Dyah Nawangsari, Wajah Baru Islam di PTAI Sebuah Wacana Keterbukaan di Lingkungan PTAI
WAJAH BARU ISLAM DI PTAI Sebuah Wacana Keterbukaan di Lingkungan PTAI Oleh: Dyah Nawangsari1 Abstrak Secara institusi, PTAI tertantang untuk turut serta berpartisipasi dalam menjawab tantangan zaman. Tak ayal, berbagai wacana alternative dimunculkan seperti sekularisasi, pluralisme dan liberalisme. Meski wacana yang dikembangkan oleh PTAI ini mendapat tantangan utamanya dari Majlis Ulama Indonesia, namun PTAI tetap teguh mengawalnya sebagai bentuk alternatif menjawab berbagai tantangan zaman. Key Word : PTAI, sekularisasi, pluralisasi, liberalisasi A. PENDAHULUAN Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTAI) merupakan bagian integral dari dari sistem pendidikan nasional yang menjadi mediator antara ilmu pengetahuan Islam dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu PTAI secara keseluruhan juga tidak bisa mengisolasikan diri dari perubahan-perubahan paradigma, konsep, visi dan orientasi baru pengembangan pendidikan tinggi/perguruan tinggi nasional, bahkan internasional. Sebagai institusi pendidikan PTAI mempunyai tujuan membentuk sarjana-sarjana muslim yang berakhlaq mulia, berilmu dan cakap serta mempunyai kesadaran bertanggungjawab atas kesejahteraan umat dan masa depan bangsa sesuai dengan keahliannya di dalam agama Islam serta untuk memenuhi keperluan umum (Permenag No. 1 Tahun 1972). Tujuan ini kemudian diejawantahkan dalam tugas pokok yakni menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.2
1
2
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As-Sunniyah Kencong Jember. Saat ini sedang menempuh S3 di IAIN Sunan Ampel Surabaya Jika diperhatikan tujuan PTAI di atas lebih menekankan pada faktor intelektual, akademik, professional, iman dan takwa serta etika yang meliputi kepribadian, dan tanggung jawab. Hal ini sekaligus sebagai implementasi paradigma baru Perguruan tinggi sebagaimana dalam deklarasi Perguruan Tinggi abad 21 (World Declaration on Higher Educatin for the Twenty-First Centery: Vision and Action) yang dirumuskan UNESCO pada tahun 1998. Beberapa poin penting dari deklarasi tersebut adalah peran etik, otonomi, tanggung jawab dan fungsi antisipatif Perguruan Tinggi. Lihat: Azra, dalam Komarudin Hidayat, Problem & Porspek 37
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
Berdasar tujuan PTAI sebagaimana dijelaskan di atas maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa PTAI mengemban visi pendidikan dan sekaligus modernisasi. Oleh karena itu PTAI diharapkan mampu mengembangkan dirinya sebagai pusat studi dan pengembangan Islam di satu sisi, dan di sisi lain PTAI hendaknya dapat memberi warna dan pengaruh keislaman kepada masyarakat Islam di tengah arus modernisasi secara keseluruhan. Dapat dikatakan bahwa PTAI memikul dua harapan yaitu academic expectation dan social expectation. Akan tetapi dua hal ini acapkali menempatkan PTAI pada posisi dilematis sebab sampai sekarang masih ada wacana yang belum selesai tentang apakah PTAI sebagai lembaga pendidikan yang murni akademis atau murni lembaga dakwah, atau kombinasi antara akademis dan dakwah. Opsi ketiga ini pun masih bisa diperdebatkan antara pilihan dakwahnya yang lebih kuat atau akademisnya yang lebih kuat. 3 Disisi lain dunia Islam menghadapi tantangan baru berupa munculnya fenomena global salafisme, yaitu gerakangerakan Islam yang berorientasi pada kehidupan kaum salaf al s{aleh dengan menyerukan kembali kepada Islam otentik melalui penerapan syariat Islam tetapi dengan pemahaman yang sangat rigit dan tekstualis.4 Gerakan ini cenderung mengedepankan
3
4
38
IAIN Antologi Pendidikan Tinggi Islam. (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPARTEMEN AGAMA RI. 2000), 9 Sebagai lembaga pendidikan yang murni akademis, PTAI telah dibebani tugas untuk tunduk pada aturan akademik terhadap obyek kajian yang dipandang sakral yakni agama. Padahal dalam tataran akademik kajian terhadap sesuatu harus bersifat ilmiah yang mensyaratkan seseorang untuk mengambil jarak terhadap obyek kajian, bersikap imbang, kritis dan terbuka terhadap segala kemungkinan penilaian. Disamping itu kajian keilmuan menghendaki sikap skeptis, mempertanyakan nilainilai dan fikiran-fikiran yang sudah mapan (established) untuk menemukan ide-ide dan kebenaran-kebenaran baru. Lihat: Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), 158. Dapat dibayangkan betapa sulit memadukan kriteria ilmiah ini dengan tuntutan relijius untuk meningkatkan ketaqwaan. Tuntutan ini seringkali harus sampai pada implikasi menyingkirkan hal-hal yang berkaitan dengan sikap kritis. Atau kalaupun sikap kritis itu tetap dipertahankan akan melahirkan gagasan-gagasan yang kurang populer dikalangan masyarakat awam. Gerakan ini sering diidentikkan dengan kelompok puritan karena ciri khas pemikiran kelompok ini menganut absolutisme dan menuntut adanya kejelasan dalam menafsirkan teks, cenderung fanatik dan radikal serta ekstrim. Gerakan ini muncul pada Tahun 1970-an dengan fenomena gerakan kebangkitan Islam dengan mengambil bentuk gerakan puritan yang berorientasi kekuasaan. Menarik untuk
Dyah Nawangsari, Wajah Baru Islam di PTAI Sebuah Wacana Keterbukaan di Lingkungan PTAI
kekerasan dengan aksi-aksi teror serta sikap intoleransi terhadap siapapun yang tidak mengikuti mereka. Akibatnya bermunculan tragedi-tragedi kemanusiaan yang berbalut agama. Hal ini tentu saja memperburuk citra Islam di hadapan pemeluk agama lain terlebih lagi di tengah percaturan global. Bahkan perilakuperilaku tersebut pada dasarnya sangat bertentangan dengan maksud dan tujuan diturunkannya hukum Islam, sebab hukum-hukum Allah pada dasarnya diturunkan untuk menjamin kesejahteraan hidup manusia di dunia maupun di akhirat.5 Menghadapi tantangan tersebut tidak ada pilihan lain dari PTAI selain mengembangkan pola kajian ke-Islaman yang lebih terbuka, toleran, sehingga mampu menjawab tantangan zaman, dan sesuai dengan samangat Islam sebagai Rahmatan li al ‘alamin. B. OPEN MINDED SEBAGAI KENISCAYAAN Dunia selalu bergerak dan berubah. Dinamika dan perubahan itu merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah dan telah menjadi sifat dasar dari segala yang ada di muka bumi, termasuk manusia dan lembaga-lembaga yang ia bangun. Semua lembaga baik keagamaan, negara atau kemasyarakatan tidak ada yang luput dari pengaruh dinamika kehidupan ini. Sebagai lembaga pendidikan PTAI tidak luput dari hukum tersebut. Kalau mampu mengikuti irama perubahan itu maka ia akan survive tetapi kalau lamban sehingga tidak bisa mengejarnya, maka cepat atau lambat lembaga ini tertinggal atau ditinggalkan. Oleh karena itu untuk tetap bisa bertahan, bahkan kalau bisa maju dan terus berkembang, maka mau tidak mau PTAI harus mengadakan perubahan-perubahan yang fundamental untuk mengantisipasi arus besar yang akan melanda pemikiran dunia global maupun regional, terutama
5
dicatat bahwa tahun itu merupakan era titik balik pemerintahan Arab Saudi guna melakukan kampanye Gerakan Wahabi secara sistematis dan agresif ke seluruh dunia dengan tujuan untuk mengubah dunia Islam. Pada tahun 1980-an proses ini menjadi lebih canggih dan menyeluruh melalui penyebaran buku-buku yang menyiratkan agenda Wahhabi. Lihat: Khaled Abou el-Fadhl, Selamatkan Islam dan Muslim Puritan, Terj. Helmi Mustafa, Edisi I, (Jakarta: Serambi, 2007), 3031. Dengan demikian aturan apa pun yang menggantikan keadilan dengan ketidakadilan, kebaikan bersama dengan bencana, kebijaksanaan dengan omong kosong adalah aturan yang tidak termasuk syariah meskipun hal itu diklaim oleh para mufasir. Jasser Audah, “What is Shari’ah”, dalam http: // www.jasserauda.net. (23 Pebruari 2010). 39
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
pemikiran keagamaan. Katerbukaan dalam pemikiran di lingkungan PTAI dengan demikian sudah menjadi kebutuhan agar bisa melahirkan produk-produk pemikiran yang lebih segar dan bisa menjawab tantangan zaman moderen ini.6 Untuk itu diperlukan modernisasi di segala bidang. Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah dan sunatullah (hukum Ilahi) yang haq. Sunatullah sendiri telah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk dapat menjadi moderen manusia harus terlebih dahulu mengerti hukum yang berlaku dalam alam ini. Pemahaman manusia akan hukum-hukum alam akan melahirkan ilmu pengetahuan, sehingga moderen berarti ilmiah, berarti pula rasional dan progresif.7 PTAI sebagai lembaga pendidikan tinggi agama sangat menyadari tentang pentingnya sikap progresif dan terbuka ini, sehingga terjadilah perubahan orientasi dalam kajian keagamaan dari yang semula normatif bergeser menjadi pendekatanpendekatan yang empiris dan historis. Tidak dapat dipungkiri bahwa kajian keislaman yang terjadi selama ini kebanyakan bersifat normatif dan bersifat repititif, selalu mengulang-ulang, sarat dengan literatur-literatur yang berisi komentar, dan sedikit sekali menghasilkan karya yang baru. Ilmu-ilmu keislaman telah menjadi kebal, tidak dapat dikaji ulang, dites, dipertanyakan, dan dibatalkan keabsahannya. Ini semua terjadi karena aspek-
6
7
40
Era keterbukaan adalah suatu era yang memberikan “ventilasi” yang cukup terhadap berbagai pandangan hidup dan berkembang dalam masyarakat pluralistik. Adagiumadagium lama seperti “The King can do no wrong”, atau “right or wrong is my country”, yang terkesan eksklusif dan otoriter akan tergeser oleh budaya kritisinklusif yang belakangan merebak lantaran pengaruh globalisasi budaya dan ilmu lewat jaringan informasi yang tersedia. Lihat: Amin Abdullah, Islamic Study di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 23. Nurkholos Madjid mengartikan sikap rasional ini sebagai upaya memperoleh daya guna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia. Oleh karena manusia—karena keterbatasan kemampuannya—tidak dapat sekaligus mengerti seluruh hukum alam ini melainkan sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu, sehingga menjadi moderen berarti progresif dan dinamis. Jadi tidak dapat bertahan kepada sesuatu yang telah ada (status quo), oleh karena itu diperlukan sifat merombak dan melawan tradisi-tradisi yang terang-terang tidak benar, tidak sesuai dengan kenyataan hukum alam, tidak rasional, dan tidak ilmiah, sekalipun di fihak lain juga ada keharusan menerima dan meneruskan, kemudian mengembangkan warisan generasi sebelumnya yang mengandung nilai-nilai kebenaran. Nurkholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: PT. Mizan Pustaka Ilmu, 2008), 183.
Dyah Nawangsari, Wajah Baru Islam di PTAI Sebuah Wacana Keterbukaan di Lingkungan PTAI
aspek historis-empiris dalam ilmu keislaman sangat dikaburkan bahkan dicampuradukkan dengan aspek-aspek normatif dan kesalehan, bahkan sampai pada anggapan bahwa ilmu-ilmu keislaman sama dengan wahyu itu sendiri.8 Kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut maka akan muncul wajah Islam yang kaku dan senantiasa ketinggalan zaman karena perubahan sosial yang begitu cepat seakan tidak bisa direspon agama. Hal ini sebenarnya tidaklah salah, tetapi kalau usaha pengembangan sewajarnya tidak dilakukan, maka akan mengakibatkan terciptanya krisis kesetiaan kepada agama karena agama dipandang tidak mampu merespon realitas sosial yang senantiasa berubah. Oleh karena itu PTAI menyediakan ruang seluas-luasnya bagi proses pencarian dan pertukaran pandangan yang berbedabeda. Sehingga pendekatan empiris dan historis mulai dikembangkan dalam kajian Islam. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa bangunan pengetahuan keislaman-misalnya hadits, tafsir, fiqh, tasawwuf-pada dasarnya dibentuk dan dipengaruhi oleh masalah-masalah dan tantangan-tantangan yang sesuai dengan konteks masyarakat pada waktu itu. Dengan berdasar kenyataan bahwa problem dan tantangan itu berbeda dari masa-ke masa, maka secara otomatis pengetahuan menjadi selalu terbuka untuk diuji ulang diteliti, direformulasi dan direkonstruksi pada setiap kurun waktu. 9 Bahkan dalam hal ini PTAI terbilang lebih maju karena secara terbuka memasukkan kajian-kajian yang tidak berhubungan secara langsung dengan materi agama, seperti sosiologi, politik, psikologi dan sebagainya, sebab hal ini membuka peluang bagi kemungkinan penggunaan metodologi berbagai disiplin ilmu tersebut untuk mengkajian keislaman. Dapat dikatakan bahwa di lingkungan PTAI telah berusaha diciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ide-ide segar berkenaan dengan pengamalan dan aktualisasi ajaran-ajaran Islam dalam abad moderen ini. Maka tidak heran ketika muncul wacana-wacana baru yang relatif segar sehingga memunculkan wajah Islam yang sedikit berbeda di lingkungan PTAI. C. Beberapa Wacana Baru di PTAI Mimbar akademik yang terbuka di lingkungan PTAI sebagaiman telah diuraikan sebelumnya telah menghasilkan wavana-wacana keagamaan baru yang acapkali berbeda dengan
8 9
Amin Abdullah, Islamic Study……, 50. Ibid, 55. 41
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
pemahaman agama mainstream dan kadang-kadang sangat kontroversial tetapi diam-diam diakui dapat menjawab tantangan zaman. Diantara wacana-wacana itu adalah sekularisasi, pluralisasi, dan liberalisasi, yang saat ini begitu banyak ditentang, padahal para penentang tersebut notabene hanya terjebak pada persoalan-persoalan semantik dan bukan yang substansial. Berikut gambaran singkat dari pemikiran-pemikiran tersebut: 1. Sekularisasi Sekularisasi menjadi wacana yang hangat dibicarakan masyarakat terutama di lingkungan PTAI. Wacana ini sebenarnya sudah lama bergulir di Tanah Air sejak awal tahun 1970-an dengan Nurcholis Madjid sebagai 10 pelopornya. Walau tidak sedikit yang kontra, wacana itu terus berkembang sampai sekarang. Sekularisasi yang dianjurkan oleh Nurkholis ini mengandung arti pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap penyucian yang tidak pada tempatnya, sehingga mengandung makna desakralisasi, yaitu pencopotan ketabuan dan kesakralan dari obyek-obyek yang semestinya tidak tabu dan tidak sakral. Ini berimplikasi pada
10
42
Dalam hal ini Nurkholis telah membedakan difinisi ”sekularisasi” dengan ”sekularisme”. Terminologi sekularisasi dan sekularisme berasal dari kata Latin yaitu saeculum yang berarti abad (age, century, siecle). Sekular berarti seabad misalnya pada kata ”secular trees” yang berarti pohon berumur seabad. Selanjutnya sekular berarti ”bersifat duniawi” atau yang berkenaan dengan hidup sekarang (temporal, wordly). Dalam bahasa Arab kata sekular diterjemahkan menjadi ”alami dan duniawi” (religious, sacred). Kalau kata sekular berarti bersifat duniawi maka sekularisme berarti faham, doktrin atau keadaan menduniawikan yaitu melepaskan hidup dari ikatan-ikatan agama. Dan sekularisasi adalah proses melepaskan hidup dunia dari kontrol agama. Dengan demikian terdapat perbedaan yang sangat jelas antara sekularisme dan sekularisasi. Sekularisme adalah sebuah paham tertutup, statis dan hanya memiliki faham keduniaan artinya kehidupan dunia adalah mutlak dan terakhir, tidak ada lagi kehidupan sesudahnya—sudah barang tentu keyakinan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan agama. Dalam hal ini sekularisme lebih bermakna filosofis. Adapun sekularisasi adalah proses yang dinamis untuk memisahkan sesuatu yang dianggap tidak mendunia (bisa berasal dari dogma-dogma agama), oleh karena itu bermakna sosiologis. Dengan demikian sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan merobah kaum muslimin menjadi kaum sekularis. Tapi dimaksudkan untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya. Lihat: Nurkholis Madjid, Islam Kemodernan ........., 183.
Dyah Nawangsari, Wajah Baru Islam di PTAI Sebuah Wacana Keterbukaan di Lingkungan PTAI
pengalihan sakralisasi dari suatu obyek alam ciptaan (makhluk) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sekularisasi tidak sama dengan sekularisme, sebab yang satu bermakna proses sementara satunya bermakna faham, juga bukan dimaksudkan untuk mengubah kaum muslim menjadi sekular, tetapi untuk menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari syirik dan tahayul. Dengan demikian istilah sekularisasi ini tidak berarti penghapusan nilai-nilai agama, tetapi menumbuhkan semangat keagamaan. Namun demikian terminologi yang digunakan Nurcholis Madjid tersebut di nilai terlalu vulgar dan menimbulkan konotasi radikal, meskipun maknanya berlawan dengan aslinya. Istilah tersebut kemudian menjadi titik kritis (critical point) dalam berbagai tanggapan terhadap gagasan yang dinilai baru tersebut. Jadi sebenarnya akar kontroversi itu hanya berkisar pada masalah semantik (arti sekularisasi itu sendiri). Akibatnya reaksi yang muncul justru melupakan substansi dan semangat empiris yang dikandung. Hal ini dikarenakan dalam sekularisasi dalam kosa kata Bahasa Indonesia terlanjur berkonotasi negatif. Kontroversi ini sangat disadari oleh Nurkholis, sebab cukup sulit untuk menentukan kapan proses sekularisasi dalam makna sosiologisnya berhenti dan berubah menjadi proses penerapan sekularisme filosofis. Argumen ini diperkuat dengan kenyataan bahwa pada masa enligtenment Eropa telah melahirkan proses sekularisasi yang berujung pada sekularisme sebagai sebuah idiologi yang secara khusus anti agama. Terlepas dari kontroversi terhadap wacana ini, bagaimana pun harus difahami semangat dari ide itu bahwa umat Islam bisa maju dan selamat dengan Islam, karena Islam telah memberikan ajaran yang cukup bagi umatnya. Dengan demikian gagasan sekularisasi itu dimaksudkan untuk memberikan dorongan teologis, terutama bagi golongan intelektual agar mampu memberikan respon positif terhadap proses modernisasi dengan bertolak dan mengacu kepada iman Islam, tanpa harus bersikap reaksioner. 2. Pluralisasi Isu pluralitas setua umur manusia dan selamanya akan ada selama kehidupan belum berakhir. Pluralitas pada hakikatnya merupakan realitas kehidupan itu sendiri, yang tidak bisa dihindari atau ditolak. Oleh karena itu keberadaannya harus diakui oleh setiap manusia, sebab kemajemukan adalah fenomena yang tidak bisa dihindari. 43
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
Kemajemukan itu sendiri terdapat dalam berbagai ruang kehidupan termasuk dalam kehidupan beragama. Istilah pluralitas berasal dari Bahasa Inggris ”plural” yang berarti ”jamak atau banyak”. Dengan demikian pluralitas berarti kemajemukan. Dalam hubungannya dengan pluralitas ini diperlukan sikap pluralis yaitu sikap kesadaran akan kemajemukan, adapun prosesnya desebut pluralisasi. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa pluralitas adalah sebuah sunatullah, sehingga pluralisasi pun menjadi niscaya dalam menghadapi ketentuan hukum Allah itu sendiri. Sebab menghadapi realitas yang plural, bukanlah dengan menjauhkan diri dari adanya pluralitas, melainkan dengan mencari cara atau mekanisme untuk menyikapi pluralitas itu. Ide pluralisasi ini sebenarnya bukan barang yang aneh untuk konteks Indonesia yang terdiri atas beragam suku, bangsa, bahasa bahkan agama, sebab asas Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) sudah berurat dan berakar dalam nadi seluruh masyarakat Indonesia. Tetapi ketika pluralisasi itu diterapkan dalam konteks agama, pembahasannya menjadi sedikit rumit. Sebab sudah menjadi kewajaran bahwa agama mengajarkan kepada pemeluknya sikap eksklusif (tertutup) dalam agamanya. 11 Tidak jauh berbeda dengan Islam agama samawi lain pun mengajarkan eksklusivisme terhadap ajaran agamanya.12 Paradigma-paradigma eksklusif tersebut bagaimana pun terdapat dalam Kitab Suci dan sudah menjadi pedoman dalam kehidupan setiap pemeluknya. Teks-teks keagamaan yang eksklusif seperti itu sangat mungkin akan memunculkan sikap-sikap sosial yang eksklusif pula, dan censerung diskriminatif terhadap (umat) agama lain, bahkan terhadap sesama agama yang tidak sefaham dengan dirinya. Oleh karena paradigma eksklusif ini tidak memadai diterapkan dalam konteks masyarakat plural. Pandangan eksklusif cenderung bersikap negatif dan merendahkan agama dan juga orang lain sehingga berujung pada malapetaka bagi kerukunan umat beragama.
11 12
44
Al-Qura-an 3 (Ali Imron): 19, 85 Misalnya dalam Perjanjian Lama ditemukan sejumlah teks yang secara harfiah menggambarkan eksklusivisme agama Yahudi. Bangsa Israel mengaku sebagai bangsa terpilih yang mengungguli bangsa-bangsa lain. Begitu pun dalam Kitab Perjanjian Baru, terdapat beberapa teks yang mengandung cara pandang eksklusif
Dyah Nawangsari, Wajah Baru Islam di PTAI Sebuah Wacana Keterbukaan di Lingkungan PTAI
Guna menghindari dampak eksklusivisme, maka sangat diperlukan paradigma pluralisme sebagai alternatif. Paradigma ini berusaha memunculkan satu kesadaran bahwa agama-agama berada dalam posisi dan kedudukan yang paralel, namun begitu setiap agama memiliki syariat sendiri-sendiri. Dengan demikian perbedaan setiap agama terletak pada perbedaan syariat yang ditempuhnya. Kiranya tidak mungkin syariat bisa ditunggalkan karena setiap syariat memiliki partikularitas sendiri. Syariat itu adalah jalan dan ekspresi, sementara Tuhan adalah tujuannya. Pluralisme beragama tidak identik dengan model beragama secara eklektik yaitu mengambil bagian-bagian tertentu dalam suatu agama dan membuang sebagiannya untuk kemudian mengambil bagian-bagian yang lain dalam agama lain dan membuang bagian yang tidak relevan dari agama yang lain itu. Pluralisme agama juga tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Agamaagama jelas berbeda satu sama lain, sehingga tidak mungkin menjadi sebangun atau persis. Yang dikehendaki dari gagasan pluralisme adalah adanya pengakuan secara aktif terhadap agama lain (the others). Agama lain ada sebagaimana keberadaan agama yang dipeluk diri yang bersangkutan.13 3. Liberalisasi Wacana sekularisasi dan pluralisasi sebenarnya lahir sebagai bentuk semangat pembaruan dalam pemikiran umat Islam. Dalam pembaruan itu sendiri harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-
13
Pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Islam sendiri adalah kata ”generik” yang artinya berserah diri kepada Allah. Karena itu agama yang diridloi oleh Allah adalah agama yang berserah diri kepada Tuhan. Dengan demikian agama-agama yang diajarkan para nabi, termasuk nabi-nabi Yahudi adalah juga Islam, karena inti dari ajarannya adalah berserah diri kepada Allah. Selain itu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak hanya diajarkan oleh agama-agama Timur Tengah. Dalam agama-agama primitif pun terdapat keyakinan kepada Tuhan yang monotheisme, walaupun sering disekutukan dengan tuhan-tuhan yang lain. Lihat: Nurkholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina,1995), 602. 45
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
nilai yang berorientasi ke depan. Nostalgia atau orientasi dan kerinduan masa lampau yang berlebihan harus digantikan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi dalam rangka memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk berfikir dan menyatakan pendapat yang paling berharga. Pemberian kebebasan berfikir (Intelectual freedom) ini didasarkan pada kepercayaan bahwa semua bentuk pemikiran dan ide betapa pun aneh kedengaran di telinga haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Tidak jarang dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya dikira salah atau palsu itu ternyata kemudian benar. Oleh karena itu liberalisasi sebenarnya lebih tepat disebut rasionalisme atau pendekatan falsafati yaitu pemikiran yang sepenuhnya didasarkan pada akal manusia. Dalam kaitannya dengan Islam berarti membebaskan diri dari ikatan teks atau wahyu atau pendekatan tekstual, tapi masih berorientasi pada teks hanya saja dilakukan dengan menggunakan pendekatan lain misalnya tafsir kontekstual dan hermeneutika moderen. Kesemua ini dilakukan dalam upaya membebaskan diri dari otoritarianisme agama, yaitu yang berbentuk ortodoksi sebagai hasil dari konsensuskonsensus besar dalam bidang pemikiran Islam di bidang fiqh, kalam filsafat dan tasawuf yang menghegemoni dan mendominasi keberagamaan umat Islam.14 Selama ini ada anggapan bahwa wacana-wacana itu telah mapan dan mencapai kebenaran akhir (ultimate truth), sehingga ada pandangan bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan berakibat pada sikap taqlid. Dengan liberalisasi dimaksudkan untuk membebaskan diri dari pandangan ortodoksi di atas. Pembebasan atau liberalisasi ini terjadi di dua wilayah yakni: pertama wilayah iman dan wilayah aqidah. Iman dan aqidah adalah wilayah individu yang memiliki otonomi. Pengembalian iman dan aqidah kepada individu menciptakan kebebasan beragama. Pengembalian iman kepada otoritas
14
46
Tentang otoritarianisme ini lihat: Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terjemahan: R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi 2004). Di dalam buku ini El Fadhl manganggap bahwa otoritarianisme sebagai tindakan yang melampaui batas-batas dan mengambil alih posisi Tuhan, bersikap arogan atas penafsirannya dengan menyalahkan penafsiran yang berbeda dan menutup makna yang sebenarnya terbuka.
Dyah Nawangsari, Wajah Baru Islam di PTAI Sebuah Wacana Keterbukaan di Lingkungan PTAI
individu yang otonom inilah yang dijadikan dasar pemikiran dalam sekularisasi, dimana agama, khususnya sektor aqidah dan ibadah menjadi masalah individu. Sedangkan masalah negara dan masyarakat adalah wilayah publik yang harus dibahas secara rasional dan demokratis. Kedua wilayah pemikiran. Liberalisasi pemikiran Islam menghadapi isu-isu kontemporer misalnya demokrasi, hak-hak asasi manusia, kesetaraan gender, kesetaraan agam-agama dan hubungan antar agama, tidak lagi terikat pada paradigma lama dan tidak terikat pada teks yang tidak berubah dan tidak bisa diubah, melainkan percaya pada kemampuan akal budi manusia anugerah Tuhan dan merumuskan solusi terhadap masalah-masalah kontemporer. D. Penutup Tiga wacana di atas adalah beberapa contoh pemikiran kontemporer yang banyak berkembang di lingkungan PTAI. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada beberapa kalangan yang tidak sependapat dengan wacana-wacana di atas. Tidak kurang MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai sebuah lembaga yang memegang ”otoritas” Fiqh di Tanah Air—walau tidak mewakili semua masyarakat—sampai harus mengeluarkan fatwa pengharaman atas wacana-wacana di atas. Fatwa Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama tersebut secara tegas mengharamkan ketiga wacana tersebut. Lebih tidak ramah lagi PTAI dianggap sebagai sarang ”sipilis” (bentuk akronim dari sekularisasi, pluralisasi, dan liberalisasi), sebuah ungkapan yang dikonotasikan dengan penyakit kotor yang membahayakan manusia. Terlepas dari latar belakang dan tujuan dari dikeluarkannya Fatwa MUI, serta ungkapan pejoratif tersebut, PTAI tetap kukuh mempertahankan semangat intelektual dalam Islam. Dengan semangat intelektual ini Islam tidak lagi dijadikan sebagai pemersatu emosional atau alat pengerahan masa sebagaimana ketika menjadi sebuah ideologi, namun lebih diarahkan kepada pengembangan wacana dan dialog untuk menemukan kebenaran yang sebenarnya dalam rangka menyebarkan rahmat bagi sekalian alam.15 PTAI dipandang berperan dalam dinamika perkembangan wacana intelektual
15
Dadi Darmadi, IAIN dalam Wacana Intelektual Islam Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPARTEMEN AGAMA RI, 2000), 339. 47
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
Islam di Indonesia karena pendekatannya terhadap Islam yang khas ini. PTAI selama ini lebih menekankan pemaknaan dan pemahaman yang luas terhadap Islam (broad definition and understanding of Islam). Dengan demikian akan muncul wajah Islam yang lebih ramah, toleran dan mampu berdialog dalam parcaturan dunia global. Wa Allah a’lam bi al-sawab
48
Dyah Nawangsari, Wajah Baru Islam di PTAI Sebuah Wacana Keterbukaan di Lingkungan PTAI
DAFTAR BACAAN Abdullah, Amin. Islamic Study di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Audah,
Jasser. “What is Shari’ah”, dalam www.jasserauda.net. (23 Pebruari 2010).
http:
//
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002. Darmadi, Dadi. IAIN dalam Wacana Intelektual Islam Indonesia. Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPARTEMEN AGAMA RI, 2000. El Fadl, Khaled M. Abou. Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. terjemahan: R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Serambi, 2004. ________________. Selamatkan Islam dan Muslim Purita. Terj. Helmi Mustafa. Edisi I. Jakarta: Serambi, 2007. Hidayat, Komarudin. Problem & Prospek IAIN Antologi Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPARTEMEN AGAMA RI, 2000. Madjid, Nurkholis., Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta: Paramadina,1995. ________________. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: PT. Mizan Pustaka Ilmu, 2008.
49
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
50