KONSTITUSI DAN DEMOKRASI (KODE) INISIATIF
DUA PULUH DUA (22) KETENTUAN INKONSTITUSIONAL DALAM RUU PENYELENGGARAAN PEMILU
Oleh: Adelline Syahda Veri Junaidi Adam Mulya B Mayang
Konstitusi dan Demokrsi (KODE) Inisiatif Jakarta 2016 A.
Ruang Lingkup Putusan MK tentang Pemilu
1|Page
Pemerintah telah menyerahkan Draft RUU Penyelanggaraan Pemilu kepada DPR pada 21 Oktober lalu. Draft ini merupakan penggabungan dari 4 undang-undang sekaligus, yaitu UU Pemda, UU Pileg, UU Pilpres dan UU Penyelenggara Pemilu yang kemudian disimplifikasi ke dalam satu draft UU Penyelenggaraan Pemilu. Draft ini terdiri dari buku ke satu hingga buku ke enam dengan 543 Pasal. Penyerahan draft ini kemudian ditindaklanjuti dengan dibentuknya Pansus oleh fraksi di DPR. Pembentukan didasarkan Pansus ini didasarkan atas asas proporsionalitas atau perolehan kursi parpol, dimaksudkan untuk memfokuskan pembahasan dalam waktu yang sangat terbatas ini. Dilihat dari jadwal sidang, saat ini DPR telah memasuki masa reses dan akan kembali bersidang pada 16 November nanti. Idealnya waktu panjang reses ini bisa dimanfaatkan untuk menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) sebagai lanjutan dari draft usulan Pemerintah. Setidaknya 22 pasal krusial berpotensi melanggar konstitusi, yang ditemukan dari draft usulan Pemerintah ini. Pandangan potensial ini dilihat karena memang bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Sehingga nantinya apabila pasal ini dibiarkan keberadaannya, maka akan berakibat inkonstitusional jika dilakukan judisial review. Atau karena sebelumnya MK juga telah memberikan amar tidak memiliki kekuatan hukum mengikat yang sifatnya final and binding dan mestinya diadopsi dalam penyusunan draft RUU ini. Secara kuantitatif Kode Inisiatif telah menyisir ketentuan-ketentuan yang pernah diujikan oleh Pemohon kepada MK terkait dengan ketentuan dalam 3 UU, yaitu Pileg, Pilpres dan Penyelenggara. Hasilnya sangat menakjubkan, ketiga UU berkaitan dengan Pemilu ini menjadi UU dengan jumlah terbanyak yang pernah diuji materi kan ke MK. Tercatat ada 111 permohonan, 24 diantaranya diputus dengan amar dikabulkan. Terhadap amar dikabulkan ini kemudian akan berdampak pada penafsiran konstitusionalitas pasal yang diujikan. Apakah kemudian ketentuan ini diakomodir atau justru luput dari perhatian Pemerintah? Hal ini menjadi menarik untuk dilihat dalam draft RUU Penyelenggaraan Pemilu ini. Mestinya RUU ini mengacu pada apa yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, mengingat putusan MK harus dimaknai sebagai suatu perubahan konstitusi melalui jalur putusan pengadilan. Artinya jika Mahkamah telah memberikan putusan terhadap suatu pasal, maka hal ini harus dimaknai sebagai suatu perubahan terhadap pasal dalam konstitusi. Karena memang posisi MK sebagai lembaga penafsir konstitusi. B.
Dua Puluh Dua (22) Pasal Inkonstitusional Pasal-pasal inkonstitusional yang dihidupkan kembali dalam RUU ini, telah menarik perhatian meskipun norma tersebut secara nyata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK. Pasal-pasal bermasalah itu kemudian dapat dikelompokkan ke dalam 9 kualifikasi yaitu : 1. penyelenggara, 2. syarat calon 3. sistem pemilu 4. keterwakilan perempuan 5. syarat parpol dalam pengajuan Calon Presiden/ Wapres
2|Page
6. 7. 8. 9.
Larangan kampanye pada masa tenang. Ketentuan sanksi kampanye. Waktu pemilu susulan/ lanjutan dan, Putusan DKPP terkait etika penyelenggara pemilu.
Jika diuraikan lebih lanjut dari 9 kelompok diatas, akan ditemukan 22 pasal inkonstitusional dalam RUU Penyelenggaraan pemilu. Pasal-pasal tersebut kemudian akan dijabarkan dalam tabel dibawah ini. Ketentuan-ketentuan bermasalah ini kembali menjadi pasal berulang yang selalu muncul dalam pembentukan dasar penyelenggaraan pemilu. Ketidaktertiban pembentuk UU ini pun patut menjadi sorotan bersama agar produk yang dihasilkan tidak selalu berpihak pada penguasa dan pemangku kepentingan semata. Namun lebih dari itu mengakomodir kepentingan masyarakat sebagai salah satu elemen penting dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Berdasarkan hal itu, maka Kode Inisiatif memberikan rekomendasi terkait 22 Pasal Inkonstitusional dalam Draft RUU Penyelenggara pemilu sebagai berikut : 1. Terhadap seluruh pasal yang bertentangan dengan Putusan MK, maka harus disesuaikan bunyi ketentuannya sesuai dengan yang telah diputuskaan oleh Mahkamah Konstitusi. 2. Terhadap ketentuan/ Pasal dalam draft RUU Penyelenggara yang berpotensi melanggar UUD 1945, maka harus disesuaikan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 sebelum nantinya diuji di Mahkamah Konstitusi ketika UU ini nanti disahkan. Berikut adalah uraian pasal potensial langgar Konstitusi dalam Draft RUU Penyelenggara Pemilu : No
Tema
1
Penyelenggara
3|Page
Ketentuan RUU Penyelengga raan Pemilu Pasal 89 ayat (1) huruf (b)
Tentang
Syarat usia paling rendah 45 tahun. Usia anggota KPU dan Bawaslu dinaikan, dimana sebelumnya berumur 35 Tahun (UU15/2011).
Konstitusi/ Putusan MK yang Dilanggar Pasal 27, 28D (1,3) , 28I (2)
Argumentasi
Pasal ini potensial di JR di MK. Pasal ini menimbulkan perlakuan yang tidak sama antar warga negara, dan menghambat kesempatan bagi setiap warga negara yang ingin berpartisipasi dalam pemerintahan, serta menimbulkan diskriminasi terhadap generasi muda. Logika bangunan pasal ini menghambat kaum muda untuk ikut serta dalam pemerintahan dalam hal ini menjadi penyelenggara pemilu. Dan segala warga negara berhak mendapat perlindungan atas perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun.
2
Syarat calon
4|Page
Pasal 58 ayat (4)
Peraturan KPU sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam rapat dengar pendapat
Pasal 22E ayat (5)
independensi kemandirian KPU yang akan tergerus dengan adanya ketentuan konsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam pembentukan Peraturan KPU. Ketentuan ini juga muncul sama dengan UU Pilkada (10/16 Pasal 9 huruf a). Jika ketentuan ini tetap dibiarkan maka dari sisi efektifitas waktu akan ada perlambatan karena membutuhkan waktu ekstra untuk menyelesaikan konsultasi bersama DPR dan Pemerintah dalam pembentukan Peraturan KPU. MK telah menyatakan ketentuan ini inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap sepanjang frasa"...dengan alasan yang tidak dapat diterima" pada pasal 27 (3) pada UU Penyelenggara pemilu dan ketentuan pasal 27 (3) secara konstitusional tidak mengikat. Kemunculan ketentuan ini bukti bahwa Pemerintah tidak secara cermat memperhatikan putusan MK yang telah mencabut pemberlakuan pasal ini.
Pasal 30 ayat (3)
Anggota KPU/D, Prov/Kota yang mengundurkan diri dengan alasan yang tidak dapat diterima dan diberhentikan tidak hormat diwajibkan mengembalikan uang kehormatan sebanyak 2x lipat dari yang diterimanya.
Putusan MK No 80/PUUIX/2011
Pasal 14 ayat (1) huruf (i)
Mengundurkan diri dari keanggotaan parpol, jabatan politik, jabatan di pemerintahan, BUMN/BUMD pada saat mendaftar sebagai calon.
Putusan MK No 81/PUUIX-2011
putusan MK telah menyatakan bahwa frasa ".....mengundurkan diri dari keanggotaan parpol...pada saat mendaftar" inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "sekurangkurangnya dalam jangka waktu 5 tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan parpol pada saat mendaftar sebagai calon”
Pasal 209 ayat (1) huruf (k)
mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, ASN, anggota TNI, Anggota Polri, Direksi, komisaris, Dewan pengawas dan karyawan pada BUMN/BUMD, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.
28D (1)
Pasal ini potensial di Uji kan di MK. ini merupakan syarat untuk mencalonkan sebagai anggota Legislatif. Disatu sisi syarat ini sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam UU Pilkada (10/160 untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Namun disisi lain ketentuan ini kontradiktif dengan pengaturan dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu ini tentang syarat mencalonkan diri menjadi Calon Presiden/ Wapres. Pada ketentuan ini dikecualikan untuk mundur. sehingga tidak akan ada kepastian hukum dan perlakuan yang sama.
3
Sistem pemilu
5|Page
Pasal 140 ayat (1)
pejabat negara yang dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol sebagai calon Pres atau calon wapres harus mengundurkan diri dari jabatannya kecuali, Presiden/Wapres, Gubernur, wakil gubernur, Bupati, wakil Bupati , Walikota, wakil walikota
28D (1)
Pasal ini Potensial di JR ke MK. ini merupakan syarat untuk mencalonkan sebagai caPres dan caWapres. Ketentuan ini memberikan perlakuan khusus bagi Presiden, Wapres dan Kepala daerah untuk tidak mundur dari jabatan nya jika ingin maju dalam bursa pencalonan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan UU Pilkada yang mengharuskan Kada mundur pada saat ingin mencalonkan di daerah lain dengan cuti kampanye. dan ini juga kontradiktif dengan ketentuan dalam UU yang sama tentang pencalonan Caleg yang harus mundur. Kenapa untuk Capres Cawapres jabatan ini dieksklusifkan tidak harus mundur, sementara menjadi caleg harus mundur? terdapat ketidakkonsistenan berfikir dalam penyusunan norma tersebut. Bagaiman jika posisi Presiden disini adalah Incumbent/Petahana yang kemudian dicalonkan lagi? ini tentu akan sarat dengan politisasi dan pemanfaatan jabatan. Pasal ini akan menimbulkan perlakuan yang berbeda karena terjadi kontradiksi antar pasal dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pasal 138 ayat (2)
Pemilihan anggota DPRD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas
putusan MK No 22/PUUIV-2008, Pasal 27 ayat (1) Pasal 28D ayat (3)
hal ini bertentangan dengan putusan MK yang telah menyatakan bahwa dasar penetapan calon terpilih adalah berdasarkan calon yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan oleh partai. karena hal ini akan memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak.
Pasal 318 ayat (2)
Surat suara dimaksud pada pasal 317 ayat (1) huruf (b) untuk calon anggota DPR,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota memuat tanda gambar partai politik, nomor urut partai politik dan nomor urut dan nama calon anggota DPR,DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota untuk setiap pemilihan
Putusan MK 22/PUUVI/2008
ketentuan ini sangat kontradiktif. Disatu sisi dijelaskan bahwa surat suara memuat tanda gambar dan nomor urut parpol serta nama dan nomor urut caleg, namun pada saat pencoblosan diarahkan untuk mencoblos satu kali pada tanda gambar atau nomor urut. suara sah pun dinilai dari pencoblosan pada tanda gambar atau nomor urut partai. Akibatnya apabila ada pemilih yang kemudian memilih satu kali tidak pada tanda gambar atau nomor urut partai atau pemilih mencoblos pada nomor urut atau nama caleg, maka suara ini dianggap tidak sah, suara masyarakat menjadi terbuang. secara konstitusional ini pun telah melanggar
pasal 329 ayat 1 (b)
pasal 362 ayat (2)
pasal 390 ayat (2)
Pasal 401
4
Keterwakilan Perempuan
6|Page
Penjelasan Pasal 214 ayat (2)
mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik untuk pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota suara untuk pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota dinyatakan sah apabila : (b). Tanda coblos pada nomor atau tanda gambar partai politik berada pada kolom yang disediakan hasil pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota terdiri atas perolehan suara partai politik serta perolehan suara calon anggota DPD Penetapan calon terpilih anggota legislatif berdasarkan perolehan kursi parpol berdasarkan nomor urut calon sesuai urutan yang tercantum pada surat suara. didalam setiap balon sebagaimana pada ayat (1), setiap 3 orang balon terdapat sekurangkurangnya (1) orang perempuan balon. Penjelasan : dalam setiap 3 balon, balon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1 atau 2 atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3,6 dan seterusnya.
hak suara atau daulat rakyat. dan telah juga diputus oleh MK. pada putusan ini, MK menyatakan harus didasarkan pada suara terbanyak sesuai dengan pilihan masyarakat .
Putusan MK 20/PUU-XI2013, Pasal 28H ayat (2)
bahwa untuk menjamin keterwakilan perempuan dilembaga perwakilan sebagai implemetasi dari kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama guna mencapai keadilan dan persamaan. Maka frasa " atau " dalam penjelasan harus dimaknai kumulatif alternatif menjadi "dan/atau" dan mengahpaus keberlakuan" tidak hanya pada nomor urut 3,6 dan seterusnya". Putusan ini telah secara otomatis merubah bunyi ketentuan Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/12 menjadi "dalam setiap 3 balon, balon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya". Artinya bakal calon perempuan tidak hanya terbatas hanya 1 calon pada setiap 3 bakal calon, minimal adalah 1 calon, ini artinya bisa lebih dari 1.
5
Syarat parpol dalam pengajuan calon Presiden
Pasal 190
Pasal 192
7|Page
pasangan Calon yang diusulkan oleh Parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR/ memeperoleh 25% dari suara sah nasional pada pemilu Anggota DPR sebelumnya. Parpol peserta pemilu yang tidak menjadi peserta pemilu sebelumnya dalam mengusung pasangan calon wajib bergabung dengan partai yang ikut pada pemilu sebelumnya
Putusan MK 14/PUU-XI2013
ketetuan ini bertentangan dengan semangat pelaksanaan pemilihan umum serentak antara Pileg dan Pilpres pada 2019 nanti sesuai dengan Putusan MK. Apabila suatu partai politik dinyatakan lolos verifikasi untuk menjadi peserta pemilihan umum, maka semestinya secara langsung juga berhak untuk menjadi peserta pada pengusulan calon Pres dan wapres. Angka 20% atau 25% inipun didasarkan pada pemilihan sebelumnya yaitu tahun 2014. sehingga menghilangkan kesempatan untuk partai politik tertentu yang tidak mencukupi ambang batas atau bagi partai politik baru yang tidak ikut pada pemilihan periode sebelumnya, jika ingin mengusulkan maka harus bergabung dnegan partai yang ikut periode sebelumnya untuk mencapai kuota tersebut.
Pasal 395 ayat (1)
Pasangan calon presiden terpilih adalah pasangan calon yang memeperoleh suara 50% dari jumlah suara dalam pemilu Presiden dan Wapres dengan sedikitnya 20% suara disetiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ jumlah provinsi di Inodnesia
Putusan MK 50/PUUXII/2014
Pasal ini inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk Pasangan capres dan cawapres yang hanya terdiri dari 2 pasangan jika hanya ada 2 pasangan Capres dan Cawapres maka yang terpilih adalah yang pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagaimana yang dimaksud pada 6A ayat (4) UUD 1945. Sehingga tidak perlu pemilihan langsung kedua oleh rakyat. Prinsipnya adalah bahwa presiden yang terpilih adalah yang memeperoleh suara terbanyak/legitimasi kuat dalam hal hanya ada 2 paslon.
Pasal 203 ayat (5)
dalam hal parpol atau gabungan parpol tidak mengajukan pasangan calon maka parpol bersangkutan dikenakan sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya
pasal 28D
pasal ini sangat berpotensial akan di JR ke MK. Parpol yang tidak mengajukan calon akan di sanksi, mencalonkan atau tidak merupakan bagian dari hak politik dari partai politik . Sehingga tidak fair jika di sanksi. Dan ini juga kontraproduktif dengan pengaturan di UU Pilkada. Jika pengaturan di UU Pilkada (10/2016) tidak dilarang kenapa kemudian pengaturan di UU Penyelenggara Pemilu berbeda? Ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan pengaturan berbeda yang saling kontradiktif.
6
larangan kampanye pada masa tenang
pasal 428 ayat (2) (6)
Pengumuman hasil survey atau jajak pendapat sebagaimana dimakksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada masa tenang. Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2),(4),(5) merupakan tindak pidana pemilu
pasal 483
setiap orang yang mengumukan hasil survey atau jajak pendapat tentang pemilu dalam masa tenang sebagaimana yang dimaksud pada paal 428 ayta (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 12 juta . media cetak dan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama masa tenang dilarang menyiarkan berita , iklan, rekam jejak peserta pemilu atau bentuk lainnya yang mengarah pada kepentingan kampanye pemilu yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu KPU dalam merumuskan peraturan tentang pemberitaan penyiaran iklan kampanye pemilu dan pemeberian sanksi berkoordinasi dengan KPI dan Dewan Pers
pasal 254 ayat (5)
7
ketentuan mengenai sanksi kampanye
8|Page
pasal 264
Putusan MK 24/PUUXII/2014
bahwa jajajk pendapat / survey maupun penghitungan cepat hasil pemungutan suara dengan menggunakan metode ilmiah adalah bentuk pendidikan, pengawasan dan penyeimbang dalam proses penyelenggaraan negara dalam hal pemilu. Sehingga pelanggaran terhadap hasil survey yang diumumkan pada masa tenang bukanlah termasuk pada karegori tindak pidana pemilu dan sanksi pidananya pun menjadi tidak relevan lagi diterapkan .putusan MK telah menyatakan bahwa larangan terhadap hasil survey yang diumumkan pada masa tenang bukanlah termasuk pada kategori tindak pidana pemilu. ketentuan mengenai sanksi pidana atas pasal larangan publikasi pada masa tenang yang masuk kualifikasi tindak pidana pemilu ini tidak relevan dan dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah.
Putusan MK 99/PUU-VII2009
frasa larangan menyiarkan berita telah diputuskan inkonstitusional oleh MK. Karena berita menjadi bagian dari setaip warga negara untuk mendapatkan informasi yang seluasluasnya yang dijamin dalam pasal 28F UUD 1945 dan mengetahui kualitas calon yang akan dipilih dan akan berpengaruh pada peningkatan kualitas demokratis/pilihan rakyat..
Putusan MK 32/PUU-VI2008
Putusan MK telah menyatakan bahwa dalam hal pemberian sanksi dengan pelibatan KPI dan Dewan Pers telah dinyatakan inkonstitusional karena mencampur adukkan kewenangan dalam penjatuhan sanksi kepada pelaksanan kampanye. Namun dalam pengaturan ini masih saja melibatkan usulan KPI dan Dewan Pers
8
waktu pemilu lanjutan/susul an
pasal 412 ayat (3)
9
Putusan DKPP
pasal 437 ayat (12)
dalam hal pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% jumlah provinsi atau 50% dari jumlah pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan hak untuk memilih, penetapan pemilu lanjutan atau pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usulan KPU. putusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat. (putusan DKPP berupa sanksi / rehabilitasi terkait pelanggraan etik oleh penyelenggra)
pasal 22E ayat (5)
Mengenai penetapan waktu pemilu lanjutan/susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU. Hal ini bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) tentang sifat penyelenggraan pemilu yang salah satunya mandiri. Yang diantisipasi adalah ketika Presiden tersebut menjadi Incumbent/ Petahana.
Putusan MK 31/PUU-XI2013
sifat final dan mengikat putusan DKPP terhadap pelanggran etik penyelenggara Pemilu ini telah dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai "putusan sebagaimana final dan mengikat bagi Presiden, KPU/KPU Provinsi, KPU Kabupaten Kota dan Bawaslu"
Melengkapi identifikasi di atas, berikut disajikan Putusan MK rentang 2003-2016 yang telah dikaji secara kuanititaif dengan amar dikabulkan terkait pengujian UU Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan UU Penyelenggara Pemilu. Dari tabel dibawah ini dapat dilihat sejauh mana putusan MK kemudian diitindaklanjuti oleh Pemerintah dan DPR dalam tahapan legislasi atau proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Apakah kemudian Putusan MK dengan amar dikabulkan seperti dibawah ini kemudian diadopsi dalam bentuk kebijakan baru yang setara UU atau dibawah UU, atau justru tidak ditindak lanjuti sama sekali. No
No putusan
1
17/PUU-I-2003
9|Page
UU diujikan Pemilu Legislatif (12/2003)
Isu
Amar
Keterangan
Syarat anggota DPR,DPD dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, Bukan bekas anggota organisasii PKI atau ormas atau bukan yang terlibat langsung amupun tidak langsung dalam G 30 S PKI / Pasal 60 huruf (g)
Dikabulkan sebagian
Mahkamah menyatakan pasal ini inkonstitusional karena merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap Hak asasi Warga negara atau diskriminasi atas adasar keyakinan politik, dan oleh karena itu bertentangan dangan hak asasi yang dijamin oleh UUD 1945. (Pasal 27, Pasal 28D (1,3) Pasal 28I (2) UUD 1945. Sehingga ketentuan ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
2
11/PUU-I-2003
Pemilu Legislatif (12/2003)
3
12/PUU-VI-2008
Pemilu Legislatif (10/2008)
4
22/PUU-VI-2008 dan 24/PUU-VI2008
Pemilu Legislatif (10/2008)
10 | P a g e
Syarat anggota DPR,DPD dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, Bukan bekas anggota organisasii PKI atau ormas atau bukan yang terlibat langsung amupun tidak langsung dalam G 30 S PKI / Pasal 60 huruf (g) “Memiliki kursi di DPR-RI hasil oeilu 2004” / pasal 316 huruf (d)
Dikabulkan sebagian
Mahkamah menyatakan pasal ini inkonstitusional karena merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap Hak asasi Warga negara atau diskriminasi atas adasar keyakinan politik, dan oleh karena itu bertentangan dangan hak asasi yang dijamin oleh UUD 1945. (Pasal 27, Pasal 28D (1,3( Pasal 28I (2) UUD 1945. Sehingga ketentuan ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dikabulkan
Penetapan calon terpilih Anggota DPR, DPRD Provini, Kabupaten, Kota dari Parpol atau gabungan Parpol didasarkan pada perolehan kursi parpol/ gabungan parpol peserta pemilu disuatu daerah pemilihan. / Pasal 214 huruf (a,b,c,d,e)
Dikabulkan sebagian
Ketentuan ini dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena Mahkamah berpandangan justru menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama parpol peserta pemilu 2004 yang tidak memenuhi ambang ET. Perlakuan yang tidak adil pada partai yang memiliki kedudukan sama. (Pasal 28I ayat (2) 27 ayat (1), 28D (1) UUD 1945. Soal penetapan calon terpilih adalah calon yang mendapat diatas 30% dari BPP, atau menempati nomor urut lebih kecil, jika tidak ada yang memeperoleh 30% dari BPP, atau yang menempati nomor urut lebih kecil jika yang memperoleh 30% dari BPP lebih dari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu parpol peserta pemilu adalah inkonstitusional. Mahkamah berpandangan dengan diberikannya hak pemilihan kepada rakyat secara langsung untuk memilih menentukan pilihannya terhadap caleg, kemenangan calon untuk terpilih tidak digantungkan pada parpol tp sejauh mana besaram dukungan suara rakyat yang diberikan kepada calon. Artinya dasar penetapan calon terpilih adalah berdasarkan calon yang mendapat suara terbanyak secara berurutan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan. Karena akan memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak. (pengadopsian pasal 27 ayat (1), 28D (3) UUD 1945
6
32/PUU-VI-2008
Pemilu Legislatif (10/2008)
Soal penjatuhan sanksi yang diberikan oleh KPI atau Dewan Pers atas pelanggaran berdasarkan ketentuan pasal/ Pasal 98 (2,3,4), 99 (1,2)
Dikabulkan
7
4/PUU-VII-2009
Pemilu Legislatif (10/2008)
tentang persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana penjara/ Pasal 12 huruf (g), 51 ayat (1) huruf (g)
Dikabulkan sebagian/ in konstitusional bersyarat
8
9/PUU-VII-2009
Pemilu Legislatif (10/2008)
Dikabulkan sebagian
9
27/PUU-VIII2010
Pemilu Legislatif (10/2008)
pengumuman hasil penghitungan suara cepat hanya dibolehkan paling cepat satu hari berikutnya dari hari pemungutan suara/ pelanggaran terhadap ketentuan ini merupakn tindak pidana pemilu/ Pasal 245 (2),(3), 282, 307 calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota / Pasal 218 (3)
10
52/PUU-X-2012
Pemilu Legislatif
ambang perolehan
Dikabulkan sebagian
11 | P a g e
batas suara
Dikabulkan sebagian/ conditionally constitusional
Ketentuan “atau” dalam pasal ini bersifat alternatif sehingga akan menimbulkan tafsir yang berbeda dalam penjatuhan sanksi. Rumusan pasal ini mencampur adukkan kedudukan dan kewenangan KPI dan Dewan Pers dengan kewenangan KPU dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kemapanye pemilu, menurut mahkamah ini dapat menimbukan kerancuan dan ketidakpastian hukum sehingga dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal ini dinyatakan tidak memiiki kekuatan gukum mengikat dan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai: Tidak untuk jabatan publik yang dipilih, berlaku terbatas jangka waktu untuk jabatan yang hanya selama 5 tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara jujur dan terbuka mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang. Ketentuan ini dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan hakikat pengitungan cepat, dan menghambat hasrat serta hak seseorang untuk tahu. Pelanggaran terhadap pengumuman hasil hitung cepat yang diumukan pada hari pemungutan suara bukanlah termasuk pada karegori tindak pidana pemilu karena tidak relevan lagi dinyatakan sebagai tindak pidana pemilu.dan sanksi pengaturannya pun tidak beralasan Pasal ini dinyatakan bertentangan sepanjang tidak dimaknai sepanjang frasa “Daftar Calon Tetap” dimaknai tidak mencakup calon pengganti yang diajukan oleh parpol, yang memiliki kursi di DPR, DPRD Prov / Kab/Kota dalam hal yang tidak terdapat lagi calon yang terdaftar dalam DCT. PT hanya berlaku untuk DPR, tidak utuk DPRD Prov/Kab Kota
(8/2012)
parpol / Pasal 8 (1)
11
20/PUU-XI-2013
Pemilu Legislatif (8/2012)
penempatan urutan bakal calon perempuan/ Pasal 56 (2)
Dikabulkan
12
24/PUU-XII2014
Pemilu Legislatif (8/2012)
pengumuman hasil survey atau jajak pendapat tentang pmilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada masa tenang/pengumum an prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan/ pelanggaran terhadap pasal tersebut merupakan tindak pidana pemilu/ jika diumumkan pada masa tenang, maka akan dipidana kurungan paling lama 1 tahun paling dan denda paling banyak 12 juta/ Pasal 247 (2),(5),(6), 291, 317 (1,2)
Dikabulkan
12 | P a g e
bahwa untuk menjamin keterwakilan perempuan dilembaga perwakilan sebagai implemetasi dari kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama guna mencapai keadilan dan persamaan. Maka frasa " atau " dalam penjelasan harus dimaknai kumulatif alternatif menjadi "dan/atau" dan mengahpus keberlakuan" tidak hanya pada nomor urut 3,6 dan seterusnya". Putusan ini telah secara otomatis merubah bunyi ketentuan Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/12 menjadi " dalam setiap 3 balon, balon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya" bahwa jajajk pendapat / survey maupun penghitungan cepat hasil pemungutan suara dengan menggunakan metode ilmiah adalah bentuk pendidikan, pengawasan dan penyeimbang dalam proses penyelenggaraan negara dalam hal pemilu. Sehingga pelanggaran terhadap hasil survey yang diumumkan pada masa tenang bukanlah termasuk pada karegori tindak pidana pemilu dan sanksi pidananya pun menjadi tidak relevan lagi diterapkan
13
98/PUU-VII2009
Pemilu Pres dan Wapres (42/2008)
14
99/PUU-VII2009
Pemilu Pres dan Wapres (42/2008)
15
102/PUU-VII2009
Pemilu Pres dan Wapres (42/2008)
13 | P a g e
hasil survey/ jajak pendapat tidak boleh diumumkan dan atau disebarluaskan pada masa tenang/hasil penghitungan suara cepat dapat diumumkan dan atau disebarluaskan pad ahari berikutnya/ pelanggaran terhadap pasal ini merupakan tindak pidana pemilu/akan dipidana penjara paling singka 3 bulan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit 3 juta dan paling banyak 12 juta. / Pasal 188 (2),(3), 228, 255 Media masa cetak dan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama amsa tenang dilarang menyiarkan berita,iklan, rekam jejak pasangan calon atau bentuk lainnya yang mengarahkan pada kepentingan kampanye yg menguntungkan/ merugikan paslon/ Pasal 47 (5), 56 (2,3,4) Daftar pemilih tetap pemilu/ Pasal 28, 111
Dikabulkan sebagian
Mahkamah menilai pengumuman hasil survey tidak inkonstitusional sepanjang tidak berkaitan dengan rekam jejak atau bentuk lain yang dapat merugikan atau menguntungkan salah satu calon. Berkaitan dnegan hasil quick count mahkamah menilai hal ini tidak sesuai hakikat penghitugan cepat, maka ketentuan sanksi pun menjadi tidak relevan lagi.
Dikabulkan
Sepanjang frasa larangan menyiarkan “berita” telah diputuskan inkonstitusional oleh MK. Karena berita menjadi bagian dari setaip warga negara untuk mendapatkan informasi yang seluas-luasnya yang dijamin dalam pasal 28F UUD 1945 dan mengetahui kualitas calon yang akan dipilih dan akan berpengaruh pada peningkatan kualitas demokratis/pilihan rakyat.
Dikabulkan sebagian
Warga yang tidak terdaftar dalam DPT dapat memilih dengan KTP/KK.
16
14/PUU-XI-2013
Pemilu Pres dan Wapres (42/2008)
Pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan setelah pemilu DPR, DPDdan DPRDkarena Presiden dan Wakil Presiden dilantik oleh MPR” / Pasal 3 (5), 9, 12 (1,2), 14 (2), 112
Dikabulkan sebagian
17
22/PUU-XII2014
Pemilu Pres dan Wapres (42/2008)
anggota TNI dan Polri tidak menggunakan hak pilih/ Pasal 260
Dikabulkan
18
50/PUU-XII2014
Pemilu Pres dan Wapres (42/2008)
pasangan calon yang terpilih adalah pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu Pres/Wapres dengan sedikitnya 20% suara disetiap provinsi yang tersebar lebih dari ½ jumlah provinsi di Indonesia./ Pasal 159 ayat (1)
Dikabulkan
19
110-111-112113/PUU-VII2009
Pemilu Legislatif (10/2008)
penentuan sisa kursi tahap dua/ 205 (4)
Dikabulkan sebagian/ condotionally constitusional
14 | P a g e
Mahkamah menilai penyelenggaraan Pilpres dan Pileg secara serentak akan lebih efisien sehingga pembiayaan penyelenggraan lebih menghemat uang negara yang berasal dari pembayar pajak dan hasil eksploitasi alam, keserentakan akan mengurangi pemborosan waktu dan gesekan horizontal dimasyarakat. Sehingga pilpres dan pileg yang tidak serentak tidak sejalan dengan prinsip kontitusi. Pilpres dan Pileg dilaksanakan serentak adalah setelah 2014. Menyatakan inkonstitusional pasal yang menyatakan TNI dan Polri tidak memiliki hak Pemilihan untuk Tahun 2009. Bahwasanya TNI dan Polri tidak memiliki hak politik untuk netralitas dan stabilitas penyelenggaraan pemilu. Sehingga keduanya tidak diikutkan dalam baik untuk memilih ataupun dipilih. Pasal ini inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk Pasangan capres dan cawapres yang hanya terdiri dari 2 pasangan jika hanya ada 2 pasangan Capres dan Cawapres maka yang terpilih adalah yang pasangan calon yang memeperoleh suara terbanyak sebagaimana yang dimaksud pada 6A ayat (4) UUD 1945. Sehingga tidak perlu pemilihan langsung kedua oleh rakyat. Prinsipnya adalah bahwa presiden yang terpilih adalah yang memeperoleh suara terbanyak/legitimasi kuat dalam hal hanya ada 2 paslon. Penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi bagi partai politik peserta pemilu dinilai konstitusional sepanjang dimaknai : (1) menentukan kesetaraan 50% suara sah dari angka BPP yaitu 50% dari angka BPP di setaiap daerah pemilihan anggota DPR, (2) membagikan sisa kursi pada setiap pemilihan anggota DPR
20
81/PUU-IX-2011
Penyelengg ara Pemilu (15/2011)
frasa "mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik, …. Pada saat mendaftar sebagai calon" serta PAW anggota DKPP / Pasal 14 ayat (1) huruf (i)
Dikabulkan sebagian
putusan MK telah menyatakan bahwa frasa ".....mengundrkan diri dari keanggotaan parpol...pada saat mendaftar" inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum sebagai calon"mengikat sepanjang tidak dimaknai "sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan parpol pada saat mendaftar sebagai calon
22
31/PUU-XI-2013
Penyelengg ara Pemilu (15/2011)
Dikabulkan sebagian
Frasa bersifat final dan mengikat pada keputusan DKPP terkait pelanggaran etik penyelenggara Pemilu dimaknai Final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi Kabupaten Kota dan Bawaslu
23
80/PUU-IX/2011
Penyelengg ara Pemilu (15/2011
tentang rapat Pleno,pengambilan keputusan yang sifatnya final bagi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara / Pasal 112 ayat (12 anggota KPU mengundurkan diri dengan alasan yang tidak dapat diterima dan dikenakan sanksi denda 2x lipat / Pasal 27 ayat (1) huruf (b) dan 27 ayat (3)
dikabulkan
24
11/PUU-VIII2010
Penyelengg ara Pemilu (22/2007)
Anggota panwaslu provinsi ditetapkan dengan keputusan Bawaslu sebanyak 6 (enam) orag sebagai Panwaslu Provinsi terpilih setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan. (pasal 93, 94,95)
Dikabulkan sebagian
Putusan MK ini menyatakan frasa “...dengan alasan yang tidak dapat diterima” dalam pasal 27 ayat (1) huruf (b) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945. Dan pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945. Karena menurut mahkamah sama saja dengan menghalang-halangi seseorang untuk upaya memajikan dirinya yang merupakn kebebasan setiap warga negara. Putusan MK ini menyatakan frasa “....diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya....” bertentangan dengan UUD 1945, sehingga berbunyi “Anggota panwaslu provinsi ditetapkan dengan keputusan Bawaslu sebanyak 3 (tiga) orag sebagai Panwaslu Provinsi terpilih setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan. (Begitu untuk pasal 93,94,95)
15 | P a g e