Orang Dayak dari Jaman ke Jaman 2 Ditulis oleh Admin Rabu, 14 Oktober 2009 22:04 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 07 Februari 2010 22:32
E. Siklus Kehidupan Masyarakat Dayak 1. Kelahiran Seperti pada kebanyakan suku bangsa lain di dunia, suku Dayak di Kalimantan juga memiliki siklus hidup yang kesemuanya terangkai dalam ritual-ritual adat yang telah mereka laksanakan turun-temurun selama berabad-abad lamanya.
Biasanya seorang wanita Dayak di pedalaman Kalimantan yang sedang hamil memiliki Ehet tatamba, yaitu jimat perempuan yang digunakan untuk melindungi dirinya disaat hamil. Sedang jika sudah tiba waktunya bagi si ibu untuk melahirkan, biasanya mereka akan melahirkan dengan bantuan Balian, atau bidan. Apabila ibu itu mengalami kesulitan pada saat hendak melahirkan bayinya, pihak keluarga segera membuat Kahang badak, yaitu tiruan ukuran pinggang badak yang dibuat dari daun rais lalu dipakaikan pada pinggang sang ibu dengan harapan pinggang sang ibu akan seluas pinggang badak, hingga proses melahirkan akan lebih mudah. Setelah bayi lahir biasannya bayi diberi Sampun Tuyung, yakni jimat yang dibungkus dengan kain hitam yang terdiri dari kumpulan kayu-kayuan yang dianggap mampu menangkal gangguan roh jahat terhadap bayi. Biasanya diikat dan digantungkan pada ayunan bayi.
Setelah seorang anak telah memasuki masa remaja atau akil balik, ada juga beberapa peraturan adat yang harus mereka taati. Jika tidak mereka harus mendapat hukuman dan denda sesuai dengan adat yang berlaku di masyarakat.
1/8
Orang Dayak dari Jaman ke Jaman 2 Ditulis oleh Admin Rabu, 14 Oktober 2009 22:04 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 07 Februari 2010 22:32
(Seorang Dokumentasi Gadis Tjilik Dayak Riwut di masa ) lalu
E.2. Perkawinan
Perkawinan pada masyarakat Suku Dayak di wilayah Kalimantan Tengah, menurut Tjilik Riwut di bagi menjadi tiga proses yaitu: 1) Hakumbang Auh atau proses peminangan, 2) Hisek atau proses pertunangan dan 3) Proses pernikahan atau perkawinan
E.2.1. Hakumbang Auh atau Proses Peminangan Apabila seorang laki-laki berniat mempersunting seorang gadis, maka pihak keluarga laki-laki berusaha untuk mencari tahu lebih banyak tentang asal-usul, sejarah keluarga, situasi dan kondisi si gadis.[1] Diteliti juga apakah si gadis masih sendiri atau sudah menikah. Biasanya pihak keluarga laki-laki akan mengutus wakilnya untuk menemui pihak keluarga perempuan untuk mendapatkan kepastian. Setelah jawaban pasti diperoleh dari pihak keluarga perempuan dilanjutkan dengan mengadakan pembicaraan serius pihak orangtua dan calon pengantin bersama dengan sesepuh kampung atau orang yang dituakan. Lalu pihak keluarga laki-laki datang berkunjung ke rumah keluarga pihak perempuan untuk menyatakan niatnya. Apabila niat dan tujuan telah diterima dengan baik, sebagai bukti kesungguhan pihak laki-laki menyerahkan sejumlah uang dan pakaian sinde mendeng, atau seperangkat pakaian perempuan yang disebut sebagai batu pisek ( Kamus Dayak Ngaju – Indonesia - English. Riwut, Nila. Akan terbit )
2/8
Orang Dayak dari Jaman ke Jaman 2 Ditulis oleh Admin Rabu, 14 Oktober 2009 22:04 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 07 Februari 2010 22:32
E.2.2. Hisek atau proses pertunangan Pihak orang tua perempuan dan keluarganya akan berkumpul untuk mendapatkan kata mufakat menolak atau menerima lamaran tersebut. Apabila batu pisek dikembalikan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama itu berarti lamaran tadi tidak diterima, namun apabila lamaran diterima batu pisek tidak dikembalikan, yang setelah itu akan dilanjutkan dengan proses pertunangan. ( Kamus Dayak Ngaju – Indonesia - English. Riwut, Nila. Akan terbit )
E.2.3. Upacara Pernikahan Salah satu upacara adat yang wajib dilaksanakan dalam Kaharingan. Hak, kewajiban dan tanggung jawab perkawinan termuat dalam Pelak Rujin Perkawinan yang artinya pedoman dasar perkawinan.
Lawang Sakepeng ( Dokumentasi Tjilik Riwut) Pada hari pernikahan sesuai tanggal yang telah disepakati bersama, pihak keluarga mempelai laki-laki bersama dengan keluarganya mendatangi rumah calon mempelai perempuan. Upacara ini disebut Maja Misek atau Upacara Pinangan Resmi. Di rumah pengantin perempuan rombongan calon pengantin laki-laki harus melewati lawang sekepeng atau pintu gerbang yang telah dihias sedemikian rupa. Dengan iringan suara gong, kedatangan calon pengantin laki-laki disambut dengan pantan yang terbuat dari tali dan harus diputuskan dengan pencak silat panca
3/8
Orang Dayak dari Jaman ke Jaman 2 Ditulis oleh Admin Rabu, 14 Oktober 2009 22:04 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 07 Februari 2010 22:32
atau pencak silat.Setelah tali mampu diputuskan, berarti penghalang telah tiada dan kedatangan calon mempelai laki-laki disambut dengan lahap ( lengkingan khas suku Dayak) berturut-turut 3 kali. Keluarga calon mempelai perempuan akan menaburkan beras kuning ke segala arah, dengan maksud Ranying Hatalla (Allah) turut serta menyaksikan upacara yang tengah berlangsung. Kemudian calon pengantin laki-laki didudukan pada sebuah garantung atau gong. Pada malam harinya dilaksanakan penyerahan jujuran yang telah disepakati pada waktu pertunangan.. Pada keesokan harinya binatang kurban dipotong.yang kemudian darah binatang korban tadi diletakkan diatas piring, atau mangkuk yang biasa disebut kendarah. Setelah kedua pengantin didudukan bersanding diatas garantung atau gong dengan arah menghadap ke timur, serta tangan mereka memegang daun pohon sawang. Maka kedua mempelai tadi dipalas oleh kedua orangtua meraka dengan darah yang disediakan dalam kendara tadi. Kemudian pada pergelangan tangan keduanya diikatkan lamiang lilis yang dilanjutkan dengan penandatangan perjanjian perkawinan. Kemudian acara ditutup dengan acara santap bersama. (Riwut, Nila, 2006:145).
E.3. Kematian Dalam buku Maneser Panatau Tatu Hiang dikatakan, apabila terjadi kematian dalam suatu keluarga Suku Dayak maka keluarga akan segera menyebarkannya pada masyarakat luas.[2] Ada tradisi dalam masyarakat, mengiringi kematian dengan suara garantung atau gong. Apabila berita duka telah tersebar, yang disebarkan dengan cara berantai dari mulut ke mulut maka warga kampung akan segera berduyun-duyun mendatangi rumah duka untuk memberika bantuan pada keluarga yang ditinggalkan.. Kedatangan mereka ke rumah duka membawa sumbangan berupa hasil bumi dari ladang mereka masing-masing.Di rumah duka setelah mendekati dan melihat wajah jenazah untuk terakhir kali, maka meraka akan melakukan gotong-royong untuk membantu keluarga yang ditinggalkan. Kemudian jenazah diletakkan ditengah-tengah rumah, dan dikelilingi oleh kaum kerabat dan keluarga. Peti jenazah dibuat saat itu juga. Pembuatan peti mati dilaksanakan dengan cara gotong-royong . Peti mati yang umum dipakai adalah raung, yaitu peti mati yang dibuat dari batang pohon yang dibelah dua dan dibagian tengah dikerok untuk tempat meletakkan jenazah. Ada beberapa cara penguburan pada masyarakat Suku Dayak di Kalimantan Tengah, antara lain 1) Dengan cara dibakar, kemudian abunya dimasukkan ke sebuah guci lalu disimpan di depan rumah. 2) Ada yang harus dikubur terlebih dahulu, untuk kemudian dilanjutkan dengan proses Tiwah 3). Balit atau Belit, orang yang telah meninggal dimasukkan ke dalam peti mati yang disebut runi, kemudian digantung didalam hutan. Setahun kemudian tulang diambil untuk ditiwahkan, lalu tulang-tulang tersebut disimpan dalam Sandung Naung. 4) Ada juga yang dengan cara dihanyutkan dalam air dengan ritual adat. (Riwut, Tjilik,2003:250).
4/8
Orang Dayak dari Jaman ke Jaman 2 Ditulis oleh Admin Rabu, 14 Oktober 2009 22:04 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 07 Februari 2010 22:32
F. Upacara Tiwah Tiwah merupakan ritual kematian pada Suku Dayak. Ritual ini merupakan upacara sakral dan terbesar yang beresiko tinggi. Upacara Tiwah bertujuan untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, hakarang lamiang atau Lewu Liau yang letakknya di langit ke-7. Oleh karena segala persiapan ritual harus dipersiapkan dengan benar-benar cermat agar tidak terjadi kekeliruan. Jika sampai terjadi kekeliruan atau pelaksanaan upacara tidak sempurna, maka para ahli waris akan menanggung beban berat. Resiko tersebut antara lain jauh dari rejeki di masa mendatang, kesehatan terganggu, dan menaggung kutukan pada masa-masa mendatang. Pada umumnya pelaksanaan Upacara Tiwah dilaksanakan secara gotong-royong, ditanggung bersama oleh beberapa keluarga yang bergabung bersama-sama untuk meniwahkan sanak keluarganya yang telah meninggal. ( Riwut, Nila,2006:293).
Sapundu
(Dokumentasi Tjilik Riwut)
5/8
Orang Dayak dari Jaman ke Jaman 2 Ditulis oleh Admin Rabu, 14 Oktober 2009 22:04 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 07 Februari 2010 22:32
Manganjan
(Dokumentasi Tjilik Riwut)
6/8
Orang Dayak dari Jaman ke Jaman 2 Ditulis oleh Admin Rabu, 14 Oktober 2009 22:04 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 07 Februari 2010 22:32
Manganjan
( Dokumentasi Tjilik Riwut)
Menikam Hewan Korban
( Dokumentasi Christian Bela Bangsa )
[1] Dalam kehidupan di masyarakat, seorang gadis dilindungi dengan peraturan berikut:
1) Dilarang bercakap-cakap berduaan dengan seorang gadis khususnya ditempat sepi. Bila tertangkap basah akan mendapat hukuman adat dan juga diharuskan membayar denda.
2) Bila sedang berada di jalan kemudian bertemu dengan seorang gadis remaja yang belum di
7/8
Orang Dayak dari Jaman ke Jaman 2 Ditulis oleh Admin Rabu, 14 Oktober 2009 22:04 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 07 Februari 2010 22:32
kenal, dilarang menatap dan mengamati sekalipun dari jarak jauh. Karena apabila salah seorang keluarga si gadis remaja menyaksikan hal tersebut, akibatnya dituntut dalam rapat.
3) Misalnya dalam perjalanan, seorang perempuan diajak bicara oleh seorang laki-laki padahal keduanya belum saling mengenal, apabila terlihat oleh ahli waris perempuan itu, maka laki-laki tersebut dapat didenda karena dianggap melanggar adat yang berlaku.
4) Apabila seorang laki-laki mengajak satu atau dua perempuan untuk berjalan-jalan, tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada ayah si gadis, akan lebih berat lagi apabila diantara mereka tidak saling mengenal, maka si laki-laki dianggap melakukan kesalahan dan dapat dituntut dalam rapat adat.( Riwut,2003:223-224).
8/8