Dr. Abid Rohmanu, M.H.I.
JIHAD
DAN BENTURAN PERADABAN: Identitas Poskolonial Khaled Medhat Abou El Fadl
Pengantar: Masdar Hilmy, M.A., Ph.D.
JIHAD DAN BENTURAN PERADABAN: Identitas Poskolonial Khaled Medhat Abou El Fadl © Dr. Abid Rohmanu, M.H.I. Reviewer : Prof. Akh. Muzakki, M. Phil., Ph.D. Kata Pengantar : Masdar Hilmy, M.A., Ph.D. Editor : Dr. Aksin, M. Ag. Setting / Layout : Ruslan Desain Cover : Hendra Cetakan I: Desember 2015 Diterbitkan oleh Q-MEDIA Dabag No. 52C Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta bekerjasama dengan Subdit Penelitian, Publikasi Ilmiah, dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Abid Rohmanu Jihad dan Benturan Peradaban: Identitas Poskolonial Khaled Medhat Abou El Fadl / Abid Rohmanu Yogyakarta: Q MEDIA Cet. 1., 2015, 14,5 x 22,5 cm; xx+228 hlm.
ISBN: 978-602-71599-7-6
Kata Pengantar
KATA PENGANTAR
D
alam kajian ilmu-ilmu sosial humaniora, seorang ilmuwan dapat dengan mudah terjebak, terpeleset, atau bahkan terjatuh ke dalam sikap reduksionisme akademik yang tidak perlu ketika hasil-hasil penelitiannya tidak mere presentasi kan secara tepat tentang apa yang tengah dikajinya. Dalam kondisi semacam ini, karya atau hasil penelitian yang dihasilkan mengalami – apa yang sering saya sebut sebagai – krisis representasi kebenaran. Artinya, karya yang dihasilkan mengalami per soalan dalam hal presisi dan akurasi makna. Temuan-temuan akademik dan iii
Jihad dan Benturan Peradaban
proposisi-proposisi teoretik yang diajukan dalam karya semacam ini mengalami kelemahan mendasar sebagai bagian dari proses akademik yang wajar (appropriate academic enterprise), yakni melencengnya kebenaran dari ujaran-ujaran atau argumentasi akademik yang dia bangun. Pertanyaannya adalah, mengapa seorang ilmuwan, peneliti atau sebuah hasil karya akademik mengalami krisis representasi kebenaran? Apa dan bagaimana dampak sistemik dari problem reduksionisme akademik tersebut? Bagaimna kiat-kiat agar kita terhindar dari problem reduksionisme akademik dimaksud? Faktor pertama yang dapat menyebabkan reduksionisme akademik adalah terjadinya prosesproses metodologis-akademik yang salah. Yang dimaksud dengan proses akademik di sini adalah serangkaian kegiatan akademik mulai dari pengumpulan data, analisis data hingga pengambilan kesimpulan akhir. Jika ada yang salah pada salah satu dari seluruh rangkaian akademik tersebut pasti akan berakibat pada kesalahan kesimpulan akhir. Tidak sedikit peneliti dan atau ilmuwan mengalami persoalan di tingkat ini, sehingga mereka memiliki analisis yang tidak tepat tentang realitas obyektif yang tengah diamati. Dalam konteks ini, tema radikalisme dan terorisme agama merupakan salah satu tema yang paling rawan terjadi reduksionisme akademik akibat kesalahan di tingkat pertama ini. Sebagai akibatnya, pembacaan para ilmuwan dan peneliti tentang realitas radikalisme iv
Kata Pengantar
agama tidak dapat merepresentasikan realitas atau kebenaran yang sesungguhnya. Hal demikian menjadi ancaman, bukan saja terhadap realitas akademik yang tengah diamati, tetapi juga bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara keseluruhan. Kesalahan dalam mengambil kesimpulan memiliki dampak efek domino (multiplier effects) yang panjang. Efek domino tersebut muncul, misalnya, ketika hasil-hasil penelitian – yang mengandung kesalahan – kemudian ditindaklanjuti menjadi kebijakan negara yang konkret. Terkait dengan hal ini, sudah banyak hasil atau temuan penelitian yang mengalami reduksionisme akademik terkait dengan realitas radikalisme Islam. Salah satu contohnya adalah pemahaman yang keliru tentang konsep, ideologi dan modus penyebaran radikalisme Islam. Sebab yang kedua adalah sikap menggeneralisasi atas realitas yang diteliti berdasarkan apa yang sudah pernah diteliti pada masa-masa sebelumnya. Dalam diskursus ilmu-ilmu sosial, sikap semacam ini disebut sebagai sikap esensialisme kultural. Yakni, kecenderungan ”menghakimi” apa yang dilihatnya dengan menggunakan kerangka teoretik yang sudah dimilikinya. Akibatnya, seseorang cenderung memiliki prasangka (prejudice) terhadap obyek kajian yang tengah diteliti. Misalnya, seorang ilmuwan cenderung memiliki sikap negatif terhadap komunitas tertentu akibat hasil penelitian yang dia peroleh pada masa sebelumnya. v
Jihad dan Benturan Peradaban
Dalam konteks kajian Islam Indonesia, misalnya, kita dapat menjumpai banyak kajian yang dilakukan secara serampangan tanpa ada bangunan metodologis dan epistemologis yang memadahi.1 Hal demikian tentu saja berbahaya jika kemudian dikonsumsi oleh orang lain yang tidak memiliki background knowledge yang cukup tentang tema dimaksud. Salah satu contohnya adalah hasil-hasil penelitian yang secara serampangan mengelompokkan para politisi PKS dalam satu ”kantong” dengan tokoh-tokoh radikalisme semacam Abu Bakar Ba’asyir, Imam Samudra, Amrozi, dan semacamnya. Selain itu, ada juga sejumlah ilmuwan – terutama ilmuwan asing – yang menganggap pesantren dan madrasah di Indonesia sebagai sarang teroris. Hal demikian terjadi karena ada hasil-hasil penelitian yang mengasosiasikan antara pesantren/madrasah tertentu dengan ideologi radikalisme Islam. Pengasosiasian ini tidak lantas mengandaikan hubungan yang resiprokal di antara keduanya, karena mayoritas pesantren dan Lihat, misalnya, karya-karya yang ditulis oleh Sadadand Dhume, seorang mantan kolumnis di Far Eastern Economic Review, seperti “Indonesian Democracy’s Enemy Within,” The Asian Age, 25 January 2006. Dalam artikel ini, Dhume melakukan generalisasi akademik yang serampangan ketika menyamakan antara PKS dan JI (Jemaah Islamiyah), antara Abu Bakar Ba’asyir dan para politisi PKS, dan seterusnya. Juga, lihat, Rohan Gunaratna, Inside Al-Qaeda: Global Network of Terror (London: Hurst and Company, 2002). Gunaratna, yang tidak memiliki background knowledge yang cukup tentang Islam di Indonesia, cenderung memukul-rata antara organisasi teroris bawah tanah seperti JI dengan MMI, FPI, HTI, dan semacamnya. 1
vi
Kata Pengantar
madrasah di Indonesia mengajarkan paham atau ideologi Islam moderat. Memang kita tidak bisa menampik kenyataan bahwa terdapat lembaga pendidikan Islam (pesantren dan madrasah) yang menjadi breeding ground bagi ideologi radikalisme dan jihadisme. Namun demikian bukan berarti bahwa semua pesantren atau madrasah dapat dikelompokkan sebagai tempat bersarang dan berkembang-biaknya ideologi radikalisme-terorisme tersebut. Kondisi yang sama juga berlaku dalam pemaknaan tentang sejumlah konsep kunci dalam ideologi radikalisme Islam seperti jihad. Akibat pemaknaan yang tidak tepat tentang kata ini, sebagian kalangan cenderung mengartikan jihad sebagai perang suci. Padahal jika ditelusuri secara semantik, penggunaan istilah jihad pada masa-masa awal sejarah Islam tidak memiliki kaitan sama sekali dengan kekerasan atau perang (qita>l). Pengalaman sejarahlah yang membentuk pemaknaan jihad yang reduksionistik tersebut, dari kata yang bermakna ”sungguh-sungguh” menjadi ”perang suci”. Jika reduksionisme akademik tersebut hanya berlangsung secara teoretik mungkin tidak menjadi soal. Yang lebih kompleks lagi adalah jika kesalahan pemahaman atas realitas yang ada berimplikasi pada lahirnya sebuah kebijakan negara. Keadaan semacam ini sungguh berbahaya bagi keberlangsungan peradaban yang dapat merugikan salah satu pihak atas penerapan vii
Jihad dan Benturan Peradaban
kebijakan yang salah tersebut. Contoh yang paling nyata kebijakan yang salah akibat kesalahan pemahaman adalah kebijakan Amerika Serikat (AS) dalam perang terhadap terorisme (war on terrorism). Kebijakan ini terbukti telah banyak melahirkan korban tidak berdosa di kalangan masyarakat sipil. Belum lagi jika kita melihat bagaimana AS menerapkan kebijakan internasional terkait dengan lalu-lalang orang dari dan ke negara adidaya tersebut. Petugas imigrasi sering salah tangkap akibat pengetahuan mereka yang dangkal tentang realitas radikalisme Islam yang begitu kompleks. Mereka selalu menggunakan hasil-hasil penelitian yang tidak autoritatif sebagai pijakan untuk melahirkan sebuah kebijakan. Di Indonesia, kebijakan war on terrorism diterjemahkan sebagai aksi penanggulangan terorisme melalui pendekatan keamanan (security approach) an sich. Penggunaan pendekatan ini semata jelas tidak akan mampu membasmi ideologi radikalisme agama, karena ia adalah realitas yang sangat kompleks. Dibutuhkan akumulasi berbagai pendekatan untuk menghentikan pertumbuhan dan pengembangbiakan ideologi radikalisme Islam. Untunglah, negara segera menyadari kekeliruannya dan melengkapi pendekatan keamanan dengan pendekatan deradikalisasi melalui Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT). Reduksionisme akademik tidak hanya terjadi di kalangan ilmuwan atau Islamis terkait dengan berbagai viii
Kata Pengantar
istilah dan konsep radikal, tetapi juga berlaku dalam hal tesis benturan antar-peradaban (clash of civilization thesis). Sebagai sebuah konsep teoretik, tesis benturan antar-peradaban tentu saja layak diapresiasi sebagai temuan akademik mutakhir yang dapat menjelaskan konfigurasi peradaban ummat manusia berdasarkan pada peta kehidupan beragama dan berkeyakinan. Namun demikian, pemahaman yang salah atasnya dapat menyebabkan sikap reduksionistik di kalangan para pemeluk agama-agama yang berbeda. Lebih buruk lagi, pemahaman yang salah atas tesis benturan peradaban bahkan dapat memantik sikap self-fulfilling prophecy (sikap membenarkan dan mengambil bagian terhadap pemahaman tersebut) di kalangan penganut agama-agama. Memang pada awalnya tesis benturan peradaban dilahirkan dari dunia akademik oleh seorang ilmuwan politik, Samuel P. Huntington.2 Namun pada tahap selanjutnya ia merambah ke ruang publik dan segera diamini oleh sebagian kalangan ummat beragama, terutama ummat Islam. Sebagai sebuah konsep, tesis benturan peradaban sebenarnya bebas untuk dikritisi dan diperdebatkan di ruang-ruang akademik. Namun demikian, tesis tersebut segera menjadi pembentuk opini publik di kalangan non-akademisi yang pada tahap berikutnya membentuk pola pikir, pola sikap dan Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and Remaking of World Order (New York: Simon & Schuster Paperbacks, 1996). 2
ix
Jihad dan Benturan Peradaban
pola tindak sebagian kalangan Muslim tanpa terlebih dahulu mempelajari dan mengkritisi konsep tersebut. Akibatnya, tesis benturan peradaban menjadi konsep yang diterima begitu saja secara taken for granted, tanpa sikap kritis dan tanpa revisi. Belakangan, tesis benturan peradaban telah menjelma menjadi sebuah truisme yang dipegangi oleh sebagian kalangan Islamis di dunia Islam, terutama di Indonesia, seperti Abu Bakar Ba’asyir. Kebanyakan tokoh Islamis lalu membenarkan bahwa sekarang umat Muslim tengah berada pada fase benturan peradaban dengan dunia Barat. Mereka berargumen bahwa segala produk pemikiran Barat seperti demokrasi, HAM, toleransi dan kebebasan beragama adalah produk pemikiran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan, oleh karena itu, harus diperangi. Kemunculan sikap resisten semacam ini, sekali lagi, dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan mereka tentang ration d’etre dan penjelasan memadahi tentang tesis benturan peradaban tersebut. Dalam konteks mewaspadai gejala reduksionisme akademik seperti tergambar di muka, buku ini hadir di tengah-tengah pembaca. Buku yang ditulis oleh Dr. Abid Rohmanu, seorang ilmuwan muda dari STAIN Ponorogo ini diharapkan dapat mengurai berbagai kesalahpahaman khalayak tentang radikalisme Islam dalam konteks benturan peradaban melalui analisisnya yang serius-mendalam tentang jihad dan teori benturan antar-peradaban. Sebagai bagian dari upaya meluruskan x
Kata Pengantar
berbagai miskonsepsi banyak pihak tentang radikalisme Islam dan benturan peradaban, kehadiran karya akademik ini, karena itu, layak diapresiasi. Semoga karya ini memberikan manfaat untuk para pembaca dan kita semua. Amin… Surabaya, 26 Oktober 2015. Masdar Hilmy, MA., Ph.D. Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
xi
Jihad dan Benturan Peradaban
xii
Kata Pengantar
PENGANTAR PENULIS Colonialism divided the world into the civilised and the uncivilised, and declared that the white man’s burden was to civilise the world, by force if necessary. It projected the exact same paradigm upon Islam. Accordingly, orientalists, who were often in the service of colonial powers, claimed that Islam divided the world into two abodes. They presumed that Muslims wished to convert the whole world, by force if necessary, to Islam. In reality, it was the coloniser, and not the colonised, that had adopted a missionary or crusading attitude vis-a-vis the other.1
B
uku1 ini pada dasarnya ingin mengeks plorasi bagaimana pandangan Khaled Medhat Abou El Fadl berkaitan dengan relasi jihad dan benturan peradaban (the clash of civilizations). Tema dan relasi ini menurut penulis cukup menarik seiring dengan merebaknya ideologi keagamaan puritan yang sering kali mengabsahkan tindakan kekerasan atas nama jihad untuk merealisasikan agenda Abou El Fadl, “The Orphans of Modernity and the Clash of Civilizations” Roger Boase (ed.), Global Dialogue: Religious Pluralism and the Pursuit of Peace (Burlington: Ashgate, 2010), 179. 1
xiii
Jihad dan Benturan Peradaban
keagamaan dan politik mereka. Sementara itu kalangan Barat, dengan munculnya beberapa peristiwa terorisme yang puncaknya peristiwa 11 September, memberikan penilaian dan penegasan terhadap kebenaran tesis Samuel P. Huntington. Karena itulah mengangkat tulisan dan pendapat yang meng-counter jihad kelompok puritan, dan sekaligus kelemahan tesis tentang benturan peradaban menjadi penting untuk menyemaikan dan menyuburkan kembali dialog peradaban. Selain itu, berdasar eksplorasi di atas, buku ini juga berkepentingan untuk melihat identitas intelektual poskolonial Abou El Fadl. Selama ini Abou El Fadl yang dikategorisasikan sebagai pemikir progresif yang tinggal di Barat sering dinilai sebagai pemikir yang pro Barat. Padahal sebagai bagian dari komunitas muslim yang secara umum terhegemoni oleh kekuatan Barat, Abou El Fadl menunjukkan “ke-lain-an” (otherness) yakni identitas intelektual poskolonial sebagai resistensi terhadap hal tersebut. Hanya saja identitas poskolonial Abou El Fadl tentu mempunyai kekhasan selaras dengan pengalaman, background sosial-budaya, dan tentu posisinya sebagai “muslim diaspora”. “Tiada gading yang tak retak”, buku ini tentu menyisakan kekurangan dan kelemahan, dan karenanya kritik yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan buku di kemudian hari. Akhirnya, buku yang merupakan hasil penelitian ini bisa hadir di hadapan pembaca karena bantuan dan motivasi banyak pihak. Karena itu penulis sampaikan xiv
Kata Pengantar
banyak terima kasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama R.I. yang telah mendanai penerbitan buku ini lewat Progam Bantuan Dana Publikasi Tahun Seleksi 2015 Tahun Anggaran 2015. Ucapan terima kasih juga kami haturkan kepada Prof. Akh Muzakki, Ph.D. yang telah me-review draft awal buku ini dan Masdar Hilmy, M.A., Ph.D. yang telah memberikan kata pengantar terhadap buku ini, dan Dr. Aksin, M.Ag. yang telah memberikan saran perbaikan untuk kelayakan naskah buku ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Ketua STAIN Ponorogo, Dr. Hj. Siti Maryam Yusuf, M..Ag. dan segenap jajaran Wakilnya, Ketua Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo, Dr. H. Luthfi Hadi Aminuddin, M.Ag., dan semua kolega di Jurusan Syariah. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. H. Abdul Mun’im, Direktur Program Pascasarjana STAIN Ponorogo dan teman-teman di lembaga tercinta ini yang tidak bisa kami sebut satu persatu. Terakhir rasa terima kasih penulis persembahkan kepada keluarga penulis, Antis Rachmayanti, S.Sos. (Istri), Fawwaz Rosihan Fahmi, Fernas Roihan Fikri, Farik Ramadan Fahim, Fatiya Rihana Firzani (anak-anak) kepada mereka yang telah mengalirkan spirit perjuangan hidup. Royal Bukit Asri, 2 Desember 2015 Dr. Abid Rohmanu, M.H.I.
xv
Jihad dan Benturan Peradaban
TRANSLITERASI ARAB INDONESIA
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص
ARAB INDONESIA
ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ء ئ
` b t th j h} kh d dh r z s sy s}
xvi
d} t} z} ‘ gh f q k l m n w ‘ y
Kata Pengantar
DAFTAR ISI Kata Pengantar....................................................... iii Pengantar Penulis................................................... xiii Transliterasi............................................................ xvi BAB I PROBLEM RELASI JIHAD DAN BENTURAN PERADABAN....... 1 A. Mengurai Problem............................................ 1 B. Fokus, Tujuan dan Signifikansi......................... 12 C. Kajian Literatur................................................ 14 D. Perspektif Metodologis...................................... 25 BAB II JIHAD, BENTURAN PERADABAN DAN WACANA POSKOLONIALISME.. 33 A. Problem Konseptual tentang Makna Jihad....... 34 B. Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Poskolonial......................................... 49 1. Tesis Benturan Peradaban........................... 49 2. Jihad dan Tesis tentang Benturan Peradaban 57 3. Jihad, Benturan Peradaban, dan Wacana Poskolonialisme............................................. 67
xvii
Jihad dan Benturan Peradaban
BAB III JIHAD DAN BENTURAN PERADABAN DALAM PERSPEKTIF ABOU EL FADL 79 A. Kritik Konstruktif Konsep Jihad ...................... 80 1. Puritanisme Muslim: Perkawinan Wahabi-Salafi.............................................. 80 2. Menjernihkan Konsep Jihad........................ 90 a. Kritik Terhadap Barat dan Puritanisme Muslim tentang Jihad.............................. 90 b. Jihad sebagai Prinsip Moral-Spiritual...... 108 B. Membongkar Hegemoni di Balik Wacana tentang Jihad dan Benturan Peradaban............ 114 1. Jihad dalam Konteks Interaksi Muslim dan Nonmuslim........................................... 114 2. Dikotomi Da>r al-Isla>m dan Da>r al-H>{arb...... 122 3. Jihad, Hegemoni Barat dan Benturan Peradaban.................................................... 130 BAB IV IDENTITAS POSKOLONIAL ABOU EL FADL.................................... 151 A. Konteks Sosial Pemikiran: Menelusuri Komunitas Epistemik Abou El Fadl ................. 152 B. Identitas Poskolonial Abou El Fadl ................. 166 1. Diaspora Muslim......................................... 167 2. Identitas Poskolonial Abou El Fadl ............ 173
xviii
Kata Daftar Pengantar Isi
BAB V SIMPULAN: JIHAD, BENTURAN PERADABAN DAN IDENTITAS POSKOLONIAL ABOU EL FADL....... 185 A. Simpulan........................................................... 185 B. Rekomendasi..................................................... 189 Daftar Pustaka........................................................ 191 Glosarium............................................................... 207 Daftar Indeks......................................................... 219 Tentang Penulis...................................................... 225
xix
Jihad dan Benturan Peradaban
xx
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
BAB I
PROBLEM RELASI JIHAD DAN BENTURAN PERADABAN
J
A. Mengurai Problem ihad adalah konsepsi fiqhiyah yang yang bersifat plastis dan paling banyak disalahpahami, tidak saja oleh nonmuslim, akan tetapi juga oleh sebagian umat Islam sendiri. Dunia Barat, misalnya, memberikan penilaian bahwa jihad adalah identik dengan perang suci (holy war)1 dalam rangka mengaplikasikan dakwah qahriyah dan dalam rangka memperluas teritori muslim. Penilaian Barat terhadap Lihat, Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1988), 72-73. 1
1
Jihad dan Benturan Peradaban
konsepsi jihad ini tidak terlepas dari pemahaman mereka terhadap tradisi dan praktek jihad dalam bentangan kesejarahan muslim yang sarat dengan “pengaliran darah”. Lebih jauh, rentetan aksi-aksi teror di Barat sering kali dilekatkan dengan doktrin jihad yang dilakukan oleh muslim puritan. Peristiwa 11 September 2001 misalnya yang merupakan aksi teror terbesar di Amerika dan aksi teror di Perancis yang menewaskan 129 orang pada 13 November 2015 dinilai sebagai simtom dan indikator benturan peradaban antara Islam dan Barat.2 Jihad, walaupun diakui mempunyai banyak varian makna, dalam kaca mata Barat lebih dilihat sebagai perang suci (holy war). Penamaan perang suci didasarkan pada alasan bahwa perang tertentu didasarkan pada perintah Tuhan sebagaimana teks-teks keagamaan menyatakan demikian. Terma ini kemudian dalam bahasa Agama diterjemahkan dengan kata ‘jihad”. Klaim bahwa Islam adalah agama universal, kemudian harus ditegakkan dan diimplementasikan dengan jihad dengan tidak mengenal batas waktu dan teritorial. Kewajiban jihad akan terus dikumandangkan sehingga dunia akan menerima Islam atau tunduk dibawah kekuasaan Islam. Sejarah awal Islam yang dipenuhi dengan upaya penaklukan negara-negara nonmuslim turut meneguhkan perspektif yang berkembang di Javaed Rehman, Islamic States Practices, International Law and The Threat From terrorism: A Critique of the Clash of Civilizations in the New World Order (Oxford: Hart Publishing, 2005), 1. 2
2
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
dunia Barat.3 Sebagaimana agama merupakan motivasi yang paling kuat dalam perilaku manusia, jihad merupakan “kata” yang paling ditakuti di dunia Barat. Tindakantindakan terorisme atas nama agama sebagaimana peristiwa 11 September 2001 merupakan bukti nyata kekuatan jihad di mata Barat. Jihad kemudian juga banyak dipersandingkan dengan konsep “terorisme”. Menurut Barat, sejarah awal Islam memberikan preseden munculnya terorisme kontemporer terhadap, utamanya, nonmuslim. Terorisme dinilai berakar pada kelompok asasin, yakni kelompok beragama fanatik yang berkeyakinan bahwa bentuk ibadah yang utama adalah membunuh mereka yang menyeleweng dari akidah.4 Bentuk terorisme awal yang muncul pada ranah politik ini kemudian dinilai berkembang dengan menjadikan masyarakat sipil, bukan penguasa, sebagai target dan pelaku diperkenankan mati bukan karena musuh, akan tetapi mati dengan tangan sendiri (suicide terrorist). Usai perang dingin (cold war), dalam perkembangannya, perang Barat terhadap terorisme tidak dinilai sebagai perang terhadap kelompokkelompok keagamaan puritan, akan tetapi perang agama dan peradaban Yahudi-Kristen dengan agama dan peradaban Islam. Unsur agama merupakan penyokong Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam beragama (Bandung: Mizan, 1998), 283. 4 Bernard Lewis, The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror (New York: The Modern Library, 2003), 144-145. 3
3
Jihad dan Benturan Peradaban
utama peradaban. Konflik yang terjadi di tingkat global menurut penyokong “benturan peradaban” lebih disemangati oleh budaya dan peradaban dengan agama sebagai titik sumbunya, sementara faktor ekonomi dan politik hanya bermain pada wilayah pinggiran saja. Perang terhadap terorisme itu kemudian dinamakan dengan, Global War on Terrorism, (G-WOT,5 diucapkan dengan “jee what”) yang mempunyai kemiripan pronounsasi dengan “jihad”. Perang terhadap terorisme global dengan legitimasi teori “benturan beradaban” (the Clash of Civilizations) ini memberikan dampak luar biasa terhadap keamanan global. Dengan sokongan teori ini, Barat dinilai absah untuk menyerang kelompok-kelompok atau negaranegara muslim tertentu yang dinilai berpotensi berseberangan dengan sistem nilai dan peradaban Barat. Masyarakat sipil tak berdosa pun sering kali menjadi korban perang Barat terhadap terorisme global. Berdasar perhitungan sebagian pihak, sejak peristiwa 11 September, kematian warga sipil di Irak, Afghanistan dan Pakistan di tangan para pemberontak, kekuatan Amerika Serikat dan NATO mencapai hampir satu juta manusia, dan tiga juta warga sipil mengungsi. Perang terhadap terorisme global Barat juga tidak terbukti bisa meredakan tindakan terorisme global, akan tetapi sebaliknya. Perlawanan terhadap terorisme Lihat, Centre of Excellence Defence Against Terrorism, Ankara, Turkey (ed.), Legal Aspect of Combating Terrorism (Sarajevo: IOS Press, 2008), 142. 5
4
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
global dengan strategi pre-emptive strike (serangan dini)6 justru menimbulkan kebangkitan terorisme baru sebagai bentuk balasan atas serangan Barat terhadap kelompok dan wilayah-wilayah muslim. Berdasar kajian Rand Corparation terhadap 648 mantan teroris menyimpulkan bahwa 43 persen mengakhiri aktivitas terorisme mereka setelah mereka dilibatkan dalam proses-proses politik, 40 persen karena pengawasan polisi dan pengadilan pidana, dan hanya 7 persen yang bisa dihancurkan dengan kekuatan politik.7 Berbeda dengan perang melawan komunisme yang hanya bersifat defensif, dan perang yang disifati dengan “dingin”, perang Barat melawan “terorisme Islam” dilakukan secara ofensif. Mereka menerapkan strategi pre-emptive strike (serangan dini) dan defensive intervention. Serangan dini Barat ditujukan kepada kelompok dan negara-negara yang dinilai membela dan melindungi kelompok teroris, apalagi negara yang dimaksud mempunyai senjata-senjata berbahaya, Pre-emptive strike adalah tindakan “menyerang lebih dulu/ serangan dini” yang dapat dilakukan oleh organisasi internasional atau suatu negara terhadap negara lain yang dianggap telah melakukan kesalahan, seperti menggangu stabilitas politik internasional atau pelanggaran terhadap perjanjian internasional (seperti pelanggaran HAM dan lainnya). Terdapat tiga model pre-emptive strike, yaitu ekonomi (embargo ekonomi), politik (soft diplomacy), dan militer (perang). Setelah peristiwa Black September (11/09/2001), Mantan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, kembali memberlakukan kebijakan militer ini. 7 Muqtedar Khan, “Tujuh Tahun Setelah “Perang Melawan Teror”, http://www.commongroundnews.org/ (Akses, 5 Desember 2015). 6
5
Jihad dan Benturan Peradaban
seperti senjata-senjata biologis, kimia dan nuklir. Serangan dini ini dibahasakan secara lugas dengan “membunuh tikus di lubangnya”, sehingga tikus tidak mempunyai kesempatan untuk berkembang dan menyerang.8 Banyak pihak menilai bahwa kebijakan politik global Barat terhadap Islam, khususnya pada era George W. Bush, sangat dipengaruhi oleh ide yang dikembangkan oleh Samuel Huntington tentang benturan peradaban (the Clash of Civilizations).9 Tatkala konsep jihad lebih banyak diaplikasikan dalam bentuk perang fisik terhadap nonmuslim Barat, Barat membuat justifikasi konflik dan perlawanan terhadapnya dengan tesis Huntington tentang benturan peradaban. Huntington dan kawan-kawannya dari kalangan ilmuan dalam wadah neo-konservatif terus berkampanye agar negaranegara Barat mengikuti jejak AS dalam memperlakukan Islam sebagai alternatif musuh utama Barat pasca perang dingin. Neo-Konservatif AS ini dinilai sangat berpengaruh terhadap pola kebijakan luar negeri AS terhadap Islam.10 Pelita Online, “Perang Melawan Terorisme Masih Perlu Dilanjutkan”?, http://www.pelitaonline.com/ (Akses, 14 Desember 2011). 9 Lihat, Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Touchstone Books, 1998). 10 Hendrajit, “Membaca Ulang Samuel P. Huntington dan Memahami Blueprint Politik Luar Negeri Kaum Neo-Konservatif Pemerintah George Bush”, dalam http://www.nu.or.id/ (Akses, 5 Desember 2015). 8
6
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
Di Barat pun, teori Huntington sebenarnya banyak menuai kritik. Richard W. Bulliet misalnya, menyatakan bahwa peradaban Barat modern sebenarnya berakar pada Islamo-Christian Civilization. Ini tentu merupakan anti tesis dari Judeo-Christian Civilization sebagai akar peradaban Barat modern. Bulliet menyatakan bahwa peradaban Islam dan Barat pada dasarnya mempunyai akar historis dan sosiologis yang sama. Karena itu konflik antara Islam dan Barat merupakan konflik dari unsur-unsur peradaban yang sama. Konflik ini dimotori oleh anggapan Barat bahwa ada sesuatu yang salah pada Islam dan Umat Islam.11 Mindset yang terbangun di Barat, umumnya, adalah bahwa nilai-nilai yang dipersepsi bersifat positif oleh umat Islam menjadi negatif bagi persepsi Barat. Nilai-nilai yang dikandung oleh ajaran jihad misalnya, banyak dipersepsikan secara negatif.12 Dalam wacana poskolonial, dunia ketiga, Menurut Bulliet masa lalu dan masa depan Barat tidak bisa dipahami secara baik tanpa apresiasi terhadap relasi kedua peradaban, utamanya mengacu pada masa kejayaan Islam. hal yang sama juga berlaku untuk memahami peradaban Islam. Bulliet dalam hal ini tidak menyebut Yahudi sebagai bagian dari peradaban bersama. Ini disebabkan antara lain karena hubungan antara umat Kristen Eropa dan umat Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara lebih intens dan konstruktif daripada hubungan dengan umat Yahudi. Walaupun dengan pendapatnya ini bisa saja ia dituduh sebagai anti Yahudi. Richard W. Bulliet, The Case for Islamo-Christian Civilization (Columbia: Columbia University Press, 2004), 45. Lihat juga, Azyumardi Azra, Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslimin: Dari Australia Hingga Timur Tengah (Jakarta: Hikmah, 2007), 56. 12 St. Sularto, Haji Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad dan Pluralisme (Jakarta: Gramedia, 2004), 49. 11
7
Jihad dan Benturan Peradaban
termasuk negara-negara muslim, selalu diletakkan dalam posisi subaltern13 yang penuh dengan kelemahan, dan kewajiban Barat untuk membantu mengatasi kelemahan tersebut. Teori benturan peradaban sebagai sebuah cara menjelaskan relasi Islam dan Barat pada gilirannya mempunyai implikasi pada konsepsi mereka terhadap konsep jihad. Manifestasi Islam, termasuk jihad, yang sesungguhnya cukup beragam kemudian dipandang secara monolitik.14 Aplikasi jihad sebagaimana dikembangkan oleh kelompok puritan dinilai sebagai representasi dari doktrin dan ajaran Islam yang bersifat universal. Bahkan, jihad juga dikaitkan dengan terorisme. Padahal jihad mempunyai cakupan yang sangat luas dan tidak terlepas dari visi Islam sebagai agama kedamaian. Jihad misalnya, mendorong umat Islam untuk mempunyai etos yang tinggi sembari tidak melupakan kepekaan dan kepedulian sosial.15 Karena itulah, pada gilirannya, jihad dan tesis tentang benturan peradaban menjadi wacana yang diperdebatkan di Dunia Barat, tidak saja antara kalangan nonmuslim, akan tetapi juga melibatkan muslim di Barat sebagai Subaltern adalah subyek yang tertekan. Ini sebagaimana judul buku Gayatri Spivak, Can the Subaltern Speak (New York: Columbia University, 2010). Buku ini merupakan gugatan Spivak terhadap status perempuan yang dinilai subordinatif di depan budaya patriarkhi yang dominan. 14 Javaed Rehman, Islamic States …, 4. 15 Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006), 423. 13
8
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
respon terhadap pandangan Barat yang dinilai bias. Di sisi lain, tesis tentang benturan peradaban (the Clash of Civilizations) pada dasarnya kontra produktif bagi penyemaian wacana dan praktek dialog peradaban. Wacana tentang dialog antara Islam dan Barat (Kristen) berangkat dari keyakinan bahwa keduanya pada dasarnya mempunyai kesamaan dalam nilainilai keagamaan dan keduanya juga mempunyai akar kesejarahan dan keagamaan yang sama. Pemahaman tentang hal ini akan membawa pada iklim interaksi antar peradaban yang sehat menuju terciptanya tatanan kehidupan global yang penuh dengan harmoni, dibandingkan dengan tesis benturan peradaban yang dinilai banyak pengamat sebagai memperuncing perbedaan antara Islam dan Barat.16 Berdasar hal di atas, buku ini akan bertujuan menguak lebih jauh bagaimana muslim diaspora memahami relasi jihad dan benturan peradaban. Relasi antara jihad dan benturan peradaban dalam konteks pemikiran Islam di Barat sekaligus merupakan respon Di Barat sendiri, tesis tentang benturan peradaban banyak menuai protes karena tidak sesuai dengan prinsip dialog antar peradaban. Pangeran Charles (Putra Mahkota Kerajaan Inggris), misalnya, menolak dengan tegas tesis tentang benturan peradaban. Ia justru menekankan aspek persamaan antara Islam dan Barat, dan menyatakan bahwa Islam punya andil besar pada masa lalu terhadap pencapaian Barat sekarang. Sementara itu Ronan Herzog, Presiden Jerman, mengambil inisiasi muktamar di Ibukota Berlin untuk dialog antara peradaban Islam dan Barat. Lihat, Mahmud Hadi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Global, Terj. Abdullah Hakam Syah (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), 85, 87. 16
9
Jihad dan Benturan Peradaban
terhadap stigmatisasi jihad sebagai pengabsahan penggunaan kekerasan, dalam konteks wacana dan tesis benturan peradaban. Salah satu metode yang penulis pakai dalam melihat wacana jihad dan benturan peradaban adalah dengan melihat bagaimana konsepsi jihad dan relasinya dengan benturan peradaban muncul dari komunitas “muslim diaspora” yang dalam buku ini akan difokuskan pada sosok Khaled Abou El Fadl. Abou El Fadl adalah pemikir muslim yang dinaturalisasikan menjadi warga negara Amerika. Abou El Fadl dinilai banyak kalangan sebagai otoritatif untuk berbicara tentang Islam, khususnya hukum Islam. Pemahamannya tentang Islam tidak saja berkutat dalam bingkai normativitas teks, akan tetapi juga menggunakan pendekatan kesejarahan. Abou El Fadl juga sering terlibat pada kajian-kajian tentang relasi Islam dan Barat. Ada beberapa alasan mengapa tulisan ini memilih Abou El Fadl dalam melihat wacana jihad dan benturan peradaban. Pertama, bahwa ia adalah pemikir muslim yang tinggal di Barat yang mencoba memadukan tradisi keilmuan Islam dan Barat. Pemikir seperti ini sering kali dinilai sebagai pro Barat, padahal sebagai bagian dari muslim minoritas, Abou El Fadl mempunyai identitas sebagai hasil perjumpaan budaya, negosiasi bahkan identitas menolak kesewenang-wenangan terhadap jati diri. Kedua, pada dasarnya Abou El Fadl mempunyai konsen pada kajian relasi Islam dan Barat yang utamanya lewat hukum Islam yang menjadi spesifikasinya. Abou 10
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
El Fadl dalam hal ini mewakili komunitas “muslim diaspora”17 yang mencoba melakukan adjusting traditional Islamic norm to American context.18 Ketiga, selain konsen pada relasi Islam dan Barat, Abou El Fadl banyak berbicara tentang jihad sebagai respon terhadap fenomena terorisme keagamaan. Selain itu, dengan perspektif teori poskolonialisme,19 buku ini pada dasarnya juga bertujuan untuk mendeskripsikan identitas poskolonial Abou El Fadl sebagai “muslim diaspora” yang bergulat dengan wacana-wacana keislaman yang muncul dari pengamat Islam di Barat. Identitas poskolonial dalam tulisan ini lebih dilihat sebagai negosiasi wacana, yakni resistensi dan adaptasi yang dilakukan Abou El Fadl dalam Muslim diaspora dalam tulisan ini menunjuk pada masyarakat muslim yang menyebar dan melakukan migrasi ke negara-negara lain, utamanya Barat. Mereka kemudian menjadi komunitas minoritas (muslim minoritas) yang biasanya mengalami kehidupan yang sulit karena harus beradaptasi dengan budaya dan peradaban setempat. Pada awalnya istilah ini menunjuk pada kaum Yahudi yang menyebar di Israel. Lihat, Diaspora Yahudi, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Diaspora_Yahudi (Akses, 14 Desember 2011). 18 Sebagaimana dikutip oleh Imam Mawardi dalam “Fiqh al-Aqalliyyat: Rekonsiderasi Maqa>s}id al-Shari>’ah tentang pemberlakuan Hukum Islam Bagi Masyarakat Minoritas Muslim” Ringkasan Disertasi (Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2009), 1. 19 Pendekatan poskolonial dalam studi-studi keislaman dan sosial masih jarang dipakai, karena poskolonial pada awalnya merupakan bagian dari kajian teks dan sastra. Di antara yang memakai pendekatan ini dalam kajian keagamaan adalah Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial “Gereja Suku dalam Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKiS, 2004). 17
11
Jihad dan Benturan Peradaban
menyuarakan Islam di Barat. Abou El Fadl dalam menghadapi wacana Islam (jihad) dari para orientalis, ditambah posisinya sebagai muslim minoritas, tentu Abou El Fadl menunjukkan sebagai “yang lain” (otherness) sembari melakukan negosiasi-negosiasi wacana sehingga Islam bisa diterima di Barat. Identitas poskolonial Abou El Fadl pada dasarnya menunjuk pada identitas intelektual hibrida sebagai perpaduan antara tradisi intelektual Islam dan perjumpaannya dengan tradisi intelektual Barat. Bagaimana identitas intelektual hibrida ini mengejawantah dalam pemikirannya tentang konsep dan praktek jihad dalam relevansinya dengan tesis tentang benturan peradaban merupakan pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri. B. Fokus, Tujuan dan Signifikansi Jihad mempunyai cakupan makna yang tidak tunggal (makna perang), bahkan dalam kehidupan kontemporer makna jihad diarahkan pada upaya developmentalisme. Akan tetapi, mengapa jihad di dunia Barat seringkali dijadikan simtom dari benturan peradaban. Masalah ini kemudian dirinci sebagai berikut: 1. Bagaimana relasi jihad dan benturan peradaban dalam perspektif Abou El Fadl? 2. Bagaimana relasi jihad dan benturan peradaban tersebut dibaca dalam konteks identitas poskolonial Abou El Fadl sebagai bagian dari muslim diaspora di Barat? 12
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
Masalah dalam buku ini dibatasi pada isu tentang konsep jihad dan tesis tentang benturan peradaban (the clash of civilizations). Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan untuk menyinggung isu-isu lain selama masih berkaitan dengan topik buku. Kajian juga difokuskan pada pemikiran Abou El Fadl, sementara pemikiran tokoh yang lain, utamanya pemikir Barat, dimaksudkan hanya untuk memperkaya wacana. Pemikiran tentang tema ini diambil dari karya-karya yang terbit pasca peristiwa 11 September 2001. Setiap buku hasil dari penelitian tentu mempunyai tujuan dan signifikansi dalam penulisannya. Tujuan penulisan buku ini adalah: pertama, mengungkap pemikiran Abou El Fadl tentang bagaimana relasi jihad dan benturan peradaban. Pemikiran tersebut sekaligus dilihat sebagai respon Abou El Fadl terhadap kelompok Islam puritan dan kelompok fundamentalisme Barat dalam melihat jihad sebagai simtom dari benturan peradaban antara Islam dan Barat. Kedua, membaca pemikiran Abou El Fadl tentang Jihad dan benturan peradaban dalam konteks identitas poskolonial Abou El Fadl sebagai bagian dari muslim diaspora di Barat. Sementara itu, signifikansi kajian dalam buku ini berkisar pada: Pertama, Memberikan penilaian secara kritis terhadap pengaitan jihad dengan tesis tentang benturan peradaban. Selain menampilkan pemikiran tentang reaktualisasi konsepsi jihad, buku ini diharapkan juga bisa mempertimbangkan kembali 13
Jihad dan Benturan Peradaban
validitas tesis tentang benturan peradaban, dan selanjutnya bisa berkontribusi terhadap iklim tata interaksi global yang bersifat harmonis. Kedua, buku ini juga diharapkan bisa memberikan gambaran tentang prototype kajian keislaman yang dilakukan oleh muslim diaspora dan insider (baca: Abou El Fadl) sebagai bagian dari identitas poskolonial. C. Kajian Literatur Kajian dan studi terhadap pemikiran Abou El Fadl telah dilakukan oleh beberapa sarjana. Ini sekaligus merupakan bentuk pengakuan dan apresiasi terhadap pemikiran keislaman Abou El Fadl. Di antara kajian tersebut adalah penelitian tesis Fitriana Firdausi di UIN Sunan Kalijaga yang berjudul Kritik Khaled M. Abou El Fadl terhadap Penafsiran Islam Puritan tentang Ayat-Ayat Relasi Perempuan dalam Keluarga. Penelitian ini diarahkan pada karya-karya Abou El Fadl (library research) untuk mencari jawaban tentang, pertama, bagaimana muslim puritan menafsirkan ayat-ayat tentang relasi perempuan dalam keluarga, kedua bagaimana kritik Abou El Fadl terhadap penafsiran tersebut, serta bagaimana evaluasi atas kritik Abou El Fadl.20 Dengan analisa kritis dan pendekatan historis, Firdausi sampai pada kesimpulan bahwa pendekatan Fitriana Firdausi, Kritik Khaled M. Abou El Fadl terhadap Penafsiran Islam Puritan tentang Ayat-Ayat Relasi Perempuan dalam Keluarga (Tesis: UIN Sunan Kalijaga, 2011). 20
14
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
yang digunakan muslim puritan dalam menafsirkan ayat-ayat tentang relasi perempuan bercorak literal tanpa ada pemahaman yang lebih mendalam, alih-alih bercorak takwili. Sementara itu, tafsir terhadap ayat dan hukum menurut Abou El Fadl semestinya bercorak kontekstual dengan menjadikan realitas sosial sebagai basis bagi kemungkinan perubahan hukum.21 Yang menjadi catatan dalam penelitian ini adalah belum adanya evaluasi atas kritik Abou El Fadl terhadap penafsiran ayat-ayat relasi perempuan dalam keluarga dalam tesis ini sehingga masih terkesan bersifat deskriptif saja terhadap pemikiran Abou El Fadl. Berikutnya adalah penelitian Ihab Habudin yang berjudul Kontruksi Gagasan Feminisme Khaled M. Abou El Fadl. Penelitian ini mengambil tiga tema pokok dari pemikiran Abou El Fadl, yakni kritik atas fatwa bias gender, kritik hadis misoginis, dan sifat dasar serta peran perempuan dalam Islam. Berdasar penelitiannya terhadap tiga tema pokok tersebut, Habudin sampai pada kesimpulan bahwa kontruksi gagasan feminisme Abou El Fadl menunjuk pada upaya pembelaan, liberasi dan persamaan perempuan. Hal ini tak lepas dari basis metodologis Abou El Fadl, yakni hermeneutis feminis yang sensitif terhadap persoalan otoritas, keberwenangan, dan relasi antara teks, pengarang dan pembaca.22 Ibid. Ihab Habudin, Konstruksi Gagasan Feminisme Islam Khaled M. Abou El Fadl (Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, 2009). 21 22
15
Jihad dan Benturan Peradaban
Kajian tentang jihad bisa disebut di antaranya adalah disertasi Muhammad Chirzin yang dibukukan dengan judul Kontroversi Jihad di Indonesia; Modernis VS Fundamentalis mengupas persoalan jihad dalam bingkai tafsir, bukan fikih. Chirzin melakukan studi komparasi tafsir ayat-ayat jihad dalam Kitab Tafsir al-Mana>r karya Muhammad Rashi>d Rid}a> dan Tafsi>r fi> Z}ila>l al-Qur’a>n karya Sayyid Qut}b. Keduanya mewakili kubu modernis dan fundamentalis yang sangat berpengaruh terhadap corak pemikiran di Indonesia. Studi perbandingan ini diharapkan mampu menghasilkan konsepsi jihad yang lebih komprehensif dan bisa direlevansikan dalam konteks keindonesiaan yang plural. Di sisi lain, dengan menggunakan corak penafsiran tah}li>li (analitis), Chirzin mencoba menakar kehandalan corak penafsiran ini dan diharapkan akan membuahkan implikasi teoritik bagi bangunan Ilmu Tafsir.23 Tim Pusat Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (PuSDeHAM), melakukan penelitian terkait dengan pengaruh dari tragedi Bom Bali terhadap penolakan atau dukungan terhadap jihad dengan model kekerasan dan teror. Partisipan penelitian ini adalah kyai dan santri di beberapa pesantren di Jawa Timur. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada alasan bahwa sebagian besar pelaku Bom Bali adalah orang Jawa Timur yang mempunyai kedekatan dengan Pesantren al-Islam di Tengulun, Solokuro, Lamongan. Lihat Muhammad Chirzin, Kontroversi Jihad di Indonesia; Modernis VS Fundamentalis (Yogyakarta: Pilar Media, 2006). 23
16
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa walaupun pada era kolonial Pesantren memainkan peran yang signifikan dalam melawan penjajah, tidak berarti pesantren memiliki potensi bagi lahirnya terorisme. Islam yang diajarkan di pesantren adalah Islam yang moderat dan sejuk.Terorisme memang bisa muncul dari orang-orang atau kelompok yang mendalami agama tetapi tidak harus dari pesantren.Terorisme agama biasanya muncul akibat adanya pemahaman keagamaan yang skriptual tanpa mempertimbangkan konteks yang mengitari teks. Pemahaman keagamaan seperti ini melahirkan sikap fanatik dan militan yang berujung pada eksklusifisme. Paham seperti inipun belum cukup melahirkan radikalisme, kecuali ada lingkungan sosial politik yang dianggap menekan dan subversif yang harus dienyahkan.24 Masih dalam konteks keindonesiaan, Noorhaidi Hasan dalam bukunya, Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia,25 mencoba melakukan telaah terhadap fenomena merebaknya Islam politik pasca orde baru. Penelitian Noorhaidi difokuskan pada Laskar Jihad, tepatnya sejarah intelektual dan politik Laskar Jihad. Laskar jihad Lihat, Muhammad Asfar (ed.), Islam Lunak Islam Radikal: Pesantren, Terorisme dan Bom Bali (Surabaya: PuSDeHAM dan JP Press, 2003) 25 Buku ini merupakan disertasi Ph.D Noorhaidi di Universitas Utrecht, Belanda dan telah diterjemahkan dengan judul, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde baru, terj. Hairus salim (Jakarta: LP3ES, 2008). 24
17
Jihad dan Benturan Peradaban
menurutnya adalah representasi utama dari kelompok militan Islam pasca era orde baru. Kelompok ini telah banyak menarik simpatisan dan anggota, utamanya kaum muda, untuk melakukan aktivitas jihad fisik, apapun harga yang harus dibayarkan. Laskar jihad juga kelompok Islam militan pertama yang memobilisasi anggotanya untuk melakukan jihad terkait dengan kasus Maluku.26 Penelitian Noorhaidi merupakan investigasi yang bersifat teoritis dan empiris. Ia menggabungkan sumber-sumber bibliographi dan sumber lapangan secara ekstensif.27 Dengan kerangka kerja teori gerakan sosial, penelitiannya bermaksud menganalisa proses bagaimana gerakan sosial muncul. Dengan basis paradigma pilihan rasional (rational choice), Noorhaidi optimis bisa mengungkap segenap kepentingan aktor, dan bagaimana mereka melakukan mobilisasi sumber kekuatan.28 Beberapa hal yang bisa digarisbawahi dari penelitian Noorhaidi adalah: pertama, Laskar Jihad, yang dimotori oleh Ja‘far Umar Thalib ini, secara struktural di bawah payung Forum Komunikasi Ahl alSunnah wa al-Jama‘ah (FKAWJ), didirikan di Yogyakarta Tahun 2000. FKAWJ sendiri secara gerakan telah eksis sebelumnya, dengan nama Jama>‘ah Ih}ya> al-Sunnah dengan fokus pada gerakan purifikasi. Kedua, Laskar Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia (New York: Cornell Southeast Asia Program Publication, 2006), 17. 27 Ibid., 28. 28 Ibid., 27. 26
18
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
Jihad mendapatkan banyak simpati dan berkembang, karena selain mengatasnamakan gerakan salafi ahl alsunnah yang bersifat non-politik, juga memanfaatkan momentum era transisi pasca runtuhnya rezim orde baru. Momentum ini sekaligus juga menandai transformasi gerakan salafi yang berorientasi da‘wah menjadi kelompok semi militer (paramilitery) dengan nama Laskar Jihad. Ketiga, Laskar Jihad tidak bisa dipisahkan dari upaya global “wahabisasi” yang mulai dirasakan di Indonesia sejak tahun 1980-an. Keempat, dengan memanfaatkan retorika konspirasi Yahudi dan Kristen dalam kasus Maluku, Laskar Jihad mampu mengumpulkan 7000 orang untuk berjihad di Maluku. Dalam hal ini, Laskar Jihad berhutang budi dengan dukungan beberapa elit militer, yakni mereka yang kecewa dengan kebijakan Pemerintahan Abdurrahman Wahid yang melakukan reposisi pos-pos penting di institusi militer. Kelima, menurut Noorhaidi, jihad yang dilakukan oleh Laskar Jihad lebih tepat digambarkan sebagai sebuah drama, yakni usaha Salafi untuk menyebarkankan image mereka sebagai garda depan pembela Islam, dan karenanya mendapatkan tempat tersendiri dalam peta keislaman di Indonesia.29 Sementara itu Mark Gould dalam artikelnya “Understanding Jihad” mencoba memahami konsep jihad dengan berangkat dari karakteristik dan sifat dasar komitmen nilai dalam Islam. Dalam artikelnya Gould berargumentasi bahwa ada tradisi autentik dalam Islam 29
Lihat kesimpulan pada, ibid., 215 – 221. 19
Jihad dan Benturan Peradaban
yang secara parsial bisa menjelaskan kecendrungan penggunaan kekerasan (baca: jihad) oleh sebagian besar muslim kontemporer.30 Hal ini menurutnya bisa dirujukkan pada konsep eskatologi31 (teologi hari pembalasan). Dalam hal ini Gould membandingkan dengan konsep dalam Kristen, soteriology (theology the doctrin of salvation, doktrin keselamatan).32 Konsekuensi dari doktrin yang berbeda tersebut, menurut Gould, adalah bahwa umat Islam lebih menekankan pada aturan hukum, sementara umat Kristen menekankan pada prinsip dan nilai yang akan mengatur tindakan mereka, dan bukan detail-detail Mark Gould, “Understanding Jihad”, Policy Review, (February and March 2005), 16. 31 Doktrin eskatologi umumnya mengajarkan bahwa Rasul terakhir, Muhammad, telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana bertindak. Tuhan tidak memerintahkan manusia apa yang tidak mampu dilakukan. Apabila manusia mengikuti segenap perintah Tuhan sebagaimana mewujud dalam shari>‘ah dan hukum serta tertuang dalam teks keagamaan – al-Qur’an dan hadis – maka pada hari perhitungan Tuhan akan menyelamatkannya dengan menjadikan kebaikannya lebih berat dari keburukannya. Ibid., 17. 32 Umat Kristen mempercayai adanya “dosa asal/ turunan” (original sin).Tidak ada penganut Kristen mempunyai kapasitas untuk selamat.Tuhan mengorbankan anaknya untuk memungkinkan penyelamatan; manusia selamat atau tidak semata-mata bertumpu pada kebijaksanaan Tuhan. Sementara itu, Tuhan menurut mereka “Maha Tak Terduga”, dan karenanya tak seorangpun bisa memastikan apakah ia selamat atau tidak. Mengutip Weber, Gould menyatakan bahwa doktrin di atas membawa pada upaya rasionalisasi dalam segenap kehidupan keseharian dan kesalehan sebagai manifestasi – bukan sarana – bahwa seseorang telah terpilih untuk selamat. Ibid. 30
20
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
aturan hukum. Aturan hukum bagi mereka terbuka pada diskusi dan re-evaluasi. Sebaliknya di kalangan umat Islam, menurut Gould, aturan hukum sebagaimana tertuang dalam teks keagamaan – bahkan regulasi legalistik dalam teks para yuris – sebagai fokus bagi tindakan mereka. Bagi sebagian besar muslim, proses interpretasi terhadap teks-teks di atas telah berakhir ribuan tahun yang lalu atau sejak revelasi/wahyu berhenti turun.33 Hal ini menurut Gould tercermin pada pemaknaan dan konsep jihad yang cenderung dimaknai secara fisik sebagaimana teks dan pengalaman sejarah banyak mengajarkan hal tersebut tanpa disertai dengan adanya interpretasi yang kontekstual. Apa yang dinyatakan Gould dalam artikelnya sebagian bisa diterima, akan tetapi generalisasi bahwa sebagian besar umat Islam bersifat legalistik dan menerima konsep jihad yang bernuansa fisik tentu bisa dipertanyakan. Apa yang dinyatakan Gould lebih cocok bagi kelompokkelompok dalam Islam yang oleh Abou El Fadl disebut dengan puritan. Sementara itu, Karen Armstrong, juga banyak menulis persoalan kekerasan dan agama, tidak saja dalam konteks Islam, tetapi juga Kristen dan Yahudi. Dalam bukunya, The Battle for God, Armstrong melakukan penelitian terhadap gerakan fundamentalisme yang muncul pada abad ke-20 dalam tiga agama monotheis tersebut. Gerakan-gerakan yang dipilih adalah fundamentalisme Protestan Amerika, 33
Ibid., 25. 21
Jihad dan Benturan Peradaban
fundamentalisme Yahudi di Israel, dan fundamentalisme Islam di Mesir yang bermazhab sunni dan di Iran yang bermazhab shi‘ah.34 Kajian Armstrong didasarkan pada konteks dikotomi pra modern versus modern, mitos versus logos, dan spiritual versus sekuler. Intinya adalah bahwa gerakan-gerakan fundamentalisme keagamaan mempunyai kemiripan, yakni merupakan bentuk respon dan kegalauan terhadap modernisme yang dianggap memusuhi agama. Rasionalitas sebagai unsur esensial modernitas dinilai mengancam hal-hal yang bersifat sakral dalam hidup mereka. Perlawanan dengan sekularisme dan modernitas dinilai tidak saja pertarungan politik biasa, akan tetapi merupakan peperangan kosmis antara kebaikan dan kejahatan.35 Sebelumnya Armstrong juga telah menulis buku dengan topik yang sama, Holy War: The Crusades and Their Impact on Todays World. Buku ini hendak Fundamentalisme di Mesir dan Iran menurut Armstrong merupakan respon terhadap praktek kolonialisasi yang dilakukan oleh Inggris dan Amerika. Mereka juga mengadakan perlawanan terhadap pemerintahan mereka yang dianggap sekuler, khususnya Nasser di Mesir dan Shah di Iran. Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi, terj. Satrio Wahono, et al. (Jakarta: Serambi, 2002), XI – XII. 35 Armstrong mencoba melakukan penelitiannya dengan kualitatif dan empatik. Yakni menyelami bagaimana dampak modernitas yang dirasakan oleh kelompok-kelompok fundamentalis dan bagaimana persepsi mereka terhadap arti penting mitos. Karena itu bukunya diawali dengan penetrasi sains modern dalam kehidupan manusia dan juga kefanatikan mitologi peradaban agraris pra-modern. Lihat, Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan …, XI – XII. 34
22
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
memotret sejarah dan doktrin perang salib dan pengaruhnya dalam perkembangan peradaban dunia. Paus Urban II yang menyerukan perang Salib tahun 1095 untuk merebut kota suci Yerusalem dari tangan umat Islam, telah menorehkan luka mendalam dan sentimen keagamaan yang belum terhapuskan hingga sekarang. Perang Salib menurut Armstrong juga telah mengilhami jihad baru, setelah selama berabad-abad praktek tersebut terlupakan.36 Karenanya, Armstrong menyatakan bahwa gambaran ideal ‘perang suci’ bagi umat Islam berbeda dari ‘perang salib’. Pada dasarnya perang suci bagi umat Islam bersifat defensif, sementara tantara salib dan umat Yahudi membuat inisiatif suci untuk menyerang mereka yang dinilai musuh Tuhan.37 Sejarah kelam perang Salib yang melahirkan sentimen keagamaan yang bisa dirasakan hingga sekarang, mengilhami Armstrong untuk menulis bukunya yang lain, A Histrory of God. Bukunya ini hendak menggali kembali visi bersama dari tiga agama besar yang ia sebut dengan “visi tiga sisi: (triple vision). Dalam rangka menghilangkan teologi kekerasan dalam konteks umat Islam, Sayyed Hossein Nasr memandang penting untuk memberikan penekanan pada makna spiritual jihad. Jihad menurutnya unsur penting dalam Islam dan harus menjadi spirit dalam setiap aktivitas muslim, karenanya harus dijauhkan dari Karen Armstrong, Perang Suci: Dari Perang salib Hingga Perang Teluk, terj. Hikmat Darmawan (Jakarta: Serambi, 2003), 311. 37 Ibid., 314. 36
23
Jihad dan Benturan Peradaban
makna perang. Jihad menurutnya bersifat individual dan komunal, internal dan eksternal, jihad asghar dan jihad akbar, untuk merealisasikan keseimbangan. Nafsu yang cenderung destruktif dalam diri manusia, berpotensi untuk merusak keseimbangan tidak saja dalam skala individual, akan tetapi juga komunal (masyarakat). Karenanya jihad internal yang disebut sebagai jihad akbar mutlak diperlukan. Sementara itu jihad yang bersifat eksternal atau jihad asghar, dalam bahasa hadis bisa diwujudkan dalam bentuk nonperang, semisal dipraktekkan dalam wilayah sosio-ekonomi. Untuk mewujudkan keadilan sosial yang merupakan penyangga keseimbangan, tentu membutuhkan spirit jihad.38 Berdasar penelusuran penulis di atas bisa disimpulkan bahwa belum ada kajian tentang jihad dan relasinya dengan tesis benturan peradaban yang dilihat dari kaca mata teori dan wacana poskolonial. Satu penelitian yang dekat dengan penelitian ini adalah karya Javaid Rehman yang berjudul Islamic States Practices, International Law and the Threat from Terrorism: A Critique of the Clash of Civilizations in the New World Order. Karya ini pada dasarnya juga kritik terhadap tesis benturan peradaban dengan berangkat dari kajian hukum Islam (shari>’ah) dan international Islamic law (siyar). Berbeda dengan penelitian ini yang fokus pada pemikiran tokoh berkaitan dengan jihad Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (New York: Columbia University Press, 1987), 27 – 33. 38
24
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
dan benturan peradaban, Rehman lebih mengarahkan penelitiannya pada praktek negara-negara muslim dalam mengembangkan norma-norma internasional yang melawan praktek terorisme global. Mengaitkan sistem hukum Islam dengan terorime internasional menurut penelitian ini adalah salah satu miskonsepsi yang harus dihapuskan. Karena menurutnya hukum Islam tidak bersifat monolitik, akan tetapi bersifat kompleks dan kaya interpretasi.39 D. Perspektif Metodologis Buku ini adalah hasil studi pustaka (library research) dengan mengandalkan karya-karya Abou El Fadl sebagai sumber primer. Secara metodologis, studi terhadap pemikiran tokoh mempunyai dua tujuan: pertama, memahami pemikiran tokoh secara deskriptif-obyektif; kedua, melacak dan mengungkap argumen dan kepentingan yang tak terkatakan di balik pemikiran tokoh. Buku ini tentu mempunya tujuan yang kedua, yakni menggali segenap agenda dan kepentingan tak terkatakan dari teks.40 Karena itu metode kritis akan dipakai dengan mengandalkan pada kajian teks dengan perspektif poskolonial. Studi ini secara konseptual membahas pemikiran Lihat, Javaed Rehman, Islamic States Practices, International Law and The Threat From terrorism: A Critique of the Clash of Civilizations in the New World Order (Oxford: Hart Publishing, 4), 4. 40 Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam (Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012), 7. 39
25
Jihad dan Benturan Peradaban
Abou El Fadl terkait dengan relasi jihad dan tesis tentang benturan peradaban. Pendekatan yang dipakai adalah interpretivisme.41 Pendekatan ini relevan dengan teori hermeneutik dan poskolonialis yang penulis pakai. Tujuan pendekatan interpretivisme dalam sebuah studi adalah untuk menguak pengetahuan yang bersifat interpretatif dan untuk memberikan pemahaman yang bersifat komprehensif dan mendalam tentang keterkaitan jihad dan tesis tentang benturan peradaban yang digagas oleh Abou El Fadl. Konsepsi jihad dan relevansinya dengan tesis benturan peradaban merupakan wacana, dalam konteks teori poskolonialis, yang berada dalam pusaran oposisi biner antara Timur/ Islam versus Barat, diri (self) versus orang lain (the other), pengamat (subyek) versus yang diamati (obyek). Dengan perspektif poskolonialis diharapkan bisa tergambar bagaimana respon Abou El Fadl terhadap wacana-wacana yang bersifat biner berkaitan dengan Islam dan Barat. Sumber data primer dalam studi ini meliputi karyakarya Abou El Fadl: a). The Search for Beuty in Islam: A Conference of the Books; b). The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist; c). Terrorism Is at Odds With Islamic Tradition; d). The Orphans of Modernity and the Clash of Civilisations, dan karya-karya Abou El Fadl yang lain yang bisa memperkaya tema utama. Sementara itu sumber sekunder adalah buku-buku Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Qualitative Data analysis (California: Sage Publications, 1994), 5. 41
26
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
dan artikel-artikel lain yang sekiranya bisa mempertajam bahasan, buku-buku penelitian, dan buku-buku yang memperkuat basis teoritis. Untuk bisa menjawab fokus masalah dalam buku ini, penulis melakukan pembacaan terhadap karyakarya Abou El Fadl yang berkaitan dengan tema buku, melakukan identifikasi dan reduksi hasil bacaan sesuai dengan rumusan masalah, sistematika dan alur bahasan buku sehingga bisa ditarik konklusi.42 Selain itu, penulis juga mengungkap horizon dan situasi hermeneutis yang melingkupi sang tokoh di atas dalam rangka menguak keterkaitannya dengan pemikirannya tentang jihad dan ide tentang benturan peradaban. Untuk mempertajam analisa, penulis juga menggunakan perspektif poskolonialis yang akan dipaparkan dalam bab berikutnya. Perspektif ini utamanya untuk membongkar hegemoni Barat dan hegemoni muslim puritan dalam konteks wacana jihad dan benturan peradaban sebagaimana tertulis dalam karya-karya Abou El Fadl. Dalam perspektif keilmuan sosial-kritis (baca: poskolonialis), ada keyakinan bahwa praktek-klasifikasi ilmiah, wacana dan pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kepentingan, kekuasaan dan ideologi. Perspektif poskolonialisme dalam buku ini diharapkan bisa memberikan kontribusi yang bersifat teoritis dan praktis. Teoritis dalam makna bahwa studi keislaman harus memanfaatkan kajian Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Qualitative Data analysis, 11. 42
27
Jihad dan Benturan Peradaban
yang bersifat interdisipliner, yakni memanfaatkan dan menerima bantuan ilmu lain dalam melakukan kajian sehingga refleksi studi keislaman bisa bermanfaat bagi kemaslahatan manusia. Bersifat praktis bermakna bahwa studi keislaman tidak berhenti pada wilayah yang bersifat normatif, akan tetapi bagaimana perspektif poskolonialisme dalam studi keislaman bisa berpengaruh terhadap transformasi sosial yang berkeadilan. Poskolonialisme bisa dipahami sebagai strategi pembacaan yang bekerja dalam dua tataran: pertama, menjelaskan poskolonialitas yang melekat pada teks-teks tertentu, dan kedua, membongkar setiap jejak kekuasaan kaum kolonial. Dalam bahasa lain, poskolonialisme adalah gerakan historis yang berusaha membongkar efek-efek kolonialisme dalam wilayahwilayah material, historis, kultural-politis, pedagogis, diskursif dan tekstual.43 Karena itu wilayah kajian poskolonialis cukup luas, akan tetapi buku ini akan difokuskan pada wilayah wacana diskursif dan teks terkait dengan jihad dan benturan peradaban. Teks dan wacana bagaimanapun merupakan sarana yang ampuh untuk melanggengkan penjajahan dan hegemoni, sekaligus sebagai alat perjuangan bagi yang tertindas untuk menunjukkan identitasnya. Dalam konteks ini, poskolonial akan dilihat sebagai bangunan teoritis untuk mendekontruksi pandangan A. Budi Susanto (ed.), Politik dan Postkolonialitas di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 270. 43
28
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
Barat yang bias dan mensubordinasi Timur. Pandangan Barat yang bersifat biner, yakni Barat dan Timur, dengan memposisikan Barat sebagai pengamat, rasional, dan lebih unggul, sementara Timur vice versa, harus didekontruksi karena hal tersebut merupakan bagian dari rekayasa intelektual dan sosial untuk meneguhkan kepentingan dan kekuasaan Barat terhadap negaranegara Timur. Edwars Said secara tegas menyatakan bahwa teori-teori Barat tidaklah netral dan obyektif, akan tetapi diselipi oleh agenda-agenda yang bersifat ideologis dan politis.44 Untuk kepentingan di atas, penulis juga memakai teori hermeneutika sebagai basis analisis. Hermeneutika mempunyai konsen pada penyingkapan makna dan pesan teks, sehingga apa yang terjadi dalam situasi sosial dan budaya yang berbeda pada masa lampau, bisa memberikan arti dalam konteks kekinian pembaca. Problem yang menghinggapi data teks dari sudut hermeneutika adalah adanya kesenjangan antara pembaca (reader) dengan pengarang (author) dari sisi ruang dan, atau waktu. Jawaban dan solusi untuk menengahi kesenjangan tersebut, dan yang dipilih dalam buku ini adalah hermeneutika kritis. Bersifat kritis karena buku ini hendak mengungkap ideologi dan kepentingan di balik sebuah teks.45 Dengan Ahmad Muthohar, Islam Dayak: Dialektika Identitas Dayak Tidung dalam relasi Sosial-agama di Kalimantan Timur (Laporan Penelitian, STAIN Samarinda, 2011), 63. 45 Secara umum tipologi hermeneutika Barat dapat dipilah menjadi tiga; pertama, hermenutika teoritis yang dikembangkan 44
29
Jihad dan Benturan Peradaban
model hermeneutika ini diharapkan bisa menangkap kepentingan Abou El Fadl tentang konsepsi Jihad dan relevansinya dengan tesis tentang benturan peradaban. Selanjutnya, penulis mendeskripsikan alur kajian dalam buku ini menjadi lima bab. Bab pertama adalah paparan tentang problem jihad dan benturan peradaban oleh Betti, Schleiermacher, dan Dilthey. Hermeneutika ini fokus pada problematika teori interpretasi sebagai sebuah metodologi dalam keilmuan sosial. Analisa yang dikembangkan oleh tipe hermeneutika ini adalah verstehen, yakni mengungkap kembali segenap pengalaman dan intensi pengarang. Karena itulah ia sering disebut sebagai hermeneutika romantis dan reproduktif. Kedua, hermeneutika filosofis yang utamanya dikembangkan oleh Gadamer. Hermeneutika filosofis menolak hermeneutika romantisisme sembari menegaskan bahwa penafsir dan teks samasama terikat oleh konteks tradisi, karena itu penafsir dipastikan mempunyai pra-paham (pre-understanding), dan tidak bisa berangkat dari pemikiran yang netral. Hermeneutika filosofis juga disebut dengan hermeneutika produktif. Ketiga, hermeneutika kritis yang dikembangkan oleh Habermas. Hermeneutika tipe ini konsen pada dimensi tak terkatakan dari teks, yakni kepentingan dan ideologi penulis dibalik teks yang tertulis. Lihat, Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique (London: Routledge, Boston and Henley, 1980), 1-4. Menurut hermeneutika filosofis yang bersifat produktif, kesenjangan antara pengarang dan pembaca teks baik dari sisi ruang atau waktu tidak harus dinilai sebagai negatif, sebaliknya harus dinilai sebagai perjumpaan dan pengkayaan cakrawala pemahaman pengarang dan pembaca teks. Karenanya penafsiran pembaca tidak bersifat reproduktif belaka, sebagaimana pemikiran Schleirmacher dan Dilthey, akan tetapi bersifat produktif, yakni makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya saja melainkan makna baru pagi pembaca teks yang hidup dalam situasi sosial budaya yang berbeda. Lihat Jazim Hamidi, Hermenutika Hukum; Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks (Yogyakarta: UII Press, 2005), 13. 30
Problem Relasi Jihad dan Benturan Peradaban
dan hal-hal yang melatarbelakangi penulisan buku ini, fokus, tujuan dan signifikansi penulisan buku, kajian literatur dan perspektif metodologis. Bab kedua merupakan survey wacana tentang Jihad, “Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme”. Bab ini merupakan bangunan konsep dan teori dalam penelitian ini yang meliputi deskripsi tentang problem konseptual tentang jihad, kemudian diteruskan dengan bahasan jihad dan benturan peradaban dalam perspektif wacana poskolonial. Pada intinya bab ini ingin melihat secara teoritik keterikatan dan relasi antara jihad, benturan peradaban dan wacana poskolonialisme. Bab ketiga akan dipaparkan jihad dan benturan peradaban dalam perspektif Abou El Fadl. Bab ini terdiri dari dua poin penting, pertama mengungkap kritik konstruktif Abou El Fadl terhadap konsep jihad. Bahasan ini meliputi: puritanisme muslim sebagai bentuk perkawinan wahabi-salafi dan menjernihkan konsep jihad. Sub bahasan yang terakhir meliputi bahasan tentang kritik Abou El Fadl terhadap fundamentalisme Barat dan puritanisme muslim dan jihad sebagai prinsip moral-spiritual. Kedua, bahasan tentang membongkar hegemoni Barat dan muslim puritan di balik wacana jihad dan benturan peradaban. Bahasan ini meliputi: jihad dalam konteks interaksi muslim-non musim, dikotomi da>r al-Isla>m dan da>r al-h}arbi, serta jihad dan benturan peradaban. Bab ketiga ini pada dasarnya merupakan jawaban terhadap rumusan masalah yang pertama. 31
Jihad dan Benturan Peradaban
Sementara bab keempat adalah jawaban rumusan masalah yang kedua, yakni upaya untuk menelisik agenda dan kepentingan Abou El Fadl sebagai muslim diaspora di balik gagasan dan tulisannya tentang jihad dan relevansinya dengan tesis benturan peradaban. Bab ini terdiri dari bahasan tentang setting sosial pemikiran, yakni menelusuri komunitas epistemik Abou El Fadl dan identitas Abou El Fadl sebagai muslim diaspora. Sistematika bahasan ini mengikuti logika teks, konteks dan subjek selaras dengan teori hermeneutika kritis yang penulis pakai dalam buku ini. Bab kelima adalah simpulan dari jihad, benturan beradaban dan identitas poskolonial Abou El Fadl, dilanjutkan dengan rekomendasi sebagai implikasi lanjut dari penulisan buku.
32
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
BAB II
JIHAD, BENTURAN PERADABAN DAN WACANA POSKOLONIALISME
B
ab ini merupakan bentuk survey wacana terhadap jihad, benturan peradaban, dan poskolonialisme. Bagian pertama akan mengurai problem konseptual tentang makna jihad. Jihad sebagai sebuah konsep yang bersifat plastis dan bersayap perlu dilihat secara kritis dalam lintasan sejarah keislaman dengan melihat bagaimana jihad ditafsirkan dan diaplikasikan secara beragam sesuai dengan konteks sosial dan politik yang berkembang. Bagian berikutnya adalah wacana jihad dan benturan peradaban, yakni penulis mencoba mengungkap wacana yang berkembang tentang relasi 33
Jihad dan Benturan Peradaban
jihad dan benturan peradaban. Bagian terakhir dari bab ini adalah melihat relasi jihad dan benturan peradaban dalam konteks studi poskolonialis. Semua pembahasan ini dimaksudkan sebagai kerangka konseptual buku ini karena titik poinnya adalah relasi tiga terma teknis: jihad, benturan peradaban, dan studi poskolonialisme. A. Problem Konseptual tentang Makna Jihad Jihad adalah konsep dalam ajaran Islam yang sering diperdebatkan pemaknaannya. Perdebatan tentang makna jihad secara umum bersifat dikotomis. Seiring dengan menguatnya kelompok puritan, jihad dipahami sebagai ruh dari gerakan kelompok puritan kontemporer yang berorientasi pada resistensi terhadap tren globalisasi yang dinilai bersifat sekular. Berdasar hal ini sebagian pengamat Barat menjadikan jihad sebagai dasar penilaian bahwa Islam mengajarkan kekerasan (violence) dan karenanya agama ini tidak kompetibel dengan norma-norma yang berperadaban. Sementara itu pandangan lain menyatakan bahwa jihad tidak identik dengan kekerasan, tetapi sebaliknya, jihad menunjuk pada prinsip yang bersifat, defensif, pacifik, inward-directed dan perdamaian dalam Islam. Secara etimologis, kata “jiha>d” adalah bentuk mas} dar dari “ja>hada” yang bermakna al-t}a>qah (kekuatan), sebagaimana ungkapan ijhad jahdak (kerahkan kekuatanmu). Dikatakan juga, al-jahd (dengan fath}ah) bermakna kesulitan (al-mashaqqah), sementara al-juhd 34
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
(dengan d}ammah) bermakna kekuatan (al-t}a>qah). Kata “jiha>d” kemudian mempunyai variasi makna setelah mendapatkan keterangan kata setelahnya. Jiha>d al‘aduw bermakna muh}a>rabah al-‘aduw, atau qa>talahu wa ja>hada fi> sabi>lilla>h (memerangi musuh, membunuhnya dan berjihad di jalan Tuhan).1 Jiha>d al-nafs bermakna pengerahan kemampuan untuk menghindarkan diri dari yang haram. Menurut al-Ra>ghib sebagaimana dikutip al-H}usayni, makna hakiki jiha>d adalah istifra>gh al-wus‘i wa al-juhd, yakni pengerahan daya kemampuan untuk menolak tiga hal; memerangi musuh yang nyata, syetan dan hawa nafsu.2 Ketiga hal ini masuk pada ungkapan alQur’an: “wa ja>hidu filla>h haqqa jiha>dih”. Frase filla>h yang dipersandingkan dengan “jiha>d” bermakna usaha yang sungguh-sungguh untuk memperdalam aspek spiritual manusia, yakni relasi manusia dengan Tuhan, dengan menundukkan segenap tendensi negatif manusia dalam rangka usaha tazkiyat al-nafs. Sementara, ketika kata jiha>d dipersandingkan dengan frasa fi> sabililla>h bermakna usaha sungguh-sungguh menempuh jalan Allah, termasuk di dalamnya pengorbanan dengan harta dan nyawa.3 Makna kamus “jiha>d” menyatakan bahwa “perang” Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, t.t.), I: 708 dan 710. 2 Muh}ammad Murtad}a> al-H}usayni al-Zubaydi, “Bab al-Da>l, Jahada”, Ta>j al-‘Aru>s fi Jawa>hir al-Qamu>s (Kuwait: alTura>th al-‘Arabi, 1994), VII: 537. Lihat juga M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Jakarta: Mizan, 1998), 506. 3 Alwi Shihab, Islam Inklusif (Jakarta: Mizan, 1998), 284. 1
35
Jihad dan Benturan Peradaban
bukanlah makna satu-satunya, ada varian makna yang bisa dicakup sebagaimana makna dasarnya: keseriusan; kesungguhan; pengerahan segenap daya kemampuan. Sementara ada kata lain yang merujuk pada makna soliter “perang”, yakni qita>l, al-riba>t}, ghazwah dan sariyah. Al-Qita>l semakna dengan al-h}arb. Qita>l al-‘aduw bi al-sila>h}, yakni memerangi musuh dengan senjata, sebagaimana da>r al-h}arb yang bermakna negara atau wilayah perang. Al-Riba>t} mempunyai makna melakukan jihad terhadap musuh dengan h}arb (kontak fisik).4 AlGhazw bentuk mas}dar dari ghaza> bermakna kesengajaan memerangi musuh (sebagaimana makna asalnya, alqas}d),5 atau dalam istilah sekarang bermakna invasi, yakni memerangi musuh di negara mereka (invasion, incursion). Ekspedisi militer yang besar, dan langsung dipimpin oleh Nabi, atau pimpinan tertinggi disebut dengan ghazwah, sementara yang tidak demikian disebut dengan sariyah.6 Kata “jihad” utamanya menunjuk pada doktrin legal/ hukum. Kita>b al-Magha>zi> dalam kitab-kitab fikih adalah kitab atau bab yang berbicara tentang hukum-hukum Pada asalnya al-riba>t} bermakna perang secara fisik. Akan tetapi kata ini pun mengalami perkembangan mencakup perbuatan-perbuatan yang shalih. Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, III: 1561. 5 Ibid., V: 3253. Lihat juga Mah}mu>d ‘Abd al-Rah}ma>n ‘Abd al-Mun‘im, Mu’jam al-Mus}t}alah}a>t wa al-Fa>z} al-Fiqhiyah (Kairo: Da>r al-Fad}i>lah, t.t.), 13. 6 Secara istilah, sariyah bermakna sekelompok pasukan di atas jumlah empat ratus yang diutus oleh pimpinan atau amir untuk memerangi musuh. Lihat, Ibid., II: 266. 4
36
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
jihad dalam makna perang(military compaign), karena itulah makna jihad cenderung mengalami deviasi dari makna asalnya. Selain kita>b al-magha>zi>, dalam literatur fikih klasik juga disebut dengan kita>b al-jiha>d, kita>b alsiya>r dan kita>b al-jizyah.Sementara itu sarjana Barat seringkali memberikan kata “sifat” bagi “jihad” dengan holy (suci) atau islamic (islami), al-jiha>d al-muqaddas dan al-jiha>d al-isla>mi.7 Jihad juga diidentikkan dengan holy war atau al-h}arb al-muqaddasah.8 Al-H}arb yang bermakna perang – baik dalam pengertian aktivitas atau kondisi – merupakan makna yang netral dan kurang bermuatan ideologi dibanding dengan terma-terma yang lain. Dalam konteks ini kata “jihad” lebih bersifat ideologis dan dihubungkan dengan kekerasan (violence) dan fundamentalisme, konsep yang sebenarnya lebih mengakar pada paradigma kristiani, dan karenanya tidak bisa memotret makna hakiki jihad dan aplikasinya di era sekarang ini. Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber primer bagi rumusan-rumusan materi fikih. Khususnya berkaitan dengan al-Qur’an, ayat-ayatnya turun secara bertahap dalam jangka waktu 23 tahun. Dalam rentang ini, menurut Bassiouni, turun 24 ayat yang berbicara tentang jihad.9 Sebagian besar ayat menurutnya Rudolf Peters, Jihad in Classical and Modern Islam (Princeton: Markus Wiener Publisher, 2008), 1. 8 Reuven Firestone, misalnya, memberikan judul bukunya dengan Jihad: The Origin of Holy War in Islam (Oxford: Oxford University Press, 1999). 9 M. Cherif Bassiouni, “Evolving Apprauches to Jihad: 7
37
Jihad dan Benturan Peradaban
berbicara tentang jihad dalam pengertian non-violence dan sebagian berkaitan dengan ekspedisi militer melawan musuh Islam. Sementara itu Quraish Shihab menghitung kata jihad dengan berbagai derivasinya diulang sebanyak 41 kali.10 Kata “jiha>d” sendiri hanya diulang sebanyak 5 kali,11 akan tetapi ini belum termasuk kata “qita>l” yang oleh sebagian dipersamakan maknanya dengan kata “jiha>d”. Sementara itu, kata “jiha>d” dan berbagai derivasinya juga banyak ditemukan dalam kitab-kitab hadis. Ini belum terhitung kata-kata kunci yang lain yang berhubungan dengan konsep jihad, yakni alqita>l, al-ghazw, al-sariyyah, al-riba>t}. Sebagaimana dalam al-Qur’an, kata “jihad” dalam teks-teks hadis juga menunjukkan variasi makna yang bersifat dikotomis. Dalam teks tertentu, jihad membawa pada pemaknaan yang bersifat fisik, sementara pada teks hadis yang lain jihad juga bisa dipahami secara moral-spiritual. Ini sebagaimana penyebutan haji dan umrah bagi wanita bisa bernilai sebagai jihad, dan pernyataan bahwa jihad dalam pengertian fisik tidak lebih besar dari jihad melawan hawa nafsu dan tendensi negatif dalam diri manusia. From Self-Defence to Revolutionary and Regim – Change Political Violence”, Chicago Journal of International Law (Summer, 2007), 125 10 M. Quraish Shihab, Wawasan ..., 501. 11 Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’a>n; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), 516. 38
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
Dikotomi pemaknaan jihad tidak terlepas dari konteks sosio-historis yang melatarbelakangi teks, karena dari konteks inilah teks dinegosiasikan. Dalam hal ini legitimasi agama terhadap kekerasan tidak muncul dari kevakuman sosio-historis, sebagaimana dinyatakan oleh Graham Fuller: “ If a society and its politic are violent and unhappy, its mode of religious expression is likely to be just the same”.12 Pernyataan Fuller di atas bermakna bahwa jika kondisi sosial dan politik penuh dengan kekerasan dan meresahkan, maka model ekspresi keberagamaan kurang lebih akan sama. Pendapat Fuller dikuatkan oleh Peters yang menyatakan bahwa konsepsi dan pemaknaan jihad dipengaruhi oleh masyarakat Arab pra Islam yang bersifat kesukuan. Ide tentang “kesatriaan” pada suku Arab, kata Peters, melarang tentara untuk membunuh non-combatant (anak-anak, perempuan dan orang tua). Aturan ini kemudian diinkorporasikan ke dalam doktrin dan konsep jihad yang mencapai kemapanannya pada pertengahan abad ke-2 H.13 Karena itulah konsep jihad sebagaimana terekam dalam ayat-ayat al-Qur’an diwahyukan dalam kerangka koneksitasnya dengan episode kehidupan Muh}ammad s.a.w. sebagai Nabi dan Rasul, di tengah kompleksitas persoalan masyarakat kesukuan Arab. Sejak tiga abad pertama hijrah, ada tarik menarik Sebagaimana dikutip oleh A. Rashied Omar, “Islam and Violence”, The Ecumenical Review (April 2003), 159. 13 Rudolf Peters, Jihad in Classical …, 1. 12
39
Jihad dan Benturan Peradaban
pemaknaan konsep jihad dan bagaimana model perjuangan yang terbaik di jalan Allah. Ahli fikih dari Hijaz, Sufya>n al-Thawri (w. 778), berpendapat bahwa jihad utamanya bersifat defensif dan personal. Sementara sebagian ahli fikih lain dari Hijaz lebih menekankan pada praktek keagamaan, semisal shalat, kehadiran di Masjid, dan menganggap bahwa jihad bukan merupakan kewajiban bersama (fard} kifa>yah). Sebaliknya, ahli fikih dari Syiria, al-Awza>’i (w. 773), beranggapan bahwa perang yang bersifat agresif-pun bisa menjadi kewajiban. Pendapat terakhir ini bisa dipahami karena Khilafah Umayyah pada masa alAwza>’i sedang terlibat perang dengan Bizantium, dan tentu saja membutuhkan justifikasi teologis dan legal.14 Pada awal khilafah ‘Abbasyiyah, akhir abad 2/8, ada kecendrungan untuk menekankan makna jihad pada dimensi militer, dan menjauhkan makna spiritual dan moral Jihad. Al-Sha>fi‘i misalnya, adalah sosok yuris pertama yang mengizinkan aplikasi jihad pada perang ofensif terhadap non-muslim, walaupun ia membatasi non-muslim pada kelompok pagan Arab dan bukan nonmuslim non-Arab. Pendapatnya ini bisa dinilai sebagai kelanjutan dari pendapat sebelumnya, al-Awza>’i, dan karena kondisi politis pemerintahan ‘Abba>syiyah pada masanya yang panas. Pada masa Khalifah Ha>ru>n al-Ras}i>d misalnya, terjadi ketidaktentraman dan kerusuhan di beberapa daerah: Syiria, persia, Mesir, Asma Afsaruddin, “Views of Jihad Throughout History”, Religion Compass, 1/1 (2007), 166. 14
40
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
Tunisia dan Maroko. Untuk menegaskan otoritas kekhilafahannya, ia kemudian mengeluarkan dua kebijakan, yakni jihad dan pelembagaan aturan-aturan pengadilan.15 Menurut al-Sha>fi‘i, jihad adalah sebuah kewajiban sebagaimana ditandaskan dalam al-Qur’an maupun Hadis. Kewajiban ini mengecualikan mereka yang tidak mampu melaksanakan, yakni anak-anak, lanjut usia dan wanita.16 Al-Sha>fi‘i dan juga yuris-yuris lain dari kalangan Sha>fi’iyyah menilai bahwa kewajiban jihad bernilai kifa>yah sebagaimana dalam perang Tabuk. Dalam perang ini, Tuhan menghendaki tidak semuanya pergi untuk berperang, akan tetapi sebagian tinggal bersama Nabi untuk tafaqquh dalam persoalan agama.17 Sementara dalam hal mobilisasi umum dalam ekspedisi militer dan Nabi ikut serta (ghazwah), maka kewajiban jihad bernilai fard} ‘ayn. Al-Nawa>wi> menyatakan bahwa jihad merupakan bentuk da’wah yang bersifat qahriyah (paksaan) yang harus dilakukan sesuai dengan kemampuan sehingga tidak ada yang tersisa kecuali muslim sebagaimana aturan fikih menyatakan bahwa musuh – sebelum tertawan – yang masuk Islam maka nyawa dan hartanya akan terpelihara. Jihad, menurut S.A. Nigosian, Islam: Its History …, 28. Syarat wajib jihad meliputi: Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, sehat dan kemampuan untuk berjihad. Lihat al-Ima>m Taqi al-Di>n Abi> Bakr b. Muh}ammad al-H}usayni al-H}isni al-Dimsyaqi al-Sha>fi’i, Kifa>yah al-Akhya>r fi H}ill Gha}yah al-Ikhtis}a>r (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), II: 206. 17 Al-Sha>fi’i, al-Risa>lah (Teks Pdf dari www.al-mostafa. com), 143. 15 16
41
Jihad dan Benturan Peradaban
kebanyakan yuris seyogyanya diorganisasikan oleh Penguasa Muslim minimal sekali dalam setahun dan bisa bertambah sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.18 Pendapat yuris bahwa seorang Imam wajib menyerang teritori musuh minimal sekali dalam setahun ini merupakan upaya agar ide tentang jihad tetap hidup.19 Sementara itu yuris Sya>fi‘iyah, Abu> Ish}aq> al-Syira>zi, menyatakan bahwa kegagalan untuk menyelenggarakan perang terhadap nonmuslim lebih dari satu tahun akan mengakibatkan nonmuslim mendahului penyerangan, karena mereka menganggap muslim telah melemah kekuatannya.20 Ibn Taymiyah (w. 1328), misalnya, dinilai sebagai teoritikus besar jihad abad pertengahan. Kondisi pada masa Ibn Taymiyah yang dipenuhi dengan pergolakan, yakni pengusiran tentara salib dan ancaman bangsa Mongol, serta afiliasinya pada Mazhab Ibn Hanbal yang pendekatannya bersifat tradisional dan penekanannya pada kemurnian Islam, membuat Ibn Taymiyah lantang Al-Nawa>wi, Rawd}ah al-T}a>libi>n wa ‘Umdah al-Mufti>n (al-Maktabah al-Sya>milah), III: 499. Bahkan dianjurkan atau lebih utama untuk memperbanyak jihad sebagaimana Nabi tidak pernah meninggalkannya tiap tahunnya sejak ada perintah jihad, sedangkan mengikuti Nabi adalah kewajiban. Lihat, al-Ima>m Taqi al-Di>n Abi> Bakr b. Muh}ammad al-H}usayni al-H}isni al-Dimsyaqi al-Sha>fi’i, Kifa>yah, 206. 19 Peters, Jihad in Classical …, 3. 20 Sebagaimana dikutip oleh Abou El Fadl, “Between Functionalism and Morality: The Juristic Debates on the Conduct of War”, dalam Jonathan E. Brockopp, Islamic Ethics of Life: Abortion, War and Euthanasia(Carolina: The University of South Carolina Press, 2003), 104. 18
42
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
menyuarakan jihad. Ia dinilai bermanfaat bagi rezim Mamluk karena ia membantu mengumandangkan perlawanan terhadap orang-orang Kristen, bangsa Mongol dan kaum bid’ah. Sultan Mamluk La>ji>n, misalnya, meminta agar Ibn Taymiyah menggelorakan semangat jihad rakyatnya melawan kaum Kristen Armenia dan Sisilia. Jihad bagi Ibn Taymiyah merupakan pertahanan, untuk membersihkan dunia sunni dari kehadiran orang kafir, atau kaum muslim yang menganut bid’ah. 21 Perlawanan terhadap kelompok yang dinilai kafir ini adalah unsur yang penting dalam konsepsi jihad Ibn Taymiyah. Dalam bukunya, Fiqh al-Jiha>d, Ibn Taymiyah menyatakan bahwa setiap kelompok manusia yang telah sampai pada mereka da’wah Islam, dan tidak meresponnya, maka qita>l adalah jawabannya. Ibn Taymiyah dalam hal ini banyak menjadikan teks-teks jihad dan qita>l yang turun pada fase madinah sebagai sandaran, dan tentu teks-teks hadis yang banyak memberikan legitimasi terhadap jihad fisik.22 Berbicara tentang jihad juga tidak bisa menafikan tiga serangkai, Hasan al-Banna> (w. 1948), Abu> A’la> al-Mawdu>di> (w. 1979), dan Sayyid Qut}b (w. 1966). Ketiganya mempunyai pengaruh yang signifikan di era modern terhadap puritanisme keagamaan. AlBanna>, misalnya, pendiri Ikhwa>n al-Muslimi>n, sangat Carole Hillenbrand, Perang Salib: Sudut Pandang Islam, terj. Heryadi (Jakarta: Serambi, 2005), 291-293. 22 Zahi>r Syafi>q al-Kabi> (ed.), Fiqh al-Jiha>d li Syaykh al-Isla>m al-Ima>m Ibn Taymiyah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1992), 71 – 73. 21
43
Jihad dan Benturan Peradaban
menekankan visi Islam yang komprehensif, yakni mengatur totalitas kehidupan manusia: kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Islam menurutnya adalah iman dan ritual, agama dan negara, spiritualitas dan amal, al-Qur’an dan pedang. Pada saat yang sama, alBanna> menunjukkan resistensi yang tinggi terhadap Barat yang nonmuslim, termasuk umat Islam yang dinilai mengadopsi budaya dan nilai Barat. Ini ditunjukkan dengan kolaborasi Ikhwa>n al-Muslimi>n dengan pejuang kemerdekaan dalam menggulingkan monarki Mesir pro Inggris. Dalam level tertentu, ikhwa>n al-Muslimi>n memang tidak menganjurkan pemakaian kekerasan, dan orientasi da‘wahnya lebih ditujukan pada masyarakat urban untuk mengatasi kemunduran umat Islam. Akan tetapi benih-benih agresifitas sudah mulai terlihat, dan al-Banna> kelihatannya masih menahan diri ketika pengaruh organisasinya belum diterima secara luas.23 Hal yang mirip dilakukan oleh al-Mawdu>di>. AlMawdu>di> juga menekankan arti pentingnya penyatuan Islam dan politik, dan semangat perlawanan terhadap budaya dan pemikiran Barat. Bahkan al-Mawdu>di> bertindak lebih jauh dari ikhwa>n al-Muslimi>n, yakni penokannya terhadap ide kelompok modernis tentang penyelarasan “syari>’ah” dengan konteks modern melalui ijtihad. Untuk memelihara eksistensi syari>’ah, al-Mawdu>di> menilai penting hadirnya kekuasaan Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, terj. Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati (Jakarta: Serambi, 2006), 573-574. 23
44
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
politik dan negara Islam. Ini sebagaimana pendapanya bahwa umat Islam India harus mendirikan negara Islam sebagai negara mereka sendiri yang terpisah dengan dari India. Dan untuk mewujudkan semua ini, sebagaimana al-Banna>, al-Mawdu>di> mendirikan organisasi Jama>’at al-Isla>m. Berbeda dengan ikhwa>n alMuslimi>n yang merupakan organisasi massa, Jama>’at alIsla>m adalah organisasi kelompok elit yang anggotanya harus mempunyai dedikasi untuk berjihad melawan kekufuran dan semua bentuk amoralitas.24 Qut}b dari Mesir yang pada akhirnya juga bergabung dengan ikhwa>n al-Muslimi>n, juga memandang penting aplikasi jihad yang bersifat fisik. Ia berpendapat bahwa perdamaian dunia (world peace) mengandaikan aplikasi jihad, termasuk dalam bentuk qita>l. Hal ini menurut Tibi merupakan re-invensi konsep Islam klasik tentang perdamaian, kemudian dikolaborasikan dengan doktrin baru jihadisme untuk dijadikan alat mobilisasi pelaksanaan jihad.25 Menurut Qut}b, umat Islam berkewajiban untuk menegakkan kedaulatan Tuhan di bumi, dan melawan semua bentuk pengingkaran terhadap kedaulatan tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah siapapun yang mengklaim mempunyai hak untuk membuat legislasi dan menafikan legislasi Tuhan. Umat Islam juga diperintahkan untuk melawan ketidakadilan di manapun, baik dalam skala individu, sosial, nasional Ibid., 574-577. Bassam Tibi, Political Islam, World Politic and Europe (Canada: Routledge, 2008),43. 24 25
45
Jihad dan Benturan Peradaban
atau internasional. Target dan orientasi Qut}b dalam hal ini cukup jelas, yaitu resistensi terhadap Barat. Di tangan Qut}b, Islam menjadi kekuatan revolusi, dan jihad merupakan bentuk perjuangan untuk menegakkan kedaulatan Tuhan. Berkaitan dengan interaksi umat Islam dan musuhnya, sebagaimana fikih klasik, Qut}b menawarkan tiga alternatif: memeluk Islam, membayar upeti (jizyah), atau diperangi.26 Yu>su>f al-Qarad}a>wi>, ahli fikih Mesir, berpendapat bahwa jihad secara fisik masih tetap relevan hingga sekarang selama masih ada kelompok-kelompok lain yang bisa dinilai sebagai musuh Islam. Pelaku jihad dinilai oleh al-Qarad}a>wi> – dalam fatawa-nya – lebih mulia dibandingkan dengan pelaku zuhud yang melakukan ibadah secara individual dan mengasingkan diri. Bahkan ia menilai absah tindakan terorisme sebagai bagian dari jihad. Terorisme dalam bentuk bom bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok puritan muslim dinilai sebagai heroic operation of martyrdom dan the supreme form of jihad for the sake of Allah, karenanya diperbolehkan oleh syariah. Dalam hal ini al-Qarad}a>wi> berargumentasi bahwa jika masyarakat sasaran adalah masyarakat militer – wanita juga banyak terlibat dalam pasukan sebagaimana dalam kasus Israel – maka jihad dalam bentuk terorisme menjadi legal walaupun wanita dan anak-anak ikut terbunuh. Anak-anak dan lansia memang tidak boleh menjadi target, akan tetapi jika Sayyed Qut}b, Islam and Universal Peace (New York: American Trust Publications, 1983), 72 26
46
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
mereka terbunuh secara aksidental, ini dapat dimaafkan oleh syariah, dengan berpegang pada prinsip darurat.27 Ah}mad Yasin, pemimpim Hamas, terkait dengan kasus Israil, juga menilai bahwa terorisme bom bunuh diri bisa menjadi bagian dari jihad. Ia menyatakan: “selama mereka menjadikan masyarakat sipil menjadi target, maka kami juga akan menjadikan masyarakat sipil mereka sebagai target.” Berdasar interview tahun 1998, Muh}ammad al-T}anta}a>wi, juga memvalidasi bom bunuh diri (suicide bombing), jika musuh menjadikan masyarakat sipil sebagai target penyerangan.28 Mohammad Hashim Kamali dalam hal ini menyatakan bahwa fatwa tentang kebolehan bom bunuh diri, utamanya fatwa Yu>su>f al-Qarad}a>wi>, hanya terkait dengan kasus Palestina, dan karenanya tidak bisa digeneralisasikan pada kasus-kasus lain.29 Sementara itu Sayyed Hossein Nasr memandang penting untuk membedakan antara makna popular jihad dan makna teologis-yuridis jihad, termasuk dalam hal ini membedakan makna jihad yang dikehendaki Islam, dan praktek jihad yang dilakukan umatnya. Makna popular jihad sering kali didekatkan dengan pengertian “perang suci” (crusade). Padahal, makna David Zeidan, “The Islamist View of Life as a Parennial Battle” dalam Barry Rubin dan Judith Colp Rupin, Anti-America Terrorism and the Midle East: A Documentary Reader Understanding the Violence (Oxford: Oxford University Press, 2002), 24 – 25. 28 Mohammad Hashim Kamali, Shari’ah Law: An Introduction (Oxford: Oneworld, 2008), 285. 29 Ibid., 286. 27
47
Jihad dan Benturan Peradaban
sebenarnya dari jihad seharusnya dikembalikan kepada makna dasar dari jihad itu sendiri, yakni usaha sungguhsungguh di jalan Tuhan (exertion and striving in the path of God). Dalam konteks ini, seluruh kehidupan muslim menurut Islam adalah jihad, karena usaha untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Dan karena Islam tidak mendikotomikan aspek religious dan sekuler, maka seluruh lingkar kehidupan muslim mengandung spirit jihad. Jihad bukan bagian dari rukun Islam, akan tetapi pelaksanaannya mengandaikan adanya spirit jihad. Hal yang sama juga berlaku pada persoalanpersoalan mu‘a>malah umat Islam dalam rangka menyelaraskannya dengan nilai-nilai akhlak Islam, dan dalam rangka merealisasikan kehidupan yang jujur dan adil. Ini adalah persoalan yang maha berat, dan karenanya mutlak membutuhkan spirit jihad.30 Dikotomi pemaknaan dan interpretasi tentang jihad tidak terlepas juga dari pemaknaan kedaulatan Tuhan (h}a>kimiyah). Bagi kelompok puritanis kedaulatan Tuhan merupakan konsep penting dalam mengarahkan segenap tindakan muslim, sebagaimana eksplisit dinyatakan al-Mawdu>di> dan Qut}b. Menurut mereka, tidak satupun unsur kedaulatan yang didelegasikan kepada manusia, dan Tuhan mempunyai kuasa penuh untuk mengatur semua aspek kehidupan manusia. Prinsip inilah yang pada akhirnya sering bertabrakan dengan modernitas yang salah satu unsurnya adalah Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (Toronto: HarperCollins, 2004), 257 – 258. 30
48
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
rasionalitas dalam menata kehidupan. Semua bentuk kedaulatan, termasuk kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi dinilai bertabrakan dengan syari>’ah. Radikalisme keagamaan, dalam hal ini, ditandai dengan prinsip kedaulatan Tuhan dan peran jihad sebagai aspek terpenting dalam Islam.31 Aplikasi jihad adalah sarana utama untuk menegakkan kedaulatan Tuhan, walaupun harus tercerabut dari etika jihad. Ini paling tidak ditunjukkan oleh modus operandi baru jihad kontemporer dalam bentuk terorisme bom bunuh diri (suicide bombing). Fenomena inilah yang disebut Tibi dengan jihadisme modern (modern jihadism). Berbeda dengan jihad klasik (classical jihad)yang dinilai sebagai bagian dari da’wah dengan aturan dan target yang jelas, era kontemporer juga menyaksikan munculnya ideologi jihadisme yang mengabsahkan penggunaan kekerasan dan perang yang tidak mengindahkan etika perang yang ditujukan pada Barat.32 B. Jihad dan Benturan Perspektif Poskolonial
Peradaban
dalam
1. Tesis Benturan Peradaban (The Clash of Civilizations) Peradaban (civilizations) adalah lawan dari konsep barbarisme (barbarism). Masyarakat yang berperadaban Youssef M. Choueri, Islamic Fundamentalism (Boston: Twayne Publisher, 1990), 11. 32 Tibi, Political Islam, World Politic and Europe (Canada: Routledge, 2008), 41. 31
49
Jihad dan Benturan Peradaban
berbeda dengan masyarakat primitif, karena ia menetap (mukim), berbudaya kota, dan terpelajar. Akan tetapi peradaban (civilizations), menurut Samuel Huntington, lebih berkaitan dengan pengertian nilai, norma, institusi dan model berpikir yang membedakan antara satu dengan yang lain. Atau pengertian lain menyatakan bahwa ia adalah sekumpulan karakteristik budaya dan fenomena yang dipunyai oleh kelompok tertentu yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain.33 Peradaban atau civilization pada awal pembentukannya menurut Norbet Elias lebih mewakili citra diri masyarakat Barat yang superior dibanding masyarakat lain. Civilization dipersepsi sebagai “sesuatu” (thing, being), dan bukan “proses” yang terus mengalami evolusi. Karena itu Elias cenderung menggunakan kata kerja prosesual civilizing daripada kata benda civilization. Penggunaan kata kerja proses untuk peradaban ini menurutnya secara implisit mengakui kesetaraan yang lain (otherness).34 Pada Tahun 1993, Samuel Huntington, Profesor Harvard, menulis karya polemiknya di Jurnal Amerika Serikat, Foreign Affairs, dengan judul “The Clash of Civilizations” (Benturan Peradaban). Dalam karyanya tersebut ia menegaskan bahwa usai perang dingin, bentuk perseteruan dan konflik global lebih disebabkan oleh benturan peradaban. Walaupun Huntington Lihat, Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Touchstone Books, 1998), 40-41 34 Sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011), 66. 33
50
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
menyebut paling tidak enam peradaban besar dalam karyanya, akan tetapi ia banyak menggarisbawahi potensi konflik peradaban antara Islam dan Barat.35 Menurut Huntington, dalam perkembangannya perbedaan dan konflik antar manusia tidak lagi disebabkan oleh persoalan ideologi, politik atau ekonomi, akan tetapi oleh budaya dan peradaban (civilizations).36 Ideologi, politik dan ekonomi bukannya tidak penting dalam percaturan dunia, akan tetapi ketiganya hanya untuk mempertegas identitas, “we know who we are only when we know who we are not and often we know whom we are against” (Kita mengetahui diri kita hanya jika kita mengetahui siapa yang bukan kita, dan bahkan mengetahui siapa lawan kita). Identitas “keakuan” Barat dibangun dengan mendefinisikan pihak lain. Negara bangsa (nation state) tetap memainkan peran yang maha penting dalam percaturan dunia, akan tetapi prinsip konflik dalam politik global akan terjadi antara negara atau kelompok yang berasal dari peradaban yang berbeda.37 Di antara sekian peradaban kontemporer yang bersifat mayor, menurut Huntington adalah: Cina (sinic), Jepang, Anthoni Bubalo, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, terj. Akh Muzakki (Jakarta: Mizan, 2007), 20. 36 Lihat, Huntington, The Clash of Civilizations …, 40-41. 37 Huntington, The Clash …, 21. Lihat juga Huntington, “The Clash of Civilization?”, dalam Joanne Meyerowitz (ed.), History and September 11 Th (Philadelpia: Temple University Press, 2003), 223. 35
51
Jihad dan Benturan Peradaban
Hindu, Islam, Rusia (orthodox), dan Barat (western).38 Kelompok peradaban Barat (the West) mencakup Eropa, Amerika Utara, dan negara-negara Eropa lain semisal Australia dan Selandia Baru. Relasi antara dua komponen utama Barat, yakni Amerika dan Eropa, selalu berubah. Dalam sebagian besar lintasan sejarah, Amerika menegaskan masyarakatnya berbeda dengan Eropa, Amerika adalah the land of freedom, equality, opportunity, the future, dan sebaliknya dengan Eropa. Akan tetapi pada abad ke-20, menurut Huntington, Amerika menyatakan dirinya sebagai bagian dari Eropa, dan Amerika menegaskan dirinya menjadi pemimpin entitas yang lebih besar, yakni Barat, yang salah satu unsurnya adalah Eropa. Di antara sekian peradaban besar di atas, masingmasing disemangati oleh ruh agama. Agama menjelma menjadi etos peradaban, dan pada kenyataannya setiap peradaban mempunyai agamanya masing-masing yang membedakan dengan yang lain. Agama dalam hal ini bersifat sentral dalam mendefinisikan peradaban. Huntington mengutip pernyataan Christopher Dawson bahwa agama yang besar adalah fondasi bagi munculnya peradaban besar.39 Yang paling berpotensi untuk berbenturan menurut Huntington adalah Barat di satu pihak, dengan Islam dan Cina di pihak lain.40 Menurut Jack Miles, ada tiga peradaban yang Huntington, The Clash of Civilizations …, 46. Ibid., 45-47. 40 Ibid., 20. 38 39
52
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
berpotensi untuk berbenturan; pertama, the western civilization yang diwakili oleh adikuasa, seperti Amerika. Kedua, the eastern civilization yang dipersonifikasikan oleh Jepang dan Cina, dan ketiga the Islamic civilization yang oleh Miles dibahasakan dengan da>r al-Isla>m.41 Dalam bahasa Huntington, kemungkinan muncul konflik yang paling signifikan adalah berasal dari arogansi Barat, fanatisme Islam, dan peneguhan jati diri Cina dan Jepang.42 Peradaban Barat dan Peradaban Cina serta Jepang, menurut Miles, benturannya bisa diminimalisasi, karena ada kecendrungan the eastern civilization bersifat akomodatif terhadap peradaban Barat, atau paling tidak mengurangi resistensinya. Jepang dan Cina sendiri dalam perjalanan sejarahnya terlihat sudah mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan politik dan ekonominya.43 Yang paling mungkin untuk berbenturan menurut Miles, mendukung tesis Huntington, adalah benturan antara peradaban Barat dan peradaban Islam. Peradaban Barat yang dimaksud adalah adalah peradaban Kristen-Yahudi. Dalam pengalaman sejarahnya, telah tertorehkan konflik berdarah dalam jangka waktu yang lama antara penganut Kristen-Yahudi dengan Islam. Menurut Miles, konsep dan doktrin fikih tentang da>r al-Isla>m dengan Sebagaimana dikutip oleh Herry Nurdi, Lobi Zionis dan Rezim Bush (Jakarta: Hikmah, t.t.), 272. 42 Lihat Lathifah Ibrahim Khadar, Ketika Barat Memfitnah Islam, terj. Abdul Hayyi al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2005), 105. 43 Sebagaimana dikutip oleh Herry Nurdi, Lobi Zionis dan Rezim Bush: Teroris Teriak Teroris (Jakarta: Hikmah, 2006), 272. 41
53
Jihad dan Benturan Peradaban
sendirinya memunculkan da>r al-h}arb. Artinya bahwa penegakan wilayah Islam berbarengan dengan perintah untuk berperang melawan nonmuslim.44 Karena itulah perang dan jihad yang diwujudkan dalam bentuk aksiaksi kekerasan yang muncul di era modern seringkali diasosiasikan dengan benturan peradaban antara Islam dan Barat. Menurut Huntington, prinsip benturan peradaban adalah antara Islam dan barat. Bagi Barat, menurut Huntington, problem utama adalah fundamentalisme Islam yang berkeyakinan bahwa Islam adalah peradaban berbeda yang penganutnya meyakini bahwa budayanya lah yang superior dan di sisi lain mereka bimbang dengan kekuatan yang mereka miliki. Sementara itu bagi Islam, yang penting bukan CIA atau Departemen Pertahanan Amerika Serikat, karena mereka adalah Barat yang mempunyai peradaban berbeda yang mempunyai keyakinan universalitas budaya mereka dan mempunyai keyakinan akan kekuatan mereka.45 Menurut John L. Esposito, Islam dan gerakannya yang seringkali bersifat transnasional dinilai sebagai ancaman bagi Kristen dan Barat. Di sisi lain, setelah selesainya perang dingin, Amerika berkepentingan untuk mencari musuh baru sebagai proyeksi keberanian dan kekuatan Amerika. Akan tetapi, menurut Esposito, pilihan Islam sebagai ancaman politik pasca perang Ibid., 273. Abdul Gafoor Abdul Majeed Noorani, Islam and Jihad: Prejudice versus Reality (New York: Palgrave Macmillan, 2002), 5. 44 45
54
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
dingin memaksanya untuk berjalan antara mitos dan realitas, antara kesatuan Islam dan kemajemukan manifestasi Islam. Dan kenyataannya, Amerika sebagai mana terpotret di media, cenderung melihat dunia Islam dan gerakan Islam sebagai monolitik dan melihat mereka dalam kategori ekstrimisme dan terorisme.46 Para pejabat Amerika sendiri mencoba untuk memahami dan menolak dengan tegas bahwa bangkitnya sentimen-sentimen Islam berkaitan dengan ide benturan antar peradaban, akan tetapi ia lebih berkaitan dengan memburuknya kondisi sosio-politik dan sosio-ekonomi. Sementara, Amerika sendiri menyatakan bahwa komitmen negara ini adalah bagaimana bisa menjadi jembatan antar berbagai sistem spiritual dan peradaban. Pada masa pemerintahan Bill Clinton, Presiden ke-42 (1993-2001), misalnya, presiden ini dan segenap pembantunya sering kali memuji Islam dan menekankan hubungan keagamaan dan peradaban antara Islam dan Barat. Menurut Gerges, berdasar penuturan penyusun naskah pidato Clinton, Clinton sangat hati-hati dan mencoba untuk sensitif terhadap Islam serta memberikan keyakinan kepada umat Islam bahwa Amerika tidak menganut hipotesa the clash of civilizations.47 Kehati-hatian yang serupa juga dilakukan oleh George W. Bush, John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality? (Oxford: Oxford University Press, 1992), 5. 47 Fawaz A. Gergez, Amerika dan Politik Islam: Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan, terj. Kili Pringgodigdo dan Hamid Basyaib (Jakarta: Alvabet, 2002), 297. 46
55
Jihad dan Benturan Peradaban
Presiden Amerika ke 43 (2001-2009). Bush, misalnya, menegaskan bahwa kepemimpinannya bukanlah untuk menggelar perang dengan Islam, karena Islam adalah agama perdamaian. Akan tetapi perang ditujukan kepada musuh bersama, yakni gerakan terorisme yang pada dasarnya berseberangan dengan misi semua agama tentang perdamaian. Akan tetapi hal di atas dinilai sebagai sebuah retorika politik. Pada prinsipnya Pentagon dan Dewan Keamanan Nasional Bush banyak dipengaruhi oleh orientalis Bernard Lewis dan Fouad Ajami yang dinilai oleh Edward W. Said sebagai proponen tesis benturan beradaban. Ketika dunia Islam dan Arab mengalami kemunduran, mereka berkeyakinan bahwa Amerika lah yang bisa memberikan solusi atas kemunduran tersebut.48 Pejabat Washington sendiri sering membuat pernyataan bahwa mereka sedang berusaha mengubah peta peradaban Timur Tengah,49 sebuah pernyataan tentang superioritas peradaban Barat terhadap Timur tengah yang “kuno”. Media-media Amerika dalam headline-nya juga sering bertemakan tentang “Islam dan terorisme”, “ancaman Arab dan muslim” dan yang semisal.50 Ini semua dinilai sebagai isyarat dari benturan peradaban. Edward W. Said, “Prolog: Untuk Edisi Ulang Tahun Orientalisme yang Ke-25”, dalam Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek, terj. Achmad Fawaid (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), xx. 49 Ibid., xviii. 50 Ibid., xx. 48
56
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
2. Jihad dan Tesis tentang Benturan Peradaban Sebagaimana jihad sering diasosiasikan dengan terorisme, jihad juga dinilai merupakan wujud dan ekspresi dari benturan peradaban antara Islam dan Barat. Jihad merupakan resistensi terhadap hegemoni Barat dari sebagian masyarakat muslim global, dan jihad dinilai paling ampuh untuk mewujudkan resistensi dan perlawanan tersebut. Bagi sebagian muslim, dalam kondisi darurat, absah untuk menjadikan teror sebagai bagian dari jihad melawan hegemoni Barat terhadap negara-negara muslim. Bagi Barat, aksi teorisme yang memuncak pada peristiwa 11 September merupakan kian menambah legitimasi untuk melancarkan perang secara terbuka terhadap kantong-kantong kekuatan Islam yang dinilai mempunyai gerakan yang disemangati oleh jihad, terorisme dan perlawanan terhadap Barat. Dalam bahasa Amerika Serikat misalnya, muncul sloganslogan perang terhadap terorisme dengan ungkapan: war on terror, dan war for the sake of ragime change or freedom.51 Perang terhadap jihad yang mewujud dalam bentuk terorisme, selain merupakan jaminan rasa aman bagi Barat, pada dasarnya juga merupakan upaya pengukuhan terhadap supremasi Barat yang berbasis ideologi kapitalisme dan neoliberalisme.52 Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Surabaya: Erlangga, 2006), 430. 52 Sebagaimana diketahui, ekonomi Barat (khususnya Amerika) banyak bergantung pada perdagangan internasional. 51
57
Jihad dan Benturan Peradaban
Huntington, proponen tesis tentang “benturan peradaban”, memberikan pencitraan terhadap Islam pararel dengan tesis yang diungkapkannya. Menurutnya sejak awal Islam adalah “agama pedang” yang banyak mencapai kemenangan dari satu perang ke perang yang lain. Kekerasan dalam Islam menurutnya berakar pada suku Badui yang nomadik. Muhammad menurutnya adalah petarung dan komandan perang yang terlatih, dan ini berbeda sama sekali dengan sosok Kristus atau Budha. Sementara doktrin Islam menurutnya memberikan perintah untuk memerangki orang kafir. Tatkala ekspansi dan perang dengan kelompok kafir mereda, fitnah atau konflik internal di kalangan muslim sering kali muncul. Al-Qur’an dan teks-teks lain menurut Huntington, sedikit sekali memberikan larangan kekerasan, dan konsep non-violence dinilai absen dari doktrin dan praktek umat Islam.53 Sementara itu, kelompok muslim puritan membenarkan adanya pertarungan peradaban antara Islam dan Barat. Abu Bakar Ba’asyir misalnya, menyatakan bahwa akan selalu ada benturan (clash) antara Islam dan kelompok kafir. Dalam sejarah Persoalannya kemudian adalah bagaimana perusahaanperusahaan multinasional berkuasa terhadap ekonomi-bisnis dan bukan negara. Berdasar hal ini maka lahirlah paham neoliberalisme yang berprinsip pada less regulation, more growth, more employment. Prinsip ini merupakan pijakan bagi berkuasanya perusahaan. IMF, Bank Dunia, WTO merupakan instrumen global AS dalam melanggengkan politik ekonominya. Ahmad Baso, NU Studies …, 432. 53 Huntington, The Clash …, 263. 58
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
keislaman, tandas Ba’asyir, tidak pernah ada contoh dan preseden bahwa Islam dan orang kafir, baik dan buruk, bisa hidup berdampingan dalam suasana damai. Senada dengan Ba’asyir, Abu Firas menandaskan bahwa perang budaya dan peradaban antara Islam dan Barat telah terjadi sejak lama sebelum Huntington merilis tesisnya tentang benturan peradaban. Perang ada selama dan sejak ada keimanan dan kekufuran.54 Kelompok ideologi jihadis sering mengobarkan propaganda bahwa “Islam berada dalam ancaman/ serangan” (Islam is under attack) oleh Barat, khususnya Amerika Serikat. Ini sebagaimana terjadi di Filipina, Indonesia, Afghanistan, Irak dan negara-negara yang lain. Ketika muslim dalam posisi defensif terhadap serangan Barat, maka jihad merupakan kewajiban personal bagi setiap muslim, laki-laki, perempuan dan anak-anak. Menurut Davis Aaron, serangan-serangan yang diderita muslim di beberapa negara pada dasarnya adalah akibat dari provokasi-provokasi kelompok-kelompok ideologi jihadis.55 Baik kelompok muslim jihadis, maupun Barat saling memberikan sandaran dan legitimasi terhadap penyerangannya terhadap yang lain. Teori tentang jihad atau benturan peradaban, menurut Steven Sherman, hanya cocok untuk sebagian wilayah dan tidak untuk yang lain. Jihad bagi muslim puritan adalah media yang paling vital dalam David Aaron, In Their Own Word: Voices of jihad: Compilation and Commentary (Pittbugs: Rand Corporations, 2008), 115. 55 David Aaron, In Their Own Word …, 116. 54
59
Jihad dan Benturan Peradaban
kehidupan politik mereka. Mereka melakukan kritik terhadap modernitas dan menawarkan sistem yang dinilai lebih islami.56 Dalam bahasa Sherman, jihad dalam konteks muslim puritan itu sendiri diidentikkan dengan the clash of civilizations, yakni upaya muslim untuk melakukan counter terhadap peradaban Barat yang mendominasi dan mewarnai dunia, termasuk di negara-negara muslim. Penetrasi dan ekspansi Barat dalam hal ini dilihat tidak hanya berorientasi pada penciptaan kekuatan ekonomi dunia yang berpusat pada Barat, akan tetapi utamanya adalah usaha Barat untuk membentuk dunia sesuai dengan standar peradaban mereka. Reaksi terhadap penetrasi Barat (modernisasiakulturasi-westernisasi) memunculkan respon dalam bentuk re-tradisionalisasi, counter-akulturasi, dan dewesternisasi.57 Respon-respon sebagaimana tersebut merupakan ekspresi dari benturan peradaban. Respon pemikiran muslim kontemporer terhadap penetrasi peradaban Barat memang tidak bersifat tunggal. Abdullah Saeed dalam hal ini memetakan pemikiran Islam kontemporer menjadi enam tren:
Steven Sherman, “ A Multicultural Future”, dalam Martin schoenhals dan Josep E. Behar, Vision of the twenty first century: Social Research for the Millennium (New York: Global Publications, 2000), 129. 57 Roman Herzog et al., Preventing the Clash of Civilizations: A Peace Strategy for the Twenty-First Century (New York: St. Martin’s Press, 1999), 113. 56
60
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
the legalist tradisionalist,58 the political islamist,59 the islamist extremist,60 the theological puritans, the secular muslim,61 dan the progressive ijtihadist.62 Dari berbagai tren pemikiran tersebut, the political islamist dan the islamist extremist, utamanya, menunjukkan resistensi yang tinggi terhadap peradaban Barat. Kedua tren pemikiran ini umumnya mengacu kepada pemikiran the theological puritans yang dimotori oleh Muhammad b. Abdul Wahhab. Abou El Fadl menyebut mereka yang mengabsahkan tindakan kekerasan dalam praktek jihad dengan nama muslim puritan. Sementara itu kelompok progressive ijtihadist lebih obyektif dalam melihat perbedaan peradaban antara Islam dan Barat. Mereka yang umumnya mempunyai kontak dengan tradisi intelektual Barat ini mengembangkan Tren pemikiran ini mengikuti secara ketat pemikiran Islam pra modern dalam bingkai madzab-madzab fikih atau teologi tertentu dan menolak reformasi yang dinilai akan mereduksi otentisitas Islam. Lihat, Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction (New York: Routledge, 2006), 142 – 154. 59 Kelompok ini bercita cita mewujudkan aturan sosiopolitik Islam dan menolak secara tegas semua ideologi yang datang dari Barat, dan menganggapnya sebagai upaya westernisasi. Ibid. 60 Adalah gerakan-gerakan kemerdekaan nasional dan internasional yang berintikan perlawanan terhadap Amerika dan sekutunya karena adanya perasaan “ketidakadilan” berskala global terhadap negara-negara muslim. Ibid. 61 Tren pemikiran yang lebih menekankan pada personal piety dan menolak formalitas keagamaan, pendirian negara Islam dan aplikasi hukum Islam. Ibid. 62 Kelompok pemikiran yang berpendapat perlunya perubahan pemahaman Islam yang ortodoks dengan penekanan pada dimensi historitas Islam. Ibid. 58
61
Jihad dan Benturan Peradaban
sikap kritis terhadap tidak saja pada peradaban Barat, akan tetapi juga pada peradaban sendiri. Kelompok ini lebih inklusif dan menerima kemajemukan sebagai bagian dari sunnatullah. Ini tentu berbeda dengan kelompok muslim puritan yang menghendaki keseragaman, tidak saja dalam intenal agama, akan tetapi juga mempunyai ambisi yang serupa pada tataran global. Perspektif kelompok muslim puritan ini tentu pararel dengan ide Barat tentang universalisasi peradaban. Karena itu, jika benturan peradaban merupakan modus kelompok peradaban untuk melenyapkan peradaban yang lain, maka benturan akan membawa pada “ketunggalan” yang menafikan pluralitas. Kondisi ini menurut Muhammad Imarah akan sangat mengganggu kehidupan sosial dan pada gilirannya akan menghapus iklim berkompetisi dan berlomba antar peradaban.63 Karena itu pada dasarnya, sebagaimana diungkap Tariq Ali, bahwa benturan yang terjadi bukan antara peradaban Islam dan Barat, akan tetapi antara kelompok fundamentalisme Islam dan fundamentalisme Barat.64 Perbedaan peradaban memang merupakan salah satu potensi konflik. Akan tetapi aktualisasi dari potensi tersebut pada dasarnya lebih disebabkan oleh politisasi pandangan dunia peradaban yang berimbas Muhammad Imarah, Fundamentalisme dalam Pemikiran Barat dan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 86. 64 Sebagaimana dikutip Imam Cahyono, “Benturan yang Tak Terelakkan”, dalam Tempo Online, http://majalah.tempointeraktif. com/id/arsip/2004/07/19/BK/mbm.20040719.BK93791.id.html (Akses, 11 Desember 2011). 63
62
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
pada ideologi politik fundamentalisme keagamaan. Para penganut fundamentalisme keagamaan, baik Islam maupun Kristen, melakukan politisasi perbedaan peradaban, dan karenanya mereka menjadikan “Benturan Peradaban” dari yang semula hanya bersifat potensial menjadi aktual.65 Tentu, pada tahap awal benturan tersebut belum pada level fisik dan militer, akan tetapi seiring dengan menguatnya ide benturan peradaban, ditambah dengan munculnya pemicupemicu lain, maka benturan peradaban mengambil bentuk pertarungan yang bersifat fisik yang dalam konteks muslim puritan direpresentasikan oleh praktek jihad, sementara bagi Barat direpresentasikan oleh tindakan-tindakan bersenjata yang diarahkan kepada negara dan kantong-kantong kekuatan muslim yang dinilai puritan dan mengancam peradaban Barat. Jihad dan tesis tentang benturan peradaban yang diusung oleh, baik muslim puritan atau proponen benturan peradaban dari kalangan Barat yang konservatif pada dasarnya berseberangan dengan semangat dialog antar peradaban. Dalam konteks dialog antar peradaban, perbedaan peradaban seharusnya tidak dipolitisasi oleh para penganut kegamaan yang puritan (Islam dan Kristen) dan termasuk juga oleh para pemangku kebijakan negara-negara Barat. Tesis tentang benturan peradaban dalam hal akan selalu menghantui iklim keamanan global. 65
Roman Herzog et al., Preventing the Clash of Civilizations...,
114. 63
Jihad dan Benturan Peradaban
Kesenjangan budaya dan peradaban seharusnya tidak diperuncing dengan perbedaan-perbedaan yang bersifat dikotomis antara Islam dan Barat, akan tetapi dicoba dijembatani dengan persamaan-persamaan antar peradaban tanpa bermaksud menghilangkan karakter dan kekhasan masing-masing paradaban. Azyumardi Azra misalnya, menyatakan bahwa Richard W. Bulliet, Guru Besar pada Columbia University New York, mengintroduksi titik temu peradaban Islam dan Barat. Bulliet menawarkan konsep tentang ‘Islamo-Christian Civilization’ dalam bukunya The Case for IslamoChristian Civilization. Konsep ini menegaskan bahwa kemajuan peradaban Barat berhutang kepada dua tradisi keagamaan yang sering disebut dengan Abrahamic Religions yang memiliki banyak kesamaan (affinity) dan sejarah bersama (shared history).66 Bulliet dalam hal ini menilai bahwa umat Kristen Barat dan Umat Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara pada dasarnya tergabung dalam peradaban historis yang tunggal. Karena itu menurutnya, konflik yang terjadi antara antara umat Islam dan Kristen pada dasarnya adalah konflik antara unsur-unsur peradaban yang sama. Konflik tersebut bisa diminimalisasi sebenarnya dengan membangun kesadaran bersama tentang adanya kesamaan warisan tradisi yang mencegah mereka untuk menjadi peradaban-peradaban yang berbeda secara Richard W. Bulliet, The Case for Islamo-Christian Civilization (Columbia: Columbia University Press, 2004), 45.. Lihat Azyumardi Azra, Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslimin: Dari Australia Hingga Timur Tengah (Jakarta: Hikmah, 2007), 57. 66
64
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
kontras. Akan tetapi di sisi yang lain, konseptualisasi ‘Islamo-Christian Civilization’ menemukan banyak kendala dan hambatan, antara lain karena bayangan menyejarah konflik antara umat Islam dan Kristen. Konseptualisasi hubungan peradaban ini semakin sulit tatkala Barat mempunyai paradigma dan anggapan bahwa ada yang salah (something wrong) dengan Islam dan umat Islam.67 Sejarah kelabu umat Islam dan Barat utamanya berawal dari praktek kolonialisme dan imperialisme Barat. Kolonialisme dan imperialisme ini dinilai penyebab paling menyakitkan dari konflik antara umat Islam dan Barat. Sebagian besar negara-negara muslim pernah mengalami pengalaman pahit ini, dan sebagai bentuk perlawanan, mereka menjadikan agama sebagai bahasa perlawanan terhadap penjajahan Barat. Islam dalam perkembangannya, tidak berhenti pada identitas kultural, akan tetapi seiring dengan rasa nasionalisme yang memuncak, berubah menjadi ide politik melawan penjajahan dan hegemoni Barat. Trauma sejarah panjang hubungan umat Islam dan Barat ini tentu tidak mudah untuk dilupakan.68 Sementara itu, terlepas dari motif ekonomi-politik yang ada, penjajahan yang dilakukan Barat terhadap negara-negara muslim juga mengandung motif agama dan penjajahan budaya.69 Ini bermula dari anggapan Ibid., 58. Moeslim Abdurrahman, Islam yang Memihak (Yogyakarta: LKiS, 2005), 28. 69 Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan 67 68
65
Jihad dan Benturan Peradaban
dasar bahwa peradaban Barat mestinya menjadi model bagi peradaban-peradaban lain. Pandangan Barat terhadap peradaban negara-negara muslim yang umumnya masuk kategori dunia ketiga adalah irasional, emosional, dan kurang beradab. Pandangan ini yang menyulut mereka untuk merasa berbeda dengan masyarakat Timur dan umat Islam. Dengan pandangan ini mereka merasa absah untuk mencangkokkan paradaban mereka. Karena anggapan peradaban mereka unggul dibanding peradaban lain dan bersifat universal, mereka melakukan universalisasi peradaban dan budaya dengan model penjajahan dan gerakan orientalisme. Penjajahan Barat terhadap negara-negara muslim pada dasarnya bukan permulaan kontak antara Islam dan Barat. Jauh sebelumnya, ada sejarah panjang ketika Barat mengambil alih banyak budaya dan peradaban lain yang lebih unggul, yakni peradaban Islam. Baru pada abad ke-15 dan 16 ekspansi kolonial melahirkan beragam bentuk penjajahan yang mencapai puncaknya dalam Timbangan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), 107. Kolonialisme adala fenomena yang bersifat heterogen berdasar paduan kepentingan pribadi dan negara. Keserakahan (laba perdagangan, pasar baru, budak), peluang meraih kedudukan sosial yang lebih tinggi, keyakinan perutusan kristiani (misi), ditambah dengan rasa unggulnya peradaban Barat, merupakan motif individual yang utama. Sementara motif negara bermula dari merkantilisme yang pada gilirannya diganti dengan politik kuasa dan persaingin ekonomi dalam merebut pasar-pasar baru. Lihat, Johannes Muller, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), 32. 66
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
pada rentang tahun 1875 – 1914. 70 Akan tetapi sejarah ketika peradaban Barat banyak belajar dari peradaban Islam seringkali dibuang dari kesadaran mereka, sehingga citra superioritas mereka tidak terkurangi. 3. Jihad, Benturan Peradaban, dan Wacana Poskolonialisme Pada sub bahasan ini akan akan dipaparkan bagaimana tesis tentang jihad dan benturan peradaban dibaca dengan pendekatan poskolonialisme. Akan tetapi sebelumnya perlu dijelaskan makna kolonialisme dan relasinya dengan poskolonialisme. Hal ini untuk memahami apa sesungguhnya makna poskolonialisme. Kolonialisme sering kali dikaburkan maknanya dengan imperialisme. Keduanya dianggap mempunyai makna yang sama. Imperialisme adalah konsep ideologis yang memberikan legitimasi kontrol ekonomi dan militer satu negara terhadap negara yang lain. Sementara itu kolonialisme merupakan salah satu perwujudan dari ideologi imperialisme dalam bentuk pendudukan satu negara atau kelompok terhadap negara atau kelompok lain. Imperialisme tidak mempunyai konsen pada pendudukan dan penjajahan secara fisik, akan tetapi merupakan ekspansi ekonomi dan perdagangan dengan legitimasi politik, hukum dan militer.71 Kata “post” dalam postcolonialism tidak semata Ibid. John McLeod, Beginning Postcolonialism (Menchester: Menchester University Press, 2000), 7-8. 70 71
67
Jihad dan Benturan Peradaban
mata menunjuk pada makna periode atau masa setelah kolonialisme, tetapi lebih menunjuk pada makna “melampaui” kolonial, tidak sekedar bermakna “after”, akan tetapi juga “beyond”. Karena itu “poskolonial” mencakup dimensi temporal (what follows the colonial) dan aplikasi kritis (yakni mempertanyakan segala hal terkait the colonial). Catherine Keller mendefinisikan poskolonialisme sebagai a discourse of resistence to any subsequent related projects of dominance.72 Poskolonialisme adalah wacana tentang resistensi terhadap apapun yang mengikuti proyek dominasi. Poskolonialisme dalam hal ini adalah kritisisme terhadap ideologi imperialisme yang mewujud dalam bentuk yang nonfisik, atau sering disebut dengan neokolonialisme atau kolonialisme modern.73 Kolonialisme tidak serta merta hilang dengan berakhirnya penjajahan. Nilai-nilai kolonialisme dinilai masih dilanggengkan dalam berbagai bentuk modes of representation. Poskolonialisme pada adasarnya bukan dalam makna periode atau era pasca kolonial, akan tetapi lebih merupakan kontinuitas dan perubahan Robertus Wijanarko, “Poskolonialisme dan Studi Teologi: Sebuah Pengantar”, Studia Philosophica et Theologica (Vol. 8, No. 2, Oktober 2008), 126. 73 Kolonialisme telah mengalami pergeseran makna. Kolonialisme modern ditandai dengan dua ciri, pertama, lebih dari sekedar membayar upeti seperti kolonialisme Romawi, melainkan struktur ekonomi, budaya manusia dan alam fisik daerah koloni dirombak sesuai dengan kepentingan penjajah. Kedua, daerahdaerah koloni dipaksa untuk menjadi pangsa pasar bagi negara penjajah. Lihat Mudji Sutrisno dan hendar Putranto (ed.), Hermenutika Pascakolonial: Soal Identitas (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 62. 72
68
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
sejarah (historical continuity and change). Representasi kolonialisme masih banyak dijumpai walaupun peta politik dunia sudah beralih ke dekolonisasi.74 Kolonialisme secara fisik memang sudah hilang dari negara-negara yang masuk kategori dunia ketiga. Akan tetapi penjajajahan yang bersifat nonfisik sebagai tindak lanjut penjajahan yang bersifat fisik masih sangat terasa dirasakan oleh banyak negara dan masyarakat. Wacana poskolonial dalam hal ini dikembangkan untuk melawan sisa-sisa kolonialisme dalam pengetahuan dan kultur yang masih sangat terasa hingga sekarang. Wacana poskolonial menurut Budianta sebagaimana dikembangkan oleh Edward Said adalah resistensi, penggugatan dan penolakan terhadap penindasan.75 Penjajahan secara politis dan fisik memang sudah tidak dirasakan ketika negara-negara muslim banyak memproklamirkan kemerdekaannya. Akan tetapi penjajahan secara budaya dan peradaban dirasakan terus berlangsung hingga kini yang dimediasi oleh kemajuan teknologi informasi. Ditambah lagi, karena umumnya negara-negara muslim adalah kategori negara ketiga, mereka secara ekonomi sangat bergantung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi Barat. Sistem ekonomi Barat yang menganut paham neo-liberalisme pun sering kali dipaksakan penerapannya di negara-negara muslim yang berakibat pada semakin terpinggirkannya posisi Robertus Wijanarko, “Poskolonialisme dan Studi Teologi: Sebuah Pengantar”, 32-33. 75 A. Budi Susanto (ed.), Politik dan Postkolonialitas di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 270. 74
69
Jihad dan Benturan Peradaban
negara-negara muslim dalam kancah perekonomian global.76 Hal di atas lah yang disebut oleh Antonio Gramsi sebagai “hegemoni budaya” (cultural hegemony). Hegemoni kultural adalah teori kritis poskolonial yang menyatakan bahwa masyarakat yang beragam budaya dapat didominasi oleh satu kelas sosial tertentu dengan memanipulasikan budaya dan segenap keyakinan serta nilai di balik budaya tersebut. Budaya penguasa dalam hal ini dijadikan sebagai ideologi universal dan standar bagi budaya lain. Hegemoni ini kemudian terus dipertahankan dengan pandangan dunia yang mengabsahkan status quo dan kemapanan budaya kelas penguasa. Sejarah intelektual poskolonialisme tidak bisa dipisahkan dengan tradisi pemikiran Marxisme dan postrukturalisme. Ini sebagaimana tesis Karl Marx yang menyatakan bahwa riwayat setiap masyarakat adalah episode panjang pertentangan kelas: kelas penguasa dan yang dikuasai, merdeka dan budak, bangsawan dan rakyat jelata, tuan dan buruh. Pertentangan kelas ini berakibat pada ketimpangan hubungan sosial Inilah yang disebut dengan globalisasi neoliberal. Di antara ciri penting neoliberalisme ini adalah: tidak adanya pemerataan ekonomi, karena ideologi neoliberalisme lebih mementingkan akumulasi modal dalam penguasaan perusahaanperusahaan transnasional dan perusahaan-perusahaan besar, dan membatasi peran pemerintah dalam mengatur pembatasan keuntungan pengusaha dan perusahaan-perusahaan besar. Lihat Nur Kholik Ridwan, NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad (Yogyakarta: LKiS, 2008), 8. 76
70
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
dalam masyarakat karena adanya kepentingan yang berbeda. Kelompok penguasa yang banyak melakukan dehumanisasi menimbulkan kesadaran perlawanan dari kelompok tertindas sebagai upaya pembelaan diri.77 Kelas dan kelompok tertindas inilah yang disebut oleh Gayatri Spivak dengan istilah subaltern. Subaltern adalah atribut yang bersifat general dari subordinasi yang terjadi pada masyarakat Asia yang diekspresikan dalam bahasa gender dan kasta sosial.78 Hegemoni dan penguasaan kelas penguasa terhadap budaya lain tidak dilakukan dengan kekerasan, tetapi dengan mengupayakan bentuk-bentuk persetujuan dari masyarakat yang dikuasai. Ini dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan afektif masyarakat melalui pola konsensus. Pola konsensus adalah penggiringan kesadaran masyarakat tentang berbagai masalah sosial ke dalam pola kerangka yang telah ditentukan oleh kelas penguasa. Ini lah yang disebut dengan penguasaan ideologis lewat rekayasa kesadaran masyarakat yang dikuasai sehingga mereka, tanpa disadari, mendukung budaya kelas penguasa.79 Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis (Yogyakarta: LkiS, 2009), 148. 78 Lihat Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?”, Williams, et al. (ed.), Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader (Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf, 1994). 79 Ahmad Muthohar, Islam Dayak: Dialektika Identitas Dayak Tidung dalam relasi Sosial-agama di Kalimantan Timur (Laporan Penelitian, STAIN Samarinda, 2011), 66. 77
71
Jihad dan Benturan Peradaban
Menurut Said, bentuk nyata dari ideologi imperialisme Barat diwujudkan dalam bentuk tradisi orientalisme. Orientalisme menunjuk pada bagaimana Barat merepresentasikan Timur yang inferior. Tradisi orientalisme terus hidup hingga sekarang dalam berbagai media Barat yang melukiskan tentang negara-negara Timur. Said meyakini bahwa mesin kolonialisme tidak dengan mudah hilang bersamaan dengan kemerdekaan negara-negara koloni.80 Said menjelaskan bahwa ada beberapa stereotypes dari tradisi orientalisme. Di antaranya yang penting untuk diungkap di sini adalah: pertama, the orient is timeless, yakni berbeda dengan Barat yang mengalami perkembangan kesejarahan dan ilmu pengetahuan, Timur dicitrakan sebagai wilayah yang relatif tidak mengalami perubahan. Abad ke-20 dinilai tidak ada perbedaannya dengan abad ke-18, dan ini berbeda dengan Barat yang dicitrakan sebagai wilayah yang telah mengalami perkembangan modern. Timur dinilai sebagai wilayah terbelakang dan primitif. Kedua, the orient is strange. Dalam tradisi orientalisme, Timur dinyatakan tidak saja berbeda dengan Barat, akan tetapi Timur dicitrakan sebagai aneh, abnormal, ganjil, dan tidak rasional. Ketiga, orientalism makes asumptions about race. Orang-orang Timur direperesentasikan Barat dalam berbagai macam stereotype yang bersifat rasial, seperti Arab yang suka kekerasan dan pembunuhan, orang Indian yang pemalas, Cina yang inscrutable dan 80
John McLeod, Beginning Postcolonialism, 39. 72
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
sebagainya.81 Stereotype ini dimunculkan dalam berbagai teks dan media Barat untuk mengukuhkan superioritas Barat terhadap Timur sekaligus legitimasi mereka untuk melakukan kontrol dalam berbagai bidang kehidupan. Orientalisme dalam hal ini merupakan perwujudan lain dari ideologi imperialisme Barat terhadap Timur. Sebagaimana poskolonialisme merupakan wacana perlawanan dan resistensi terhadap hegemoni peradaban dan ekonomi Barat, dalam konteks muslim puritan perlawanan tersebut dibahasakan dengan “jihad”. Jihad merupakan pranata yang ampuh dalam memobilisasi semangat perlawanan menghadapi penetrasi peradaban Barat. Gaung dan teriakan jihad yang semakin berkobar dari kalangan muslim puritan dinilai awal dari kebangkitan peradaban Islam. Barat sebagai penguasa peradaban global tentu merasa terancam dengan hal ini hingga Huntington merumuskan hipotesanya tentang benturan peradaban. Sementara itu bagi Barat, benturan beradaban bisa jadi justru menjadi alat yang ampuh untuk membendung ekspansi jihad. Di sisi yang lain, benturan peradaban bisa menjadi alat legitimasi untuk mendesain dan menaklukkan peradaban Islam. Slogan war against terroris dengan strategi pre-emptive strike terhadap kantong-kantong muslim yang dinilai puritan Stereotype yang lain adalah orientalism makes asumptions about gender, the orient is feminine, dan the oriental is degenerate. Lihat, Ibid., 44 – 46. Asumsi-asumsi ini tentu tidak bermaksud mengeneralisasi tradisi orientalisme. Buku ini membicarakan orientalisme dalam konteks wacana poskolonial. 81
73
Jihad dan Benturan Peradaban
merupakan cara awal mendesain peradaban tersebut sehingga bisa konpetibel dengan nilai-nilai yang dianut Barat. Dalam kacamata Barat, terdapat dikotomi antara peradaban Islam dan peradaban Barat. Peradaban Barat dikesankan sebagai prototype peradaban yang unggul, superior, rasional, sementara peradaban Islam sebagai peradaban yang lemah, inferior, irasional dan dipenuhi dengan mitos. Penggambaran ini sepenuhnya didasarkan pada ukuran dan perspektif Barat. Barat dalam hal ini adalah subyek, dan Timur, Islam adalah obyek yang dipelajari peradabannya untuk ditaklukkan demi kepentingan kuasa peradaban Barat. Semua ini diwadahi oleh tradisi orientalisme yang didengungkan sebagai pengetahuan yang obyektif dan universal, akan tetapi bagi Said orientalisme tak lebih merupakan wacana yang dibentuk oleh motif-motif kekuasaan belaka. Konsep jihad misalnya, para orientalis sering memakainya untuk menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan kekerasan dalam melakukan da’wah dan perluasan teritori. Interpretasi konsep jihad yang cukup beragam, dan background histroris yang melingkupi konsep jihad sering kali dinafikan sekedar untuk memberikan pencitraan bahwa Islam tidak kompetibel dengan nilai-nilai peradaban global: toleransi, HAM, humanitas, demokrasi dan lainnya. Kekhawatiran terhadap peradaban Islam yang 74
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
dinilai tidak kompetibel dengan peradaban Barat semakin bertambah tatkala populasi dan gelombang migrasi umat Islam ke negara-negara Barat semakin bertambah. Padahal jumlah populasi muslim di negaranegara Barat masih dalam jumlah minoritas dan umumnya sebagai pendatang, mereka mempunyai apresiasi yang positif terhadap sistem nilai yang dikembangkan di Barat selama masih bisa diselaraskan dengan prinsip Islam. Ini sebagaimana munculnya tema fikih aqalliyat (minoritas) sebagai pertanda bahwa masyarakat muslim mencoba untuk melakukan adaptasi dengan situasi dan lingkungan negara dalam menjalankan ajaran keagamaan. Kondisi sosial budaya – selain tentu faktor ekonomi – merupakan motivasi masyarakat muslim untuk bermigrasi ke negara-negara Barat. Amerika dalam hal ini menurut Muqtedar Khan merupakan impian tempat tinggal banyak orang, Amerika Serikat adalah tempat tinggal terbaik di atas planet ini dan karenanya jutaan orang dari berbagai penjuru dunia Islam mengharapkan mendapatkan visa untuk bisa masuk ke Amerika, bahkan setelah peristiwa 11 September, dalam rangka mendapatkan masa depan yang lebih baik. Amerika, tandasnya, dan bukan satu dari lima puluh lima negara muslim, merupakan pilihan pertama umat Islam untuk berpindah secara permanen.82 Muqtedar Khan, hadiah Amerika: Tradisi Baru Pemikiran Islam, dalam dalam http://www.commongroundnews.org/article.php?id=20 839&lan=ba&sid=1&sp=1&isNew=0 (Akses, 20 Oktober 2009). Imigran Arab dalam jumlah yang signifikan menuju Amerika sejak 82
75
Jihad dan Benturan Peradaban
Hal-hal di atas tentu sebatas kekhawatiran yang berlebihan dari pihak Barat dan sekedar mengabsahkan tesis tentang benturan peradaban. Wacana poskolonialis sebagai sebuah wacana perlawanan terhadap Barat tidak berarti sepakat dengan tesis benturan peradaban, atau sepakat dengan model jihad kelompok puritan yang bermaksud melawan Barat. Wacana poskolonial justru hendak mengenyahkan oposisi-oposisi biner, baik yang diciptakan oleh Barat atau kelompok Islam Puritan. Yang hendak dilawan oleh wacana poskolonial adalah “hegemoni” apapun bentuknya dan datang dari manapun juga. Karena itu wacana poskolonial tidak menyepakati relasi jihad dan tesis tentang benturan peradaban. Poskolonialisme dalam buku ini hendak menyibak dan mengidentifikasi ikatan antara pengetahuan dan kekuasaan di dalam produksi teks. Poskolonial dalam hal ini lebih sebagai “strategi membaca” dan praktek membaca secara oposisional terhadap makna-makna yang dominan. Karena itu poskolonialisme lebih merupakan sikap mental daripada sebuah metode, lebih tahun 1920-an. Dan sampai sekarang ini jumlah muslim Amerika, menurut catatan Fradkin (2004), mencapai kisaran dua sampai tiga juta jiwa. Sebagian bahkan menyatakan, walau agak meragukan, kisaran enam sampai delapan juta jiwa.Mereka datang dari berbagai Negara dengan variasi etnik dan bahasa ibu. Mereka membentuk satu komunitas muslim yang unik yang tidak ada padanannya. Komposisi terbesar datang dari Asia Selatan, 35 – 40% dari populasi muslim Amerika, kedua terbesar adalah muslim Afrika-Amerika, 30%, ketiga muslim Arab, 25%, dan sisanya 5 – 10% datang dari Afrika, Turki, Asia Tengah dan Eropa. Lihat, Hillel Fradkin, “America in Islam”, Public Interest, (Spring, 2004), 46.
76
Jihad, Benturan Peradaban dan Wacana Poskolonialisme
merupakan disposisi subversif terhadap pengetahuan dominan daripada sebuah aliran pemikiran.83 Dalam konteks buku ini, poskolonialisme akan dipakai untuk menelanjangi ideologi imperialisme dalam konteks wacana relasi jihad dan benturan peradaban yang yang diproduksi oleh “fundamentalisme Barat” dan “puritanisme Muslim”.
Robertus Teologi...”, 129. 83
Wijanarko,
“Poskolonialisme
77
dan
Studi
Jihad dan Benturan Peradaban
78
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
BAB III
JIHAD DAN BENTURAN PERADABAN DALAM PERSPEKTIF ABOU EL FADL
B
ab ketiga ini akan mengurai tentang jihad dan benturan peradaban dalam perspektif Abou El Fadl. Bagian awal bab ini akan diawali dengan paparan bagaimana kritik kontruktif Abou El Fadl terhadap konsep jihad. Bagian ini meliputi identifikasi terhadap geneologi puritanisme muslim dan upaya Abou El Fadl dalam menjernihkan konsep jihad dengan kritik pedasnya terhadap muslim puritan dan Barat sekaligus terhadap pemaknaan jihad yang bersifat reduksionis, diakhiri dengan penegasan Abou El Fadl tentang jihad sebagai prinsip moral-spiritual. Bagian kedua 79
Jihad dan Benturan Peradaban
akan dipaparkan tesis Abou El Fadl tentang jihad dan benturan peradaban. Bagian ini sekaligus bermakna upaya Abou El Fadl dalam membongkar hegemoni di balik wacana jihad dan benturan peradaban, baik hegemoni Barat maupun muslim puritan. Bagian ini terdiri dari jihad dalam konteks interaksi muslimnonmuslim, dikotomi da>r al-Isla>m dan da>r al-h}arbi, serta jihad, hegemoni Barat dan benturan peradaban. A. Kritik Konstruktif Konsep Jihad 1. Puritanisme Muslim: Perkawinan Wahabi-Salafi Jihad merupakan doktrin keagamaan yang maha penting bagi kelompok puritan dalam Islam. Ia bisa dikatakan sebagai rukun Islam yang ke-6 bagi mereka. Tidak sebagaimana muslim moderat yang memaknai jihad dari perspektif akhlak atau moralitas, muslim puritan cenderung memaknai jihad secara fisik untuk menyokong agenda ideologi keislaman mereka. Abou El Fadl menilai mereka sebagai telah membajak (hijack) doktrin jihad, dan karena itulah Abou El Fadl mengajak muslim moderat untuk melakukan counterjihad terhadap mereka. Begitu lekatnya diskursus jihad dengan kelompok puritan, sub bab ini akan diawali dengan pemaparan tentang konsep puritanisme menurut Abou El Fadl. Konsep “puritan” dalam kamus Abou El Fadl merupakan lawan konsep “modern”. Pemakaian istilah ini untuk melabeli kaum yang radik dan ekstrim berbaju 80
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
agama, menurutnya, lebih tepat daripada pemakaian istilah fundamentalis, militan, ekstrimis, radikal, fanatik, jahidis ataupun islamis.1 Hal ini sebagaimana Istilah “fundamentalis” menimbulkan kerancuan karena semua kelompok dalam Islam tentu mengklaim dirinya melaksanakan ajaran-ajaran fundamental Islam. Terma “militan” juga tidak selalu benar, karena bersikap militan dalam kondisi tertentu diperbolehkan, bahkan oleh agama apapun. Istilah “ekstrimis”, “radikal” dan “fanatik” juga tidak bisa menggambarkan kelompok yang dikupas Abou El Fadl dalam buku-bukunya. Karena mereka ternyata tidak selalu ekstrim, radik dan fanatik dalam segala hal, akan tetapi mereka selalu absolutis yakni menuntut kepastian dalam menafsir teks. Penggunaan istilah “jahidis” juga merancukan pemahaman keunikan dan partikularitas orientasi kaum puritan. Istilah “islamis” mengacu pada kelompok yang berorientasi pada Islam politik yang dicitrakan Barat sebagai berbahaya bagi kelangsungan masyarakat yang beradab dan demokratis. Secara umum “islamis” memang adalah kaum muslimin yang meyakini bahwa teologi dan hukum Islam seharusnya menjadi kerangka acuan otoritatif dalam setiap kondisi sosial dan politik. Akan tetapi tidak berarti mereka selalu berkeyakinan akan adanya keharusan negara teokrasi yang memaksakan keberlakuan hukum Islam secara keras dan literal. Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: Harpercollins Publisher, 2005), 16. Karen Armstrong termasuk yang berbeda dengan Abou El Fadl dalam penggunaan istilah fundamentalisme. Walaupun istilah ini pertana kali muncul dalam tradisi kaum Protestan Amerika yang hendak kembali ke ajaran fundamental mereka dengan pemberlakuan tafsir yang harfiah terhadap teks, akan tetapi istilah ini bisa diterapkan pada gerakan-gerakan lain, termasuk pada Yahudi dan Islam. Menurutnya ada kemiripan gerakan-gerakan fundamentalisme dalam agama apapun, yaitu: fundamentalisme merupakan perlawanan terhadap krisis yang mengancam, terhadap kepercayaan sekuler yang memusuhi agama dengan membangkitkan identitas-identitas simbolik dan praktekspraktek masa lampau. Lihat, Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi, terj. Satrio Wahono, et al. (Jakarta: Serambi, 2002), XI – XII. 1
81
Jihad dan Benturan Peradaban
istilah kelompok “moderat” penggunaannya lebih tepat daripada istilah kelompok “modernis”, “progresif” dan “reformis”.2 Kelompok moderat menurut Abou El Fadl dapat ditelusuri dalam tradisi Islam sebagaimana Nabi s.a.w. menyukai jalan tengah dan merepresentasikan seorang yang moderat yang enggan terjatuh ke dalam dua titik yang ekstrim.3 Sementara kelompok puritan adalah mereka yang secara konsisten dan sistematis menganut absolutisme, berpikir dikotomis, dan idealistik. Mereka tidak kenal kompromi, cenderung puris dalam artian tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang dan berkeyakinan bahwa realitas pluralistik merupakan kontaminasi terhadap otentisitas.4 Dalam setiap sejarah keagamaan selalu ada kelompok ekstrim. Pada awal sejarah keislaman, telah tercatat kelompok puritan Khawarij yang telah banyak membunuh orang-orang nonmuslim maupun muslim. Bahkan mereka mengaku bertanggung jawab atas terbunuhnya ‘Ali b. Abi> T}a>lib. Kemudian kelompok ekstrim ini selalu bermetamorphosis sepanjang sejarah,5 sebagaimana kita kenal sekarang Terma “modernis” lebih mengacu pada kelompok yang mencoba mengatasi tantangan modernitas dan tentu semua kelompok dalam Islam bekerja dalam kerangka ini dengan metode dan pemahaman masing-masing. Sementara istilah “progresivitas” dan “reformisme” lebih tepat mengacu pada kelompok elit dalam Islam. Akan tetapi “moderasi” merepresentasikan kelompok mayoritas dalam Islam. Lihat, Ibid.,17. 3 Ibid., 16. 4 Ibid., 18. 5 Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam, diedit oleh 2
82
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
dengan kelompok puritan modern. Menurut Abou El Fadl genealogi (silsilah) kelompok puritan dapat dirujukkan pada doktrin wahabi dan salafi. Kelompok wahabi dicetuskan oleh Muh}ammad b. Abdul Wahha>b di semenanjung Arabia pada abad ke-18. Pendiri kelompok wahabi ini berkeyakinan bahwa solusi bagi kemunduran umat Islam adalah dengan pemahaman dan penerapan literal teks sebagai satu-satunya sumber otoritas yang absah.6 Karenanya setiap usaha menafsirkan teks secara historis dan sosiologis bahkan filosofis dianggap sebagai bentuk penyimpangan. Tidak ada multi-tafsir dalam agama, tidak ada pluralisme, dan otentik berarti melaksanakan bunyi teks secara literal. Pada akhir abad ke-18, keluarga al-Sa‘u>d bergabung dengan gerakan wahabi dan memberontak pada kekuasaan Ottoman di Jazirah Arab. Dalam peristiwa ini gerakan wahabi membabat banyak nonmuslim dan muslim yang dinggap musuh. Akan tetapi pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Muh}ammad ‘Ali dan pengikutnya dari Mesir. Para yuris pada saat itu, seperti H}anafi b. ‘Ab< idi>n dan Maliki al-Sa>wi melabeli mereka sebagai Khawarij Modern. Pada awal abad ke-20, gerakan Wahabi bangkit kembali dengan bergabungnya ‘Abd al-Azi>z b. Sa‘u>d dalam gerakan yang mereka sebut Joshua Cohen dan Ian Lague (Boston: Beacon Press, 2002), 5. Lihat juga, Abou El Fadl, The Place Of Tolerance In Islam; on Reading the Qur’an and – Misreading it, dalam http://bostonreview. mit.edu/BR26.6/elfadl.html 6 Abou El Fadl, The Place of Tolerance …, 8. 83
Jihad dan Benturan Peradaban
Ikhwa>n pada permulaan munculnya Saudi Arabia.7 Pada era selanjutnya, gerakan wahabi tetap survive karena beberapa alasan: pertama, dengan memperlakukan pemerintahan muslim Ottoman sebagai kekuasaan asing, kelompok wahabi membuat preseden yang meyakinkan bagi wacana otonomi Arab. Kedua, dengan menggunakan slogan kampanye “kembali pada kemurnian Islam”, mereka menarik simpati kelompok reformis yang mencitakan dihidupkannya lembaga ijtihad dengan merujuk langsung pada al-Qur’an dan Hadis. Khusunya setelah tahun 1975, dengan kenaikan tajam harga minyak, Saudi Arabia secara aggresif mendanai promosi gerakan Wahabi ke seluruh antero dunia muslim.8 Menurut Abou El Fadl, kelompok puritan juga bisa dirujukkan pada kelompok salafi. Kelompok keagamaan ini didirikan pada akhir abad ke-19 oleh muslim reformis, semisal Muh}ammad ‘Abduh, al-Afgha>ni dan Rasyi>d Rid}a>. Secara metodologis, kelompok salafi identik dengan kelompok wahabi, kecuali bahwa kelompok salafi cenderung toleran terhadap pluralisme. Salafisme berorientasi pada konsep dasar bahwa setiap muslim wajib mengikuti tradisi Nabi dan para sahabat (al-salaf al-s}a>lih). Selain itu umat Islam juga seharusnya melakukan reinterpretasi teks keagamaan dalam bingkai modernitas, tanpa harus terikat pada tafsir sebelumnya. Dengan seruan untuk tidak terikat pada tradisi tafsir 7 8
Ibid., 9. Ibid., 9 – 10. 84
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
sebelumnya, termasuk khazanah yuris, kelompok salafi mengadopsi bentuk egalitarianisme, yakni pendapat yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai wewenang untuk menafsirkan sumber hukum. Hal ini membawa pada kevakuman atau mencairnya lembaga tradisi karena dekonstruksi otoritas yang mereka lakukan. Berbeda dengan kelompok wahabi, kelompok salafi sebenarnya tidak anti-intelektual. Akan tetapi sebagaimana wahabisme, mereka cenderung tidak tertarik terhadap aspek sejarah, karena pilihan orientasi mereka pada masa lalu, era awal yang menurut mereka era keemasan. Mereka juga tidak menunjukkan anti Barat, justru mereka berusaha mengadopsi institusi kontemporer semisal demokrasi, konstitusi, sosialisme untuk diletakkan di atas fondasi teks dan menjustify konsep negara modern. Kelompok salafi juga dinilai lebih menahan diri untuk tidak menggunakan kekuatan senjata dalam mewujudkan tujuan mereka dibandingkan kelompok wahabi.9 Dari penjelasan di atas, secara garis besar paham wahabisme dan salafisme adalah dua paham yang kontras. Bagaimana Abou El Fadl menyatakan bahwa keduanya merupakan embrio bagi kelompok puritan kontemporer? Ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh Abou El Fadl. Pertama, bahwa dalam perjalanan sejarahnya kelompok salafi memasuki fase yang ia sebut, fase apologetis dan oportunisme 9
Abou El Fadl, The Great Theft…,75. 85
Jihad dan Benturan Peradaban
politik. Menghadapi globalitas budaya Barat, kelompok ini selalu berlindung di bawah nostalgia era keemasan Islam dan menegaskan diri sebagai yang superior dihadapan kelompok budaya manapun. Dengan sikap mental seperti ini budaya kritis dan penalaran menjadi tersudutkan. Selain itu kelompok salafi juga dinilai oleh Abou El Fadl tidak mempunyai prinsip yang konsisten. Ini ditandai dengan sikap dan tindakan mereka yang sering kali menkompromikan prinsip-prinsip keagamaan dan etika dengan dinamika politik dan kekuasaan. Berhadapan dengan tantangan nasionalisme misalnya, kelompok ini menjadi sangat reaksioner dan begitu ‘terlibat’ dengan perjuangan duniawi, hanya sebatas untuk penegasan identitas. Kedua, kelompok puritan, tandas Abou El Fadl, cenderung sebatas memanfaatkan simbol dan kategori salafisme untuk menarik simpati. Dengan simbol “kembali pada al-salaf al-s}a>lih” mereka mengajak pada otentisitas. Ini sebagaimana mereka menolak disebut sebagai wahabi, tetapi lebih suka disebut “salafi”. Pada awal tahun 70-an, kaum puritan wahabi berhasil mengubah salafisme dari teologi berorientasi modernis-liberal menjadi teologi literalis, puritan dan konservatif. Kemudian mereka menyebarkan paham puritan mereka dengan topeng Salafisme.10 Perpaduan antara wahabi dan salafi ini disebut oleh Abou El Fadl dengan istilah “salafabisme”. Salafabisme lahir setelah kelompok wahabi berhasil melakukan ko-optasi terhadap bahasa dan simbol salafi 10
Abou El Fadl, The Place of Tolerance…, 10. 86
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
sehingga keduanya menjadi sulit untuk dibedakan.11 Hubungan yang kuat antara wahabi-salafi ditunjukkan pada peristiwa terorisme di Mesir tahun 1970-an. Tokoh-tokoh puritan wahabi-salafi yang dianggap bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut – termasuk pembunuhan Presiden Anwar Sadat – meliputi, Sa>lih Sarayya, Syukri Mus}t}afa> dan Muh}ammad ‘Abd al-Salam Faraj. Tokoh yang terakhir ini cukup berpengaruh dengan risalahnya, al-Fari>d}ah alGha>ibah, yang banyak menyerukan digelarnya operasi jihad secara terus menerus terhadap nonmuslim dan umat Islam yang dinilai telah melakukan bid‘ah. Meyer dalam hal ini mengutip pernyataan ‘Abd al-Sala>m Faraj: “The Qur’an and the Hadith were fundamentally about warfare. The concept of jihad, struggle, was meant to be taken literally, not allegorically … the duty that has been profoundly neglected is precisely that of jihad, and it calls for fighting, which meant confrontation and blood … anyone who deviates from the moral and social requirements of Islamic law to be targets for jihad; these targets include apostates within the Muslim community as well as expected enemies from without”.12 Pernyataan Faraj di atas bermakna bahwa bahwa al-Qur’an dan Hadis utamanya terkait dengan perang. Abou El Fadl, “The Orphans of Modernity and the Clash of Civilizations” dalam http://www.scholarofthehouse.org/ orofmodandcl.html (Akses, 31 Desember 2007). 12 Sebagaimana dikutip oleh Thalhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 514. 11
87
Jihad dan Benturan Peradaban
Konsep jihad dan perjuangan dalam kedua teks tersebut dimaknai secara harfiyah, bukan maknawiyah. Kewajiban agama yang banyak diabaikan menurutnya adalah tentang jihad dan seruannya untuk berperang yang bermakna konfrontasi fisik dan darah. Siapapun yang dinilai melanggar ajaran moral dan sosial dari hukum Islam adalah target jihad. Termasuk dalam target ini adalah mereka yang “murtad” dalam komunitas muslim sebagaimana musuh luar yang nyata. Penyebaran paham di atas dilatarbelakangi oleh kondisi mencairnya tradisi dan otoritas dalam Islam. Hal tersebut selain disebabkan oleh kampanye kaum reformis untuk tidak terikat pada tradisi klasik/ulama’ dan faqih, juga disebabkan oleh kolononialisme yang pengaruhnya masih sangat terasa pada era kontemporer. Di banyak negara muslim pasca-kolonial, agama dan lembaga-lembaganya diadministrasi dan diintervensi untuk dapat dikontrol dan dijinakkan. Dalam kondisi seperti ini, lembaga tradisi yang dalam sejarahnya memarjinalkan paham puritan justru menjadi marginal. Hal ini menyebabkan vakumnya otoritas dalam Islam yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok Puritan untuk berbicara atas nama Islam, bahkan atas nama Tuhan! Ini adalah ‘bencana’, mengutip pendapat Garaudi, karena batas antara ucapan Tuhan dan manusia dilenyapkan.13 Sebagaimana dikutip oleh Jasser Auda, Maqasid alShari’ah as Philosophy: A Sysitem Approuch (Herndon: The Institut of Islamic Thought, 2008), 194. 13
88
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
Sebagai penegasan paparan di atas, Abou El Fadl mencatat beberapa kelemahan lain dari kelompok puritan (salafabisme).14 a. Mereka menolak etnosentrisme dalam kajian agama, akan tetapi mereka mengembangkan etnosentrisme Arab Badui dan memaksakannya pada yang lain; b. Mereka menunjukkan penolakan terhadap mazhabmazhab fikih dan menghindarkan diri pada kajian kesejarahan yang kritis terhadap fikih; c. Kelompok puritan menyeleksi riwayat dan teks dalam rangka memaksakan pandangannya; d. Kelompok puritan melarang umat Islam menjalin relasi dengan nonmuslim, kecuali dalam posisi superior; e. Mereka berlindung pada pada masa lalu keemasan Islam, dan pada teks ketika dihadapkan pada tantangan modernitas; f. Ajaran puritan pada dasarnya tidak begitu diterima oleh masyarakat Arab dan masyarakat lain, akan tetapi penyebarannya lebih banyak melibatkan kekuatan politik dengan aliansinya pada keluarga Bani Sa‘ud, dan kekuatan pendanaan dengan aksesnya pada sumber minyak; g. Kelompok puritan lebih banyak memakai lembaga jihad dalam rangka mengusung cita-cita mereka. Akan tetapi jihad yang mereka konsepsikan dan Abou El Fadl, “The Orphans of Modernity and the Clash of Civilizations”. 14
89
Jihad dan Benturan Peradaban
terapkan bersifat fisik sebagaimana pendekatan mereka yang bersifat literal terhadap teks-teks keagamaan. h. Salafabisme sebagai karakternya dipaparkan di atas, menurut Abou El Fadl, adalah genealogi dari kelompok puritan kontemporer yang gaungnya demikian menggema karena konsepsi dan aplikasi jihad mereka yang membuat masyarakat dunia miris. 2. Menjernihkan Konsep Jihad a. Kritik Terhadap Barat dan Puritanisme Muslim tentang Jihad Bernard Lewis, spesialis sejarah Islam dan interaksi antara Islam dan Barat, menyatakan walaupun wacana politik Islam sering diasosiasikan dengan perang suci (holy war) dalam kamus orang-orang Barat, akan tetapi kenyataannya tradisi bahasa Arab klasik tidak mengenal terma yang berkorespondensi dengan perang suci. Dalam tradisi Islam, sakralisasi lebih sering dilekatkan pada tempat, dan bukan pada individu atau aktivitas kemanusiaan semisal perang. Lewis berkesimpulan bahwa penyandingan kata “suci” pada kata subtantif “perang” tidak muncul pada teks-teks klasik, akan tetapi rangkaian ini adalah inovasi bahasa Arab modern yang bersifat asing. 15 Terma “perang suci” lebih didasarkan Tradisi Islam mengenal banyak tempat suci, utamanya adalah Ka’bah di Mekah dan makam Nabi Muh}ammad s.a.w., akan tetapi biasanya kata yang dipakai tidak dari akar qds, tetapi hrm yang makna asalnya adalah “larangan”. Kata ini kemudian 15
90
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
pada alasan bahwa perang tertentu diperintahkan oleh Tuhan sebagaimana termaktub dalam teks-teks suci. Terma ini kemudian diterjemahkan dengan kata “jihad”. Dasar kewajiban jihad sebagai “perang suci” dalam tradisi Islam, menurut Lewis, adalah universalitas wahyu yang harus disebarkan kepada semua manusia. Kewajiban ini tidak mengenal batas waktu dan tempat, sehingga dunia menerima dogma Islam, atau berada di bawah kekuatan negara Islam. walaupun begitu, Lewis masih mengakui varian makna yang bisa dikandung oleh konsep jihad, selain makna militer, yakni makna moral-spiritual. Makna ini utamanya dikembangkan oleh teolog Syi‘ah dan kelompok reformis-modernis pada abad 19 dan 20.16 Berbeda dengan Lewis yang masih memberi kemungkinan makna perang suci pada konsep jihad, Abou El Fadl menolak sama sekali pengidentikan jihad dengan perang suci. Konsep jihad, tandas Abou El Fadl, berbeda dengan perang suci (holy war) sebagaimana pengalaman perang salib yang dikembangkan dari doktrin “penyucian diri” lewat pertumpahan darah. Jihad sebagaimana terpotret dalam media Barat menurut Abou El Fadl sering diasosiasikan dengan ide tentang perang suci untuk membela agama Tuhan melawan nonmuslim. Dalam ide perang suci, pembunuhan adalah bentuk mekanisme pendekatan diri kepada Tuhan, dan dikonotasikan dengan “terhormat” dan “tidak bisa diganggu gugat”. Lihat, Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1988), 71-72. 16 Ibid., 72-73. 91
Jihad dan Benturan Peradaban
perang dinilai sebagai suci. Dalam hal ini, kecurangan dan kekejaman dalam perang tidak dianggap sebagai bentuk barbarisme. Dalam sebuah interview Media Qantara dengan Abou El Fadl, ia menuturkan: “Jihad also differs from the holy war in the Crusade period, which developed from the doctrine of selfpurification through bloodsheds. In the idea of holy war, murder is regarded as a mechanism to approach God and war is regarded as sacred. Hence, any cruelty in war will not be seen as a form of barbarism”.17 Penuturan Abou El Fadl di atas bermakna bahwa jihad berbeda dengan perang suci sebagaimana pengalaman Perang Salib yang dimotivasi dan dikembangkan dari doktrin penyucian diri dengan darah. Dalam konsep perang suci, pembunuhan dinilai sebagi mekanisme mendekatkan diri pada Tuhan dan perang dalam hal ini dinilai suci. Karenanya, kekejaman dalam bentuk apapun dalam perang tidak dilihat sebagai bentuk barbarisme. Sementara itu, tradisi Islam tidak mengenal konsep “perang suci” sebagaimana kata ini – al-h}arb al-muqaddas – bukan bagian dari ekspresi/ungkapan alQur’an dan para teolog muslim. Perang dalam kamus para teolog tidak pernah bersifat suci; ia hanya mungkin mendapat justifikasi atau tidak, dan bila mendapatkan justifikasi mereka yang terbunuh di medan peperangan Lihat Abou El Fadl, “Jihad Gone Wrong” dalam dalam http://www.scholarofthehouse.org/ jgowrinwikha.html, (Akses, 1 Maret 2010). 17
92
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
diberi predikat sebagai syahid (martyr).18 Dalam Islam, menurut Abou El Fadl, tidak dikenal adanya teologi “perang suci”. Berbeda dengan Kristen, Islam tidak mempunyai institusi dan otoritas kependetaan yang bisa menentukan status kesucian sebuah perang. Institusi kependetaan dalam Kristen mempunyai otoritas untuk menentukan bahwa sekelompok tentara adalah berstatus sebagai “tentara salib” dan menjamin penebusan dosa bagi para tentara ini. Sementara dalam Islam, tak seorangpun mempunyai wewenang – termasuk Khalifah atau Yuris – untuk menentukan status syahid (martir) bagi mereka yang tewas dalam medan peperangan karena membela agama. Janji Tuhan akan kesyahidan ini memang diyakini adanya, akan tetapi penentuannya merupakan hak ekslusif Tuhan dan karena Tuhan-lah yang mengetahui kedalaman niat dan motif seseorang.19 Perang suci (holy war), menurut Abou El Fadl, adalah produk khas dari budaya Kristen Eropa yang Abou El Fadl, The Place of Tolerance …,19. Martyr berasal dari bahasa Yunani “martys” yang bermakna “saksi”. Dalam tradisi Yahudi dan Kristen terma ini untuk menyebut mereka yang bersedia untuk menderita, bahkan mati daripada harus meninggalkan keimanan. Martyrdom (kesyahidan) dalam hal ini merupakan saksi atas keimanan tersebut, dan saksi atas kesediaan untuk menderita dan mati. Dalam tradisi Islam sya>hid juga bermakna “saksi”, akan tetapi mempunyai konotasi yang berbeda. Menurut Lewis kesyahidan dalam Islam bermakna kematian dalam jihad dan balasannya dalam bentuk kebahagiaan di akhirat. Lihat, Lewis, The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror (New York: The Modern Library, 2003), 38. 19 Abou El Fadl, The Great Theft …,221 – 222. 18
93
Jihad dan Benturan Peradaban
hendak diproyeksikan pada situasi sosial kesejarahan yang sama sekali berbeda. Karena itu dalam konteks makna jihad, Abou El Fadl menyatakan bahwa “perang suci” adalah definisi yang kabur dan konsep sosio-kesejarahan yang disalahgunakan: “Holy War is ill-defined and misused socio-historical concept”. Jihad menurutnya tidak bisa dipahami sebagai “perang suci”, jihad mempunyai makna yang lebih general dan penuh dengan nuansa makna, jihad muncul dalam konteks sosial-kesejarahan yang bersifat partikular dan khas. Walaupun begitu, banyak media Barat didukung oleh sarjana-sarjana yang phobia Islam sering melontarkan ungkapan-ungkapan sensasional “sacred rage” dan “Islamic crusade” untuk menggambarkan dinamika jihad. Ungkapan-ungkapan ini diderivasikan dari konsep perang suci (holy war), dan hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan pengalaman kesejarahan Kristen di Barat.20 Berbeda dengan Abou El Fadl, lewis berpendapat bahwa jihad kadang-kadang dipresentasikan oleh umat Islam sebagaimana crusade (perang salib) dalam tradisi Kristen. Perang salib dan jihad menurut Lewis kurang lebih mempunyai persamaan. Masing-masing pelaku perang salib dan jihad memproklamasikan perang suci untuk kesetiaan pada iman melawan musuh yang kafir. Akan tetapi keduanya mempunyai perbedaan, dalam Lihat, Abou El Fadl, “The Use and Abuse of Holy War: Review of ‘The Holy War Idea in Wastern and Islamic Traditions’”, dalam http://www.cceia.org/resources/journal/14/ review_essays/216.html (Akses, 28 Juni 2010). 20
94
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
hal bahwa tradisi crusade berkembang “belakangan” dalam sejarah Kristen. Umat Kristen menurutnya sejak abad ke-7 dalam posisi diserang (under attack) dan kehilangan banyak wilayahnya beralih ke tangan penguasa politik Islam. Sementara konsep perang suci (holy war, just war) sudah familiar dalam Islam sejak awal. Jihad hadir sejak awal sejarah keislaman, terekam dalam teks suci, dalam episode kehidupan Nabi dan para penerusnya, dan bahkan berlangsung terus menurus dalam sejarah keislaman, hingga era sekarang.21 Pernyataan Lewis, sebagaimana sinyalemen Abou El Fadl, adalah proyeksi pengalaman perang salib ke ranah tradisi Islam, dan bahkan dengan argumentasi kesejarahan, perang suci lebih mengakar dalam tradisi keislaman. Padahal apa yang terpotret dalam realitas kesejarahan umat Islam tidak selalu mencerminkan Islam subtansial. Bahkan, kalau menilik sejarah Islam, pada awal interaksinya dengan nonmuslim, Islam tidak saja telah berhasil melebarkan sayapnya jauh melampaui titik geografis kelahirannya dengan ekspedisi militer, akan tetapi juga hubungan antara pihak oposisi dan penguasa dalam pemerintahan Islam sering diwarnai dengan pertumpahan darah.22 Karena itu, realitas kekerasan dalam sejarah perjalanan umat Islam tidak selalu pararel dengan dogma dan ajaran Islam. Maraknya aksi terorisme oleh kelompok Lewis, The Crisis of Islam …, 37. Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam beragama (Bandung: Mizan, 1998), 283 21 22
95
Jihad dan Benturan Peradaban
puritan yang puncaknya adalah 11 September 2001, menjadikan jihad begitu diidentikkan dengan aksi ini. Dengan maksud untuk memelihara kemurnian makna jihad, Abou El Fadl dalam banyak kesempatan menegaskan bahwa jihad berbeda dengan terorisme.23 Terorisme merupakan isu yang bersifat tekhnis, dari pada emosional. Menurut Pearlstein,“terorisme” – berbeda dengan “terror” – adalah bentuk spesifik dari pemberontakan sipil (civil rebellion) – yakni muncul dari bawah – dengan penggunaan kekerasan yang ditujukan pada simbol-simbol atau objek dari korban/ sasaran. Penggunaan kekerasan tersebut dimaksudkan sebagai upaya pemaksaan (yang dilakukan tidak secara langsung) untuk memenuhi sebuah tuntutan dengan menebar ketakutan.Termasuk dalam kategori terorisme adalah penculikan, penyanderaan, pengeboman, Lihat Abou El Fadl, “Jihad Gone Wrong”. Jihad berbeda dengan terorisme. Akan tetapi, tidak berarti terorisme tidak mempunyai preseden dalam sejarah Islam. Menurut Lewis, terorisme berakar pada kelompok assasin, yakni kelompok beragama fanatik yang menilai bahwa bentuk ibadah yang penting adalah membunuh mereka yang dinilai menyeleweng dari akidah. Kelompok assasin muncul pada era awal dalam bingkai persoalan politik internal umat dengan ditandai pembunuhan dua khalifah terakhir oleh pemberontak muslim. Bentuk terorisme ini kemudian berkembang dengan target langsung tidak lagi penguasa, akan tetapi penduduk sipil yang tidak terlibat, dan pelaku bersedia mati tidak karena musuh, akan tetapi dengan tangannya sendiri. Inilah yang disebut suicide terrorist. Bentuk terorisme ini pada dasarnya ingin mendapatkan popularitas lewat media dan menebar ketakutan, sementara penghancuran musuh yang sebenarnya menjadi tujuan nomor dua. Lihat, Lewis, The Crisis of Islam, 147. 23
96
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
sabotase, dan penyerangan dengan bahan-bahan kimia serta biologi. Sementara itu “terror” sama dengan pengertian di atas, akan tetapi dilakukan oleh level pemerintah, bukan organisasi non-pemerintah. Contoh dalam hal ini adalah penembakan, pemenjaraan, penyiksaan, pengasingan dan yang lainnya.24 Dalam dasawarsa terakhir dengan maraknya aksi kekerasan atas nama agama oleh kelompok puritan Islam, utamanya dalam bentuk bom bunuh diri (suicide bombing), menjadikan jihad begitu identik dengan terorisme. Aksi bom bunuh diri dengan target masyarakat sipil sebagaimana terjadi di Israel dan terorisme yang dilakukan oleh Osama b. Laden, menurut Abou El Fadl, adalah contoh konkrit bentuk terorisme. Bagi muslim puritan aksi, terorisme bisa menjadi bagian dari jihad dan pelakunya dinilai sebagai martir. Atas dasar hal tersebut, sebagian pengamat Barat melakukan generalisasi bahwa hukum Islam memberikan legitimasi terhadap tindakan terorisme yang ditujukan kepada nonmuslim.25 Karena itulah, Richard M. Pearlstein, Fatal Future: Transnational Terrorism and the New Global Disorder (Texas: The University of Texas Press, 2004), 1-2. 25 Abou El Fadl, “Commentary: Terororism is at Odds with Islamic Tradition”, dalam http://www.muslim-lawyers.net/news/ index.php3?aktion=show&number=78 (Akses, 27 Nopember 2007). Menurut C.F. Martin E. Marty, dalam menghadapi situasi global yang menurut mereka timpang, kelompok militan muslim menekankan pada tiga hal. Pertama, persaudaraan universal seluruh umat Islam yang tidak terbatas pada konsep negara bangsa dan jihad global. Kedua, masyarakat muslim dengan sumber daya minimal dapat mengalahkan musuh yang tangguh seperti pernah 24
97
Jihad dan Benturan Peradaban
jihad sering kali digambarkan sebagai ekspresi intoleran Islam terhadap pemeluk agama lain. Jihad dalam bentuk ‘bom bunuh diri’ pada hakikatnya merupakan fenomena yang terjadi pada era modern, dalam artian tidak bersumber pada literatur ‘moderat’ Islam.Secara psikologis, keyakinan dan fantasi kehidupan abadi di hari akhir sangat berpengaruh terhadap motivasi para bombers. Salah satu kritik Abou El Fadl adalah bahwa konsep jihad mereka telah mengabaikan detail-detail aturan perang sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an. Persoalannya, menurut Abou El Fadl, bukan semata bom bunuh diri-nya, akan tetapi pembunuhan terhadap manusia tanpa pembedaan antara agresor (muh}a>rib) dan non-agresor (ghayr muh}a>rib) yang terdiri dari anak-anak, wanita dan lanjut usia. Dan ini adalah pelanggaran berat menurut literatur fikih. Fikih menurutnya sangat konsis dengan etika perang. Fikih melarang apa yang disebut dengan random killing atau qat}l al-ghi>lah. Qat}l al-ghi>lah adalah bentuk pembunuhan yang tidak memberi kesempatan kepada target untuk melakukan pembelaan diri.26 Aksi terorisme tidak saja ditujukan kepada Barat; kepada mereka yang dinilai telah keluar dari Islam (murtad); kepada pemerintah yang dinilai tidak adil, terjadi pada perang Afghanistan pertama yang dapat mengalahkan Soviet. Ketiga, tindakan terorisme sehingga tujuan mereka bisa tercapai. Lihat sebagaimana dikutip oleh Thalhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam …, 507. 26 Abou El Fadl, “Commentary: Terrorism is at Odds with Islamic Tradition”. 98
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
akan tetapi juga ditujukan pada kalangan warga sipil. Peristiwa 11 September 2001 adalah contoh nyata dari target jihad yang tidak saja ditujukan pada pemerintahan Amerika, akan tetapi warga sipil yang tidak berdosa. Barang kali menurut kelompok Puritan, warga sipil adalah “sasaran antara”, sedang target utamanya adalah pemerintahan Amerika. Akan tetapi bagi Abou El Fadl, membunuh warga sipil yang nota bene-nya adalah noncombatant adalah sesuatu yang terlarang dalam literatur fikih klasik. Berkaitan dengan sasaran antara (indirect target), Abou El Fadl menganalogikan dengan larangan membunuh muslim (indirect target), untuk sampai pada musuh yang sebenarnya (direct target).27 Berdasar pada tradisi kenabian, fikih telah membuat batasan-batasan dalam perang yang terpaksa dilakukan. Di antaranya adalah larangan untuk membunuh anakanak-anak, wanita, orang tua, pertapa, mereka yang memilih damai, petani serta pembantu, kecuali mereka menjadi tentara. Tumbuh-tumbuhan dan properti tidak boleh dirusak, lubang-lubang sumur tidak boleh ditutup, pelontar api tidak boleh dipakai dalam perang, semuanya merupakan aturan perang yang telah dipaparkan dalam fikih. Selain itu, dalam kondisi apapun, penyiksaaan, mutilasi dan pembunuhan terhadap tawanan perang tidak diperbolehkan. Aturan-aturan perang ini menurut Abou El Fadl, tidak saja berdasar interpretasi yuris terhadap teks, akan tetapi juga merupakan komitmen moral dan etis dari 27
Ibid. 99
Jihad dan Benturan Peradaban
para yuris klasik.28 Komitmen moral tersebut mengatur tidak saja ‘mengapa’ sebuah perang dilaksanakan akan tetapi juga ‘bagaimana’ perang dilaksanakan.29 Terorisme pada dasarnya merupakan perang yang bersifat ‘tak terbatas’. Dengan keyakinan kelompok puritan bahwa sebagian besar negara Muslim atau Negara yang penduduknya mayoritas muslim berada dalam kolonialisasi Barat dan Amerika, mereka menganggap absah untuk melakukan tindakan terorisme di Negara manapun. Pemerintah-pemerintah setempat dinilai sebagai agen-agen Barat, dan karena itu proteksi mereka terhadap orang-orang Barat dan Amerika, termasuk simbol-simbol mereka, dianggap tidak absah. Karena itulah menurut Abou El Fadl, sejak tahun 1980 hingga sekarang kelompok puritan di Arab Saudi, Yaman, Mesir dan negara-negara yang lain terus berusaha untuk menyerang, dan melakukan tindakan terorisme terhadap orang-orang Barat berikut properti mereka.30 Selain interpretasi teks yang bersifat tekstual, terorisme yang dilakukan kelompok puritan pada dasarnya disandarkan pada alasan yang bersifat fungsional dan oportunistik, tandas Abou El Fadl. Perlawanan yang berbentuk aksi terorisme menurut mereka adalah satu tuntutan atau pilihan terakhir karena perang yang bersifat konvensional dinilai akan Abou El Fadl, “Islam and the Theology of Power” dalam http://www.islamfortoday.com/ elfadl01.htm,(Akses, 14 Nopember 2007) 29 Abou El Fadl, The Great Theft …, 242. 30 Ibid., 232. 28
100
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
bersifat destruktif bagi mereka sendiri. Ini didasarkan pada kesadaran bahwa umat Islam adalah lemah dan tidak lebih maju dalam hal apapun dibandingkan dengan Barat. Dalam kondisi seperti ini (darurat) mereka mendapatkan pembenaran untuk melanggar prinsip-prinsip akhlak dan fikih dengan mengorbankan masyarakat sipil dan menghancurkan apapun untuk menebar ketakutan, dan membuat Barat melepas dominasinya terhadap wilayah muslim.31 Perang dalam bentuk aksi terorisme juga dinilai oleh kelompok Puritan sebagai perang yang bersifat defensif. Pendapat ini dinilai Abou El Fadl bersifat ironis dan tak lebih hanyalah justifikasi terhadap apa yang mereka lakukan. Sebab, jika mereka menyatakannya sebagai perang ofensif, tentulah mereka tidak bisa melakukan kekerasan, kecuali memberikan opsi terlebih dahulu kepada musuh untuk menjadi muslim. Ini sebagaimana teks klasik mengatakan demikian.32 Terorisme menurut Abou El Fadl juga tidak mengakar pada tradisi Islam, akan tetapi merupakan bagian dari ideologi liberasi nasional abad ke-19 dan 20 M. Artinya, tindakan mereka tidak didasarkan pada spirit keagamaan murni. walaupun kelompokkelompok terroris mengadopsi justifikasi-justifikasi teologis dan yuridis bagi tindakan mereka, tetapi ideologi, simbol, bahasa, dan struktur organisasi mereka merefleksikan adanya pengaruh dari perjuangan anti 31 32
Ibid. Ibid. 101
Jihad dan Benturan Peradaban
kolonialisme. Kelompok-kelompok ini memakai namanama, semisal h}izb (partai), tah}ri>r (liberasi), taqr>ir almasi>r, h}arakah, al-kawa>dir al-fa‘a>lah (kader yang aktif) atau h}arb muqaddas (perang suci). Singkatnya bagi Abou El Fadl, terorisme muslim merupakan bagian dari warisan sejarah kolonialisme dan bukan warisan dari fikih.33 Hal ini dikuatkan oleh pendapat Mohammad Hashim Kamali, menurutnya terorisme dalam bentuk suicide bombing tidak mempunyai preseden dalam fikih dan sejarah Islam. Bom bunuh diri atas nama Islam, menurut Kamali, adalah fenomena sosiopolitik, dan bukan fenomena teologis.34 Abou El Fadl, “Commentary: Terorism is at Odds with Islamic Tradition”. 34 Merujuk pada Robert Pape, ahli politik yang melakukan riset terhadap fenomena suicide terrorism tahun 1980 – 2001, mendapatkan temuan bahwa agama bukanlah faktor pendorong terorisme bunuh diri, hanya ada sekit sekali hubungan antara terorisme bom bunuh diri dengan fundamentalisme Islam, atau agama. Kebanyakan tindakan terorisme bertujuan untuk menegakkan atau memelihara artikulasi politik. Sementara itu, Kamali menegaskan bahwa larangan terorisme dalam bentuk suicide bombing dapat dirujukkan pada ketidakbolehan membunuh jiwa kecuali secara haqq (al-An’a>m [6]: 151), dan larangan untuk membunuh diri sendiri (al-Nisa>` [4]}: 29), dan tentu juga bertentangan dengan prinsip akhlak dalam aplikasi jihad, khususnya larangan untuk membunuh non-combatants. Lihat Mohammad Hashim Kamali, Shari’ah Law: An Introduction (Oxford: Oneworld, 2008), 287. Hal senada juga dikatakan Franz Magnis-Suseno bahwa terorisme adalah gejala modernitas. Banyak terorisme yang berlatar belakang nasionalisme budaya dan daerah. Di antara contohnya adalah, terorisme Badermeinhoff (Rate Armee Fraktion) di Jerman, IRA di Irlandia Utara, ETA di Spanyol Utara, Tentara Merah di Italia dan Jepang, Shivsena di India, Sikh di Punjab, Tamil Elam di Srilangka, al-Qaedah 33
102
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
Wajar bila kemudian, Abou El Fadl menyatakan bahwa jihad sebagaimana yang dilakukan kelompok puritan dinilai telah menyimpang baik secara teologis, moral (akhlak) dan hukum. Sebagai bagian dari masyarakat Amerika, Abou El Fadl bisa menyaksikan dan merasakan secara langsung implikasi dari aksi terorisme yang begitu mengenaskan. Sebagaimana pelaku terorisme yang mengatasnamakan tindakannya sebagai jihad, Abou El Fadl juga menegaskan bahwa perlawanannya terhadap terorisme-jihadis adalah bagian dari jihad. Ia menuturkan bahwa ketika menulis artikel untuk berbicara kepada ekstrimis dan meyakinkan mereka bahwa mereka salah secara teologis, moral dan legal, Abou El Fadl meyakini hal tersebut sebagai kondisi jihad, atau bagian dari jihad, sembari berharap mendapatkan pahala dari Tuhan35: “When I write an article speaking to extremists and convincing them that they are wrong theologically and morally and legally,” says Abu El Fadl, “I consider my self in a state of jihad. I expect to be rewarded by God.” Untuk membebaskan makna dan aplikasi jihad dari bentuk terorisme kelompok puritan, Abou El Fadl memberikan tawaran untuk menyebut tindakan mereka dan yang lainnya. Lihat, Franz Magnis-Suseno, “Islam dan Munculnya Kelompok Teroris”, dalam Z.A. Maulani et al., Islam dan Terorisme: Dari Minyak Hingga Hegemoni Barat (Yogyakarta: UCY Press, 2005), 131. 35 Sebagaimana dikutip oleh Guy Ruz, “The War on the Word Jihad”, dalam http://www.npr.org/ templates/story/story. php?storyId=6392989 (Akses, 29 Maret 2010). 103
Jihad dan Benturan Peradaban
sebagai h}ira>bah, yakni dengan mengganti huruf “j” pada kata jihad dengan huruf “h”.36 Abou El Fadl dalam hal ini menilai bahwa kekerasan-kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok puritan pada dasarnya bukan bagian dari jihad sebagaimana klaim mereka selama ini, akan tetapi merupakan bagian dari h}ira>bah. Karena itu, ungkapan yang tepat adalah perlawanan terhadap kelompok hirabis, dan bukan terhadap kelompok jihadis. Akan tetapi sayangnya Abou El Fadl, menurut Sherman A. Jackson, tidak memberikan elaborasi yang memadahi tentang keterkaitan antara h}ira>bah, qat}‘ al-t}ari>q dan terorisme.37 H}ira>bah dalam kitab-kitab fikih disebut dengan istilah lain, qat}‘ al-t}ari>q. H}ira>bah oleh para Yuris disebut sebagai tindak pidana pencurian dalam skala yang besar/luas. Disebut dengan pencurian karena tindakan mereka dilakukan secara sembunyi-sembunyi melawan kebijakan seorang imam (pemerintah) dan dinilai impact-nya luas, karena yang menjadi korban tidak saja target pencurian, akan tetapi juga pihak-pihak lain.38 Ibid. Sherman A. Jackson, “Domestic Terrorism in the Islamic Legal Tradition” dalam http://users.tpg.com.au/dezhen/jackson_ terrorism.html (Akses, 29 Maret 2010). Lihat juga Abou El Fadl, The Islamic Law of Rebellion: The Rise and Development of the Juristic Discourse on Insurrection, Insurgency and Brigandage (Disertasi: Princeton University, 1999). 38 Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sehingga tindakan tertentu dapat dinilai sebagai h}ira>bah adalah: pelakunya baligh dan berakal, targetnya beragama Islam atau dhimmi dan merupakan pemilik sah dari harta yang dicuri, tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan pelaku, dan selebihnya h}ira>bah 36 37
104
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
Dalam tradisi fikih, tandas Abou El Fadl, hira>bah dinilai sebagai bentuk kepengecutan, tindakan kriminal yang ganas, dan dosa besar sehingga dimungkinkan pelakunya dihukum mati. Tradisi fikih, menurutnya, secara eksplisit melarang membunuh tawanan atau diplomat, walaupun tindakan tersebut didasarkan pada pembalasan terhadap tindakan pihak musuh. Lebih jauh, tradisi fikih juga melarang penyerangan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan tanpa ‘pandang bulu’, baik muslim atau nonmuslim. Orang bisa saja menyimpulkan bahwa para Yuris melihat tindakan kriminal tersebut bertolak belakang dengan prinsip kekesatriaan dalam tradisi budaya Arab.39 Bila dirujukkan pada tradisi fikih, berdasar penyelidikan Sherman A. Jackson, h}ira>bah tidak sekedar dimaknai sebagai qat}‘u al-t}ari>q dengan bermotifkan uang dan harta. Unsur esensial dalam h}ira>bah menurutnya adalah menebar ketakutan/teror (spreading of fear), dan membuat target tak berdaya (helplessness). Bahkan, belakangan Yuris Maliki (dengan dua unsur esensial di atas) memperluas skop h}ira>bah pada tindakantindakan kriminal yang lain yang tidak bermotifkan uang. Al-Dardir, Yuris Maliki, menurut kutipan Jackson mengatakan bahwa h}ira>bah secara eksplisit bermakna harus memenuhi rukun-rukun sebagaimana dalam pencurian. Lihat, Ah}mad Fath}i Yahnasi>, Madkhal al-Fiqh al-Jina>’i al-Isla>mi (Beirut: Da>r al-Syuru>q, 1989), 48 – 51. 39 Abou El Fadl, “What Became of Tolerance in Islam”, dalam http://www.scholarofthehouse.org/ whatlosantim.html, (Akses, 31 Desember 2007) 105
Jihad dan Benturan Peradaban
“menutup jalan”, menakut-nakuti masyarakat dengan mencegah mereka dari kebebasan untuk melintas, mencegah mereka dari kebebasan untuk bepergian, bahkan ketika pelaku tidak bermaksud mengambil uang mereka.40 H}ira>bah explicitly as “... blocking the streets (qat} alt}ari>q), i.e. terrorizing them (yukhifuha) by preventing their free passage, i.e. by preventing people from freely traveling them, even if there is no attempt to take their money.” Dari perspektif di atas, berkembang wacana untuk mempertautkan terorisme dengan tindakan h}ira>bah karena keduanya mempunyai unsur esensial yang sama. H}ira>bah dalam hal ini, menurut Jackson, mempunyai batasan yang sama dengan batasan terorisme yang dibuat oleh FBI, lantaran h}ira>bah baik langsung atau tidak telah menebar rasa takut pada masyarakat. FBI, pihak yang banyak bersinggungan dengan terorisme memberikan definisi terorisme sebagai penggunaan kekuatan secara ilegal atau kekerasan yang dilakukan terhadap beberapa orang atau terhadap properti untuk mengintimidasi atau memaksa pemerintah, masyarakat sipil, atau kelompok tertentu dari mereka untuk kepentingan dan tujuan politik.41 “Terrorism as, ... the unlawful use of force or violence Sherman A. Jackson, “Domestic Terrorism in the Islamic Legal Tradition”. 41 Ibid. 40
106
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
against persons or property to intimidate or coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political goals”. Dalam al-Qur’an, pelaku h}ira>bah dinilai telah melakukan kerusakan (fasa>d) di muka bumi. Fasa>d bermakna menyebabkan kerusakan, berbuat aniaya dan destruksi di muka bumi, termasuk kegiatan terorisme. Fasa>d sebagai konsep bisa mencakup bentuk-bentuk gangguan dan kekacauan lain yang mengancam harmoni kehidupan sipil, bahkan h}ira>bah dinilai lebih berbahaya. Karena itu, munculnya rumusan fikih tentang h}ira>bah pada dasarnya dimaksudkan untuk memelihara kehidupan publik. H}ira>bah adalah tindakan melawan hukum, dan pantas untuk mendapatkan hukuman karena telah menyebabkan masyarakat kehilangan rasa aman, baik terhadap nyawa atau properti mereka.42 Baik dinilai justifikatif atau tidak, h}ira>bah tetap bukan bagian dari bentuk jihad, dan bukan bertujuan untuk memperoleh keadilan sosial. Konsep h}ira>bah berbeda dengan al-bagy (rebellion). Menurut Yuris, selain peperangan (qita>l) terhadap nonmuslim, ada tiga model peperangan yang lain, yakni: perang terhadap orang-orang yang murtad, perang terhadap para pembajak (muh}a>ribu>n) dan perang terhadap para pemberontak (al-bugha>).43 Dari Making sense of Jihad vs. H}ira>bah, dalam http://www. islamproject.org /education/D05_Hirabah.htm (Akses, 29 Maret 2010). 43 Abou El Fadl, The Islamic Law … 42
107
Jihad dan Benturan Peradaban
keterangan ini bisa dipahami bahwa h}ira>bah berbeda dengan al-baghy. Al-Baghy dipersepsikan oleh para yuris sebagai perlawanan terhadap pemerintah, yakni bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah karena dinilai telah menyeleweng. Sementara h}ira>bah adalah kekerasan yang dilakukan oleh individu, atau kelompok terhadap publik dengan cara menebar rasa takut dan ancaman terhadap fisik dan properti mereka.44 Menurut Abou El Fadl, para yuris umumnya membenci praktek rebellion (pemberontakan) sebagai resistensi politis. Di satu sisi, tiga abad pertama Islam, yuris memang masih bersifat toleran terhadap pemberontakan politik dengan menyatakan bahwa pemberontak politik tidak boleh dihukum mati dan hartanya tidak boleh disita. Akan tetapi, tandas Abou El Fadl, para yuris menjadi tidak kompromi tatkala mereka memakai metode terorisme dalam pemberontakan mereka, penyerangan sembunyi-sembunyi dan menebar rasa takut. Para yuris menilai serangan teroris terhadap masyarakat sipil tidak berdosa sebagai penyelewengan moralitas, dan tindakan kriminal terkeji.45 b. Jihad sebagai Prinsip Moral-Spiritual Jihad menurut Abou El Fadl pada dasarnya mempunyai makna yang sederhana, yakni: to strive hard, or struggle in persuit of a just cause (bekerja/berusaha keras atau perjuangan untuk mendapatkan keadilan). Sesuai 44 45
Making sense of Jihad vs. H}ira>bah. Abou El Fadl, “Terrorism is Odds with Islamic Tradition”. 108
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
dengan pesan Nabi, bentuk jihad yang paling tinggi adalah perjuangan seseorang dalam membersihkan hati dari sifat-sifat kotor. Dalam hal ini Abou El Fadl lebih menekankan makna moral dan spiritual jihad dibanding makna yang bersifat fisik. Dalam al-Qur’an konsep jihad tidak dipakai untuk menunjuk pada perang atau pertempuran. Perang dan pertempuran dirujukkan pada konsep qita>l. al-Qur’an menurut Abou El Fadl menyebut jihad sebagai konsep yang bersifat mutlak dan tak terbatas, yakni mempunyai spektrum makna yang luas dan ini tidak berlaku bagi konsep qita>l. Jihad adalah sesuatu yang pada dasarnya baik, dan tidak demikian dengan qita>l. Dalam konsep jihad, perang dinilai sebagai buruk (syarr), atau hal buruk yang terpaksa dilakukan (syarr d}aru>ri), dan karenanya sebisa mungkin harus dihindari oleh umat Islam (kurh). Perang hanya diperbolehkan dalam konteks memperoleh kemerdekaan, dan upaya pembelaan diri (self defence) dari tirani, dan inilah yang disebut dengan jihad dalam kamus Abou El Fadl. Bagi Abou El Fadl, jihad seharusnya disandarkan pada semangat da‘wah dalam Islam dan dijauhkan dari nuansa perasaaan balas dendam. Dalam konteks ini, seorang muslim tidak boleh merasa bahwa dirinya sebagai pembunuh, dan mengorbankan musuh karena kehendak/keinginan Tuhan.46 Jihad bagi Abou El Fadl identik dengan etika kerja protestan, yakni kerja keras untuk tujuan yang baik dan 46
Abou El Fadl, “Jihad Gone Wrong”. 109
Jihad dan Benturan Peradaban
mulia. Dan dalam hal ini perang atau qita>l mempunyai nuansa yang berbeda sama sekali. Teks tentang qita>l dalam al-Qur’an biasanya bersyarat – untuk tidak melampaui batas, untuk memaafkan, dan untuk cenderung pada perdamaian – sementara tuntutan jihad untuk menggapai keadilan dan kebenaran bersifat mutlak. Akan tetapi menurut Abou El Fadl makna subtantif jihad ini diinterpretasikan secara berbeda oleh para yuris abad pertengahan, abad ke-9 dan ke-10, sesuai dengan background historis pada masa tersebut. Pada abad pertengahan, dengan tiadanya pakta perdamaian, umat Islam merasa dalam situasi perang terus menerus dengan bangsa dan dinasti lain. Sementara budaya menaklukkan dan mendominasi bangsa/dinasti lain oleh yang lebih kuat dinilai sebagai bagian dari naluri sosiologis kala itu.47 Dari paparan di atas bisa dipahami bahwa Abou El Fadl lebih menekankan jihad sebagai sebuah prinsip (jihad as principle) dan bukan jihad sebagai sebuah institusi (jihad as institution). Konsistensi Abou El Fadl untuk menjadikan jihad sebagai sebuah prinsip juga akan terlihat dalam segenap bahasannya tentang jihad. Jihad sebagai prinsip bersifat luas cakupannya, konsep Menurut Abou El Fadl contoh kesejarahan telah membuktikan hal di atas. Negara-negara atau kerajaan di abad pertengahan, Yunani, Roma, Bizantium, Lombard, Visighot, Ostroghot, suku-suku Mongol dan Negara-Negara Tentara Salib saling menginvasi dan berkompetisi untuk saling merebut dominasi. Bangsa yang ditaklukkan wajib membayar upeti kepada Negara/kerajaan yang menaklukkannya. Lihat, Abou El Fadl, The Great Theft …, 223. 47
110
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
yang abstrak, ide dan nilai yang bersifat general yang tidak terbatas pada aplikasi tunggal. Aplikasi jihad sebagai prinsip terhadap situasi tertentu mensyaratkan adanya keleluasaan dan pemahaman terhadap segenap implikasi yang menyertainya. Sebaliknya, jihad sebagai institusi bersifat konkrit yang muncul untuk menopang keinginan (interest), dan kebutuhan manusia yang bersifat artifisial.48 Manifestasi dari jihad sebagai prinsip bisa cukup bervariasi sebagaimana telah disebut Abou El Fadl. Dakwah, keberanian menyuarakan kebenaran di depan penguasa yang tiranik, bahkan bagaimana menjadikan jihad sebagai spirit dan ethos kerja muslim merupakan makna prinsipil dari jihad. Sebagaimana tesis Weber yang menyatakan adanya relasi yang positif antara kapitalisme dan kemajuan ekonomi Barat dengan agama Protestan, memberikan inspirasi kepada Abou El Fadl bagaimana menjadikan jihad sebagai etos dan spirit bagi kemajuan umat Islam. Pengalaman Abou El Fadl tinggal di wilayah Muslim dan Barat turut memberikan perspektif terhadap pemaknaannya terhadap konsep jihad. Abou El Fadl dalam hal ini menghindari pemaknaan populer jihad yang lebih berorientasi pada semangat crusade (perang suci). Pemaknaan jihad secara teologis dan yuridis sebenarnya lebih berorientasi pada jihad Pembedaan jihad sebagai prinsip dan jihad sebagai institusi, lihat “Making sense of Jihad vs. H}ira>bah”, dalam http:// www.islamproject.org/education/D05_Hirabah.htm (Akses, 29 Maret 2010). 48
111
Jihad dan Benturan Peradaban
sebagai sebuah prinsip yang bersifat universal. Nasr dalam hal ini menguatkan bahwa sebagaimana makna etimologisnya, usaha keras (badhl al-juhd), semua aspek kehidupan manusia menurut Islam adalah jihad, karena merupakan usaha keras untuk menyelaraskannya dengan kehendak Tuhan, perintah mengerjakan kebaikan dan melawan kebatilan. Jihad bukan bagian dari rukun Islam, akan tetapi pelaksanaan dari rukun ini meniscayakan adanya semangat jihad. Jihad menyemangati aspek-aspek ibadah dan muamalah manusia.49 Pernyataan Rasul bahwa jihad akan terus berlangsung hingga hari kiamat, tentu dalam konteks prinsip dan universalitas jihad ini. Berdasar penelusuran penulis, Abou El Fadl memang tidak secara eksplisit menyebut masyarakat madani (civil society) dalam tulisan-tulisannya. Akan tetapi ide-ide diskursif tentang fikih dan jihad khususnya, mempunyai relevansi dengan cita masyarakat madani. Jihad yang dimaknai secara “prinsip” hendak diterapkan pada hal-hal lain yang juga bersifat prinsip. Atau dengan kata lain, bagaimana etos jihad mayarakat muslim bisa diarahkan pada pembentukan masyarakat madani. Kajian Abou El Fadl tentang fikih lebih berspektif akhlak, dan tidak semata legal-formal. Sementara berbicara tentang masyarakat madani pada dasarnya berbicara tentang aspek moralitas atau akhlak dari sebuah masyarakat, selain tentunya juga aspek hukum, Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (Toronto: HarperCollins, 2004), 257 – 258. 49
112
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
atau tepatnya hukum yang berpihak pada moralitas.50 Pada sisi yang lain, Abou El Fadl juga banyak berbicara tentang persoalan demokrasi. Walaupun masyarakat madani dan persoalan demokrasi merupakan dua konsep yang berbeda, akan tetapi dalam beberapa hal keduanya mempunyai titik singgung. Karena itu idenya tentang konsep dan aplikasi jihad bisa dipandang sebagai bagian dari cita ideal pembentukan masyarakat madani. Dari sudut hermeneutik, cara baca seseorang terhadap teks dan realitas tidak bisa menghindarkan diri dari perspektif individualnya, termasuk di dalamnya berbagai kepentingan, ideologi, sudut pandang, estimasi dan praduga. Tak terkecuali dalam hal ini Abou El Fadl. Kondisi sosial budaya masyarakat Amerika yang dalam beberapa hal sudah tercerahkan, menstimulasi Abou El Fadl untuk merelevansikan ajaran-ajaran Islam pada pembentukan masyarakat ideal yang dalam bahasa agama adalah masyarakat madani (berperadaban). Ini tidak berarti bahwa membaca dan meneliti teks Abou El Fadl hanya akan meneguhkan cara baca Abou El Fadl terhadap fikih yang terkonstruksikan dalam masyarakat Amerika. Dari sudut lingkar hermeneutik, pertemuan Dikatakan bahwa konsep civil society mengandung konten moralitas yang sangat kuat. Civil society adalah masyarakat yang diatur oleh hukum, hukum sebagai ekspresi dari kemaslahatan publik, atau dalam bahasa Aristoteles ‘good life’. Lihat, Mary Kaldor, Global Civil Society: An Answer to War (Malden: Polity Press, 2003), 23. Dalam hal ini maka hukum dan moralitas (fikih dan akhlak) bisa diidentifikasi sebagai base structure bagi pembentukan masyarakat madani. 50
113
Jihad dan Benturan Peradaban
antar horizon pembacaan justru akan menambah wawasan, informasi bahkan dapat menguji asumsiasumsi dasar kita terhadap keilmuan fikih sehingga bisa memperdalam penyelidikan kita terhadap keilmuan ini.51 B. Membongkar Hegemoni di Balik Wacana tentang Jihad dan Benturan Peradaban 1. Jihad dalam Konteks Interaksi Muslim dan Nonmuslim Jihad sebagaimana terkonsepsikan dalam tradisi klasik menurut Abou El Fadl adalah adalah hal yang dinilai sering menciderai ide tentang pluralisme. Menurutnya, jihad sebagaimana terpotret di media Barat sering diasosiasikan dengan ide perang suci atas nama Tuhan melawan nonmuslim/kafir. Karena itu, jihad sering disamakan dengan citra intoleransi keagamaan yang paling vulgar.52 Pluralisme adalah kesediaan untuk menjunjung pluralitas sebagai bagian dari sunnatulla>h yang meliputi pluralitas dalam cara hidup, budaya, dan keyakinan keagamaan. Sebagaimana tergambar dalam sub bab sebelumnya, bahwa dengan doktrin pemilahan wilayah menjadi da>r al-Isla>m dan da>r al-h}arb, pada Tidak ada landasan yang bersifat fixed terhadap pengetahuan kita, bahkan terhadap al-Qur’an. Makna yang diberikan sepanjang menyangkut penafsiran selalu bersifat contructed.Lihat Zainal Abidin Bagir, et al., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Jakarta: Mizan, 2005), 148. 52 Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam, diedit oleh Joshua Cohen dan Ian Lague (Boston: Beacon Press, 2002), 18. 51
114
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
akhirnya menggiring pada terbangunnya mindset, dan sikap mental superior terhadap kelompok agama lain dengan nafsu ingin menguasai. Karena itu opsi yang ditawarkan kepada da>r al-h}arb adalah konversi kepada Islam, membayar jizyah dengan status ahl aldimmah, atau jihad diterapkan pada mereka. Sebagian berpendapat bahwa jihad yang ditujukan pada ahl al-kita>b sendiri dimaksudkan sebagai upaya untuk menkonversikan keyakinan mereka pada Islam, atau untuk mendapatkan jizyah dari mereka sebagai simbol ketundukan.53 Ketiga opsi di atas, dinilai oleh Abou El Fadl sebagai wujud interaksi yang tidak berimbang antara muslim dan nonmuslim.Tiga opsi tersebut jelas merupakan implikasi dari perasaan superior dan arogansi teologis kelompok puritan yang membawa pada sikap intoleran dan eksklusif. Sikap intoleran kelompok puritan dalam Karena itu pada umumnya jizyah berasal dari kelompok Yahudi, Nasrani dan Zoroaster, walaupun sebagian membolehkan jizyah diambil dari kaum polities. Lihat Gabriel Palmer-Fernandez (ed.), “Jihad”, dalam Encyclopedia of Religion and War (New York: Routledge, 2004), 236. Karena pada dasarnya secara tradisional yang masuk kategori ahl al-kita>b adalah Kristen dan Yahudi. Dan ketika Islam tersebar di India, Cina, dan Afrika tradisi fikih klasik tertuntut untuk memodifikasi rumusannya dan memberikan status dhimmi pada penganut Hindu, Budha dan Zoroaster. Akan tetapi menurut Abou El Fadl tidak jelas apakah kelompok puritan menerima modifikasi ini. Jika mereka tidak menerima, maka selain Islam, Kristen dan Yahudi dihukumi juga sebagai kafir dan harus dibunuh. Lihat Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: Harpercollins Publisher, 2005), 206. 53
115
Jihad dan Benturan Peradaban
interaksi dengan nonmuslim juga ditunjukkan dalam hal, pertama, bahwa nonmuslim wajib memakai lencana khusus sehingga identitas mereka bisa dikenali. Kedua, nonmuslim tidak diperbolehkan mendirikan gereja dan sinagog yang bangunannya lebih tinggi dari bangunan masjid. Ketiga, nonmuslim harus dinomorduakan dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan. Dan keempat, umat Islam tidak dibenarkan untuk mengawali salam damai kepada nonmuslim, dan jika nonmuslim mengawalinya, kelompok puritan membuat daftar ungkapan yang bisa dipakai untuk menjawabnya.54 Akan tetapi dalam hal ini Abou El Fadl lebih tertarik untuk membicarakan opsi yang diberikan kepada nonmuslim berkaitan dengan jizyah dan jihad. Jizyah yang menurut Paul Heck dikembangkan dari tradisi pajak masyarakat Sassanian, bagi muslim puritan merupakan bukti material ketundukan nonmuslim terhadap mereka.55 Menurut mereka “jalan lurus” (s}ira>t al-mus}taqi>m) menuju Tuhan sudah fix dengan sistem syariah (divine law) sebagaimana diinterpretasikan para yuris klasik. Sistem syariah tersebut dipedomani tanpa menghiraukan impact-nya terhadap “yang lain”, Peraturan-peraturan yang menindas dan a-moral di atas menurut Abou El Fadl didasarkan pada riwayat-riwayat yang diragukan yang dinisbahkan pada Nabi pada abad ke-9 dan ke10. Kebanyakan yuris klasik menurutnya telah menilai bahwa riwayat-riwayat tersebut murni rekayasa. Lihat Abou El Fadl, The Great Theft …, 205. 55 Lihat “Jizya” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Jizya (Akses 3 Juni 2008) 54
116
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
termasuk dalam hal ini aplikasi jizyah.56 Kritik Abou El Fadl terhadap konsepsi jizyah tidak hanya terbatas pada penerapannya yang bersifat spesifik terhadap nonmuslim, akan tetapi juga karena pada dasarnya konsepsi tersebut merendahkan derajad kemanusiaan dan hukum alam. Jelas ia secara demonstratif merupakan wujud pelembagaan inferioritas dan humiliasi satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Jizyah secara kondusif gampang melahirkan sikap arogan dan tidak respek terhadap potensi kemanusiaan nonmuslim. Sikap arogan ini bila ‘dibumbui’ dengan pesan normatif teks bisa melahirkan radikalisme dan agresifitas.57 Menurut Abou El fadl, konsep pembayaran pajak bagi ahl al-dhimmah bersifat ahistoris bila diterapkan pada era kontemporer, era yang ditandai dengan ramainya sistem negara bangsa. Konsep ahl al-dhimmah hanya relevan pada saat konsepsi ini dirumuskan, era pertengahan. Pada era pertengahan ini, galibnya minoritas agama atau etnis membayar Jizyah atas biaya administrasi, penerapan adat istiadat dan UU mereka. Jizyah juga merupakan konsesi yang diberikan pihak minoritas yang berdiam di teritori Islam atas perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah Islam.58 Khalid Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam: on Reading the Qur’an and – Misreading it. dalam http://bostonreview. mit.edu/BR26.6/elfadl.html 57 Lihat “Jizya” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Jizya (Akses 3 Juni 2008) 58 Jikalau pemerintahan Islam dianggap tidak mampu melakukan proteksi terhadap mereka, maka jizyah harus dikembalikan. Hal ini sebagaimana dilakukan Khalifah ‘Umar 56
117
Jihad dan Benturan Peradaban
Sebagai justifikasinya, mereka mengutip makna literal dan temporal al-Qur’an yang memerintahkan untuk memerangi nonmuslim hingga mereka membayar jizyah sebagai simbol ketundukan.59 Padahal menurut Abou El Fadl konsepsi jizyah al-Qur’an hanya bisa dipahami dengan melibatkan sisi historis yang mengelilingi revelasi teks, dan tentunya pesan akhlak al-Qur’an. Hal di atas dikuatkan, menurut Abou El Fadl, sinyalemen Al-Qur’an bahwa jizyah bukanlah institusi yang harus dimainkan secara absolut. Al-Qur’an mengabsahkan jizyah sebagai respon terhadap sebagian kecil kelompok masyarakat Arab yang bersikap hostile terhadap masyarakat muslim awal.60 Pada kenyataannya Nabi s.a.w. tidak menerapkan jizyah terhadap non muslim yang mengakui eksistensi dan kedaulatan masyarakat Islam, dan bahkan Nabi kadangkala memberikan sejumlah uang, atau bingkisan kepada mereka. Nabi menyebut mereka dengan “mereka yang hatinya telah tunduk”. Lebih jauh, ‘Umar ketika mengikat perdamaian dengan suku Kristen Arab yang mengembalikan jizyah kepada suku Kristen Arab ketika ‘Umar tidak sanggup memproteksinya dari agresi Bizantium. Lihat Khaled Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam; on Reading the Qur’an and – Misreading it., dalam http://bostonreview.mit. edu/BR26.6/elfadl.html (Akses, 3 Juni 2008). 59 Al-Qur’an (9):29. 60 Pada masa Nabi saw, legalisasi jizyah diawali dari penghianatan Suku Yahudi Madinah terhadap kesepakatan damai sebagaimana terumuskan dalam Piagam Madinah. Hal ini mengawali perubahan policy Nabi terhadap kelompok Yahudi dan Kristen dengan memberikan penawaran proteksi dengan imbalan jizyah. 118
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
mengizinkan mereka membayar pajak tahunan (zakat) dan bukan jizyah. Walaupun mereka menolak memeluk Islam, akan tetapi mereka lebih memilih membayar zakat, karena merasakan bahwa jizyah mendegradasikan mereka, dan kenyataannya ‘Umar mengakomodasi permintaan mereka.61Hal ini, sebagaimana dinyatakan oleh Bassam Tibi, bahwa Islam bisa bersandingan secara harmonis dengan paham pluralisme, dengan melakukan reformasi keagamaan berkaitan dengan cara pandang terhadap minoritas nonmuslim atau ahl al-dhimmah.62 Terkait dengan jihad dan Jizyah dan relevansinya dengan interaksi muslim dan nonmuslim, Abou El Fadl memandang signifikan pembedaan antara yang kontekstual/kontijensi dan yang sublime/supernal dari teks-teks keagamaan. Menyamakan antara keduanya, tegas Abou El Fadl, adalah kesalahan yang bersifat fundamental. Ayat-ayat atau teks-teks tentang jihad menurutnya bersifat kontekstual – terikat dengan dimensi kesejarahan – dan karena itu tidak bisa Lihat Khalid Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam; on Reading the Qur’an and – Misreading it, dalam http:// bostonreview.mit.edu/BR26.6/elfadl.html.Suku Kristen Arabia Utara lebih memilih membayar zakat/shadaqah yang yang bermakna charity walaupun jumlahnya dua kali lipat. Sebaliknya Fred Donner mengungkapkan bahwa sadaqah adalah retribusi untuk suku nomad Arab, sementara jizyah untuk non muslim. Karena sadaqah mengindikasikan status rendah suku nomad, suku Kristen Arab lebih memilih jizyah.Lihat “Jizya” dalam http:// en.wikipedia.org/ wiki/Jizya (Akses 3 Juni 2008). 62 Bassam Tibi, Political Islam, World Politic and Europe (Canada: Routledge, 2008), 12. 61
119
Jihad dan Benturan Peradaban
diterapkan apa adanya, apalagi dengan mengabaikan maknanya, atau teks-teks lain yang bersifat sublim. Teks-teks yang bersifat sublime atau supernal biasanya berkaitan dengan perintah moral/akhlak. Untuk menunjukkan hal di atas, Abou El Fadl memaparkan realitas kesejarahan yang mengitari konsep jihad dan relasi muslim dengan nonmuslim. Pada tahun-tahun awal Islam, yakni ketika Nabi membangun Negara Madinah, relasi Nabi dengan lingkungan sekitarnya bisa dikatakan cukup berbahaya. Ini bisa ditunjukkan antara lain karena tidak adanya kesepakatan internasional yang mengatur tata relasi antara satu wilayah dengan wilayah lain, antara muslim dengan nonmuslim. Dan faktanya memang ada permusuhan dan tension antara umat Islam dengan suku Quraysh Mekkah serta suku besar yang lain, Yahudi Khaybar. Dan yang lebih dramatis lagi adalah bahwa kekuatan muslim tidak berimbang dengan kekuatan yang dimiliki oleh kelompok lain. Diceritakan bahwa Bala Tentara Khaybar mencapai 10.000 orang, sementara tentara Muslim hanya 850 orang. Reportase yang lain menyatakan 1. 200 Tentara Muslim berhadapan dengan 10.000 tentara nonmuslim. Terlepas dari akurasi jumlah ini, sesuatu yang disepakati adalah bahwa kekuatan muslim tidak berimbang dengan kekuatan lawan. Dalam kondisi seperti ini, menurut Abou El Fadl, wajar bila pemimpin umat Islam selalu memompa semangat setiap individu muslim untuk terlibat dalam peperangan. Dalam kondisi demikian, setiap orang 120
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
akan mempunyai bayangan yang sama akan adanya praktek retorika yang muncul dari kekuatan kharismatis untuk memompa semangat perang, bahkan untuk mengorbankan diri. Abou El Fadl menyebutnya dengan ritual of sacrifice; pengorbanan ketika dihadapkan pada ketimpangan, pengorbanan ketika dihadapkan pada situasi yang hopeless, pengorbanan ketika diprediksikan tidak memungkinkan untuk menang dalam peperangan. Dalam kondisi keterkepungan (under siege), setiap orang akan mengutamakan survive. Jikalau berbicara dari aspek kesejarahan saja, tatkala nonmuslim membunuh tawanan perang muslim, tentu umat Islam akan mengharapkan teks menyatakan: “Baiklah, karena musuh telah membunuh tawanan perang muslim, maka bunuhlah mereka”. Akan tetapi menurut Abou El Fadl, pada kenyataannya teks tidak menyatakan demikian, akan tetapi justru adanya larangan teks untuk membunuh manusia lain, bahkan tatkala manusia tersebut membunuh tawanan muslim. Dari narasi di atas bisa dipahami bahwa relasi muslim dengan nonmuslim, yang kemudian mewujud dalam doktrin, sebenarnya bersifat kontekstual. Bagi Abou El Fadl, yang dipentingkan adalah, tidak saja pembedaan antara yang kontekstual dan yang supernal, akan tetapi kemampuan untuk mensublimasikan hal-hal yang bersifat kontekstual dan historis. Atau dalam bahasa Nurcholish Madjid, kemampuan untuk mentransendensikan determinasi-determinasi yang bersifat sosio-historis dan sosio-psikologis. Contoh lain 121
Jihad dan Benturan Peradaban
yang diungkap Abou El Fadl adalah adanya perintah moral dalam teks untuk saling memberikan do’a keselamatan baik secara verbal atau spiritual antar sesama muslim, “al-sala>m ‘alaykum”. Akan tetapi Abou El Fadl juga mendapati teks yang lain yang memberikan kualifikasi bahwa sala>m tidak boleh diberikan kepada nonmuslim atau kepada wanita. Abou El Fadl tidak saja meragukan otentisitas teks seperti ini, akan tetapi juga menilai bahwa teks tersebut bersifat kontekstual dan kontijensi. 2. Dikotomi Da>r al-Isla>m dan Da>r al-H}arb Sebagaimana disinggung dalam bab sebelumnya, da>r al-Isla>m dan da>r al-h}arb adalah konsep sentral dalam wacana jihad. Pemisahan secara dikotomis antara wilayah perang (da>r al-h}arb) dan wilayah Islam (da>r alIsla>m), menurut Abou El Fadl menunjukkan bahwa ada sebagian rumusan fikih yang kurang bersifat toleran dan humanitarian, khususnya ketika diterapkan pada era kontemporer. Abou El Fadl berpendapat bahwa pemilahan wilayah secara dikotomis berimplikasi pada pandangan dunia muslim yang eksklusif dan “picik”. Keyakinan bahwa karena hanya ada satu Tuhan di akhirat, maka hanya ada satu kedaulatan dan hukum di dunia, yakni kedaulatan da>r al-Isla>m dan hukum syariah. Wilayah Islam bersifat superior terhadap wilayah lain, dan bahwa jika wilayah nonmuslim secara temporer ditoleransi, akan tetapi wilayah tersebut pada akhirnya 122
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
harus dikonversi menjadi wilayah Islam melalui pranata jihad.63 Walaupun kata “da>r” secara literal dimaknai dengan wilayah, akan tetapi yang dimaksud sebenarnya adalah teritori atau yurisdiksi kekuasaan muslim versus kekuasaan nonmuslim. Menghadapi yurisdiksi nonmuslim, menurut sementara yuris, hanya ada tiga opsi yang ditawarkan kepada mereka, yakni; menjadi muslim, membayar retribusi/pajak, atau diperangi. Walaupun begitu, lanjut Abou El Fadl, doktrin fikih ternyata cukup bervariasi dalam pembagian wilayah ini. sebagian yuris memunculkan pilahan yang disebut dengan da>r al-s}ulh}/da>r al-‘ahd, yaitu wilayah yang mengadakan kontrak damai dengan wilayah Islam, dan da>r al-‘adl yaitu wilayah yang di dalamnya umat Islam mempunyai kebebasan untuk menjalankan agamanya, walaupun wilayah tersebut diperintah oleh nonmuslim. Walaupun begitu, dua wilayah yang disebut terakhir ini tidak begitu popular dalam wacana fikih klasik.64 Hal tersebut didasarkan pada keyakinan yang berkembang bahwa kehidupan yang adil hanya mungkin terealisasi di bawah petunjuk syariah, dan ini hanya bisa terjadi jika ada pemerintahan Islam yang didedikasikan untuk pengaplikasian syariah. Ini bisa dikatakan bahwa kehidupan yang adil bagi seorang muslim hanya dimungkinkan jika ia hidup di bawah pemerintahan Abou El Fadl, “Islamic Law and Muslim Minorities: The Juristic Discourse on Muslim Minorities from the Second/Eight to the Eleventh/Seventeenth Centuries”, Islamic Law and Society, Vol. 1, No. 2 (1994), 142. 64 Ibid. 63
123
Jihad dan Benturan Peradaban
Islam. Dari pemahaman di atas, muncullah dikotomi wilayah dan teritori.65 Bagi Abou El Fadl sendiri pemilahan secara dikotomis antara da>r al-Isla>m dan da>r al-h}arb sudah tidak relevan lagi karena ia merupakan determinasi sejarah pada abad pertengahan Islam, dan tidak berkorelasi dengan keimanan serta ajaran subtansial Islam. Pembagian wilayah secara dikotomis ini menurut Abou El Fadl cukup memberikan efek psikologis bagi umat Islam, yakni perasaan dalam situasi perang terus menerus dengan nonmuslim hingga terbukti umat Islam berhasil mengalahkan mereka. Pada masa abad pertengahan, prinsip yang dibangun oleh para yuris adalah “jika tidak terbukti sebaliknya, nonmuslim adalah ancaman bagi umat Islam”. Dan memang pada saat itu, setiap negara merasa merasa dalam situasi ketegangan, dan perang dengan semua bangsa lain, sehingga ada pakta perdamaian. Pakta perdamaian ini pun lazimnya dibatasi hinggga 10 tahun, yakni mempunyai masa kadaluwarsa. Perdamaian dengan negara lain dalam waktu yang tak terbatas dipandang tidak menguntungkan bagi realitas politik, dan situasi normal atau lazim menghendaki adanya perang atau tension antara da>r al-Isla>m dan da>r al-h}arb.66 Negara yang mengadakan pakta perdamaian dengan pemerintahan Islam sebagaimana tersebut di 65
Abou El Fadl, “Islamic Law and Muslim Minorities...”,
66
Abou El Fadl, The Great Theft …, 226.
142.
124
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
ataslah yang disebut dengan da>r al-s}ulh}/wilayah netral. Terhadap da>r al-s}ulh} ini perang dan kekerasan tidak boleh dilakukan, dan bilamana kelompok muslim melakukan penyerangan akan dipandang, tidak saja berdosa, akan tetapi juga adanya kewajiban untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan yang timbul. Karena itulah, hingga saat ini Amerika melakukan perjanjian damai dengan banyak negara muslim, termasuk Arab Saudi. Dan secara normatif, sekelompok warga Saudi terlarang untuk melakukan penyerangan terhadap Amerika.67 Kelompok puritan Islam, tegas Abou El Fadl, masih setia mempertahankan konsep yuris abad pertengahan ini, dan karenanya perasaan perang permanen dengan nonmuslim tetap mengakar. Pembagian wilayah secara dikotomis ini dijadikan justifikasi dan alat merealisasikan agenda ideologis mereka. Aksi-aksi terorisme sebagian didasarkan pada justifikasi ini. Karena berada dalam situasi perang yang permanen, kelompok puritan mendapatkan pembenaran untuk menyerang nonmuslim kapanpun dan di manapun, tanpa terbebani kewajiban untuk memberikan ma‘lumat atau deklarasi perang.68 Kendati Pembagian wilayah secara dikotomis sangat berpengaruh terhadap fikih, akan tetapi menurut Abou El Fadl pembagian ini sebenarnya tidak didukung oleh sumber-sumber primer fikih. Al-Qur’an tidak secara eksplisit menyebut konsep dikotomi wilayah ini. 67 68
Ibid., 227. Ibid., 226. 125
Jihad dan Benturan Peradaban
Al-Qur’an hanya menandaskan bahwa setiap orang merupakan bagian dari satu bangsa, dan banyak tipe bangsa dan Negara sebagai bagian dari sunnatulla>h. Perbedaan ini bukan untuk saling menguasai dan mendominasi, akan tetapi untuk saling mengenal dalam rangka membangun peradaban bersama. AlQur’an biasanya hanya memilah secara dikotomis antara “dunia” dan “akhirat”, dan yang terakhir ini selalu digambarkan lebih tinggi dari yang pertama.69 Karena itu, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pembagian wilayah secara dikotomis merupakan murni cerminan dari realitas kesejarahan pada abad pertengahan. Hal ini ditunjukkan oleh Abou El Fadl bahwa munculnya kategori ketiga dari pembagian teritori, yakni da>r al-s}ulh}, terjadi setelah abad ke-10. Sementara itu para ahli hukum sesudah abad ke-12 mulai menolak pembagian wilayah menjadi dua atau tiga kategori. Sebagian dari mereka bahkan lebih tertarik untuk melihat nilai-subtansial dari sebuah sistem pemerintahan, sebagaimana pendapat bahwa wilayah Islam yang sesungguhnya adalah semua wilayah tempat keadilan ditegakkan (da>r al-‘adl), atau di mana pun umat Islam bisa bebas dan terbuka untuk menjalankan agamanya. Karena itu, tegas Abou El Fadl, jikalau umat Islam bisa menjalankan agamanya secara aman tanpa tekanan di Amerika, maka Amerika adalah bagian dari wilayah Islam.Oleh sebab itu, menurut Abou El Fadl dimungkinkan adanya wilayah yang 69
Ibid., 227. 126
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
diperintah oleh nonmuslim dan umat Islam menjadi minoritas, tetapi wilayah tersebut diperlakukan sebagai bagian dari dunia Islam. Pendapat seperti ini, menurut Abou El Fadl, telah ada presedennya pada sebagian rumusan fikih klasik. Sejumlah yuris klasik berpendapat bahwa ada wilayah Islam yang bersifat formal dan ada wilayah Islam yang sesungguhnya. Wilayah Islam yang dipimpin oleh penguasa yang korup dinilai sebagai wilayah formal Islam, akan tetapi wilayah yang terbebas dari kepemimpinan dan sistem yang korup, dan Islam bisa diterapkan secara benar di wilayah tersebut, maka wilayah ini dinilai sebagai wilayah Islam yang sesungguhnya.70 Hal di atas menurut Abou El Fadl tidak saja mempunyai signifikansi doktrinal, akan tetapi realitas kesejarahan juga menunjukkan adanya dinamika aplikatif dari konsep da>r al-Isla>m dan da>r al-h}arb. Mulai abad ke-2/8, populasi muslim banyak yang bermukim di wilayah nonmuslim, khususnya di India dan China. Pada akhir periode pemerintahan Umayyah, umat Islam dikabarkan banyak yang melarikan diri, dan mencari suaka di Malabar, India, karena pemerintahan tiranik al-H}ajja>j b. Yu>suf (41-95/661-714). Kemudian pada masa pemerintahan al-Mahdi (158-169/775-785) dan Haru>n al-Rasyi>d (170-193/786-809), beberapa wilayah muslim dikuasai oleh pemerintahan nonmuslim. Sementara pada abad ke-5/11, sejumlah besar populasi umat Islam berada di bawah pemerintahan nonmuslim 70
Ibid., 228-229. 127
Jihad dan Benturan Peradaban
di Sisilia dan Messina.71 Pada era kontemporer ini jutaan muslim tinggal di negara nonmuslim, khususnya Barat-Kristen. Mereka tertuntut untuk bisa melakukan rekonsiliasi antara aspek keimanan dengan status kependudukan mereka. Karena itu, hubungan antara muslim dan Kristen tidak seharusnya bersifat konfliktif, dan dikotomi area menjadi da>r al-Isla>m dan da>r al-kufr dinilai tidak relevan lagi.72 Sementara yuris berpendapat bahwa tidak diperbolehkan umat Islam untuk mukim di wilayah nonmuslim dalam kondisi apapun. Karena Islam dan da>r al-Isla>m tidak mungkin dipisahkan. Mereka yang berada di wilayah nonmuslim adalah mempunyai kewajiban untuk hijrah, yakni selalu mencari wilayah Islam yang dimungkinkan untuk menerapkan Islam secara paripurna. Al-Syayba>ni, misalnya, menuturkan bahwa Abu> H}ani>fah (w. 150/768) tidak membolehkan muslim mukim di wilayah nonmuslim. Senada dengan Abu> H}ani>fah, Sah}nu>n menceritakan bahwa Malik (w. 179/796) sangat menentang seorang muslim yang melakukan perjalanan bisnis ke wilayah nonmuslim, karena ditakutkan ia akan menjadi obyek hukum pemerintahan nonmuslim.73 Berbeda dengan hal di atas, al-Sya>fi‘i, tegas Abou El Fadl, mempunyai pendekatan yang berbeda. Al Abou El fadl, “Islamic Law and Muslim Minorities…”, 145. Emile Nakhleh, A Necessary Engagement: Re-inventing America’s Relations with the Muslim World (Princeton: Princeton University Press, 2009), 16 – 17. 73 Abou El fadl, “Islamic Law and Muslim Minorities…”,146. 71
72
128
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
Sya>fi‘i berargumentasi bahwa setelah dibangunnya pemerintahan Islam di Madinah, sahabat Nabi s.a.w. ‘Abdulla>h b. ‘Abba>s dan pengikutnya diperkenankan untuk tetap tinggal di Mekkah yang nota bene-nya adalah teritori nonmuslim. Nabi juga mengizinkan suku-suku nomadik untuk tetap tinggal di luar wilayah Islam setelah mereka masuk Islam. Karena itu menurut al-Sya>fi‘i, seorang muslim diperbolehkan untuk mukim di wilayah nonmuslim, jikalau memang tidak ditakutkan adanya fitnah terhadap agama. Nabi sendiri ketika melakukan hijrah ke Madinah, dan mengajak serta umatnya, dilatarbelakangi adanya ketidakbebasan menjalankan agama di Mekkah, dan ini menjadi ‘illat hukum hijrah Nabi.74 Lebih jauh Yuris pengikut al-Sya>fi‘i, al-Ma>wardi> (w. 450/1058) berpendapat bahwa apabila seorang muslim bisa memanifestasikan keyakinan agamanya dalam salah satu wilayah nonmuslim, wilayah ini menjadi bagian dari wilayah Islam. Mukim di wilayah ini menurutnya lebih baik, dari pada melakukan hijrah dengan harapan bahwa orang yang beragama lain akan masuk Islam karenanya. Yuris dari kalangan Syi‘ah kurang lebih mempunyai pandangan yang sama dengan Yuris Sya>fi‘iyyah. Bahkan mereka berpendapat bahwa seorang muslim wajib untuk melakukan hijrah dari wilayah manapun jikalau kezaliman dan korupsi merajalela dan ia secara fisik terancam. Sebagai konsekuensinya, kalangan Syi‘ah membedakan antara 74
Ibid., 147. 129
Jihad dan Benturan Peradaban
da>r al-Isla>m dan da>r al-i>ma>n. Secara kualitatif, da>r alIsla>m bisa equivalent dengan da>r al-kufr jikalau korupsi begitu merajalela.75 3. Jihad, Hegemoni Peradaban
Barat
dan
Benturan
Terorisme kelompok puritan pada dasarnya bukan bertujuan untuk liberasi (fath}), sebagaimana yang dikandung oleh makna jihad itu sendiri, akan tetapi untuk penghancuran simbol-simbol modernitas Barat sebagai bentuk resistensi terhadap hegemoni Barat. Abou El Fadl dalam hal ini tidak mengingkari permasalahan dominasi dan hegemoni Barat. Dalam tulisannya, “despotisme dan terorisme”, The Search for Beuty in Islam, Abou El Fadl berpendapat bahwa bentuk paling kuat dari despotisme adalah hegemoni. Hegemoni menurutnya adalah supremasi terhadap produksi, dan kontrol terhadap pencitraan (images) yang bisa mentransmisikan nilai dan budaya. Ia adalah mekanisme reproduksi dan manipulasi nilai dari sebuah simbol, dengan simbol tersebut kita bisa memahami baik dan jelek, bagus dan buruk, serta indah dan seronok. Hegemoni dengan kekuatan image dan simbol pada gilirannya mendefinisikan segala keinginan, kebutuhan, bahkan kehidupan kita, serta mendikte bagaimana kita seharusnya berinteraksi dengan yang lain. Hegemoni pada akhirnya juga menegasikan keunikan, individualitas dan kekayaan budaya 75
Ibid., 152. 130
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
yang bersifat partikularistik, dan semuanya menjadi komoditas yang didasarkan pada asas fungsionalitas. Menurut Abou El Fadl, pelaku dari semua ini tidak dipungkiri adalah Barat, khususnya Amerika. Idealisme dan nilai mereka hendak diproyeksikan ke seluruh dunia, karena nilai peradaban mereka dinilai unggul dibanding yang lain. Terorisme, menurutnya, adalah bentuk resistensi sebagian umat Islam terhadap hegemoni Barat, utamanya Amerika.76 Menurut Edward Said, hegemoni Barat terefleksikan pada tradisi orientalisme, “orientalism as a western style for dominating, restructuring, and having authority over the orient”77(orientalisme adalah model Barat untuk melakukan dominasi, restrukturasi, dan penguasaan terhadap Timur). Merujuk pada diskursus Michel Foucault tentang power and knowledge, Said menyatakan bahwa pengetahuan Barat tentang Islam bukanlah pengetahuan yang bersifat pure, akan tetapi bersifat politis.78 Menurut Said, dominasi Barat dalam bidang politik dan kebudayaan pascakolonial dinilai telah mengukuhkan bahwa Barat tidak saja berhak, akan tetapi juga wajib berkuasa atas Timur.79 Sementara itu Lewis merasa keberatan dengan Abou El Fadl, The Search for Beuty in Islam: A Conference of the Books (Lanham: Rowman & Littlefield Publisher, 2006), 74. 77 Edward W. Said, Orientalism (New York: Vintage Book, 1979), 3. 78 Ibid., 9 79 Sebagaimana dikutip oleh Baidhowi dalam, Antropologi al-Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 2009), 94. 76
131
Jihad dan Benturan Peradaban
generalisasi Said terhadap orientalisme. Lewis me ngakui bahwa beberapa orientalis memang mewakili kepentingan dominasi imperialis, akan tetapi studi Eropa terhadap Islam dimulai beberapa abad sebelum ekspansi dan kolonialisasi Eropa. Jerman sendiri, tempat berkembangnya orientalisme, tidak mempunyai pengalaman kolonialisme terhadap Arab.80 Sementara Muhammed Arkoun kelihatannya tidak ingin terjebak pada kontroversi antara Said dan Arkoun, dan tidak ingin bersikap apriori terhadap Barat. Arkoun menilai kajian-kajian orientalis sudah samapai pada taraf obyektifitas kajian, walaupun perkembangannya masih lambat.81 Walaupun orientalisme dinilai telah sampai pada taraf obyektifitas, walaupun hal ini juga tidak bisa digeneralisasikan, secara praktis dan seringkali bersifat persuasif, imperialisme pascakolonial masih dirasakan umat Islam. Akan tetapi menurut Abou El Fadl, terorisme bukanlah resistensi yang bersifat konstruktif dan persuasif. Sebaliknya, terorisme adalah resistensi yang bersifat destruktif dan merupakan tindakan oposisi yang sia-sia. Ia adalah bentuk manifestasi dari kecemasan dan keputus-asaan menghadapi hegemoni Lewis juga mengakui kemungkinan bias dari studi orientalisme, akan tetapi tidak sepakat bila digeneralisasikan pada semua kajian orientalisme. Said menurut Lewis hanya mendasarkan diri pada praduga, motif dan tujuan orientalisme dan mengabaikan realitas faktual karya-karya orientalisme. Lihat, Zachari Lockman, Contending Visions of the Middle East (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 191. 81 Baidhowi, Antropologi al-Qur’an, 94. 80
132
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
Amerika dan Barat. Terorisme, tegas Abou El Fadl, bukanlah counter-culture (counter atau perlawanan budaya), dan bukan pula counter-moral value (perlawanan nilai moral) terhadap hegemoni, akan tetapi merupakan aksi yang sama sekali tidak berbudaya dan bermoral. Abou El Fadl menyatakan: “Terrorism is not a counter-culture to hegemony, rather it is the complete lack of culture. Like many expressions of desperation, it is not assertion of a counter-moral value, but the complete lack of moral value”.82 Bagi Abou El Fadl pada dasarnya terorisme tidak lebih baik dari hegemoni. Keduanya bersifat represif; mengontrol dan menindas, keduanya juga melakukan dehumanisasi dan manipulasi. Hegemoni melakukan manipulasi dengan kekuatan bujukan dan rayuan, dan satunya melalui teror yang vulgar. Keduanya juga melakukan obyektifikasi terhadap target, meguasai fisik serta jiwa/hati. Walaupun begitu, hegemoni lebih mengandalkan kekuatan sihir dan hipnotis yang ditujukan pada hati, pikiran dan jiwa, sementara terorisme tidak demikian.83 Karena itu, jalan terbaik untuk mengatasi terorisme adalah menghilangkan hegemoni, atau dalam bahasa Abd A‘la narsisme negara-negara super power, seiring dengan upaya mendekatkan umat Islam pada alam modernitas. Hegemoni dan narsisme Barat serta Amerika menurut Abd A‘la mengilhami kelompok 82 83
Abou El Fadl, The Search for Beuty …, 74. Ibid. 133
Jihad dan Benturan Peradaban
Puritan untuk mencari jalan “cerdas” tapi pengecut yang berujung pada tindakan terorisme.84 Akan tetapi resistensi terhadapnya tidak seharusnya dilakukan dengan jihad fisik yang justru kontradiktif dengan pembangunan peradaban manusia. Apa yang dilakuan oleh Jepang, Cina, Korea, Turki, Iran dalam rangka keluar dari dominasi Barat lebih elegan bagi Abou El Fadl. Resistensi terhadap hegemoni Barat seharusnya dimulai secara internal, yakni perlawanan terhadap pemerintahan yang korup. Umat Islam membutuhkan sistem pemerintahan yang bisa membuka pintu ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya yang bisa menyelesaikan persoalan-persoalan lingkungan, ekonomi, kesehatan dan yang lainnya. Mempersiapkan kuda (khayl) sebagaimana dipaparkan dalam al-Qur’an, menurut Abou El Fadl, seyogyanya dimaknai mempersiapkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Siapapun yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi akan bisa mengontrol dunia.85 Resistensi terhadap Barat juga berakibat pada perlawanan kelompok puritan terhadap sesama muslim yang dinilai pro Barat. Pemikiran moderat terhadap fikih dalam rangka kontekstualisasi keilmuan ini terhadap perubahan zaman juga dinilai sebagai imbas dari pemikiran yang berkembang di Barat. Karena itu jihad tidak saja relevan terhadap penganut agama Abd A’la, Melampaui Dialog Agama (Jakarta: Kompas, 2002), 67. 85 Abou El Fadl, “Commentary: Terororism is at Odds with Islamic Tradition”. 84
134
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
lain, akan tetapi juga terhadap saudara sesama muslim yang dideklarasikan sebagai murtad. Menurut Abou El Fadl, konsepsi jihad seperti ini merupakan bagian dari wahabisme yang menghendaki tafsir tunggal terhadap teks keagamaan. Contoh nyata dari pola pikir ini adalah pembunuhan Duta Besar Mesir di Irak, dan perlawanan terhadap kelompok Syi‘ah. Kelompok Syi‘ah dinilai sebagai telah keluar dari Islam, dan karenanya diperbolehkan untuk membunuhnya.86 Menurut Karen Armstrong, semua bentuk fundamentalisme (puritanisme) mempunyai karakter yang sama, yakni kekecewaan terhadap pengalaman modernitas.87 Bagi kelompok reformer, tidak ada jalan lain kecuali menyandingkan agama dengan modernitas. Akan tetapi ketika usaha kelompok reformer dinilai tidak menuai hasil, muncul kelompok lain yang menawarkan metode yang ekstrim dan muncullah kelompok puritan. Modernisme bagi kelompok puritan dinilai sebagai ancaman yang hendak menyapu agama. Karena itu perlawanan terhadap modernitas adalah keharusan sebagaimana perlawanan terhadap Barat dan Amerika sebagai simbol dan basis modernitas. Resistensi terhadap hegemoni Barat yang diwujudkan dalam bentuk jihad dan terorisme sebagaimana tergambar di atas kemudian menyulut perbincangan tentang tesisnya Huntington, benturan Ibid. Karen Armstrong, Islam: A Short History (New York: The Modern Library, 2002), 164. 86 87
135
Jihad dan Benturan Peradaban
peradaban (the clash of civilizations). Menurut Huntington, setelah usai perang dingin, perbedaan dan konflik antar manusia tidak lagi disebabkan oleh persoalan ideologi, politik atau ekonomi, akan tetapi oleh budaya dan peradaban (civilizations).88 Identitas peradaban menjadi sangat penting bagi Huntington untuk membedakan satu kelompok dengan kelompok yang lain, “we know who we are only when we know who we are not and often we know whom we are against.” Persoalan ideologi, politik dan ekonomi tentu menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban, akan tetapi perannya menjadi samar dalam konflik global. Berbicara tentang konflik dalam hal ini titik sumbu adalah peradaban. Negara bangsa (nation state) tetap memainkan peran yang maha penting dalam percaturan dunia, akan tetapi prinsip konflik dalam politik global akan terjadi antara negara atau kelompok yang berasal dari peradaban yang berbeda.89 Di antara sekian peradaban kontemporer yang bersifat mayor, menurut Huntington adalah: Cina (sinic), Jepang, Hindu, Islam, Rusia (orthodox), dan Barat (western).90 Agama dalam hal ini bersifat sentral dalam Lihat, Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Touchstone Books, 1998), 40-41. 89 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations …, 21. Lihat juga Huntington, “The Clash of Civilization?”, dalam Joanne Meyerowitz (ed.), History and September 11 Th (Philadelpia: Temple University Press, 2003), 223. 90 Kelompok peradaban Barat (the West) mencakup Eropa, Amerika Utara, dan negara-negara Eropa lain semisal Australia dan Selandia Baru. Relasi antara dua komponen utama Barat, yakni 88
136
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
mendefinisikan peradaban. Huntington mengutip pernyataan Christopher Dawson bahwa agama yang besar adalah fondasi bagi munculnya peradaban besar.91 Yang paling berpotensi untuk berbenturan menurut Huntington adalah Barat di satu pihak, dengan Islam dan Cina di pihak lain.92 Ada tiga peradaban yang berpotensi untuk berbenturan; pertama, the western civilization, Kedua, the eastern civilization (Jepang dan Cina), dan ketiga, the Islamic civilization yang seringkali dibahasakan dengan da>r al-Isla>m. Akan tetapi sebagaimana disinggung dalam bab sebelumnya, the eastern civilizations cenderung melunak tingkat resistensinya terhadap Barat.93 Sementara itu tingkat resistensi the Islamic civilizations justru menguat seiring dengan munculnya pahampaham keagamaan yang bersifat puris/radik di tengah kondisi perekonomian umat Islam yang tidak kunjung membaik. Yang paling mungkin untuk berbenturan menurut Miles, mendukung tesis Huntington, adalah benturan Amerika dan Eropa, selalu berubah. Dalam sebagian besar lintasan sejarah, Amerika menegaskan masyarakatnya berbeda dengan Eropa, Amerika adalah the land of freedom, equality, opportunity, the future, dan sebaliknya dengan Eropa. Akan tetapi pada abad ke-20, menurut Huntington, Amerika menyatakan dirinya sebagai bagian dari Eropa, dan Amerika menegaskan dirinya menjadi pemimpin entitas yang lebih besar, yakni Barat, yang salah satu unsurnya adalah Eropa. Huntington, The Clash of Civilizations …, 46. 91 Ibid., 45-47. 92 Ibid., 20. 93 Sebagaimana dikutip oleh Herry Nurdi, Lobi Zionis dan Rezim Bush (Jakarta: Hikmah, t.t.), 272. 137
Jihad dan Benturan Peradaban
antara peradaban Barat dan peradaban Islam. Dalam pengalaman sejarahnya, telah tertorehkan konflik berdarah dalam jangka waktu yang lama. Menurut Miles, konsep dan doktrin fikih tentang da>r al-Isla>m dengan sendirinya memunculkan da>r al-h}arb. Artinya bahwa penegakan wilayah Islam berbarengan dengan perintah untuk berperang melawan nonmuslim.94 Karena itulah perang dan jihad yang diwujudkan dalam bentuk aksiaksi kekerasan yang muncul di era modern seringkali diasosiasikan dengan benturan peradaban antara Islam dan Barat. Beberapa komentator Barat, menurut Abou El Fadl, menilai bahwa peristiwa 11 September 2001 menunjukkan episode panjang persaingan dua peradaban berbeda, Barat dan Islam. Peristiwa 11 September 2001 merupakan puncak dari tesis Huntington dan simtom dari The Clash of Civilizations.95 Ibid., 273. Peristiwa 11 September 2001 bagi Muslim Moderat di Amerika, keluh Abou El Fadl, memunculkan tantangantantangan dari berbagai arah.Pertama, dari penganut ide the clash of civilizations yang hendak mentransformasikan Islam sebagai musuh Barat dengan berakhirnya era komunisme. Kedua, dengan para pendukung fanatik Israil yang beranggapan bahwa manisfestasi dari semua aksi-aksi atas nama Islam adalah ancaman bagi eksistensi Israil. Ketiga, dengan para pemuka agama yang fanatik yang menjelek-jelekkan Islam, dengan misalnya, menuduh bahwa Nabi mengidap penyakit pidopilia.Keempat, dengan umat Islam yang berkeyakinan bahwa ada konspirasi yang bersifat internasional untuk melawan Islam, bahkan peristiwa 11 September 2001 dinilai sebagai bagian dari konspirasi tersebut. Kelima, dengan umat Islam lain yang menuduh kelompok moderat Muslim telah menjual Islam pada Barat dengan dengan isu mereka, “Islam otentik”. Lihat, Abou El Fadl, “Moderate 94 95
138
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
Menurut John L. Esposito, Islam dan gerakannya yang seringkali bersifat transnasional dinilai sebagai ancaman bagi Kristen dan Barat. Di sisi lain, setelah selesainya perang dingin, Amerika berkepentingan untuk mencari musuh baru sebagai proyeksi keberanian dan kekuatan Amerika. Akan tetapi, menurut Esposito, pilihan Islam sebagai ancaman politik pasca perang dingin memaksanya untuk berjalan antara mitos dan realitas, antara kesatuan Islam dan kemajemukan manifestasi Islam. Dan kenyataannya, Amerika sebagaimana terpotret di media, cenderung melihat dunia Islam dan gerakan Islam sebagai monolitik dan melihat mereka dalam kategori ekstrimisme dan terorisme.96 Tesis tentang benturan peradaban sendiri bagi Abou El Fadl mempunyai kelemahan yang mendasar.97 Ide tentang benturan peradaban tidak saja muncul dari sarjana Barat, seperti Huntington dengan dikotomi Islam dan Barat, akan tetapi juga muncul dari kelompok puritan Islam, yakni dengan pemilahan secara dikotomis antara da>r al-Isla>m dan da>r al-h}arb. Karena itu tidak salah bila dinyatakan bahwa yang berbenturan pada dasarnya adalah arogansi Barat dan intoleransi muslim. Dalam peristiwa 11 september 2001, Abou El Fadl tidak Muslim under Siege”, dalam http://www.scholarofthehouse.org/ modnewyortim.html, (Akses, 31 Desember 2007). 96 John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality? (Oxford: Oxford University Press, 1992), 5. 97 Abou El Fadl, “Moderate Muslim under Siege”, dalam http://www. scholarofthehouse.org/modnewyortim.html, (Akses, 31 Desember 2007). 139
Jihad dan Benturan Peradaban
tertarik untuk menyorotinya dari aspek “benturan peradaban”, akan tetapi bagaimana peristiwa ini mempunyai efek pada pemahaman terhadap Islam, baik oleh pihak eksternal berupa pandangan yang bersifat monolitik sebagaimana ungkapan Esposito di atas, atau oleh internal masyarakat Islam sendiri. Pada era modern, pemikiran dikotomis antara Islam dan Barat muncul karena pemikiran Islam sangat dipengaruhi oleh pengalaman tidak mengenakkan dalam bentuk kolonialisme dan post-kolonialisme.98 Para pejabat Amerika sendiri mencoba untuk memahami dan menolak dengan tegas bahwa bangkitnya sentimen-sentimen Islam berkaitan dengan ide benturan antar peradaban, akan tetapi ia lebih berkaitan dengan memburuknya kondisi sosio-politik dan sosio-ekonomi. Sementara, Amerika sendiri menyatakan bahwa komitmen negara ini adalah bagaimana bisa menjadi jembatan antar berbagai sistem spiritual. Pada masa pemerintahan Bill Clinton, Presiden ke-42 (1993-2001), misalnya, presiden ini dan segenap pembantunya sering kali memuji Islam dan menekankan hubungan keagamaan dan peradaban antara Islam dan Barat. Menurut Gerges, berdasar penuturan penyusun naskah pidato Clinton, Clinton sangat hati-hati dan mencoba untuk sensitif terhadap Islam serta memberikan keyakinan kepada umat Islam bahwa Amerika tidak menganut hipotesa Mary L. Dudziak (ed.), September 11 in History (Duke: Duke University Press, 2003), 5. 98
140
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
the clash of civilizations.99 Hal senada, menurut Abou El Fadl, juga dilakukan oleh George W. Bush, Presiden Amerika ke 43 (2001-2009). Bush menegaskan bahwa kepemimpinannya bukanlah untuk menggelar perang dengan Islam, karena Islam adalah agama perdamaian. Akan tetapi di balik deklarasi yang simpatik ini, tutur Abou El Fadl, secara umum kebijakan pemerintah Amerika dan diskursus tentang Islam masih terkesan dipengaruhi oleh paradigma benturan peradaban. Setelah peristiwa 11 September 2001 misalnya, Bush menyatakan bahwa Amerika sedang berperang, yakni peperangan antara “kebaikan” dan “kejahatan” (good and evil). Walaupun ini merupakan bahasa yang digunakan untuk mendapatkan dukungan politik, akan tetapi menurut Abou El Fadl, aspek simboliknya cukup signifikan. Simbolisme politik President Bush menurut Abou El Fadl menyamakan “kebaikan” dengan “berperadaban”, sementara “kejahatan” tidak demikian. Dengan bahasa politiknya, Bush mengundang negara-negara di dunia untuk memilih antara dua hal: mengikuti kekuatan “kebaikan”, yakni penegak dan pemilik peradaban; atau sebaliknya, digolongkan sebagai bagian dari pelaku kejahatan, kekerasan dan kelompok barbarian. Simbolisme benturan peradaban yang disuarakan oleh Bush bisa ditelusuri dari spesialis hubungan Islam dan Barat, Bernard Lewis. Lewis yang Fawaz A. Gergez, Amerika dan Politik Islam: Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan, terj. Kili Pringgodigdo dan Hamid Basyaib (Jakarta: Alvabet, 2002), 297. 99
141
Jihad dan Benturan Peradaban
idenya banyak diambil oleh pemerintahan Bush ini merupakan sosok intelektual yang mendukung tesis Huntington. Dukungan ini tercermin dalam bukunya, What Went Wrong? The Clash Between Islam and Modernity in the Middle East.100 Pandangan dunia yang bersifat dikotomis tersebut pada gilirannya memilah dan mengkategorikan negara sesuai dengan pandangan dunia tersebut. Bush dalam hal ini dinilai oleh Abou El Fadl telah melanggengkan habit of mind dan semangat kolonialisme. Kolonialisme membagi dunia menjadi dua: dunia yang berperadaban, dan dunia yang tidak berperadaban. Tanggung jawab orang-orang kulit putih adalah menjadikan semua wilayah “berperadaban”, bahkan dengan kekuatan jikalau diperlukan.101 Dalam bahasa Huntington, Amerika adalah missionary nation (negara misionaris) yang berpandangan bahwa bangsa non-Barat seharusnya Premis dasar buku ini adalah bahwa jika ada satu wilayah atau bagian dari dunia ini menapaki jalan yang salah, diasumsikan ada bagian dunia lain, atau negara lain yang menapaki jalan yang benar. Ini adalah logika dari benturan peradaban. Penyebab utama kesalahan negara-negara Islam menurut Lewis adalah kegagalan dalam melakukan modernisasi atau dalam menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Ini agak mengherankan bagi Lewis, karena dalam sejarahnya dunia Islam lebih dulu berkenalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lihat, Review Peter Sluglett terhadap, “What Went Wrong? The Clash Between Islam and Modernity in the Middle East”, Muslim Minority Affairs,Vol. 23, No. 2 (Oktober 2003), 384. 101 Abou El Fadl, “The Orphans of Modernity and the Clash of Civilizations” dalam http://www.scholarofthehouse.org/ orofmodandcl.html (Akses, 31 desember 2007). 100
142
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
berkiblat ke Barat dalam hal nilai: demokrasi, pasar bebas, HAM, individualisme, serta tata hukum. Akan tetapi umumnya, masyarakat muslim bersifat skeptis terhadap tawaran nilai Amerika. Apa yang dinilai universal menurut Amerika adalah imperialisme bagi yang lain.102 Hal di atas memberikan proyeksi paradigma yang sama terhadap Islam. Menurut kebanyakan orientalis yang mendedikasikan dirinya pada kolonialisme, wilayah Islam terpilah menjadi dua; wilayah Islam (da>r al-Isla>m) dan wilayah kekufuran (da>r al-kufr), dan menjadi tanggung jawab muslim untuk menjadikan semua wilayah menjadi da>r al-Isla>m, bahkan dengan kekuatan jikalau diperlukan. Pada kenyataannya semua itu menurut Abou El Fadl adalah bagian dari penjajahan yang mengadopsi misi misionari dan mentalitas perang salib vis a vis the others. Abou El Fadl menuturkan: “Having adopted this dichotomous worldview, the logical next step was to sort through the nations of the world and categorise them accordingly. Bush was perpetuating an old and well-established colonial habit. Colonialism divided the world into the civilised and the uncivilised, and declared that the white man’s burden was to civilise the world, by force if necessary. It projected the exact same paradigm upon Islam. Accordingly, orientalists, who were often in the service of colonial powers, claimed that Islam divided the world into two abodes. They presumed that Muslims wished to convert the whole world, by force if necessary, to 102
Huntington, The Clash of Civilizations …, 184. 143
Jihad dan Benturan Peradaban
Islam. In reality, it was the coloniser, and not the colonised, that had adopted a missionary or crusading attitude vis-a-vis the other”.103 “Setelah mengadopsi pandangan dunia yang bersifat dikotomis ini, langkah logis berikutnya adalah memilah-milah negara di dunia dan mengkategorikan mereka. Bush melanggengkan kebiasaan dan tradisi lama kolonial yang sudah mapan. Kolonialisme membagi dunia ke dalam “beradab” dan “tidak beradab”, dan menyatakan bahwa kewajiban orang kulit putih adalah untuk membudayakan dunia, jika perlu dengan kekerasan. Ini diproyeksikan sebagai paradigma yang sama persis pada Islam. Dengan demikian, orientalis, yang mengabdi pada kepentingan kekuatan kolonial, mengklaim bahwa Islam membagi dunia ke dalam dua wilayah (dar al-Isla>m dan da>r al-kufr). Mereka menganggap bahwa umat Islam ingin mengkonversi seluruh dunia, dengan kekerasan jika perlu, untuk Islam. Pada kenyataannya, itu adalah penjajah, dan bukan terjajah, yang telah mengadopsi sikap misionaris atau Perang Salib visa-vis lainnya”. Pandangan dunia sebagaimana diadopsi oleh pemerintahan Bush di atas pada akhirnya membawa pada pendekatan yang tidak berimbang terhadap Islam, kecurigaan dan penerapan standar ganda (stereotype). Pada wilayah domestik umpamanya, Amerika Abou El Fadl, “The Orphans of Modernity and the Clash of Civilizations” dalam http://www.scholarofthehouse.org/ orofmodandcl.html (Akses, 31 Desember 2007). 103
144
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
menerapkan law enforcement, dan pengawasan yang rendah terhadap kelompok fundamentalis Kristen dan Yahudi, dan sebaliknya pengawasan ketat terhadap kelompok Islam yang dinilai fundamentalis. Bush juga membekukan banyak aset organisasi Islam dengan didasarkan pada spekulasi bahwa organisasi tersebut memberikan pendanaan pada muslim puritan. Contoh yang lain, ketika Pastor Kristen Fanatik menuduh Nabi umat Islam sebagai pidopilia dan Islam sebagai agama terorisme, presiden Bush hanya menunjukkan ketidaksetujuaanya, dan sama sekali tidak mengekspresikan kemarahan, atau mengutuknya sebagai kefanatikan dalam beragama. Karena itu menurut Abou El Fadl, jikalau kebijakan Pemerintah Amerika diperhatikan secara menyeluruh, simbolisme politik Bush, yakni perang antara “kebaikan” dan “keburukan” tidak dilatarbelakangi oleh perspektif moralitas. Bahkan, tambah Abou El Fadl, bahasa politik Bush telah menunjukkan karakter absolutis dari konsepsi Amerika terhadap the other. Karakter absolutis dan polarisasi kebijakan Amerika pasca 11 September 2001 justru telah mengantarkan pada pendapat beberapa komentator bahwa yang terjadi bukan the clash of civilizations, akan tetapi the clash of fundamentalism, fundamentalisme kelompok puritan (baca: Bin Laden) dan fundamentalisme Bush. Mereka berargumen bahwa perang terhadap terorisme dilakukan oleh kekuatan yang pada dasarnya bersifat reaksioner dan fanatik dengan didasarkan pada 145
Jihad dan Benturan Peradaban
pandangan dunia yang bersifat dogmatis dan esensialis. Akan tetapi menurut Abou El Fadl, argumentasi di atas mempunyai kelemahan, karena menurutnya, tidak akurat untuk menyamakan moralitas kelompok puritan pelaku terorisme dengan moralitas Bush. Terlepas dari pengaruh kolonialisme dalam perang terhadap terorisme, teologi yang menggerakkan terorisme sepenuhnya didasarkan pada pengabaian standar peradaban dan humanisme. Walaupun begitu, perang terhadap terorisme apabila disenyawakan dengan ide the clash of civilizations, akan mengabadikan kefanatikan dalam beragama, dan bentuk dehumanisasi terhadap the other, walaupun the other tersebut didefinisikan. “Regardless of how some aspects of the war against terrorism might be reminiscent of colonialism, the type of theology that drives bin Laden is founded on a total disregard of any standards of civility or principles of humanity. Nevertheless, in some important respects, the rhetoric we employ in the war against terrorism, when coupled with a paradigm of clashing civilisations, does have the effect of perpetuating religious bigotry and of dehumanising the “other”, however that “other” is defined”.104 Sebagaimana disinggung di awal sub bab, bahwa menurut Abou El Fadl, tesis tentang benturan peradaban (the clash of civilizations) mempunyai kelemahan-kelemahan metodologis. Kelemahan Abou El Fadl, “The Orphans of Modernity and the Clash of Civilizations”. 104
146
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
kelemahan tersebut berkisar pada empat hal:105 1. Klaim terhadap asal-usul/genealogi nilai atau budaya tertentu (claim of lineage). Pendukung ide benturan peradaban sering kali membuat klaim bahwa nilai-nilai atau budaya tertentu berasal dari kelompok-kelompok tertentu, misalnya nilai-nilai tertentu milik Yahudi-Kristen atau Islam. Mereka berpikir seolah-olah genealogi nilai dan budaya bisa ditentukan secara sepihak secara tepat dan persis dengan mengklasifikasikannya sedemikian rupa. Nilai dan budaya merupakan konstruk sosiokesejarahan. Merujuk pada wacana interaksi budaya dan lintas transmisi intelektual, nilai-nilai dominan Barat mempunyai persinggungan dan sebagian bahkan berasal dari Islam. Ini sebagaimana Richard W. Bulliet menyatakan bahwa peradaban Barat sesungguhnya berbasis pada Islamo-Christian Civilization. Karena itu menurut Abou El Fadl, tesis tentang benturan peradaban pada dasarnya merupakan simbolisme politik yang artifisial dan tidak berdasar pada realitas sosio-kesejarahan. 2. Klaim terhadap the other (yang lain). Proponen benturan peradaban sering kali mendefinisikan peradaban sendiri, dan membedakannya dengan yang lain (the other) dan lebih banyak asyik dengan aspirasinya sendiri, dari pada memperhatikan realitas kelompok lain. Sebagai misal, ketika Barat ingin menggambarkan peradaban Islam dan 105
Ibid. 147
Jihad dan Benturan Peradaban
representasinya, maka konstruk penggambaran tersebut hanya merupakan refleksi dari aspirasi dan keinginan Barat. Bilamana aspirasi Barat berorientasi pada peningkatan kualitas/derajad demokrasi, atau mereka gelisah dengan kelemahan mereka vis a vis hak-hak perempuan, maka mereka membagun image terhadap muslim (the other) sebagai anti tesis dari aspirasi mereka. Dengan menkonstruksikan “yang lain” sebagai anti tesis, seseorang akan merasa puas apa yang telah dicapainya. 3. Produsen makna (the enterprise of meaning). Problem lain dari pendekatan yang memusatkan diri pada pradigma konflik peradaban adalah tidak stabilnya nilai, berikut maknanya dalam proses budaya. Nilainilai dan pemaknaanya terus berevolusi, bermutasi dan bergeser berhadapan dengan varian pengaruh dan motivasi. Sebagai misal, ketika seseorang berbicara tentang konsep keadilan dalam Islam, maka sesungguhnya ia berbicara tentang banyak produsen makna interpretatif yang eksis dalam waktu dan budaya yang berbeda dalam sejarah Islam. Karena makna merupakan produk dari komunitas penafsir dalam waktu atau setting budaya yang berbeda, proponen Huntington tidak bisa berbicara tentang konsep keadilan atau kebebasan manusia perspektif Islam yang sesungguhnya. Mereka hanya berbicara pada tataran konsep keadilan menurut penafsir tertentu, menurut Mu‘tazili, atau Asy‘ari misalnya. 148
Jihad dan Benturan Peradaban dalam Perspektif Abou El Fadl
4. Kompetensi (competence). Pertanyaan sederhananya berkaitan dengan hal ini, menurut Abou El Fadl, adalah: “siapa yang paling berkompeten untuk memberikan penilaian bahwa suatu komunitas penafsir lebih kredibel sebagai representasi dari peradaban “adiluhung” di banding komunitaskomunitas yang lain. Abou El Fadl tidak bermaksud berbicara tentang persoalan kekuasaan dan otoritas, akan tetapi berkaitan dengan invensi dan kontruksi terhadap “yang lain”. Ketika proponen Huntington menyatakan bahwa peradaban Islam berdiri di atas proposisi tertentu, mereka pada dasarnya telah melakukan “kekuasaan representasi” (the power of representation) terhadap komunitas penafsir tertentu. Dengan melakukan pengklasifikasian dan pemilihan komunitas penafsir makna mana yang paling tepat merepresentasikan Islam – misalnya, Muh}ammad ‘Abduh termasuk komunitas “y”, sedang Bin Laden “X” – mereka pada dasarnya lebih asyik dengan “pembuatan pemilihan” (choice making) dari pada memperhatikan secara empiris dinamika masyarakat Islam sendiri. Empat hal di atas menurut Abou El Fadl menegaskan kelemahan tesis benturan peradaban. Ide tentang benturan peradaban telah menyederhanakan kompleksitas dinamika sosial-kesejarahan pada kategori yang bersifat artifisial. Dan karenanya ia merosot menjadi alat untuk mengekspresikan prejudis 149
Jihad dan Benturan Peradaban
dan mempromosikan kesalahpahaman dan konflik.106 Paparan-paparan di atas adalah bentuk dan model the clash of fundamentalism, dalam bahasa Abou El Fadl, yang tidak produktif bagi tumbuh suburnya dialog antar peradaban. Walaupun dalam tulisan-tulisan Abou El Fadl hal tersebut lebih banyak diarahkan pada kebijakan pemerintahan Bush dan Clinton serta puritanisme Bin Laden, kedua ideologi akan selalu bermetamorfosis dalam setiap zamannya. Menjadi moderat dalam konteks ini bermakna melakukan multiple critique terhadap segala bentuk hegemoni dan arogansi baik yang datang dari dalam maupun dari luar (insider dan outsider) untuk peradaban dunia yang humanis.
Abou El Fadl, “The Orphans of Modernity and the Clash of Civilizations”. 106
150
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
BAB IV
IDENTITAS POSKOLONIAL ABOU EL FADL
B
ab sebelumnya telah diulas “jihad dan benturan peradaban” dalam perspektif Abou El Fadl. Pada intinya Abou El Fadl berusaha menjernihkan konsep jihad dan menyatakan bahwa jihad lebih merupakan prinsip moral-spiritual dibanding makna jihad sebagai perang. Selanjutnya Abou El Fadl menolak secara tegas jihad sebagai bentuk simtom dari benturan peradaban. Pada bab ini gagasan Abou El Fadl tersebut akan dilihat secara lebih kritis dengan melihat konteks sosial pemikiran Abou El Fadl sebagai diaspora Muslim. Dengan begitu, segenap kepentingan 151
Jihad dan Benturan Peradaban
dan ideologi di balik gagasan tersebut bisa dibaca dalam bentuk identitas poskolonial sebagaimana perspektif yang dipakai dalam buku ini. Alur bahasan dalam bab ini meliputi: biografi dan konteks sosial pemikiran Abou El Fadl, ulasan secara general tentang diaspora Muslim dan problem identitas mereka, serta bagian inti adalah identitas poskolonial Abou El Fadl. A. Konteks Sosial Pemikiran: Menelusuri Komunitas Epistemik Abou El Fadl Sub bab ini pada dasarnya ingin melihat dan menelusuri komunitas epistemik (epistemic communities) Abou El Fadl melalui setting sosial pemikirannya. Dengan menelusuri komunitas epistemik Abou El Fadl ini diharapkan bisa menangkap secara lebih baik segenap kepentingan dan gagasannya tentang relasi jihad dan benturan peradaban. Lebih jauh, kepentingan dan gagasan tersebut akan dibaca dalam konteks identitas poskolonial Abou El Fadl. Komunitas epistemik menurut Holzner1 adalah komunitas yang memiliki kesamaan-kesamaan orientasi misi, tujuan, perspektif, dan cara pandang, walaupun tidak harus setuju secara literal dan bahasa apa yang diungkapkan oleh sesama anggota komunitas. Komunitas epistemik seperti ini mewujud dalam jaringan intelektual (scholar atau scientific community), Sebagaimana dikutip oleh Zuly Qodir, Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002 (Yogyakarta: LkiS, 2010), 258-259. 1
152
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
komunitas religius, jaringan kerja, gerakan ideologis dan yang semisal. Jaringan ini mempunyai kesamaan persepsi dalam mengkontruksi realitas. Dalam upaya mengkontruksi realitas, komunitas epistemik tidak hanya terpaku pada satu model gerakan dan satu rumusan tema, akan tetapi melakukan ekspansi jalur gerakan dan rumusan tema untuk dilempar ke ranah publik sehingga bisa dibaca secara baik dan meluas oleh masyarakat. Komunitas seperti ini semakin lama semakin establish, segala situasi dan kondisi bisa direspon secara bersamaan dengan sudut pandang dan konsen yang sama.2 Khaled Medhat Abou El Fadl atau lebih sering disebut dengan Abou El Fadl lahir di Kuwait pada tahun 1963 dari kedua orang tua dari Mesir. Sebelumnya ia mengenyam pendidikan di kampung halamannya, kemudian ke Mesir dan pada akhirnya ia berkesempatan menimba ilmu di Amerika hingga dinaturalisasikan menjadi warga negara ini. Sebelum menetap di Barat, Abou El Fadl sempat menimba ilmu di Mesir. Tidak sebagaimana di Kuwait, di Mesir Abou El Fadl mulai merasakan adanya iklim akademis yang kondusif dan keterbukaan intelektual. Menurutnya, sistem kekuasaan yang represif dan otoriter, tidak akan pernah melahirkan kemajuan berpikir dan pencerahan intelektual terhadap masyarakatnya. Kebebasaan intelektual sebagaimana ia peroleh di Mesir, semakin dirasakan ketika ia hijrah 2
Ibid. 153
Jihad dan Benturan Peradaban
ke Amerika. Di Amerika ia diperkenalkan dengan metode pembelajaran yang berbeda yang didasarkan pada pemikiran kritis daripada sekedar “menghafal” sebagaimana pengalaman sebelumnya. Di Negara inilah Abou El Fadl banyak menimba ilmu dan beraktivitas sekaligus menerapkan keahliannya. Riwayat akademis Abou El Fadl di Amerika dimulai dari Yale University pada tahun 1982 dalam bidang ilmu politik, dengan kemampuan bahasa Inggris yang masih sangat lemah kala itu. Akan tetapi, empat tahun kemudian ia bisa meraih magna cum laude (lulus dengan pringkat sangat memuaskan pada level Universitas dan diploma). Karenanya ia memperoleh penghargaan sebagai mahasiswa berbakat. Pada tahun 1986, kemudian ia melanjutkan studi hukum ke University of Pennsylvania Law School untuk memperoleh gelar Jurist Doctor (J.D.)3 hingga tahun 1989. Setelah itu, Abou El Fadl melanjutkan studi ke Princeton University, dan pada tahun 1998 ia bisa menyelesaikan program doktornya dalam bidang pemikiran hukum Islam dengan gelar Doctor of Philosophy. Di Princeton ini Abou El Fadl mendapatkan nilai kumulatif yang cukup memuaskan dan memenangkan disertasi terbaik dengan karya akhirnya“Rebellion and Violence in Islamic Law”. Pada saat yang bersamaan Abou El Gelar doktor profesional di Amerika Serikat diberikan dalam kaitan dengan profesi tertentu di Amerika, misalnya ilmu hukum (Jurist Doctor, J.D.) atau kedokteran (Medical Doctor). Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Doktor#Amerika_Serikat (Akses, 6 Agustus 2010). 3
154
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
Fadl menempuh studi hukum di UCLA (University of California Los Angeles).4 Pada tahun 1989, setelah menyelesaikan studinya di University of Pennsylvania, ia bekerja pada Pengadilan Tinggi Arizona (Arizona Supreme Court) menangani persoalan hukum keimigrasian dan komersial (Commercial and Immigration Law). Sejak saat itu ia dinaturalisasikan menjadi warga negara Amerika. Abou El Fadl juga pernah mengajar hukum Islam di University of Texas. Pada saat itulah, Irene Bierman, Kepala Pusat Kajian Wilayah Timur Tengah UCLA (UCLA’s Center for Near Eastern Studies), melihat kemampuannya, dan pada tahun 1998 mengusulkannya menjadi pengurus baru dalam bidang hukum Islam. Aktivitasnya di UCLA mengantarkannya pada puncak karir, menjadi profesor hukum Islam di UCLA (University of California Los Angeles) School of Law. Selain itu ia adalah American lawyer, Dewan Pengurus Human Right Watch, dan ditunjuk Presiden Bush sebagai anggota komisi International Religious Freedom (US Commission on International Relegious freedom).5 Di http://www.law.ucla.edu/faculty/all-faculty-profiles/ professors/Pages/khaled-abou-el-fadl.aspx (Akses, 14 Desember 2011). 5 Abou El Fadl adalah satu-satunya muslim yang terpilih menjadi anggota komisi International Religious Freedom. Selama 2 tahun (2003 – 2005) Abou El Fadl menjadi anggota komisi tersebut, akan tetapi sebagaimana penuturannya, ia merasa “tersisih”, karena mayoritas anggota komisi adalah penganut agama Kristen dan Yahudi yang fanatik. Lihat Noha El-Hennawy, “Khaled Abou El Fadl El Fadl”. 4
155
Jihad dan Benturan Peradaban
sela-sela kesibukannya, Abou El Fadl menyempatkan dirinya memberikan fatwa-fatwa terkait isu-isu hukum Islam dan HAM.6 Penguasaan Abou El Fadl terhadap tradisi keilmuan klasik sebagaimana ia peroleh di Kuwait dan Mesir, dan perjumpaannya pada tradisi intelektual Amerika, menghantarkannya menjadi penulis, pemikir, dan praktisi hukum yang prolific (produktif). Bierman menyatakan, misalnya, bahwa kemampuan Abou El Fadl masih terhitung jarang, yakni kemampuannya mengkombinasikan antara tradisi intelektual Barat dan tradisi intelektual Islam, serta pengalaman sebagai praktisi hukum dan pengetahuan kesarjanaan dalam bidang hukum. Tradisi Amerika dalam hal ini – terlepas dari pasang surut hubungan Islam dan Kristen Amerika – memberikan ruang berekspresi secara longgar bagi sarjana yang menekuni keilmuan Islam, sebagaimana Abou El Fadl. Hal ini tidak terlepas dari budaya Amerika dalam mempersepsi agama. Berbeda dengan umumnya penilaian terhadap Amerika yang sekuler-materialistik, bangsa Amerika sendiri menganggap dirinya sebagai bangsa yang paling religius dengan multi agama di dalamnya. Prinsipprinsip “in God we trust” dan “one nation under God” begitu populer di Amerika. Agama merupakan faktor penting dalam masyarakat Amerika, dan untuk Fatwa-fatwa Abou El Fadl secara on line bisa dilihat di http://www.scholarofthehouse.org/oninma.html, (Akses, 31 Desember 2007). 6
156
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
memahami Amerika diperlukan pemahaman tentang nuansa keagamaan di sana.7 Pemisahan agama dan negara menurut mereka justru menunjukkan besarnya peranan agama dalam perkembangan budaya bangsa.8 Pemisahan secara metaphoris antara agama (gereja) dengan negara berakar pada usaha untuk memproteksi agama dari negara, dan bukan sebaliknya.9 Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Hillel Fradkin, bahwa Amerika tidak pernah melihat demokrasi dan agama sebagai mutually exclusive sebagaimana dalam sejarah Menurut Riset yang dilakukan Tahun 2004 oleh The national Opinion Research Center, University of Chicago, komposisi masyarakat Amerika terdiri dari: 52% protestan turun dari 63% pada tahun 1993, 25% Katholik Roma, kurang dari 2% Yahudi dan sisanya 21% beragama Islam, Budha, Hindu dan lainnya. Lihat Jacob Neusner (ed.), World Religions in America (Louisville: Westminster John Knox Press, 2009), 1. Jumlah populasi umat Islam di Amerika tersebut terus mengalami peningkatan yang signifikan sesuai dengan tren kenaikan yang bersifat global. Ini sebagaimana dinyatakan bahwa pada Tahun 2011, penduduk dunia tumbuh sebanyak 137% dalam satu dekade terakhir. Kristen dalam hal ini tumbuh hanya 46%, sementara Islam tumbuh sebanyak lima kali lipat, yakni 235%. Jumlah populasi umat Islam sudah melampaui jumlah populasi umat Kristen. Tahun 2013, populasi umat Islam secara global adalah 22,43%, sementara Kristen Katolik 16,83%, dan Kristen Protestan 6,08%. Lihat “hari ini, Islam jadi Agama Terbesar di Dunia”, dalam www. republika.co.id (Akses, 10 Desember 2015). 8 Alwi Shihab, Membedah Islam di Barat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 21. 9 Miriam Theresa Winter, “Witnessing to the Spirit: Reflections on an Emerging American Spirituality”, dalam Ian Markham dan Ibrahim M. Abu> Rabi’, 11 September: Religious Perspectives on the Causes and Consequences (Oxford: Oneworld, 2002), 116. 7
157
Jihad dan Benturan Peradaban
Eropa.10 Dalam konteks “tujuan nasional”, relasi agama dan negara diungkapkan oleh Paul G. Kauper dengan “cooperative separation” (kerja sama dalam keterpisahan).11 Kebebasan beragama (freedom for religion) yang dijamin secara konstitusional, menjadikan Amerika sebagai tempat tumbuh suburnya kelompok-kelompok keagamaan. Aneka ragam agama ada di Amerika. Tahun 1994, J. Gordon Melton, editor Encyclopedia of American Religion mencatat lebih 1000 kelompok keagamaan ada di Amerika dan ini menjadikan Amerika menjadi satu-satunya mikrokosmos agama-agama dunia.12Konsekuensi tak diinginkan dari freedom for religion adalah freedom from religion berikut ekspresinya di wilayah publik. Akan tetapi konsekuensi ini tidak begitu dikhawatirkan oleh masyarakat Amerika, mengingat akar tradisi dan kesejarahan Amerika yang begitu lekat dengan agama.13Yang berkembang di Amerika adalah apa yang disebut dengan civil religion (agama sipil). Civil religion adalah keyakinan, simbol, ritual dan institusi yang memberikan legitimasi terhadap sistem sosial, meneguhkan solidaritas sosial dan memobilisasi komunitas untuk merengkuh tujuan politis bersama. Sikap patriotik kebangsaan yang bersenyawa dengan Lihat, Hillel Fradkin, “America in Islam”, Public Interest, (Spring, 2004), 52. 11 Allwi Shihab, Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan, Meluruskan Kesalahpahaman (Jakarta: Gramedia, 2004), 21, 23. 12 Ibid. 13 Miriam Theresa Winter, “Witnessing …”, 116. 10
158
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
spirit keagamaan mewujud dalam budaya bersama. Ini ditunjukkan oleh prinsip dan semboyan-semboyan sebagaimana ditunjukkan di atas, dan juga budaya thanksgiving. Setelah peristiwa 11 September, menurut penuturan Miriam, bendera Amerika berkibar di manamana disertai dengan frase “God bless America”.14 Iklim demokrasi dengan kebebasan politik dan agama sebagaimana digambarkan di atas, memungkinkan Abou El Fadl mengekspresikan intelektualitasnya secara bebas. Dukungan perguruanperguruan tinggi ternama, masyarakat yang terbuka, dan kebebasan dalam mengkomunikasikan gagasan dalam berbagai forum dan media semuanya bisa dinikmati oleh Abou El Fadl. Menurut Abou El Fadl, kebanyakan muslim telah familiar dengan praktek demokrasi, akan tetapi mereka masih kurang dalam hal pengalaman etos demokrasi, the habit of mind and heart yang memungkinkan suksesnya demokrasi. Pemeliharaan terhadap etos tersebut, menurut Abou El Fadl, tiada tempat yang lebih baik selain Amerika.15 Karena iklim intelektual yang demikian, Amerika telah banyak membesarkan pemikir-pemikir muslim, di antaranya; Sayyid Hossein Nasr, Fazlurrahman, Ismail Faruqi, Taha al-Alwani, Abdullah al-Naim, Sherman Jackson, Amina Wadud, Louay Safi, Akber Ahmad dan yang lainnya, termasuk Abou El Fadl sendiri. Terlepas dari kebijakan luar negeri Amerika 14 15
Ibid. Ibid., 53. 159
Jihad dan Benturan Peradaban
yang sering kali mengundang perdebatan, kontribusi Amerika bagi perkembangan pemikiran keislaman pantas mendapatkan apresiasi.16 Pemikir-pemikir progresif di atas, disebut oleh Saeed sebagai ‘participant muslims’ di Barat yang berada di garda depan munculnya ‘tradisi Barat Islam’.Tradisi ini secara potensial merupakan perkembangan terpenting dalam pemikiran Islam modern. Kerja-kerja intelektual dan energi kreatif dicurahkan untuk merumuskan visi Islam yang kompetibel dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam semua bidang di Barat; politik, sosial, ekonomi, tekhnologi dan filsafat. Saeed dalam hal ini membahasakannya dengan “adjusting traditional Islamic norms to Western contexts’ (menyesuaikan norma Islam tradisional dengan konteks Barat).17 Isu intelektual yang berkembang di kalangan komunitas muslim di Barat kemudian adalah demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, hukum sekuler, kebebasan berekspresi dan beragama serta persamaan di muka hukum. Tidak adanya preseden sejarah dan metodologi yang bersifat clear cut, kelompok intelektual Islam di Barat mengembangkan perangkat metodologis dan prinsip-prinsip yang bisa memberikan fondasi intelektual bagi segenap isu Ibid. Sebagaimana dikutip oleh Imam Mawardi dalam “Fiqh al-Aqalliyyat: Rekonsiderasi Maqa>s}id al-Syari>’ah tentang pemberlakuan Hukum Islam Bagi Masyarakat Minoritas Muslim” Ringkasan Disertasi (Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2009), 1. 16 17
160
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
yang berkembang. Karenanya, epistemologi yang dikembangkan oleh kelompok progresif Muslim di Barat pada dasarnya adalah fusi Islam dengan lingkungan sosial budaya Barat dan nilai-nilai demokrasi Baratsekuler-liberal. Hal ini paling tidak mulai terlihat sejak tahun 1990 yang dilakukan oleh Sarjana-Sarjana Islam Barat semisal Tariq Ramadan (Switzerland), Bassam Tibi (Jerman) dan Muqtadir Khan (United State). Dalam perkembangannya muncul kemudian apa yang disebut dengan fiqh al-aqalliyya>t, yakni fikih yang lebih disesuaikan dengan kebutuhan minoritas muslim dengan menyandarkan diri pada kemaslahatan dan nilai-nilai yang bersifat universal. Gambaran di atas, ternyata tidak munutup kemungkinan adanya sebagian muslim Amerika yang bersifat puritan dalam mempersepsi agama. Komposisi besar muslim Amerika yang secara ekonomi sejahtera dengan pekerjaan serta profesi insinyur, kesehatan, pendidikan dan management bisnis dengan basis kesarjanaan umum18 – para imigran kebanyakan bermotifkan ekonomi – secara potensial mudah dimasuki doktrin keagamaan yang puritan.19 Ini Lihat, Hillel Fradkin, “America in Islam”, 47. Survey Pew research Center yang sampai saat ini dianggap valid menyatakan bahwa 92% muslim Amerika mempercayai bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan dan 50% dari mereka berkeyakinan bahwa ayat-ayat al-Qur’an harus dimaknai secara literal/harfiyah. Walaupun kesimpulan lain secara kontradiktif menyatakan bahwa 33% dari mereka berpendapat bahwa hanya ada satu jalan dalam menafsirkan ajaran Islam, sementara 60% lainnya berpendapat ada banyak cara untuk menafsirkan ajaran 18 19
161
Jihad dan Benturan Peradaban
dikuatkan dengan pernyataan Ibrahim M. Abu Rabi’ bahwa studi Muslim Amerika, khususnya diaspora yang datang dari Timur Tengah, lebih banyak lebih banyak mengambil hard sciences dan administrasi bisnis. Hard sciences bersifat value free (bebas nilai) atau criticism-free subject (bebas dari perspektif yang bersifat kritis). Ini berbeda dengan bidang-bidang studi sosiologi, politik, sejarah dan filsafat yang menawarkan perspektif yang bersifat kritis terhadap studi agama. Sayangnya, ilmuilmu ini sebagai sebuah pendekatan terhadap kajian keislaman dinilai sebagai bid’ah. Karenanya relasi yang bersifat mutual antara agama/Islam dan masyarakat absen dari kesadaran intelektual mereka.20 Ini semua memudahkan bersemainya ideologi puritanisme. Selain itu, tidak adanya institusi pendidikan tinggi muslim yang dinilai bagus dan bidang studi keislaman tidak banyak diminati – bahkan dianggap sebagai bagian dari model pendidikan sekuler – ikut memberikan kontribusi munculnya puritanisme keagamaan. Selain itu, di tengah dunia yang berbeda, puritanisme menawarkan kemudahan dan kesederhanaan dalam beragama serta identitas keislaman. Hal ini paling tidak dibuktikan oleh pengalaman Abou El Fadl sendiri Islam. Lihat, Imam Mawardi dalam “Fiqh al-Aqalliyya>t …”, 8. Riset tersebut paling tidak memberikan gambaran bahwa mayoritas muslim Amerika mempunyai wawasan keagamaan tradisional selaras dengan background pendidikan yang berada pada wilayah hard sciences. 20 Lihat Ibrahim M. Abu> Rabi’, “ A Post September 11: Critical Assesment of Modern Islamic History”, dalam Ian markham dan Ibrahim M. Abu> Rabi’, 11 September, 36. 162
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
tentang seorang pemain bola basket muslim Amerika yang menolak untuk berdiri di saat lagu kebangsaan Amerika dinyanyikan. Sikap tersebut kemudian dikuatkan oleh fatwa organisasi muslim Amerika (SAS) yang berhaluan puritan.21 Termasuk juga standar ganda dan moralitas yang terbelah dari sebagian muslim Amerika dalam aktivitas mereka. Dalam aktivitas kerja atau perkuliahan, misalnya, seorang muslim dapat berbicara dan berinteraksi dengan wanita nonmuslim, akan tetapi dalam aktivitas peribadatan, wanita disudutkan di balik tirai. Itu semua menurut Abou El Fadl merupakan sebagian dari contoh persepsi puritanisme keagamaan sebagian muslim Amerika. Pada dekade 1990-an, puritanisme telah menguasai berbagai kawasan dunia muslim, termasuk di antaranya merebak di kalangan muslim Amerika.22 Menurut Abou El Fadl dan yang lainnya, Puritanisme mempunyai ikatan yang kuat dengan Saudi Arabi dan paham ini disebarkan ke seluruh penjuru dunia, termasuk Amerika. Paham ini hendak menghapuskan madhab fikih klasik, khususnya di Amerika yang minus sarjana fikih/yuris dan penjaga tradisi. Dalam kondisi demikian, para juru bicara Islam baru – kelompok puritan – dengan memanfaatkan beberapa media (internet, radio, tv, tekhnologi recording, media-media tulis) dalam satu Fatwa SAS, lihat Abou El Fadl, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Sewenang-wenang dalam Islam, terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi, 2003), 167. 22 Ibid., 27. 21
163
Jihad dan Benturan Peradaban
sisi seakan tampil memperkuat diskursus keislaman dan mengembangkan peran dan mainstream audien untuk Islam. akan tetapi di sisi yang lain, apa yang mereka lakukan merupakan upaya standardisasi dan penyederhanan diskursus keislaman dan memperlemah pluralisme. Ini sebagaimana dinyatakan oleh Muh}am mad Khalid Mas‘ud bahwa kelompok puritan Amerika, pada dasarnya mengetahui kompleksitas pemikiran fikih, mereka mempunyai kebebasan untuk memilih tradisi secara eklektik dan menjustifikasinya dengan al-Qur’an dan Hadis. Karena justifikasinya ini, mereka memperoleh popularitas.Akan tetapi menurut Mas‘ud, karena interpretasi mereka tercerabut dari akar tradisi, pengaruh mereka hanya bersifat parsial dan permukaan. Oleh karena itu, kelompok intelektual baru ini menurut Mas‘ud, memaksa dan menuntut untuk mencari penyelesaian persoalan secara dramatik dan ekstrim.23 Teknologi modern telah memunculkan otoritas juru bicara keislaman baru, yang sayangnya tidak banyak menguasai tradisi keislaman klasik, dan cenderung mempergunakan metode pengambilan keputusan yang keras. Mereka lebih merasa puas dengan menyandarkan diri pada pembacaan yang bersifat literal terhadap teks-teks keagamaan, dan memusuhi ijtihad sebagai sarana untuk melakukan Sebagaimana dinyatakan Karen Isaksen Leonard dalam, Muslim in the United States: the States of Research (New York: Russel Sage Foundation, 2003), 91. 23
164
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
adaptasi secara fleksibel dengan konteks Amerika, dan revitalisasi fikih dan kebudayaan Islam. Perlu dicatat, menurut Leonard, mistisisme/tasawuf di Amerika telah dipojokkan perannya oleh para imigran puritan sejak tahun 1965. Para professional telah sangat dipengaruhi oleh model-model keberagamaan kelompok puritan, yakni Kelompok Wahabi yang datang dari Timur Tengah dan Deobandis (aliran teologi di India Utara) Asia Selatan.24 Dari paparan di atas bisa dipahami bahwa komunitas epistemik Abou El Fadl adalah jaringan intelektual kampus di Amerika (scholar/scientific community) yang konsen pada kebebasan akademik. Abou El Fadl lewat penuturannya sendiri terbukti sangat menikmati dengan iklim akademik yang bebas dan keterbukaan dalam berfikir. Persetujuan Abou El Fadl terhadap orientasi nilai komunitas epistemik ini membuatnya bisa beradaptasi secara baik dengan masyarakat dan lingkungannya sehingga ia dipercaya dan bisa masuk pada komisi pemerintah dan lembaga resmi negara di sana. Komunitas epistemik di di negara asalnya yang ia nilai puritan dan komunitas epistemik di Mesir yang ia nilai sebagai tradisonal dirasakan tidak cocok sehingga ia pindah ke Amerika. Di Amerika ini lah Abou El Fadl mengalami titik balik dari kesadaran tradisional, bahkan puritan, kepada kesadaran baru moderat-progresif, atau dari komunitas epistemik tradisonal ke komunitas 24
Ibid., 21. 165
Jihad dan Benturan Peradaban
epistemik moderat. Sebagaimana diketahu bahwa Abou El Fadl ketika di Kuwait pernah mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang bersifat konservatif dan mendakwahkannya pada keluarga dan orang-orang terdekatnya. Dakwah ini mempolarisasi “we” (kita) dan “the other” (mereka), imitasi terhadap the other dinilai telah keluar dari identitas Islam yang otentik. Komunitas epistemik Abou El Fadl yang bersifat moderat-progresif harus berhadapan dengan komunitas epistemik yang bersifat konservatif dan puritan dari sebagian diaspora Muslim di Amerika. Selain itu, bergemanya gaung puritanisme Muslim yang bersifat global menuntut Abou El Fadl untuk menghadapi kelompok puritan dengan cara non-violence, yakni dengan mengusung tema-tema tentang jihad, pluralisme dan demokrasi, HAM, gender, yang autoritatif dan autoritarian dalam hukum Islam dan yang semisal dengan memanfaatkan berbagai media yang berkembang. Tematema ini diusung satu sisi sebagai counter wacana terhadap kelompok Muslim puritan dan di sisi yang lain, sebagai diaspora Muslim, Abou El Fadl mempunyai kepentingan untuk melakukan apa yang disebut dengan adjusting traditional Islamic norms to Western contexts. B. Identitas Poskolonial Abou El Fadl Dalam sub bab ini akan dipaparkan identitas poskolonial Abou El Fadl, tetapi sebelumnya akan dibahas tentang konsep diaspora muslim. Ini penting karena Abou El 166
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
Fadl adalah bagian dari diaspora Muslim Amerika yang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan tentunya dengan Muslim yang nondiaspora. Pemahaman terhadap hal ini diharapkan bisa memahami identitas poskolonial Abou El Fadl secara lebih baik. 1. Diaspora Muslim Konsep diaspora (bahasa Yunani kuno διασπορα, “penyebaran atau penaburan benih” digunakan (tanpa huruf besar) untuk merujuk kepada bangsa atau penduduk etnis manapun yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air etnis tradisional mereka; penyebaran mereka di berbagai bagian lain dunia, dan perkembangan yang dihasilkan karena penyebaran dan budaya mereka. Mulanya, istilah Diaspora (dengan huruf besar) digunakan oleh orang-orang Yunani untuk merujuk kepada warga suatu kota kerajaan yang bermigrasi ke wilayah jajahan dengan maksud kolonisasi untuk mengasimilasikan wilayah itu ke dalam kerajaan.25 Diaspora dalam sejarahnya juga untuk menunjuk pada mereka yang terusir secara paksa dari tanah airnya. Kasus-kasus klasik masyarakat diaspora adalah minoritas etnis atau agama seperti Armenia, orang Yunani dari Asia Kecil dan, terutama, orang-orang Yahudi yang telah diusir secara paksa dari tanah Imelda Bachtiar, Diaspora Indonesia: Bakti Untuk Negeriku (Jakarta: Gramedia, 2015), 3. Lihat juga http://id.wikipedia.org/ wiki/Diaspora, (Akses 27 Nopember 2015). 25
167
Jihad dan Benturan Peradaban
air mereka dan tersebar di seluruh dunia sambil mempertahankan visi nostalgia dari negara asal mereka (budak-budak dideportasi dari Afrika ke Amerika juga termasuk dalam kategori ini). Dalam perkembangannya, konsep diaspora mengalami perkembangan makna, yakni tidak tidak saja berkaitan dengan pengusiran dan maksud kolonisasi, akan tetapi meng-cover semua gerakan migrasi yang bersifat transnasional yang umumnya bersifat sukarela. Sejak Tahun 1950-an ketika komunitas dunia semakin terbuka dan lebih mudah diakses, mulai terjadi migrasi internasional yang luar biasa. Statistik menunjukkan bahwa pada Tahun 2005, sekitar 191 juta orang atau 3% dari seluruh populasi penduduk dunia tinggal di luar negara dan tanah air mereka.26 Makna yang diperluas dari konsep “diaspora” dan realitas migrasi transnasional yang marak, pada akhir abad ke20 diaspora menjadi studi dan bidang akademik di berbagai belahan negara.27 Diaspora dikaji dengan berbagai sudut pandang, dalam konteks Islam misalnya, diaspora ditilik dari perspektif hukum normatif yang menghasilkan kajian fiqh al-aqalliyat (fikih minoritas). Menurut Akbar S. Ahmed, umumnya minoritas muslim menghadapi problematika-problematika serius, ketika Shaheen Sardar Ali et al., “Islamic Law and the Muslim Diaspora: A Teaching Manual”, dalam www.heacademy.ac.uk/ sites/files (Akses, 1 Desember 2015). 27 http://id.wikipedia.org/wiki/Diaspora, (Akses 27 Nopember 2015). 26
168
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
mereka harus hidup di negara nonmuslim.28 Mereka juga disebut dengan diaspora muslim, yakni muslim yang menyebar ke negara-negara Barat yang nonmuslim yang umumnya mengalami kondisi kehidupan sulit secara sosial, budaya, keagamaan dan politik. Dengan maraknya aksi terorisme, utamanya yang berasal dari muslim puritan, diaspora sebagai sebuah topik kajian semakian hangat didialogkan. Berdasar kajian Barat, keterlibatan diaspora dalam aktivitas terorisme dinilai bukan hal yang baru, meskipun ada tren baru modus operandi gerakan jihadis global. Komunitas diaspora sekarang menurut mereka turut berpartisipasi dalam berbagai aktivitas terorisme yang menyerang negara dan pemerintahan baru mereka. Pada awalnya, keterlibatan diaspora terbatas pada sokongan dan bantuan terhadap organisasi teroris yang terlibat konflik di negara asal mereka.29 Fenomena puritanisme muslim tentu sangat meresahkan bagi Barat, karena mereka akan selalu terancam bahkan di negaranya sendiri. Kecurigaan dan standar ganda sering dialamatkan pada diaspora Muslim. Pertanyaan besar yang sering dilontarkan masyarakat Barat adalah apakah diaspora Muslim bisa menerima bahwa Barat mayoritas masyarakatnya adalah Kristen dengan sistem pemerintahan yang sekuler, atau diaspora bermaksud menjadikan Barat Akbar S. Ahmed, “Muslim as Minorities” dalam http:// muslim-canada.org/livingislam4.html, (Akses, 8 Agustus 2009). 29 www.rand.org/pubs/conf_proceedings (Akses, 27 Nopember 2015). 28
169
Jihad dan Benturan Peradaban
mayoritas muslim dengan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku.30 Kekhawatiran ini diperparah dengan perkembangan kuantitas muslim di Barat.31 Dari hal tersebut bisa dipahami jika Barat mempunyai kepentingan besar dalam mendukung dan merubah orientasi ideologis umat Islam dari puritan ke moderat. Muslim dengan haluan moderat dinilai bisa melakukan integrasi dengan masyarakat sekuler Barat yakni dengan menerima dan respek terhadap sistem nilai Barat. Hal ini dinilai tidak mudah karena masyarakat Barat cendering melihat secara negatif terhadap Muslim dan Islam. Persepsi Barat lebih melihat Islam sebagai sebuah ancaman. Ini diperparah dengan sejarah panjang konflik berdarah Islam dan Barat. Terorisme yang dilakukan muslim ini pada akhirnya menimbulkan xenophoby dan islamophoby di Barat. Islamophoby di Barat kemudian dilegitimasi dengan teori Huntington tengan benturan peradaban (the clash of civilization).32 Daniel Pipes, “Mengidentifikasi Muslim Moderat”, dalam Suaidi Asyari, Siapakah Muslim Moderat (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), 5. 31 Komunitas muslim terbesar bisa ditemukan di Perancis, German, dan Inggris. Jumlah komunitas muslim ini terus mengalami peningkatan secara cepat. Komunitas muslim yang tinggal di Barat adalah berasal dari kelompok imigran karena faktor ekonomi. Lihat Katrine Anspaha, The Integration of Islam in Europe: Preventing the Radicalization of Muslim Diaspora and Counter Terrorism Policy (Paper Prepared for the ECPR Fourth Pan-European Conference on EU Politics University of Latvia, 2008), 2. 32 Ibid., 4 – 5. 30
170
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
Persepsi tentang Islam di Barat paling tidak terpilah menjadi dua bagian. Pertama, mereka yang mendukung imigrasi dan eksistensi diaspora sebagai perwujudan nyata Barat sebagai masyarakat yang toleran dan multikultur, dan kedua mereka yang menentang imigrasi dan meragukan integrasi muslim pada masyarakat Barat. Mainstream politik menyatakan bahwa Islam tidak kompetibel dengan liberalisme dan demokrasi dan tidak bisa direkonsiliasikan. Bahkan dalam konteks ini sebagian mengabsahkan penyerangan terhadap Islam.33 Dua alur ideologis, yakni puritan muslim dan kelompok fundamental Barat, sulit untuk dipertemukan dan mengancam tata kelola kehidupan global yang harmonis. The clash of fundamentalism, istilah yang diakai oleh Abou El Fadl, akan mengancam budaya dan peradaban dunia. Dalam konteks ini, peran agama dalam membentuk budaya dan peradaban dunia serta peran budaya dalam membangun proses integrasi banyak didiskusikan secara hangat. Ini bisa dipahami karena agama merupakan unsur penting dari kebudayaan dan agama menjadi dasar bagi identitas individu dan kelompok. Diaspora Muslim yang berideologi puritan dengan identitas Islam transnasional memisahkan antara agama dan etnisitas. Islam, dan bukan etnik, menjadi kekuatan pemersatu dan mobilisasi politik. “Muslim” sebagai sebuah kategori politik, menjadi simbol 33
Ibid. 171
Jihad dan Benturan Peradaban
penghubung yang kuat dengan muslim seluruh dunia. Situasi muslim di Barat, Palestina, Irak, Afghanistan, Kashmir dan yang lainnya dihubungkan secara langsung dengan simbol dan identitas keislaman ini.34 Carut marut politik yang terjadi di negara-negara ini yang sering kali dinilai merupakan “intervensi” Barat mengundang keprihatinan dan solidaritas muslim dari berbagai belahan dunia. Solidaritas ini menjadi bagian dari identitas Islam transnasional mereka. Barat dalam hal ini dinilai sebagai teritori/wilayah benturan peradaban antara Islam dan Barat atau da>r al-h}arbi dalam bahasa mereka. Dengan legitimasi Barat sebagai da>r al-h}arbi ini mereka menilai absah untuk melakukan aksi teror sebagai bentuk perlawanan terhadap Barat dan dukungan bagi para muslim tertindas di belahan dunia lain. Selain identitas yang bersifat transnasional dalam bentuk solidaritas terhadap muslim di belahan negara yang lain, afirmasi identitas diaspora Muslim juga merupakan bentuk reaksi terhadap eksklusi sosial, marginalisasi, dan diskriminasi baik secara budaya atau ekonomi.35 Dalam kondisi demikian, diaspora Muslim yang bersifat minoritas ini mencoba untuk membangun solidaritas kelompok dan menampilkan identitas sebagai bentuk perlawanan. Bagi diaspora Muslim yang berhaluan puritan, ekspresi perlawanan tersebut disalurkan lewat aksi terorisme sembari mengacuhkan 34 35
Ibid., 6. Ibid. 172
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
saluran-saluran yang bersifat konvensional dalam partisipasi politik dan mobilisasi massa. 2. Identitas Poskolonial Abou El Fadl Dalam wacana poskolonialisme, identitas terkait dengan persoalan representasi Timur oleh Barat. Representasi Timur oleh Barat sering kali tidak “sebagaimana adanya” (obyektif), melainkan “bagaimana seharusnya” (subjektif). Identitas poskolonial Abou El Fadl dalam hal ini dinilai sebagai gugatan terhadap representasi konsep jihad oleh Barat. Representasi tidak saja bermakna formasi akan tetapi juga deformasi. Karenanya, gugatan Abou El Fadl terhadap perelasian jihad dan benturan peradaban adalah bentuk deformasi terhadap hegemoni wacana yang dikembangkan oleh Barat.36 Identitas dalam hal ini adalah representasi diri dalam berhadapan dengan dan dalam perlawanannya terhadap hegemoni wacana jihad yang dikembangkan oleh Barat dan kelompok Muslim puritan. Karena itu dalam identitas poskolonial Abou El Fadl ini terkandung perjumpaan dan negosiasi dengan wacana yang berkembang di Barat tentang Islam dan Jihad, Jihad dan benturan Peradaban. Relasi Islam dan Barat lebih diletakkan pada tataran dominasi dan subordinasi. Ini tentu tidak Achmad Fawaid, “Dari Seorang Diaspora tentang Politik Pasca-Identitas: Pengantar dari Penerjemah”, dalam Edward W. Said, Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek, terj. Achmad Fawaid (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), xi. 36
173
Jihad dan Benturan Peradaban
terlepas dari efek kolonialisme Barat terhadap Islam ditambah dengan posisi minoritas umat Islam di Barat. Sumber dari faktor sejarah dan politik, serta pencitraan oleh media terhadap muslim sebagai kelompok yang menghalalkan kekerasan, anarki dan intoleran. Sebagai akibatnya, minoritas muslim menghadapi perlakuanperlakuan yang diskriminatif dari mayoritas. Selain itu mereka harus menghadapi problem kultural, tatkala harus bergumul dengan mayoritas dalam menjalani kehidupan sosial. Problem ini semakin akut tatkala sebagian muslim begitu mempertahankan identitasidentitas kemusliman yang bersifat simbolik. Perasaan muslim sebagai “ummah” terkadang juga memancing muslim di negara lain untuk ikut bersimpati dan berkonfrontasi yang memicu pada situasi geo-politik yang panas. Respon terhadap persoalan tersebut bagi kelompok puritan, hanya berkisar pada opsi hijrah atau jihad. Sementara bagi kelompok moderat – dalam batas yang bisa ditoleransi – perjuangan lebih banyak diarahkan pada ijtihad, yakni bagaimana mendamaikan Islam dengan konteks sosial-budaya setempat. Selain itu perjuangan secara diplomatis dalam rangka memperkenalkan Islam yang sebenarnya, merupakan usaha lain dalam rangka meluruskan pencitraan yang merugikan umat Islam. Abou El Fadl yang mensosialisasikan moderasi Islam, adalah representasi dari semua ini. Ijtihad, dan bukan jihad, itulah identitas intelektual poskolonialis Abou El Fadl. Sebagaimana 174
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
Edward W. Said, ia tidak memakai pedang atau bom dalam memberangus ketidakadilan, akan tetapi dengan “ketajaman pena”. Yang mampu membebaskan dari cengkeraman penjajahan yang terjadi dalam sejarah adalah gagasan-gagasan semata-mata. Karena Jalaluddin Rakhmat menyatakan bahwa bagi kaum poskolonial, revolusi mestinya dimulai dari gagasan, dan bukan dari perjuangan fisik sebagaimana dilakukan oleh muslim puritan. Revolusi yang bersifat fisik, tambah Rakhmat, hanya akan menimbulkan kediktatorankediktatoran baru,37 atau akan menambah frustasi dan menelan ongkos kemanusiaan yang tidak murah. Perjuangan pada tingkat gagasan (jihad intelektual) ini dibuktikan oleh Abou El Fadl dengan produktivitas karya dan tulisannya38 yang sebagian besar berbicara tentang hukum Islam dan relasinya dengan problem otoritarianisme yang sering berujung pada perjuangan fisik (jihad) dalam meneyelesaikan persoalan. Selain itu ia juga banyak berbicara tentang persoalan yang sering disalahpahami oleh Barat tentang Islam dan hak Sebagaimana dikutip oleh Yani Kusmarni, “Teori Poskolonial: Suatu kajian tentang Teori Poskolonial Edward W. Said”, Makalah, dapat diunduh di www.scribd.com/doc/50756525/ TEORI-POSKOLONIAL 38 Sejauh penelusuran penulis adalah delapan buku karya Abou El Fadl dan lima puluhan artikel yang tersebar dalam jurnal-jurnal ilmiah internasional. Sebagian karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Perancis, Jepang dan Arab. Lihat Bibliography Abou El Fadl dalam http://www. scholarofthehouse.org. Situs ini didedikasikan untuk Abou El Fadl oleh para Mahasiswa dan simpatisannya. Dari situs ini beberapa artikel Abou El Fadl secara free juga bisa download. 37
175
Jihad dan Benturan Peradaban
asasi manusia, demokrasi dan lainnya. Pemikiran-pemikiran Abou El Fadl tentang jihad sebagaimana terurai dalam bab sebelumnya bisa dibaca juga dalam konteks “membersihkan” makna jihad dari makna-makna asing yang sebenarnya jauh dari spirit Islam, baik yang datang dari para pengamat Barat atau dari muslim puritan. Jihad baginya tidak identik dengan kekerasan, karena kekerasan dalam Islam terwadahi dalam konsep qita>l, dan bukan jihad. Jihad menurut Abou El Fadl mempunyai spektrum yang sangat luas, yang pada intinya bersifat damai dan berorientasi pada pengembangan muslim, baik pada level individual, komunal dan global yang rah}mah li al-‘alami>n. Beradasarkan identifikasi penulis, Abou El Fadl bahkan mampu merelevansikan kajiannya tentang jihad dengan wacana-wacana yang lain, yang menurut penulis menjadi wacana hangat dalam tataran global. Ini sebagaimana kajiannya tentang jihad yang dikaitkan dengan isu yang juga sering disalahpahami, yakni terorisme, perang suci, hegemoni Barat, benturan peradaban dan lainnya. Selain itu, Abou El Fadl juga mampu mengaitkan isu jihad dengan kajiankajian lain dalam konteks dan tradisi keislaman. Menurutnya bahwa jihad mempunyai kaitan dengan persepsi masyarakat muslim terhadap warisan tradisi fiqhiyah, semisal aturan fikih tentang relasi muslim dan nonmuslim, konsep jizyah, pemilahan da>r al-Isla>m dan da>r al-h}arb, dan yang lainnya. Menurut Abou El Fadl persepsi yang keliru dan tanpa interpretasi yang 176
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
kontekstual terhadap wacana fikih sebagaimana disebut sebagaimana dilakukan oleh muslim puritan akan membawa pada posisi yang sama dengan para penganut fanatik ide benturan peradaban dari kalangan Barat. Ini dikuatkan dengan pendapat Tariq Ali bahwa yang terjadi sekarang ini pada dasarnya adalah the clash of fundamentalism.39 Karena itu bisa dinyatakan bahwa identitas poskolonial Abou El Fadl dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk resistensi terhadap kungkungan pemaknaan klasik terhadap konsep jihad dan konsepkonsep fiqhiyah lain yang berkaitan, dan pencitraanpencitraan yang keliru terhadap konsep-konsep sebagaimana disebut yang datang dari pengamat Barat. Dalam hal ini resistensi diarahkan pada dua pihak sekaligus, muslim puritan dan fundamentalisme Barat. Tegasnya, bagi Abou El Fadl, tidak ada benturan peradaban sebagaimana dinyatakan dua pihak di atas, dan jihad bukan bagian dari simton benturan peradaban. Karena pada dasarnya peradaban adalah warisan bersama, yang ditekankan adalah persamaan, dan bukan perbedaan. Dalam konteks internal umat Islam, apa yang dilakukan Abou El Fadl dengan ketajaman penanya pada dasarnya adalah upaya membangun kesadaran umat Islam bagaimana merespon praktek-praktek dan Ini sebagaimana terbaca dalam karya Tariq Ali, The Clash of Fundamentalism: Crusades, Jihads and Modernity (London: Verso, 2002). 39
177
Jihad dan Benturan Peradaban
agenda kolonialisme Barat yang melahirkan hubungan yang timpang, ketidakadilan, rasisme, budaya subaltern dan lainnya. Kajian sebagian pengamat Barat terhadap Islam dan jihad dengan pencitraan yang negatif (semisal Islam agama pedang, teror dan lainnya) pada dasarnya menyimpan agenda kolonialisme daripada kajian yang murni obyektif. Atau dalam bahasa poskolonial, sebenarnya tidak ada pengetahuan yang tidak menyimpan kepentingan dan ideologi. Wacana tentang Timur, menurut Said, pada dasarnya merupakan produksi ilmu pengetahuan yang mempunyai landasan ideologis dan kepentingan-kepentingan kolonial.40 Karena itu apa yang dinyatakan oleh Barat tentang Timur seharusnya ditolak, dan tidak justru dibenarkan oleh umat Islam. Jihad yang dilakukan oleh muslim puritan akan menjadi pembenar dan legitimasi bagi produksi wacana Barat dan desain mereka terhadap pola budaya dan peradaban Timur. Kritisisme Abou El Fadl terhadap warisan tradisi Islam, konsep dan aplikasi jihad, bukanlah wujud keberpihakannya kepada Barat, atau tidak berarti pemikirannya dijual secara politis ke Barat sebagaimana penilaian beberapa pihak. Yang dilakukan adalah membongkar wacana, narasi besar, dan budaya kolonial yang menindas. Apa yang dilakukan justru merupakan respon dan resistensi terhadap hegemoni Barat terhadap Timur. Jihad-jihad yang bersifat nonfisik Dapat dilihat dalam A. Budi Susanto (ed.), Politik dan Postkolonialitas di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 269. 40
178
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
sebagai respon terhadap hegemoni Barat sebagaimana dilakukan oleh Cina dan jepang, menurutnya lebih elegan dan beradab. Jihad yang diwujudkan dalam bentuk perang dan terorisme dinilai hanya akan menghancurkan peradaban itu sendiri. Dalam konteks kajian poskolonial, perubahan lingkungan sosial budaya dan pemahaman keagamaan diharapkan berjalan lebih manusiawi41 dan humanis sebagaimana Abou El Fadl sangat menekankan arti penting humanisme pemahaman keislaman. Apa yang dilakukan Abou El Fadl adalah ‘multiple critique’: kritik terhadap model pemahaman keagamaan umat Islam, kritik terhadap tradisi dan sumber hukum yang terikat dengan dimensi kesejarahan dan kritik terhadap arogansi Barat.42 Akan tetapi juga harus disadari bahwa bagaimanapun ada sebentuk identitas hibrida (hybrid identity) dalam pemikiran Abou El Fadl. Akan tetapi hibriditas pemikiran Abou El Fadl tidak selalu bermakna peleburan atau menjual identitas kepada pihak lain. Akan tetapi hibriditas pemikiran ini justru menunjuk pada kreativitas dalam memahami dan mengambil segala warisan budaya dan peradaban yang adiluhung dan mencampakkan yang sebaliknya. Hikmah dan kebijaksanaan adalah hikmah umat Islam yang seringkali hilang dan justru ditemukan di komunitas budaya dan peradaban lain. Selain Yani Kusmarni, “Teori Poskolonial …”. Omid Safi (ed.), Progressive Muslims: on Justice, Gender, and Pluralism (Oxford” Oneworld, 2003), 4. 41 42
179
Jihad dan Benturan Peradaban
itu, hibriditas pemikiran Abou El Fadl merupakan konsekuensi logis dari perjumpaannya dengan tradisi intelektual Barat. Kemampuan Abou El Fadl dalam hal ini adalah menyilangkan tradisi intelektual Islam dan Barat untuk merespon problem kemanusiaan kontemporer. Selain itu, hal lain yang mempengaruhi corak pemikiran jihad Abou El Fadl adalah tidak terlepas posisinya sebagai “muslim minoritas”, “diaspora Muslim” yang menemukan banyak problem adaptasi dengan kehidupan di Amerika.43 Bukankah pemikiran seseorang tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan budaya yang mengitarinya? Justru karena itulah ia, sebagai intelektual kemudian ia banyak melakukan kritik wacana yang sangat dekat dengan kehidupannya. Ia adalah participant muslim di Barat yang berada di garda depan munculnya “tradisi Barat-Islam”. Berdasar ciri di atas, Saeed mengkategorisasikan pemikiran Abou El Fadl sebagai pemikiran progresif-ijtihadis 44 Dalam konteks wacana poskolonial, sebagai implikasi hibriditas pemikiran adalah munculnya Identitas hibrida Abou El Fadl dapat dilihat sebagai jenis multikulturalisme model kosmopolitan yang menghendaki “peleburan” dan afiliasi ganda. Dengan model ini diyakini oleh Abou El Fadl umat Islam bisa berinteraksi secara baik dengan kehidupan dan budaya Amerika hingga akhirnya terjadi silang budaya yang bisa mencairkan hambatan-hambatan prasangka antara Islam dan Barat. 44 Sebagaimana dikutip oleh Imam Mawardi dalam “Fiqh al-Aqalliyyat: Rekonsiderasi Maqa>s}id al-Syari>’ah tentang pemberlakuan Hukum Islam Bagi Masyarakat Minoritas Muslim” Ringkasan Disertasi (Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2009), 1 43
180
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
kreolisasi. Kreolisasi menurut Tomlinson adalah penyerapan elemen-elemen kebudayaan asing dengan tidak mempertimbangkan makna aslinya. Konsep kreolisasi memberikan cara berfikir alternatif yang berbeda dari konsep imperialisme kultural.45 Abou El Fadl dalam hal secara kreatif memberikan maknamakna baru dari apa yang diserap dari Barat. Tradisi dan metodologi kajian di Barat yang pada awalnya dirumuskan untuk kepentingan kolonialisasi (dalam maknanya yang luas) dipilah dan diserap untuk melakukan kritik diri secara konstruktif, dan dibalikarahkan untuk melakukan kritik terhadap ketidakadilan wacana yang berkembang di Barat. Homi K. Bhabha, berkaitan dengan poskolonialisme, menyumbangkan konsep mimikri. Mimikri terjadi ketika pihak yang disubordinasi mengadopsi dan mengadaptasi elemen-elemen budaya dan peradaban pihak yang dominan. Mimikri juga dilakukan secara kreatif, dan bukan bagian dari ketundukan buta terhadap pihak dominan tersebut. Jadi mimikri tidak dalam pengertian ketergantungan Timur kepada Barat. Menurut Bhabha mimicry is repetition with difference. Karena itulah mimikri selalu bersifat ambivalen (tak menentu) karena ia merupakan blurred copy (tiruan yang buram).46 Proses mimikri inilah yang membuat Abou El Fadl diterima Sebagaimana dikuti dalam Hamengku Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 53. 46 David Huddart, Homi K. Bhabha (Canada: Routledge, 2006), 57-58. 45
181
Jihad dan Benturan Peradaban
di Barat (baca: Amerika). Ini sebagaimana Abou El Fadl terlibat secara intens dalam kegiatan-kegiatan intelektual di Barat, dan bahkan pernah terlibat dalam komisi pemerintah yang membidangi tentang HAM. Akan tetapi, sekali lagi bahwa mimikri bukanlah imitasi yang bersifat identik. Ini sebagaimana wacana kolonial juga sangat menginginkan pihak yang dikolonisasi sama dengan pihak kolonial, tapi tidak identik dan sama persis, karena bila ini terjadi justifikasi ideologis kolonialisme tidak bisa berjalan.47 Dari paparan di atas bisa dipahami tesis Abou El Fadl tentang jihad dan benturan peradaban. Tesis tersebut tidak terlepas posisi Abou El Fadl sebagai diaspora Muslim di Amerika serikat yang bermaksud melakukan integrasi dengan budaya dan peradaban Barat di satu sisi, dan di sisi yang lain tidak tercerabut dari agama yang diyakininya. Hal tersebut dilakukan Abou El Fadl dengan secara aktif melakukan penafsiran-penafsiran kembali doktrin agamanya dengan pendekatan nondoktriner, yakni pendekatan keilmuan dan tradisi akademik yang digelutinya serta lebih banyak menampilkan nilai-nilai Islam yang universal. Karena itu Abou El Fadl menunjukkan sebagai “yang lain” (otherness) dari umumnya diaspora Muslim yang bersifat reaktif terhadap budaya dan nilai yang berkembang di Barat. Walaupun diaspora Muslim di Amerika dinilai oleh sebagian pengamat relatif tidak mudah disusupi 47
Ibid., 59. 182
Identitas Poskolonial Abou El Fadl
gerakan-gerakan radikal karena umumnya mereka terdidik dan sukses secara ekonomi serta isu sara sendiri tidak begitu mengemuka, potensi radikalisme dan terorisme tetap dinilai sebagai sebuah ancaman yang serius. Terorisme adalah isu global, karenanya dibutuhkan kewaspadaan terhadap ancaman dari dalam, akan tetapi juga ancaman dari luar dalam bentuk “sleeper cells” dan “hit squads”, yakni kelompok luar yang masuk ke Amerika untuk misi penyerangan. Abou El Fadl dalam hal ini adalah bagian dari diaspora Muslim yang melawan aksi-aksi terorisme dalam berbagai bentuknya, sebagaimana Abou El Fadl yang aktif melakukan deradikalisasi wacana, melakukan counter knowledge terhadap pemaknaan jihad yang dinilai tidak tepat dan mengarah pada legitimasi benturan peradaban, tesis yang dinilainya penuh dengan kelemahan. Walla>h A’lam.
183
Jihad dan Benturan Peradaban
184
Simpulan: Jihad, Benturan Peradaban dan Identitas Poskolonial Abou El Fadl
BAB V
SIMPULAN: JIHAD, BENTURAN PERADABAN DAN IDENTITAS POSKOLONIAL ABOU EL FADL
A. Simpulan
B
ab ini akan melihat benang merah dari seluruh pembahasan dengan tetap mempertimbangkan fokus pembahasan buku yang telah dipancangkan sebelumnya. Berdasar hal di atas, buku ini menghasilkan simpulan sebagaimana dipaparkan di bawah ini. Jihad tidak mempunyai keterkaitan dengan tesis benturan peradaban sebagaimana diungkap oleh Huntington, atau jihad bukan bagian dari simtom atau isyarat benturan peradaban. Pendapat yang mengaitkan jihad dengan benturan 185
Jihad dan Benturan Peradaban
peradaban pada dasarnya dilandasi oleh pemaknaan yang keliru terhadap jihad dan ketidakkritisan dalam menilai tesis benturan peradaban. Jihad bagi Abou El Fadl dalam konteks kontemporer merupakan sebuah prinsip yang bersifat damai, nonfisik yang seharusnya menyemangati setiap aktivitas muslim. Jihad dalam pengertian ini lebih bersifat batini dan merupakan kemampuan muslim dalam melawan segala tendensi destruktif dalam diri manusia untuk diorientasikan pada perkembangan masyarakat muslim. Sementara itu jihad tidak boleh diperlakukan sebagai institusi yang mengarah pada penggunaan fisik dan kekerasan untuk mencapai maksud tertentu. Selain bahwa hal ini tidak sesuai dengan peradaban kontemporer, perang dalam artian fisik menurutnya telah terwadahi dalam konsep qita>l. Untuk membersihkan makna jihad dari nuansa perang, Abou El Fadl juga mencoba melakukan pelurusan terhadap pengidentifikasian jihad sebagai perang suci (holy war), dan pengidentifikasian jihad dengan terorisme sebagaimana yang berkembang dalam wacana dan media Barat. Jihad tidak identik dengan perang salib, dalam konteks Islam tidak ada institusi yang bisa menjamin kesucian sebuah perang. Kosa kata “perang suci”, selain asing dalam konteks tradisi bahasa Arab klasik, juga tidak logis dari sisi teologis. Jikalau sebuah perang dinilai suci, maka pembunuhan bisa dinilai sebagai bagian dari pendekatan diri kepada Tuhan, dan bisa saja barbarisme dalam sebuah peperangan dinilai absah. Jihad bagi Abou El Fadl juga 186
Simpulan: Jihad, Benturan Peradaban dan Identitas Poskolonial Abou El Fadl
tidak sama dengan terorisme. Terorisme merupakan deviasi dari akhlak dan moralitas Islam. Perang dalam Islam tatkala terpaksa dilakukan harus mengindahkan tata aturan yang semuanya merupakan refleksi dari komitmen moralitas dalam Islam. Terorisme baginya identik dengan h}ira>bah dan bukan jihad. Sementara itu Abou El Fadl dengan tegas menolak tesis tentang benturan peradaban. Menurutnya tesis ini mempunyai banyak kelemahan. Yang terjadi selama ini dengan puncaknya peristiwa 11 September pada dasarnya bukan merupakan simtom benturan peradaban, akan tetapi benturan antara arogansi Barat dan intoleransi muslim puritan. Muslim puritan dalam hal ini dinilai mempunyai mentalitas yang sama dengan kelompok fundamentalisme Barat yang menyokong ide benturan peradaban. Ini dibuktikan oleh Abou El Fadl antara lain dengan pemahaman literal dan dikotomi biner mereka tentang da>r al-Isla>m dan da>r al-h}arb. Secara detail kelemahan tesis benturan peradaban meliputi: pertama, claim of lineage, yakni klaim Barat terhadap nilai dan peradaban tertentu pada dasarnya menyalahi realitas kesejarahan yang menunjuk adanya interaksi budaya dan peradaban serta adanya lintas transmisi intelektual. Kedua, klaim dan penggambaran the other yang berbeda dengan the self merupakan merupakan sebuah konstruk yang didesain untuk kepentingan Barat. Ketiga, the enterprise of meaning, yakni bahwa makna sebenarnya bersifat plural, dan tidak bisa didefinisikan secara terbatas. Ini sebagaimana Islam 187
Jihad dan Benturan Peradaban
tidak bisa didefinisikan secara monolitik, termasuk konsep jihadnya. Keempat, competence, yakni bahwa tidak ada jaminan kelompok penafsir tertentu lebih kredibel dibandingkan yang lain. Yang terjadi adalah pengambaran dan kontruksi terhadap yang lain yang seringkali mengabaikan dimensi sosiologis dan empiris. Penolakan Abou El Fadl terhadap pemaknaan jihad dalam nuansa kekerasan, penolakannya terhadap tesis benturan peradaban, dan penolakannya terhadap pengaitan isu jihad dengan tesis benturan peradaban pada hakikatnya merupakan identitas intelektual poskolonial Abou El Fadl. Sebagai bagian dari masyarakat muslim Abou El Fadl menunjukkan resistensinya terhadap hegemoni Barat. Hanya saja resistensi Abou El Fadl dikemas secara moderat dan ini berbeda secara diametral dengan resistensi muslim puritan yang bersifat radikal. Resistensi poskolonial Abou El Fadl ini terlihat dari ketidaksetujuannya terhadap oposisi-oposisi biner yang diciptakan oleh Barat, maupun oleh muslim puritan. Dalam konteks yang terakhir ini misalnya, Abou El Fadl menolak pemahaman tradisional tentang pemilahan da>r al-Isla>m dan da>r al-h}arb, kecuali pemilahan yang didasarkan pada standar moralitas. Ia lebih tertarik untuk memakai istilah da>r al-‘adl yang menurutnya adalah setiap negara yang memberikan kebebasan kepada masyarakatnya untuk menjalankan agamanya walaupun negara tersebut diperintah oleh nonmuslim. Abou El Fadl juga menolak pemilahan dikotomis muslim-kafir 188
Simpulan: Jihad, Benturan Peradaban dan Identitas Poskolonial Abou El Fadl
(nonmuslim) jika pemilahan ini hanya berakibat pada humiliasi muslim terhadap yang lain. Penolakannya terhadap aplikasi jizyah menunjukkan hal ini. Identitas poskolonial Abou El Fadl kemudian mewujud dalam bentuk hibriditas, kreolisasi dan mimikri pemikiran yang khas Abou El Fadl sesuai dengan konteks, situasi historis dan tentu statusnya sebagai muslim diaspora. Walla>h a’lam B. Rekomendasi Seiring dengan selesainya penelitian ini ada beberapa saran dan rekomendasi yang perlu dilontarkan: pertama, dengan semakin merebaknya paham puritan yang berimbas pada praktek-praktek jihad yang bersifat fisik, maka upaya-upaya de-radikalisasi dalam bentuk wacana sudah seharusnya dilakukan secara berkesinambungan, karena bagaimanapun perubahan selalu berawal dari gagasan. Penelitian-penelitian baik yang bersifat pustaka, lapangan dan yang lainnya dalam konteks tema agama dan kekekerasan akan merupakan sumbangsih bagi wacana de-radikalisasi keagamaan ini. Kedua, teori dan wacana poskolonial sebagai pendekatan dalam penelitian keagamaan, sejauh penelusuran penulis, masih merupakan lahan subur yang menanti uluran tangan para peneliti. Wacana diskursif poskolonial lebih merupakan alat dan cara baca yang bersifat kritis untuk membongkar segenap kuasa dan hegemoni di balik pengetahuan. 189
Jihad dan Benturan Peradaban
Cara baca seperti ini diharapkan bisa menghasilkan pengetahuan – sebagaimana dinyatakan Edward W. Said – yang bersifat murni, dibanding pengetahuan politis yang bermaksud mensubordinasi “yang lain”. pengetahuan murni dan berimbang pada gilirannya dapat menjadi rujukan dalam tata kelola interaksi global yang berkeadilan untuk membangun peradaban bersama. Ketiga, penelitian ini tentu masih banyak menyisakan kekurangan, karenanya kritik-kritik yang bersifat konstruktif sangat dinantikan oleh penulis.
190
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA A. Sumber Buku dan Jurnal ‘Abd al-Mun‘im, Mah}mu>d ‘Abd al-Rah}ma>n. Mu’jam al-Mus}t}alah}a>t wa al-Fa>z} al-Fiqhiyah. Kairo: Da>r alFad}i>lah, t.t.. A’la, Abd. Melampaui Dialog Agama. Jakarta: Kompas, 2002. Aaron, David. In Their Own Word: Voices of jihad: Compilation and Commentary. Pittbugs: Rand Corporations, 2008. Abdurrahman, Moeslim. Islam Yogyakarta: LKiS, 2005.
yang
Memihak.
Abu> Rabi’, Ibrahim M. “ A Post September 11: Critical Assesment of Modern Islamic History”, dalam Ian markham dan Ibrahim M. Abu> Rabi’, 11 September: Religious Perspectives on the Causes and Consequences. Oxford: Oneworld, 2002. Afsaruddin, Asma. “Views of Jihad Throughout History”. Religion Compass. 1/1 (2007). Ali, Tariq. The Clash of Fundamentalism: Crusades, Jihads and Modernity. London: Verso, 2002. 191
Jihad dan Benturan Peradaban
Armstrong, Karen. Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi, terj. Satrio Wahono, et al. Jakarta: Serambi, 2002. Armstrong, Karen. Islam: A Short History. New York: The Modern Library, 2002. Armstrong, Karen. Perang Suci: Dari Perang salib Hingga Perang Teluk, terj. Hikmat Darmawan. Jakarta: Serambi, 2003. Asfar, Muhammad. (ed.), Islam Lunak Islam Radikal; Pesantren, Terorisme dan Bom Bali. Surabaya: PuSDeHAM dan JP Press, 2003. Auda, Jasser. Maqasid al-Shari’ah as Philosophy: A Sysitem Aprouach. Herndon: The Institut of Islamic Thought, 2008. Aziz, Abdul. Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011. Azra, Azyumardi. Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslimin: Dari Australia Hingga Timur Tengah. Jakarta: Hikmah, 200757. Bachtiar, Imelda. Diaspora Indonesia: Bakti Untuk Negeriku. Jakarta: Gramedia, 2015. Bagir, Zainal Abidin. et al.. Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Jakarta: Mizan, 2005. Baidhowi, Antropologi al-Qur’an. Yogyakarta: LKiS, 2009. Baso, Ahmad. NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme NeoLiberal. Surabaya: Erlangga, 2006. 192
Daftar Pustaka
Bassiouni, M. Cherif. “Evolving Apprauches to Jihad: From Self-Defence to Revolutionary and Regim – Change Political Violence”. Chicago Journal of International Law (Summer, 2007). Black, Antony. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, terj. Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati. Jakarta: Serambi, 2006. Bubalo, Anthoni. Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, terj. Akh Muzakki. Jakarta: Mizan, 2007. Buwono X, Hamengku, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Centre of Excellence Defence Against Terrorism, Ankara, Turkey (ed.), Legal Aspect of Combating Terrorism. Sarajevo: IOS Press, 2008. Chirzin, Muhammad. Kontroversi Jihad di Indonesia: Modernis VS Fundamentalis. Yogyakarta: Pilar Media, 2006. Choir, Thalhatul dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Choueri, Youssef M. Islamic Fundamentalism (Boston: Twayne Publisher, 1990), 11. Dudziak, Mary L. (ed.), September 11 in History. Duke: Duke University Press, 2003. El Fadl, Abou. “Between Functionalism and Morality: The Juristic Debates on the Conduct of War”, dalam Jonathan E. Brockopp, Islamic Ethics of 193
Jihad dan Benturan Peradaban
Life: Abortion, War and Euthanasia. Carolina: The University of South Carolina Press, 2003. __________. “Islamic Law and Muslim Minorities: The Juristic Discourse on Muslim Minorities from the Second/Eight to the Eleventh/Seventeenth Centuries”, Islamic Law and Society, Vol. 1, No. 2 (1994), 142. __________. Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Sewenang-wenang dalam Islam, terj. Kurniawan Abdullah. Jakarta: Serambi, 2003. __________. The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. New York: Harpercollins Publisher, 2005. __________. The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. New York: Harpercollins Publisher, 2005. __________. The Islamic Law of Rebellion: The Rise and Development of the Juristic Discourse on Insurrection, Insurgency and Brigandage. Disertasi: Princeton University, 1999. __________. The Place of Tolerance in Islam. diedit oleh Joshua Cohen dan Ian Lague Boston: Beacon Press, 2002. __________. The Search for Beuty in Islam: A Conference of the Books. Lanham: Rowman & Littlefield Publisher, 2006. Esposito, John L. The Islamic Threat: Myth or Reality? Oxford: Oxford University Press, 1992.
194
Daftar Pustaka
Firestone, Reuven. Jihad: The Origin of Holy War in Islam. Oxford: Oxford University Press, 1999. Gergez, Fawaz A. Amerika dan Politik Islam: Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan, terj. Kili Pringgodigdo dan Hamid Basyaib. Jakarta: Alvabet, 2002. Gould, Mark. “Understanding Jihad”, Policy Review. (February and March 2005). Hamidi, Jazim. Hermenutika Hukum; Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks. Yogyakarta: UII Press, 2005. Hasan, Noorhaidi. Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia. New York: Cornell Southeast Asia Program Publication, 2006. Herzog, Roman. et al., Preventing the Clash of Civilizations: A Peace Strategy for the Twenty-First Century. New York: St. Martin’s Press, 1999. Hillel Fradkin, “America in Islam”, Public Interest. (Spring, 2004). Hillenbrand, Carole. Perang Salib: Sudut Pandang Islam, terj. Heryadi. Jakarta: Serambi, 2005. Huddart, David. Homi K. Bhabha. Canada: Routledge, 2006. Huntington, Samuel P. “The Clash of Civilization?”, dalam Joanne Meyerowitz (ed.), History and September 11 Th. Philadelpia: Temple University Press, 2003. 195
Jihad dan Benturan Peradaban
Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Touchstone Books, 1998. Imarah, Muhammad. Fundamentalisme dalam Pemikiran Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Al-Kabi>, Zahi>r Syafi>q. (ed.), Fiqh al-Jiha>d li Syaykh alIsla>m al-Ima>m Ibn Taymiyah. Beirut: Da>r al-Fikr, 1992. Kaldor, Mary. Global Civil Society: An Answer to War. Malden: Polity Press, 2003. Kamali, Mohammad Hashim. Shari’ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld, 2008. Khadar, Lathifah Ibrahim. Ketika Barat Memfitnah Islam, terj. Abdul Hayyi al-Kattani. Jakarta: Gema Insani, 2005. Leonard, Karen Isaksen. Muslim in the United States: the States of Research. New York: Russel Sage Foundation, 2003. Lewis, Bernard. The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror. New York: The Modern Library, 2003. __________. The Political Language of Islam. Chicago: The University of Chicago Press, 1988. Lockman, Zachari. Contending Visions of the Middle East. Cambridge: Cambridge University Press, 2004. Magnis-Suseno, Franz. “Islam dan Munculnya Kelompok Teroris”, dalam Z.A. Maulani et al., Islam dan Terorisme: Dari Minyak Hingga Hegemoni Barat. Yogyakarta: UCY Press, 2005. 196
Daftar Pustaka
Manz}u>r, Ibn. Lisa>n al-‘Arab. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, t.t.. Mawardi, Imam. “Fiqh al-Aqalliyyat: Rekonsiderasi Maqa>s}id al-Syari>’ah tentang pemberlakuan Hukum Islam Bagi Masyarakat Minoritas Muslim”. Ringkasan Disertasi. Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2009. Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman, Qualitative Data analysis. California: Sage Publications, 1994. Muller, Johannes. Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006. Muslikhati, Siti. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2004. Muthohar, Ahmad. Islam Dayak: Dialektika Identitas Dayak Tidung dalam relasi Sosial-agama di Kalimantan Timur. Laporan Penelitian, STAIN Samarinda, 2011. McLeod, John. Beginning Postcolonialism. Menchester: Menchester University Press, 2000. Nakhleh, Emile. A Necessary Engagement: Re-inventing America’s Relations with the Muslim World. Princeton: Princeton University Press, 2009. Nasr, Seyyed Hossein. The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. Toronto: HarperCollins, 2004. __________. Traditional Islam in the Modern World. New York: Columbia University Press, 1987.
197
Jihad dan Benturan Peradaban
Al-Nawa>wi, Rawd}ah al-T}a>libi>n wa ‘Umdah al-Mufti>n. al-Maktabah al-Sya>milah. Neusner, Jacob. (ed.), World Religions in America. Louisville: Westminster John Knox Press, 2009. Noorani, Abdul Gafoor Abdul Majeed. Islam and Jihad: Prejudice versus Reality. New York: Palgrave Macmillan, 2002. Noorhaidi, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde baru, terj. Hairus salim. Jakarta: LP3ES, 2008. Nurdi, Herry. Lobi Zionis dan Rezim Bush: Teroris Teriak Teroris. Jakarta: Hikmah, 2006). Omar, A. Rashied. “Islam and Violence”, The Ecumenical Review (April 2003). Palmer-Fernandez, Gabriel. (ed.), “Jihad”, dalam Encyclopedia of Religion and War. New York: Routledge, 2004. Pearlstein, Richard M. Fatal Future: Transnational Terrorism and the New Global Disorder. Texas: The University of Texas Press, 2004. Peters, Rudolf. Jihad in Classical and Modern Islam. Princeton: Markus Wiener Publisher, 2008. Qut}b, Sayyed. Islam and Universal Peace. New York: American Trust Publications, 1983 Rahardjo, Dawam. Ensiklopedi al-Qur’a>n; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.
198
Daftar Pustaka
Rehman, Javaed. Islamic States Practices, International Law and The Threat From terrorism: A Critique of the Clash of Civilizations in the New World Order. Oxford: Hart Publishing, 2005. Ridwan, Nur Kholik. NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad. Yogyakarta: LKiS, 2008. Saeed, Abdullah. Islamic Thought: An Introduction. New York: Routledge, 2006. Safi, Omid. (ed.), Progressive Muslims: on Justice, Gender, and Pluralism. Oxford: Oneworld, 2003. Said, Edward W. Orientalism. New York: Vintage Book, 1979. Al-Sya>fi’i, al-Ima>m Taqi al-Di>n Abi> Bakr b. Muh}ammad al-H}usayni al-H}isni al-Dimsyaqi. Kifa>yah al-Akhya>r fi H}ill Gha}yah al-Ikhtis}a>r. Surabaya: al-Hidayah, t.t.. Sherman, Steven. “ A Multicultural Future”, dalam Martin schoenhals dan Josep E. Behar, Vision of the twenty first century: Social Research for the Millennium. New York: Global Publications, 2000. Shihab, Alwi. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam beragama. Jakarta: Mizan, 1998. __________. Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan, Meluruskan Kesalahpahaman. Jakarta: Gramedia, 2004. Sinaga, Martin Lukito. Identitas Poskolonial “Gereja Suku dalam Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LKiS, 2004.
199
Jihad dan Benturan Peradaban
Sluglett, Peter. “What Went Wrong? The Clash Between Islam and Modernity in the Middle East”, Muslim Minority Affairs. Vol. 23, No. 2 (Oktober 2003). Spivak, Gayatri. Can the Subaltern Speak. New York: Columbia University, 2010. __________. Chakravorty. “Can the Subaltern Speak?”, Williams, et al. (ed.), Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader. Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf, 1994. Said, Edward W. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek. terj. Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 Sularto, St., Haji Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad dan Pluralisme. Jakarta: Gramedia, 2004. Susanto, A. Budi. (ed.). Politik dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2003. Sutrisno, Mudji dan hendar Putranto (ed.), Hermenutika Pascakolonial: Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius, 2004. Tibi, Bassam. Political Islam, World Politic and Europe. Canada: Routledge, 2008. Warbke, Gergia. Gadamer: Hermeneutic, Tradition and Reason. Cambridge: Polity Press, 1987. Wijaya, Aksin. Nalar Kritis Epistemologi Islam. Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012.
200
Daftar Pustaka
Wijanarko, Robertus. “Poskolonialisme dan Studi Teologi: Sebuah Pengantar”, Studia Philosophica et Theologica (Vol. 8, No. 2, Oktober 2008). Winter, Miriam Theresa. “Witnessing to the Spirit: Reflections on an Emerging American Spirituality”, dalam Ian Markham dan Ibrahim M. Abu> Rabi’, 11 September: Religious Perspectives on the Causes and Consequences. Oxford: Oneworld, 2002. Yahnasi>, Ah}mad Fath}i. Madkhal al-Fiqh al-Jina>’i alIsla>mi. Beirut: Da>r al-Syuru>q, 1989. Zaqzuq, Mahmud Hadi. Reposisi Islam di Era Global, Terj. Abdullah Hakam Syah. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004. Zeidan, David. “The Islamist View of Life as a Parennial Battle” dalam Barry Rubin dan Judith Colp Rupin, Anti-America Terrorism and the Midle East: A Documentary Reader Understanding the Violence. Oxford: Oxford University Press, 2002. Al-Zubaydi, Muh}ammad Murtad}a> al-H}usayni. “Bab al-Da>l, Jahada”, Ta>j al-‘Aru>s fi Jawa>hir al-Qamu>s. Kuwait: al-Tura>th al-‘Arabi, 1994), VII: 537. Lihat juga M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an. Jakarta: Mizan, 1998.
201
Jihad dan Benturan Peradaban
B. Sumber Internet Ahmed, Akbar S. “Muslim as Minorities” dalam http:// muslim-canada.org/livingislam4.html, (Akses, 8 Agustus 2009). Cahyono, Imam. “Benturan yang Tak Terelakkan”, dalam Tempo Online, http://majalah.tempointeraktif. com/id/arsip/2004/07/19/BK/mbm.20040719. BK93791.id.html (Akses, 11 Desember 2011). Diaspora Yahudi, dalam http://id.wikipedia.org/ wiki/Diaspora_Yahudi (Akses, 14 Desember 2011). El Fadl, Abou El Fadl. “Commentary: Terororism is at Odds with Islamic Tradition”, dalam http://www.muslim-lawyers.net/news/index. php3?aktion=show&number=78 (Akses, 19 Desember 2011). __________. “Moderate Muslim under Siege”, dalam http://www. scholarofthehouse.org/modnewyortim. html, (Akses, 31 Desember 2007). __________. “Moderate Muslim under Siege”, dalam http://www.scholarofthehouse.org/modnewyortim. html, (Akses, 31 Desember 2007). __________. “The Orphans of Modernity and the Clash of Civilizations” dalam http://www. scholarofthehouse.org/orofmodandcl.html (Akses, 31 Desember 2007). __________. “The Orphans of Modernity and the Clash of Civilizations” dalam http://www. scholarofthehouse.org/orofmodandcl.html (Akses, 31 desember 2007). 202
Daftar Pustaka
__________. “The Orphans of Modernity and the Clash of Civilizations” dalam http://www. scholarofthehouse.org/orofmodandcl.html (Akses, 31 desember 2007). __________. “The Use and Abuse of Holy War: Review of ‘The Holy War Idea in Wastern and Islamic Traditions’”, dalam http://www.cceia.org/resources/ journal/14/review_essays/216.html (Akses, 28 Juni 2010). __________. “What Became of Tolerance in Islam”, dalam http://www.scholarofthehouse.org/ whatlosantim.html, (Akses, 31 Desember 2007) __________. The Place of Tolerance in Islam: on Reading the Qur’an and – Misreading it. dalam http:// bostonreview.mit.edu/BR26.6/elfadl.html __________. The Place Of Tolerance In Islam; on Reading the Qur’an and – Misreading it, dalam http:// bostonreview.mit.edu/BR26.6/elfadl.html __________. The Place of Tolerance in Islam; on Reading the Qur’an and – Misreading it., dalam http:// bostonreview.mit.edu/BR26.6/elfadl.html (Akses, 3 Juni 2008). __________. “Jihad Gone Wrong” dalam dalam http:// www.scholarofthehouse.org/ jgowrinwikha.html, (Akses, 1 Maret 2010). Hendrajit, “Membaca Ulang Samuel P. Huntington dan Memahami Blueprint Politik Luar Negeri Kaum Neo-Konservatif Pemerintah George Bush”, dalam http://www.nu.or.id/page/id/ 203
Jihad dan Benturan Peradaban
dinamic_detil/4/7287/Kolom/Membaca_Ulang_ Samuel_P__Huntington_dan_Memahami_ Blueprint_Politik_Luar_Negeri_Kaum_Neo_ Konservatif_Pemerintahan_George_Bush.html (Akses, 14 Desember 2011). http://id.wikipedia.org/wiki/Doktor#Amerika_Serikat (Akses, 6 Agustus 2010). http://www.islamfortoday.com/ 14 Nopember 2007)
elfadl01.htm,(Akses,
http://www.law.ucla.edu/faculty/all-faculty-profiles/ professors/Pages/khaled-abou-el-fadl.aspx (Akses, 14 Desember 2011). http://www.scholarofthehouse.org/oninma.html, (Akses, 31 Desember 2007). Jackson, Sherman A. “Domestic Terrorism in the Islamic Legal Tradition” dalam http://users.tpg. com.au/dezhen/jackson_terrorism.html (Akses, 29 Maret 2010). Khan, Muqtedar. “Tujuh Tahun Setelah “Perang Melawan Teror”, dalam http://www.commongroundnews. org/article.php?id=24053&lan=ba&sp=0 (Akses, 1 September 2011). Muqtedar Khan, hadiah Amerika: Tradisi Baru Pemikiran Islam, dalam dalam http://www. commongroundnews.org/article.php?id=20839 &lan=ba&sid=1&sp=1&isNew=0 (Akses, 20 Oktober 2009). Kusmarni, Yani. “Teori Poskolonial: Suatu kajian tentang Teori Poskolonial Edward W. Said”, 204
Daftar Pustaka
Makalah, dapat diunduh di www.scribd.com/ doc/50756525/TEORI-POSKOLONIAL Making sense of Jihad vs. H}ira>bah, dalam http://www. islamproject.org /education/D05_Hirabah.htm (Akses, 29 Maret 2010). Pelita Online, “Perang Melawan Terorisme Masih Perlu Dilanjutkan”?, dalam http://www.pelitaonline.com/ read-cetak/973/perang-melawan-terorisme-masihperlu-dilanjutkan/(Akses, 14 Desember 2011). Ruz, Guy. “The War on the Word Jihad”, dalam http://www.npr.org/ templates/story/story. php?storyId=6392989 (Akses, 29 Maret 2010). Al-Sya>fi’i, al-Risa>lah (Teks Pdf dari www.al-mostafa. com). “Jizya” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Jizya (Akses 3 Juni 2008).
205
Jihad dan Benturan Peradaban
206
Glosarium
GLOSARIUM Ahl al-dhimmah : adalah nonmuslim merdeka yang hidup dalam negara Islam. Sebagai balasan karena membayar pajak perorangan, mereka menerima perlindungan dan keamanan. Hukum mengenai dzimmi berlaku di sebuah negara yang menjalankan Syariah Islam. Kata dhimmi sendiri berarti “perlindungan”. Status dzimmi mulai berlaku di daerah-daerah Islam dari Samudera Atlantik hingga India sejak zaman Muhammad pada abad ke-7 hingga zaman modern. Dari waktu ke waktu, banyak orang dhimmi yang masuk Islam. Kebanyakan dari mereka pindah agama secara sukarela, kecuali pada beberapa kasus pada abad ke12, misalnya zaman kekuasaan Muwahidun di Afrika Utara dan Al-Andalus, serta pada masa kekuasaan Syiah di Persia. Ahl al-kita>b : Ahl al-Kita>b adalah “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat Nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah)”. Di antara mereka adalah Kaum Yahudi dan Nasrani. Dinamakan Ahl al-Kita>b karena telah diberikan kepada mereka kitab suci oleh Allah. 207
Jihad dan Benturan Peradaban
Akhlak
: akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat. Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. akulturasi : adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Contoh akulturasi: Saat budaya rap dari negara asing digabungkan dengan bahasa Jawa, sehingga menge-rap dengan menggunakan bahasa Jawa. Ini terjadi di acara Simfoni Semesta Raya Al-Baghy : perlawanan terhadap pemerintah dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah karena dinilai telah menyeleweng. Ambivalen : Sikap yang tak menentu/mendua antara penyelarasan diri dengan iden titas “penjajah” dan melawan kuasa
208
Glosarium
penjajah. Kondisi poskolonialisme sering dilukiskan sebagai identitas tidak stabil untuk selalu melawan universalisme, yakni justru dengan penyelarasan diri yang dilakukan oleh “terjajah”. Asasin : dalam bahasa Arab , (juga disebut Hasyisyin, Hasyasyiyyin, Hasysyasyin atau Assassin) adalah salah satu cabang dari Islam Syi’ah Ismailiyah. Mereka mendirikan beberapa pemukiman di Iran, Irak, Suriah dan Lebanon di bawah pemimpin karismatik Hasan-i Sabbah. Mereka mengirim orang yang berdedikasi untuk membunuh pemimpin penting Sunni, yang dianggap mereka sebagai “kaum kafir perebut tahta.” Benturan : benturan peradaban atau clash of civilizations peradaban (CoC) adalah teori bahwa identitas budaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama di dunia. Civil rebellion : salah satu bentuk perilaku yang menyimpang untuk melakukan adaptasi terhadap situasi tertentu yang dilakukan oleh warga sipil. Pemberontakan ini dilakukan dengan menarik diri dari tujuan dan cara-cara konvensional yang disertai upaya untuk melembagakan tujuan dan cara baru. Crusade : Kata “Crusade” berasal dari kata Latin “pakaian salib.” Tujuan: merebut kembali Tanah Suci (Israel) dan tanah-tanah “Kristen” yang telah dijajah Muslim. Crusade I (1095-1099) dilahirkan oleh Paus Roma Katolik Urban II (1088-1099):
209
Jihad dan Benturan Peradaban
“Untuk melepaskan Yerusalem dan Gereja Timur dari dominasi kafir (Islam).” Paus ini juga menjanjikan pengampunan dosa bagi mereka yang pergi Cursade, dan hukuman pengasingan bagi yang tidak pergi. Da>r al-‘adl : wilayah yang di dalamnya umat Islam mempunyai kebebasan untuk menjalankan agamanya, walaupun wilayah tersebut diperintah oleh nonmuslim. Dekolonisasi : merujuk pada tercapainya kemerdekaan oleh berbagai koloni dan protektorat Barat di Asia dan Afrika seusai Perang Dunia II. Hal ini timbul seiring dengan gerakan intelektual yang dikenal dengan Poskolonialisme. Periode dekolonisasi yang sangat aktif terutama terjadi antara 1945 sampai 1960, dimulai dengan kemerdekaan Pakistan dan India dari Britania Raya pada tahun 1947 dan Perang Indochina Pertama. Dewesternisasi : dewesternisasi mempunyai makna pember sihan dari westernisasi. Jika westernisasi dipahami sebagai “pembaratan” atau mengadaptasi, meniru dan mengambil alih gaya hidup Barat, maka dewesternisasi adalah upaya melepas sesuatu dari proses pembaratan, atau memurnikan sesuatu dari pengaruh Barat. Fikih : fikih sebuah disiplin keilmuan yang mem punyai keterkaitan yang erat dengan shari>‘ah. Fikih pada dasarnya adalah formula praktis yang dipahami dari shari>‘ah. Ini berarti bahwa shari>‘ah tidak mungkin
210
Glosarium
untuk diterapkan tanpa adanya fikih. Fikih sebagai penerapan dari shari>‘ah, karenanya terikat dengan konteks ruang dan waktu. Fikih sebagai interpretasi kultural terhadap teks (al-Qur’an dan Hadis). Fundamentalisme : istilah yang secara umum dilekatkan pada setiap gerakan (keagamaan) yang bersifat ekstrim. Dalam konteks gerakan keislaman, istilah ini banyak diperdebatkan. Abou El Fadl misalnya menyatakan bahwa istilah “fundamentalis” menimbulkan ke ran cuan karena semua kelompok dalam Islam tentu mengklaim dirinya melaksanakan ajaran-ajaran fundamental Islam. Terma “militan” juga tidak selalu benar, karena bersikap militan dalam kondisi tertentu diperbolehkan, bahkan oleh agama apapun. Istilah “ekstrimis”, “radikal” dan “fanatik” juga tidak bisa menggambarkan kelompok yang dimaksud, karena mereka ternyata tidak selalu ekstrim, radik dan fanatik dalam segala hal, akan tetapi mereka selalu absolutis yakni menuntut kepastian dalam menafsir teks. Hermeneutika : adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa yunani hermeneuien yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Hukum Islam : koleksi daya upaya para ahli hukum Islam untuk menerapkan shari>‘ah atas kebutuhan
211
Jihad dan Benturan Peradaban
masyarakat. Karena itu yang dimaksudkan hukum islam bukan lah shari>‘ah, tetapi fikih yang dikembangkan oleh para mujtahid sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Identitas hibrida : identitas hibrida merupakan identitas baru yang timbul karena percampuran antara identitas asli nenek moyang seseorang dengan identitas dimana seseorang lahir, tinggal dan hidup. Dua tipe hibridisasi gagasan dari Chris Barker, yaitu (1) “Budaya-budaya yang bersifat translokal dan melibatkan arus global. Hibridisasi terjadi karena pengakuan terhadap perbedaan dan menghasilkan sesuatu yang baru, Kita adalah orang “Inggris Asia”, dan “Mesiko Amerika”; dan (2) satu tradisi kultural menyerap atau menghapus tradisi lain dan menciptakan kesamaan yang efektif. Proses ini bisa melibatkan asimilasi (orang tua saya Asia, tetapi saya Inggris) atau dominasi dan imperialisme budaya (salah satu tradisi dihapus)”. Ideologi : kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup: dl pertemuan itu penatar menjelaskan dasar – negara; 2 cara berpikir seseorang atau suatu golongan: hal itu menjadi makanan empuk bagi – asing yang ingin menginfiltrasi kita; 3 paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik: – komunis menjadi pegangan bagi negara-negara yang selama ini disebut Blok Timur
212
Glosarium
Ijtihad
: usaha sungguh-sungguh yang dila kukan para ahli agama untuk mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syara’ mengenai kasus yang penyelesaiannya belum tertera di dalam al-Qur’an dan Sunah. Imperialisme : sistem politik yang bertujuan menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar; misalnya, imperialisme kebudayaan adalah pandangan mengenai adanya kebudaya-an asing yang lebih kuat yang mendominasi suatu golongan masyarakat sehingga warganya kehilangan kepribadian dan identitasnya Islamo-Christian : konsep yang menyatakan bahwa Islam dan Civilization Barat memiliki akar yang sama dan berbagi banyak sejarah mereka. Konfrontasi mereka saat ini muncul bukan dari perbedaan penting, tapi dari tekad ideologis panjang dan disengaja untuk menyangkal kekerabatan mereka. Islamophoby : islamophobia adalah ketakutan berlebihan yang tidak memiliki dasar berpikir yang kuat tentang Islam bahkan dapat disebut dengan mengada-ada. Tidak ada pembenaran yang logis di dalamnya, yang ada hanyalah prasangka-prasangka yang terlahir akibat persepsi-persepsi buruk yang terus menerus ditanamkan kepada diri seseorang bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan kekerasan, kebencian, egois, tidak toleran dan membatasi pemeluknya dengan aturan-aturan yang ketat sehingga tidak adanya kebebasan di dalamnya yang
213
Jihad dan Benturan Peradaban
Jihad akbar
Jizyah
Khawarij
Kreolisasi
Mimikri
berujung persepsi bahwa Islam adalah kuno, ekstrem, agama yang membawa kehancuran, dan sebagainya : berdasar hadis Nabi SAW, jihad akbar sering dimaknai sebagai peperangan melawan hawa nafsu, musuh terbesar manusia yang jauh lebih berat dari musuh yang nyata. : pajak yang dipungut dari rakyat non Muslim merdeka dalam negara Islam, yang dengan pajak itu mereka mengesahkan perjanjian yang menjamin mereka mendapat per lindungan, atau suatu pajak yang dibayar oleh pemilik tanah. : secara harfiah berarti “Mereka yang Keluar”) ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Disebut Khowarij disebabkan karena keluarnya mereka dari dinul Islam dan pemimpin kaum muslimin : Menunjuk pada penyerapan elemen-elemen kebudayaan lain, tetapi dipraktekkan dengan tidak mempertimbangkan makna aslinya. Konsep kreolisasi memberikan cara berpikir alternatif, yang berbeda dari konsep imperialisme kultural yang menganggap Barat mendominasi budaya Timur. Karena sesungguhnya Timur tidak pasir dalam mengkonsumsi budaya Barat. : Mimikri adalah upaya masyarakat lokal untuk meniru atau mengimitasi kebudayaan modern yang ditampilkan dalam gaya
214
Glosarium
berbicara, berpakaian, bersikap, dan citra budaya lainnya. Hal ini dilakukan oleh masyarakat lokal atau yang disebut sebagai subaltern, untuk mendapatkan akses yang sama dengan kelompok yang memiliki kekuasaan, dalam hal ini penjajah. Negara bangsa : adalah suatu istilah politik yang berarti (nation state) warga negara yang tinggal di suatu negara juga merupakan bangsayang sama. Jadi, suku bangsanya hanya satu. Negara kebang saan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan – atau nasionalisme – yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya Neokolonialis : praktik Kapitalisme, globalisasi, dan pasukan kultural untuk mengontrol sebuah negara (biasanya jajahan Eropa terdahulu di Afrika atau Asia) sebagai pengganti dari kontrol politik atau militer secara langsung. Oposisi biner : adalah sebuah sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan. Dalam struktur oposisi biner yang sempurna, segala sesuatu dimasukkan dalam kategori A maupun kategori B, dan dengan memakai pengkategorian itulah, kita mengatur pemahaman dunia di luar kita. Suatu kategori A tidak dapat eksis dengan sendirinya tanpa berhubungan
215
Jihad dan Benturan Peradaban
secara struktural de ngan kategori B. Kategori A masuk akal hanya karena ia bukan kategori B. Tanpa kategori B, tidak akan ada ikatan dengan kategori A, dan tidak ada kategori A. Perang dingin : adalah sebutan bagi sebuah periode di mana terjadi konflik, ketegangan, dan kompetisi antara Amerika Serikat (beserta sekutunya disebut Blok Barat) dan Uni Soviet (beserta sekutunya disebut Blok Timur) yang terjadi antara tahun 1947–1991. Persaingan keduanya terjadi di berbagai bidang, seperti koalisi militer; ideologi; industri, dan pengembangan teknologi; pertahanan; perlombaan nuklir dan persenjataan; dan lain-lain. Perang dingin bukanlah sekedar perang biasa di mana kedua belah pihak berperang di medan terbuka. Perang dingin merupakan perang antara dua negara adikuasa yang saling berebut pengaruh dalam pergulatan politik internasional. Perebutan pengaruh dimulai dengan saling mencurigai antarnegara adikuasa itu. Pluralisme : berasal dari bahasa Inggris pluralism. Kata ini dalam konteks ilmu social dimaknai sebagai “suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran antara satu dengan yang lain, coexist dan interaksi tanpa adanya asimilasi (pembauran/pembiasan)”. Poskolonialisme : secara umum, poskolonialisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa hal-hal
216
Glosarium
yang ada di dalam suatu negara yang pernah dijajah telah dipengaruhi oleh kebudayaan bangsa penjajahnya. Poskolonialisme meru pakan kritik terhadap kolonialisme Puritan : mereka yang secara konsisten dan sistematis menganut absolutisme, berpikir dikotomis, dan idealistik. Mereka tidak kenal kompromi, cenderung puris dalam artian tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang dan berkeyakinan bahwa realitas pluralistik merupakan kontaminasi terhadap otentisitas. Serangan bom : adalah suatu serangan yang dilakukan bunuh diri (para) penyerangnya dengan maksud untuk (suicide bombing) membunuh orang (atau orang-orang) lain dan bermaksud untuk turut mati dalam proses serangannya dengan menggunakan ledakan bom. Serangan bunuh diri adalah sejenis taktik, yang direncanakan dan diorganisir oleh kelompok militer atau paramiliter yang berkomitmen tinggi. Syariah : “shari>‘ah” adalah titah (khit}a>b) Allah yang berhubungan dengan perilaku mukallaf baik dalam bentuk tuntutan, pilihan atau perantara (sebab, syarat atau penghalang). Dalam makna ini “shari>‘ah” lebih berkaitan dengan hukum-hukum yang ada dalah wahyu yang hendak mengatur perilaku manusia yang bersifat praktis. Xenophoby : adalah ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing. Beberapa definisi
217
Jihad dan Benturan Peradaban
menyatakan xenofobia terbentuk dari keirasional-an dan ke-tidakmasukakal-an. Berasal dari bahasa Yunani ξeνος (xenos), artinya “orang asing”, dan φοβος (phobos), artinya “ketakutan”).
218
Daftar Indeks
DAFTAR INDEKS A ‘Abba>syiyah 40 ‘Abd al-Sala>m Faraj 87 Abou El Fadl i, ii, xiii, xiv, 10-15, 21, 25-27, 30-32, 42, 61, 79, 80-105, 108-127, 129131, 133-135, 138-156, 159, 162, 163, 165-167, 171, 173-183, 186-189, 202 Abu> A’la> al-Mawdu>di> 43 Abu Bakar Ba’asyir vi, x, 59 Abu> Ish}a>q al-Syira>zi 42 Afghanistan 4, 59, 98, 172 agama kedamaian 8 agama sipil 158 agama universal 2 agresor 98 ahl al-dimmah 115 ahl al-kita>b 115 Akbar S. Ahmed 168, 169 akhlak 48, 80, 101-103, 112, 113, 118, 120, 187 al-baghy 108 Al-Ghazw 36 Al-Nawa>wi 41, 42, 198 al-Qur’an 20, 35, 37-39, 41, 44, 84, 88, 92, 98, 107, 109, 110, 114, 118, 132, 134, 161, 164, 192, 201
Al-Sha>fi‘i 40, 41 ambivalen 181 Amerika serikat 182 Arab Saudi 100, 125 asasin 3 author 29
B barbarisme 49, 92, 186 benturan peradaban ix, x, xi, xiii, xiv, 2, 4, 6, 8, 9, 10, 12-14, 24-28, 30-34, 50, 54, 5760, 62-64, 67, 73, 74, 76, 77, 79, 80, 136, 138-142, 147, 150-152, 170, 172, 173, 176, 177, 182, 183, 185-188 Bernard Lewis 1, 3, 56, 90, 91, 142 Bill Clinton 55, 140 blurred copy 181 bombers 98 bom bunuh diri 46, 47, 49, 97, 98, 102
C Cina 51, 52, 53, 73, 115, 134, 137, 179 civil rebellion 96 claim of lineage 147, 187
219
Jihad dan Benturan Peradaban
F
counter-akulturasi 60 criticism-free subject 162 Crusade 92
D Dakwah 111, 166 da>r al-‘adl 123, 126, 188 da>r al-‘ahd 123 da>r al-h}arb 36, 54, 115, 122, 124, 125, 127, 138, 140, 176, 187, 188 da>r al-Isla>m 31, 53, 54, 80, 115, 122-125, 127, 128, 130, 137, 138, 140, 143, 176, 187, 188 da>r al-kufr 128, 130, 143, 144 da>r al-s}ulh} 123, 125, 126 defensive intervention 5 dehumanisasi 71, 133, 146 dekolonisasi 69 demokrasi x, 49, 75, 85, 113, 143, 148, 157, 159-161, 166, 171, 176 destruktif 24, 101, 133, 186 de-westernisasi 60 dialog peradaban xiv, 9 diaspora xiv, 9, 10-14, 32, 151, 152, 162, 166-169, 171, 172, 180, 182, 183, 189 dikotomis 34, 38, 64, 82, 122, 124-126, 140, 142, 144, 188 direct target 99 dunia ketiga 7, 66, 69
E eastern civilization 53, 137 Eropa 7, 52, 76, 94, 132, 137, 158 eskatologi 20 etika perang 49, 98 etos 8, 52, 111, 112, 159
FBI 106 fikih 16, 36, 37, 40, 41, 46, 54, 61, 75, 89, 98, 99, 101, 102, 104, 105, 107, 112115, 122, 123, 126, 127, 135, 138, 161, 163-165, 168, 176, 177 fikih minoritas 168 Fouad Ajami 56 fundamentalisme Barat 13, 31, 62, 77, 177, 187
G Gayatri Spivak 8, 71 George W. Bush 5, 6, 56, 141
H Hadis 37, 41, 84, 88, 164 HAM x, 5, 75, 143, 156, 166, 182 h}arb 36, 37, 54, 92, 102, 115, 122, 124, 125, 127, 138, 140, 176, 187, 188 h}arb al-muqaddasah 37 hard sciences 162 harmoni 9, 107 Ha>ru>n al-Ras}i>d 40 Hasan al-Banna 43 helplessness 105 hermeneutika 29, 30, 32 hermeneutika kritis 29, 30, 32 Hindu 52, 115, 137, 157 h}ira>bah 104-108, 187 Homi K. Bhabha 181, 195 horizon 27, 114 hukum Islam 10, 24, 25, 61, 81, 88, 97, 154-156, 166, 170, 175 Huntington ix, xiv, 6, 7, 50-54, 58, 59, 73, 136-139, 142, 143, 148, 149, 170, 185, 195, 196, 203, 204
220
Daftar Indeks
I Ibrahim M. Abu Rabi’ 162 identitas xiv, 10-14, 32, 51, 65, 81, 86, 116, 152, 162, 166, 167, 171-174, 177, 179, 188 identitas hibrida 179 ideologi v, vi, vii, viii, xiii, 27, 29, 30, 37, 49, 51, 58, 59, 61, 63, 67, 68, 70, 72, 73, 77, 80, 101, 113, 136, 150, 152, 162, 178 ijtihad 44, 84, 164, 174 ikhwa>n al-Muslimi>n 44, 45 imperialisme 65, 67, 68, 72, 73, 77, 132, 143, 181 insider 14, 150 intelektual hibrida 12 interdisipliner 28 interpretivisme 26 Irak 4, 59, 135, 172 Islamic civilization 53, 137 Islamic crusade 94 Islamo 7, 64, 65, 147 Islamo-Christian Civilization 7, 64, 65, 147 islamophoby 170
J Javaid Rehman 24 Jepang 51, 53, 103, 134, 137, 175 jihad akbar 24 jihad asghar 24 jihadisme modern 49 jizyah 37, 46, 115-119, 176, 189 John L. Esposito 54, 55, 139 Judeo-Christian Civilization 7
K kapitalisme 58, 111 Karen Armstrong 21-23, 81, 135 Karl Marx 70, 71
Kebebasan beragama 158 kedaulatan Tuhan 45, 46, 48, 49 kehidupan global 9, 171 kekuasaan 2, 27-29, 44, 74, 76, 83, 84, 86, 123, 149, 153 Khalifah 40, 93, 118 Khawarij 82, 83 Khawarij Modern 83 kimia 6, 97 kita>b al-jiha>d 37 kita>b al-jizyah 37 kita>b al-siya>r 37 kolonial 17, 28, 67-69, 88, 144, 178, 182 kolonialisme 28, 65, 67-69, 72, 102, 132, 140, 142, 143, 146, 174, 178, 182 kolonisasi 167, 168 Kompetensi 149 komunitas epistemik 32, 152, 153, 165, 166 konsepsi 1, 2, 8, 10, 13, 16, 30, 39, 43, 90, 117, 118, 135, 145 konteks sosial 33, 94, 151, 152, 174, 180 kontemporer 3, 12, 20, 34, 49, 51, 61, 85, 88, 90, 117, 122, 128, 136, 180, 186 kreolisasi 181, 189 Kristen 3, 7, 9, 19, 20-22, 43, 53, 54, 63-65, 81, 93-95, 115, 118, 119, 128, 139, 145, 147, 155-157, 169, 192
L law enforcement 145 liberasi 15, 101, 102, 130 liberasi nasional 101 library research 14, 25 literal 15, 81, 83, 90, 118, 123, 152, 161, 164, 187
221
Jihad dan Benturan Peradaban
M Mark Gould 19, 20 Marxisme 70 masyarakat sipil viii, 3, 47, 97, 101, 106, 108 media 55, 56, 60, 72, 73, 91, 94, 96, 114, 139, 159, 163, 166, 174, 186 Mesir 22, 40, 44-46, 83, 87, 100, 135, 153, 156, 165 militer 5, 19, 36, 38, 40, 41, 46, 63, 67, 68, 91, 95 mimikri 181, 182, 189 missionary nation 143 mistisisme 165 modernitas 22, 48, 60, 82, 84, 89, 102, 130, 134-136 modus operandi 49, 169 monolitik 8, 25, 55, 139, 140, 188 moral 31, 38, 40, 79, 87, 88, 91, 100, 103, 109, 116, 120, 122, 133, 151 moral-spiritual 31, 38, 79, 91, 151 Muh}ammad ‘Abduh 84, 149 Muhammad b. Abdul Wahhab 61 Muhammad Rashi>d Rid}a 16 multikultur 171 multiple critique 150, 179 muslim diaspora xiv, 9-14, 32, 189 muslim minoritas 10-12, 180 muslim puritan 2, 14, 15, 27, 31, 59-63, 73, 79, 80, 97, 116, 145, 169, 175-178, 187, 188
N NATO 4 Negara bangsa 51, 136
negosiasi 10, 11, 12, 173 neokolonialisme 68 Neo-Konservatif 6, 203 non-combatant 39, 99 nonmuslim 1-3, 6, 8, 40, 42, 44, 54, 80, 82, 83, 87, 89, 91, 95, 97, 105, 107, 114-125, 127-129, 138, 163, 169, 176, 188, 189 Norbet Elias 50 normatif 28, 117, 125, 168 normativitas teks 10 nuklir 6
O oposisi biner 26, 76, 188 orientalis 12, 56, 74, 132, 143, 144 Osama b. Laden 97 otherness xiv, 12, 50, 182 otoritatif 10, 81 otoriter 153
P Pakistan 4 partai 102 participant muslims 160 pelontar api 99 pembelaan diri 71, 98, 109 pengetahuan v, viii, 26, 27, 69, 72, 74, 76, 77, 114, 131, 134, 142, 156, 178, 189, 190 penjajahan 28, 65-69, 143, 175 peradaban vii, ix-xi, xiii, xiv, 2-4, 6-14, 22-28, 30-34, 50-69, 73-80, 126, 131, 134, 136142, 146-152, 170-173, 176-179, 181-183, 185188, 190 perang dingin 3, 6, 50, 54, 55, 136, 139
222
Daftar Indeks
perang salib 23, 91, 94, 95, 143, 186 perang suci vii, 1, 2, 23, 47, 90-95, 102, 112, 114, 176, 186 Peristiwa 11 September 2, 99, 138 phobia 94 pluralisme 83, 84, 114, 119, 164, 166 poskolonial xiv, 7, 11-14, 24, 25, 28, 31, 32, 68-70, 73, 76, 152, 166, 167, 173, 175, 177-180, 188, 189 pre-emptive strike 5, 74 progressive ijtihadist 61, 62 prototype 14, 74 puritanisme 31, 43, 77, 79, 80, 135, 150, 162, 163, 166, 169
Q qahriyah 1, 41 qat}‘ al-t}ari>q 104 qita>l vii, 36, 38, 43, 45, 107, 109, 110, 176, 186 Quraish Shihab 35, 38, 201
R Rand Corparation 5 random killing 98 Rasyi>d Rid}a 84 Reader 47, 71, 200, 201 reaktualisasi 13 rebellion 96, 107, 108 representasi iii, iv, 8, 18, 149, 173, 174 represif 133, 153 re-tradisionalisasi 60 revolusi 46, 175 Richard W. Bulliet 7, 64, 147
S sacred rage 94
salafabisme 86, 89 salafi 19, 31, 83-87 sariyah 36 sasaran antara 99 Sayyed Hossein Nasr 23, 47 Sayyid Qut}b 16, 43 sekular 34 senjata biologis 6 Sherman A. Jackson 104-106 simtom 2, 12, 13, 138, 151, 185, 187 sistem nilai 4, 75, 170 soteriology 20 spirit xv, 23, 24, 48, 101, 111, 159, 176 spreading of fear 105 stereotype 73, 145 Steven Sherman 60 stigmatisasi 10 studi keislaman 11, 27, 28, 162 subaltern 8, 71, 178 subtantif 90, 110 suci vii, 1, 2, 23, 37, 47, 90-95, 102, 112, 114, 176, 186 suicide bombing 47, 49, 97, 102 syahid 93 syariah 46, 47, 116, 123, 124
T Tariq Ali 62, 177 tasawuf 165 teks 2, 10, 11, 15, 17, 20, 21, 25, 28-30, 32, 38, 39, 43, 58, 73, 76, 81, 83-85, 88-91, 95, 99, 100, 101, 113, 117122, 135, 164 tentara salib 42, 93 teologi 20, 23, 61, 81, 86, 93, 146, 165 teror 2, 16, 57, 105, 133, 172, 178 terorisme iv, vii, viii, xiv, 3-5, 8, 11, 17, 25, 46, 47, 49,
223
Jihad dan Benturan Peradaban
55-57, 87, 96-98, 100-108, 125, 130, 133, 134, 136, 139, 145, 146, 169, 172, 176, 179, 183, 186, 187, 205 terorisme-jihadis 103 tesis ix, x, xiv, 6-10, 12-15, 24, 26, 30, 32, 53, 56, 58, 63, 67, 70, 76, 80, 111, 138, 142, 147, 148, 150, 182, 183, 185-188 the clash of civilizations xiii, 13, 55, 60, 136, 138, 141, 145, 146, 147 the enterprise of meaning 148, 187 toleran 82, 84, 108, 122, 171 transformasi 19, 28
U umat Islam 1, 7, 8, 20, 21, 23, 44-46, 48, 55, 58, 64-66, 75, 83, 84, 87, 89, 94, 95, 97, 101, 109, 110, 111, 116, 120, 121, 123, 124, 126-128, 131, 133, 134, 138, 139, 141, 144, 145, 157, 170, 174, 177-180 umat Kristen 7, 20, 64, 157
V value free 162 violence 34, 37, 38, 58, 107, 166
W wacana 7-13, 24, 26-28, 31, 33, 68, 73, 74, 76, 77, 80, 84, 90, 106, 122, 123, 147, 166, 173, 176-178, 180183, 186, 189 Wahabi 80, 83, 84, 165 Wahabi-Salafi 80 western civilization 53, 137
X xenophoby 170
Y Yahudi 3, 7, 11, 19, 21-23, 53, 81, 93, 115, 118, 120, 145, 147, 155, 157, 167, 192, 202 Yaman 100 yuris 21, 40-42, 83, 85, 99, 100, 108, 110, 116, 123-125, 127, 128, 163 Yu>su>f al-Qarad}a>wi> 46, 47
224
Glosarium
BIODATA PENULIS Dr. Abid Rohmanu, M.H.I., dilahirkan di Ponorogo, 29 Peb ruari 1976. Riwayat pendidikan nya dimulai dari Madrasah Ibtidaiyyah Campurejo Sambit Ponorogo (1983–1989), kemu dian Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Jetis Ponorogo (1989 – 1992), Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) sekaligus Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang (1992 – 1995). Pendidikan Tingginya dimulai di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta (1995 – 2000), kemudian Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya untuk jenjang S2 (2001 – 2003) dan jenjang S3 (2007 – 2010). Semenjak selesai jenjang S2 (2003), Abid Rohmanu aktif di dunia pendidikan baik formal maupun non formal: Pondok Pesantren Al-Jawahiriyah Campurejo Sambit Ponorogo dan Institut Agama Islam Sunan Giri (INSURI) Ponorogo. Pada Tahun 2008, Abid Rohmanu juga mulai aktif mengajar di Jurusan Syari’ah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo. Selain 225
Jihad dan Benturan Peradaban
mengajar, Abid Rohmanu juga diberi amanat untuk memegang jabatan dan posisi tertentu di Pendidikan Tinggi, di antaranya adalah: Ketua Jurusan Mu’amalah, Fakultas Syari’ah INSURI Ponorogo, Asisten Direktur Program Pascasarjana STAIN Ponorogo (2011 – 2014), Koordinator Program Studi Hukum Keluarga (AS) Jurusan Syari‘ah dan Ekonomi Islam STAIN Ponorogo (2014 – sekarang). Selain itu, dalam dunia tulismenulis, Abid Rohmanu juga dipercaya untuk menjadi Penyunting Pelaksana Jurnal Ilmiah “Justitia Islamica” Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo (2008 – sekarang), dan Ketua Penyunting Jurnal Ilmiah ‘Al-Adabiya” INSURI Ponorogo (2008 – 2011). Di sela-sela kesibukannya, Abid Rohmanu juga mencoba untuk menuangkan gagasannya tentang wacana keislaman dalam bentuk artikel yang bertebaran dalam beberapa jurnal ilmiah dan populer, di antaranya adalah: “Fiqh dan Tantangan Global”, AULA, No. 05 Tahun XXV/Mei 2003; “Rekonstruksi Teori Qiyas dan Hukum Kontemporer”, AULA No. 04 Tahun XXVI/ April 2004; “Rekonstruksi Teori Qiya>s dan Upaya Menjawab Tantangan Persoalan Hukum Kontemporer: Studi terhadap Pemikiran Muhammad ‘A
biri>”, Antologi Kajian Islam, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press, Cet. I, 2004; “Masyarakat Pesantren dan Pembentukan Capital Resources” Al-Adabiya, Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2006; “Rekontruksi Nalar Ijtihad Dan Humanisasi Praksis Ajaran Islam: Counter terhadap Pemaknaan Konsep Jihad Konvensional”, 226
Tentang Glosarium Penulis
Ulumuna Vol. X, No. 1, Januari – Juni 2006, “Menguak Background Pemikiran Sufistik Ibn ‘Arabi”, Al-Adabiya, Vol. 1, No. 2, Juli – Desember 2006, “Melacak Genealogi Nalar Arab”, Qalamuna, Vol. 1, No. 2, 2006, “Kritik Teks dan Kekerasan Atas Nama Agama”, AlAdabiya, Vol. 2, No. 1, Januari – Juni 2007; “Nikah Mut’ah: Menyusuri Status Perempuan dalam Tradisi Arab-Islam”, Al-Adabiya, Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2007; “Pluralisme, Demokrasi dan Keadilan Sosial dalam Konsepsi Fiqh Humanistik Abou El Fadl”, Islamica, Vol. 4, No. 1, September 2009; “Melacak Genealogi Nalar Arab” dalam Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009); “Puritanisme dan Cita Ideal Humanisme Islam”, dalam Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009); “Al-Ghaz>ali dan Kerangka Keilmuan Us}u>l al-Fiqh”, Justitia Islamica, Vol. , No. 2, Juli – Desember 2009, Reinterpretasi Jihad: Relasi Fikih dan Akhlak (Ponorogo: STAIN Po Press 2012), dan “Jihad dan Benturan Peradaban (the Clash of Civilization): Menyelami Identitas Pos-Kolonial Abou El Fadl”, AlAdabiya, Vol. 8, No. 2, Desember 2013, Humant Agen dalam Tradisi Hukum Islam: Studi Relasi Hukum Islam dan Moralitas Perspektif Abou El Fadl (Penelitian Tahun 2013), Sikap Mahasiswa PPs STAIN Ponorogo STAIN Ponorogo terhadap Integritas Akademik dalam Penulisan Karya Ilmiah (Penelitian Tahun 2014), Kritik Nalar 227
Jihad dan Benturan Peradaban
Qiyasi al-Jabiri: Dari Nalar Qiyasi Bayani ke Nalar Qiyasi Burhani (Ponorogo: STAIN Po Press, 2014). Pada tahun 2015 bersama teman-teman ISNU dan Litbang PCNU Ponorogo menggagas budaya “sabtu” (sadar baca-tulis) dengan menerbitkan buku Membaca dan Menggagas NU ke Depan: Senarai Pemikiran Orang Muda NU (Yogyakarta: Tera Kata, 2015).
228