DUKUNGAN EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHT BAGI PELARANGAN JILBAB DI SEKOLAH, SERTA NIQAB DAN BURQA DI PERANCIS (2004-2013) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh Sauri Susanto 1110113000071 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAKSI Skripsi ini menganalisis dukungan European Court of Human Rights bagi pemerintahan Perancis terkait undang-undang pelarangan jilbab di sekolah yang disahkan pada tahun 2004 dan pelarangan niqab dan burqa di ruang publik Perancis pada tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi dukungan European Court of Human Rights bagi pemerintahan Perancis terkait undang-undang tersebut dalam kurun waktu sembilan tahun ke belakang. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dengan metode kualitatif dan analisa deskriptif. Penelitian ini menemukan bahwa dukungan European Court of Human Rights bagi pemerintahan Perancis terkait undang-undang tersebut tidak terlepas dari faktor integrasi kawasan seperti multikulturalisme, kesetaraan gender, toleransi dan entitas Eropa. Hasil penelitian ini berdasarkan analisis yang dilakukan menggunakan kerangka teori konstruktivisme dan organisasi internasional. Keyword: Integrasi, multikulturalisme, ECtHR dan wanita Muslim.
v
KATA PENGANTAR Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Allhamdulillahi rabbilalamin Dengan rahmat dan karunia yang diberikan Allah SWT, saya diberikan kesempatan, kekuatan, dan ketabahan untuk menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul dukungan European Court of Human Rights bagi pelarangan jilbab di sekolah, serta niqab dan burqa di Perancis pada tahun 2004 hingga 2013. Selama proses mengerjakan skripsi ini, penulis banyak menghadapi berbagai kendala baik itu teknis maupun non-teknis. Namun, dengan bantuan dari berbagai pihak serta dukungan dari orang-orang terdekat, penulis lebih mudah untuk menghadapi kendala tersebut sehingga mampu menyelesaikan penelitian ini. Dengan jasa-jasa dari berbagai pihak, pada kesempatan ini pula, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, yaitu: 1. Kedua orang tua penulis bapak Satimin dan ibu Sukemi yang telah memberikan dukungan moril maupun materil dari awal proses penelitian hingga akhir. 2. Bapak Andar Nubowo selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pengerjaan skripsi ini berlangsung. Selain itu, terima kasih atas kesempatan dan pengalaman yang telah Bapak berikan kepada penulis selama proses bimbingan. vi
3. Ibu Debbie selaku Ketua Jurusan dan pengajar di FISIP. Terima kasih atas ilmu dan jasa yang telah ibu berikan kepada penulis. 4. Indi Ariestamaya yang selalu setia memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis agar penelitian ini selesai dengan hasil yang bagus. Terima kasih atas kesabaran, dan kesediaannya untuk selalu mendampingi penulis selama proses pengerjaan skripsi ini berlangsung. 5. Sahabat dekat penulis Alfinia, Eka Dian, Asri, Rahmi, Balqis, Dara, Sabana, Thufeil, Riko, Ray, Rifky, Dhimas, Faisal, Hafied, Wildan, dan Novian. Terima kasih atas pengalaman dan keseruan-keseruan yang sudah dilewatkan bersama serta dukungan yang selalu diberikan. Terima kasih kepada Dewi atas kesediaanya mengoreksi beberapa hasil penelitian yang telah dibuat. Semoga setelah ini, silaturahmi kita selalu terjaga. Semoga kita semua sukses! 6. Teman-teman HI B khususnya kepada Aulia Fajardini, Fini Rubianti, M. Ainul Ibad, Dede Rifa'atul dan Fahmi Ramdhani yang banyak memberikan masukan dan bersedia untuk bertukar pikiran kepada penulis terkait judul skripsi ini serta teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
vii
Penulis juga mengucapkan terima kasih sekaligus ucapan maaf kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih telah membantu secara langsung ataupun tidak langsung, serta berbagai bentuk dukungan yang telah diberikan.
Jakarta, 1 Desember 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................................................ v KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi DAFTAR ISI......................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv BAB 1 PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah............................................................................. 1
B.
Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 7
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 7
D.
Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 8
E.
Kerangka Teori .......................................................................................... 11
Teori Konstruktivisme ................................................................... 12
Organisasi Internasional ................................................................. 16
F.
Metode Penelitian ...................................................................................... 18
G.
Sistematika Penulisan ................................................................................ 20
BAB II Islam di Eropa dan European Court of Human Rights A.
Pertumbuhan Muslim di Eropa .................................................................. 22 1) Pertumbuhan Populasi Muslim di Eropa Pasca Perang Dunia ke-2 ........................................................................................................ 22 2) Kondisi Minoritas Muslim di Eropa Pasca 9/11 ............................ 25
B.
Larangan Simbol Keagamaan di Eropa: Kasus Jilbab, Niqab dan Burqa .. 30
ix
C.
Islam di Perancis ........................................................................................ 37
D.
European Court of Human Rights ............................................................. 43
BAB III Pelarangan Jilbab di Sekolah serta Niqab dan Burqa di Perancis tahun 2004 – 2013 A.
Pelarangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis .............. 46 1) Pelarangan Jilbab di Sekolah tahun 2004 di Perancis .................... 46 2) Larangan Penggunaan Niqab dan Burqa di Perancis tahun 2010 .. 52
B.
Pro dan Kontra Larangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis 2004 - 2013 .................................................................................. 57 1) Respon Masyarakat Perancis terhadap Larangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis ................................... 57 2) Respon Dunia Internasional terhadap Larangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis ................................................. 64
BAB IV Dukungan European Court of Human Rights bagi Pelarangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis (2004 – 2013) A.
Perlindungan European Court of Human Rights
bagi Paham
Sekularisme Perancis dari Ancaman Jilbab, Niqab dan Burqa .................. 70 B.
Pengaruh Integrasi Eropa dalam Dukungan European Court of Human Rights terhadap Pelarangan Jilbab, Niqab dan Burqa ................................ 77
BAB V KESIMPULAN Kesimpulan ............................................................................................................ 85 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... xv LAMPIRAN ......................................................................................................... xxvii
x
DAFTAR TABEL Tabel 1. Pertumbuhan Populasi Muslim di Eropa dari tahun 1950-2010 .............. 28
xi
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Diagram Populasi Muslim di beberapa Negara Eropa ......................... 29 Gambar 2. Perbedaan Jilbab, Niqab dan Burqa .......................................................... 32
xii
DAFTAR SINGKATAN
CCIF
Collectif Contre l'Islamophobie en France
CFCM
The Conseil Français du Culte Musulman
CIMG France
Comité de Coordination des Musulmans Turcs de France, Millî Görüs
CNCDH
Commission Nationale Consultative des Droits de l'Homme
CRI
Coordination contre le Racisme et l‘Islamophobie
CSA
Le Conseil Supérieur de l'Audiovisuel
ECHR
European Convention on Human Right
ECtHR
European Court of Human Right
FNMF
Fédération Nationale des Musulmans de France
GMP
Grande Mosquée de Paris
HAM
Hak Asasi Manusia
HRW
Human Right Watch
ICCPR
International Covenant on Civil and Political Rights
IFOP
L‘Institut Français d'Opinion Publique
IHRC
Islamic Human Rights Commission
IIWO
International Islamic Women Organisation
RUU
Rancangan Undang-Undang
UMP
Union Pour un Mouvement Populaire
UOIF
Union des Organisations Islamiques de France
WTC
World Trade Centre
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I Putusan ECtHR terhadap Kasus Jilbab dan Burqa di Perancis .......... xxvii
xiv
BAB I Pendahuluan A.
Latar Belakang Perancis adalah rumah bagi sebagian besar komunitas Muslim di Eropa.
Perkembangan Islam yang begitu signifikan di Perancis menjadikan agama tersebut sebagai agama terbesar kedua setelah Kristen.1 Dengan jumlah Muslim sekitar enam persen dari total penduduk Perancis2, Islam dipandang sebagian masyarakat Perancis sebagai sebuah ancaman yang mampu mengancam kedaulatan dan merusak nila-nilai luhur dikarenakan adanya perbedaan nilai-nilai antara Islam dengan Perancis.3 Pandangan negatif yang terbentuk mengenai Muslim di Perancis memunculkan isuisu yang menyudutkan umat Muslim yang menetap disana. Salah satu isu yang muncul dan berpengaruh terhadap kehidupan Muslim, terutama wanita Muslim di Perancis adalah isu mengenai pelarangan simbol-simbol keagamaan di lingkungan pendidikan pada tahun 2003. Isu mengenai pelarangan simbol-simbol yang melanda Perancis menimbulkan efek domino bagi negara-negara di Eropa. Negara-negara Eropa lainnya termasuk Belgia, Swiss dan Spanyol juga ikut mengupayakan RUU yang serupa dengan hukum 1
Jocelyne Caesari, ―Islam in France: The Shaping of a Religious Minority‖, dalam Muslims in the West, from Sojourners to Citizens, ed. Yvonne Haddad-Yazbek, (New York: Oxford University Press, 2002), 36. 2 Britton D. Davis, Lifting the Veil: France‟s New Crusade, 34 B.C. Int'l & Comp. L. Rev. 117 (2011), http://lawdigitalcommons.bc.edu/iclr/vol34/iss1/6. 3 Robert J Pauly, ―Islam in France‖ dalam Islam in Europe: Integration or Marginalization? (Burlington: Ashgate Publishing Company, 2004), 42-45.
1
Perancis tersebut.4 Isu mengenai pelarangan simbol keagamaan di lingkungan pendidikan diawali oleh rancangan undang-undang yang diajukan Presiden Jacques Chiraq pada tahun 2003 yang memuat pelarangan penggunaan simbol-simbol keagamaan di sekolah, termasuk jilbab, yang kemudian disahkan pada 2004.5 Sebenarnya ini bukanlah isu baru yang terjadi di Perancis. Persoalan wanita memilih untuk memakai tutup kepala pertama muncul pada tahun 1989 ketika tiga gadis di Creil, pinggiran Paris, dilarang mengikuti kegiatan belajar karena mereka memakai jilbab di sekolah. Insiden ini sesudahnya dikenal sebagai "Headscarf Affair" antara tahun 1989 dan 1998 dan lebih dari 1.200 artikel telah ditulis mengenai kontroversi jilbab di Perancis.6 Secara bertahap, pemerintah Perancis mengembangkan undang-undang pelarangan simbol keagamaan di sekolah. Pada tahun 2007, undang-undang larangan pemakaian simbol keagamaan tidak hanya berlaku di lingkungan pendidikan, namun larangan tersebut juga berlaku di tempat-tempat yang memberikan pelayanan publik.7 Undang-undang tersebut kemudian berangsur-angsur mengerucut dan menghasilkan undang-undang anti niqab dan burqa yang disahkan tahun 2011. 8 Niqab dan burqa 4
BBC, ―The Islamic veil across Europe‖, 22 September 2011, diakses pada 24 Maret 2014, http://www.bbc.com. 5 Caroline Wyatt, ―Liberty, equality and the headscarf‖, 20 Desember 2003, diakses pada 25 Desember 2013, http://www.news.bbc.co.uk. 6 Adrien Katherine Wing dan Monica Nigh Smith, ―Critical Race Feminism Lifts the Veil? Muslim Women, France, and the Headscarf Ban‖, UC Davis Law Review Vol. 39, No. 3, (2005): 743. 7 Faiza Zerouala, ―Headscarf ban turns France‘s Muslim women towards homeworking‖, 3 Oktober 2014, diakses pada 26 Oktober2014, tersedia di http://www.theguardian.com/world/2014/oct/03/france-Muslim-women-home-working; 8 Lina Ragep Powell, ―The Constitutionality Of France's Ban On The Burqa In Light Of The European Convention's Arslan V. Turkey Decision On Religious Freedom‖, Wisconsin International Law Journal Vol. 31 Issue 1, (2013):118.
2
merupakan pakaian yang digunakan wanita Muslim untuk menutupi dan melindung aurat mereka. Niqab adalah tabir untuk wajah yang hanya memperlihatkan daerah sekitar mata dengan jelas. Sedangkan burqa adalah tabir yang menutupi seluruh wajah dan juga menutupi mata dengan sehelai kain tipis atau dengan memberi celahcelah di bagian mata.9 Beberapa alasan dijadikan pemerintah Perancis sebagai acuan dalam pembuatan undang-undang pelarangan jilbab, niqab dan burqa. Alasan mendasar pemerintah
Perancis
mengesahkan
undang-undang
tersebut
adalah
bahwa
penggunaan jilbab, niqab dan burqa, baik itu di sekolah maupun di ruang publik bertentangan dengan prinsip dasar laïcité di Perancis.10 Laïcité adalah sebuah konsep yang disahkan pemerintah Perancis pada tahun 1905.11 Bagi masyarakat Perancis, laïcité merupakan sebuah konsep yang menunjukkan identitas Perancis dan juga digunakan masyarakat, politisi dan ilmuwan sebagai pondasi dasar dari tindakan politik dan budaya di Perancis. Bahkan konsep laïcité pun digunakan oleh para ilmuwan dan politisi untuk memahami fenomena dunia politik kontemporer di Perancis.12 Selain laïcité, terdapat beberapa isu domestik yang juga mendorong
9
Kendal Davis, ―The Veil That Covered France's Eye: The Right to Freedom of Religion and Equal Treatment in Immigration and Naturalization Proceedings‖, Nevada Law Journal Vol. 10: Iss. 3, (2010): 732. 10 Hera Hashmi, ―Too Much to Bare? A Comparative Analysis of the Headscarf in France, Turkey, and the United States‖, University of Maryland Law Journal of Race, Religion, Gender and Class vol. 10; 2 (2010): 418. 11 Raphaël Liogier, ―Laïcité on the Edge in France: Between the Theory of Church-State Separation and the Praxis of State-Church Confusion‖, Macquarie Law Journal vol. 9. (2009): 26. 12 Davis, ―Lifting the Veil: France‘s New Crusade,‖ 120.
3
pemerintah Perancis untuk mengesahkan undang-undang tersebut seperti keamanan, gender, toleransi, hingga gerakan radikalisme yang semakin berkembang di Perancis. Sejak disahkannya undang-undang yang pelarangan jilbab, niqab dan burqa di Perancis, terdapat sejumlah kasus yang melibatkan pemerintah dengan penduduk Muslim dan tercatat di European Court of Human Rights (ECtHR). ECtHR merupakan pengadilan HAM di Eropa yang dibentuk untuk menerapkan dan melindungi hak-hak sipil dan politik warga negara di Benua Eropa. ECtHR ini memiliki prinsip-prinsip yang diatur dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia yang disusun pada masa setelah Perang Dunia II. ECtHR yang didirikan pada tahun 1959 di Strasbourg, Perancis, menganggap bahwa setiap kasus yang terkait dengan Hak Asasi Manusia yang dibawa oleh individu, organisasi dan negaranegara di Eropa merupakan kasus yang terikat oleh konvensi.13 Di tahun 2008, ECtHR mengeluarkan sebuah keputusan terkait kasus pelanggaran peraturan penggunaan jilbab di sekolah yang diberlakukan Perancis oleh seorang siswi bernama Dogru. Pada saat itu Dogru di keluarkan dari kelas karena menolak untuk melepas jilbabnya ketika pelajaran olahraga oleh guru mata pelajaran tersebut.14 Peristiwa tersebut dilaporkan ke ECtHR yang kemudian melakukan analisa terhadap kasus tersebut. ECtHR memutuskan bahwa apa yang dilakukan guru
13
BBC, ―Profile: European Court of Human Rights‖, 7 Februari 2012, diakses pada 15 Februari 2014, http://www.bbc.co.uk. 14 Powell, ―The Constitutionality Of France's Ban On The Burqa In Light Of The European Convention's Arslan V. Turkey Decision On Religious Freedom,‖ 133.
4
tersebut tidak melanggar HAM dan tidak pula melanggar Pasal 9 dalam European Convention on Human Right.15 Larangan yang diberlakukan di Perancis ini menimbulkan ketegangan antara hubungan Muslim dan warga non-Muslim di Perancis yang merupakan warga mayoritas negara tersebut. Pada tahun 2010, Aturan baru yang melarang burqa dan niqab di Perancis juga memicu debat dan kemarahan. Ratusan perempuan ditangkap karena melanggar aturan itu sejak disahkan menjadi undang-undang, meskipun tidak semua dijatuhi hukuman.16 Pada pertengahan tahun 2013, terjadi insiden yang melibatkan Muslim Perancis dengan aparat di negara tersebut. Puluhan orang menyerang kantor polisi di Trappes, melemparkan kembang api dan membakar tempat-tempat sampah.17 Insiden ini terjadi setelah polisi menangkap seorang pria yang dituduh menghina polisi. Sebelumnya polisi Perancis menangkap istri dari pria tersebut karena di antara mereka mengenakan niqab di tempat umum yang merupakan hal yang dilarang di Perancis. Dari kejadian-kejadian yang telah terjadi akibat dari pelarangan yang dilakukan Perancis di atas, ECtHR telah memberikan feedback dengan memenangkan kasus-kasus tersebut bagi pemerintahan Perancis.18 Hal ini merupakan sebuah hal yang menarik mengingat penggunaan jilbab, niqab ataupun burqa bagi seorang
15
Shaira Nanwani, ―The Burqa Ban : An Unreasonable Limitation on Religious Freedom or Justifiable Restrictions?‖ Emory International Law Review vol. 25 Issue 3, (2011): 1433. 16 Lisa Bryant, ―Larangan Jilbab Picu Ketegangan di Perancis‖, 23 Juli 2013, diakses pada 15 Oktober 2013, http://www.voaindonesia.com. 17 Bryant, ―Larangan Jilbab Picu Ketegangan di Perancis.‖ 18 Powell, ―The Constitutionality Of France's Ban On The Burqa In Light Of The European Convention's Arslan V. Turkey Decision On Religious Freedom,‖ 133.
5
wanita Muslim merupakan sebuah pilihan dan juga merupakan salah satu dari bentuk kebebasan beragama bagi seorang wanita Muslim.
6
B.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan penjelasan singkat mengenai latar belakang yang telah
dipaparkan di atas, pertanyaan penelitian dari skripsi ini adalah Mengapa European Court of Human Rights mendukung pelarangan jilbab di sekolah dan niqab serta burqa di Perancis pada tahun 2004 – 2013? C.
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui respon European Court of Human Rights terkait aturan larangan penggunaan jilbab, niqab dan burqa di Perancis. 2. Mengetahui dampak respon European Court of Human Rights terhadap kehidupan minoritas Muslim di Perancis. Manfaat Penelitian 1) Manfaat
dari
penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan
perkembangan bagi studi Hubungan Internasional terutama dalam perkembangan studi Organisasi Internasional. 2) Penelitian ini lebih lanjut diharapkan mampu membantu akademisi yang ingin meneliti peran European Court of Human Rights dalam kasus-kasus kemanusiaan yang berkaitan dengan kebebasan beragama.
7
D.
Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa penelitian dan karya ilmiah yang telah membahas peran
European Court of Human Rights terhadap larangan pemakaian niqab dan burqa di Perancis. Salah satunya adalah artikel jurnal yang ditulis pada tahun 2008 oleh Baljit Kooner dari Southampton Solent University. Artikel ini memberikan analisis kritis terhadap hukum Perancis yang diperkenalkan pada tahun 2003 yang melarang simbol agama dipakai di sekolah umum.19 Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun hukum tersebut terlihat netral, namun dalam penerapannya, wanita Muslim yang mengenakan hijab menjadi target oleh undang-undang ini melebihi kelompok agama lain. Tulisan ini meneliti gagasan sekularisme yang digunakan oleh Perancis dalam membenarkan larangan tersebut untuk menyimpulkan bahwa Perancis menggunakan versi fundamentalis sekularisme yang tidak sesuai dengan Konvensi Eropa.20 Selain artikel jurnal, terdapat pula tesis berjudul yang ditulis tahun 2011 oleh Marie Haspeslagh yang pada saat itu tengah menepuh studi master di University of Ghent, Belgia.21 Tesis ini dilandasi oleh penalaran dari ECtHR Hak Asasi Manusia Eropa dalam menganalisis apakah larangan umum tentang burqa di ruang publik memang melanggar Hak Asasi Manusia tertentu dan jika hal ini terjadi, pertanyaan
19
Baljit Kooner, ―The Veil of Ignorance: A Critical Analysis of the French Ban on Religions Simbols in the Context of the Application of Article 9 of the European Court of Human Rights‖, Mountbatten Journal of Legal Studies vol. 12 (2), (2008): 24. 20 Kooner, ―The Veil of Ignorance‖, 26. 21 Marie Haspeslagh, ―The Belgian Burqa-Ban: Unveiled from a Human Right Perspective‖, (University of Ghent, 2011).
8
yang perlu dijawab adalah apakah larangan burqa di Belgia merupakan suatu pembatasan yang dibenarkan.22 Secara keseluruhan Marie Haspeslagh menemukan bahwa larangan Belgia merupakan suatu pembatasan yang dibenarkan. Analisis larangan burqa di Belgia yang menggunakan perspektif Hak Asasi Manusia ini menjadi contoh bagi negaranegara Eropa lain karena analisis ini juga dapat berlaku terhadap analogi pada larangan Perancis dan larangan lain di masa depan.23 Tesis yang kedua dibuat oleh Margaret Epstein dari Trinity College, Amerika Serikat.24 Tesis ini merupakan upaya untuk mempelajari kajian baru dengan apa yang dikenal sebagai "Headscarf Affair" dan hukum yang telah ditulis dalam menanggapi hal itu. Tesis ini menyelidiki cara Perancis dan seluruh dunia dalam membuat wacana tentang masalah larangan jilbab saat ini, hukum saat ini dan masa depan yang berpotensi menimbulkan larangan berjilbab.25 Hal ini dilakukan dalam tiga bagian, pertama melalui analisis esai lain yang membahas undang-undang yang melarang jilbab selama dua puluh tahun terakhir oleh penulis Perancis dan penulis nonPerancis.26
22
Haspeslagh, ―The Belgian Burqa Ban‖, 19. Haspeslagh, ―The Belgian Burqa Ban‖, 99. 24 Margaret Epstein, ―Look Who‘s Talking: The Burqa Ban in France‖, (Trinity Collage, 2012). 25 Epstein, ―Look Who‘s Talking‖, 7. 26 Epstein, ―Look Who‘s Talking‖, 15. 23
9
Bagian kedua terfokus pada film dokumenter yang dibuat oleh Perancis dan non-Perancis yang menjelaskan situasi yang telah terjadi.27 Bagian ketiga adalah analisis aktivis Perancis, baik mendukung maupun yang menentang hukum dan caracara di mana mereka melakukan hal tersebut.28 Pada akhirnya muncul kesimpulan untuk setiap bagian dari tesis yang menjelaskan bahwa percakapan tentang pelarangan jilbab di Perancis tidak terikat pada batas mereka sendiri dan bahwa baik di dalam dan luar negari, terdapat banyak pendapat yang bervariasi. Tesis ini berharap dapat memperkenalkan cara baru untuk melihat pelarangan jilbab di Perancis dan menjadi panduan untuk melihat apa yang sebelumnya telah dilakukan terkait larangan jilbab ini.29 Adapun penelitian dan tesis-tesis di atas menggunakan dasar hak asasi manusia untuk meneliti larangan hijab yang terjadi di beberapa negara. Selain itu, Eropa memiliki European Court of Human Rights yang mampu dijadikan acuan bagi setiap negara di sana untuk mengambil sebuah kebijakan yang terkait dengan Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini, European Court of Human Rights selaku organisasi yang menaungi Hak Asasi Manusia internasional juga tidak terlepas dari tanggung jawabnya untuk mengatasi permasalahan larangan penggunaan hijab, niqab dan burqa yang masih menjadi dilema.
27
Epstein, ―Look Who‘s Talking‖, 34. Epstein, ―Look Who‘s Talking‖, 45. 29 Epstein, ―Look Who‘s Talking‖, 57-60. 28
10
Dari beberapa sumber yang disebutkan di atas, skripsi ini akan meneliti faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi dukungan European Court of Human Rights terhadap pelarangan jilbab di sekolah dan burqa di ruang publik yang diterapkan Perancis dari tahun 2004-2013 dengan melihat dari kasus-kasus yang terjadi dalam kurun waktu 5 tahun. Meskipun memiliki beberapa aspek ataupun sudut pandang yang sama, namun dari sumber-sumber di atas tidak membahas alasan yang membuat European Court of Human Rights selaku badan HAM di Eropa mendukung Perancis terhadap larangan simbol agama hingga menjadi larangan penggunaan jilbab, niqab dan burqa di ruang publik. E.
Kerangka Teori Dalam menjawab pertanyaan penelitian, skripsi ini berusaha menganalisi
menggunakan teori konstruktivisme dan organisasi internasional. Skripsi ini mengaitkan keduanya dengan pertanyaan penelitian
karena dinilai bahwa
konstruktivisme dan organisasi internasional mampu menjelaskan dan memahami bagaimana respon European Court of Human Rights terhadap larangan penggunaan jilbab di sekolah, niqab dan burqa di ruang publik Perancis. Dengan menggunakan kerangka pemikiran tersebut, skripsi ini berusaha mengaitkan pembatasan yang dilakukan pemerintah Perancis dengan European Court of Human Rights selaku organisasi internasional yang menangani masalah HAM di Eropa.
11
Teori Konstruktivisme Teori konstruktivisme merupakan teori yang memfokuskan pada kesadaran
manusia dan peranannya dalam lingkungan internasional. Kesadaran manusia dalam hal ini berkaitan dengan pandangan mereka mengenai ide, norma, pengetahuan, kebudayaan, argumen politik serta menekankan pada peran kolektif atau ide intersubjektif dalam memahami kehidupan sosial.30 Konstruktivisme merupakan pendekatan sosial yang menganalisis tentang interaksi manusia yang dibedakan berdasarkan faktor ide atau gagasan, bukan berupa materi belaka. Faktor gagasan tersebut merupakan hasil dari keyakinan intersubjektif, yakni tidak hanya berasal dari individual saja. Kemudian kepercayaan ini membentuk identitas dan kepentingan bagi seseorang. Menurut pandangan Searle, konstruktivisme fokus pada istilah yang disebut sebagai ―kenyataan sosial‖ yakni hal-hal seperti harta, kedaulatan, dan hak hanya ada karena manusia secara kolektif meyakini hal-hal tersebut ada dan bertindak sesuai dengan yang mereka yakini.31 Konstruktivisme, melalui pandangan Katzenstein menilai bahwa nilai-nilai sosial, dalam hal ini identitas negara, yang tertanam memiliki pengaruh dalam sebuah institusi.32 Selain itu, identitas dalam sebuah negara juga mampu mempengaruhi sifat dan tujuan sebuah institusi. Identitas dan norma-norma mampu mengarahkan institusi
30
Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink, ―Taking Stock: The Constructivist Research Program in International Relations and Comparative Politics‖, Annual Review of Political Science 4, (2001): 392. 31 Finnemore dan Sikkink, ―Taking Stock‖, 392-393. 32 Peter J. Katzenstein, Alexander Wendt dan Ronald L. Jepperson, ―Norms, Identity, and Culture in National Security‖ dalam The Culture of National Security: Norms and Identity in World Politics, ed. Peter J. Katzeinstein (New York: Columbia University Press, 1996), 8.
12
mengenai bagaimana cara institusi ini beroperasi. Identitas memiliki peran penting sebagai penghubung antara struktur lingkungan institusi dengan kepentingan anggota.33 Konfigurasi identitas dalam suatu negara mampu mempengaruhi strukturstruktur normatif antarnegara, seperti rezim atau komunitas keamanan.34 Kebijakan yang dikeluarkan negara mampu mereproduksi dan merekonstruksi struktur kebudayaan dan juga institusi.35 Konstruktivisme juga dapat dikatakan sebagai teori yang menekankan pada kesadaran
manusia
mengenai
posisinya
dalam
hubungan
antar
negara.
Konstruktivisme tidak berfokus pada materi saja seperti teori HI lainnya yang menekankan pada unsur material yang fokus pada distribusi kekuatan materi dan bagaimana kekuatan tersebut memengaruhi tindakan suatu negara. Bagi teori ini, aspek utama dalam hubungan internasional adalah nilai sosial bukan material. Dalam dunia sosial dan politik, termasuk juga hubungan internasional, bukan merupakan entitas fisik atau objek material yang berada di luar kesadaran manusia. Hal ini menandakan bahwa dunia sosial dan politik merupakan konstruksi dari para aktor berdasarkan apa yang mereka yakini. Dengan demikian, studi hubungan internasional tidak dapat terbatas hanya pada unsur material tetapi juga gagasan dan kepercayaan
33
Katzeinstein, Wendt dan Jepperson, ―Norms, Identity, and Culture in National Security‖, 12. Katzeinstein, Wendt dan Jepperson, ―Norms, Identity, and Culture in National Security‖, 23. 35 Katzeinstein, Wendt dan Jepperson, ―Norms, Identity, and Culture in National Security‖, 24. 34
13
yang membentuk peran aktor dalam dunia internasional dan bagaimana para aktor tersebut berbagi pemahaman mengenai dunia.36 Sistem internasional, tidak seperti sistem tata surya yang ada dengan sendirinya, tetapi diciptakan karena adanya kekhawatiran bersama antar manusia. Hal ini menandakan bahwa sistem internasional dibentuk berdasarkan ide atau gagasan, bukan material. Hal tersebut menunjukan bahwa hasil temuan tidak di dasarkan pada bentukan fisik atau materi tetapi karena bentukan ide dan intelektual. Dapat dipahami juga bahwa sistem internasional merupakan sekumpulan ide, pemikiran, dan norma yang dikreasikan oleh orang-orang yang memiliki perhatian mengenai hal tertentu. Perubahan yang terjadi dalam sistem internasional juga dipengaruhi oleh perubahan pemikiran dan ide sebab kedua hal tersebut mampu menciptakan sebuah sistem. Seperti halnya sistem, negara juga merupakan hasil konstruksi, terutama konstruksi sejarah. Keduanya sama-sama dikreasikan oleh manusia dan dapat diubah juga sesuai dengan yang mereka kehendaki.37 Tidak jauh berbeda dengan beberapa pandangan yang telah disebutkan di atas mengenai konstruktivisme, Christian Reus Smit menilai bahwa konstruktivisme terlahir dari kritik terhadap teori hubungan internasional yang sudah ada sebelumnya. Dalam kacamata Smit, konstruktivisme menekankan pentingnya struktur normatif dan ideasional karena ini dianggap sebagai pembentuk identitas sosial aktor politik.
36
Robert Jackson dan George Sorensen. (2006). Introduction to International Relations Theories and Approaches. Edisi Ketiga. New York: Oxford University Press. 156 37 Robert Jackson dan George Sorensen. Introduction to International Relations Theories and Approaches. 162-164.
14
Smit juga berpendapat bahwa memahami kondisi struktur non-materi dari identitas aktor merupakan hal yang penting karena identitas dapat menginformasikan kepentingan
dan
juga
tindakan
mereka.
Memahami
bagaimana
aktor
mengembangkan minat mereka sangat penting untuk menjelaskan berbagai fenomena politik internasional.38 Christian Reus Smit juga menyatakan bahwa ada tiga proposisi dasar untuk memahami konstruktivisme dalam hubungan internasional : a. Pertama, struktur normatif dan ideasional sama pentingnya dengan struktur material dalam membentuk kebiasaan negara sebagai aktor dalam hubungan internasional. b. Kedua, dalam memahami kebiasaan negara dan aktor lain dalam hubungan internasional diperlukan pemahaman atas identitas sosial yang menentukan kepentingan dan tindakan yang dilakukannya. Karena identitas sosial aktor dapat bermacam-macam, maka demikian pula kepentingan dan tindakan yang dipilih untuk dilakukannya. c. Ketiga, walaupun konstruktivisme sangat menekankan kekuatan struktur normatif dan ideasional, namun keduanya hanya ada melalui praktek rutin yang dilakukan oleh aktor pembuat ide dan norma itu menjadi nyata dalam dinamika kehidupan manusia. Konstruktivisme tidak hanya menekankan alasan untuk bertindak dan memfokuskan kajian dan kesesuaian antara
38
Christian Reus-Smit. Constructivism., 197-198.
15
tindakan dan norma-norma dasar, namun juga logika dalam berargumentasi dengan cara membentuk norma dan ide dalam kerangka kerja tentang strategi, tujuan dan lembaga apa yang sah untuk digunakan.39 Lebih lanjut, Reus Smit menyatakan bahwa ketika melakukan tindakan politik, aktor selalu dilandasi oleh empat pertimbangan, yaitu idiografi, tujuan, etis dan instrumental. Pertimbangan idiografi menjadi penting ketika aktor negara menentukan identitas, siapa dirinya. Pertimbangan purposif berlaku ketika aktor merumuskan apa yang ingin dicapainya, mendekatkan diri pada pembentukan kepentingan dan preferensinya atas kepentingan yang hendak dicapainya. Pertimbangan etis dipakai ketika aktor hendak memutuskan bagaimana mereka harus bertindak dan terakhir pertimbangan instrumental dipakai ketika aktor hendak memutuskan sarana apa yang digunakan dalam rangka meraih tujuan yang telah ditetapkan.40
Organisasi Internasional Selain melihat menggunakan teori konstruktivisme, penulis juga berusaha
melihat respon yang diberikan European Court of Human Rights dengan menggunakan konsep dari Organisasi Internasional. Dalam hal ini, penulis ingin melihat fungsi dari European Court of Human Rights itu sendiri selaku organisasi internasional. Organisasi internasional pada awalnya dijadikan sebuah alat untuk 39
Christian Reus-Smit. Constructivism., 196-197. Christian Reus Smit. (2004). The Politics of International Law, dalam the Politics of International Law. Cambridge: Cambridge University Press. 25 40
16
mempertahankan peraturan-peraturan agar berjalan tertib dalam mengupayakan pencapaian tujuan bersama dan juga menjadi sebuah tempat agar negara-negara menjalin hubungan dalam upaya memenuhi kepentingan nasionalnya masingmasing.41 Awal dari terbentuknya organisasi internasional, menurut Bennet, terjadi ketika terdapat sebuah kesepakatan antara satuan-satuan politik yang otonom untuk menegaskan hak dan kewajiban bersama demi kerjasama atau perdamaian. Organisasi internasional tidak pernah dibentuk untuk saling memerangi ataupun saling memusuhi antar anggotanya. Selanjutnya, Bennet juga berpendapat bahwa organisasi internasional dapat diartikan sebagai suatu perikatan antar subjek yang melintasi batas-batas negara dimana perikatan tersebut terbentuk berdasarkan suatu perjanjian dan memiliki organ bersama.42 Organisasi internasional dalam hubungan internasional telah diakui karena keberhasilannya dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi suatu negara. Bahkan saat ini organisasi internasional dinilai dapat memengaruhi tingkah laku negara secara tidak langsung. Dari hal ini, dapat kita lihat bahwa organisasi intenasional memiliki peran yang signifikan bagi stabilitas sistem internasional. Organisasi internasional juga dijadikan alat untuk digunakan oleh negara-negara anggotanya agar tujuan politik luar negeri mereka tercapai. Selain itu, organisasi internasional juga dapat dijadikan sebagai wadah untuk mendiskusikan serta 41
Le Roy Bannet, ―International Organization: Principles and Issues‖, dalam Pengantar Hubungan Internasional, ed. Yani dan Perwita, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 91. 42 Le Roy Bannet, ―International Organization,‖ 93.
17
memecahkan permasalahan yang terjadi di suatu negara ataupun sistem internasional serta mampu menjadi aktor independen yang mampu mengambil sebuah keputusan tanpa ada intervensi dari pihak luar organisasi.43
F.
Metode Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah metode deskriptif
di mana penulis berusaha untuk melakukan penelitian dalam hubungan internasional dengan melihat permasalahan yang ada kemudian dikaitkan dengan teori-teori dalam hubungan internasional.44 Selain menggunakan metode deskriptif, penulis juga akan menggunakan metode penelitian kualitatif dalam upayanya menjawab pertanyaan penelitian. Metode penelitian kualitatif merupakan metode pendekatan yang menggunakan data-data yang berbentuk kalimat, skema, gambar, tabel maupun diagram yang berfungsi untuk memperkuat argumen yang akan digunakan dalam penelitian.45 Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teknik studi pustaka untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan. Dengan menggunakan teknik studi pustaka, penulis berusaha untuk memanfaatkan beberapa jurnal, buku, artikel maupun beberapa informasi yang dapat diakses dari media elektronik. Terdapat beberapa perpustakaan yang dikunjungi oleh penulis demi melengkapi data-data yang 43
Clive Archer, ―International Organization‖, dalam Pengantar Hubungan Internasional, ed. Yani dan Perwita, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 95. 44 Mochtar Mas'oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES, 1990), 223. 45 Lisa Harison, Metode Penelitian Politik, (Jakarta: Kencana, 2007).
18
diperlukan seperti perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan FISIP UIN Syarif hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan CSIS dan Freedom Library.
19
G.
Sistematika Penulisan
BAB I
Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah B. Pertanyaan Penelitian C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian D. Tinjauan Pustaka E. Kerangka Teori F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan
BAB II
Islam di Eropa dan European Court of Human Rights A. Pertumbuhan Muslim di Eropa 1) Pertumbuhan Populasi Muslim di Eropa Pasca Perang Dunia ke-2 2) Kondisi Minoritas Muslim di Eropa Pasca 9/11 B. Larangan Simbol Keagamaan di Eropa: Kasus Jilbab, Niqab dan Burqa C. Islam di Perancis D. European Court of Human Rights
BAB III
Pelarangan Jilbab di Sekolah serta Niqab dan Burqa di Perancis
2004 - 2013 A. Pelarangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis 20
1) Pelarangan Jilbab di Sekolah tahun 2004 di Perancis 2) Larangan Penggunaan Niqab dan Burqa di Perancis tahun 2010
B. Pro dan Kontra Larangan Jilbab di Sekolah serta Niqab dan Burqa di Perancis 2004 – 2013 1) Respon Masyarakat Perancis terhadap Larangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis 2) Respon Dunia Internasional terhadap Larangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis
BAB IV
Dukungan European Court of Human Rights bagi Pelarangan
Jilbab di Sekolah dan Burqa di Perancis (2004 – 2013) A. Perlindungan European Court of Human Rights bagi Paham Sekularisme Perancis dari Ancaman Jilbab, Niqab dan Burqa B. Pengaruh Integrasi Eropa dalam Dukungan European Court of Human Rights terhadap Pelarangan Jilbab, Niqab dan Burqa bagi Perancis BAB V
Penutup Kesimpulan
21
BAB II Islam di Eropa dan European Court of Human Rights
A.
Pertumbuhan Muslim di Eropa 1) Pertumbuhan Populasi Muslim di Eropa Pasca Perang Dunia ke-2 Eropa merupakan sebuah benua yang memiliki jumlah populasi lebih dari 700
juta jiwa di tahun 2013 dan menjadi benua ketiga terpadat setelah Asia dan Afrika dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Kristen.46 Namun, selain Kristen, tedapat pula agama lain yang saat ini tengah berkembang di Eropa yaitu Islam. Terdapat sekitar lebih dari 20 juta jiwa penduduk Eropa yang memeluk agama Islam dan itu menjadikan Islam sebagai agama kedua di Eropa.47 Terdapat 10 juta imigran dari negara-negara Muslim tinggal di Eropa dan di antara mereka melahirkan anak dengan status sebagai warga negara di salah satu negara di Eropa.48 Tidak hanya itu, bahkan di tahun 2007, agama Islam bahkan menjadi agama mayoritas di kalangan imigran dan kelompok agama terbesar kedua dari masyarakat Eropa. Masyarakat Muslim terbesar ditemukan di Perancis, Jerman dan Inggris, dan laju pertumbuhan mereka stabil serta memiliki kecenderungan
46
Europe Population 2013, 6 Maret 2014, diakses pada 17 Juni 2014, http://www.worldpopulationstatistics.com. 47 Kristin Archick, Paul Belkin, Carl Ek et al, Muslims in Europe: Promoting Integration and Countering Extremism, (Congressional Research Service, 2011), 3. 48 Gilles Kepel, The War for Muslim Minds: Islam and the West. (Harvard University Press, 2004), 249.
22
meningkat setiap tahunnya.49 Sebagian besar Muslim yang tinggal di Eropa, terutama Eropa Barat, merupakan keturunan imigran yang kebanyakan dari mereka berasal dari migrasi ekonomi yang terjadi tahun 1950-an, 1960-an dan 1970-an.50 Gelombang imigrasi yang terjadi di Eropa merupakan efek dari perang dunia kedua dan gejolak politik yang terjadi di Eropa Timur, Timur Tengah dan wilayah lain.51 Imigrasi Muslim besar-besaran di Eropa dimulai ketika pada periode pascaperang terjadi perekrutan pekerja dari selatan dan tenggara Eropa, dan kemudian dari Anatolia (Turki) yang dilakukan untuk memperluas pasar tenaga kerja.52 Negaranegara di Eropa mengalami gelombang migrasi besar pada awal tahun 1950-an. Gerakan migrasi terjadi dari bagian Eropa Selatan, negara-negara Mediterania nonEropa dan negara-negara bekas koloni menuju ke Barat dan Eropa Utara. Alasan terjadinya gerakan migrasi ini dikarenakan adanya ekspansi besar perekonomian yang merupakan rekonstruksi perekonomian negara-negara Eropa Utara ditambah dengan kurangnya tenaga kerja yang terampil serta de-kolonisasi para mantan penguasa kolonial.53
49
Katrine Anspaha, ―The Integration of Islam in Europe: Preventing the radicalization of Muslim diasporas and counterterrorism policy,‖ ECPR Fourth Pan-European Conference on EU Politics (2008): 2. 50 Anspaha. ―The Integration of Islam in Europe,‖ 3. 51 Jack Citrin dan John Sides, ―Immigration and the Imagined Community in Europe and the United States,‖ Political Studies vol 56 (2008): 34. 52 Dr. Christine Schirrmacher, ―Muslim Immigration to Europe – The Challenge for European Societies – Human Rights – Security Issues – Current Developments,‖ MBS – Texte (2008): 106. 53 Christian Dustmann dan Tommaso Frattini,‖ Immigration: The European Experience,‖ Norface Migration No. 2012-01, (2012): 5.
23
Perpindahan penduduk dari bekas negara-negara koloni ke negara-negara penjajah terjadi akibat pemberian hak oleh negara bekas penjajah kepada bekas negara yang terjajah. De-kolonisasi membiarkan orang Eropa yang telah menetap di wilayah bekas koloni, bahkan yang telah menikah dengan penduduk pribumi bermigrasi kembali setelah pemerintahan kolonial telah berhenti. Selama periode ini, negara-negara seperti Belanda menerima imigran dari Indonesia pada tahun 1950an dan dari Suriname di awal tahun 1970an, Inggris menerima imigran dari Karibia, Asia dan Afrika Timur. Setelah perang Aljazair pada tahun 1962, Perancis menerima satu juta penduduk Aljazair yang berasal dari Eropa serta banyak imigran Afrika Utara.54 Gelombang imigrasi besar yang terjadi di Eropa perlahan mulai menunjukkan penurunan ketika terjadi krisis minyak di tahun 1973 yang menyebabkan penurunan ekonomi dan peningkatan angka pengangguran di sebagian besar negara-negara Barat dan Eropa Utara. Meskipun demikian, imigrasi tidak berhenti setelah tahun 1973. Banyak imigran menetap lebih permanen dan bergabung dengan keluarga mereka. Akibatnya, terjadilah migrasi ke Eropa Utara antara tahun 1973 dan 1985 dengan alasan reunifikasi keluarga.55 Gerakan demokrasi besar selanjutnya terjadi pada tahun 1980-an ketika terjadi liberalisasi kebijakan di Uni Soviet dan ditambah dengan runtuhnya tembok Berlin di 54
James R. McDonald, ―The Repatriation of French Algerians 1962-63,‖ dalam Immigration: The European Experience, ed. Christian Dustmann & Tommaso Frattini, Norface Migration No. 2012-01, (2012): 6. 55 Dustmann dan Frattini, ―Immigration.‖ 6-7.
24
tahun 1989. Pada tahun 1989, populasi Muslim meningkat 142.35% dan memiliki rata-rata tahunan yang meningkat pada angka 6.4%.56 Liberalisasi yang terjadi memunculkan gerakan imigrasi yang besar dari Timur ke Barat. Di tahun 1990 hingga tahun 2000-an, jumlah Muslim di Eropa meningkat lebih dari 5 juta jiwa.57 Bahkan semenjak tahun 1990 hingga tahun 2010, jumlah populasi Muslim di Eropa mengalami kenaikan 10 juta jiwa.58 2) Kondisi Minoritas Muslim di Eropa Pasca 9/11 Pasca peristiwa penyerangan yang terjadi di World Trade Center (WTC), Amerika Serikat pada 11 September 2001, banyak negara yang memperketat sistem keamanan mereka untuk menjaga negara mereka dari ancaman terorisme, tidak terkecuali negara-negara di Eropa. Semenjak peristiwa 9/11, Uni Eropa telah menangkap lebih dari 20 kali jumlah tersangka teroris di Amerika. Angka tersebut membuat Muslim di Eropa sering dipandang sebagai musuh asing. Bahkan hampir di seluruh negara di Eropa memperluas kajian hukum negara mereka untuk meredam ancaman potensial, terutama terorisme, yang akan timbul dari populasi Muslim di masing-masing negara di Eropa.59 56
Shayla B. Campbell, ―The Conflicts of Euro-Islam: The issues of immigration and integration of Muslims into European Society,‖ (Senior Thesis., Trinity College Digital Repository, 2012), 7. 57 Ceri Peach, ―Muslim Integration: Challenging Conventional Wisdom in Europe and the United States,‖ (The Center for Strategic and International Studies, 2007): 13. 58 Angka berasal dari laporan Pew Forum yang memperkirakan tingkat pertumbuhan antara populasi Muslim di seluruh dunia dan memberikan proyeksi penduduk untuk tahun 2020 dan 2030. Sebuah laporan tahun 2009 oleh Pew Forum, "Mapping the Global Muslim Population (http://pewforum.org/Muslim/Mapping- the-global-Muslim-Population.aspx) dalam Muslim Networks and Movements in Western Europe oleh Pew Forum on Religion & Publik Life 59 Jocelyne Caesari, ―The Securitisation of Islam in Europe,‖ CHALLENGE Research Paper no. 15 (2009): 11.
25
Peristiwa terorisme yang terjadi setelah peristiwa 9/11 juga memunculkan persepsi yang menganggap bahwa Islam merupakan ancaman politik internasional.60 Dengan munculnya persepsi bahwa Islam merupakan ancaman politik internasional, terlebih lagi ditambah dengan pengeboman yang terjadi di Eropa, tepatnya di Madrid, 11 Maret 2004 dan London pada 11 November 2005 serta pembunuhan sutradara Belanda dengan tersangka seorang ekstrimis Islam,61 membuat hubungan minoritas Muslim yang tinggal di Eropa dengan penduduk mayoritas seakan memiliki sebuah kesenjangan yang memisahkan keduanya dan juga memicu timbulnya tindakan diskriminatif dan rasialis terhadap kaum minoritas Muslim di sana.62 Di Eropa sendiri, tindakan diskriminatif yang dilakukan etnis mayoritas terhadap etnis minoritas Muslim meningkat terutama pasca peristiwa 9/11. Bahkan tindakan diskriminatif yang terjadi di Eropa tidak hanya dilakukan oleh masyarakat sipil tetapi juga dilakukan oleh pihak kepolisian. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya pemeriksaan terhadap etnis minoritas. Setiap etnis minoritas, terutama yang terlihat sebagai seorang Muslim, diberhentikan ketika sedang di jalan dan kemudian mereka diminta untuk menunjukan surat-surat identitas mereka. Tidak hanya itu, tetapi para minoritas Muslim yang ada di Eropa seakan menjadi target utama dari
60
Jocelyne Caesari, When Islam and Democracy Meet: Muslims in Europe and in the United States, (New York: Palgrave MacMillan, 2004), 21. 61 Julia M. Woesthoff, Encyclopedia of Race, Ethnicity, and Society: Muslims in Europe. (Thousand Oaks: SAGE Publikations Inc,2008), 6. 62 Craig S. Smith, ―Racism Up After 9/11, European Monitor Says,‖ 11 Desember 2002, diakses pada 26 Juni 2014, http://www.nytimes.com.
26
polisi.63 Minoritas Muslim yang bermukim di Eropa mengalami tindakan yang diskriminatif terhadap mereka baik itu di sekolah, tempat bekerja maupun lingkungan rumah mereka. Di Perancis dan Inggris, orang yang memiliki nama berbau Islam dan yang merupakan keturunan dari negara mayoritas Muslim kurang disukai untuk panggilan interview pekerjaan. Hal tersebut membuat tingkat pengangguran umat Muslim di beberapa negara Eropa lebih tinggi ketimbang warga non-Muslim.64 Dalam sistem pendidikan, posisi Muslim di Eropa juga sangat tidak diuntungkan karena sistem pendidikan yang diterima tidak lebih baik dari penduduk non-Muslim.65 Hal tersebut dapat dibuktikan dengan laporan dari Federasi Internasional Helsinki untuk Hak Asasi Manusia di tahun 2005 yang menunjukan bahwa tingkat ketidakpercayaan, permusuhan dan prasangka buruk terhadap Muslim sudah pada level mengkhawatirkan semenjak terjadinya aksi terorisme pada September 2001 di Amerika Serikat.66 Masih banyak bentuk tindakan diskriminatif maupun rasialis yang dialami oleh kaum minoritas Muslim di Eropa selain yang disebutkan di atas di antaranya seperti pelecehan terhadap wanita Muslim yang mengenakan jilbab, penyerangan masjid, pengerusakan makam umat Islam dan kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk
63
Thomas Hammarberg, Human rights in Europe: no grounds for complacency, (Council of Europe Publishing, 2011), 32. 64 Hammarberg, ―Human rights in Europe,‖ 38. 65 Hammarberg, ―Human rights in Europe,‖ 38. 66 Zuhal Yesilyurt Gündüz, ―Europe and Islam: No Securitization, Please!,‖ Berlin: Friedrich-EbertStiftung, (2007): 1.
27
membatasi aktivitas umat Muslim.67 Namun, meskipun terjadi peningkatan dari jumlah perlakuan diskriminatif dan rasialis yang diterima Muslim minoritas di Eropa, akan tetapi jumlah pemeluk agama Islam juga semakin meningkat pasca terjadinya serangkaian peristiwa terorisme di benua biru tersebut. Sejak tahun 1950 hingga tahun 2010, Muslim di Eropa selalu menunjukan angka yang meningkat.68 Tabel 1. Pertumbuhan Populasi Muslim di Eropa dari tahun 1950 sampai 201069 1950 Populasi
547,424,812
1960
1970
1980
1990
2000
2010
604,423,268
655,996,572
692,899,864
720,758,128
726,156,921
732,729,325
Muslim%
1.97
2.22
3.04
3.57
4.43
5.14
5.74
Muslim
10,765,329
13,426,084
19,918,426
24,726,900
31,939,389
37,323,169
42,052,753
Tabel di atas menunjukan adanya peningkatan yang stabil dari populasi Muslim sejak tahun 1950 hingga 2010. Peningkatan yang terjadi dalam kurun waktu lebih dari setengah abad tersebut memiliki peningkatan populasi mulai dari 2,5 juta hingga 7 juta jiwa. Peningkatan terbesar Muslim yang berada di Eropa terjadi dalam di tahun 1980 hingga 1990 dengan jumlah kenaikan sebesar 7,212,489 jiwa atau sekitar 0.86% dari total kenaikan populasi penduduk di Eropa di tahun yang sama. Selain tabel di atas, beberapa penelitian lain juga menunjukan bahwa jumlah populasi Muslim mengalami peningkatan di Eropa pasca peristiwa 9/11. Di 2000, 2007 dan 2008 jumlah populasi Muslim di negara-negara Eropa mengalami peningkatan. 67
Justin Vaisse, ―Muslims in Europe: A short introduction,‖ Brookings Institution: Center on the United States and Europe, (2008): 6. 68 Houssain Kettani, ―Muslim Population in Europe: 1950 – 2020,‖ International Journal of Environmental Science and Development vol. 1, No. 2, (Juni 2010): 162. 69 Kettani, ―Muslim Population in Europe,‖ 162.
28
Gambar 1. Diagram Populasi Muslim di beberapa Negara Eropa.70
Dari diagram di atas, peningkatan populasi Muslim di beberapa negara di Eropa dalam kurun waktu 8 tahun sejak tahun 2000 menunjukan persentase kenaikan yang cukup signifikan di tahun 2007, terutama Perancis. Peningkatan yang terjadi pada populasi Muslim di Eropa pasca peristiwa 9/11 disebabkan oleh tingginya angka kelahiran populasi Muslim yang ada disana, terutama dari para imigran Muslim.71
70
Eric Kaufmann, ―The Demography of Islam in Europe,‖ diakses pada 26 April 2014, http://www.sneps.net;. 71 Jehu Lentius, ―Islam-EU demographics – Islamic growth rates‖, diakses pada 26 Juni 2014, snaphanen.dk/upload/2010/01/Islam-eu_demogr.pdf.
29
B.
Larangan Simbol Keagamaan di Eropa: Kasus Jilbab, Niqab dan Burqa Islam merupakan populasi terbesar kedua di Eropa setelah Kristen dan di
antara keduanya memiliki perbedaan. Perbedaan antara Islam dan Kristen memunculkan benturan antara kedua populasi yang menetap di Eropa. Benturan yang terjadi antara Kristen dan Islam di Eropa memberikan posisi yang kurang menguntungkan bagi Muslim yang bermukim di Eropa karena mayoritas penduduk Muslim di Eropa merupakan imigran dan keturunan imigran yang bermigrasi pasca berakhirnya perang dunia ke-2. Beberapa permasalahan muncul di antara kaum mayoritas dan minoritas Muslim di Eropa seperti Islamophobia, identitas, makanan, aktivitas keagamaan dan juga permasalahan simbol keagamaan.72 Dari beberapa masalah di atas, terdapat beberapa permasalahan yang belakangan ini tengah menjadi topik perbincangan di Eropa bahkan dunia karena permasalahan tersebut menimbulkan ketegangan antara minoritas Muslim dengan penduduk mayoritas di Eropa. Permasalahan itu adalah mengenai larangan penggunaan simbol keagamaan yang awalnya diberlakukan bagi seluruh agama di beberapa negara di Eropa namun dalam pengaplikasiannya justru hanya mengarah bagi Muslim.73 Permasalahan mengenai simbol agama di ruang publik telah menimbulkan banyak perdebatan dalam ruang lingkup kebebasan beragama dan juga netralitas
72
Caesari, ―When Islam and Democracy Meet‖, 15. Anastasia Vakulenko, ― `Islamic Headscarves' and the European Convention On Human Rights: an Intersectional Perspective, Social & Legal Studies 16:2, (2007): 184. 73
30
pemerintah di berbagai negara di Eropa.74 Secara khusus, muncul kekhawatiran mengenai penggunaan pakaian yang terkait dengan agama-agama yang berasal dari imigran, yaitu jilbab dan turban75 di berbagai tempat seperti sekolah, tempat kerja dan ruang sidang, atau gambar yang tertera pada dokumen resmi. Namun, permasalahan pemakaian simbol-simbol keagamaan di beberapa negara Eropa, seperti Jerman, Italia, Spanyol, dan Swiss tidak berlaku bagi penggunaan salib di sekolah-sekolah, ruang sidang, dan bangunan publik lainnya.76 Pemberlakuan larangan simbol agama di ruang publik di beberapa negara di Eropa dikarenakan oleh alasan kebebasan beragama, sekularisme dan ketertiban dan keamanan publik.77 Jilbab adalah pakaian bagi wanita Muslim yang menutupi bagian kepala, leher hingga dada namun tidak menutupi wajah. Jilbab merupakan pakaian Islami yang paling banyak digunakan oleh para wanita Muslim.78 Selain jilbab, terdapat pula niqab dan burqa. Niqab adalah pakaian wanita yang menutupi hampir seluruh bagian tubuh dan hanya menyisakan bagian sekitar mata saja.79 Sedangkan burqa adalah pakaian Islam yang paling tertutup. Burqa merupakan pakaian yang menutupi seluruh
74
Isabelle Rorive, ―Religious Symbols in the Publik Space: in Search of a European Answer”, Yeshiva University: Cardozo Law Review vol. 30:6 (2009): 2669. 75 Turban merupakan salah satu pakaian keagamaan yang dipakai oleh Muslim, penganut Hindu dan kepercayaan Sikh. Turban merupakan penutup kepala yang terbuat dari sehelai kain panjang yang dililitkan berkali-kali dikepala. Cambridge Dictionaries Online, diakses pada 21 Desember 2014, http://dictionary.cambridge.org/dictionary/british/turban. 76 Rorive, ―Religious Simbols in the Publik Space‖, 2670. 77 Rorive, ―Religious Simbols in the Publik Space‖, 2670. 78 “What is the Hijab and Why do Women Wear it‖, diakses pada 29 November 2014, http://arabsinamerica.unc.edu/identity/veiling/hijab/;. 79 Bint Ahmad, ―Its Islamic Ruling and Controversy in the Western world,‖ the London Open College, (2006): 6.
31
badan termasuk kepala dan wajah dan hanya menyisakan lubang-lubang kecil di bagian mata.80 Gambar 2. Perbedaan jilbab, niqab dan burqa81
Selama lebih dari 20 tahun, penggunaan busana Muslim, terutama yang berkaitan dengan jilbab, niqab dan burqa, di ruang publik telah menjadi perdebatan yang sangat kompleks di Eropa.82 Di Eropa, isu larangan penggunaan jilbab, niqab dan burqa di ruang publik ini merupakan isu yang kontroversial sebab masyarakat mayoritas Kristen menganggap bahwa penggunaan jilbab, niqab dan burqa 80
―What is the Hijab and Why do Women Wear it‖. From hijab to burqa - a guide to Muslim headwear, 22 Oktober 2013, diakses pada 30 November 2014, http://www.channel4.com/news/from-hijab-to-burqa-a-guide-to-muslim-headwear. 82 Pew Global Attitudes Project, Islamic Extremism – Common Concern for Muslim and Western Publiks, (www.pewglobal.org/reports/display.php?PageID¼809); Leyla S¸ahin v. Turkey, Application no. 44774/98, below n. 15, para. 55–64.dalam ―The Islamic Vail and Freedom of Religion, the Right to Education and Work: a Survey of Recent International and national cases,‖ Chinese Journal of International Law, ed. Manisuli Ssenyonjo, (2007): 653. 81
32
merupakan suatu bentuk penindasan terhadap perempuan dan juga menunjukan ketidaksetaraan gender.83 Selain itu, seorang wanita Muslim yang memilih untuk menggunakan jilbab, niqab maupun burqa memiliki kecenderungan dianggap sebagai bagian dari anggota Islam fundamental atau bahkan sebagai teroris.84 Lebih dari lima negara besar di Eropa pernah melakukan larangan penggunaan jilbab, niqab dan burqa, baik itu di sekolah maupun di ruang publik. Berikut ini adalah kasus larangan simbol keagamaan, terutama penggunaan jilbab, niqab dan burqa di beberapa negara di Eropa. 1. Jerman. Semenjak tahun 2004 hingga 2009, delapan negara bagian, BadenWürttemberg, Bavaria, Berlin, Bremen, Hesse, Lower Saxony, RhineWestphalia Utara, dan Saarland, telah menetapkan peraturan dan kebijakan untuk melarang guru-guru di sekolah umum untuk memakai item tertentu yang terkait dengan pakaian dan simbol keagamaan.85 Namun, dari delapan negara bagian yang melarang penggunaan simbol dan pakaian keagamaan, terselip lima negara yang membuat pengecualian bagi penggunaan simbol dan pakaian umat Kristen. Di Baden-Württemberg, negara melarang guru Muslim mengenakan jilbab
83
European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia, ―Muslims in the European Union: Discrimination and Islamophobia,‖ EUMC (2006): 40. 84 Manisuli Ssenyonjo, ―The Islamic Vail and Freedom of Religion, the Right to Education and Work: a Survey of Recent International and national cases,‖ Chinese Journal of International Law (2007): 657. 85 Human Right Watch, ―Discrimination in the Name of Neutrality: Headscarf Bans for Teachers and Civil Servants in Germany,‖ (2009): 1.
33
tetapi
memungkinkan
guru
untuk
mengenakan
pakaian
Kristen.
Sedangkan peraturan di North Rhine-Westphalia Utara serupa dengan yang terjadi di Baden-Württemberg. Di Bavaria juga memungkinkan kebiasaan biarawati, sementara melarang pemakaian jilbab.86 2. Belgia. Pada tahun 2011, negara ini memperkenalkan peraturan yang melarang penggunaan jilbab, niqab dan burqa di tempat umum.87 Di sekolahsekolah di Belgia pun hampir lebih dari 95% menerapkan larangan penggunaan burqa sebagai larangan internal sekolah mereka bagi siswi wanita.88 Dalam proses pengesahannya, mayoritas anggota parlemen mendukung larangan penggunaan jilbab dan burqa dengan total suara sebanyak 134 anggota yang memberi dukungan dan dua anggota abstain.89 3. Spanyol. Pada tahun 2010, penggunaan larangan niqab dan burqa di berlakukan di Spanyol, lebih tepatnya di kota Catalonia dan Andalusia, di mana kedua kota tersebut menjadi dua kota dengan konsentrasi penduduk imigran Muslim terbesar di Spanyol. Bahkan Menteri Kehakiman Spanyol pada saat itu, Francisco Camano, mengklaim bahwa penggunaan burqa tidak
86
Viviane Teitelbaum, ―The European Veil Debate‖, Israel Journal of Foreign Affairs vol. 1, (2011): 96. 87 Marie Haspeslagh, ―The Belgian Burqa Ban: Unveiled from a Human Rights Perspective”, (University of Ghent, 2012), 5. 88 Teitelbaum, ―The European Veil Debate‖, 93. 89 ―Belgia Setujui Larangan Burka‖ 20 April 2010, diakses pada 28 Juni 2014, http://www.bbc.co.uk.
34
sesuai dengan martabat manusia.90 Pada saat itu Partai Populer Konservatif di Spanyol juga menginginkan perpanjangan undang-undang tersebut dengan pemberlakuan di seluruh Spanyol.91 4. Inggris Di Inggris, komentar mantan Sekretaris Negara untuk Kehakiman menuai reaksi yang kontroversial setelah di tahun 2006, Jack Straw mengkritik penggunaan jilbab. Kemudian, dalam kasus yang melibatkan sebuah sekolah dengan seorang pengajarnya yang menggunakan jilbab, ECtHR menyatakan bahwa sekolah tersebut dapat memecat guru tersebut. Kasus ini kemudian menyita perhatian Tony Blair yang pada saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri. Saat itu Tony Blair menyatakan bahwa jilbab merupakan sebuah tanda pemisah.92 5. Belanda Di Belanda, perdebatan mengenai larangan penggunaan niqab dan burqa sudah ada sejak tahun 2007.93 Namun, Belanda baru memberlakukan larangan burqa pada tahun 2012. Hal tersebut menjadikan Belanda sebagai negara ketiga yang melarang burqa di Eropa.94 Dalam undang-undang larangan
burqa
di
Belanda,
apabila
seorang wanita
tertangkap
menggunakan burqa di jalan, transportasi publik, sekolah ataupun rumah 90
Teitelbaum, ―The European Veil Debate‖, 95. ―The Islamic Veil Across Europe‖, 22 September 2011, diakses pada 27 Juni 2014, http://bbc.com. 92 Teitelbaum, ―The European Veil Debate‖, 96. 93 Application No. 43835/11 – S.A.S. v. France in European Court of Human Right, (2012), 4; diunduh di http://www.opensocietyfoundations.org pada 19 Juli 2014. 94 Application No. 43835/11 – S.A.S. v. France in European Court of Human Right. 91
35
sakit
akan dikenakan
denda sebesar £
380. Namun,
Belanda
memberlakukan pengecualian dalam penerapan undang-undang tersebut. Pengecualian tersebut berlaku apabila wanita menggunakan burqa di masjid dan bagi wanita asing yang sedang transit di bandara internasional Belanda.95 6. Perancis Di Perancis, isu mengenai larangan jilbab, niqab dan burqa telah ada semenjak tahun 2003 ketika Presiden Chiraq menyatakan bahwa penggunaan simbol keagamaan di ruang publik dan sekolah merupakan tindakan yang tidak mencerminkan nilai sekularisme dan harus dilarang.96 Kemudian di tahun 2004, Perancis meloloskan undang-undang yang melarang penggunaan jilbab maupun simbol agama lain di sekolahsekolah negeri di negara itu.97 Setelah larangan penggunaan jilbab, kemudian pemerintaha Perancis mengembangkan larangan tersebut menjadi larangan burqa di tahun 2010.98 Dari beberapa kasus diatas, kehadiran simbol-simbol yang mengacu pada identitas keagamaan Islam di ruang publik Eropa dianggap sebagai tantangan serius
95
Bruno Waterfield, ―Netherlands to ban the burka”, 15 September 2011, diakses pada 29 Juni 2014, http://www.telegraph.co.uk. 96 Henri Peña-Ruiz, ―Laïcité et égalité, leviers de l'émancipation‖, Le Monde Diplomatique dalam ―The French ―Headscarves Ban‖: Intolerance or Necessity?‖, ed. Reuven Ziegler, (2006): 4. 97 Elaine B. Sciolino, ―French Assembly Votes to Ban Religious Simbols in Schools,‖ N.Y. TIMES, 11 Februari 2004 dalam ―The Headscarf Affair: The Conseil d‘État on the Role of Religion and Culture in French Society‖, ed. Elisa T. Beller (2004): 26. 98 Teitelbaum, ―The European Veil Debate‖ 94.
36
terhadap masa depan sekularisme. Meskipun sebagian dari kaum Muslim telah tercatat sebagai warga negara, namun masih banyak kalangan dalam masyarakat Eropa yang meragukan kesetiaan mereka terhadap hukum-hukum dan prinsip-prinsip kewarganegaraan. Loyalitas kaum Muslim terhadap Islam dianggap menegasikan patriotisme kaum Muslim terhadap negara Eropa tempat mereka tinggal sekarang. Pandangan-pandangan stereotipikal dan stigmatis inilah yang sering menjadi beban dalam menciptakan sebuah pola hubungan yang dialogis antara Islam dan Eropa. Menurut Parekh, pandangan-pandangan tersebut berakar pada kesalahpahaman masyarakat Eropa sendiri dalam memaknai logika integrasi, seolah-olah identitasidentitas yang sekarang dianggap melekat dalam tradisi masyarakat Eropa seperti liberalisme, sekularisme, dan rasionalisme adalah konsepsi yang tunggal.99
C.
Islam di Perancis Perancis merupakan sebuah negara dengan populasi Muslim terbesar di Eropa
Barat.100 Negara yang menganut paham laïcité ini memiliki tingkat pertambahan Muslim yang cukup signifikan setiap tahunnya baik itu yang berasal dari luar Perancis
maupun
dari
para
mualaf.101
Laïcité
merupakan
konsep
yang
mendeskripsikan ke kolektifan identitas publik dari masyarakat Perancis dan juga landasan kepribadian nasional yang mendefinisikan apa artinya "orang Perancis." 99
Parekh, Bikhu, Europe, Liberalism, and the „Muslim Question dalam Multiculturalism, Muslims, and Citizenship: A European Approach ed. Tariq Modood, Richard Zapata-Barrero, dan Anna Triandafyllidou, (London: Routledge, 2006), 23. 100 Stéphanie Giry, ―France and Its Muslim,‖ Foreign Affairs Vol 85 :5 (2006): 87. 101 Caesari, ―Islam in France,‖ 36-51.
37
Warga Perancis dari semua latar belakang politik melihat laïcité sebagai refleksi dari identitas nasional di ruang publik dan mayoritas dari mereka berusaha untuk melindungi identitas Perancis ini dari perbedaan minoritas. Laïcité melindungi warga negara Perancis dari tekanan kelompok minoritas yang mengancam identitas sekuler Perancis, terutama dari kelompok yang bersifat religius. Selama berabad-abad, perlindungan ini fokus pada pengurangan pengaruh Gereja Katolik.102 Negara yang menganut laïcité ini didominasi oleh penduduk Katolik. Namun pada tahun 2007, penelitian yang dilakukan oleh Catholic World News, jumlah pemeluk Katolik di Perancis menurun menjadi 51%. Sementara itu, dari sumber yang sama juga menunjukkan 31% diidentifikasi sebagai Atheis, 10% dari agama lain, 4% Muslim, 3% Protestan, 1% Budha dan 1% Yahudi.103 Awal dari masuknya Islam di Perancis sudah terjadi sejak abad ke-10 ketika negara kerajaan Islam ingin memperluas daerah kekuasaannya. Namun sayang, ketika itu Islam gagal karena tengah menghadapi perang salib dan akhirnya Islam pun keluar dari Perancis.104 Masuknya Islam di Perancis menjadi signifikan bersamaan dengan kolonialisasi Perancis di Afrika Utara yang di mulai ada tahun 1830. Para pedagang dikenal dengan istilah turcos datang dari Aljazair setelah tahun 1850, menyusul
102
Davis, ―Lifting the Veil: France‘s New Crusade,‖ 122. Ratna Fitriani Imanita, ―Alhamdulillah, Muslim Perancis Meningkat Pesat‖, 19 Mei 2012, diakses pada 4 Januari 2013, http://www.republika.co.id. 104 John L Esposito, The Oxford Encycloppedia of The Modern World vol.2, (New York: Oxford University Press, 1995), 28. 103
38
kemudian imigran Maroko yang bekerja di dermaga Marseilles, kontruksi pembangunan kota Paris dan di sektor pertambangan di Perancis bagian selatan.105 Pasca terjadinya perang dunia pertama dan kedua, tingkat imigrasi di Perancis semakin meningkat. Sesudah perang dunia I, Perancis sangat kekurangan tenaga kerja dan untuk mengejar kekurangan ini imigrasi orang-orang Aljazair pun didorong. Pada tahun 1920 penduduk Muslim mencapai 120.000 orang.106 Imigrasi Muslim ke Perancis memiliki kecenderungan naik setelah perang dunia II, dengan penduduk Muslim mencapai 240.000 pada tahun 1950.107 Namun tidak semua imigran yang pada saat itu pindah ke Perancis adalah Muslim, 40% dari mereka adalah penganut agama lain. 108 Pada awal abad ke-20, gelombang pekerja berdatangan lagi ke Perancis. Pekerja itu terdiri atas warga Aljazair, Maroko, dan Tunisia. 109 Pada tahun 1974 pemerintah Perancis mengeluarkan deregulasi mengenai perizinan membawa istri dan keluarga bagi para pekerja tersebut. Sebagai hasilnya, populasi Muslim di Perancis saat itu meningkat terutama terdiri dari orang-orang dari Afrika Utara (Aljazair, Maroko dan Tunisia), Turki, Afrika Sub-Sahara dan anak-anak mereka yang lahir di Perancis. Selain itu, terdapat pula orang Asia Selatan (Tamil dan Gujarat misalnya)
105
Esposito, The Oxford Encycloppedia of The Modern World. Anne-Laure Zwilling, Yearbook of Muslim in Europe vol. 2, (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2010), 184. 107 M.Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali Press, 2005), 51. 108 Giry, ―France and Its Muslim‖, 88. 109 Esposito, The Oxford Encycloppedia of The Modern World, 29. 106
39
dan orang-orang dari Timur Tengah dan juga orang-orang Albania dan Bosnia sejak perang Yugoslavia (1991-2001).110 Imigran Muslim yang berada di Perancis pada awalnya tidak dianggap sebagai ancaman hingga pada saat generasi kedua dan ketiga tumbuh barulah Perancis menganggap bahwa Muslim mampu memunculkan masalah serta ancaman bagi Perancis.111 Bagi sebagian penduduk Perancis, kehadiran jutaan umat Islam di Perancis dianggap sebagai ancaman bagi pondasi sekularisme dan demokrasi yang telah terbangun sejak ratusan tahun yang lalu di negara tersebut.112 Kekhawatiran penduduk Perancis itu didasari oleh meningkatnya jumlah populasi Muslim di Perancis yang kemudian juga meningkatkan tingkat kegiatan peribadatan Muslim di sana.113 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh le Conseil Supérieur de l'audiovisue (CSA) di tahun 2006, ada 88% orang Muslim mengklaim dirinya berpuasa selama bulan Ramadhan, 43% Sholat lima waktu dalam sehari, 20% membaca Al-Quran setidaknya satu kali dalam seminggu, 17% hadir di masjid satu
110
Christine Moliner, ―L‘immigration sud-asiatique en France: discrète et exemplaire?‖, Infos Migrations; 12 November 2009, http://www.immigration.gouv.fr/IMG/pdf/IM_12.pdf; diakses pada 9 January 2010 dalam Yearbook of Muslim in Europe vol. 2 ed. Anne-Laure Zwilling. 111 Andar Nubowo, ―Islam, Sekularisme, dan Demokrasi di Eropa: Pengalaman Perancis‖, Prisma vol. 29:4, (2010): 49. 112 Alain Gresh, Islam de France, Islams d‟Europe, (Paris: L‘Harmattan, 2005), 9 dalam ―Islam, Sekularisme, dan Demokrasi di Eropa: Pengalaman Perancis‖ ed. Andar Nubowo, (2010). 113 ―Enquête sur l‘implantation et l‘évolution de l‘Islam de France (Survey on the integration and evolution of Islam in France)‖, IFOP survey, 2009, http://www.ifop.fr/media/pressdocument/48-1document_file.pdf; diakses pada 12 November 2009; dalam Yearbook of Muslim in Europe vol. 2 ed. Anne-Laure Zwilling.
40
kali dalam seminggu dan 8% yang mengunjungi masjid sebulan sekali.114 Dalam hasil penelitian lain yang dilakukan The Institut Français d'opinion Publique (IFOP) di tahun 2009 menunjukan bahwa jumlah pengunjung tetap masjid sebesar 23%, meningkat dibandingkan dengan tahun 1989 yang hanya sebesar 16%, 70% berkata bahwa mereka menjalankan puasa di bulan ramadhan, meningkat 10% sejak tahun 1989 dan 6% Muslim di Perancis telah pergi haji ke Mekkah, lebih banyak 2% dari tahun 1989.115 Selain meningkatnya jumlah populasi dan aktivitas keagamaan, minoritas Muslim Perancis diperkirakan berpotensi melahirkan gerakan-gerakan radikalisme Islam ekstrimis yang dapat mengganggu stabilitas keamanan di Perancis. Hal ini diperjelas oleh Caesari dengan berbagai fakta seperti kondisi dimana Islam mulai menanamkan etnisitas di tengah-tengah Perancis dengan jilbab sebagai simbolnya, isu politik dengan pendirian masjid yang menguatkan eksistensi Islam, serta privatisasi terhadap Islam atas penggunaan simbol agamanya di tengah-tengah masyarakat Perancis.116 Selain itu, perlakuan diskriminatif yang dilakukan warga mayoritas Perancis dan faktor kesamaan identitas di antara para imigran Muslim juga ikut memperbesar peluang munculnya organisasi-organisasi Muslim di Perancis. Organisasi Muslim di 114
―Portrait des musulmans (Portrait of Muslims)‖, diakses pada 12 November 2009, http://www.csafr.com/dataset/data2006/opi20060823b.htm, dalam Yearbook of Muslim in Europe vol. 2 ed. AnneLaure Zwilling. 115 ―Enquête sur l‘implantation et l‘évolution de l‘Islam de France (Survey on the integration and evolution of Islam in France)‖, IFOP survey, 2009; diakses pada 12 November 2009, http://www.ifop.fr/media/pressdocument/48-1-document_file.pdf, dalam Yearbook of Muslim in Europe vol. 2 ed. Anne-Laure Zwilling 116 Caesari, ―Islam in France‖, 2-5.
41
Perancis ini banyak yang dibentuk untuk merepresentasikan identitas asal mereka seperti Muslim Algeria yang diwakili oleh Grande Mosquée de Paris (GMP), the National Federation of Muslims in France (Fédération Nationale des Musulmans de France, (FNMF)) yang mewakili Muslim asal Moroko dan Muslim Turki yang bernaung di bawah Coordination Committee of Turkish Muslims in France (Comité de Coordination des Musulmans Turcs de France, Millî Görüs (CIMG France).117 Perilaku diskriminatif yang dilakukan oleh penduduk mayoritas di Perancis meningkat semenjak terjadinya pengeboman kereta bawah tanah di tahun 1995 yang dilakukan Khaled Kelkal, seorang Islamis radikal yang memprotes pemerintah Perancis karena memberikan dukungan kepada rezim militer Algeria118 dan peristiwa 9/11 di Amerika Serikat. Hal tersebut ditunjukan dengan tingkat perlakuan diskriminatif yang juga meningkat terhadap minoritas Muslim di Perancis seperti yang dikatakan oleh Morgane Hoarau dan Patrycja Sasnal bahwa semakin banyak Muslim minoritas satu negara di Eropa, maka tingkat perlakuan diskriminatif di negara tersebut juga akan meningkat.119 Di tahun 2004, menurut laporan Commission Nationale Consultative des Droits de l'Homme (CNCDH), sekitar 41 kasus tindakan diskriminatif terjadi di Perancis yang berupa kekerasan, pengerusakan masjid dan makam Muslim, serta
117
Zwilling, Main Muslim Organisation in France, 189 – 190. Giry, ―France and Its Muslim‖, 92. 119 Morgane Hoarau dan Patrycja Sasnal, ―The Rise of Islamophobia in Europe‖, The Polish Institute of International Affair. No. 55, (2013): 509. 118
42
pelecehan. Sedangkan di tahun 2005, tindakan diskriminatif meningkat hingga 64 kasus.120
D.
European Court of Human Rights European Court of Human Rights merupakan pengadilan Hak Asasi Manusia
di Eropa yang bertujuan untuk menerapkan dan untuk melindungi hak-hak sipil dan politik warga negara benua Eropa. ECtHR memiliki prinsip-prinsip yang diatur dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia yang disusun pada masa pasca Perang Dunia II. ECtHR yang didirikan pada tahun 1959 di Strasbourg, Perancis, ini menganggap bahwa setiap kasus yang terkait dengan hak asasi manusia yang dibawa oleh individu, organisasi dan negara-negara di Eropa merupakan kasus yang terikat oleh konvensi.121 Pembentukan European Court of Human Rights pada awalnya didasari oleh pemikiran politik kontemporer yang menekankan bahwa penindasan Hak Asasi Manusia dapat secara langsung terkait dengan totalitarianisme dan konflik internasional oleh karena itu negara-negara di Eropa melakukan pendekatan supranasional dengan membentuk sebuah konvensi yang diharapkan mampu mencegah perang di masa depan.122 Pada bulan Mei 1948, Kongres Eropa berkumpul
120
European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia, ―Muslims in the European Union,‖ 73. ―Profile: European Court of Human Rights,‖ BBC, 7 February 2012, diakses pada 15 February 2014, http://www.bbc.co.uk. 122 Robert Blackburn & Jorg Polakiewicz. (2001). The Institutions and Processes of the Convention, in Fundamental Rights in Europe: the European Convention on Human Rights and Its Member States; dalam The French Headscarf Law Before The European Court of Human Rights. Journal of Transnational Law and Policy Vol. 16:2 oleh Kathryn Boustead. (2007). 170 – 171. 121
43
di Den Haag dan mengadopsi resolusi untuk membentuk sebuah piagam Hak Asasi Manusia Eropa yang diterapkan oleh ECtHR di Eropa. Dalam jangka waktu satu tahun, sepuluh negara Eropa membentuk European Council dengan tugas menyusun perjanjian Hak Asasi Manusia multilateral.123 Perjanjian
Hak Asasi Manusia multilateral tersebut kemudian dikenal sebagai
Konvensi untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental yang ditandatangani di Roma pada tanggal 4 November 1950 dan mulai berlaku pada bulan September 1953. European Council menggunakan acuan penyusunan Konvensi berdasarkan Deklarasi 1948 tentang Hak Asasi Manusia. Para perumus Konvensi berusaha untuk mencapai tujuan European Council melalui pemeliharaan dan realisasi lebih lanjut dari Hak Asasi Manusia dan kebebasan fundamental. Konvensi digunakan untuk mewakili langkah pertama dalam penegakan kolektif tentang hakhak yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.124 Dalam usahanya menegakan Hak Asasi Manusia, Konvensi membentuk mekanisme penegakan kewajiban yang dibuat oleh negara peserta salah satunya adalah European Court of Human Rights.125 European Court of Human Rights dibentuk berdasarkan Konvensi sebagaimana telah diubah dengan Protokol No 11126 yang terdiri dari 46 orang hakim dari negara anggota. Tidak ada batasan pada jumlah hakim dari kebangsaan yang 123
Kathryn Boustead. The French Headscarf Law Before The European Court of Human Rights., 171. European Court of Human Rights Annual Report 2005. (2006), 8; tersedia di http://www.echr.coe.int; diunduh pada 4 juli 2014. 125 ―European Court of Human Rights: Annual Report 2005,‖ diunduh pada 6 Juli 2014, http://www.echr.coe.int/Documents/Annual_report_2005_ENG.pdf 126 ―European Court of Human Rights,‖ 10. 124
44
sama. Hakim dipilih oleh Majelis Parlemen Dewan Eropa untuk jangka waktu enam tahun. Hakim dalam sebuah kasus bekerja dengan kapasitas pribadi mereka dan tidak mewakili negara manapun. Masa jabatan seorang hakim berakhir ketika mereka mencapai usia 70 tahun.127 Pengambilan keputusan dalam ECtHR dilakukan di sebuah Chamber dengan mekanisme pemungutan suara. Setiap hakim yang telah mengambil bagian dalam pertimbangan sebuah kasus berhak untuk menambahkan opini mereka baik yang setuju atau tidak setuju. Dalam jangka waktu tiga bulan dari pengiriman putusan penghakiman dari Chamber, setiap pihak dapat meminta kasus tersebut di rujuk untuk melakukan banding ke Grand Chamber. Grand Chamber terdiri dari 17 hakim. Permintaan yang diajukan ke Grand Chamber kemudian diperiksa oleh lima hakim panel Grand Chamber yang terdiri dari Ketua ECtHR, dua Presiden Bagian yang ditunjuk secara bergantian, dan dua hakim lainnya juga dipilih bergantian. Semua keputusan yang dihasilkan dari ECtHR akan mengikat kepada negara yang bersangkutan.128
127 128
―European Court of Human Rights,‖ 10. ―European Court of Human Rights‖, 12.
45
BAB III Pelarangan Jilbab di Sekolah serta Niqab dan Burqa di Perancis 2004 – 2013 A.
Pelarangan Jilbab di Sekolah serta Niqab dan Burqa di Perancis 1) Pelarangan Jilbab di Sekolah tahun 2004 di Perancis Perdebatan mengenai larangan penggunaan jilbab yang terjadi di Perancis
merupakan hal yang sudah lama terjadi. Pada tahun 1989, di Creil terdapat tiga orang siswi yang dilarang mengikuti kegiatan belajar dikarenakan menggunakan jilbab. Di awal tahun ajaran baru, ada tiga orang siswi dari sekolah Gabriel-Havez yaitu Leila, Fatima dan Samira Saidani129 tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan belajar karena memakai jilbab di sekolah.130 Kemudian, pada tanggal 10 Oktober 1989131, orang tua dari ketiga murid tersebut datang ke sekolah untuk bernegosiasi dengan pihak sekolah terkait penggunaan jilbab di sekolah tersebut. Setelah melakukan beberapa tahapan negoisasi antara pengurus sekolah dan orang tua siswi tersebut, maka dicapailah kesepakatan bahwa para gadis di sekolah itu dapat mengenakan jilbab di sekolah namun apabila dalam kegiatan belajar maka jilbab mereka harus dilepas. 132 Selain itu, para gadis itu juga tidak diperkenankan memakai jilbab yang terlihat ―mewah‖ yang mampu menunjukan kesan intimidasi, provokasi, dakwah, ataupun propaganda.133
129
Dan Eshet, What Do We Do with a Difference? France and the Debate over Headscarves in School, (Facing History and Ourselves Foundation, Inc, 2008), 23. 130 Wing dan Smith. ―Critical Race Feminism Lifts the Veil‖, 743. 131 Elisa T. Beller, ―The Headscarf Affair: The Conseil d'Etat On the Role of Religion and Culture in French Society‖, Texas International Law Journal Vol. 39, (2004): 581. 132 Eshet, ―What Do We Do with a Difference‖, 23. 133 Pierre Birnbaum, The Idea of France 231 (M.B. DeBevoise trans., Hill and Wang 2001) (1998); Lihat juga Conseil d‘État, Assemblée générale (Section de l‘intérieur), 27 Novembre 1989, tersedia di http://www.conseil-etat.fr/ce/rappor/index_ra_cg03_01.shtml (last visited Apr. 13, 2004); dalam The
46
Meskipun pihak sekolah dengan orang tua siswa telah melakukan negoisasi, namun kejadian yang terjadi di Creil ini kemudian menjadi isu nasional sebab melibatkan tiga organisasi keagamaan lokal seperti Muslim, Katolik dan Yahudi. Dalam kasus jilbab tersebut, Conseil d‟Etat menyatakan: ”In educational institutions, students‟ wearing of simbols that indicate their religious beliefs is not in itself incompatible with the principle of “laïcité,” to the extent that the wearing of such simbols constitutes the exercise of freedom of expression and freedom to express religious beliefs.”134 Dalam pernyataannya di atas, Conseil d‟Etat mendukung ketiga siswa tersebut untuk menngunakan simbol keagamaan dalam lingkungan sekolah sebab simbol-simbol tersebut merupakan pelaksanaan kebebasan berekspresi dan kebebasan untuk mengekspresikan keyakinan agama. Selain itu, istri Presiden partai Sosialis, François Mitterrand juga menyatakan bahwa para gadis tersebut sebaiknya diizikan untuk mengenakan jilbab karena sudah seharusnya negara menerima agama lain selain Kristen.135 Lionel Jospin yang pada saat itu menjadi Menteri Pendidikan Perancis juga mengutarakan pandangannya mengenai hak para siswi dalam menggenakan
Headscarf Affair: The Conseil d'Etat On the Role of Religion and Culture in French Society oleh Elisa T. Beller 134 ECtHR mengatakan, ―Such freedom does not, however, extend to permitting students to wear religious simbols that . . . would constitute an act of pressure, provocation, proselytism or propaganda, or detract from the dignity or freedom of the student or other members of the educational community . . . or disrupt the establishment or normal operation of the publik service.‖ Dikutip dari Laura Barnett, ―Freedom of Religion and Religious Simbols in the Publik Sphere,‖ 2006, Library of Parliament (Canada) website, http://www.parl.gc.ca/information/ library/PRBpubs/prb0441-e.htm (diakses pada, 15 November 2007); Bruce Crumley, ―Faith and Fury,‖ Time, 2 November 2003, http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,901031110-536181-2,00.html (diakses pada 21 December 2007). The Conseil d‘Etat and the French Ministry of Education left it up to school principals to interpret the ruling; dalam What Do We Do with a Difference? France and the Debate over Headscarves in Schools oleh Dan Eshet. (2008). 135 Françoise Gaspard & Farhad Khosrokhavar. (1995). Le Foulard Et La Républiɋue. h. 12–15 dalam The Headscarf Affair: The Conseil d'Etat On the Role of Religion and Culture in French Society oleh Elisa T. Beller. (2004), 584.
47
jilbab di kelas. Jospin yang pada saat itu mendukung para siswi untuk memakai jilbab di kelas mendapat tantangan dari rekan satu partainya yang beberapa dari mereka menolak penggunaan jilbab di kelas.136 Mulai dari kejadian inilah perdebatan mengenai larangan jilbab di Perancis berlangsung hingga saat ini. Setelah kejadian yang terjadi di Creil hingga tahun 2003, beberapa sekolah mempermasalahkan penggunaan jilbab di lingkungan belajar mereka. Bahkan dalam kurun waktu 7 tahun, dari tahun 1992 hingga 1999, ada sekitar 49 kasus mengenai jilbab yang terjadi di Perancis dan 41 di antaranya, Conseil d‟Etat sebagai pengadilan administratif tertinggi di Perancis mendukung para siswi menggenakan jilbab di sekolah.137 Jumlah kasus yang sedemikian banyaknya di Perancis disebabkan oleh stigma masyarakat mayoritas yang menganggap bahwa pengguna jilbab merupakan aliran dari Islam radikal terlebih lagi semenjak terjadinya pengeboman yang terjadi di Lyon dan Paris yang dilakukan oleh gerakan Islamis Aljazair tahun 1995 dan peristiwa penyerangan yang terjadi Amerika Serikat tahun 2001 dan di Eropa, tepatnya di Madrid138 dan di London tahun 2004 dan 2005.139 Penyerangan yang terjadi di Amerika pada tahun 2001 menyebabkan berbagai efek bagi populasi Muslim di Perancis. Beberapa surat kabar melaporak telah terjadi 136
Gaspard dan Khosrokhavar, ―Le Foulard Et La Républiɋue‖, 585. Open Soc‘y Inst, ―The Situation of Muslims in France‖, dalam Monitoring the EU Accession process: Minority Protection, (2002)‖ 93, tersedia di http://www.eumap.org/reports/2002/content/09/250/2002_m_france.pdf; dalam ―The Headscarf Affair: The Conseil d'Etat On the Role of Religion and Culture in French Society‖, oleh Elisa T. Beller, (2004): 584. 138 Arif Setyanto, ―Opini Publik terhadap Terorisme di Eropa: Blind Spot Dalam Kasus Serangan Norwegia Tahun 2011‖, Jurnal Hubungan Internasional vol. VI , No. 1, (2013). 139 European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia. The Impact of 7 July 2005 London Bomb Attacks on Muslim Communities in the EU, (Vienna: EUMC, 2005). 137
48
peningkatan kejahatan dan kebencian terhadap Islam dan juga banyak terjadi penyerangan terhadap Muslim di jalanan. Selain itu, banyak pidato publik yang ditujukan untuk menyerang hak-hak imigran.140 Hal tersebut menimbulkan kenaikan retorika anti-imigran yang kemudian membuat angka serangan terhadap Muslim meningkat.141 Hal tersebut kemudian mendapat perhatian dari Jean Pierre Raffarin yang pada saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri. Saat itu, media-media Perancis mempublikasikan komentar Raffarin yang mendorong Perancis agar segera memberlakukan penggunaan larangan jilbab di sekolah umum142 yang kemudian disusul oleh permintaan Menteri Dalam Negeri Perancis pada saat itu, Nicolas Sarkozy, yang menolak adanya penggunaan simbol keagamaan sebab itu akan melukai nilai warisan budaya Kristen Perancis.143 Kemudian di bulan Juli 2003, Presiden Perancis pada saat itu, Jacques Chiraq, mengumumkan pembentukan the Commission to Reflect on the Application of the Principle of Secularism in the Republic144 Komisi yang sekarang lebih dikenal sebagai Komisi Stacy itu bertugas mengawasi dan memeriksa pelaksanaan laïcité di Perancis.145 Pada tanggal 11 Desember 2003, Komisi tersebut memberikan
140
Eshet, ―What Do We Do with a Difference‖, 11. Eshet, ―What Do We Do with a Difference‖, 26. 142 Davis, ―The Veil that Covered France‘s Eye‖, 743. 143 Olivier Roy, Secularism Confronts Islam, (New York: Columbia University Press, 2007): vii; dalam ―Islam, Sekularisme, dan Demokrasi di Eropa: Pengalaman Perancis.‖ Prisma Vol. 29:4; 49 oleh Andar Nubowo. 144 Bronwyn Winter. Hijab and the Republic: Uncovering the French Headscarf Debate, (Syracuse: Syracuse University Press, 2007), 215, dalam ―Pulling Back the Veil: The Hijab Ban and the Evolution of French Nationalism‖ oleh Meghan Henkel, (2012): 16. 145 Davis, ―The Veil that Covered France‘s Eye‖, 743. 141
49
rekomendasi larangan segala bentuk alat dan simbol keagamaan di sekolah.146 Rekomendasi tersebut dibuat oleh Komisi untuk menindak lanjuti kasus-kasus mengenai jilbab di sekolah sebab pada bulan September 2003, kembali muncul kasus tentang siswi yang mengenakan jilbab di sekolah yang menimpa Alma Lévy dan Lila Lévy. Mereka diminta melepas jilbab mereka dengan alasan pemakaian jilbab di sekolah dapat melukai sekularisme Perancis.147 Satu minggu kemudian setelah Komisi memberikan rekomendasi, dengan dukungan opini publik yang cukup kuat,148 Chiraq kemudian membuat rancangan undang-undang tentang larangan tersebut.149 Rancangan undang-undang mengenai larangan jilbab dan simbol agama di sekolah membutuhkan 288 suara agar bisa disahkan dan peluang RUU tersebut memiliki peluang yang besar untuk melewati proses hukum di Majelis Nasional Perancis sebab Partai pendukung Chiraq menguasai 364 kursi dari 577 kursi yang ada.150 Kemudian pada tanggal 10 Februari 2004, RUU tersebut berhasil melewati Majelis Nasional dengan total suara mencapai 494 yang mendukung disahkannya
146
Mukul Saxena, ―The French Headscarf Law and the Right to Manifest Religious Belief‖, (2007): 776-77, dalam ―The Veil that Covered France‘s Eye: the Right to Freedom of Religion and Equal Treatment in Immigration and Naturalization Proceedings‖, oleh Kendal Davis (2010). 147 John R. Bowen, Why the French Don‟t Like Headscarves: Islam, the State, and Public Space, (Princeton: Princeton University Press. 2007), 210-240. 148 Keith B. Richburg, ―French President Urges Ban on Head Scarves in Schools: Chirac Confronts Spread of Islam‖, 18 Desember 2003; tersedia di http://washingtonpost.com; diakses pada 28 Juli 2014. 149 Philippe Bernard, ―M. Stasi Prône l‘Interdiction des Signes Religieux et Politiques à l‘École‖, Le Monde (Paris), 11 Desember 2003, tersedia di http://www.lemonde.fr/txt/article/0,1-0@2-3224,36345565,0.html; dalam ―The Headscarf Affair: The Conseil d'Etat On the Role of Religion and Culture in French Society‖ oleh Elisa T. Beller, (2004): 582. 150 Elaine Sciolino, ―Debate Begins In France On Religion In the Schools‖, 4 February 2004; tersedia di http://nytimes.com; diakses pada 29 Juli 2014.
50
RUU tersebut151 dan di bulan Maret, RUU tersebut juga berhasil melewati Senat Perancis dengan perolehan suara 276 pendukung.152 Pada 15 Maret 2004, the Loi n° 2004-228 du 15 mars 2004 encadrant, en application du principe de laïcité, le port de signes ou de tenues manifestant une appartenance religieuse dans les écoles, collèges et lycées publiks (Hukum 2004-228 pada 15 Maret 2003, mengenai penerapan dasar negara tentang pemisahan negara dan gereja, pemakaian simbol atau pakaian yang menunjukan bagian dari suatu agama di ruang publik dan sekolah) ditandatangani oleh Presiden Chiraq153 yang kemudian mulai berlaku pada bulan September 2004. Dalam undang-undang tersebut, jenjang pendidikan yang mendapat batasan adalah sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas negeri. Sedangkan untuk sekolah swasta dan perkuliahan diperbolehkan untuk menggunakan simbol keagamaan.154 Pada Januari 2005, Menteri Pendidikan, Francois Fillon mengklaim bahwa 48 siswa telah diusir dari kelas mereka akibat melanggar undang-undang larangan jilbab dan simbol keagamaan di sekolah.155
151
Sciolino, ―French Assembly Votes to Ban Religious Symbols in Schools‖, 11 Februari 2004; tersedia di http://nytimes.com; diakses pada 29 Juli 2014. 152 Beller, ―The Headscarf Affair‖, 581. 153 Henkel, Meghan, ―Pulling Back the Veil: The Hijab Ban and the Evolution of French Nationalism‖, (CMC Senior Theses, 2012), 22. 154 BBC, ―French scarf ban comes into force‖, 2 September 2004; tersedia di http://news.bbc.co.uk; diakses pada 30 Juli 2014. 155 ―French schools expel 48 over headscarf ban‖, 20 Januari 2005; tersedia di http://www.expatica.com/fr/news/local_news/french-schools-expel-48-over-headscarf-ban15996.html; diakses pada 30 Juli 2014.
51
2) Larangan Penggunaan Niqab dan Burqa di Perancis tahun 2010 Setelah Perancis memberlakukan undang-undang yang mengatur tentang larangan penggunaan simbol keagamaan, terutama jilbab di sekolah, di tahun-tahun berikutnya, negara ini kembali membuat undang-undang yang melarang simbol keagamaan namun kali ini yang dilarang hanya niqab dan burqa saja. Perdebatan mengenai pemakaian niqab dan burqa ini di mulai sejak tahun 2008, ketika media cetak Perancis, Le Monde, melaporkan keputusan Conseil d‟Etat mengenai penolakan kewarganegaraan yang diajukan oleh Faiza Silmi.156 Penolakan yang dilakukan oleh Conseil d‟Etat dikarenakan Silmi memakai niqab. Conseil d‟Etat beranggapan bahwa dengan memakai niqab maka Silmi telah melanggar nilai-nilai Perancis terutama mengenai kesetaraan gender.157 Kejadian yang menimpa Silmi kemudian diikuti dengan di keluarkannya proposal yang mengatur tentang undang-undang larangan pemakaian cadar158 namun undang-undang tersebut gagal.159 Isu mengenai pelarangan niqab dan burqa itu kemudian mencuat pada April 2009. Media dan dunia politik Perancis dihebohkan dengan tindakan dari André Gérin, Walikota Partai Komunis di kota Vénissieux,160 yang mengirimkan surat
156
Katrin Bennhold, ―A Veil Closes France‘s Door to Citizenship‖, 19 Juli 2008; tersedia di http://www.nytimes.com/2008/07/19/world/europe/19france.html; diakses pada 2 Agustus 2014. 157 Anastasia Vakulenko, ―Gender Equality as an Essential French Value: The Case of Mme M‖,. Human Rights Law Review 9, (2009): 143–50; dalam ―Is the French Burka Ban Compatible with International Human Rights Law Standards?‖, Oleh Daniel Barton, (2012). 158 Kain penutup kepala atau muka, biasa digunakan wanita Muslim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/cadar: diakses pada 25 Desember 2014. 159 Rancangan Undang-undang no. 1121 oleh Jacques Myard; tersedia di http://www.assembleenationale.fr/13/propositions/pion1121.asp; diakses pada 13 April 2014; dalam ―Is the French Burka Ban Compatible with International Human Rights Law Standards?‖, Oleh Daniel Barton, 2012. 160 Open Society Foundation, ―Unveiling the Truth: Why 32 Muslim Women Wear the Full-face Veil in France‖, (2011): 29.
52
terbuka kepada Perdana Menteri Perancis, François Fillon, yang menyatakan bahwa pemerintah sudah saatnya bertindak tegas terhadap pemakaian niqab dan burqa di Perancis sebab itu bertolak belakang dengan integrasi, kesetaraan gender, dan juga sekularisme di Perancis.161 Selain itu, menurut André Gérin penggunaan niqab dan burqa menggambarkan gunung es yang dikemudian hari mampu menyebarkan Islam dan salafisme di Perancis.162 Selanjutnya, pada 9 juni 2009, Gérin dan 57 anggota parlemen lainnya memperkenalkan rancangan resolusi 1725 yang bertujuan untuk menciptakan sebuah komisi parlemen untuk menangani praktek pemakaian cadar wajah penuh di Perancis.163 Rancangan resolusi tersebut mendapat dukungan dari Nicolas Sarkozy yang pada saat itu menjabat sebagai Presiden.164 Rancangan tersebut kemudian mendorong Majelis Nasional untuk membentuk Komisi Penyelidikan yang bernaung di bawah Komisi Stasi. Komisi Penyelidikan dibentuk untuk melakukan investigasi praktek pemakaian burqa di wilayah kekuasaan Perancis. Komisi ini terdiri dari 32 anggota parlemen dan diketuai oleh André Gérin.165 Dalam pidatonya ketika mengesahkan Komisi Penyelidikan, Sarkozy mengatakan: ―The problem of the burqa is not a religious one. It is an issue of freedom and dignity of the woman. The burqa is not a religious sign; it is a sign of 161
European Race Audit, ―The background to the French parliamentary commission on the burqa and niqab‖, ERA Briefing Paper No.3 – (April 2010): 1; tersedia di www.irr.org.uk/pdf2/ERA_BriefingPaper3.pdf 162 Open Society Foundation, ―Unveiling the Truth‖, 29. 163 Steven Erlanger, ―Burqa Furor Scrambles French Politics‖, 31 Agustus 2009; tersedia di http://www.nytimes.com; diakses pada 3 Agustus 2014 164 Daniel Barton, ―Is the French Burka Ban Compatible with International Human Rights Law Standards?‖, Essex Human Rights Review vol. 9, No. 1, (2012): 7. 165 Open Society Foundation, ―Unveiling the Truth‖, 29.
53
subservience, a sign of debasement. I want to solemnly say it will not be welcome on the territory of the French Republic! Parliament has expressed its will to address this question. This is the best way to proceed. There needs to be a debate and all viewpoints must be expressed. Where, outside of parliament, could they be better expressed? But I say to you; let us not be ashamed of our values, let us not be afraid of defending them.”166 Dalam pidatonya, Sarkozy menyatakan bahwa niqab dan burqa bukan hanya permasalahan agama namun hal tersebut juga menyangkut permasalah martabat dan penghinaan terhadap wanita dan tidak diterima di Perancis. Pada tanggal 26 Januari 2010, Komisi mengirimkan laporannya terkait investigasi yang dilakukan yang berkaitan dengan niqab dan burqa.167 Laporan tersebut berisikan mengenai analisa mengenai cadar di Perancis dan juga analisa bagaimana penggunaan cadar tidak sesuai dengan nilai-nilai sekularisme Perancis.168 Selain itu, Komisi tersebut juga membuat 18 rekomendasi terkait penggunaan cadar dan salah satunya adalah agar Perancis mengadopsi hukum yang melarang pemakaian cadar di ruang publik (rumah sakit, sekolah, kantor pos, transportasi publik).169 Tiga hari setelah Komisi Penyelidikan mengirimkan laporannya, Perdana Menteri mengirimkan surat untuk Conseil d‟Etat agar para petinggi lembaga tersebut mempelajari dan memikirkan solusi yang memungkinkan agar larangan tersebut
166
Open Society Foundation, ―Unveiling the Truth‖, 29 – 30. Open Society Foundation, ―Unveiling the Truth‖, 31. 168 Laporan Komisi Penyelidikan, tersedia di: http://www.assembleenationale.fr/13/dossiers/voile_integral.asp; diakses pada 14 April 2011, dalam ―Is the French Burka Ban Compatible with International Human Rights Law Standards?‖, Oleh Daniel Barton, 2012. 169 Open Society Foundation, ―Unveiling the Truth‖, 31. 167
54
dapat disahkan sebagai undang-undang. Dan pada 25 Maret 2010, Conseil d‟Etat menyampaikan hasil kajian mereka.170 Dari hasil kajian yang telah diproses oleh Conseil d‟Etat, undang-undang untuk larangan penggunaan cadar dan penutup wajah dapat diberlakukan mengingat hal tersebut mampu menimbulkan ancaman potensial bagi keselamatan dan keamanan publik. Selain itu, Conseil d‟Etat juga menyarankan untuk menerapkan sanksi yang lebih berat ketimbang undang-undang simbol keagamaan dan larangan jilbab di tahun 2004. Sanksi tersebut berlaku bagi pengguna cadar dan penutup wajah. Apabila pengguna cadar atau penutup wajah mendapat paksaan dalam menggunakan busana tersebut, maka orang yang memaksa juga akan dikenakan sanksi, namun sanksi yang didapat akan lebih berat.171 RUU mengenai larangan pemakaian niqab dan burqa kemudian diperkenalkan pada tanggal 19 Mei 2010 oleh Perdana Menteri François Fillon di Majelis Nasional.172 Pada saat itu, François Fillon menjelaskan bahwa tujuan dari pembuatan hukum tersebut adalah untuk memelihara ketertiban umum, kesetaraan gender dan juga menjaga prinsip-prinsip dasar Perancis.173 Selanjutnya, François Fillon juga 170
―Étude relative aux possibilités juridiques d‘interdiction du port du voile intégral‖, 30 Maret 2010; tersedia di http://www.conseil-etat.fr/fr/rapports-et-etudes/possibilites-juridiques-d-interdiction-duport-du-voile-integral.html; dalam ―Is the French Burka Ban Compatible with International Human Rights Law Standards?‖, Oleh Daniel Barton, 2012. 171 Barton, ―Is the French Burka Ban Compatible with International Human Rights Law Standards?‖, 8. 172 Rancangan Undang-undang no. 2520, tersedia di http://www.assembleenationale.fr/13/projets/pl2520.asp; diakses pada 14 April 2011; dalam ―Is the French Burka Ban Compatible with International Human Rights Law Standards?‖, Oleh Daniel Barton, 2012 173 ―Projet de loi interdisant la dissimulation du visage dans l‘espace publik: Exposé des Motifs‖, rancangan undang-undang No. 2520, 19 May 2010; tersedia di http://www.assembleenationale.fr/13/projets/pl2520.asp; dalam Application No. 43835/11 – S.A.S. v. France, Written
55
menyatakan bahwa penggunaan niqab dan burqa mampu menghilangkan identitas seorang wanita yang memakainya.174 Dan akhirnya, pada 13 juli 2010, Majelis Nasional menyetujui pengesahan undang-undang mengenai larangan burqa dan niqab di ruang publik dengan total suara yang pendukung sebanyak 335 dan satu suara yang tidak setuju dari 557 suara yang ada.175 Selain berhasil melewati proses di Majelis Nasional, RUU tersebut juga berhasil melewati senat dengan 246 suara pendukung dan 1 suara yang tidak setuju.176 Tidak hanya senat dan Majelis Nasional, namun RUU tersebut juga berhasil melenggang di Dewan Konstitusi.177 Dengan disahkannya undang-undang tersebut, maka para pengguna niqab dan burqa di ruang publik akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar € 150 dan apabila seseorang memaksa wanita menggunakan burqa atau niqab, maka orang tersebut akan dikenakan denda sebesar € 30.000 dan satu tahun kurungan penjara. Tidak hanya itu, apabila seseorang juga memaksakan anak di bawah umur maka orang tersebut juga akan didenda sebesar € 60.000 dan dua tahun penjara.178
Comment of the Open Society Justice Initiative; tersedia di http://www.opensocietyfoundations.org; di akses pada 3 Agustus 2014. 174 ―Application No. 43835/11 – S.A.S. v. France‖, Written Comment of the Open Society Justice Initiative 175 BBC, ―French MPs vote to ban Islamic full veil in public‖, 13 July 2010; tersedia di http://www.bbc.com/news/10611398; diakses pada 3 Agustus 2014. 176 Saskya Vandoorne, ―French Senate approves burqa ban‖, 15 September 2010; tersedia di Zzhttp://edition.cnn.com/2010/WORLD/europe/09/14/france.burqa.ban; diakses pada 3 Agustus 2014. 177 Alanne Orjoux, Pierre Meilhan and Saskya Vandoorne, ―French burqa ban clears last legal obstacle‖, 7 Oktober 2010; tersedia di http://edition.cnn.com; diakses pada 4 agustus 2014 178 Niki Cook, ―2 arrested as France's ban on burqas, niqabs takes effect‖, 12 April 2011; tersedia di http://edition.cnn.com; diakses pada 4 Agustus 2014.
56
B.
Pro dan Kontra Larangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis 2004 – 2013 1) Respon Masyarakat Perancis Terhadap Larangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis Undang-undang yang disahkan di Perancis mengenai larangan pemakaian
jilbab di sekolah dan juga niqab serta burqa di ruang publik menuai berbagai pro kontra baik dari dalam maupun luar negeri. Berbagai macam dukungan datang bagi pembentukan undang-undang mengenai larangan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di ruang publik Perancis. Bahkan, dalam sebuah survey menunjukan bahwa 70% masyarakat Perancis menganggap jilbab merupakan hambatan dalam persatuan nasional Perancis, tradisi sekuler dan demokratis, dan untuk keamanan.179 Antusiasme terhadap undang-undang yang berlaku pada September 2004 tersebut juga ditunjukan oleh CCIF (Collectif Contre l'Islamophobie en France). Organisasi tersebut mendukung undang-undang dengan alasan bahwa undang-undang itu mampu menjadi benteng pertahanan sekularisme di Perancis.180 Selain itu, undang-undang tersebut juga didukung oleh Imam Besar Masjid di Paris, Dalil Boubaker yang menghimbau bahwa masyarakat Muslim di Perancis sebaiknya mengikuti apa yang telah dianjurkan pemerintah.181 Lebih lanjut, Dalil Boubaker juga menyatakan bahwa
179
Eshet, ―What Do We Do with a Difference‖, 85. Georg Lentze, ―Islamic headscarf debate rekindled in France‖, 2 April 2013; tersedia di http://www.bbc.com ; diakses pada 4 Agustus 2014 181 Bowen, ―Why the French Don‘t Like Headscarves‖, 145. 180
57
pemerintah sebaiknya melakukan pendekatan dan dialog dengan para Muslim mengenai larangan jilbab dan burqa.182 Meskipun mendapat dukungan dari sebagian masyarakat Perancis, namun undang-undang tersebut juga tidak lepas dari kritikan dan penolakan. Salah satu organisasi Islam, Union des Organisations Islamiques de France (UOIF) berpendapat bahwa setiap siswi Muslim berhak menginterpretasikan diri mereka melalui pakaian yang mereka gunakan.183 Selain UOIF, terdapat pula beberapa organisasi lain yang juga menolak disahkannya undang-undang tersebut seperti Human Rights League, The Teachers‟ League, the Movement against Racism and for Friendship between Peoples, the main parent-teacher associations in France, the Unitary Union Federation dan the Federation of Parents Committees.184 Lhaj-Thami Breze, kepala Uni fundamentalis Organisasi Islam Perancis, mengatakan mayoritas Muslim yang taat di Perancis ingin mempraktekkan agama mereka dalam damai dan menghormati hukum, tapi ketika hak yang seharusnya mereka dapat terlanggar dan ketika mereka merasa tidak dihormati keyakinannya, maka konsekuensinya adalah radikalisasi. Selain Breze, Dounia Bouzar, seorang antropolog dan anggota Dewan Perancis Agama Islam menambahkan bahwa mengenakan jilbab adalah cara untuk anak perempuan untuk tetap dekat dengan
182
Stéphanie Le Bars, ―Burqa: le CFCM critique mais ne condamne pas‖, 15 Oktober 2009; tersedia di http://www.lemonde.fr/societe/article/2009/10/15/burqa-le-cfcm-critique-mais-ne-condamnepas_1254355_3224.html; diakses pada 4 November 2014. 183 Bowen, ―Why the French Don‘t Like Headscarves‖, 144. 184 Pierre Tévanian, ―Say No to Racial Discrimination‖, February 2004; tersedia di http://mondediplo.com/2004/02/08scapegoats; diakses pada 4 Agustus 2014; dalam ―Pulling Back the Veil: The Hijab Ban and the Evolution of French Nationalism‖, oleh Meghan Henkel, 2012.
58
keluarga mereka. Agama telah menggantikan identitas asal etnis mereka sebagai cara mereka untuk tetap setia.185 Tidak hanya penolakan dari organisasi-organisasi lokal, berbagai aksi demonstrasi juga terjadi di beberapa kota di Perancis seperti di Paris, Lille dan Marseille terkait disahkannya undang-undang pelarangan simbol keagamaan tersebut. Dalam aksinya, mereka menyebutkan ―Ni père, ni mari, le foulard on l‟a choisi” (bukan ayah kami, bukan suami kami, tapi kami memilih jilbab) dan juga ―Ni dupes ni soumises‖ (tidak dipaksa atau tertindas).186 Selain demonstrasi tersebut, serangkaian demonstrasi lain juga terjadi di Perancis terkait protes terhadap undangundang larangan menggunakan simbol keagamaan di antaranya adalah demonstrasi yang dilakukan 3000 orang yang menggunakan turban dengan melakukan longmarched di Paris dengan menunjukan ketidak senangan mereka terhadap undangundang tersebut.187 Open Society Foundation, sebuah lembaga yang bekerja untuk membangun masyarakat yang dinamis dan toleran melakukan survey terhadap 32 warga Perancis yang menggunakan jilbab, niqab dan burqa. Dalam survey tersebut, tiga puluh wanita menyatakan bahwa mereka telah mengalami beberapa bentuk pelecehan verbal dari anggota masyarakat mayoritas dengan 19 wanita mengalami pelecehan dengan
185
Jon Henley, ―French MPs vote for veil ban in state schools‖, 11 Februari 2004; tersedia di http://www.theguardian.com/world/2004/feb/11/schools.schoolsworldwide; diakses pada 23 Desember 2014. 186 Aref Abu-Rabia, ―The Veil and Muslim Women in France: Religious and Political Aspects‖, Anthropology of the Middle East Vol. 1, Issue 2, (2006): 100. 187 Hugh Schofield, ―Sikhs Protest Against French Ban‖, 24 January 2004; tersedia di http://news.bbc.co.uk; diakses pada 5 Agustus 2014
59
intensitas sering atau setiap kali mereka meninggalkan rumah mereka semenjak undang-undang jilbab, niqab dan burqa di berlakukan.188 Perdebatan mengenai jilbab dan niqab serta burqa pun terjadi antar sesama anggota parlemen. Seorang anggota Parlemen Eropa dan mantan Menteri Perancis melakukan tindakan yang kontroversial di Perancis dengan memposting gambar seorang wanita berjilbab duduk di pantai dan mengkritik sebagai "serangan terhadap budaya Perancis". Morano yang berasal dari partai UMP kanan-tengah juga menandaskan bahwa bagi setiap orang yang memilih untuk datang ke Perancis, negara hukum, negara sekuler, maka orang tersebut harus menghormati budaya dan hak-hak perempuan. Jika tidak, pergi ke tempat lain. Morano juga menyatakan bahwa Perancis membutuhkan observatorium nasional untuk menghormati budaya Perancis.189 Komentar yang diutarakan oleh Morano menuai berbagai respon. Mantan pemimpin partai Sosialis, Harlem Desir, mengatakan bahwa Morano ada benarnya. Menurutnya, pantai seharusnya menjadi tempat kebebasan untuk semua. Namun, mantan menteri dari partai yang sama dengan Morano, Valérie Pécresse, mengkritik definisi Morano tentang kebebasan. Menurutnya, selama pengguna jilbab ataupun burqa tidak melanggar hukum, orang harus diperbolehkan untuk memakai apa pun
188
Open Society Foundation, ―Unveiling the Truth‖, 16. Leon Watson, ―French women have a duty to wear a bikini on the beach, says former minister: Row after Sarkozy supporter tweets picture of Muslim wearing a headscarf‖, 20 Agustus 2014; tersedia di https://dailymail.co.uk; diakses pada 3 November 2014.
189
60
yang diinginkan.190 Bukan hanya itu, komentar lain juga terlontar dari Abdullah Zekri, Presiden National Observatory Against Islamophobia yang menanggapi dan menekankan kepada Morano bahwa kebebasan berekspresi dan berkeyakinan adalah hak konstitusional. Menurutnya, budaya Perancis mencerminkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perdebatan berkecamuk di jejaring sosial dan antara politisi. Dan wakil presiden Front Nasional sayap kanan, Florian Philippot, secara terbuka mengulang kembali seruan partainya untuk larangan simbol-simbol agama di depan umum.191 Bukan hanya itu, aktivis komunitas Perancis pun, Pierre Tévanian dalam artikelnya di surat kabar Le Monde Diplometique yang berjudul “Say No to Racial Discrimination” menyatakan pendapatnya bahwa undang-undang mengenai simbol keagamaan tersebut seharusnya ditujukan kepada pendidik dan seluruh pegawai di sekolah, bukan para siswa. Dengan adanya undang-undang tersebut, menurut Tévanian, hanya akan menambah permasalahan di Perancis seperti kesenjangan sosial, pengangguran, diskriminasi ras dan kekurangan guru di sekolah-sekolah.192 Tidak hanya undang-undang mengenai larangan jilbab di sekolah saja yang menuai pro dan kontra di Perancis, namun undang-undang mengenai larangan niqab dan burqa juga mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat Perancis baik itu yang 190
John Lichfield, ―It‘s a French woman‘s duty to wear a bikini, says ex-minister‖, 19 Agustus 2014; tersedia di http://www.independent.co.uk/news/world/europe/its-a-french-womans-duty-to-wear-abikini-says-exminister-9679431.html; diakses pada 3 November 2014. 191 Leon Watson, ―French women have a duty to wear a bikini on the beach, says former minister‖, Row after Sarkozy supporter tweets picture of Muslim wearing a headscarf. 192 Pierre Tévanian, ―Say No to Racial Discrimination‖, February 2004; tersedia di http://mondediplo.com/2004/02/08scapegoats; diakses pada 4 Agustus 2014; dalam ―Pulling Back the Veil: The Hijab Ban and the Evolution of French Nationalism‖, Meghan Henkel, 2012.
61
mendukung maupun menolak undang-undang tersebut. Dukungan bagi pengesahan undang-undang larangan niqab dan burqa datang dari berbagai pihak. Lutte Ouvrière (Pekerja Perjuangan) secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap larangan burqa dan niqab. Organisasi ini memiliki pandangan bahwa undang-undang tersebut akan membantu warga Perancis untuk terlepas dari paksaan menggunakan burqa.193 Éric Raoult dari partsi UMP berpendapat bahwa undang-undang larangan niqab dan burqa merupakan salah satu langkah yang tepat yang diambil pemerintahan Perancis untuk menanggulangi pergerakan Islam fundamental sebab niqab dan burqa merupakan salah satu manifestasi dari fundamentalisme.194 Sedangkan presiden dari the Neither Whores Nor Submissives movement (Ni Putes Ni Soumises), Siham Habchi, juga menyatakan persetujuannya bagi pemerintahan Perancis terhadap pengesahan undang-undang larangan niqab dan burqa. Menurutnya, larangan tersebut bukanlah mengenai hak wanita tetapi mengenai niqab dan burqa yang menjadi simbol penindasan bagi wanita.195 Dukungan serupa juga dilontarkan Hassen Chalghoumi, Imam Masjid Drancy, pinggiran utara Paris. Dia mendukung larangan niqab dan burqa. Chalghoumi menilai bahwa niqab dan burqa merupakan simbol dari radikalisme dan radikalisme itulah yang sebenarnya merupakan musuh Islam.196
193
Antoine Lerougetel dan Alex Lantier, ―France: Racist campaign against burqa threatens democratic rights‖, 14 Juli 2009; tersedia di http://www.wsws.org; diakses pada 7 Agustus 2014 194 Kyle James, French commission recommends banning the burqa‖, 26 Januari 2010; tersedia di http://www.dw.de; diakses pada 7 agustus 2014 195 Bruce Crumley, ―Will France Impose a Ban on the Burqa?‖, 19 Juni 2009; tersedia di http://content.time.com; diakses pada 7 Agustus 2014. 196 Steven Erlanger, ―For a French Imam, Islam‘s True Enemy Is Radicalism‖, 12 Februari 2010; tersedia di http://www.nytimes.com; diakses pada 7 Agustus 2014
62
Tidak hanya dukungan yang datang dari publik Perancis, tapi, berbagai macam penolakan pun ikut menghiasi undang-undang larangan niqab dan burqa di Perancis. Jean-Marie Fardeau, Direktur kantor Human Rights Watch di Paris, mengatakan bahwa dengan melarang burqa tidak akan membuat wanita merasa bebas, tapi itu justru akan melukai dan memisahkan wanita yang memakainya dari masyarakat.197 Selain Jean-Marie Fardeau, organisasi-organisasi Islam di dalam negeri
Perancis
juga
menyerukan
penolakannya
seperti
Collectif
Contre
l‟Islamophobie en France (CCIF) dan Coordination contre le Racisme et l‟Islamophobie (CRI).198 Selain itu, penolakan secara tidak langsung juga diberikan oleh the Conseil français du culte musulman (CFCM). CFCM menyatakan bahwa efek stigma terhadap Muslim akan lebih besar daripada manfaat yang dirasakan. Menurut CFCM, pendidikan merupakan solusi terbaik untuk menekan dan menghilangkan praktekpraktek keagamaan terutama yang berkaitan dengan pakaian keagamaan.199 Mahmoud Doua, seorang akademisi dan imam dari Bordeaux, mengatakan bahwa hukum yang melarang niqab dan burqa akan menjadi sebuah kesalahan dan hanya akan memperburuk situasi dan hubungan Muslim dengan warga mayoritas.200 Hal
197
Jamey Keaten, ―French Burqa Ban Commission Created‖, 23 Juni 2009; tersedia di http://www.huffingtonpost.com; diakses pada 8 Agustus 2014 198 European Race Audit, ―The background to the French parliamentary commission on the burqa and niqab‖, 3. 199 Mairead Enright, ―France, French Identity and the Burqa: Gerin Report Due in January‖, 9 November 2009; tersedia di http://humanrights.ie/law-culture-and-religion/france-french-identity-andthe-burqa-gerin-report-due-in-january/; diakses pada 4 November 2014. 200 European Race Audit, ―The background to the French parliamentary commission on the burqa and niqab‖, 3.
63
tersebut kemudian terbukti dengan adanya kerusuhan yang terjadi di Perancis akibat dari undang-undang larangan niqab dan burqa. Kerusuhan terjadi di Trappes pada Juli 2013 lalu. Kerusuhan itu di awali oleh aksi protes terhadap penangkapan seorang pria yang mencoba membela istrinya karena terkena tilang saat mengenakan jilbab di tempat umum.201
2) Respon Dunia Internasional Terhadap Larangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis Pengesahan dan juga pemberlakuan undang-undang yang mengatur tentang larangan pemakaian simbol-simbol agama di sekolah khususnya jilbab, niqab dan burqa juga menuai reaksi dari dunia internasional. Salah satu kejadian yang merupakan reaksi masyarakat internasional terhadap undang-undang yang disahkan Perancis itu terjadi di Iraq.202 Di Iraq, dua reporter Perancis, Christian Chesnot dari Radio France International dan Georges Malbrunot dari harian Le Figaro, dilaporkan menghilang pada tanggal 21 Agustus 2004. Para penculik meminta pemerintah Perancis untuk membatalkan undang-undang tersebut di sekolah-sekolah Perancis.203 Undang-undang mengenai larangan menggunakan jilbab di sekolah juga mendapat kritikan dari John V. Hanford dari administrasi pemerintahan Bush mengenai isu-isu kebebasan beragama yang menyatakan bahwa pemakaian jilbab di
201
Alex Lantier, ―Riots hit Trappes, France after police arrest family of veiled Muslim woman‖, 22 Juli 2013; tersedia di http://www.wsws.org; diakses pada 8 Agustus 2014 202 Bowen, ―Why the French Don‘t Like Headscarves‖, 145. 203 Kianne Sadeq, ―Two French journalists kidnapped in Iraq‖, 29 Agustus 2004; tersedia di http://edition.cnn.com; diakses pada 9 Agustus 2014
64
sekolah merupakan hak dasar yang harus dilindungi. 204 Selanjutnya, Hanford juga mengatakan bahwa prinsip dasar dari kebebasan beragama adalah ketika semua orang bisa menjalankan agama dan keyakinan mereka dengan bebas dan damai tanpa ada campur tangan pemerintah selama mereka melaksanakannya tanpa provokasi dan juga intimidasi dari orang lain.205 Selain kejadian dan kritik di atas, kritik-kritik juga terlontar dari organisasiorganisasi HAM internasional bagi undang-undang larangan tersebut. Eksekutif Direktur Human Right Watch (HRW), Kenneth Roth menyatakan hukum yang disahkan oleh Perancis merupakan pelanggaran yang tidak beralasan mengenai hak kebebasan praktek keagamaan. Selanjutnya ia menambahkan bahwa jika membahas penggunaan jilbab maka kita tidak hanya berbicara mengenai ekspresi keagamaan tetapi jilbab juga merupakan kewajiban agama. Meskipun pada awalnya terlihat netral, namun dampak dari diberlakukannya undang-undang larangan berjilbab di sekolah akan tertuju pada gadis-gadis Muslim dan hal tersebut melanggar ketentuan anti diskriminasi dari hukum Hak Asasi Manusia internasional serta hak untuk menyamai kesempatan pendidikan.206 Pada tahun 2012, Judith Sunderland, seorang peneliti di HRW yang berfokus pada isu-isu yang berkaitan dengan diskriminasi dan intoleransi, migrasi dan kebijakan suaka dan kontraterorisme di Eropa dan Asia Tengah juga memaparkan 204
Christopher Marquis, ―U.S. Chides France on Effort to Bar Religious Garb in Schools‖, 19 Desember 2003; tersedia di http://www.nytimes.com; diakses pada 10 Agustus 2014 205 Marquis, ―U.S. Chides France on Effort to Bar Religious Garb in Schools‖. 206 France: Headscarf Ban Violates Religious Freedom, 27 Februari 2004; tersedia di http://www.hrw.org/news/2004/02/26/france-headscarf-ban-violates-religious-freedom; diakses pada 10 Agustus 2014.
65
kritiknya terhadap undang-undang larangan niqab dan burqa di Perancis. Meskipun sebagian aktivis hak wanita menilai bahwa niqab dan burqa merupakan simbol penindasan bagi wanita, namun menurut Judith seharusnya para wanita memiliki pilihan untuk menentukan bagaimana mereka harus mengekspresikan kepercayaan, identitas dan nilai moral tiap individu dan bebas dari paksaan ketika wanita harus memilih antara kepercayaan atau pekerjaan.207 Selain HRW, ada pula beberapa organisasi HAM internasional yang menyayangkan sikap pemerintahan Perancis dalam mengesahkan undang-undang tersebut. Bahkan, Islamic Human Rights Commission (IHRC) dan International Islamic Women Organisation (IIWO) mengirimkan surat terbuka bagi Presiden Chiraq di tahun 2004 agar Presiden mempertimbangkan kembali keputusannya sebelum mengesahkan undang-undang larangan jilbab di sekolah.208 Tidak hanya kedua organisasi tersebut yang mengirim surat untuk menanggapi undang-undang larangan jilbab, Amnesty Internasional juga ikut turut mengirimkan surat ke Parlemen Perancis. Pada tahun 2010, Amnesty Internasional mengirimkan surat yang berisikan penolakannya terhadap undang-undang larangan niqab dan burqa.209 Meskipun
terdapat
beberapa
organisasi
HAM
yang
menolak
dan
menyayangkan diberlakukannya undang-undang yang disahkan tahun 2004 dan 2010,
207
Judith Sunderland, ―Banning Muslim Veil Denies Women a Choice, Too‖, 23 September 2013; tersedia di http://www.hrw.org; diakses pada 10 Agustus 2014 208 ―IHRC and IIWO's Letter to Jacques Chirac Regarding the Hijab Ban in France‖, 11 Januari 2004; tersedia di http://www.ihrc.org.uk/publikations/reports/7100-ihrc-and-iiwo-s-letter-to-jacques-chiracregarding-the-hijab-ban-in-france; diakses pada 10 Agustus 2014. 209 ―France votes to ban full-face veils‖, 13 Juli 2010; tersedia di http://www.amnesty.org/en/newsand-updates/france-votes-ban-full-face-veils-2010-07-13; diakses pada 10 Agustus 2014.
66
namun itu tidak berarti bahwa undang-undang tersebut tidak mendapatkan dukungan dari dunia internasional. Annie Sugier, Kepala Liga Internasional untuk Hak-Hak Perempuan, menyatakan bahwa penggunaan cadar penuh di tempat umum merupakan penghapusan identitas wanita di muka publik.210 Dalam surat terbukanya kepada ECtHR, Sugier mendesak agar ECtHR segera menegakkan larangan jilbab, niqab dan burqa di Perancis sebab hal tersebut mampu menghilangkan ketidaksetaraan antara wanita dan pria. Sugier menambahkan bahwa penggunaan cadar penuh yang digunakan oleh wanita justru akan memunculkan stigma bahwa tubuh wanita merupakan gangguan umum dan tidak sesuai dengan gagasan kesetaraan.211 Selain Liga Internasional untuk Hak-Hak Perempuan, European Court of Human Rights (ECtHR) yang merupakan badan peradilan Uni Eropa juga mendukung keputusan yang di keluarkan oleh pemerintah Perancis untuk tidak mengizinkan siswi yang mengenakan jilbab masuk kelas212 dan niqab serta burqa di ruang publik Perancis.213 Hal ini terlihat dari beberapa putusan yang di keluarkan ECtHR terkait kasus yang diajukan ke lembaga peradilan tersebut. Sedikitnya ada enam kasus mengenai jilbab, niqab dan burqa yang diajukan ke ECtHR menghasilkan putusan
210
Soeren Kern, ―France: Muslim Woman Sues Over Burqa Ban‖, 6 Desember 2013; tersedia di http://www.gatestoneinstitute.org; diakses pada 11 Agustus 2014 211 ―Lettre au Président de la Cour Européenne des ×Droits de l'Homme‖, 26 November 2013; tersedia di http://ldif.asso.fr/?theme=laicite&n=558; diakses pada 11 Agustus 2014 212 ―Application no. 27058/05, fifth section, Case Of Dogru v. France‖, 4 December 2008; tersedia di http://hudoc.echr.coe.int; diakses pada 11 Agustus 2014 213 Kern, ―France: Muslim Woman Sues Over Burqa Ban.
67
yang sama yaitu ECtHR berpihak kepada pemerintah Perancis dan menilai bahwa jilbab, niqab dan burqa merupakan musuh bagi demokrasi di Eropa.214 Terdapat enam kasus mengenai warga negara Perancis yang didenda dan di keluarkan akibat menggunakan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di ruang publik kemudian melaporkan kasusnya tersebut ke ECtHR dengan laporan bahwa undang-undang yang diterapkan Perancis tersebut melanggar European Convention on Human Right (ECHR) pasal 9 mengenai kebebasan beragama bagi masyarakat Eropa.215
214
Raffaella Nigro, ―The Margin of Appreciation Doctrine and the Case-Law of the European Court of Human Rights on the Islamic Veil‖, 11 HUM. RTS, (2010): 542-543, dalam ―Unveiling Inequality: Burqa Bans and Nondiscrimination Jurisprudence at the European Court of Human Rights‖, oleh Sally Pei, (2013): 1094. 215 Martin Waehlisch, ―ECHR Chamber Judgment Case of S.A.S. v. France: Banning of burqas and niqabs legal?‖, 21 Juli 2014; tersedia di http://cjicl.org.uk; diakses pada 11 Agustus 2014
68
BAB IV Dukungan European Court of Human Rights bagi Pelarangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis (2004 – 2013) Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya mengenai pro dan kontra dunia internasional terhadap undang-undang pelarangan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di ruang publik di mana salah satu dukungan yang mengalir bagi undangundang tersebut datang dari ECtHR yang merupakan pengadilan Hak Asasi Manusia di Eropa. Dukungan yang diberikan terlihat dari beberapa analisa kasus-kasus yang diajukan oleh penggugat undang-undang tersebut yang mayoritas menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan pasal 9 dalam ECHR (European Convention on Human Right) mengenai kebebasan beragama. Namun, ECtHR berpendapat bahwa kebebasan beragama dalam pasal 9 tidak melindungi setiap tindakan termotivasi atau terinspirasi oleh agama atau kepercayaan dan tidak selalu menjamin hak untuk berperilaku di ruang publik dengan cara yang ditentukan oleh agama atau kepercayaan seseorang.216 Selain itu, ECtHR juga berpendapat bahwa penggunaan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di ruang publik tidak mencerminkan prinsip sekularisme Perancis dan justru melanggar prinsip tersebut.217 Tidak hanya itu, ECtHR juga menganggap bahwa penggunaan jilbab,
216
Waehlisch. ―ECHR Chamber Judgment Case of S.A.S. v. France‖. Sara Tonolo, ―Islamic Simbols in Europe: the European Court of Human Rights and the European Institutions‖, Stato, Chiese e pluralismo confessionale n. 5, (2014): 18.
217
69
niqab dan burqa bertolak belakang dengan prinsip toleransi dan juga demokrasi yang selama ini ada di Eropa.218 A.
Perlindungan European Court of Human Rights bagi Paham Sekularisme Perancis dari Ancaman Jilbab, Niqab dan Burqa Perancis merupakan negara yang menjadikan laïcité sebagai prinsip dasar
bagi kehidupan sosial di negara tersebut.219 Laïcité merupakan sebuah bentuk yang menyerupai sekularisme yang melarang semua agama untuk menunjukan identitasnya di ruang publik dan mau untuk bekerja sama dengan kebijakan yang di keluarkan pemerintah Perancis.220 Berdasarkan laïcité, Perancis berusaha untuk memunculkan kesetaraan melalui kesamaan di ruang publik dengan menekan perbedaan bahasa, etnis, budaya dan juga agama ke ruang privasi dari masing-masing individu.221 Prinsip laïcité telah ada di Perancis semenjak Revolusi Perancis tahun 1789,222 namun undang-undang yang menjamin pelaksanaan laïcité baru disahkan
218
―European Court of Human Rights Report: Case of S.A.S. v. France (Application no. 43835/11)‖, 1 Juli 2014; tersedia di http://hudoc.echr.coe.int/sites/eng/pages/search.aspx?i=001145466#{"itemid":["001-145466"]}; diakses pada 1 September 2014 219 Nusrat Choudhury, ―From the Stasi Commission to the European Court of Human Rights: L‘Affaire du Foulard and the Challenge of Protecting the Rights of Muslim Girls‖, 16 COLUM. J. GENDER & L. 199, 236 (2007); 1958 CONST. 1 (―France shall be an indivisible, secular, democratic and social Republik. It shall ensure the equality of all citizens before the law, without distinction of origin, race or religion. It shall respect all beliefs.‖) dalam ―The Constitutionality of France‘s Ban on the Burqa in Light of the European Convention‘s Arslan v. Turkey Decision on Religious Freedom‖, oleh Lina Ragep Powell, 2013. 220 Jane Freedman, ―Secularism as a Barrier to Integration? The French Dilemma‖, 42 Int‘l Migration, 5; dalam ―The Constitutionality of France‘s Ban on the Burqa in Light of the European Convention‘s Arslan v. Turkey Decision on Religious Freedom‖, oleh Lina Ragep Powell, 2013. 221 Tim Welch, ―State Secularism and Religious Freedom‖, 8 Oktober 2010; tersedia di http://criminallawandjustice.co.uk/features/State-Secularism-and-Religious-Freedom; diakses pada 2 September 2014 222 Pew Forum, ―100th Anniversary of Secularism in France‖, 8 Desember 2005; tersedia di http://www.pewforum.org; diakses pada 2 September 2014
70
tahun 1905. Dalam undang-undang tersebut, Perancis memisahkan antara urusan gereja dan negara.223 Dengan disahkannya undang-undang tahun 1905 tersebut, maka agama dapat berfungsi sebagai asosiasi ataupun perkumpulan dalam lingkup masyarakat. Selain itu, dalam prinsip laïcité, setiap warga negara di Perancis berhak dan bebas memilih agama masing-masing bahkan warga negara juga diperbolehkan untuk tidak beragama sekalipun. Akan tetapi, walaupun negara membebaskan warga negaranya untuk memilih suatu agama tertentu, warga negara tidak boleh dengan bebas menunjukan identitas agama mereka di ruang publik. Negara membatasi suatu agama agar hanya ada dalam lingkup pribadi. Kebutuhan beragama dan juga peran moral sosial yang dibentuk oleh suatu agama tidak boleh dipublikasikan di ruang publik.224 Selain dari undang-undang yang memisahkan gereja dengan negara, konstitusi Perancis pada tahun 1948 juga mengatur mengenai prinsip dasar yang dianut oleh Perancis. Dalam konstitusi tercantum bahwa Perancis harus menjadi sebuah negara Republik Sosial, sekuler, dan demokratis. Berdasarkan konstitusi, negara harus menjamin kesetaraan semua warganya di depan hukum, tanpa membedakan asal, ras atau agama. Negara juga harus menghormati semua keyakinan yang ada di Perancis.
223
Liogier, ―Laïcité on the Edge in France‖, 26. Roosi Rusmawati, ―Undang-Undang Laïcité 2004: Sebuah Analisis Terhadap disahkannya Undangundang Pelarangan Pemakaian Simbol-Simbol Keagamaan di Sekolah Negeri di Perancis‖, (2006): 54. tersedia di http://lib.ui.ac.id; diakses pada 2 September 2014.
224
71
Tidak hanya itu saja, seluruh warga negara juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai "Liberty, Equality, Fraternity".225 Dalam sekularisme, Islam dianggap sebagai sebuah ancaman yang mampu merusak integritas dari prinsip tersebut, hal ini pula yang terjadi di Perancis dimana Islam dianggap sebagai musuh dari laïcité dan dianggap tidak memiliki tempat di Perancis.226 Prinsip laïcité inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan ECtHR mendukung diberlakukannya undang-undang pelarangan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di ruang publik Perancis. Dukungan tersebut berdasarkan ancaman yang akan mengganggu integrasi laïcité yang dikarenakan Perancis memiliki jumlah umat Muslim yang cukup besar. Sebagian Muslim yang ada di Perancis merupakan para imigran yang datang pada masa setelah kolonialisme.227 Mereka bukanlah merupakan bagian dari pembentukan hubungan gereja dengan negara yang kemudian menjadi sebuah karakterisktik bagi beberapa negara di Eropa barat, terutama Perancis.228 Dukungan yang diberikan oleh ECtHR sesuai dengan salah satu fungsi dari organisasi internasional yang menurut Roy Bennet fungsi organisasi internasional pada awalnya dijadikan sebuah alat untuk mempertahankan peraturan-peraturan agar berjalan tertib dalam mengupayakan pencapaian tujuan bersama dan juga menjadi sebuah tempat agar negara-negara menjalin hubungan dalam upayanya memenuhi kepentingan nasionalnya masing-masing. Selain itu, Organisasi internasional tidak 225
―Constitution of October 4, 1958‖, tersedia di http://www.assemblee-nationale.fr/english/#history; diakses pada 3 September 2014 226 Hashmi, ―Too Much to Bare?‖, 418. 227 Riva Kastoryano, ―Religion and incorporation: Islam in France and Germany‖, dalam ―Islam and the European Project‖, oleh Kathleen Cavanaugh, (2007). 228 Kastoryano, ―Religion and incorporation‖.
72
pernah dibentuk untuk saling memerangi ataupun saling memusuhi antar anggotanya.229 Jika kita mengacu pada tujuan awal seperti yang Bennet asumsikan, maka dukungan yang diberikan ECtHR merupakan salah satu bentuk cara untuk mempertahankan paham sekularisme yang ada di Perancis dari ancaman praktekpraktek keagamaan, terutama Islam, yang dicerminkan diruang publik Perancis karena itu bertentangan dengan paham sekularisme yang ada di Perancis. Ada beberapa sudut pandang dari ECtHR yang menjadi dasar dari dukungannya terhadap undang-undang pelarangan jilbab, niqab dan burqa di Perancis yang berkaitan dengan sekularisme. Dari kasus-kasus mengenai jilbab, niqab dan burqa yang ada, ECtHR beranggapan bahwa penggunaan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di tempat umum tidak sesuai dengan toleransi dalam masyarakat sekuler yang menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain.230 ECtHR menganggap bahwa negara merupakan penjamin dari sekularitas. ECtHR menekankan peran negara yang bersifat netral dari segala pelaksanaan berbagai macam agama dan keyakinan. Hal tersebut dinilai ECtHR mampu menciptakan keadaan dalam negeri yang kondusif terhadap ketertiban umum, kerukunan beragama dan toleransi dalam masyarakat yang demokratis. Penjabaran mengenai peran negara dalam mengontrol pelaksanaan sekalrisme bertolak belakang dengan persepsi ECtHR mengenai jilbab, niqab dan burqa yang dianggap sebagai simbol intoleransi dan fundamentalisme anti-sekuler.231
229
Le Roy Bannet. International Organization: Principles and Issues., Carolyn Evans, ―The ‗Islamic Scarf‘ in the European Court of Human Rights‖. Melbourne Journal of International Law vol. 7. (2006): 18. 231 Evans, ―The ‗Islamic Scarf‘ in the European Court of Human Rights‖, 230
73
ECtHR juga menambahkan, Pasal 9 dalam ECHR tidak selalu melindungi setiap tindakan yang termotivasi atau terinspirasi oleh agama atau kepercayaan dan tidak selalu menjamin hak untuk berperilaku di ruang publik dengan cara yang ditentukan oleh agama atau kepercayaan seseorang. Meskipun dalam Pasal 9 ECHR disebutkan mengenai kebebasan tiap individu untuk beragama, namun dalam masyarakat demokratis, dimana beberapa agama hidup berdampingan dalam satu populasi yang sama, pembatasan pada kebebasan untuk memanifestasikan suatu agama atau kepercayaan seseorang diperlukan untuk mendamaikan kepentingan berbagai kelompok dan memastikan bahwa keyakinan setiap orang dihormati.232 Selain itu, ECtHR juga menyatakan bahwa dalam masyarakat yang demokratis, negara berhak untuk menempatkan pembatasan pada pemakaian jilbab, niqab dan burqa jika tidak sesuai dengan tujuan melindungi hak-hak dan kebebasan orang lain, ketertiban umum dan keselamatan masyarakat.233 Penyataan ECtHR diatas merupakan sebuah kewajaran dikarenakan di Perancis sendiri bahkan di Eropa sekalipun, Muslim lekat dengan stigma negatif yang mengganggap bahwa Muslim sebagai umat yang fanatik terhadap Islam.234 Bukan hanya itu, jilbab, niqab dan burqa juga dianggap sebagai praktek yang dilakukan oleh kaum minoritas dan tidak ada keterkaitannya dengan agama ataupun suatu
232
―European Court of Human Rights‖, Case of S.A.S. v. France, 50. Vale´rie Amiraux, ―Breaching the Infernal Cycle? Turkey, the European Union and religion‖, (2007) dalam ―Islam in Europe: Diversity, Identity and Influence‖, 196. 234 Tarek Mitri, ―Christians and Muslims: memory, amity and enmities‖, (2007), dalam ―Islam in Europe: Diversity, Identity and Influence‖, 29 233
74
keyakinan.235 Dengan adanya stigma negatif tersebut, kemudian ECtHR menilai bahwa penggunaan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di ruang publik Perancis juga akan mengancam konsep “living together” yang diberlakukan dalam kehidupan sosial di negara tersebut.236 Pandangan ECtHR yang menilai bahwa penggunaan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di tempat umum bertentangan dengan konsep “living together” yang selama ini ada di Perancis. Hal ini sejalan dengan konstruktivisme menurut pandangan Katzenstein yang menilai bahwa nilai-nilai sosial, dalam hal ini identitas negara, yang tertanam disuatu negara memiliki pengaruh dalam sebuah institusi.237 Selain itu, identitas dalam sebuah negara juga mampu mempengaruhi sifat dan tujuan sebuah institusi. Identitas dan norma-norma mampu mengarahkan institusi mengenai bagaimana cara institusi ini beroperasi. Identitas memiliki peran penting sebagai penghubung antara struktur lingkungan institusi dengan kepentingan anggota.238 Jika merunut dari pandangan konstruktivisme di atas, dengan adanya undangundang larangan penggunaan simbol keagamaan di sekolah dan undang-undang anti niqab dan burqa, ECtHR menilai bahwa pembuatan undang-undang tersebut sudah sesuai dengan konsep “living together” dimana negara lebih mengutamakan individu daripada ikatan filosofis, budaya atau agama, dengan maksud untuk mendorong integrasi dan untuk memastikan bahwa setiap warga negara berbagi warisan bersama
235
―European Court of Human Rights‖, 46. ―European Court of Human Rights,‖ 49. 237 Katzenstein, The Culture of National Security, 8. 238 Katzeinstein, The Culture of National Security, 12. 236
75
yaitu nilai-nilai fundamental seperti hak untuk hidup, hak untuk kebebasan hati nurani, demokrasi, kesetaraan gender, atau prinsip pemisahan antara gereja dan negara.239 Selain itu, identitas yang selama ini dianut Perancis mampu mendorong ECtHR untuk mendukung undang-undang yang diberlakukan Perancis sebab sampai saat ini, selain di Perancis, terdapat pula beberapa negara yang menerapkan undangundang yang tidak jauh berbeda seperti Belgia dan Belanda. Jika ECtHR mengabulkan gugatan yang dilayangkan kepada pemerintahan Perancis, maka hal tersebut akan diikuti dengan gugatan-gugatan lain di negara-negara yang memberlakukan hal yang sama. Penggunaan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di ruang publik tidak sesuai dengan persyaratan “living together” dalam masyarakat Perancis dan juga bertentangan dengan cita-cita persaudaraan sebab tidak mencerminkan asas kesopanan dalam berinteraksi sosial. Individualitas setiap subjek hukum dalam masyarakat demokratis tidak dapat dipahami tanpa wajahnya yang merupakan elemen fundamental yang dapat dilihat.240 Dengan mempertimbangkan nilai-nilai penting bahwa legislatif berusaha untuk mempertahankan hal tersebut, maka ECtHR berhak untuk mengambil pandangan bahwa penciptaan hubungan manusia, yang diperlukan untuk hidup bersama dalam masyarakat mustahil berbaur dengan orang-orang yang menyembunyikan elemen dasar individualitas mereka dibalik cadar.
239 240
―European Court of Human Rights‖, 22. ―European Court of Human Rights,‖ 23.
76
Pengaruh menyembunyikan wajah seseorang di tempat umum adalah perbuatan yang memecah ikatan sosial dan merupakan wujud penolakan prinsip "living together". Pemerintah lebih jauh berpendapat bahwa larangan tersebut berusaha melindungi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebab dengan menyembunyikan identitas di balik cadar atau penutup wajab itu sama dengan meniadakan hak wanita sebagai individu.241
B.
Pengaruh Integrasi Eropa dalam Dukungan European Court of Human Rights terhadap Pelarangan Jilbab, Niqab dan Burqa bagi Perancis Salah satu alasan yang menyebabkan ECtHR mendukung undang-undang
larangan berjilbab di sekolah serta undang-undang anti niqab dan burqa di ruang publik Perancis dikarenakan pemakaian jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di ruang publik bertolak belakang dengan prinsip toleransi dan demokrasi yang selama ini telah ada di Eropa. Permasalahan jilbab, niqab dan burqa berpusat pada urusan kesetaraan gender dan lingkungan sosial. Larangan dapat dilihat sebagai salah satu penolakan masyarakat dari praktek-praktek penindasan dimana penggunaan cadar merupakan refleksi dari arus sosial mengenai pengucilan dan intoleransi dalam lingkungan sosial.242 Konvensi Eropa sendiri memberikan hak yang tidak memenuhi syarat untuk perlindungan kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak untuk 241
―European Court of Human Rights‖, 38. Sally Pei, ―Unveiling Inequality: Burqa Bans and Nondiscrimination Jurisprudence at the European Court of Human Rights‖, The Yale Law Journal 122:1089, (2013): 1095. 242
77
mewujudkan agama atau kepercayaan, bagaimanapun, tunduk pada pembatasan berdasarkan Pasal 9 (1) ECHR. Ketika manifestasi berada dalam lingkup pribadi, ECtHR kemungkinan masih memiliki wewang untuk melindunginya namun ketika kebebasan beragama merembes ke ranah publik, maka ECtHR dapat menerapkan pembatasan pelaksanaan kebebasan beragama oleh individu atau suatu kelompok agama.243
Multikulturalisme Niqab dan burqa melambangkan argumen sosial terhadap serangan demokrasi
liberal Barat, terhadap martabat perempuan dan kesetaraan gender, atau kebutuhan untuk menjaga netralitas agama di ruang publik dan melindungi ketertiban umum seperti melindungi keselamatan publik, memastikan pelaksanaan yang benar dari pelayanan publik dan melindungi hak-hak dasar orang lain.244 Dalam sistem yang demokrasi, negara harus memperhatikan kondisi dimana simbol-simbol tersebut dipakai dan potensi konsekuensi dari memakai simbol-simbol tersebut.245 Adanya perlawanan dunia Islam terhadap globalisasi sekuler dan penolakan nilai-nilai demokrasi serta ide-ide Barat seperti individualisme, liberalisme, konstitusionalisme, hak asasi manusia, kesetaraan, kebebasan, penegakan hukum, demokrasi, pasar bebas, pemisahan gereja dan negara, sering bergesekan dengan
243
Kathleen Cavanaugh, ―Islam and the European Project‖, MuslimWorld Journal of Human Rights Vol. 4, (2007): 11-12. 244 Benito Aláez Coral, ―Some Constitutional Thoughts about the Islamic Full Veil Ban in Europe‖, ICL Journal Vol. 7, (2013): 276. 245 ―European Court of Human Rights‖, 23.
78
budaya lainnya yang ada di Eropa.246 Dalam demokrasi, terselip kondisi masyarakat yang menganut konsep multikulturalisme dalam kehidupan sehari-hari dan hal tersebut pula yang menjadi dasar kehidupan sosial masyarakat di Eropa. Masyarakat Eropa yang menganut konsep multikulturalisme menganggap penggunaan jilbab, niqab dan burqa di ruang publik merupakan salah satu ancaman terhadap konsep tersebut karena simbol keagamaan yang digunakan di ruang publik akan menciptakan pengelompokan antar agama dan hal tersebut bertolak belakang dengan konsep multikulturalisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesamaan. Dalam sebuah lingkungan yang menjunjung konsep multikulturalisme, setiap orang atau kelompok memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pengakuan dari segala
macam
perbedaan
yang
ada
dalam
sebuah
lingkungan
sosial.
Multikullturalisme memandang hakikat kemanusiaan sebagai sesuatu yang universal yang berarti mengganggap semua manusia sama. Masyarakat multikulturalisme memiliki karakter yang toleran di mana mereka hidup dalam semangat peaceful coexistence. Setiap entitas dan budaya masih melekat dalam jati diri setiap masyarakatnya namun hal tersebut tidak melebur dan diperlihatkan sebagai kebanggaan melebihi entitas lainnya.247 Masyarakat multikulturalisme menyikapi adanya perbedaan budaya untuk mewujudkan harmonisasi sosial berdasarkan rasa saling percaya, menghormati dan pengakuan. Masyarakat multikulturalisme tidak 246
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Simon & Schuster, 1997), 258; dalam ―Unholy War: Terror in the Name of Islam‖, oleh John Esposito, (2002): 127. 247 A. Ubaedillah & abdul Rozak, Demokrasi: Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008). 29 – 30.
79
ingin melenyapkan atau menghapuskan perbedaan, melainkan konsep ini ada untuk menemukan cara hidup bersama dan saling mengkaitkan dengan alasan menerima perbedaan.248
Toleransi Salah
satu
cara
untuk
mengeksplorasi
identitas
Eropa
mengenai
multikulturalisme adalah fokus pada makna nilai etika toleransi. Toleransi adalah istilah kunci yang menyertai wacana Uni Eropa sebagai peacebuilder di dunia. Peacebuilder dapat dilihat baik sebagai sarana dan sebagai syarat perdamaian. Peacebuilder yang dimaksud adalah mengenai hak setiap masyarakat Eropa untuk memperoleh keamanan dengan jaminan bahwa setiap orang ikut berperan menjaga dan mengawasi sistem keamanan yang ada.249 Toleransi keragaman di Eropa memungkinkan setiap masyarakatnya untuk mengidentifikasi hal apa saja yang dapat kita bagi dan kesamaan sebagai individu untuk menjamin adanya kebaikan bersama yang bersifat universal.250 Dalam penjabaran mengenai toleransi yang ada di Eropa, dapat kita lihat bahwa konsep toleransi yang ada di Eropa tidak sesuai dengan penggunaan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di ruang publik. Penggunaan jilbab di sekolah dapat memperlihatkan perbedaan antara seorang wanita Muslim dengan siswi dari agama
248
Alar Kilp dan Andres Saumets, ―Religion and Politics in Multicultural Europe: Perspectives and Challenges‖, Tartu University Press, (2009): 13. 249 Lisbeth Aggestam dan Christopher Hill.. ―The Challenge of Multiculturalism in European Foreign Policy‖, International Affairs 84: 1. (2008):100. 250 Aggestam dan Hill, ―The Challenge of Multiculturalism in European Foreign Policy‖, 100.
80
lain. Hal tersebut justru akan memunculkan adanya kesan eksklusif bagi siswi yang menggunakan jilbab yang nantinya siswi tersebut akan dikucilkan di kelas atau bahkan dalam lingkup sekolah. Hal tersebut juga berlaku bagi pengguna niqab dan burqa di ruang publik. Pengguna niqab dan burqa yang menyembunyikan wajah mereka di balik cadar dan juga penutup wajah penuh juga berlawanan dengan konsep toleransi yang ada di Eropa. Penggunaan niqab dan burqa bertolak belakang dengan toleransi yang ada di Eropa sebab penggunaan niqab dan burqa menghapuskan asas kesamaan dan justru memunculkan identitas sebuah agama dalam masyarakat yang toleran. Munculnya identitas agama dalam hal ini tidak akan meleburkan identitas dalam sebuah lingkup sosial namun hal tersebut hanya akan menciptakan jarak dan juga kesenjangan sosial yang mengancam kondusifitas lingkungan sosial sebab dengan menggunakan niqab atau burqa, identitas seseorang dapat disembunyikan dan hal tersebut akan mengancam keamanan.
Kesetaraan Gender Selain yang berkaitan dengan multikulturalisme dan toleransi, ECtHR juga
memberikan alasan mengenai jilbab, niqab dan burqa yang berkaitan dengan kesetaraan gender. ECtHR dalam kasus ini menilai bahwa penggunaan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di ruang publik merupakan suatu bentuk ketidaksetaraan gender. Tidak hanya itu, ECtHR juga menilai bahwa siapa pun yang
81
mengenakan jilbab di sekolah maupun niqab dan burqa di ruang publik menerima penindasan terhadap wanita di balik jilbab, niqab dan burqa yang mereka kenakan.251 Dalam beberapa kasus, ECtHR menemukan bukti-bukti bahwa penggunaan jilbab, niqab dan burqa bukan merupakan keinginan murni dari seorang wanita sebab ada juga beberapa wanita menggunakan jilbab, niqab dan burqa karena ada paksaan dari keluarga. Selain itu, terdapat pula kekerasan terhadap perempuan bagi mereka yang menolak untuk jilbab atau justru jilbab, niqab dan burqa yang digunakan oleh seorang wanita dimanfaatkan untuk tujuan politik. Hal-hal tersebutlah yang kemudian membuat ECtHR berpendapat bahwa penggunaan jilbab, niqab dan burqa bertentangan dengan hak-hak perempuan.252
Entitas Masyarakat Mayoritas Eropa Hal lain yang dijadikan pertimbangan dari ECtHR dalam mendukung
kebijakan Perancis mengenai jilbab, niqab dan burqa adalah tidak lain mengenai entitas dari Eropa yang sejak lama sudah didominasi oleh masyarakat pemeluk agama Kristen.253 Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa penggunaan jilbab, niqab dan burqa merupakan sebuah kebiasaan yang dibawa oleh kaum minoritas yang bermigrasi ke Eropa dari kawasan Afrika yang sebagian besar dari mereka adalah Muslim. Kasus-kasus jilbab, niqab dan burqa memunculkan kembali ketegangan yang ada di Eropa yang sebelumnya imigran Muslim tengah mencoba untuk menyesuaikan diri dengan komunitas mayoritas namun imigran Muslim justru 251
Evans, ―The ‗Islamic Scarf‘ in the European Court of Human Rights‖, 15. Evans, ―The ‗Islamic Scarf‘ in the European Court of Human Rights‖, 16. 253 Cavanaugh, ―Islam and the European Project,‖ 2. 252
82
semakin menunjukan privatisasi agama mereka.254 Adanya keterkaitan antara rezim hegemoni sekuler dan Kristen di Eropa memunculkan ‗benturan' antara Islam dan entitas Eropa sendiri. Adanya hubungan yang kompleks antara Kristen dan sekularisme di Eropa menjadikan Islam sebagai ancaman yang akan terus berkembang di Eropa seiring dengan stabilnya pertumbuhan Muslim disana dan juga kebudayaan-kebudayaan Islam yang dibawa para imigran seperti jilbab, niqab dan burqa.255 Perbedaan Islam dan Eropa menimbulkan pertanyaan besar mengenai masa depan Eropa. Eropa yang terbentuk dari beragam negara dan bertujuan untuk menciptakan kesatuan transnasional di luar negara-negara dan menawarkan kerangka politik baru untuk hak-hak demokratis dan kebebasan. Namun kehadiran Muslim memunculkan pertanyaan mengenai entitas Eropa sebagai benua Kristen. Dalam hal ini, Eropa kemudian justru tengah berusaha untuk mempertahankan identitas dan warisan budaya mereka agar tidak terdegradasi oleh kebudayaan yang dibawa imigran Muslim.256 Dukungan yang diberikan oleh ECtHR terhadap pelarangan penggunaan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di Perancis di dasari oleh alasan yang kuat, baik itu dari segi integritas pemerintahan Perancis maupun integrasi Eropa.
254
José Casanova, Makalah yang disajikan pada Konferensi „The New Religious Pluralism and Democracy‘, Georgetown University: Immigration and the New Religious Pluralism: A EU/US (April 21-22, 2005); dalam ―Islam and the European Project‖ oleh Kathleen Cavanaugh, 2007, 10. 255 P.G. Danchin, ―Suspect Simbols: Value Pluralism as a Theory of Religious Freedom in International Law‖ Yale Journal of International Law. (2010): 21 – 22. 256 Nilufer Gole, ―Islam in European Publics: Secularism and Religious Difference‖, The Hedgehog Review/Spring & Summer 06, (2006): 143.
83
Sekularisme di Perancis, kesetaraan gender dan juga integrasi Eropa merupakan alasan untuk melindungi Eropa dari kebudayaan Islam yang dibawa oleh para imigran Muslim. Meskipun di Eropa sendiri memiliki Konvensi mengenai hak asasi manusia yang pada salah satu pasalnya mengatur kebebasan beragama, namun ECtHR dalam kasus ini melihat bahwa keselamatan publik menjadi prioritas utama terlebih lagi hal tersebut juga bisa mencegah munculnya gerakan ekstrimis Islam di kawasan Eropa.
84
BAB V Kesimpulan Perancis merupakan sebuah negara yang menganut sistem laïcité. Dengan sistem tersebut, maka negara memisahkan antara urusan keagamaan dan politik. Dalam sistem laïcité, negara berhak mengatur dan membatasi perilaku keagamaan setiap warganya apabila perilak keagamaan tersebut ditunjukan di ruang publik. Pembatasan dan peraturan perilaku warga negara di Perancis mengenai praktekpraktek keagamaan salah satunya dengan membuat undang-undang yang melarang pelajar menggunakan jilbab di sekolah dan juga melarang warga negara untuk menggunakan niqab dan burqa di ruang publik Perancis. Meskipun undang-undang yang disahkan pemerintah Perancis menuai pro dan kontra, baik di dalam maupun luar negeri, namun undang-undang tersebut mendapatkan dukungan yang cukup besar di Eropa terutama dari European Court of Human Rights. Ada beberapa alasan yang membuat European Court of Human Rights memberikan dukungannya terhadap undang-undang yang ada di Perancis tersebut. Dengan menggunakan konsep organisasi internasional dan juga integrasi, European Court of Human Rights melihat bahwa undang-undang yang dibuat Perancis mampu melindungi integrasi Eropa dari ancaman nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai fundamental di Eropa.
85
European Court of Human Rights melihat bahwa Perancis memiliki jumlah populasi Muslim terbesar di kawasan Eropa Barat. Banyaknya jumlah populasi Muslim di Perancis dikarenakan tingginya gelombang imigrasi yang terjadi di Perancis pasca perang dunia II. European Court of Human Rights menilai bahwa Perancis berusaha untuk melindungi paham laïcité yang ada di negara tersebut. Selain untuk melindungi paham laïcité, di Perancis juga menganut konsep “living together” yang membuat semua warga negara hidup rukun dalam satu kesatuan yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan tanpa harus menonjolkan identitas suatu suku, ras, ataupun agama. Adanya konsep “living together” di Perancis, maka penggunaan jilbab, niqab dan burqa di ruang publik bertolakbelakang dan mengancam integrasi Perancis terutama yang berkaitan dengan laïcité dan konsep “living together” disana sebab dengan menggunakan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di ruang publik, maka hal tersebut justru menimbulkan sekat diantara masyarakat mayoritas dan minoritas Muslim. Bukan hanya itu, penggunaan niqab dan burqa juga membuat keamanan Perancis terancam sebab identitas pengguna niqab dan burqa tidak dapat diketahui karena wajahnya yang tertutup. Selain melihat dari segi integrasi Perancis, European Court of Human Rights juga melihat dari segi integrasi Eropa. Penggunaan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa ternyata juga bertolak belakang dengan nila-nilai fundamentalis di Eropa seperti multikulturalisme, demokrasi, toleransi dan entitas Eropa. Bukan hanya itu, jilbab, niqab dan bruqa juga ternyata dianggap sebagai lambang penindasan bagi
86
wanita. Hal tersebut membuat posisi wanita pengguna jilbab, niqab maupun burqa berada di bawah pria. European Court of Human Rights juga menilai bahwa penggunaan jilbab, niqab dan burqa melanggar hak asasi seorang wanita untuk berekspresi. Penggunaan jilbab, niqab dan burqa di ruang publik bukan hanya melanggar hak asasi si pengguna saja, namun juga melanggar hak asasi orang lain. Pelanggaran hak asasi orang lain yang diakibatkan oleh pemakaian jilbab, niqab dan burqa adalah mengenai kebebasan untuk merasa aman dan untuk mendapatkan lingkungan sosial yang kondusif. Selain mengaggap jilbab, niqab dan burqa sebagai lambang penindasan, European Court of Human Right juga menilai bahwa jilbab, niqab dan burqa dijadikan sebagai sebuah alat dakwah umat Muslim di Eropa. Hal tersebut dianggap sebagai sebuah ancaman bagi entitas Eropa dimana mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Terlebih lagi peningkatan jumlah populasi Muslim di Eropa meningkat stabil. Dukung pelarangan yang dilakukan European Court of Human Right terhadap pelarangan yang dilakukan Perancis merupakan salah satu usaha untuk mempertahankan kebudayaan dan juga entitas masyarakat Eropa agar tidak terdegradasi oleh kebudayaan lain terutama Islam yang sebagai agama yang tengah berkembang stabil di Eropa.
87
DAFTAR PUSTAKA BUKU Archick, Kristin., Paul Belkin, Carl Ek et al. Muslims in Europe: Promoting Integration and Countering Extremism. Congressional Research Service, 2012. Bowen, John R. Why the French Don‟t Like Headscarves: Islam, the State, and Public Space. Princeton: Princeton University Press, 2007. Caesari, Jocelyne. When Islam and Democracy Meet: Muslims in Europe and in the United States. New York: Palgrave MacMillan, 2004. Eshet, Dan. What Do We Do with a Difference? France and the Debate over Headscarves in Schools. Facing History and Ourselves Foundation, Inc, 2008. Esposito, John L. The Oxford Encycloppedia of the Modern World, Vol.2. New York: Oxford University Press, 1995. —. Unholy War: Terror in the Name of Islam. New York: Oxford University Press, 2002. European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia. Muslims in the European Union: Discrimination and Islamophobia. EUMC, 2006; tersedia di http://www.eumc.europa.eu/eumc/material/pub/Muslim/Manifestations_EN.p df; di akses pada 28 April 2014. —. The Impact of 7 July 2005 London Bomb Attacks on Muslim Communities in the EU. Vienna: EUMC, 2005. Hakim, Ali Hosein, et. al. Membela Perempuan. Jakarta: Al-Huda, 2005. Harison, Lisa. Metode Penelitian Politik. Jakarta: Kencana, 2007. Hammarberg, Thomas. Human rights in Europe: no grounds for complacency. Council of Europe Publishing, 2012; tersedia di http://www.coe.int/; diakses pada 14 Oktober 2013.
xv
Human Right Watch. Discrimination in the Name of Neutrality: Headscarf Bans for Teachers and Civil Servants in Germany, 2009; tersedia di http://www.hrw.org; diunduh pada 13 Oktober 2013. Jackson, Robert dan George Sorensen. 2006. Introduction to International Relations Theories and Approaches. Edisi Ketiga. New York: Oxford University Press. Katzeinstein, Peter J.. The Culture of National Security: Norms and Identity in World Politics. New York: Columbia University Press, 1996. Kepel, Gilles. The War for Muslim Minds: Islam and the West. Harvard University Press, 2004. Kettani, M.Ali. Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Press, 2005. Kilp, Alar & Andres Saumets. Religion and Politics in Multicultural Europe: Perspectives and Challenges. Tartu University Press, 2009. Mas‘oed, Mochtar. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES, 1990. Mitri, Tarek. ―Christians and Muslims: Memory, Amity and Enmities‖, dalam Islam in Europe: Diversity, Identity and Influence, oleh Azizah Al-Azmeh dan Effie Fokas. New York: Cambridge University Press, 2007. Parekh, Bikhu. ―Europe, Liberalism, and the ‗Muslim Question‖, dalam Multiculturalism, Muslims, and Citizenship: A European Approach, oleh Tariq Modood, Richard Zapata-Barrero, dan Anna Triandafyllidou. London: Routledge, 2006. Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005. Rachmawati, Iva. Memahami Perkembangan Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. 2012. Reus-Smit, Christian. ―Constructivism‖, dalam Theories of International Relations. oleh Scott Burchill, et al., New York: Palgrave Macmillan. xvi
Rudy, May. Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Bandung: Refika Aditama, 2002. Ubaedillah dan abdul Rozak. Demokrasi: Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media Group, 2008. Woesthoff, Julia M. Encyclopedia of Race, Ethnicity, and Society: Muslims in Europe. Thousand Oaks: SAGE Publications, Inc, 2008. Zwilling, Anne-Laure. Yearbook of Muslim in Europe vol. 2. Leiden: Koninklijke Brill NV, 2010.
JURNAL Abu-Rabia, Aref. ―The Veil and Muslim Women in France: Religious and Political Aspects‖. Anthropology of the Middle East Vol. 1, Issue 2, (2006): 100. Aggestam, Lisbeth dan Christopher Hill. ―The Challenge of Multiculturalism in European Foreign Policy‖. International Affairs 84: 1 (2008): 100. Anspaha, Katrine. ―The Integration of Islam in Europe: Preventing the Radicalization of Muslim Diasporas and Counterterrorism Policy‖. ECPR Fourth PanEuropean Conference on EU Politics, (2008): 2. Barton, Daniel. ―Is the French Burka Ban Compatible with International Human Rights Law Standards?‖. Essex Human Rights Review Vol. 9, No. 1 (2012). Beller, Elisa T. ―The Headscarf Affair: The Conseil d‘État on the Role of Religion and Culture in French Society‖. Texas International Law Journal, Vol. 39. (2004). Boustead, Kathryn. ―The French Headscarf Law before The European Court of Human Rights‖. Journal of Transnational Law and Policy Vol. 16:2 (2007). Cavanaugh, Kathleen. ―Islam and the European Project‖. Muslim World Journal of Human Rights Vol. 4. (2007). Coral, Benito Aláez. ―Some Constitutional Thoughts about the Islamic Full Veil Ban in Europe‖. ICL Journal Vol. 7. (2013): 276. xvii
Danchin, P.G. ―Suspect Simbols: Value Pluralism as a Theory of Religious Freedom in International Law‖. Yale Journal of International Law (2010): 21 – 22. Davis, Kendal. ―The Veil That Covered France's Eye: The Right to Freedom of Religion and Equal Treatment in Immigration and Naturalization Proceedings‖. Nevada Law Journal Vol. 10: Issue. 3 (2010). Dustmann, Christian dan Tommaso Frattini. ―Immigration: The European Experience‖. Norface Migration, (2012): 5, tersedia di www.norfacemigration.org/publ_uploads/NDP_01_12.pdf; diakses pada 17 Juni 2014. Evans, Carolyn. ―The ‗Islamic Scarf‘ in the European Court of Human Rights‖. Melbourne Journal of International Law vol. 7 (2006). European Race Audit. ―The background to the French parliamentary commission on the burqa and niqab‖, ERA Briefing Paper No.3 - April 2010, 1; tersedia di www.irr.org.uk/pdf2/ERA_BriefingPaper3.pdf. Finnemore, Martha dan Kathryn Sikkink. ―Taking Stock: The Constructivist Research Program in International Relations and Comparative Politics‖. Annual Review of Political Science 4 (2001). Gehring, Thomas. ―Integrating Integration Theory: Neo-functionalism and International Regime‖. Global Society, Vol. 10, No. 3. (1996). Giry, Stéphanie. ―France and Its Muslim‖. Foreign Affairs Vol 85 :5 (2006): 87. Gole, Nilufer. ―Islam in European Publics: Secularism and Religious Difference‖. The Hedgehog Review/Spring & Summer 06. (2006): 143. Gündüz, Zuhal Yesilyurt. ―Europe and Islam: No Securitization, Please!‖.FriedrichEbert-Stiftung (2007). Hashmi, Hera. ―Too Much to Bare? A Comparative Analysis of the Headscarf in France, Turkey, and the United States‖. University of Maryland Law Journal of Race, Religion, Gender and Class vol. 10; 2 (2010): 418; tersedia di http://digitalcommons.law.umaryland.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1187& context=rrgc; diunduh pada 4 September 2014. xviii
Hoarau, Morgane dan Patrycja Sasnal. ―The Rise of Islamophobia in Europe.‖ The Polish Institute of International Affair. No. 55 (2013): 509. Kettani, Houssain. ―Muslim Population in Europe: 1950 – 2020‖. International Journal of Environmental Science and Development Vol. 1, No. 2, (2010). Liogier, Raphaël. ―Laïcité on the Edge in France: Between the Theory of ChurchState Separation and the Praxis of State-Church Confusion.‖ Macquarie Law Journal Vol. 9 (2009): 26. Nanwani, Shaira. ―The Burqa Ban : An Unreasonable Limitation on Religious Freedom or Justifiable Restrictions?.‖ Emory International Law Review Vol. 25 Issue 3 (2011): 1433. Nubowo, Andar. ―Islam, Sekularisme, dan Demokrasi di Eropa: Pengalaman Perancis.‖ Prisma Vol. 29:4 (2010): 49. Open Society Institute (OSI). ―Unveiling the Truth: Why 32 Women Wear the FullFace Veil in France‖ (2011); tersedia di: http://www.refworld.org/docid/4dabda402.html. Peach, Ceri. ―Muslim Integration: Challenging Conventional Wisdom in Europe and the United States.‖ The Center for Strategic and International Studies, (2007): 13; tersedia di http://csis.org/publikation/Muslim-integration-challengingconventional-wisdom-europe-and-united-states; diakses pada 26 April 2014. Pei, Sally. ―Unveiling Inequality: Burqa Bans and Nondiscrimination Jurisprudence at the European Court of Human Rights.‖ Yale Law Journal (2013): 122. Powell, Lina Ragep. ―The Constitutionality of France's Ban on the Burqa in Light of the European Convention's Arslan V. Turkey Decision on Religious Freedom.‖ Wisconsin International Law Journal Vol. 31 Issue 1 (2013). Rorive, Isabelle. ―Religious Simbols in the Public Space: in Search of a European Answer.‖ Yeshiva University: Cardozo Law Review vol. 30:6 (2009): 2669. Rusmawati, Roosi. ―Undang-Undang Laïcité (Sebuah Analisis terhadap Disahkannya Undang-Undang Pelarangan Pemakaian Simbol-Simbol Keagamaan di xix
Sekolah-Sekolah Negeri Perancis.‖ Jurnal Kajian Wilayah Eropa Vol. V no. 1 (2009): 132. Setyanto, Arif. ―Opini Publik terhadap Terorisme di Eropa: Blind Spot dalam Kasus Serangan Norwegia Tahun 2011.‖ Jurnal Hubungan Internasional Vol. VI , No. 1 (2013). Ssenyonjo, Manisuli. ―The Islamic Vail and Freedom of Religion, the Right to Education and Work: a Survey of Recent International and National cases.‖ Chinese Journal of International Law (2007): 653. Teitelbaum, Viviane. ―The European Veil Debate.‖ Israel Journal of Foreign Affairs V (2012): 1. Tonolo, Sara. ―Islamic Symbols in Europe: the European Court of Human Rights and the European Institutions.‖ Stato, Chiese e pluralismo confessionalen (2014): 5. Vaisse, Justin. ―Muslims in Europe: A short introduction.‖ Brookings Institution: Center on the United States and Europe (2008): 6. Wing, Adrien Katherine dan Monica Nigh Smith. ―Critical Race Feminism Lifts the Veil? Muslim Women, France, and the Headscarf Ban.‖ UC Davis Law Review, Vol. 39, No. 3 (2005): 743.
SKRIPSI/TESIS Ahmad, Bint. ―Its Islamic Ruling and Controversy in the Western world‖. The London Open Collage, 2006. Campbell, Shayla B. ―The Conflicts of Euro-Islam: The issues of immigration and integration of Muslims into European Society‖. Trinity College Digital Repository, 2012; tersedia digitalrepository.trincoll.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1211...theses; diakses pada 17 Juni 2014. xx
Haspeslagh, Marie. ―The Belgian Burqa Ban: Unveiled from a Human Rights Perspective‖. University of Ghent, 2012. Henkel, Meghan. ―Pulling Back the Veil: The Hijab Ban and the Evolution of French Nationalism‖. CMC Senior Theses. Paper 392, 2012: Tersedia di http://scholarship.claremont.edu/cmc_theses/392; diakses pada 25 Juli 2014.
WEBSITE Application no. 27058/05, ―fifth section, Case of Dogru v. France‖, 4 December 2008; tersedia di http://hudoc.echr.coe.int/sites/eng/pages/search.aspx?i=00190039#{"itemid":["001-90039"]}; diakses pada 11 Agustus 2014. Application No. 43835/11 – ―S.A.S. v. France in European Court of Humman Right‖. (2012), 4; diunduh di http://www.opensocietyfoundations.org/sites/default/files/sas-france-writtencomments-20130423.pdf pada 19 Juli 2014. Bars, Stéphanie Le. ―Burqa: le CFCM critique mais ne condamne pas‖, 15 Oktober 2009; tersedia di http://www.lemonde.fr/societe/article/2009/10/15/burqa-lecfcm-critique-mais-ne-condamne-pas_1254355_3224.html; diakses pada 4 November 2014. BBC. ―Profile: European Court of Human Rights‖, 7 February 2012; tersedia di http://www.bbc.co.uk; diakses pada 15 February 2014. BBC. ―The Islamic veil across Europe‖, 22 September 2011; tersedia di http://www.bbc.com; diakses pada 24 Maret 2014. BBC. ―Belgia Setujui Larangan Burka‖, 2010; tersedia di http://www.bbc.co.uk; diakses pada 28 Juni 2014. BBC. ―French MPs vote to ban Islamic full veil in public‖, 13 July 2010; tersedia di http://www.bbc.com/news/10611398; diakses pada 3 Agustus 2014. BBC. ―French scarf ban comes into force‖. 2 September 2004; tersedia di http://news.bbc.co.uk; diakses pada 30 Juli 2014. xxi
Bennhold, Katrin. ―A Veil Closes France‘s Door to Citizenship‖, 19 Juli 2008; tersedia di http://www.nytimes.com/2008/07/19/world/europe/19france.html; diakses pada 2 Agustus 2014. Bryant, Lisa. ―Larangan Jilbab Picu Ketegangan di Perancis‖, 23 Juli 2013; tersedia di http://www.voaindonesia.com; diakses pada 15 Oktober 2013. Caesari, Jocelyne. ―The Securitisation of Islam in Europe‖, 11; tersedia di http://www.aei.pitt.edu/10763/1/1826.pdf ; diakses pada 26 April 2014. —. 2006. ―Muslims In Western Europe After 9/11: Why the term Islamophobia is more a predicament than an explanation‖, tersedia di http://libertysecurity.org/article1167.html; diakses pada 27 Juli 2014 ―Constitution of October 4, 1958‖, tersedia di http://www.assembleenationale.fr/english/#history; diakses pada 3 September 2014. Cook, Niki. ―2 arrested as France's ban on burqas, niqabs takes effect‖, 12 April 2011; tersedia di http://edition.cnn.com/2011/WORLD/europe/04/11/france.burqa.ban; diakses pada 4 Agustus 2014. Crumley, Bruce. ―Will France Impose a Ban on the Burqa?‖, 19 Juni 2009; tersedia di http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1905554,00.html; diakses pada 7 Agustus 2014. Erlanger, Steven. ―Burqa Furor Scrambles French Politics‖, 31 Agustus 2009; tersedia di http://www.nytimes.com/2009/09/01/world/europe/01france.html?em&_r=1& ; diakses pada 3 Agustus 2014. —. ―For a French Imam, Islam‘s True Enemy Is Radicalism‖, 12 Februari 2010; tersedia di http://www.nytimes.com/2010/02/13/world/europe/13imam.html?pagewanted =all&_r=0; diakses pada 7 Agustus 2014.
xxii
―European Court of Human Right Annual Report 2005‖, 2006, tersedia di http://www.echr.coe.int; diunduh pada 4 Juli 2014. ―Europe Population 2013‖, 6 Maret 2014; tersedia di http://www.worldpopulationstatistics.com; diakses pada 17 Juni 2014. ―France: Headscarf Ban Violates Religious Freedom‖, 27 Februari 2004; tersedia di http://www.hrw.org/news/2004/02/26/france-headscarf-ban-violates-religiousfreedom; diakses pada 10 Agustus 2014. France National Assembly. ―Constitution of October 4, 1958‖. Tersedia di http://www.assembleenationale.fr; Diakses pada 6 April 6, 2014. ―French schools expel 48 over headscarf ban‖. 20 Januari 2005; tersedia di http://www.expatica.com/fr/news/local_news/french-schools-expel-48-overheadscarf-ban-15996.html; diakses pada 30 Juli 2014. ―France votes to ban full-face veils‖, 13 Juli 2010; tersedia di http://www.amnesty.org/en/news-and-updates/france-votes-ban-full-faceveils-2010-07-13; diakses pada 10 Agustus 2014. ―IHRC and IIWO's Letter to Jacques Chirac Regarding the Hijab Ban in France‖, 11 Januari 2004; tersedia di http://www.ihrc.org.uk/publikations/reports/7100ihrc-and-iiwo-s-letter-to-jacques-chirac-regarding-the-hijab-ban-in-france; diakses pada 10 Agustus 2014. Imanita, Ratna Fitriani. “Alhamdulillah, Muslim Perancis Meningkat Pesat‖, 19 Mei 2012; tersedia di http://www.republika.co.id; diakses pada 4 Januari 2013 James, Kyle. ―French Commission Recommends Banning the Burqa‖, 26 Januari 2010; tersedia di http://www.dw.de/french-commission-recommendsbanning-the-burqa/a-5169860; diakses pada 7 agustus 2014. Kaufmann, Eric. ―The Demography of Islam in Europe‖; tersedia di http://www.sneps.net/RD/uploads/1The%20Demography%20of%20Islam%20in%20Europe.pdf; diakses pada 26 April 2014. xxiii
Keaten, Jamey. ―French Burqa Ban Commission Created‖, 23 Juni 2009; tersedia di http://www.huffingtonpost.com/2009/06/23/french-burqa-bancommissi_n_219579.html?; diakses pada 8 Agustus 2014. Kern, Soeren. ―France: Muslim Woman Sues Over Burqa Ban‖, 6 Desember 2013; tersedia di http://www.gatestoneinstitute.org/4079/france-burqa-ban-lawsuit; diakses pada 11 Agustus 2014. Lantier , Alex. ―Riots Hit Trappes, France after police arrest family of veiled Muslim woman‖, 22 Juli 2013; tersedia di http://www.wsws.org/en/articles/2013/07/22/trap-j22.html; diakses pada 8 Agustus 2014. ―Lettre au Président de la Cour Européenne des ×Droits de l'Homme‖, 26 November 2013; tersedia di http://ldif.asso.fr/?theme=laicite&n=558; diakses pada 11 Agustus 2014. Lentius, Jehu. 2009. ―Islam-EU demographics – Islamic growth rates‖, tersedia di snaphanen.dk/upload/2010/01/Islam-eu_demogr.pdf; diakses pada 26 Juni 2014. Lentze, Georg. ―Islamic headscarf debate rekindled in France‖, 2 April 2013; tersedia di http://www.bbc.com/news/world europe-21997089; diakses pada 4 Agustus 2014 Lerougetel, Antoine dan Alex Lantier. ―France: Racist campaign against burqa threatens democratic rights‖, 14 Juli 2009; tersedia di http://www.wsws.org/en/articles/2009/07/burq-j14.html; diakses pada 7 Agustus 2014. Lichfield, John. ―It‘s a French woman‘s duty to wear a bikini, says ex-minister‖, 19 Agustus 2014; tersedia di http://www.independent.co.uk/news/world/europe/its-a-french-womans-dutyto-wear-a-bikini-says-exminister-9679431.html; diakses pada 3 November 2014. xxiv
Marquis, Christopher. ―U.S. Chides France on Effort to Bar Religious Garb in Schools‖, 19 Desember 2003; tersedia di http://www.nytimes.com/2003/12/19/politics/19RELI.html?ex=1093665600& en=dd3aed9558d52451&ei=5070; diakses pada 10 Agustus 2014. Orjoux, Alanne, Pierre Meilhan and Saskya Vandoorne. ―French Burqa Ban Clears Last Legal Obstacle‖, 7 Oktober 2010; tersedia di http://edition.cnn.com/2010/WORLD/europe/10/07/france.burqa.ban; diakses pada 4 agustus 2014. Pew Forum. ―100th Anniversary of Secularism in France‖, 8 Desember 2005; tersedia di http://www.pewforum.org/2005/12/09/100th-anniversary-ofsecularism-in-france/; diakses pada 2 September 2014. Pew Forum on Religion & Public Life. ―Mapping the Global Muslim Population‖, 15 September 2010; tersedia di http://www.pewforum.org/2010/09/15/Muslimnetworks-and-movements-in-western-europe/; di akses pada 24 April 2014. Richburg, Keith B. ―French President Urges Ban on Head Scarves in Schools: Chirac Confronts Spread of Islam‖, 18 Desember 2003; tersedia di http://washingtonpost.com; diakses pada 28 Juli 2014. Sadeq, Kianne. ―Two French journalists kidnapped in Iraq‖, 29 Agustus 2004; tersedia di http://edition.cnn.com/2004/WORLD/meast/08/28/iraq.main/; diakses pada 9 Agustus 2014. Schofield, Hugh. ―Sikhs Protest Against French Ban‖, 24 January 2004; tersedia di http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/3448239.stm; diakses pada 5 Agustus 2014. Sciolino, Elaine. ―Debate Begins In France On Religion In the Schools‖, 4 February 2004; tersedia di http://nytimes.com; diakses pada 29 Juli 2014. —. ―French Assembly Votes to Ban Religious Simbols in Schools‖, 11 Februari 2004; tersedia di http://nytimes.com; diakses pada 29 Juli 2014. Smith, Craig S. ―Racism Up After 9/11, European Monitor Says‖, 2002, tersedia di http://www.nytimes.com; diakses pada 26 Juni 2014. xxv
Sunderland , Judith. ―Banning Muslim Veil Denies Women a Choice, Too‖, 23 September 2013; tersedia di http://www.hrw.org/news/2012/09/23/banningMuslim-veil-denies-women-choice-too; diakses pada 10 Agustus 2014. Waehlisch, Martin. ―ECHR Chamber Judgment Case of S.A.S. v. France: Banning of burqas and niqabs legal?‖, 21 Juli 2014; tersedia di http://cjicl.org.uk/2014/07/21/echr-chamber-judgment-case-s-s-v-francebanning-burqas-niqabs-legal/; diakses pada 11 Agustus 2014. Waterfield, Bruno. ―Netherlands to ban the burqa‖, 15 September 2011; tersedia di http://www.telegraph.co.uk; diakses pada 29 Juni 2014. Watson, Leon. ―French women have a duty to wear a bikini on the beach, says former minister: Row after Sarkozy supporter tweets picture of Muslim wearing a headscarf‖, 20 Agustus 2014; tersedia di https://dailymail.co.uk; diakses pada 3 November 2014. Welch, Tim. ―State Secularism and Religious Freedom‖, 8 Oktober 2010; tersedia di http://criminallawandjustice.co.uk/features/State-Secularism-and-ReligiousFreedom; diakses pada 2 September 2014. Wyatt, Caroline. ―Liberty, equality and the headscarf‖. 20 December 2003; tersedia http://www.news.bbc.co.uk; diakses pada 25 December 2013.
xxvi
LAMPIRAN Lampiran I
584 17.07.2009
Press release issued by the Registrar
THE COURT GIVES SEVERAL DECISIONS ON CONSPICUOUS RELIGIOUS SYMBOLS
A Chamber of the European Court of Human Rights has declared inadmissible the applications lodged in the cases of Aktas v. France (application no. 43563/08), Bayrak v. France (no. 14308/08), Gamaleddyn v. France (no. 18527/08), Ghazal v. France (no.29134/08), J. Singh v. France (no. 25463/08) and R. Singh v. France (no. 27561/08), concerning the expulsion of pupils from school for wearing conspicuous symbols of religious affiliation. (The decisions are only available in French.) The applicants are: Mr Seref Bayrak, a Turkish national living in Flers, representing his daughter (a minor); Mr and Mrs Mahmoud Sadek Gamaleddyn, French nationals living in Decines-Charpieu, representing their daughter (a minor); Miss Sara Ghazal, a French national who was born in 1993 and lives in Le Tholy; Miss Tuba Aktas, a French national who was born in 1988 and lives in Mulhouse; Mr Jasvir Singh, a French national who was born in 1989 and lives in Bobigny; and Mr Ranjit Singh, a French national who was born in 1987 and lives in Drancy. xxvii
Summary of the facts: Miss Aktas, Miss Bayrak, Miss Gamaleddyn, Miss Ghazal, Mr Jasvir Singh and Mr Ranjit Singh were enrolled in various state schools for the year 2004-2005. On the first day of school, the girls, who are Muslims, arrived wearing a headscarf or kerchief. The boys were wearing a “keski”, an under-turban worn by Sikhs. The Head Masters of the schools considered that the headwear in question infringed the legislation prohibiting the wearing of dress or other symbols that manifested religious affiliation, and not only during physical education classes but in all classes, in accordance with a French law of 2004. When the pupils refused to remove the offending headwear the Head Masters denied them access to the classroom. Miss Bayrak, Miss Gamaleddyn and Miss Aktas subsequently decided to wear hats instead of their headscarves. After a period of dialogue with the families, the schools’ disciplinary boards took the decision, on different dates between October and November 2004, to expel the pupils for failure to comply with the provisions of Article L. 141-5-1 of the Education Code. The chief education officers of the school districts concerned confirmed those decisions, which were challenged before the administrative courts. The challenges were dismissed, both at first instance and on appeal. In the cases of Bayrak, Gamaleddyn and Aktas, the applicants’ requests to receive legal aid with a view to appealing on points of law to the Conseil d’Etat were rejected for a lack of serious grounds for such an appeal. Miss Aktas nevertheless appealed to the Conseil d’Etat in 2008 but was unsuccessful. The fathers of the two boys did the same. The Conseil d’Etat dismissed their appeals, taking the view that the Sikh “keski”, even though it was smaller than the traditional turban and dark in colour, could not be described as a “discreet” symbol. It found that the two boys, by wearing that headwear, had displayed conspicuously their religious affiliation in breach of the statutory ban.
Complaints Relying in particular on Article 9 (freedom of thought, conscience and religion) of the European Convention on Human Rights, taken together with Article 14 (prohibition of discrimination), the applicants complained about the ban on headwear imposed by their schools and alleged that they had been the victims of a difference in treatment based on their religion. xxviii
Relying on Article 6 § 1 (right to a fair hearing within a reasonable time), Miss Aktas and Miss Bayrak complained about the lack of impartiality in the disciplinary proceedings, and with Miss Gamaleddyn – who also complained about the length of the proceedings –, about the refusal by the French courts to examine the decision of the school disciplinary boards. Relying on Article 2 of Protocol No. 1 (right to education), Miss Aktas, Miss Bayrak, Miss Ghazal, Mr Jasvir Singh and Mr Ranjit Singh complained that they had been denied access to the schools concerned. Relying on Article 4 of Protocol No. 7 (right not to be tried or punished twice), Miss Gamaleddyn’s parents complained that their daughter had first been denied access to classes and then punished a second time by the expulsion measure.
Procedure The applications were lodged with the European Court of Human Rights between March and September 2008.
Decision of the Court257
Article 9
The Court decided to examine only under Article 9 the various complaints based on the allegations about restriction of religious freedom. In all these cases, the ban on the wearing by pupils of religious symbols constituted a restriction of their freedom to manifest their religion, that restriction being provided for by the law of 15 March 2004 (and restated in Article L. 141-5-1 of the Education Code), which pursued the legitimate aim of protecting the rights and freedoms of others and public order. The Court pointed out that the expulsion measure could be explained by the requirements of protecting the rights and freedoms of others and public order rather than by any objections to the pupils’ religious beliefs. 257
This summary by the Registry does not bind the Court.
xxix
The Court again emphasised the importance of the State’s role as the neutral and impartial organiser of the exercise of various religions, faiths and beliefs. It also reiterated that a spirit of compromise on the part of individuals was necessary in order to maintain the values of a democratic society. The ban on all conspicuous religious symbols in all classes of state schools was based on the constitutional principle of secularism, which was consistent with the values protected by the Convention and the Court’s case-law. The Court agreed with the opinion of the French authorities that the permanent wearing of substitute headwear also constituted a manifestation of religious affiliation. It pointed out that the 2004 law had to apply to the appearance of new religious symbols and also to potential attempts to circumvent the law. As to the punishment of definitive expulsion, it was not disproportionate as the pupils still had the possibility of continuing their schooling by correspondence courses. The interference by the authorities with the pupils’ freedom to manifest their religion was therefore justified and proportionate to the aim pursued. Consequently, their complaints under Article 9 had to be rejected as manifestly ill-founded. Concerning the complaints of Mr and Mrs Gamaleddyn about the proceedings conducted by the school which had resulted in their daughter’s expulsion, the Court took the view that the school authorities, in accordance with the rules in force, had afforded the girl pedagogical supervision during the statutory dialogue period. Such a transitional period had therefore been neither unlawful nor arbitrary. This part of the application in the Gamaleddyn case was therefore manifestly ill-founded and had to be rejected. The Court also rejected as manifestly ill-founded the part of the applications of Miss Ghazal, Miss Aktas, Mr Jasvir Singh and Mr Ranjit Singh, concerning Article 14, in conjunction with Article 9, as the legislation in question applied to all conspicuous religious symbols.
Article 6 § 1
As regards the complaint, in the Bayrak, Gamaleddyn and Aktas cases, that the proceedings had been unfair, this part of the applications had to be rejected, as the disciplinary board decisions had been subject to review by the administrative tribunal and the administrative xxx
court of appeal, which both had the power to deal with all aspects of a given case and to which the applicants had been able to submit their arguments. In the Gamaleddyn case, the Court found that the refusal to grant legal aid with a view to an appeal before the Conseil d’Etat had not constituted a violation of Article 6 § 1, as that refusal had been justified by the legitimate need to allocate public funds only to those requests that were likely to be successful, and that the composition of the legal aid section offered substantial guarantees of fairness. This part of the application was therefore rejected. In the same case, the complaint concerning the length of the proceedings also had to be rejected for failure to exhaust domestic remedies, as the applicants had not brought an action in damages against the French State for shortcomings in the public justice service.
Complaints under other Articles As regards the complaints submitted by Miss Ghazal, Miss Aktas, Mr Bayrak, Mr Jasvir Singh and Mr Ranjit Singh under Article 2 of Protocol No. 1, the Court considered that no separate question arose under that head and that it did not need to examine these complaints. As regards the complaint of Mr and Mrs Gamaleddyn under Article 4 of Protocol No. 7, to the effect that their daughter had been punished twice for the same act, the Court rejected this part of the application on the ground that this Article applied only to criminal offences. The Court thus found that all six applications had to be rejected.
***
The decisions will be available today on the Court’s Internet site (http://www.echr.coe.int). Press contacts Céline Menu-Lange (telephone : 00 33 (0)3 90 21 58 77) Stefano Piedimonte (telephone : 00 33 (0)3 90 21 42 04) Tracey Turner-Tretz (telephone : 00 33 (0)3 88 41 35 30) Kristina Pencheva-Malinowski (telephone : 00 33 (0)3 88 41 35 70) xxxi
Frédéric Dolt (telephone : 00 33 (0)3 90 21 53 39)
The European Court of Human Rights was set up in Strasbourg by the Council of Europe Member States in 1959 to deal with alleged violations of the 1950 European Convention on Human Rights.
xxxii
Information Note on the Court’s case-law No. 106 March 2008
El Morsli v. France - 15585/06 Decision 4.3.2008 [Section III]
Article 9 Article 9-1 Manifest religion or belief
Refusal of an entry visa for France because of the unwillingness of the applicant, a Moroccan national, to remove her veil at the security checkpoint at the consular offices: inadmissible
The applicant, a woman of the Muslim faith who wears a veil or headscarf, is married to a French national who lives in France. She went to the Consulate General of France in Marrakesh to apply for an entry visa so that she could join her husband in France, but when she refused to remove her headscarf for an identity check she was not allowed into the consulate. She then submitted a visa application by registered letter. Her application was refused. On the applicant’s behalf, her husband lodged an appeal against that refusal with the visa Appeals Board. The appeal was rejected for non-compliance by the applicant with the regulations in force. The applicant’s husband lodged a new appeal, on points of law, with the Conseil d’Etat on his wife’s behalf, relying, in particular, on his wife’s right to respect for her family life and her freedom of religion. The Conseil d’Etat dismissed the appeal. Inadmissible under Article 9: The measure complained of – requiring the applicant to remove her headscarf for an identity check – amounted to a restriction. The applicant did not suggest that the measure was not prescribed by law. It pursued at least one of the legitimate aims provided for in Article 9 § 2, namely public safety and the protection of public order. As to whether the interference was necessary in a democratic society, the Court saw no reason to depart from its reasoning in the Phull v. France case, concerning security checks at the entrance to a consulate, including the identification of persons wishing to enter, which it considered necessary for public safety. Furthermore, the security check required the headscarf to be removed only for a very brief moment. As to the applicant’s offer to remove her headscarf only in the presence of a woman, even assuming that the question had been put to the consular authorities, the fact that they had not instructed a female staff member to verify the applicant’s
xxxiii
identity had not overstepped the margin of appreciation left to the State in the matter. There had thus been no disproportionate interference with the exercise of the applicant’s right to freedom of religion: manifestly ill-founded. (see also Phull v. France (dec.), no. 35753/03, 11 January 2005, Information Note no. 71).
© Council of Europe/European Court of Human Rights This summary by the Registry does not bind the Court. Click here for the Case-Law Information Notes
xxxiv
Information Note on the Court’s case-law No. 114 December 2008
Dogru v. France - 27058/05 Judgment 4.12.2008 [Section V]
Article 9 Article 9-1 Manifest religion or belief
Expulsion of female pupils from State school for refusing to remove headscarves during physical education and sports lessons: no violation
[This summary also covers the Judgment in the case of Kervanci v. France, no. 31645/04, 4 December 2008] Facts: The applicants in these two cases – an eleven- and a twelve-year-old girl, both of the Muslim faith – enrolled at a public secondary school for the academic year 1998-1999. In January 1999 they presented themselves a number of times for physical education and sports lessons wearing headscarves, which they refused to take off in spite of repeated requests from their teacher, who explained that wearing headscarves was incompatible with physical education classes. In February 1999 the school’s pupil discipline committee ordered the applicants’ expulsion for repeated failure to participate actively in physical education and sports lessons. In March 1999 the area Director of Education upheld that decision after consulting the Academic Appeals Board, which justified the ban on the wearing of headscarves during physical education in terms of compliance with school regulations governing safety, health and attendance. In October 1999 the Administrative Court dismissed applications lodged by the applicants’ parents seeking to have the Director of Education’s decision set aside. The court found that by presenting themselves for physical education and sports lessons wearing garments that prevented them from participating in the activities concerned, the applicants had failed in their duty to attend classes regularly; their attitude had created a climate of tension at the school, and all these factors taken together sufficed to justify their expulsion from the school, in spite of their proposal, at the end of January, to wear hats instead of scarves. The Administrative Court of Appeal subsequently upheld those rulings, noting that the applicants had overstepped the limits of the right to express and manifest their religious beliefs on school premises. The Conseil d'Etat ultimately declared appeals lodged by the applicants’ parents inadmissible. The applicants submitted
xxxv
that after being expelled from the school they had continued their schooling by correspondence. Law: The ban on wearing headscarves during physical education and sports lessons and the expulsion of the applicants from their school for refusing to remove their headscarves amounted to a “restriction” of the applicants’ exercise of their right to freedom of religion. At the material time no law explicitly prohibited the wearing of headscarves in physical education lessons, the events in this case having taken place prior to the enactment of Law no. 2004-228 of 15 March 2004, which regulated the wearing of symbols or vestimentary signs of one’s religious beliefs on public school premises, in application of the principle of secularism. However, the French authorities had justified these measures by the combination of three factors: the requirement of assiduity in attending lessons, safety concerns and the need to dress in a manner compatible with the practice of sports. These factors were based on laws and regulations, internal documents (circulars, memoranda, school rules) and decisions of the Conseil d'Etat. The impugned interference had therefore had sufficient legal basis in domestic law, and the rules had been accessible as they consisted mainly of provisions that had been duly published, and established case-law of the Conseil d'Etat. Furthermore, in signing the school rules when they had enrolled at the school, the applicants had been made aware of their content and had undertaken to respect them, with their parents’ agreement. The applicants could therefore have foreseen, to a degree that was reasonable, that at the material time the refusal to remove their headscarves for physical education and sports classes might lead to their expulsion for failure to attend classes, so that the interference could be considered to have been “prescribed by law”. Furthermore, the restriction of the applicants’ right to manifest their religion had pursued the aim of defending the requirements of secularism in public education, as interpreted by the Conseil d'Etat and ministerial circulars on the matter. The same sources indicated that the wearing of religious signs was not, in itself, incompatible with the principle of secularism in schools, but could become so depending on the conditions in which they were worn and the consequences that wearing them could have. Referring to its earlier judgments in which it had held that it was for the national authorities, in the exercise of their margin of appreciation, to take great care to ensure that, in keeping with the principle of respect for pluralism and the freedom of others, the manifestation by pupils of their religious beliefs on school premises did not take on the nature of an ostentatious act that would constitute a source of pressure and exclusion, the Court found that that concern did indeed appear to have been answered by the French secular model. In the present cases the conclusion reached by the national authorities that the wearing of a veil, such as the Islamic headscarf, was incompatible with sports classes for reasons of health or safety was not unreasonable. The penalty imposed had merely been the consequence of the applicants’ refusal to comply with the rules applicable on the school premises – of
xxxvi
which they had been properly informed – and not of their religious convictions, as they alleged. Furthermore, the disciplinary measures taken against the applicants had fully satisfied the duty to balance the various interests at stake and had been accompanied by safeguards that were apt to protect the pupils’ interests. As regards the choice of the most severe penalty, where the ways and means of ensuring respect for internal rules were concerned, it was not within the province of the Court to substitute its own vision for that of the disciplinary authorities which, being in direct and continuous contact with the educational community, were best placed to evaluate local needs and conditions or the requirements of a particular training. Consequently, the penalty of expulsion did not appear disproportionate, and the applicants had been able to continue their schooling by correspondence classes. The applicant’s religious convictions thus appeared to have been fully taken into account in relation to the requirements of protecting the rights and freedoms of others and public order. It was also clear that the decision complained of had been based on those requirements and not on any objections to the applicant’s religious beliefs. The interference in question had been justified in terms of the principle and proportionate to the aim pursued. Conclusion: no violation (unanimously).
© Council of Europe/European Court of Human Rights This summary by the Registry does not bind the Court. Click here for the Case-Law Information Notes
xxxvii
Information Note on the Court’s case-law No. 176 July 2014
S.A.S. v. France [GC] - 43835/11 Judgment 1.7.2014 [GC]
Article 8 Article 8-1 Respect for private life
Ban on wearing religious face covering in public: no violation
Article 9 Article 9-1 Manifest religion or belief
Ban on wearing religious face covering in public: no violation
Article 14 Discrimination
Ban on wearing religious face covering in public: no violation Facts – The applicant is a practising Muslim and said that she wore the burqa and niqab, which covered her whole body except for her eyes, to live in accordance with her religious faith, culture and personal convictions. She added that she wore this clothing of her own accord in public and in private, but not systematically. She was thus content not to wear it in certain circumstances but wished to be able to wear it when she chose to do so. Lastly, her aim was not to annoy others but to feel at inner peace with herself. Since 11 April 2011, the date of the entry into force of Law no. 2010-1192 of 11 October 2010 throughout France, it had been against the law to conceal one’s face in a public place. Law – Article 8 and Article 9: The ban on wearing, in public places, clothing designed to conceal one’s face raised issues with regard to the right to respect for the private life (Article 8 of the Convention) of women who wished to wear the full-face veil for reasons relating to their beliefs; and to the extent that the
xxxviii
ban was complained of by individuals such as the applicant who were thus prevented from wearing in public places clothing that they were required to wear by their religion, it particularly raised an issue with regard to the freedom to manifest one’s religion or beliefs (Article 9). The Law of 11 October 2010 confronted the applicant with a dilemma: either she complied with the ban and thus refrained from dressing in accordance with her approach to religion, or she refused to comply and would face criminal sanctions.* There had thus been an “interference” or a “limitation” prescribed by law as regards the exercise of rights protected by Articles 8 and 9 of the Convention. The Government had argued that the interference pursued two legitimate aims: “public safety” and “respect for the minimum set of values of an open democratic society”. However, the second paragraph of Articles 8 and 9 did not expressly refer to the second of those aims or to the three values invoked by the Government in that connection. The Court accepted that the legislature had sought, by adopting the ban in question, to address concerns of “public safety” within the meaning of the second paragraph of Articles 8 and 9. As regards the second aim, “respect for the minimum set of values of an open democratic society”**, the Court was not convinced by the Government’s submission in so far as it concerned respect for gender equality. A State Party could not invoke gender equality in order to ban a practice that was defended by women – such as the applicant – in the context of the exercise of the rights enshrined in those Articles, unless it were to be understood that individuals could be protected on that basis from the exercise of their own fundamental rights and freedoms. Moreover, in so far as the Government thus sought to show that the wearing of the full-face veil by certain women shocked the majority of the French population because it infringed the principle of gender equality as generally accepted in France, the Court referred to its reasoning (below) as to the other two values that they had invoked. Secondly, respect for human dignity could not legitimately justify a blanket ban on the wearing of the full-face veil in public places. The clothing in question might be perceived as strange by many of those who observed it, but it was the expression of a cultural identity which contributed to the pluralism inherent in democracy. Thirdly, in certain conditions, what the Government had described as “respect for the minimum requirements of life in society” – or of “living together”, as stated in the explanatory memorandum accompanying the Bill – could be linked to the legitimate aim of the “protection of the rights and freedoms of others”. The respondent State took the view that the face played an important role in social interaction. The Court was therefore able to accept that the barrier raised against others by a veil concealing the face was perceived by the respondent State as
xxxix
breaching the right of others to live in a space of socialisation which made living together easier. That being said, in view of the flexibility of the notion of “living together” and the resulting risk of abuse, the Court had to engage in a careful examination of the necessity of the impugned limitation. First, it could be seen clearly from the explanatory memorandum accompanying the Bill that it was not the principal aim of the ban to protect women against a practice which was imposed on them or would be detrimental to them. As regards the question of necessity in relation to public safety, within the meaning of Articles 8 and 9, the Court understood that a State might find it essential to be able to identify individuals in order to prevent danger for the safety of persons and property and to combat identity fraud. However, in view of its impact on the rights of women who wished to wear the full-face veil for religious reasons, a blanket ban on the wearing in public places of clothing designed to conceal the face could be regarded as proportionate only in a context where there was a general threat to public safety. The Government had not shown that the ban introduced by the Law of 11 October 2010 fell into such a context. As to the women concerned, they were thus obliged to give up completely an element of their identity that they considered important, together with their chosen manner of manifesting their religion or beliefs, whereas the objective alluded to by the Government could be attained by a mere obligation to show their face and to identify themselves where a risk for the safety of persons and property had been established, or where particular circumstances entailed a suspicion of identity fraud. It could not therefore be found that the blanket ban imposed by the Law of 11 October 2010 was necessary, in a democratic society, for public safety, within the meaning of Articles 8 and 9 of the Convention. The Court then examined the questions raised by the need to meet the minimum requirements of life in society as part of the “protection of the rights and freedoms of others”. It took the view that the ban in question could be regarded as justified in its principle solely in so far as it sought to guarantee the conditions of “living together”. In the light of the number of women concerned, about 1,900 women in relation to the French population of about sixty-five million and to the number of Muslims living in France, it might seem excessive to respond to such a situation by imposing a blanket ban. In addition, there was no doubt that the ban had a significant negative impact on the situation of women who, like the applicant, had chosen to wear the full-face veil for reasons related to their beliefs. A large number of actors, both international and national, in the field of fundamental rights protection had found a blanket ban to be disproportionate. The Law of 11 October 2010, together with certain debates surrounding its drafting, might have upset part of the Muslim community, including some members who were not in favour of the full-face veil being worn. In this connection, the Court was very concerned by the fact that the debate which preceded the adoption of the Law of 11 October 2010 was marked by certain Islamophobic remarks. It was admittedly not for the Court to rule on whether legislation was desirable in such matters. It
xl
nevertheless emphasised that a State which entered into a legislative process of this kind took the risk of contributing to the consolidation of the stereotypes which affected certain categories of the population and of encouraging the expression of intolerance, when it had a duty, on the contrary, to promote tolerance. Remarks which constituted a general, vehement attack on a religious or ethnic group were incompatible with the values of tolerance, social peace and non-discrimination underlying the Convention and did not fall within the right to freedom of expression that it protected. However, the Law of 11 October 2010 did not affect the freedom to wear in public any garment or item of clothing – with or without a religious connotation – which did not have the effect of concealing the face. The impugned ban mainly affected Muslim women who wished to wear the full-face veil. Nevertheless, the ban was not expressly based on the religious connotation of the clothing in question but solely on the fact that it concealed the face.*** As to the fact that criminal sanctions were attached to the ban, the sanctions provided for by the legislature were among the lightest that could be envisaged, consisting of a fine at the rate applying to second-class petty offences (currently EUR 150 maximum), with the possibility for the court to impose, in addition to or instead of the fine, an obligation to follow a citizenship course. By prohibiting everyone from wearing clothing designed to conceal the face in public places, the respondent State had to a certain extent restricted the reach of pluralism, since the ban prevented certain women from expressing their personality and their beliefs by wearing the full-face veil in public. However, the Government had indicated that it was a question of responding to a practice that the State deemed incompatible, in French society, with the ground rules of social communication and more broadly the requirements of “living together”. From that perspective, the respondent State was seeking to protect a principle of interaction between individuals, which in its view was essential for the expression not only of pluralism, but also of tolerance and broadmindedness, without which there was no democratic society. It could thus be said that the question whether or not it should be permitted to wear the full-face veil in public places constituted a choice of society. In such circumstances, the Court had a duty to exercise a degree of restraint in its review of Convention compliance, since such review would lead it to assess a balance that had been struck by means of a democratic process within the society in question. In matters of general policy, on which opinions within a democratic society might reasonably differ widely, the role of the domestic policy-maker had to be given special weight. In the present case France thus had a wide margin of appreciation. This was particularly true as there was no European consensus as to the question of the wearing of the full-face veil in public. While, from a strictly normative standpoint, France was very much in a minority position in Europe, it had to be observed that the question of the wearing of the full-face veil in public was or
xli
had been a subject of debate in a number of European States. In addition, this question was probably not an issue at all in a certain number of member States, where this practice was uncommon. Consequently, having regard in particular to the breadth of the margin of appreciation afforded to the respondent State in the present case, the Court found that the ban imposed by the Law of 11 October 2010 could be regarded as proportionate to the aim pursued, namely the preservation of the conditions of “living together” as an element of the “protection of the rights and freedoms of others”. The impugned limitation was therefore “necessary in a democratic society”. This conclusion held true with respect both to Article 8 of the Convention and to Article 9. Conclusion: no violation (fifteen votes to two). Article 14 of the Convention taken together with Article 8 or Article 9: The applicant had complained of indirect discrimination. As a Muslim woman who for religious reasons wished to wear the full-face veil in public, she belonged to a category of individuals who were particularly exposed to the ban in question and to the sanctions for which it provided. A general policy or measure that had disproportionately prejudicial effects on a particular group might be considered discriminatory even where it was not specifically aimed at that group and there was no discriminatory intent. This was only the case, however, if such policy or measure had no “objective and reasonable” justification, that is, if it did not pursue a “legitimate aim” or if there was not a “reasonable relationship of proportionality” between the means employed and the aim sought to be realised. In the present case, while it might be considered that the ban imposed by the Law of 11 October 2010 had specific negative effects on the situation of Muslim women who, for religious reasons, wished to wear the full-face veil in public, this measure had an objective and reasonable justification. Conclusion: no violation (unanimously). * See Dudgeon v. the United Kingdom, 7525/76, 22 October 1981. ** See Leyla Şahin v. Turkey [GC], 44774/98, 10 November 2005, Information Note 80; and Ahmet Arslan and Others v. Turkey, 41135/98, 23 February 2010, Information Note 127. *** Contrast Ahmet Arslan and Others v. Turkey, op. cit.
© Council of Europe/European Court of Human Rights This summary by the Registry does not bind the Court. Click here for the Case-Law Information Notes
xlii