EDAJ 5 (3) (2016)
Economics Development Analysis Journal http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/edaj
ANALISIS PENGARUH KONSUMSI ROKOK DENGAN KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH Agnes Marisca Dian Sari Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: DiterimaJuni 2016 Disetujui Juli 2016 Dipublikasikan Agustus 2016
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kemiskinan dengan konsumsi rokok di Jawa Tengah tahun 2013 dan mengetahui pengaruh pajak rokok dengan konsumsi rokok di Jawa Tengah tahun 2013. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Metode analisis yang digunakan ialah regresi Ordinary Least Square (OLS) dengan data cross section tahun 2013 di Provinsi Jawa Tengah dengan 35 Kabupaten/Kota. Hasil penelitian ini adalah ketika Garis kemiskinan naik maka akan menaikan konsumsi rokok. Variabel Garis kemiskinan signifikan dan positif terhadap konsumsi rokok di Jawa Tengah tahun 2013.Variabel pajak rokok bernilai positif namun tidak signifikan. Variabel Kemiskinan dan pajak rokok mampu menjelaskan tingkat konsumsi rokok sebesar 0.1263% dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain. F-statistik sebesar 2,31. F-tabel sebesar 1,37, dan t-tabel sebesar 2,034.Hasil penelitian dapat disimpulkan adanya pengaruh antara konsumsi rokok dengan kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2013. Ketika konsumsi rokok di Jawa Tengah naik maka meningkatkan kemiskinan di Jawa Tengah pada Tahun 2013 dan pengaruh antara konsumsi rokok dan pajak rokok di Jawa Tengah pada tahun 2013 tidak signifikan tapi bernilai positif. Artinya kebijakan pajak di Jawa Tengah belum mampu untuk mengurangi konsumsi rokok di Jawa Tengah pada tahun 2013. Meskipun sudah ada pajak rokok namun konsumsi rokok tetap terus meningkat.
________________ Keywords: Poverty; Cigarette Consumption; Cigarette Tax ____________________
Abstract ________________________________________________________________ The problems of this research were how the association of poverty with cigarette consumption in Central Java in 2013, and how the association of cigarette tax with cigarette consumption in Central Java in 2013. The aims of this research were to find out the effects of poverty on cigarette consumption in Central Java in 2013 and to recognize the effects of tax cigarette on cigarette consumption in Central Java in 2013. The type of the data used was secondary data. The analysis method used was the regression of Ordinary Least Square (OLS) with the cross section data of 2013 in 35 Districts of Central Java Province.The research results show that when the Poverty Line increases, it increases cigarette consumption. The variable on Poverty Line has effect on cigarette consumption in Central Java in 2013. The variable of cigarette tax has positive insignificant value. The variables of poverty and cigarette tax are able to explain the level of cigarette consumption of 0.1263%, and the remaining variables are explained by the other variables. F- statistic is 2,31, F-table is 1,37, and t-table is 2.034. Based on the research results, it can be concluded that there is a significant association between cigarette consumption and poverty in Central Java in 2013. When cigarette consumption rose, it increased the poverty in Central Java in 2013. The association between cigarette consumption and cigarette tax in Central Java in 2013 was not significant but had positive value. It means that the tax policy in Central Java is not able to reduce cigarette consumption in Central Java in 2013. Although there has been a cigarette tax, the cigarette consumption continues to increase.
© 2016 Universitas Negeri Semarang ISSN 2252-6765
Alamat korespondensi: Gedung C6 Lantai 1 FE Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
242
Agnes Marisca Dian Sari/ Economics Development Analysis Journal 5 (3) (2016)
PENDAHULUAN The Tobacco Atlas 3rd Menurut edition(2009), ASEAN merupakan sebuah kawasan dengan 10% dari sepuluh perokok dunia dan 20% penyebab kematian global akibat tembakau. Persentase perokok pada penduduk di negara ASEAN terbesar di Indonesia (46,16%), Filipina (16,62%), Vietnam (14,11%), Myanmar (8,73%), Thailand (7,74%), Malaysia (2,90%), Kamboja (2,07%), Laos (1,23%), Singapura (0,39%), dan Brunei (0,04%). Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO prevalensi orang dewasa yang merokok di Indonesia setiap hari cukup tinggi, yaitu pada tingkat 29 persen. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004 menunjukkan bahwa prevalensi perokok laki-laki mulai usia 15 tahun sebesar 63,0%.Hasil Riset Kesehatan Daerah Provinsi Jawa Tengah (Riskesdas tahun 2007) menyebutkan bahwa remaja (15–19 tahun) yang merokok tiap hari sebanyak 24,3%, dengan ratarata rokok yang dihisap 8,9 batang. Konsumsi rokok merupakan suatu kekhawatrian bagi negara berkembang seperti Indonesia dan sebagai penyumbang kemiskinan. Sebagian besar dari penduduk Indonesia merupakan perokok aktif yang berarti besarnya penyumbang kemiskinan di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) kemiskinan di Indonesia dapat berkurang jika konsumsi rokok di Indonesia juga berkurang. Konsumsi rokok memiliki dampak bagi masyarakat dalam lingkaran setan terutama pada masyarakat miskin. Konsumsi rokok memliki bahaya bagi penurunan tingkat kesehatan karena kandungan yang ada dalam rokok memiliki zat yang berbahaya bagi kesehatan. Undang-Undang Cukai menetapkan bahwa tarif cukai adalah untuk menurunkan konsumsi produk tembakau dan mengendalikan distribusinya karena produk tembakau berbahaya bagi kesehatan. Peningkatan tarif cukai tembakau adalah cara yang paling efektif untuk mengurangi kerugian kesehatan dan ekonomi akibat konsumsi tembakau naum tetap saja konsumsi rokok di Indonesia terus meningkat. Kebijakan pajak rokok diharapkan di satu sisi untuk meningkatkan pendapatan daerah dan di sisi lain untuk mengendalikan konsumsi rokok. Ketika
rokok dikenakan pajak maka akan meningkatkan harga rokok dan masyarakat diharapkan dapat mengurangi konsumsi rokok. Penerimaan pajak rokok di Jawa Tengah dinilai tinggi yang disebabkan salah satunya oleh banyak pabrik rokok yang besar contohnya Djarum 76 dan masih banyak perusahaanperusahaan rokok yang besar. Jawa Tengah termasuk 3 provinsi yang memiliki penerimaan dana yang besar di bidang pajak rokok yang dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1. 3 Provinsi terbesar penerimaan dana pajak rokok di kab/kota tahun 2013-2014 Provinsi 2013 2014 Jawa 1.124.515.106.5 1.327.293.273.72 Barat 38 8 Jawa 945.485.014.89 1.156.195.865.05 Timur 5 9 Jawa 807.216.378.98 998.996.836.060 Tengah 9 Sumber : Buku Panduan Umum Penggunaan Dana Pajak Rokok Untuk Bidang Kesehatan. Dari 33 Provinsi yang ada di Indonesia Jawa Tengah menempati posisi 3 dengan penerimaan pajak yang tertinggi. Pada tahun 2013 penerimaan dana pajak sebesar Rp 807.216.378.989 dengan kontribusi 13,13% dan pada tahun 2014 Rp 998.996.836.060 dengan kontribusi 13,63%. Pajak dan pungutan lain yang dilakukan pemerintah atas produk tembakau terdiri dari Pajak pertambahan nilai, cukai dan pajak rokok. Pajak Pertambahan nilai dan cukai merupakan pajak pemerintah pusat sedangkan pajak rokok merupakan pajak daerah yang pemungutannya bersamaan dengan pengenaan cukai. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pemerintah Daerah khususnya provinsi diberi kewenangan memungut pajak rokok sebesar 10% dari tarif cukai rokok nasional. Obyek pajak rokok adalah adalah konsumsi rokok, yang terdiri dari sigaret, cerutu, dan rokok daun. Sedangkan subyeknya konsumen rokok, dengan wajib pajak pengusaha
243
Agnes Marisca Dian Sari/ Economics Development Analysis Journal 5 (3) (2016)
pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC). Konsumsi rokok menempati posisi kedua setelah beras dalam daftar komoditi makanan. Pemerintah menerapkan cukai dan pajak dengan harapan masyarakat miskin akan mengurangi konsumsi terhadap rokok dan mengalihkan konsumsi ke bahan pangan lainnya. kemiskinan di Jawa Tengah tergolong tinggi dibandingkan dengan jumlah kemiskinan di provinsi lainnya di Indonesia. Menurut BPS Jawa Tengah September 2013 jumlah penduduk miskin mencapai 4704,87Juta Orang. Selama periode Maret – September 2013, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang sekitar 40,48 ribu orang (dari 1.911,21 ribu orang pada Maret 2013 menjadi 1.870,73 ribu orang pada September 2013), sementara di daerah perdesaan bertambah 12,40 ribu orang (dari 2.821,74 ribu orang pada Maret 2013 menjadi 2.834,14 ribu orang pada September 2013). Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2013 sebesar 12,87 persen menurun menjadi 12,53 persen pada September 2013. Namun persentase penduduk miskin di daerah perdesaan meningkat yaitu dari 15,99 persen pada Maret 2013 menjadi 16,05 persen pada September 2013. Semakin tinggi konsumsi rokok di Jawa Tengah menjadi penyebab tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tergolong tinggi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan kemiskinan dengan konsumsi rokok di Jawa Tengah tahun 2013 dan bagaimana hubungan pajak rokok dengan konsumsi rokok di Jawa Tengah tahun 2013. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kemiskinan dengan konsumsi rokok di Jawa Tengah tahun 2013 dan mengetahui pengaruh pajak rokok dengan konsumsi rokok di Jawa Tengah tahun 2013. Salvatore (dalam Anwar 2007) berpendapat bahwa individu meminta suatu komoditi tertentu karena kepuasan yang diterima dari mengkonsumsi suatu barang sampai pada titik tertentu. Semakin banyak unit komoditi yang dikonsumsi individu tersebut per unit waktu, akan semakin besar utiliti total yang akan diterima. Menurut Nurhadi (dalam Anwar 2007)
konsumsi adalah kegiatan manusia menggunakan atau memakai barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan. Mutu dan jumlah barang yang di gunakan oleh konsumen menunjukkan tingkat kemakmuran konsumen. Tujuan konsumsi sendiri ialah untuk mencapi kepuasan maksimum dari kombinasi barang atau jasa yang digunakan. Kemiskinan merupakan gambaran kondisi ketiadaan kepemilikan dan rendahnya pendapatan, atau secara lebih rinci menggambarkan suatu kondisi tidak dapat terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan, papan, dan sandang. Beberapa definisi menggambarkan kondisi ketiadaan tersebut. Salah satunya adalah definsi kemiskinan yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS), yang menjelaskan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Pengukuran kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidak mampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minumum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan,minyak dan lemak,dll). Garis kemiskinan non makanan (GNKM) adalah kebutuhan minumum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan. Pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
244
Agnes Marisca Dian Sari/ Economics Development Analysis Journal 5 (3) (2016)
Pemerintah Daerah khususnya Provinsi diberi kewenangan memungut pajak rokok sebesar 10% dari tarif cukai rokok nasional. Obyek pajak rokok adalah adalah konsumsi rokok, yang terdiri dari sigaret, cerutu, dan rokok daun. Sedangkan subyeknya konsumen rokok, dengan wajib pajak pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC). Pajak rokok dipungut oleh pemerintah bersamaan dengan pemungutan cukai rokok dan disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional, berdasarkan jumlah penduduk. Dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan terhadap rokok, dengan besaran tarif 10% dari cukai rokok. Pemanfaatan pajak rokok minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
Adapaun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Studi pustaka, yaitu metode pengumpulan data dengan membaca litertaur terkait konsumsi rokok dan kemiskinan, maupun sumber lain seperti dokumen di BPS, Riskesdas, buku panduan umum penggunaan dana pajak rokok untuk bidang kesehatan , yang terkait dengan penelitian ini. Informasi lain bersumber dari studi kepustakaan lain berupa jurnal ilmiah dan bukubuku teks. Varibael penelitian yang digunakan ada 3 yaitu konsumsi rokok (Y), kemisknan (X1), dan pajak rokok (X2). Metode analisis yang digunakan ialah regresi Ordinary Least Square (OLS) dengan data cross section tahun 2013 di Provinsi Jawa Tengah dengan 35 Kabupaten/Kota. Dengan Uji R-Square, Uji FStatistik, Uji T-Statistik, Uji Normalitas, Uji Multikolinearitas, dan Uji Heteroskedastisitas. HASIL ANALISIS DATA
METODE PENELITIAN Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang diambil dari sumber yang telah ada yang sudah diolah oleh pihak ketiga, dalam waktu tertentu (at a point of time) yang dapat menggambarkan keadaan/kegiatan pada waktu tersebut. Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari BPS, file publikasi dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014 dan RISKESDAS Jawa Tengah tahun 2013.
Analisis regresi berganda digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat yang dibahas dalam penelitian ini. Dalam hal ini analisis regresi bertujuan untuk menghitung seberapa besar pengaruh garis kemiskinan dan pajak terhadap konsumsi rokok di Jawa Tengah pada tahun 2013. Hasil regresi ini menggunakan alat bantu yaitu program komputer Eviews 8.0. Hasil regresi berganda yang di dapat adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil Regresi Berganda Variabel Koefisien Std. Eror t-Statistik Prob. C 2682,959 607,4643 4,416640 0,0001 X1 0,003597 0,001692 2,126210 0,0413 X2 0,00000000117 0,0000000102 0,114600 0,9095 Sumber: Hasil Olahan Eviews 8 Keterangan: Persamaan regresi berganda antara Garis Y adalah Konsumsi Rokok (Batang) kemiskinan (X1), Pajak (X2), dan Konsumsi X1 adalah Garis Kemiskinan (Rupiah) rokok (Y) di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 X2 adalah Pajak Rokok (Rupiah) adalah e adalah Error Dari hasil model regresi yang disajikan dapat dibuat suatu interpretasi statistik tentang Y = 2682,59 + 0,003597X1 + 0,00000000117 X2 perubahan pada variabel dependen yang +e
245
Agnes Marisca Dian Sari/ Economics Development Analysis Journal 5 (3) (2016)
disebabkan oleh perubahan pada variabel independen. 1. Nilai konstanta sebesar 2682,59. Mengandung arti bahwa tanpa adanya variabel-variabel garis kemiskinan dan pajak rokok, tingkat konsumsi rokok masyarakat Jawa Tengah adalah 2683 batang. 2. Nilai koefisien X1 (Garis kemiskinan) adalah 0,003597. Mengandung arti bila terjadi kenaikan garis kemiskinan 1 rupiah akan diikuti dengan kenaikan konsumsi rokok sebesar 0,003 batang rokok. Hal ini menunjukan bahwa signifikan hipotesis adanya pengaruh positif dan signifikan variabel garis kemiskinan terhadap konsumsi rokok terbukti. 3. Nilai koefisien X2 (Pajak rokok) adalah 0,00000000117. Mengandung arti bila terjadi kenaikan pajak rokok 1 rupiah akan diikuti dengan kenaikan konsumsi rokok sebesar 0,00 batang rokok. Berdasarkan hasil output program eviews, diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.126323 yang berarti bahwa variabel-variabel bebas yaitu garis kemiskinan dan pajak rokok secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap konsumsi rokok sebesar 12.63 persen
sedangkan sisanya 87.37 persen dijelaskan oleh varibael lain yang tidak termasuk dalam model estimasi. Karena ini data cross section maka R2 tidak terlalu tinggi. Pengaruh Garis kemiskinan (X1), pajak rokok (X2), terhadap Konsumsi rokok (Y) di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2013 menggunakan taraf keyakinan 95% (α=0,05) degree of freedom (df1=K-1=2-1) di peroleh Ftabel sebesar 1,37. Sedangkan F-statistik sebesar 2,31 dan nilai probabilitas F-statistik 0.115243. Maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen bersam-sama berpengaruh terhadap variabel dependen (F-hitung>F-tabel).Pengaruh Garis Kemiskinan (X1), Pajak Rokok (X2) terhadap konsumen rokok (Y) di Jawa Tengah tahun 2013. Dengan menggunakan taraf keyakinan 95 % (α=0,05) degree of freedom (df=n-k=35-2-1= 33) diperoleh t-tabel sebesar 2,034. Secara individu Pajak rokok (X 2) berpengaruh signifikan dan berpengaruh positif pada konsumsi rokok (Y) di Jawa Tengah. Garis kemiskinan (X1) berpengaruh tidak signifikan dan postif pada konsumsi rokok (Y) di Jawa Tengah dengan α=5% atau taraf keyakinan 95%.
7
Series: Residuals Sample 1 35 Observations 35
6 5 4 3 2 1
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
2.66e-13 -2.922800 976.1132 -613.6231 346.6492 0.412040 3.313300
Jarque-Bera Probability
1.133511 0.567363
0 -600
-400
-200
0
200
400
600
800
1000
Gambar 1. Hasil Uji Normalitas Sumber: Hasil Olahan Eviews Hasil perhitungan uji normalitas, terlihat bahwa residual mempunyai nilai probability 0,56
dan tingkat signifikansi lebih besar dari 0,05. Nilai Jarque-Bera pada data ini sebesar 1,133469
246
Agnes Marisca Dian Sari/ Economics Development Analysis Journal 5 (3) (2016)
dengan X2 sebesar 45,77. Jarque-Bera lebih kecil dari pada X2. Berdasar tabel di atas, dapat
disimpulkan bahwa residual memiliki data yang berasal dari populasi normal.
Tabel 3. Hasil Uji Multikolinearitas Garis_Kemiskinan Garis_Kemiskinan 1 Pajak -0.2038 Sumber: Hasil Olahan Eviews Tabel di atas menunjukkan korelasi antara garis kemiskinan dengan pajak rokok sebesar 0.2038, dengan nilai koefisien korelasi (r) antar variabel independen pada model yang
digunakan dalam penelitian < 0,80, maka dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat masalah multikorelasi pada model penelitian.
Tabel 4. Hasil Uji Heteroskedasitas Heteroskedasticity Test White F-statistic 1.334499 Prob.F(2,32) Obs*R-Squared Scaled 2.694480 Prob.Chi-Square(2) ExplainedSS 2.605179 Prob.Chi-Square(2) Sumber: Hasil Olahan Eviews 8 Metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas pada penelitian ini adalah pengujian White. Tabel 4 menunjukkan bahwa model tidak mengandung heteroskedasitas, karena nilai probabilitas Chi Squares sebesar 0,2600 lebih besar dari nilai α sebesar 0,05. Garis kemiskinan dan konsumsi rokok bernilai positif yang artinya ketika konsumsi rokok meningkat maka akan meningkatkan konsumsi rokok dan sebaliknya ketika konsumsi rokok turun maka kemiskinan cenderung akan turun. Angka kemiskinan dapat diturunkn bila konsumsi rokok dikendalikan. Mengalihkan konsumsi rokok untuk memenuhi kebutuhan gizi lainnya atau kebutuhan non pangan salah satunya pendidikan dan kesehatan. Rokok sama sekali tidak memiliki nilai kalori sehingga tidak dapat menyumbang pengurangan kemiskinan dari garis kemiskinan. Ketika konsumsi rokok semakin meningkat maka akan menyumbang peningkatan pada masyarakat miskin untuk menjauh dari garis kemiskinan. Ketika Garis kemiskinan naik maka akan menaikan konsumsi rokok. Variabel Garis kemiskinan berpengaruh terhadap konsumsi
Pajak -0.2038 1
0.2775 0.2600 0.2718
rokok di Jawa Tengah tahun 2013. Temuan ini sejalan dengan WHO bahwa konsumsi rokok pada masyarakat miskin lebih tinggi dari pada konsumsi rokok pada masyarakat yang berpenghasilan digaris rata-rata. Lebih lanjut menurut BPS bahwa kemiskinan turun jika konsumsi rokok turun. Menurut Muhammad dan Tri konsumsi rokok merupakan konsumsi yang tidak ada manfaatnya bagi kehidupan dan bahkan akan merusak kesehatan. Pengeluaran rokok pada rumah tangga miskin ternyata sangat tinggi. Sehingga menjadikan inspirasi pemerintah untuk tidak memberikan bantuan berupa raskin, jamkesmas atau bantuan lainnya kepada rumah tangga miskin. Jumlah maupun persentase pengeluaran yang digunakan untuk merokok pada RTM lebih tinggi dari pada RTSM. Hal ini dapat dikatakan bahwa pada rumah tangga miskin semakin tinggi pendapatan maka akan semakin tinggi pula konsumsi untuk merokok. Pengeluaran untuk rokok ini melebihi pengeluaran untuk pendidikan ataupun kesehatan. Menurut Nasruddin dan piping rumah tangga yang tidak mempunyai pengeluaran untuk merokok menunjukkan
247
Agnes Marisca Dian Sari/ Economics Development Analysis Journal 5 (3) (2016)
bahwa rumah tangga tersebut tidak mengkonsumsi rokok atau tidak ada anggota rumah tangga tersebut yang mengkonsumsi rokok. persentase rumah tangga miskin yang mengkonsumsi rokok pada tahun 2008 mencapai 46,33 persen. Yang artinya hampir setengahnya perokok di Indonesia tergolong oleh kondisi perekonomian yang di bawah garis rata-rata. Variabel Pajak rokok tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok di Jawa Tengah tahun 2013. Artinya niat pemerintah dengan adanya pajak untuk mengurangi konsumsi rokok belum di respon baik oleh perokok aktif. Dilihat dari data adanya pajak rokok tidak mempengaruhi konsumsi rokok. Perokok pasif tetap membeli rokok meskipun adanya kenaikan harga akibat diberlakukannya pajak rokok. Perokok aktif di Jawa Tengah tetap membeli rokok meskipun harga rokok naik karena penambahan dari pajak rokok. Perokok aktif di Jawa Tengah tetap membeli rokok meskipun sudah dikenakan pajak disebabkan karena sifat adiktif dari rokok yang membuat perokok aktif kecanduan dan ketergantungan terhadap rokok, selain itu harga rokok masih dapat dijangkau oleh perokok aktif meskipun mereka harus mengabaikan kebutuhan makanan yang lainnya yang nilai gizinya tinggi. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut ialah ada pengaruh garis kemiskinan terhadap konsumsi rokok di Jawa Tengah tahun 2013. Adapun pengaruh positif dan signifikan, ketika konsumsi rokok di Jawa Tengah naik maka meningkatkan garis kemiskinan di Jawa Tengah pada Tahun 2013. Artinya ketika konsumsi rokok meningkat maka akan meningkatkan garis kemiskinan di Jawa Tengah. Tidak ada pengaruh pajak rokok terhadap konsumsi rokok di Jawa Tengah pada tahun 2013. Artinya kebijakan pajak tidak mampu untuk mengurangi konsumsi rokok di Jawa Tengah pada tahun 2013. Meskipun sudah ada pajak rokok namun konsumsi rokok tetap terus meningkat. Disarankan (1)Dana penerimaan pajak benar-benar dipergunakan untuk mendukung
kesehatan yang di akibatkan oleh rokok dan untuk mengurangi paparan asap rokok, salah satunya memperbanyak Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan menyediakan smoking area. Serta memperketat sanksi jika ada perokok aktif merokok di tempat umum atau tempat yang sudah ada larangan merokok.(2)Pemerintah lebih memantau pemungutan cukai rokok agar tidak ada manipulasi pembayaran pajak dan pemerintah tidak bergantung pada data perusahaan rokok. Serta penyederhanaan sistem cukai yang spesifik yang tinggi untuk semua jenis rokok tanpa peduli jenis dan golongan produksinya.(3)Untuk Penelitian selanjutnya, diharapkan menambah variabel yang berkaitan, sehingga dapat mengetahui variabel yang mempengaruhi konsumsi rokok. DAFTAR PUSTAKA Adioetomo,et.al. 2001. Cigarette Consumption Taxation and Household Income,indonesia case study, HNP Discussion Paper,Economi of Tobacco Control paper No.26, Tobacco Free Initiative World Health Organization. Ahsan, A. 2006. “Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Perilaku Merokok Individu: Analisis Data Susenas 2004”. Tesis, Jakarta: Universitas Indonesia. Badan Pusat Statistik. 2013. Konsep Kemiskinan. BPS, Provinsi Jawa Tengah. ------------------------. 2012. Kemiskinan: tabel jumlah penduduk miskin. BPS, Jakarta ------------------------. 2014. Jawa Tengah Dalam Angka 2013. Jawa Tengah. BPS, Provinsi Jawa Tengah Buku Panduan Umum Penggunaan Dana Pajak Rokok Untuk Bidang Kesehatan Firdaus, Muhammad dan Tri Suryaningsih. 2009. Kemiskinan dan Tingginya Konsumsi Rokok: Faktor Penyebab Suitnya Implementasi Green Ekonomic di Pulau Jawa. Bogor. Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor. Kementrian Kesehatan. Infodatin.Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan. republik Indonesia. Mackay, J. & Erikson, M. 2002. The Tobacco Atlas. Bringhton, UK, World Health Organization (WHO). Maisaroh, S., & Sukhemi, S. (2015). PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENGEMBANGAN BUDAYA
248
Agnes Marisca Dian Sari/ Economics Development Analysis Journal 5 (3) (2016) KEWIRAUSAHAAN UNTUK MENGURANGI PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN.JEJAK: Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan, 4(1). doi:http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v4i1.46 38 Menteri Kesehatan. 2012. Fakta Tembakau. Tobacco Control Support Center. Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia. Puspita, D. (2015). ANALISIS DETERMINAN KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH. JEJAK: Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan, 8(1). doi:http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v8i1.38 58 Rahman, Y. (2015). IMPLEMENTASI PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN (P2KP) DI KECAMATAN TONJONG KABUPATEN BREBES TAHUN 2007. JEJAK: Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan, 3(1). doi:http://dx.doi.org/10.15294/jejak.v3i1.46 65.
Riskesdas. 2007. Laporan Propinsi Jawa Tengah. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Riskesdas. 2013. Laporan Propinsi Jawa Tengah. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Surjono, Nasurddin Djokok dan Piping Setyo Handayani. 2013. Dampak Pendapatan dan harga rokok terhadap tingkat konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Indonesia. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 Tentang ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.Jakarta. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah .Jakarta.
249