DRAFT Pedoman Pasal 25 Tentang Larangan Penyalahgunaan Posisi Dominan
Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia
Kata Pengantar
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 35 huruf (f) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha mempunyai tugas untuk menyusun suatu pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pedoman tersebut disusun agar KPPU dapat melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 secara tepat. Pedoman ini menunjukkan bagaimana pelaku usaha dan para pihak yang terkait berperilaku dalam kegiatan usahanya sehari-hari sehingga iklim usaha yang sehat dapat tercapai. Atas pertimbangan tersebut, KPPU menyusun Pedoman Pasal 25 tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Sehubungan dengan kegiatan dunia usaha yang sangat dinamis dan selalu berkembang maka tidak tertutup kemungkinan bahwa Pedoman ini akan terus disempurnakan.
Ketua KPPU
2
Bab 1 Latar Belakang
Untuk menjamin persaingan usaha yang sehat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menerbitkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut “UU No. 5/1999”). Pelaksanaan UU No. 5/1999 yang efektif diharapkan dapat memupuk budaya berbisnis yang sehat sehingga dapat terus menerus mendorong dan meningkatkan daya saing diantara pelaku usaha. Salah satu tujuan diberlakukannya undang-undang Hukum Persaingan adalah untuk memastikan bahwa mekanisme pasar bekerja dengan baik dan konsumen menikmati hasil dari proses persaingan atau surplus konsumen. Adalah menjadi tujuan dari setiap pelaku usaha yang rasional untuk dapat mengembangkan usahanya semaksimal mungkin atau menjadi yang terbaik di bidang usahanya. Idealnya tujuan ini akan mendorong setiap pelaku usaha berupaya meningkatkan kinerja dan daya saingnya melalui inovasi dan efisiensi sehingga lebih unggul dari pesaingya. Apabila berhasil, sebagai konsekuensi logisnya adalah pelaku usaha tersebut akan memperoleh kedudukan yang kuat (posisi dominan), dan atau memiliki kekuatan pasar (market power) yang signifikan di pasar bersangkutan. Dengan keunggulan relatif ini, pelaku usaha mampu untuk menguasai pasar bersangkutan atau dapat mempertahankan kedudukannya yang kuat di pasar bersangkutan. Dari sudut pandang ekonomi, memiliki kemampuan penguasaan pasar yang diraih melalui keunggulan inovasi dan efisiensi dapat memberikan efek yang positif bagi konsumen. Pelaku usaha yang menguasai pasar dapat mewujudkan efisiensi biaya (cost saving), atau menjamin pasokan bahan baku atau produk untuk mencapai keunggulan skala dan cakupan ekonomi (economy of scale). Penguasaan terhadap pasar bersangkutan juga memungkinkan pelaku usaha untuk dapat menekan biaya rata-rata produksi melalui cakupan produksi yang luas (economy of scope). Semuanya itu bisa berujung pada terciptanya harga yang rendah dan menguntungkan konsumen secara keseluruhan. Namun disisi lain, kemampuan untuk menguasai atau untuk mempertahankan posisi di pasar bersangkutan juga bisa dilakukan melalui kegiatan persaingan usaha yang tidak sehat. Umpamanya, pelaku usaha, baik secara sendiri maupun bersamasama, menciptakan hambatan persaingan (competition restraint) bagi pesaingnya maupun pesaing potensialnya, seperti menghambat masuknya pesaing potensial, membatasi produksi pesaing, menghambat perkembangan pasar serta teknologi dan berbagai perilaku yang unfair lainnya. Berkurangnya persaingan yang diakibatkan dari tindakan ini bisa merugikan konsumen pada akhirnya. Lebih jauh, perilaku penyalahgunaan posisi dominan dapat merugikan pelaku usaha kecil yang berada pada segmen pasar yang sama. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan asas dan tujuan UU No.5/1999. 3
Pada akhirnya, mengingat karakterisitik dan dampak dari penyalahgunaan posisi dominan tersebut, maka analisis yang mendalam terhadap maksud dan tujuan serta akibat yang ditimbulkannya mutlak diperlukan. Untuk itu diperlukan pedoman untuk/dalam melakukan analisa kegiatan tersebut sehingga tercipta pemahaman yang selaras antara komisi dan pelaku usaha dalam menilai kegiatan ini.
4
Bab 2 Tujuan dan Cakupan Pedoman
2.1.
Tujuan Pembuatan Pedoman Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5/1999. Adapun tugas-tugasnya adalah sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 5 Tahun 1999. Salah satu tugas KPPU adalah membuat pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan UU. No. 5/1999 (Pasal 35 huruf f). Pedoman ini diperlukan untuk memberikan gambaran lebih jelas UU No. 5/1999. Dengan adanya Pedoman, diharapkan para pelaku usaha dan stakeholders lainnya dapat menyesuaikan dirinya dengan Pedoman sehingga tidak melanggar persaingan usaha sebagaimana diatur oleh UU No. 5/1999. Dengan demikian, Pedoman Pasal 25 tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan (untuk selanjutnya disebut “Pedoman”) bertujuan untuk: a. Memberikan pengertian yang jelas dan tepat tentang larangan kegiatan Penyalahgunaan Posisi Dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU No. 5/1999. b. Memberikan dasar pemahaman dan arah yang jelas dalam pelaksanaan Pasal 25 sehingga tidak ada penafsiran lain selain yang diuraikan dalam Pedoman ini. c. Digunakan oleh semua pihak sebagai landasan dalam berperilaku agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dan selanjutnya untuk menciptakan kondisi persaingan usaha yang tumbuh secara wajar. Pedoman ini bukan untuk menjelaskan bagaimana KPPU melakukan pemeriksaan dalam melakukan penegakkan hukum atau memberikan saran dan kebijakan, namun difokuskan kepada pemberian pengertian yang jelas, cakupan, serta batasan ketentuan larangan penguasaan pasar. Walaupun Pedoman ini memberikan penjelasan ketentuan tentang penyalahgunaan posisi dominan, namun demikian dalam proses penegakkan hukum UU No. 5/1999, pandangan dan putusan Komisi dalam melakukan pemeriksaan atas tindakan penguasaan pasar yang diduga melanggar UU No. 5/1999 tetap didahulukan dan tidak hanya terbatas pada Pedoman.
5
2.2.
Cakupan Pedoman Pedoman Penguasaan Pasar melalui berbagai kegiatan dilarang berdasarkan Pasal 25 UU No. 5/1999 ini mencakup filosofi, semangat dan arah dari ketentuan dalam mempromosikan persaingan yang sehat. Di dalam Pedoman ini juga diuraikan singkat tentang kondisi sebagai akibat dari tidak adanya sistem yang mendukung ditegakkannya prinsip persaingan sehat, khususnya tentang akibat dari praktek persaingan usaha yang tidak sehat dalam upaya penguasaan pasar. Secara sistematis, Pedoman ini mencakup: Bab I Bab II
Latar Belakang Tujuan dan Cakupan Pedoman Bab ini menjelaskan tentang tujuan pembuatan Pedoman dan hal hal yang tercakup dalam Pedoman.
Bab III
Pasal 25 tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan Bab ini menjelaskan larangan penyalahgunaan posisi dominan berdasarkan pasal 25, terutama penjabaran unsur-unsur yang relevan dalam pasal tersebut serta keterkaitan pasal 25 dengan pasal-pasal lain dalam UU No 5/1999 Penyalahgunaan Posisi Dominan dan Contoh Kasus. Bab ini menjelaskan tentang konsep penyalahgunaan posisi dominan, pendekatan yang dapat digunakan dalam analisa penyalahgunaan posisi dominan, dampak penyalahgunaan posisi dominan serta beberapa contoh kasus. Aturan Sanksi Bab ini menyebutkan beberapa sanksi yang dapat dikenakan KPPU terhadap pelanggaran pasal 25. Penutup
Bab IV
Bab V
Bab VI
Sistematika serta bahasa Pedoman ini diusahakan sesederhana dan sejelas mungkin untuk dapat dimengerti, sehingga akan memudahkan semua pihak untuk memahami aturan yang berlaku dan guna menghindarkan ketidakpastian hukum dalam penegakan UU No. 5/1999.
6
Bab 3 Pasal 25 tentang Larangan Penyalahgunaan Posisi Dominan
3.1.
Pasal 25 tentang larangan penyalahgunaan posisi dominan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat melarang adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dimiliki oleh pelaku usaha di Indonesia. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 25 UU No.5/1999, yaitu: (1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. (2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
3.2.
Penjabaran unsur pasal 25
-
Unsur Pelaku usaha Sesuai dengan Pasal 1 nomor 5 dalam Ketentuan Umum UU No.5/1999, pelaku usaha adalah “setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”
-
Unsur Posisi dominan Sesuai dengan Pasal 1 nomor 4 dalam Ketentuan Umum UU No.5/1999, posisi dominan adalah “keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu” 7
-
Unsur Secara langsung maupun tidak langsung Pengertian „secara langsung“ adalah pelaku usaha dominan melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan, sementara pengertian „tidak langsung“ adalah pelaku usaha dominan memanfaatkan pelaku usaha lain untuk melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan.
-
Unsur Syarat-syarat perdagangan Pengertian syarat-syarat perdagangan pada intinya adalah peristiwa atau butir perjanjian yang oleh para pihak terkait dijadikan sebagai ukuran bahwa perjanjian dimaksud dapat dilaksanakan, atau tidak terpenuhinya peristiwa atau butir tersebut ditetapkan sebagai pembatalan perjanjian.
-
Unsur Konsumen Sesuai dengan Pasal 1 nomor 15, konsumen adalah “setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.”
-
Unsur Membatasi Pasar dan Pengembangan Teknologi Sesuai dengan Pasal 1 nomor 9, pasar adalah “lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa.” Membatasi pasar dan pengembangan teknologi berarti suatu bentuk perilaku yang menghambat transaksi perdagangan, inovasi serta pengembangan barang dan atau jasa.
-
Unsur pelaku usaha lain Mengacu pada penjelasan pasal 17 ayat 2 poin b, pelaku usaha lain adalah “pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan”.
-
Unsur Pasar Bersangkutan Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 10, Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut.
-
Unsur Pangsa pasar Sesuai dengan Pasal 1 nomor 13, pangsa pasar adalah “persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.”
8
3.3.
Keterkaitan dengan pasal lain
Dalam UU No 5/1999 terdapat beberapa pasal yang memiliki keterkaitan erat dengan penyalahgunaan posisi dominan. Beberapa pasal tersebut diantaranya adalah: -
Pasal 6 tentang Diskriminasi Harga Perusahaan yang memiliki posisi dominan mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga di pasar, diantaranya melalui penetapan kebijakan harga (melalui perjanjian) yang berbeda untuk barang dan atau jasa yang sama atau sejenis;
-
Pasal 15 tentang Perjanjian Tertutup Perusahaan yang memiliki posisi dominan memiliki kemampuan untuk melakukan perjanjian tertutup, dalam hal ini mitra dagang perusahaan yang bersangkutan tidak memiliki posisi tawar yang kuat untuk memperoleh persyaratan perjanjian yang lebih adil dan proporsional secara ekonomis;
-
Pasal 17 Perusahaan dengan posisi dominan pada hakekatnya identik dengan memiliki kekuatan monopoli. Dalam kondisi tersebut potensi terjadinya praktek monopoli yang menghambat persaingan usaha sehat sangat mungkin terjadi;
-
Pasal 18 Perusahaan dengan posisi dominan, khususnya di tingkat hilir memiliki kemampuan untuk menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal melalui penetapan syarat-syarat pembelian yang tidak wajar kepada supliernya;
-
Pasal 19 Perusahaan dengan posisi dominan pada hakekatnya memiliki kemampuan untuk menguasai pasar sehingga dapat melakukan perilaku seperti diskriminasi, membatasi peredaran barang/jasa dan berbagai perilaku anti persaingan lainnya;
-
Pasal 20 Perusahaan dengan posisi dominan memiliki kemampuan untuk menetapkan jual rugi atau harga yang sangat rendah dengan tujuan untuk menyingkirkan pesaing secara tidak sehat;
-
Pasal 26 Perusahaan dapat menyalahgunakan posisi dominan secara tidak langsung, yang diakibatkan dari rangkap jabatan antar perusahaan yang bersangkutan;
-
Pasal 27 Perusahaan dapat menyalahgunakan posisi dominan secara tidak langsung, yang diakibatkan dari kepemilikan silang antar perusahaan yang bersangkutan;
9
-
Pasal 28 Perusahaan yang memiliki posisi dominan dapat merupakan perusahaan hasil dari penggabungan beberapa perusahaan, peleburan dalam satu kelompok perusahaan dan atau pengambil alihan perusahaan oleh perusahaan lain;
Dalam hal keterkaitan pasal 25 dengan beberapa pasal lain yang telah dijelaskan sebelumnya, hal tersebut tidak sama sekali berimplikasi pada penerapan pasal oleh KPPU. Dengan kata lain, KPPU dapat menerapkan Pasal 25 sebagai dakwaan tunggal apabila terkait dengan struktur pasar, ataupun menggunakan pasal lain (dakwaan berlapis) yang terkait dengan pembuktian struktur pasar dan perilaku dari terlapor dalam menyelidiki dugaan penyalahgunaan posisi dominan.
Posisi Dominan
Penyalahgunaan
Pembuktian pangsa pasar 50% dan 75%
Pembuktian perilaku tanpa pembuktian pangsa pasar
Pasal 25
Pasal 19, 15, 6, 20
Tidak Bersifat Penyalahgunaan
Tidak ada pelanggaran
10
Bab 4 Penyalahgunaan Posisi Dominan
4.1.
Konsep Dasar Posisi Dominan
Perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar dalam suatu industri disebut sebagai perusahaan dominan. Perusahaan dapat memiliki posisi dominan jika memiliki kendali atas pasar dimana perusahaan tersebut beroperasi dan memiliki pesaing yang tidak signifikan. Pesaing perusahaan dominan biasanya merupakan perusahaan kecil yang saling bersaing pada pangsa pasar yang tersisa. Perusahaan-perusahaan kecil pesaing perusahaan dominan disebut fringe firm. Sebuah perusahaan bisa memiliki posisi dominan dalam suatu industri karena memiliki keunggulan bersaing seperti halnya dalam hal ukuran, pengakuan nama perusahaan dan sumber daya. Dengan posisi dominan tersebut, perusahaan dapat melakukan strategi yang bersifat independen terhadap perilaku pelaku usaha pesaing. Perusahaan dominan dapat bertindak atau melakukan strategi tanpa dapat dipengaruhi oleh pelaku usaha pesaing ataupun konsumennya karena memiliki market power yang tinggi. Market power adalah kemampuan perusahaan mempengaruhi harga dari barang dan jasa yang dijualnya. Dengan demikian market power merefleksikan dominansi yang dimiliki oleh sebuah perusahaan di pasar. Dengan market power yang dimilikinya tersebut perusahaan dominan dapat mengendalikan harga. Namun karena perusahaan dominan masih tetap memiliki pesaing maka kenaikan harga yang dilakukan oleh perusahaan dominan dapat membuat konsumen beralih kepada fringe firm. Oleh karena itu dalam bersaing perusahaan dominan tetap harus memperhatikan reaksi dari fringe firm. Interaksi penentuan harga dan kuantitas di dalam pasar yang memiliki perusahaan dominan dan fringe firm dapat dilihat pada gambar berikut.
11
Gambar 1. Produksi Perusahaan Dominan dan Fringe Firm
Harga (P)
S fringe
P1 Ddom Pdom P
2 MCdom MRdom 0
Qfringe
Qdom Q T
Dpasar Kuantitas (Q)
Pada gambar tersebut dapat terlihat bahwa harga keseimbangan di pasar ditentukan oleh perusahaan dominan berdasarkan biaya dan permintaan yang dihadapinya, sehingga harga yang terdapat di pasar adalah sebesar Pdom. Perusahaan dominan akan menguasai kuantitas di dalam pasar, yakni sebesar Qdom sementara fringe firm hanya akan berproduksi sebesar Qfringe. Jika harga keseimbangan meningkat maka output perusahaan fringe juga akan meningkat mengikuti bentuk kurva penawarannya (Sfringe). Dan sebaliknya jika harga keseimbangan turun hingga dibawah P2, perusahaan fringe akan keluar (exit) dari pasar. Terlihat jelas bahwa perusahaan dominan adalah pihak yang bertindak sebagai pemegang pangsa pasar terbesar, sementara fringe firm hanya mampu menikmati pangsa pasar yang tidak mampu dipenuhi oleh perusahaan dominan. Strategi perusahaan yang dapat menjadi sumber terciptanya dan dipertahankannya posisi dominan melibatkan investasi sumber daya dalam perusahaan yang tidak dapat ditiru oleh perusahaan pesaing. Saat sebuah perusahaan sudah dapat memliki posisi dominan dalam suatu industri maka perusahaan tersebut dapat menerapkan perilaku
12
strategis (strategic behaviour) tertentu untuk mempertahankan posisi tersebut seperti halnya: • Merger. Meger merupakan cara paling jelas untuk mempertahankan posisi dominan perusahaan karena dengan merger pangsa pasar yang dimiliki perusahaan akan semakin besar. • Direct cost-based strategy. Merupakan sebuah strategi untuk mendominasi pasar dengan cara memperbesar output dan menekan harga untuk dapat menghalangi pesaing memasuki pasar atau untuk menekan pesaing keluar pasar • Technology-based strategy. Diantaranya: o Ekspansi kapasitas produksi. Kelebihan kapasitas produksi dapat dilakukan dengan adanya teknologi. Jika satu-satunya cara yang paling efisien untuk dapat meningkatkan kapasitas produksi adalah dengan pabrik yang berskala besar maka perusahaan akan mempertahankan kelebihan kapasitasnya atau mengambil risiko kehilangan permintaan yang melonjak secara tiba-tiba. o Integrasi vertikal. Integrasi dalam hal produksi yang dilakukan oleh perusahaan dengan tujuan menjamin kepastian supply input produksi dan mengurangi biaya transaksi yang akan dikeluarkan jika perusahaan berkoordinasi dengan tahapan produksi lainnya. • Market-based strategy. Diantaranya: o Product differentiation. Merupakan strategi lain untuk mempertahankan posisi dominan dengan cara memperbanyak variasi produk yang ditawarkan perusahaan. Iklan dan usaha penjualan lainnya dapat digunakan untuk menciptakan brand image dimata konsumen dan menghasilkan brand loyality bagi konsumen. Dengan demikian perusahaan baru yang ingin memasuki pasar harus menghadapai biaya yang besar utuk dapat meandingi perusahaan dominan yang sudah mendapatkan brand loyality. o Access to consumers. Mendekatkan diri kepada konsumen dapat membuat perusahaan mempertahankan posisi dominan yang dimilikinya seperti halnya dengan menawarkan diskon pada sejumlah penjualan tertentu, menyadiakan jasa yang lebih baik, atau menawarkan berbagai merk produk yang beragam.
4.2.
Konsep Dasar Penyalahgunaan Posisi Dominan
Menjadi perusahaan dominan dengan pangsa pasar terbesar di pasar bukanlah sesuatu yang salah. Apabila pangsa pasar terbesar tersebut diperoleh melalui proses persaingan, dimana perusahaan tersebut berhasil melakukan efisiensi, inovasi, dan strategi lain yang bersifat pro-persaingan sehingga menempatkan perusahaan tersebut pada posisi yang lebih unggul dibanding perusahaan lain di pasar, maka posisi dominan merupakan insentif dari tindakan-tindakannya tersebut. Efisiensi dan inovasi yang dilakukan oleh perusahaan dominan tersebut akan diterjemahkan dalam bentuk harga yang lebih murah dan kualitas barang yang lebih baik. Persoalan muncul ketika posisi dominan yang diperoleh tidak menghasilkan kinerja pasar seperti yang diharapkan. 13
Bahkan posisi dominan tersebut digunakan untuk menghalangi perusahaan baru untuk masuk ke dalam pasar atau menghalangi pesaing yang sudah berada di pasar untuk tidak melakukan ekspansi. Penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position) muncul ketika pelaku usaha memiliki kekuatan secara ekonomi yang memungkinkan ia untuk beroperasi di pasar tanpa terpengaruh oleh persaingan dan melakukan tindakan yang dapat mengurangi persaingan (lessen competition). Terdapat dua konsep dalam pengertian tersebut, yaitu pertama, penentuan posisi dominan, dan kedua, melakukan tindakan yang bersifat anti-persaingan. 4.2.1. Perilaku Eksklusif Penyalahgunaan posisi dominan biasanya dapat dilihat dari perilaku strategis perusahaan atau strategic behavior. Strategic behavior adalah sebuah konsep bagaimana sebuah perusahaan dapat mengurangi tingkat persaingan yang berasal dari pesaing yang sudah ada maupun pesaing potensial yang baru akan bermain di pasar yang pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan profit perusahaan. Perilaku ini tidak hanya dipusatkan pada penetapan harga maupun kuantitas secara sederhana. Namun lebih kompleks lagi mengejar pangsa pasar, memperlebar kapasitas, hingga mempersempit ruang gerak pesaing. Strategic behavior terdiri dari dua tipe yaitu, dalam bentuk kooperatif maupun non kooperatif. Pertama, strategic behavior yang bersifat non kooperatif mengacu pada tindakan perusahaan yang mencoba meningkatkan profit mereka dengan meningkatkan posisi relatifnya terhadap pesaing. Mereka tidak melakukan kerjasama satu sama lain. Strategic behavior jenis ini biasanya meningkatkan profit satu perusahaan dan menurunkan profit perusahaan pesaingnya. Kedua, strategic behavior yang bersifat kooperatif diciptakan untuk mengubah kondisi pasar sehingga memudahkan semua perusahaan untuk berkoordinasi dan membatasi respon pesaing mereka. Bentuk strategic behavior kooperatif ini mampu meningkatkan profit semua perusahaan yang bermain dipasar dengan meminimalisir persaingan. Konsep kedua ini mengacu pada perilaku kolusif yang dimotori oleh perusahaan dominan. Perilaku kolusif Price Leadership termasuk ke dalam tipe kedua ini. Namun pada pedoman mengenai penyalahgunaan posisi dominan ini hanya akan menekankan kepada perilaku strategis perusahaan yang bersifat non-kooperatif. Perilaku strategis yang masuk ke dalam kategori ini dapat diistilahkan sebagai perilaku eksklusif (exclusionary strategic behavior). Perilaku eksklusif ini merupakan perilaku perusahaan dominan untuk membatasi atau menyingkirkan perusahaan pesaingnya. Perilaku eksklusif ini dapat dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu (i) perilaku harga, dan (ii) perilaku non-harga. Terkait dengan uraian sebelumnya mengenai interaksi antara perusahaan dominan dan perusahaan fringe maka pada sub-bagian ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai perilaku eksklusif yang menggunakan instrumen harga. Dua jenis perilaku eksklusif tersebut adalah predatory pricing dan limit pricing Dua jenis model ‘non-cooperative strategic behavior’ itu melibatkan kebijakan perusahaan yang dirancang untuk membuat pesaing tidak tertarik untuk berkompetisi di pasar. Perusahaan dominan biasanya 14
memanfaatkan keunggulan posisinya (baik dalam hal kemampuan produksi, distribusi, akses kepada pasokan, maupun keuangan) ketika melakukan strategi perusahaan dalam mengejar pangsa pasar. •
Predatory Pricing
Predatory Pricing secara sederhana didefinisikan sebagai tindakan dari sebuah perusahaan dominan yang mengeluarkan pesaingnya dengan cara menetapkan harga dibawah biaya produksi. Namun dalam prakteknya juga digunakan untuk mencegah pesaing masuk ke pasar. Begitu semua pesaing telah keluar, maka perusahaan dominan langsung menaikkan harga. Selama periode praktek predatori ini, perusahaan dominan kehilangan untung, dan mengalami kerugian melebihi kerugian pesaingnya. Perusahaan dominan harus mendapatkan semua permintaan pada tingkat harga yang rendah. Sehingga dapat memelihara harga yang rendah. Namun demikian pesaing masih bebas menentukan output guna mengurangi kerugiannya. Gambar berikut ini dapat menjelaskan bagaimana interaksi perusahaan dominan dan pesaing dalam praktek predatory pricing.
Gambar 2. Predatory Pricing Harga (P)
MC
G D
A
F
AC
Demand pasar
C
B
E
q1
q*-q1
p*
q*
Kuantitas (Q)
Misalkan perusahaan dominan menetapkan harga pada p* sehingga memaksa pesaingnya untuk merugi dan keluar dari pasar. Dengan demikian untuk dapat melakukannya, maka jumlah yang harus diproduksi di pasar adalah sebesar q* unit sehingga harga yang mau dibayarkan oleh konsumen adalah sebesar p*. Jika biaya marjinal (MC) dan biaya rata-rata (AC) pelaku usaha dominan dan pesaing adalah sama, kemudian pesaing berproduksi hanya di q1 dan pada harga p*, maka kerugian pesaing mencapai luas ABCD. Sebaliknya dominan harus berproduksi pada q*- q1 sehingga total output industri sejumlah q* unit dan harga tetap pada p*. Dengan jumlah produksi yang lebih besar, kerugian perusahaan dominan juga lebih besar, yaitu seluas bidang AEFG. Kerugian pelaku dominan menjadi semakin besar jika permintaan pasar semakin besar pula.
15
Kerugian pelaku dominan selama periode praktek predatory pricing ini melebihi pesaingnya. Dalam periode ini, konsumenlah yang memperoleh manfaat dari praktek ini. Mereka dapat membeli produk pada tingkat harga p*. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan jika kedua perusahaan menjadi duopolis. Namun demikian setelah itu, ketika harga meningkat pada level yang lebih tinggi (pada harga monopoli), maka konsumen akan mengalami kerugian. Jika praktek predatori ini berhasil hingga memaksa pesaingnya bangkrut, dapat dipastikan bahwa aset mereka secara permanen dapat ditarik keluar dari industri atau paling tidak dapat dikuasai oleh predator. Jika tidak, perusahaan lainnya akan masuk dan membeli aset tersebut dan persaingan kembali tak dapat dihindari. Praktek ini kemungkinan besar akan berhasil ketika aset pesaing keluar secara permanen dari indusri dan dikuasai oleh predator. Oleh karena itu strategi yang paling jitu agar praktek ini sukses adalah membuat pesaing bangkrut dan membeli semua aset pesaing dengan harga penawaran. Standar Penentuan Praktek Predatory Pricing Literatur ekonomi dan hukum secara luas telah mengembangkan standar khusus untuk menentukan apakah sebuah perusahaan sedang melakukan praktek predatory pricing atau tidak. Salah satu literatur yang paling berpengaruh terhadap kasus ini adalah literatur Areeda dan Turner (1995). Mereka menilai bahwa standar penentuan praktek ini dapat dilihat ketika sebuah perusahaan menetapkan harga dibawah biaya marjinal jangka pendeknya. Namun karena data mengenai biaya marjinal jangka pendek sulit diperoleh, mereka menyarankan untuk menggunakan data AVC (average variable cost) sebagai proxy. Logika yang mendasari adanya penentuan ini adalah bahwa belum pernah ada perusahaan yang mendapatkan untung ketika beroperasi pada kondisi dimana harga lebih randah dari biaya marjinal jangka pendek kecuali ada kepentingan ataupun taktik atau strategi. Penetapan harga di bawah biaya marjinal jangka pendek adalah tidak masuk akal jika tanpa prospek keuntungan dalam jangka panjang. Beberapa pihak lainnya mengembangkan studi Areeda dan Turner dengan alternatif lain. Ada yang menyarankan penentuan dengan menggunakan LRMC (long run marginal cost), ada juga yang menyarankan menggunakan AC. Beberapa lainnya juga menyarankan masih perlunya untuk melakukan observasi sepanjang waktu baik untuk harga maupun untuk kuantitas output demi meyakinkan apakah praktek predatory pricing ini benar-benar terjadi atau tidak. Semua jenis tes untuk mendeteksi keberadaan praktek ini masih menimbulkan beberapa permasalahan terutama pada saat implementasi di lapangan. Pertama untuk alasan data yang diperlukan untuk mengukur SRMC (short run marginal cost) atau bahkan data AVC (average variable cost). Kedua, permasalahan lainnya adalah, jika perusahaan tidak melakukan apa-apa tapi bisa saja dinilai telah melakukan praktek ini. Misalnya ada perusahaan yang baru masuk ke dalam pasar untuk menarik konsumen ia menerapkan harga promosi. Selama fase awal operasi perusahaan adalah hal yang biasa bagi mereka untuk memberikan gratis atau secara cuma-cuma produk mereka. Dan ini tentu saja hal ini bisa bertentangan dengan tes yang dilakukan Areeda dan Turner. Pemberian produk secara cuma-cuma sangatlah efektif sebagai bagian dari promosi demi
16
membangun bisnis di masa depan dan tentunya dapat dijadilakan langkah awal untuk dapat meningkatkan profit. Selain faktor promosi, munculnya penetapan harga di bawah biaya marjinal jangka pendek (SRMC) sebenarnya bisa terjadi dengan wajar jira preusan mampu melakukan tindakan yang dikenal dengan istilah learning by doing. Tindakan ini mengacu pada penurunan biaya produksi karena perusahaan mampu berproduksi jauh lebih efisien. Dengan harga yang murah pada saat awal perusahaan tentu dapat meningkatkan penjualan dan kemudian mampu belajar untuk dapat menurunkan biayanya di masa depan. Meskipun harga saat ini lebih rendah dari biaya produksi, tetapi ada prospek untuk menurunkan biaya di masa datang. Dengan mengumpulkan segala informasi dan pengetahuan yang ada sekarang, dapat disimpulkan bahwa penetapan harga yang rendah sekarang dapat dipandang sebagai sebuah investasi di masa datang. Dalam konteks persaingan, praktek predatori ini seringkali membingungkan. Kebanyakan perkara hukum yang melibatkan praktek ini diajukan demi menjatuhkan pesaingnya. Pesaing yang satu melakukan komplain bukan karena harga yang ditetapkan dibawah biaya produksi, namun karena kompetisi harga dari perusahaan yang jauh lebih efisien. Jika sebuah perusahaan lebih efisien dari yang lainnya maka mungkin saja perusahaan tersebut menetapkan harga lebih rendah dan dapat mengambil alih pasar. •
Limit Pricing
Strategic behavior lainnya yang juga termasuk perilaku penyalahgunaan posisi dominan adalah limit pricing. Konsep ini dikembangkan oleh bebrapa ekonom seperti Bain (1956), Modigliani (1958), Sylos-Labini (1962). Pada konsep sederhana limit pricing, potential entrant percaya bahwa perusahaan dominan tidak akan mengubah level outputnya setelah ada pemain baru. Karena itu pemain baru akan percaya bahwa total output industri akan sama dengan output pesaing ditambah output incumbent. Pada model ini, dominan memilih level output dan harga untuk menghilangkan insentif perusahaan untuk masuk ke pasar.
Gambar 3. Limit Pricing Harga (P) Demand pasar
p*
AC p1 Demand entrant = demand pasar - q*
q1
q*
Kuantitas (Q)
17
Analisis tentang potential entrant dan pelaku dominan dalam model limit pricing diilustrasikan oleh gambar diatas. Gambar diatas menunjukkan permintaan industri dan kurva AC yang dihadapi kedua pelaku usahan dominan dan potential entrant. Jika pelaku dominan memproduksi q* unit (dan akan terus melakukannya keika ada pesaing masuk), maka kurva permintaan menghadapi pesaing baru sama dengan permintaan industri dikurangi q*. Gambar ini menunjukkan kurva permintaan bergeser ke kiri dari total permintaan ketika q*. Jika ada potential entrant tidak masuk ke pasar, maka pelaku dominan berproduksi pada q* dan menerapkan harga p*. Jika perusahaan baru masuk ke industri dan memproduksi sebesar q unit output dengan demikian total output industri adalah q + q* dan harga industri p1. Perhatikan bahwa p1 sama dengan AC potential entrant yang berproduksi sebanyak q1 unit, ini berarti bahwa tidak ada insentif bagi mereka untuk masuk ke dalam industri (logika dasarnya adalah jika P = AC tidak akan perusahaan yang masuk karena zero profit). Jika q* dipilih, sehingga permintaan yang tersisa dalam menghadapi pesaing baru, dibawah atau sama dengan kurva AC nya, maka tidak ada level output yang diproduksi oleh new entrant yang dapat menghasilkan profit di industri . Dengan memilih q* perusahaan dominan mampu mengenakan limit price p*, yang berada di atas AC. Meskipun sebenarnya perusahaan dominan tidak harus berproduksi pada q* untuk menghalangi pesaing masuk, cukup memberi ancaman saja dengan sinyal jika pesaing benar-benar masuk. 4.2.2. Dampak Penyalahgunaan Posisi Dominan terhadap Persaingan dan Konsumen Dengan adanya penyalahgunaan pelaku usaha dominan di pasar, maka dipastikan terjadi peningkatan tingkat konsentrasi di suatu industri yang menjadi indikasi peningkatan market power pelaku usaha dalam industri tersebut. Peningkatan market power memberikan keleluasaan bagi pelaku usaha untuk menetapkan harga (price maker). Ada tidaknya penggunaan market power yang dimiliki oleh pelaku usaha, dapat diindikasikan dengan tingginya harga jual produk, relatif dengan produk substitusi, relatif dengan biaya produksi, dan tingginya margin keuntungan pelaku usaha di pasar bersangkutan. •
Dampak terhadap Persaingan
Pada industri dimana terdapat pemain dominan, tingginya market power perusahaan dominan relatif terhadap para pesaingnya, memudahkan perusahaan tersebut untuk menentukan output dan harga tanpa terpengaruh keputusan pesaing. Terdapat dua bentuk dampak yang diakibatkan oleh penyalahgunaan posisi dominan. Dampak pertama muncul sebagai akibat dari penerapan perilaku strategis yang bersifat kooperatif. Keputusan perusahaan dominan untuk menetapkan harga tinggi sebagai bentuk penggunaan market power secara optimum akan menjadi pelindung dan insentif bagi pesaing-pesaingnya untuk turut menikmati harga yang tinggi tersebut. Fenomena tersebut adalah bentuk dari munculnya price leadership. Price Leadership yang menjelaskan 18
bahwa perusahaan dominan mempunyai kekuatan sebagai price setter (penentu harga). Harga yang ditetapkan oleh perusahaan dominan kemudian akan diikuti oleh perusahaanperusahaan lainnya sebagai price taker. Kehadiran price leadership dalam suatu industri menyebabkan pilihan konsumen untuk menikmati harga yang lebih murah menjadi terhambat. Indikasi terjadinya price leadership adalah tingginya harga produk, serta tingginya margin keuntungan antar pelaku usaha. Dampak kedua yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan posisi dominan adalah hasil dari perilaku strategis yang bersifat eksklusif (non-cooperative). Berdasarkan uraian sebelumnya terlihat bahwa penerapan strategi ini akan mampu membatasi atau mempersempit ruang gerak bagi para pemain baru yang akan masuk ke dalam industri, dan bahkan mampu mengeluarkan (membangkrutkan) perusahaan pesaingnya. •
Dampak terhadap Konsumen
Pada periode predatory pricing dimana pelaku dominan menetapkan harga yang serendah-rendahnya, tentu saja konsumen mendapatkan dampak positif yaitu terjadi peningkatan consumer surplus. Namun setelah periode tersebut berakhir, dan perusahaan dominan telah berhasil “mengusir” pesaingnya keluar dan bersiap untuk melakukan manuver sebagai monopolis, dapat dipastikan peningkatan harga oleh perusahaan dominan akan terjadi (recoupment) karena pesaing menjadi sedikit dan nyaris tidak memiliki kekuatan. Sehingga consumer loss yang muncul sebagai akibat dari tingginya harga jual produk dibandingkan dari yang seharusnya dapat dijangkau lebih murah atau kuantitas output di pasaran yang jumlahnya lebih rendah dari yang seharusnya konsumen dapatkan menjadi naik. Kerugian konsumen lainnya dengan adanya tindakan penyalahgunaan posisi dominan adalah hilangnya kesempatan konsumen untuk memperoleh harga yang lebih rendah, hilangnya kesempatan konsumen untuk menggunakan layanan yang lebih banyak pada harga yang sama, kerugian intangible konsumen, serta terbatasnya alternatif pilihan konsumen.
4.3.
Pembuktian Penyalahgunaan posisi dominan
KPPU dalam pembuktian dugaan penyalahgunaan posisi dominan, menggunakan pendekatan yang dapat dibagi ke dalam tiga-tahap (3 step process), yaitu: a. Pendefinisian pasar bersangkutan ; b. Pembuktian adanya posisi dominan di pasar bersangkutan ; c. Pembuktian apakah pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tersebut telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan; Berikut adalah skema flowchart proses pembuktian pasal 25:
19
Definisi Pasar Bersangkutan (Tahap I) •
Dalam menentukan ada tidaknya posisi dominan, KPPU akan menetapkan jangkauan atau cakupan dari pasar bersangkutan (relevant market) terlebih dahulu. Penentuan pasar bersangkutan yang tepat diperlukan untuk mendefinisikan ukuran pasar dari sebuah produk. Ukuran pasar ini menjadi penting, karena dapat mengidentifikasi seberapa besar penguasaan produk tertentu dalam pasar tersebut oleh suatu pelaku usaha. Dalam pasar bersangkutan yang cakupan terlalu sempit, maka sangat mungkin pelaku usaha yang menguasai produk tertentu dinilai menjadi pemegang posisi dominan. Sebaliknya apabila definisi pasar produk tersebut cakupannya terlalu luas, maka bisa jadi pelaku usaha tersebut tidak dinilai sebagai pemegang posisi dominan.
•
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 10 Ketentuan Umum UU No.5/1999, pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran 20
tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut. Pendefinisian pasar bersangkutan mengacu kepada Peraturan Komisi Nomor 3 Tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 Angka 10 Tentang Pasar Bersangkutan Berdasarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. •
Pasar bersangkutan terdiri dari dua dimensi, dimensi produk (set of products) dan dimensi wilayah (relevant geographic market). Untuk menentukan produk apa yang termasuk ke dalam pasar bersangkutan, KPPU dapat menggunakan pendekatan elastisitas permintaan dan elastisitas penawaran, melalui analisis preferensi konsumen dengan menggunakan tiga parameter utama sebagai alat pendekatan (proxy), yaitu harga, karakter dan kegunaan (fungsi) produk. Untuk menentukan wilayah mana yang menjadi cakupan geografis dari suatu produk, parameter yang dipertimbangkan adalah kebijakan perusahaan, indikator mengenai biaya dan waktu transportasi, serta tarif dan regulasi.
A. Pasar Menurut Produk •
Pasar produk didefinisikan sebagai produk-produk pesaing dari produk tertentu ditambah dengan produk lain yang bias menjadi substitusi dari produk tersebut. Produk lain menjadi substitusi sebuah produk jika keberadaan produk lain tersebut membatasi ruang kenaikan harga dari produk tersebut. Batasan dari sebuah pasar dapat dilihat dari dua sisi yaitu substitusi permintaan konsumen (demand-side substitution) dan substitusi produsen (supply-side substitution). KPPU akan menggabungkan pendefinisian dari dua sisi pendekatan tersebut.
•
Pendekatan substitusi dari sisi konsumen, KPPU akan mendefinisikan pasar melalui analisis hubungan antara barang/jasa yang diproduksi oleh pelaku usaha yang sedang diinvestigasi dengan barang/jasa substitusi terdekatnya (close substitute). Barang substitusi terdekat tersebut akan dikategorikan dalam pasar bersangkutan yang sama dengan barang yang diinvestigasi, jika konsumen akan mengalihkan pembelian pada barang substitusi terdekatnya jika terjadi kenaikan harga signifikan diatas harga tingkat persaingan (competitive level) pada barang yang diinvestigasi.
•
Substitusi dari sisi produsen juga mempengaruhi batasan atau cakupan pasar bersangkutan. Jika harga barang/jasa yang sedang diinvestigasi naik cukup signifikan di atas harga tingkat persaingan, yang mana akan mengakibatkan pelaku usaha sebuah produk lain mengalihkan fasilitas produksinya untuk memproduksi substitusi terdekat dari barang/jasa yang sedang mengalami kenaikan harga tersebut. Dalam kondisi tersebut, KPPU akan mengkategorikan baik barang yang bersangkutan beserta barang substitusinya ke dalam satu pasar relevan.
B. Pasar Menurut Geografis
21
•
Pasar geografis adalah wilayah dimana suatu pelaku usaha dapat meningkatkan harganya tanpa menarik masuknya pelaku usaha baru atau tanpa kehilangan konsumen yang signifikan, yang berpindah ke pelaku usaha lain di luar wilayah tersebut. Hal ini antara lain terjadi karena biaya transportasi yang harus dikeluarkan konsumen tidak signifikan, sehingga tidak mampu mendorong terjadinya perpindahan konsumsi produk tersebut.
•
Metode yang sama akan diaplikasikan KPPU untuk menentukan cakupan geografis dari sebuah pasar bersangkutan. Jika harga barang yang diinvestigasi naik signifikan di atas harga tingkat persaingan, apakah konsumen dengan mudah dapat mengalihkan pembelian produk yang sama (atau mirip) dari produsen di daerah lain. Jika ya, maka daerah lain tersebut merupakan bagian dari pasar bersangkutan secara geografis.
Pembuktian Posisi Dominan (Tahap II) •
Sesuai dengan Pasal 1 angka 4 dalam Ketentuan Umum UU No.5/1999, posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Dalam kondisi posisi dominan, maka dapat diasumsikan bahwa pelaku usaha yang bersangkutan memiliki market power yang cukup signifikan.
•
Market power adalah kemampuan pelaku usaha untuk menaikkan harga di atas tingkat persaingan namun masih menguntungkan bagi pelaku usaha tersebut. Kemampuan menaikkan harga tersebut menunjukkan bahwa perilaku pelaku usaha dominan bersifat independen dari tekanan persaingan yang dilakukan oleh pesaing pesaingnya. Dengan kata lain pelaku usaha dominan tidak memiliki pesaing yang berarti di pasar bersangkutan. Dengan kemampuan tersebut, maka pelaku usaha dominan dapat melakukan tindakan yang bersifat anti-persaingan sekaligus dapat mencegah masuknya pesaing potensial atau mengusir pesaing dari pasar.
•
Dengan kemampuan menaikkan harga tersebut, keuntungan yang diperoleh perusahaan dominan akan meningkat. Peningkatan keuntungan ini terjadi selain karena harga yang semakin tinggi, juga diakibatkan oleh biaya produksi yang rendah karena pemanfaatan skala ekonomis. Dengan demikian, keuntungan perusahaan dominan yang lebih tinggi dibanding pesaingnya di pasar bersangkutan berimplikasi pada kemampuan keuangan yang juga lebih tinggi.
•
Sebagai perusahaan dominan, produksinya akan lebih besar dibanding pesaingnya di pasar bersangkutan. Dari sisi proses produksi, produksi yang besar akan memerlukan pasokan dan faktor produksi yang juga besar. Pembelian pasokan yang besar dibanding pesaing akan membuat perusahaan dominan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan pasokan. Dari sisi penjualan, produksi yang besar membuat jumlah 22
penjualan perusahaan dominan lebih tinggi dibanding pesaingnya di pasar bersangkutan. Hal ini dapat berakibat meningkatnya kemampuan perusahaan untuk mengatur permintaan barang atau jasa tertentu. •
Dalam menentukan posisi dominan, KPPU akan memperhatikan beberapa batasanbatasan (atau hambatan) yang dimiliki oleh pelaku usaha yang diduga memiliki posisi dominan. Batasan tersebut diduga dapat mempengaruhi independensi perilaku pelaku usaha terhadap tekanan persaingan. Batasan/hambatan tersebut dapat dibedakan atas 3 (tiga) jenis, yaitu i) hambatan dari pesaing yang ada saat ini, ii) hambatan yang berasal dari pesaing potensial, dan iii) hambatan lain misal dari konsumen, ataupun pemasok. Pada prinsipnya, apabila hambatan-hambatan tersebut relatif tidak signifikan, maka posisi dominan yang dimiliki perusahaan akan semakin menguat.
Konsumen / Pemasok
Pesaing di Pasar
Pelaku Usaha
Pesaing Potensial
Posisi Dominan
A. Hambatan dari Pesaing yang Ada Saat Ini •
Persaingan dengan pelaku usaha pesaing yang ada saat ini mengacu pada pelaku usaha yang berada di pasar bersangkutan yang sama dengan pelaku usaha dominan.
•
Untuk mengukur batasan dari pesaing yang sudah ada di pasar dapat dilakukan dengan melihat pangsa pasar pelaku usaha dominan dan pesaingnya. Penggunaan ukuran pangsa pasar didasarkan atas asumsi adanya korelasi positif antara penguasaan pasar dengan market power.
23
•
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, penghitungan pangsa pasar mengacu pada pasal 1 poin 13 yaitu berdasarkan persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.
•
Perilaku penyalahgunaan posisi dominan dapat dilakukan oleh pelaku usaha dominan tunggal (single dominance) maupun beberapa pelaku usaha dominan secara kolektif (collective dominance). Dalam Pasal 25 ayat (2) UU No.5/1999, pelaku usaha dikatakan dominan tunggal jika satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
•
Sementara pelaku usaha disebut dominan secara kolektif jika dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Posisi dominan yang dimiliki oleh dua atau lebih pelaku usaha yang independen terjadi ketika di antara pelaku usaha tersebut terdapat kesamaan penerapan strategi dan kebijakan di pasar. Kesamaan itu dapat terjadi karena adanya hubungan struktural maupun hanya karena mengadopsi kebijakan yang sama. Misalkan para pelaku usaha memberlakukan kebijakan harga yang sama di pasar meskipun tidak memiliki kesepakatan mengenai harga, maka para pelaku usaha tersebut dikatakan memiliki posisi dominan kolektif.
B. Hambatan dari Pesaing Potensial •
•
Batasan atau hambatan yang berasal dari pesaing potensial menunjukkan seberapa besar tingkat hambatan masuk ke dalam pasar (entry barrier). Pelaku usaha di pasar bersangkutan dapat terlindungi dari pesaing potensial jika terdapat tingkat hambatan masuk yang cukup tinggi. Hambatan masuk ini muncul ketika pelaku usaha dominan yang telah ada di pasar memiliki keuntungan-keuntungan (advantages) dibanding pesaing potensial (potential entrant). Dalam kondisi dimana terdapat hambatan masuk yang signifikan, maka dapat diasumsikan bahwa hal tersebut ikut memberikan kontribusi terhadap terbentuknya posisi dominan oleh pelaku usaha tertentu. KPPU akan melakukan analisa terhadap hambatan masuk serta indikator signifikansinya melalui teknik kuantitatif dan kualitatif berdasarkan pendekatan kasus per kasus.
C. Hambatan Lain •
Jika kekuatan yang dimiliki oleh konsumen (buyer power) cukup kuat relatif terhadap perusahaan yang diduga memiliki posisi dominan maka kondisi tersebut dapat mencegah perilaku penyalahgunaannya meskipun perusahaan yang bersangkutan memiliki pangsa pasar yang cukup besar.
D. Penentuan Posisi Dominan
24
•
Penentuan ada atau tidaknya posisi dominan sepenuhnya mengacu kepada pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan batasan pangsa pasar pelaku usaha dominan yaitu sebesar 50% atau lebih untuk satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha dan 75% atau lebih untuk dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha.
•
Dalam kondisi dimana rasio pangsa pasar pelaku usaha yang bersangkutan mencapai lebih dari 50% (individual) dan atau 75% (kolektif), maka dapat dikatakan bahwa kondisi posisi dominan telah terpenuhi.
•
Dalam kondisi dimana rasio pangsa pasar bersangkutan menunjukkan angka dibawah kriteria batasan pangsa pasar tersebut, maka unsur pasal 25 ayat 2 dinyatakan tidak terpenuhi. Dengan demikian, dugaan pelanggaran pasal 25 tidak terbukti.
4.4.
Perilaku penyalahgunaan posisi dominan (Tahap III)
•
Setelah tahapan pendefinisian pasar bersangkutan dan pembuktian posisi dominan, langkah selanjutnya adalah pembuktian perilaku penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha yang bersangkutan. Perilaku pelaku usaha dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan posisi dominan apabila dampak dari perilaku pelaku usaha dominan berpengaruh negatif terhadap proses persaingan (competitive process).
•
Perilaku pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tidak dapat dikatakan sebagai bentuk penyalahgunaan jika perilaku tersebut terkait dengan peningkatan efisiensi, seperti inovasi, skala ekonomis (economies of scale), dan cakupan ekonomis (economies of scope).
•
Secara konseptual, perilaku yang termasuk sebagai penyalahgunaan posisi dominan secara umum dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: o Perilaku yang merugikan konsumen atau pemasok. Perilaku yang merugikan konsumen pada umumnya berupa penetapan harga yang sangat tinggi (excessive high price) . o Perilaku yang bersifat eksklusif. Perilaku yang dapat digolongkan sebagai perilaku eksklusif adalah perilaku yang bersifat anti kompetisi karena membatasi atau menghilangkan persaingan dari pelaku usaha pesaing yang sudah ada (existing competitor) ataupun yang akan masuk ke pasar (potential competitor).
•
Dalam Pasal 25 UU No 5/1999, perilaku penyalahgunaan posisi dominan telah dinyatakan secara eksplisit dalam ayat (1). Pasal 25 ayat (1) UU No.5 Tahun 1999
25
menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) jenis perilaku penyalahgunaan posisi dominan, yaitu: a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. Butir A; Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas •
Perilaku penyalahgunaaan posisi dominan yang terkait dengan penetapan syaratsyarat perdagangan (trading terms) terjadi dalam hubungan ke level hulu-hilir atau terjadi dalam transaksi perdagangan antara pembeli dan pemasok. Penggunaan syaratsyarat perdagangan sebagai sarana untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen untuk memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang bertindak sebagai pembeli (dominant buyer) atau oleh pelaku usaha yang berperan sebagai penjual. Dalam kasus pertama, pembeli dengan posisi dominan dapat melakukan tindakan penyalahgunaan melalui penetapan butir-butir perjanjian (yang merupakan bagian dari syarat perdagangan), seperti mensyaratkan pemasok untuk tidak memasok barang kepada pembeli lainnya. Permintaan ini disertai dengan persyaratan, bahwa pembeli akan mengurangi atau menghentikan pasokan tanpa justifikasi yang jelas (refusal to trade), menahan atau mengubah sistem pembayaran yang telah disepakati sebelumnya sehingga dapat merugikan mitra dagang (pemasok), serta berbagai perilaku tidak menyenangkan lainnya. Dalam kasus kedua, hubungan yang terjadi tetap dalam level hulu-hilir, namun yang terjadi adalah suatu transaksi dimana penjual (dominan) menetapkan syarat-syarat perdagangan agar pelaku usaha yang menjadi pembelinya tidak membeli barang dari penjual yang lain.
•
Adapun dampak dari penetapan syarat-syarat perdagangan sebagaimana butir A tersebut adalah berkurangnya alternatif pilihan bagi (atau menghalangi) konsumen dalam memperoleh produk yang bersaing (berdasarkan harga dan kualitas). Dampak terhadap konsumen tersebut bersifat tidak langsung, sementara dampak langsungnya adalah dengan tersingkirnya pesaing dari pasar karena tidak mendapatkan pasokan (penetapan syarat perdagangan oleh pembeli) atau tersingkirnya pesaing dari pasar karena tidak mendapatkan pembeli (penetapan syarat perdagangan oleh penjual). Dalam kondisi pemasok yang tidak memiliki bargaining power signifikan, penetapan berbagai syarat perdagangan tersebut pada umumnya akan dipatuhi. Hal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kemungkinan dikenakan sanksi dari mitra dagangnya yang dominan, mulai dari yang paling ringan (teguran) sampai pada yang paling berat (seperti pemutusan kontrak jual beli secara sepihak).
26
Pemasok
Trading terms
Pelaku Usaha Dominan
Pelaku Usaha Lain
Pasar bersangkutan
Konsumen
•
Kepatuhan pemasok terhadap penetapan syarat-syarat perdagangan yang diajukan oleh perusahaan dominan terjadi karena perusahaan dominan merupakan perusahaan dengan pangsa pasar yang besar dimana pembelian pasokannya lebih besar dibanding pesaingnya di pasar bersangkutan. Oleh karena itu, pengukuran pangsa pasar di pasar bersangkutan menjadi penting untuk melihat apakah tindakan penetapan syarat-syarat perdagangan tersebut dapat digunakan untuk mencegah konsumen mendapatkan barang dan atau jasa di perusahaan pesaing dengan harga yang sama atau lebih rendah; atau mendapatkan barang dan atau jasa di perusahaan pesaing dengan kualitas yang sama atau lebih tinggi.
Butir B; Membatasi pasar dan pengembangan teknologi •
Perilaku penyalahgunaan posisi dominan dengan membatasi pasar dan pengembangan teknologi adalah suatu konsep yang cukup luas. Dengan mengacu pada penjabaran unsur pasal 25 UU No.5/1999 sebelumnya, membatasi pasar dan pengembangan teknologi berarti suatu bentuk perilaku yang menghambat transaksi perdagangan serta inovasi dan pengembangan barang dan atau jasa di pasar bersangkutan. Kegiatan menghambat tersebut dapat berupa pembatasan produksi perusahaan dominan maupun pembatasan produksi pesaing secara tidak langsung. Yang dimaksudkan dalam kegiatan membatasi pasar di dalam butir (b) ini ditekankan pada perilaku yang mengurangi persaingan dengan pesaing nyata yang sudah ada di pasar (existing competitor). 27
•
Aspek teknologi merupakan salah satu aspek yang seringkali dikaitkan dengan kegiatan inovasi (research and development). Perilaku membatasi pasar dan pengembangan teknologi juga dapat dikategorikan abuse ketika, perusahaan dominan yang telah memiliki paten atas suatu teknologi menolak (secara unfair dan atau di melebihi batasan ketentuan mengenai HAKI) untuk memberikan lisensi pada perusahaan lain. Kondisi tersebut dapat berdampak negatif terhadap iklim persaingan ketika tidak ada perusahaan lain yang mampu memasuki downstream market. Dalam artian teknologi yang dimiliki oleh perusahaan dominan tersebut merupakan satusatunya teknologi untuk memproduksi suatu produk atau tidak memiliki close subtitute. Dengan demikian, selain berdampak entry barrier, berbagai pembatasan tersebut dapat menghambat kegiatan riset dan pengembangan yang dapat berakibat pada rendahnya inovasi produk dan jasa ke depan.
•
Perjanjian Eksklusif (exclusive dealing). Exclusive dealing dapat dikatakan sebagai salah satu perilaku (melalui perjanjian) yang membatasi pasar baik pasar penjualan maupun pasar pembelian. Secara konseptual, perilaku penyalahgunaan posisi dominan ini termasuk ke dalam perilaku eksklusif dengan menggunakan instrumen non-harga. Pada pasar pembelian, pelaku usaha hilir membeli barang dan jasa dari pelaku usaha hulu dengan disertai persyaratan bahwa pelaku usaha hulu tersebut tidak akan menjual barang dan jasanya ke pelaku usaha hilir lainnya sehingga membatasi persaingan. Perilaku ini mirip dengan perilaku pada butir (a), yaitu penetapan syarat-syarat perdagangan. Perbedaannya adalah, pada butir (a), pemasok atau pembeli menjadi pihak yang dirugikan secara langsung, sedangkan pada kasus perjanjian eksklusif ini, pemasok atau pembeli tidak harus dirugikan, melainkan pelaku usaha pesaing. Pada pasar penjualan pelaku usaha hulu menjual barang dan jasa dari pelaku usaha hilir dengan disertai persyaratan bahwa pelaku usaha hilir tersebut tidak akan membeli barang dan jasa dari pelaku usaha hulu lainnya.
•
Penguasaan Input. Contoh lain perilaku penyalahgunaan posisi dominan yang terkait dengan kegiatan membatasi pasar adalah penguasaan input produksi yang merupakan essential facilities. Perilaku ini terjadi ketika pelaku usaha dominan memiliki penguasaan atas input penting dan menolak untuk memasok input tersebut ke pelaku usaha pesaing, sehingga pesaing akan kesulitan mendapatkan input yang berdampak pada meningkatnya biaya produksi. Perilaku demikian dapat dikatakan sebagai perilaku meningkatkan biaya pesaing (raising rival’s cost) secara tidak fair.
•
Praktek Diskriminasi Harga dan Harga Predator Praktek diskriminasi harga adalah penentuan harga yang berbeda untuk barang dan atau jasa yang sama pada waktu dan kondisi yang relatif sama. Praktek diskriminasi harga tidak digolongkan sebagai praktek anti-persaingan jika ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar (self-interest). Kegiatan ini dapat digolongkan sebagai perilaku anti-persaingan jika ditujukan untuk membuat pesaingnya di pasar bersangkutan tersingkir dari pasar. Praktek untuk menyingkirkan pesaing dari pasar dilakukan dengan cara menjual harga yang sangat rendah hingga di 28
bawah biaya produksinya. Praktek ini disebut sebagai perilaku penetapan harga predator (lihat uraian mengenai konsep predatory price sebelumnya). Praktek penetapan harga predator digolongkan sebagai perilaku anti-persaingan karena ditujukan untuk menyingkirkan perusahaan lain yang mampu memberikan tekanan persaingan (competitive pressure) kepada perusahaan dominan. Praktek penetapan harga predator dapat dilakukan secara independen ataupun dikombinasikan dengan praktek diskriminasi harga. Praktek diskriminasi harga dapat digunakan sebagai alat untuk menyingkirkan pesaing dari pasar bersangkutan apabila dikombinasikan dengan penetapan harga predator. •
Pembatasan Vertikal (vertical restraints). Perilaku vertical restraints juga salah satu bentuk pembatasan pasar, seperti territorial restrictions atau territorial confinement, dimana manufaktur yang merupakan pelaku usaha dominan, menspesifikasi area geografik tertentu yang dapat dilayani oleh dealer atau peritel tertentu. Perilaku lainnya seperti: Distribusi selektif dan eksklusif dari manufaktur mampu membatasi jumlah peritel dalam area tertentu, misalnya distributor A hanya menyetujui kesepakatan dengan peritel A untuk memasarkan produknya. Sehingga secara eksklusif hanya peritel A saja yang menjual produk manufaktur A. Kebijakan selektif lain dapat juga berupa pemenuhan atas standard tertentu yang tidak terkait dengan kualitas barang atau kepuasan konsumen. Peritel yang tidak memenuhi standard tersebut tidak diperbolehkan untuk menjual produk manufaktur, sehingga hal ini akan cenderung membatasi jumlah peritel serta dapat juga meningkatkan biaya peritel. Pembagian wilayah pemasaran tersebut bertujuan untuk menghindari/mengurangi persaingan di tingkat ritel (intra brand competition). Dengan adanya berbagai batasan tersebut, perusahaan dominan (manufaktur) dapat menikmati keuntungan yang tidak normal atau excessive profit.
Butir C; Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan •
•
Pelaku usaha dengan posisi dominan memiliki kemampuan untuk membangun dan menyalahgunakan hambatan masuk pasar (entry barrier) yang tidak fair dan anti kompetitif. Terdapat berbagai parameter ekonomi diantaranya skala ekonomis (scale of economics) dan cakupan ekonomis (scope of economics) yang merupakan indikator hambatan masuk. Bentuk penyalahgunaan terhadap hambatan masuk pasar yang unfair oleh pelaku usaha tertentu dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan posisi dominan. Kegiatan pelaku usaha yang berupaya secara fair untuk memanfaatkan secara optimal berbagai keunggulan skala dan cakupan ekonomisnya, tidak dikategorikan sebagai salah satu bentuk penyalahgunaan posisi dominan. Dalam hal ini, tingkat output dan harga dapat dijadikan sebagai indikasi awal. Berbagai upaya pemanfaatan hambatan masuk secara tidak fair dan anti kompetitif akan berakibat pada antara lain pengurangan atau terbatasnya inovasi dan output yang beredar di pasar serta tingginya tingkat harga yang harus dibayar oleh konsumen akhir. 29
•
•
Perilaku penyalahgunaan posisi dominan lainnya adalah perilaku yang bersifat raising rival’ cost, sehingga menjadi disinsentif bagi pelaku usaha pesaing yang akan masuk ke dalam pasar bersangkutan (potential entrant) yang pada gilirannya akan mengurangi persaingan. Misalnya, pelaku usaha dominan telah memiliki akses informasi terhadap sumber-sumber pasokan yang efisien bagi produksinya. Jika pelaku usaha dominan dengan sengaja menghalangi akses pesaing potensial terhadap pasokan yang efisien (murah) secara unfair, sehingga yang tersedia bagi pesaing potensial hanyalah sumber pasokan yang lebih mahal, maka biaya produksi pesaing potensial akan lebih tinggi ketimbang pelaku usaha dominan. Hal demikian dapat mengurangi insentif masuknya pelaku pesaing baru ke dalam pasar. Termasuk dalam perilaku penyalahgunaan posisi dominan adalah mengurangi atau membatasi tingkat utilitas produksi dibanding dengan tingkat supply-demand di pasar. Dengan kata lain, kapasitas produksi yang dimanfaatkan oleh pelaku usaha tidak mencerminkan permintaan konsumen di pasar. Perilaku ini akan mengakibatkan rendahnya jumlah output di pasar sehingga harga akan meningkat. Apabila terdapat pelaku usaha yang potensial untuk masuk ke dalam pasar yang bersangkutan, pelaku usaha dominan akan menambah produksi (utilisasi produksi) sehingga supply bertambah dan harga akan turun untuk sementara. Penurunan harga dan tambahan supply tersebut akan menjadi faktor disinsentif bagi pelaku usaha potensial untuk masuk ke pasar bersangkutan.
4.5.
Dampak penyalahgunaan posisi dominan
•
Konsumen merupakan pihak yang merasakan pengaruh negatif terhadap proses persaingan, baik secara i) langsung (direct effect), maupun ii) tidak langsung (tidak langsung). Dengan demikian, untuk menentukan apakah perilaku perusahaan digolongkan sebagai penyalahgunaan posisi dominan, dampak langsung maupun tidak langsung yang dirasakan oleh konsumen dapat dijadikan indikator awal.
•
Dampak langsung merupakan akibat yang dirasakan oleh konsumen, seperti perilaku yang berkaitan dengan penentuan harga yang terlalu tinggi (excessive price). Dampak tidak langsung merupakan akibat negatif terhadap proses persaingan (competitive process) seperti diantaranya terbatasnya pasokan pesaing dan alternatif jalur distribusi pemasok. Berbagai dampak tidak langsung tersebut pada akhirnya akan merugikan konsumen.
•
Pasal 25 bersifat per se illegal. Dengan demikian, sepanjang unsur-unsur yang diperlukan telah terpenuhi, KPPU akan menyatakan bahwa dugaan pelanggaran pasal yang dimaksud telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Penghitungan serta penyajian dampak penyalahgunaan posisi dominan penyajian dampak tersebut dapat dilakukan untuk bertujuan memperkuat bukti pelanggaran dan penentuan besaran sanksi apabila terbukti melanggar.
•
Terlihat dari uraian sebelumnya bahwa cakupan perilaku penyalahgunaan posisi dominan cukup luas. Sebagian perilaku penyalahgunaan posisi dominan telah diatur dalam pasal tersendiri, seperti perilaku penguasaan pasar (pasal 19), perilaku jual rugi 30
(pasal 20), perilaku perjanjian tertutup (pasal 15), dan pasal lainnya. Perbedaan utama pasal 25 mengenai penyalahgunaan posisi dominan dengan pasal lain terkait adalah penggunaan ukuran pangsa pasar sebagai threshold. Aspek struktur pasar menjadi sangat penting di dalam pasal 25, sehingga pengenaan pasal 25 harus diterapkan secara hati-hati. Semangat yang ingin disampaikan di dalam pedoman ini adalah penerapan pasal 25 dilakukan jika beberapa kondisi berikut ini terpenuhi: o Perilaku penyalahgunaan posisi dominan yang terjadi belum terakomodasi di pasal-pasal lain o Perilaku penyalahgunaan posisi dominan yang terjadi memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap kesejahteraan konsumen.
4.6.
Contoh Kasus Penyalahgunaan Posisi Dominan
Program Geser Kompetitor dalam pemasaran Batu Baterai PT X adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi batu baterai. Dalam menjalankan usahanya, PT X menyalurkan produknya ke gerai-gerai di seluruh Indonesia, termasuk ke pasar tradisional. Terkait dengan distribusi ke gerai/pasar tradisional, PT X membuat perjanjian dengan klausul yang menawarkan diskon sebesar 2 (dua) persen untuk setiap penjualan produk PT X dengan persyaratan gerai/pasar tradisional tidak menjual produk baterai sejenis milik pesaing PT X. Perilaku PT X tersebut diduga melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a yaitu “Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.” Dalam hal ini, kebijakan program geser competitor yang diterapkan oleh PT. X berikut berbagai persyaratan diskon dapat dikategorikan sebagai syarat perdagangan. Adanya kewajiban untuk tidak menjual produk batu baterai pesaing sebagai syarat utama program GSK tersebut merupakan upaya untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen untuk memperoleh produk sejenis yang bersaing. Tahap pertama dari proses pembuktian pelanggaran terhadap pasal 25 adalah penetapan pasar relevan. Berdasarkan kriteria pasar produk, bahwa batu baterai merk C yang didistribusikan oleh Terlapor (PT. X) maupun baterai lain yang didistribusikan oleh pesaing dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis, tipe, maupun kualitasnya. Dilihat dari jenisnya, baterai dapat dibedakan atas baterai Alkaline dan baterai Carbon Zinc atau Manganese (selanjutnya disebut “baterai Manganese”). Masing-masing baterai tersebut memiliki karakteristik dan harga yang berbeda antara satu dengan yang lainnya sehingga masing-masing memiliki segmentasi pasar yang berbeda pula. Bahwa untuk jenis Manganese, baik baterai merk C dan batu baterai pesaing dapat dibedakan atas tipe, kualitas dan atau warna. Bahwa berdasarkan dokumen Terlapor 31
tentang perbandingan harga batu baterai merk C terhadap kompetitor periode Juni 2003, Terlapor mengklasifikasikan produk baterai dan baterai pesaingnya berdasarkan jenis, tipe dan kualitas atau warna sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut ini
Tabel Klasifikasi Produk Baterai Manganese Merk C
Merk lain
Merk lain
R-20 SPW R-20 SPC R-20 BIRU R-20 HIJAU R-20 KUNING R-14 SPW R-14 BIRU R-6 SPW R-6 SPC R-6 BIRU R-6 HIJAU
R-20 HITAM R-20 MERAH R-20 PERAK R-14 HITAM R-14 MERAH R-6 HITAM R-6 MERAH R-6 PERAK
R-20 NEO HITOP R-20 HITOP R-20 PRIMA R-20 HIJAU R-20 KUNING R-14 NEO HITOP R-14 PRIMA R-6 NEO HITOP R-6 HITOP R-6 PRIMA R-6 PELITA
Berdasarkan data tersebut, Terlapor telah mengklasifikasikan produk baterai yang dipasarkannya sedemikian rupa sehingga masing-masing tipe dan kualitas atau warna baterai memiliki pesaingnya masing-masing dan antara tipe atau kualitas baterai yang satu tidak bersaing dengan tipe atau kualitas baterai yang lain. Apabila dilihat dari sisi permintaan, konsumen memandang setiap jenis dari produk baterai memiliki karakteristik atau fungsi dan harga yang berbeda sehingga setiap jenis baterai tersebut memiliki pasarnya masing-masing dimana antara satu jenis baterai dengan jenis baterai yang lain tidak dapat saling menggantikan (substitutable) atau saling dipertukarkan (interchangeable). Bahwa berdasarkan keterangan dari para saksi, pembeli baterai biru tidak akan beralih ke baterai yang lain jika baterai biru tidak tersedia. Dalam kasus ini, pelapor menyampaikan dugaan tentang adanya PGK yang dilakukan oleh Terlapor yang ditujukan terhadap baterai Panasonic, khususnya untuk item single pack AA. Dengan demikian, berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, Majelis Komisi berpendapat bahwa pasar produk yang bersangkutan dalam perkara ini adalah “baterai manganese UM-3 atau R6 biru atau AA blue atau produk yang memiliki kualitas, fungsi dan harga yang setara dengannya Dalam perspektif Pasar Geografis, berdasarkan dokumen dan hasil pemeriksaan terhadap Pelapor, Pelapor menyampaikan dugaan bahwa telah terjadi program diskon batu baterai sejenis di seluruh Indonesia kecuali di wilayah Sumatera. Bahwa Majelis Komisi berpendapat bahwa beberapa faktor dapat digunakan untuk menentukan sebuah pasar geografis. Salah satu dari faktor tersebut adalah actual sales pattern (pola penjualan yang nyata) yang mengacu pada Antitrust Law Development, ABA Section of Antitrust Law, Fifth Edition 2002 Volume I, page 577-578). 32
Mengacu pada actual sales pattern Terlapor, dapat dipetakan pola pemasaran batu baterai, yang membagi wilayah pemasarannya yang terdiri dari Banten, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi dan Kalimantan. Untuk mendukung pola pemasarfan tersebut, Terlapor menggunakan lebih kurang 80 agen untuk wilayah di luar Pulau Jawa. Sebagai informasi tambahan, berdasarkan hasil penyelidikan lapangan yang dilakukan tim KPPU, program sejenis tidak ditemukan di wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Bahwa berdasarkan hasil penyelidikan lapangan dan pemeriksaan, PGK ditemukan di sejumlah grosir dan semi grosir tradisional di wilayah Jawa dan Bali wilayah mana pemasaran atau distribusi produk baterai merk C dikontrol langsung oleh Terlapor. Dengan demikian, berdasarkan fakta-fakta tersebut, Majelis Komisi berpendapat bahwa pasar geografis yang bersangkutan dalam perkara ini adalah sejumlah grosir dan semi grosir tradisional di wilayah Jawa dan Bali. Langkah berikutnya dalam pembuktian pasal 25 adalah mengidentifikasi ada atau tidaknya posisi dominan oleh terlapor dalam pasar bersangkutan. Dari segi pangsa pasar berdasarkan data historis, ternyata PT X menguasai hamper 90 persen pangsa pasar industri barang A secara nasional. Dalam konteks yang lebih spesifik, PT X menguasai sekitar 89 persen pangsa pasar penjualan batu baterai merk C yang menjadi sorotan dalam kasus ini. Dalam pasar relevan, pesaing merk C (terdapat 4 merk pesaing) yang secara kumulatif hanya memiliki pangsa pasar kurang dari 11%. Dengan demikian, PT X dinyatakan memenuhi unsure pasal 25 ayat 2 poin 1 yaitu Pasal 25 ayat (2) huruf a yang berbunyi “Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu keompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.” Dalam kasus ini, majelis komisi berpendapat bahwa substansi program geser competitor dengan pemberian diskon dalam kondisi tidak menjual produk pesaing jelas merupakan tindakan yang anti persaingan. Perilaku PT X menyebabkan para gerai tradisional mengalihkan pembelian (pemesanan pasokan) hanya kepada batu baterai PT. X dan meninggalkan barang sejenis yang diproduksi pesaing PT X. Dampak kebijakan distirbusi PT. X tersebut paling tidak telah menghambat persaingan (lessening competition) melalui penerapan syarat-syarat perdagangan yang mengakibatkan berkurangnya alternative pilihan batu baterai yang tersedia di pasar. Selain hal tersebut, kebijakan distribusi PT. X juga berdampak secara tidak langsung ke para pesaingnya, karena mereka mengalami kesulitan untuk menyalurkan produk batu baterai ke gerai/pasar tradisional. Data dan informasi yang dikumpulkan selama proses pemeriksaan memperkuat keberadaan program tersebut berikut dampak yang mulai dirasakan baik oleh persaing maupun konsumen akhir. Dengan demikian, majelis komisi memutuskan bahwa PT. X berdasarkan pasal 25 ayat 2 dinyatakan telah memiliki posisi dominant dan terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan yang dimilikinya tersebut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 25 ayat 1 poin a.
Penyalahgunaan Posisi Dominan di Pengoperasian Terminal Pelabuhan
33
Penyelenggaraan pelabuhan umum di Tanjung Priok oleh Pemerintah telah dilimpahkan fungsi pelaksanaannya kepada PT. C sebagai BUMN. Dalam pelayanan jasa berupa penyediaan jasa terminal petikemas, PT. C mengikutsertakan PT. A sebagai Badan Hukum Indonesia dalam kerjasama pengelolaan untuk masa konsesi 20 tahun yang diwujudkan dalam Perjanjian Pemberian Kuasa Pengoperasian dan Pemeliharaan Terminal Petikemas di Pelabuhan Tanjung Priok melalui suatu authorization agreement. Klausul 32.4 di dalam authorization agreement tersebut menyatakan bahwa para pihak setuju tidak akan ada pembangunan Terminal Petikemas Internasional lainnya yang dilaksanakan di Pelabuhan Tanjung Priok sebagai tambahan atas Terminal Petikemas I, II dan III sampai throughput di Pelabuhan Tanjung Priok telah mencapai 75% (tujuh puluh lima persen) dari kapasitas rancang bangun tahunan yaitu 3,8 juta Teus. Majelis komisi dalam kasus ini melakukan pendefinisian pasar relevan dengan mengacu baik pada aspek jasa serta geografis. Dalam konteks jasa terminal pelabuhan, aktivitas yang dapat melayani bongkar muat petikemas merupakan transaksi perdagangan antara 2 (dua) pihak, yaitu antara perusahaan pelayaran angkutan petikemas sebagai pengguna jasa ataupun pembeli dengan pihak yang menyelengarakan jasa terminal yang dapat melayani bongkar muat petikemas sebagai penyedia jasa ataupun penjual. Dalam penyelenggaraan jasa terminal yang dapat melayani bongkar muat barang di beberapa pelabuhan nasional dikenal adanya 3 (tiga) karakteristik terminal yaitu terminal konvesional, terminal petikemas internasional dan terminal multipurpose. Terminal konvensional memiliki karakteristik tidak memiliki fasilitas crane petikemas juga secara geografis tidak dapat melayani aktivitas sandar dari kapal-kapal besar dengan daya angkut ribuan Teus, sehingga lazimnya untuk terminal-terminal konvensional hanya melayani aktivitas bongkar muat barang antar pulau atau interinsuler. Terminal petikemas internasional memiliki karakteristik yang baik dari fasilitas crane maupun kondisi geografisnya sangat memungkinkan untuk melayani aktivitas sandar dari kapal-kapal besar dengan daya angkut ribuan Teus, sehingga lazimnya terminal jenis ini melayani aktivitas bongkar muat barang dengan petikemas yang diangkut oleh perusahaanperusahaan pelayaran internasional. Terminal multipurpose merupakan terminal dengan karakteristik disamping dapat melayani aktifitas bongkar muat barang antar pulau atau interinsuler juga dapat melayani aktivitas bongkar muat petikemas yang diangkut oleh perusahaan-perusahaan pelayaran internasional. Berdasarkan pengklasifikasian karakteristik terminal tersebut di atas, maka karakteristik terminal yang dapat dipersaingkan di dalam usaha jasa terminal yang dapat melayani bongkar muat petikemas dalam perkara ini adalah antara terminal petikemas internasional dan terminal petikemas multipurpose, karena keduanya dapat melakukan pelayanan bongkar muat petikemas internasional. Dari sisi geografis, jangkauan atau daerah geografis pemasaran sebagaimana dimaksud dalam definisi pasar bersangkutan di dalam perkara ini, didasarkan atas kedekatan antara wilayah penyedia jasa terminal yang dapat melayani bongkar muat petikemas dengan wilayah tujuan akhir pengiriman barang oleh pengguna jasa terminal yang dapat melayani bongkar muat petikemas dengan beberapa pertimbangan ekonomis. Bahwa bukan merupakan tindakan yang efisien secara ekonomis apabila pengiriman barang oleh 34
pengguna jasa di lakukan melalui terminal yang dapat melayani bongkar muat petikemas yang jauh dari wilayah tujuan akhir pengiriman barang oleh pengguna jasa. Dengan asumsi ceteris paribus, maka wilayah penyedia jasa terminal yang dapat melayani bongkar muat petikemas yang letaknya jauh dari tujuan akhir pengiriman barang oleh pengguna jasa terminal yang dapat melayani bongkar muat petikemas bukan merupakan substitusi dari wilayah penyedia jasa terminal petikemas yang letaknya lebih dekat. Berdasarkan batasan-batasan tersebut diatas, maka pasar bersangkutan dalam perkara ini adalah pasar jasa terminal yang dapat melayani bongkar muat petikemas internasional di wilayah Pelabuhan Tanjung Priok, selanjutnya disebut pasar bersangkutan. Terkait dengan hal tersebut maka pasar bersangkutan dalam perkara ini merupakan pasar bersangkutan jasa terminal yang dapat melayani bongkar muat petikemas internasional di pelabuhan Tanjung Priok. Dalam pasar relevan yang telah ditetapkan terdapat beberapa pelaku usaha penyedia jasa terminal bongkar muat petikemas yang dapat melayani bongkar muat petikemas internasional yaitu PT. A, PT. B, PT. X,dan PT. Y. Berdasarkan data arus bongkar muat petikemas internasional di Pelabuhan Tanjung Priok selama kurun waktu 2002 adalah sebesar 2.210.796 Teus. Dari jumlah tersebut, PT. A menguasai pangsa pasar sebesar 69,53 % dan PT. B menguasai pangsa pasar sebesar 24,93 %. Dalam hal ini, PT. A dapat telah memiliki posisi dominan di Pelabuhan Tanjung Priok, baik dalam arti tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan maupun dalam arti menguasai 50% atau lebih pangsa pasar pada pasar bersangkutan. Data empirik telah membuktikan bahwa PT. A telah menguasai lebih dari 50 % pangsa pasar pada pasar bersangkutan sehingga esensi kepemilikan posisi dominan pada pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terpenuhi. Berdasarkan bukti korespondensi antara PT. A dan PT. B yang ditemukan, terdapat indikasi kuat bahwa kedua perusahaan dominant tersebut telah menyalahgunakan posisi dominannya secara tidak langsung untuk menghambat pelaku usaha lain yaitu PT. X dan PT. Y yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. Dengan demikian substansi unsur penyalahgunaan posisi dominan secara tidak langsung untuk menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan terpenuhi oleh majelis komisi.
35
Bab 5 Aturan Sanksi
Sesuai dengan UU No. 5/1999, KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 25 berupa: Pasal 47 1. Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. 2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 sampai pasal 13, pasal 15 dan pasal 16 dan atau b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan dan atau d. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan atau e. penetapan pembayaran ganti rugi dan atau f. pengenaaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000.00 (duapuluh milyar rupiah) g. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu mulliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). Pidana Pokok Pasal 48 1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.100.000.000.000,00 (seratus milar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan. 2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana serendahrendahnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan. 3. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan. 36
Pidana Tambahan Pasal 49 Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a. Pencabutan izin usaha b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurangkurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau; c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
37
Bab 6 Penutup
Penyalahgunaan posisi dominan merupakan satu kegiatan yang dilarang dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 karena dapat menghambat persaingan usaha. Diharapkan agar pelaku usaha dapat menggunakan Pedoman ini dalam mekanisme bersaing yang lebih fair di pasar. Tidak tertutup kemungkinan bahwa Pedoman ini akan terus disempurnakan seiring dengan perkembangan dunia usaha dan memungkinkannya ditemukan defenisi yang lebih jelas mengenai kejelasan apa yang dimaksud dengan tindakan diskriminasi. Oleh karena itu, kepada setiap orang atau pihak yang dirugikan akibat terjadinya penyalahgunaan posisi dominant oleh pelaku usaha, maka dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor ke alamat di bawah ini. Setiap identitas pelapor akan dirahasiakan oleh KPPU.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Jl. Ir. H. Juanda No. 36 Jakarta 10120 Telp. (021) 3507015, 3507016, 3507043 Fax. (021) 3507008 E-mail.
[email protected] Situs: www.kppu.go.id
38