merah yaitu tubuh buah berwarna coklat tua kemerahan dan berbentuk mirip sekali dengan daun telinga manusia. Tubuh buah bertekstur kenyal dan dialam bebas tumbuh di batang pohon mati yang basah dan lembab. Siklus hidup pada jamur kuping hampir serupa dengan siklus hidup pada jamur tiram dan shitake yaitu tubuh buah yang sudah tua akan menghasilkan spora yang berbentuk kecil, ringan dan jumlahnya banyak. Pada kondisi dan tempat yang sesuai dengan persyaratan hidup spora seperti di kayu mati atau bahan yang mengandung selulosa dan dalam kondisi yang lembap maka spora tersebut akan berkecambah dan membentuk misilium melalui beberapa fase. Pada fase pertama, misilium primer yang tumbuh akan terus menjadi banyak dan berkembang menjadi misilium sekunder yang membentuk primordial atau penebalan misilium pada bagian permukaan misilium sekunder dengan diameter sekitar 0.1 cm. Primordial akan tumbuh dan terbentuk kuncup tubuh buah yang semakin lama akan semakin membesar kurang lebih 3-5 hari (Roger, 2006). 2.2 Reproduksi Jamur Kuping. Jamur sebagai tanaman memiliki inti, berspora dan merupakan sel- sel lepas atau bersambungan membentuk benang yang bersekat atau tidak bersekat yang disebut hifa atau helai benang. Hifa jamur terdiri atas selsel yang berinti satu. Misilium jamur bercabangcabang dan pada titik pertemuannya membentuk bintik kecil yang disebut sporangium yang akan tumbuh menjadi pinhead atau tunas jamur dan ahirnya
berkembang menjadi jamur. Pada awal perkembangan misilium, jamur melakukan penetrasi dengan melubangi dinding sel kayu. Proses penetrasi atau pemboran dinding sel kayu dibantu oleh enzim pemecah selulosa, hemisellulosa dan lignin yang disekresi oleh jamur melalui ujung benang- benang misilium. Enzim mencerna senyawa kayu yang dilubangi sekaligus memanfaatkannya sebagai sumber makanan jamur (Phillips, 2006). Ciri-ciri misilium dibagi menjadi 3 macam, yaitu (1) misilium primer, yang dihasilkan oleh basidiospora yang jatuh ditempat yang sesuai dan berhasil berkecambah menjadi misilium (2) Misilium sekunder, terjadi sebagai hasil plasmogami antara dua hifa. Misilium sekunder berkembang biak dimana tiap inti membelah diri, dan belahan tersebut berkumpul lagi dalam sel baru, sehingga misilium skunder selalu berinti dua (3) Misilium tersier, terdiri dari misilium sekunder yang terhimpun menjadi jaringan teratur yang kemudian membentu basidiokarp (Dwijoseputro, 1988). Jamur kuping dapat berkembang biak secara vegatatif yaitu dengan menghasilkan spora. Jamur berbeda-beda ukurannya dan biasanya satu sel, tetapi adapula yang multiseluler, adapun kondisi habitat jamur memperbanyak diri dengan memproduksi dalam jumlah yang besar. Spora dapat terbawa oleh air atau angin bila mendapatkan tempat yang cocok maka spora akan berkembang dan tumbuh menjadi dewasa. Generatif yaitu dengan melalui sel struktur organ yang membentuk gamet di dalamnya (Agus, 2002). Nukleus jamur mempunyai selubung nukleus dan memiliki anak inti. Pada hifa yang telah tua terdapat fakuola yang bermembran. Sel jamur terdapat mitokondria, ribosom plasmalema, lomasoma, diktiosoma, dan retikulum endoplasma. Siregar (2001) menyatakan berdasarkan fase perkembangannya, dikenal tiga macam misilium, yaitu misilium primer, skunder, dan GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /77
PLANT AGRONOMY
tersier. Basidiospora yang jatuh pada media yang menguntungkan akan segera berkecambah dan tumbuh membentuk misilium primer. Pada awalnya, misilium ini berinti banyak kemudian berbentuk bersekat sehingga menghasilkan misilium berinti satu yang haploid. Fase ini merupakan pertunasan dan fragmentasi hifa yang disebut pembiakan vegetatif. Fase fegetatif berahir saat misilium primer mengadakan plasmogami antara dua hifa yang dan membentuk misilium skunder berinti dua.
Gambar 2. Pembetukan Misilium Dikariotik (Kurniawati. 1995). Kandungan Protein dan Pertumbuhan Jamur Tiram Putih [Pleurotus ostreatus (Jacq. ex. Fr) Kummer]. Pada Medium dengan Pemberian Pupuk Urea. [Skripsi].Yogyakarta: Fak. Biologi UGM.
Gambar 3. Fase Perkembangan Misilium Jamur (Marlina dan Siregar,2001).
Gambar 1. Struktur Sel Hifa Jamur (Gunawan, 2000). Miselium sekunder berkembang secara khusus. Setiap inti membelah diri dan masingmasing belahan berkumpul lagi tanpa melakukan penyatuan inti atau karyogami dalam sel baru sehingga misilium skunder selalu berinti dua. Fase berkembangan selanjutnya, misilium sekunder akan terhimpun menjadi jaringan teratur dan membentuk tubuh buah (basidiokarp) yang menghasilkan basidiospora. Fase ini disebut pembiakan generatif atau fase reproduktif.
2.3 Pengaruh Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Jamur Kuping. Kehidupan dan perkembangannya jamur kuping memerlukan sumber nutrisi dalam bentuk unsur hara, seperti nitrogen, fosfor, belerang, kalium, karbon serta beberapa unsur lainnya. Pada jaringan kayu unsur-unsur ini sudah tersedia walaupun tidak sebanyak yang dibutuhkan. Penambahan unsur-unsur tersebut dari luar diperlukan dalam bentuk pupuk yang dicampurkan pada substrat penanaman (Maryati, 2009). Bahan baku untuk pembuatan media tumbuh jamur harus mengandung cukup karbohidrat sebagai sumber karbon. Telah dibuktikan bahwa limbah yang mengandung selulosa dan lignin dapat digunakan juga sebagai media tumbuh jamur seperti jerami, daun pisang, ampas tebu, tongkol jagung, sekam padi, bekatul, kapas, kulit kacang tanah dan serbuk gergaji (Regina, 1992). Serbuk gergaji merupakan limbah yang berasal dari penggergajian kayu dan tersedia cukup melimpah dengan kandungan selulosa tinggi dan serbuk gergaji dapat digunakan sebagai medium tumbuh jamur. GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /78
PLANT AGRONOMY
Tabel 1. Komposisi Kimia Kayu Sengon Komponen penyusun
kimia
unsur
Selulosa Pentosa Lignin Abu
% 48,3 16,3 27,3 3,4
Sumber: Adiyuwono, (2001). Cocopeat juga dapat dijadikan media tanam jamur kuping. Cocopeat adalah sabut kelapa yang diolah menjadi butiran-butiran gabus sabut kelapa dan bersifat menahan kandungan air dan unsur kimia pupuk serta dapat menetralkan keasaman tanah. Cocopeat dapat digunakan sebagai media yang baik untuk pertumbuhan tanaman hortikultura dan media tanaman rumah kaca (http://www.thefreedictionary.com). Cocopeat merupakan bahan organik alternatif yang dapat digunakan sebagai media tanam. Cocopeat digunakan sebagai media tanam karena karakteristiknya yang mampu mengikat dan menyimpan air dengan kuat, sesuai untuk daerah panas. Kandungan hara cocopeat rendah maka dalam penggunaannya perlu ditambahi pupuk, selain itu terdapat kandungan tanin dan fenol yang mungkin akan menghambat pertumbuhan. Kandungan zat tersebut dapat dihilangkan dengan perlakuan suhu yaitu disteam, digongseng atau direbus. Cocopeat mempunyai daya menyimpan air sangat baik serta mengandung unsur-unsur yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Cocopeat merupakan sumber kalium yang diperlukan tanaman, selain juga merupakan sumber unsur N, P, Ca dan Mg meskipun dalam jumlah yang sangat kecil (http://blog.ub.ac.id). Media berkembangnya misilium jamur, bekatul mengandung vitamin B kompleks dan bahan organik yang dapat merangsang
pertumbuhan tubuh buah. Selain itu bekatul juga mengandung beberapa makro elemen penting seperti besi dan Magnesium. Penggunaan bekatul dalam jumlah yang terlalu banyak dapat menimbulkan kegagalan pertumbuhan misilium, karena media menjadi mudah terkontaminasi oleh mikroba. Tabel 2. Komposisi Yang Tedapat Dalam Bekatul. Jumlah Komposisi 7,7-20,6 % Abu 9,8-15,4% Protein 5-12,3% Selulosa 5,7-20,9 % Serat Kasar 34,2-46,1 % Nitrogen 8,7-11,14% Pentosa 7,7-11,4% Lemak 8,4-14,7% Kadar air 2,72-4,87 % P2O3 Sumber : Regina. 1992. Budidaya Jamur Kayu. Jakarta: Trubus no. 271. Juni TH.XX111 Kapur berguna sebagai sumber makro elemen Kalsium dan juga sebagai pengendali keasaman (pH) media. Kisaran pH optimum untuk jamur adalah 6-7 (Agus, 2002). Tabel 3. Komposisi Bahan Media Tanam Jamur Kuping Secara Umum. Bahan Komposisi Serbuk Gergaji 100 kg Bekatul 10 kg Kalsium ( CaCO3) 0,5 kg Air bersih 45-50 L Sumber : Agus et al,( 2004) 2.4 Peranan Pupuk Daun Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jamur Kuping. Nitrogen adalah komponen utama dari berbagai substansi penting didalam tanaman. Sekitar 40-50% kandungan protoplasma yang merupakan substansi hidup dari sel tumbuhan terdiri dari senyawa nitrogen. Senyawa GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /79
PLANT AGRONOMY
nitrogen digunakan oleh tanaman untuk membentuk asam amino yang akan diubah menjadi protein. Nitrogen juga dibutuhkan untuk membentuk senyawa penting seperti klorofil, asam nukleat dan enzim. Nitrogen dibutuhkan dalam jumlah yang relatif besar pada setiap tahap pertumbuhan tanaman, khususnya pada tahap pertumbuhan vegetatif, seperti pembentukan tunas atau perkembangan batang dan daun. Memasuki tahap pertumbuhan generatif, kebutuhan nitrogen mulai berkurang. Nitrogen yang berasal dari bahan organik dapat dimanfaatkan tanaman melalui tiga tahap reaksi yang melibatkan aktivitas mikroorganisme tanah. Tahap reaksi tersebut sebagai berikut Penguraian protein yang terdapat pada bahan organik menjadi asam amino. Tahap ini disebut aminisasi. Perubahan asam amino menjadi senyawa-senyawa amonia (NH3) dan amonium (NH4+). Tahap ini disebut reaksi amonifikasi. Perubahan senyawa-senyawa amonia menjadi nitrat yang disebabkan oleh bakteri Nitrosomonas dan Nitrosococcus. Tahap ini disebut nitrifikasi (Novizan, 2005). Unsur fosfor berperan menjaga keseimbangan dari efek pemberian nitrogen yang berlebihan, merangsang pembentukan jaringan, dan memperkuat dinding sel sehingga diyakini dapat membuat tanaman menjadi resisten fosfor dan kalium berfungsi untuk merangsang pembuahan (Parnata, 2004). Pupuk daun Bayfolan adalah mengandung unsur makro N 11 %, P 2O5 8%, K2O 6% dan unsur-unsur mikro besi, boron, kobalt, mangan, molibdenum, seng dan tembaga. Bayfolan berbentuk cairan dengan berat bersih 250 ml. Penggunaan konsentrasi Bayfolan 20-30 ml/liter air dapat memacu pertumbuhan tanaman. Fungsi unsur hara Nitrogen untuk memacu pertumbuhan jamur kuping, fungsi unsur hara Posfor untuk memperbanyak akar, daun, dan memperbanyak batang. Fungsi unsur hara Kalium untuk ketahanan kekeringan dan daya
tahan terhadap hama penyakit (Anonymus, 2012) 3 Metode Penelitian. Metode ini menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama 2 level perlakuan faktor kedua 5 level, ulangan 3 kali sehingga kombinasi perlakuan dalam penelitian ini ada 30 kombinasi. Faktor perlakuan pertama dan kedua dalam penelitian ini adalah : Faktor 1 : Media tanam (M) ada tiga level meliputi M1 : media cocopeat M2 : media serbuk gergaji kayu sengon Faktor 2 : Konsentrasi pemberian Bayfolan (B) ada empat level meliputi B0 : tanpa perlakuan Bayfolan B1 : konsentrasi pemberian Bayfolan 10 ml/liter air B2 : konsentrasi pemberian Bayfolan 20 ml/liter air B3 : konsentrasi pemberian Bayfolan 30 ml/liter air B4 : konsentrasi pemberian Bayfolan 40 ml/liter air 3.1. Peubah Penelitian. 3.1.1. Panjang Misilium (cm). Peubah panjang misilium diukur mulai dari titik tumbuh sampai ujung media tanam. Pengukuran dilakukan dengan alat pengaris setiap tujuh hari sekali. Dimulai dari satu hari setelah inokulasi sampai misilium mencapai penuh pada media tanam satuan panjang misilium adalah centimeter (Cahyana, 2004). 3.1.2. Waktu Muncul Jamur Pertama Kali (HSI). Peubah waktu muncul jamur pertama kali dilakukan dengan mencatat hari pertama saat munculnya badan buah jamur. Satuan GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /80
PLANT AGRONOMY
parameter ini adalah hari setelah inokulasi (Cahyana, 2004). 3.1.3. Jumlah Jamur Pada Saat Mucul Pertama. Peubah jumlah jamur pada saat muncul pertama di hitung dari masing-masing perlakuan (Cahyana, 2004). 3.1.4. Waktu Panen Pertama (HSI). Peubah waktu panen pertama dihitung sejak proses inokulasi hingga jamur siap di panen. Jamur yang telah siap dipanen memiliki ciri badan buah yang bagian tepi telah menipis dan memiliki ukuran yang optimal, pada umumnya panen dilakukan dua sampai tiga hari setelah munculnya jamur (Cahyana, 2004). 3.1.5. Bobot Basah Jamur (gram). Peubah berat basah jamur dilakukan dengan cara menimbang jamur yang didapat dari pemanenan, ditimbang dari masingmasing perlakuan. Dilakukan 1 x periode tanam. Jamur yang telah dipanen dibersihkan dari kotoran yang masih menempel kemudian ditimbang untuk mengetahui berat segar total (Cahyana, 2004). 3.1.6.
Analisis Data. Analisis data rata-rata dengan menggunakan analisa sidik ragam dengan taraf 5 %. F hitung nyata maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil 5%. 4. Hasil Penelitian. 4.1. Panjang Misilium (cm). Berdasarkan data analisis ragam maka faktor media tanam terdapat interaksi yang nyata dengan faktor konsentrasi pupuk daun Bayfolan yang ditandai dengan F hitung interaksi lebih besar dari F table (Lampiran 1). Hasil analisa uji beda nyata terkecil kombinasi perlakuan antara media tanam dengan konsentrasi pupuk daun Bayfolan pada pengamatan parameter panjang misilium (cm)
umur tujuh hari setelah tanam (HSI) yang terbaik untuk umur tujuh hari setelah tanam adalah M1B4 merupakan kombinasi antara faktor media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air (Tabel 4). Berdasarkan data analisis ragam maka faktor media tanam terdapat interaksi yang nyata dengan faktor konsentrasi pupuk daun Bayfolan yang ditandai dengan F hitung interaksi lebih besar dari F table (Lampiran 2). Parameter panjang misilium (cm) yang terbaik untuk umur empat belas hari setelah tanam adalah M1B4 merupakan kombinasi antara faktor media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air (Tabel 4). Berdasarkan data analisis ragam maka faktor media tanam terdapat interaksi yang nyata dengan faktor konsentrasi pupuk daun Bayfolan yang ditandai dengan F hitung interaksi lebih besar dari F table (Lampiran 3). Parameter panjang misilium (cm) yang terbaik untuk umur dua puluh satu hari setelah tanam adalah M1B4 merupakan kombinasi antara faktor media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air (Tabel 4). Berdasarkan data analisis ragam maka faktor media tanam terdapat interaksi yang nyata dengan faktor konsentrasi pupuk daun Bayfolan yang ditandai dengan F hitung interaksi lebih besar dari F table (Lampiran 4). Parameter panjang misilium (cm) yang terbaik untuk umur dua puluh delapan hari setelah tanam adalah M1B4 merupakan kombinasi antara faktor media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air (Tabel 4). Tabel 4.
Pengaruh Pemberian Konsentrasi Pupuk Daun Bayfolan Dan Jenis Media Tanam Terhadap Panjang Misilium Umur 7, 14, 21, Dan 28 (HSI).
Perlakuan
7 HIS
14 HIS
21 HIS
28 HIS
M1B0
2,68 a
4,99 a
10,84 a
21,61 a
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /81
PLANT AGRONOMY
M1B1
2,45 5,97 11,27 22,68 a b a a M1B2 3,82 6,94 12,83 25,73 a b a a M1B3 3,62 7,95 13,76 23,62 a b a a M1B4 5,95 8,98 15,83 30,64 b c d c M2B0 3,96 4,95 10,66 21,53 a a a a M2B1 3,73 4,81 11,73 21,67 a a a a M2B2 3,72 5,90 11,90 24,79 a b a a M2B3 4,68 6,87 12,18 23,76 a b a a M2B4 4,76 7,73 14,41 27,77 a b c b BNT 5 % 1,11 0,33 0,42 1,22 Keterangan : Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 % Hari Setelah Inokulasi (HSI). 4.2. Waktu Muncul Jamur Pertama (HSI). Berdasarkan data analisis ragam maka faktor media tanam terdapat interaksi yang nyata dengan faktor konsentrasi pupuk daun Bayfolan yang ditandai dengan F hitung interaksi lebih besar dari F tabel (Lampiran 5). Hasil analisa uji beda nyata terkecil kombinasi perlakuan antara media tanam dengan konsentrasi pupuk daun Bayfolan pada pengamatan parameter waktu muncul jamur pertama yang terbaik adalah M 1B4 merupakan kombinasi antara faktor media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air (Tabel 5). Tabel 5. Pengaruh Pemberian Konsentrasi Pupuk Daun Bayfolan Dan Jenis Media Tanam Terhadap Waktu Muncul Jamur Pertama (HSI).
Perlakuan
Hari
Notasi
M1B0 34 a M1B1 36 a M1B2 36 a M1B3 36 a M1B4 33 b M2B0 34 a M2B1 40 a M2B2 35 a M2B3 36 a M2B4 37 a BNT 5% 2,31 Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 % Hari Setelah Inokulasi (HSI). 4.3. Jumlah Jamur Pada Saat Mucul Pertama. Berdasarkan data analisis ragam maka faktor media tanam terdapat interaksi yang nyata dengan faktor konsentrasi pupuk daun Bayfolan yang ditandai dengan F hitung interaksi lebih besar dari F tabel (Lampiran 6). Hasil analisa uji beda nyata terkecil kombinasi perlakuan antara media tanam dengan konsentrasi pupuk daun Bayfolan pada pengamatan parameter jumlah jamur pada saat muncul pertama yang terbaik adalah M 1B4 merupakan kombinasi antara faktor media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air (Tabel 6). Tabel 6. Pengaruh Pemberian Konsentrasi Pupuk Daun Bayfolan Dan Jenis Media Tanam Terhadap Jumlah Jamur Pada Saat Mucul Pertama. Perlakuan
Rerata
Notasi
M1B0 M1B1 M1B2 M1B3 M1B4
4,0 6,0 6,0 5,7 8,0
a a a a b
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /82
PLANT AGRONOMY
M2B0 4,0 a M2B1 6,0 a M2B2 6,0 a M2B3 5,0 a M2B4 5,0 a BNT 5% 1,3 Keterangan : Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 % Hari Setelah Inokulasi (HSI). 4.4. Waktu Panen Pertama (HSI). Berdasarkan data analisis ragam maka faktor media tanam terdapat interaksi yang nyata dengan faktor konsentrasi pupuk daun Bayfolan yang ditandai dengan F hitung interaksi lebih besar dari F tabel (Lampiran 7). Hasil analisa uji beda nyata terkecil kombinasi perlakuan antara media tanam dengan konsentrasi pupuk daun Bayfolan pada pengamatan parameter waktu panen pertama yang terbaik adalah M1B4 merupakan kombinasi antara faktor media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml / liter air (Tabel 7). Tabel 7. Pengaruh Pemberian Konsentrasi Pupuk Daun Bayfolan Dan Jenis Media Tanam Terhadap Waktu Panen Pertama (HIS) Perlakuan
Hari
Notasi
M1B0 M1B1 M1B2 M1B3 M1B4 M2B0 M2B1 M2B2 M2B3 M2B4 BNT 5%
37,0 37,0 37,0 38,0 36,0 38,0 37,0 38,0 38,0 37,0 0,5
B B B B A B B B b b
Keterangan : Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidakberbeda nyata pada uji BNT 5 % Hari Setelah Inokulasi (HSI). 4.5.
Berat Basah Jamur (gram). Berdasarkan data analisis ragam maka faktor media tanam terdapat interaksi yang nyata dengan faktor konsentrasi pupuk daun Bayfolan yang ditandai dengan F hitung interaksi lebih besar dari F tabel (Lampiran 6). Hasil analisa uji beda nyata terkecil kombinasi perlakuan antara media tanam dengan konsentrasi pupuk daun Bayfolan pada pengamatan parameter berat basah jamur yang terbaik adalah M1B4 merupakan kombinasi antara faktor media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air (Tabel 8) . Tabel 8.Pengaruh Pemberian Konsentrasi Pupuk Daun Bayfolan Dan Jenis Media Tanam Terhadap Berat Basah Jamur (gram). Perlakuan
Rerata
Notasi
M1B0 45,7 A M1B1 49,9 A M1B2 46,7 A M1B3 49,6 A M1B4 56,2 B M2B0 45,8 A M2B1 46,9 A M2B2 48,9 a M2B3 45,9 a M2B4 46,7 a BNT 5% 4,7 Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 % Hari Setelah Inokulasi (HSI). 5. Pembahasan. 5.1. Panjang Misilium (cm). Berdasarkan hasil penelitian dimana parameter panjang misilium pada tanaman GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /83
PLANT AGRONOMY
jamur kuping, kombinasi perlakuan yang terbaik untuk parameter panjang misilium umur tujuh hari setelah inokulasi (centimeter) adalah M1B4 merupakan kombinasi perlakuan antara media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml / liter air, mencapai panjang misilium 5,95 cm sedangkan kombinasi perlakuan yang terendah adalah M1B1 merupakan kombinasi perlakuan antara media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 10 ml / liter air (Gambar 7). Gambar 8. Grafik parameter panjang misilium 14 (HSI) pada berbagai kombinasi perlakuan.
Gambar 7. Grafik parameter panjang misilium 7 HSI pada berbagai kombinasi perlakuan. Berdasarkan hasil penelitian dimana parameter panjang misilium pada tanaman jamur kuping, kombinasi perlakuan yang terbaik untuk parameter panjang misilium umur empat belas hari setelah inokulasi (centimeter) adalah M1B4 merupakan kombinasi perlakuan antara media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air, mencapai panjang misilium 5,95 cm sedangkan kombinasi perlakuan yang terendah adalah M2B0 merupakan kombinasi perlakuan antara media serbuk gergaji kayu sengon dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 0 ml/liter air (Gambar 8).
Berdasarkan hasil penelitian dimana parameter panjang misilium pada tanaman jamur kuping, kombinasi perlakuan yang terbaik untuk parameter panjang misilium umur dua puluh satu hari setelah inokulasi (centimeter) adalah M1B4 merupakan kombinasi perlakuan antara media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air, mencapai panjang misilium 5,95 cm sedangkan kombinasi perlakuan yang terendah adalah M1B0 merupakan kombinasi perlakuan antara media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 0 ml / liter air (Gambar 9).
Gambar 9. Grafik parameter panjang misilium 21 HSI pada berbagai kombinasi perlakuan. Berdasarkan hasil penelitian dimana parameter panjang misilium pada tanaman GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /84
PLANT AGRONOMY
jamur kuping, kombinasi perlakuan yang terbaik untuk parameter panjang misilium umur dua puluh delapan hari setelah inokulasi (centimeter) adalah M1B4 merupakan kombinasi perlakuan antara media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air, mencapai panjang misilium 5,95 cm sedangkan kombinasi perlakuan yang terendah adalah M2B0 merupakan kombinasi perlakuan antara media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 0 ml / liter air (Gambar 10).
pupuk daun Bayfolan sangat tinggi mencapai 11 %. Peranan unsur hara makro nitrogen (N) di dalam panjang misilium sangat berpengaruh sekali karena nitrogen merupakan unsur utama atau pokok dalam pembentukan sel-sel baru sehingga meningkatkan pertumbuhan awal misilium (Albertus, 2009). Ervina (2004) mejelaskan bahwa adanya nitrogen dalam kadar yang tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan misilium yang lebih tebal dan kompak. 5.2.
Gambar 10. Grafik parameter panjang misilium 28 (HSI) pada berbagai kombinasi perlakuan. Media tanam yang terbaik untuk parameter panjang misilium untuk umur 7, 14, 21, dan 28 hari setelah inokulasi adalah cocopeat (M1) karena tektur cocopeat lebih mudah busuk sehingga lebih mudah untuk di fermentasi oleh bakteri didalam serabut cocopeat. Hasil daripada proses fermentasi atau dekomposer akan menghasilkan bahanbahan organik yang di produksi secara alamiah sangat membantu pertumbuhan misilium jamur kuping (Regina, 1992). Konsentrasi pupuk daun Bayfolan yang terbaik untuk parameter panjang misilium pada umur 7, 14, 21, dan 28 hari setelah inokulasi adalah (B4) atau konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air. Karena kandungan unsur hara nitrogen (N) dalam
Waktu Muncul Jamur Pertama Kali (HSI). Berdasarkan hasil penelitian dimana parameter waktu muncul jamur pertama kali pada tanaman jamur kuping, kombinasi perlakuan yang terbaik untuk parameter waktu muncul jamur pertama kali hari setelah inokulasi adalah M1B4 merupakan kombinasi perlakuan antara media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air, mencapai panjang misilium 5,95 cm sedangkan kombinasi perlakuan yang terendah adalah M2B1 merupakan kombinasi perlakuan antara media serbuk gargaji kayu sengon dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 10 ml/liter air (Gambar 11).
Gambar 11. Grafik parameter waktu muncul jamur pertama kali (HSI) pada berbagai kombinasi perlakuan.
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /85
PLANT AGRONOMY
Media tanam yang terbaik untuk parameter waktu muncul jamur pertama kali (HSI) adalah cocopeat (M1) karena cocopeat mengandung serat-serat yang sangat halus sehingga mudah dan banyak menyerap air. Air yang ada di dalam media cocopeat dapat membantu proses pembentukan sel-sel baru sehingga mempercepat munculnya jamur (Winarni, 1995). Konsentrasi pupuk daun Bayfolan yang terbaik untuk parameter waktu muncul jamur pertama kali (HSI) adalah (B4) atau konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air. Karena kandungan unsur hara Phospor dalam pupuk daun Bayfolan sangat tinggi mencapai 8 %. Peranan unsur hara makro Phospor di dalam parameter waktu muncul jamur pertama kali (HSI) sangat berpengaruh karena Pospor merupakan unsur utama dalam pembentukan protein yang akan mengalami proses pembongkaran sehingga menghasilkan energi metabolisme. Energi metabolisme ini sangat beperan sekali dalam munculnya jamur (Kurniawati, 1995). Dwijoseputro (1988) menambahkan bahwa penambahan phospor pada awal pertumbuhan misilium akan menjamin pembentukan primordial jamur. 5.3.
Jumlah Jamur Pada Saat Mucul Pertama. Berdasarkan hasil penelitian dimana parameter jumlah jamur pada saat muncul pertama pada tanaman jamur kuping, kombinasi perlakuan yang terbaik untuk parameter jumlah jamur pada saat muncul pertama (hari setelah inokulasi) adalah M 1B4 merupakan kombinasi perlakuan antara media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air, mencapai panjang misilium 5,95 cm sedangkan kombinasi perlakuan yang terendah adalah M2B0 merupakan kombinasi perlakuan antara media serbuk gergaji kayu sengon dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 0 ml/liter air (Gambar 12).
Gambar 12. Grafik parameter jumlah jamur pada saat muncul pertama (HSI) pada berbagai kombinasi perlakuan. Media tanam yang terbaik untuk parameter waktu muncul jamur pertama kali (HSI) adalah cocopeat M1 karena cocopeat terbuat dari bahan organik yang mudah untuk pertumbuhan bakteri yang berfungsi untuk mempercepat pergantian sel-sel yang sudah rusak menjadi sel-sel baru yang lebih baik dan lebih cepat untuk membantu pertumbuhan jamur partama kali (Cahyana, 2004). Konsentrasi pupuk daun Bayfolan yang terbaik untuk parameter waktu muncul jamur pertama kali (HSI) adalah B4 atau konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air. Kandungan unsur hara Kalium dalam pupuk daun Bayfolan sangat tinggi mencapai 6 %. Peranan unsur hara makro kalium di dalam parameter waktu muncul jamur pertama kali (HSI) sangat berpengaruh karena Kalium merupakan unsur utama dalam ketahanan metabolisme jamur terhadap serangan hama dan penyakit sehingga jamur yang tumbuh aman dari serangan hama dan penyakit sehngga pertumbuhan jamur lebih cepat dan jamur yang dihasilkan lebih sempurna (Winarni, 1995). Salisbury (1995) menjelasakan bahwa bila tanaman kekurangan kalium maka banyak proses yang tidak berjalan dengan baik, misalnya terjadinya kumulasi karbohidrat, menurunnya kadar pati dan akumulasi kadar nitrogen dalam tanaman. 5.4.
Waktu Panen Pertama (HSI). Berdasarkan hasil penelitian dimana parameter waktu panen pertama pada tanaman GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /86
PLANT AGRONOMY
jamur kuping, kombinasi perlakuan yang terbaik untuk parameter waktu panen pertama (hari setelah inokulasi) adalah M 1B4 merupakan kombinasi perlakuan antara media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml /liter air, mencapai panjang misilium 36 (HSI) sedangkan kombinasi perlakuan yang terendah adalah M1B3 merupakan kombinasi perlakuan antara media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 30 ml/liter air, M2B0 merupakan kombinasi perlakuan antara media serbuk gergaji kayu sengon dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 0 ml/liter air, M2B2 merupakan kombinasi perlakuan antara media serbuk gergaji kayu sengon dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 20 ml/liter air, dan M 2B3 merupakan kombinasi perlakuan antara media serbuk gergaji kayu sengon dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 30 ml/liter air (Gambar 13).
kondusif, karena kandungan air dan bahanbahan organik sangat mencukupi untuk menunjang pertumbuhan awal jamur. Peranan bahan organik di dalam media cocopeat tidak sebatas pada itu saja tetapi juga berperan aktif dalam mempercepat waktu panen pertama karena pertumbuhan jamur sangat sempurna (Abidin, 1993). Konsentrasi pupuk daun Bayfolan yang terbaik untuk parameter waktu muncul jamur pertama kali (HSI) adalah B4 atau konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air. Kandungan unsur hara Besi dalam pupuk daun Bayfolan sangat tinggi mencapai 1 %. Peranan unsur hara mikro Besi di dalam parameter waktu muncul jamur pertama kali (HSI) sangat berpengaruh karena Besi berperan aktif dalam pembentukan sel-sel baru didalam dan menggantikan sel-sel lama didalam tubuh jamur. Peranan unsur hara mikro fosfor juga berfungsi dalam pembentukan jaringan-jaringan baru serta organ-organ baru yang mampu menghasilkan jamur yang lebih sempurna dan baik kualitasnya (Darma, 2002). 5.5.
Gambar 13. Grafik parameter waktu panen pertama (HSI) pada berbagai kombinasi perlakuan. Media tanam yang terbaik untuk parameter waktu muncul jamur pertama kali (HSI) adalah cocopeat M1 karena cocopeat adalah media yang sangat bagus dan sangat lunak sehingga pertumbuhan misilium sangat
Berat Basah Jamur (gram). Berdasarkan hasil penelitian dimana parameter berat basah jamur pada tanaman jamur kuping, kombinasi perlakuan yang terbaik untuk parameter waktu panen pertama (hari setelah inokulasi) adalah M 1B4 merupakan kombinasi perlakuan antara media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air, mencapai panjang 56,2 gram sedangkan kombinasi perlakuan yang terendah adalah M1B0 merupakan kombinasi perlakuan antara media cocopeat dan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 0 ml/liter air (Gambar 14).
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /87
PLANT AGRONOMY
unsur hara mikro Kalsium sangat berpengaruh karena Kalsium berperan aktif dalam metabolisme dan enzimatis. Sehingga ATP yang di hasilkan cukup besar untuk peningkatan hasil (Suriawiria, 2000)
Gambar 14. Grafik parameter berat basah jamur (gram) pada berbagai kombinasi perlakuan. Media tanam yang terbaik untuk parameter berat basah jamur (gram) adalah cocopeat M1 karena cocopeat adalah bahan alami yang bisa menyimpan mikroba-mikroba sekaligus tempat perkembang biakan yang sangat baik, akirnya proses penguraian bahanbahan organik dapat berjalan secara optimal dan energi metabilisme yang di hasilkan sangat besar sekali dan dapat membantu meningkatkan berat basah jamur kuping (Rudiyati, 1991). Selain itu diduga bahwa jamur mempunyai cadangan energi yang cukup untuk menghasilkan berat segar yang optimal karena unsur yang terdapat dalam media dapat terdekomposisi secara merata pada waktu pembentukan badan buahsehingga dapat dimanfaatkan oleh jamur. Pada awalnya misillium menyerap nutrisi yang ada kemudian merombak nutrisi lain untuk produksinya. Suriawiria (2002) menambahkan bahwa nutrisi yang tersedia dalam media tanam yang mampu diserap oleh jamur akan mampu meningkatkan berat basah dari jamur. Konsentrasi pupuk daun Bayfolan yang terbaik untuk parameter berat basah jamur (gram) adalah B4 atau konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air. Karena kandungan unsur hara Kalsium dalam pupuk daun Bayfolan sangat tinggi mencapai 1 %. Peranan
6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan. Penelitian ini dapat di ambil kesimpulan antara lain 1. Berdasarkan hasil analisis ragam parameter yang ada interaksi yang berbeda nyata dimana data F hitung lebih besar dari data F tabel 5 % meliputi panjang misilium , panjang misilium (cm), waktu muncul jamur pertama kali (HSI), jumlah jamur pada saat mucul pertama, waktu panen pertama (HSI) berat basah jamur (gram). 2. Hipotesa atau dugaan sementara yang terbukti dalam penelitian ini adalah H 1 atau antara media tanam dengan konsentrasi pupuk daun Bayfolan terdapat interaksi yang nyata. 3. Kombinasi perlakuan M1B4 atau media kokopiet dengan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air merupakan kombinasi terbaik untuk parameter yang terbaik panjang misilium 7 hari mencapai 5,95 cm, panjang misilium 14 hari mencapai 8,98 cm, panjang misilium 21 hari mencapai 15,83 cm, panjang misilium 28 hari mencapai 30,64 cm. Waktu muncul jamur pertama kali mencapai 33 hari setelah inokulasi, Jumlah Jamur pada saat mucul pertama mencapai 8, waktu panen pertama mencapai 36 hari setelah inokulasi, berat basah jamur 56,2 gram. 6.2.
Saran. Saya sebagai penulis dalam penelitian ini menyarankan untuk para pembaca untuk penelitian lebih lanjut antara lain 1. Media tanam yang bisa di lakukan penelitian lebih lanjut adalah media sekam padi, media jerami dan media sekam padi dan jerami. GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /88
PLANT AGRONOMY
2.
Disarankan untuk mengadakan penelitian DAFTAR PUSTAKA
Abidin , Z. 1993. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung : Angkasa. 37-54. Adiyuwono. 2001. Mengenal kayu untuk Media Jamur. Trubus XXXI (362). Agus. 2002. Budidaya Jamur Konsumsi. Jakarta : Agromedia Pustaka. Hal : 74 Agus, G.T.K., Agus, K.A., Dianawati, A., Dipi, U.T., Irawan, E.S., Miharja, K., Gusyadi, L., Luluk, A.M., Maman, N., Karno, P.S., Dachlan, P., Udin, S., Ujang, J.M., Yana, T., dan Sastro, Y. 2004. Budidaya Jamur Konsumsi. Agromedia Pustaka. Jakarta. Albertus. 2009. Cara Aplikasi Pupuk Daun Pada Tanaman Cabal Merah (Capsicum Annum L.) Teknisi Litkayasa Nonkelas pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Jalan Laksdya Leo Wattimena-Waiheru Kotak Pos 204 Passo, Ambon Anonymus, 2012. Brosur Pupuk Daun Bayfolan. Bayer Indonesia. Jakarta.` Cahyana. 2004. Jamur Tiram. Jakarta: Penebar Swadaya Darma. 2002. Diktat: Budidaya Jamur Pangan. Laboratorium Pathology Darnetty. 2006. Pengantar Mikologi. Padang: Andalas Universitas Press Dwijoseputro. 1988. Pengantar Mikologi II. Bandung : Alumni Ervina, DW. 2000. Pengaruh Bekatul Dan Ampas Tahu Pada Media serbuk Gergaji Kayu Jati Terhadap Pertumbuhan Jamur Tiram Merah. Fakultas Pertanian UMM Gunawan. 2000. Usaha Pembibitan Jamur. Penebar Swadaya. Bandung
lanjutan
untuk
konsentrasi
Kurniawati. 1995. Kandungan Protein dan Pertumbuhan JamurTiram Putih [Pleurotus ostreatus (Jacq. ex. Fr) Kummer] Pada Medium dengan Pemberian Pupuk Urea. [Skripsi].Yogyakarta: Fak. Biologi UGM. Novizan, 2005. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agromedia Pustaka. Jakarta. Maryati. 2009. Budidaya Jamur Kuping di Unit Pelaksana TeknisDaerah (UPTD) Balai Pengembangan dan Promosi Tanaman Pangan Hortikultura (BP2TPH) Ngipiksari, Sleman, Yogyakarta. Hal 53. Parnata. 2004. Pupuk Organik Cair: Aplikasi dan Manfaatnya. Agromedia Pustaka. Jakarta. Phillips. 2006. Mushrooms. Pub. McMilan. Hal. 317. Regina. 1992. Budidaya Jamur Kayu. Jakarta: Trubus no. 271. Juni TH.XX111 Rudiyati. 1991. Kandungan Mineral dan Protein JamurKuping (Auricularia auricularia Judae) Pada serbuk Gergaji Kayu Sengon (Albizia falfata Backer), Mahoni (Swieteniamacrophylla King) dan Jati (Tectona grandis L.f ). [Skripsi]. Yogyakarta: Fak. Biologi UGM. Roger. 2006. Mushrooms. Pub. McMilan. Hal. 317. Salisbury. 1995. Fisiologi Bandung. ITB
Tumbuhan:
Suriawiria. 2000. Sukses beragrobisnis jamur kayu shiitake, kuping dan tiram, Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta, hal 15-50. Suriawiria. 2002. Budidaya Jamur Tiram. Yogyakarta: Kanisius GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /89
PLANT AGRONOMY
Winarni. 1995. Optimasi Medium Serbuk Gergaji Kayu Sengon (Albizia falfata L) Untuk Pertumbuhan Jamur
Tiram Putih (Pleurotus ostreatus Jack. Ex Fr. Krummer). Skripsi. Yogyakarta: Fak. Biologi UGM.
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /90