EFEK PAPARAN INSEKTISIDA DELTAMETRIN PADA KERBAU TERHADAP ANGKA GIGITAN NYAMUK Anopheles vagus PADA MANUSIA
MUHAMMAD HASAN
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Efek Paparan Insektisida Deltametrin Pada Kerbau
Terhadap Angka Gigitan Nyamuk
Anopheles Vagus Pada Manusia adalah benar-benar karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Semua informasi yang berasal dari karya diterbitkan maupun yang belum diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
Bogor
Februari 2006
Muhammad Hasan B 451020031
3
ABSTRAK Telah dilaksanakan penelitian tentang efek paparan insektisida deltametrin pada kerbau terhadap angka gigitan nyamuk Anopheles vagus pada manusia di Cikarawang Bogor dari bulan September sampai November 2004. Metode yang digunakan adalah paparan insektisida deltametrin pada badan kerbau dengan cara pembaluran (sponging), serta penangkapan nyamuk dengan umpan orang luar (OUL) dan umpan orang dalam (UOD).Teknik tersebut dilakukan untuk mengetahui angka gig itan nyamuk (Man Biting Rate) Anopheles yang dijadikan indikator dalam mengetahui efek paparan insektisida pada tubuh kerbau tersebut. Sebelumnya dilakukan uji efikasi sebagai pendahuluan untuk mengetahui sampai berapa lama efek residu insektisida dapat bertahan pada tubuh kerbau.Diperoleh hasil delapan spesies nyamuk Anopheles yaitu A. vagus, A. indefinitus, A. aconitus, A. nigerimus, A. asnnularis, A. barbirostris, dan A. tesselatus. A. vagus merupakan spesies Anopheles yang dominan dengan hasil penangkapan sebanyak 743 ekor (84,82%) dari populasi keseluruhan. Efek residual deltametrin hanya bertahan kurang lebih tiga hari pada tingkat kematian 95%. Efek paparan deltametrin hanya dapat menurunkan MBR A. vagus, sedangkan pada jenis spesies Anopheles lainnya tidak menimbulkan efek penurunan MBR. Di masa depan perlu dilakukan riset yang sama dengan menggunakan insektisida sistemik pada kerbau dan hewan lainnya. Prioritas riset hendaknya ditujukan pada daerah endemis malaria atau daerah yang sering dilanda kejadian luar biasa malaria. Kata Kunci: angka gigitan nyamuk, kerbau, nyamuk, Anopheles vagus, deltametrin
4
ABSTRACT Study was carried out to observe the effect of deltamethrin insecticide application against the biting activity of Anopheles vagus, on human being at Cikarawang, Bogor, since September to November 2004. Insecticide (deltamethrin) was used as lotion and rubbed over the buffaloes body followed by observation the biting activity of mosquitoes (with emphasize on Anopheles mosquitoes group) indoor and outdoor as well. The efficacy of delthamethrin against the Anopheles mosquitoes was observed on the buffaloes prior of trials. Eigth species of Anopheles was collected namely, A. vagus, A. indefinitus, A.aconitus, A.nigerimus, A. annularis, A. barbirostris, dan A. tesselatus. A. vagus is dominant and collected for 743 (84,82 %) over the all collections. The protection period of deltamethrin on the body of buffaloes reached out of 95 % for only 3 days. The protection on the humans body was only observed for Anopheles vagus. Utilization of systemic insecticides on the buffaloes should be attempted to gain the optimal results, in protecting the mosquitoes biting activity. Key Words: man biting rate, Anopheles vagus, mosquitoes, deltamethrin, buffaloes
5
EFEK PAPARAN INSEKTISIDA DELTAMETRIN PADA KERBAU TERHADAP ANGKA GIGITAN NYAMUK Anopheles vagus PADA MANUSIA
MUHAMMAD HASAN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi Kesehatan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
6
Judul tesis Nama NRP
: Efek Paparan Insektisida Deltametrin Pada Kerbau Terhadap Angka Gigitan Nyamuk Anopheles vagus Pada Manusia : Muhammad Hasan : B451020031]
Disetujui Komisis Pembimbing
Dr. drh. F.X. Koesharto, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. drh. Singgih. H. Sigit, M.Sc Anggota
Dr. drh. Dwijayanti Gunandini, MS. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Entomologi Kesehatan
Dr. drh. F.X. Koesharto,M.Sc
Tanggal Ujian, 30 September 2005
Dekan
Sekolah Pasca Sarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Lulus,
7
PRAKATA Puji
syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Dalam menyelesaikan tesis ini , penulis tidak lepas dari dorongan, bantuan dan rasa bimbingan dari semua pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
kepada Bapak Dr. drh. F.X. Koesharto, M.Sc. selakuk ketua komisi
pembimbing, Bapak Prof.Dr. drh. Singgih H. Sigit M.Sc dan Ibu DR. drh. Dwijayanti Gunandini, M.S., selaku anggota komisi pembimbing. Terima kasih juga penulis haturkan kepada Bapak Yunus, S.si, Bapak Heri, Bapak Nanang, Bapak M. Topik, serta Ibu Juleha, Bc. Hk. yang telah banyak membantu kami selama berada di Laboratorium Entomologi FKH-IPB. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Ida Bagus Indra Gotama , SKM, Msi, Bapak DR. Drs. Amrul Munif M.S., Bapak Drs. Putut Joko Pitoyo, MSpH, Ibu Kepala Puslit Ekologi Balitbang Depkes RI.Bapak Kepala Sub Direktorat Serangga Penular Penyakit
Ditjen P2MPLP
Depkes RI dan Bapak
Pimpinan Proyek Intensifikasi Penyakit Menular (ICDC-ADB) beserta staf. Kepada Bapak Kepala Loka Litbang P2B2 Waikabubak dan staf terutama M. Khuzwaeni. Bapak Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT beserta staf terutama Acep Efendi, SKM,M.S, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat dan staf serta temanteman seangkatan di program Studi Entomologi Kesehatan Kepada Ayah (alm.) dan Bunda serta seluruh keluarga
terimakasih atas
sokongan moral dan material. Kepada isteri dan anak-anak terimakasih atas doa dan pengorbanannya selama penulis bersekolah. Saran dan kritik kami harapkan dari pembaca untuk kesempurnaan tulisan ini.
8
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pangkajene, Pangkep Sulawesi Selatan, pada 14 Juli 1970 dari ayah (alm.) H. Abdul Rauf Sila dan ibu H j. Sitti Muna. Penulis merupakan anak ke empat dari delapan bersaudara. Pada tahun 1989 penulis lulus SMA Negeri I Pangkep, kemudian menempuh pendidikan sarjana
di Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin
Makassar pada peminatan Kesehatan Kerja. dan selesai Tahun 1995. Tahun 2002, atas bantuan beasiswa dari Proyek Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular
(IPPM) Departemen Kesehatan Republik Indonesia., penulis
melanjutkan studi S2 di Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor, pada
Program Studi Entomologi Kesehatan . Sejak tahun 1997, penulis bekerja
pada Kanwil Departemen Kesehatan
Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sejak tahun 2001, setelah Kanwil Depkes NTT dilikuidasi, penulis bekerja di Loka Penelitian dan Pengembanaga n Penularan Penyakit Bersumber Binatang (Loka Litbang P2B2)
Badan Penelitian dan
Pengembangan Depkes RI yang berkedudukan di Waikabubak – Sumba Barat - Nusa Tenggara Timur.
9
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
………………………………
vi
DAFTAR GAMBAR
………………………………
vii
DAFTAR LAMPIRAN
………………………………
viii
PENDAHULUAN
……………………………………..
1
TINJAUAN PUSTAKA
……………………………………..
Faktor-Faktor Penyebab Nyamuk Tertarik Pada Inang
……………………………………..
3
Perilaku Nyamuk Anopheles
………………………………
5
………………………………
6
………………………………
9
Deltametrin dan Cara Kerjanya
……………………………………..
13
Resistensi dan Mekanismenya
……………………………………..
14
Bioekologi Nyamuk Anopheles Vagus
………………………………
16
Pemanfaatan Ternak Dalam Pengendalian Nyamuk Anopheles Pemanfaatan Ternak dan Insektisida dalam Pengendalian Nyamuk Anopheles
BAHAN DAN METODE
………………………………
Lokasi Penelitian
……………………………………..
16
Waktu Penelitian
……………………………………..
17
Metode Penelitian
………………………………
17
HASIL DAN PEMBAHASAN
………………………………
Uji Residual
……………………………………..
21
Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles
……………………………………..
22
Efek Insektisida Terhadap Nyamuk Anopheles Pasca Perlakuan
………………………………
25
Pembahasan Umum
………………………………
29
KESIMPULAN
……………………………………..
33
SARAN
……………………………………..
33
DAFTAR ACUAN
……………………………………..
34
10
DAFTAR TABEL
No
Teks
1
Rata-Rata Kematian (%) Nyamuk Anopheles vagus Setelah Berkontak dengan Residu Deltametrin 500 WP Pada Kerbau dengan Dosis 400 mg/m² Selama Satu Jam………
2
3
Halaman
Jenis Nyamuk Anopheles yang Tertangkap Selama Penelitian…………………………………… Persentase Spesies Nyamuk Anopheles Berdasarkan Penangkapan………………………………
Metode
21
23
24
4
Pengamatan Populasi A. vagus Pra dan Pasca Perlakuan………...
26
5
Pengamatan Populasi A. aconitus Pra da n Pasca Perlakuan……..
28
6
Pengamatan Populasi A. tesselatus Pra dan Pasca Perlakuan…...
29
11
DAFTAR GAMBAR
No
Teks
1
Struktur Kimia Deltametrin……………………………………….
12
2
Peta Wilaya Penelitian…………………………………………….
16
3
Metode Penangkapan Nyamuk Anopheles dengan Umpan Orang……………………………………………………...
17
Papaparan Insektisida pada Kerbau dengan Umpan Orang……………………………………………………...
19
Kerucut Plastik Berisi Nyamuk Anopheles pada Tubuh Kerbau…………………………………………………….
19
Grafik Fluktuasi Angka Gigitan Nyamuk Anopheles…………………………………………………………
27
4 5 6
Halaman
12
DAFTAR LAMPIRAN
No
Teks
Halaman
1
Bagian thorax dan kepala, sayap serta kaki Anopheles vagus…………
40
2
Pemberian Deltametrin pada Sapi di kamp Pengungsi Afganistan di Pakistan………………………………………………………………...
41
3
Pengamatan Populasi A. kochi Pra dan Pasca Perlakuan……………..
42
4
Pengamatan Populasi A. nigerrimus Pra dan Pasca Perlakuan………..
43
5
Pengamatan Populasi A. tesselatus Pra dan Pasca Perlakuan………...
44
6
Pengamatan Populasi A. annularis Pra dan Pasca Perlakuan………….
45
7
Pengamatan Populasi A. barbirostris Pra dan Pasca Perlakuan……….
46
8
Angka Gigitan Nyamuk Anopheles Pra dan Pasca Perlakuan Insektisida………………………………………………………………
47
13
PENDAHULUAN Nyamuk Anopheles merupakan vektor penyakit malaria dan filariasis yang umumnya aktif menggigit pada malam hari dan berkembang biak pada genangan air, sungai aliran lambat, persawahan, danau dan muara sungai menuju laut. Nyamuk Anopheles bersifat kosmopolit, hampir terdapat di seluruh benua mulai dari yang beriklim tropis sampai subtropis. Daerah yang disenangi nyamuk adalah suatu daerah yang tersedia tempat istirahat, sumber darah dan tempat untuk berkembang biak. Aktivitas nyamuk mencari darah dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologi dan rangsangan dari hospesnya. Nyamuk Anopheles umumnya bersifat zoofilik. Namun demikian dapat saja terjadi perubahan perilaku menggigit dari zoofilik menjadi antropofilik, bila terjadi perubahan ekologi, yang menyebabkan sumber darah hewan tidak tersedia, sebaliknya darah manusia tersedia dalam jumlah yang cukup banyak. Untuk menurunkan populasi nyamuk Anopheles salah satu metode yang dapat ditempuh adalah pengendalian dengan metode kimia, yaitu dengan melakukan paparan insektisida secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu .Walaupun terdapat sisi negatif dari penggunaan bahan kimia, seperti dapat menimbulkan resistensi yang pada akhirnya dapat menjadi faktor penyebab timbulnya ledakan hama dan berperan penting dalam munculnya hama sekunder, tetapi metode tersebut sangat efektif dalam menurunkan populasi serangga dalam waktu singkat. Untuk mencapai hasil optimal, metode kimia dengan penggunaan insektisida dapat dikombinasikan dengan metode biologi, melalui pemanfaatan hewan ternak yang dikenal dengan istilah zooprofilaksis. Kombinasi kedua metode tersebut diharapkan dapat berinteraksi dan memberi hasil maksimal dalam pengendalian nyamuk Anopheles Pemberantasan nyamuk Anopheles, selama ini dilakukan dengan metode umum, yaitu dengan menyemprot rumah dengan insektisida. Namun penyemprotan rumah memerlukan insektisida dalam jumlah yang cukup besar, yang berdampak pada biaya yang mahal. Hal tersebut memberatkan terutama bagi
14
negara-negara berkembang, maka perlu dicari metode pemberantasan yang murah namun tetap efektif. Berdasarkan paparan tersebut, salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk pengendalian nyamuk Anopheles adalah dengan memanfaatkan hewan ternak, seperti sapi dan kerbau. Dengan cara, hewan ternak tersebut diberi paparan insektisida melalui pembaluran pada tubuhnya. Metode ini terbukti murah dan efektif. Uji coba pada enam lokasi penampungan para pengungsi Afganistan di propinsi Lembah Hangu, Pakistan membuktikan hal tersebut. Pengungsi mengolesi sapinya dengan deltametrin selama tiga kali musim malaria. Hasilnya terbukti, sama efektifnya dengan penyemprotan rumah. Biaya yang dibutuhkan 80% lebih murah. Metode ini lebih mudah dan aman bagi penduduk serta dapat membasmi kutu hewan sehingga produksi semakin meningkat (Rowland dan
Hewitt 2001). Deltamethrin jugai tidak mengkontaminasi daging
hewan
bersangkutan, sehingga aman untuk dikonsumsi (WHO 1990 dalam Hewitt 1994). Walaupun demikian cara ini hanya tepat apabila jenis nyamuknya menyukai hewan dan terutama mencari makanan dengan mengisap darah sapi dan kerbau. Di Afrika, misalnya, cara ini mungkin tidak dapat diterapkan karena jenis nyamuknya berbeda (Aschwanden 2001). Penelitian tentang efek paparan insektisida deltametrin terhadap angka gigitan nyamuk Anopheles pada manusia belum pernah dilaksanakan di Indonesia. Penelitian sebelumnya hanya memfokuskan pada penyemprotan insektisida di kandang ternak (Nalim 1986). Tujuan penelitian
bermaksud untuk mengetahui efektifitas residu
insektisida deltametrin pada kerbau dengan uji bioesai serta efek paparannya dengan indikator angka gigitan nyamuk Anopheles pada penghuni rumah yang kerbaunya diberi aplikasi insektisida
.
15
TINJAUAN PUSTAKA
Faktor-Faktor Penyebab Nyamuk Tertarik Kepada Inang Setiap spesies nyamuk mempunyai perilaku berbeda dalam mencari inangnya. Hal ini disebabkan oleh daya tarik masing-masing inang tersebut terhadap nya muk tidak sama. Beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi nyamuk dalam mencari inang adalah
suhu, kelembaban, karbondioksida,
aroma tubuh dan bermacam -macam faktor visual.
Suhu. Suhu merupakan faktor penting sebagai perangsang dalam penemuan inang dan merupakan daya tarik utama bagi nyamuk untuk bereaksi menggigit (Bates 1970; Peterson dan Brown 1951). Penelitian laboratorium tentang pengaruh suhu terhadap aktivitas menggigit Culex pipiens pada inang oleh
Crumb dalam Bates (1970) membuktikan hal tersebut. Dilaporkan
bahwa respon paling besar terjadi pada suhu 32°C sampai 43°C sedangkan suhu diatas 49°C dan dibawah 30°C, kurang mendapat respon dari nyamuk. Smart dan Brown (1956) melaporkan bahwa kulit yang lebih hangat akan lebih mena rik bagi nyamuk. Pernyataan ini sesuai dengan laporan Brown et al. (1951) bahwa apabila salah satu tangan manusia didinginkan sampai 22°C sedang tangan lain pada suhu 30°C, maka tangan yang lebih dingin kurang menarik untuk digigit nyamuk. Kelembaban udara.
Kelembaban udara dapat mempengaruhi perilaku
nyamuk. Di dalam kandang, kebanyakan Aedes aegypti mendekati aliran udara hangat dengan kelembaban 15% sampai 20%. (Brown et al. 1951). Namun menurut Reuter (1936) dalam Clement (1963), bahwa di lapangan tidak ada bukti yang menunjukkan pentingnya tingkat kelembaban bagi orientasi keadaan inang. Sehingga disimpulkan bahwa kelembaban mungkin merupakan sebagian
dari faktor penting yang berasal dari inang dan
merupakan daya tarik nyamuk pada jarak dekat.
16
Karbondioksida.
Pengaruh karbondioksida terhadap perilaku menggigit
masih banyak diperdebatkan. Para peneliti yang mengamati pengaruh karbondioksida terhadap nyamuk, belum menyepakati bagaimana metode zat kimia tersebut bekerja dalam perilaku makan. Menurut Headle (1974) dalam Service (1976) pada perangkap New Jersey Light Trap, yang digunakan dengan menambahkan karbondioksida selama dua jam dapat meningkatkan jumlah nyamuk yang tertangkap menjadi empat kali lipat. Karbondioksida yang merupakan sisa metabolisme diekskresikan melalui saluran pernapasan, sehingga nyamuk lebih banyak hinggap dibagian kepala
daripada anggota tubuh lainnya (Daykin et al.
1965). Sementara itu Carlson et al. (1992) melaporkan hasil penelitiannya bahwa tidak ada hubungan antara penambahan produksi CO2 dengan daya tarik
Ae.
aegypti terhadap inang.Penelitian tersebut dilakukan dengan
menggunakan alat olfaktometer.
Aroma. Respon nyamuk terhadap aroma yang terpancar dari inang, secara jelas telah ditunjukkan oleh Learman (1955) dengan memakai olfaktometer. Udara dialirkan melewati kelinci kemudian dilepaskan ke dalam kandang nyamuk pada suhu kamar. Nyamuk A. labrachiae atroparvus memberi respon terhadap aliran udara tersebut dengan melayang-layang atau hinggap pada lubang masuk aliran udara. Willis
(1947) juga menyimpulkan bahwa aroma lengan manusia
merupakan rangsangan yang menarik perhatian nyamuk Ae. aegypti dan A. quadrimaculatus. Daya tarik urine manusia terhadap nyamuk Ae. aegypti, dilaporkan
oleh Roessler (1961) dalam Clements (1963. Reuter
(1936)
dalam Clements (1963), memperoleh hasil negatif dalam meneliti keringat sebagai sumber yang menimbulkan daya tarik nyamuk. Aroma darah sapi dilaporkan mempunyai daya tarik terhadap nyamuk Ae. aegypti empat kali lebih besar daripada air dan plasma darah lima kali lebih besar daripada air (Burgess dan Brown 1957) Visual. Respon visual mempengaruhi nyamuk dalam memilih inang. Bentuk dan pemantulan cahaya serta gerakan inang ternyata merupakan faktor
17
penting, sebab mampu menuntun nyamuk yang aktif mencari darah pada siang hari (Sippel dan Brown 1953). Brown dan Bennet (1981) melaporkan bahwa Ae. aegypti lebih banyak menggigit tangan yang memakai kaos warna gelap dibandingkan tangan yang memakai warna terang. Walaupun faktor visual telah dibuktikan mempengaruhi nyamuk tetapi tidak semua nyamuk tergantung kepada faktor tersebut. Diperkirakan faktor visual berperan penting terutama pada nyamuk yang menggigit di siang hari. Nyamuk Anopheles mulai menggigit pada senja hingga malam hari, berbeda dengan nyamuk Aedes yang menggigit di siang hari (Mattingly 1969).
Perilaku Nyamuk Anopheles Eksofilik adalah sifat atau kebiasaan nyamuk yang menyukai istirahat di luar rumah sampai saat telurnya masak dan siap untuk diletakkan di tempat perindukan. Nyamuk dengan sifat seperti ini menghabiskan sebagian besar siklus gonotrofiknya di luar tempat berlindung manusia . Bagi nyamuk yang bersifat eksofilik, metode penyemprotan rumah yang dewasa ini banyak dilakukan tidak efektif. Hal ini terjadi karena nyamuk Anopheles
yang menjadi sasaran tidak berkontak dengan insektisida yang
disemprotkan. Bentuk pengendalian di luar rumah seperti manajemen lingkungan merupakan cara yang tepat untuk menurunkan populas i vektor yang bersifat eksofilik. Berbeda dengan eksofilk, endofilik adalah sifat atau kebiasan nyamuk yang sebagian besar waktu istirahat dihabiskan di dalam rumah. Sedangkan perilaku kesukaan nyamuk dalam memilih sumber darah yang dijadikan makanan dapat dibedakan menjadi zoofilik dan antropofilik. Zoofilik merupakan aktivitas nyamuk Anopheles yang lebih menyukai darah hewan. Antropofilik adalah aktivitas nyamuk Anopheles dengan preferensi ke darah manusia.Terkait dengan sifat antropofilik, nyamuk Anoph eles dapat menggigit manusia di dalam rumah (endofagik) atau di luar rumah (eksofagik). Nyamuk Anopheles vagus bersifat zoofilik dengan lebih menyukai darah sapi di Desa Hargotirto, Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta (Aprianto, 2002). Sedangkan di lokasi yang sama A. maculatus dan A. balabasensis bersifat antropofilik.
18
Berkaitan dengan lokasi menggigit. Aprianto (2002) tidak dapat memastikan sifat eksofagik atau endofagik dari A. maculatus dan A. vagus. Sedangkan di kecamatan Padang Cermin Lampung Selatan A. vagus bersifat eksofagik (Idram et al. 1993). Jastal
(2005) melaporkan dari delapan spesies nyamuk Anopheles
yang didapatkan di Desa Tongoa, Donggala Sulawesi Tengah, semuanya bersifat eksofagik. Tiga spesies bersifat antropofilik yaitu A. barbirostris, A. nigerrimus dan A. barbumbrosis. Tiga spesies lainnya bersifat zoofilik yaitu A. tesselatus, A. vagus dan A. kochi. Dari enam spesies nyamuk Anopheles yang termasuk kelompok Anopheles gambiae kompleks, dua diantaranya bersifat antropofilik yaitu A. gambiae dan A. arabiensis. Satu bersifat zoofilik yaitu A. quadrimaculatus, sedangkan tiga lainnya A. merus, A. melas, dan A. bwambe bersifat zoofagik dan eksofilik (Eldrigde dan Edman 2000).
Pemanfaatan Ternak dalam Pengendalian Nyamuk Anopheles Pemanfaatan ternak merupakan salah satu cara biologis yang bertujuan untuk mencegah dan menghindarkan kejadian kontak antara nyamuk dengan manusia. Dalam konteks upaya
pengendalian nyamuk sebagai vektor
penyakit, dikenal istilah deviasi vektor dengan melakukan tindakan zooprofilaksis. Tindakan tersebut merupakan perubahan orientasi nyamuk dari menggigit manusia kepada menggigit hewan. Zooprofilaksis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO 1982) didefinisikan sebagai penggunaan hewan domestik ataupun liar yang bukan inang reservoar dari suatu penyakit tertentu untuk mengalihkan gigitan nyamuk vektor dari manusia sebagai inang penyakit tersebut.. Tindakan zooprofilaksis lebih khusus dilakukan terhadap nyamuk dengan cara menempatkan kelompok te rnak di dekat sumber tempat perindukan nyamuk dalam garis arah terbang nyamuk yang baru muncul menuju kepemukiman penduduk yang terjangkau oleh nyamuk-nyamuk tersebut. Tindakan zooprofilaksis yang direncanakan dan dilakukan seperti itu disebut
zooprofilaksis
aktif.
Sebaliknya
zooprofilaksis
pasif,
yaitu
zooprofilaksis yang tidak direncanakan dan dilakukan dengan sengaja,
19
mempunyai daya mendeviasikan nyamuk vektor yang antropofilik menjadi zoofilik dalam batas tertentu. Pengendalian vektor melalui zooprofilaksis juga sangat tergantung pada peran serta masyarakat. Karena diharapkan mereka yang akan memelihara ternak disekeliling rumah mereka sebagai perlindungan terhadap gigitan nyamuk. Untuk tahap awal peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam menguji-coba ternak yang mempunyai daya profilaksis yang paling tinggi. Penelitian Soedir (1985)
di Pantai Glagah, Yogyakarta terhadap
sejumlah hewan dan manusia menunjukkan ternak mempunyai daya tarik yang besar terhadap nyamuk. Sapi mampu menarik 54,3% nyamuk dengan 20 spesies, domba sebanyak 33,4% nyamuk dengan jumlah 19 spesies. Manusia sebagai pembanding hanya mampu menarik 5,3% nyamuk. dengan sembilan spesies. Daya tarik tiga hewan lainnya yaitu monyet, kelinci serta ayam relatif kecil. Masing-masing hanya menyumbang 1,2% (delapan spesies); 2,1% (sepuluh spesies) dan 3,7% (enam spesies) dari seluruh nyamuk yang tertangkap. Hasil uji presipitin yang dilakukan
Boewono (1986) di Desa
Kaligading, Jawa Tengah menunjukkan 56,04% dari populasi A. aconitus menghisap darah sapi, 23,07% darah kerbau, 13,19% darah domba dan 4,40% darah kambing serta 3,30% darah manusia. Walaupun demikian berdasarkan rata-rata jumlah A. aconitus yang menggigit orang maupun yang beristirahat di dalam rumah menunjukkan daya tarik kerbau dan sapi terhadap jenis nyamuk ini tidak jauh berbeda. Faktor yang membedakan daya tarik kedua ternak tersebut terhadap nyamuk A. aconitus adalah jarak penempatan kandang ternak tersebut dari rumah penduduk. Semakin dekat penempatan kerbau atau sapi terhadap rumah penduduk, semakin banyak investasi nyamuk A. aconitus di dalam rumah Menurut Onori et al. dalam Bruce-Chwatt’s (1985) A. gambiae lebih menyukai darah ternak dan kuda. Di sejumlah negara pecahan Uni Soviet, ternak digunakan sebagai salah satu metode pengendalian malaria. Di bagian Utara Eropa dan sejumlah negara di Amerika Utara, metode zooprofilaksis juga dapat menurunkan kasus malaria yang disebabkan oleh vektor Anopheles lokal di masing-masing daerah tersebut. Beberapa vektor
20
penting malaria di India, Indonesia dan Malaysia juga mempunyai kecenderungan sebagai zoofilik. Melihat kenyataan tersebut, pemberdayaan ternak sebagai barrier terhadap penyakit malaria mempunyai potensi dan prospek yang bagus di masa depan. R iset tentang zooprofilaksis dilaporkan Hewitt (1994) pada kamp pengungsi Afganistan di Pakistan dengan menggunakan seekor sapi dan dua ekor kambing sebagai zooprofilaksis. Namun hasil yang diperoleh adalah peningkatan angka gigitan nyamuk oleh A. stephensi masing-masing 38% dan 50% untuk penggunaan sapi dan kerbau sebagai zoobarrier. Peningkatan angka gigitan nyamuk A. stephensi terjadi karena jenis spesies nyamuk tersebut bersifat antropofilik. Selain itu penyebarannya tidak diatur sedemikian rupa untuk menjadi barrier antara manusia dengan vektor. Sebagai syarat keberhasilan program zooprofilaksis disarankan dua hal. Pertama, jenis spesies nyamuk Anopheles harus bersifat zoofilik. Kedua, ternak tersebut harus disebar dalam bentuk barrier antara nyamuk vektor dan manusia. Namun jika dalam situasi tertentu penyebaran tersebut tidak dapat dilakukan, lokasi penempatan ternak harus sejauh mungkin dari manusia. Dari hasil tersebut Hewitt mengusulkan agar pengertian zooprofilaksis diredefinisi
menjadi ”Penyebaran ternak yang bukan inang reservoar dari
suatu penyakit untuk mengalihkan gigitan nyamuk vektor dari manusia yang menjadi inang penyakit tersebut”.
Pemanfaatan Ternak dan Insektisida dalam Pengendalian Anopheles Pengendalian secara biologi dengan memanfaatkan ternak bertujuan mengalihkan preferensi nyamuk vektor dari manusia ke hewan. Penggunaan hewan diharapkan dapat mengurangi transmisi penyakit malaria. Selain itu dengan mengkombinasikan dengan aplikasi insektisida pada hewan tersebut akan dapat menambah efektifitas pengendaliaan. Kombinasi ternak dan insektisida menurut Rowland et all. (2001) dapat menurunkan
insiden
penyakit
malaria
yang
disebabkan Plasmodium
falciparum sebesar 56% dan Plasmodium vivax sebesar 31%, dengan biaya yang lebih rendah sekitar 80% dibandingkan dengan metode penyemprotan dalam ruangan (indoor spraying).
21
Kombinasi aplikasi insektisida pada ternak tidak hanya menguntungkan bidang kesehatan masyarakat saja, tapi juga memberi keuntungan bagi kedokteran hewan dan ekonomi. Produktivitas ternak dapat ditingkatkan sebagai akibat langsung dari reduksi ektoparasit dan serangga pengganggu lainnya seperti lalat dan nyamuk (Minar et al. 1979; Shaikh et al. 1987; Pegram et al. 1991 dalam Hewitt dan Rowland 1999) Sela in itu terjadi penurunan jumlah penyakit yang ditimbulkan oleh ektoparasit seperti babesiosis, anaplasmosis,dan teileriosis . Pengendalian ektoparasit dengan insektisida diketahui sangat baik dalam meningkatkan produktivitas ( Pegram et al. 1989 dan Nor val et al. 1997 dalam Hewitt dan Rowland 1999). Penggunaan deltametrin untuk pengendalian ektoparasit pada ternak telah banyak digunakan (Beugnet dan Chardonner 1995; Okello dan Onen 1994; Kok et al. 1996 dalam Hewitt dan Rowland 1999). Penggunaan deltame trin sebagai insektisida pengendali ektoparasit tidak berbahaya bagi konsumen dan produk hewan (WHO 1990) Kombinasi ternak dan insektisida tersebut dapat mengurangi transmisi malaria sama baiknya dengan penyemprotan dalam rumah. Secara teknis juga dapat diarahkan untuk mengurangi resiko resistensi yang berkelanjutan. Sehingga dengan keuntungan yang diperoleh tersebut, metode ini dapat menjadi salah satu strategi pengendalian malaria disamping penyemprotan dalam rumah (Hewitt dan Rowland 1999) Deltametrin dan Cara Kerjanya Deltametrin telah digunakan secara luas pada sektor pertanian dan kesehatan masyarakat. Penggunaan deltametrin dalam pengendalian penyakit malaria terutama ditujukan untuk membunuh nyamuk Anopheles dewasa. Di Cina, deltametrin digunakan secara ekstensif sebagai bahan aktif untuk kelambu celup berinsektisida (impregnated bednet) untuk mencegah gigitan nyamuk Anopheles (Rozendaal 1997). Deltametrin diformulasikan dalam bentuk
emulsifiable concentrate (EC) , ultra low- volume
concentrate
(ULV), wettable powder (WP), formulasi tersendiri atau dipadukan dengan insektisida lain.
22
Deltametrin merupakan insektisida sintetis yang termasuk ke dalam golongan piretroid. Pertama kali diisolasi dari tumbuhan Chrysanthemum sekitar tahun 1800 dan mula i dikenal secara luas di seluruh dunia pada tahun 1851 (Matsumura 1975) . Sedangkan deltametrin yang merupakan generasi ke empat dari piretroid di sintesa pertama kali pada tahun 1974 dan mulai dipasarkan tahun 1977. Secara umum, insektisida yang termasuk golongan piretroid bersama dengan DDT dan analognya digolongkan kedalam kelompok racun saraf (neurotoksik) terhadap seranggga dan vertebrata ( Miller dan Adams dalam Coats 1988). Target utamanya adalah saluran natrium pada membran saraf yang berinteraksi dengan akson pada sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Cara kerja piretroid adalah mempengaruhi sistem saraf serangga atau mamalia dengan merangsang sel-sel saraf untuk menghasilkan efek pengulangan (repetitive) yang berakhir dengan kelumpuhan dan kematian. Efek ini disebabkan oleh rendahnya penutupan saluran natrium dalam akson saraf, sehingga natrium bergerak cepat dalam sel-sel dan merubah fungsi akson saraf. Deltametrin termasuk jenis insektisida yang relatif aman terhadap mamalia tapi sangat toksik terhadap serangga, dengan nilai LD50 oral akut 1934 mg/kg BB pada tikus, serta mempunyai tekanan uap 1,5 x-810
pada
suhu 25°C. Deltametrin berwujud tepung yang tidak berwarna dengan titik didih 98°C - 101°C. Insektisida ini larut dalam air pada suhu 20°C dengan komposisi 2 mg/liter dan juga larut pada hampir semua pelarut organik sepert aseton, etanol, sikloheksanon dan xilin . Deltametrin merupakan insektisida golongan piretroid pertama yang tersusun dari isomer t unggal dari delapan stereoisomer yang dihasilkan dari proses esterifikasi. Berdasarkan struktur tersebut, diperoleh rumus kimia deltametrin C 22H19Br 2NO 3. Gambar satu menunjukkan struktur kimia deltametrin. Deltametrin berdasarkan ikatan gamma–aminobutyric acid (GABA) receptor – ionophore complex diklasifikasikan sebagai piretroid Tipe II.
23
Berdasarkan ikatan kimia tersebut tersebut, piretroid sintetis dapat dikelompokkan dalam dua tipe. Piretroid tipe I, (T-syndrome), tidak mengandung gugus kelompok alpa-siano. Tipe II adalah piretroid dengan gugus kelompok alpa-siano atau (CS-syndrome) (Gammon et al. 1982, Gammon dan Casida 1983; Lawrence dan Casida 1983; Lawrence et al. 1985). Perbedaan mendasar dari kedua tipe tersebut adalah tipe I (termasuk alletrin, d-penotrin, permetrin dan sismetrin) merupakan penyebab peningkatan sementara permeabilitas natrium membran saraf selama eksitasi (perangsangan) dengan perpanjangan impuls yang moderat. Rentetan perulangan impuls saraf relatif lebih pendek pada organ indera perasa dan serat saraf sensorik. Sebaliknya, piretroid tipe II menyebabkan peningkatan sementara permeabilitas natrium dari membran saraf selama eksitasi mengalami perpanjangan yang permanen. Ulangan impuls organ saraf yang dihasilkan mengalami rangka ian depresi berkepanjangan, bergantung pada frekuensi impuls dari urat saraf. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok alpa-siano berpengaruh terhadap saluran natrium membran saraf dan menyebabkan peningkatan sementara permeabilitas natrium selama berlangsungnya eksitasi. Sebagai kelompok piretroid tipe II, deltametrin mempunyai karakter yang dikenal dengan choreoathesis ( coarse tremor progressing to sinuos writhing ), sedasi, pengeluaran cairan saliva, dispnoea dan kadang disertai dengan badan tremor dan kelumpuhan (McGregor 2000). Karakteristik deltametrin adalah tindakan eksitasi yang kuat
pada sistem saraf. Hal ini
diperoleh dari interaksi spesifik antara deltametrin dengan saluran natrium pada membran saraf. Sebagai bagian perubahan pada permiabilitas dari membran kepada natrium akibat efek pengulangan, maka akan dihasilkan rangkaian impuls saraf.
24
Gambar 1. Struktur kimia deltametrin , (S) – siano-3-pehoksibenzil (1R)-cis-3-(2,2-dibromovinil)-2,2-dimetilsiklopropan karboksilat Resistensi dan Mekanismenya Resistensi merupakan kemampuan kelompok serangga untuk bertahan hidup terhadap suatu dosis insektisida yang dalam keadaan normal dapat membunuh spesies serangga tersebut ( WHO 1992) Kasus resistensi pertama kali dilaporkan pada lalat rumah Musca domestica terhadap DDT di Swedia pada tahun 1947. Perkembangan resistensi semakin cepat setelah ditemukannya bahan sintetik organik sebagai insektisida dan acarisida. Pada era tahun 1940-an hanya tujuh spesies serangga yang dilaporkan resisten terhadap DDT, tetapi pada era 1980-an jumlahnya meningkat mencapai 447 spesies. Dari jumlah tersebut 59% terdiri dari serangga hama,
38% serangga pengganggu kesehatan hewan dan manusia.
Sedangkan 3% sisanya adalah serangga yang berguna seperti predator dan parasitoid (Georghiou 1986). Menurut WHO (1992 ) sampai saat ini lebih dari 100 spesies nyamuk yang telah resisten terhadap satu atau lebih insektisida. Dari jumlah tersebut, 56 spesies di antaranya adalah nyamuk Anopheles dan 39 spesies Culex. Anopheles yang mengalami proses resistensi tersebut antara lain; A. sacharovi di Lebanon, Iran dan Turki. A. sundaicus di Indonesia dan Myanmar yang resisten terhadap DDT. A. quadrimaculatus di Meksiko resisten terhadap dieldrin .
25
A. aconitus di Indonesia juga mulai resisten terhadap organofosfat (Widiarti 2003). Sementara itu nyamuk Anopheles yang resisten terhadap piretroid adalah A. minimus di Thailand (Chareoviriyaphap et al. 2002 ) dan A. gambiae di Burkina Faso (Diabate et al. 2002) Mekanisme resistensi secara biokimia dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu (1) Mekanisme target sasaran dan (2) Mekanisme detoksifikasi berbasis enzim ( Brogdon dan McAllister 1998) Mekanisme target sasaran. Mekanisme ini terjadi ketika insektisida tidak terlalu lama mengikat target sasaran.Target sasaran insektisida organofospat dan karbamat adalah asetilkolinestarase pada sinaps saraf. Sedangkan target sasaran organokhlorin (DDT) dan sintetik piretroid lainnya adalah saluran natrium pada lapisan saraf. Resistensi silang DDT-Piretroid dihasilkan oleh perubahan asam amino tunggal (satu atau kedua target sasaran yang diketahui) dalam ikatan akson yang menjadi sasaran saluran natrium. Resistensi silang tersebut menghasilkan perubahan dalam natrium yang langsung menggerakkan saraf dan menyebabkan sensitivitas piretroid rendah. Hal serupa terjadi pada resistensi siklodien (dieldrin) karena perubahan kode gen nukleotida tunggal pada reseptor gamma -aminobutryc acid (GABA). Sedikitnya terdapat lima tempat mutasi asetilkolinesterase yang mengikat target insektisida dan telah diidentifikasi satu per satu Mekanisme detoksifikasi. Mekanisme ini terbentuk ketika terjadi modifikasi aktivitas esterase, oksidas dan gluthatione S-transferase (GST) sehingga mencegah insektisida mencapai target sasaran. Dalam hal ini sejumlah enzim bertanggung jawab terhadap detoksifikasi xenobiotik dari kehidupan organisme dan terekam oleh rumpun multigen besar yang terdiri dari esterase, oksidase dan GST. Enzim tersebut menyebabkan terjadinya modifikasi mekanisme resistensi yang paling umum pada serangga dengan aktivitas enzim detoksifikasi eseterase. Enzim ini juga punya jangkauan yang luas terhadap metabolisme insektisida. Sebagian besar makhluk hidup mempunyai dua atau lebih golongan GST ganda. Sebagai kelompok dari gen yang mengaktifkan genom dengan cara rekombinasi, GST juga mempengaruhi resistensi insektisida DDT.
26
Jumlah gen GST yang resisten -termasuk bentuk ganda pada serangga yang sama-mempunyai karakteristik khusus ketika bersinggungan dengan serangga vektor. Bioekologi Nyamuk Anopheles vagus Tempat perindukan dan padat populasi. A. vagus tersebar merata di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara (Webster dan Swellengrebel, 1953) Habitatnya hampir merata ditemukan pada setiap ketinggian tempat. Mulai dari pantai dan pesisir sampai daerah ketinggian di lereng-lereng pegunungan. Boewono (1999) menemukan spesies A. vagus di Jawa Tengah pada setiap ketinggian diatas permukaan laut pada kandang kerbau dan sapi. Mulai dari ketinggian 0-50 meter, 51-100 meter, 101-200 meter, 301-400 meter dan pada ketinggian 401-500 meter. Di daerah pantai Banyuwangi, larva A. vagus ditemukan pada habitat lagun dan kobakan (Shinta et al. 2003). Stadium pradewasa dapat ditemukan pada kolam yang mendapat penyinaran langsung dari matahari, selokan, parit, dan kobakan serta sawah yang sedang ditanami padi. Larva sering ditemukan pada kolam air keruh yang tidak terlalu kotor, kadang-kadang pada kolam mata air dan air payau. Tumbuhan yang terapung di atas kolam merupakan tempat perlindungan yang baik bagi larva.(Horsfall 1955, Reid 1968 dan Rao 1981) Kebiasaan hinggap dan istirahat.
Nyamuk dewasa istirahat di dalam
maupun di luar rumah serta di kandang ternak dan di tebing sungai (Reid 1968; Rao 1981; Webster dan Swellengrebel 1953). Kemampuan terbang A. vagus sampai sejauh 600 meter (Lallemant et al. 1932 dalam Horsfall 1955) di Jawa Timur. Perpindahan secara pasif dalam jumlah besar melalui alat transportasi kapal dan kereta terjadi di Bengal India (Sen 1941 dalam Horsfall 1955). Nyamuk tersebut beristirahat dalam mobil dan peti kemas di dalam kapal yang berlayar ke Kalkutta.
Aktivitas menggigit dan pemilihan inang.
Nyamuk A. vagus bersifat
zoofilik. Darah ternak khususnya sapi dan kerbau mempunyai daya tarik yang kuat terhadap aktivitas menggigit spesies nyamuk ini dan hanya sedikit yang
27
menggigit manusia (Reid 1968). Bila dibandingkan antara manusia dan sapi dalam uji aktivitas menghisap darah, sekitar 95% A.vagus memilih darah sapi (Wharton 1951 dalam Horsfall 1955). Di Birma A. vagus ditemukan melakukan aktivitas menggigit setelah tengah malam (Rao 1981).
Anopheles vagus sebagai vektor. Di Indonesia, A. vagus telah dikonfirmasi melalui uji Eliza sebagai vektor malaria (US-NAMRU 2 dalam Sulaiman 2004). Di beberapa negara
lain di kawasan Asia, A. vagus juga telah
dikonfirmasi sebagai vektor malaria, seperti di Bangladesh (Rosenberg dan Maheswary 1982), Filipina (Darsie dan Cagampang–Ramos 1971) dan Cina (Chow 1949). Infeksi buatan yang dilakukan oleh Green (1935) dan Hodgkin (1956) dalam (Reid 1968) untuk P. falciparum pada sembilan spesies dari sub genus Celia
menunjukkan kerentanan A. vagus mencapai 55%. Angka ini lebih
tinggi dari A. kochi, A. maculatus dan A. annularis yang masing-masing berkisar 33%, 29% dan enam persen. Sedangkan rata-rata kerentanan dari sembilan jenis nyamuk tersebut adalah 27%
28
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Bioesai Hasil pengamatan menunjukkan bahwa insektisida deltametrin dapat bertahan sekitar tiga hari pada tingkat kematian 95% (Tabel 2). Diperoleh informasi bahwa lamanya efektifitas residu insektisida di tubuh kerbau dalam membunuh nyamuk lebih rendah, hanya sekitar tiga hari untuk tingkat kematian 95%. Tabel 2. Rata -Rata Angka Kematian (%) Nyamuk Anopheles vagus Setelah Berkontak dengan Residu Deltametrin 500WP pada Kerbau dengan Dosis 400 mg/m2 Selama Satu Jam Waktu Kontak (Hari)
Angka Kematian
Angka Kematian
(Perlakuan)
(Kontrol)
1
100
6.67
2
98.33
10
3
95.00
6.67
4
93.33
6.67
5
86.70
0
6
81.67
0
Hal ini berbeda dengan riset sebelumnya yang dilaksanakan oleh Rowland et al. (2001). Pada penelitian tersebut deltametrin yang dibalurkan pada sapi dan domba dapat bertahan mencapai empat minggu. Kemungkinan hal ini terjadi karena jenis kerbau di desa Cikarawang, Bogor adalah kerbau pekerja yang digunakan
untuk membajak sawah, sehingga perlu
dimandikan setiap hari. Saat dimandikan bulu pada badan kerbau
harus digosok
untuk menghilangkan lumpur yang melekat. Hal ini mengakibatkan residu insektisida yang melekat pada bulu dan badan kerbau lebih cepat hilang. Kemungkinan lain yang menjadi penyebab adalah formulasi insektisida yang digunakan. Seperti diketahui
insektisida yang digunakan dalam penelitian ini
berbentuk wettable powder (WP) berupa bubuk kering yang akan tersuspensi bila dicampur dengan air. Residu deltametrin yang menjadi bahan aktif insektisida tersebut tidak bertahan lama melekat di tubuh kerbau. Zat aktif tersebut akan cepat larut dalam air ketika kerbau dimandikan. Yang bertahan lama hanya tepung putih
29
(powder) yang menempel di tubuh kerbau sehingga sering terlihat seperti bercak putih. Berbeda
dengan
Concentrate ) seperti
formulasi
yang
insektisida
dilaksanakan
berbentuk
EC
(Emulsifiable
pada riset Rowland et al. (2001).
Formulasi insektisida tersebut dapat bertahan lebih lama di tubuh ternak karena adanya zat emulsi –biasanya dari minyak- yang melarutkan bahan aktif insektisida. Zat pengemulsi dengan insektisida yang telah larut didalamnya mempunyai daya rekat kuat sehingga dapat bertahan lama menempel pada bulu dan kulit hewan ternak (Wirawan 2005). Selain itu, hasil tersebut dipengaruhi juga oleh sifat daya kerja insektisida. Dalam riset ini digunakan deltametrin bersifat kontak dengan residu insektisida melekat pada
permukaan bahan atau benda.. Insektisida seperti ini umumnya
digunakan untuk penyemprotan di dalam ruangan (spraying indoor) serta pencelupan kelambu. Insektisida lainnya bersifat sistemik yang bisa masuk ke bagian dalam benda atau ke dalam sel makhluk hidup, sehingga bisa bertahan lama. Kemungkinan hasil Bioesai tersebut akan berbeda bila digunakan insektisida bersifat sistemik yang meresap ke dalam tubuh kerbau, sehingga bisa bertahan lebih lama. Namun untuk membandingkan hasil keduanya dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Identifikasi Spesies Nyamuk Anopheles Nyamuk Anopheles yang diperoleh selama penelitian telah diidentifikasi. Nyamuk tersebut terdiri dari delapan spesies yaitu A. vagus, A. aconitus, A. indefinitus, A. barbirostris, A. nigerimus, A tesselatus, A. kochi dan A. annularis dengan jumlah keseluruhan 876 ekor nyamuk (Tabel 3). Riset sebelumnya oleh Andiyatu (2005) menemukan enam spesies A. indefinitus, A. barbirostris,
Anopheles yaitu A. vagus, A. aconitus,
A. nigerimus dan A. kochi di lokasi yang sama.
Empat spesies Anopheles yang ditemukan dari hasil penelitian di Cikarawang telah dinyatakan sebagai vektor malaria yaitu A. aconitus, A. barbirostris, A tesselatus dan A. kochi (Abednego dan Suroso 1997). A. aconitus merupakan vektor utama di P. Jawa sedangkan
A. barbirostris merupakan ve ktor utama di P. Sulawesi dan NTT.
Sementara itu A. tesselatus dan A. kochi merupakan vektor malaria sekunder di P. Sumatera.
30
Nyamuk A. vagus mendominasi hasil penangkapan, sekitar 84,82% dari hasil tangkapan keseluruhan. Jenis spesies nyamuk Anopheles lainnya yang cukup signifikan adalah A. indefinitus (17,27%). Hasil tangkapan jenis spesies Anopheles lainnya berkisar 0,21% - 3%. Dominasi A. vagus terhadap jenis Anopheles lainnya di desa Cikarawang juga dilaporkan Sigit dan Kesumawati (1998) serta Andiyatu (2004). Hasil serupa juga diperoleh Boesri (2001) di Kecamatan Borubodur, Magelang Jawa Tengah. Dominasi A. vagus terhadap spesies lainnya perlu dicermati. Walaupun A. vagus belum secara resmi ditetapkan sebagai vektor malaria oleh Depkes RI, namun oleh
Lembaga
Riset
Angkatan
Laut
Amerika
Serikat
(NAMRU)
telah
mengkonfirmasikan sebagai vektor malaria melalui Elisa Test (US –NAMRU 2 dalam Sulaiman 2004). Khusus A. aconitus, walaupun persentasenya tidak dominan (2,34%) juga perlu diberi perhatia n khusus, karena termasuk salah satu vektor utama malaria di Pulau Jawa. Hal ini di dukung oleh faktor lokasi penelitian yang merupakan habitat yang sesuai untuk perkembang-biakan yaitu persawahan yang bertingkat-tingkat. Faktor lainnya yang mendukung adalah
musim tanam yang tidak serempak dan
sepanjang tahunditemukan padi dalam berbagai umur (Barodji et al.2001). Tabel 3. Jenis Spesies Nyamuk Anopheles yangTertangkap Selama Penelitian Spesies UOD
Anopheles
Metode Penangkapan Total
UOL
Jumlah
Persen
Jumlah
262
82.39
481
86.201
743
84.817
A. indefinitus
37
7.8891
44
9.3817
81
17.271
A. aconitus
6
1.2793
5
1.0661
11
2.3454
A. kochi
3
0.6397
8
1.7058
11
2.3454
A. nigerrimus
4
0.8529
8
1.7058
12
2.5586
A. barbirostris
5
1.0661
10
2.1322
15
3.1983
A. tesselatus
1
0.2132
0
0
1
0.2132
A. annularis
0
0
2
0.4264
2
0.4264
318
100
558
100
876
100
A. vagus
Total
Persen
Jumlah
Persen
Populasi A. aconitus yang sedikit ditemukan selama penelitian, kemungkinan karena waktu penelitian (September – Desember 2004) yang tidak bersamaan dengan
31
puncak kepadatannya. Padahal puncak kepadatan spesies nyamuk ini sekitar bulan Februari – April dan Juli – Agustus Kemungkinan
(Joshi et al. 1977 dan Barodji. 2002).
lainnya adalah populasi nyamuk A. aconitus di lokasi
penelitian yang rendah, dibanding daerah lainnya. Di Daerah Banjarnegara, Yogyakarta dan Semarang misalnya A. aconitus hampir selalu didapati di kandang kerbau dalam jumlah besar (Sigit dan Kesumawati 1988)
Perilaku Menggigit Nyamuk Anopheles Dengan metode penangkapan nyamuk Anopheles umpan orang dalam rumah (indoor) dan umpan orang luar rumah (outdoor) dapat diketahui perilaku menggigitnya. Perilaku tersebut dapat berupa endofagik (kecenderungan memperoleh darah di dalam rumah) atau eksofagik (lebih menyukai memperoleh darah di luar rumah). Tabel 4. Persentase Spesies Nyamuk Anopheles yang Tertangkap Berdasarkan Metode Penangkapan Spesies Anopheles UOD
Metode Penangkapan UOL
(%)
(%)
A. vagus A. indefinitus
35.26 45.68
64.74 54.32
A. aconitus
54.55
45.45
A. kochi
27.27
72.73
A. nigerrimus
33.33
66.67
A. barbirostris
33.33
66.67
A. tesselatus
100.00
0.00
A. annularis
0.00
100
Hasil pengamatan
(Tabel 4) menunjukkan, dari delapan jenis spesies
Anopheles yang berhasil diidentifikasi, enam spesies diantaranya bersifat eksofagik. Hanya A. aconitus dan A. tesselatus yang bersifat endofagik. Sementara A. vagus, A. indefinitus, A. kochi, A. nigerrimus, A. barbirostris dan A. annularis lebih menyukai memperoleh darah manusia di luar rumah. Perilaku menggigit nyamuk Anopheles yang cenderung bersifat eksofagik tersebut hampir serupa dengan hasil yang di dapatkan Jastal (2005) di Desa Tonga,
32
Donggala, Sulawesi Tengah. Dari delapan spesies Anopheles yang semuanya
cenderung
bersifat
eksofagik.
ditemukan,
yaitu
A. barbirostris, A. tesselatus, A. kochi, A. nigerrimus, A. vagus, A. maculatus, A. barbumrosis dan A. punctulatus . Dalam riset ini A. tesselatus bersifat eksofagik, berbeda dengan penelitian di desa Cikarawang, spesies tersebut bersifat endofagik. Penelitian lainnya yang dilakukan Hassan (2001) di Kampong Bongor, Malaysia juga diperoleh hasil yang menunjukkan perilaku nyamuk Anopheles bersifat eksofagik.
Dari sembilan pesies nyamuk yang diperoleh hanya A. barbirostris
yang bersifat endofagik. Delapan spesies lainnya cenderung bersifat eksofagik. Efek Insektisida Terhadap Nyamuk Anopheles Pasca Perlakuan Keberadaan populasi nyamuk Anopheles diamati dalam dua tahap yaitu pra perlakuan dan pasca perlakuan dengan paparan insektisida pada kerbau. Tahap pertama merupakan kontrol dari perlakuan pada tahap berikutnya. Populasi A. vagus pada tahap awal sangat dominan. Angka gigitan pada manusia dari spesies nyamuk tersebut berkisar 91,33 ekor nyamuk setiap pengamatan pra perlakuan. Pengamatan berikutnya pada pasca perlakuan menunjukkan terjadinya penurunan populasi Anopheles vagus (Gambar 6 dan Tabel 5). Pada pengamatan pertama (Ho), walaupun sempat terjadi peningkatan angka gigitan nyamuk pada awal paparan sebesar 1,34, namun pada pengamatan berikutnya mengalami penurunan secara signifikan sampai pemaparan hari ke 15 (H+4) dengan nilai sebesar 0,47 Angka Gigitan Nyamuk Anopheles
1.8 1.6
vagus
1.4
tesselatus
1.2
nigerimus
1
barbirostris
0.8
kochi
0.6 0.4
indefinitus
0.2
annularis
0
aconitus H-9
H-6
H-3
Ho
H+3
H+6
H+9
H+12
H+15 H+18
H+21 H+24
Hari Pengamatan
Gambar 6. Fluktuasi Hasil Angka Gigigtan Nyamuk Anopheles pada Manusia Keterangan: H-9 – H-3 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pra Perlakuan Ho – H+24 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pasca Perlakuan
33
Angka gigitan (MBR) A. vagus pada paparan hari ke 18 sampai hari ke 27 (H+15 – H+24) masih mengalami penurunan, namun perubahannya tidak sebesar paparan sebelumnya. Penurunan angka gigitan A. vagus pada paparan tersebut hanya berkisar 0,40 – 0,31. Hasil tersebut menunjukkan adanya efek paparan insektisida yang cukup signifikan pada A. vagus. Sedangkan untuk spesies Anopheles lainnya tidak dapat menggambarkan hasil yang signifikan karena populasi nyamuk tertangkap hanya sedikit. Penurunan angka gigitan nyamuk A. vagus dari paparan hari pertama sampai hari ke 15 (Ho - H+12) menunjukkan residu insektisida sangat efektif menurunkan kepadatan populasi nyamuk A. vagus. Pada paparan di hari 18 sampai hari 27 (H+15 – H+24), kemampuan residu insektisida tersebut sudah mulai berkurang. Penurunan angka gigitan nyamuk A. vagus pada periode tersebut tidak sebesar pada periode paparan sebelumnya. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kemampuan adaptasi A. vagus terhadap insektisida tersebut yang dapat mengarah kepada resistensi. Seperti diketahui paparan insektisida yang berulang kali bisa menyebabkan terjadinya toleransi 2004). Tabel 5.
Pengamatan Populasi A. vagus Pra dan Pasca Perlakuan
Hari Penga matan
Jumlah
MBR
(ekor)
Hasil Penangkapan Total (UOD +UOL)
UOL
UOD
Jumlah
MBR
(ekor)
Jumlah
MBR
(ekor)
H-9
31
0.3825
60
0.750
91
1.1375
H-6
34
0.425
58
0.725
92
1.15
H-3
30
0.375
61
0.7625
91
1.3375
Ho
38
0.475
69
0.8625
107
1.2625
H+3
38
0.475
63
0.7875
101
0.675
H+6
30
0.375
24
0.3
54
0.6375
H+9
14
0.175
37
0.4625
51
0.6375
H+12
13
0.12875
25
0.3125
38
0.475
H+15
5
0.06 25
27
0.375
32
0.4
H+18
14
0.175
19
0.2375
33
0.4125
H+21
9
0.1125
21
0.2750
30
0.375
H+24
6
0.0750
17
0.2125
23
0.2875
Keterangan:
(Winarno
34
H-9 – H-3 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pra Perlakuan Ho – H+24 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pasca Perlakuan
Perlakuan dengan pemaparan insektisida pada kerbau juga dapat menjaga populasi A. vagus yang telah mengalami penurunan pada keadaan
relatif stabil
(equilibrum position ). Seperti terlihat pada pengamatan hari H+15 – H+24 (Gambar 6). Dengan demikian angka gigitan nyamuk A. vagus pada periode tersebut tidak mengalami penurunan secara signifikan. Kemungkinan penurunan tersebut dapat juga dipengaruhi oleh mekanisme pengendalian alami populasi suatu spesies. Menurut Tarumengkeng (1994) mekanisme tersebut terbagi dalam dua aliran yaitu biotik dan iklim. Aliran pertama menganggap musuh alami seperti parasitoid menjadi faktor pengendali dominan. Sedangkan aliran kedua menganggap faktor fisik seperti
suhu lingkungan dan
kelembaban menjadi faktor utama pengendali populasi. Tabel 6.
Pengamatan Populasi A. aconitus Pra dan Pasca Perlakuan
Hari Penga matan
Jumlah
MBR
(ekor)
Hasil Penangkapan Total (UOD +UOL)
UOL
UOD
Jumlah
MBR
(ekor)
Jumlah
MBR
(ekor)
H-9
0
0
3
0.0375
3
0.0375
H-6
0
0
0
0
0
0
H-3
1
0.0125
0
0
10
0.0125
Ho
0
0
0
0
0
0
H+3
0
0
0
0
0
0
H+6
1
0.0125
0
0
1
0.0125
H+9
0
0
0
0
0
0
H+12
0
0
1
0.0125
1
0.0125
H+15
0
0
0
0
0
0
H+18
0
0
1
0.0125
1
0.0125
H+21
2
0.0250
0
0
2
0.0250
H+24
2
0.0250
0
0
2
0.0250
Keterangan:
H-9 – H-3 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pra Perlakuan Ho – H+24 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pasca Perlakuan
Pengamatan populasi nyamuk Anopheles lainnya, baik pra maupun
35
pasca perlakuan tidak menunjukkan penurunan secara siginifikan
melalui angka
gigitan pada manusia. Pada spesies Anopheles tertentu memang terjadi penurunan angka gigitan pada manusia namun dalam jumlah terbatas. Seperti halnya yang terjadi pada A. aconitus, perbandingan angka menggigit antara pengamatan pra perlakuan dengan pasca perlakuan tidak menunjukkan pola penurunan yang berarti. Hal ini terjadi karena jumlah yang tertangkap sangat sedikit, hanya sekitar 2,3% dari keseluruhan populasi nyamuk Anopheles. Angka gigitan A.aconitus pasca perlakuan berkisar 0,025 – 0,0125 tidak berbeda jauh dibandingkan kisaran gigitan nyamuk pra perlakuan sebesar 0,0125 – 0,0375. Sedangkan populasi rata-rata perlakuan menur un
1,33 ekor nyamuk per pengamatan
pra
menjadi 0,78 ekor nyamuk per pengamatan pasca perlakuan
(Tabel 6). Sedangkan
spesies nyamuk A. indefinitus tidak terjadi penurunan
yang
signifikan kepadatan populasi pasca perlakuan dibandingkan dengan pra perlakuan. Hal ini terjadi karena rata-rata jumlah nyamuk yang menggigit meningkat dari enam ekor nyamuk pada pra perlakuan menjadi tujuh nyamuk pada pasca perlakuan (Tabel 7). Tabel 7.
Pengamatan Populasi A. indefinitus Pra dan Pasca Perlakuan
Hari Penga matan
Jumlah
MBR
(ekor)
Hasil Penangkapan Total (UOD +UOL)
UOL
UOD
Jumlah
MBR
(ekor)
Jumlah
MBR
(ekor)
H-9
1
0.0125
3
0.375
4
0.05
H-6
5
0.0625
5
0.0625
10
0.1250
H-3
3
0.375
1
0.0125
4
0.05
Ho
7
0.0875
1
0.0125
8
0.1
H+3
3
0.0375
3
0.0375
6
0.075
H+6
4
0.05
8
0.1
12
0.15
H+9
1
0.0125
9
0.112
10
0.125
H+12
2
0.025
2
0.025
4
0.05
H+15
0
0
5
0.0625
5
0.0625
H+18
0
0
6
0.0750
6
0.075
H+21
5
0.0625
1
0.0125
6
0.075
H+24
6
0.0750
0
0
6
0.075
Keterangan:
36
H-9 – H-3 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pra Perlakuan Ho – H+24 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pasca Perlakuan
Pembahasan Umum Pada dasarnya semua nyamuk Anopheles, baik yang vektor maupun bukan vektor lebih menyukai darah hewan. Pada daerah pedesaan yang memiliki ternak, di malam hari aktivitas nyamuk tersebut sebagian besar berada di dalam kandang dan sekitarnya. Hanya dalam keadaan tertentu, baru mereka mencari darah di tempat manusia. Pada lokasi yang tidak terdapatda sapi dan kerbau, kemungkinan besar semua nyamuk vektor menggigit orang. Sedangkan pada daerah dengan ternak di kandang seperti di Pulau Jawa, jumlah nyamuk yang menggigit orang umumnya rendah berkisar 0,23% – 31,60% (Barodji 2002). Sebelumnya, hal yang sama juga dilaporkan Kirnowardoyo (1984) setelah melakukan uji presipitin terhadap darah yang dihisap oleh A. aconitus dari beberapa lokasi di Jawa Tengah. Hasilnya menunjukkan 93,5% berasal dari darah hewan dan hanya 6,5% berasal dari manusia. Analisis darah hewan menunjukkan, ternyata darah bovidae (kerbau dan sapi) merupakan sumber utama, lebih dari 90%. D i beberapa lokasi lain, yang jumlah ternak sangat sedikit atau tidak ada sama sekali, indeks nilai darah yang berasal dari manusia (human blood index ) naik menjadi 54,3%. Di Indonesia, Soedir (1985) dan Boewono (1986) juga telah melakukan riset efektifitas zooprofilaksis. Dari hasil riset tersebut, Soedir merekomendasikan sapi dan domba sebagai media zooprofilaksis, karena mampu menarik perhatian nyamuk lebih besar dibandingkan manusia sebagai pembanding. Sedangkan riset Boewono menunjukkan tidak ada perbedaan yang berarti antara sapi dan kerbau dalam menarik perhatian nyamuk. Keduanya dapat dimanfaatkan sebagai barrier, namun untuk efektifitas penggunaannya masih perlu diteliti jarak yang tepat antara ka ndang kedua hewan tersebut dengan rumah penduduk.
37
Ide zooprofilaksis kemudian mengalami perkembangan lebih lanjut dengan pemanfaatan insektisida untuk lebih meningkatkan efektifitas zooprofilaksis. Sejauh ini, ada dua riset yang dilaporkan menggunakan
kombinasi insektisida dan
zooprofilaksis. Pertama penyemprotan kandang ternak yang menjadi zooprofilaksis. Program tersebut menurut Barodji (2002) dapat menghemat penggunaan insektisida sebesar 83% bila dibandingkan penyemprotan dalam rumah (indoor spraying). Selain itu dapat menekan SPR (Slide Positive Rate) penderita malaria sebesar 91,9% dari 3,22% menjadi 0,26 %. Metode kedua adalah paparan insektisida langsung ke tubuh ternak. Rowland et al. (2001) melaporkan insektisida deltametrin yang dipaparkan la ngsung ke tubuh sapi milik pengungsi Afganistan di Pakistan dengan cara di balur dengan alat spons (sponge), dapat menurunkan insiden malaria falciparum dan vivax sebesar 56% dan 31%. Bila dibandingkan dengan penyemprotan dalam rumah, metode ini lebih efisien karena insektisida dapat dihemat sampai 80%. Hasil penelitian tersebut juga mencatat terjadi penurunan kelimpahan nisbi A. stephensi dan A. culicifaes masing-masing sebesar 47% dan 46%, sedangkan parous rate (PR) kedua nyamuk tersebut juga masing-masing menurun menjadi 27% dan 22%. Dari segi produktivitas, terjadi peningkatan berat badan ternak secara signifikan. Untuk ternak unggul dari 223 kg menjadi 241 kg sedangkan ternak lokal dari 147 kg menjadi 184 kg dalam kurun waktu empat bulan. Rata-rata kenaikan tersebut berkisar 22 kg untuk ternak unggul dan 20 kg untuk ternak lokal. Keuntungan lainnya, investasi kutu ternak dapat dihilangkan dalam kurun waktu tiga hari setelah perlakuan. Pengamatan populasi nyamuk Anopheles antara pra dan pasca perlakuan menunjukkan adanya penurunan signifikan kepadatan populasi
khusus nyamuk A.
vagus. Sedangkan untuk spesies Anopheles lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Kemungkinan hal tersebut terjadi karena jumlah populasi ke tujuh spesies Anopheles tersebut sangat sedikit sewaktu dilaksanakan penelitian. Selama sembilan kali paparan yang dilaksanakan pasca perlakuan, terjadi penurunan angka gigitan nyamuk A. vagus dari 1,37 pada awal pengamatan menurun
38
hingga 0,31 pada akhir paparan. Jauh lebih rendah dibanding angka gigitan A. vagus pada pengamatan pra pelakuan yang berkisar 1,14 sampai 1,15. Penurunan angka gigitan nyamuk A. vagus yang cukup signifikan terjadi pada pengamatan hari pertama sampai hari ke 15 (Ho – H+12) selama lima kali pemapa ran insektisida pada kerbau. Pengamatan pada periode berikutnya dari hari ke 18 sampai hari 27 (H+15 – H+24) tidak lagi menunjukkan penurunan yang berarti. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa pemaparan insektisida deltametrin pada kerbau di lokasi penelitian selama lima kali perlakuan dengan selang waktu tiga hari per perlakuan sudah cukup untuk menurunkan populasi A. vagus yang dominan. Untuk efektifitas penggunaan insektisida, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan insektisida yang daya kerjanya bersifat sistemik dalam pelaksanaan zooprofilaksis. Informasi hasil pemaparan insektisida sistemik pada hewan ternak diharapkan dapat dibandingkan dengan pemaparan insektisida yang bersifat kontak. Sehingga dapat diperoleh efektifitas penggunaan insektisida yang lebih baik pada program zooprofilaksis di masa mendatang. Selain itu, perlu juga dipikirkan penggunaan ternak yang berukuran kecil seperti kambing dan domba. dalam program zooprofilaksis dengan pemaparan insektisida. Terutama pada daerah endemis malaria yang tidak dapat memelihara ternak berbadan besar karena keterbatasan pakan ternak di tempat tersebut. Terutama pada pesisir pantai dan pada daerah-daerah yang kurang subur. Menurut Soedir (1985), domba mempunyai daya tarik yang cukup besar terhadap nyamuk, sehingga cukup layak untuk menjadi barrier antara nyamuk dengan manusia. Keuntungan lain adalah investasi kutu dan ektoparasit lainnya pada kerbau pasca perlakuan menjadi jauh berkurang dibanding pra perlakuan. Kerbau tampak sehat dan bersih walaupun ada efek samping lainnya, yaitu bulu-bulu pada permukaan tubuh kerbau menjadi rontok dan berkurang akibat terpapar insektisida. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi instansi kesehatan dan
peternakan
untuk
saling
bahu-membahu
bekerjasama
menanggulangi
permasalahan tersebut. Dari segi kesehatan manusia, pengadaan dan penyebaran ternak tersebut dapat menjadi tameng yang mengalihkan gigitan nyamuk dari manusia ke hewan. Dengan demikian diharapkan angka gigitan nyamuk pada manusia akan jauh menurun. Sehingga kemungkinan penularan parasit dari orang sakit ke orang sehat diharapkan akan semakin kecil peluangnya (Sigit dan Kesumawati 1988).
39
Dari segi kesehatan ternak keuntungan yang diperoleh adalah dapat mengurangi investasi nyamuk serta serangga hama lainnya. Dengan demikian produktivitas berupa bobot badan
serta produksi susu hewan tersebut semakin
meningkat (Rowland et al. 2001). Untuk mencegah kemungkinan timbulnya toleransi nyamuk Anopheles terhadap insektisida yang digunakan, perlu diadakan seleksi ketat terhadap daerah tempat pelaksanaan paparan insektisida terhadap ternak. Tempat tersebut harus merupakan daerah endemis malaria atau pernah terjadi kejadian luar biasa .
40
KESIMPULAN 1. Paparan insektisida deltametrin pada ternak kerbau dapat dijadikan alternatif pemberantasan nyamuk Anopheles selain cara penyemprotan insektisida pada dinding rumah dan penyemprotan insektisida pada kandang ternak.
2. Lokasi penelitian
di desa Cikarawang perlu diwaspadai
reseptif malaria (terdapat vektor A. aconitus
sebagai daerah
walaupun belum dilaporkan
adanya penderita malaria ), mengingat adanya A. aconitus yang merupakan vektor utama penyakit Malaria di Pulau Jawa serta A. vagus yang telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria di Propinsi Nusa Tenggara Timur.
SARAN
1. Perlu
dilakukan uji
efikasi lebih lanjut untuk membandingkan
insektisida yang berbentuk WP (
Wettable
(Emulsilible Concentrate)
kerbau yang tidak digunakan sebagai
pada
Powder)
dengan
residu EC
pekerja, serta pada ternak lainnya yang dipelihara disekeliling rumah, terutama di daerah endemis malaria 2. Perlu dilakukan paparan insektisida non residual (sistemik) pada kerbau dan hewan ternak lainnya untuk membandingkan hasilnya dengan insektisida yang bersifat residual. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang Anopheles
perilaku menggigit nyamuk
yang bersifat zoofilik dalam setiap musim, untuk mendapatkan
informasi perilaku menggigit pada musim hujan dan musim kemarau.
41
L
A
M
P
I
R A N
42
Lampiran 1. Bagian thorax dan kepala, sayap serta kaki Anopheles vagus
a
b
c. Keterangan: a) Gambar seluruh bagian tubuh A. vagus ; b) Thorax dan kepala A. vagus ; gelang pucat diujung palpi panjangnya 3 x panjang gelang gelap di bawahnya; c) Sayap A. vagus, pada costa dan urat satu ada empat atau lebih noda pucat.
43
Lampiran 2.
Pemberian deltametrin pada sapi di kamp pengungsi Afganistan, Pakistan (Sumber foto. Lancet).
44
Lampiran 3. Pengamatan Populasi A. kochi Pra dan Pasca Perlakuan Penga Matan Jumlah
MBR
(ekor)
Hasil Penangkapan Total (UOD +UOL)
UOL
UOD
Jumlah
M BR
(ekor)
H-9
0
0
1
H-6
1
0.0125
H-3
1
0.0125
Ho
0
H+3
Jumlah
MBR
(ekor) 0
1
0.0125
1
0
2
0.0250
3
0.0375
4
0.05
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
H+6
1
0.0125
3
0.0375
4
0.05
H+9
0
0
0
0
0
0
H+12
0
0
0
0
0
0
H+15
0
0
0
0
0
0
H+18
0
0
0
0
0
0
H+21
0
0
0
0
0
0
H+24
0
0
0
0
0
0
Keterangan:
H-9 – H-3 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pra Perlakuan Ho – H+24 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pasca Perlakuan
45
Lampiran 4. . Pengamatan Populasi A. nigerimu s Pra dan Pasca Perlakuan Penga Matan
Hasil Penangkapan Total (UOD +UOL)
UOL
UOD
H-9
1
0.0125
0
0
1
0.0125
H-6
1
0.0125
1
0.0125
2
0.025
H-3
0
0
0
0
0
0
Ho
0
0
0
0
0
0
H+3
0
0
0
0
0
0
H+6
0
0
1
0.0125
1
0.0125
H+9
0
0
0
0
0
0
H+12
0
0
0
0
0
0
H+15
1
0.0125
0
0
1
0.0125
H+18
1
0.0125
0
0
1
0.0125
H+21
0
0
2
0.0250
2
0.0250
H+24
0
0
4
0.05
4
0.05
Keterangan:
H-9 – H-3 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pra Perlakuan Ho – H+24 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pasca Perlakuan
46
Lampiran 5. Pengamatan Populasi A. tesselatus Pra dan Pasca Perlakuan Penga Matan Jumlah
MBR
(ekor)
Hasil Penangkapan Total (UOD +UOL)
UOL
UOD
Jumlah
MBR
(ekor)
Jumlah
MBR
(ekor)
H-9
0
0
0
0
0
0
H-6
1
0.0125
0
0
1
0.0125
H-3
0
0
0
0
0
0
Ho
0
0
0
0
0
0
H+3
0
0
0
0
0
0
H+6
0
0
0
0
0
0
H+9
0
0
0
0
0
0
H+12
0
0
0
0
0
0
H+15
0
0
0
0
0
0
H+18
0
0
0
0
0
0
H+21
0
0
0
0
0
0
H+24
0
0
0
0
0
0
Keterangan:
H-9 – H-3 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pra Perlakuan Ho – H+24 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pasca Perlakuan
47
Lampiran 6. Pengamatan Populasi A. annularis Pra dan Pasca Perlakuan Penga Matan Jumlah
MBR
(ekor)
Hasil Penangkapan Total (UOD +UOL)
UOL
UOD
Jumlah
MBR
(ekor)
Jumlah
MBR
(ekor)
H-9
0
0
0
0
0
0
H-6
0
0
1
0.0125
1
0.0125
H-3
0
0
0
0
0
0
Ho
0
0
0
0
0
0
H+3
0
0
0
0
0
0
H+6
0
0
0
0
0
0
H+9
0
0
0
0
0
0
H+12
0
0
1
0.0125
1
0.0125
H+15
0
0
0
0
0
0
H+18
0
0
0
0
0
0
H+21
0
0
0
0
0
0
H+24
0
0
0
0
0
0
Keterangan:
H-9 – H-3 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pra Perlakuan Ho – H+24 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pasca Perlakuan
48
Lampiran 7. . Pengamatan Populasi A. barbirostris Pra dan Pasca Perlakuan Penga matan Jumlah
MBR
(ekor)
Hasil Penangkapan Total (UOD +UOL)
UOL
UOD
Jumlah
MBR
(ekor)
Jumlah
MBR
(ekor)
H-9
2
0.025
0
0
2
0.025
H-6
0
0
1
0.0125
1
0.0125
H-3
1
0.0125
0
0
1
0.0125
Ho
0
0
0
0
0
0
H+3
0
0
1
0.0125
1
0.0125
H+6
0
0
3
0.0375
3
0.0375
H+9
0
0
1
0.0125
1
0.0125
H+12
0
0
0
0
0
0
H+15
1
0.0125
0
0
1
0.0125
H+18
1
0.0125
0
0
1
0.0125
H+21
0
0
1
0.0125
1
0.0125
H+24
0
0
3
0.0375
3
0.0375
Keterangan:
H-9 – H-3 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pra Perlakuan Ho – H+24 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pasca Perlakuan
49
Lampiran 8. Angka Gigitan Nyamuk Anopheles Pra dan Pasca Perlakuan Insektisida A. Hari Paparan aconitus H-9
A. annularis
A.
A.
barbirostris indefinitus
A. kochi
A.
A.
nigerimus tesselatus
A. vagus
0.0375
0
0.025
0.05
0.0125
0.0125
0
1.1375
H-6
0
0.0125
0.0125
0.125
0.025
0.025
0.0125
1.15
H-3
0.0125
0
0.0125
0.5
0.05
0
0
1.1375
Ho
0
0
0
0.1
0
0
0
1.3375
H+3
0
0
0.0125
0.075
0
0
0
1.2625
H+6
0.0125
0.0375
0.15
0.05
0.0125
0
0.675
H+9
0
0
0.0125
0.125
0
0
0
0.6375
H+12
0.0125
0.0125
0
0.05
0
0
0
0.475
H+15
0
0
0.0125
0.0625
0
0.0125
0
0.4
H+18
0.0125
0
0.0125
0.075
0
0.0125
0
0.4125
H+21
0.025
0
0.0125
0.075
0
0.025
0
0.375
H+24
0.025
0
0.0375
0.075
0
0.05
0
0.2875
Keterangan
H-9 – H-3 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pra Perlakuan Ho – H+24 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pasca Perlakuan
50
51