Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni 2016
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA DALAM DONGENG
(MODEL PEMANFAATAN NILAI DONGENG “SI KELINGKING” BAGI PEMBINAAN KARAKTER ANAK BANGSA) Dr. Didi Yulistio, M.Pd. (
[email protected]) PBSI FKIP Universitas Bengkulu Abstrak. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan nilai-nilai budaya dongeng “si Kelingking” bagi pembinaan karakter anak ba ngsa. Metode penelitian menggunakan analisis isi (content analysis). Sumber data berupa kumpulan cerita versi masyarakat Minangkabau salah satunya “si Kelingking. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi dan instrumen yang digunakan berupa pedoman pencatatan dokumen serta analisis data secara kualitatif. Hasil penelitian bahwa dalam dongeng “si Kelingking” memuat nilai-nilai budaya kehidupan masyarkat, seperti (1) suka berdoa, (2) bersyukur atau berserah diri kepada Tuhan, (3) penyatuan dan pemanfaatan isi alam, (4) gotong royong atau bekerja sama, (5) kasih sayang, (6) penyantun, (7) berbakti kepada orangtua, (8) suka memaafkan, (9) kebijaksanaan, (10) kerja keras, dan (11) ketabahan yang dapat dijadikan model teladan bagi pembinaan karakter anak bangsa agar dapat menjalani kehidupan sesuai tatanan etika moral yang lebih manusiawi. Sebab, nilai budaya ini sebagai hasil hubungan manusia dengan (a) Tuhan, (b) alam, (c) masyarakat, (d) orang lain, dan (e) diri sendiri. Saran dari simpulan penelitian ini bahwa untuk mencapai karakter mulia maka orangtua dan pendidik serta masyarakat perlu bersinergi menanamkan pada anak nilai-nilai budaya kehidupan berperilaku baik ini secara berkesinambungan baik dalam pergaulan ketika di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Kata kunci: Nilai, Budaya, Karakter, Dongeng, Si Kelingking, Anak Bangsa. Pendahuluan Cerita rakyat merupakan salah satu genre sastra lisan lama yang disebut juga dongeng nusantara. Dongeng “si Kelingking”, merupakan salah satu bentuk cerita rakyat yang terdapat dalam sastra lisan Minangkabau. Dongeng si kelingking merupakan salah satu dari beberapa judul cerita rakyat yang telah disusun dan dibukukan dengan judul “Cerita Rakyat Minangkabau”, oleh Dr. Edwar Djamaris yang diterbitkan Pusat Bahasa, Depdiknas, Jakarta, tahun 2001. Oleh karena itu, model kajian atau analisis nilai-nilai budaya cerita si Kelingking ini didasarkan pada data yang bersumber dari buku tersebut atau tidak lagi diperoleh dari informasi lisan tetapi menggunakan dokumen kumpulan cerita rakyat, dongeng sebagai suatu karya tulis yang telah dibukukan penulisnya, yakni seorang pakar sastra lama dan filologi yang telah aktif pada masanya. Memperhatikan penggolongan cerita rakyat versi Minangkabau “Si Kelingking” tersebut termasuk sastra lisan, bentuk sastra lama melayu pengaruh Islam yang berbentuk prosa, yakni dongeng (Lihat Djamaris, 1993b:18). Sesungguhnya cerita rakyat atau dongeng rakyat Minangkabau di atas, memiliki nilai-nilai budaya, ajaran moral, pendidikan atau memiliki pesan-pesan yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat pada masa itu, saat ini, 7
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni 2016
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
dan yang akan datang atau selanjutnya (dulce et utile). Tentu saja pemahaman nilai-nilai budaya kehidupan yang penting, tidak saja hanya ada pada cerita rakyak Minangkabau khususnya dongeng si Kelingking, karena dongeng ini di Indonesia sangat banyak versi dan kesamaan unsurnya dan banyak pula yang memiliki nilai-nilai kehidupan yang baik yang dapat diteladani bagi pembinaan karakter pembaca dan pendengar khususnya dalam pendidikan anak bangsa. Sebagaimana ditegaskan Danandjaya (1986) bahwa dongeng si Kelingking memiliki versi yang beragam dari berbagai daerah di nusantara tetapi tetap memiliki kesamaan dalam tatatan stuktur isi dan kesamaan dalam kesatuan ceritanya. Artinya nilai-nalai yang bermanfaat bagi pendidikan karakter, sikap, dan etika-moral anak bangsa sebagai pengembangan keteladan yang baik dalam kehidupan dapat juga digali dari karya sastra lisan lainnya yang ada di nusantara. Tentu saja, hal ini dapat diperoleh anak baik melalui membaca maupun melalui mendengarkan kegiatan bercerita/mendongeng. Sebagai cerita lisan, dongeng, awal mulanya disampaikan oleh pencerita secara turuntemurun menggunakan tuturan lisan dari mulut ke mulut, bahkan dari orang yang satu kepada orang yang lain yang bukan dalam budaya daerah yang sama. Pendengar dongeng pada awalnya memang bukan sekedar ingin mendapatkan informasi isi cerita atau sebagai obat pelipur lara dan hiburan (intertainment) tetapi bahkan mungkin untuk mendapatkan nilai-nilai pesan peristiwa kehidupan yang baik sebagai model keteladanan yang penting dan berguna bagi kehidupannya. Karya sastra lisan, dongeng tentu saja memiliki pengaruh kuat bagi pengembangan karakter penikmatnya, khususnya anak-anak. Karena karya jenis ini digunakan penceritanya untuk memotivasi, pembangkit semangat, dan penanaman nilai-nilai pesan etika-moral bagi perkembangan karakter pendengarnya selain berfungsi dalam upaya meninabobokan atau pengantar tidur serta sebagai obat pelipur lara atau hiburan. Tentu saja, dalam dongeng mengandung nilai-nilai kehidupan yang baik dan tidak baik. Peristiwa kehidupan ini merupakan pilihan untuk mencapai keberhasilan kehidupan. Kehidupan yang berhasil baik, dalam dongeng biasanya digambarkan melalui tokoh cerita, salah satunya dongeng si Kelingking. Pesan keberhasilan ini dapat dijadikan pemodelan bagi anak bangsa dalam berperilaku secara manusiawi. Keteladanan yang bisa dipetik dari dongeng (termasuk cerita si Kelingking) yakni semua pesan peristiwa kehidupan yang memiliki nilai-nilai perilaku dan karakter yang baik sebagai bagian dari budaya manusia. Sehingga dengan dimilikinya berbagai model peristiwa berbudaya yang bernilai baik (termasuk yang bernilai tidak baik) akan menjadi kekuatan dalam menjalani kehidupan di dunia saat ini dan kehidupan lain setelah kehidupan di dunia. Dengan dimilikinya pengalaman kehidupan seperti model kehidupan yang bernilai baik dapat digunakan sebagai pertimbangan pemikiran jika anak bangsa menghadapi peristiwa yang tidak sesuai dengan etika kehidupan manusia bahkan sebagai penangkal perilaku yang tidak manusiawi. Memperhatikan kondisi masyarakat generasi muda saat ini yang sedang “sakit”, seperti data kenakalan anak muda, generasi penerus bangsa yang dapat kita peroleh dari berbagai media sosial dan jika kita hitung hampir setiap hari ada informasi hal tersebut. Khususnya anak-anak dalam usia sekolah yang berperilaku tidak sesuai tatanan etika-moral kemanusian, jauh dari nilai-nilai kesopanan, dan menyimpang dari norma kemanusiaan. Adanya penyimpangan dan kerusakan perilaku tidak benar pada anak bangsa, maka tidak 8
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni 2016
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
perlu dicari siapa yang salah dan saling menyalahkan tetapi perlu segera dicarikan upaya pencegahan maupun pengobatan (preventif dan kuratif) agar tidak semakin merusak tatanan dan tuntunan etika-moral bangsa ini. Dari sisi nilai pendidikan, dapat diupayakan melalui pemanfaatan nilai-nilai yang terkandung dalam dongeng nusantara salah satunya dongeng di Kelingking sebagai model keteladanan bagi pembinaan karakter anak bangsa diberikan sejak anak dalam usia dini. Berkenaan telaah di atas, maka yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah nilai-nilai budaya dalam dongeng si Kelingking bagi pengembangan dan pembinaan karakter anak bangsa? Kajian Teori 1. Hakikat Cerita Rakyat Cerita dalam prosa rakyat biasanya berkaitan dengan suatu peristiwa dalam kehidupan masyarakat secara turun-temurun yang tidak terjadi sebenarnya dan bersifat lisan serta pada mulanya diceritakan dari mulut ke mulut. Karya sastra lama/tradisional menurut Danandjaja (2004), dikelompokkan dalam tiga tipe folklor, yaitu (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), dan (3) folklor bukan lisan nonverbal folklore). Folklor lisan adalah folklor yang terbentuk murni lisan. Bentuk folklor lisan misalnya bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan rakyat, puisi rakyat, prosa rakyat, dan nyanyian rakyat. Karya sastra lama berbentuk prosa rakyat disebut juga cerita rakyat (folktale, folklore) yang bersifat lisan dan tertulis dengan genre/terdiri atas dongeng, mite, mitos, legenda, fabel, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2005:171; dan Somad, dkk, 2007). Dengan kata lain, yang termasuk dalam genre sastra lama bentuk lisan salah satunya yakni prosa rakyat disebut cerita rakyat atau folklor dengan salah satu genrenya yakni dongeng. Cerita prosa rakyat yang salah satunya disebut dongeng menurut Djamaris (2002:6871), merupakan cerita yang dipercayai tidak pernah terjadi, ceritanya khayal semata. Dongeng digemari masyarakat karena berisi unsur hiburan dan nasihat. Dongeng sebagai bagian kehidupan masyarakat lama menyampaikan nilai ajaran moral dan hiburan. Cerita rakyat “Si Kelingking” termasuk dongeng cerita biasa dalam kelompok karya sastra lama yang bersifat lisan salah satunya versi masyarakat Minangkabau. Dongeng cerita biasa maksudnya dongeng atau cerita rakyat yang tokoh ceritanya manusia. Genre folklor seperti dongeng (folktale) merupakan bagian prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi oleh penuturnya, dan dongeng tidak terikat waktu dan tempat, yang disejajarkan dengan mitos dalam konteks strukturalisme Levi Strauss (Endraswara, 2006. Saat ini masyarakat khususnya generasi muda kurang mengenal sastra lama yang termasuk cerita rakyat (dongeng). Remaja cenderung membaca cerita populer masa kini dibandingkan dengan dongeng. Secara umum masyarakat kita saat ini menganggap rendah cerita rakyat seperti dongeng, dengan alasan yang tidak tepat, yakni (1) menganggap dongeng tidak ada gunanya, (2) ceritanya tidak sesuai dengan kenyataan, (3) hanya bersifat hiburan tidak ada unsur pendidikan, dan (4) hanya untuk anak-anak saja. Gambaran umum tersebut tentu tidak semuanya benar, sebab dongeng justru berperan penting dalam pengembangan karakter anak khususnya yang terkait dengan nilai-nilai pendidikan yang dapat diteladani. Kenyataannya, dongeng justru (a) mengandung nilai budaya atau nilai pendidikan dan nilai moral, (b) tidak hanya bersifat hiburan tetapi juga pendidikan, (c) bukan saja untuk anak-anak 9
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni 2016
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
tetapi untuk semua orang, (d) berupa hipotesis yang perlu pembuktian, (e) konflik disampaikan secara tersirat (implisit) tidak langsung atau hanya simbol, dan (f) tidak mudah hilang karena disampaikan dengan cerita (Djamaris, 1993a). Penting digarisbawahi bahwa cerita rakyat bergenre dongeng nusanatara yang terdapat diberbagai daerah memiliki kesamaan pada kesatuan-kesatuan cerita (tale types) atau unsur-unsur kesatuan cerita (tale motifs) (Danandjaya, 1986: 327). Adanya kesamaan tersebut menunjukkan bahwa pada komunitas yang berbeda-beda sesungguhnya memiliki kesadaran bersama, kesamaan dalam unsur cerita, dan kesamaan sistem pesan. Oleh karena itu, menggali pesan-pesan yang diyakini yang terdapat dalam berbagai dongeng (termasuk cerita si Kelingking) itu menjadi pekerjaan bersama yang mendesak, mengingat pesan-pesan yang bernilai itu berperan penting dalam proses membangun kesadaran dan kecerdasan tiap individu manusia dan keberadaannya sebagai bagian dari komunitas masyarakat. 2. Nilai Budaya dalam Karya Sastra Koentjaraningrat (1985:9-12) mendeskripsikan istilah “budaya” yang berasal dari “kebudayaan” adalah keseluruhan gagasan budi pekerti dan karya manusia yang harus dicapai melalui proses pembelajaran. Konsepsi budaya itu memiliki tiga wujud, yakni (1) wujud ideal, (2) wujud kelakuan, dan (3) wujud fisik. Wujud itu dapat kita sebut sebagai adat tata kelakuan. Bedanya dengan adat, bahwa adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang selalu menjadi angan-angan masyarakat. Perbuatan yang sesuai adat, seperti aturan sopan santun, misalnya kegiatan kondangan dengan memberikan amplop berisi uang kepada orang yang mengadakan resepsi. Salah satu tingkatan adat disebut tingkat nilai budaya. Nilai budaya dapat diartikan sebagai lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Nilai budaya juga dapat berarti budaya yang memiliki wujud nilai. Tingkatan dalam nilai budaya ini merupakan ide-ide yang mengkonsepsikan hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Contohnya kerjasama berdasarkan rasa solidaritas yang besar dalam masyarakat disebut nilai gotong royong. Koentjaraningrat (1985), juga mengegaskan bahwa adanya beberapa konsepsi yang luas dan mungkin kabur juga tetap berakar dalam jiwa manusia sebagai bagian nilai budaya. Karena perbedaan konsepsi, tingkatan ini disebut sistem nilai budaya. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat, mengenai hal-hal yang dianggap amat bernilai. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi tatanan berperilaku dan bertindak dari kelompok manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatannya lebih konkret, seperti aturan khusus, hukum, dan norma-norma, semuanya berpedoman pada sistem nilai budaya ini. Karena telah lama dibawa dalam diri dan mengakar secara individual dari komunitas masyarakat maka nilai budaya ini tidak mudah dihilangkan dalam waktu singkat atau diganti dengan nilai-nilai budaya lain. Dalam sebuah karya sastra yang bernilai tentu saja tidak mudah diganti atau dihilangkan begitu saja bahkan sistem nilai budaya ini dapat bertahan lama dan menjadi simbol yang juga dijadikan model teladan bagi pembacanya. Contoh nilai budaya dalam karya sastra seperti nilai kesabaran, bekerja keras, toleransi, perhatian kepada orang lain dan gotong royong (Koentjaraningrat, 1985). Secara lebih rinci, nilai budaya dikelompokkan berdasarkan 5 (lima) kategori hubungan manusia. Nilai budaya dalam hubungan manusia 10
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni 2016
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
dengan (1) Tuhan, terdapat nilai (a) ketakwaan atau tawakal, (b) suka berdoa, (c) berserah diri kepada kekuasaan Tuhan; (2) Alam, terdapat nilai penyatuan dan pemanfaatan daya alam, menyerahkan pada ketentuan alam, menguasai alam, dan mencari keselarasan dengan alam; (3) Masyarakat, terdapat nilai (a) musyawarah, (b) gotong royong, (c) kepatuhan pada adat, (d) kearifan lokalitas; (4) Manusia lain, terdapat nilai keramahan, kesopanan, kasih sayang atau penyantun, kesetiaan, menepati janji, kepatuhan atau hormat pada orangtua, suka memaafkan, dan kebijaksanaan; (5) Diri sendiri, mencakup nilai kerja keras, kecerdasan (belajar keras), ketekunan, kejujuran, ketabahan, kewaspadaan, dan hemat (Djamaris, 2004). Menelaah nilai budaya karya sastra dongeng, perlu diawali melalui pemahaman tema atau amanat karya tersebut. Scarbach (dalam Aminuddin, 2004: 91) mengemukakan bahwa tema adalah ide yang mendasari suatu cerita atau pangkal tolak pengarang dalam memaparkan cerita yang diciptakan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tema merupakan dasar gagasan utama cerita. Sebagai sebuah gagasan yang ingin disampaikan, tema dijabarkan/dikonkretkan melalui unsur lain seperti tokoh, alur, dan latar. Hal tema dalam cerita rakyat merupakan persoalan khas dengan visi, pengetahuan, imajinasi, dan emosi dalam penyelesaian cerita. Di dalam tema tersirat (secara implisit) tujuan cerita yang memperlihatkan nilai-nilai khusus dan umum, yang disebut ide pokok atau ide cerita (Oemarjati, 1961:54). Terkadang, tema dinyatakan dalam keadaan yang samar-samar di awal dan di akhir cerita sehingga perlu dicari melalui penelitian. Nurgiyantoro (2007:321) menyatakan bahwa amanat adalah pesan yang disampaikan pengarang kepada pembaca. Amanat dalam cerita merupakan pandangan hidup pengarang dan pandangan tentang nilainilai kebenaran yang disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Amanat dapat ditemukan melalui peristiwa yang terjadi dalam cerita. Amanat dalam cerita dapat diketahui secara eksplisit, yakni berupa suatu ajaran atau petunjuk yang dinyatakan langsung dalam cerita. Selain itu, dinyatakan secara implisit, yakni ada dalam cerita dan tidak dapat diketahui dengan jelas. Biasanya perilaku tokoh merupakan sumber utama yang dapat menentukan amanat sebuah cerita. Amanat yang demikian dilukiskan dengan halus, melalui tingkah laku atau watak tokoh yang berperan dalam suatu cerita (Hasjim, 1984:5). Disisi lain, bahwa suatu nilai budaya biasanya bertolak pada pendukung tema dan amanat di dalam sebuah cerita (Koentjaraningrat, 1985). Hoggart (1975:170) menyatakan bahwa suatu cerita (dongeng) selalu disinari nilainilai budaya yang diterapkan. Kemampuan yang dicurahkan pengarang dalam karyanya merupakan permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan tiap-tiap individu dalam struktur masyarakat, tidak terkecuali struktur cerita dongeng si Kelingking versi masyarakat Minangkabau. Dalam dongeng, penggambaran dan khayalan tentang kehidupan manusia memperoleh kebebasan yang mutlak, karenanya sering juga ditemukan hal-hal yang tidak masuk akal, yang tidak mungkin ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memahami kebudayaan masyarakat pemilik/pendukung cerita maka fenomena tersebut, tidak hanya dinilai, apakah cerita yang disampaikan nyata atau tidak, tetapi perlu dilihat bagaimana dongeng (mitos) itu dapat berperan dalam masyarakat sebagai sarana penyampai informasi dan komunikasi, pengembangan pengetahuan, dan pembentukan perilaku bagi kehidupan anak manusia serta bagaimana nilai pesan yang diperoleh mampu membedah hal-hal abstrak ke dalam bahasa yang mudah dipahami anak-anak. 11
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni 2016
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
Pemfungsian nilai-nilai pesan kehidupan dalam dongeng akan membentuk karakter yang kuat dan bermanfaat sebagai sarana penyampai informasi komunikasi yang digunakan untuk memudahkan dalam menggambarkan sesuatu yang abstrak, seperti benda atau makhluk sebagai sebuah pesan mudah dipahami dan diterima. Penggambaran tentang perilaku dan sifat/watak, seperti kejujuran, kesetiakawanan, cerdas, cantik, dan anggun disamakan dengan fenomena alam kehidupan sehari-hari. Misalnya, wajah seorang putri yang cantik, diibaratkan seperti rembulan, rambutnya yang panjang dan bergelombang seperti mayang terurai, matanya yang bercahaya seperti bintang timur (Taslim, 2007: 96). Penggambaran yang demikian membangun imajinasi anak-anak dan mempengaruhi cara pandang mereka terhadap kehidupan nyata secara lebih baik khususnya berkaitan dengan pola pikir dan karakternya (Al-Mudra, 2010). Seto Mulyadi (dalam Kompas.com, 2010) menyatakan bahwa pendidikan moral yang terkandung dalam setiap dongeng atau cerita rakyat sangat lengkap sehingga dapat merangsang emosional dan spiritual anak. Orangtua yang baik perlu menyisihkan waktunya untuk mendongeng buat anaknya. Sebab, melalui kebiasaan mendengarkan cerita, dongeng dari orangtuanya langsung akan mempertajam pemahaman anak khususnya sebagai (1) sarana penyampai informasi dan komunikasi antara anak dan orangtua, (2) upaya dalam membedakan karakter atau sifat jahat dan sifat baik dari tokoh cerita yang ada dalam dongeng, hingga menemukan simpulan perilaku bahwa sifat jahat selalu dapat dikalahkan oleh sifat baik dari tokoh cerita sebagai pesan moral, dan (3) upaya orangtua dalam merangsang kecerdasan emosional dan spriritual anak untuk menggali dan menanamkan nilai karakter pada anak bahwa dalam hidup kita harus berperilaku baik. Sebab, sekecil apapun perbuatan buruk akan dapat diketahui juga. Perbuatan yang baik akan tampak dari sifat/perilaku tokoh cerita yang dapat diteladani anak, seperti berbudi baik, kesetiakawanan, bersahabat, kasih sayang sesama, dengan makhluk lain, alam dan cinta tanah airnya. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Nilai-Nilai Budaya dalam Dongeng “si Kelingking” Penelitian nilai budaya bagi pembinaan dan pengembangan karakter anak bangsa ini dilaksanakan dengan mengangkat model isi cerita rakyat salah satunya dongeng versi masyarakat Minangkabau “Si Kelingking”. Berdasarkan tema, bahwa dongeng “si Kelingking”, sebagai nama tokoh dalam cerita dan sekaligus sebagai judul cerita ini merupakan gambaran seorang anak yang berbakti kepada orangtuanya, suka berbuat kebaikan, selalu bersyukur, tidak sombong, dan tidak rendah diri. Cerita ini memiliki nilai ajaran moral dan pendidikan, agar setiap orang yang dilahirkan ke dunia selalu mensyukuri nikmat, dengan selalu berbuat kebaikan di muka bumi, berbagi kepada sesama, dan taat kepada Tuhan pencipta alam semesta. Hasil penelitian secara lengkap dapat dideskripsikan beberapa nilai budaya penting, yang tertercmin dalam hubungan manusia dengan (1) Tuhan, (2) Alam, (3) Masyarakat, (4) orang lain, dan (5) diri sendiri. Deskripsi secara khusus, sbb: a. Nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan Hubungan manusia dengan Tuhan tergambar dalam beberapa peristiwa seperti (a) Suka berdoa, bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan sangat yakin akan kekuasaan-Nya. Oleh 12
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni 2016
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
karena itu, digambarkan dalam cerita si Kelingking bahwa sepasang suami-istri yang sudah lama tidak memiliki anak, mereka memohon kepada Tuhan untuk dikarunia anak. Suami-istri (dalam cerita sebagai orangtua si Kelingking), terus berdoa dan berserah diri kepada Tuhan terhadap apa yang akan diperolehnya. Karena ketabahan dalam berusaha dan berdoa maka dikabulkan doanya. Hal ini sebagaimana tergambar dalam kutipan berikut: “…sepasang suami-istri. Mereka sudah lama tidak mempunyai anak. Lalu mereka berdoa kepada Allah Taala supaya mereka dikaruniai anak, “Ya, Allah, Ya, Tuhanku berilah kami seorang anak, baik cakap maupun jelek. biarlah …”. “Tidak lama antaranya berputralah mereka.” . Kutipan di atas menggambarkan bahwa sepasang suami istri, yang menginginkan seorang anak, selain berusaha, juga tetap berdoa, dan berserah diri kepada Allah karena mereka percaya bahwa Allah tempat meminta termasuk meminta keturunan, anak yang diidamkan. Dengan ketabahan dan doanya maka Allah mengabulkan permintaannya. Nilai budaya “suka berdoa” ini penting dalam pengembangan kecerdasan moral khususnya pembinaan karakter anak agar dalam hidup selalu berdoa kepada Allah Sang Pencipta. Sebab, Allah Maha mengabulkan semua doa yang dilakukan secar ikhlas dan sabar. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh sepasang suami-istri yang tidak lain adalah orangtua si Kelingking yang memohon untuk diberikan keturuan ketika belum memiliki anak, si Kelingking; (b) selalu bersyukur dan Tawakal, selain berdoa dan bersabar juga terdapat nilai bersyukur dan tawakal atau merima dengan ikhlas apa yang telah diperoleh dan selalu berserah diri dan selalu menjaga hasil doanya, yakni apa yang telah diperoleh itu hal terbaik yang diberikan Allah. Sebagaimana hal ini terungkap dalam teks berikut: “… baik cakap maupun jelek, biarlah tidak apa-apa, apa pun yang diberi Tuhan kami terima saja, sebagai obat di waktu sakit, teman di waktu susah”. “….Anaknya itu hanya sebesar kelingking. maka dinamai anaknya si kelingking”. Teks di atas menggambarkan bahwa kedua pasangan suami-istri itu sangat percaya akan kekuasaan Allah, sehingga dengan diperolehnya seorang anak walaupun hanya sebesar kelingking mereka tetap tabah dan sabar serta senang hati menerimanya. Hal itu tergambar dari rasa syukur dan keikhlasan mereka dalam menerima anaknya yang sangat kecil dengan memberi nama si Kelingking. Nilai budaya bersyukur dan tawakal melatih karakter anak bangsa untuk tetap sabar dan takqwa dalam menerima ujian dan cobaan serta tidak sombong dan serakah tetapi tetap percaya kepada Allah pencipta alam kehidupan. Sebab, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa tentu akan terus berhubungan, berdoa, berserah diri, dan kembali kepada Allah SWT., di alam dunia dan alam kehidupan sesudahnya. b. Nilai budaya hubungan manusia dengan alam Hubungan manusia dengan alam tergambar dalam beberapa peristiwa seperti (a) penyatuan dan pemanfaatan isi alam, sebagaimana tergambar dalam deskripsi hubungan perilaku si Kelingking dan temannya terhadap alam semesta. Alam tempat menyatu dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia secara luas digambarkan dalam bentuk kehidupan di kampung sebagai tempat tinggalnya dan juga hutan serta isinya. Ketika si Kelingking akan pergi ke ladang tebu dan jagung dia juga merasakan kehidupan di hutan sebagai penyatuan dirinya dengan alam. Hal ini juga terjadi ketika mereka, si Kelingking dan peladang jagung
13
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni 2016
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
serta peladang tebu, berburu di hutan dan mendapatkan kijang. Mereka juga memanfaatkan isi alam yakni kijang untuk kehidupannya, sebagaimana teks berikut ini. “Pergilah si Kelingking masuk hutan ke luar hutan. Akhirnya, ia sampai di tempat orang berladang tebu. ….” (hal 102) “….Maka pergilah mereka berburu.” “Setelah agak lama mereka berburu dapat seekor kijang. ….” (hal 104) “….Si Kelingking terus masuk ke ladang jagung itu. Sampai di sana dipatahinya pula jagung orang itu. …. Peladang jagung segera datang… Dibawanya bedil.” “Maka, keluarlah si Kelingking itu di rumpun jagung itu, lalu ia berkata, “Ini saya yang mematahi jagung kamu itu. …. Lalu di pegangnya kepala si Kelingking itu, kakinya diinjaknya,...” Teks kedua menggambarkan bahwa ketika di ladang si Kelingking memanfaatkan ladang jagung dan mencari perhatian agar peladang jagung simpati dan mau berbagi kepadanya dengan cara mematahkan beberapa batang jagung untuk berlindung walaupun ketahuan juga. Nilai budaya tidak baik tentu bukan menjadi model tauladan untuk dipetik, tetapi dengan kecerdasan berpikirnya dapat menangkap pesan yang baik, bahwa dari perbuatan itu engantarkan kedua peladang untuk mau berbagai kepada sesama termasuk bekerjasama dengan si Kelingking untuk menegakkan kehidupan yang lebih baik dengan saling berbagi, tidak kikir, dan menyantuni orang yang tidak mampu. c. Nilai budaya hubungan manusia dengan masyarakat Hubungan manusia dengan masyarakat tergambar dalam beberapa peristiwa seperti (a) bergotong royong, yang dilakukan si Kelingking dengan peladang tebu dan peladang jagung dalam mencari kehidupan dengan bersama berburu untuk menangkap kijang untuk makanan mereka. Hal ini tergambar dalam teks berikut ini. “….Setelah sampai ia di sana berkata si Kelingking, “Kini kita sudah bertiga, baiklah kita pergi berburu”. Maka pergilah mereka berburu.” “Setelah agak lama mereka berburu dapat seekor kijang”. (hal 104) Nilai budaya gotong royong tampak dari kehidupan si Kelingking sebagai gambaran manusia tokoh cerita dan temannya, si peladang tebu dan peladang jagung, sebagai bagian dari masyarakat mereka perlu bekerja untuk mencapai tujuan bersama. Artinya, untuk mencapai tujuan manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi perlu bekerjasama dengan orang lain. Hidup yang baik dapat dicapai apabila dilakukan dengan saling membantu, yang kuat membantu yang lemah, yang kaya harta membantu yang tidak mampu dan miskin. d. Nilai budaya hubungan manusia dengan manusia lain Hubungan manusia dengan manusia lain tergambar dalam nilai-nilai seperti (a) kasih sayang, (b) penyantun, (c) berbakti kepada orangtua, (d) suka memaafkan, (e) kebijaksanaan. Nilai budaya (a) kasih sayang, tergambar dari perilaku pasangan suami-istri (orangtua si Kelingking). Walaupun anaknya hanya sebesar kelingking, tetapi mereka tetap menerima dan merawatnya sebagai titipan Allah SWT. Perhatikan kutipan teks berikut ini. “….Dijaganyalah anaknya itu baik-baik”.
14
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni 2016
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
“Setelah lama bertengkar dan menahan dia supaya tidak pergi, dia tetap mau pergi juga. …. Akhirnya, dibiarkannya si Kelingking itu pergi. Pergilah si Kelingking masuk hutan keluar hutan”. Nilai budaya yang dapat dipetik dari kutipan di atas bahwa dalam kehidupan manusia harus teguh dalam pendirian dan menyayangi sesama manusia terlebih kepada anaknya. Hal yang perlu diteladani, bahwa kasih sayang orang tua si Kelingking kepadanya bagaikan api yang tak kunjung padam. Rasa sayang orangtua kepada anaknya sepanjang hayat dan hal ini dijadikan pegangan oleh si Kelingking untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya dan kepada sesama; Nilai budaya (b) penyantun, tidak digambarkan secara langsung tetapi dideskripsikan secara implisit. Hal ini terlihat dari perilaku tokoh ‘si Kelingking’ yang bertualang mulai dari merusak ladang tebu dan jagung milik orang lain, berburu, masukkeluar hutan, dan mendatangi orang tua “raja emas” yang akhirnya mati karena tidak juga mau berbagi tetapi si Kelingking tetap baik hati. Hal ini terlihat dari teks berikut ini. “Lalu diambilnya emas, intan dan pudi itu. Setelah selasai diambilnya semua, kembalilah ia ke tempat kawannya tadi, disuruhnya kawannya itu memikul emas itu. Setelah sampai di rumah ibunya, sehari dua hari diberinya kawannya itu emas dan disuruhnya pulang. Senanglah hati kawannya itu. Mereka memuji-muji si Kelingking. Si Kelingking sudah kaya raya, tidak ada orang sekaya dia dalam negerinya itu. Malulah raja-raja kepadanya.” (hal 105). “Rupanya orang tua itu raja emas. apa yang dikatakan si Kelingking itu api, rupanya emas semua, dibaliknya intan dan pudi.” (hal 102-105). Nilai budaya yang dapat dipetik bahwa hidup harus bekerjasama dan berbagi. Orang kaya harta harus bersedekah, yakni memberikan sebagian hartanya kepada orang lain yang memerlukan. Nilai yang dapat dipetik bagi pembinaan karakter anak bahwa menyantuni sesama manusia sangat diperlukan agar kita tidak menjadi rakus dan kikir tetapi peduli kepada kemiskinan orang lain. Pelajaran moral ini menekankan bahwa perilaku hidup di dunia ini akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah di alam akhirat; Nilai budaya (c) Berbakti kepada orangtua, tergambar dari perilaku si Kelingking yang berbadan kecil tetapi jiwanya amat mulia dan besar. Ia tidak mau menjadi beban hidup terus menerus dari orangtuannya. Ia juga ingin berbakti kepada orangtuanya, dengan pergi dari rumah untuk mengubah nasib. Hal ini terungkap dari kutipan teks berikut ini. “…., badan anak itu sebesar itu juga, tidak berubah sedikit pun. Anak itu berkata kepada bapaknya, “Beginilah baiknya, Pak, biarlah saya pergi mengubah nasib saya. Meskipun saya tinggal di kampung, apa yang dapat saya lakukan, badan saya kecil ini.””Akhirnya, dibiarkan si Kelingking itu pergi …masuk hutan keluar hutan”. Nilai yang dapat dipetik dari kutipan di atas, dalam hidup harus berjiwa besar tidak rendah diri karena keterbatasan fisik tetapi harus tetap semangat untuk mengubah nasib, termasuk mengubah nasib kedua orangtuanya. Nilai karakter yang dapat dipetik bahwa sebagai anak harus berbuat baik kepada kedua orangtuannya dan orang lain walaupun dalam kekurangan; (d) suka memaafkan, perilaku ini tergambar secara eksplisit, walaupun perbuatan yang dilakukan si Kelingking memberikan gambaran perusak, suka memeras baik kepada si peladang tebu, peladang jagung dan orang tua raja emas, tetapi secara tersirat (implisit) ada maksud lain dibalik itu semua. Secara implisit ia mengingatkan bahwa harta yang kita miliki 15
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni 2016
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
sebagian milik orang lain. Karenanya, dia bertanggung jawab atas apa yang diperbuat dan ia juga suka memaafkan orang lain, seperti kepada peladang jagung dan tebu yang akan membunuhnya bahkan keduanya mengikuti jejaknya. Hal ini terlihat dari kutipan berikut ini. “….Payahlah peladang itu lari, maka minta maaf ia kepada si Kelingking. Berkata si Kelingking, “Saya beri maaf kamu, tetapi ikuti apa yang saya katakan.” “Baiklah”, kata si peladang tebu itu”. (hal 103) “…menjerit-jeritlah si peladang itu. ... menyembah-nyembah... kata si Kelingking, “Mau kamu mengikuti apa yang saya katakan?” Jawab si Peladang itu, “Baiklah”. Kutipan di atas menegaskan bahwa dalam berusaha walaupun dengan cara yang keras tetap harus dilakukan secara manusiawi. Sebagai manusia, kita harus saling memaafkan, perbuatan jahat yang dilakukan seseorang tidak harus dibalas dengan kejahatan tetapi yang terbaik jika sudah meminta maaf maka dimaafkan. Kehidupan ini ada yang mengatur dan memberikan balasan yang sesuai yakni Allah SWT.; Nilai (e) Kebijaksanaan, dilakukan si Kelingking ketika mereka berkelahi dengan peladang yang tidak juga berhasil untuk membunuhnya. Dengan bijaksana si Kelingking yang juga pemaaf, menyuruh peladang melakukan sesuatu jika mau membunuhnya. Hal ini terungkap dalam teks berikut ini. “....Lamalah mereka berkelahi, tetapi si Keliling belum dapat juga ditangkap peladang itu. Maka berkatalah si Kelingking itu, “Sekarang beginilah baiknya, Tuan, bila Tuan benar-benar hendak membunuh saya, lilitlah badan saya dengan kain, kemudian siram dengan minyak tanah, bakarlah badan saya”..... (hal 103) “....Lalu diambilnyalah emas, intan, dan pudi itu. Setelah selasai diambilnya semua, kembalilah ia ke tempat kawannya tadi, disuruhnya kawannya itu memikul emas itu. Setelah sampai di rumah ibunya sehari dua hari diberinya kawannya itu emas dan disuruhnya pulang. Senanglah hati kawannya itu.”.... (hal 105). Kutipan di atas menegaskan bahwa dalam hal apapun (termasuk dalam peperangan) perlu bijaksana dan mau menang sendiri ketika lawan sudah tidak berdaya, termasuk ketika perjuangannya telah berhasil mendapatkan emas maka diberikan sesuai bagiannya. e. Nilai budaya hubungan manusia dengan diri sendiri Hubungan manusia dengan diri sendiri tergambar dalam beberapa peristiwa kehidupan si Kelingking seperti (a) bekerja keras. Si Kelingking, sebagai gambaran manusia yang selalu bersyukur dan menerima takdir Allah, walaupun memiliki kekurangan secara fisik, karena badannya kecil, hanya sebesar kelingking, tetapi dalam menjalani kehidupan tidak rendah diri atau bahkan malas. Sebaliknya, ia menjadi manusia yang bekerja keras, ia tidak pasrah saja tetapi dengan menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk tetap berikhtiar dan berusaha, hal ini terungkap dalam teks berikut ini. “…Pak, biarlah saya pergi mengubah nasib saya,. Meskipun saya tinggal di kampung, apa yang dapat saya lakukan, badan saya sekecil ini”. Kutipan di atas memberikan inspirasi bahwa dalam hidup harus berusaha dan bekerja agar mencapai tujuan kehidupan yang lebih baik. Untuk mencapai kehidupan yang baik harus memiliki keyakinan yang kuat dan memanfaatkan kekuatan yang ada pada dirinya. Nilai budaya (b) ketabahan, terpancar dari pasangan suami-istri, merupakan teladan dalam 16
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni 2016
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
kehidupan. Sebab, mereka menjalani kehidupan dengan tetap berusaha dan hasilnya mereka menerima dengan tabah dan sabar. Mereka tidak mudah kecewa mendapati kenyataan anaknya yang ternyata kecil sebesar kelingking. Nilai ketabahan ini di topang dengan nilai tawakal sehingga memperkuat pribadinya. Hal ini terungkap dalam kutipan teks berikut ini. “Mereka sudah lama tidak mempunyai anak. Lalu mereka berdoa … “Ya Allah, Ya, Tuhanku berilah kami seorang anak, baik cakap maupun jelek,… “ “Tidak lama antaranya berputralah mereka. Anaknya itu hanya sebesar kelingking. …. Dijaganyalah anaknya itu baik-baik”. Nilai budaya yang dapat dipetik, bahwa dalam hidup harus tabah, tidak putus asa, dan kecewa terhadap semua rintangan tetapi perlu upaya mencapai kebaikan dengan berdoa dana berserah diri kepada-Nya.. Dalam hidup harus tetap semangat bekerja, ketabahan, diiringi dengan berdoa, dan hasilnya harus kita terima dengan bersyukur kepada Allah SWT. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian, bahwa terdapat beberapa nilai budaya dalam dongeng si Kelingking yang penting dan bermanfaat bagi pengembangan dan pembinaan karakter anak bangsa. Sesuai tema dan kelima jenis hubungan dalam dongeng terdapat nilai-nilai budaya seperti (1) suka berdoa, (2) bersyukur atau berserah diri kepada Tuhan, (3) kasih sayang sesama, (4) penyantun, (5) balas budi orangtua, (6) kerja keras, (7) suka memaafkan, (8) gotong royong, (9) bijaksana, (10) ketabahan, dan (11) pemerhati dan pemanfaatan lingkungan dan isi alam. Penggambaran nilai-nilai budaya sangat berkaitan erat dengan pola dan sistem kehidupan masyarakat tempat cerita itu tumbuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Djamari (2001) yang menyatakan bahwa nilai-nilai budaya kehidupan di mulai dari (a) hubungan manusia dengan Tuhannya, bahwa dalam setiap perbuatan harus disertai doa, (b) hubungan dengan alam, bahwa manusia harus memanfaatkan alam dan isinya secara santun dan bermoral, (c) hubungan dengan masyarakat yang dilakukan salah satunya dengan bergotong royong, (d) hubungan dengan manusia lain, bahwa dalam kehidupan ini manusia harus berbakti kepada orangtuanya, saling menyayangi, saling membantu dan menyantuni yang tidak mampu, saling memaafkan, dan bijaksana dengan sesama, dan (e) hubungan dengan diri sendiri yang harus dikendalikan sesuai nilai-nilai budaya, seperti harus bekerja keras, dan tabah dalam menghadapi semua rintangan kehidupan sebagaimana gambaran kehidupan masyarakat Minangkabau yang tercermin dalam dongeng si Kelingking ini. Koentjaraningrat (1985) menegaskan bahwa budaya sebagai suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya ini terbentuk dari berbagai unsur yang kompleks termasuk unsur tatanan nilai dalam sistem agama, polikik, adat-istiadat, bahasa, perkakas, pakaian adat, bagunan ada, dan juga karya seni. Khususnya, dalam cerita dongeng si Kelingking versi masyarakat Minangkabau maka hal ini sebagai cerminan nilai-nilai budaya masyarakatnya yang dapat diteladani sebagai dasar pembinaan karakter anak bangsa dalam menjalani kehidupan. Nilai karakter yang dapat dipetik bahwa untuk mencapai tujuan kehidupan yang berhasil harus (a) mendekatkan diri (berdoa) kepada Tuhan pencipta alam dan isinya, (b) mengolah dan memanfaatkan alam beserta isinya, (c) bekerja sama dalam masyarakatnya, (d) saling berbagi
17
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni 2016
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
dan kasih sayang dengan sesama secara manusiawi, dan (e) pengendalian diri dalam mencapai tujuan kehidupan dengan sabar, bekerja keras dan tabah menerima cobaan. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai budaya dalam cerita dongeng “si Kelingking” mencakup nilai (1) suka berdoa, (2) bersyukur atau berserah diri kepada Tuhan, (3) penyatuan dan pemanfaatan alam dan isinya, (4) kasih sayang, (5) penyantun, (6) berbakti kepada orangtua, (7) suka memaafkan, (8) bijaksana, (9) gotong royong, (10) bekerja keras, (11) ketabahan, yang penting bagi pembinaan karakter anak bangsa secara manusiawi, khususnya dalam pemodelan hubungan manusia dengan (a) Tuhan, (b) alam, (c) masyarakat, (d) orang lain, dan (e) diri sendiri. Sebab, manusia dalam kehidupannya tidak dapat hidup tanpa berhubungan dengan sesama, dengan mahluk lain, dan alam serta dirinya sendiri bahkan senantiasa bergantung khusunya kepada sang penciptanya, Allah SWT. Saran dari simpulan penelitian ini bahwa untuk mencapai karakter mulia maka orangtua dan pendidik serta masyarakat perlu bersinergi menanamkan pada anak nilai-nilai budaya kehidupan berperilaku baik ini secara berkesinambungan baik dalam pergaulan ketika di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Nilai budaya berkarakter mulia tersebut seperti dalam hidup harus berdoa dan berserah diri kepada Tuhan, harus memperlakukan alam dan isinya secara santun, bekerjasa sama dalam masyarakat secara baik, saling berbagi dan kasih sayang kepada sesama, dan pengendalian diri sendiri agar mencapai tujuan hidup secara lebih baik. Daftar Pustaka Ahmad, Arabi, dkk. 1983. Sastra Lisan Aceh. Jakarta: Pusbinbangsa Depdikbud. Al-Mudra, Mahyudin. 2010. Mewariskan Cerita Rakyat Nusantara di Tengah Pluralisme Budaya Indonesia. http://www.ceritarakyatnusantara.com. (diunduh, 10 Juni 2016). Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra: Bandung: Sinar Baru Algensindo. Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti Press. Djamaris, Edwar. 1993a. Sastra Daerah di Sumatera: Analisis Tema, Amanat, dan Nilai Budaya. Jakarta: Balai Pustaka. ---------. 1993b. Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka. ---------. 2001. Cerita Rakyat Minangkabau: Dongeng Jenaka, Dongeng Berisi nasihat, Suatu dongeng berisi pendidikan moral dan budaya. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. ---------. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Endraswara, Suwardi. 2006. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala Ikram. Hasjim, Nafron. 1984. Hikayat Jaket Digantung. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud. Hoggart, Richard. 1975. “Contemporary Culture Studies: An Approach to the Study of Leterature and Society” In Malcolm Bradbury and David Palmes (Ed). Contemporary Criticsm. London: Edwars Arnold. Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Kompas.com. 2010. Moral Dongeng Rangsang Kecerdasan dan Spiritual Anak. http://kompas.com (Online). Rabu, 10 November 2010. (Diunduh, 22 Juli 2016).
18
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni 2016
Jurusan PBS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Mendalo Darat, 5 Agustus 2016
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ---------. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Oemarjati, Boen S. 1961. Satu Pembicaraan Roman Atheis. Jakarta: Gunung Agung. Somad, Adi dkk. 2007. Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia untuk Kelas X SMA/MAProgram IPA dan IPS. Jakarta: Depdiknas. Yanti, Prima Gusti, Sukardi, dan Ummul Qura. 2014. “Muatan Budaya dalam Dongeng Bidadari”, dalam Laporan Hasil Penelitian. Jakarta: Uhamka.
19