Volume 7 No. 1, Juli 2013
Halaman Perkembangan dan Strategi Percepatan Pemetaan Sumberdaya Tanah di Indonesia Sukarman dan Sofyan Ritung .....................................................................................................................
1
Prospek dan Tantangan Pengembangan Biofertilizer untuk Perbaikan Kesuburan Tanah Subowo, Jati Purwani, dan Sri Rochayati ...............................................................................................
15
Residu Jerami Padi untuk Meningkatkan Produktivitas Tanah Sulfat Masam Berkelanjutan Ani Susilawati dan Dedi Nursyamsi .........................................................................................................
27
Peran Ligan Organik terhadap Pembentukan Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam Wahida Annisa dan Eko Hanudin .............................................................................................................
37
Karakteristik dan Potensi Lahan Sub Optimal untuk Pengembangan Pertanian di Indonesia Anny Mulyani dan Muhrizal Sarwani .......................................................................................................
47
JSDL
Vol. 7
No. 1
Hal 1-58
Bogor, Juli 2013
ISSN 1907-0799
ISSN 1907-0799
Jurnal SUMBERDAYA LAHAN Indonesian Journal of Land Resources Volume 7 Nomor 1, Juli 2013 Terakreditasi LIPI No. 518/AU 2/P2MI-LIPI/04/2013 Ketua pengarah: Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Ketua penyunting: Drs. Wahyunto, MSc (Inderaja dan Pemetaan Sumberdaya Lahan, Badan Litbang Pertanian) Anggota penyunting: Dr. Sukristiyonubowo (Kesuburan Tanah, Badan Litbang Pertanian) Dr. Umi Haryati (Konservasi Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian) Dr. I G. Putu Wigena (Konservasi DAS dan Lahan Basah, Badan Litbang Pertanian) Dr. Muhammad Noor (Lahan Rawa, Gambut, dan Lahan Sub Optimal, Badan Litbang Pertanian) Dr. Asep Nugraha (Lingkungan Pertanian dan Kimia Tanah, Badan Litbang Pertanian) Dr. Haris Syahbuddin (Agrometeorologi dan Hidrologi, Badan Litbang Pertanian) Penyunting pelaksana: Drs. Widhya Adhy Wahid Noegroho Mitra Bestari: Prof. Dr. A. Karim Makarim (Fisiologi Tanaman, Badan Litbang Pertanian) Prof. Dr. Aris Poniman (Geo Informasi Spasial dan Inderaja, Badan Informasi Geospasial) Prof. Dr. Santun R.P. Sitorus (Evaluasi Lahan, Institut Pertanian Bogor) Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono (Konservasi Tanah dan Air, Pengelolaan DAS, Institut Pertanian Bogor) Prof. Dr. Aris Tri Wahyudi (Mikrobiologi, Institut Pertanian Bogor) Dr. M. Rokhis Komaruddin (Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) Dr. Suria Darma Tarigan (Sumberdaya Lahan, Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor) Prof. Dr. Azwar Maas (Pedologi, Universitas Gajah Mada) Dr. Ahmad Kurnain (Kimia dan Kesuburan Tanah, Universitas Lambung Mangkurat) Prof. Dr. Didi Ardi S. (Kesuburan Tanah, Badan Litbang Pertanian) Dr. Sri Rochayati (Kesuburan Tanah, Badan Litbang Pertanian) Dr. Ai Dariah (Konservasi Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian) Dr. Eleonora Runtunuwu (Agroklimat dan Hidrologi, Badan Litbang Pertanian) Dr. Kusumo Nugroho (Sumberdaya Lahan, Badan Litbang Pertanian) Dr. Markus Anda (Genesis dan Klasifikasi Tanah, Badan Litbang Pertanian) Penerbit: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Alamat Redaksi: Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114, Telp. (0251) 8323012, Fax. (0251) 8311256, Email:
[email protected] http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id Frekuensi terbit: Dua kali per tahun (Juli dan Desember)
2
Pengantar Pembaca yang budiman, tampilan Jurnal Sumberdaya Lahan mulai Volume 7 Nomor 1 Tahun 2013 ini mengalami sedikit pembaharuan baik pada disain sampul maupun pada isi jurnal. Pembaruan ini selain untuk menambah daya tarik jurnal, juga diharapkan memberi kenyamanan bagi pembaca dengan pemilihan huruf yang tepat dan sesuai. Jurnal Sumberdaya Lahan Volume 7 Nomor 1 Tahun 2013 ini menyajikan tulisan yang membahas aspek strategi percepatan pemetaan sumberdaya tanah di Indonesia, prospek dan tantangan pengembangan biofertilizer (pupuk hayati) untuk perbaikan kesuburan tanah, pemanfaatan residu jerami padi untuk meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam, peran ligan organik terhadap pembentukan oksida besi di tanah sulfat masam, serta karakteristik dan potensi lahan sub optimal untuk pengembangan pertanian. Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang telah memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu dan teknologi di bidang sumberdaya lahan dan yang terkait. Redaksi juga mengucapkan banyak terima kasih kepada para pakar (Mitra Bestari) yang telah meluangkan waktunya untuk menilai artikel yang dimuat pada edisi ini. Redaksi mengundang para praktisi, akademisi, dan peneliti di bidang ilmu sumberdaya lahan dan yang terkait untuk mempublikasikan karya tulisnya dalam bentuk review hasil penelitian. Kontribusi dari para pembaca dengan mengirimkan tulisan, saran dan komentar sangat diharapkan. Sebagai media komunikasi ilmiah dalam bidang sumberdaya lahan, jurnal ini berperan dalam menyebarluaskan berbagai hasil penelitian guna meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya sumberdaya lahan bagi keberlanjutan produktivitas tanah dan tanaman. Akhir kata, redaksi berharap semoga artikel ilmiah yang dimuat dalam jurnal ini memberi inspirasi bagi para pembaca untuk berperan aktif dalam rangka pengembangan ilmu dan teknologi terutama di bidang sumberdaya lahan. Bogor, Juli 2013
Redaksi
PEDOMAN BAGI PENULIS
kebenarannya atau yang dukungan disiplin lain.
RUANG LINGKUP
Kesimpulan dan Saran merupakan intisari bahasan yang dapat berisi himbauan tergantung dari materi bahasan.
Jurnal sumberdaya lahan terbit dua kali dalam setahun, memuat makalah tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian yang berupa olah pikir analisis dan sintesis sejumlah hasil penelitian yang telah diterbitkan yang berkaitan dengan aspek lahan/tanah, air, iklim, dan lingkungan. Makalah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dan belum pernah diterbitkan atau tidak sedang dalam penyuntingan di publikasi lainnya. Jurnal ini mempertahankan standar baku yang ketat tentang isi dan penyajian. PENGAJUAN NASKAH Naskah diketik pada kertas ukuran A4, jarak ketikan dua spasi dengan huruf Times New Roman 12 point dan maksimum 20 halaman termasuk gambar dan tabel. Jarak ketikan dari tepi kiri, kanan, atas dan bawah 3 cm. Naskah disusun dalam urutan sebagai berikut: judul (dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris), nama penulis dengan alamat instansinya, abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (200-300 kata), kata kunci (5-7 kata) dalam bahasa Indonesia dan Inggris, pendahuluan, topik-topik yang dibahas, kesimpulan/penutup, dan daftar pustaka. Naskah (print out dan file) dikirim ke Editor di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No 12, Cimanggu, Bogor, Indonesia atau melalui surat elektronik ke Email:
[email protected] PENYIAPAN NASKAH Judul Naskah singkat, faktual, informatif, dan tidak lebih dari 15 kata. Judul tulisan merupakan suatu ungkapan yang dapat menggambarkan fokus masalah yang dibahas dalam tulisan tersebut dan ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tidak lebih dari 15 kata. Nama dan instansi tempat kerja penulis dicantumkan di bawah judul. Abstrak merangkum dan menjelaskan secara singkat seluruh isi naskah dalam satu paragraf tidak lebih 300 kata. Pendahuluan berisi pengantar atau paparan tentang latar belakang topik, ruang lingkup bahasan dengan meninjau secara singkat literatur, dan secara jelas menyatakan tujuan dan pentingnya review. Topik bahasan disusun dengan urutan logika secara sistematis, termasuk sintesis dan analisis dan sedapat mungkin mengggunakan gambar dan tabel pada bagian hasil. Misalnya, pengungkapan status perkembangan ilmu dan teknologi, penjelasan tentang perbedaan pendapat, pengungkapan konsepsi baru, pengungkapan pemecahan masalah untuk bahan kebijakan, dan pengungkapan aspek yang memerlukan pembuktian
perlu
memperoleh
Ucapan Terima Kasih (bila ada) disajikan secara singkat (kurang dari 40 kata) Lampiran dapat disajikan (jika perlu). Daftar Pustaka berisi rujukan (sitiran) terbaru dan mutakhir yaitu rujukan yang terbit dalam 5-10 tahun terakhir. Pustaka primer diharapkan lebih banyak daripada pustaka sekunder. Jumlah rujukan tergantung pada luasnya topik atau banyaknya penelitian dari topik yang dibahas dan disarankan tidak kurang dari 30 rujukan yang relevan agar topik yang dibahas terdiri atas hasil penelitian yang cukup banyak. Rujukan dalam teks menggunakan sistem namatahun dalam dua bentuk, Subandi (1990) atau (Subandi 1990). Jika lebih dari satu rujukan, rujukan harus disebutkan bersamaan dan ditulis dalam urutan tanggal; contohnya, (Partohardjono and Adiningsih 1991; Widjaja-Adhi 1995; Muljadi 1997). Jika lebih dari dua penulis, ditulis nama pertama dan diikuti et al. Singkatan et al. TIDAK PERNAH digunakan dalam Daftar Pustaka. Semua rujukan harus disajikan dalam Daftar Pustaka. Berikut ini adalah contoh format acuan dasar: Jurnal Akhter, M. and C.H. Sneller. 1996. Yield and yield components of early maturing soybean genotypes in the mid-south. Crop Sci. 36: 877-882. Buku Bosc, A.N., S.N. Ghosh, C.T. Yang, and A. Mitra. 1991. Coastal Aquaculture Engineering. Oxford and IBH Pub. Co. Prt. Ltd., New Delhi. 365 pp. Abstrak Rusmana I., R.S. Hadioetomo 1991. Bacillus thuringiensis Berl. dari peternakan ulat sutera dan toksisitasnya. Abstrak Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Bogor, 2-3 Des 1991, A-26, hlm 26. Artikel bagian dari Buku/ Bunga Rampai Powers, D.A. and P.M. Schulte.1996. A molecular approach to selectionist/neutralist controversy. p. 327-352. In J.D. Ferraris and S.R. Palumbi (Eds.) Molecular Zoology: Advances, Strategies, and Protocols. Wiley-Liss, Inc.,Wilmington, Delaware (DE). Skripsi/Disertasi/Tesis Simpson, B.K. 1984. Isolation, Characterization, and Some Application of Tripsin from Greenland Cod (Gadus morhua). PhD Thesis. Memorial University of Newfoundland, St. John's, Newfoundland, Canada. 179 pp. 57
Prosiding Tangendjaja, B. and E. Wina. 2000. Tannins and ruminant production in Indonesia. p. 40-43. In J.D. Brooker (Ed.) Tannins in Livestock and Human Nutrition. Proceedings of an International Workshop, Adelaide, Australia, 31 May-2 June, 1999. ACIAR Proceedings no. 92. Pertemuan Ilmiah/Workshop Chin, L.J., L.M. Tan, and K. Wegleitner. 2007. Occurrence of mycotoxins in feed samples from Asia. A continuation of the Bromin mycotoxin survey program. Paper presented in 15th Annual ASA-IM Southeast Asian Feed Technology and Nutrition Workshop, 27-30 May 2007,Bali-Indonesia. Makalah kebijakan/Kertas Kerja Heidhues, P. and B. Kassogi. 2005. The Impact of Consumer Loss Aversion on Pricing. Centre for Economic Policy Research Discussion Paper 4849. Informasi dari Internet Hawk, A. 2004. Mycotoxins. Proc. Grain Elevator and Processing Society (GEAPS). http://www.geaps. com/proceedings/2004/Hawk.ctm. (1 July 2008). Personal Komunikasi (Private correspondence) Tidak perlu disebutkan dalam pustaka tetapi harus disebutkan dalam naskah misalnya: (Z.Harahap, pers. com.). Tabel diberi judul singkat dan jelas dengan memberi catatan bawah termasuk sumbernya Gambar dan Grafik dibuat menggunakan tinta hitam pada kertas putih. Semua gambar disesuaikan dengan ukuran jurnal dan proporsional tanpa kehilangan detil. Gambar yang dibuat dengan microsoft office dapat dikirim dalam file utuh atau yang sudah dikonversi ke dalam bentuk file .tif. Setiap gambar diberi judul, diikuti oleh deskripsi singkat. Simbol-simbol singkatan yang terdapat dalam gambar harus dilengkapi dengan penjelasan. Setiap gambar dinamai dengan nama penulis, judul tulisan, dan nomor gambar. Foto yang dikirimkan harus memiliki kualitas baik dengan tingkat ketajaman yang cukup. Lain-lain: Redaksi hanya menerima naskah yang belum pernah dipublikasikan dan tidak dalam proses penerbitan pada publikasi lain. Dewan Redaksi melakukan koreksi dan perbaikan serta mengubah format sesuai dengan sifat Review yang informatif tanpa mengubah arti dari naskah. Dewan Redaksi akan mengembalikan naskah kepada penulis untuk diperbaiki sesuai dengan hasil koreksi redaksi. Naskah yang tidak dapat diterima dengan alasan sesuai dengan keputusan rapat Dewan Redaksi akan diberitahukan kepada penulis melalui surat.
58
ISSN 1907-0799 Makalah REVIEW
Perkembangan dan Strategi Percepatan Pemetaan Sumberdaya Tanah di Indonesia Development and Acceleration Strategy of Soil Resources Mapping In Indonesia 1Sukarman
dan Sofyan Ritung
Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114, e-mail:
[email protected] 1
Diterima 22 Februari 2013; Disetujui dimuat 4 April 2013 Abstrak. Pembangunan pertanian Indonesia yang sangat pesat, menuntut penyediaan data/informasi sumberdaya tanah yang semakin banyak dan cepat. Berkaitan dengan hal tersebut diperlukan percepatan penyediaan data/informasi sumberdaya tanah pada tingkat semi detail atau lebih besar, melalui pengembangan metodologi yang lebih cepat, efektif, dan efisien. Pemetaan tanah di Indonesia pada berbagai tingkat pemetaan atau skala, telah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir baik yang menyangkut identifikasi dan karakterisasi tanah maupun dalam teknologi delineasi satuan peta. Strategi yang dapat digunakan untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas pemetaan tanah di Indonesia adalah sebagai berikut: (a) Penggunaan peralatan yang mutakhir, (b) Pemetaan tanah semi detail sistematis menggunakan metode pemetaan tanah digital (digital soil mapping) dibantu dengan teknik penginderaan jauh yang dipadukan dengan digital elevation model, (c) Pemetaan tanah detail yang dilakukan pada daerah yang tidak mempunyai data sebelumnya dengan menggunakan grid sistem fleksibel, dan (d) Penggunaan metode pemetaan dengan memanfaatkan data base tanah sebagai data warisan. Kata kunci : Percepatan / Pemetaan Tanah / Indonesia Abstract. Rapid development of Indonesia's agricultural sector requires the provision of data/information on agricultural land resources more quickly. In relation to that, it requires the acceleration of provision of data/information on land resources at semi detail level or greater through the development of methodologies that are faster, effectively and efficiently. Mapping of land resources in Indonesia at various levels of mapping or scale have followed the development of cutting-edge science and technology concerning both the identification and characterization of land resources and the technology of mapping unit delineation. Strategies that can be used to accelerate and improve the quality of soil mapping in Indonesia are as follows: (a) the use of sophisticated equipment, (b) semi-detailed soil mapping using a systematic method of digital soil mapping assisted by remote sensing techniques combined with DEM, (c) detailed soil mapping in the area which does not has any previous data using a flexible grid system, and (d) the use of the mapping methods by using database as legacy data. Keywords : Acceleration / Soil Mapping / Indonesia
PENDAHULUAN
S
umberdaya tanah merupakan sumberdaya alam yang semakin terbatas (finite) namun sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia. Selain untuk pertanian, sumberdaya tanah banyak dibutuhkan untuk berbagai kepentingan termasuk untuk pengembangan/pembangunan non pertanian. Pada sektor pertanian khususnya untuk peningkatan produksi, permasalahan sumberdaya tanah dapat dikaitkan dengan tujuan untuk intensifikasi atau peningkatan produktivitas dan ekstensifikasi atau perluasan areal. Permasalahan tersebut dapat terjadi secara terpisah maupun secara bersama-sama. Dalam program intensifikasi atau peningkatan produktivitas, Las et al. (2006) menyatakan bahwa
permasalahan sumberdaya tanah yang dapat mengancam keberhasilan pembangunan sektor pertanian khususnya yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas adalah: (1) stagnasi dan pelandaian produktivitas akibat kendala teknologi dan input produksi, (2) instabilitas produksi akibat serangan hama penyakit dan cekaman iklim, (3) penurunan produktivitas akibat degradasi sumberdaya tanah dan air, serta penurunan kualitas lingkungan. Berbagai permasalahan tersebut di atas bersifat dinamik dan kompleks. Kegiatan monitoring perubahan karakter sumberdaya tanah dalam kaitannya dengan sifat tanah, iklim, dan air perlu dilakukan secara rutin. Menurut Sulaeman (2011), monitoring terhadap perubahan sifat-sifat tanah dalam kaitannya dengan aneka fungsi tanah perlu dilakukan secara
1
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 7 No. 1 - 2013
temporal, spasial dan vertikal. Monitoring temporal memantau dinamika perubahan sifat tanah berdasarkan waktu; monitoring spasial memantau dinamika perubahan hara berdasarkan keragaman landskap dan monitoring vertikal memantau dinamika sifat tanah berdasarkan kedalaman tanah. Upaya sektor pertanian untuk perluasan areal dihadapkan kepada terbatasnya tanah yang sesuai untuk pertanian dan persaingan penggunaan dengan bidang non pertanian. Tanah subur umumnya terletak di sekitar gunung berapi, baik di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara dan Sulawesi, namun hampir semua tanah tersebut sudah digunakan untuk usaha pertanian maupun non pertanian. Selain itu, daerah yang mempunyai tanah yang subur, umumnya dihuni oleh penduduk yang sangat padat, sehingga tanah yang dapat digunakan untuk pertanian per kepala keluarga semakin sempit. Hal tersebut semakin dipersempit dengan semakin berkembangnya pemukiman, dan sarana serta prasarana penunjang lainnya. Pengembangan sarana transportasi (darat dan udara), serta fasilitas umum lainnya sangat banyak menggunakan tanah-tanah subur yang ada terutama di Pulau Jawa. Tanah-tanah yang tidak subur atau marjinal yang sebelumnya tidak banyak digunakan untuk kegiatan pertanian atau diterlantarkan, sekarang sebagian besar sudah dimanfaatkan untuk pertanian. Untuk mengejar produktivitas yang tinggi sentuhan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman menjadi syarat utama yang perlu dilakukan. Pemilihan komoditas pertanian yang sesuai pada tanah marjinal tetapi mempunyai nilai ekonomis tinggi (kelapa sawit dan karet) sangat mendorong dimanfaatkan tanah marjinal menjadi tanah pertanian khususnya perkebunan. Tanah-tanah ini sekarang menjadi "rebutan" untuk pembangunan dan pengembang-an berbagai sektor (pertanian, kehutanan, pertambangan, dan perhubungan), serta pembangunan sarana dan prasarana lainnya. Berhubung sumberdaya tanah diperlukan oleh berbagai kepentingan, maka diperlukan perencanaan tataguna lahan yang mempertimbangkan berbagai aspek yang mencakup aspek sumberdaya tanah, sumberdaya genetik, dan sumberdaya iklim dan air. Semua aspek tersebut harus diintegrasikan dengan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidup sehingga dapat memfasilitasi berbagai konflik penggunaan lahan yang pada akhirnya dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya tanah (Kasryno dan Soeparno 2011). Perencanaan penatagunaan lahan
2
perlu didasarkan pada kemampuan atau kesesuaian lahannya. Kemampuan/ kesesuaian lahan tersebut harus didasarkan pada data sumberdaya tanah yang rasional dan handal (reliable), yaitu data yang baru dan akurat. Salah satu bentuk data dan informasi sumberdaya tanah adalah peta tanah. Peta ini dihasilkan melalui inventarisasi sumberdaya tanah yang dikenal sebagai survei dan pemetaan tanah. Cambule et al. (2013) mengatakan bahwa pengelolaan tanah yang efektif memerlukan pengetahuan tentang data dan informasi tanah serta pola penyebarannya secara spasial dalam suatu landskap, sehingga keputusan penatagunaan lahan dapat dipilih secara tepat, cepat dan efisien. Pada masa lampau data dan informasi sumberdaya tanah diperoleh melalui survei dan pemetaan tanah yang pelaksanaannya memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang mahal. Hal ini terjadi karena metode pemetaan tanah lebih mengutamakan pengamatan di lapangan daripada analisis secara deskwork, sehingga dilakukan melalui penjelajahan pada seluruh daerah yang dipetakan dan memerlukan jumlah pemetaan tanah yang cukup banyak. Masalah utama penyediaan data sumberdaya tanah di Indonesia adalah bahwa peta tanah pada tingkat semi detail atau lebih besar, baru selesai kurang dari 20%, sebagian besar yang belum dipetakan terutama di kawasan timur Indonesia yang mempunyai potensi yang cukup besar untuk pengembangan pertanian. Selain itu, tenaga pelaksana peneliti maupun teknisi semakin terbatas karena banyak yang sudah pensiun. Di sisi lain, penerimaan pegawai yang mempunyai keahlian di bidang survei dan pemetaan tanah sulit dilakukan karena masalah kebijakan pemerintah dalam penerimaan pegawai negeri yang sangat dibatasi. Karena tuntutan pembangunan pertanian yang sangat pesat, tuntutan penyediaan data/informasi sumberdaya tanah pertanian semakin banyak dan cepat. Berkaitan dengan hal tersebut maka diperlukan percepatan penyediaan data/informasi sumberdaya tanah pada tingkat semi detail atau lebih besar, melalui pengembangan metodologi yang lebih cepat, efektif dan efisien berdasarkan ketersediaan sumberdaya yang ada.
PETA TANAH DAN PETA SATUAN LAHAN Peta tanah adalah peta yang menggambarkan penyebaran jenis-jenis tanah di suatu daerah. Pada peta ini terdapat legenda yang secara singkat menerangkan satuan tanah dan faktor-faktor lingkungannya dari masing-masing satuan peta tanah, serta dilengkapi
Sukarman dan Sofyan Ritung: Perkembangan dan Strategi Percepatan Pemetaan
dengan buku laporan yang memuat uraian-uraian yang lebih lengkap. Pada dasarnya peta tanah dibuat untuk tujuan pertanian maupun non pertanian seperti dalam bidang perekayasaan dan pengembangan daerah rekreasi (Hardjowigeno 1995). Peta tanah dibuat untuk tujuan tertentu, sehingga peta yang dihasilkan dibuat pada skala peta tertentu. Semakin detil skala peta, maka data/informasi yang disajikan semakin rinci. Secara spasial penyebaran dari masing-masing satuan peta tanah yang digambarkan juga semakin rinci menurut ukuran luasnya. Kerincian dari data/informasi yang dihasilkan sangat ditentukan oleh intensitas pengamatan di lapangan dan skala peta. Atas dasar tersebut, Soekardi et al. (1989) telah membagi jenis peta tanah di Indonesia yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (nama pada waktu itu) atau Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian (nama sekarang) ke dalam tujuh jenis peta tanah seperti yang tersaji dalam Tabel 1. Beberapa contoh jenis peta tanah disajikan dalam Gambar 1-3. Jenis peta-peta tersebut ditentukan oleh peta dasar yang digunakan pada saat operasional lapangan, dan didasarkan pada berapa kerapatan pengamatan tanah per satuan luas atau intensitas pengamatannya. Cara penempatan pengamatan tanah dapat dilakukan secara grid sistematis maupun grid fleksibel dengan ketentuan harus memenuhi syarat kerapatan minimum untuk setiap jenis peta yang direncanakan. Dasar pembeda utama yang digunakan dalam delineasi satuan peta tanah adalah unsur satuan tanah yang terdiri atas klasifikasi tanahnya dan sifat-sifat tanah lainnya. Delineasi satuan peta tanah dilakukan secara manual dari peta topografi atau interpretasi dari potret udara dengan bantuan peta geologi dan peta iklim.
Tabel 1. Jenis peta tanah dan satuan peta tanah di Indonesia Table 1. Level of soil map and soil map unit in Indonesia Jenis peta
Skala
Satuan peta
Super Detail Detil Semi detil Tinjau Mendalam Tinjau Eksplorasi Bagan
1: 5.000 1: 5.000 - 10.000 1: 25.000 - 50.000 1: 50.000 - 100.000 1: 100.000 - 500.000 1: 1.000.000 - 2.500.000 ≤ 1: 2.500.000
Seri dan fase (lereng,tekstur lapisan atas) Seri dan fase (lereng, tekstur lapisan atas) Family/seri, bentuk wilayah (fase), bahan induk Subgroup, bentuk wilayah, fisiografi, bahan induk Great group, bentuk wilayah, fisiografi, bahan induk Ordo, bentuk wilayah, bahan induk Ordo
Sumber: Soekardi et al. (1989)
Sumber : Peta Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:2.500.000 (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 2000)
Gambar 1. Peta Tanah Eksplorasi Indonesia Figure 1.
Exploration Soil Map of Indonesia
3
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 7 No. 1 - 2013
Gambar 2. Peta Tanah Tinjau, Provinsi Jawa Timur Figure 2.
Reconnaissance Soil Map, East Java Province
Gambar 3. Peta Tanah Semi Detail Kecamatan Trienggading, Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh Figure 3.
Semi Detail Soil Map of Trienggading District, Pidie Jaya Regency, Aceh Province
Delineasi merupakan suatu bagian dari proses pembuatan peta, yaitu kegiatan yang berhubungan dengan penarikan batas satuan-satuan peta. Oleh karena itu, masalah yang dibicarakan meliputi aspek pembentukan satuan peta tanah yang dihubungkan dengan sistem klasifikasi tanah. Delineasi satuan peta tanah merupakan hal yang cukup sulit, karena
4
perbedaan tanah di lapangan jarang dijumpai dalam batas-batas yang tegas dan jelas tetapi berangsur melalui suatu peralihan yang lebar. Metode delineasi yang digunakan dalam pemetaan tergantung dari metode pemetaan yang digunakan dan jenis peta tanah (skala peta) yang dibuat. Dalam pemetaan tanah detail sampai semi
Sukarman dan Sofyan Ritung: Perkembangan dan Strategi Percepatan Pemetaan
detail metode delineasi satuan peta tanah umumnya dilakukan atas dasar perbedaan hasil klasifikasi setiap pengamatan atau kelompok hasil pengamatan. Garis batas antar satuan peta dibuat diantara dua titik pengamatan yang mempunyai klasifikasi berbeda. Dalam pemetaan tanah detail, delineasi satuan peta tanah yang benar dilakukan di lapangan berdasarkan sifat-sifat tanah pada tingkat klasifikasi yang digunakan, dan juga faktor lingkungannya. Garis batas antar satuan peta tanah ditarik dengan memperhatikan berbagai faktor yang terlihat di lapangan yang diperkirakan berpengaruh terhadap proses pembentukan tanah selain sifat-sifat tanahnya itu sendiri, misalnya perubahan kelerengan, penggunaan lahan, atau vegetasi. Oleh karena itu, garis batas yang ditarik di antara dua titik pengamatan yang berbeda klasifikasinya tidak mesti harus ditengah-tengah. Sementara itu, dalam pemetaan semi detail delineasi dilakukan dari peta topografi atau potret udara yang didukung oleh peta geologi atau peta litologi dan peta iklim. Untuk mempercepat kegiatan pemetaan di lapangan agar lebih efisien dan ekonomis, maka sejak tahun 1977 melalui kerjasama FAO dan Lembaga Penelitian Tanah (sekarang BBSDLP) telah dimulai pemetaan dengan pendekatan land unit untuk pemetaan sumberdaya lahan di DAS Cimanuk skala 1:100.000 (Dent at al. 1977). Pendekatan yang sama dilakukan di DAS Solo Bagian Atas pada skala 1:25.000 tahun 1980 dan DAS Sekampung skala 1:100.000 tahun 1981 untuk Survei dan Pemetaan Sumberdaya Lahan untuk Perencanaan Penggunaan Lahan (Kips et al. 1981). Kedua kegiatan tersebut menggunakan land unit sebagai wadah satuan peta yang berisi satuan landform berdasarkan Catalogue of Landform for Indonesia (Desaunettes 1977). Kemudian aplikasinya pada pemetaan tanah tinjau di Sulawesi Tenggara I dan II (tahun 1982 dan 1983) serta Sumatera Barat I dan II (tahun 1982 dan 1983). Pada pemetaan sumberdaya lahan di Seluruh Sumatera melalui LREP-I Project, morfologi bentang alam atau landskap (landscape) dipilih menjadi kerangka dasar dalam penyusunan satuan peta tanah (Hidayat dan Darul 1991). Satuan peta tanah disusun berdasarkan pada morfologi landskap melalui pendekatan satuan lahan (land unit). Satuan lahan merupakan suatu tingkatan kategori yang tetap dalam suatu hierarki geomorfologi (Buurman and Balsem 1990). Oleh karena itu, peta yang dihasilkan tidak disebut sebagai Peta Tanah tetapi Peta Satuan Lahan
Gambar 4. Peta Satuan Lahan dan Tanah daerah Takengon, Provinsi Aceh Figure 4.
Land Unit and Soil Map of Takengon area, Aceh Province
dan Tanah. Unsur-unsur penyusun satuan peta ini adalah landform, litologi, bentuk wilayah/lereng, tingkat torehan, satuan tanah dan keterangan tambahan berupa elevasi. Satuan tanah yang digunakan adalah sistem klasifikasi Taksonomi Tanah pada kategori Great group. Pemetaan Tanah Tinjau di Sulawesi Tenggara yang dilakukan oleh Marsoedi (1981) menggunakan pendekatan land unit yang dianalisis dari citra landsat MSS untuk delineasi satuan petanya. Hal yang serupa juga telah dilakukan oleh Wahyunto et al. (1988) dalam pemetaan tanah tinjau di daerah SesayapSebakung, Kalimantan Timur dan oleh Deri et al. (1988) di Kotabumi Lampung. Demikian juga kegiatan pemetaan tanah tinjau di Sumatera juga menggunakan pendekatan demikian. Gambar 4 merupakan salah satu contoh Peta Sumberdaya Lahan dan Tanah hasil pemetaan dengan pendekatan land unit.
PERKEMBANGAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI UNTUK PEMETAAN TANAH Untuk menunjang kelancaran pemetaan tanah, baik untuk tujuan identifikasi, karakterisasi sifat-sifat tanah serta klasifikasinya maupun untuk tujuan penggambaran penyebaran secara spasial (delineasi) satuan peta selalu memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan perkembangan zaman.
5
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 7 No. 1 - 2013
Gambar 5. Buku pedoman survei dan pengamatan tanah dari USDA (kiri) dan Balai Penelitian Tanah (kanan) yang saat ini digunakan dalam identifikasi tanah di lapangan Figure 5.
Manual forf survey and soil observation by USDA (left) and Manualfor field observation on soil identification by Soil Research Institute
Tata cara pengamatan tanah di lapangan yang digunakan di Indonesia baru dikenal secara luas setelah terbitnya buku Soil Survey Manual (Soil Survey Staff, 1951). Dalam buku tersebut disajikan secara komprehensif dan detail tata cara survei tanah, mulai dari survei tanah detail sampai survei tanah eksplorasi. Teknik pemetaan yang tercantum dalam buku tersebut banyak diacu oleh para pemeta tanah di Indonesia yang kemudian dituangkan oleh para pemeta tanah di Lembaga Penelitian Tanah dalam buku Pedoman Pengamatan Tanah di Lapang (Staf Pemetaan Tanah LPT, 1969). Tata-tata cara identifikasi dan delineasi masih dilakukan secara manual. Delineasi satuan peta menggunakan bantuan peta topografi, peta geologi dan peta iklim. Dalam metode identifikasi tanah di lapangan, teknologi dan penggunaan peralatan lapang yang digunakan sebagian tidak banyak mengalami perubahan yang mendasar, perkembangan peralatan survei terutama yang sifatnya untuk memperbaiki tingkat ketelitian dan ketepatan peralatan yang ada. Beberapa peralatan yang bersifat manual sudah beralih memanfaatkan teknologi digital. Penggunaan GPS (Global Positioning System) merupakan peralatan canggih yang sekarang sudah menjadi suatu keharusan untuk digunakan dalam pemetaan tanah. Tingkat ketelitian GPS juga semakin lama semakin baik dengan harga yang relatif murah. Diharapkan penggunaan peralatan 6
ini akan mening-katkan ketelitian dan ketepatan dalam menentukan posisi suatu titik pengamatan di lapangan dan di dalam peta. Kegiatan identifikasi tanah di lapangan menghasilkan data hasil pengamatan lapangan. Intensitas pengamatan sangat menentukan tingkat ketelitian peta tanah yang dihasilkan. Semakin tinggi intensitas pengamatan, maka jumlah pengamatan per satuan luas semakin banyak, sehingga penjelahan lapang juga harus dilakukan dengan lebih lama lagi. Dampak dari hal ini semua akan berkonsekuensi terhadap biaya yang dilakukan akan semakin tinggi. Menurut Dent dan Young (1981) terdapat hubungan yang erat antara intensitas pengamatan dengan biaya survei, semakin tinggi intensitas pengamatan semakin besar biaya survei dan pemetaan tanah. Metode identifikasi tanah di lapang sampai saat ini secara terus menerus diperbaiki dan direvisi mengikuti perkembangan ilmu tanah yang semakin maju serta tuntutan dari pengguna yang menginginkan buku pedoman yang semakin baik sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Buku pedoman yang dijadikan pegangan identifikasi tanah di lapang diharapkan dapat digunakan sebagai buku panduan yang dapat mengikuti perkembangan sistem klasifikasi tanah yang digunakan. Sebagai jawaban atas tuntutan pembaharuan tentang buku pedoman metode survei dan pemetaan
Sukarman dan Sofyan Ritung: Perkembangan dan Strategi Percepatan Pemetaan
Gambar 6 . Aktivitas pengamatan tanah di lapangan Figure 6.
Field observation on soil identification
tanah, maka buku Pedoman Pengamatan Tanah di Lapang, kemudian direvisi ulang pada tahun 1994 dengan judul Panduan Survei Tanah (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1994). Tata cara dan sifat-sifat yang diamati di lapangan tidak banyak berbeda dengan yang dikemukan dalam Pedoman Pengamatan Tanah di Lapang sebelumnya. Beberapa tambahan dan penyempurnaan dilakukan untuk menyesuaikan format daftar isian data dengan format yang dikehendaki untuk pengisian data yang terkomputerisasi dalam rangka penyusunan data base sumberdaya tanah/lahan. Selain itu, beberapa kriteria tambahan dari beberapa sifat-sifat tanah diadopsi dari buku Guidelines for Soil Profile Description (FAO 1977). Buku cara pengamatan tanah di lapang terus diperbaiki dan disempurnakan. Tahun 2004, buku pedoman pengamatan tanah di lapang kembali direvisi dengan perubahan-perubahan yang didasarkan pada buku-buku pedoman pengamatan tanah terbaru diantaranya adalah Soil Survey Manual (Soil Survey Staff 1983 dan 1990) serta National Soil Handbook (Soil Conservation Service 1983 dan 1992). Buku tersebut diterbitkan dengan judul Petunjuk Teknis Pengamatan Tanah (Balai Penelitian Tanah 2004). Pada tahun 2013, buku Pedoman Pemetaan Tanah diharapkan akan dapat segera diterbitkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Delineasi/penarikan batas satuan peta tanah merupakan hal yang banyak dibahas dan dikaji. Pada pemetaan konvensional delineasi satuan peta tanah didasarkan kepada pengelompokkan satuan taksonomik
tanah yang sama yang penarikkan batasnya dibantu oleh peta topografi, peta geologi dan peta iklim. Pada survei ini biasanya didahului dengan identifikasi sifatsifat eksternal, selanjutnya diikuti identifikasi internal dan kemudian didelineasi satuan peta tanahnya. Aspekaspek eksternal meliputi: relief, bentuk wilayah/lereng, fisiografi dan bahan induk, sedangkan aspek-aspek internal meliputi karakteristik morfologi tanah. Penggunaan potret udara untuk membantu delineasi satuan secara nyata mulai digunakan sejak tahun 1975, meskipun sudah mulai diperkenalkan oleh Soepraptohardjo sejak tahun 1954 yang ditulis dalam Buletin Teknik Pertanian Tahun II, No. 4 (Soepraptohardjo 1954). Pemanfaatan potret udara dalam delineasi satuan peta tanah lebih berkembang lagi sejak diterbitkannya Catalogue of Landform for Indonesia (Desaunettes 1977) yang memuat dasar tentang pembagian morfologi landskap atau landform untuk pemetaan tanah. Penggunaan potret udara dalam pemetaan tanah didasari oleh pemahaman bahwa pada pemetaan tanah berskala kecil, batas-batas penyebaran tanah sulit ditentukan. Sebaliknya batas-batas satuan lahan yang didasarkan pada morfologi permukaan bumi atau landform tampak lebih jelas. Batas-batas satuan lahan tersebut dapat dilakukan melalui interpretasi potret udara. Penggunaan data penginderaan jauh dari satelit baik berupa sensor optik maupun radar telah banyak digunakan untuk pemetaan tanah dan pemetaan bentang lahan untuk skala regional dan skala kecil. Penginderaan jauh lebih bermanfaat dalam hal
7
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 7 No. 1 - 2013
meningkatkan kemampuan cakupan spasial. Sifat-sifat tanah telah dapat diidentifikasi dan disimpulkan dari data optik menggunakan metode fisik berbasis empiris. Selain itu penginderaan jauh optik maupun radar dapat mendukung interpolasi spasial data tanah pada wilayah yang masih jarang datanya (Mulder et al. 2011).
KUALITAS PETA TANAH Peta tanah adalah suatu produk pemetaan yang berisi informasi tentang sifat-sifat tanah yang ada di dalamnya. Agar peta tersebut dapat digunakan dengan tepat oleh pengguna, maka informasi tersebut di atas haruslah tepat dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah pada berbagai tingkat pemetaan tanah. Jika informasi tersebut tidak tepat dan tidak benar maka dapat merugikan pengguna yang akhirnya produk tersebut tidak akan digunakan dan tidak dipercaya. Oleh karena itu, mempertahankan kebenaran dan ketepatan informasi sifat-sifat tanah dalam suatu peta tanah merupakan suatu keharusan. Hal tersebut juga perlu ditekankan bahwa menurut Undang-undang No. 4 tahun 2011, tentang Informasi Geospasial, apabila suatu peta berisi informasi yang tidak benar dan merugikan orang lain, maka pembuat peta dapat dipidana sesuai dengan tingkat kesalahannya. Ketepatan dan kebenaran tentang informasi sifat-sifat tanah dalam suatu peta tanah disebut sebagai kualitas peta tanah. Pernyataan klasik tentang kriteria kualitas peta tanah dinyatakan oleh Beckett (1968) bahwa peta tanah yang berkualitas baik ditentukan oleh ketelitian, ketepatan serta kemurnian satuan peta tanahnya. Sementara itu Dent dan Young (1981) menyatakan bahwa setiap satuan peta tanah detail harus memperlihatkan: (1) perbedaan yang nyata tiap satuan peta dalam sifat penentu satuan tanahnya dan (2) perbedaan respon terhadap beberapa tingkat pengelolaan. Peta tanah teliti adalah peta tanah yang mempunyai keragaman (variabilitas) sifat-sifat tanah yang kecil pada setiap satuan peta tanahnya (Beckett 1968). Menurut Dent dan Young (1981) antara satuan satuan peta tanah haruslah menunjukkan perbedaan untuk interpretasinya bagi penggunaan tertentu. Peta demikian dinilai sebagai peta yang tepat. Untuk menilai derajat perbedaan antara satuan peta tanah pada suatu peta tanah perlu didasarkan pada keragaman relatif, yaitu perbandingan antara keragaman pada satuan peta
8
tanah dengan total keragaman pada seluruh daerah pemetaan. Kemurnian satuan peta tanah adalah bagian dari keadaan tanah yang sebenarnya di lapangan yang diisi oleh tanah yang ditunjukkan dalam legenda peta tanah (Chittleborough 1978). Menurut Van Wambeke dan Forbes (1986) ketentuan kemurnian di Amerika Serikat pada satuan peta tanah yang baik adalah 85% atau lebih, sedangkan sisanya berupa inklusi. Apabila inklusi yang dijumpai sifatnya lebih jelek dari tanah utama, maka inklusi yang diperbolehkan paling besar 10%. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemurnian satuan peta tanah sangat menentukan kualitas peta tanah. Kemurnian satuan peta tanah haruslah tinggi sesuai dengan kaidah-kaidah pemetaan tanah, serta mempunyai keragaman sifat-sifat tanah yang rendah agar dapat diinterpretasikan dengan tepat untuk penggunaan dan pengelolaan lahannya
PEMILIHAN METODE PEMETAAN TANAH Berdasarkan tata cara dan penggunaan jenis teknologi, pemetaan tanah setidaknya dapat dibedakan menjadi tiga jenis cara, yaitu: (1) pemetaan konvensional, (2) pemetaan dengan interpretasi penginderaan jauh, dan (3) pemetaan tanah digital. Menurut Mangunsukardjo dan Yunianto (1992), pemetaan tanah konvensional dimulai dengan identifikasi sifat-sifat eksternal, selanjutnya diikuti dengan identifikasi sifat-sifat internal dan kemudian dilakukan delineasi (menarik batas) satuan peta tanah. Pemetaan tanah dengan interpretasi penginderaan jauh dimulai dengan identifikasi sifat-sifat tanah eksternal, diikuti dengan delineasi satuan peta tanah, kemudian dilakukan identifikasi sifat-sifat tanah internal. Malone et al. (2012) menyatakan bahwa pemetaan tanah digital adalah pembuatan dan pengkayaan sistem informasi tanah yang melibatkan kegiatan survei lapangan, kegiatan laboratorium dan metode numerik untuk mendapatkan informasi tanah yang terus menerus, baik yang spasial maupun yang non spasial. Aspek-aspek eksternal meliputi: relief, bentuk lereng, kemiringan, kondisi drainase dan sebagainya; sedangkan aspek-aspek internal ialah sifat-sifat dan karakteristik morfologi profil tanah. Survei tanah cara konvensional banyak dilakukan dengan pendekatan parametrik, sedangkan pemetaan interpretasi penginderaan jauh dilakukan dengan pendekatan geografi, yaitu melalui analisis ekologi bentang lahan. Sementara pemetaan tanah digital menggunakan
Sukarman dan Sofyan Ritung: Perkembangan dan Strategi Percepatan Pemetaan
Gambar 7. Peta kontur interval 25 meter (kiri) dan DEM yang diturunkan dari peta kontur (kanan) Figure 7.
Interval contour map of 25 meters (left) and DEM generate from contour map (right)
gabungan pendekatan geografi dan pendekatan parametrik. Wiradisastra (1992) mengemukakan bahwa pendekatan parametrik pada umumnya cenderung menggunakan cara analisis numerik (numerical analysis) yang berasosiasi erat dengan analisis digital pada penginderaan jauh. Kebutuhan analisis parametrik numerik akan semakin besar bila arah pengembangan inventarisasi sumberdaya tanah berorientasi pada pengembangan database dalam bentuk sistem informasi berorientasi Geographic Information System (GIS). Pada pemetaan tanah konvensional, metode pemetaan tanah umumnya menggunakan metode grid, yang didasarkan titik-titik potong berbentuk persegi. Sistem grid umumnya digunakan pada daerah yang relatif datar dan informasi tentang faktor-faktor pembentuk tanah sangat sedikit. Pada pemetaan konvensional, tingkat pemetaan (skala) sangat memperhatikan intensitas pengamatan. Semakin detail tingkat pemetaan tanah, maka intensitas pengamatan semakin tinggi. Sebagai contoh Dent dan Young (1981) memberikan batasan, untuk pemetaan tanah detail (skala 1:5.000) intensitas pengamatannya adalah dua pengamatan per hektar, untuk skala 1:10.000 intensitas pengamatannya adalah satu pengamatan untuk setiap dua hektar. Untuk pemetaan tanah semi detail skala 1:25.000 intensitas pengamatannya adalah satu pengamatan untuk 12,5 ha, dan untuk skala 1:50.000 intensitas pengamatannya adalah satu per 50 ha. Dengan berpegang pada ketentuan tentang intensitas pengamatan tersebut dan mempertimbangkan kualitas peta yang dihasilkan, maka penjelajahan lapang sangat perlu dilakukan secara menyeluruh. Hal ini jelas akan memerlukan banyak waktu dan
membutuhkan banyak surveyor. Oleh karena itu, biaya pemetaan dengan menggunakan metode ini sangat mahal. Banyak hasil penelitian dan kajian-kajian para peneliti yang membahas tentang mahalnya pemetaan tanah dengan sistem konvensional, antara lain seperti yang dikemukakan oleh Sukarman (2004), Shi et al. (2011); Grunwald et al. (2011); dan Cambule et al. (2013). Penggunaan metode penginderaan jauh untuk pemetaan telah diterapkan di Indonesia sejak mulai digunakannya potret udara sejak tahun 1975. Pemetaan tanah semi detail (skala 1:50.000) yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah dalam program pembukaan lahan baru untuk transmigrasi mulai tahun 1980an telah menggunakan potret udara untuk peta dasar dan delineasi satuan peta tanah. Selanjutnya dengan semakin majunya teknologi, teknik delineasi satuan peta tanah mulai memanfaatkan citra satelit. Meskipun teknologi analisis citra secara digital dari citra satelit di Indonesia belum mampu untuk menghubungkan antara sifat-sifat tanah dengan kenampakan dalam citra satelit, namun citra satelit banyak digunakan untuk mendelineasi satuan peta tanah secara manual. Pada pemetaan tanah tingkat tinjau (skala 1:250.000) analisis citra satelit dilakukan secara visual melalui pendekatan land unit. Pemetaan Tanah Tinjau yang dilakukan di Indonesia banyak menggunakan citra satelit dengan hasil yang memuaskan. Selain digunakan dalam pemetaan tanah tinjau, citra satelit juga pada beberapa kasus dapat dimanfaatkan untuk membantu delineasi satuan peta tanah pada tingkat semi detail, meskipun masih sangat terbatas. Penggunaan citra satelit seperti citra Landsat
9
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 7 No. 1 - 2013
Gambar 8. DEM dari Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) Figure 8.
DEM from Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM)
TM atau ETM, citra SPOT (System Probatoire d’Observation de la Terre), citra ALOS (Advanced Land Observing Sattelite) hanya sebatas melengkapi saja, delineasi satuan peta tanah masih harus tetap didasarkan pada hasil analisis dari potret udara, atau peta topografi skala 1:25.000 atau skala 1:50.000 yang dibantu oleh peta geologi. Berhubung dalam delineasinya metode ini masih menggunakan teknik manual dan belum otomatis secara terkomputerisasi, sehingga dirasakan cukup lambat. Berhubung mahalnya pemetaan tanah mengguna-kan metode konvensional, maka penggunaannya haruslah sangat selektif. Pemetaan tanah konvensional hanya digunakan pada pemetaan tanah detil pada daerah yang betul-betul tidak mempunyai data tanah, sedangkan untuk daerah berkembang yang sudah mempunyai data tanahnya pada skala yang lebih kecil maka dapat dilakukan dengan metode pemetaan tanah digital menggunakan teknik disagregasi poligon seperti yang dikemukakan oleh Sulaeman (2011). Sementara untuk daerah yang mempunyai aksesibilitas yang buruk pemetaan detail dapat dilakukan dengan metode ini seperti yang pernah dilaksanakan oleh Cambule et al. (2013) di Mozambik, Afrika. Selain itu, delineasi secara digital dapat juga dilakukan menggunakan digital elevetion model (DEM) yang dapat dibuat dari peta topografi digital. Hasil penelitian yang dilakukan oleh de Bruin dan Stein (1998) di Spanyol mendapatkan bahwa DEM dengan resolusi 5 m yang dibuat dari peta topografi dapat digunakan untuk membantu delineasi satuan peta tanah
10
detail untuk mewadahi klasifikasi tanah sampai tingkat seri. Sementara itu, Sukarman dan Hidayat (2005) telah membahas pemanfaatan citra satelit dan model elevasi digital untuk inventarisasi sumberdaya tanah di Indonesia. DEM dengan resolusi 30 m yang diturunkan dari peta topografi yang mempunyai interval kontur 25 m sangat baik untuk membantu mendelineasi pada skala semi detail (skala 1:50.000). Metode lain yang dapat diterapkan dalam upaya percepatan pemetaan adalah meliputi perbaikan metode delineasi satuan peta. Agar pelaksanaan delineasi dapat dilakukan secara cepat dan meliputi wilayah yang luas, maka pelaksanaannya harus terkomputerisasi berbasis GIS. Delineasi satuan peta dapat memanfaatkan DEM resolusi 30 m yang bersumber dari peta kontur/Peta Rupabumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 - 1:50.000 atau DEM dari Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) resolusi 30 m. Berbagai atribut landform dapat dianalisis dari DEM dan citra satelit. Menurut Smith et al. (2006), atribut landform, seperti kemiringan lereng, aspek lereng, kelengkungan profil lereng, dan kelengkungan kontur dapat dihitung dari model elevasi digital (DEM). Atribut tersebut adalah salah satu masukan kunci untuk survei tanah berdasarkan sistem informasi geografis (GIS). ArcGIS, dan ArcView merupakan salah satu perangkat lunak yang dapat digunakan untuk analisis atribut landform dari DEM. Sedangkan program ER Mapper dapat digunakan untuk analisis citra satelit. Dengan memadukan hasil analisis dari kedua sumber data tersebut, berbagai kelemahan dari DEM dan kelemahan dari Citra satelit dapat diminimalisir. Pemetaan tanah digital yang sekarang sedang dikembangkan dirancang untuk menjawab berbagai kebutuhan penyediaan data sifat-sifat tanah secara dinamis dengan biaya yang relatif murah. Pendekatan ini sepenuhnya memanfaatkan kemajuan di bidang teknologi informasi, teknologi pengelolaan database, teknologi pemodelan dan teknologi geovisualisasi. Sementara merevitalisasi data tanah yang ada atau historis hasil kegiatan survai dan pemetaan tanah terdahulu (Sulaeman 2011). Meskipun teknik pemetaan tanah digital masih terus dikembangkan, tetapi teknik ini sudah dapat digunakan untuk pemutakhiran data spasial peta-peta tanah yang ada di Indonesia. Pemetaan tanah digital menurut Sulaeman (2011) dapat diaplikasikan untuk tujuan: (1) pendetilan peta, (2) menggabungkan dua peta yang tidak nyambung (edge matching), (3) estimasi komposisi tanah dalam satuan lahan, dan (4) pemetaan tanah global.
Sukarman dan Sofyan Ritung: Perkembangan dan Strategi Percepatan Pemetaan
Pendetilan peta dalam pemetaan tanah digital dimaksudkan untuk membuat peta tanah yang lebih detail berdasarkan data peta tanah lebih kasar yang pernah dibuat. Misalnya suatu kegiatan memerlukan peta tanah detail tetapi data yang tersedia berupa peta tanah semi detail. Dengan metode pemetaan tanah digital, hal ini bisa dilakukan, yaitu menggunakan teknik disagregasi poligon. Teknik ini didahului dengan penurunan covariate lingkungan (seperti indeks kebasahan, posisi landskap), kemudian menganalisisnya uraian satuan peta tanah dan diakhiri dengan membuat model rule untuk mengisi pecahan-pecahan poligon. Teknik ini berupaya memaksimalkan informasi yang disajikan pemeta dalam peta tanah dan legendanya. Dalam pelaksanaan korelasi beberapa peta tanah yang sudah dibuat, sering dijumpai antara satu peta dengan yang disampingnya ternyata batas satuan peta tanah maupun isinya tidak sesuai. Teknik disagregasi poligon bisa membantu dalam menetapkan satuan peta. Pemetaan tanah digital selain dapat digunakan untuk pemetaan tanah sistematik di dalam negeri, juga dapat dimanfaatkan untuk pemetaan tanah global (Global Soil Mapping/GSM). Pemetaan tanah global sangat dibutuhkan berkaitan isu-isu mutakhir saat ini diantaranya: perubahan iklim, dinamika penggunaan lahan, keanekaragaman hayati, fungsi ekosistem, siklus biogeokimia, dan kualitas sumber daya tanah dan air telah dipercepat selama dekade terakhir pada tingkat sebanding dengan pengaruh kegiatan manusia dan pertumbuhan penduduk. Grunwald et al. (2011) telah membahas pentingya pemetaan tanah digital dan pemodelannya untuk tingkat benua, sebagai respon terhadap isu global saat ini. Peta tanah dunia yang ada sekarang hanya bersifat statis, tidak dapat mengikuti perkembangan berbagai permasalahan dan isu global saat ini. Tujuan dari pemetaan tanah global adalah untuk membuat peta tanah dunia dengan metode modern dengan resolusi pixel 90 x 90 m. Sifat tanah yang akan dipetakan adalah: C-organik, tekstur (atau kadar liat, debu dan pasir), pH tanah, kedalaman tanah sampai bahan induk, bobot isi tanah, kapasitas air tersedia, dan kapasitas tukar kation. Pemetaan tanah di Indonesia, khususnya di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian menganut pendekatan landskap. Satuan lahan menjadi dasar batas satuan peta tanah dan di dalam satuan lahan tersebut dilakukan pendugaan komposisi satuan
tanahnya. Teknik Scorpan Krigging dapat membantu melakukan penaksiran secara kuantitatif proporsi tanah tersebut dengan cara menduga menggunakan model tanah-landskap.
STRATEGI PERCEPATAN PEMETAAN TANAH Berdasarkan uraian di atas, maka strategi yang dapat digunakan untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas pemetaan tanah di Indonesia adalah sebagai berikut: 1.
Peralatan survei tanah (hardware dan software) baik untuk penelitian lapangan maupun metode analisisnya agar menggunakan peralatan yang mutakhir, baik untuk tujuan identifikasi dan karakterisasi tanah maupun delineasi satuan peta tanah.
2.
Untuk percepatan pemetaan tanah semi detail sistematis, pada daerah yang mempunyai data tanah warisannya cukup banyak, agar menggunakan metode pemetaan tanah digital (digital soil mapping). Penggunaan metode ini dapat dibantu dengan teknik penginderaan jauh yang dipadukan dengan DEM yang diturunkan dari peta topografi atau SRTM resolusi 30 m.
3.
Pemetaan tanah detail yang dilakukan pada daerah yang tidak mempunyai data sebelumnya dapat menggunakan teknik grid sistem dengan grid sistem fleksibel.
4.
Memanfaatkan data base tanah sebagai data warisan (legacy data) sehingga dapat mengurangi jumlah pengamatan tanah dan jumlah contoh yang harus diambil.
Dengan menggunakan strategi tersebut di atas, maka komponen: 1.
Jumlah sumberdaya manusia yang dilibatkan dalam kegiatan dapat dikurangi.
2.
Jumlah orang hari (OH) di lapangan dapat dikurangi.
3.
Jumlah contoh yang diambil dapat dikurangi.
4.
Areal yang diliput lebih luas.
5.
Analisis satuan lahan menggunakan komputer.
6.
Kualitas peta tanah yang dihasilkan tetap tinggi.
lebih
cepat,
karena
11
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 7 No. 1 - 2013
KESIMPULAN DAN SARAN 1.
2.
3.
4.
Tuntutan pembangunan pertanian yang sangat pesat dan tuntutan penyediaan data/informasi sumberdaya tanah pertanian yang semakin banyak dan cepat, memerlukan percepatan penyediaan data/informasi sumberdaya tanah pada tingkat semi detail atau lebih besar, melalui pengembangan metodologi yang lebih cepat, efektif dan efisien berdasarkan ketersediaan sumberdaya yang ada. Teknologi pemetaan sumberdaya tanah di Indonesia telah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, baik yang menyangkut identifikasi dan karakterisasi sumberdaya tanah maupun dalam teknologi delineasi satuan peta. Pemetaan tanah digital dapat diaplikasikan untuk tujuan: (1) Pendetilan peta pada daerah yang sudah banyak mempunyai database sumberdaya tanahnya, (2) Untuk tujuan korelasi dalam hal menggabungkan dua peta yang tidak sinkron (edge matching), (3) Membantu estimasi komposisi tanah dalam satuan lahan, dan (4) Pelaksanaan pemetaan tanah global. Strategi yang dapat digunakan untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas pemetaan tanah di Indonesia adalah sebagai berikut: a.
b.
c.
Peralatan survei tanah (hardware dan software) baik untuk penelitian lapangan maupun untuk teknik analisis agar menggunakan peralatan yang mutakhir. Untuk percepatan pemetaan tanah semi detail pada daerah yang mempunyai data warisan (database) cukup banyak, agar menggunakan metode pemetaan tanah digital (digital soil mapping). Penggunaan metode ini dapat dibantu dengan menggunakan teknik penginderaan jauh yang dipadukan dengan DEM. Pemetaan tanah detail yang dilakukan pada daerah yang tidak tersedia database tanah dapat menggunakan grid sistem fleksibel.
d. Pemanfaatkan database tanah yang ada (data warisan) dan penyusunan database tanah yang lebih lengkap merupakan bagian strategi dalam upaya meningkatkan kualitas peta tanah.
12
DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis Pengamatan Tanah. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Hlm 117. Balai Penjelidikan Tanah. 1960. Peta Tanah Eksplorasi Jawa dan Madura, skala 1:1.000.000. Balai Penjelidikan Tanah, Departemen Pertanian. Beckett, P.H.T. 1968. Methods and scale of land resources surveys, in relation to precision and cost. In. Stewart G.A (Eds.). Land Evaluation Papers of CSIRO Symposium Organized in Cooperation with Unesco. Mc Millan of Australia. Buurman, P. and T. Balsem. 1990. Land Unit Classification for The Reconnaissance Soil Survey in Sumatera. Technical Report No. 2, Version 2. Soil Research Institute, Bogor. Cambule, A.H., D.G. Rossiter, and J.J. Stoorvogel. 2013. A methodology for digital soil mapping in poorlyaccessible areas. Geoderma 192:341-353. Chittleborough, D.J. 1978. Soil variability within land system and land unit at Monarto South Australia. Austr. J. Soil Res. 16:137-155. de Bruin, S. and A. Stein. 1998. Soil-landscape modelling using fuzzy c-means clustering of attribute data derived from Digital Elevation Model (DEM). Geoderma 83:17-33. Dent, F.J., Desaunettes, and J.P. Malingreau. 1977. Detailed Reconnaissance Land Resources Survey Cimanuk Watershed Area (West Java). FAO/ UNDP Land Capability Appraisal Project Working Paper No. 14, Soil Research Institute, Bogor, Indonesia. Dent, D. and A. Young. 1981. Soil Survey and Land Evaluation. George Allen and Unwin, London. Deri, H.J., Marsoedi D.S., dan Wahyunto. 1988. Kegunaan citra landsat menunjang hasil interpretasi landform dalam pemetaan sekitar Negeri Batin, Kotabumi Lampung Utara. Hlm 47-60. Dalam Prosiding Pertemuan Teknis Hasil Penelitian Tanah. Cipayung, Februari 1986. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Working Paper No. 13. AGL/TF/Dessaunettes, J.R. 1977. Catalogue of Landforms for Indonesia. INS/ 44. FAO/SRI. Bogor. FAO. 1977. Guidelines for Soil Profile Description. Soil Resources Development and Conservation Services, Land and Water Development Division. FAO, Rome. Grunwald, S., J.A. Thompson, and J.L. Boettinger. 2011. Digital soil mapping and modeling at continental scales: finding solutions for global issues. Soil Sci. Soc. Am. J. 75:1201-1213.
Sukarman dan Sofyan Ritung: Perkembangan dan Strategi Percepatan Pemetaan
Hardjowigeno, S., Marsoedi D.S., dan Ismangun. 1993. Satuan Peta Tanah dan Legenda Peta Tanah. Technical Report No. 3, Versi 1. Proyek LREP II. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Presindo, Jakarta. Hlm 233. Hidayat, A. dan Darul S.W.P. 1991. Klasifikasi satuan lahan dan penggunaannya untuk pertanian. Hlm 71-87. Dalam Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Proyek Perencanaan dan Evaluasi Sumberdaya Lahan (LREPP Part I), Sumatera Bagian Utara. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kasryno, F. dan H. Soeparno. 2011. Kerangka perencanaan tataguna dan pengelolaan lahan pertanian. Hlm 11-30. Dalam Suradisastra et al. (Eds.). Membangun Kemampuan Pengelolaan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. IPB Press. Kips, P.A., D. Djaenudin, and Nata Suharta. 1981. The Land Unit Approach to Land Resources Surveys for Land Use Planning with Particular Reference to The Sekampung Watershed, Lampung Province, Sumatera, Indonesia. FAO/UNDP AGOF/INS/ 78/006, Technical Note No. 11, November 1981, Centre for Soil Research, Bogor, Indonesia. Las, I., K. Subagyono, dan A.P. Setyanto. 2006. Isu dan pengelolaan lingkungan dalam revitalisasi pertanian. Makalah pada Seminar Multifungsi Pertanian, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, 27-28 Juni 2006, Bogor. Malone, B.P., A.B. McBratney, and B. Minasny. 2012. Some methods regarding manipulations of scale for digital soil mapping. The 5th Global workshop on Digital Soil Mapping. Sydney, 10-13 April 2012. Mangunsukardjo, K. dan T. Yuniato. 1992. Delineasi satuan peta tanah hampiran geografi. Sudjadi et al. (Eds.) Hlm 163-183. Dalam Prosiding Pertemuan Teknis Pembakuan Sistem Klasifikasi dan Metode Survei Tanah. Cibinong Bogor 29-31 Agustus 1988. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Marsoedi, D.S. 1981. The use of landsat multispectral scanner for reconnaissance land resources inventory in Southeast Sulawesi. FAO/CSR, Bogor. Mulder, V.L., S. de Bruin, M.E. Schaepman, and T.R. Mayr. 2011. The use of remote sensing in soil and terrain mapping-A review. Geoderma 162(1-2):1-19. Presiden Republik Indonesia. 2011. Undang-undang No. 4 Tahun 2011, tentang Informasi Geospasial. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1994. Panduan Survei Tanah bagian Pertama. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Peta Eksplorasi Indonesia, skala 1:2.500.000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Shi, X., L. Girod, R. Long, R. De Kett, J. Philippe, and T. Burke. 2012. A comparison of LiDAR-based DEMs and USGS-sourced DEMs in terrain analysis for knowledge-based digital soil mapping. Geoderma 170:217-226. Smith, M.P., A. Zhu, J.E. Burt, and C. Stiles. 2006. The effects of DEM resolution and neighborhood size on digital soil survey. Geoderma 137:58-69. Soekardi, M., N. Suharta, dan S. Ritung. 1989. Macammacam peta tanah dan kegunaannya. Informasi Penelitian Tanah, Air, Pupuk dan Lahan. Pusat Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Soepraptohardjo, M. 1954. Faedah serta kemungkinankemungkinan pemakaian potret udara untuk pemetaan tanah di Indonesia. Teknik Pertanian. Tahun ke II, No. 4, Bogor. Soepraptohardjo, M. 1961. Klasifikasi tanah kategori tinggi oleh Balai Penjelidikan Tanah. Kongres Nasional Ilmu Tanah I, Bogor. Soil Conservation Service. 1983. National Soils Handbook (430-VI-NSH). U.S. Government Printing Office. Soil Survey Staff. 1951. Soil Survey Manual. USDA Handbook No. 18. US Government Printing Office, Washington D.C. Soil Survey Staff. 1983. Soil Survey Manual. USDA Handbook, Washington D.C. Soil Survey Division Staff. 1993. Soil Survey Manual. USDA Handbook, Washington D.C. Staf Pemetaan Tanah LPT. 1969 Pedoman Pengamatan Tanah di Lapang. No. 4/1969. Lembaga Penelitian Tanah, Bogor. Sukarman. 2004. Identifikasi Unsur-unsur Satuan Peta Tanah Semi Detail Menggunakan Citra Landsat-7 ETM dan Model Elevasi Digital di Daerah Bogor. Disertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hlm 246. Sukarman dan A. Hidayat. 2005. Pemanfaatan citra satelit dan model elevasi digital untuk membantu inventarisasi sumberdaya lahan. Jurnal Sumberdaya Lahan 1(1):20-31. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Sulaeman, Y. 2011. Pemetaan tanah digital: integrasi teknologi basisdata dan pemodelan dalam pemetaan tanah. Warta Sumberdaya Lahan 4(2):1-5. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
13
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 7 No. 1 - 2013
Van Wambeke, A. and T. Forbes. 1986. Guidelines for Using Soil Taxonomy in the Names of Soil Map Units. Soil Management Support Services. Technical Monograph No. 10. Wahyunto, Marsoedi D.S. dan D. Djaenudin. 1988. Identifikasi sistem fisiografi dan landform melalui citra landsat di daerah Sesayap-Sembakung, Kalimantan Timur. Hlm 17-29. Dalam Prosiding Pertemuan Teknis Hasil Penelitian Tanah. Cipayung, Feb. 1986. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Wiradisastra, U.S. 1992. Masalah delineasi satuan peta hampiran parametrik. Hlm 185-227. Dalam Sudjadi et al. (Eds.) Prosiding Pertemuan Teknis Pembakuan Sistem Klasifikasi dan Metode Survei Tanah. Cibinong Bogor 29-31 Agustus 1988. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
14
ISSN 1907-0799 Makalah REVIEW
Prospek dan Tantangan Pengembangan Biofertilizer untuk Perbaikan Kesuburan Tanah Biofertilizer Development Prospects and Challenges for Improved Soil Fertility 1 Subowo,
Jati Purwani, dan Sri Rochayati
1 Peneliti
Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114, e-mail :
[email protected] Diterima 19 Februari 2013; Disetujui dimuat 16 Juli 2013 Abstrak. Sebagai negara megabiodiversitas, Indonesia selayaknya memberdayakan sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan efisiensi pengolahan tanah dan produksi tanaman pangan yang berkelanjutan. Pemberdayaan hayati tanah dapat dilakukan dengan pengkayaan jenis dan populasi organisme tanah melalui aplikasi pupuk hayati berupa organisme fungsional tunggal ataupun konsorsia (majemuk). Sejalan dengan kondisi tanah pertanian yang memiliki heterogenitas tinggi, maka pengembangan produksi pupuk hayati hendaknya dilakukan secara spesifik lokasi dengan mempertimbangkan keberadaan organisme fungsional native yang telah tersedia di lapangan. Pilihan formulasi konsorsia biofertilizer adalah jenis organisme fungsional yang memiliki kompatibilitas tinggi dan jenis media pembawa/carrier yang mampu menjaga nilai fungsionalnya. Selain memiliki kemampuan meningkatkan ketersediaan hara N, P, dan K mikroba fungsional juga memiliki kemampuan dalam menyediakan hara mikro yang penting dalam mendukung produksi dalam hal kuantitas maupun kualitas. Tantangan dalam aplikasi pupuk hayati adalah penetapan kriteria kandungan C-organik, enzim nitrogenase, dan enzim fosfatase tanah. Penetapan ini perlu segera dilakukan sebagai acuan untuk pembuatan “soil biotest kit” agar dalam implementasinya efektif dan bernilai guna. Kata kunci: Biofertilizer / Mikroba fungsional / Spesifik lokasi / Kesuburan tanah Abstract. As mega-biodiversity country, Indonesia should empower soil biological resources to improve soil tillage efficiency and sustainable crop production. The empowerment can be done by the enrichment of the soil with species and population of soil organisms through the application of biofertilizer in the form of a single organism or consortia. In line wih the heterogeneity of agricultural land, the development of biofertilizer production should be done taking into account the presence of specific functional native organisms that have been exist in the field. The selection of consortia biofertilizer formulation is the functional types of organisms that have a high compatibility and kinds of carriers that is able to maintain its functional value. In addition to having the ability to increase the availability of N, P and K, the functional microbes should have the ability to provide essential micronutrients to support of quantity and quality production. Challenges in biofertilizer application are the determination of criteria for C-organic content, nitrogenase and soil phosphatase enzymes. This determination needs to be made as a reference to the making of “soil biotest kit" so that it is effective and valuable in the implementation. Keywords: Biofertilizer / Functional microbia / Site specific / Soil fertility
PENDAHULUAN
K
etahanan pangan merupakan program utama Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II) dengan pengembangan tanaman pangan sebagai komoditas utama yang harus dipenuhi. Sejalan dengan itu eksploitasi sumberdaya lahan pertanian terus meningkat melalui peningkatan indek pertanaman, pemberdayaan sumberdaya iklim melalui pengembangan kalender tanam, perbaikan produktivitas serta pengendalian hama-penyakit. Tingginya intensitas pertanaman dengan tingkat produktivitas yang tinggi mengakibatkan terjadinya pengurasan hara alami. Kemampuan produksi maupun
daya dukung lahan (kandungan bahan organik, hara mikro, maupun hayati tanah) mengalami penurunan. Efisiensi pemupukan dengan berbasis hara makro (N, P, dan K) semakin menurun. Kegiatan usahatani menjadi semakin mahal dan bahkan beberapa lahan telah mengalami jenuh produksi (levelling off). Sementara, daya dukung hayati tanah yang merupakan pengawal kesuburan tanah alami yang dinamik sesuai perkembangan habitatnya belum secara optimal diberdayakan. Selain itu Indonesia yang merupakan salah satu negara megabiodiversitas selayaknya memberdayakan sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan efisiensi pengolahan tanah dan produksi tanaman pangan berkelanjutan. 15
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No. 1 - 2013
Pengkayaan hayati tanah dapat dilakukan dengan menambah jenis dan populasi organisme tanah melalui aplikasi biofertilizer yang merupakan jenis pupuk dengan kandungan organisme hidup yang mampu memperbaiki kesuburan tanah. Jumlah dan jenis organisme dalam biofertilizer dapat berasal dari organisme tunggal ataupun beberapa jenis (konsorsia). Agar organisme hidup ini dapat aktif maka diperlukan energi dan hara. Selain itu organisme ini juga dapat berinteraksi secara positif ataupun negatif di antara organisme natif yang ada dalam subsistem tersebut. Dalam jangka panjang, aplikasi pupuk organik dengan dikombinasi pupuk buatan merupakan langkah terbaik dalam meningkatkan C-organik dan N-tanah serta bermanfaat dalam memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Ayukea et al. 2011) Pada prinsipnya kesuburan tanah juga dipengaruhi oleh sifat fisika tanah yang juga dapat diperankan oleh makrofauna/mesofauna tanah, seperti cacing tanah, rayap, uret, dan lain-lain. Makrofauna dan mesofauna tanah ini juga dapat didayagunakan sebagai organisme untuk biofertilizer tanah. Subowo et al. (2002) mendapatkan bahwa aplikasi cacing tanah endogaesis Pheretima hupiensis dewasa pada Ultisol Banten dapat menurunkan kepadatan tanah lapisan olah dan meningkatkan produksi kedele. Aplikasi cacing tanah selain dalam bentuk cacing dewasa pada prinsipnya juga dapat dilakukan melalui kokon hasil reproduksi cacing tanah dewasa. Dalam aplikasi biofertilizer hendaknya diperhatikan faktor-faktor yang menjadi pembatas kesuburan tanah. Pilihan jenis organisme yang diharapkan dapat memperbaiki kesuburan tanah mampu tumbuh dan berkembang di lapangan. Agar aktivitas organisme dari biofertilizer dapat berperanan aktif hendaknya juga disediakan hara dan energi untuk mendukung kehidupannya.
POTENSI BIOFERTILIZER DALAM MENINGKATKAN KESUBURAN TANAH DAN HASIL TANAMAN Sebagai negara kepulauan megabiodiversitas terbesar ketiga di dunia, Indonesia selayaknya memberdayakan sumberdaya hayati tanah dalam pemanfaatan sumberdaya tanah untuk produksi tanaman. Sebagian besar keanekaragaman hayati ekosistem pertanian terletak pada tanah yang memiliki
16
pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap pertumbuhan dan kualitas tanaman (Estrade et al. 2010). Petani yang melakukan pengolahan tanah, sengaja atau tidak sengaja telah melakukan pengelolaan keanekaragaman hayati tanah. Populasi mikroorganisme heterotrof tanah di kawasan hutan tropika basah lebih tinggi dibanding di kawasan subtropika. Masing-masing bakteri tanah ±5 kali lebih banyak dan fungi ±2 kali lebih panjang, namun untuk fauna tanah terjadi sebaliknya dengan populasi 3-7 kali lebih rendah dibanding kawasan subtropika (Swift et al. 1979, dalam Deshmukh 1986). Selanjutnya Giller et al. (1997) menyatakan bahwa dalam upaya pengembangan pertanian intensif kawasan tropika yang petaninya memiliki kemampuan memberikan input/ pupuk lemah, pemberdayaan sumberdaya hayati tanah relevan untuk diupayakan. Anas (2010) mengelompokkan jenis biofertilizer meliputi: (1) mikroba penambat N2-udara baik secara simbiotik maupun non simbiotik, (2) mikroba pelarut fosfat (bakteri maupun fungi), (3) mikroba pengahasil senyawa pengatur tumbuh, (4) mikroba yang dapat memperluas permukaan akar, (5) mikroba perombak bahan organik (dekomposer), dan (6) mikroba pelindung tanaman terhadap hamapenyakit. Beberapa organisme tanah penting dalam mendukung kesuburan dan produktivitas tanah pertanian seperti pada Tabel 1. Sebagaimana organisme fungsional dalam tanah yang memiliki peranan penting untuk mendukung kesuburan tanah tropika yang kahat hara makro N dan P akibat tingginya laju pencucian N dan penyematan P oleh bahan tanah, maka pemberdayaan organisme tanah yang mampu menambat N2-bebas dan atau mampu melepaskan sematan P-tanah akan sangat memberikan manfaat dalam mendukunng kesuburan tanah untuk tanaman. Organisme tanah yang mampu melakukan penambatan N2-udara pada prinsipnya dapat dilakukan oleh beberapa jenis mikroorganisme melalui enzim nitrogenase yang dihasilkan (Gambar 1). Kandungan enzim nitrogenase dalam tanah akan dapat diketahui potensi kemampuan penambatan N oleh organisme tanah. Sementara untuk pelepasan sematan P dalam tanah oleh enzim fosfatase dihasilkan oleh beberapa jenis mikroorganisme tanah. Apabila kandungan enzim fosfatase dan kandungan P dalam tanah diketahui, maka potensi pelepasan P oleh mikroorganisme tanah dapat diketahui.
Subowo et al. : Prospek dan Tantangan Pengembangan Biofertilizer
Tabel 1. Beberapa organisme tanah yang berperan penting dalam meningkatkan kesuburan tanah Table 1. Some soil organism that have important role in increasing of soil fertility No. Jenis organisme tanah 1. Bakteri : - Rhizobium - Azotobacter sp. - Azospirilum sp. - Nitrosomonas sp. - Nitrococcus sp. - Bacillus sp. - Pseudomonas sp. 2.
Fungi : - Endomikoriza (VMA) - Ectomikoriza - Aspergillus niger - Trichoderma
Peranan dalam kesuburan tanah
Tanaman sasaran/target
-
Penambat N-simbiotik Penambat N hidup bebas. Penambat N hidup bebas. Penambat N hidup bebas. Penambat N hidup bebas. Pelarut fosfat hidup bebas Pelarut fosfat hidup bebas
-
Tanaman legume Aneka tanaman Aneka tanaman Aneka tanaman Aneka tanaman Aneka tanaman Aneka tanaman
-
Pemasok fosfat tanaman lahan kering - Aneka tanaman semusim lahan kering Pemasok fosfat tanaman lahan kering - Aneka tanaman tahunan lahan Pelarut fosfat tanah kering kering. Perombak bahan organik - Aneka tanaman lahan kering (pangan, hortikultura, perkebunan, hutan, dan pekarangan)
>103 cfu/g tanah >103 cfu/g tanah >103 cfu/g tanah >103 cfu/g tanah >103 cfu/g tanah >103 cfu/g tanah >103 cfu/g tanah Ditemukan Ditemukan Ditemukan Ditemukan
3.
Blue Green Algae : - Nostoc - Anabaena - Oscilatoria
- Penambat N bebas/simbiotk - Penambat N bebas/simbiotk - Penambat N bebas/simbiotk
4.
Fauna tanah : - Cacing tanah
>10 ekor/m2 - Perbaikan fisik dan perombak bahan - Aneka tanaman (pangan, hortikultura, perkebunan, hutan, dan organik tanah kering pekarangan) Ditemukan - Perombak bahan organik tanah lahan kering Ditemukan - Perombak bahan organik tanah lahan kering
- Rayap - Collembola
- Aneka tanaman lahan basah dan sebagai sumber pupuk organik
Indikator populasi
Ditemukan Ditemukan Ditemukan
Sumber: Subowo et al. (2010)
Sumber: Rao (1994)
Gambar 1. Daur hara N dalam tanah dan tanaman Figure 1.
N nutrient recycle in soil and plant
17
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No. 1 - 2013
Efisiensi penambatan Azotobacter lebih rendah dibandingkan bakteri penambat N simbiosis yang disebabkan oleh adanya faktor pembatas berupa ketersediaan karbon organik dalam tanah (Marschner 1993). Faktor eksternal lainnya yang dapat mempengaruhi penambatan nitrogen adalah kelembaban tanah, pH tanah, sumber karbon, cahaya dan penambahan nitrogen. Besarnya populasi bakteri penambat nitrogen perakaran, potensial redoks dan konsentrasi oksigen yang tinggi dapat meningkatkan aktivitas penambatan nitrogen (Trooldenier 1977 dalam Hindersah dan Simarmata 2004). Inokulas Azotobacter menaikkan 15100% hasil tanaman pada ekosistem lahan kering dan mengurangi pupuk hingga 30% (Kader et al. 2002). Aplikasi bakteri penambat N (Azospirillum) mampu memacu peningkatan hasil pertanian sebesar 30-50% pada kondisi tanah dan iklim yang berbeda pada jangka waktu 20 tahun (Katupitiya and Vlassak 1990). Sementara pemanfaatan bakteri pelarut P sebagai pupuk hayati mempunyai keunggulan antara lain hemat energi, tidak mencemari lingkungan, membantu peningkatkan kelarutan P yang terjerap, dan menghalangi jerapan pupuk P oleh Al3+, Fe3+, dan Mn+2 pada tanah masam. Pada jenis-jenis tertentu mikroba pelerut P ini dapat memacu pertumbuhan tanaman, karena menghasilkan zat pengatur tumbuh, menahan penetrasi patogen akar karena cepat mengkolonisasi akar dan menghasilkan senyawa antibiotik (Elfiati 2009). Subowo et al. (2011) mendapatkan bahwa aplikasi pupuk hayati pada tanah Ultisol dengan populasi mikroba fungsional tanah yang sudah cukup
tinggi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi kedelai (Tabel 2).
PERMASALAHAN APLIKASI BIOFERTILIZER PADA LAHAN PERTANIAN Kepemilikan lahan pertanian tanaman pangan yang sempit (<0,2 ha KK-1), memaksa petani memanfaatkan lahan secara intensif dan terus menerus dengan sirkulasi pola tanam dan komoditi yang relatif sama sepanjang tahun. Tekanan keseimbangan hara dalam tanah menjadi sangat rentan, utamanya hara makro (NPK). Sementara bahan organik sisa panen tidak sempat dikembalikan ke lahan untuk mengejar pertanaman berikutnya. Hara N dan K yang tidak memiliki penyanggaan yang kuat di dalam tanah akan mudah tercuci, sementara hara P yang mudah terfiksasi oleh bahan tanah akan mengalami immobilisasi. Rendahnya kandungan bahan organik tanah juga menekan populasi sumberdaya hayati tanah yang berperanan penting sebagai agen pengendali kesuburan tanah alami. Selain itu dalam sistem budidaya pertanian intensif sering kali dilakukan aplikasi bahanbahan pestisida, sehingga dapat mengganggu populasi organisme tanah bukan target. Aplikasi herbisida paraquat untuk persiapan tanam menekan populasi Rhizobium tanah, namun tidak menekan populasi jamur Aspergillus, sp., Penicillium, sp. dan khamir (Jatmiko, et al. 2006). Akibatnya kegiatan budidaya pertanian tanaman pangan semusim harus selalu diberikan pupuk/hara segar ataupun biofertilizer untuk mendukung produksi tanaman.
Tabel 2. Bobot brangkasan dan bobot kering biji kedelai (kadar air 12%) di Lebak, Banten Table 2. Dry weight of soybean biomass and seed (water content 12%) at Lebak, Banten No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Perlakuan Kontrol R R + CT R + CT + BP R + CT + BP + A R + CT + BP + A + FP CT + A + FP
Bobot brangkasan kering panen
Bobot kedelai kering (kadar air 12%)
…………….……………… t ha-1 ………………….………… 0,66 a 1,09 a 0,49 a 1,01 a 0,61 a 1,00 a 0,66 a 1,37 a 0,46 a 0,83 a 0,51 a 1,01 a 0,93 a 0,65 a
Sumber: Subowo et al. (2011) Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Pupuk dasar 5 t pupuk kandang per ha, 1 t kapur ha-1, dan NPK (Urea, SP-36, dan KCl) rekomendasi berdasarkan uji tanah. R: Rhizobium sp, CT: cacing tanah endogaesis, BP: Bakteri P, A: Azotobacter sp, FP: fungi P.
18
Subowo et al. : Prospek dan Tantangan Pengembangan Biofertilizer
Masalah yang harus dihadapi dalam aplikasi biofertilizer adalah kesiapan tanah/habitat untuk
kehidupan organisme heterotrof. Apabila di dalam
mendukung
cukup dilakukan pembenahan kondisi habitat dengan
kehidupan
organisme
pupuk
hayati.
tanah telah tersedia agensia hayati yang memadai,
Alexander (1977) menyatakan bahwa organisme tanah
pemberian
alami/natif yang telah beradaptasi dengan habitatnya lebih mewarnai aktivitas metabolik komunitasnya.
apabila belum cukup tersedia dapat dilakukan pengkayaan agensia hayati tanah dengan biofertilizer
Sementara organisme introduksi hanya mampu hidup
ataupun ameliorasi.
dalam waktu singkat dan tidak memiliki kemampuan mengubah kondisi komunitas secara signifikan. Untuk
Hasil uji efektivitas pada tanaman caisim di rumah kaca, aplikasi biofertilizer pada tanah Inceptisol
itu pemberdayaan organisme tanah natif menjadi
Bogor
sangat
dengan
fungsional tanah natif cukup tidak memberikan
mengganggu
pengaruh lebih baik dibanding pemupukan NPK
keseimbangan lingkungan dan juga murah dalam aplikasinya. Aplikasi biofertilizer hendaknya
rekomendasi (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa organisme fungsional dari biofertilizer yang diaplikasikan
memperhatikan faktor pembatas daya dukung tanah,
memiliki efektivitas dalam meningkatkan ketersediaan
terutama C-organik tanah sebagai sumber energi bagi
hara tanaman caisim lebih rendah dibanding organisme
penting,
selain
lingkungannya,
telah
sehingga
beradaptasi tidak
amelioran
yang
telah
ataupun
memiliki
pupuk. Sementara
populasi
organisme
Tabel 3. Pengaruh biofertilizer terhadap jumlah daun tanaman caisim saat umur 1, 2, dan 3 minggu setelah tanam (MST), dan berat daun segar saat panen Table 3. The effects of biofertilizer to leafe number of caisim at 1, 2, and 3 week after planting, and leaf fresh weigth at harvesting time No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kode
Jumlah daun
Perlakuan
P1 P2 P3 P4 P5 P6
1 MST
Kontrol lengkap NPK-rekomendasi Biofertilizer ¼ NPK-rekmds + biofertilizer ½ NPK-rekmds + biofertilizer ¾ NPK-rekmds + biofertilizer
3,83 a 4,50 c 4,00 a 4,17 b 4,00 a 4,17 b
2 MST 6,17 a 6,33 b 6,00 a 5,50 a 5,67 a 5,50 a
3 MST 7,67 a 9,17 b 8,00 a 8,33 a 8,83 b 8,33 a
Panen g pot-1 10,33 a 13,67 c 10,67 a 11,33 a 13,00 b 13,50 b
Sumber : Anonim (2012) Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata sampai taraf nyata DMRT 5%.
Tabel 4. Pengaruh pemberian N dan inokulasi Bradyrhizobium japonicum terhadap jumlah bintil akar dan produksi kedelai dan kacang hijau Table 4. The effect of N application and Bradyrhizobium japonicum to root nodule number and soybeand and mungbean yield Perlakuan P
K
N
Kedelai Inokulasi
-1
……………….. kg ha ……………….. 0 0 0 0 0 100 0 0 0 100 100 0 100 100 100 100 100 0
+ +
Jumlah bintil 13 8 51 26 26 58
Kacang hijau
Hasil biji -1
t ha 0,88 1,18 1,36 0,95 1,25 1,40
Jumlah bintil 13 10 15 21 15 29
Hasil biji t ha-1 1,46 1,51 1,47 1,88 1,99 1,92
Sumber : Gunarto et al. (1987) Keterangan: - = tidak dilakukan inokulasi + = dilakukukan inokulasi campuran 3 strain Bradyrhizobium japonicum: TAL 102, 377, dan 379
19
Produksi CO2 (mg/0,5 kg 72 jam)
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No. 1 - 2013
y = -49.022x3 + 281.98x2 - 498.62x + 297.82
60
2
R = 0.6335
50 40 30 20 10 0 1
1.5
2
2.5
Kadar C-organik (% )
Gambar 2. Hubungan antara aktivitas pelepasan CO2 oleh biomasa organisme tanah dengan kandungan C-organik tanah (%) (Santosa, 2009). Figure 2.
Relationship between CO2 released by soil organism biomass with soil C-organic content
fungsional tanah natif. Gunarto et al. (1987) juga
organisme target dapat berkembang sesuai rencana
mendapatkan
pengembangan komoditi yang akan dikembangkan.
japonicum
bahwa
tanpa
inokulasi
pemupukan
Bradyrhizobium
NPK
memberikan
pengaruh positif terhadap jumlah bintil akar dan produksi kedelai. Sebaliknya inokulasi Bradyrhizobium japonicum tanpa pemupukan NPK pada tanaman kacang hijau tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
jumlah
bintil
akar
maupun
produksi
dibanding kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa Bradyrhizobium japonicum hanya memiliki
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI BIOFERTILIZER Pada prinsipnya kandungan organisme fungsional dalam biofertilizer adalah dari jenis-jenis organisme
tanah
mikroorganisme)
(makroorganisme
yang
memiliki
dapat
baik
untuk
memperbaiki
sedang untuk kacang hijau tidak kompatibel. Sementara pemberian NPK tanpa inokulasi Bradyrhizobium
sifat fisik tanah dan ketahanan tanaman. Organisme
pada
tanaman
kacang
hijau
mampu
memberikan produksi lebih tinggi (Tabel 4). Aplikasi EM-4 yang hanya memberikan mikroba fungsional
tanpa
pemupukan
NPK
memberikan
populasi mikroba fungsional ataupun produksi jagung lebih rendah, bahkan dengan kontrol tanpa inokulasi tidak jauh berbeda (Tabel 5). Untuk itu pemberdayaan organisme tanah natif fungsional positif (bakteri-P, fungi-P maupun penambat N) dengan pemupukan sebagai sumber hara ataupun pemberian bahan organik sebagai sumber energi akan lebih efektif dan bernilai guna dibanding dengan pendekatan introduksi semata. Pada tanah yang belum memiliki kondisi yang memadai untuk mendukung aktivitas hayati tanah perlu
20
kiranya
dilakukan
perbaikan
habitat
agar
tanah,
fungsi
kompatibilitas/kecocokan dengan tanaman kedele,
japonicum
kesuburan
maupun
meningkatkan ketersediaan hara ataupun perbaikan tanah yang merupakan sel hidup, memiliki sensitivitas terhadap lingkungan/habitat sangat tinggi, sehingga aplikasi
di
lapangan
sering
kali
tidak
mampu
memberikan respon sesuai yang diharapkan. Demikian pula dengan tingginya diversitas sumberdaya tanah juga menambah gangguan terhadap keberhasilan aplikasi biofertilizer di Indonesia. Pilihan biofertilizer dapat berisikan organisme tunggal ataupun organisme majemuk/konsorsia. Dalam proses produksi biofertilizer tunggal relatif lebih mudah, namun potensi memperbaiki kesuburan tanah dan cakupan target di lapangan lebih sempit. Sebaliknya biofertilizer majemuk (konsorsia) memiliki kemampuan memperbaiki kesuburan tanah lebih luas namun proses produksinya relatif lebih sulit. Antar
Subowo et al. : Prospek dan Tantangan Pengembangan Biofertilizer
Tabel 5. Pengaruh pemupukan dan ameliorasi terhadap populasi organisme tanah dan produksi jagung pada tanah Plinthic Kandiudult Lampung Table 5. The effect of fertilization and amelioration to soil organism population and corn yield on Plinthic Kandiudult soil of Lampung Perlakuan: pupuk/inokulasi
Populasi organisme tanah setelah panen
Produksi jagung (kg ha-1)
Bakteri-P (x 104 cfu g-1)
Azotobacter (x 103 cfu g-1)
Actinomycetes (x 103 cfu g-1)
Tanpa pupuk: Kontrol Bahan Organik (BO) Bokashi EM-4
44 70 62 55
104 106 142 96
103 119 83 58
4,05 6,49 6,61 5,86
Pupuk NPK Kontrol Bahan Organik (BO) Bokashi EM-4
49 82 83 52
51 56 87 65
70 78 63 62
6,35 7,35 7,60 6,60
Sumber: Hamzah dan Nasution (1999)
individu
organisme
fungsional
yang
terkandung
Hasil penelitian Santosa (2009) menunjukkan
didalamnya harus tidak bersifat antagonis. Untuk itu dalam proses produksi biofertilizer majemuk, uji
bahwa penambahan kadar C-organik tanah
kompatibilitas di antara organisme fungsional target
(BPF) dan mikroba tanah lainnya yang ditunjukkan
harus dilakukan sebelum digabungkan dalam produk
peningkatan aktivitas dehidrogenase, produksi CO2-
pupuk hayati. Selain itu uji kompatibilitas hendaknya
tanah, kadar P-tersedia (Bray I) dan penurunan kadar
juga dilakukan terhadap organisme natif yang ada di
Aldd (Gambar 2). Pada tanah yang berkadar C-organik
lapangan, agar nilai fungsional organisme target dapat
1,5%, sterilisasi tanah tidak berpengaruh terhadap
lebih optimal dan bernilai guna. Demikian pula dengan
aktivitas BPF yang ditunjukkan tidak adanya perbedaan
media/karier
perlu
aktivitas dehidrogenase, produksi CO2-tanah dan kadar
mempertimbangkan kondisi daya dukung tanah yang
P-Bray I. Pada kadar C-organik 1,7% isolat BPF pada
akan dipupuk, baik populasi organisme eksisting
tanah steril nyata meningkatkan kadar P-Bray I. Pada
maupun sifat fisik dan kimia tanahnya. Apabila daya
tanah yang berkadar C-organik >2,1% sterilisasi tanah
dukung kurang memadai dapat dilakukan pengkayaan
tidak
dengan pemupukan maupun ameliorasi.
inokulasi
Keragaan hasil produk pupuk hayati konsorsia yang mengandung jamur mikoriza arbuskula (Glomus
dehidrogenase, produksi CO2-tanah, kadar P Bray I dan
mosseae atau intraradices Glomus) dengan atau tanpa
menunjukkan bahwa kandungan C-organik tanah
mikroba penambat N (Azotobacter chroococcum) dan
sangat menentukan keberhasilan dalam aplikasi biofertilizer untuk memperbaiki kesuburan tanah. Perlu
yang
digunakan
pelarut P (Bacillus megaterium) dan pelarut K (Bacillus
Ultisols
dapat meningkatkan aktivitas bakteri pelarut fosfat
memberikan BPF
perbedaan nyata
yang
nyata
meningkatkan
tetapi
aktivitas
menurunkan kadar Aldd. Dari gambaran di atas
meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung (tinggi
kiranya dilakukan evaluasi ambang batas C-organik tanah yang layak untuk aplikasi biofertilizer. Demikian
tanaman dan produksi biomas), kandungan N total, P
juga untuk kandungan enzim nitrogenase ataupun
dan K pada tanaman, kandungan bahan organik dan N total tanah, jamur mikoriza arbuskula (JMA) memiliki
fosfatase tanah untuk digunakan sebagai ambang batas kelayakan aplikasi biofertilizer.
mucilaginous)
menunjukkan
pengaruh
nyata
tingkat infeksi akar yang lebih tinggi. Sebaliknya, JMA berpengaruh
menghambat
bakteri
pelarut
P.
Kekurangan hara dalam tanah mengakibatkan populasi bakteri penambat N dan kolonisasi JMA lebih tinggi (Wu et al. 2005).
Perkembangan
teknologi
pengkayaan/
pemupukan hayati tanah: Teknologi
pengkayaan
hayati
tanah
pada
awalnya dilakukan dengan memindahkan tanah yang kaya hayati tanah fungsional (soil transfer). Teknologi ini
21
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No. 1 - 2013
Tabel 6. Contoh mikrobia konsorsia biofertilizer dengan jenis dan populasi mikroorganisme dominan mikroorganisme pada Table 6. Sample of biofertilizer consurcia microorganism and the spesific kind and population of dominant microorganism Populasi (cfu mi-1)
No.
Jenis mikro
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Rhizobium, sp Azotobacter, sp Azospirillum, sp Bacillus, sp. Aspergillus niger Lactobacillus, sp Trichoderma
Jenis fungsional
5,0 x 107 2,3 x 107 1,4 x 106 2,5 x 106 3,1 x 104 2,7 x 107 2,0 x 103
Bakteri penambat N2-udara simbiotik Bakteri penambat N2-udara non simbiotik Bakteri penambat N2-udara non simbiotik Bakteri pelarut P Fungi pelarut P Bakteri perombak bahan organik Fungi perombak bahan organik
Tabel 7. Pengaruh pemberian pupuk hayati kombinasi dengan sumber energi dan hara serta bahan ikutan lain Table 7. The effect of biofertilzer application combined with source of energy and nutrient and others additional material No
Perlakuan
Produksi GKG (t ha-1)
1. 2. 3. 4. 5.
Biofertilizer 1 Biofertilizer 2 Biofertilizer 3 Biofertilizer 4 Petani
8,94 bc 8,80 b 9,14 c 8,62 b 7,18 a
Kandungan antioksidan beras pecah kulit (ppm)*) Fe Zn Ca Mg 237 ab 486 d 415 c 180 a 378 bc
32 b 30 b 35 b 37 b 15 a
0,14 b 0,19 b 0,16 b 0,14 b 0,01 a
0,17 b 0,17 b 0,16 b 0,17 b 0,10 a
Keterangan: *) Hasil analisa Laboratorium Kimia, Balai Penelitian Tanah, Bogor. Biofertilizer 1: pupuk hayati murni Biofertilizer 2: pupuk hayati murni + energi Biofertilizer 3: pupuk hayati murni + energi + hara Biofertilizer 4: pupuk hayati murni + energi + hara + protektan Sumber: Anonim (2012).
dilakukan dengan memindahkan sejumlah tanah yang
melakukan budidaya (rearing). Bahan hayati cacing
diyakini mengandung organisme tanah fungsional
tanah yang digunakan berupa kokon maupun cacing
untuk memperbaiki kesuburan tanah. Melalui teknologi ini terjadi pengkayaan organisme tanah beserta habitat
tanah dewasa. Nurlaily dan Subowo (2011) mendapatkan media budidaya (rearing) cacing tanah
alaminya (hara dan energi). Kondisi keseimbangan
endogaesis adalah 6 bagian bahan tanah mineral dan 1
ekosistem
bagian bahan organik pupuk kandang. Pengembangan biofertilizer secara kultura ini
tanah
relatif
tidak
terganggu,
namun
memerlukan biaya yang besar untuk pengangkutan tanah dan nilai perbaikan tidak maksimal. Pengembangan biofertilizer secara Teknologi
ini
dilakukan
(menginokulasi)
organisme
dengan tanah
dapat dilakukan dengan menggunakan organisme kultur.
mengekstrak
yang
memiliki
tunggal ataupun campuran dari beberapa jenis mikroba (konsorsia). Biofertilizer dengan organisme tunggal
yang
memiliki kemudahan dalam memilih media pembawa (carrier) serta dalam aplikasinya mudah diarahkan
diperbanyak menggunakan media spesifik. Selanjutnya
sesuai target fungsional yang diperlukan. Namun nilai
inokulan
lapangan untuk pengembangan komoditi tertentu tanpa
fungsional yang diperoleh terbatas hanya untuk fungsional organisme tersebut. Sementara biofertilizer
mempertimbangkan
konsorsia di buat dengan target mampu memberikan
kemampuan
memperbaiki
hasil
kesuburan
perbanyakan kondisi
tanah
ini diaplikasikan daya
dukung
di
tanah.
Jaminan aktivitas organisme fungsional target tidak
nilai
dapat dipertanggungjawabkan dan sangat tergantung
permasalahan lapangan dan komoditi target. Masalah
kesiapan tanah menyediakan hara dan energi dan daya adaptasi organisme. Teknologi produksi biofertilizer
yang dihadapi adalah perpaduan/kompatibilitas di
makroorganisme dari cacing tanah dilakukan dengan
yang tepat, sehingga organisme yang ada dapat tetap
22
fungsional
yang
lebih
lengkap
sesuai
antara organisme yang dipadukan serta pilihan media
Subowo et al. : Prospek dan Tantangan Pengembangan Biofertilizer
hidup dan mampu memberikan fungsinya dengan baik (Tabel 6).
Untuk mengantisipasi kondisi ini, sistem produksi biofertilizer umumnya diarahkan ke bentuk
Belakangan ini berkembang teknologi aplikasi biofertilizer dengan diikuti pengkayaan hara dan energi
universal dengan formula bentuk konsorsia dengan
serta bahan amelioran yang mampu meningkatkan
kemasan agar memiliki spektrum pemakaian luas. Hasil
ketahanan tanaman dari serangan hama penyakit.
aplikasi menjadi sangat bervariasi, pada tempat-tempat
Dengan teknologi ini diharapkan aktivitas hayati tanah
tertentu positif dan pada tempat lainnya tidak nyata
target
berfungsi sebagai mana seharusnya. Masalah yang
dan bahkan dapat memberikan hasil negatif. Aplikasi biofertilizer sebaiknya dilakukan pada habitat tanah
mungkin timbul adalah terdesaknya organisme tanah
dengan kandungan bahan organik sebagai sumber
fungsional
baru
energi dan hara yang mencukupi untuk mendukung
(introduksi), dan pada saat lain apabila pasokan hara
aktivitasnya. Sementara kesuburan tanah pertanian di
dan energi yang dibutuhkan untuk organisme baru ini
Indonesia rendah akibat rendahnya kandungan bahan
tidak tersedia akan mengalami kemerosotan populasi.
organik dan ketersediaan hara. Las dan Setiorini (2010)
Hasil aplikasi pupuk hayati diikuti bahan amelioran
menyatakan bahwa lahan pertanian di Indonesia ±73%
sebagai sumber energi dan hara serta bahan ikutan lain
memiliki kandungan C-organik tanah <2,00% (rendah – sangat rendah). Aplikasi biofertilizer tanpa diikuti
dapat
memiliki
positif
jaminan/dukungan
natif
meningkatkan
oleh
produksi
untuk
organisme
dan
dapat
kandungan
berbagai jenis organisme
fungsional
dalam satu
antioksidan Zn, Ca dan Mg beras pecah kulit (Tabel 7).
pemberian bahan organik sebagai sumber energi untuk
Melihat permasalahan di atas, ke depan aplikasi biofertilizer ke dalam tanah hendaknya juga
mendukung
mempertimbangkan kelestarian organisme fungsional positif natif yang telah ada dan juga disediakan habitat
Penetapan parameter kunci untuk memberikan jaminan keberhasilan aplikasi biofertilizer menjadi penting,
yang sesuai untuk mendukung aktivitas organisme
seperti kandungan C-organik tanah, kandungan enzim
target.
nitrogenase, dan kandungan fosfatase.
kehidupannya
kurang
memberikan
pengaruh nyata terhadap target yang diharapkan.
Untuk itu tantangan dan solusi dalam aplikasi
TANTANGAN DAN SOLUSI APLIKASI BIOFERTILIZER UNTUK PENINGKATAN KESUBURAN TANAH Pemberdayaan biofertilizer adalah dalam rangka memperbaiki populasi hayati tanah fungsional positif, baik jumlah maupun jenisnya untuk meningkatkan kesuburan tanah. Indonesia yang merupakan negara kepulauan (±17.000 pulau) di kawasan troipika basah dengan jalur cincin api (ring of fire) memiliki diversifikasi sumberdaya lahan sangat lebar. Munir (1996) menyatakan bahwa Indonesia memiliki nilai erupsi indek >99% tertinggi di dunia. Pasokan mineral selain berasal dari aktivitas vulkanik juga dapat berasal dari deposit marine di sepanjang pantai. Pada saat erupsi, terjadi pengkayaan mineral, namun juga terjadi sterilisai hayati tanah di kawasan-kawasan tertentu. Akibatnya diversitas sumberdaya hayati tanah secara spasial dan waktu sangat tinggi. Untuk itu teknologi aplikasi biofertilizer hendaknya juga memperhatikan kemampuan daya dukung yang bersifat spesifik lokasi.
hayati tanah dalam rangka pemulihan kesuburan tanah dapat dilakukan langkah sbb: Pemberian pupuk organik sebagai sumber hara dan energi bagi organisme tanah yang memiliki nilai fungsional untuk kesuburan tanah perlu ditetapkan. Pemberian bahan organik ke dalam tanah juga membantu kelembaban
mengurangi tanah,
erosi,
mempertahankan
mengendalikan
pH
tanah,
memperbaiki drainase, mencegah pengerasan dan retakan, meningkatkan kapasitas pertukaran ion, dan meningkatkan aktivitas biologi tanah (Vidyarthy and Misra 1982). Semua peran tersebut dapat berlangsung setelah bahan organik mengalami perombakan oleh aktivitas organisme tanah. Tanpa adanya aktivitas organisme tanah bahan organik akan tetap utuh (tidak terurai) di dalam tanah dan dapat mengganggu sistem produksi tanaman. Lal (1995) menyatakan penurunan jumlah dan kualitas bahan organik serta aktivitas biologi maupun keanekaragaman spesies fauna tanah merupakan bentuk degradasi tanah yang penting untuk tanah tropika basah. Sebagai wilayah megabiodiversitas
23
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No. 1 - 2013
selayaknya memberdayakan potensi sumberdaya hayati tanah tersebut untuk memberikan sumbangan yang
Untuk menjamin adanya peran aktivitas hayati fungsional dari biofertilizer yang diaplikasikan perlu
besar dalam upaya meningkatkan kesuburan dan
dilakukan penambahan hara maupun energi untuk
produktivitas tanah. Aplikasi biofertilizer
memperbaiki
mendukung kehidupannya. Selain itu agar aplikasi biofertilizer sesuai dengan sasaran, maka penetapan
kesuburan tanah dapat dilakukan dengan pengkayaan
pilihan jenis biofertilizer perlu disesuaikan dengan
populasi hayati tanah yang belum tersedia pada tanah
kondisi daya dukung tanah meliputi kandungan C-
tersebut dan memiliki fungsional tinggi. Apabila
organik, enzim nitrogenase, dan enzim fosfatase. Agar
populasi hayati tanah target telah tersedia di dalam
mudah
tanah (natif) dapat dilakukan uji efektivitasnya. Apabila
kandungan tersebut dapat dibuat dalam bentuk penera
memiliki nilai efektivitas rendah, maka dapat diperkaya
biologi tanah (soil biotest kit).
untuk
dalam
aplikasinya
bahan-bahan
penera
dengan jenis lain yang memiliki efektivitas lebih tinggi. Pilihan
organisme
selain
kemampuan
fungsional
KESIMPULAN DAN SARAN
perombak bahan organik, penambat N dan pelarut fosfat perlu juga dilakukan pengujian terhadap peluang
Kesimpulan
peningkatan ketersediaan hara mikro lainnya yang penting
dalam
meningkatkan
produksi
tanaman
1.
Sejalan
dengan
kondisi
pertanian
di
Indonesia yang memiliki heterogenitas tinggi, pengembangan produksi biofertilizer hendaknya
(kuantitas maupun kualitas) Penetapan enzim fosfatase dalam tanah yang memiliki peranan penting dalam menyediakan P tanah
dilakukan
penting untuk dilakukan, sehingga aplikasi organisme
mempertimbangkan
pelarut P akan efektif apabila tanah tersebut memang
fungsional natif.
membutuhkan. Disamping itu, perlu ditetapkan besaran
tanah
2.
kandungan P-potensial yang layak untuk dilepaskan
secara
spesifik
lokasi
keberadaan
dengan organisme
Formulasi konsorsia biofertilizer dipilih dari jenis
oleh mikroba. Keberhasilan aplikasi organisme pelarut
organisme fungsional yang memiliki kompatibilitas tinggi dengan media pembawa(carrier) yang mampu
P menjadi efektif sesuai dengan daya dukung tanahnya.
melindungi
Apabila kandungan P–potensial dalam tanah rendah,
kompetisi dengan organisme natif.
aplikasi P-alam juga perlu ditambahkan. Untuk pengkayaan hara N, aplikasi biofertilizers
3.
oleh
mikroorganisme
diperankan
oleh
enzim
nitrogenase. Diketahuinya besaran enzim nitrogenase dalam tanah akan lebih mudah dalam menetapkan perlu tidaknya aplikasi biofertilizer penambat N2. Selanjutnya dapat dipilih organisme penambat N mana
Dalam evaluasi mikroba fungsional,
maupun perlu juga
hara selain NPK, termasuk hara mikro yang
yang aktif melakukan penambatan N cukup banyak seperti Rhizobium, Azotobacter, Azospirillum, BGA, dll sulit. Pada prinsipnya bahan aktif penambatan N 2-bebas
masing-masing
ditambahkan kemampuannya dalam menyediakan
penambat N juga perlu ditetapkan karena organisme
(Tabel 1). Untuk menetapkan pola aplikasinya menjadi
populasi
penting dalam mendukung kuantitas maupun kualitas produksi. 4.
Penetapan kriteria kesesuaian tanah untuk aplikasi biofertilizer perlu segera ditetapkan agar efektif dalam penerapannya, seperti kandungan C-organik tanah, enzim nitrogenase, dan enzim fosfatase. Saran
yang masih perlu ditingkatkan sesuai daya dukung
Metode analisis enzim nitrogenase dan enzim
tanahnya. Namun apabila aplikasi biofertolizer untuk
fosfatase tanah sampai saat ini masih sangat terbatas,
mikroba simbiotik pertimbangan kandungan enzim
perlu dilakukan inventarisasi metode analisis untuk
nitrogenase tanah dapat diabaikan dan pertimbangan
mengetahui hubungannya dengan aktivitas penyediaan
lebih pada hubungan komoditi target dan jenis mikroba
hara N dan P yang tepat untuk tanaman dan sesuai
penambat N yang digunakan.
kondisi tanah tropika basah.
24
Subowo et al. : Prospek dan Tantangan Pengembangan Biofertilizer
DAFTAR PUSTAKA Alexander, M. 1977. Introduction of Soil Microbiology. John Wiley and Sons, New York-Chichester-BrisbaneToronto-Singapore, 467 p. Anas I. 2010. Peranan pupuk Organik dan Pupuk Hayati dalam Peningkatan Produktivitas Beras Berkelanjutan. Seminar Nasional Peranan Pupuk NPK dan Organik dalam Meningkatkan Produktivitas dan Swasembada Beras Berkelanjutan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, 24 Februari 2010, 20 p. Anonim. 2012. Pengujian pupuk HYT a+b+c+d terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi sawah. Laporan akhir, kerjasama Balai Penelitian Tanah dan PT. Agrinos Indonesia. Belum dipublikasi, 34p. Ayukea, F.O, L. Brussaarda, B. Vanlauweb, J. Sixd, D.K. Lelei, C.N. Kibunjae, and M.M. Pullemana. 2011. Soil fertility management: Impacts on soil macrofauna, soil aggregation and soil organic matter allocation. Applied Soil Ecology 48 (2011) 53–62 Deshmukh, I. 1986. Ecology and Tropical Biology. Blackwell Scientific Publications, Inc. Palo Alto, Oxford, London, Edinburgh, Boston, Victoria. 387p. Elfiati. D. 2009. Peranan Mikroba pelarut fosfat tarhadap pertumbuhan tanaman. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/ download /fp/hutandeni%20elfiati.pdf. 5 Pebruari 2009. Estrade, J.R., C. Anger , M. Bertrand ,and G. Richard. 2010. Tillage and soil ecology: Partners for sustainable agriculture. Soil & Tillage Research 111 (2010) 33– 40. Giller K.E., M.H. Beare, P. Lavelle, A.M.N. Izac, and M.J. Swift. 1997. Agricutural Intensification, Soil Biodiversity and Agroecosystem Function. Applied Soil Ecology 6: 3 -16. Gunarto L., F.A. Bahar, dan H. Taslim. 1987. Pengaruh Pemberian N dan Inokulasi Rhizobium terhadap Pembintilan Akar serta Hasil Tanaman Kedelai dan Kacang Hijau. Agrikan 2: 33 – 37. Hamzah A. dan I. Nasution. 1999. Pengaruh Pemupukan N, P, K, Pupuk Hayati dan Bahan Organik Terhadap Populasi Mikroba Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Pros. Semnas SD Tanah, Iklim, dan Pupuk, Buku II, 191- 203. Hindersah, R. dan Simarmata, T. 2004. Artikel kilas balik: Potensi Rizobacterium Azotobacter dalam meningkatkan kesehatan tanah. Jurnal Natur Indonesia 5 (2): 127 - 133.
Jatmiko S.Y., N. Sutrisno dan A. Ichwan. 2006. Pengaruh persiapan lahan dengan herbisida terhadap mikroorganisme tanah dan hasil padi. Pros. Semnas Sumberdaya Lahan Pertanian (Buku III). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, p: 163 – 176. Kader,M.A,M.H. Mianand M.S. Hoque. 2002.Effect of Azotobacterinoculanton yield and nitrogen uptake.On Line J.bio. Sci.2 : 259-251. Katupitiya S, Vlassak. 1990. Colonization of Weed Roots by Azospirillum brasilense. In. Organic Recycling in Asia and Pasific. Rappa Bull.6-8 Lal R. 1995. Sustainable Management of Soil Resources in the Humic Tropics. United nations University Press, Tokio-New York-Paris, p: 25 – 29. Marscher, H. 1993. Mineral Nutrition of Higher Plant. Academic Press, 96p. Munir. 1996. Geologi dan Mineralogi Tanah. Pustaka Jaya. 290 hal. Nurlaily, R. dan Subowo.. 2011. Evaluasi Media Rearing Cacing Tanah Endogaesis (Pheretima hupiensis). Pros. Semnas Sumberdaya Lahan Pertanian (Buku I). Inovasi Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Tanah dan tanaman. Balai Besar Penelitian dan PengembanganSumberdaya Lahan Pertanian, p: 233 – 244. Rao, N.S.B. 1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman. Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta. 353p. Santosa, E. 2009. Aktifitas beberapa isolat bakteri pelarut fosfat pada berbagai kadar C-organik di tanah Ultisols. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Inovasi Sumberdaya Lahan, Bogor, 24-25 Nopember 2009 Buku II: Teknologi Konservasi, Pemupukan, dan Biologi Tanah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Subowo, E. Santosa, dan I. Anas. 2010. Peranan Biologi Tanah Dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan Pertanian Kawasan Megabiodiversity Tropika Basah. Jurnal Sumberdaya Lahan, Vol. 4, No. 2, p: 57-68. Subowo, E.K. Anwar, J. Purwani, dan R. Nurlaily. 2011. Penelitian dan Pengembangan Potensi Sumberdaya Hayati Tanah untuk Perbaikan Produktivitas Tanah dan Peningkatan Efisiensi Pemupukan. Laporan Hasil Kegiatan Penelitian DIPA 2011, Satker Balai Penelitian Tanah, 2011. Belum dipublikasikan. Subowo. 2011. Pengaruh aplikasi formula pupuk hayati terhadap produksi caisim pada tanah Inceptisol Bogor. Pros. Semnas Sumberdaya Lahan Pertanian (Buku I). Inovasi Teknologi Pengelolaan
25
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No. 1 - 2013
Sumberdaya Tanah dan Tanaman. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, p: 125 – 133. Vidyarthy, G.S. and R.V. Misra. 1982. The Role and Importance of Organic Materials and Biological Nitrogen Fixation in Rational Improvement of Agricultural Production. FAO Soils Bulletine, No. 45. Wu, S.C., Cao, Z.H., Li. Z. G., Cheung, K. C., Wong, M. H. 2005. Effects of biofertilizer containing N-fixer, P and K solubilizers and AM fungi on maize growth: a greenhouse trial. Soil Biology and Biochemistry. Vol. 125. March 2005. 155-166.
26
ISSN 1907-0799
Residu Jerami Padi untuk Meningkatkan Produktivitas Tanah Sulfat Masam Berkelanjutan Rice Straw Residue to Increase Sustainable Acid Sulphate Soil Productivity 1Ani
Susilawati dan Dedi Nursyamsi
1Peneliti
Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Lahan Rawa, Jl. Kebun Karet, Loktabat Utara, Banjarbaru 70712, Kalimantan Selatan, e-mail:
[email protected],
[email protected] Diterima 27 November 2012; Disetujui dimuat 11 Juni 2013 Abstrak. Lahan pasang surut sulfat masam baik aktual maupun potensial cukup luas sebarannya di tanah air sehingga berpotensi untuk perluasan pertanian. Kemasaman tanah, rendahnya ketersediaan hara, dan keracunan besi adalah kendala tanah utama yang sering menghambat pertumbuhan tanaman di tanah ini. Pengelolaan bahan organik adalah salah satu komponen teknologi penting untuk meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam yang berkelanjutan. Makalah ini memaparkan potensi residu jerami padi sebagai sumber hara dan amelioran yang mampu meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam berkelanjutan. Penggunaan residu jerami padi mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam karena residu jerami padi dapat menjadi sumber hara tanaman, meningkatkan efisiensi pemupukan P, dan mengurangi tingkat keracunan Fe. Penggunaan residu jerami padi dapat meningkatkan produksi padi sawah pada tanah sulfat masam. Bila residu jerami padi ini dikombinasikan dengan komponen teknologi lainnya seperti penggunaan decomposer trichoderma, varietas padi tahan keracunan besi (IR 66 dan Margasari), dan biofilter di saluran air masuk maka hasil tanaman padi akan lebih tinggi. Kata kunci : Berkelanjutan / Jerami padi / Produktivitas / Tanah sulfat masam Abstract. Large amount of acid sulfate soil area both actual and potential acid sulfate soil in Indonesia is potential for agriculture development. Soil acidity, low nutrient availability, and iron toxicity are some constrains that often limit plant growth in the soils. Organic matter management is one of the important technologies to increase sustainable acid sulfate soil productivity. This paper discuses the potency of rice straw residues as a source of nutrients and ameliorant that are able to increase sustainable acid sulfate soil productivity. The use of rice straw residue is a very important role in increasing acid sulfate soil productivity because it could be a source of plant nutrients, improve efficiency of P fertilizer, and reduce Fe toxicity. The use of rice straw residues can increase rice production at acid sulfate soil. If the rice straw residue is combined with other component of technologies, such as the use of decomposer of trichoderma, planting rice variety that is resistant to iron toxicity (IR 66 and Margasari), and a the use of biofilter in the inlet canal, the rice production would be higher. Keywords : Sustainability / Rice straw / Productivity / Acid sulphate soil
PENDAHULUAN
L
ahan rawa terdiri atas lahan rawa pasang surut dan lahan lebak termasuk di dalamnya lahan gambut. Menurut Alihamsyah (2004), luas lahan pasang surut di Indonesia berdasarkan tipologinya adalah sebagai berikut: lahan gambut kurang lebih 10.890.000 ha (54,26%), lahan sulfat masam 6.670.000 ha (33,24%), lahan potensial 2.070.000 ha (10,31%), dan lahan salin 440.000 ha (2,19%). Sementara itu lahan lebak meliputi lebak tengahan, kurang lebih 6.075.000 ha (44,77%), lebak dangkal 4.186.000 ha (30,84%), dan lebak dalam 3.308.000 ha (24,39%). Kemasaman tanah, rendahnya ketersediaan hara, keracunan besi, dan keracunan sulfat adalah sebagian
kendala sifat tanah yang sering menghambat pertumbuhan tanaman di tanah sulfat masam. Pengelolaan air, pengolahan tanah yang dikombinasikan dengan pemberian bahan organik in situ serta penggunaan varietas adaptif pada sistem tata air satu arah dapat meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam (Fahmi et al. 2006). Selain itu, ameliorasi dan pemupukan merupakan komponen penting dalam memperbaiki kondisi tanah di lahan pasang surut khususnya lahan sulfat masam. Ameliorasi tanah dimaksudkan agar reaksi tanah menjadi lebih baik serta unsur hara yang tersedia di dalam tanah meningkat dan penambahan unsur hara dari luar dapat lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Bahan organik (BO) mempunyai peranan yang penting di lahan rawa. Bahan organik yang diberikan
27
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No 1 - 2013
ke dalam tanah oleh petani biasanya adalah BO in situ yang terdapat melimpah dan murah seperti jerami padi. Jerami yang diberikan tersebut biasanya adalah sisa panen dari musim sebelumnya. Lahan sawah menghasilkan jerami sekitar 4-6 t ha-1 pada setiap musim tanam, bahkan bila petani menanam varietas lokal maka jerami padi yang dihasilkan jauh lebih banyak lagi, yaitu sekitar 7-9 t ha-1. Dobermann dan Fairhurst (2000) menyatakan bahwa setiap pengembalian 1 ton jerami sisa panen ke lahan akan mensuplay sekitar 5-8 kg N ha-1, 0,7-1,2 kg P ha-1, dan 12-17 kg K ha-1. Selain itu kompos jerami juga mengandung asam-asam organik seperti asam humat dan fulvat yang memiliki kemampuan mengkelat unsur racun sehingga tidak berbahaya bagi tanaman (Tan 2003). Makalah ini memaparkan potensi residu jerami padi sebagai sumber hara dan amelioran yang mampu meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam.
MASALAH FISIKO-KIMIA TANAH SULFAT MASAM Lahan pasang surut adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut atau sungai. Badan Litbang Pertanian membagi tipe luapan air lahan pasang surut berdasarkan pasang siklus bulanan menjadi tipe luapan A, B, C dan D. Lahan bertipe luapan A selalu terluapi air pasang, baik pada musim hujan maupun musim kemarau, sedangkan lahan bertipe luapan B hanya terluapi air pasang pada musim
hujan saja. Lahan bertipe luapan C tidak terluapi air pasang tetapi mempengaruhi muka air tanahnya dengan kedalaman kurang dari 50 cm, sedangkan lahan bertipe luapan D adalah seperti tipe C hanya kedalaman air tanahnya lebih dari 50 cm. Karakteristik contoh tanah dari berbagai tipologi dan tipe luapan air di lahan pasang surut Kalimantan Selatan dan Tengah disajikan pada Tabel 1. Tanah sulfat masam mempunyai beberapa permasalahan dari segi kesuburan tanah, antara lain pH tanah dan kandungan hara (khususnya P tersedia) yang rendah, kandungan Fe dan aluminium yang tinggi, genangan air yang sering tidak dapat dikendalikan (Purnomo et al. 2005), serta kandungan H2S dan Mn yang dapat mencapai tingkat racun (Andriesse and Sukardi 1990). Tanah sulfat masam yang kaya akan bahan-bahan tersebut jika mengalami oksidasi karena didrainase akan menghasilkan logam Fe dalam jumlah yang mencapai racun dan kemasaman yang sangat tinggi (Shamshuddin et al. 2004). Secara terperinci beberapa permasalahan tersebut di atas akan dijelaskan dalam uraian berikut.
Kemasaman Tanah Kemasaman yang tinggi merupakan penciri utama tanah sulfat masam. Kemasaman menggambarkan kondisi kimiawi, proses kimiawi yang mungkin terjadi, serta akibatnya terhadap keadaan tanah. Reaksi tanah sulfat masam tergolong masam sampai luar biasa
Tabel 1. Sifat fisiko-kimia tanah lapisan atas (0-30) cm pada berbagai tipologi dan tipe luapan air di lahan pasang surut Kalimantan Selatan dan Tengah Table 1. Physico-chemical properties of soil upper layer (0-30 cm) on various water overflow’s typology and type on tidal land of South and Central Kalimantan Sifat fisiko-kimia tanah pH C-organik (%) N-total (%) P2O5 tersedia (ppm) EC (uS cm-1) Kation dapat dipertukarkan: K (cmol kg-1) Na (cmol kg-1) Al (cmol kg-1) Kejenuhan basa (%) Tekstur: Liat (%) Debu (%) Pasir (%)
Tipe B
5,31 4,55 0,20 25,3 561,5
3,94 9,75 0,59 172,0
3,70-3,69 7,10-7,50 0,27-0,48 0,25-23,55 301,0
3,46-4,74 4,0-6,97 0,12-0,21 1,57 40,0
0,70 4,65 0,60 81
0,40 0,15 7,50 26
0,32 0,39 13,25 -
2,04 2,76 5,21 4,40-28,78
56 43 1
36 61 3
56 43 1
54 45 1
Sumber : Vadari et al. (1990) dan Noor et al. (1993)
28
Lahan sulfat masam aktual Tipe C
Lahan sulfat masam potensial Tipe A
Tipe B/C
Ani Susilawati dan Dedi Nursyamsi : Residu Jerami Padi untuk Meningkatkan Produktivitas
masam, yakni berkisar antara pH 4 (Entisol) dan pH < 3,5 (Inceptisol). Tanah sulfat masam yang tergenang mempunyai kemasaman tanah nisbi tinggi dengan pH > 4,0, tetapi apabila terjadi pengeringan pH akan turun secara drastis sehingga menjadi sangat masam (Noor 2004). Kemasaman merupakan kendala utama dalam pengembangan pertanian di tanah sulfat masam, karena pada pH < 4,5 terjadi peningkatan konsentrasi Al 3+, Fe2+ dan Mn2+ sehingga dapat meracuni tanaman. Keracunan unsur-unsur tersebut akan diiringi oleh kekahatan hara P, Ca, Mg, dan K pada tanaman (Notohadiprawiro 2000).
Besi dan Aluminium Tanah Tanah sulfat masam potensial mempunyai kandungan pirit pada kedalaman kurang dari 50 cm dari permukaan tanah yang cukup tinggi. Salah satu cara untuk mengatasi masalah pada tanah ini adalah dengan penyawahan (penggenangan), akan tetapi kendala lain akan muncul seperti keracunan Fe2+, H2S, dan asam-asam organik. Suriadikarta (2005) menyatakan, proses reduksi atau penggenangan kembali tanah ini akan menyebabkan peningkatan pH, tapi meningkatkan kelarutan Fe2+ dan H2S yang juga beracun bagi tanaman. Kelarutan Fe2+ melebihi 500 mg l-1 dan H2S melebihi 1 mg l-1 akan meracuni tanaman, tetapi hal ini tidak bisa dijadikan patokan, karena variasinya cukup besar tergantung pada varietas dan status hara tanah. Ion-ion berdifusi kepermukaan tanah atau terbawa oleh aliran air dalam pipa kapiler tanah ke permukaan. Ion ferro (Fe2+) yang berdifusi mengalami oksidasi menjadi ferri atau mengendap sebagai ferri oksida di permukaan tanah. Difusi ferro terus berlangsung ke permukaan tanah selama ada perbedaan konsentrasi dalam air di permukaan tanah dan di dalam tanah. Pada tanah sulfat masam dengan kondisi tergenang, Fe sering bersifat racun bagi tanaman, sedangkan keracunan Al jarang terjadi (Dobermann and Fairhurst 2000). Kadar aluminium (Al) pada tanah sulfat masam berkaitan erat dengan oksidasi pirit yang menghasilkan sulfat sehingga kondisi tanah menjadi sangat masam (pH < 4). Suasana yang sangat masam mempercepat pelapukan mineral alumino-silikat dengan membebaskan dan melarutkan Al yang lebih banyak. Al pada tanah sulfat masam selain dalam bentuk tertukar (Al3+) juga terdapat dalam bentuk hidroksil
(Noor 2004). Konsentrasi Al dapat meningkat beberapa kali lipat dengan penurunan pH tanah, dan pada konsentrasi 0,04-0,08 mol m-3 (1-2 mg kg-1) dapat meracuni tanaman. Pada tanah sawah yang umumnya mengalami penggenangan umumnya tidak terjadi keracunan Al karena peningkatan pH akibat penggenangan menyebabkan konsentrasi Al menjadi turun (Dobermann and Fairhurst 2000).
Ketersediaan Hara Tanah Secara umum ketersediaan unsur hara, baik hara makro maupun mikro pada tanah sulfat masam umumnya rendah. Hal ini disebabkan karena bahan induk tanah yang miskin hara dan kelarutan unsur hara yang rendah pada tingkat kemasaman tinggi. Sebaliknya ketersediaan hara mikro Fe umumnya berlebih bahkan sering kali konsentrasinya mencapai tingkat racun bagi tanaman. Selain unsur Fe, unsur Al juga ada kalanya meracuni tanaman di lahan sulfat masam ini. Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar C organik tanah sulfat masam aktual (tipe luapan B-C) berkisar antara 4,0-9,75% termasuk sedang hingga tinggi sedangkan tanah sulfat masam potensial (tipe luapan A) sekitar 4,55% termasuk sedang. Kadar N total berkisar antara 0,12-0,59% (sedang-tinggi), P tersedia berkisar antara 0,25-25,3 ppm P2O5 (rendah-tinggi), dan K dapat dipertukarkan berkisar antara 0,32-2,04 Cmol(+)kg-1 (rendah-tinggi). Hasil penelitian pada tanah sulfat masam lainnya menunjukkan bahwa ketersediaan P tanah rendah sampai sangat rendah. Demikian pula dengan ketersediaan hara lainya, seperti: Ca, Mg, K, Cu, Zn, dan B tanah ini rendah-sangat rendah (Notohadiprawiro 2000).
AMELIORASI DAN PEMUPUKAN Uraian di atas menunjukkan bahwa masalah utama yang membatasi pertumbuhan tanaman di tanah sulfat masam adalah kemasaman tanah, keracunan besi, dan kekahatan hara. Keracunan besi terjadi pada tanah sulfat masam yang disawahkan. Dengan demikian untuk pengembangan pertanian di lahan sulfat masam, permasalahan tersebut di atas perlu diatasi telebih dahulu. Ameliorasi dan pemupukan mutlak diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Ameliorasi dapat dilakukan melalui pemberian bahan amelioran (pembaik tanah) agar kondisi tanah kondusif untuk
29
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No 1 - 2013
pertumbuhan tanaman, sedangkan pemupukan atau pemberian pupuk bertujuan untuk menambah unsur hara yang masih kurang agar pertumbuhan tanaman optimal. Ameliorasi di tanah sulfat masam dimaksudkan agar reaksi tanah menjadi lebih baik, unsur hara yang tersedia di dalam tanah meningkat, dan penambahan unsur hara dari luar lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Bahan amelioran dapat berupa kapur (kalsit atau dolomit), bahan organik, abu sekam, pupuk kandang, dan lain-lain. Penggunaan bahan organik sangat dianjurkan karena selain dapat memperbaiki kondisi tanah, juga dapat menyediakan unsur hara bagi tanaman. Untuk tanah sulfat masam yang disawahkan bahan organik yang diberikan ke dalam tanah oleh petani biasanya adalah bahan organik in situ seperti jerami padi. Jerami ini biasanya adalah bahan organik sisa panen musim sebelumnya, diperkirakan dalam setiap musim tanam diperoleh jerami sekitar 4-6 t ha-1, bahkan untuk varietas padi lokal jerami dapat dihasilkan sekitar 6-9 t ha-1 setiap musim. Jumlah ini cukup potensial untuk dijadikan sebagai bahan amelioran karena jerami dapat memberikan kontribusi hara ke dalam tanah setelah melapuk (Dobermann and Firehurst 2000; Fahmi et al. 2009). Selain itu kompos jerami juga mengandung asam-asam organik seperti asam humat dan fulvat yang memiliki kemampuan mengkelat unsur racun sehingga tidak berbahaya bagi tanaman (Tan 2003). Ameliorasi dan pemupukan harus mempertimbangkan jenis komoditas yang akan diusahakan dan tipologi lahan yang akan digunakan. Tanaman kedelai memerlukan kapur lebih banyak dibandingkan jagung dan padi karena kedelai lebih sensitif terhadap kemasaman dibandingkan komoditas lainnya. Demikian pula tipologi lahan sulfat masam memerlukan kapur lebih tinggi dibandingkan potensial karena kemasamannya juga lebih tinggi. Selanjutnya Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) telah meyusun rekomendasi ameliorasi dan pemupukan untuk berbagai komoditas dan tipologi lahan rawa berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Takaran bahan amelioran dan pupuk untuk tanaman padi dan palawija disajikan pada Tabel 2 sedangkan tanaman hortikultura dan industri pada Tabel 3.
30
Tabel 2. Takaran amelioran dan pupuk pada tanaman padi dan palawija di lahan sulfat masam Table 2. Dosage of ameliorant and fertilizer on rice and crops on acid sulphate land Tanaman
Takaran amelioran dan pupuk Kapur/abu serbuk N P2O5 gergaji
K2O
………………….. kg ha-1 ………………….. Padi Kedelai Jagung K. tanah
1.000-3.000
45-70
50-75
22,5 )
45
50
500
90
45-90
50
1.000-2.000
22,5
60
50
1.000-2.000
67,5-135 a
Sumber: Balittra (2003) Perlu diberi rhizobium sebanyak 15 g kg-1 benih
PERANAN RESIDU JERAMI PADI DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS TANAH SULFAT MASAM Jerami padi adalah bagian vegetatif dari tanaman padi (batang, daun, dan tangkai malai) yang tetap dibiarkan di lahan sawah pada saat panen. Hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Pertanian, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian lainnya menunjukkan bahwa residu jerami padi mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatan produktivitas tanah sulfat masam. Peranan tersebut antara lain meliputi: sebagai sumber hara tanaman, peningkatan efesiensi pemupukan P, dan penurunan keracunan besi.
Sumber Hara Tanaman Pengembalian bagian tanaman sisa panen ke lahan sangat penting dalam mempertahankan produktivitas tanah terutama di lahan yang digunakan secara intensif. Hasil penelitian Indrayati et al. (2005) menunjukkan bahwa pengembalian semua komponen biomas sisa panen ke lahan sawah setara dengan pemberian jerami 5 t ha-1. Pemberian sisa jerami pada tanaman padi memberikan pengaruh setelah 30 hari aplikasi (Duong et al. 2006) dan meningkatkan ketersediaan hara makro dan mikro bagi tanaman (Aguilar et al. 1997). Hal ini karena jerami mengandung berbagai hara makro dan mikro yang bila jerami terdekomposisi maka hara-hara tersebut akan tersedia bagi tanaman. Kandungan hara jerami padi segar dan terdekomposisi disajikan pada Tabel 4.
Ani Susilawati dan Dedi Nursyamsi : Residu Jerami Padi untuk Meningkatkan Produktivitas
Tabel 3. Takaran amelioran dan pupuk pada tanaman hortikultura dan industri di lahan sulfat masam Table 3. Dosage of ameliorant and fertilizer on horticulture and industrial plant on acid sulphate land Tanaman
Takaran amelioran dan pupuk P. kandang N P2O5
Kapur
K2O
-1
Cabai Tomat Bawang merah Sawi Kubis Terong Timun Kacang panjang Buncis Lada a) Kelapa b)
……………………………………….. kg ha ……………………………………….. 1.000-2.000 5.000 67,5 112,5 50 1.000-2.000 5.000 135 90 60 1.500 10.000 90 90 75 1.000 5.000 112,5 90 60 1.000 5.000 112,5 90 60 1.000 5.000 67,5 90 60 1.000 5.000 67,5 70 50 1.000 5.000 30 45 60 1.000 5.000 30 45 60 3 0 0,250 0,400 0,300 0,750 0,800 0 0,675 0,375
Sumber: Balittra (2003) a)
Satuan per pohon dan ditambah 50 g CuSO4 dan ZnSO4 per pohon; b) Satuan per pohon dan ditambah 60 g kieserit pohon-1.
Tabel 4. Kandungan hara makro dan mikro jerami segar dan hasil dekomposisi dengan berbagai decomposer Table 4. Macro and micro nutrient content of fresh straw and its decomposition result using various decomposer Perlakuan Jerami segar1) JP + EM-42) JP + TH2) JP + CT2)
C
N
P
K
Ca
Mg
S
Mn
Zn
Fe
Cu
...................................................................... % ...................................................................... 36,74 0,87 0,18 1,79 0,25 0,18 0,08 1,96 0,21 1,05 1,55 0,30 0,088 0,112 0,139 Tu 2,03 0,63 2,31 1,83 0,26 0,071 0,110 0,158 Tu 0,031 1,83 1,25 5,68 2,41 1,02 0,097 0,310 0,178
Sumber: 1)Adiningsih (1999) dan 2)Yelianti et al. (2009 Keterangan: JP = jerami padi; EM-4 = Effective microorganism-4; TH = Trichoderma harzianum; CT = cacing tanah Lumbricus rubellus)
Ketersediaan hara dari residu jerami padi tidak terlepas dari proses mineralisasi dan imobilisasi serta aktivitas mikroba tanah. Mineralisasi akan membebaskan sejumlah hara tanaman (N, P, K, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn, Mn, dan lain-lain), sedangkan imobilisasi akan mengikat hara (terutama N, P, dan S) yang tadinya tersedia menjadi bentuk imobil untuk sementara waktu dimana prosesnya tergantung nisbah C/N, C/P, dan C/S (Stevenson 1982). Dengan demikian pengelolaan residu jerami padi harus memperhatikan proses-proses tersebut. Pelepasan N dari bahan organik berlangsung melalui proses mineralisasi yang diikuti oleh proses aminisasi (1), amonifikasi (2), dan nitrifikasi (3), dimana semua tahapan proses tersebut tergantung aktivitas mikroba. Secara ringkas proses tersebut adalah sebagai berikut:
N-organik + enzim (mikroorganisme) → senyawa amino (R-NH2) + CO2 + Energi .............................. (1) R–NH2 + H2O NH3 + R - OH + Energi NH3 + H+ NH4+ ................................................. (2) 2NH4+ + 3 O2 2 NO2- + 2H2O +4 H+ + Energi 2 NO2 - + O2 2 NO3- + Energi ............................. (3) Dekomposisi senyawa amino (hasil aminisasi) oleh bakteri heterotrop menghasilkan NH4+ (proses ini disebut amonifikasi). Selanjutnya amonium tersebut dioksidasi oleh mikroba menjadi nitrat (proses ini disebut nitrifikasi) melalui dua tahapan. Tahap pertama oksidasi NH4+ menghasilkan NO2- (Foth 1995) dan tahap selanjutnya oksidasi NO2- menjadi NO3-. Oksidasi tersebut dilakukan oleh bakteri autotrof yang dikenal dengan nama Nitrobacter dan Nitrosomonas dimana
31
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No 1 - 2013
intensitas proses ini tergantung dari jumlah N-NH4+ yang tersedia untuk bakteri penitrifikasi (Sanchez et al. 2001). Pelepasan hara P dari bahan organik dapat secara langsung melalui proses mineralisasi atau secara tidak langsung melalui pembebasan P yang terfiksasi. Stevenson (1982) menjelaskan bahwa ketersediaan P di dalam tanah dapat meningkat melalui mekanisme: (1) Mineralisasi bahan organik melepaskan P mineral (PO43-); (2) Aksi asam organik atau senyawa pengkelat lain (hasil dekomposisi) melepaskan fosfat yang berikatan dengan Al dan Fe menjadi bentuk terlarut. Reaksinya adalah sebagai berikut: Al.Fe(H2O)3(OH)2.H2PO4 (tidak larut) + pengkhelat- H2PO4- (larut) + Komp Al-Fe- khelat ……........…… (4) (3) Pengurangan jerapan fosfat karena asam humat dan asam fulvat melindungi sesquioksida dengan memblokir situs pertukaran; (4) Pengaktifan proses penguraian bahan organik asli tanah; dan (5) Pembentukan kompleks fosfo-humat dan fosfo-fulvat yang dapat ditukar dan lebih tersedia bagi tanaman sebab jerapan fosfat ini lebih lemah. Pelapukan bahan organik disamping dapat menyediakan hara N dan P, juga berperan dalam meningkatkan ketersediaan hara S tanah. Mineralisasi bahan organik menghasilkan sulfida yang berasal dari senyawa protein tanaman, seperti senyawa sestein dan metionin. Senyawa ini merupakan asam amino penting yang mengandung sulfur penyusun protein (Mengel and Kirkby 1987). Sebagian belerang hasil mineralisasi bahan organik, bersama dengan N, diubah menjadi bentuk lebih mantap selama pembentukan humus. Di dalam bentuk mantap ini, S terlindung dari pembebasan cepat (Brady 1990).
Selain itu asam organik hasil dekomposisi bahan organik juga mampu membebaskan P yang difiksasi Fe dan Al menjadi bentuk larut sehingga tersedia bagi tanaman. Mekanisme proses ini melalui pertukaran anion seperti yang telah ditunjukkan oleh reaksi (4). Fenomena imobilisasi unsur racun dan pelepasan P terfiksasi menyebabkan tanaman tumbuh dengan baik sehingga serapan hara dan produksi tanaman meningkat. Peningkatan ketersediaan hara P dari pelepasan P terfiksasi dapat mengurangi kebutuhan P yang harus ditambahkan dari pupuk. Dengan demikian maka kedua fenomena ini baik secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan efisiensi pupuk P. Dinamika ketersediaan P akibat penambahan residu jerami padi, Fahmi et al. (2009) telah melaksanakan penelitian pada tanah sulfat masam yang disawahkan di Belandean, Kabupaten Barito Kuala, Propinsi Kalimantan Selatan. Hasilnya menujukkan bahwa konsentrasi P tersedia dalam tanah yang selalu diberi bahan organik (t1) lebih tinggi daripada dalam tanah yang tidak diberi bahan organik (t2). Selanjutnya pada 2 dan 4 minggu setelah tanam (MST), P tersedia meningkat pada perlakuan bahan organik, kemudian konsentrasinya menurun kembali pada saat 6 dan 8 MST (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian residu jerami padi meningkatkan P tersedia tanah dan ketersediaan P mencapai puncak pada 4 MST.
Peningkatan Efisiensi Pemupukan P Dekomposisi bahan organik menghasilkan asamasam organik yang mampu mengimobilisasi kation yang bersifat racun dalam tanah (misal Al dan Fe) sehingga menjadi tidak berbahaya bagi tanaman (Stevenson 1986) melalui mekanisme reaksi pembentukan senyawa komplek dan khelat. Reaksinya adalah sebagai berikut: Al.Fe(H2O)3(OH)2+ (larut) + asam organik- Komp Al-Fe- khelat (tidak larut) ........................................(5)
32
Sumber: Fahmi et al. (2009)
Gambar 1. Dinamika perubahan fosfat tersedia dalam tanah akibat pemberian bahan organik (BO) pada tanah yang selalu diberikan BO (t 1) dan tidak pernah diberikan BO sebelumnya (t2) Figure 1.
The dynamic of phosphate availability change in the soil resulted by adding organic matter to the plots which organic matter was always added (t1) versus the plots which organic matter has never been added (t2)
Ani Susilawati dan Dedi Nursyamsi : Residu Jerami Padi untuk Meningkatkan Produktivitas
Penelitian Neue dan Lin (1989) pada tanah yang memiliki kandungan BO yang berbeda-beda menghasilkan pola yang sama dengan hasil penelitian Fahmi et al. (2009). Hasil penelitian Barrow (1989) juga menunjukkan pola yang relatif serupa. Barrow (1989) menyebutkan bahwa terjadinya penurunan ketersediaan posfat setelah melewati titik kelarutan tertinggi pada tanah tergenang disebabkan beberapa hal, antara lain: penjerapan P secara perlahan oleh fase padatan tanah; degradasi anion organik sehingga jerapan P oleh fase padatan tanah meningkat; imobilisasi P oleh mikroorganisme; dan pengendapan P dalam bentuk Fefosfat.
Fe2+ oleh asam organik (reaksi 6 dan 7). Gambar 2 menunjukkan bahwa konsentrasi Fe tanah sulfat masam berfluktuasi mengikuti umur tanaman. Mulai awal pertumbuhan tanaman hingga umur 18 MST konsentrasi Fe cenderung menurun dan pemberian residu jerami padi meningkatkan konsentrasi Fe tanah. Selanjutnya konsentrasi Fe tanah meningkat pesat hingga umur 24 MST dan pemberian jerami padi menurunkan konsentrasi Fe tanah.
Penurunan Keracunan Besi Asam-asam organik hasil dekomposisi residu jerami padi sangat berperan dalam penurunan keracunan besi di tanah sulfat masam. Proses dekomposisi pada kondisi aerob dapat berjalan sepuluh kali lebih lambat dibandingkan kondisi anaerob (Dent 1986). Proses dekomposisi secara anaerob dapat menghasilkan asam organik golongan volatile fatty acids (VFA) seperti asetat, propionat, and butirat (Watanabe 1984); VFA dan phenolic acid, dengan urutan sesuai konsentrasi dari tinggi ke rendah : asetat > butirat > format > fumarat > propionat > valerat > suksinat dan laktat (Tsutsuki 1984). Asam asetat adalah asam organik yang paling dominan dihasilkan dalam proses dekomposisi di tanah-tanah tergenang. Tanah sulfat masam adalah tanah mineral yang memiliki kandungan Fe sangat tinggi sehingga sering meracuni tanaman. Pemberian bahan organik dapat meningkatkan konsentrasi Fe2+ ataupun menurunkan konsentrasi Fe2+ dalam tanah tergantung tingkat kematangan bahan organik tersebut (Gao et al. 2002; Duckworth et al. 2009). Pemberian bahan organik yang masih relatif mentah cenderung meningkatkan konsentrasi Fe2+ karena mendorong terjadinya reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ yang diilustrasikan dalam reaksi berikut (Breemen an Buurman 2002; Kyuma 2004) : FeOOH + 2 H + + ¼ CH2O Fe2+ + 7/4 H2O + ¼ CO2............................................................................ (6) CH3COOH + 8 Fe3+ + 2 H2O 2 CO2 + 8 Fe2+ + 8 H+ .................................................................................. (7)
Sebaliknya bahan organik yang relatif matang dapat menyebabkan penurunan konsentrasi Fe2+. Hal ini terjadi karena proses khelatisasi (reaksi 5) lebih dominan dibandingkan proses reduksi Fe 3+ menjadi
Sumber : Jumberi et al. (2007)
Gambar 2. Dinamika konsentrasi Fe di tanah sulfat masam akibat pemberian jerami padi Figure 2.
Dynamics of Fe consentration on acid sulpahte soil resulted by straw adding
Selain kuantitas, kualitas bahan organik juga menentukan kelarutan Fe dalam tanah. Breemen dan Buurman (2002) menyatakan bahwa bahan organik yang banyak mengandung bahan yang mudah terdekomposisi akan meningkatkan laju proses reduksi. Selain berpengaruh secara langsung, bahan organik juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap konsentrasi Fe dalam tanah melalui perantara tumbuhan. Bahan organik yang masih mentah cenderung menyebabkan tanaman mengalami keracunan asam-asam organik sehingga mempengaruhi kemampuan tanaman tersebut dalam mengoksidasi Fe di sekitar perakarannya. Perbedaan konsentrasi Fe2+ di sekitar perakaran padi juga dapat disebabkan oleh perbedaan varietas dan umur tanaman. Tanaman yang lebih toleran dan berumur lebih tua cenderung memiliki kemampuan oksidasi yang lebih baik sehingga konsentrasi Fe2+ disekitar perakarannya lebih rendah. Misalnya varietas Margasari (varietas unggul lahan pasang surut) mempunyai kelebihan relatif resisten/adaptif terhadap
33
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No 1 - 2013
kondisi tanah sulfat masam seperti keracunan besi (Khairullah et al. 1998). Jumberi et al. (2007) telah melakukan penelitian pengaruh pemberian residu jerami padi terhadap tingkat keracunan besi tanaman padi varietas Batanghari pada tanah sulfat masam dimana semakin tinggi tanaman mengalami keracunan besi maka skor keracunan besi semakin tinggi pula. Hasilnya menunjukkan bahwa skor keracunan besi berkurang dengan meningkatnya dosis jerami yang diberikan (Tabel 5). Hal ini diduga berhubungan dengan adanya peran positif dari kemampuan bahan organik dalam mengkhelat unsur Fe menjadi imobil sehingga tingkat racun Fe berkurang dan tanaman tumbuh lebih baik. Tabel 5. Skor keracunan besi tanaman padi varietas Batanghari pada umur 4 MST Table 5. Ferrum toxicity score of Batanghari rice variety at four weeks after planting Takaran jerami padi
Skor keracunan besi
-1
t ha 5,0 7,5 10,0 12,5 15,0
7 6 5 4 3
Sumber: Jumberi et al. (2007)
PENINGKATAN PRODUKSI PADI Berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian dan lembaga penelitian lainnya menunjukkan bahwa penggunaan residu jerami padi mampu meningkatkan produksi padi di tanah sulfat masam. Penggunaan residu jerami padi bila
dikombinasikan dengan komponen teknologi lainnya seperti pupuk hayati, biofilter, varietas tahan keracunan besi, dan lain-lain lebih efektif dalam meningkatkan produksi padi di tanah ini. Dengan demikian maka pengelolaan residu jerami padi untuk meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam adalah merupakan salah satu bagian komponen teknologi yang harus diintegrasikan dengan komponen teknologi lainnya. Indrayati dan Jumberi (2002) melaporkan bahwa penggunaan residu jerami padi dapat meningkatkan hasil beberapa varietas padi. Diantara perlakuan yang dicoba, ternyata jerami padi yang dikomposkan dan dikombinasikan dengan decomposer trichoderma memberikan hasil gabah tertinggi. Selanjutnya juga diantara varietas yang dicoba ternyata IR66 menghasilkan gabah paling tinggi dibandingkan varietas lainnya (Tabel 6). Tampak bahwa penggunaan jerami padi yang dikombinasikan dengan decomposer trichoderma dan varietas IR66 memberikan hasil padi tertinggi. Untuk melihat pengaruh pemberian residu jerami padi yang dikombinasikan dengan pengelolaan air, Indrayati et al. (2007) telah melaksanakan percobaan di tanah sulfat masam KP Belandean dengan menggunakan padi varietas Margasari. Hasilnya menunjukkan bahwa produksi padi meningkat dengan meningkatnya takaran residu jerami padi. Demikian pula perlakuan saluran air yang ditanami purun tikus menghasilkan padi jauh lebih tinggi dibandingkan kontrol (Gambar 3). Tanaman purun tikus di sini berfungsi sebagai biofilter yang dapat menyerap unsur racun seperti kation Fe2+ dalam air irigasi sehingga pertumbuhan dan hasil tanaman meningkat. Selanjutnya penelitian ini juga menunjukkan bahwa kombinasi pemberian residu jerami padi yang dikombinasikan dengan penggunaan biofilter di saluran air masuk memberikan hasil padi yang terbaik.
Tabel 6. Hasil gabah pada berbagai cara pengelolaan jerami padi di lahan pasang surut sulfat masam, Unit Tatas, Kalteng Table 6. Rice yield of various straw managements on tidal acid sulphate land, Tatas Unit, Central Kalimantan Perlakuan
Tanpa Jerami Jerami dibakar Jerami dikompos Jerami + Trichoderma
Varietas IR 64
Sumber: Indrayati dan Jumberi (2002)
34
Lalan
IR 66
Membramo
......................................... t ha-1 ......................................... 1,89 2,31 2,77 2,17 2,64 3,01 3.17 2,60 3,08 3,39 3,02 2,90 3,03 2,94 3,48 3,60
Ani Susilawati dan Dedi Nursyamsi : Residu Jerami Padi untuk Meningkatkan Produktivitas
3.4
lebih tahan terhadap keracunan besi, pertumbuhan tanaman terbaik dan hasil gabah tertinggi (Tabel 7).
Hasil Gabah
-1 t.ha 3.6
Saluran Air Masuk yang diberi Kapur Saluran Air Masuk yang ditanami P.Tikus
3.2
KESIMPULAN
3.0
1. Penggunaan residu jerami padi mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam karena dapat menjadi sumber hara tanaman, meningkatkan efisiensi pemupukan P, dan mengurangi tingkat keracunan Fe.
2.8 2.6 2.4 2.2 2.0 1.8 1.6 1.4 0
2.5
5
7.5
10
-1 Dosis Jerami (t.ha )
Sumber : Indrayati et al. (2007)
Gambar 3. Hasil padi pada perlakuan residu jerami padi yang dikombinasikan dengan dua saluran air masuk yang berbeda pada tanah sulfat masam KP Belandean, Kabupaten Barito Kuala, Propinsi Kalimantan Selatan Figure 3.
Rice yield of plots treated with straw residue combined with two different irrigation inlet on acid sulphate soil in KP Balandean, Barito Kuala, South Kalimantan
Tabel 7. Hasil dan indeks panen 3 varietas padi yang diberi perlakuan kompos jerami dan purun tikus, rumah kaca Balittra, Banjarbaru, MH 2010 Table 7. Three rice variety yield and index of rice treated with straw and purun tikus compos, at Balittra greenhouse, Banjarbaru, Rainy Season 2010 Perlakuan Kontrol Kontrol air diganti 5 t ha-1 J + 0 t ha-1 PT 5 t ha-1 J + 2,5 t ha-1 1 PT 5 t ha-1 J + 5,0 t ha-1 PT 5 t ha-1 J + 10,0 t ha-1 PT Inpara-1 Inpara-2 IR64
Hasil/ rumpun g 8,25 e 13,25 d 18,95 c 23,19 b 25,42 a 18,79 c 21,19 a 19,33 b 13,40 c
Indeks panen 0,31 d 0,43 c 0,49 bc 0,55 ab 0,59 a 0,47 c 0,52 a 0,48 a 0,42 b
Keterangan: J = kompos jerami; PT = kompos purun tikus Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda pada taraf 0,05 DMRT
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Izhar Khairullah et al. (2011) menunjukkan hal yang sama, yaitu bahwa penggunaan jerami padi dapat meningkatkan hasil padi. Pemberian kompos 5 t ha -1 jerami + 5,0 t ha-1 purun tikus mampu menghasilkan gabah tertinggi dan varietas Inpara-1 menunjukkan
2. Penggunaan residu jerami padi dapat meningkatkan produksi padi sawah pada tanah sulfat masam. Apabila residu jerami padi dikombinasikan dengan penggunaan decomposer trichoderma, varietas padi tahan keracunan besi (IR 66 dan Margasari), dan biofilter di saluran air masuk, hasil tanaman padi menjadi lebih tinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Arifin Fahmi, S.P, M.Sc. atas komentar dan referensi yang diberikan selama perbaikan artikel ini serta Ir. Linda Indrayati sebagai penanggung jawab kegiatan TA 2010 “Pengaruh dekomposisi jerami padi di lahan rawa terhadap sifat fisika dan kimia tanah”.
DAFTAR PUSTAKA Adiningsih. 1999. Peranan Efisiensi Penggunaan Pupuk untuk Melestarikan Swasembada Pangan. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Puslittanak, Bogor. Aguilar, J., M. Gonzalez, and I. Gomez. 1997. Microwaves as an energy source for producing magnesia-alumina spinel. Journal of the Microwave Power an Electromagnetic Energy 32(2):74-79. Alihamsyah, T. 2004. Potensi dan Pendayagunaan Lahan Rawa untuk Peningkatan Produksi Padi. Ekonomi Padi dan beras Indonesia. Dalam Kasrino, Pasandaran dan Fagi (Penyunting). Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Andriesse, W. and M. Sukardi. 1990. Survey Component : Introductions, Objective and Out line Papers Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. AARD-LAWOO. Jakarta. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balitra). 2003. Lahan Rawa Pasang Surut Pendukung Ketahanan pangan dan Sumber Pertumbuhan Agribisnis. Monograf. Barrow, N.J. 1989. Relating chemical process to management system. Dalam Phosphorus Requirement for Sustainable Agriculture in Asia and Oceania. IRRI. Los Banos, Laguna, Philippines. pp 199-210. Brady, N.C. 1990. The Nature and Properties of Soil. Mac Millan Publishing Co., New York.
35
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No 1 - 2013
Breemen, N.V. dan P. Buurman. 2002. Soil Formation, 2nd edition. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht. USA. 404 p.
(Eleocharis Dulcis) di Tanah Sulfat Masam yang Berpotensi Keracunan Besi. Agroscientiae 18(2): 108-115.
Dent, D. L. 1986. Acid Sulphate Soils. A baseline for research and development. ILRI. Wageningen Publ. No. 39 The Netherlands.
Kyuma, K. 2004. Paddy Soil Science. Kyoto University Press dan Trans Pacific Press. Melbourne. Australia. P 279.
Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice ; Nutrient Disorders and Nutrient Management. IRRI. Makati city, The Fhillipines. 191 p. Duckworth, O.W., S.J.M. Holmstrom, J. Pena, dan G. Sposito. 2009. Biogeochemistry of iron oxidation in circumneutral freshwater habitat. Chemical Geology. 260; 149 – 158. Duong. L.M.,Jeewon.R, Lumyong. S dan Hide. K.D. 2006. DGGE coupled with ribosomal DNA gene phylogenenies reveal uncharacterized fungal phylotypes. Fungal diversity 23: 121-138 . Fahmi. A, A. Susilawati, dan A. Jumberi. 2006. Dinamika Unsur Besi, Sulfat dan Fospor serta Hasil Padi Akibat Pengolahan Tanah, saluran Kemalir dan Pupuk Organik di Lahan Sulfat Masam. Jurnal Tanah Tropika. Vol. 12 No. I Fahmi, A., B. Radjagukguk, dan B. H. Purwanto. 2009. Kelarutan posfat dan ferro pada tanah sulfat masam yang diberi bahan organik jerami padi. Jurnal Tanah Tropika. 14 (II); 119 - 125. Foth, H. D. 1995. Fundamental of Soil Science, Sixth Edition. Terjemah. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Gadjah Mada Universitas Press. Gao, S., K. K. Tanji, S. C. Scardaci, dan A. T. Chow. 2002. Comparison of redox indicators in a paddy soil during rice-growing season. Soil Science Society of America Journal. 66; 805 – 817. Indrayati, L., Koesrini, Khairulah, I., Fahmi., A. 2005. Teknologi Peningkatan Produktivitas Lahan Sulfat Masam Potensial. Dalam Laporan Akhir. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Indrayati, L., Koesrini, Khairulah, I., Muhammad. 2007. Teknologi Pengelolaan Lahan, Hara, Air Dan Amelioran Pada Lahan Sulfat Masam Potensial Dalam Laporan Akhir. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Indrayati, L. dan A. Jumberi. 2002. Pengelolaan jerami padi pada pertanaman padi di lahan pasang surut sulfat masam. Dalam Pengelolaan Tanaman Pangan Lahan Rawa. Balitbangtan, Puslitbangtan, Bogor. Jumberi, A., A. Fahmi, and A. Susilawati. 2007. Potensi pengelolaan jerami dan penggunaan varietas unggul adaptif sebagai komponen teknologi peningkatan produktivitas tanah sulfat masam. Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Lahan Pertanian. Bogor, 14 – 15 September 2006. Buku III. Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Pp. 305 – 314. Khairullah I, M Imberan dan S Subowo. 1998. Adaptabilitas dan akseptabilitas varietas padi di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan. Kalimantan Scintae. 47 ; 38 – 50. Khairullah I, D. Indradewa, P. Yudono, dan A. Maas. 2011. Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Padi pada Perlakuan Kompos Jerami dan Purun Tikus
36
Mengel, K. and Kirby, E.A. 1987. Principles of Plant Nutrition . International Potash Institute. Bern. Swizerland. Neue, H. U. And Z. Z. Lin. 1989. Chemistry of adverse flooded soils. Pp 225-242. In Phosphorus Requirement for Sustainable Agriculture in Asia and Oceania. IRRI. Los Banos, Laguna, Philippines. Noor, M. 2004. Lahan Rawa.; Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hlm 241. Notohadiprawiro, T. 2000. Tanah dan Lingkungan. Cetakan ke-2. Pusat Studi Sumberdaya Lahan (PPSL) Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta. 187 hal. Purnomo, E., A. Mursyid, M. Syarwani. A. Jumberi, Y. Hashidoko. T. Hasegawa, S. Honma, and M. Osaki. 2005. Phosphorus solubilizing microorganisms in the rhyzosphere of local rice varities grown without fertilizer on acid sulphate soils. Soil Sci. Plant Nutr. 51 (5). 2005. Sanchez-Monedero M.A., A. Roig, C. Paredes, and M.P. Bernal. 2001. Nitrogen Transformation during organic waste composting by the rutgers system and its effect on pH, EC and maturity of composting mixtures. Biores Technol 78:301-308. Shamshuddin, J., M. Sarwani, S. Fauziah, and I. Van Ranst. 2004. A Laboratory study on pyrite oxidation in acid sulphate soils. Commun. Soil. Sci. Plant Anal. 35 (1 & 2):117-129. Stevenson, F.T. 1982. Humus Chemistry. John Wiley and Sons, Newyork. Stevenson, F. J. 1986. Cycles of Soil Carbon, Nitrogen, Phosphorus, Sulfur, Micronutrients. A WileyIntersci. Publ. John Wiley & Sons. Inc. 380 p. Suriadikarta, D.A. 2005. “Pengelolaan lahan sulfat masam untuk usaha pertanian”. Jurnal Litbang Pertanian 24 (1). Tan, K.H. 2003. Humic Matter in the Soil and the Environment; Principles and controversies. Marcel Dekker, Inc. New York, USA. Tsutsuki, K. 1984. Volatile product and low-moleculear of organic matter in submerged soils. Pp 329- 344. In Organic Matter and Rice. Intenational Rice Research Institute. Los Banos Laguna, Philippines. Vadari, T., K. Subagyono, H. Suwardjono, and A. Abas. 1990. The effect of water management and soil amelioration on water quality and soil properties in acid sulphate soils at Pulau Petak Delta, Kalimantan. Paper workshop on acid sulphate soils ini humid tropics, 20-22 November 1990. AARDLAWOO. Bogor. Watanabe, I. 1984. Anaerobic decomposition of organic matter in flooded rice soils. Pp 237-258. In Organic Matter and Rice. Intenational Rice Research Institute. Los Banos Laguna, Philippines. Yelianti. U, Kasli, M. Kasim, dan E.F. Husin. 2009. Kualitas Pupuk Organik Hasil Dekomposisi Beberapa Bahan Organik dengan Dekomposernya. Jurnal Akta Agrosia 12(1):1-7.
Ani Susilawati dan Dedi Nursyamsi : Residu Jerami Padi untuk Meningkatkan Produktivitas
37
ISSN 1907-0799 Makalah REVIEW
Peran Ligan Organik terhadap Pembentukan Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam The Role of Organic Ligands on the Formation of Iron Oxides in Acid Sulphate Soil 1
Wahida Annisa dan 2Eko Hanudin
1
Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Jl. Kebun Karet, Loktabat Utara, Banjarbaru 70712, Kalimantan Selatan 2
Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Bulak Sumur, Yogyakarta
Diterima 15 Januari 2013; Disetujui dimuat 18 Juni 2013 Abstrak. Besi oksida dalam tanah terdiri atas goetit (α-FeOOH) berwarna kuning/coklat, hematit (α-Fe2O3) berwarna merah, lepidokrosit (γ-FeOOH) berwarna kuning, maghemit (γ-Fe2O3), magnetit (Fe3O4) berwarna hitam dan ferrihidrit (5Fe2O3.9H2O atau Fe5HO8.4H2O) mempunyai tingkat reaktivitas yang berbeda-beda terhadap ion-ion dalam tanah yang dipengaruhi oleh muatan negatif dan positif dari permukaan besi oksida tersebut. Tanah sulfat masam merupakan salah satu jenis tanah di lahan rawa yang memiliki kandungan bahan sulfidik (pirit) cukup tinggi. Oksidasi senyawa pirit di tanah sulfat masam selain memasamkan tanah akan menghasilkan besi (III) koloidal yang kelamaan akan membentuk besi oksida goetit. Keberadaan ligan organik dalam tanah memiliki peranan yang cukup penting terhadap kristalisasi besi oksida dalam tanah. Semakin besar rasio ligan/Fe(II) dalam tanah maka kristalisasi besi oksida semakin terhambat. Pada tanah masam kehadiran ligan sitrat mempengaruhi terhadap sifat permukaan oksida Fe. Keberadaan asam organik yang merupakan ligan organik akan memberikan dampak terhadap pembentukan goetit dan hematit dari ferrihidrite. Kata kunci : Besi oksida / Ligan organik / Fosfat / Tanah sulfat masam Abstract. Iron oxides in the soil consisted of goethite (α-FeOOH) with yellow or brown colour, hemathite (α-Fe2O3) with red, lepidocrocite (γ-FeOOH) with yellow, maghemite (γ-Fe2O3), magnetite (Fe3O4) with black and feryhidrite (5Fe2O3.9H2O or Fe5HO8.4H2O) have different levels of reactivity against different ions in the soil which is influenced by positive and negative charge of the surface of the iron oxide. Acid sulphate soil is one of the soils in wetlands that contain higher sulfidic materials (pyrite). Pyrite oxidation in acid sulphate soil is not only increasing acidity but also producing iron (III) colloidal, which over time will form the iron oxide goethite. The presence of organic ligands in soils has an important role to the crystallization of iron oxides in the soil. The greater the ratio of ligand/Fe (II) in the soil greatly inhibited the crystallization of iron oxide. The presence of citrate ligands in acid soils affects the surface properties of Fe oxides. The presence of organic acid as an organic ligand will affect the formation of goethite and hemathite from ferryhidrite. Keywords : Iron oxide / Organic ligand /Phosphate / Acid suphate soil
PENDAHULUAN
B
esi oksida merupakan metal oksida yang banyak melimpah di dalam tanah yang dibentuk oleh protonasi dan pelepasan Fe yang keluar dari mineral primer atau sekunder karena proses oksidasi. Pada kondisi aerobik, besi oksida dan hidroksida sangat stabil tetapi dalam kondisi anaerob pada kondisi nilai potensial redoks rendah menjadi mudah larut melalui proses protolisis maupun reduksi. Besi oksida ini memiliki kemampuan membentuk kompleks logam-organik dimana kation logam akan terikat oleh kelompok gugus fungsional seperti -COOH, =CO, -OH, -OCH3, -NH2, -SH, dan sifatnya sangat stabil yang disebut khelat.
Di dalam tanah, besi oksida dapat dibedakan berdasarkan struktur kristal dan sifat lainnya (warna, kelarutan dan perilaku termal). Unit dasar dari oksida besi adalah Fe(O,OH)6 oktahedron dan perbedaan antar besi oksida terletak pada susunan oktahedranya. Besi oksida meliputi: goetit (α-FeOOH) berwarna kuning/coklat, hematit (α-Fe2O3) berwarna merah, lepidocrocite (γ-FeOOH) berwarna kuning, maghemite (γ-Fe2O3), magnetite (Fe3O4) berwarna hitam dan ferihidrit (5Fe2O3.9H2O atau Fe5HO8.4H2O). Reaktivitas jerapan besi oksida terhadap ion-ion dalam tanah dipengaruhi oleh muatan positif dan negatif dari permukaan besi oksida (Bohn 2003). Adapun prinsip dari adsorbsi ion oleh oksida besi adalah ikatan binuklear yang kuat di permukaan oksida besi. Sifat
37
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No 1 - 2013
permukaan oksida Fe yang meliputi: wilayah permukaan spesifik (spesific surface area), muatan permukaan (surface charge), porositas permukaan (surface porosity) dan permukaan geometry (surface geometry) (Liu 1999). Mekanisme serapan anion (contohnya fosfat) oleh oksida besi yaitu melalui penggantian satu ion fosfat oleh dua ion hidroksil permukaan (atau molukel air) dari oksida besi. Kemudian dua atom oksigen dari ion fosfat tersebut akan berkoordinasi dengan masingmasing ion Fe3+ yang menghasilkan kompleks permukaan binuklear dengan model jerapannya adalah: Fe-O-P(O2)-O-Fe (Parfitt et al. 1975). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran ligan sitrat pada konsentrasi yang rendah (rasio ligan/Fe(II) 0,001) dalam larutan akan menurunkan secara nyata kecepatan adsorbsi P, sehingga memperbaiki kristalisasi lepidokrosite dan merubah sifat permukaan oksida Fe, sedangkan kehadiran sitrat pada konsentrasi yang tinggi (rasio ligan/Fe(II) 0,1) akan meningkatkan kecepatan adsorbsi P (Liu 1999). Ligan organik tersebut merupakan asam organik yang memiliki berat molukel rendah di dalam tanah konsentrasinya berkisar dari 10-5 sampai 10-3M. Kehadiran ligan akan menghambat laju oksidasi besi melalui pembentukan kompleks Fe(II)-ligan. Adapun urutan untuk ligan organik yang menghambat laju oksidasi besi meliputi: oksalat > asetate > tartrat > sitrat. Asam organik ini umumnya merupakan hasil dari proses dekomposisi bahan organik maupun metabolisme oleh mikroorganisme dan juga eksudat dari akar tanaman. Oksalat berperan dalam pembentukan lepidokrosite. Sedangkan tartrat dan sitrat menghambat proses kristalisasi besi oksida (Liu 1999).
Tingginya kelarutan besi merupakan salah satu permasalahan dalam pemanfaatan tanah sulfat masam untuk budidaya tanaman pangan khususnya padi sawah. Besi (Fe) dalam tanah sulfat yang sering menimbulkan masalah adalah bentuk ferro (Fe2+) pada kondisi tergenang menyebabkan keracunan tanaman padi (Noor 2004). Pada kondisi kemasaman sedang FeOOH akan larut menjadi Fe2+, sedangkan Fe3+ akan dominan pada kondisi sangat oksidatif dengan nilai potensial redoks >400 mV dan pH < 2. Bentuk besi yang stabil adalah dalam bentuk Fe 2+. Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk menjelaskan peran dari ligan organik terhadap pembentukan besi di tanah sulfat masam.
KEBERADAAN BESI OKSIDA DI TANAH SULFAT MASAM Tanah sulfat masam merupakan salah satu jenis tanah yang terdapat di lahan rawa dengan kandungan pirit yang tinggi. Pirit (FeS2) adalah mineral berkristal oktahedral dari senyawa besi-sulfida (FeS2) yang terbentuk di dalam endapan marin kaya bahan organik, dalam lingkungan air laut/payau yang mengandung senyawa sulfat (SO4) larut. Kandungan pirit pada lapisan atas (0-50 cm) di tanah sulfat masam cukup beragam dari 0,05-4,24%. Data kandungan pirit pada tanah rawa di Indonesia dan Vietnam disajikan pada Tabel 1. Pirit (FeS2) terbentuk dari oksidasi parsial sulfida menjadi polisulfida atau unsur S yang diikuti dengan pembentuksan FeS dari sulfida terlarut atau besi oksida (FeOOH, Fe2O3), atau mineral silikat mengandung unsur Fe. Reaksi keseluruhan pembentukan pirit, dari besi-oksida (Fe2O3) sebagai sumber Fe sebagai berikut:
Tabel 1. Kandungan pirit pada tanah rawa di Indonesia dan Vietnam Table 1. Pyrite content on peat land in Indonesia and Vietnam Tanah sulfat masam
Kandungan pirit Variasi
Rata-rata
Simpangan baku
.........................................%......................................... Delta Pulau Petak, Indonesia Tanah bagian atas teroksidasi (0-50 cm) Lapisan bawah (50-100 cm) Tanah bawah tereduksi (100-150 cm) Lapisan tanah tereduksi (150-200 cm)
0,05-4,24 0,07-6,95 0,30-6,11 2,11-6,00
0,52 (rendah) 1,89 (sedang) 2,61 (tinggi) 3,54 (tinggi)
± 0,94 ± 2,60 ± 1,89 ± 2,14
Vietnam Tanah bagian atas teroksidasi (0-50 cm) Lapisan bawah (50-100 cm) Tanah bawah tereduksi (100-150 cm) Lapisan tanah tereduksi (150-200 cm)
0,03-3,50 0,09-6,00 0,10-1,24 0,14-1,12
0,87 (rendah) 2,45 (sedang) 0,60 (tinggi) 0,71 (tinggi)
± 1,13 ± 2,27 ± 0,43 ± 0,37
Sumber: Subagyo (2006)
38
Wahida Annisa dan Eko Hanudin: Peran Ligan Organik terhadap Pembentukan Besi
Fe2O3 + 4SO42- + 8CH2O + ½O2 → 2FeS2 + 8HCO3- + 4H2O
FeS2 + 15/4O2 + 5/2H2O + 1/3K+ → 1/3KFe3(SO4)2 (OH)6 + 4/3SO4 + 4H+
Oksida besi + sulfat + bahan organik → PIRIT + karbonat
PIRIT+ oksigen → Mineral jarosit
Permasalahan di tanah sulfat masam muncul ketika pirit teroksidasi akibat tereksposenya pirit karena kekeringan yang panjang maupun setelah dilakukan drainase atau pembuatan saluran. Oksidasi pirit akan menghasilkan asam sulfat yang menyebabkan pemasaman tanah karena setiap satu mol pirit akan menghasilkan empat molukel asam sulfat. Reaksi oksidasi pirit sebagai berikut: FeS2 + 15/4O2 + 7/2 H2O → Fe(OH)3 + 2SO42- + 4H+ PIRIT + oksigen → besi-III (koloidal) + asam sulfat Hasil reaksi oksidasi pirit adalah dihasilkannya besi-III koloidal (Fe(OH)3). Sebagian besar dari besi-III koloidal yang terbentuk, pada akhimya mengkristal menjadi oksida besi (goetit) yang berwarna coklat kemerahan, berupa karatan, selaput atau nodul-nodul dalam tanah dan dinding- dinding saluran drainase (Dent 1986; Breemen and Buurman 2002; Subagyo 2006). Tetapi pada kondisi oksidasi yang sangat kuat karena terangkatnya bahan endapan marin ke permukaan akan menghasilkan mineral jarosit, yang nampak sebagai karatan-karatan berwarna kuning jerami, yang juga sangat masam. Jarosit stabil dalam kondisi teroksidasi (potensial redoks > 400-500 mV) pada lingkungan masam (pH 2-4). Reaksi oksidasi pirit menghasilkan mineral jarosit digambarkan pada reaksi di bawah ini:
Pada tanah sulfat masam baik goetit maupun jarosit terdapat dalam mineral deposit. Berdasarkan hasil penelitian Stahl et al. (1993) bahwa pembentukan goetit lebih cepat dibandingkan jarosit karena goetit dapat terbentuk oleh hidrolisis Fe3+ atau proses hidrolisis yang diikuti dengan proses dehidrasi, sedangkan jarosit terbentuk dari banyak jenis ion (seperti: SO42-, K+, Fe3+, OH-) yang diperlukan untuk membentuk mineral tersebut. Mineral jarosit mengalami perubahan bentuk menjadi oksida melalui proses hidrolisis (Stahl et al. 1993). Brady et al. (1986) mengatakan bahwa penjenuhan selama kurang lebih 30 hari dapat menyebabkan perubahan bentuk dari mineral jarosit. Bentuk dasar dari besi oksida berupa goetit dan hematit disajikan pada Gambar 1. Perubahan potensial redoks dan pH tanah mempengaruhi terhadap bentuk Fe yang aktif di larutan tanah. Berdasarkan penelitian Brown (1971) dalam Stahl et al. (1993) bahwa pada pH rendah dan oksidasi berada pada kondisi moderat dengan aktivitas SO 4 yang tinggi akan menghasilkan endapan jarosit, hal tersebut dapat diprediksi dengan menggunakan diagram stabilitas Fe akibat pengaruh Eh dan pH ditunjukkan oleh Bohn (2003) pada Gambar 2. Gambar 2 merupakan diagram stabilitas yang menunjukkan bentuk/spesies dominan dari besi yang stabil pada kondisi potensial redoks dan pH yang spesifik. Pengendapan besi ditentukan oleh kisaran nilai pH dan potensial redoks. Potensial redoks akan menentukan besi mengalami oksidasi atau reduksi.
Sumber: Scheinost et al. (2005) Gambar 1. Bentuk dasar oksida besi goetit dan hematit Figure 1.
Fe oxide base format of goetite and hematite
39
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No 1 - 2013
Diagram di atas menunjukkan bahwa pada kondisi kemasaman sedang, FeOOH akan larut menjadi Fe2+. Sedangkan Fe3+ akan dominan pada kondisi sangat oksidatif dengan nilai potensial redoks >400 mV dan pH < 2. Bentuk besi yang stabil adalah dalam bentuk Fe2+. Kemudian siderit (FeCO3) terbentuk pada kondisi reduksi sedang dan pH >7. Menurut Kirk (2004), bahwa besi akan stabil pada kondisi yang sangat reduktif.
sitrat merupakan salah satu ligan organik yang umum di lingkungan alam terutama daerah rhizosphere tanah yang konsentrasinya berkisar dari 105-103 M. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran ligan sitrat selama proses terbentuknya oksida Fe nyata mempengaruhi terhadap sifat struktural dan permukaan pembentukan oksida Fe. Hasil penelitian Liu and Huang (2003) menunjukkan bahwa kehadiran ligan sitrat mempengaruhi terhadap sifat permukaan oksida Fe (Gambar 3). Keberadaan asam organik yang merupakan ligan organik akan memberikan dampak terhadap pembentukan goetit dan hematit dari ferrihidrite. Pembentukan hematit akan lebih tinggi dibandingkan goetit paa konsentrasi asam organik yang rendah dalam tanah dan pada konsentrasi asam organik yang tinggi kristalisasi besi oksida akan terhambat (Cornell and Schwertmann 1979). Pembentukan besi oksida hematit dan goetit dapat diketahui dari rasio hematit/goetit yang dipengaruhi oleh kehadiran asam organik dan menurun berdasarkan jenis asam organik dengan urutan: Asam L-tartrat > sitrit > mesotartrat > laktat Hasil penelitian menunjukkan bahwa anion dari
Sumber: Bohn (2003)
asam organik sederhana maupun asam fulvat dari
Gambar 2. Diagram stabilitas bentuk Fe pada beberapa nilai Eh dan pH
tanah
Figure 2.
berupa rasio goetit/hematit. Konsentrasi asam organik
Diagram of Fe form stability on various Eh and pH value
sangat
mempengaruhi
terhadap
kecepatan
kristalisasi dan komposisi produk akhir besi oksida sebesar 10-5 M akan mengakibatkan kristalisasi oksida Fe yang terjadi pada pH 9 dimana hematit lebih banyak berubah menjadi goethit karena keberadaan empat
PERAN LIGAN ORGANIK TERHADAP PEMBENTUKAN OKSIDA Fe Ligan organik merupakan anion dari asam organik. Ligan organik meliputi: asam sitrat, oksalat, asetat, tartrat, laktat, dan humat serta fulvat. Kehadiran ligan menghambat kecepatan oksidasi Fe(II) dengan konstanta kecepatan: oksalat > asetat > tartarate > sitrat. Sifat permukaan dari oksida Fe meliputi luas permukaan, porositas permukaan, muatan permukaan, dan permukaan geometri. Permukaan oksida Fe merupakan wilayah interaksi oksida Fe dengan larutan tanah dan dengan fase padat lainnya, tanaman akar, dan biota tanah (Schwertmann and Taylor 1989). Asam
hidroksi asam karboksilat (Cornell and Schwertmann 1979) (Gambar 4a). Pembentukan hematit akan semakin tinggi apabila konsentrasi asam meningkat sehingga terjadi penurunan pH yang ditunjukkan oleh asam laktat (Gambar 4b). Kondisi lingkungan yang asam akan mendorong pembentukan hematit seperti terlihat pada Gambar 5. Keseluruhan tingkat kristalisasi pada kedua sistem tersebut terlihat sama, namun dalam kontrol terlihat bahwa dengan kehadiran asam L-tartrat bahwa 45% kristal adalah goetit dan 55% adalah hematit, sehingga pembentukan hematit dipercepat dengan keberadaan asam L-tartrat dan asam suksinat, malonat, oksalat dan malat (Cornell and Schwertmann 1979).
40
Wahida Annisa dan Eko Hanudin: Peran Ligan Organik terhadap Pembentukan Besi
Sumber: Liu dan Huang (2003)
Gambar 3. Sifat permukaan oksida Fe dengan kehadiran sitrat Figure 3.
Properties of Fe oxide surface with citrate presence
(4a)
(4b)
Sumber: Cornell and Schwertmann (1979)
Gambar 4. Hubungan antara pembentukan oksida Fe dengan keberadaan ligan organik Figure 4.
Relationship between Fe oxide form and the organic ligan presence
Sumber: Cornell dan Schwertmann (1979)
Gambar 5. Perubahan Fe0/Fet terhadap waktu transformasi ferrihidrite menjadi goetit dan hematit pada pH 8,3 dan 70oC dengan kehadiran 5 x 10-4 M asam L-tartrat Figure 5.
The change of Feo/Fet concerning the transformation time of ferrihidrite into goethite and hematite on pH 8.3 and 70oC with the presence of 5 x 10-4 M of L-tartrat acid 41
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No 1 - 2013
Kehadiran ligan sitrat dengan berbagai rasio ligan/Fe(II) menghasilkan bentuk oksida besi yang bermacam-macam. Dimana semakin tinggi rasio ligan/ Fe(II) maka akan semakin rendah tingkat kekristalan oksida besi yang terbentuk. Hal tersebut terlihat pada Gambar 6, dimana semakin tinggi rasio ligan organik maka tingkat kristalisasi oksida besi yang terbentuk semakin rendah. Sitrat, malat, dan oksalat memiliki afinitas tinggi terhadap unsur Fe. Ligan organik membentuk komplek organo mineral dengan Al-OH atau Fe-OH yang mengendap (Violante et al. 2010). Ligan organik (sitrat, malat, oksalat, dan fumarat) berkompetisi kuat dengan fosfat untuk menduduki loka jerapan membentuk ikatan komplek inner-sphere. Selain itu ligan organik juga mampu mengkelat (Al, Fe, Ca) agen pengikat fosfat yang mengendap.
Sifat Permukaan Oksida Fe Permukaan hidroksilat atau hidrat dari oksida Fe yang bermuatan positif atau negatif menggambarkan kemampuan adsorbsi atau desorpsi H+ yang tergantung dari lingkungan ionik. Nilai Point Zero Salt Effect (PZSE) pada pembentukan oksida Fe dipengaruhi oleh kehadiran ligan yang terpilih. Hal tersebut terlihat bahwa nilai PZSE menurun dengan peningkatan rasio ligan/Fe(II) dari 0-0,1 yang dihubungkan dengan meningkatnya presipitasi dari anion sitrat (Liu 1999).
Pengendapan ligan menurunkan PZSE dari pembentukan oksida Fe melalui dua mekanisme yaitu: mekanisme pertama melibatkan penggantian beberapa gugus –OH2 + 0,5 pada permukaan oksida oleh ligan dan muatan positif di permukaan. Contohnya reaksi antara asam silisilat dan oksida Fe mengikuti reaksi di bawah ini (Jackson 1965 dalam Liu 1999):
Mekanisme kedua melibatkan disosiasi proton dari presipitasi ligan. Logaritma dari konstanta disosiasi (pKa) pada umumnya ligan dalam larutan pH< 6,0. Namun pH 6,0 oksida Fe mengalami sintesis karena ligan akan berpresipitasi dengan oksida Fe yang melepaskan proton dan membawa muatan negatif yang selalu menurunkan PZSE oksida Fe. Contohnya gugus COO- dari ligan sitrat akan terekspose ke permukaan membawa muatan negatif yang akan mengadsorbsi metal oksida walaupun nilai pKa < 6,0 (Liu 1999). Total presipitasi ligan sitrat dengan Fe akan meningkat dengan peningkatan rasio ligan/Fe(II) yang dihubungkan dengan menurunnya PZSE dan meningkatnya muatan negatif pada oksida Fe.
Gambar Sumber: 6. LiuTEM (1999) oksida besi yang terbentuk pada pH 6,0 dengan berbagai rasio ligan sitrat/Fe(II) Gambar 6. TEM oksida besi yang terbentuk pada pH 6,0 (a) 0 M, (b) 0,001 M, (c) 0,01 M, (d) 0,1 M dengan berbagai rasio ligan sitrat/Fe(II) (a) 0 M, (Sumber: Liu, (b) 0,001 M, (c)1999) 0,01 M, (d) 0,1 M Figure 6.
42
TEM of Fe oxide which was formed at pH 6.0 with various ratio of citrate ligan/Fe(II) (a) 0 M, (b) 0,001 M, (c) 0,01 M, (d) 0,1 M
Wahida Annisa dan Eko Hanudin: Peran Ligan Organik terhadap Pembentukan Besi
Gambar 8 menunjukkan perubahan morfologi dari oksida besi yang terbentuk dengan peningkatan rasio ligan sitrat/Fe(II). Pada konsentrasi rasio ligan sitrat/Fe(II) 0 M (Gambar 8a) akan terbentuk kristal dengan bentuk cubic dan acicular. Sedangkan pada rasio ligan 0,001 M (8b) akan terbentuk kristal dengan bentuk lath-shaped. Sedangkan pada rasio ligan/Fe(II) yang terbentuk adalah kristal dengan bentuk lath-shaped dengan ukuran yang kecil (8c). Semakin tinggi rasio ligan/Fe(II) yakni 0,1 M maka bentuk dari oksida besi akan berbentuk irregular shaped (8d) karena tingkat kristalisasi yang semakin rendah.
Adsorbsi P oleh Oksida Fe Sumber: Liu (1999)
Gambar 7. Muatan permukaan dari oksida Fe yang terbentuk dari berbagai rasio sitrat/Fe (II) dalam Larutan 0,1 M NaCl Figure 7.
Surface content of Fe oxide formed with various citrate ratio/Fe(II) dalam Larutan 0,1 M NaCl
a
b
c
d
Sumber: Liu (1999)
Gambar 8. Atomic force microscopy (AFM) oksida Fe yang terbentuk dari berbagai rasio sitrat/ Fe (II) (a) 0 M, (b) 0,001 M, (c) 0,01 M, (d) 0,1 M. Topografi permukaan diindikasi warna putih (highest points) menjadi hitam (lowest points) Figure 8.
AFM of Fe oxide formed by various citrate ratio/Fe(II) (a) 0 M, (b) 0,001 M, (c) 0,01 M, (d) 0,1 M. Surfae topography indicated by white color (highest points) becomes black (lowest points)
Berbagai jenis oksida Fe memiliki wilayah permukaan yang besar dan gugus fungsional yang reaktif. Kompleks permukaan tidak hanya menghasilkan retensi hara tetapi selalu merubah sifat redoks dari fase besi (Stumm et al. 1992 dalam Theresa 2002). Luas permukaan dan reaktivitas dari oksida Fe variasinya sangat besar tergantung dari kristalisasi dan porositasnya. Porositas dari oksida Fe ini dapat menyebabkan kerusakan struktur, agregasi atau dehidroksilasi yang berkontribusi ke wilayah permukaan internal oksida Fe. Umumnya kisaran wilayah permukaan oksida Fe adalah: goetit 8-80 m2 g-1, lepidokrosit 15-100 m2 g-1, ferrihidrite 100-400 m2 g-1, hematit 2-90 m2 g-1, and magnetit 4-100 m2 g-1 (Cornell and Schwertmann 1996; Theresa 2002). Keberadaan ligan organik dalam tanah tidak boleh diabaikan ketika dinamika P menjadi perhatian. Tanaman selalu respon terhadap defisiensi P akibat pelepasan dari ligan organik melalui: pelarutan dari mineral fosfat dan peningkatan adsorbsi P akibat terganggunya kristalisasi oksida Fe. Sitrat merupakan penyebab dari desorpsi P pada pH < 7 dan pengaruh yang besar pada pH 4,5-5,0. Mekanisme adsorbsi P oksida besi melalui dua cara yakni: (1) melalui rekasi PO43- dan H+ di permukaan oksida Fe sehingga membentuk Kompleks Permukaan Outsphere (XOH2+-HPO42-); (2) melalui proses pertukaran ligan yakni dengan masuknya phosphate ke dalam lapisan sehingga menggantikan ligan OH dan membentuk kompleks permukaan Innersphere (XH2PO4). Pada tanah sulfat masam penggenangan akan meningkatkan adsorbsi P dalam tanah. Hasil penelitian Theresa (2002) menunjukkan bahwa kapasitas adsorbsi P meningkat akibat penggenangan. Pada kondisi reduktif besi ferro yang akan dihasilkan. Besi ferro ini memiliki luas permukaan yang besar dibandingkan kristal oksida, sehingga adsorbsi P meningkat. Luas permukaan dan kristalisasi
43
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No 1 - 2013
merupakan indikator terbaik terhadap kapasitas retensi P (Strauss et al. 1997; Colombo et al. 1994; Enyard 1993; Borggaard 1983; McLaughlin et al. 1981; dalam Theresa 2002). Adsorbsi P oleh oksida Fe digambarkan oleh Langmuir dan Freundlich Isoterm. Hasil penelitian Colombo et al. (1994) dalam Theresa (2002) menunjukkan bahwa adsorbsi P pada hematit berkisar dari 0,31 sampai 2,27 μmols yang digambarkan dengan Freundlich isotherm. Sedangkan adsorbsi P pada goetit sangat besar ditentukan oleh kristalisasi. Kristal goetit dengan wilayah permukaan 18 m2 g-1 memiliki kapasitas serapan sebesar 2,5 μmols P m-2 (Strauss et al. 1997 dalam Theresa 2002). Konsentrasi P yang tersisa dalam larutan akan menurun terhadap waktu untuk semua sistem P-Fe oksida (Gambar 9). Mekanisme adsorbsi P didasarkan pada reaksi pertukaran ligan yang mana satu demi satu hidroksil kordinat atau molukel air akan digantikan oleh satu anion fosfat yang dihasilkan dalam formasi bidentat, kompleks binuklear (Reddy et al. 1999; Parfitt and Russell 1977; Parfitt et al. 1975). Berdasarkan
pengamatan Parfitt et al. (1975) bahwa dua atom oksigen fosfat akan berkoordinasi dengan masingmasing ion Fe3+ yang berbeda, sehingga akan dihasilkan kompleks permukaan binuklear dengan tipe Fe-O-P(O2)-O-Fe. Hasil penelitian Theresa (2002) menunjukkan bahwa kapasitas adsorbsi P berkisar dari 4,73 sampai 10,37 μ.mol PO4 g-1 mineral (Tabel 2). Pada tabel terlihat bahwa semakin rendah tingkat kristalisasi besi oksida maka akan semakin besar fosfat yang terjerap. Hal ini terlihat pada tabel di bawah ini bahwa ferrihidrit mampu mengadsorbsi P sebesar 1037,55 μ.mol PO4 g-1 mineral dibandingkan goetit yang hanya mampu adsorbsi fosfat sebesar 4,73 μ.mol PO4 g-1 mineral. Pada umumnya adsorbsi fosfat akan menurun dengan peningkatan pH tanah. Pada goetit-berlapis pasir dan ferrihidrit besarnya P yang teradsorbsi akan menurun seiring dengan peningkatan pH tanah. Hal ini terlihat pada Gambar 10 dan 11.
Sumber: Theresa (2002)
Gambar 9. Adsorbsi isoterm P oleh oksida besi ferri yang digambarkan dengan persamaan Langmuir (a) ferrihidrite (R2=0,99) (b) ferrihidrite-coated sand (R2=0.99), (c) goetit-berlapis pasir (R2=0,99) dan (d) lepidokrosite (R2=0,99) Figure 9.
44
P isothermix adsorbtion by Ferri oxide, describe with Langmuir equation (a) ferrihidrite (R2=0,99) (b) ferrihidritecoated sand (R2=0.99), (c) sand layer goetit (R2=0,99) and (d) lepidokrosite (R2=0,99)
Wahida Annisa dan Eko Hanudin: Peran Ligan Organik terhadap Pembentukan Besi
Tabel 2. Adsorbsi fosfat oleh mineral adsorban (μ.mol PO4 g-1 mineral) Table 2. Phosphate adsorbtion by adsorban minerals (μ.mol PO4 g-1 mineral) Mineral Goethite coated sand Natural magnetite Ferrihydrite coated sand Natural siderite Synthetic magnetite Lepidocrocite Sulfate green rust Synthetic siderite Ferrihydrite
Maximum observed adsorption μmols g-1 4,73 13,61 14,39 26,97 34,56 123,82 878,67 957,53 1037,55
SD 0,36 4,20 0,38 2,15 3,98 0,52 131,84 21,46 1,07
Sumber: Theresa (2002) Sumber: Theresa (2002)
Gambar 10. Hubungan pH dengan serapan P pada goetit Figure 10.
Relationship between pH and P adsorbtion on goethite
KESIMPULAN 1. Keberadaan ligan organik akan berpengaruh terhadap tingkat kristalisasi pada pembentukan oksida Fe yang akan berdampak terhadap kapasitas retensi P dalam tanah. Semakin tinggi rasio ligan/ Fe(II) maka kristalisasi besi oksida akan terhambat. 2. Muatan permukaan negatif dari besi oksida akan meningkat karena peningkatan molaritas rasio ligan/Fe(II). Sifat kimia permukaan dari besi oksida mengikuti konstanta stabilitas dari kompleks Feligan yakni: Asam silisic > sitrat > tartarat > oksalat > sulfat > karbonat. 3. Lepidocrocit merupakan salah satu bentuk oksida Fe dan terbentuk dengan kisaran rasio ligan/Fe(II) yang optimum melalui proses katalisis.
DAFTAR PUSTAKA A. Violante1, V. Cozzolino, L. Perelomov, A.G. Caporale, and M. Pigna. 2010. Mobility and biovailability of heavy metal and metalloids in the soil Environments. J. Soil. Sci. Plant Nutr. 10(3):268-292.
Sumber: Theresa (2002)
Gambar 11. Pengaruh pH terhadap serapan P pada berbagai jenis besi oksida Figure 11.
Effect of pH to the P adsorbtion on various Fe oxides
Bohn, H.L., B.L. McNeal, and G.A. O’Connor. 2003. Soil Chemistry. 3rd Edition. John Wiley and Sons. New York, USA. Breemen, V. and P. Buurman. 2002. Soil Formation. Second Edition. Kluwer Academic Publishers. New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow. Cornell, R.M and Schwertmann. 1996. The Iron Oxides. VCH Verlagsgesellschaft, Weinheim. Cornell and Schwertmann. 1979. Influence of Organic Anions on the Crystallization of Ferihidrit. Clays and Clay Minerals 27(6):402-410. Dent. 1986. Acid Sulphate Soils. A Baseline for Research and Development Publication 39. ILRI. Wageningen, Nederland.
45
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No 1 - 2013
Essington, M.E. 2004. Soil and Water Chemistry; An integrative approach. CRC. Press. Boca Raton, Florida, USA. Fischer, W.R. and U. Schwertmann. 1975. The formation of hematit from amorphous iron(III) hydroxide: Clays & Clay Minerals 23:33-37. Kirk, G. 2004. The Biogeochemistry of Submerged Soils. John Wiley and Sons Ltd. The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex PO19 8SQ, England. Liu, C. 1999. Surface Chemistry of Iron Oxide Mineral Formed in Different Ionic Environment. A. Dissertation. Departement of Soil Science, University of Saskatchewan, Saskatoon, Canada. Liu, C. and Huang. 2003. Kinetics of lead adsorption by iron oxide formed under the influence of sitrat. Geochimica et Cosmochimica Acta 67(5):1045–1054. Parfitt, R.L., Roger J. Atkinson, and Roger S.T.C. Smart. 1975. The mechanism of fosfat fixation by iron oxides. Soil Science Society America. Proc. Vol. 39. Parfitt, R.L. and J.D. Russell. 1977. Adsorption on hydrous oxides. IV. Mechanisms of adsorption of various ions on goetit. J. Soil Sci. 28:297-305. Reddy, K.R., R.H. Kadlec, E. Flaig, and P.M. Gale. 1999. Phosphorus retention in streams and wetlands-a review. Crit. Rev. Environ. Sci. Technol. 29:86-146. Subagyo, H. 2006. Klasifikasi dan penyebaran lahan rawa. Hlm 1-23. Dalam Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Stahl, R.S, D.S. Fanning, and B.R. James. 1993. Goetit and jarosite precipitation from ferrous sulfate solution. Soil Science Society American Journal. Vol. 57. JanuaryFebruary. Schwertmann, U. and R.M. Taylor. 1989. Iron oxides. Pp. 379-438. In Minerals in Soil Environments, 2nd ed. (ed. J.B. Dixon and S.B. Weed). SSSA Book Series No. 1. SSSA, Madison, Wis. Theresa, M. Barber. 2002. Fosfat adsorbtion by mixed and reduced iron phases in static and dynamic system. Thesis Submitted to the Departement of Geology of Stanford University.
46
ISSN 1907-0799 Makalah REVIEW
Karakteristik dan Potensi Lahan Sub Optimal untuk Pengembangan Pertanian di Indonesia The Characteristic and Potential of Sub Optimal Land for Agricultural Development in Indonesia 1Anny
Mulyani dan Muhrizal Sarwani
1Peneliti
Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan, Jl. Tentara Pelajar 12 Bogor 16114
Diterima 6 Maret 2013; Disetujui dimuat 10 Mei 2013 Abstrak. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan pangan nasional, semakin meningkat pula kebutuhan lahan untuk pengembangan pertanian. Oleh karena terbatasnya cadangan lahan pertanian subur, maka untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional harus memanfaatkan lahan sub optimal. Lahan sub optimal adalah lahan yang secara alamiah mempunyai produktivitas rendah karena faktor internal dan eksternal. Untuk mengidentifikasi karakteristik dan potensi lahan sub optimal di Indonesia, telah dilakukan analisis terhadap basisdata sumberdaya lahan yang tersedia baik secara tabular maupun spasial dengan menggunakan GIS, serta berdasarkan hasil kajian di lapangan. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa lahan sub optimal dapat dipilah menjadi lahan kering masam, lahan kering iklim kering, lahan rawa pasang surut, lahan rawa lebak dan lahan gambut. Dari 189,2 juta ha daratan Indonesia, sekitar 108,8 juta ha termasuk lahan kering masam, terluas menyebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Sedangkan lahan kering iklim kering seluas 13,3 juta ha tersebar di Kaltim, Jatim, Bali, NTB dan NTT. Untuk lahan rawa terdiri dari rawa pasang surut seluas 11 juta ha, lahan rawa lebak 9,2 juta ha, dan lahan gambut seluas 14,9 juta ha, terluas terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Dari 157,2 juta ha lahan sub optimal, sekitar 91,9 juta ha sesuai untuk pengembangan pertanian, dan sekitar 71,2 juta ha telah digunakan untuk lahan pertanian, pembangunan infrastruktur, dan pemukiman. Sisanya merupakan lahan cadangan masa depan, yang akan bersaing pemanfaatannya baik dalam sub sektor (perkebunan, pangan, hortikultura) maupun antar sektor (pertambangan, perindustrian, infrastruktur, pemukiman). Pemanfaatan lahan sub optimal akan menjadi tumpuan harapan masa depan, namun memerlukan inovasi teknologi untuk mengatasi kendalanya sesuai karakteristik dan tipologi lahannya. Intensifikasi lahan pertanian eksisting juga perlu dilakukan untuk menjawab tantangan peningkatan permintaan terhadap pangan dan hasil pertanian lainnya. Kata kunci : Karakteristik / Lahan sub optimal Abstract. The demand for agricultural land increases with the increasing population and the demand for food. Availability of the fertile, more suitable land, is decreasing and thus future development should include sub-optimal lands. Sub-optimal lands are those land with low natural fertility due to the intrinsic properties and environmental forming factors. For evaluating the characteristics and potentials of Indonesian sub-optimal lands we analyzed the tabular and spatial land resources database using the Geographical Information Systems (GIS) and field observations. The analysis resulted in groupings of sub-optimal lands into, acid upland, semi-arid upland, acid sulfate tidal swamp, inland swamplands and peatland. From the total of 189.2 million ha Indonesian land, about 108.8 million ha is classified as acid upland, distributed mainly in Sumatra, Kalimantan and Papua. Semiarid uplands of 13.3 million ha is distributed in East Kalimantan, East Java, Bali, West Nusa Tenggara and East Nusa Tenggara. The swampland, consisted of 11 million ha tidal swamps, 9.2 million ha inland swamp and 14.9 million ha peatlands in Sumatra, Kalimantan and Papua. Among the 157.2 million ha sub-optimal lands, about 91.9 million ha are suitable, but 70 million ha have been used for various uses of agriculture, infrastructure and settlement, and the remaining 21.9 million ha can be considered as land reserve for future uses with an intensified competition between sub-sectors (plantations, food crops, horticulture) as well as across sectors (mining, industry, infrastructure, settlement). The use of sub-optimal lands will become the last resort that should be managed wisely by technological innovation in accordance with the land characteristics and typologies. Maintenance and intensification of existing agricultural must also be done to address the ever-increasing demands for food, oil, fiber and timber. Keywords : Characteristic / Sub optimal land
47
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No 1 - 2013
PENDAHULUAN
K
ebutuhan pangan nasional semakin meningkat seiring dengan makin meningkatnya jumlah penduduk yang saat ini berjumlah 237 juta jiwa dengan pertumbuhan 1,47% per tahun (BPS 2010), sehingga perlu diimbangi dengan penyediaan sumberdaya lahan pertanian yang cukup, agar ketahanan pangan nasional dapat berkelanjutan. Kenyataannya, perluasan lahan pertanian penghasil produk pangan sangat lambat terutama lahan sawah dan tegalan, bahkan lahan sawah cenderung mengalami penyusutan seperti di pantai utara Jawa dan kota-kota besar lainnya akibat adanya konversi lahan yag sulit dihindari. Berdasarkan rencana tata ruang kabupaten/kota di sentra produksi padi bahwa sekitar 3,1 juta ha sawah yang akan dikonversi menjadi lahan non pertanian menjelang tahun 2030 (Winoto 2005; Isa 2006), dari total lahan sawah saat ini sekitar 8,1 juta ha (BPN 2011). Apabila konversi lahan ini tidak diimbangi dengan pencetakan lahan sawah baru dan perluasan lahan kering, maka ancaman terhadap ketahanan pangan nasional semakin serius. Di lain pihak, lahan cadangan untuk pertanian semakin terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya. Sementara pemanfaatan lahan sub optimal memerlukan input lebih tinggi agar dapat berproduksi optimum. Lahan sub optimal dapat diartikan sebagai lahan yang secara alamiah mempunyai produktivitas rendah disebabkan oleh faktor internal (intrinsik) seperti bahan induk, sifat fisik, kimia dan biologi tanah dan faktor eksternal seperti curah hujan dan suhu ekstrim (Las et al. 2012). Berdasarkan data sumberdaya lahan Indonesia (tanah, iklim, bahan induk, fisiografi, landform) pada skala eksplorasi 1:1.000.000, lahan sub optimal dapat dikelompokan menjadi empat tipologi lahan yaitu lahan kering masam, lahan kering iklim kering, lahan rawa pasang surut, lahan rawa lebak dan lahan gambut (Puslitbangnak 2000). Indonesia dengan luas daratan 189,1 juta ha, sebagian besar termasuk lahan sub optimal, terluas berupa lahan kering masam akibat curah hujan tinggi (> 2.000 mm per tahun) sehingga pencucian hara dan tingkat pelapukan yang intensif di sebagian besar wilayah Indonesia. Kondisi sebaliknya terjadi di wilayah bagian timur Indonesia, yaitu merupakan wilayah beriklim kering dengan curah hujan < 2.000 mm per tahun, luasnya sekitar 45,3 juta ha (Balitklimat 2003; Mulyani et al. 2013).
48
Makalah ini menyajikan hasil analisis data sumberdaya lahan sub optimal meliputi karakteristik, sebaran, potensi, dan peluang pengembangannya untuk pertanian di Indonesia.
KARAKTERISTIK DAN SEBARAN LAHAN Untuk mengetahui karakteristik dan sebaran lahan sub optimal, telah dilakukan analisis terhadap data sumberdaya lahan eksplorasi yang mencakup seluruh Indonesia pada skala 1:1.000.000 (Puslitbangtanak 2000), data tanah tinjau skala 1:250.000 (BBSDLP 2012) dan data tipe iklim Indonesia (Balitklimat 2003). Dari ketiga sumber data tersebut, beberapa karakteristik tanah dan iklim dijadikan pembeda dalam penentuan kelompok lahan sub optimal, yaitu nama jenis tanah dan pencirinya pada tingkat great group, bahan induk, fisiografi, landform, regim kelembaban, dan iklim (curah hujan). Berdasarkan karakteristik dan penciri dari masing-masing tipologi lahan, maka lahan sub optimal dapat dipilah menjadi lahan kering dan lahan basah. Lahan kering dikelompokkan lebih lanjut menjadi lahan kering masam dan lahan kering beriklim kering, sedangkan lahan basah dikelompokkan menjadi lahan rawa pasang surut, lahan rawa lebak, dan gambut. Selain kelima tipologi lahan tersebut, akan termasuk menjadi lahan optimal (subur), yaitu lahan kering dan lahan basah yang tidak masam (termasuk sebagian besar lahan sawah eksisting). Karakteristik masing-masing tipologi lahan sub optimal sebagai berikut:
Lahan Kering Masam Lahan kering masam adalah lahan kering yang mempunyai reaksi tanah masam dengan pH < 5. Dalam klasifikasi tanah skala 1:1.000.000, lahan kering masam ini dijumpai pada ordo tanah yang telah mengalami perkembangan tanah lanjut atau tanah muda atau baru berkembang atau tanah dari bahan induk sedimen dan volkan tua, dan atau tanah lainnya dengan kejenuhan basa rendah < 50% (dystrik) dan regim kelembaban tanah udik atau curah hujan > 2.000 mm per tahun. Curah hujan berkorelasi dengan kemasaman tanah, makin tinggi curah hujan makin tinggi tingkat pelapukan tanah. Tanah yang terbentuk di daerah iklim tropika basah (humid), proses hancuran iklim (pelapukan) dan pencucian hara (basa-basa) sangat intensif, akibatnya tanah menjadi masam dengan kejenuhanbaa rendah dan kejenuhan aluminium tinggi (Subagyo et al. 2000). Tanah di lahan
Anny Mulyani dan Muhrizal Sarwani: Karakteristik dan Potensi Lahan Sub Optimal
kering yang beriklim basah umumnya termasuk pada tanah Podsolik Merah Kuning (Dudal and Soepraptohardjo 1957) atau termasuk pada Ultisols, Oxsisols, dan Inceptisols (Soil Survey Staff 1999). Secara umum lahan kering masam ini mempunyai tingkat kesuburan dan produktivitas lahan rendah. Untuk mencapai produktivitas optimal diperlukan input yang cukup tinggi.
dengan payau sehingga pH tanah netral atau agak alkalis (pH 6,5-7,5), diklasifikasikan sebagai Halaquents atau Halaquepts. Lahan ini umumnya mempunyai tingkat kesuburan dan produktivitas rendah sehingga untuk pengembangan pertanian diperlukan input teknologi seperti variets yang tahan masam dan genangan, tahan salinitas tinggi, dan diperlukan drainase dan tata air mikro.
Lahan Kering Iklim Kering
Lahan Rawa Lebak
Lahan kering iklim kering adalah lahan kering yang mempunyai regim kelembaban tanah ustik dan atau termasuk pada iklim kering dengan jumlah curah hujan < 2.000 mm per tahun dan bulan kering > 7 bulan (< 100 mm per bulan) (Balitklimat 2003). Kebalikan dengan di lahan kering masam, pelapukan dan hancuran batuan induk tanah tidak seintensif di wilayah beriklim basah, akibatnya pembentukan tanah terhambat dan solum tanah dangkal, berbatu dan banyak ditemukan sungkapan batuan. Bahan induk yang banyak ditemukan adalah batu kapur, batu gamping, sedimen dan volkanik. Pencucian basa-basa rendah, sehingga umumnya kejenuhan basa > 50% (eutrik), pH tanah netral dan cenderung agak alkalis, dan secara umum mempunyai tingkat kesuburan lebih baik daripada lahan kering masam. Tanah yang umum ditemukan adalah Alfisols, Mollisols, Entisols, Vertisols (Mulyani et al. 2013). Permasalahan yang umum terjadi adalah kelangkaan sumberdaya air, karena rendahnya curah hujan, sehingga jenis tanaman dan indeks pertanaman lebih terbatas.
Lahan rawa lebak adalah lahan rawa yang tidak terpengaruh oleh pasang surut (rawa non pasang surut), tetapi dipengaruhi oleh sungai yang sangat dominan, yaitu berupa banjir besar yang secara periodik minimal 3 bulan menggenangi wilayah setinggi 50 cm (Subagyo 2006). Rawa lebak umumnya terletak pada kiri kanan sungai dan berada lebih ke dalam dari dataran pantai ke arah hulu sungai. Selama musim hujan, rawa lebak selalu digenangi air kemudian secara berangsur-angsur air akan surut sejalan dengan perubahan musim hujan ke musim kemarau. Lebak dikelompokan lebih lanjut berdasarkan tinggi genangan dan lama genangan menjadi lebak dangkal (tinggi genangan < 50 cm, lama genangan < 3 bulan), lebak tengahan (50-100 cm, 3-6 bulan), dan lebak dalam (> 100 cm, > 3-6 bulan) (Subagyo 2006). Jenis komoditas dan indeks pertanaman di lahan rawa lebak ini sangat tergantung dari jenis lebak, dengan tingkat kesuburan sedang karena ada pengkayaan hara dari luapan sungai.
Lahan Rawa Pasang Surut
Lahan gambut adalah lahan yang terbentuk dari bahan tanah organik dengan kandungan C-organik > 12% berat jika kandungan liat 0% atau >18% berat jika kandungan liat 60% atau lebih, dengan kedalaman > 60 cm. Menurut klasifikasi tanah dikelompokkan sebagai tanah organik atau Histosols atau Organosol (Subagyo et al. 2000). Lebih lanjut Fahmuddin et al. (2011) menyatakan bahwa tanah gambut mempunyai kandungan C-organik berkisar antara 18-60%, berat isi 0,03-0,3 g cm-3, sebaran karbon di seluruh penampang sampai dasar tanah mineral, bersifat mudah terbakar dan tidak balik (irreversible) apabila sudah didrainase. Reaksi tanah gambut di seluruh lapisan sangat masam (pH rata-rata 4), kahat hara, sehingga produktivitas rendah dan perlu pengaturan drainase dan tata air mikro apabila akan dimanfaatkan untuk pertanian. Oleh karena itu, seluruh lahan gambut dengan kematangan saprik, hemik dan
Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air atau tergenang (Subagyo 2006). Sedangkan lahan rawa pasang surut adalah lahan rawa yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, terletak dekat pantai, sebagian besar berupa tanah mineral dan sebagian lagi berupa gambut. Dari klasifikasi tanah (Soil Survey Staff 1999), lahan rawa pasang surut dicirikan dengan adanya kondisi aquik (jenuh air) dan mempunyai bahan sulfidik (besi sulfida) yang lebih dikenal dengan pirit, umumnya bereaksi masam ekstrim (pH < 4) sehingga sering disebut tanah sulfat masam (Subagyo 2006). Klasifikasi tanahnya termasuk pada Sulfaquents, Sulfic Endoaquents, Sulfic Fluvaquents, Sulfic Hydraquents, Sulfaquepts, Sulfic Endoaquepts. Sedangkan wilayah yang dekat dengan laut dipengaruhi oleh garam (salinitas) atau dikenal
Lahan Gambut
49
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No 1 - 2013
Gambar 1. Pengelompokkan lahan sub optimal di Indonesia Figure 1. Grouping of sub optimal land in Indonesia
Gambar 2. Sebaran lahan sub optimal di Indonesia Figure 2. Distribution of sub optimal land in Indonesia fibrik, serta berbagai kedalaman dimasukkan menjadi lahan sub optimal. Berdasarkan karakteristik lahan sub optimal seperti diuraikan di atas yang dipadukan dengan basisdata tanah dan iklim, menunjukkan bahwa dari total daratan Indonesia 189,1 juta ha, sekitar 143,0 juta ha berupa lahan kering dan 46,1 juta ha berupa lahan basah. Sekitar 157,2 juta ha di antaranya merupakan lahan sub optimal, yang terdiri dari 123,1 juta ha lahan kering dan 34,1 juta ha lahan basah, sebagai ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 1. Tabel 1 menyajikan sebaran lahan sub optimal secara lebih rinci di masing-masing provinsi, dimana sebagian besar lahan termasuk pada lahan kering masam sekitar 108,8 juta ha atau sekitar 60% dari total luas lahan Indonesia, yang identik dengan lahan kering 50
beriklim basah. Sebaran lahan kering masam ini terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, terluas terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Sedangkan lahan kering iklim kering seluas 13,3 juta ha, penyebaran terluas terdapat di NTT, NTB, Jatim, Kaltim, Gorontalo dan Sulsel (Gambar 2). Untuk lahan basah, seluas 14,9 juta ha berupa lahan gambut, seluas 11,0 juta ha berupa lahan rawa pasang surut, dan 9,3 juta ha berupa lahan rawa lebak. Sisanya seluas 31,9 juta ha merupakan lahan optimal dengan tingkat kesuburan sedang sampai tinggi, yang dapat dipilah lebih lanjut berupa lahan kering yang tidak masam dan berada di wilayah beriklim basah seluas 20,9 juta ha dan sekitar 9,2 juta ha merupakan lahan basah yang bukan rawa atau gambut (tanah mineral), termasuk di dalamnya adalah lahan sawah
Anny Mulyani dan Muhrizal Sarwani: Karakteristik dan Potensi Lahan Sub Optimal
Tabel 1. Sebaran lahan sub optimal di Indonesia Table 1. Distribution of sub optimal land in Indonesia Provinsi Bali Babel Banten Bengkulu DIY DKI Gorontalo Jabar Jambi Jateng Jatim Kalbar Kalsel Kalteng Kaltim Lampung Maluku Maluku Utara Aceh NTB NTT Papua Riau Sulsel Sulteng Sultra Sulut Sumbar Sumsel Sumut Total
Lahan kering Lahan rawa Lainnya Total Masam Iklim kering Pasangsurut Lebak Gambut ………….…………………….…….………….. ha ………….…………………….………….…………. 46.688 134.616 6.754 367.002 555.060 1.181.000 216.893 42.568 84.100 1.524.561 684.804 6.847 45.055 101.379 58.347 896.432 1.832.982 50.756 6.213 8.052 141.518 2.039.521 20.402 174.196 8.512 11.541 114.579 329.230 43.919 5.327 35.340 84.586 3.244 1.017.374 23.358 12.287 145.179 1.201.442 2.084.728 149.635 144.412 292.549 993.385 3.664.709 3.447.915 291.864 7.034 621.089 416.061 4.783.963 1.184.345 685.093 132.532 299.243 1.152.832 3.454.045 1.004.290 2.244.359 129.241 1,356,607 4,735,597 11.483.416 21.108 928.344 91.686 1.680.135 404.965 14.609.654 2.189.535 49.071 346.753 506.228 106.271 492.169 3.690.027 11.408.220 19.343 493.949 274.438 2.659.234 148.799 15.003.983 16.245.152 42.252 983.624 193.535 332.365 1.321.285 19.118.213 2.787.857 172.834 27.205 49.331 294.935 3.332.162 1.891.564 686.687 249.508 1.700.441 4.528.200 1.769.383 341.140 60.310 14.484 933.285 3.118.602 3.754.647 49.248 415.799 215.704 1.431.761 5.867.159 9.072 1.532.476 1.896 467.277 2.010.721 164.460 2.914.239 20.755 1.503.108 4.602.562 17.343.250 345.924 3.349.550 6.568.750 3.690.921 11.652.361 42.950.756 4.491.246 3.238 648.036 7.979 3.875.599 542.479 9.568.577 3.191.227 1.238.520 281.651 180.694 1.234.287 6.126.379 3.499.409 722.238 80.193 100.271 1.787.614 6.189.725 1.814.255 261.599 211.455 239.791 1.152.724 3.679.824 811.987 486.464 34.303 4.090 156.866 1.493.710 3.606.238 25.007 114.011 5.156 100.687 460.858 4.311.957 5.176.944 1.007.178 278.436 1.262.385 829.398 8.554.341 5.603.651 120.420 577.103 2.781 261.234 510.146 7.075.335 108.775.830
13.272.094
11.031.956
eksisting yang ada saat ini seluas 8,1 juta ha (BPN 2011). Lahan subur ini sebagian besar sudah digunakan dan sudah menjadi lahan pertanian produktif. POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN Untuk mengetahui berapa luas lahan sub optimal yang sesuai untuk pertanian telah dilakukan overlay (tumpang tepat) antara sebaran lahan sub otpimal dengan potensi lahan untuk pertanian (Puslitbangtanak 2001). Hasilnya menunjukkan bahwa dari 157,2 juta ha lahan sub optimal dalam lima kelompok tersebut di atas, sekitar 91,9 juta ha yang sesuai untuk pengembangan pertanian (Tabel 2). Sisanya tidak disarankan untuk pengembangan pertanian karena merupakan kawasan hutan atau lahan yang tidak sesuai dengan berbagai faktor pembatas seperti lereng sangat curam > 40%, gambut dalam (tebal > 3 m), tanah berpasir (Spodosols atau Quartzipsamments), tanah sulfat masam aktual, dan lebak dalam dengan lama
9.261.110
14.905.575
31.854.468
189.101.033
genangan > 6 bulan, sehingga disarankan untuk tetap dijadikan kawasan konservasi dengan vegetasi alami, yang bisa beradaptasi dengan kondisi tersebut dan aman untuk keberlanjutan dan keamanan lingkungan. Tabel 2. Lahan sub optimal yang potensial untuk pengembangan pertanian di Indonesia Table 2.
Potential of sub optimal land for agricultural development in Indonesia
Agroekosistem LK masam LKIK Rawa ps surut Rawa Lebak Gambut Total
Lahan sub Potensi LSO untuk optimal pertanian ……………......ha………………… 62.647.199 108.775.830 7.762.543 13.272.094 9.319.675 11.031.956 7.499.976 9.261.110 4.675.250 14.905.575 91.904.643 157.246.565
Jika kita bandingkan dengan data BPS dan diasumsikan semua termasuk lahan sub optimal, maka
51
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No 1 - 2013
lahan pertanian yang saat ini ada sekitar 71,2 juta ha termasuk kawasan pertanian atau arahan penggunaan lain (APL) menurut istilah kehutanan. Kawasan pertanian tersebut terdiri dari sawah 7,9 juta ha, tegalan 14,6 juta ha, lahan sementara tidak diusahakan 11,3 juta ha, perkebunan 18,5 juta ha, rumput dan padang penggembalaan 2,4 juta ha, tambak 0,8 juta ha, kayukayuan 9,3 juta ha dan pekarangan 6,4 juta ha (BPS 2008; www.bps.go.id). Berdasarkan data BPS (2012), terjadi peningkatan luas lahan yang sementara tidak diusahakan dari 11,3 juta ha menjadi 14,4 juta ha, ini menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang terlantar. Secara hitungan kasar bahwa lahan sub optimal yang potensial seluas 91,9 juta ha dan yang sudah dimanfaatkan sekitar 71,2 juta ha, sehingga terdapat selisih lahan yang potensial sekitar 20 juta ha. Namun, dari 71,2 juta ha di dalamnya terdapat lahan sementara tidak diusahakan seluas 11,3 juta ha, artinya sekitar 31,3 juta ha lahan yang potensial dan belum dimanfaatkan. Pada tahun 2007, untuk mengetahui penyebaran lahan yang belum dimanfaatkan secara spasial (GIS), telah dilakukan tumpang tepat (overlayed) antara peta kesesuaian lahan komoditas pertanian dengan peta penggunaan lahan dari BPN (2002 dan 2004) dan dari berbagai sumber lainnya. Dengan cara tumpang tepat tersebut diperoleh data penyebaran lahan yang belum dimanfaatkan (lahan ditumbuhi semak belukar, alangalang, rerumputan), baik di lahan kering maupun di lahan rawa di luar hutan kawasan lindung (hutan konversi dan hutan produksi ikut dievaluasi). Tanpa memperhatikan status kawasan dan status kepemilikan, lahan tersebut diasumsikan sebagai lahan potensial yang tersedia untuk cadangan pengembangan pertanian ke depan.
Hasil analisis spasial tersebut menunjukkan bahwa sekitar 30,67 juta ha merupakan lahan yang belum dimanfaatkan berupa alang-alang dan semak belukar (dianggap tersedia sebagai lahan cadangan untuk pengembangan pertanian), yang terdiri dari 8,28 juta ha lahan sesuai untuk perluasan pertanian lahan basah semusim (sawah), 7,08 juta ha sesuai untuk pertanian lahan kering tanaman semusim, dan 15,31 juta ha lahan sesuai untuk pertanian tanaman tahunan (Tabel 3). Hasil analisis tersebut berdasarkan data penggunaan lahan antara tahun 2000-2004, sehingga dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit, karet, dan kakao yang cukup pesat dalam 10 tahun terakhir, kemungkinan lahan potensial tersedia tersebut sudah berkurang (Badan Litbang Pertanian 2007; BBSDLP 2008). Tanpa mempertimbangkan status kawasan hutan dan kepemilikan lahan, lahan tersedia tersebut terdapat di kawasan budidaya pertanian atau kawasan budidaya kehutanan (tidak termasuk di kawasan hutan lindung, margasatwa, taman nasional), berupa semak belukar dan padang alang-alang/rumput. Sedangkan pada kawasan hutan, lahan tersedia dapat berada pada status kawasan hutan konversi (HK) dan hutan produksi (HP) yang secara hukum negara jika dibutuhkan dan disepakati dapat dijadikan sebagai cadangan lahan pertanian, saat ini berupa semak belukar dan padang alang-alang/rumput. Diperkirakan sekitar dua pertiga (20,3 juta ha) lahan tersedia berada di kawasan budidaya kehutanan (di luar kawasan lindung) yang saat ini ditumbuhi alang-alang dan semak belukar, terluas terdapat di Kalimantan, Papua dan Maluku, serta Sumatera (Tabel 4).
Tabel 3. Luas lahan yang sesuai dan tersedia untuk perluasan areal pertanian lahan basah dan lahan kering Table 3. Suitable and available land for agricultural development in wet and dry land Pulau
Sumatera Jawa Bali dan NT Kalimantan Sulawesi Maluku+ Papua Indonesia
Lahan kering Lahan kering Total Lahan basah semusim semusim*) tahunan**) Rawa Non-rawa Total …..……..………………… x 1.000 ha ………………………………… 354,9 606,2 960,9 1.312,8 3.226,8 6.499,4 0 14,4 14,4 40,5 159,0 213,9 0 48,9 48,9 137,7 610,2 796,7 730,2 665,8 1.396,0 3.639,4 7.272,0 12.307,4 0 423,0 423,0 215,5 601,2 1.239,6 1.893,4 3.539,3 5.432,7 1.739,0 3.441,0 10.612,7 2.978,4 5.297,6 8.275,8 7.083,8 15.310,1 30.669,7
Keterangan : *) Lahan kering semusim juga untuk tanaman tahunan **) Lahan kering tahunan termasuk juga sebagian gambut Sumber: Badan Litbang Pertanian (2007)
52
Anny Mulyani dan Muhrizal Sarwani: Karakteristik dan Potensi Lahan Sub Optimal
Tabel 4. Lahan tersedia pada kawasan budidaya pertanian dan kehutanan Table 4.
Available land in agricultural and forestry region
1. 2.
Sumatera Jawa
Kawasan Budidaya Total Pertanian Kehutanan ……………………. ha ……………………….. 2.741.632 2.757.776 5.499.408 129.022 84.868 213.890
3. 4. 5. 6.
Bali dan NT Kalimantan Sulawesi Maluku+Papua
515.874 3.907.977 682.192 2.331.106
280.872 8.399.413 557.412 8.281.545
796.746 12.307.390 1.239.604 10.612.651
10.307.803
20.361.886
30.669.689
No.
Pulau
Indonesia
diimbangi dengan laju perluasan areal pertanian (khususnya pangan), konversi lahan yang sulit dihindari, semakin tingginya fragmentasi kepemilikan lahan akibat sistem bagi waris, dan rendahnya akses untuk peningkatan kepemilikan lahan, yang pada akhirnya dapat mengancam ketahanan pangan nasional. Oleh sebab itu, diperlukan strategi dan arah pengembangan pertanian ke depan di antaranya: 1.
Pemanfaatan lahan sub-optimal eksisting. Wilayah yang saat ini merupakan sentra produksi pangan hendaknya tetap dioptimalkan sebagai kawasan penghasil pangan. Kenyataan saat ini, sebagian wilayah di Sumatera dan Kalimantan banyak beralih fungsi yang semula merupakan sentra pangan menjadi perkebunan (kelapa sawit atau karet)., termasuk alih fungsi dari lahan sawah.
2.
Pemanfaatan lahan sub optimal untuk ekstensifikasi (perluasan pertanian). Lahan sub optimal harus dimanfaatkan sesuai dengan kesesuaian lahannya. Wilayah yang sesuai dan diarahkan untuk tanaman pangan hendaknya tetap dimanfaatkan untuk tanaman pangan. Selain penerapan inovasi teknologi, perlu dilakukan pemilihan komoditas dan pengaturan pola dan masa tanam agar diperoleh produksi optimal agar dapat bersaing dengan komoditas lainnya.
3.
Penerapan inovasi teknologi untuk peningkatan produktivitas lahan sub optimal sesuai dengan karakteristik dan tipologi lahannya. Inovasi teknologi harus lebih fokus dan terintegrasi antara lahan, air, tanaman, ternak, dan sumberdaya lokal serta harus mengantisipasi dampak perubahan iklim.
4.
Dukungan infrastruktur, sarana dan fasilitasi sesuai kebutuhan masyarakat dan sesuai dengan tipologi lahannya, sehingga petani mempunyai akses yang mudah dalam memenuhi input produksi (sarana produksi, modal, pemasaran, dll).
5.
Peningkatan kapasitas petani dalam berusahatani yang masih relatif tertinggal di lahan sub optimal dibanding pada lahan sawah beririgasi teknis.
6.
Penguatan penerapan kebijakan terutama UU No 41/2009 tentang Perlindungan L ahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan 4 Peraturan Pemerintah turunananya. Sosialisasi perlu terus diintensifkan terutama pada tingkat kabupaten, serta diupayakan segera ditindaklanjuti dengan Perda yang menetapkan kawasan LP2B.
Sumber: Dephut (2007); BBSDLP (2008)
Berdasarkan uraian di atas, potensi dan peluang pengembangan lahan sub optimal masih cukup luas. Permasalahan utama dalam pengembangan pertanian ke depan adalah akan terjadi dilema berupa kompetisi dalam pemanfaatan lahan baik antar sub sektor pertanian (tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan) maupun dengan sektor lain di luar pertanian (perindustrian, pertambangan, infrastruktur, perumahan, perkantoran, dan lainnya). Perlu disampaikan bahwa lahan terlantar di kawasan pertanian yang 10 juta ha sudah ada pemiliknya, sehingga ada kesulitan dalam memanfaatkan lahan di kawasan ini. Perkembangan lahan pertanian yang cukup pesat dalam periode 10 tahun terakhir adalah untuk perkebunan terutama kelapa sawit, baik di lahan kering maupun di lahan basah (rawa pasang surut dan gambut), yang umumnya berupa perusahaan besar swasta dalam bentuk HPH (merubah status kawasan hutan produksi menjadi lahan pertanian). Pengusaha lebih senang menggunakan dan membebaskan lahan negara dibandingkan memanfaatkan lahan masyarakat karena lebih mudah secara administatif dan lebih murah biayanya, serta dapat memperoleh blok lahan dalam satu hamparan luas. Pada umumnya kawasan luas tersebut merupakan lahan sub optimal berupa lahan rawa pasang surut dan lahan gambut.
STRATEGI DAN ARAH PENGEMBANGAN LAHAN SUB OPTIMAL Untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional ke depan, pemanfaatan lahan sub optimal menjadi tumpuan harapan dengan dukungan inovasi teknologi yang telah dihasilkan oleh berbagai lembaga pemerintah maupun swasta. Hal ini penting untuk mengantisipasi permasalahan yang dihadapi saat ini seperti laju peningkatan penduduk yang tidak
53
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 No 1 - 2013
KESIMPULAN DAN SARAN Sebagian besar lahan daratan Indonesia merupakan lahan sub optimal yang terdiri dari lahan kering masam (terluas), diikuti oleh lahan gambut, lahan kering ikim kering, lahan rawa pasang surut dan lahan rawa lebak. Berdasarkan karakteristik biofisik lahan, dari sekitar 157,2 juta ha lahan sub optimal ternyata yang sesuai untuk pertanian seluas 91,9 juta ha. Lahan pertanian yang ada sekarang ini sekitar 71,2 juta ha, sehingga diperkirakan masih tersedia lahan untuk pengembangan pertanian. Berdsarkan hasil kajian terdahulu, tanpa memilah 5 tipologi lahan sub optimal, terdapat sekitar 30 juta ha lahan yang potensial dan belum dimanfaatkan untuk usaha apapun dan saat ini berupa alang-alang, semak belukar atau rerumputan. Semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan pangan nasional, maka semakin besar kebutuhan sumberdaya lahan sebagai penghasil pangan. Di sisi lain, kebutuhan sumberdaya lahan untuk non pertanian juga cukup besar, sehingga ke depan akan terjadi kompetisi dalam pemanfaatan lahan baik antar sub sektor (pertanian, pertambangan, perindustrian, perumahan, perkantoran, dan infrastruktur) maupun di antara sektor (pangan, perkebunan dan hortikultura). Oleh karena itu, untuk meningkatkan produksi pangan nasional diperlukan strategi dalam pemanfaatan lahan sub optimal ke depan yaitu intensifikasi pada lahan pertanian eksisting dan perluasan areal pertanian baru (ekstensifikasi), dengan didukung oleh inovasi teknologi unggulan dan penyediaan infrastruktur dan sarana pertanian yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA Badan
Litbang Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Edisi II. 30 halaman
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. 2003. Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian Indonesia Skala 1: 1.000.000. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Indonesia BPS (Badan Pusat Statistik). 2008. Land Utilization by Provinces in Indonesia Badan Pusat Statistik, Jakarta. www.bps.go.id (1 Februari 2008). BPS (Badan Pusat Statistik). 2010. Indonesia Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik, Jakarta. BPS (Badan Pusat Statistik). 2012. Indonesia Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
54
BPN (Badan Pertanahan Nasional). 2002. Peta Penggunaan Lahan skala 1:250.000. Badan Pertanahan Nasional, Jakarta. BPN (Badan Pertanahan Nasional). 2004. Peta Penggunaan Lahan skala 1:250.000. Badan Pertanahan Nasional, Jakarta. BPN (Badan Pertanahan Nasional). 2011. Peta Sebaran Lahan Sawah Berdasarkan Kesepakatan antara Kementan, BPN, dan BPS. Badan Pertanahan Nasional, Jakarta. BBSDLP (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian). 2008. Policy Brief. Potensi dan Ketersediaan Sumberdaya Lahan Untuk Perluasan Areal Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. BBSDLP (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian). 2012. Basisdata sumberdaya lahan pertanian pada skala tinjau (1:250.000). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Dudal, R. and Soepraptohardjo. 1957. Soil Classification in Indonesia. Contr. Gen. Agric.Res. Sta. Bogor, No. 148 Isa, I. 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Halaman 1-16 dalam Prosiding Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, MAFF Japan, dan ASEAN Sekretariat. Jakarta. Las, I., M. Sarwani dan A. Mulyani 2012. Laporan Akhir Kunjungan Kerja Tematik dan Penyusunan Model Percepatan Pembangunan Pertanian Berbasis Inovasi Wilayah Pengembangan Khusus Lahan Sub Optimal. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Mulyani, A., A. Priyono and F. Agus. 2013. Chapters 24: Semiarid Soils of Eastern Indonesia: Soil Classification and Land Uses. Developments in Soil Classification, Landuse Planning and Policy Implications. Springer. pp 449-466. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Indonesia. 37 hlm. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya Lahan/Tanah Eksplorasi Indonesia Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Indonesia. 37 hlm. Subagyo, H., N. Suharta, AB. Siswanto. 2000. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. Halaman 21-66 pada Buku Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Subagyo, H. 2006. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa. Halaman 1-22 dalam Buku Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Anny Mulyani dan Muhrizal Sarwani: Karakteristik dan Potensi Lahan Sub Optimal
Subagyo, H. 2006. Lahan Rawa Pasang Surut. Halaman 2398 dalam Buku Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Subagyo, H. 2006. Lahan Rawa Lebak. Halaman 99-116 dalam Buku Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Soil Survey Staff, 1999. Soil Taxonomy. A Basic System for Making and Interpreting Soil Surveys. Second Edition. USDA-NRCS Agric. Handb. 436. Winoto, J. 2005. Kebijakan Pengendalian alih fungsi tanah pertanian dan implementasinya. Seminar Sehari Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. Jakarta, 13 Desember 2005. .
55
Anny Mulyani dan Muhrizal Sarwani: Karakteristik dan Potensi Lahan Sub Optimal
1