VOL.1 NO.1 JANUARI 2014
ISSN 2355-195X
Uji Penggunaan Jumlah Mata Tunas & Media Tanam pada Pembibitan Tanaman Anggur (Vitis Vinifera) Varietas Prabu Bestari ...................................................................................... 1 Rr. Setyani Hidayati Pengaruh Umur & Jumlah Bibit per Titik Tanam terhadap Produksi Padi (Oryza Sativa) Varietas Ciherang .................................................................................................................... 13 Tumini & Zainul Fatah Pengaruh ZPT GA3 & Rootone-F terhadap Pertumbuhan Stek Satu Mata pada Pembibitan Tanaman Anggur (Vitis Vinifera) Varietas Red Prince ............................................ 29 Mochamad Su’ud & Dyan Kresna Dharma Pengaruh Penyiangan & Mulsa terhadap Produksi Kacang Tanah (Arachis Hypogaea L.) ......... 37 Agus Edi Setiyono Uji Pengaruh Varietas Inpari & Dosis Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi (Oryza Sativa) ......................................................................................... 47 Ida Sugeng Suyani & Riswatul Muawanah Stabilitas & Adaptabilitas Hasil Sepuluh Genotipe Kedelai (Glycine max, L. Merrill) Pada Tiga Lokasi di Musim Kemarau dengan Metode Perkins & Jinks ...................................... 59 Mimik Umi Zuhroh
AGROTECHBIZ Jurnal Ilmiah Pertanian
Vol. 1 No. 1 Hal. 1-74
ISSN 2355-195X
PROBOLINGGO JANUARI 2014
PENERBIT: FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PANCA MARGA
AGROTECHBIZ JURNAL ILMIAH PERTANIAN VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2014
ISSN 2355-195X
Agrotechbiz merupakan jurnal ilmiah pertanian khususnya di bidang Agroteknologi dan Agribisnis yang diterbitkan oleh Fakultas Pertanian. Agrotechbiz diterbitkan berkala setiap enam bulan, yaitu bulan Januari dan Juli. Agrotechbiz memuat artikel ilmiah hasil penelitian dan/atau kajian analitis-kritis yang berisikan pokok bahasan, baik yang terkait dengan aspek pengembangan, kerangka teoritis, implementasi, maupun kemungkinan pengembangan pertanian dalam cakupan Ilmu Tanaman secara keseluruhan. Sebagai media nasional, Agrotechbiz diharapkan mampu mengakomodir kebutuhan akan sebuah media untuk menyebarluaskan informasi dan perkembangan terbaru bagi para peneliti dan praktisi Ilmu Tanaman di Indonesia.
iii
AGROTECHBIZ JURNAL ILMIAH PERTANIAN VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2014
ISSN 2355-195X
DEWAN REDAKSI Penanggung Jawab: Ir. Mochamad Su’ud, M.P. Pemimpin Redaksi: Ir. Agus Edi Setiyono, M.P. Sekretaris Redaksi: Ida Sugeng Suyani, S.P., M.P. Penyunting Ahli: Sulis Dyah Candra, S.P., M.P. Ir. Tumini, M.M. Ir. H. A. Suyadi Hidayat, M.M. Penyunting Pelaksana: Retno Sulistyowati, S.P., M.P. Ir. Anton Prihantono Ir. Mimik Umi Zuhroh, M.M., M.P. Distribusi: Ida Sugeng Suyani, S.P., M.P.
Alamat Redaksi: Fakultas Pertanian Universitas Panca Marga Jl. Yos Sudarso 107, Pabean, Dringu, Probolinggo 67271 Telp. (+62) 335 422715, 427923, e-mail:
[email protected]
iv
AGROTECHBIZ JURNAL ILMIAH PERTANIAN VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2014
ISSN 2355-195X
DAFTAR ISI Uji Penggunaan Jumlah Mata Tunas & Media Tanam pada Pembibitan Tanaman Anggur (Vitis Vinifera) Varietas Prabu Bestari ..................................................................................... 1-12 Rr. Setyani Hidayati Pengaruh Umur & Jumlah Bibit per Titik Tanam terhadap Produksi Padi (Oryza Sativa) Varietas Ciherang ................................................................................................................... 13-28 Tumini & Zainul Fatah Pengaruh ZPT GA3 & Rootone-F terhadap Pertumbuhan Stek Satu Mata pada Pembibitan Tanaman Anggur (Vitis Vinifera) Varietas Red Prince ........................................... 29-36 Mochamad Su’ud & Dyan Kresna Dharma Pengaruh Penyiangan & Mulsa terhadap Produksi Kacang Tanah (Arachis Hypogaea L.) ........ 37-46 Agus Edi Setiyono Uji Pengaruh Varietas Inpari & Dosis Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi (Oryza Sativa) ......................................................................................... 47-58 Ida Sugeng Suyani & Riswatul Muawanah Stabilitas & Adaptabilitas Hasil Sepuluh Genotipe Kedelai (Glycine max, L. Merrill) Pada Tiga Lokasi di Musim Kemarau dengan Metode Perkins & Jinks ..................................... 59-74 Mimik Umi Zuhroh
v
AGROTECHBIZ JURNAL ILMIAH PERTANIAN VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2014
ISSN 2355-195X Persyaratan Penulisan Artikel/Naskah
1. Artikel harus belum pernah diterbitkan pada media lain. 2. Artikel ditulis dengan bahasa Inggris/Indonesia, spesifikasi sebagai berikut: a. ukuran kertas : A4 atau letter b. ketikan : sesuai format (template) yang diberikan redaksi c. jumlah halaman : 5 - 15 halaman d. software : Microsoft Words atau Word Processor lainnya. e. Setiap artikel disertai dengan abstrak (150-200 kata) dan kata-kata kunci. 3. Artikel (hasil penelitian) memuat: a. Judul b. Nama penulis, alamat e-mail dan afiliasi institusi c. Abstrak dalam bahasa Indonesia dan/atau bahasa Inggris, serta kata-kata kunci d. Pendahuluan (tanpa subjudul) Berisi uraian tentang latar belakang, tinjauan pustaka/teori, masalah, tujuan penelitian e. Metodologi Berisi uraian tentang teknik penarikan sampel, teknik pengumpulan dan analisis data, serta aspek lain yang relevan. f. Hasil dan Pembahasan (dengan atau tanpa subjudul) Berisi uraian tentang temuan penelitian dan pembahasannya. g. Penutup (dengan subjudul) Berisi uraian tentang kesimpulan penelitian dan rekomendasi/implikasi. h. Referensi Hanya berisi daftar pustaka yang benar-benar dirujuk dalam artikel. 4. Atau Artikel (kajian analisis-kritis) memuat: a. Judul b. Nama Penulis, alamat email dan afiliasi institusi c. Abstrak dalam bahasa Indonesia dan/atau bahasa Inggris, serta serta kata-kata kunci d. Pendahuluan (tanpa subjudul, memuat latar belakang masalah dan tinjauan pustaka, dan masalah/tujuan kajian) e. Hasil dan Pembahasan kajian analisis-kritis f. Simpulan dan Saran g. Daftar Rujukan (berisi pustaka yang dirujuk dalam uraian saja) 5. Penulisan Daftar Rujukan a. Buku: nama belakang, nama depan (inisial). (tahun). Judul. Tempat penerbitan: Penerbit. b. Periodicals: nama belakang, nama depan (inisial). (tahun). Judul Naskah. Nama Periodicals, vol (nomor), nomor halaman. c. Laman/internet: nama belakang, nama depan (inisial). Judul artikel. http://................ (diakses tgl. …..) d. Catatan kaki diletakan di belakang naskah, kecuali catatan kaki yang memberikan elaborasi dapat diletakan pada halaman yang bersangkutan 6. Kirimkan 2 copy manuskrip artikel, dan 1 (CD) softcopy artikel ke: Redaksi AGROTECHBIZ Jurnal Ilmiah Pertanian Jl. Yos Sudarso 107, Pabean, Dringu, Probolinggo 67271 vi
ISSN 2355-195X
UJI PENGGUNAAN JUMLAH MATA TUNAS DAN MEDIA TANAM PADA PEMBIBITAN TANAMAN ANGGUR (VITIS VINIFERA) VARIETAS PRABU BESTARI Rr. Setyani Hidayati1 1
Staf Pengajar, Universitas Panca Marga
[email protected]
(diterima: 13.01.2014, direvisi: 25.01.2014)
Abstrak Anggur merupakan komoditas unggulan daerah yang pada era otonomi memegang peranan strategis. Pengembangan anggur di Kota Probolinggo merupakan upaya pemerintah mengembalikan citra Probolinggo sebagai kota “Bayuangga” (Bayu = angin, angga = anggur dan mangga). Peluang keberhasilan pengembangan anggur di Kota Probolinggo cukup tinggi, karena di samping Kota Probolinggo cocok bagi pengembangan anggur, juga kebutuhan buah anggur oleh masyarakat yang belum terpenuhi. Keberhasilan sebuah proses budidaya termasuk budidaya tanaman anggur selain disebabkan oleh faktor lingkungan yang cocok dan mendukung pertumbuhan maksimal tanaman anggur juga sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan masing-masing tahapan budidaya secara cermat dan tepat. Tujuan penelitian untuk mengetahui jumlah mata tunas dan media tanam yang terbaik untuk pembibitan tanaman anggur serta untuk memdapatkan penyediaan bibit stek anggur yang berkualitas. Penelitian dilakukan pada bulan November 2012 – Januari 2013 di Kebun Studi Dinas Pertanian Kota Probolinggo Kelurahan Tisnonegaran, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo pada ketinggian ± 4 m di atas permukaan laut. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah perlakuan jumlah mata tunas meliputi 3 taraf, M1= satu mata tunas, M2= dua mata tunas, M3= tiga mata tunas, Faktor kedua adalah perlakuan media tanam meliputi 3 taraf, T1= tanah dan pasir, T2= tanah, pasir dan pupuk kandang, T3= tanah, pasir dan pupuk organik. Dari hasil penggabungan 2 faktor tersebut terdapat 9 kombinasi perlakuan yang dapat di sajikan sebagai berikut : M1T1, M1T2, M1T3, M2T1, M2T2, M2T3, M3T1, M3T2, M3T3. Parameter yang diamati adalah sebagai berikut : jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun dan jumlah stek yang hidup. Perlakuan jumlah mata tunas terbaik adalah M2 (mata tunas 2) terhadap jumlah tunas sebesar 3,33 tunas, panjang tunas sebesar 8,01 cm dan jumlah stek yang hidup sebesar 2,33 batang stek. Perlakuan media tanam terbaik adalah T2 (campuran tanah, pasir dan pupuk kandang) terhadap jumlah tunas sebesar 4 tunas, panjang tunas sebesar 8,34 cm, jumlah daun yang membuka sempurna sebesar 6 helai dan jumlah stek yang hidup sebesar 2,11 batang stek. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya interaksi antara perlakuan jumlah mata tunas dan media tanam terhadap jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun dan jumlah stek yang hidup. Sedangkan interaksi tertinggi adalah M2T2 (mata tunas 2 dengan media campuran tanah, pasir dan pupuk kandang) terhadap panjang tunas sebesar 9,50 cm dan jumlah stek yang hidup sebesar 3 batang stek. Kata Kunci: jumlah mata tunas, media tanam, anggur varietas prabu bestari.
Petani di Jawa Timur telah lama mengusahakan tanaman anggur ini dengan sentra produksinya di Probolinggo, Situbondo dan Kediri. Program pengembangan hortikultura termasuk anggur sebagai penumbuhan sentra dilaksanakan melalui pendekatan sistem agribisnis dan memposisikan petani sebagai pelaku usaha atau wiraswasta, guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Sasaran program pengembangan agribisnis di Kota Probolinggo adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hortikultura yang diarahkan untuk dipasarkan sebagai bahan baku industri pengolahan maupun ekspor (Krismawati, 2008 dalam Kresna, 2010).
PENDAHULUAN Anggur merupakan salah satu buah-buahan yang banyak disukai masyarakat baik dalam bentuk segar maupun olahan. Kecenderungan perkembangan usaha tani anggur di Kota Probolinggo menunjukkan terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Sebagian besar tanaman anggur di tanam di lahan pekarangan rumah selain sebagai suatu upaya untuk meningkatkan penghasilan tambahan keluarga, juga dapat meningkatkan dan memperbaiki gizi keluarga serta meningkatkan kualitas lingkungan agar menjadi lebih asri.
1
Uji Penggunaan Jumlah Mata Tunas & Media Tanam …
Hidayati, S.
Anggur merupakan komoditas unggulan daerah yang pada era otonomi memegang peranan strategis. Kebijakan otonomi daerah memungkinkan pemerintah daerah dapat lebih leluasa mengatur bagi kebutuhan, potensi dan keunggulan daerahnya termasuk upaya untuk meningkatkan pendapatan penduduknya. Komoditas anggur merupakan salah satu prioritas program Pemerintah Kota Probolinggo yang sesuai potensi wilayah dan yang dapat memungkinkan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Oleh karena itu Pemerintah Kota Probolinggo dapat memfasilitasi dan memberikan suatu kondisi yang kondusif untuk meningkatkan kegiatan usaha tani anggur. Pengembangan anggur di Kota Probolinggo merupakan upaya pemerintah mengembalikan citra Probolinggo sebagai kota “Bayuangga” (Bayu = angin, angga= anggur dan mangga). Peluang keberhasilan pengembangan anggur di Kota Probolinggo cukup tinggi, karena di samping Kota Probolinggo cocok bagi pengembangan anggur, juga kebutuhan buah anggur oleh masyarakat yang belum terpenuhi. Secara agroekosistem, Kota Probolinggo cocok untuk kawasan pengembangan tanaman anggur. Produksi buah anggur di Kota Probolinggo sebanyak 342 Kwintal dari jumlah tanaman 11.784 pohon pada tahun 2012, belum termasuk kebutuhan hasil olahan. Disamping itu Kota Probolinggo juga berdekatan dengan Kebun Percobaan Anggur Banjarsari milik Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian, keberadaan kebun ini tentunya sangat menunjang pengembangan agribisnis anggur di Kota Probolinggo. Walikota Probolinggo bertekad mengembalikan citra Kota Probolinggo sebagai kota anggur dengan dukungan dari instansi-instansi terkait lainnya. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan Asosiasi Anggur Prabu Bestari yang diresmikan tanggal 13 Desember 2007 dan panen perdana anggur Prabu Bestari bersama Dirjen Hortikultura dan Walikota Probolinggo pada tanggal 15 Agustus 2008. Ditjen Hortikultura (Direktorat Jendral Budidaya Tanaman Buah) sebagai instansi teknis mendukung pengembangan anggur di Kota Probolinggo melalui pembinaanpembinaan dan fasilitasi, seperti Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK), dll. Dalam upaya itu juga, peluang pengembangan kawasan anggur untuk Kota Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso prospektif. Ditjen Hortikultura juga melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah pusat lainnya serta stake holder terkait. Tujuan pengembangan anggur varietas unggul ini adalah untuk mengembangkan agribisnis anggur, meningkatkan produksi dan mutu, memotivasi petani dan petugas sebagai penggerak agribisnis anggur, memperluas pengembangan sentra produksi anggur serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Adapun sasarannya adalah berkembangnya komoditas anggur di Kota Probolinggo. Keberhasilan sebuah proses budidaya termasuk budidaya tanaman anggur selain disebabkan oleh faktor lingkungan yang cocok dan mendukung pertumbuhan maksimal tanaman anggur juga sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan masing-masing tahapan budidaya secara cermat dan tepat. Oleh karena itu perlu pengetahuan dan
pemahaman di tiap-tiap tahapan budidaya tanaman anggur. Salah satunya tahapan teknik pembibitan khususnya pemilihan jumlah mata tunas serta pengolahan media tanam dalam budidaya tanaman anggur. Pengembangan tanaman anggur varietas Prabu Bestari di Kota Probolinggo semakin luas, sehingga menuntut kebutuhan bibit anggur dalam jumlah yang banyak. Sampai saat ini pemenuhan bibit anggur tersebut masih mengalami hambatan karena keterbatasan pohon induk yang ada. Alternatif pembibitan yang dapat ditempuh adalah dengan menggunakan stek. Dalam menggunakan stek ini yang perlu diperhatikan adalah jumlah mata tunas. Deskripsi Anggur Prabu Bestari BPTP Jawa Timur (2007) menyatakan varietas Prabu Bestari sebagai berikut: a. Bentuk ujung pupus b. Tabiat batang pohon c. Panjang sulur d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r. s. t. u.
deskripsi anggur
: Terbuka penuh : Tegak : Sangat pendek (± 9,1 cm) Warna permukaan atas daun muda : Kuning Warna permukaan atas daun tua : Hijau muda Bentuk daun tua : Penjepit Ukuran daun : Besar (± 11,66 cm) Permukaan batang : Bingkai payung Panjang buku : Pendek (± 75,7 mm) Diameter buku : Sangat kecil (± 4,53 mm) Kerapatan buah : Sangat rapat Panjang tandan buah tanpa bingkai : Pendek (± 14,53 cm) Panjang tangkai tandan buah : ± 2,65 cm Berat satu tandan buah : Ringan (± 216,5 gram) Ukuran Panjang buah : Medium (± 21,36 mm) Bentuk buah : Lonjong Warna kulit buah : Merah Tingkat pelepasan tangkai buah : Medium Tingkat jusi daging buah : Sangat kurang Rasa : Manis Kadar gula total (Brix) : 16,81
Morfologi Anggur a. Daun Eko (2002) mengemukakan bahwa daun anggur berbentuk jantung dengan tepi bergerigi. Gerigi pada tepi daun ada yang menjorok ke dalam hingga tepi daunnya seperti berlekuk atau bercangap. Daun dengan bentuk seperti ini memiliki tulang menjari, warna hijau tua dan permukaan bawahnya berbulu. b. Batang Jika dibiarkan tumbuh liar, batang anggur akan memiliki cabang tidak jauh dari permukaan tanah. Sifat percabangan seperti inilah yang menjadikan anggur digolongkan ke dalam tumbuhan semak. Batang berkayu dan dapat tumbuh berkembang hingga diameter lebih dari 10 cm. Pada saat-saat tertentu kulit batang mengalami 2
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
pengelupasan. Hal ini karena lapisan sel-sel yang telah mati dan berwarna coklat. Pada awal pertumbuhan, batang anggur tampak lemah sehingga tidak mungkin tumbuh tegak tanpa penopang. Untuk tumbuh memanjat, anggur menggunakan bantuan cabang pembelit atau dikenal dengan nama sulur dahan atau sulur cabang. Sulur ini tumbuh berhadapan dengan daun. Begitu menyentuh penopang, sulur perlahan-lahan akan membelit. Lilitannya akan semakin kuat seiring dengan pertumbuhan batang. Dengan cara seperti inilah tanaman anggur tumbuh memanjat (Eko, 2002). c. Akar Sebenarnya anggur berakar tunggang. Namun, karena kebanyakan ditanam dari stek, akar tunggang tidak bisa ditemukan lagi. Akar tunggang baru bisa ditemukan lagi jika anggur ditanam dari biji, ketika biji berkecambah dan belum tumbuh membesar. Akar anggur memiliki perkembangan yang sangat bagus jika media tumbuhnya gembur. Selain tumbuh cepat di dalam tanah, akar anggur juga sering muncul pada ranting. Munculnya akar pada pangkal ranting biasanya terjadi pada musim hujan. Batangnya memiliki sifat mudah menumbuhkan akar maka anggur sering ditemui diperbanyak dengan cara stek atau cangkok dibanding dengan biji (Eko, 2002). d. Bunga dan Buah Menurut Eko (2002) bunga anggur muncul pada ranting. Bunganya berupa malai. Pada saat pertama kali berbunga ada kalanya bunganya hanya berupa tandan kecil. Mulanya malai bunga muncul sebagai dompolan bunga yang padat. Pada awal permulaannya dompolan bunga ini berbentuk bulat atau kerucut. Lama kelamaan mekar membentuk malai. Dalam satu ranting bisa muncul lebih dari satu malai. Setelah setiap bunga pada malai mekar segera akan terlihat buah yang masih berupa bulatan kecil. Bulatan kecil berwarna hijau ini lama kelamaan akan membesar dan berubah warna menjadi hitam, merah, kuning atau warna lain tergantung kultivarnya.
oleh Rebin (2010) pada daerah yang curah hujannya tinggi persarian bunga mengalami kegagalan sehingga buah akan gagal juga. Hal ini dapat ditanggulangi dengan pemberian atap plastik agar tanaman masih dapat berproduksi walaupun daerah banyak hujan. Namun demikian, teknik ini masih perlu diuji seberapa besar tingkat keuntungan untuk masing-masing daerah, karena biaya atau plastik cukup mahal. d. Geografis Menurut Rebin (2010) tanaman anggur berasal dari iklim kering dan akan berhasil tumbuh dengan baik bila ditanam pada wilayah antara 34ºLU dan 49ºLS. Indonesia termasuk didalam wilayah tersebut. e. Temperatur Tanaman anggur dapat tumbuh optimal pada suhu maksimum 66ºF (19ºC) dan suhu minimum 30ºF (-1ºC). Akan tetapi untuk daerah tropis anggur masih bisa tumbuh dengan temperatur diluar ketentuan tersebut hingga 25º-30ºC. Didaerah beriklim tropis yang ekstrim, tanaman anggur cenderung membentuk banyak daun, berproduksi sedikit dan berumur pendek (Rebin, 2010). f. Kelembaban Kelembaban yang dibutuhkan tanaman anggur berkisar antara 40%-80%. Pada daerah yang kelembabannya lebih tinggi perkembangan penyakit akan sangat pesat terutama Plasmamopara viticola (Downy mildew) yang banyak menyerang daun muda dan Phakopsora vitis (karat daun) yang banyak menyerang daun di musim hujan (Rebin, 2010). g. Penyinaran Tanaman anggur membutuhkan penyinaran matahari untuk pertumbuhan dengan intensitas matahari 50%-80% dari pagi hingga sore hari selama 10-12 jam sehari. Sinar yang kurang mengakibatkan warna buah yang pucat (tidak merah penuh). Hal ini berkaitan dengan warna merah kulit buah berkorelasi dengan kadar antosianin. Semakin banyak kadar antosianin semakin merah pula warna kulit buah anggur. Antosianin terbentuk apabila kulit buah menerima sinar matahari secara langsung dalam intensitas yang cukup. Hal ini bisa dibuktikan dengan cara membandingkan antara buah anggur yang dibungkus sebelum muncul warna merah dengan buah yang tidak dibungkus dan terkena sinar matahari langsung. Hasilnya akan terlihat bahwa buah yang dibungkus akan berwarna merah pucat sedangkan buah yang tidak dibungkus akan berwarna merah menyala (Rebin, 2010). h. Air Menurut Rebin (2010) walaupun tanaman anggur menghendaki curah hujan yang rendah, tetapi membutuhkan air tanah yang cukup banyak (namun air yang tidak tergenang) terutama dimusim kemarau. Dimusim hujan, drainase merupakan faktor penting yang harus diperhatikan, karena bila terjadi genangan lebih dari 3 hari akar tanaman akan membusuk.
Syarat Tumbuh Tanaman Anggur a. Tanah Tanaman anggur dapat tumbuh pada segala macam tanah, namun yang baik dan sangat sesuai adalah tanah mengandung liat dan mudah diairi. Tekstur tanah yang sesuai adalah lempung berpasir, dengan komposisi tanah jenis lempung sekitar 30-50%, tanah berpasir berkisar 3050% dan 7-12% mengandung tanah liat. Kondisi keasaman (pH) yang sesuai adalah pH normal yaitu sekitar 7 dan mengandung cukup zat hara (Dinas Pertanian Kota Probolinggo, 2007). b. Tinggi Tempat Tinggi tempat juga berpengaruh terhadap produksi terutama pada kualitas rasa buah anggur. Tinggi tempat yang optimum adalah 0-300 m dpl dengan suhu tanah yang dikehendaki adalah lebih dari 22ºC (BPTP Jawa Timur, 2006). c. Curah Hujan Curah hujan yang optimum berkisar 800 mm/tahun dengan sinar matahari sebanyak-banyaknya dari pagi sampai sore hari dan sekurang-kurangnya 4 bulan kering/tahun (BPTP Jawa Timur, 2006). Ditambahkan
Penyebaran Tanaman Anggur di Indonesia Indonesia mengenal tanaman anggur sekitar abad ke19. Dalam perjalanannya, perluasan penanaman anggur mulai menggembirakan sejak memasuki dekade 1980an. Selain Jawa Timur sebagai sentra utamanya, daerah 3
Uji Penggunaan Jumlah Mata Tunas & Media Tanam …
Hidayati, S.
lain yang banyak ditanami anggur yaitu Bali, Sulawesi, dan kemudian diuji coba didaerah bertanah gambut di Sumatera. Sekarang, anggur boleh dikatakan sudah menyebar ke berbagai penjuru Nusantara ini (Setiadi, 2002). Permasalahan dalam pengembangan anggur di Kota Probolinggo adalah: 1) Penerapan inovasi teknologi rekomendasi oleh petani masih terbatas ; 2) Keterbatasan modal petani ; 3) Pengendalian hama dan penyakit yang kurang tepat sasaran ; 4) Seringnya angin kencang (angin gending) yang menyebabkan bunga dan buah anggur yang masih kecil berguguran ; 5) Pengairan di musim kemarau, dimana debit airnya yang sangat kurang pada saat musim kemarau ; 6) Anggur busuk menjelang panen pada saat musim hujan ; 7) Anggur belum tersedia setiap bulan. Upaya mengatasi permasalahan dalam pengembangan anggur adalah: 1) Pembinaan dan penyuluhan dari petugas baik di pusat maupun di daerah dalam hal penerapan GAP/SOP anggur yang baik dan benar disesuaikan dengan kondisi agroekologi setempat (spesifik lokasi) ; 2) Perlu adanya SLPHT anggur untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas dan petani dalam mengendalikan serangan OPT pada tanaman anggur ; 3) Pembuatan sumur pompa, untuk mengatasi kekurangan air ; 4) Dilakukan penjarangan buah secara optimal dan pengendalian OPT sejak dini ; 5) Pemangkasan buah dilakukan secara bergantian, sehingga ketersediaan anggur ada setiap bulan.
yang dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik, dan biologi tanah. Apabila dalam memelihara ternak tersebut diberi alas seperti sekam pada ayam, jerami pada sapi, kerbau dan kuda, maka alas tersebut akan dicampur menjadi satu kesatuan dan disebut sebagai pupuk kandang pula. Beberapa petani di beberapa daerah memisahkan antara pukan padat dan cair. Pupuk kandang (pukan) padat yaitu kotoran ternak yang berupa padatan baik belum dikomposkan maupun sudah dikomposkan sebagai sumber hara terutama N bagi tanaman dan dapat memperbaiki sifat kimia, biologi, dan fisik tanah. Penanganan pukan padat akan sangat berbeda dengan pukan cair. Penanganan pukan padat oleh petani umumnya adalah sebagai berikut: kotoran ternak besar dikumpulkan 1-3 hari sekali pada saat pembersihan kandang dan dikumpulkan dengan cara ditumpuk di suatu tempat tertentu. Petani yang telah maju ada yang memberikan mikroba dekomposer dengan tujuan untuk mengurangi bau dan mempercepat pematangan, tetapi banyak pula yang hanya sekedar ditumpuk dan dibiarkan sampai pada waktunya digunakan ke lahan. Pupuk kandang (pukan) cair merupakan pukan berbentuk cair berasal dari kotoran hewan yang masih segar yang bercampur dengan urine hewan atau kotoran hewan yang dilarutkan dalam air dalam perbandingan tertentu. Umumnya urine hewan cukup banyak dan yang telah dimanfaatkan oleh petani adalah urine sapi, kerbau, kuda, dan kambing. Pupuk kandang cair dibuat dari kotoran ternak yang masih segar, bisa dari kotoran kambing, domba, sapi, dan ayam. Petani pertanian organik di Kenya membuat pukan cair dari 30-50 kg kotoran hewan yang masih segar dimasukkan dalam karung goni yang terbuat dari serat kasar rami diikat kuat, ujung karung diikatkan pada sebuah tongkat sepanjang 1 m untuk menggantung karung pada drum, kemudian karung tersebut direndam dalam drum berukuran 200 liter yang berisi air. Secara berkala 3 hari sekali kotoran dalam karung diaduk dengan mengangkat dan menurunkan tongkat beserta karung. Untuk melarutkan pukan dibutuhkan waktu sekitar satu minggu. Pupuk kandang (pukan) yang melarut siap digunakan bila air sudah berwarna coklat gelap dan tidak berbau. Cara penggunaan pukan cair dengan disiramkan ke tanah bagian perakaran tanaman dengan takaran satu bagian pukan cair dicampur dengan satu atau dua bagian air. Ampas dari pukan cair dimanfaatkan sebagai mulsa. Kandungan hara dalam pupuk kandang (pukan) sangat menentukan kualitas pukan. Kandungan unsur-unsur hara di dalam pukan tidak hanya tergantung dari jenis ternak, tetapi juga tergantung dari makanan, air yang diberikan, umur dan bentuk fisik dari ternak. Beberapa unsur hara yang terkandung di dalam pukan adalah N, P, K, Ca, Mg, S, Fe, dan masih banyak unsur-unsur yang lainnya. Ditambahkan oleh Suriadikarta (2006) saat ini ada 3 produk umum hasil olahan limbah peternakan sapi yaitu : pupuk kandang, biogas, dan bioarang. Cara mengolah limbah peternakan sapi yang paling mudah dan sederhana adalah membuat pupuk kandang. Pupuk kandang memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan pupuk sintetis. Selain kandungan Nitrogen (N), fospor
Perbanyakan Tanaman Anggur Stek sebenarnya berasal dari bahasa Belanda yaitu Stuk yang artinya potongan. Dengan demikian istilah stek dalam perbanyakan tanaman dapat diartikan menumbuhkan bagian atau potongan tanaman, sehingga tumbuh tanaman baru. Tanaman anggur dapat diperbanyak secara generatif (dengan biji) maupun vegetatif (stek, okulasi, penyambungan dan cangkokan). Stek cabang adalah cara yang bagus dalam perbanyakan tanaman anggur (Rukmana, 2005) Bahan stek yang baik adalah cabang yang bentuknya bulat, berdiameter sekitar 1 cm, kulit berwarna coklat merah dan cerah. Disamping itu mata tunas telah padat. Waktu yang paling tepat untuk melakukan pembibitan anggur dengan stek adalah bulan Agustus-Desember. Karena suhu dan kelembaban pada bulan tersebut menunjang pertumbuhan bibit (Rebin, 2007). Pupuk Kandang Menurut Rachman (2002) pupuk kandang sebenarnya adalah campuran tanah dengan produk buangan dari kotoran binatang ataupun pelapukan dari tumbuhan yang mati. Sehingga pupuk kandang dapat didefinisikan sebagai semua produk buangan dari binatang peliharaan 4
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
(P), dan Kalium (K) yang cukup tinggi, pupuk kandang mengandung unsur hara yang cukup lengkap. Pupuk kandang dari kotoran sapi merupakan pupuk padat yang banyak mengandung air dan lendir. Pupuk kandang dari kotoran sapi termasuk pupuk dingin karena perubahan dari bahan yang terkandung dalam pupuk menjadi tersedia dalam tanah, berlangsung secara perlahan-lahan. Komposisi dan kandungan pupuk kandang dari kotoran sapi (Parameter Nilai %) diperlihatkan pada Tabel 1. Selain menyuburkan tanah, serta memberikan unsur hara, pupuk kandang juga memiliki manfaat yang lain yaitu : membantu penyerapan air hujan, meningkatkan kemampuan tanah untuk mengikat air, mengurangi erosi, membuat tanah lebih subur, gembur dan mudah diolah. Namun, dalam penggunaan pupuk kandang, diperlukan kehati-hatian. Jika pupuk kandang masih “mentah”, dapat menyebabkan tanaman menjadi layu, bahkan mati. Hal ini disebabkan oleh proses penguraian karbon (C), yang akan meningkatkan temperatur tanah. Kenaikan suhu inilah yang menyebabkan tanaman menjadi layu. Untuk mengetahui apakah pupuk kandang sudah siap pakai, perhatikan tanda-tanda sebagai berikut : Tidak berbau, warnanya lebih gelap, mudah hancur dan terasa dingin jika dipegang. Dari beberapa pengalaman petani, pemakaian pupuk kandang dari kotoran sapi memang bagus untuk tanaman sayuran tapi tidak bagus untuk tanaman cabai. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan nitrogen yang jauh lebih banyak daripada unsur kalium. Sedangkan fungsi kalium adalah membentuk pati. Akibatnya, tanaman cabai pohon terlihat subur tapi daging buahnya tipis. Hal ini terjadi juga pada tanaman kentang, jika daunnya subur maka umbi kentangnya kecil. Atau bila tanaman padinya terlalu subur maka bisa mengakibatkan gabug (bulir padi tidak terisi pati). Kondisi ini juga diperparah oleh kebiasaan petani menambahkan urea lebih banyak dari pada KCl atau KNO3. Biasanya perbandingan unsur N dan unsur K pada pupuk kandang dari kotoran sapi atau ayam adalah 3 : 1. Akan lebih baik jika penambahan urea diganti dengan pupuk unsur P (dari daftar kandungan Primaphospat lebih komplet unsur makro / mikro dari pupuk lainnya).
Pupuk kandang mengandung unsur hara makro dan mikro. Pupuk kandang padat (makro) banyak mengandung unsur fosfor, nitrogen, dan kalium. Unsur hara mikro yang terkandung dalam pupuk kandang di antaranya kalsium, magnesium, belerang, natrium, besi, tembaga, dan molibdenum. Kandungan nitrogen dalam urine hewan ternak tiga kali lebih besar dibandingkan dengan kandungan nitrogen dalam kotoran padat. Pupuk kandang terdiri dari dua bagian, yaitu: a. Pupuk dingin Pupuk dingin adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan yang diuraikan secara perlahan oleh mikroorganisme sehingga tidak menimbulkan panas, contohnya pupuk yang berasal dari kotoran sapi dan kerbau. b. Pupuk panas Pupuk panas adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan yang diuraikan mikroorganisme secara cepat sehingga menimbulkan panas, contohnya pupuk yang berasal dari kotoran kambing, kuda, dan ayam. Pupuk kandang bermanfaat untuk menyediakan unsur hara makro dan mikro dan mempunyai daya ikat ion yang tinggi sehingga akan mengefektifkan bahan - bahan anorganik di dalam tanah, termasuk pupuk anorganik. Selain itu, pupuk kandang bisa memperbaiki struktur tanah, sehingga pertumbuhan tanaman bisa optimal. Pupuk kandang yang telah siap diaplikasikan memiliki ciri dingin, remah, wujud aslinya tidak tampak, dan baunya telah berkurang. Jika belum memiliki ciri-ciri tersebut, pupuk kandang belum siap digunakan. Penggunaan pupuk yang belum matang akan menghambat pertumbuhan tanaman, bahkan bisa mematikan tanaman. Penggunaan pupuk kandang yang baik adalah dengan cara dibenamkan, sehingga penguapan unsur hara akibat proses kimia dalam tanah dapat dikurangi. Penggunaan pupuk kandang yang berbentuk cair paling baik dilakukan setelah tanaman tumbuh, sehingga unsur hara yang terdapat dalam pupuk kandang cair ini akan cepat diserap oleh tanaman. Pupuk Organik Salah satu cara usaha peningkatan produksi yaitu dengan perbaikan teknik budidaya seperti penggunaan pupuk organik. Pupuk organik padat merupakan pupuk dari hasil pelapukan sisa-sisa tanaman atau limbah organik (Musnamar, 2003). Limbah yang dimaksud berasal dari hasil pelapukan jaringan-jaringan tanaman atau bahan-bahan tanaman seperti jerami, sekam, daundaunan dan rumput-rumputan yang berupa limbah hayati yang mudah diperoleh dari lingkungan sekitar kita, didaur ulang dan dirombak dengan bantuan mikroorganisme dekomposer seperti bakteri dan cendawan menjadi unsur-unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Proses perombakan jenis bahan organik menjadi pupuk organik dapat berlangsung secara alami atau buatan (Prihmantoro, 2005).
Tabel 1. Komposisi dan kandungan pupuk kandang dari kotoran sapi Uraian Kadar Nilai ( % ) Kadar air
24,21
Nitrogen
1,11
C-organik
18,76
C/N Ratio
16,90
Fosfor
1,62
Kalium Sumber : Suriadikarta (2006)
7,26
5
Uji Penggunaan Jumlah Mata Tunas & Media Tanam …
Hidayati, S. Ditambahkan oleh Suriadikarta (2002) pupuk organik memiliki fungsi kimia yang penting seperti penyediaan hara makro (nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan sulfur) dan mikro seperti zink, tembaga, kobalt, barium, mangan, dan besi, meskipun jumlahnya relatif sedikit, meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah dan membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti aluminium, besi, dan mangan. Unsur hara makro dan mikro tersebut sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Berikut fungsi unsur-unsur hara makro: 1. Nitrogen (N) : Merangsang pertumbuhan tanaman secara keseluruhan, merupakan bagian dari sel (organ) tanaman itu sendiri, untuk sintesa asam amino dan protein dalam tanaman, merangsang pertumbuhan vegetatif (warna hijau daun, panjang daun, lebar daun) dan pertumbuhan vegetatif batang (tinggi dan ukuran batang). Tanaman yang kekurangan unsur N gejalanya : pertumbuhan lambat/kerdil, daun hijau kekuningan, daun sempit, pendek dan tegak, daun-daun tua cepat menguning dan mati ; 2. Phospat (P): berfungsi untuk pengangkutan energi hasil metabolisme dalam tanaman, merangsang pembungaan dan pembuahan, merangsang pertumbuhan akar, merangsang pembentukan biji, merangsang pembelahan sel tanaman dan memperbesar jaringan sel. Tanaman yang kekurangan unsur P gejalanya : pembentukan buah/dan biji berkurang, kerdil, daun berwarna keunguan atau kemerahan (kurang sehat) ; 3. Kalium (K): berfungsi dalam proses fotosintesa, pengangkutan hasil asimilasi, enzim dan mineral termasuk air, meningkatkan daya tahan/kekebalan tanaman terhadap penyakit. Tanaman yang kekurangan unsur K gejalanya: batang dan daun menjadi lemas/rebah, daun berwarna hijau gelap kebiruan tidak hijau segar dan sehat, ujung daun menguning dan kering, timbul bercak coklat pada pucuk daun.
Menurut Sarief (2002) pemberian pupuk organik yang tepat dapat memperbaiki kualitas tanah, tersedianya air yang optimal sehingga memperlancar serapan hara tanaman serta merangsang pertumbuhan akar. Prajnanta (2004) menyatakan unsur hara yang dihasilkan dari jenis pupuk organik sangat tergantung dari jenis bahan yang digunakan dalam pembuatannya. Unsur hara tersebut terdiri dari mineral, baik makro maupun mikro, asam amino, hormon pertumbuhan, dan mikroorganisme. Kandungan hara yang dikandung dalam jenis pupuk organik kotoran sapi berbentuk padat terdiri dari nitrogen 0,40%, fosfor 0,20% dan kalium 0,10%. Jenis pupuk organik dari sampah organik terdiri dari nitrogen 0,09%, fosfor 0,36% dan kalium 0,81% (Lingga, 2005). Berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan karbon organik dalam tanah, yaitu 2%. Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan karbon organik sekitar 2,5%. Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beraneka ragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi. Selain itu, peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia biologi tanah serta lingkungan. Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus. Bahan organik juga berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman. Penambahan bahan organik di samping sebagai sumber hara bagi tanaman, juga sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba. Bahan dasar pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman sedikit mengandung bahan berbahaya. Penggunaan pupuk kandang, limbah industri dan limbah kota sebagai bahan dasar kompos berbahaya karena banyak mengandung logam berat dan asam-asam organik yang dapat mencemari lingkungan. Selama proses pengomposan, beberapa bahan berbahaya ini akan terkonsentrasi dalam produk akhir pupuk. Untuk itu diperlukan seleksi bahan dasar kompos yang mengandung bahan-bahan berbahaya dan beracun (B3). Pupuk organik dapat berperan sebagai pengikat butiran primer menjadi butir sekunder tanah dalam pembentukan pupuk. Keadaan ini mempengaruhi penyimpanan, penyediaan air, aerasi tanah, dan suhu tanah. Bahan organik dengan karbon dan nitrogen yang banyak, seperti jerami atau sekam lebih besar pengaruhnya pada perbaikan sifat-sifat fisik tanah dibanding dengan bahan organik yang terdekomposisi seperti kompos.
METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kebun Studi Dinas Pertanian Kota Probolinggo Kelurahan Tisnonegaran Kecamatan Kanigaran dengan ketinggian ± 4-6 m diatas permukaan laut. Penelitian dilaksanakan pada bulan Nopember 2012 Januari 2013. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan meliputi: 1). Stek anggur varietas Prabu Bestari (batang pangkal, tengah, dan ujung), 2). Polibag 15 x 10 cm, 3). Pasir, 4). Tanah, 5). Pupuk Kandang, 6). Pupuk Organik, 7). Plastik sungkup 8). Fungisida 9). Pestisida, 10). Lilin/parafin, 11). Kayu, 12). Bambu, 13). Kawat, 14). Paku, 15). Paranet 50 %.
6
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Metode Penelitian Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan 3 (tiga) kali ulangan. Adapun perlakuan terdiri dari 2 (dua) faktor : 1. Faktor pertama adalah jumlah mata tunas meliputi 3 taraf, yaitu: a. M1 : satu mata tunas b. M2 : dua mata tunas c. M3 : tiga mata tunas 2. Faktor kedua adalah media tanam meliputi 3 (tiga) taraf, yaitu: a. T1 : tanah dan pasir b. T2 : tanah, pasir dan pupuk kandang c. T3 : tanah, pasir dan pupuk organik Dengan demikian setiap ulangan terdapat 9 (sembilan) kombinasi perlakuan: M1T1 M1T2 M1T3 M2T1 M2T2 M2T3 M3T1 M3T2 M3T3 Jarak antar ulangan ± 40 cm dan jarak antar perlakuan 10 cm. Setiap perlakuan terdapat 3 polybag berdiameter 10 cm.
penguapan yang berlebihan dan air hujan/air siraman tidak berhenti di ujung stek yang menyebabkan terjadinya kebusukan. c. Penyiapan media tanam Mengayak masing-masing media tanam (tanah, pasir, pupuk kandang, dan pupuk organik). Media tanam terdiri dari tiga bahan, tanah dan pasir, tanah, pasir dan pupuk kandang serta tanah, pasir dan pupuk organik dengan perbandingan 1:1:1. Masing-masing bahan media tanam tersebut dimasukkan ke dalam polybag diameter 10 cm sebanyak ¾ bagian. d. Penanaman Sebelum stek ditanam di polybag, media disiram air menggunakan gembor plastik sampai dengan kapasitas lapang. Membuat lubang tanam sedalam 2-3 cm pada masing-masing media tanam, dengan menggunakan tugal. Kemudian bahan stek di rendam dalam larutan fungisida Benomil selama 5 detik. Selanjutnya pangkal stek anggur dimasukkan ke dalam lubang tanam dengan mata tunas tampak diatas media. Bagian media sekitar stek ditekan perlahan-lahan agar posisi stek tidak goyah. Setelah stek ditanam dan sudah disiram, kemudian taburkan pestisida Furadan pada media tanam sampai rata atau secukupnya untuk menghindari serangan rayap.
Metode Analisis Model matematis yang digunakan untuk Rancangan Acak Kelompok Faktorial (Supadi, 2000) adalah sebagai berikut: Yij = µ + αk + αi + βj (αβ) ij + € ijk Yij µ αk αi βj (αβ)ij
e. Penyiapan media tanam Mengayak masing-masing media tanam (tanah, pasir, pupuk kandang, dan pupuk organik). Media tanam terdiri dari tiga bahan, tanah dan pasir, tanah, pasir dan pupuk kandang serta tanah, pasir dan pupuk organik dengan perbandingan 1:1:1. Masing-masing bahan media tanam tersebut dimasukkan ke dalam polybag diameter 10 cm sebanyak ¾ bagian.
= = = = = =
respon tanaman yang diamati nilai tengah umum pengaruh kelompok pengaruh taraf ke-i dari faktor A pengaruh interaksi taraf ke-j dari faktor B pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B €ijk = pengaruh sisa (galat percobaan) taraf ke-i dari faktor ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B pada ulangan yang ke-k Untuk memperoleh nilai ragam masing-masing sifat yang diamati, analisis dilakukan dengan menghitung sidik ragam secara terpisah. Nilai tengah pengaruh perlakuan diuji lebih lanjut dengan uji Duncan taraf 5%.
f. Naungan Media Tanam Naungan tempat media tanam berupa paranet 50 % dengan menggunakan kerangka bambu, ukuran panjang 5 meter, lebar 3 meter dan tinggi 3 meter. Paranet menyelimuti naungan penelitian. Sungkup menggunakan plastik PE atau plastik transparan tanpa lubang dan kerangka sungkup terbuat dari bambu. g. Pengendalian Hama dan Penyakit Untuk mengendalikan hama rayap digunakan pestisida Furadan pada saat penanaman stek. Untuk mencegah serangan cendawan pada stek dilakukan dengan mencelupkan stek pada larutan fungisida Benomil 0,5 gram/liter selama 5 detik. Kemudian pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan interval 2 minggu sekali dan pelaksanaannya dilakukan bersamaan dengan penyiraman. Pengendalian hama dan penyakit ini dapat dilakukan pada pagi hari maupun sore hari setelah dilakukan penyiraman. Hal ini dimaksudkan agar fungisida dan pestisida yang diaplikasikan tidak tercuci. Untuk menghindari serangan rayap taburkan pestisida Furadan pada media tanam sampai rata atau secukupnya. Untuk mencegah serangan cendawan pada daun dilakukan penyemprotan dengan menggunakan fungisida Benomil.
Pelaksanaan Penelitian a. Pemotongan stek Cabang yang digunakan dipilih dari pohon induk yang tumbuhnya sehat dan produktif. Cabang yang dipilih sepanjang 0,5 – 1 m yang diambil mulai dari pangkal, tengah dan ujung dengan warna kulit batang coklat. Selanjutnya dilakukan pemotongan stek dengan cara ujung stek dipotong miring dan pangkal stek dipotong mendatar dengan jumlah mata tunas sesuai perlakuan, yaitu satu, dua dan tiga mata tunas per stek. Stek dimasukkan ke dalam larutan fungisida Benomil (0,5 gr/liter) selama 5 detik, kemudian ditiriskan. b. Pemberian parafin / lilin Ujung stek yang dipotong miring dicelupkan dalam parafin/lilin yang dididihkan untuk mengurangi 7
Uji Penggunaan Jumlah Mata Tunas & Media Tanam …
Hidayati, S.
Tabel 2. Sidik ragam (anova) rerata jumlah tunas akibat pengaruh mata tunas dan media tanam F Hitung SK
F Tabel
DB 21 hst
28 hst
35 hst
42 hst
49 hst
5%
1%
Ulangan
2
0,15 ns
4,00 **
1,60 ns
0,47 ns
0,31 ns
3.63
6.23
Perlakuan
8
0,83 ns
34,00 **
52,80 **
50,59 **
58,46 **
2.59
3.89
M
2
0,15 ns
76,00 **
164,8 **
148,7 **
194,15**
3.63
6.23
T
2
2,42 ns
57,33 **
40,00 **
42,82 **
33,54 **
3.63
6.23
MxT
4
0,38 ns
1,33 ns
3,20 *
5,41 **
3,08 *
3.01
4.77
Galad
16
Total
26
Keterangan: ** : berbeda sangat nyata; * : berbeda nyata; ns : berbeda tidak nyata Tabel 4. Rerata jumlah tunas, akibat pengaruh mata tunas dan media tanam Rerata jumlah tunas Perlakuan 35 hst 42 hst 49 hst M1T1 1,00 a 1,33 a 1,33 a
Tabel 3. Rerata jumlah tunas, akibat pengaruh mata tunas dan media tanam Perlakuan M1
Rerata Jumlah tunas 21 HST 28 HST 1,33 a 1,44 a
M2
1,33 a
2,11 b
M1T2
2,00 b
2,00 b
2,00 b
M3
1,22 a
3,11 c
M1T3
1,67 b
2,00 b
2,00 b
M2T1
2,00 b
2,00 b
2,67 c
T1
1,00 a
1,56 a
M2T2
3,00 c
3,00 c
4,00 e
T2
1,44 a
3,00 c
M2T3
2,00 b
2,33 b
3,33 d
T3
1,44 a
2,11 b
M3T1
3,00 c
3,00 c
4,00 e
M3T2
4,33 d
5,00 e
6,00 g
M3T3
4,00 d
4,00 d
5,00 f
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf uji Duncan 5%
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf uji Duncan 5%
h. Parameter Pengamatan Pengamatan dilakukan pada umur 2 minggu setelah stek ditanam di polybag sampai dengan umur 5 minggu dengan interval 1 minggu. Parameter yang diamati adalah sebagai berikut: 1) Jumlah tunas, pengamatan dilakukan dengan menghitung seluruh jumlah tunas yang telah berukuran minimal 0,5 cm ; 2) Panjang tunas, yaitu dengan mengukur panjang tunas yang tumbuh mulai pangkal sampai dengan ujung tunas, yang diukur minimal tunas yang telah berukuran 0,5 cm ; 3) Jumlah daun, yaitu dengan menghitung daun yang aktif berfotosintesis atau yang telah membuka sempurna ; 4) Jumlah stek yang hidup, yaitu menghitung jumlah bibit anggur yang hidup
HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah tunas Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan mata stek dan media tanam, berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah tunas pada tanaman berumur 21 HST. Sedangkan pada umur 28 HST masing-masing faktor tunggal baik perlakuan mata stek atau media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas yang muncul. Pada umur 35 HST dan umur 49 HST, interaksi perlakuan memberikan pengaruh nyata. Pada umur 42 HST, interaksi perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas yang muncul (Lihat Tabel 2). Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan M2 (stek mata 2) mampu menghasilkan rerata jumlah tunas terbanyak (1,33) walaupun berbeda tidak nyata dengan perlakuan M1 (stek mata 1) saat berumur 21 HST. 8
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Tetapi saat umur 28 HST, perlakuan M3 justru menghasilkan rerata jumlah tunas yang paling banyak dibanding dengan M1 Dan M2. Hal ini terkait dengan stek yang bermata banyak (3), secara otomatis akan mempunyai jumlah tunas yang muncul lebih banyak daripada stek dengan mata 1 atau stek dengan mata 2. Ada suatu asumsi yang menyatakan bahwa semakin panjang/semakin banyak mata suatu stek, maka pertumbuhan vegetatifnya akan semakin baik pula. Perlakuan media yang terbaik adalah T2 (pasir, tanah dan pupuk kandang), yang pada tabel 3 mampu menghasilkan rerata jumlah tunas lebih banyak daripada perlakuan T1 dan T3. Tabel 4 menunjukkan perlakuan interaksi terbaik adalah M3T2 pada umur 35 HST sampai 49 HST. Cepat tidaknya suatu stek untuk membentuk tunas tergantung pada bagian batang (pangkal, tengah atau ujung) yang digunakan sebagai stek. Menurut Budi (2012), kondisi batang pada saat pengambilan berada dalam keadaan setengah tua dengan warna kulit batang biasanya coklat muda. Pada saat ini kandungan karbohidrat dan auxin (hormon pertumbuhan akar) pada batang cukup memadai untuk menunjang terjadinya perakaran stek. Pada batang yang masih muda, kandungan karbohidrat rendah tetapi hormonnya cukup tinggi. Melihat dari hasil penelitian, dimungkinkan stek yang digunakan pada perlakuan M3 termasuk stek yang masih muda (ujung) karena lebih banyak atau lebih cepat membentuk tunas, dan menurut Hakim (1986), penggunaan pupuk kandang sebagai campuran media tanam (T2), ternyata mampu mengubah struktur tanah menjadi lebih remah, daya cengkram air lebih baik, drainase dan aerasi yang lebih baik akan membuat tanaman mendapat suplai unsur hara yang lebih cepat dan baik .
Hal ini juga sesuai dengan pendapat Yuniastuti (1994), bahwa media terbaik untuk pertumbuhan stek anggur adalah media campuran tanah, pasir dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1. Tabel 7 menunjukkan, interaksi yang memberikan rerata panjang tunas terbaik adalah M2T2 sebesar 7,80 cm (umur 35 HST), 8,60 cm (umur 42 HST) dan 9,50 cm (umur 49 HST). Kondisi ini sesuai dengan penyampaian pembahasan diatas bahwa stek terbaik menurut Yuniastuti (1994) adalah stek 2 ruas (2 mata stek) dengan syarat batang yang digunakan adalah batang tua atau berumur 1 tahun karena mempunyai kandungan karbohidrat dan hormon auxin yang memadai (Budi, 2012). Begitu juga dengan media campuran tanah, pasir dan pupuk kandang adalah media yang terbaik bagi pertumbuhan stek anggur. Jumlah daun yang membuka sempurna Hasil analisis sidik ragam (anova) menunjukkan bahwa perlakuan mata tunas dan media tanam, berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun yang membuka sempurna mulai tanaman berumur 21 HST sampai 49 HST (Lihat Tabel 8). Tabel 9 menunjukkan, perlakuan M1 (jumlah mata tunas 1) mempunyai rerata jumlah daun membuka sempurna lebih tinggi (2,78 helai; 3,67 helai; 4,67 helai; 5,67 helai dan 6,78 helai) dibandingkan dengan M2 (stek mata 2 ) dan M3 (stek mata 3) saat umur 21 HST hingga umur 49 HST. Tetapi secara matematis angka tersebut sama dengan angka yang diperoleh dari perlakuan M3(2,44 helai; 3,44 helai; 4,44 helai; 5,44 helai dan 6,33 helai). Hal ini dimungkinkan bahwa stek dengan jumlah mata tunas satu (M1) pada fase setelah pertumbuhan tunas lebih terfokus pada perkembangan daun dibandingkan dengan perlakuan lain (M2 & M3). Perlakuan M2 & M3, setelah pertumbuhan tunas pertama, selain membentuk daun juga melakukan proses pembentukan tunas yang lain. Dalam artian, energinya tidak terfokus hanya pada perkembangan daun saja melainkan juga harus mampu memunculkan tunas-tunas yang lain. Ada asumsi yang menyampaikan bahwa semakin panjang ruas stek yang digunakan maka akan semakin baik pula proses pertumbuhannya. Perlakuan media tanam T3 (tanah, pasir dan pupuk organik) pada Tabel 9, juga menunjukkan rerata jumlah daun terbanyak dibandingkan dengan perlakuan T1 (tanah & pasir) dan T2 (tanah, pasir, pupuk kandang). Walaupun T3 menunjukkan rerata terbanyak, tetapi sebenarnya perlakuan ini tidak berbeda dengan perlakuan T2. Hal ini dimungkinkan karena, untuk menumbuhkan dan membukanya daun dengan sempurna membutuhkan semacam zat perangsang tumbuh (ZPT) seperti Atonik. Hal ini sesuai dengan penelitian Yuniastuti (1994), bahwa stek anggur bermata 2 mengalami pertumbuhan lebih baik (62,2%) jika direndam terlebih dahulu dengan Atonik 500 ppm selama 12 jam. Penggunaan pupuk kandang dalam perlakuan ini, selain berfungsi untuk memperbaiki sifat tanah juga sebagai sumber unsur hara walaupun dalam jumlah kecil.
Panjang Tunas Hasil analisis sidik ragam (anova) menunjukkan bahwa perlakuan media tanam, berpengaruh sangat nyata terhadap panjang tunas mulai tanaman berumur 21 HST sampai 28 HST. Sedangkan interaksi perlakuan mata stek dengan media tumbuh berpengaruh sangat nyata terhadap panjang tunas pada umur 35 HST sampai 49 HST (Lihat Tabel 5). Perlakuan M3 pada umur 21 HST dan 28 HST memberikan panjang tunas yang lebih baik, walaupun hasilnya berbeda tidak nyata dengan perlakuan M2 (Tabel 6). Seperti pembahasan diatas, dimungkinkan batang stek yang digunakan perlakuan M3 adalah batang muda sehingga pertumbuhan vegetatifnya (pembentukan tunas, pemanjangan tunas dan daun) lebih cepat daripada pembentukan akar (Budi, 2012). Panjang tunas perlakuan M3 sama dengan perlakuan M2, karena menurut Yuniastuti (1994) stek anggur yang baik adalah stek dengan ukuran 2 sampai 3 ruas, seperti yang terjadi pada penelitian ini. Tabel 6 juga menampilkan, media tumbuh yang mampu memberikan panjang tunas terbaik adalah T2 (tanah, pasir, pupuk kandang).
9
Uji Penggunaan Jumlah Mata Tunas & Media Tanam …
Hidayati, S.
Tabel 5. Sidik ragam (anova) rerata panjang tunas akibat pengaruh mata tunas dan media tanam SK
F Hitung
DB
F Tabel
21HST
28 HST
35 HST
42 HST
49 HST
5%
1%
Ulangan
2
2,16 ns
0,41 ns
1,28 ns
0,54 ns
0,63 ns
3.63
6.23
Perlakuan
8
4,97 **
9,73 **
52,91**
34,00 **
27,57 **
2.59
3.89
M
2
1,79 ns
1,83 ns
39,52**
29,90 **
24,29 **
3.63
6.23
T
2
13,88 **
31,92 **
135,80**
75,12 **
61,52 **
3.63
6.23
MxT
4
2,10 ns
2,60 ns
18,15 **
15,48 **
12,23 **
3.01
4.77
Galad
16
Total
26
Keterangan: ** : berbeda sangat nyata; * : berbeda nyata; ns : berbeda tidak nyata Tabel 6. Rerata panjang tunas (cm), akibat pengaruh mata tunas dan media tanam Rerata panjang tunas (cm) Perlakuan 21 hst 28 hst 3,14 a 4,20 a M1 M2
3,51 a
4,52 a
M3
3,57 a
4,54 a
Tabel 7. Rerata panjang tunas (cm), akibat pengaruh mata tunas dan media tanam Rerata panjang tunas (cm) Perlakuan 35 hst 42 hst 49 hst M1T1 4,23 a 5,63 a 6,63 ab M1T2
5,70 cd
6,50 c
7,50 bc
M1T3
5,53 c
6,23 bc
7,23 c
M2T1
4,90 b
6,00 ab
7,00 a
T1
2,78 a
3,36 a
M2T2
7,80 e
8,60 e
9,50 bc
T2
4,06 b
5,24 b
M2T3
5,73 cd
6,53 c
7,53 bc
T3
3,39 ab
4,39 ab
M3T1
5,10 b
6,20 bc
7,20 ab
M3T2
6,23 d
7,30 d
8,03 bc
M3T3
5,67 c
6,47 c
7,60 b
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf uji Duncan 5%
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf uji Duncan 5%
Tabel 8. Sidik ragam (anova) rerata jumlah daun yang membuka sempurna akibat pengaruh mata tunas dan media tanam SK
F Hitung
DB
F Tabel
21 hst
28 hst
35 hst
42 hst
49 hst
5%
1%
Ulangan
2
0,15 ns
0,12 ns
0,04 ns
0,04 ns
0,10 ns
3.63
6.23
Perlakuan
8
2,19 ns
2,49 ns
2,26 ns
2,26 ns
2,03 ns
2.59
3.89
M
2
3,60 ns
3,45 ns
2,72 ns
2,27 ns
3,22 ns
3.63
6.23
T
2
2,75 ns
3,45 ns
3,21 ns
3,21 ns
1,97 ns
3.63
6.23
MxT
4
1,17 ns
1,54 ns
1,56 ns
1,56 ns
1,45 ns
3.01
4.77
Galad
16
Total
26
Keterangan: ** : berbeda sangat nyata; * : berbeda nyata; ns : berbeda tidak nyata
10
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Tabel 9. Rerata jumlah daun yang membuka sempurna, akibat pengaruh mata tunas dan media tanam Perlakuan
Kandungan hara yang terdapat pada pupuk kandang juga tergantung dari variasi makanan yang dikonsumsi oleh ternak, semakin bervariasi maka semakin besar pula kandungan hara yang terdapat di dalamnya seperti kandungan unsur Nitrogennya. Dengan media tanah yang baik, maka tanaman menjadi lebih subur karena leluasa dalam pengambilan unsur hara (Anonim, 2008). Hal serupa diungkapkan juga oleh Yuniastuti (1994), bahwa perlakuan media campuran tanah, pasir dan pupuk kandang (1:1:1) sebagai media tumbuh stek anggur mampu meningkatkan pertumbuhan stek (perkembangan akar, tunas dan daun) sebesar 91,1%.
Rerata jumlah daun yang membuka sempurna (helai) 21 hst
28 hst
35 hst
42 hst
49 hst
M1
2,78 a
3,67 a
4,67 a
5,67 a
6,78 a
M2
1,56 a
2,56 a
3,67 a
4,67 a
5,56 a
M3
2,44 a
3,44 a
4,44 a
5,44 a
6,33 a
T1
1,89 a
2,78 a
3,78 a
4,78 a
5,89 a
T2
2,00 a
3,00 a
4,11 a
5,11 a
6,00 a
T3
2,89 a
3,89 a
4,89 a
5,89 a
6,78 a
Jumlah Stek yang Hidup Hasil analisis sidik ragam (anova) menunjukkan bahwa perlakuan mata tunas dan media tanam (interaksi), berpengaruh sangat nyata terhadap rerata stek yang hidup (Lihat Tabel 10). Tabel 11 menunjukkan bahwa, interaksi perlakuan mata tunas dan media tanam memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kelangsungan hidup stek anggur. Perlakuan M2T2 (mata tunas 2 dengan media campuran tanah, pasir dan pupuk kandang) menunjukkan rerata stek yang hidup lebih baik daripada perlakuan interaksi yang lain. Stek mata 2 (M2) memiliki kesempatan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan M1 dan M3. Pada perlakuan M1 dan M3, didapati ada stek anggur perlakuan yang mati dan dimungkinkan kematian stek tersebut diakibatkan oleh lamanya waktu pertumbuhan akar stek. Jika akar tidak segera muncul, maka stek kesulitan untuk memperoleh asupan hara guna menopang pertumbuhan/kelangsungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuniastuti (1994) bahwa, stek mata 2 mempunyai daya hidup yang lebih baik. Akan menjadi terbaik apabila diperlakukan dengan merendam pada larutan Atonik 500 ppm selama 12 jam. Budi (2012) juga berpendapat, stek yang berasal dari batang tua mempunyai kandungan karbohidrat dan auxin (hormon pertumbuhan akar) cukup memadai daripada stek yang berasal dari batang muda. Stek yang berasal dari batang muda (ujung) seperti M3 biasanya lebih cepat membentuk tunas daripada akar karena kandungan karbohidratnya lebih rendah daripada kandungan hormonnya. Padahal stek yang baik harus membentuk akar terlebih dahulu. Kondisi seperti ini membuat stek dari batang muda lebih sering mengalami kegagalan hidup atau mati. Sebenarnya stek anggur dapat hidup walaupun hanya pada media campuran tanah dan pasir saja, seperti pendapat Yuniastuti (1994) bahwa stek anggur Bali dan anggur Probolinggo mampu bertahan hidup pada media tanah dan pasir saja. Tetapi kemampuan hidup menjadi lebih besar (91,1%) jika ditanam pada media berupa campuran tanah, pasir dan pupuk kandang. Penggunaan pupuk kandang pada media tanah ternyata mampu membuat media menjadi lebih baik dalam artian menjadi lebih remah, lebih gembur, drainase lebih baik dan lebih kaya nutrisi, sehingga akar stek dapat berkembang dan bergerak secara leluasa (Hakim, 1986). Secara umum pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan, dimana kandungan hara dalam pupuk kandang
Tabel 10. Sidik ragam (anova) rerata stek yang hidup, akibat pengaruh mata tunas dan media tanam SK
DB
F hitung
Ulangan
2
1,00 ns
F Tabel 5% 1% 3.63 6.23
Perlakuan
8
37,00 **
2.59
3.89
M
2
91,00 **
3.63
6.23
T
2
37,00 **
3.63
6.23
MxT
4
10,00 **
3.01
4.77
Galad Total
16 26
Keterangan: ** : berbeda sangat nyata; * : berbeda nyata; ns : berbeda tidak nyata Tabel 11. Rerata stek yang hidup (batang), akibat pengaruh mata tunas dan media tanam Rerata stek yang hidup Perlakuan (batang) M1T1 1,00 a M1T2 1,33 a M1T3 1,00 a M2T1 2,00 b M2T2 M2T3 M3T1 M3T2 M3T3
3,00 c 2,00 b 1,00 a 2,00 b 2,00 b
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf uji Duncan 5% 11
Uji Penggunaan Jumlah Mata Tunas & Media Tanam …
Hidayati, S.
rata-rata sekitar 55% N, 25% P2O5, dan 5% K2O (tergantung dari jenis hewan dan bahan makanannya). Dengan kandungan hara tersebut diharapkan pupuk kandang mampu meningkatkan daya hidup tanaman (Anonim, 2009).
Eko, M. 2002. Anggur dalam Pot. Penebar Swadaya, Jakarta, hal. 4-8. Hakim, N. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Rajawali Press, Lampung. Krismawati, A. 2008. Sinar Tani, Th. XXXVIII, hal.23. Rachman. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius, Jakarta.
PENUTUP Simpulan Dari hasil penelitian Uji Penggunaan Jumlah Mata Tunas dan Media Tanam Pada Pembibitan Tanaman Anggur (Vitis vinifera) Varietas Prabu Bestari, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perlakuan jumlah mata tunas terbaik adalah M2 (mata tunas 2) terhadap jumlah tunas sebesar 3,33 tunas, panjang tunas sebesar 8,01 cm dan jumlah stek yang hidup sebesar 2,33 batang stek; 2. Perlakuan media persemaian terbaik adalah T2 (campuran tanah, pasir dan pupuk kandang) terhadap jumlah tunas sebesar 4 tunas, panjang tunas sebesar 8,34 cm, jumlah daun yang membuka sempurna sebesar 6 helai dan jumlah stek yang hidup sebesar 2,11 batang stek; 3. Terjadi interaksi antara perlakuan jumlah mata tunas dan media tanam terhadap jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun dan jumlah stek yang hidup. Sedangkan interaksi tertinggi adalah M2T2 (mata tunas 2 dengan media campuran tanah, pasir dan pupuk kandang) terhadap panjang tunas sebesar 9,50 cm dan jumlah stek yang hidup sebesar 3 batang stek.
Rebin. 2007. Budidaya Probolinggo, hal.4-9.
Tanaman
Anggur.
UPM
Rukmana, R. 2005. Budidaya dan Pascapanen Anggur. Kanisius, Jakarta, hal.33-40. Setiadi. 2002. Bertanam Anggur. Penebar Swadaya, Jakarta, hal.11. Supadi, A.S. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Kanisius, Yogyakarta.
Saran 1. Perlu diadakan penelitian lanjutan untuk mengetahui jumlah mata tunas terbaik, yang efektif dan efisien dalam pengadaan stek tanaman anggur secara massal; 2. Disarankan kepada peneliti berikutnya untuk menggunakan parameter penelitian yang lain selain dari perlakuan ini untuk mendapatkan prosentase bibit jadi yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Pupuk Organik. Diunduh pada http://tanimaju.webscom/apps/blog/entries/show/3818 98-pupuk-organik. Anonim. 2009. Pengaruh Pupuk Organik. Diunduh pada http://www.pupukorganik-pertanian.blogspot.com/ 2009/05/pengaruh-pupuk-organik-terhadap.html. Budi. 2012. Teknik Pembibitan Tanaman secara Vegetatif. Diunduh pada http://budisma.web.id/materi /sma/pembibitan-tanaman/teknik-pembibitantanaman-secara-vegetatif/april/2012. BPTP Jawa Timur. 2006. Manajemen Koperasi, Edisi: Yogyakarta: Gadjah Mada. Dinas Pertanian Kota Probolinggo. 2007. Budidaya Anggur. Probolinggo.
12
ISSN 2355-195X
PENGARUH UMUR DAN JUMLAH BIBIT PER TITIK TANAM TERHADAP PRODUKSI PADI (Oryza Sativa) VARIETAS CIHERANG Tumini1 , Zainul Fatah2 1
Staf Pengajar, 2 Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Panca Marga
[email protected] (diterima: 11.01.2014, direvisi: 25.01.2014)
Abstrak Untuk memenuhi tingkat permintaan padi yang terus meningkat setiap tahun, maka perlu adanya perbaikan teknik budidaya padi yang lebih baik lagi selain memilih bibit unggul dan sisitem tanam yang baik, teknologi yang tak kalah pentingnya yaitu penggunaan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam tanaman padi yang bertujuan untuk peningkatan produktifitas padi varietas ciherang Penelitian dilaksanakan di Desa Ambulu, Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo, pada ketinggian tempat ± 50 meter di atas permukaan laut dengan jenis tanah gramusol pada bulan MeiAgustus 2013. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bajak, garu, cangkul, sabit, parang, rol meter tangan, penggaris, dan spreyer. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit padi varietas Ciherang insektisida,fungisida, bambu, tali rafia. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan Acak kelompok Faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah Umur 10 hari Setela Sebar (U1), Umur 15 Hari Setelah Sebar (U2), Umur 20 Hari Setelah Sebar (U3). Sedangkan faktor 2 adalah terdiri dosis pupuk organik yang terdiri dari 4 (empat) taraf yaitu : Jumlah bibit 1 batang/ titik tanam (J1), Jumlah bibit 2 batang/ titik tanam (J2), Jumlah bibit 3 batang/ titik tanam (J3), Jumlah bibit 4 batang/ titik tanam (J4). Pada hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan Perlakuan umur bibit Perlakuan U3 (umur bibit 20 hari) memberikan hasil terbaik untuk rerata tinggi tanaman umur 20 HST ( 62,26 cm), 27 HST (71,29 cm), 41 HST (97,47 cm) dan 48 HST (102,23 cm). Perlakuan J2 (jumlah bibit 2 batang per titik tanam) memberikan hasil terbaik untuk rerata jumlah anakan produktif sebesar 21,51 batang. Perlakuan interaksi U2J2 (umur bibit 15 hari dan jumlah bibit 2 batang per titik tanam) berbeda sangat nyata pada rerata jumlah daun (umur 20 HST 61,50 helai; 27 HST 74,78 helai; 34 HST 114,18 helai; 41 HST 121,75 helai dan 48 HST 124,75 helai), rerata jumlah anakan ( umur 20 HST 17,97 batang; 27 HST 24 batang; 34 HST 28,33 batang; 41 HST 30,23 batang dan 48 HST 31,35 batang), rerata hasil ubinan basah (1,8.7 kg), rerata hasil ubinan kering (1,44 kg) dan rerata hasil gabah per Ha (10,44 ton/Ha). Adapun saran yang dapat dikemukakan sehubungan dengan hasil penelitian ini adalah : Perlu dilakukan penelitian lanjutan budidaya padi dengan sitem tenam benih langsung selain itu juga Perlu penelitian lanjutan membandingkan antara budidaya tanaman padi dengan jumlah bibit lebih dari 5 per titik tanam dengan perlakuan dari varietas ciherang dan non ciherang. Kata Kunci: budidaya, padi, umur bibit, jumlah bibit, titik tanam, ciherang.
penduduk, kebutuhan pangan semakin tinggi, produksi pangan, khususnya beras harus ditingkatkan, mengingat beras merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan mampu memberi kontribusi dan solusi yang tepat, dalam menghadapi tantangan tersebut. Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada beras impor. Namun, dengan teknologi baru yang diintroduksikan kepada para petani akhirnya bangsa Indonesia mampu mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Tahun tersebut
PENDAHULUAN Padi merupakan tanaman pangan utama yang dikonsumsi oleh sekitar setengah penduduk dunia. Di masa mendatang, diperkirakan banyak negara akan mengalami bencana kekurangan pangan. Menurut Prasetiyo (2002) lebih dari 88 negara di dunia mengalami krisis pangan, diantaranya Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan semakin berkurangnya luas lahan padi, tenaga kerja semakin sedikit, dan ketersediaan air semakin berkurang. Seiring dengan pertambahan jumlah 13
Pengaruh Umur & Jumlah Bibit per Titik Tanam …
Tumini mengenai jumlah bibit per titik tanam dan umur bibit masih sangat penting untuk dilakukan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis terdorong untuk melaksanakan suatu penelitian tentang pengaruh pembibitan yang juga menjadi faktor pendukung peningkatan produksi padi.
merupakan puncak produktivitas pangan Indonesia, sebagai perbandingan tahun 1969 Indonesia hanya mampu memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton maka pada tahun 1984 produksi Indonesia bisa mencapai 25,8 juta ton (Adiratma, 2004). Menurut Badan Pusat Statistik (2008) produksi padi Indonesia dari tahun2004-2008 menunjukkan trend yang semakin meningkat. Pada tahun 2004,produksi Indonesia sebesar 54.088.468 ton dan pada tahun 2005 meningkat 0,12%menjadi 54.151.097 ton. Peningkatan produksi yang signifikan terlihat pada tahun2006 meningkat sebesar 4,77% dari 54.454.937 ton menjadi 57.051.679 ton.Peningkatan juga terjadi di tahun 2008 meningkat sebesar 2,13% menjadi58.268.796 dibandingkan tahun 2007. Kondisi yang demikian belum mampu membuat Indonesia surplus beras karena jumlah penduduk yang semakinmeningkat dan pola konsumsi penduduk Indonesia yang menitikberatkan pada komoditas beras. Produksi beras akhir-akhir ini menghadapi berbagai kendala, diantaranya : penerapan tenik budidaya padi yang kurang tepat. Faktor yang menyebabkan pengelolaan tanaman berhasil dipengaruhi oleh ketersediaan dan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan sumberdaya lingkungan tumbuh tanaman. Hal tersebut dapat dicapai antara lain melalui pengaturan umur bibit dan jumlah bibit yang ditanam secara tepat. Belakangan berkembang teknologi SRI dan PTT yang mengintroduksikan jumlah bibit per titik tanam. Umur bibit pindah tanam belakangan dianjurkan sekitar 10-15 hari, sedangkan sebagian besar masih menggunakan anjuran Insus, Supra Insus atau BIMAS sekitar 21-25 hari bahkan lebih tua. Berkenaan dengan introduksi teknologi tersebut perlu diteliti lebih dalam pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah. Jumlah bibit per titik tanam merupakan salah satu faktor yang menentukan tinggi rendahnya hasil suatu pertanaman padi. Pengaturan jumlah bibit per titik tanam dipengaruhi oleh sifat varietas padi dan kesuburan tanah. Penggunaan umur bibit yang masih muda (10-15 hari) sangat beresiko karena masih lemah dan perakaran yang belum kuat namun berpotensi menganak dan pertumbuhan tanaman yang tinggi, sedangkan umur bibit yang jauh lebih tua (> 25hari) akan menurunkan produksi (Siregar, 1981). Pada umumnya petani memindahkan bibit dari persemaian ke tempat penanaman padi atau sawah berkisar antara umur 21-25 hari (Prasetiyo, 2002). Secara umum jumlah bibit per titik tanam dan umur bibit pada padi sawah diketahui berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun hasil padi sawah. Walaupun demikian umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam yang optimum masih belum diketahui dengan tepat, oleh karena itu penelitian
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman padi menurut Rukmana (2002), adalah sebagai berikut: Devisio : Magnoliophyta Sub devisio : Spermatophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Poales Famili : Poaceae Genus : Oryza Spesies : Oryza sativa L Botani Tanaman Padi (Oryza sativa L) Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk golongan Graminae yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Padi (Oryza sativa L.) termasuk subfamili Bambusoidae, suku Oryzae dan genus Oryza. Padi dapat dibedakan menjadi 3 subspesies yaitu Indica, Japonica dan Javanica (Siregar, 1981). Menurut Siregar (1981) padi merupakan tanaman rumput semusim dengan tinggi 50-130 cm hingga 5 m. Batangnya berbentuk bulat, berongga dan beruas-ruas serta berakar serabut. Daun terdiri atas helai daun yang menyelubungi batang. Bunga padi membentuk malai keluar dari buku paling atas dengan jumlah bunga tergantung kultivar yang berkisar antara 50-500 bunga. Sedangkan buah atau biji padi beragam dalam bentuk, ukuran dan warnanya. Padi tumbuh di daerah tropis tapi masih muncul di daerah temperate dengan beberapa faktor pembatas. Menurut De Datta (1981) daerah pertumbuhan padi berkisar diantara Tropic of cancer (23°27’ lintang utara) dan Tropic of Capricorn (23°27’ lintang selatan). Meskipun padi adalah tanaman tropis dan subtropis, produksi dan produktivitas tertinggi diperoleh di daerah temperate seperti Po Valley, Italy (45°45’ lintang utara), bagian utara Honshu, Jepang (38° lintang utara), Korea (37° lintang utara), Selandia Baru dan Australia (35° lintang selatan). Umur Bibit Padi (Oryza sativa) Keberhasilan pengelolaan suatu tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor. Taslim et al. (1989) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman 14
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X ruang tumbuh, cahaya atau nutrisi dalam tanah. Hasil uji coba sistem SRI di Indonesia dengan 1 bibit dapat menghasilkan 6,9 – 9,7 t ha-1 dan pada tingkat petani 5,0 – 9,3 t ha-1 (Gani, Kadir, Jatiharti, Wardhana dan Las, 2002), sedangkan menurut Stoop, Uphoff dan Kassam (2003), di negara lain seperti Cina, Madagaskar, dan Filipina dengan menggunakan 1 bibit pertitik tanam, dapat menghasilkan produksi padi 10,5 – 16,0 t ha-1.
diantaranya adalah teknik budidaya. Salah satu cara teknik budidaya atau metodologi dalam produksi tanaman padi adalah SRI (System Rice Of Intensification) dan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu). Kedua metodologi tersebut bertujuan untuk meningkatkan hasil padi. Salah satu usaha yang diterapkan antara lain melalui penggunaan umur bibit muda. Penanaman bibit dapat dilakukan dengan cara tanam pindah maupun tanam benih langsung. Cara tanam pindah lebih banyak diterapkan di lapangan karena memiliki beberapa keuntungan. Menurut Vergara (1985) Cara tanam (pindah) lebih tahan terhadap rebah karena pangkal tanaman lebih kuat tertambat dalam tanah dari pada tabur langsung. Keuntungan lain cara tanam pindah bahwa bibit lebih cepat melekat dengan tanah, sehingga apabila turun hujan bibit tetap ditempatnya Umur bibit pindah tanam harus tepat dan sesuai untuk mengantisipasi perkembangan akar yang umumnya berhenti pada umur 42 hari sesudah semai, sementara jumlah anakan produktif akan mencapai maksimal pada umur 49-50 hari sesudah semai (Thangaraj and O’Toole, 1985). Di Indonesia sejak lama dianjurkan menanam bibit berumur 3 minggu, dengan tinggi sekitar 22-25 cm (Utomo dan Nazarudin, 2007), sementara sistem intensifikasi yang dikembangkan di China, lebih disukai menanam bibit umur 15 hari atau lebih muda daripada itu, dan mampu menghasilkan jumlah anakan produktif maksimal 60 batang (Hui and Jun, 2003). Bibit yang lebih muda akan menghasilkan anakan yang lebih tinggi dibandingkan bibit yang lebih tua (Deptan, 2008). Pemotongan daun bibit tidak dianjurkan karena pertumbuhan tanaman menjadi terkonsentrasi pada pemulihan pertumbuhan tajuk bukan pemulihan dan pertumbuhan pada akar yang melekat pada tanah. Menurut Vergara (1985) pemotongan daun bibit hanya dilakukan apabila daun padi panjang dan terkulai menyentuh air lumpur dan memberi peluang penyakit atau hama yang menyerang daun.
Penggunaan Varietas Untuk memenuhi permintaan atau kebutuhan beras, salah satu upaya yang harus dilakukan yaitu intensifikasi pertanian. Intensifikasi pertanian adalah upaya untuk peningkatan produktifitas padi per satuan luas. Salah satu upaya intensifikasi adalah penggunaan varietas unggul, telah banyak varietas-varietas baru yang telah dihasilkan oleh badan penelitian dan pengembangan pertanian, Departemen pertanian. Tetapi tentang varietas-varietas tersebut tidak banyak yang diketahui petani ( Bambang pikukuh, et al,. 2009 ). Menurut Suyamto,et al. (2007) varietas unggul merupakan salah satu teknolnogi yang berperan penting terhadap peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Kontribusi nyata varietas terhadap peningkatan produksi padi nasional antara lain tercermin dari pencapaian swasembada beras pada tahun1984. Hal ini terkait sifat-sifat varietas unggul padi. Antara lain berdaya hasil tinggi. Tahan terhadap penyakit utama, umur ganjah sehingga sesui dikembangkan dalam pola tanam tertentu, dan rasa nasi enak (pulen) dengan kadar protein yang relative tinggi. Salah satu varietas padi yang paling diminati oleh petani adalah varietas ciherang yang merupakan varietas unggul yang berkembang pesat dan memiliki potensi hasil yang cukup tinggi. Deskripsi Padi Varietas Ciherang • Nama varietas : Ciherang • Kelompok : padi sawah • Nomer sleksi : S3383-1d-41-3-1 • Asal persilangan : IR 18349-53-1-3-1-3/ /IR 19661-131-3-1/ /IR 19661-131-3/ /IR 64///IR 64/ • Golongan : Care • Umur tanaman : 116-125 hari • Bentuk tanaman : Tegak • Tinggi tanaman : 107-115 cm • Warna kaki : Hijau • Warna batang : Hijau • Warna daun : Hijau • Posisi daun : Tegak
Jumlah Bibit Pertitik Tanam Pemakaian bibit pertitik tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan karena secara langsung berhadapan dengan kompetisi antar tanaman dalam satu rumpun. Jumlah bibit per rumpun yang lebih sedikit akan memberikan ruang pada tanaman untuk menyebar dan memperdalam perakaran (Berkelaar, 2001). Menurut Uphoff (2002), bahwa metode SRI bibit ditanam secara tunggal sehingga tidak terdapat kompetisi diantara akar tanaman yang dapat menghambat pertumbuhan. Menurut Barkelaar (2001), bahwa bibit ditransplantasi satu-satu agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran, sehingga tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh 15
Pengaruh Umur & Jumlah Bibit per Titik Tanam … • Daun bendera • Bentuk gabah • Warna gabah • Kerontokan • Tekstur nasi • Bobot 1000 butir • Rata-rata produksi • Potensi hasil • Ketahanan hama • Ketahanan penyakit • Anjuran
Tumini
Tegak Panjang ramping Kuning bersih Sedang Pulen 27-28 g 6 ton/ha 8,5 ton/ha Tahan terhadap wereng coklat Tahan terhadap bakteri hawar cocok ditanam musim hujan dan kemarau : Tarjat, Z.A. Simanullang,., E. Sumadi Aan : 2000
(25cmx25cm) sehingga total populasi 144 tanaman/plot dan lahan yang dibutuhkan seluas 324 m2. Model linier untuk analisis statistik dari percobaan ini adalah:
METODOLOGI Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lahan sawah irigasi Desa Ambulu kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan MeiAgustus 2013.
Analisis statistik dilakukan terhadap semua data hasil pengamatan dengan menggunakan sidik ragam (uji F). Apabila pada sidik ragam faktor tunggal memberikan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji BNT 5% dan jika interaksi perlakuan memberikan pengaruh nyata dilakukan uji lanjut dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf uji 5%.
• Pemulia • Dilepas tahun
: : : : : : : : : : :
Y ijk = µ + αi + βj + γk + (αβ)ij + εijk Y ijk µ αi βj γk ( αβ)ij εijk
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih padi varietas Ciherang. Pupuk yang digunakan adalah pupuk Urea, Sp-36, KCl, NPK. Untuk mengendalikan hama dan penyakit digunakan pestisida dengan bahan aktif Tiametoksam dan Difenokonazol. Alat-alat yang digunakan adalah traktor, cangkul, , ajir, tali rafia, ember, meteran, sprayer, mesin perontok padi, timbangan digital, dan Bagan Warna Daun (BWD).
= Respon pengamatan pada perlakuan umur bibit ke-i dan kelompok ke-j = Rataan umum pengamatan = Pengaruh umur bibit pada taraf ke-i = Pengaruh jumlah bibit perumpun pada taraf ke-j = Pengaruh ulangan pada taraf ke-k = Pengaruh interaksi umur bibit( αi) dan jumlah bibit perumpun (βj) = Galat percobaan
Pelaksanaan Penelitian A. Pembuatan Bibit Pembuatan bibit padi dilakukan dengan perendaman benih padi yang bersertifikat dengan label ungu, benih padi di dapat dikios pertanian. perendaman benih dilakukan dengan cara merendam benih padi dengan lama perendaman 2x24 jam dan dilanjutkan dengan pengeringan hingga benih padi berkecambah. Tempat media penyemaian menggunakan rak kotak atau nampan dengan ukuran panjang 1 m dan lebar 0,5 m, dan media sendiri menggunakan tanah biasa. Pembuatan tempat penyemaian dan media pembibitan dengan model yang seperti ini lebih mudah cara perawatan dan pengawasannya terutama pada organisme pengganggu tanaman, selain itu ketika masa pindah tanam sistem perakaran tidak mudah putus karna menggunakan rak atau nampan yang mudah pada tahap pencabutan.
Metode Penelitian Metode percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah umur bibit yang terdiri dari: • Umur 10 hari setelah sebar (U1) • Umur 15 hari setelah sebar (U2) • Umur 20 hari setelah sebar (U3) Faktor kedua adalah jumlah bibit perumpun yang terdiri dari: • Jumlah bibit 1 batang/titik tanam (J1) • Jumlah bibit 2 batang/titik tanam (J2) • Jumlah bibit 3 batang/titk tanam (J3) • Jumlah bibit 5 batang/titik tanam (J4) Dari dua faktor tersebut diperoleh 12 kombinasi perlakuan. Pada percobaan ini digunakan tiga kali ulangan (tiga kelompok). Dengan demikian dalam percobaan ini terdapat 36 satuan percobaan. Petak satuan percobaan berukuran 3mx3m, dengan jarak tanam
B. Pengolahan Lahan Pengolahan lahan dilakukan 3 hari sebelum pindah tanam, pengolahan lahan menggunakan mesin traktor dengan air yang cukup serta dilakukan pemerataan lahan dan saluran air. C. Penanaman. Penanaman dilakukan setelah pengolahan lahan selesai dan umur bibit yang sesuai dengan perlakuan serta 16
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X 7. Bobot 1000 butir gabah diamati dari 1000 butir gabah isi yang diambil dari tanaman contoh. 8. Hasil ubinan basah dan kering, dilakukan dengan mengukur seluas 1mx1m pada tengah petakan. 9. Hasil gabah per hektar
jumlah bibit yang ditanam. Penanaman menggunakan jarak 25x25 m dengan sistem air yang macak macak. D. Pemupukan Pemupukan pertama dilakuakan pada 1 MST (minggu setelah tanam) dengan dosis 100 kg/ha urea, 100 kg/ha SP-36 dan 100 kg/ha KCl. Pemupukan urea selanjutnya dilakukan pada saat 4 MST dan 6 MST dengan dosis 75 kg/ha setiap aplikasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur bibit berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman umur 20 HST, 27 HST, 41 HST dan 48 HST. Sedangkan interaksi perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman umur 34 HST (Tabel 1). Rerata tinggi tanaman pada umur 20 HST, 27 HST, 41 HST dan 48 HST tertinggi didapat dari perlakuan U3 (umur bibit 20 harisetelah sebar) yaitu sebesar 62,26 cm, 71,29 cm, 97,47 cm dan 102,23 cm hal ini dapat dilaihat dari table rerata perlakuan umur dan jumlah bibit per titik tanam dan pada Tabel 2. Rerata tinggi tanaman cenderung naik dari umur ke umur, hal ini disebabkan pada umur 20 HST sampai umur 35 HST merupakan fase vegetatif bagi tanaman padi, selebihnya sudah memasuki fase generatif. Rerata tinggi tanaman dari perlakuan U1 (umur bibit 10 hari setelah sebar) dan U2 (umur bibit15 hari setelah sebar) hampir mendekati nilai rerata tertinggi. Hal ini dikarenakan, akar-akar tanaman padi ini mampu berkembang dan menyerap nutrisi dari dalam tanah. Seperti pendapat Berkelaar (2001), bahwa transplantasi (pindah tanam) bibit muda dilakukan untuk mempertahankan potensi pertambahan batang dan pertumbuhan akar yang optimal guna menunjang pertumbuhan vegetatifnya. Umur bibit pindah tanam harus tepat dan sesuai untuk mengantisipasi perkembangan akar yang umumnya berhenti pada umur 42 hari sesudah sempai atau umur 22 HST (Thangaraj and O’Toole, 1985). Sedangkan rerata tinggi tanaman tertinggi pada umur 34 HST didapat dari perlakuan U3J4 (umur bibit 20 hari dengan jumlah bibit 5 batang per titik tanam) yaitu sebesar 82,35 cm. Tetapi secara efisiensi penggunaan jumlah bibit, rerata tinggi tanaman tertinggi didapat dari perlakuan U3J2 (umur bibit 20 HST dengan jumlah bibit 2 batang per titik tanam) yaitu sebesar 82,32 cm. Perlakuan ini dinilai lebih efisien karena mengghemat penakaian bibit yaitu 2 batang per titik tanam tetapi memperoleh rerata tinggi yang sama dengan rerata tinggi perlakuan J4 (jumlah bibit 5 batang per titik tanam).
E. Irigasi Irigasi atau pengairan dilakukan setelah pindah tanam dengan tinggi air 3-5 cm dan secara berangsur dinaikan sesuai dengan kebutuhan tanaman, pengeringan dilakukan menjelang pemanenan atau setelah pengisian bulir padi. F. Penyiangan Penyiangan dilakukan 2x ketika tanam berumur 15 hst dan beumur 35 hst ,penyiangan dilakukan dengan cara manual atau biasa tanpa menggunakan herbisida. G. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Pengendalian hama dan penyakit tanaman di lakukan pada tanam ketika berumur 15 hst dan di lanjutkan dengan interfal 10 hari hingga batas pengendalian tanaman sudah menua (80 hst) , pengendalian Hpt menggunakan pestisida kimia insektisida dan fungisida dengan bahan aktif tiametoksam (insektisida) Difenokonazol (fungisida). H. Pemanenan Pemanenan dilakukan pada saat tanaman berumur 115 hst atau pada saat malai dan bulir padi menguning, dan alat pemanenan menggunakan alat manual atau alat pemotong jerami yang biasa petani gunakan arit atau sabit dan mesin prontok padi. Parameter Pengamatan Pengamatan dimulai pada umur tanaman 20 HST dan diamati 7 hari sekali dengan jumlah sample 20 tanaman. Parameter yang diamati adalah: 1. Jumlah anakan hingga keluar malai (heading). 2. Tinggi tanaman diamati dari permukaan tanah sampai daun tertinggi hingga keluar malai (heading). 3. Jumlah daun hingga keluar malai (heading). 4. Jumlah anakan produktif/rumpun, dihitung dari seluruh anakan yang menghasilkan malai pada saat panen. 5. Jumlah gabah / malai, diamati dari setiap malai / tanaman contoh. 6. Panjang malai, diukur dari pangkal malai sampai ujung malai dari malai/tanaman contoh.
17
Pengaruh Umur & Jumlah Bibit per Titik Tanam …
Tumini
Tabel 1 Sidik ragam (anova) rerata tinggi tanaman (cm) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam
SK
DB
F Hitung 20 HST
2 11 2 3 6 22 35
Ulangan Perlakuan U J UxJ Galad Total
1,89 ns 145,49 ** 797,01 ** 1,21 ns 0,46 ns
27 HST 1,08 87,19 475,02 1,23 0,90
ns ** ** ns ns
34 HST 3,11 ns 2791590 ** 15353719** 2,46 ns 8,09 **
F Tabel 41 HST 0,87 88,72 482,59 0.85 1,35
ns ** ** ns ns
48 HST
5%
1%
1,04 ns 350,08 ** 1921,43 ** 0,81 ns 0.93 ns
3,44 2,26 3,44 3,05 2,55
5,72 3,18 5,72 4,28 3,76
Keterangan: ** : berbeda sangat nyata; * : berbeda nyata; ns : berbeda tidak nyata
Tabel 2 Rerata tinggi tanaman (cm) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam
Perlakuan U1 U2 U3 BNT 5%
J1 J2 J3 J4
20 HST 45,15 a 48,24 b 62,26 c 1,29
51,41 52,41 51,89 51,96
Rerata tinggi tanaman (cm) 27 HST 41 HST 53,44 a 78,23 a 56,63 b 86,82 b 71,29 c 97,47 c 2,37
a a a a
60,05 61,28 60,30 60,18
2,39
a a a a
87,44 86,88 87,79 87,92
48 HST 90,31 a 99,59 b 102,23 c 0,26
a a a a
97,43 97,45 97,46 97,15
a a a a
BNT 5% Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%
Tabel 3 Rerata tinggi tanaman (cm) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam
Kombinasi U1 J1 U1 J2 U1 J3 U1 J4 U2 J1 U2 J2 U2 J3 U2 J4 U3 J1 U3 J2 U3 J3 U3 J4
Rerata tinggi tanaman umur 34 HST 69,34 a 69,34 a 69,34 a 69,34 a 76,34 c 76,33 b 76,33 b 76,33 b 82,32 d 82,34 e 82,34 e 82,35 e
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada uji DMRT 5%
18
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X Hasil penelitian (Tabel 7) dan kombinasi perlakuan menunjukkan bahwa jumlah anakan terbanyak diperoleh dari interaksi perlakuan U2J2 U2J2 (umur bibit 15 HSS dengan jumlah bibit 2 per titik tanam) yaitu pada umur 20 HST sebanyak 17,97 batang, umur 27 HST sebanyak 24 batang,, umur 34 HST sebanyak 28,33 batang, umur 41 HST sebanyak 30,23 batang dan umur 48 HST sebanyak 31,35 batang. Pada dasarnya umur bibit mempengaruhi jumlah anakan per rumpun, dimana tanaman padi yang ditanam pada umur bibit yang lebih tua menyebabkan tanaman kurang mampu membentuk anakan. Hal tersebut disebakan oleh kondisi perakaran di persemaian yang makin kuat dan dalam sehingga waktu pemindahan mengalami kerusakan cukup berat. Berkelaar, D (2001 dalam Hermawati, T 2009), mengatakan pertumbuhan akar yang bebas hanya mungkin terjadi pada akar bibit muda yang punya banyak ruang dan oksigen, bahkan saat air dan nutrisi hanya sedikit tersedia akar dapat mencarinya sendiri. Akar yang demikian dapat mengekstrak unsur hara yang lebih seimbang dari tanah, termasuk nutrisi dari unsur mikro yang diperlukan sedikit tapi penting. Menurut Pujiharti (2008), bibit lebih muda (14 HSS) dengan 1 bibit/rumpun per titik tanam akan menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak jika dibandingkan dengan bibit yang berumur lebih tua. Kasijadi (2010) bependapat, bahwa sebaiknya tanam bibit berumur muda (10-15 hari) karena di persemaian, bibit mulai beranak pada umur 15 HSS (hari setelah semai). Sehingga menanam bibit berumur lebih dari 21 HSS sama dengan membiarkannya mengalami masa beranak pada kondisi berdesakan di persemaian. Hal ini akan mengurangi kemampuannya beranak di lahan. Jika ditanam 1 bibit/titik tanam umur 15-21 HSS, jumlah anakan maksimalnya sama dengan jika ditanam 2-3 bibit/titik tanam umur kurang dari 21 HSS. Maka lebih baik menanam sedini mungkin (umur 8-21 HSS) tergantung varietasnya, jumlah bibit 2-3/titik tanam untuk non hibrida dan jumlah bibit 1/titik tanam untuk hibrida.
Menurut Uphoff (2002), bahwa metode SRI bibit ditanam secara tunggal sehingga tidak terdapat kompetisi diantara akar tanaman yang dapat menghambat pertumbuhan. Menurut Barkelaar (2001), bahwa bibit ditransplantasi satu-satu agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran, sehingga tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau nutrisi dalam tanah. Menurut Berkelaar (2001), jarak minimal yang paling baik adalah 25 cm x 25 cm dan pada prinsipnya tanaman harus mendapat ruang yang cukup untuk tumbuh. Semakin luas jarak tanamnya, berari semakin luas pula ruang akar untuk bergerak dan menyerap nutrisi. Rerata tinggi tanaman pada penelitian ini masih tergolong pendek jika dibandingkan dengan deskriptif tanaman padi varietas Ciherang yaitu setinggi 107-115 cm. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor genetis, sehingga memberikan pengaruh yang hampir sama terhadap tinggi tanaman padi. Hermawati, T (2009) juga menyatakan keadaan faktor genetis memberikan pengaruh yang hampir sama pula rehadap tinggi tanaman padi. Jumlah Daun Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam, memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap jumlah daun (Tabel 4). Kombinasi perlakuan dan Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah daun terbanyak didapat dari interaksi perlakuan U2J2 (umur bibit 15 HSS dengan jumlah bibit 2 per titik tanam) yaitu pada umur 20 HST sebanyak 61,50 helai, umur 27 HST sebanyak 74,78 helai, umur 34 HST sebanyak 114,18 helai, umur 41 HST sebanyak 121,75 helai dan umur 48 HST sebanyak 124,75 helai. Menurut Berkelaar (2001), bahwa transplantasi (pindah tanam) bibit muda dilakukan untuk mempertahankan potensi pertambahan batang dan pertumbuhan akar yang optimal guna menunjang pertumbuhan vegetatifnya. Pertambahan daun untuk tanaman padi ternyata selain terjadi pada fase vegetatifnya juga terjadi pada fase generatifnya, walaupun tidak secepat pada fase vegetatif. Pertambahan jumlah daun itu sejalan juga dengan bertembahnya jumlah anakan. Semakin bertambah jumlah anakannya maka semakin bertambah juga jumlah daunnya.
Jumlah Anakan Produktif Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan jumlah bibit per titik tanam, memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap jumlah anakan produktif. Sedangkan perlakuan umur bibit dan interaksi perlakuan umur bibit dengan jumlah bibit per titik tanam, berbeda tidak nyata terhadap jumlah anak produktif .
Jumlah Anakan Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam, memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap jumlah anakan (Tabel 6).
19
Pengaruh Umur & Jumlah Bibit per Titik Tanam …
Tumini
Tabel 4 Sidik ragam (anova) rerata jumlah daun (helai) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam
SK
DB
F Hitung 20 HST
Ulangan Perlakuan U J UxJ Galad Total
2 11 2 3 6 22 35
1,46 2697,64 6000,64 5557,50 166,71
ns ** ** ** **
27 HST
34 HST
0,92 ns 8156,24 ** 25023,89 ** 10799,33 ** 1212,14 **
0,94 ns 5003,04 ** 14049,13 ** 8441,40 ** 268,50 **
F Tabel 41 HST 0,83 656,82 336,60 855,67 664,13
ns ** ** ** **
48 HST
5%
1%
1,50 ns 5162,97 ** 10405,40 ** 10883,82 ** 55,08 **
3,44 2,26 3,44 3,05 2,55
5,72 3,18 5,72 4,28 3,76
Keterangan: ** : berbeda sangat nyata; * : berbeda nyata; ns : berbeda tidak nyata
Tabel 5 Rerata jumlah daun (helai) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam
Kombinasi U1 J1 U1 J2 U1 J3 U1 J4 U2 J1 U2 J2 U2 J3 U2 J4 U3 J1 U3 J2 U3 J3 U3 J4
20 HST 37,47 f 43,38 g 28,77 d 23,43 c 43,18 g 61,50 i 44,07 h 34,28 e 28,72 d 42,78 g 22,43 b 19,63 a
Rerata jumlah dauan (helai) 27 HST 34 HST 41 HST 39,87 d 73,75 e 89,57 g 43,48 e 89,94 i 77,03 d 37,33 c 70,13 d 87,93 f 31,28 b 61,43 b 76,73 cd 55,17 h 94,35 j 101,02 h 74,78 i 114,18 k 121,75 i 49,43 g 86,30 h 51,53 a 43,33 e 77,75 g 87,15 f 37,38 c 69,72 c 82,37 e 44,00 f 78,45 f 88,32 f 31,18 b 62,42 b 74,83 c 28,60 a 59,00 a 66,43 b
48 HST 96,28 g 108,78 h 94,47 e 82,63 c 108,38 h 124,75 i 96,07 g 85,38 d 85,40 d 95,07 f 77,73 b 75,28 a
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada uji DMRT 5%
Tabel 6 Sidik ragam (anova) rerata jumlah anakan (batang) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam
SK
DB
F Hitung 20 HST
Ulangan Perlakuan U J UxJ Galad Total
2 11 2 3 6 22 35
4,76 2459,27 7311,04 3884,75 129,28
* ** ** ** **
27 HST
34 HST
0,25 ns 10769,81 ** 34544,98 ** 13780,54 ** 1339,40 **
0,35 ns 5379,26 ** 15360,38 ** 8957,83 ** 262,93 **
F Tabel 41 HST 1,10 102,18 269,12 176,71 9,26
ns ** ** ** **
Keterangan: ** : berbeda sangat nyata; * : berbeda nyata; ns : berbeda tidak nyata
20
48 HST
5%
1%
0,21 ns 9009,20 ** 17312,72 ** 19688,45 ** 901,73 **
3,44 2,26 3,44 3,05 2,55
5,72 3,18 5,72 4,28 3,76
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Tabel 7 Rerata jumlah anakan (batang) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam
Kombinasi U1 J1 U1 J2 U1 J3 U1 J4 U2 J1 U2 J2 U2 J3 U2 J4 U3 J1 U3 J2 U3 J3 U3 J4
20 HST 9,43 c 14,15 f 9,52 c 7,77 b 14,53 f 17,97 g 13,12 e 11,37 d 9,50 c 10,92 d 7,23 ab 6,62 a
Rerata jumlah anakan (batang) 27 HST 34 HST 41 HST 13,17 d 18,23 d 22,72 d 14,32 e 22,48 g 24,72 e 12,35 c 17,40 c 21,85 c 10,42 b 15,26 b 19,02 b 18,35 h 23,58 h 24,75 e 24,00 i 28,33 i 30,23 f 16,30 g 21,45 f 23,52 d 14,43 f 19,38 e 21,70 c 12,28 c 17,37 c 19,49 b 14,40 ef 19,33 e 22,15 cd 10,32 b 15,33 b 18,50 b 9,38 a 14,32 a 17,48 a
48 HST 23,63 h 27,10 j 22,55 f 20,40 c 26,43 i 31,35 k 23,35 g 21,43 e 21,27 d 23,45 g 19,20 b 18,57 a
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada uji DMRT 5%
Tabel 8 Sidik ragam (anova) rerata jumlah produktif anakan (batang) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam SK
Db 2 11 2 3 6 22 35
Ulangan Perlakuan U J UxJ Galad Total
F HITUNG 0,94 2,84 1,19 6,32 1,65
F TABEL
ns ** ns ** ns
5%
1%
3,44 2,26 3,44 3,05 2,55
5,72 3,18 5,72 4,28 3,76
Keterangan: ** : berbeda sangat nyata; * : berbeda nyata; ns : berbeda tidak nyata
Tabel 9 Rerata jumlah anakan produktif (batang) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam
Perlakuan U1 U2 U3
Jumlah anakan produktif (batang) 19.88 a 20,08 a 19,08 a
BNT 5%
-
J1 J2 J3 J4
19,90 21,51 18,22 19,08
ab c a a
BNT 5% 1,16 Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%
21
Pengaruh Umur & Jumlah Bibit per Titik Tanam …
Tumini jumlah gabah per malai. Interaksi perlakuan umur bibit dengan jumlah bibit per titik tanam juga memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap jumlah gabah per malai (Tabel 12). Hasil penelitian rerata jumlah gabah per malai (Tabel 13) dan kombinasi perlakuan menunjukkan bahwa jumlah gabah per malai terbanyak didapat dari interaksi perlakuan U1J1 (umur bibit 10 hari dengan jumlah bibit 1 per titik tanam) sebanyak 14,70 butir. Dalam metode SRI, tanaman padi memiliki lebih banyak batang, perkembangan akar lebih besar, dan lebih banyak bulir pada malai. Untuk menghasilkan batang yang kokoh, diperlukan akar yang dapat berkembang bebas untuk mendukung pertumbuhan batang di atas tanah. Untuk ini akar membutuhkan kondisi tanah, air, nutrisi, temperatur dan ruang tumbuh yang optimal. Akar juga memerlukan energi hasil fotosintesis yang terjadi di batang dan daun yang ada di atas tanah (saling bergantung). Saat kondisi pertumbuhan optimum, ada hubungan positif antara jumlah batang per tanaman, jumlah batang yang menghasilkan (malai), dan jumlah bulir gabah per batang (Berkelaar, 2001). Menurut Hermawati (2009), semakin panjang malai ternyata berpengaruh terhadap jumlah gabah per malai. Hal ini terbukti bahwa pada hasil penelitian panjang malai terpanjang didapat dari interaksi perlakuan U1J1 sepanjang 24,22 cm dan jumlah gabah terbanyakpun didapat pada interaksi ini sebanyak 14,70 butir. Menurut Kasijadi (2010), umtuk memperoleh jumlah malai dan jumlah gabah per malai yang optimum, di dapat dengan cara menaman bibit umur 10-15 HSS dengan jumlah bibit 1 per titik tanam untuk bibit hibrida seperti vareitas Ciherang yang digunakan pada penelitian ini.
Hasil penelitian (Tabel 9) dan kombinasi perlakuan menunjukkan bahwa, jumlah anakan produktif terbanyak didapat dari perlakuan J2 (jumlah bibit 2 per titik tanam) yaitu sebanyak 21,51 batang. Hasil ini lebih banyak daripada deskriptif padi varietas Ciherang yang hanya menghasilkan anakan produktif 14-17 batang. Hal ini dimungkinkan karena jumlah bibit yang digunakan hanya 2 batang per titik tanam dan diimbangi dengan jarak tanam yang optimum akan menyebakan pertumbuhan dan perkembangan akar menjadi optimum. Akar mampu berkembang baik, sehingga penyerapan unsur dara juga semakin baik. Pertambahan jumlah anakan produktif akan diikuti dengan jumlah malai. Dimana semakin banyak jumlah anakan produktif berarti semakin banyak pula jumlah malai yang muncul. Hal ini sesuai dengan pendapat Berkelaar (2001) bahwa dengan SRI, terbukti tidak ada hubungan negatif antara jumlah batang yang diproduksi dan jumlah bulir diproduksi oleh batang subur. Semua komponen hasil panen, tumbuhnya batang, pembentukan malai dan pengisian bulir dapat bertambah di bawah kondisi yang mendukung. Panjang Malai Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 10 menunjukkan bahwa perlakuan umur bibit juga jumlah bibit per titik tanam memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap panjang malai. Interaksi perlakuan umur bibit dengan jumlah bibit per titik tanam juga memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap panjang malai. Dari hasil penelitian (Tabel 11) dan kombinasi perlakuan panjang malai terpanjang diperoleh dari interaksi perlakuan U1J1 (umur bibit 10 hari dan jumlah bibit 1 batang per titik tanam) yaitu 24,22 cm. Tetapi secara ukuran, panjang pada perlakuan ini sedikit lebih panjang jika dibandingkan dengan panjang malai pada perlakuan U2J2 (umur bibit 15 dan jumlah bibit 2 batang per titik tanam) yaitu 23,88 cm Ihsan (2009) berpendapat bahwa sistem tanam SRI mampu memperbanyak jumlah anakan produktif. Bertambahnya jumlah anakan produktif ini sejalan dengan bertambahnya jumlah malai, tetapi tidak berpengaruh pada panjang malai. Sari (2009) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa komponen hasil panen merupakan gambaran akhir dari produksi tanaman. Tetapi sistem budidaya konvensional atau SRI tidak memberikan pengaruh terhadap panjang malai.
Hasil Ubinan Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur bibit juga jumlah bibit per titik tanam memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap hasil ubinan basah dan kering. Interaksi perlakuan umur bibit dengan jumlah bibit per titik tanam juga memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap hasil ubinan basah dan kering (Tabel 14). Hasil Ubinan (Tabel 15) dan kombinasi perlakuan menunjukkan bahwa hasil ubinan yang dilakukan (ukuran 1 m x 1 m) baik basah maupun kering, pada perlakuan U2J2 (umur bibit 15 hari dan jumlah bibit 2 batang per titik tanam) memberikan hasil terbesar yaitu 1,87 kg (ubinan basah) dan 1,44 kg (ubinan kering). Hasil ubinan ini tidak dipengaruhi oleh panjang malai dan jumlah gabah per malai melalinkan seiring dengan jumlah anakan produktif (hasil terbanyak juga didapat dari perlakuan U2J2).
Jumlah Gabah Per Malai Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur bibit juga jumlah bibit per titik tanam memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap 22
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Tabel 10 Sidik ragam (anova) rerata jumlah produktif malai (cm) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam SK
Ulangan Perlakuan U J UxJ Galad Total
Db 2 11 2 3 6 22 35
F HITUNG 0,98 42,50 102,61 3,28 42,07
ns ** ** ** **
F TABEL 5%
1%
3,44 2,26 3,44 3,05 2,55
5,72 3,18 5,72 4,28 3,76
Keterangan: ** : berbeda sangat nyata; * : berbeda nyata; ns : berbeda tidak nyata
Tabel 11 Rerata panjang malai (cm) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam
Kombinasi U1 J1 U1 J2 U1 J3 U1 J4 U2 J1 U2 J2 U2 J3 U2 J4 U3 J1 U3 J2 U3 J3 U3 J4
Rerata panjang malai (cm) 24,22 e 23,47 c 23,12 bc 23,11 b 23,44 c 23,88 d 23,52 c 23,11 b 22,22 a 22,38 a 23,25 c 23,10 b
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada uji DMRT 5%
Tabel 12 Sidik ragam (anova) rerata jumlah gabah per malai (butir) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam SK
Ulangan Perlakuan U J UxJ Galad Total
Db 2 11 2 3 6 22 35
F HITUNG 0,15 16,55 15,22 43,74 3,40
ns ** ** ** **
F TABEL 5%
1%
3,44 2,26 3,44 3,05 2,55
5,72 3,18 5,72 4,28 3,76
Keterangan: ** : berbeda sangat nyata; * : berbeda nyata; ns : berbeda tidak nyata
23
Pengaruh Umur & Jumlah Bibit per Titik Tanam …
Tumini
Tabel 13 Rerata jumlah gabah per malai (butir) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam
Kombinasi
Rerata jumlah gabah per malai (butir) 14,70 e 13,68 bcd 13,70 bcd 13,17 a 13,92 bcd 13,55 bc 13,44 abc 13,19 ab 13,84 bcd 13,40 abc 13,21 abc 13,12 a
U1 J1 U1 J2 U1 J3 U1 J4 U2 J1 U2 J2 U2 J3 U2 J4 U3 J1 U3 J2 U3 J3 U3 J4
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada uji DMRT 5% Tabel 14 Sidik ragam (anova) rerata hasil ubinan basah & kering (kg) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam SK
Ulangan Perlakuan U J UxJ Galad Total
Db 2 11 2 3 6 22 35
F HITUNG Ubinan basah Ubinan kering 2,12 35,83 47,51 74,90 12,40
ns ** ** ** **
2,42 130,68 31,03 327,53 65,47
ns ** ** ** **
F TABEL 5% 1% 3,44 2,26 3,44 3,05 2,55
5,72 3,18 5,72 4,28 3,76
Keterangan: ** : berbeda sangat nyata; * : berbeda nyata; ns : berbeda tidak nyata Tabel 15 Rerata hasil ubinan basah & kering (kg) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam
Kombinasi U1 J1 U1 J2 U1 J3 U1 J4 U2 J1 U2 J2 U2 J3 U2 J4 U3 J1 U3 J2 U3 J3 U3 J4
Hasil ubinan (kg) basah 1,30 a 1,63 c 1,33 a 1,29 a 1,30 a 1,87 d 1,51 b 1,22 a 1,23 a 1,33 a 1,23 a 1,18 a
kering 1,93 a 1,23 d 1,09 b 1,02 a 1,03 a 1,44 e 1,03 a 1,02 a 1,09 b 1,13 c 1,05 a 1,01 a
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada uji DMRT 5% 24
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X Jumlah anakan produktif per rumpun, yang juga menyatakan jumlah malai per rumpun atau per satuan luas, merupakan komponen hasil yang paling utama, memberikan pengaruh terhadap jumlah biji per malai, berat 1000 biji dan persentase gabah berisi (Fageria, 1992 dalam Wangiyana, 2009). Sari (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dengan sistem SRI akan diperoleh bobot 1000 butir yang lebih besar daripada sistem konvensional. Hal ini dikarenakan pengisian gabah bernas lebih efektif pada perlakuan S.R.I. organik.
Secara teoritis, semakin banyak jumlah anakan produktif per satuan luas, maka semakin banyak jumlah malai per satuan luas, dengan bulir-bulirnya yang terbentuk pada malai-malai tersebut. Namun, untuk mendapatkan hasil tinggi maka bulir-bulir tersebut harus terisi penuh melalui proses fotosintesis dan laju partisi fotosintat yang tinggi selama fase pengisian biji. Bulirbulir yang tidak terisi penuh akan menghasilkan gabah hampa. Oleh karena itu, persentase gabah hampa atau persentase gabah berisi juga merupakan komponen hasil yang utama. Menurut Soemartono et al. (1984 dalam Wangiyana, 2009), jumlah anakan produktif ditentukan oleh jumlah anakan yang tumbuh sebelum mencapai fase primordia. Namun, kemungkinan ada peluang bahwa anakan yang membentuk malai terakhir, bisa saja tidak akan menghasilkan malai yang bulir-bulirnya terisi penuh semuanya,sehingga berpeluang menghasilkan gabah hampa.
Hasil Gabah Per Ha Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur bibit juga jumlah bibit per titik tanam memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap rerata hasil gabah per Ha. Interaksi perlakuan umur bibit dengan jumlah bibit per titik tanam juga memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap rerata hasil gabah per Ha (Tabel 18). Hasil gabah per Ha (Tabel 19) dan Grafik kombinasi perlakuan merupakan konversi hasil ubinan gabah kering (ubinan 1 m x 1m). Hasil gabah per Ha terbesar diperoleh dari perlakuan U2J2 (umur bibit 15 hari dengan jumlah bibit 2 batang per titik tanam) sebesar 10,44 ton/Ha. Hasil penelitian ini lebih besar dari pada deskriptif padi varietas Ciherang yang berpotensi hasil 8,5 ton/Ha. Barkelaar (2001) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi terhadap hasil padi sistem budidaya SRI yaitu : 1) iklim (efek langsung terhadap tanaman, efek tidak langsung terhadap tanah melalui energi sinar matahari, temperatur udara, temperatur tanah dan hujan), 2) tanah yang sehat dilihat dari struktur tanah, ketersediaan nutrisi (makro dan mikro) dan air, aerasi dan daerah perakaran, 3) pengendalian hama dan penyakit dan 4) pengelolaan.
Bobot 1000 Butir Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur bibit juga jumlah bibit per titik tanam memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap bobot 1000 butir. Interaksi perlakuan umur bibit dengan jumlah bibit per titik tanam juga memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap bobot 1000 butir (Tabel 16). Tabel 17 dan Grafik kombinasi perlakuan menunjukkan, bahwa bobot 1000 butir terberat didapat dari perlakuan U1J1 (umur bibit 10 hari dengan jumlah bibit 1 batang per titik tanam) yaitu sebesar 28,33 gram. Berdasarkan deskriptif padi varietas Ciherang, bobot 1000 butir berkisar antara 27-28 gram. Berarti hasil penelitian ini sudah melebihi standar yang sudah ditentukan. Dari hasil penelitian ini menunjukkan, bobot 1000 butir sejalan dengan panjang malai dan jumlah gabah per malai (hasil tertinggi didapat dari perlakuan U1J1).
Tabel 16 Sidik ragam (anova) rerata bobot 1000 butir (gram) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam SK
Ulangan Perlakuan U J UxJ Galad Total
Db 2 11 2 3 6 22 35
F HITUNG 4,66 7290,22 39643,12 243,59 29,24
* ** ** ** **
F TABEL 5%
1%
3,44 2,26 3,44 3,05 2,55
5,72 3,18 5,72 4,28 3,76
Keterangan: ** : berbeda sangat nyata; * : berbeda nyata; ns : berbeda tidak nyata
25
Pengaruh Umur & Jumlah Bibit per Titik Tanam …
Tumini
Tabel 17 Rerata bobot 1000 butir (gram) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam
Kombinasi U1 J1 U1 J2 U1 J3 U1 J4 U2 J1 U2 J2 U2 J3 U2 J4 U3 J1 U3 J2 U3 J3 U3 J4
Rerata bobot 1000 butir (gram) 28,33 k 28,17 j 28,08 i 28,03 h 27,70 g 27,50 f 27,42 e 27,13 d 25,20 c 25,08 b 25,07 b 25,02 a
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada uji DMRT 5% Tabel 18 Sidik ragam (anova) rerata hasil gabah per Ha (ton) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam SK
Ulangan Perlakuan U J UxJ Galad Total
Db 2 11 2 3 6 22 35
F HITUNG 2,42 130,68 31,03 327,53 65,47
ns ** ** ** **
F TABEL 5%
1%
3,44 2,26 3,44 3,05 2,55
5,72 3,18 5,72 4,28 3,76
Keterangan: ** : berbeda sangat nyata; * : berbeda nyata; ns : berbeda tidak nyata Tabel 19 Rerata hasil gabah per Ha (ton) akibat pengaruh perlakuan umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam
Kombinasi
Rerata hasil gabah per Ha (ton) 10.03 a 10,23 d 10,09 b 10,02 a 10,03 a 10,44 e 10,03 a 10,02 a 10,09 b 10,13 c 10,05 a 10,01 a
U1 J1 U1 J2 U1 J3 U1 J4 U2 J1 U2 J2 U2 J3 U2 J4 U3 J1 U3 J2 U3 J3 U3 J4
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada uji DMRT 5%
26
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X Berkelaar,D. 2001. The System of Rice Intensificasion – SRI. ECHO Development Notes, January 2001, Issue 70, page 1-6.
Menurut Kasijadi (2010), produksi padi sistem SRI dipengaruhi oleh umur bibit dan jumlah bibit per titik tanam. Dimana umur bibit optimum adalah 10-15 HSS dengan jumlah bibit 1-3 batang per titik tanam. Selain itu hasil gabah juga dipengaruhi oleh umur panen (ditandai dengan 95% butir padi pada setiap malai telah menguning), saat perontokan (dirontokan pada hari yang sama saat panen), alat perontok, pemupukan yang berimbang, penggunaan bahan organik dan pengendalian hama penyakit.
BPS. 2008. Food Crops Statistik 04-08. BadanPusatStatistik Indonesia.http://www.bps.com. [ 3 Mei 2008]. De Datta, S. K. 1968. The Environment of Rice Production in Tropical Asia. IRRI. Field Experiment Workshop.11:1. --------------------. 1981. Principle and Practicesof Rice Production. IRRI, Los Banos. Philippines. 618 p. Departemen Pertanian, 2008. PengelolaanTanamanTerpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. 40 hal.
PENUTUP Simpulan 1. Perlakuan U3 (umur bibit 20 hari) memberikan hasil terbaik untuk rerata tinggi tanaman. Sedangkan pada U2 (umur bibit 15 hari) memberikan hasil terbaik untuk, Jumlah daun, Jumlah anakan, dan Jumlah anakan produktif. Pada perlakuan U1 (umur bibit 10 hari) memberikan hasil terbaik pada rerata panjang malai, jumlah gabah per malai dan bobot seribu butir. 2. Perlakuan J2 (jumlah bibit 2 batang per titik tanam) memberikan hasil terbaik untuk rerata jumlah anakan produktif sebesar 21,51 batang 3. Perlakuan interaksi U2J2 (umur bibit 15 hari dan jumlah bibit 2 batang per titik tanam) berbeda sangat nyata pada rerata jumlah daun (umur 20 HST 61,50 helai; 27 HST 74,78 helai; 34 HST 114,18 helai; 41 HST 121,75 helai dan 48 HST 124,75 helai), rerata jumlah anakan (umur 20 HST 17,97 batang; 27 HST 24 batang; 34 HST 28,33 batang; 41 HST 30,23 batang dan 48 HST 31,35 batang), rerata hasil ubinan basah (1,8.7 kg), rerata hasil ubinan kering (1,44 kg) dan rerata hasil gabah per Ha (10,44 ton/Ha).
Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice Nutrient Disorders & Nutrient Management. Tham Sin Chee. 191p. Hui, M. G. and M. Jun. 2003. Evaluation of SRI used together with its hybrid varieties. Proceeding of China National S. R.I Workshop. Hangzhou, March 2-3, 2003. Ihsan Nurman (THL TBPP PROVINSI BANTEN). 2009. Mengenal Fase Pertumbuhan Padi. Diunduh pada http://ceritanurmanadi.wordpress.co,/.../mengenalfase-pert-padi/2009. Kasijadi F, Suwono, Arifin Z, Purnomo S. 2010. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi. Kementerian Pertanian, Badan Penelitian dan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. ISBN : 978-979-3450-29-2. Prasetiyo, Y.T. 2005. BudidayaPadiSawah TOT ( TanpaOlah Tanah). Kanisius.Yogyakarta.59 hal. Pujiharti Y, Barus J, Wijayanto B. 2008. Teknologi Budidaya Padi. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. ISBN : 978979-1415-22-4
Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan budidaya padi dengan sitem tenam benih langsung. 2. Perlu penelitian lanjutan membandingkan antara budidaya tanaman padi dengan jumlah bibit lebih dari 5 per titik tanam dengan perlakuan dari varietas ciherang dan non ciherang
Sari N A. 2009. Pertumbuhan dan Produksi Padi yang Ditanam Dengan Metode System of Rice Intensification (SRI)) di desa Limo, Depok, Jawa Barat. Skripsi, Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 51 halaman.
DAFTAR PUSTAKA
Siregar, H. 1981. BudidayaTanamanPadi di Indonesia. SastraHudaya. Bogor. 318 hal.
Adiratma, E.R. 2004. Stop TanamPadi, MemikirkanKondisiPetani Indonesia dan Upaya Meningkatkan Kesejahteraannya. Penebar Swadaya. Jakarta. 116 hal.
Soemartono, Bahrin, Hardjono, dan Iskandar, 1984. Bercocok Tanam Padi. CV. Yasaguna Jakarta.
27
Pengaruh Umur & Jumlah Bibit per Titik Tanam …
Tumini
Thangaraj, M., and J.C. O’Toole. 1985. Root behavior, field and laboratory studies for rice and nonrice crops. In Soil Physics and Rice. International Rice Research Institute, Los Banos, Laguna. Philippines. Taslim, Haerudindan A.M. Fagi. 1985. RagamBudidayaPadi. In: M. Ismunadji, S. Partohardjono, M. Syam, A.Widjono (Eds. ). Padi I. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Bogor. Utomo, M danNazaruddin. 2007. Bertanam Padi Sawah Tanpa Olah Tanah. Penebar Swadaya. Jakarta. 48 hal. Vergara, B.S. 1975. Tumbuh dan perkembangan tanaman padi, 1-32 hal.Dalam H. Suseno (Ed). S. Harran dan S. Sudiatso (Penerjemah). Fisiologi Tanaman Padi (Bahandari IRRI). FakultasPertanian, IPB. Bogor. 51 hal. Hermawati, T. 2009. Keragaman Padi Varietas Indragiri Pada Perbedaan Umur Bibit Dengan Metode SRI (System Of Rice Intensification). Percikan: Vol. 99 Edisi April 2009 Wangiyana W, Laiwan Z, Sanisah. 2009. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi Varietas Ciherang dengan Teknik Budidaya “SRI (System of Rice Intensification)” pada berbagai Umur dan Jumlah Bibit per Lubang Tanam. Crop Agro, Vol.2 No 1Januari 2009
28
ISSN 2355-195X
PENGARUH ZPT GA3 DAN ROOTONE-F TERHADAP PERTUMBUHAN STEK SATU MATA PADA PEMBIBITAN TANAMAN ANGGUR (VITIS VINIFERA) VARIETAS RED PRINCE Mochamad Su’ud1, Dyan Kresna Dharma2 1
Staf Pengajar, 2 Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Panca Marga
[email protected] (diterima: 13.01.2014, direvisi: 25.01.2014)
Abstrak Tanaman anggur (Vitis vinifera) varietas Red Prince di Indonesia dari tahun ketahun semakian luas perkembangannya, sehingga menuntut kebutuhan bibit dalam jumlah yang banyak pula. Namun sampai saat ini pemenuhan bibit tersebut masih mengalami hambatan, karena keterbatasan pohon induk yang ada. Hal ini menuntut adanya upaya alternatif untuk memenuhi kebutuhan permintaan bibit yang terus meningkat tersebut, dan salah satunya adalah dengan pembuatan bibit dengan menggunakan stek satu mata. Hanya saja penggunaan stek satu mata mempunyai beberapa kelemahan, yaitu resiko kematian karena terbatasnya cadangan makanan (fotosintat) yang tersimpan dalam satu mata stek dibanding dengan stek normal (2-3 mata). Untuk itu diperlukan adaya upaya penambahan unsur hara tertentu agar didapatkan pertumbuhan bibit yang normal, yaitu dengan memberikan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) yang dapat merangsang pertumbuhan akar maupun tunas. Tujuan penelitian untuk mengetahui dosis Rootone-F dan GA3 sebagai perangsang akar dan tunas, serta untuk menunjang program pengembangan anggur varietas Red Prince di Probolinggo. Penelitian dilakuakan pada bulan Januari-Februari 2010 di desa Banjar Sari, Kecamatan Sumber Asih, Kabupaten Probolinggo pada ketinggian ± 5m di atas permukaan laut. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancanagan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah perlakuan dosis Rootone-F meliputi 3 taraf R0= tanpa Rootone-F, R1= 100 ppm, R2= 200 ppm. Faktor kedua adalah perlakuan GA3 meliputi 3 taraf G0= tanpa GA3, G1= 50 ppm, G2= 100 ppm. Dari hasil penggabunag 2 faktor tersebut terdapat 9 kombinasi perlakuan yang dapat di sajikan sebagai berikut : R0G0, R0G1, R0G2, R1G0, R1G1, R1G2, R2G2, R2G1, R2G2. Dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antara perlakuan pemberian dosis Rootone-F dan GA3 yang berpengaruh terhadap semua parameter yang diamati. Akan tetapi perlakuan pemberian dosis Rootone-F dengan konsentrasi 200 ppm menunjukkan hasil berbeda nyata untuk memacu pertumbuhan akar stek satu mata dalam pembibitan tanaman anggur varietas Red Prince untuk semua parameter, terutama pada jumlah persentase bibit hidup perlakuan R2 200 ppm berbeda sangat nyata dengan nilai 67,59%. Perlakuan pemberian dosis GA3 dengan konsentrasi 50 ppm menunjukkan hasil berbeda nyata untuk semua parameter. Hasil tertinggi pada jumlah persentase bibit hidup tertinggi dari perlakuan G1 50 ppm yaitu 62,04%. Kata Kunci: pembibitan anggur, ZPT, stek.
Selain Jawa Timur sebagai sentra utamanya, daerah lain yang banyak ditanami anggur yaitu Bali, Sulawesi, dan kemudian diuji coba didaerah bertanah gambut di Sumatera. Sekarang, anggur boleh dikatakan sudah menyebar ke berbagai penjuru Nusantara (Setiadi, 2002). Para petani di Jawa Timur telah lama mengusahakan tanaman anggur dengan pusat sentra produksi di Probolinggo, Situbondo dan Kediri. Secara terpadu program pengembangan tanaman anggur di pusat sentra produksi ini dilaksanakan melalui pendekatan sistem agribisnis dan memposisikan petani sebagai pelaku usaha dengan harapan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani hortikultura khususnya petani anggur.
PENDAHULUAN Tanaman anggur termasuk tanaman tahunan berbentuk perdu, batang menjalar dan memanjat, serta dapat diperbanyak secara generatif (dengan biji) maupun secara vegetatif (dengan okulasi, cangkokan, sambung dan stek), akan tetapi perbanyakan secara vegetatif lebih banyak dipakai karena tanaman lebih cepat berproduksi serta sifat genetic tanaman tetap sama dengan tetuanya (Martulis, 2000). Indonesia mengenal tanaman anggur sekitar abad ke19, dan dalam perjalanannya perluasan penanaman anggur mulai nampak menggembirakan sejak memasuki dekade 1980-an. 29
Pengaruh ZPT GA3 & Rootone-F terhadap Pertumbuhan .. Pengembangan penanaman anggur di kota Probolinggo terutama diarahkan pada lahan-lahan pekarangan yang belum termanfaatkan secara optimal dan jenis anggur yang di budidayakan adalah jenis Red Prince (Prabu Bestari) dan Cardinal (Probolinggo Super) serta sebagian kecil jenis Probolinggo Biru (Krismawati, 2008). Namun dari sekian varietas anggur, varietas Red Prince dan Cardinal yang banyak dikembangkan oleh para petani anggur di kota Probolinggo yaitu mencapai 60-70 % karena harga buah anggurnya cukup tinggi, dengan musim panen terbesar terjadi mulai bulan Juli dan mencapai puncaknya di bulan November, sedangkan panen terendah yaitu bulan Januari sampai April hal ini karena terjadinya musim penghujan dan di bulan-bulan tersebut biasanya diikuti oleh adanya serangan penyakit Downy mildew (Krismawati, 2008). Pengembangan tanaman anggur varietas Red Prince di Indonesia dari tahun ketahun semakian luas, sehingga menuntut kebutuhan bibit dalam jumlah yang banyak pula. Sampai saat ini pemenuhan bibit tersebut masih mengalami hambatan, karena keterbatasan pohon induk yang ada. Hal ini menuntut adanya upaya alternatif untuk memenuhi kebutuhan permintaan bibit yang terus meningkat tersebut, dan salah satu alternatif pembibitan yang dapat ditempuh adalah dengan pembuatan bibit dengan menggunakan stek satu mata. Hanya saja penggunaan stek satu mata mempunyai beberapa kelemahan, yaitu resiko kematian karena terbatasnya cadangan makanan (fotosintat) yang tersimpan dalam satu mata stek dibanding dengan stek normal (2-3 mata). Untuk itu diperlukan adaya upaya penambahan unsur hara tertentu agar didapatkan pertumbuhan bibit yang normal, yaitu dengan memberikan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) yang dapat merangsang pertumbuhan akar maupun tunas. Dengan optimalisasi pertumbuhan akar dan tunas akan dapat membantu terbentuknya fotosintat sehingga laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman berjalan normal.
Su’ud, M. & Dharma, D. Bahan stek yang baik adalah cabang yang bentuknya bulat, berdiameter sekitar 1 cm, kulit berwarna coklat merah dan cerah. Disamping itu mata tunas telah padat. Waktu yang paling tepat untuk melakukan pembibitan anggur dengan stek satu mata adalah bulan Agustus-Oktober. Karena suhu dan kelembaban pada bulan tersebut menunjang pertumbuhan bibit (Rebin, 2007 ). Dari hasil percobaan yang telah dilakukan oleh Santoso dan Soegito (2002) terbukti untuk memecahkan dormansi mata tunas pada stek anggur di gunakan ZPT GA3 yang terbukti cukup respon pada stek anggur sedangkan untuk merangsang pertumbuhan akar anggur digunakan ZPT Rootone-F. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) Pemacu Pertumbuhan Akar Zat pengatur tumbuh yang dapat memacu pertumbuhan akar adalah Auksin. Auksin membantu dalam perakaran, mengontrol pembesaran sel akar dengan pelepasan dinding sel sehingga menambah perluasan dinding sel. Heddy (1996) mengemukakan bahwa setiap varietas anggur mempunyai respon yang berbeda terhadap ZPT yang diberikan. Auksin adalah Asam Indole Asetat (AIA) atau C10, H9, O2 N. Sedangkan IAA merupakan suatu group dari senyawa-senyawa lain, yaitu: 1. IBA, terbukti aktif dan digunakan sebagai hormon perakaran 2. NAA, digunakan sebagai hormon perakaran dalam budidaya Holtikultura. 3. 2,4-D adalah auksin yang kuat dan digunakan sebagai herbisida Menurut Krisnamorthi (1984) dalam Santoso, dan Soegito, (2002) mengatakan bahwa penggunan RootoneF yang berisi beberapa macam bahan aktif lebih efektif dibanding dengan menggunakan bahan aktif tunggal. Bahan aktif yang terkandung dalam Rootone-F adalah : 1-Naptalesetamide (NAD) 0,067% 2-Methyl-1Napthalesetamide (MNAD) 0,0113%, 2-Methil-1Napthalene Acetic Acid (MNAA) 0,33% Indole3Butyric Acid (IBA) 0,057% dan Thiram (Tentramethythiriuram Disulfide) 0,4%. Empat dari bahan aktif pertama yang terasosiasi dengan Auksin Sintetik, dan Thiram berfungsi sebagai Fungisida. Hasil penelitian yang dilakukana oleh Santoso dan Soegito (2002) mengatakan bahwa pada konsentrasi Rootone-F 200 ppm dan lama perendaman 12 jam relatif memberikan pengaruh yang lebih baik untuk pertumbuhan stek satu mata anggur varietas Isabella (Vitis labrusca).
Stek Tanaman Anggur Stek sebenarnya berasal dari bahasa Belanda yaitu Stuk yang artinya Potongan. Dengan demikian istilah stek dalam perbanyakan tanaman dapat diartikan menumbuhkan bagian atau potongan tanaman, sehingga tumbuh tanaman baru. Tanaman anggur dapat diperbanyak secara generatif (dengan biji) maupun vegetatif (stek, okulasi, penyambungan dan cangkokan). Stek cabang adalah cara yang bagus dalam perbanyakan tanaman anggur (Rukmana, 2005). Berdasarkan pengalaman dilapang keberhasilan tanaman anggur dengan cara stek 3-4 mata dapat mencapai 60-80%. Untuk efisiensi bahan stek, maka panjang stek dapat dikurangi hingga tinggal satu mata. Kelebihan perbanyakan dengan stek satu mata adalah bisa menghasilkan bibit yang lebih banyak dari satu cabang yang tersedia, sehingga dalam waktu singkat akan diperoleh bibit yang berjumlah banyak.
Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) Pemacu Pertumbuhan Tunas Zat pengatur tumbuh untuk memacu tumbuhnya tunas adalah Gibberelin (GA3). Gibberelin digunakan pada tahun 1957 dalam bidang Hortikultura. Gibberellin berfungsi untuk merangsang pembelahan sel atau perpanjangan sel.
30
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Gibberelin (GA3) juga digunakan untuk meningkatkan hasil, mematahkan dormansi biji, memperbesar buah, menunda pemasakan buah di samping itu juga meningkatkan kualitas buah (Heddy, 1996). Selanjutnya Heddy (1996) menjelaskan bahwa GA3 dapat merangsang pertumbuhan batang pada strain pendek kacang kapri dan sebagian strain pendek jagung. GA juga meningkatkan besar daun beberapa jenis tumbuhan. Demikian juga besar bunga dan buah dapat ditingkatkan. GA juga dapat mendorong pembentukan buah partenokarp. Gibberelin dapat pula menggantikan perlakuan suhu rendah (2°-4°C) pada tanaman yang membutuhkan perlakuan tersebut bagi pembungaan. Gibberellin dapat pula memecahkan dormansi biji dan tunas pada sejumlah tanaman. Respon tanaman terhadap Gibberelin meliputi peningkatan pembelahan sel dan pembesaran sel. Tetapi, berbeda dengan auksin, Gibberelin lebih efektif pada tanaman utuh, sedang kebanyakan pengaruh auksin terlihat pada organ-organ yang dipotong. Gibberelin mempengaruhi panjang batang. Pada batang muda hormon asam meningkatkan panjang ruas tanpa mempengaruhi jumlah ruas. Penemuan ini sangat penting. Sebagai contoh, dengan memakai asam Gibberelin pada kacang kerdil, tanaman itu akan dapat tumbuh menjadi sebesar kacang normal. Juga varietas jagung yang kerdil akan tumbuh normal jika sedikit asam gibberellat ditaruh di daun. Banyak tanaman (dua tahun) dapat dirangsang untuk mempunyai siklus hidup setahun (annual) dengan menggunakan gibberellat. Jika asam Gibberelin diberikan pada kool, kool yang biasanya pendek bulat dengan daun-daun yang dapat dirangsang untuk tumbuh menjulur. Efek nyata Gibberelin dalam mendorong pertumbuhan adalah sebagai akibat meningkatkan kecepatan pembelahan sel (cell division). Bagaimana gibbeerelin mempercepat pembelahan sel belum diketahui pasti. Tidak seperti auksin, Gibberelin mempengarui seluruh batang, jadi tidak hanya daerah diujung apical. Penemuan Gibberelin ini menunjukkan bahwa kontrol sel tumbuhan adalah sangat kompleks dari persangkaan semula ketika hanya mineral-mineral. Herada dan Vergana (1972) dalam Low (1975) melaporkan bahwa aplikasi GA3 dapat meningkatkan tinggi tanaman, panjang internode, lebar dan pelepah dari padi. Dengan demikian GA3 tidak saja diperlukan untuk pertumbuhan cabang tetapi juga untuk pertumbuhan daun. Robin (1957) dalam Low (1975) melaporkan bahwa aplikasi GA3 pada tanaman Hedera dewasa dapat menumbuhkan daun muda . Hal ini memberikan petunjuk bahwa GA3 dapat memecahkan dormansi mata tunas termasuk pada stek anggur. Adam, et al (1970) dalam Soegito dan Rebin (1986) melaporkan bahwa GA3 (Potasium Salt of GA) berfungsi memperbesar dan memperpanjang sel, terutama pada selsel yang sedang mengalami pertumbuhan. Ditambahkan oleh Feucth Watson (1958) dalam Shinimger (1975) bahwa Gibberelin berperan dalam pembelahan dan pemanjangan sel pada kacang tanah.
Heddy (1996) menerangkan Jacson (1968) dalam Moore dan Ecklund (1975) melaporkan bahwa terdapat korelasi langsung antara laju perkembangan buah level indegenus Gibberellin pada aprikot, buah persik , anggur dan jeruk. Konsentrasi indegenus GA3 meningkat seiring dengan peningkatan perkembangan buah dan mencapai level maksimum ketika perkembangan buah berhenti dan kemudian menurun. Hal ini memberikan harapan bahwa pembelahan dan pemanjangan sel pada mata tunas anggur dapat dipengaruhi secara langsung dengan pemberian Gibberelin dari luar. Hingga saat ini belum ada literatur tentang dosis yang tepat yang dapat memecahkan dormansi mata tunas pada stek anggur, oleh karena itu dosis perlu di cari melalui penelitian.
METODOLOGI Tempat penelitian dilakukan di Desa Banjar Sari, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo pada ketinggian ± 5 meter dari permukaan laut.. Bahan yang digunakan adalah Stek anggur varietas Red Prince, ZPT GA3 dan Rootone-F, Polibag 15x20, Lilin/parafin, Pasir, Furadan, Benomil, Pupuk NPK, Alkohol 70% serta Aquades 1liter. Alat yang digunakan adalah Gunting pangkas, Ayakan pupuk kandang, Pot plastik, Gembor plastik, Sprayer tangan, Penggaris, Kayu dengan diameter 5 cm, Bambu, Paranet 50%, gelas Erlenmeyer, Tali rafia, Kertas nama polos dan Spidol permanen, Plastik PE. Metode Analisis Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan perlakuan terdiri dari dua (2) faktor dengan 3 kali ulangan, yaitu: Faktor 1 adalah dosis Rootone- F meliputi 3 taraf yaitu: R0 = 0 ppm R1 = 100 ppm R2 = 200 ppm Faktor 2 adalah dosis GA3 meliputi 3 taraf yaitu: G0 = 0 ppm G1 = 50 ppm G2 = 100 ppm Dengan demikian setiap ulangan terdapat 9 kombinasi perlakuan: R0G0 R0G1 R0G2 R1G0 R1G1 R1G2 R2G0 R2G1 R2G2 Jarak antar ulangan ± 40 cm dan jarak antar perlakuan 10 cm. Setiap perlakuan terdiri dari 12 stek. Setiap perlakuan (12 stek) ditanam dalam 9 pot berdiameter 30 cm. Model matematis yang digunakan untuk Rancangan Acak Kelompok Faktorial menurut Supadi (2000) adalah sebagai berikut: Yij Yij
31
= µ + αk + xi +βj ( xβ) ij + Є ijk
= respon tanaman yang diamati
Pengaruh ZPT GA3 & Rootone-F terhadap Pertumbuhan .. µ αk αi βj ( αβ )ij Єijk
= = = = =
nilai tengah umum pengaruh kelompok pengaruh taraf ke-i dari faktor A Pengaruh interaksi taraf ke-j dari faktor B Pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B = pengaruh sisa (galat percobaan) taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B pada ulngan yang ke-k
Su’ud, M. & Dharma, D. Selanjutnya Rootone-F di-pasta-kan dengan cara menambahkan air 10 cc. Kemudian Rootone-F pasta ini diaduk dalam panci plastik yang berisi 1 liter aquades maka akan diperoleh larutan 200 ppm. Untuk mendapatkan larutan dengan konsentrasi yang lebih rendah maka dilakukan pengenceran. Penanaman bibit stek disemai pada media pasir, yang terlebih dahulu dibuat lubang kecil sedalam 2-3 cm pada media, dengan menggunakan tugal, dengan jarak lubang sekitar 3x3 cm. Selanjutnya pangkal stek dimasukkan kedalam lubang dengan mata tunas tampak diatas media. Bagian media sekitar stek ditekan perlahan-lahan agar posisi stek tidak goyah, selanjutnya persemaian disiram dan ditaburi furadan sampai rata atau secukupnya untuk menghindari serangan rayap. Stek yang sudah disemaikan selanjutnya disimpan ditempat yang teduh yang telah disiapkan sebelumnya dengan kelembaban 75%-90% dan suhu udara 25ºC. Untuk mencapai kelembaban tersebut maka stek harus diberi kerodong plastik PE atau plastik transparan tanpa lubang dengan kerangka bambu melengkung. Pada hari ke 15, stek yang sudah berakar dan bertunas kemudian ditrasplanting kedalam media polibag ukuran 20 x 30 yang berisi tanah dan pasir 1:1, dan pada umur 2 bulan setelah transplanting bibit sudah dapat ditanam dilapang. Perawatan bibit stek meliputi penyiraman bibit 2 hari sekali sesuai dengan kelembaban media, pemupukan dengan larutan NPK 5 gr/liter dengan volume 0,25 liter/pot dilakukan seminggu sekali, pengendalian hama dan penyakit yaitu untuk mengendalikan hama rayap digunakan Furadan 3G pada saat penyemaian stek sedangkan untuk mencegah serangan cendawan pada stek dilakukan dengan mencelupkan stek pada larutan benomil 0,5 gr/ liter selama 5 detik.
Untuk memperoleh nilai ragam masing-masing sifat yang diamati, analisis dilakukan dengan menghitung sidik ragam secara terpisah. Nilai tengah pengaruh perlakuan diuji lebih lanjut dengan uji BNT taraf 5%. Pelaksananan Penelitian Penanaman bibitan dilakukan pada media pasir, yaitu pasir kali disiapkan untuk dicuci agar lumpur yang terbawa hilang. Kemudian pasir disiram dengan larutan fungisida berbahan aktif benomil dengan konsentrasi 0,5g/ liter hingga merata dengan tujuan untuk mensterilkan media pasir tersebut dari cendawan. Selanjutnya pasir di masukkan kedalam pot plastik dan diatur dibawah naungan paranet (50%) dengan kerangka kayu, yang berukuran panjang 3 m, lebar 1,5 m, dan tinggi 175 cm. Bahan bibit adalah stek cabang anggur yang dipilih dari pohon induk varietas unggul yang tumbuhnya sehat dan produktif. Cabang yang terpilih dipotong sepanjang ± 0,5-1 m, dengan warna kulit batang coklat selanjutnya dilakukan pemotongan stek sepanjang sekitar 10 cm dengan cara ujung stek dipotong miring dan pangkal stek dipotong mendatar dengan jumlah satu mata tunas setiap stek. Selanjutnya stek di masukkan ke dalam larutan fungisida benomil (0,5gr/ liter) selama 5 detik, dan ditiriska. Ujung stek yang dipotong miring kemudian dicelupkan dalam parafin yang didihkan untuk mengurangi penguapan yang berlebihan dan menahan air hujan atau air siraman agar tidak berhenti diujung stek yang menyebabkan terjadinya kebusukan. Selanjutnya masing-masing bibit stek diberi perlakuan ZPT dengan konsentrasi yang berbeda sesuai perlakuan yang telah ditentukan, yaitu pangkal stek direndam dengan larutan Rootone-F selama 12 jam dengan ketinggian larutan ± 2 cm dibawah mata tunas. Larutan GA3 di aplikasikan setelah aplikasi Rootone-F dengan cara disemprotkan secara merata membasahi mata tunas stek, kemudian stek disemaikan. Cara pembuatan larutan GA3 yaitu GA3 ditimbang (100 mg) dengan timbangan digital analitik kemudian GA3 dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian GA3 ditetesi alkohol 70% (5-10 tetes), selanjutnya diaduk dengan aqudes 1liter hingga homogen, dengan cara ini diperoleh larutan GA3 100 ppm dengan volume 1liter. Untuk memperoleh konsentrasi yang lebih rendah larutan diencerkan hingga diperoleh konsentrasi 50 ppm. Cara pembuatan larutan Rootone-F yaitu Rootone-F ditimbang dengan timbangan analitik sebanyak 200 mg, kemudian di masukkan ke dalam tabung reaksi.
Parameter pengamatan Pengamatan dilakukan pada fase stek berumur 2 minggu setelah stek disemai (saat transplanting). Adapun parameter yang diamati sebagai berikut: 1) Jumlah akar 2) Panjang akar 3) Panjang tunas 4) Jumlah persentase stek berakar 5) Jumlah persentase bibit hidup
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan dalam suatu penelitian dilakukan gunanya untuk mengetahui pengaruh dari suatu perlakuan yang dicobakan serta seberapa jauh dampak perlakuan tersebut terhadap hasil yang diharapkan. Pertumbuhan tunas yang muncul baik akar, daun maupun cabang dalam hal ini pada stek satu mata tanaman anggur merupakan pertanda bahwa stek tersebut hidup artinya pemberian perlakuan ZPT (zat pengatur tumbuh) yaitu Rootone-F dan GA3 menunjukkan adanya pengaruh yang nyata.
32
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Sebagai tolok ukur pengamatan dalam penelitian ini digunakan beberapa parameter pengamatan yang meliputi jumlah akar, panjang akar, panjang tunas, jumlah persentase stek berakar serta jumlah persentase bibit yang hidup. Sedangkan data pengamatan diambil setelah stek berumur kurang lebih 2 minggu setelah tanam atau bersamaan ketika stek tanaman ditransplanting (dipindahkan) kelapang (polybag), kecuali data pengamatan untuk parameter jumlah persentase bibit hidup dilakukan 1 minggu setelah tanaman ditransplanting (dipindahkan). Adapun data hasil pengamatannya diperlihatkan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Hasil analisis sidik ragam gabungan terhadap semua parameter pengamatan yang tertera pada Tabel 1, menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang nyata antara perlakuan faktor ZPT Rootone-F dan GA3 baik pada parameter pengamatan jumlah akar, panjang akar, panjang tunas, jumlah persentase stek berakar maupun jumlah bibit hidup.
Sedangkan untuk perlakuan tunggal ditunjukkan, yaitu faktor ZPT GA3 menunjukkan berbeda nyata pada parameter pengamatan jumlah bibit hidup. Dan untuk perlakuan faktor ZPT Rotoone-F menunjukkan berbeda nyata pada parameter pengamatan panjang tunas, jumlah persentase stek berakar serta berbeda sangat nyata pada parameter pengamatan jumlah bibit hidup. Respon yang tidak begitu nampak dari perlakuan ZPT ini diduga antara lain disebabkan oleh iklim ketika penelitian dilakuan kurang kondusif yaitu di musim penghujan (bulan Januari-Pebruari) dimana terutama kualitas dan kuantitas sinar matahari yang kurang baik sehingga respon tanaman terhadap ZPT juga kurang. Menurut Dwoidjoseputro (1986) bahwa ujung batang akan tumbuh menuju cahaya (peristiwa fototropisme), jika penyinaran ujung kurang atau sepihak maka perkembangan ujung batang terhambat atau membengkok. Iklim yang ekstrim juga akan mempengaruhi aktivitas pendistribusian zat tumbuh.
Tabel 1. Rangkuman Sidik Ragam (Anova) Pengaruh ZPT GA3 Dan ROOTONE-F terhadap Pertumbuhan Stek Satu Mata pada Pembibitan Tanaman Anggur (Vitis vinifera) Varietas Red Prince. Sidik Ragam
Perlakuan R G RxG
DB
Jumlah akar
Panjang akar
8 2 2 4
0,81ns 0,77ns 1,16ns 0,65ns
0,99ns 3,06ns 0,58ns 1,68ns
Panjang tunas
Jumlah persentase stek berakar
Jumlah persentase bibit hidup
F tabel 5%
2,11ns 4,00* 2,69ns 0,88ns
1,33ns 4,05* 1,04ns 0,11ns
4,67** 11,56** 5,67* 0,78ns
2,59 3.63 3,63 3.01
F tabel 1%
3,89 6,23 6,23 4,77
Keterangan: ** = Berbeda sangat nyata; * = Berbeda nyata; ns = Tidak berbeda nyata
Tabel 2. Rerata Pengaruh ZPT GA3 Dan ROOTONE-F terhadap Pertumbuhan Stek Satu Mata pada Pembibitan Tanaman Anggur (Vitis vinifera) Varietas Red Prince. Rerata Perlakuan
Jumlah akar
Panjang akar
Panjang tunas
Jumlah persentase stek berakar
Jumlah persentase bibit hidup
R0 R1 R2
2,67 a 3,78 b 3,67 b
2,99 a 6,06 b 6,81 b
2,52 a 3,64 b 3,84 b
11,89 a 22,33 b 24,22 b
46,29 a 59,26 b 67,59 c
BNT5% G0 G1 G2
0,212 4,24 b 2,99 a 2,89 a
2,84 6,24 b 3,12 a 4,50 a
0,76 2,70 a 3,44 b 3,86 b
7,00 22,33 a 20,33 a 15,78 a
0,212 45,74 a 62,04 b 62,04 b
BNT5%
0,212
2,84
0,76
7,00
0,212
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang tidak sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji BNT dengan taraf 5%.
33
Pengaruh ZPT GA3 & Rootone-F terhadap Pertumbuhan .. Menurut Heddy (1996) bahwa proporsi zat-zat tumbuh yang berbeda merupakan penyebab inisiasi respon tumbuh yang berbeda pada akar, batang dan organ-organ lainnya. Tabel 2 merupakan rerata hasil uji BNT pada taraf 5% yang menunjukkan bahwa pemberian ZPT Rootone-F dengan dosis 100 ppm (R1) berpengaruh terhadap jumlah akar (3,78akar/stek) dan berbeda nyata terhadap perlakuan control (R0) sebesar 2,67 akar/stek, akan tetapi berbeda tidak nyata terhadap perlakuan R2 ( 200 ppm ) sebesar 3,67 akar/stek. Ditunjukkan pula bahwa pemberian Rootone-F dengan dosis 100 ppm (R1) berpengaruh terhadap panjang akar (6,06 cm) dan berbeda nyata terhadap kontrol (2,99 cm) akan tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan 200 ppm (R2) sebesar 6,81 cm. Dari Tabel 2 terlihat pula bahwa Rootone-F dengan dosis 100 ppm mempengaruhi panjang tunas (3,64 cm) dan berbeda nyata dengan control (2,52 cm), sedangkan pada konsentrasi Rootone-F 200 ppm terbukti berbeda tidak nyata (3,84 cm). Hal ini bisa dimengerti secara fisiologi jumlah akar maupun panjang akar akan mendorong pertumbuhan vegetatif tanaman yang lain termasuk pertumbuhan tunas di banding dengan jumlah akar yang sedikit dan pendek. Tabel 2 menunjukkan juga bahwa perlakuan Rootone-F 200 ppm berpengaruh tetinggi terhadap jumlah persentase stek berakar sebesar (24,22 %) dan berbeda nyata terhadap control (11,89%), akan tetapi berbeda tidak nyata terhadap perlakuan Rootone-F 100 ppm (22,33%). Pada Tabel 2 tercantum pula bahwa Rootone-F dengan konsentasi 200 ppm memberikan pengaruh tertinggi terhadap jumlah persentase bibit hidup (67,59%) dan berbeda nyata terhadap control (46,29%) dan Rootone-F dengan konsentarsi 100 ppm (59,26%). Hal ini memberikan bukti bahwa pemberian RootoneF paling efisien untuk memacu pertumbuhan tunas dan perakaran stek tanaman Anggur varietas Red Prince terutama pada konsentrasi 100 ppm. Menurut Krisnamorthi (1984) dalam Santoso, dan Soegito, (2002) mengatakan bahwa penggunan Rootone-F yang berisi beberapa macam bahan aktif lebih efektif dibanding dengan menggunakan bahan aktif tunggal. Bahan aktif yang terkandung dalam Rootone-F adalah : 1-Naptalesetamide (NAD) 0,067% 2-Methyl-1Napthalesetamide (MNAD) 0,0113%, 2-Methil-1Napthalene Acetic Acid (MNAA) 0,33% Indole3Butyric Acid (IBA) 0,057% dan Thiram ( Tentramethythiriuram Disulfide ) 0,4%. Empat dari bahan aktif pertama yang terasosiasi dengan Auksin Sintetik, dan Thiram berfungsi sebagai Fungisida. Perlakuan pemberian hormon GA3 pada Tabel 2 ditunjukkan adanya pengaruh negatif terhadap jumlah akar, dimana pemberian GA3 mulai 50 ppm (G1) sampai dengan 100 ppm (G2) memberikan rerata masing-masing 2,99 akar/stek dan 2,89 akar/stek dan berbeda nyata terhadap control yang justru tinggi yaitu 4,24 akar/stek,
Su’ud, M. & Dharma, D. Demikian juga terhadap panjang akar, tanpa pemberian GA3 (control) mempunyai rerata panjang akar tertinggi (6,24 cm) dan berbeda nyata terhadap perlakuan dosis GA3 50 ppm (3,12 cm) dan perlakuan GA3 100 ppm (4,50 cm). Selanjutnya ditunjukkan pula pemberian GA3 (dari semua level) tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah persentase stek berakar. Terdapat kecenderungan yang sama dari pengaruh GA3 terhadap ketiga parameter pengamatan, dimana hormone ZPT GA3 bersifat mempengaruhi pembelahan sel-sel mata tunas yang mengakibatkan aktivitas pembelahan sel–sel akar menurun atau terhambat hal ini berhubungan dengan fungsi GA3 sebagai pemacu pertumbuhan sel-sel tertutup atau utuh antara lain sel-sel tunas (Heddy, 1996). Pada Tabel 2 menunjukkan juga dimana ZPT GA3 pada konsentrasi 100 ppm memberikan pengaruh tertinggi terhadap panjang tunas dengan rerata 3,86 cm dan berbeda nyata terhadap control (2,70 cm) akan tetapi tidak berbeda nyata dengan konsentrasi GA3 50 ppm (3,44 cm). Demikian pula GA3 dengan konsentrasi 100 ppm memberikan pengaruh yang sama dengan konsetasi 50 ppm terhadap jumlah persentase bibit yang hidup yaitu masing-masing sebesar 62,04% dan masing-masing berbeda nyata terhadap control (45,74%). Keadaan ini mengindikasikan bahwa ZPT GA3 dengan konsetrasi 50 ppm merupakan konsentasi yang paling efisien untuk memacu pertumbuhan tunas serta cukup efisien dalam memecahkan mata tunas anggur sehingga persentase bibit yang hidup akan besar juga. Menurut Adam, et al (1970) dalam Soegito dan Rebin (1986) melaporkan bahwa GA3 (Potasium Salt of GA) berfungsi memperbesar dan memperpanjang sel, terutama pada sel-sel yang sedang mengalami pertumbuhan. Danoesastro (1984) menyatakan bahwa stek yang diperlakukan dengan zat pengatur tumbuh (ZPT) akan berakar lebih cepat dan memiliki system perakaran yang lebih lebat dan kuat. Pemberian zat pengatur tumbuh Rootone F akan mempercepat proses fisiologis pada stek, sehingga memungkinkan tersedianya bahan pembentuk akar. Sejalan dengan pendapat Noggle dan George (1979) bahwa senyawa auxin mampu mendorong inisiasi reaksireaksi biokimia dan perubahan-perubahan komposisi kimia dalam tanaman, sehingga auxin mampu meningkatkan tekanan osmotic, permeabilitas sel terhadap air, menyebabkan pengurangan tekanan pada dinding sel, miningkatkan sintesa protein, plastisitas dan pengembangan dinding sel. Munculnya mata tunas dan pada pertumbuhan berikutnya sangat penting terhadap proses inisiasi akar, karena mata tunas akan menghasilkan zat pengatur tumbuh auksin yang kemudian ditransfer ke dasar potongan stek untuk keperluan diferensiasi perakaran. Selanjutnya translokasi karbohidrat dari daun akan menyokong dalam pembentukan perakaran. Dengan demikian persentase stek yang hidup akan dipengaruhi oleh keseimbangan antara pertumbuhan akar dan pertumbuhan tunas.
34
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Dipertegas oleh Danoesastro (1984) bahwa terbentuknya tunas stek baru bukan merupakan isyarat stek akan tumbuh baik, akan tetapi pembentukan akar yang kokoh dan kuat serta banyak, yang akan menjamin berlangsungnya hidup stek. Semakin cepat dan banyak terbentuknya akar, makin besar kemungkinan dapat diperoleh bibit yang besar dan kuat.
Rebin, 2007. Budidaya Probolinggo. Hal 4-9.
Tanaman
Anggur.
UPM
Rukmana R., 2005. Budi Daya dan Pasca Panen Anggur. Kanisius. Yogyakarta. Hal 33-40. Soegito dan Rebin, 1986. Pengaruh Kadar Dan Waktu Pemberian GA3 Terhadap Buah Anggur. Pemberitaan Penelitian Sukarami Press Ltd:710 P. Santoso dan Soegito, 2002. Pengaruh Rootone-F dan Lama Perendaman Terhadap Pertumbuhan Stek Satu mata Pada anggur Varietas Isabella. Balai Penelitian Tanaman Buah Solok. P 155-162.
PENUTUP Simpulan Berdasarkan uraian hasil dan pembasan dapat disimpulkan bahwa: 1. Aktivitas zat pengatur tumbuh terutama dalam hal ini Rotoone-F dan GA3 ternyata dipengaruhi oleh keadaan cuaca dan iklim terutama sinar matahari. 2. Rootone-F dengan konsentrasi 100 ppm paling efisien dalam memacu pertumbuhan akar stek satu mata dalam pembibitan anggur varietas red prince. 3. GA3 dengan konsentrasi 50 ppm merupakan konsentrasi paling efisien untuk memacu pertunasan.
Setiadi, 2002. Bertanam Anggur. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 11. Supadi A.S., 2000. Rancangan Percobaaan Praktis Bidang Pertaninan. Kanisius. Yogyakarta. Yuniastuti, Rebin dan Colid Ridho, 1996, Pengaruh Konservasi GA3 Secara Pencelupan terhadap Mutu Buah Anggur BS-60. Majalah Ilmiah Pembangunan. UPN Veteran Jatim. Vol lV Hal : 79-83. Yuniastuti, 1990. Pengaruh Macam dan Bagian Cabang terhadap Pertumbuhan Stek Pada Anggur Bali. Buletin Penelitian. Vol lV, No 1, Hal 24.
Saran Disarankan kepada peneliti berikutnya untuk mendapatkan hasil yang optimal stek satu mata tunas tanaman anggur dari perlakuan ZPT Rotoone-F dan GA3 maka : 1. Perlu dipertimbangkan adanya pengaruh kondisi cuaca dan iklim yang optimal pula. 2. Perlu dilakukan penelitian ulang di musim kemarau yaitu pada sekitar bulan Agustus-Oktober.
Yuniastuti, Baswarsiati, Soegito, 1990. Pengaruh Konsentrasi Auksin dan Jumlah mata Terhadap Pertumbuhan Stek Anggur Varietas Bali. Buletin Holtikultura. Hal 17-22.
DAFTAR PUSTAKA Danoesastro, H., 1984. Zat Pengatur Tumbuh Dalam Pertanian. Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. 115 hal. Heddy S.,1996. Hormon Tumbuhan. CV Rajawali Jakarta. 97 hal. Krismawati A., 2008. Sinar Tani. Tahun XXXVIII, Hal 23, 27-2-2008. Low, V.H.K, 1975. Race Of Gibberillin In Root and Shoot Grow In Gibberillin and Plant Grow (ed. by H.N. Krishnamorty). New Delhi. Wiley eastern. P 101-114. Moore, T.C. and P.R. Eklud., 1975. Role Of Gibberillin in the development Of Fruits and Seed in Gibberillin and Plant Growt. Wiley Estern Limited. P 145-182. Martulis A., 2000. Budidaya Tanaman Anggur. Usaha Nasional. Surabaya. Hal 103. Noggle, G.R. and J.F. George, 1979. Introductory Plant Physiology. New Delhi. 415 p.
35
Pengaruh ZPT GA3 & Rootone-F terhadap Pertumbuhan ..
[ halaman dikosongkan ]
36
Su’ud, M. & Dharma, D.
ISSN 2355-195X
PENGARUH PENYIANGAN DAN MULSA TERHADAP PRODUKSI KACANG TANAH (ARACHIS HYPOGAEA L.) Agus Edi Setiyono1 1
Staf Pengajar, Universitas Panca Marga
[email protected]
(diterima: 13.01.2014, direvisi: 25.01.2014)
Abstrak Produksi tanaman kacang tanah yang menguntungkan memerlukan teknologi untuk menekan pertumbuhan gulma, menekan biaya produksi serendah mungkin, dengan tidak mengabaikan teknologi budidaya kacang tanah. Salah satu cara untuk mengurangi dan menekan pertumbuhan gulma adalah dengan melakukan penyiangan dan menggunakan mulsa pada tanah yang ditanami sehingga diharapkan dapat memaksimalkan pertumbuhan dan meningkatkan produksi tanaman kacang tanah yang diusahakan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan menguji pengaruh penyiangan dan mulsa terhadap produksi tanaman kacang tanah. Penelitian dilaksanakan di desa Tegal Pasir, Kecamatan Tamanan, Kabupaten Bondowoso, pada ketinggian ± 324 meter di atas permukaan laut dengan jenis tanah regosol. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial dengan 3 kali ulangan. Adapun perlakuan terdiri dari dua ( 2 ) faktor yaitu Faktor 1 adalah penyiangan yang terdiri dari 3 (tiga) level yaitu : P1=tanpa penyiangan, P2=penyiangan 1 kali saat 30 hst, P3=penyiangan 2 kali saat 30 hst dan 60 hst. Sedangkan Faktor 2 adalah penggunaan mulsa yang terdiri dari 3 (tiga) level, yaitu: M1=tanpa mulsa, M2=mulsa jerami padi (5 kg/petak percobaan), M3= mulsa plastik hitam perak. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa: Faktor tunggal penyiangan 2 kali (P3) pada umur 30 dan 60 hari setelah tanam (hst) memberikan rerata tertinggi terhadap tinggi tanaman umur 20 hst, 40 hst, 60 hst dan 90 hst, maupun terhadap jumlah polong, bobot polong basah, bobot polong kering, bobot biji basah, dan bobot biji kering. Faktor tunggal penggunaan mulsa jerami padi (M2) memberikan rerata tertinggi terhadap produksi tanaman kacang tanah. Terdapat interaksi antara penyiangan 2 kali (P3) dan penggunaan mulsa jerami padi (M2) / kombinasi P3M2 terhadap produksi kacang tanah, dimana perlakuan P3M2 memberikan rerata tertinggi pada parameter jumlah polong, bobot polong basah, bobot polong kering, bobot biji basah, dan bobot biji kering. Dan menghasilkan produksi tertinggi yaitu berat biji kering 1,98 ton/ha dengan keuntungan bersih Rp. 16.140.000,Kata Kunci: penyiangan, mulsa, kacang tanah, rancangan acak kelompok.
meningkatkan produksi dalam negeri. Upaya peningkatan produksi tersebut masih dihadapkan kepada beberapa macam kendala. Kendala tersebut antara lain adalah masih adanya kelemahan pada teknik budidaya, kelemahan penanganan gulma dan serangan hama penyakit yang belum dikendalikan secara optimal (Adisarwanto, 2005). Salah satu komoditi yang masih rendah produktivitasnya ditingkat petani adalah kacang tanah Produksi komoditi kacang tanah per hektarnya belum mencapai hasil yang maksimum yaitu 1,5-2 ton/ha. Faktor yang dapat berperan dalam keberhasilan budidaya kacang tanah adalah tahap budidaya yang meliputi cara tanam, pemupukan, waktu tanam, cara pengendalian hama dan penyakit, pengairan, dan pengendalian gulma Tumbuhan yang bukan dibudidayakan seperti gulma dapat menyaingi tanaman budidaya dalam hal mendapatkan sinar matahari, ruang gerak dan unsur hara, yang pada tahap selanjutnya akan
PENDAHULUAN Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) dibutuhkan sebagai salah satu produk pertanian tanaman pangan selama setahun masih perlu ditingkatkan sejalan dengan kenaikan pendapatan dan jumlah penduduk. Terjadinya peningkatan permintaan dicerminkan dari adanya kecenderungan meningkatnya kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi langsung dan untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku industri hilir, antara lain untuk industri kacang kering, industri produk olahan lain yang siap dikonsumsi baik dalam bentuk asal olahan kacang maupun dalam campuran makanan. Unsur strategis yang unik dari mata dagang kacang tanah dapat diikuti dari semakin meningkatnya impor, dengan demikian memberikan kesempatan bagi Indonesia meningkatkan produksi untuk memperkecil pembelanjaan devisa. Kondisi tetap tingginya harga kacang tanah, memberikan rangsangan bagi upaya-upaya untuk 37
Pengaruh Penyiangan & Mulsa terhadap Produksi …
Setiyono, A.E.
mengurangi produksi tanaman yang dibudidayakan terutama kacang tanah. Untuk meningkatkan hasil kacang tanah perlu adanya teknologi yang dapat menekan pertumbuhan gulma dengan berbagai cara dan penerapannya, Salah satu cara untuk mengurangi dan menekan pertumbuhan gulma adalah dengan melakukan penyiangan dan menggunakan mulsa pada tanaman kacang tanah. Berdasarkan permasalahan diatas, terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi peningkatan pertumbuhan dan hasil kacang tanah, yaitu penyiangan dan keberadaan mulsa di areal budidaya tanaman kacang tanah.
Jumlah dan distribusi curah hujan sangat berpengaruh terhadap produksi kacang tanah. Hujan yang cukup pada saat tanam sangat dibutuhkan agar tanaman dapat berkecambah dengan baik. Distribusi curah hujan yang merata selama periode tumbuh akan menjamin keberhasilan pertumbuhan vegetatif (Fachruddin, 2000). Syarat tumbuh optimal tanaman kacang tanah dapat dilihat dan disajikan pada Tabel 1. Morfologi Kacang Tanah Menurut Adisarwanto (2005), morfologi tanaman kacang tanah terdiri dari daun, bunga, buah, biji, akar. a) Daun Tanaman kacang tanah memiliki daun majemuk bersirip ganda. Tangkai daun agak panjang, tiap tangkai terdiri atas 4 anak daun. b) Bunga Tanaman kacang tanah mulai berbunga pada umur kurang lebih 4-5 minggu. Bunga tumbuh pada ketiak daun. Setiap bunga memiliki tabung kelopak berupa tangkai panjang bewarna putih. Mahkota bunga (corolla) bewarna kuning dan memiliki bendera yang bergaris-garis merah pada pangkalnya. Bunga tanaman kacang tanah mampu melakukan penyerbukan sendiri ini hanya selama 1 hari. c) Buah Buah tanaman kacang tanah berbentuk polong. Setelah terjadi pembuahan, bakal buah yang disebut ginofora tumbuh memanjang. Ginofora ini merupakan bakal jadi tangkai polong. Ujung ginofora yang runcing mula-mula mengarah ke atas, tetapi setelah tumbuh, ujung ginofora mengarah ke bawah kemudian masuk ke dalam tanah. Pertumbuhan memanjang ginofora akan terhenti setelah terbentuk polong. d) Biji Biji tanaman kacang tanah memiliki warna yang bermacam-macam yakni putih, merah, ungu, dan kesumba. Biji yang paling baik adalah warna merah muda.
Botani Kacang Tanah Sistematika tanaman kacang tanah menurut Marzuki (2007) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plant Kingdom Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Klass : Dicotyledoneae Ordo : Rosales Famili : Papilionaceae Sub family : Leguminosae Genus : Arachis Spesies : Arachis hypogaea L. Syarat Tumbuh Kacang Tanah Untuk tumbuh dan berkembang, tanaman kacang tanah memerlukan persyaratan tumbuh yang meliputi faktor kondisi tanah dan faktor iklim. Kedua faktor tersebut akan sangat mempengaruhi penetuan saat tanam yang tepat. a) Keadaan tanah Kacang tanah tidak terlalu dipengaruhi jenis tanah. Pada lahan berat (heavyclay/fine textured soil), kacang tanah masih dapat menghasilkan, jika pengolahan tanahnya dilakukan dengan baik. Ttanaman kacang tanah dapat tumbuh optimal pada tanah yang cukup unsur hara. Tanah ringan yang umumnya gembur memungkinkan akar tumbuh dengan baik, dan lebih banyak polong yang terbentuk. Kacang tanah masih mampu tumbuh dengan cukup baik pada tanah asam (pH 5,0), Keasaman (pH) tanah yang ideal bagi kacang tanah berkisar antara 6,0 – 7,0. Pada pH tanah antara 7,5 – 8,0 , daun akan menguning dan terjadi bercak hitam pada polong. Dengan demikian, kualitas dan kuantitas polong akan menurun (Fachruddin, 2000). b) Keadaan Iklim Kacang tanah umumnya tumbuh di iklim kering, pada daerah (zone) tipe iklim E (terjadi 3 bulan basah berturut-turut), tipe iklim D 3, (terjadi 3-4 bulan basah berturut-turut dan 4-6 bulan kering berturut-turut), dan tipe iklim C 3 (terjadi 5-6 bulan basah berturutturut dan 4-6 bulan kering berturut-turut). Pada suhu kurang dari 18 ºC, laju perkecambahan rendah. Pertumbuhan kacang tanah meningkat sejalan dengan peningkatan suhu dari 20 ºC menjadi 30 ºC.
Tabel 1. Syarat Tumbuh Tanaman Kacang Tanah berdasarkan Sifat Fisiologi, Daya Adaptasi, dan Kebutuhan Optimal terhadap Kondisi Iklim Kondisi Parameter Satuan Optimal 1.Laju mgCO2/dm3/jam 40-50 fotosintesis 2. Suhu Udara o a. Optimal C 25-30 b. Kisaran aktif 10-35 3. Radiasi Surya 4. Air (hujan)
Kal/cm2/menit
0,3-0,8
g/g bahan kering mm/bulan mm/hari
300-700 45-200 2,5-6,7
Sumber: Budidaya kacang- kacangan (Fachruddin, 2000)
38
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
e) Akar Tanaman kacang tanah berakar tunggang, dengan akar cabang yang tumbuh tegak lurus pada akar tunggang tersebut. Akar cabang ada yang mati dan ada yang juga yang menjadi akar permanen yang berfungsi untuk menyerap makanan. Pada akar dan polong kacang terdapat semacam bulu akar yang dapat menyerap makanan.
tanaman yang lain dapat digunakan sebagai mulsa (Radjit, 1992). Berdasarkan asal bahan mulsa dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu mulsa organik dan mulsa anorganik: a) Mulsa organik Mulsa organik berasal dari bahan-bahan alami yang mudah terurai seperti sisa-sisa tanaman seperti jerami dan alang-alang. Mulsa ini mudah dan murah didapatkan. Keuntungan lainnya adalah mulsa ini dapat terurai sehingga menambah kandungan bahan organik dalam tanah. Untuk mengganti mulsa yang telah terurai perlu ditambahkan cacahan jerami/alang-alang/cacahan batang dan daun jagung atau rumput-rumputan lainnya. Bahan kompos, seperti sekam, jerami padi, batang jagung, dan serbuk gergaji, memiliki C/N rasio antara 50100. Daun segar memiliki C/N rasio sekitar 10-20. Cara pembuatan kompos melalui proses penguraian oleh mikroorganisme dapat menurunkan C/N rasio suatu bahan kompos (Novizan, 2002). Penelitian tentang penggunaan jerami padi yang digunakan sebagai mulsa pada tanaman kacang tanah oleh Anonymous (2004) menunjukkan hasil bahwa pemberian mulsa (bokashi) jerami padi berpengaruh nyata terhadap berat akar, index luas daun, jumlah khlorofil, berat biomasa, serapan P, bobot polong isi, bobot biji kering dan bobot 1000 biji tanaman kacang tanah. Penelitian tentang ketebalan penggunaan mulsa jerami padi pada tanaman kacang tanah oleh Riswandi (1995) menyatakan bahwa mulsa jerami padi dengan ketebalan 20 - 25 cm paling menekan pertumbuhan gulma Echinochloa colona, Cyperus iria, Cyperus difformis dan Eclipta prostrata, dan masih dapat menekan pertumbuhan gulma Commelina nudiflora, sehingga dapat diketahui bahwa penggunaan jerami padi sebagai mulsa pada tanaman kacang tanah dapat menekan pertumbuhan gulma. Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil tertinggi kacang tanah diperoleh dari perlakuan mulsa jerami padi dengan ketebalan 20 - 25 cm. Hasil penelitian Damanik dkk (2000) menunjukkan bahwa pemberian mulsa sampai 2,76 ton/ha tidak berpengaruh nyata terhadap parameter sifat fisik tanah terutama bobot isi dan ruang pori total. Namun laju infiltrasi minimum tanah meningkat dengan pemberian mulsa minimal 2,76 ton/ha. Pemberian mulsa sampai 2,76 ton/ha belum berpengaruh pada peningkatkan produksi. Namun, ada kecenderungan peningkatan pertumbuhan dan produksi dengan meningkatnya penggunaan mulsa.
Penyiangan Penyiangan identik dengan pengendalian gulma, ada beberapa cara pengendalian gulma antara lain dengan pencabutan, dengan memakai alat seperti bajak, cangkul, dan sabit serta alat-alat lainnya, dan juga dapat dengan menggunakan bahan kimia seperti herbisida. Apapun cara yang dilakukan tujuannya adalah mengendalikan gulma agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman yang diusahakan. Periode kritis pertumbuhan kacang tanah terhadap cekaman populasi gulma adalah 1/3 umur tanaman di awal pertumbuhan atau sekitar umur 10-30 hari setelah tanam. Kegiatan penyiangan sebaiknya dilakukan pada periode sebelum tanaman berbunga (Adisarwanto, 2005). Mulsa Salah satu teknik konservasi tanah yang mudah diterapkan adalah penggunaan sisa tanaman sebagai mulsa, karena mulsa dapat diperoleh dari sisa-sisa hasil tanaman pertanian seperti sisa pemanenan tanaman padi atau jagung. Mulsa secara langsung melindungi permukaan tanah dari pukulan butir hujan, sehingga mengurangi energi pukulan hujan, volume, kecepatan aliran permukaan, meningkatkan aktivitas fauna tanah, dan meningkatkan pembentukan agregat tanah. Keunggulan lain dari mulsa antara lain dapat mempertahankan atau memperbaiki sifat fisik tanah, memperkecil proses dispersi, meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan memperbaiki struktur tanah dan pada tahap selanjutnya dapat mempercepat laju infiltrasi. Mulsa adalah setiap bahan yang dipakai untuk menutupi permukaan tanah yang dapat berfungsi untuk menghindari kehilangan air melalui penguapan dan dapat menekan pertumbuhan gulma. Bahkan seperti jerami, serbuk gergaji, pupuk kandang, dedaunan dan bahan tanaman lain yang dapat dianggap sebagai mulsa. Penggunaan mulsa dari bahan tanaman dapat berguna sebagai pupuk bila telah terurai dengan tanah, setelah mengalami proses dekomposisi, hal ini tergantung dari bahan tanaman yang digunakan. Mulsa adalah material penutup tanah pada tanaman budidaya untuk menjaga kelembaban tanah, mengurangi fluktuasi suhu tanah, menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga membuat tanaman tersebut tumbuh dengan baik (Anonymous, 2011). Salah satu cara untuk mencegah tumbuhnya gulma yang berada dalam tanah adalah dengan menghalangi cahaya matahari sampai ke permukaan tanah. Dengan pemberian selapis bahan mulsa dalam jumlah tepat yang ditutupkan di atas tanah atau di atas gulma yang sudah tumbuh akan sangat berhasil dalam menghambat pertumbuhan gulma. Jerami padi, alang-alang atau sisa
b) Mulsa anorganik Mulsa anorganik terbuat dari bahan-bahan sintetis yang sukar terurai. Misalnya mulsa plastik hitam perak atau karung. Jika mulsa organik diberikan setelah tanaman / bibit ditanam, maka mulsa anorganik dipasang sebelum bibit ditanam. Kemudian mulsa dilubangi sesuai dengan jarak tanam. Hanya saja mulsa sintetis ini sekarang harganya mahal, terutama mulsa plastik hitam perak. Fungsi mulsa plastik dapat memantulkan sinar matahari, secara tidak langsung untuk menghalau hama 39
Pengaruh Penyiangan & Mulsa terhadap Produksi …
Setiyono, A.E.
tungau, thrips dan aphid, selain itu mulsa plastik digunakan dengan tujuan menaikkan suhu dan menurunkan kelembaban di sekitar tanaman, sehingga dapat menghambat munculnya penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Anonymous, 2011). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2000) menunjukkan bahwa faktor pemulsaan, terutama penggunaan mulsa plastik hitam perak dapat meningkatkan jumlah ginofora dan bobot polong kacang tanah. Pemulsaan juga sangat efektif menghambat penyebaran Peanut Stripe Virus (PSTV). Sedangkan penelitian tentang penggunaan plastik hitam perak oleh Suryami (2000), menunjukkan bahwa pemberian mulsa plastik hitam perak berpengaruh nyata menurunkan intensitas serangan PSTV pada 5, 7, 9 minggu Setelah Tanam serta meningkatkan jumlah polong per tanaman, panjang polong, bobot kering polong per petak, jumlah biji per tanaman dan bobot biji kering per tanaman.
Faktor M adalah penggunaan mulsa yang terdiri dari 3 (tiga) level, yaitu: M1 = tanpa mulsa M2 = mulsa jerami padi (5 kg/petak percobaan) M3 = mulsa plastik hitam perak Dengan demikian setiap ulangan terdapat 9 (sembilan) kombinasi perlakuan. Metode Analisis Model matematis yang digunakan untuk Rancangan Acak Kelompok Faktorial (Supadi, 2000) adalah sebagai berikut: Yijk = µ + Ai + Bj +βj+AB ij + Єk (ij) Yijk =
µ K Ai Bj ABij
Gulma Harsono (1990) mendefinisikan gulma sebagai tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang tidak dikehendaki manusia. Hal ini dapat berarti tumbuhan tersebut merugikan baik secara langsung maupun tidak langsung, Munandir dan Mardiati (1990) menyatakan, bahwa gulma adalah tumbuhan yang tumbuh bersama tanaman yang dibudidayakan dan bersifat merugikan. Kehadiran gulma akan menimbulkan persaingan yang serius di dalam mendapatkan air, hara maupun sinar matahari, akibatnya hasil tanaman tidak akan mampu menunjukkan potensi yang sebenarnya, walaupun secara umum dapat dikatakan bahwa besarnya kerugian karena kompetisi dengan gulma sangat ditentukan oleh lokasi atau kesuburan tanah, jenis gulma, tingkat kelembaban tanah dan pengolahan tanah.
= = = = =
ЄK(ij) =
Variable respon karena pengaruh bersama taraf ke i faktor A dan taraf ke j faktor B yang terdapat pada observasi ke i Efek rerata Pengaruh kelompok ke k Efek dari taraf ke-i dari faktor A Efek dari taraf ke-j dari faktor B Efek dari interaksi antara taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B Efek dari unit eksperimen ke k dalam kombinasi perlakuan (ij).
Untuk memperoleh nilai ragam masing-masing sifat yang diamati, analisis dilakukan dengan menghitung sidik ragam secara terpisah. Nilai tengah pengaruh perlakuan diuji lebih lanjut dengan uji BNT taraf 5% (Sudjana, 1980). Persiapan Lahan dan Benih Tanah dibajak dan selanjutnya dibuat petak-petak percobaan dengan ukuran 3 m x 2 m, jarak antar perlakuan 30 cm, dan jarak antar ulangan 50 cm. Pemupukan Pupuk yang diberikan yaitu pupuk kandang yang diberikan 2 minggu sebelum tanah diolah.
METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Tegalpasir, Kecamatan Jambesari, Kabupaten Bondowoso pada ketinggian ± 324 meter di atas permukaan laut dengan jenis tanah regosol. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Juni 2013.
Penanaman Cara penanaman tiap perlakuan berbeda, hal ini dikarenakan terdapat perlakuan penggunaan mulsa yang berbeda. a) Cara penanaman pada perlakuan tanpa mulsa Penanaman dilakukan dengan alat tanam tugal, kedalaman lubang tanam 3 cm. Tiap lubang tanam diisi 2 biji. Jarak tanam 30 cm x 20 cm. b) Cara penanaman pada perlakuan penggunaan mulsa jerami padi Penanaman dilakukan dengan alat tanam tugal, kedalaman lubang tanam 3 cm. Tiap lubang tanam diisi 2 biji. Jarak tanam 30 cm x 20 cm. Setelah itu tutup petak tanah dengan menggunakan jerami padi. c) Cara penanaman pada perlakuan penggunaan mulsa plastic hitam perak Mulsa dihamparkan kemudian dilubangi dengan kaleng berdiameter 12 cm yang dipanaskan. Kedalaman lubang tanam 3 cm. Tiap lubang tanam diisi 2 biji. Jarak tanam 30 cm x 20 cm
Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit kacang tanah varietas kancil, mulsa jerami padi, dan mulsa plastik hitam perak. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial dengan 3 kali ulangan. Adapun perlakuan terdiri dari 2 (dua) faktor yaitu: Faktor P adalah penyiangan yang terdiri dari 3 (tiga) level yaitu: P1 = tanpa penyiangan P2 = penyiangan 1 kali umur 30 hst P3 = penyiangan 2 kali umur 30 hst dan 60 hst 40
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X Hasil analisis statistik Tabel 2 menunjukkan bahwa terjadi interaksi yangberbeda sangat nyata antara perlakuan penyiangan dan perlakuan penggunaan jenis mulsa terhadap tinggi tanaman pada 20 dan 90 hst. Rerata tertinggi didapat dari kombinasi perlakuan penyiangan 2 kali dan penggunaan jenis mulsa plastik hitam perak (P2M2) yaitu 20.222 cm pada pengamatan 20 hst dan 58.967 cm pada pengamatan 90 hst. Pada Tabel 3, hasil uji BNT 5 % terhadap faktor tunggal dari kedua perlakuan yaitu penyiangan dan penggunaan mulsa terhadap tinggi tanaman kacang tanah pada pengamatan 40 hst memberikan hasil yang berbeda tidak nyata. Sedangkan pengamatan 60 hst menunjukkan hasil rerata tertinggi 53.453 cm pada perlakuan faktor tunggal penyiangan 2 kali dan 51.648 cm pada perlakuan faktor tunggal penggunaan mulsa plastik hitam perak Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang berbeda sangat nyata antara perlakuan penyiangan dan perlakuan penggunaan jenis mulsa terhadap tinggi tanaman pada 40 dan 60 hst. Hal ini dikarenakan pada fase vegetatif, penggunaan jenis mulsa tidak begitu berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman terutama tinggi tanaman. Namun pada perlakuan penyiangan tertentu memiliki selisih hasil rerata yang cukup nyata. Perlakuan faktor tunggal penggunaan mulsa menunjukkan bahwa penggunaan mulsa plastik hitam perak (M3) memiliki nilai rerata tertinggi dibandingkan dengan penggunaan mulsa jerami padi dan tanpa menggunakan mulsa. Hal ini diduga karena adanya persaingan unsur hara yang terjadi, karena tumbuhnya gulma pada perlakuan tanpa mulsa sehingga hasil rerata tinggi tanaman yang dihasilkan sangat rendah. Hal ini didukung dengan pernyataan Purnomo dan Rahmianna (1992) bahwa, adanya gulma akan menimbulkan persaingan serius di dalam mendapatkan air, hara maupun sinar matahari. Ditinjau dari unsur fisiologi tanaman, hal ini disebabkan karena pengaruh kompetisi dengan gulma sangat ditentukan oleh lokasi atau kesuburan tanah, jenis gulma, dan tingkat kelembapan tanah.
Pemeliharaan Tanaman Penyulaman dilakukan pada saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam (hst), pengairan dilakukan 2 kali dalam seminggu (3 hari sekali) pada umur 1 sampai 40 hst, dan 1 kali dalam seminggu pada umur 41-90 hst. Penyiangan dilakukan sesuai perlakuan pada masing-masing petak percobaan. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan cara pemantauan berkala setiap minggunya yaitu pada umur 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49 hst. Panen Tanaman kacang tanah dipanen pada umur 90 hari, dengan tanda-tanda : kulit polong mengeras dan berwarna coklat kehitaman, polong berisi penuh, kulit biji tipis mengkilat dan tidak berair serta sebagian daun telah rontok Parameter Pengamatan Parameter yang diamati pada 12 (dua belas) tanaman contoh dalam penelitian adalah sebagai berikut : a) Fase Pertumbuhan Vegetatif (Pertumbuhan Tanaman) 1. Tinggi tanaman umur 20, 40, 60 hst dan saat panen yaitu di ukur dari leher akar sampai pucuk tanaman. 2. Diameter batang tanaman pada saat panen 3. Jumlah daun sempurna, tanpa terserang hama dan penyakit pada umur 20, 40, 60 hst dan pada saat panen. b) Fase Pertumbuhan Generatif (Hasil Tanaman) 1. Jumlah polong per tanaman. 2. Bobot polong basah per tanaman (g). 3. Bobot polong kering per tanaman (g). 4. Bobot biji kering per petak (kg). 5. Bobot biji kering per hektar (ton).
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman (cm) Analisa statistik tinggi tanaman pada penelitian ini terdiri dari 4 (empat) kali pengamatan, yaitu 20 hst, 40 hst, 60 hst dan pada saat panen (90 hst). Tabel 2. Jumlah Tinggi Tanaman (cm) Umur 20 dan 90 hst, karena Pengaruh Interaksi Penyiangan dan Pemberian Mulsa. Hasil Jumlah Tinggi Tanaman per tanaman (cm) Perlakuan 20 hst 90 hst 12.750 a 50.533 a P1M1 15.250 b 49.900 a P1M2 17.028 c 50.433 a P1M3 17.528 c 52.133 b P2M1 18.611 d 53.400 c P2M2 19.028 d 53.567 c P2M3 19.417 d 54.333 c P3M1 19.194 d 55.800 d P3M2 20.222 e 58.967 e P3M3 0.92 1.054 BNT 5% Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan beda tidak nyata pada uji BNT dengan taraf 5%
Tabel 3. Rerata Tinggi Tanaman (cm) Umur 40 dan 60 hst, karena Pengaruh Interaksi Penyiangan dan Pemberian Mulsa. Hasil Rerata Tinggi Tanaman per tanaman (cm) Perlakuan 40 hst 60 hst 37.111 a 46.121 a P1 37.389 a 52.435 b P2 38.194 a 53.453 b P3 1.22 1.21 BNT 5% 37.111 a 49.842 a M1 37.435 a 50.528 a M2 38.148 a 51.648 b M3 1.22 1.21 BNT 5% Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan beda tidak nyata pada uji BNT dengan taraf 5%
41
Pengaruh Penyiangan & Mulsa terhadap Produksi …
Setiyono, A.E.
Kondisi tanah yang baik, terutama pada tanah yang cukup lembab / tercukupinya kebutuhan air akan membuat potensi perkembangan pertumbuhan tinggi tanaman akan tumbuh dengan baik. Gangguan yang terjadi pada awal pertumbuhan tanaman menurut Kuntoharto (1980) akan menurunkan hasil panen, sedang gangguan yang terjadi pada saat menjelang panen akan menurunkan kualitas panen. Dengan demikian dinyatakan Harsono (1990) bahwa periode kritis tanaman terhadap gangguan gulma berada sekitar umur 20-30 hari. Lebih lanjut menurut Kasasian (1972) menambahkan bahwa periode kritis suatu tanaman terhadap persaingan gulma berada di awal pertumbuhan tanaman sampai sepertiga umur tanaman.
Hal ini sangat memungkinkan bahwa penyiangan 2 kali pada umur 30 dan 60 hst cukup menekan pertumbuhan gulma pada periode kritis pertumbuhan kacang tanah dengan gulma, sehingga dapat meningkatkan jumlah polong per tanaman. Dalam hal ini, menurut Harsono (1990) periode kritis adalah suatu periode dimana tanaman sangat peka terhadap cekaman gulma dan dalam periode ini akan sangat merugikan. Apabila tanaman tumbuh bersama dengan gulma selama 20 hari, akan terjadi penurunan hasil sekitar 10 %, dan penurunan ini terus bertambah apabila tanaman tumbuh bersama gulma hingga panen. Secara ekonomis, perlakuan 2 kali penyiangan dapat menghemat biaya sebesar 50 % bila dibandingkan dengan biaya untuk perlakuan bebas gulma.
Diameter Batang Tanaman (cm) Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang signifikan antara perlakuan penggunaan mulsa dan perlakuan penyiangan terhadap diameter batang tanaman. Pada perlakuan faktor tunggal penggunaan mulsa jerami padi (M2) dan mulsa plastik hitam perak (M3) dengan perlakuan tanpa mulsa (M1) menunjukkan berbeda nyata. Namun pada perlakuan faktor tunggal penyiangan, hasil rerata tertinggi pada uji BNT 5 % ditunjukkan pada penyiangan 2 kali yaitu 1.661 cm. Penggunaan mulsa ternyata tidak berpengaruh terhadap diameter batang tanaman. Hal ini dapat diduga bahwa gulma yang tumbuh eksplosif untuk bersaing dengan tanaman kacang tanah. Hasil analisa menunjukkan bahwa hasil penyiangan berpengaruh pada diameter batang tanaman, seperti terlihat pada Tabel 4. Penyiangan pada lahan yang kondisi pertumbuhan gulma lambat pada tanaman kacang tanah, tidak terlalu memerlukan kondisi bebas dari gulma. Hal ini hanya perlu penyiangan pada masa-masa tertentu untuk mengendalikan gulma. Diduga karena laju pertumbuhan kacang tanah lebih cepat dari pada laju pertumbuhan gulma jenis Cyperus rotundus. Pertanaman kacang tanah perlu penanganan penyiangan yang intensif pada lahanlahan yang mempunyai kondisi laju pertumbuhan gulma yang cepat seperti gulma yang berdaun lebar.
Jumlah Daun Sempurna (Helai) Analisa statistik jumlah daun sempurna pada penelitian ini terdiri dari 4 (empat) kali pengamatan, yaitu 20 hst, 40 hst, 60 hst dan pada saat panen (90 hst). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara perlakuan penyiangan dan perlakuan penggunaan mulsa terhadap jumlah daun pada pengamatan 20, 40, dan 60 hst. Pada tabel 4, perlakuan factor tunggal penyiangan 2 kali umur 90 hst menunjukkan bahwa terdapat hasil rerata beda nyata dengan perlakuan tanpa penyiangan dan perlakuan penyiangan 1 kali. Hal ini berbeda dengan hasil rerata pada 20, 40, dan 60 hst yang tidak berbeda nyata. Hal ini dikarenakan adanya serangan penyakit karat daun yang menyerang perlakuan tanpa penyiangan (P1) pada umur menjelang 90 hst. Penyakit karat daun tersebut disebabkan oleh adanya jamur. Serangan penyakit karat daun pada awalnya ditandai dengan adanya bercak kecil berwarna putih pada permukaan daun. Bercak kemudian membesar dan berubah warna mejadi kuning kecoklatan yang akhirnya cokelat tua menyerupai karat besi. Hal ini dikarenakan pH tanah pada lahan penelitian cukup tinggi yaitu 7,4 sehingga pada saat tanaman kacang tanah berumur 85 hst dapat mempengaruhi kondisi daun yang secara fisiologis kondisinya menurun. Hasil rerata tertinggi pada perlakuan faktor tunggal penyiangan pada tiap pengamatan yaitu 13.048 helai per tanaman pada 20 hst (P2), 33.032 helai per tanaman pada 40 hst (P3), 38.850 helai per tanaman pada 60 hst (P2), dan 58.103 helai per tanaman pada 90 hst (P3). Sedangkan pada faktor tunggal penggunaan mulsa hasilnya tidak berbeda nyata. Perlakuan faktor tunggal penggunaan mulsa menunjukkan bahwa penggunaan jenis mulsa jerami padi (M2) memiliki nilai rerata tertinggi dibandingkan dengan penggunaan mulsa plastik hitam perak (M3) dan tanpa menggunakan mulsa (M1). Hasil analisis sidik ragam juga menunjukkan bahwa terjadi interaksi berbeda sangat nyata antara perlakuan penyiangan dengan penggunaan mulsa terhadap jumlah daun sempurna tanaman kacang tanah.
Tabel 4. Rerata Diameter Batang Tanaman (cm) per Tanaman Saat Panen, karena Pengaruh Interaksi Penyiangan dan Pemberian Mulsa. Perlakuan Jumlah Diameter (cm) 1.233 a P1 1.524 b P2 1.661 c P3 0.056 BNT 5% 1.475 a M1 1.471 a M2 1.472 a M3 0.056 BNT 5% Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan beda tidak nyata pada uji BNT dengan taraf 5%
42
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Tabel 5. Rerata Jumlah Daun Sempurna Umur 20, 40, 60 Dan 90 hst, karena Pengaruh Interaksi Penyiangan dan Pemberian Mulsa. Perlakuan 20 hst 40 hst 60 hst 90 hst 12.063 a 30.413 a 36.974 a 50.262 a P1 13.048 c 31.972 b 38.850 b 55.376 b P2 12.589 b 33.023 c 38.602 b 58.103 c P3 0.377 1.4 0.63 1.9 BNT 5% 12.374 a 32.321 a 37.550 a 54.693 b M1 12.527 a 31.781 a 38.115 a 55.676 b M2 12.799 b 31.306 a 38.761 b 55.372 a M3 0.377 1.4 0.63 1.9 BNT 5%
Tabel 6. Rerata Jumlah Polong, karena Pengaruh Interaksi Penyiangan dan Pemberian Mulsa. Hasil Jumlah Polong Perlakuan per tanaman 31.833 a P1M1 33.920 b P1M2 30.000 a P1M3 31.830 a P2M1 36.860 c P2M2 37.140 c P2M3 34.777 b P3M1 43.887 d P3M2 42.693 d P3M3 2.12 BNT 5%
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan beda tidak nyata pada uji BNT dengan taraf 5% Jumlah Polong Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang nyata antara perlakuan penyiangan dan penggunaan mulsa pada hasil jumlah polong tanaman kacang tanah per tanaman. Kombinasi perlakuan P3M2 memperoleh hasil rerata tertinggi yaitu 43.887 polong. Hasil Bobot Polong Basah Dan Biji Basah per Tanaman Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terjadi interaksi sangat nyata antara perlakuan penggunaan mulsa dengan penyiangan terhadap hasil polong basah dan biji basah tanaman kacang tanah. Analisis uji BNT dengan taraf 1 % pada Tabel 7 menunjukkan perlakuan P3M2 (penyiangan 2 kali dan penggunaan mulsa jerami padi) sangat memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil rerata polong basah dan biji basah tanaman kacang tanah dengan rerata hasil polong basah 148.611 gram dan rerata hasil biji basah 82.778 gram. Sedangkan pada perlakuan P1M1 (tanpa penyiangan dan tanpa mulsa) mendapatkan hasil rerata terendah yaitu 56.528 gram untuk polong basah dan 17.639 gram pada hasil biji basah. Perlakuan penggunaan mulsa juga memiliki peran yang penting dalam meningkatkan hasil polong basah dan biji basah. Penggunaan mulsa jerami padi merupakan mulsa yang lebih efisien dalam meningkatkan hasil polong tanaman kacang tanah.
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan beda tidak nyata pada uji BNT dengan taraf 5% Tabel 7. Rerata Hasil Bobot Polong Basah & Biji Basah per Tanaman, karena Pengaruh Interaksi Penyiangan dan Pemberian Mulsa. Hasil Jumlah (gram) Perlakuan Polong Basah Biji Basah 56.528 a 17.639 a P1M1 74.667 b 24.722 b P1M2 70.833 b 21.111 a P1M3 68.278 b 27.222 b P2M1 93.889 c 42.222 c P2M2 89.694 c 39.722 c P2M3 86.111 c 39.444 c P3M1 148.611 e 82.778 e P3M2 134.667 d 73.611 d P3M3 8.43 6.183 BNT 1% Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan beda tidak nyata pada uji BNT dengan taraf 1% Tabel 8. Rerata Hasil Bobot Polong Kering & Biji Kering per Tanaman, karena Pengaruh Interaksi Penyiangan dan Pemberian Mulsa. Hasil Jumlah (gram) Polong Kering Biji Kering 40.556 a 17.833 a P1M1 P0M1 48.611 b 23.611 b P1M2 P0M2 48.333 b 20.306 a P1M3 P0M3 58.056 c 25.528 b P2M1 P1M1 65.556 d 39.472 d P2M2 P1M2 61.111 c 33.306 c P2M3 P1M3 71.111 e 32.389 c P3M1 P2M1 92.222 f 48.222 f P3M2 P2M2 75.556 e 43.444 e P3M3 P2M3 4.42 2.73 BNT 1% BNT 5% Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan beda tidak nyata pada uji BNT dengan taraf 1% untuk Polong Kering dan uji BNT 5% untuk Biji Kering
Hasil Bobot Polong Kering dan Biji Kering per Tanaman Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terjadi interaksi berbeda nyata antara perlakuan penggunaan mulsa dengan penyiangan terhadap hasil polong kering dan biji kering tanaman kacang tanah. Hal ini ditunjukkan pada tabel 8 yang menyatakan bahwa hasil rerata antara perlakuan yang satu dengan yang lain berpengaruh nyata. Rerata tertinggi polong kering per tanaman dan biji kering per tanaman didapat dari kombinasi P3M2 yaitu 92.222 gram dan 48.222 gram, dan rerata terendah polong kering per tanaman dan biji kering per tanaman didapat dari kombinasi P1M1 yaitu 40.556 gram dan 17.833 gram.
43
Pengaruh Penyiangan & Mulsa terhadap Produksi …
Setiyono, A.E.
Ditinjau dari segi fisiologis tanaman kacang tanah, sesuai dengan kondisi tanah pada lahan penelitian yang tercukupinya kebutuhan unsur hara Mg (Magnesium), Ca (Kalsium), K (Kalium), maka dapat dikemukakan bahwa tersedianya unsur-unsur Mg (Magnesium), Ca (Kalsium), K (Kalium) pada tanah sangat berpengaruh pada hasil polong kering dan bobot biji kering tanaman kacang tanah. Unsur Mg (Magnesium) sangat membantu dalam hal pembentukan khlorofil. kekurangan zat Mg (Magnesium) akan berakibat terjadinya khlorosis. selain pada daun, Mg (Magnesium) banyak terdapat dalam buah dan juga dalam tanah. Faktor temperatur, kelembapan, pH, dan beberapa faktor lainnya yang dapat mempengaruhi tersedianya Mg (Magnesium) di dalam tanah (Sutedjo, 2002). Ca (Kalsium) termasuk dalam unsur hara yang esensial, sebagian terdapat dalam daun, Ca (Kalsium) juga terdapat pada batang yang berpengaruh baik bada pertumbuhan ujung dan bulu-bulu akar. dalam hal ini, apabila zat-zat ini tidak diperhatikan atau bahkan ditiadakan maka pertumbuhan ujung dan bulu-bulu akar akan terhenti sedangkan bagian-bagian yang telah terbentuk akan mati dan berwarna coklat kemerahmerahan (Sutedjo, 2002). Ca (Kalsium) adalah unsur yang penting di dalam tanah. Maka perlu diperhatikan bahwa koloid-koloid humus sampai dengan liat dapat berjonjot karena Ca (Kalsium), dengan adanya Ca (Kalsium) struktur tanah menjadi mantap karena Ca (Kalsium) dapat mempengaruhi semua sifat fisik tanah, dan Ca (Kalsium) membantu daya pengikatan P. Ca (Kalsium) merupakan dasar yang utama untuk mempertahankan pH pada batasbatas yang cukup netral. Pada keadaan cukup Ca (Kalsium) akan membantu kehidupan jasad-jasad mikro dan dapat mempercepat dekomposisi (pembusukan) bahan-bahan organik (Sutedjo, 2002). Selain itu, dengan adanya Ca (Kalsium) secara langsung dapat mempengaruhi kehidupan tanaman. Tanaman menghisap Ca (Kalsium) sebanyak 20 - 300 kg/ha/tahun dengan bentuk CaO. Ca (Kalsium) membantu tumbuhnya dinding sel, perkecambahan, perakaran dan memberi kekuatan pada tanaman kacangkacangan. Unsur K (Kalium) berperan membantu dalam pembentukan protein dan karbohidrat, mengeraskan bagian kayu dari tanaman, meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit, meningkatkan kualitas biji dan buah dan K (Kalium) banyak terdapat pada sel-sel muda atau bagian tanaman muda. K (Kalium) berperan sebagai pengatur proses fisiologi tanaman seperti fotosintesis, akumulasi, translokasi, transportasi karbohidrat, dan mengatur distribusi air dalam jaringan dan sel. Kekurangan unsur ini menyebabkan daun seperti terbakar dan akhirnya gugur. Unsur K (Kalium) diserap lebih cepat oleh tanaman dibandingkan Ca (Kalsium) dan Mg (Magnesium). Jika unsur K (Kalium) berlebih gejalanya sama dengan kekurangan Mg (Magnesium). Sebab, sifat antagonisme antara K (Kalium) dan Mg (Magnesium) lebih besar daripada sifat antagonisme antara K (Kalium) dan Ca (Kalsium).
Kekurangan salah satu unsur hara Mg (Magnesium), Ca (Kalsium), K (Kalium) akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman mengalami kelainan atau penyimpangan yang mengakibatkan tanaman mati pada umur muda yang sebelumnya tampak layu kemudian mengering dan dalam penelitian ini, kombinasi perlakuan P3M2 penyebab tingginya hasil polong kering dan biji kering tanaman kacang tanah disebabkan selain tidak adanya persaingan perebutan unsur hara oleh gulma yang dikarenakan adanya perlakuan penyiangan 2 kali, tetapi juga karena tercukupinya unsur hara Mg (Magnesium), Ca (Kalsium), K (Kalium) dalam tanah karena mulsa jerami padi yang terlapuk cukup menjaga dan menstabilkan ketiga unsur tersebut sehingga hasil yang didapatkan juga lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hasil Bobot Biji Kering per Petak Kombinasi perlakuan jenis mulsa jerami padi dengan penyiangan 2 kali (P3M2) menghasilkan rerata hasil lebih tinggi dibandingkan dengan kombinasi perlakuan yang lain. Hasil dari perlakuan menunjukkan interaksi berbeda nyata. Kombinasi P3M2 menghasilkan rerata tertinggi 1.695 kg. Mulsa jerami padi yang digunakan pada perlakuan M2 pada saat panen telah melapuk dan terurai dapat menjadi bahan organik bagi tanah. Lapisan tanah yang memiliki fraksi bahan organik yang tinggi disebut humus. Bahan organic yang terurai merupakan sumber unsur mineral yang tinggi. Tanah yang kaya bahan organik akan terbentuk pori-pori tanah yang baik, dan memiliki daya absorbsi air tinggi. Hasil Bobot Biji Kering per Hektar Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang nyata antara perlakuan penggunaan mulsa (M) dan perlakuan penyiangan (P) terhadap hasil biji kering per hektar. Secara keseluruhan, perlakuan P3M2 menunjukkan hasil tertinggi yaitu dengan nilai rerata 1.980 ton/ha. Hal ini juga terlihat pada parameter hasil biji kering per tanaman, per petak, dan per hektar. Hasil uji BNT dengan taraf 5 % menunjukkan bahwa perlakuan penyiangan 2 kali pada umur 30 dan 60 Hari Setelah Tanam terbukti membantu penyerapan unsur hara dalam pengisian polong dan biji sehingga produksi menjadi meningkat dengan bebasnya persaingan tanaman utama kacang tanah dengan gulma. Hasil analisa usaha tani yang disajikan pada lampiran 20 menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan P3M2, memberikan hasil tertinggi dengan hasil 1,98 ton/ha dengan keuntungan bersih Rp. 16.140.000, hal ini sangat berbeda nyata dari perlakuan P1M1 dengan hasil 1,23 ton/ha dan keuntungan bersih yaitu Rp. 8.715.000. Penyiangan 2 kali meningkatkan hasil biji kering per hektar dibandingkan dengan tanpa penyiangan dan penyiangan 1 kali, hal ini karena pada tahap fase pertumbuhan vegetatif tanaman membutuhkan bebas dari gulma, dan selanjutnya pada fase berbunga merupakan masa kritis untuk pembentukan polong dimana gulma merupakan pesaing dalam hal perebutan unsur hara dan ruang gerak tanaman utama. 44
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X Dengan menekan erosi dan dapat menghambat pertumbuhan tumbuhan pengganggu / gulma. Dari hasil pelapukan mulsa jerami padi tersebut juga dapat menghasilkan lapisan humus pada tanah, sehingga menjadikan tanah lebih gembur dan aerasi tanah menjadi lebih baik. Namun demikian, mulsa jerami padi juga memiliki kekurangan antara lain tidak tersedia sepanjang musim tanam, tetapi hanya saat musim panen padi, hanya tersedia di sekitar sentra budidaya padi sehingga daerah yang jauh dari pusat budidaya padi membutuhkan biaya ekstra untuk transportasi dan tidak dapat digunakan lagi untuk masa tanam berikutnya. Dalam penelitian ini dapat dikemukakan bahwa penggunaan mulsa jerami padi telah memberikan kontribusi unsur hara dan mineral tanah terhadap tanaman kacang tanah yang baik, sehingga menambah bahan organik tanah karena mudah lapuk setelah rentang waktu 2 bulan setelah tanam.
Tabel 9. Rerata Bobot Biji Kering per Petak, karena Pengaruh Interaksi Penyiangan dan Pemberian Mulsa. Perlakuan Hasil Biji Kering (Kg) 1.060 a P1M1 1.157 b P1M2 1.127 a P1M3 1.240 c P2M1 1.590 f P2M2 1.443 e P2M3 1.359 d P3M1 1.695 g P3M2 1.533 f P3M3 0.07 BNT 5% Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan beda tidak nyata pada uji BNT dengan taraf 5% Tabel 9. Rerata Bobot Biji Kering per Hektar, karena Pengaruh Interaksi Penyiangan dan Pemberian Mulsa. Perlakuan Hasil Biji Kering (ton/ha) 1.238 a P1M1 1.351 b P1M2 1.316 a P1M3 1.448 c P2M1 1.857 f P2M2 1.686 e P2M3 1.587 d P3M1 1.980 g P3M2 1.791 f P3M3 0.083 BNT 5%
PENUTUP Simpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Sebagai faktor tunggal, perlakuan intensitas penyiangan 2 kali (P3) pada umur 30 dan 60 Hari Setelah Tanam memberikan rerata tertinggi terhadap tinggi tanaman umur 20 HST, 40 HST, 60 HST dan 90 HST, maupun terhadap jumlah polong, bobot polong basah, bobot polong kering, bobot biji basah, dan bobot biji kering. 2. Sebagai faktor tunggal, perlakuan penggunaan jenis mulsa jerami padi (M2) memberikan rerata tertinggi terhadap hasil produksi tanaman kacang tanah. 3. Terdapat interaksi antara perlakuan intensitas penyiangan 2 kali (P3) dan penggunaan jenis mulsa jerami padi (M2) / kombinasi P3M2 terhadap hasil kacang tanah, dimana perlakuan P3M2 memberikan rerata tertinggi pada parameter jumlah polong, bobot polong basah, bobot polong kering, bobot biji basah, dan bobot biji kering.
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan beda tidak nyata pada uji BNT dengan taraf 5% Gulma merupakan tanaman pengganggu yang sangat mengganggu tumbuh kembang tanaman kacang tanah, oleh sebab itu tanaman kacang tanah membutuhkan kondisi lingkungan tumbuh yang bebas dari tumbuhnya gulma. Perlakuan penyiangan dua kali dapat meningkatkan hasil sangat nyata lebih tinggi dan dapat menghemat biaya dibandingkan dengan perlakuan bebas gulma, dan dapat menurunkan bobot kering gulma ratarata 56,9 % dengan kenaikan hasil biji 33 % daripada kontrol (Purnomo, 1996). Namun pada penelitian ini, pada kombinasi perlakuan penyiangan 2 kali dan penggunaan jenis mulsa jerami padi terdapat kenaikan hasil biji kering sebesar 59 % daripada kontrol. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan penelitian Purnomo (1996), hal ini dikarenakan pada penelitian tanaman kacang tanah ini selain dilakukan perlakuan penyiangan 2 kali juga dilakukan pemberian mulsa. Anonymous (2011), mulsa jerami padi memiliki beberapa kelebihan antara lain dapat di peroleh secara bebas / gratis karena dapat diperoleh dari sisa panen padi, memiliki efek menurunkan suhu tanah, mengonservasi tanah.
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T. 2005. Meningkatkan Produksi Kacang Tanah di Lahan Sawah dan Lahan Kering. Jakarta. Penebar Swadaya. Anonymous. 2004. Paket Teknologi Anjuran Budidaya Kacang Tanah di Lahan Kering. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram. Anonymous. 2011. Mulsa. http : //wbln18.mulsa penutup tanah/essd.html (Diakses tanggal 20 April 2013). Anonymous. 2011. Varietas Kacang Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan atau Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
45
Pengaruh Penyiangan & Mulsa terhadap Produksi …
Setiyono, A.E.
Damanik, dkk. 1994. Pengaruh Penggunaan Mulsa Jerami Padi Terhadap Beberapa Sifat Fisik Tanah dan Laju Infiltrasi Pada Latosol Darmaga (Studi pada tanaman Kacang Tanah). Banjarbaru. Risalah Hasil Penelitian Kacang-kacangan 1990-1993. Badan Litbang Pertanian Banjarbaru. Fachruddin, Lisdiana, Ir. 2000. Budidaya Kacangkacangan. Yogyakarta. Kanisius. Harsono, A. 1990. Cara Tanam Kacang Hijau Setelah Padi Sawah. Seminar Hasil Penelitian Pangan. Puslitbangtan Bogor. Kasasian, L. 1972. Weed Control in the Tropics. Leonard Hill London. Kuntoharto, K. 1980. Pengantar Ilmu Gulma. Malang. Departemen Agronomi. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Marzuki, Rasyid. 2007. Bertanam Kacang Tanah. Jakarta. Penebar Swadaya. Munandir, J., dan E. Mardiati. 1990. Pengaruh Legin pada Periode Kritis Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.)Varietas Gajah Karena Persaingan Gulma. Agrivita. Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Jakarta. Agro Media Pustaka. Purnomo, J. 1996. Pengaruh Pengolahan Tanah, Penyiangan dan Populasi Tanaman terhadap Produksi Kacang-kacangan. Malang. Penelitian Palawija. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Radjit, B.S. 1992. Uji Keterandalan Paket Teknologi Kacang Hijau di Lahan Sawah. Laporan Kemajuan Balittan Malang. Rahmawati, Teti. 2000. Pengaruh Pemulsaan (Plastik Hitam Perak) terhadap Pertumbuhan dan Hasil Serta Penyebaran Peanut Stripe Virus (PSTV) pada Enam Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). Bogor. Institut Pertanian Bogor. Riswandi, Dani. 1995. Pengaruh Berbagai Ketebalan Mulsa Jerami Padi Terhadap Gulma, Pertumbuhan dan Hasil Kacang Tanah. Sri Najiyati dan Danarti. 1993. Palawija, Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Jakarta. Penebar Swadaya. Sudjana. 1980. Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung. Tarsito. Supadi, AS. 2000. Rancangan Percobaaan Praktis Bidang Pertanian. Yogyakarta. Kanisius. Suryami, Yami. 2000. Pengaruh Mulsa Plastik Hitam Perak Terhadap Penyebaran Peanut Stripe Virus (PSTV) dan Produksi Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) Galur-Galur Introgesi. Institut Pertanian Bogor. Sutedjo, Mul. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan.
46
ISSN 2355-195X
UJI PENGARUH VARIETAS INPARI DAN DOSIS PUPUK ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN PADI (ORYZA SATIVA) Ida Sugeng Suyani1, Risawatul Muawanah 2 1
Staf Pengajar, 2 Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Panca Marga
[email protected] (diterima: 11.01.2014, direvisi: 25.01.2014)
Abstrak Untuk memenuhi tingkat permintaan padi yang terus meningkat setiap tahun, maka perlu adanya perbaikan teknik budidaya padi yang lebih baik lagi dengan cara yaitu: penggunaan varietas unggul, pemupukan, pengairan, pengolahan, pengolahan tanah, pengendalian hama dan penyakit serta penanganan pasca panen yang tepat. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan menguji pengaruh varietas inpari dan dosis pupuk organik terhadap hasil dan pertumbuhan tanaman padi. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan petak terbagi (RPT) dengan tiga kali ulangan. Adapun perlakuan terdiri dari dua (2) faktor yaitu faktor 1 adalah varietas padi yang terdiri dari: VI = varietas sidenok, V2 = varietas inpari 10, V3 = varietas inpari 11, V4 = varietas inpari 14, V5 = varietas inpari 15. Sedangkan faktor 2 adalah terdiri dari pupuk organik yang terdiri dari 3 (tiga) taraf yaitu: D1 = dosis pupuk organik 10Kg, D2 = dosis pupuk organik 20Kg, D3 = dosis pupuk organik 30Kg. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan varietas Sidenok (VI) memberikan rerata tertinggi pada umur tanaman 14, 42, 56 hari setelah tanam terhadap tinggi tanaman maupun terhadap jumlah anakan umur 14, 28, 42, 56 hari setelah tanam, jumlah gabah per malai dan bobot gabah per rumpun. Perlakuan varietas inpari 10 (V2) memberikan rerata tertinggi terhadap tinggi tanaman umur 28 hari setelah tanam dan bobot 1000 butir gabah. Perlakuan varietas inpari 11 (V3) memberikan rerata tertinggi terhadap berat gabah kering per hektar. Perlakuan D2 (dosis pupuk organik 20Kg) memberikan rerata tertinggi terhadap tinggi tanaman umur 14 hari setelah tanam, maupun jumlah anakan pada umur 28 hari setelah tanam. Perlakuan D3 (dosis pupuk organik 30Kg) memberikan rerata tertinggi terhadap tinggi tanaman umur 28, 42, 56 hari setelah tanam, jumlah anakan umur 14, 42, 56 hari setelah tanam, jumlah gabah per malai, bobot gabah per rumpun, bobot 1000 butir gabah, berat gabah per petak, berat gabah basah per hektar, berat gabah kering basah per hektar. Terdapat interaksi antara perlakuan varietas VI (Varietas Sidenok) dan D3 (dosis pupuk organik 30Kg) / kombinasi (VID3) terhadap pertumbuhan dan hasil padi, dimana perlakuan (VID3) memberikan rerata tertinggi pada parameter tinggi tanaman umur 42 hari setelah tanam maupun bobot gabah per rumpun. Terdapat interaksi antara perlakuan V2 (varietas inpari 10) dan D3 (dosis pupuk organik 30Kg) / kombinasi (V2D3) terdapat pertumbuhan dan hasil padi pada parameter tinggi tanaman umur 28 hari setelah tanam. Kata Kunci: varietas inpari, dosis pupuk, rancangan petak terbagi.
pertanian mengatakan angka itu naik sebesar 7,9% dari target produksi beras tahun ini yang diperkirakan 38 juta ton atau setara 70,6 juta ton gabah kering giling. Hal ini disebabkan adanya kesadaran dalam pentingnya sistem budidaya padi yang baik dan benar sehingga dapat menghasilkan produksi pada yang meningkat. Untuk memenuhi tingkat permintaan padi yang terus meningkat setiap tahun, maka perlu adanya perbaikan teknik budidaya yang lebih baik lagi dengan cara yaitu: Penggunaan bibit unggul, pemupukan, pengairan, pengolahan tanah, pengendalian hama dan penyakit serta penanganan pasca panen yang tepat. Balai Besar Penelitian tanaman padi telah merakit varietas baru yang unggul dan diberi nama inpari. Varietas ini memiliki berbagai keunggulan diantaranya:
PENDAHULUAN Padi merupakan satu bahan makanan yang mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh manusia, sebab didalamnya terkandung bahan-bahan yang mudah diubah menjadi energi. Oleh karena itu padi disebut juga makanan energi. Menurut Collin Clark Papanek, nilai gizi yang diperlukan oleh setiap orang dewasa adalah 1821 kalori. Beras mengandung berbagai zat makanan yang diperlukan oleh tubuh, antara lain: karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, abu dan vitamin. Produksi padi di Indonesia sekarang mengalami peningkatan yakni produksi padi di tahun 2012 ini mencapai 41 juta ton atau setara 74,1 juta ton gabah kering giling. Suwono, Menteri 47
Uji Pengaruh Varietas Inpari dan Dosis Pupuk Organik …
Riswatul M. & Ida S. − Agak tahan hama wareng coklat biotype 1,2 dan 3 − Agak tahan penyakit hawa daun bakteri − Tahan kerabahan − Tingkat kerontokan sedang Padi varietas inpari 10 LAEYA termasuk padi sawah tadah hujan. Keunggulan varietas padi inpari 10: − Tahan wereng batang coklat biotipe 1 dan 2 − Tahan penyakit HDB strain III Varietas padi inpari 11 hasil persilangan padi sawah dari cisadae dengan IR54742-1-19-8. Keunggulan varietas padi inpari 11: − Tingkat kerontokan = sedang − Tahan terhadap penyakit blas ras 133 − Tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri strain III Varietas inpari 14 dilepas tahun 2011 dan cocok ditanam di dataran rendah sampai 600 meter dpl. Keunggulan varietas padi inpari 14: − Tahan hawa varietas wereng coklat biotype 1, 2 dan 3 − Agak tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri (HDP) patotype III − Agak tahan blas ras 033, 133 dan 073 − Agak tahan terhadap penyakit tungro Varietas padi inpari 15 merupakan komoditas padi sawah, hasil persilangan dari TBI168E-TB-4-01/widas//IR64 yang dilepas pada tahun 2011. Keunggulan varietas inpari 15: − Agak tahan terhadap hama wereng batang coklat biotype 1, 2 dan 3 − Tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri patotype III, IV, VII − Tahan terhadap penyakit blas ras Penelitian Hasil Penggunaan Varietas Inpari yang dilakukan oleh petani (Pak Kadus Prio) desa Pekaja, kelompok tani Pelita Jaya Kecamatan Kalibogor dengan menggunakan varietas inpari 10, inpari 11, inpari 14, menunjukkan hasil berbeda. Data produksi yang diperoleh merupakan estimasi dari hasil ubinan dengan 3 titik per varietas dengan ukuran 2,5 cm x 2,5 m dan jarak tanam 22 cm x 22 cm. Varietas Ciherang sebagai kontrol. Penanaman tersbut merupakan bentuk kerjasama dengan Balitpa Sukamandi. Walaupun hasil perbandingan pada Tabel 1 bisa berbeda-beda dibeberapa daerah atau lokasi akan tetapi harapan masyarakat bisa memberikan gambaran bagi petani yang belum pernah menanam dari keempat varietas tersebut
tahan hama wareng, hasil tinggi, umur genjah, dan rasa nasi enak. (BB Padi, 2010) Selain dapat menghasilkan produksi padi yang maksimal, perlu dilakukan sistem pertanian yang berkelanjutan demi keseimbangan lingkungan dan kualitas produksi. Salah satu diantaranya adalah pemanfaatan ampas tebu yang dikenal dengan istilah blatong serta pemanfaatan kotoran ayam. Blatong merupakan hasil proses pabrik gula yang dikatagorikan sebagai limbah pabrik dan pertanian. Potensi dari blatong bila dilihat dari segi kimia yaitu kemampuan untuk menyediakan hara tanah yang setara dengan 28Kg ZA, 22 Kg TSP, dan 1Kg KCl dalam setiap ton blotong. Kotoran ayam yang tidak terpakai dapat kita gunakan sebagai pupuk, menurut (Sutanto, 2002) kotoran ayam mengandung 57% H2O, 29% senyawa organik, 1,5% N, 1,3% P2O5. Perakaran tanaman padi (Oryza linn) dapat dibedakan menjadi akar tunggang, akar serabut, akar rambut dan akar tajuk dengan kedalaman 18 cm (AAK, 1990). Tanaman padi mempunyai batang yang beruas, panjang batang tergantung pada jenisnya. Menurt AAK (1990), anakan tanaman padi membentuk rumpun dengan anakannya, biasanya anakan akan tumbuh pada dasar batang, pembentukan anakan terjadi secara bersusun yaitu anakan pertama ini tumbuh diantara dasar batang dan daun sekunder, sedangkan pada pangkal batang anakan pertama berbentuk perakaran. Anakan kedua tumbuh pada batang bawah anakan pertama yaitu pada buku pertama dan juga membentuk perakaran sendiri. Anakan ketiga dan seterusnya tumbuh pada buku pertama pada batang anakan kedua dengan bentuk yang serupa dengan anakan pertama dan kedua. Menurut Junhun (1963), padi tumbuh baik pada dataran rendah 1500 dpl, dengan temperatur antara 18,7o26,5oC, dan curah hujan sekitar 1500-2000 mm per tahun. Usaha-usaha untuk meningkatkan produksi padi melalui pemberian pupuk dan teknik budidaya masih terus digalakkan, baik dengan menggunakan varietas unggul dan pemberian pupuk organik. Penggunaan varietas unggul dan pemberian pupuk organik sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan tanaman, oleh karena itu tanaman padi harus dipupuk sebab memupuk berarti menyediakan kembali atau menambah unsur hara didalam tanah yang habis terpakai pada kebutuhan tanaman tercukupi (AAK, 1990). Balai Besar Penelitian tanaman padi telah merakit varietas unggul yang dilepas dengan nama inpari (Inbrida pada irigasi). Varietas ini memiliki berbagai keunggulan diantaranya berumur genjah, hasil tinggi, tahan terhadap beberapa hama dan penyakit, rasanya enak. Varietas inpari terdiri dari beberapa jenis yaitu inpari sidenok, inpari 10, inpari 11, inpari 14 dan inpari 15. Varietas inpari sidenok merupakan komoditas padi sawah yang berasal dari Diah Suci diradiasi sinar gamma dengan dosis 0,20 kGy dari 60 CO. Diah Suci merupakan salah satu varietas padi unggul yang dihasilkan oleh Benih Padi Batan yang dilepas sejak tahun 2003. Keunggulan varietas padi inpari sidenok:
Tabel 1. Perbandingan produksi varietas padi inpari 10, inpari 11, inpari 14, Ciherang
Varietas Inpari 14 Inpari 11 Inpari 10 Cihareng
48
Jumlah anakan 20 25 24 16
Bulir isi 225 150 144 185
Bulir hampa 28 14 5 2
Prod. ton/ha 6,25 7,06 8,06 6,06
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Tabel 2. Rerata Komposisi Kotoran Ternak Komposisi Kotoran Ternak Senyawa P2O5 N H2O Organik Ternak (%) (%) (%) (%) Sapi perah 80 16 0,3 0,2 Kuda 73 22 0,5 0,25 Kerbau 81 12,7 0,25 0,18 Domba/Kambing 64 31 0,7 0,4 Babi 78 17 0,5 0,4 Ayam 57 29 1,0 1,4 Itik 1,0 1,4 Kelinci 1,1 1,2 Sumber: Penerapan pertanian organik (Sutanto, 2002)
Rancangan Percobaan Penelitian dilaksanakan secara faktorial 5x3 dalam rancangan petak terbagi dan diulang 3 kali dengan ukuran plot 2x3 meter. Faktor pertama adalah varietas pad (V) yang memilik 5 taraf: V1 = varietas sidenok V2 = varietas inpari 10 V3 = varietas inpari 11 V4 = varietas inpari 14 V5 = varietas inpari 15 Faktor kedua adalah dosis pupuk organik (D) yang memiliki 3 taraf yaitu: D1 = dosis pupuk organik 10 Kg D2 = dosis pupuk organik 20 Kg D3 = dosis pupuk organik 30 Kg Kombinasi terdapat 15 perlakuan antara varietas dan dosis pemupukan dalam setiap ulangan yang terdiri dari: 1. Varietas sidenok dengan dosis pupuk organik 10 Kg (V1D1) 2. Varietas inpari 10 dengan dosis pupuk organik 10 Kg (V2D1) 3. Varietas inpari 11 dengan dosis pupuk organik 10 Kg (V3D1) 4. Varietas inpari 14 dengan dosis pupuk organik 10 Kg (V4D1) 5. Varietas inpari 15 dengan dosis pupuk organik 10 Kg (V5D1) 6. Varietas sidenok dengan dosis pupuk organik 20 Kg (V1D2) 7. Varietas inpari 10 dengan dosis pupuk organik 20 Kg (V2D2) 8. Varietas inpari 11 dengan dosis pupuk organik 20 Kg (V3D2) 9. Varietas inpari 14 dengan dosis pupuk organik 20 Kg (V4D2) 10. Varietas inpari 15 dengan dosis pupuk organik 20 Kg (V5D2) 11. Varietas sidenok dengan dosis pupuk organik 10 Kg (V1D3) 12. Varietas inpari 10 dengan dosis pupuk organik 10 Kg (V2D3) 13. Varietas inpari 11 dengan dosis pupuk organik 10 Kg (V3D3) 14. Varietas inpari 14 dengan dosis pupuk organik 10 Kg (V4D3) 15. Varietas inpari 15 dengan dosis pupuk organik 10 Kg (V5D3)
Tabel 3. Rekomendasi Penggunaan Pupuk Organik Kandang untuk Tanaman Tertentu Jenis tanaman Padi (pertanaman I) Jagung Kedelai Tebu (pertanaman I) Tebu (pertanaman I)
Pupuk Kandang (ton/ha) 20-30 20-25 20-30 40-60 60-90
Sumber: Penerapan pertanaman organik (Sutanto, 2002) Menurut Joehana (1986), pupuk organik (alam) adalah berasal dari sisa tanaman, pupuk hijau, kompos dan sebagainya. Syarief (1986), mengatakan bahwa pupuk sangat membantu untuk memperbaiki kualitas tanah. Menurut Arifin (1986), kegunaan blatong ditinjau secara fisik akan sangat menguntungkan bila dimanfaatkan oleh tanah. Hasil penelitian Sutanti (1986), pemberian 48 ton blotong/ha mampu menurunkan tegangan air sekitar 40%. Potensi blotong bila dilihat dari segi kimia yaitu kemampuan untuk menyediakan hara tanah yang setara dengan 28 Kg ZA, 22 Kg TSP, 1 Kg KCl dalam tiap ton blotong (Suhadi, dkk, 1988). Kotoran ayam yang melimpah dimasyarakat bisa kita manfaatkan sebagai pupuk organik, sebab menurut (Sutanto 2002) kotoran ayam mengandung 57% H2O, 29% senyawa organik, 1,5% N, dan 1,3% P2O5. Dengan demikian dapat meningkatkan efisiensi pemupukan.
METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Banjarsawah, Kecamatan Tegal Siwalan, Kabupaten Probolinggo, pada ketinggian tempat ± 80 m dpl, dengan jenis tanah gramusol pada bulan juli 2012 sampai oktober 2012
Model Matematis Model matematis yang digunakan untuk rancangan petak terbagi faktorial (Supadi, 2000) adalah sebagai berikut: Yijk = µ + Bk + Vi + €ik + Dj + (VD)ij + σijk
Bahan Penelitian Bahan yang digunakan yaitu: Padi varietas: sidenok, inari 10, inpari 11, inpari 14, inpari 15, Pupuk organik yaitu blotong dan kotor, Insektisida, Fungisida, Bambu dan Tali rafia.
Yijk µ 49
= Nilai pengamatan karena pengaruh faktor V taraf ke-i dan faktor D taraf ke-j pada ulangan ke-k = Nilai tengah umum
Uji Pengaruh Varietas Inpari dan Dosis Pupuk Organik … Bk Vi €ik
= Pengaruh blok atau ulangan ke-k = Pengaruh faktor V yang ke-i = Pengaruh sisa untuk petak utama atau pengaruh sisa karena pengaruh faktor V taraf ke-i pada kelompok ke-k Dj = Pengaruh faktor V ke-j (VD)ij = Pengaruh interaksi faktor pengolahan tanah yang ke-i dan varietas yang ke-j Σijk = Pengaruh sisa anak petak atau pengaruh sisa karena pengaruh faktor V taraf ke-i dan faktor dosis ke-j pada kelompok ke-k
Riswatul M. & Ida S. dengan cara ditabur ditengah alur dalam barisan legowonya. 4. Penyiangan Penyiangan dilakukan dengan tangan atau dengan menggunakan alat siang seperti landak / gasrok. Apabila penyiangan dilakukan dengan alat siang, cukup dilakukan ke satu arah sejajar legowo dan tidak perlu dipotong seperti penyiangan pada cara tanam bujur sangkar. Sisa gulma yang tidak tersiang dengan alat siang ditengah barisan legowo sebenarnya tidak perlu diambil karena dengan sendirinya akan kalah persaingan dengan pertumbuhan tanaman padi.
Jika KK kecil (maksimal 5% pada kondisi homogen atau maksimal 10% pada kondisi heterogen), uji lanjut yang sebaiknya dipakai adalah uji BNJ (Beda Nyata Jujur) (Hanafiah, 2011).
Pengendalian Hama dan Penyakit Hama yang perlu diwaspadai adalah tikus, wereng, sundep, dan harus diadakan pengendalian atau pemberantasan dan apabila ada serangan sebaiknya di semprot dengan insektisida dan kalau tidak ada tidak perlu.
Memilih Varietas Diusahakan kita memilih bibit padi yang bersertifikat atau sudah resmi dari pemerintah dan setelah padi diperoleh lebih baik direndam selama satu sampai lima hari, air rendaman diganti satu hari sekali.
Panen Panen di lakukan pada saat tanaman padi sudah umur kurang lebih 117 hari atau sudah 90% menguning, cara memanen dengan alat sabit kemudian alas untuk memotong batang padi dan kemudian ditumpuk setelah ditumpuk padi dirontokkan dengan alat perontok yang namanya doser, kalau sudah dirontokkan dibawa pulang dan di jemur dibawah terik matahari, kalau sudah menguning dikemas dalam karung kemudian dijual kepada pengepul.
Pengolahan Tanah Pengolahan tanah harus sempurna, sebelum dibajak terlebih dahulu digenangi air sesudah digenangi air lalu dibajak dengan menggunakan mesin pembajak sawah. Penanaman Padi 1. Pembuatan Baris Tanaman Persiapkan alat garis tanam dengan ukuran jarak tanam yang dikehendaki. Bahan untuk alat garis tanam bisa digunakan kayu atau bahan lain yang tersedia serta biaya terjangkau. Lahan sawah yang telah siap ditanami, 1-2 hari sebelumnya dilakukan pembuangan air sehingga lahan dalam keadaan macak-macak. Ratakan dan datarkan sebaik mungkin. Selanjutnya dilakukan pembentukan garis tanam yang lurus dan jelas dengan cara menarik alat garis tanam yang sudah dipersiapkan sebelumnya serta dibantu dengan tali yang dibentang dari ujung ke ujung lahan. 2. Tanam Umur bibit padi yang digunakan sebaiknya kurang dari 14 hari. Gunakan 1-3 bibit per lubang tanam pada perpotongan garis yang sudah terbentuk. Cara laju tanam sebaiknya maju agar perpotongan garis untuk lubang tanam bisa terlihat dengan jelas. Namun apabila kebiasaan tanam mundur juga tidak menjadi masalah, yang penting populasi tanaman yang ditanam dapat terpenuhi. Pada alur pinggir kiri dan kanan dari setiap barisan legowo, pupulasi tanaman ditambah dengan cara menyisipkan tanaman diantara 2 lubang tanam yang tersedia. 3. Pemupukan Pemupukan dilakukan dengan cara tabur. Posisi orang yang melakukan pemupukan berada pada barisan kosong diantara 2 barisan legowo. Pupuk ditabur kekiri dan kekanan dengan merata, sehingga 1 kali jalan dapat melakukan pemupukan 2 barisan legowo. Khusus cara pemupukan pada legowo 2:1 boleh
Pengamatan dan Pengambilan Data Adapun parameter pengamatan yang diamati antara lain adalah berdasarkan 10 (sepuluh) tanaman, contoh yang kompetitif sebagai berikut: 1. Tinggi tanaman, diamati mulai umur 14, 28, 42, 56 hari setelah tanam pindah dan panen dengan cara di ukur dari leher akar sampai dengan ujung dari bendera (cm). 2. Jumlah anakan per rumpun, diamati mulai umur 14, 28, 42, 56 hari setelah tanam pindah dan saat panen dengan cara menghitung anakan yang terbentuk. 3. Jumlah gabah per malai 4. Bobot gabah per rumpun 5. Bobot seribu butir gabah 6. Hasil gabah per plot 7. Berat basah per hektar 8. Berat kering per hektar.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman Analisa statistika tinggi tanaman pada penelitian ini terdiri dari empat (4) kali pengamatan, yaitu 14 HST, 24 HST, 42 HST, 56 HST. Hasil uji BNJ dengan taraf 5% menunjukkan perlakuan varietas sidenok dan dosis pupuk organik 20Kg (V1D2) memberikan perlakuan yang nyata terhadap umur tanaman umur 14 HST yaitu 29,43 cm.
50
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Tabel 4. Hasil analisis statistika rerata tertinggi tanaman (cm) umur 14 hari setelah tanam (HST), karena pengaruh beberapa varietas dan dosis pupuk organik
Sumber keragaman
db
1.Ulangan 2.Petak Utama (V) 3.Galat (a) 4.Anak Petak (D) 5.V X D 6. Galat (b)
2 4 8 2 8 20
Jumlah kredit 0,286 222,687 0,585 1,016 9,261 3,989
Kuadrat tengah 0,143 55,672 0,073 0,508 1,158 0,199
F. Hitung
F. Tabel 5,00% 1,00%
760,854 **
3,84
7,01
2,548ns 5,805 *
3,49 2,45
5,85 3,56
Tabel 5. Hasil analisis statistika rerata tinggi tanaman (cm) umur 28 hari setelah tanam (HST), karena pengaruh beberapa varietas dan dosis pupuk organik F. Tabel Jumlah Kuadrat Sumber keragaman db F. Hitung kredit tengah 5,00% 1,00% 1.Ulangan 2 43,837 21,919 2.Petak Utama (V) 4 192,71 48,178 7,089** 3,84 7,01 3.Galat (a) 8 54,366 6,796 4.Anak Petak (D) 2 4,735 2,367 2,926ns 3,49 5,85 5.V X D 8 28,669 3,584 4,429* 2,45 3,56 20 16,183 0,809 6. Galat (b) Tabel 6. Hasil analisis statistika rerata tinggi tanaman (cm) umur 42 hari setelah tanam (HST), karena pengaruh beberapa varietas dan dosis pupuk organik F. Tabel Jumlah Kuadrat Sumber keragaman db F. Hitung kredit tengah 5,00% 1,00% 1.Ulangan 2 93,502 46,751 2.Petak Utama (V) 4 136,149 34,037 1,654ns 3,84 7,01 3.Galat (a) 8 164,607 20,576 4.Anak Petak (D) 2 620,440 310,220 29,018** 3,49 5,85 5.V X D 8 90,402 11,300 1,057ns 2,45 3,56 6. Galat (b) 20 213,811 10,691 Tabel 7. Hasil analisis statistika rerata tinggi tanaman (cm) umur 42 hari setelah tanam (HST), karena pengaruh beberapa varietas dan dosis pupuk organik F. Tabel Jumlah Kuadrat Sumber keragaman db F. Hitung kredit tengah 5,00% 1,00% 1.Ulangan 2 45,143 22,572 2.Petak Utama (V) 4 88,282 22,071 2,634ns 3,84 7,01 3.Galat (a) 8 67,026 8,378 4.Anak Petak (D) 2 722,272 361,136 106,180** 3,49 5,85 5.V X D 8 67,189 8,399 2,469* 2,45 3,56 6. Galat (b) 20 68,023 3,401 Keterangan: * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, ns = berbeda tidak nyata Hasil analisis statistika Tabel 5 menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang berbeda nyata antara perlakuan varietas dan dosis pupuk organik. Pada uji BNJ dengan taraf 5%. Rerata tertinggi didapat dari perlakuan varietas sidenok (VI) yaitu 51,881 cm dan dosis pupuk organik 30Kg (D3) yaitu 54,993 cm.
Hasil analisis statistika Tabel 4 menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang berbeda nyata antara perlakuan varietas dan dosis pupuk organik. Hasil analisa penelitian disajikan pada Tabel 4. Hasil uji BNJ dengan taraf 5% menunjukkan perlakuan varietas inpari 10 dan dosis pupuk organik 30Kg (V2D3) memberikan rerata tertinggi yaitu 39,47 cm.
51
Uji Pengaruh Varietas Inpari dan Dosis Pupuk Organik …
Riswatul M. & Ida S. Tanah yang berasal dari daerah-daerah yang luas, lokal atau bahkan daerah yang kecil saja, seperti plot experimen, mungkin bervariasi secara morfologis, fisik, kimiawi, biologis, dan karenanya juga dalam hal tenaga memasok nutreanya. Misalnya, tanah yang kaya dengan liat dan bahan organik mempunyai kapasitas pertukaran kation yang tinggi. Tanah-tanah semacam tanah mengandung ion-ion nutria yang dapat bertukar dalam jumlah yang banyak sekali (Gardner, 1991) Sekitar 40%-50% kandungan protoplasma yang merupakan substansi hidup dari sel tumbuhan terdiri dari senyawa nitrogen. Senyawa nitrogen digunakan oleh tanaman untuk membentuk asam amino yang akan diubah menjadi protein. Nitrogen juga dibutuhkan untuk membentuk senyawa penting seperti klorofil, asam nukleat dan enzim. Karena itu, nitrogen dibutuhkan dalam jumlah relatif besar pada setiap pertumbuhan vegetatif, seperti pembentukan tunas atau perkembangan batang dan daun. (Novizan, 2005). Keadaan ini berkaitan dengan optimalisasi dosis pupuk organik tersebut sehingga memberikan pengaruh yang positif terhadap proses-proses pertumbuhan tanaman. Keadaan yang menguntungkan ini mampu meningkatkan kesuburan tanah dan membantu memenuhi kebutuhan unsur hara tanah yang secara langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman yang lebih baik.
Hasil analisis statistika Tabel 6. Menujukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang berbeda nyata antara perlakuan varietas dan dosis pupuk organik. Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang berbeda nyata antara perlakuan varietas dan dosis pupuk organik. Rerata tertinggi didapat dari kombinasi perlakuan varietas sidenok dan dosis pupuk organik 30Kg (V1D3) yaitu 66,3 cm. Paramater pengamatan pada tinggi tanaman dimulai dari umur 14, 28, 42, 56 hari setelah tanam dikarenakan pertumbuhan tinggi tanaman padi yang aktif dimulai pada umur 14 hari setelah tanam dan berakhir pada umur 5666 hari setelah tanam. Hasil analisa statistika tinggi tanaman umur 14, 28, 42, 56 HST pada perlakuan varietas menunjukkan berbeda nyata. Hasil analisa ragam menunjukkan tinggi tanaman umur 14, 28, 56 HST menunjukkan adanya interaksi nyata antara perlakuan varietas dan dosis pupuk organik terhadap tinggi tanaman. Untuk tinggi tanaman umur 42 HST tidak terjadi interaksi antara perlakuan varietas dan dosis pupuk organik terhadap tinggi tanaman. Kajian BNJ menunjukkan perlakuan VI (varietas sidenok) memberikan rerata tinggi tanaman tertinggi dan berbeda nyata terhadap perlakuan lain pada tanaman umur 14, 42, 56 HST. Untuk tanaman umur 28 HST menunjukkan perlakuan V2 (varietas inpari 10) memberikan rerata tertinggi terhadap perlakuan lain. Keadaan ini diduga bahwa VI (varietas sidenok) dan V2 (varietas inpari 10) mempunyai kemampuan pertumbuhan tanaman lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lain. Keadaan ini diduga bahwa VI (varietas sidenok) dan V2 (varietas inpari 10) mempunyai kemampuan pertumbuhan tanaman lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini dapat dijelaskan bahwa perbedaan respon dari varietas tanaman padi akbat sifat genetik ditampikan dalam bentuk perbedaan kemampuan beradaptasi lokasi yang berkaitan dengan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan faktor-faktor pertumbuhan dari lingkungan, sehingga terjadi perbedaan dalam hal pertumbuhan, resistensi terhadap lingkungan buruk dan kemampuan hasil (Badan Pengendali Bimas, 1983) Pada umur 28, 42, 56 HST menunjukkan sangat berbeda nyata. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa perbedaan dosis pupuk organik yang diberikan pada tanaman serta faktor genetik pada setiap varietas. Kandungan unsur N yang terdapat pada pupuk organik sangat membantu pertumbuhan tanaman, terutama untuk tinggi tanaman. Bila dilihat dari segi kimia yaitu potensi blotong mampu menyediakan unsur hara setara dengan 28Kg ZA, 22Kg TSP, 1Kg KCl dalam tiap ton blotong (Suhadi dkk, 1988), sedangkan untuk kotoran ayam menurut (Sutanto, 2000) kotoran ayam mengandung 57% H2O, 29% senyawa organik, 1,5% N, 1,3% P2O5.
Jumlah Anakan Analisa statistika jumlah anakan pada penelitian ini terdiri dari empat (4) kali pengamatan, yaitu 14 HST, 24 HST, 42 HST, 56 HST. Berikut hasil rerata jumlah anakan pada umur 14, 28, 42, 56 HST, sedangkan hasil statistik tinggi tanaman dimulai dari umur 14 HST dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil analisis statistika Tabel 8 sampai Tabel 11 menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang berbeda nyata antara perlakuan varietas dan dosis pupuk organik pada umur 14, 28, 42, 56 hari setelah varietas sidenok (VI) yaitu 0,422 pada umur 14 HST, varietas sidenok (V2) yaitu 3,322 pada umur 28 HST, varietas sidenok (VI) yaitu 5,488 pada umur 42 HST, dan varietas sidenok (VI) yaitu 8,878 pada umur 56 HST. Untuk perlakuan dosis pupuk organik rerata tertinggi pada semua parameter pengamatan didapat dari perlakuan dosis pupuk organik 30Kg (D3) yaitu 0,34 pada umur 14 HST, dosis pupuk organik 30Kg (D3) yaitu 2,56 pada umur 28 HST, dosis pupuk organik 30Kg (D3) yaitu 8,32 HST pada umur 56 HST. Hasil analisa statistika jumlah anakan per rumpun 14, 28, 42, 56 HST pada perlakuan varietas menunjukkan berbeda nyata. Hasil analisa statistika jumlah anakan per rumpun umur 14, 28, 42, 56 HST menunjukkan tidak ada interaksi nyata antara perlakuan varietas dan dosis pupuk organik terhasap tinggi tanaman.
52
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Tabel 8. Hasil analisis statistika jumlah anakan umur 14 hari setelah tanam (HST), karena pengaruh beberapa varietas dan dosis pupuk organik F. Tabel Jumlah Kuadrat Sumber keragaman db F. Hitung kredit tengah 5,00% 1,00% 1.Ulangan 2 0,0067 0,003 2.Petak Utama (V) 4 0,208 0,052 4,067* 3,84 7,01 3.Galat (a) 8 0,102 0,013 4.Anak Petak (D) 2 0,003 0,001 0,157ns 3,49 5,85 5.V X D 8 0,072 0,009 1,014ns 2,45 3,56 6. Galat (b) 20 0,178 0,009 Tabel 9. Hasil analisis statistika jumlah anakan umur 28 hari setelah tanam (HST), karena pengaruh beberapa varietas dan dosis pupuk organik F. Tabel Jumlah Kuadrat Sumber keragaman db F. Hitung kredit tengah 5,00% 1,00% 1.Ulangan 2 0,133 0,067 2.Petak Utama (V) 4 10,446 2,612 24,990** 3,84 7,01 3.Galat (a) 8 0,836 0,105 4.Anak Petak (D) 2 0,148 0,074 0,508ns 3,49 5,85 5.V X D 8 0,714 0,089 0,613ns 2,45 3,56 6. Galat (b) 20 2,911 0,146 Tabel 10. Hasil analisis statistika jumlah anakan umur 42 hari setelah tanam (HST), karena pengaruh beberapa varietas dan dosis pupuk organik Sumber keragaman
db
1.Ulangan 2.Petak Utama (V) 3.Galat (a) 4.Anak Petak (D) 5.V X D 6. Galat (b)
2 4 8 2 8 20
Jumlah kredit 1,029 19,888 4,282 9,348 0,843 3,942
Kuadrat tengah 0,515 4,972 0,535 4,674 0,105 0,197
F. Hitung
F. Tabel 5,00% 1,00%
9,289*
3,84
7,01
23,714ns 0,535ns
3,49 2,45
5,85 3,56
Tabel 11. Hasil analisis statistika jumlah anakan umur 42 hari setelah tanam (HST), karena pengaruh beberapa varietas dan dosis pupuk organik F. Tabel Jumlah Kuadrat Sumber keragaman db F. Hitung kredit tengah 5,00% 1,00% 1.Ulangan 2 1,581 0,791 2.Petak Utama (V) 4 47,259 11,815 9,966* 3,84 7,01 3.Galat (a) 8 9,459 1,182 4.Anak Petak (D) 21,834 5,85 2 43,707 47,544** 3,49 5.V X D 8 2,827 0,353 0,768ns 2,45 3,56 6. Galat (b) 20 9,193 0,459 Keterangan: * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, ns = berbeda tidak nyata Kajian BNJ menunjukkan perlakuan VI (varietas sidenok) memberikan rerata jumlah anakan tertinggi dan berbeda nyata terhadap perlakuan lain pada tanaman umur 14, 28, 42, 56 HST. Keadaan ini diduga bahwa VI (varietas sidenok) dan mempunyai kemampuan pertumbuhan tanaman lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lain.
Hal ini berkaitan dengan sifat genetika yang berbeda pada verietas. Keadaan ini dapat dalam bentuk perbedaan kemampuan berdaptasi lokasi yang berkaitan dengan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan faktor-faktor pertumbuhan dan lingkungan sehingga terjadi perbedaan pada umur tanaman, reponsip pumupukan, jumlah anakan yang dihasilkan, kecepatan tumbuh, resistensi terhadap lingkungan buruk dan kemampuan hasil (Badan Pengandali Bimas, 1983).
53
Uji Pengaruh Varietas Inpari dan Dosis Pupuk Organik … Kajian BNJ menunjukkan perlakuan D3 (dosis pupuk organik 30Kg) memberikan rerata tertinggi dan berbeda nyata terhadap perlakuan lain. Keadaan ini diduga bahwa D3 (dosis pupuk organik 30Kg) mempunyai kemapuan meningkatkan pertumbuhan tanaman lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lain. Perlakuan dosis pupuk organik menunjukkan berbeda sangat nyata untuk jumlah anakan produktif 42 dan 56 HST. Menurut (AAK, 1990) pada fase ini dimulai dari jumlah anakan mencapai maksismum sampai keluanya primordial (bakal malai). Syarief (1986) mengatakan bahwa, pupuk organik membantu memperbaiki kesuburan tanah, sehingga hal ini dapat membantu proses-proses pertumbuhan pada tanaman yang lebih baik. Hal ini dapat dijelaska bahwa menurut Arifin (1986), kegunaan blotong bila ditinjau secara fisik akan sangat menguntungkan bila dimanfaatkan oleh tanah. Potensi blotong bila dilihat dari segi kimia yaitu kemampuan untuk menyediakan unsur hara tanah yang setara dengan 228Kg ZA, 22Kg TSP, 1Kg KCl dalam tiap ton blotong. Kotoran ayam mengandung 57% H2O, 29% senyawa organik, 1,5% N, 1,3% P2O5 (Sutanto, 2002). Konsentrasi kritis didefinisikan sebagai konsentrasi tepat dibawah konsentrasi yang memberikan pertumbuhan optimum, tingkat konsentrasi minimum jaringan adalah konsentrasi yang memberikan pertumbuhan mendekati maksimal, (Epsten, 1972). Selain itu menurut Rinsema (1983) pupuk organik sangat penting karena dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan daya serap tehadap air, menaikkan kondisi kehidupan didalam tanah, mengandung zat makanan tanaman. Hasil analisa ragam menunjukkan tidak terdapat interaksi snyata antara perlakuan varietas dan dosis pupuk organik terhadap jumlah anakan produktif. Tanaman padi memilik pola anakan berganda. Batang utama akan tumbuh anakan primer yang selanjutnya menghasilkan anakan sekunder dan anakan tesier. Banyaknya anakan yang keluar pada setiap jenis padi tidak sama. Jumlah anakan ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor keturunan dan faktor luar. Faktor luar yang mempengaruhi pembentukan anakan antara lain: keadaan pengairan , jarak tanam dan jumlah bibit per rumpun (Manurunbg dan Ismunadji, 1988).
Riswatul M. & Ida S. Keadaan ini diduga adanya keterkaitan optimalisasi dosis pupuk organik tersebut sehingga memberikan pengaruh yang positif terhadap ketersedian unusr hara yang dibutuhkan tanman serta membantu menambah bahan organik yang meningkatkan kesuburan tanah. Jumlah Gabah Per Malai Hasil analisis statistika Tabel 12 menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang berbeda nyata antara perlakuan varietas dan dosis pupuk organik. Rerata tertinggi didapat dari perlakuan varietas sidenok (VI) yaitu 11,648 dan dosis pupuk organik 30Kg (D3) yaitu 12,18. Kajian BNJ menunjukkan perlakuan VI (varietas sidenok) memberikan rerata jumlah gabah per malai tertinggi dan berbeda nyata terhadap jumlah gabah per malai. Hal ini berkaitan dengan sifat genetika yang berbeda pada setiap varietas. Keadaan ini dapat dalam bentuk perbedaan kamampuan beradaptasi lokasi yang berkaitan dengan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan faktor-faktor pertumbuhan dan lingkungan sehingga terjadi perbedaan pada umur tanaman, sesponsip pumupukan, jumlah anakan yang dihasilkan, kecepatan tumbuh, resistensi terhadap lingkungan buruk dan kemampuan hasil (Badan Pengendali Bimas, 1983) Hasil kajian BNJ menunjukkan perlakuan D3 (dosis pupuk organik 30Kg) memberikan rerata jumlah gabah permalai tertinggi dan berbeda sangat nyata. Keadaan ini diduga adanya keterkaitan optimalasi dosis pupuk organik tesebut sehingga memberikan pengaruh yang positif terhadap ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman serta membantu menambah bahan organik sangat membantu memperbaiki kesuburab tanah, sehingga hal ini dapat membantu proses-proses pertumbuhan pada tanaman yang lebih baik. Hal ini dapat dijelaskan bahwa menurut Arifin (1986), kegunaan blotong bila ditinjau secara fisik akan sangat menguntungkan bila dimanfaatkan oleh tanah. Potensi blotong bila dilihat dari segi kimia yaitu kemapuan untuk menyediakan unsur hara tanah yang setara dengan 228Kg ZA, 22Kg TSP, 1Kg KCl dalam tiap ton blotong. Kotoran ayam mengandung 57% H2O, 29% senyawa organik, 1,5% N, 1,3% P2O5 (Sutanto, 2002).
Tabel 12. Hasil analisis statistika jumlah gabah per malai, karena pengaruh beberapa varietas dan dosis pupuk organik Sumber keragaman
db
1.Ulangan 2.Petak Utama (V) 3.Galat (a) 4.Anak Petak (D) 5.V X D 6. Galat (b)
2 4 8 2 8 20
Jumlah kredit 0,112 24,427 15,763 95,766 5,095 9,17
Kuadrat tengah 0,056 6,107 1,970 47,883 0,637 0,459
F. Hitung
F. Tabel 5,00% 1,00%
3,1ns
3,84
7,01
104,320** 1,388ns
3,49 2,45
5,85 3,56
Keterangan: * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, ns = berbeda tidak nyata
54
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Menurut Mengel dan Kirkby (1987), pada PH rendah, nitrat diserap lebih cepat dibandingkan dengan amonium, sedangkan pada PH netral, kemungkinan penyerapan keduanya seimbang. Hasil analisa statistika perlakuan varietas menunjukkan tidak berbeda nyata untuk jumlah gabah per malai. Keadaan ini diduga karena premodia biasanya keluar pada hari ke 50 atau 60 HST. Pada fase ini bebrapa anakan akan mati sehingga jumlah anakan akan berkurang. Disisi lain, tinggi tanaman dan berat jerami terus bertambah, tetapi tidak secepat fase pertama. Pada fase ini biasanya merupakan saat yang tepat untuk memulai pemupukan kedua atau ketiga (AAK, 1990).
Hal ini dapat dijelaskan bahwa menurut Arifin (1986), kegunaan blotong bila ditinjau secara fisik akan sangat menguntungkan bila dimanfaatkan oleh tanah. Potensi blotong bila dilihat dari segi kimia yaitu kemapuan untuk menyediakan unsur hara tanah yang setara dengan 228Kg ZA, 22Kg TSP, 1Kg KCl dalam tiap ton blotong. Kotoran ayam mengandung 57% H2O, 29% senyawa organik, 1,5% N, 1,3% P2O5 (Sutanto, 2002). Bobot 1000 Butir Gabah, Berat Gabah Per Petak, Berat Gabah Basah per ha, Berat Gabah Kering per ha Berikut merupakan tabel hasil rerata bobot 1000 butir gabah, berat gabah per petak, berat gabah basah per ha, berat gabah kering per ha, sedangkan hasil statistik pada tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 15 sampai Tabel 18. Hasil analisis statistik Tabel 15 sampai Tabel 17 menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang berbeda nyata antara perlakuan varietas dan dosis pupuk organik pada bobot 1000 butir gabah, berat gabah per petak, berat gabah basah per ha, berat gabah kering per ha. Rerata tertinggi didapat dari perlakuan varietas inpari 10 (V2) yaitu 22,203 (gr) pada parameter pengamatan bobot 1000 butir gabah. Rerata tertinggi didapat dari perlakuan varietas inpari 11 (V3) untuk parameter pangamatan berat gabah per petak, berat gabah basah per ha, berat gabah kering per ha varietas inpari 11 (V3) yaitu 4,293 (Kg) pada pengamatan berat gabah per petak, varietas inpari 11 (V3) yaitu 42,933 (ton) pada pengamatan berat gabah kering per ha. Untuk perlakuan dosis pupuk organik rerata tertinggi pada semua parameter pengamatan didapat dari perlakuan dosis pupuk organik 30 Kg (D) yaitu yaitu 24,338 (gr) pada pengamatan bobot 1000 butir gabah, dosis pupuk organik 30 Kg (D3) yaitu 4,158 (Kg) pada pengamatan berat gabah per petak, dosis pupuk organik 30Kg (D3) yaitu 41,58 (ton) pada pengamatan berat gabah basah per ha, dan dosis pupuk organik (D3) yaitu 10,395 (ton) pada pengamatan berat gabah kering per ha. Hasil kajian BNJ menunjukkan perlakuan V2 (varietas inpari 10) memberikan rerata bobot 1000 butir gabah tertinggi dan berbeda sangat nyata terhadap perlakuan yang lain. Hasil kajian BNJ menunjukkan perlakuan V3 (varietas inpari 11) memberikan rerata berat gabah (basah) per petak tertinggi dan berbeda sangat nyata terhadap perlakuan yang lain.
Bobot Gabah Per Rumpun Hasil analisis statistika Tabel 13 menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang berbeda nyata antara perlakuan varietas dan dosis pupuk organik. Rerata tertinggi didapat dari kombinasi perlakuan varietas sidenok dan dosis pupuk organik 30Kg (V1D3) yaitu 12,347. Hasil analisis statistika perlakuan varietas menunjukkan berbeda nyata untuk bobot gabah per rumpun. Kajian BNJ menunjukkan perlakuan VI (varietas sidenok) memberikan rerata bobot gabah per rumpun tetinggi dan berbeda nyata terhadap perlakuan lain. Hal ini berkaitan dengan sifat genetika yang berbeda pada setiap varietas. Keadaan ini dapat dalam bentuk perbedaan kemampuan beradaptasi lokasi yang berkaitan dengan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan faktor-faktor pertumbuhan dan lingkungan sehingga terjadi perbedaan pada umur tanaman, responsip pemupukan, jumlah anakan yang dihasilkan, kecepatan tumbuh, resistensi terhadap lingkungan buruk dan kemampuan hasil (Badan Pengendali Bimas, 1983). Hasil kajian BNJ menunjukkan perlakuan D3 (dosis pupuk organik 30Kg) memberikan rerata bobot gabah per rumpun tertinggi dan berbeda nyata terhadap perlakuan lain. Kedaan ini diduga adanya keterkaitan optimalisasi dosis pupuk organik tersebut sehingga memberikan pengaruh yang positif terhadap ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman serta membantu menambah bahan organik yang meningkatkan kesuburan tanah. Syarief (1986) mengatakan bahwa, pupuk organik membantu memperbaiki kesuburan tanah, sehingga hal ini dapat membantu proses-proses pertumbuhan pada tanaman yang lebih baik.
Tabel 13. Hasil analisis statistika bobot gabah per rumpun, karena pengaruh beberapa varietas dan dosis pupuk organik Sumber keragaman
db
1.Ulangan 2.Petak Utama (V) 3.Galat (a) 4.Anak Petak (D) 5.V X D 6. Galat (b)
2 4 8 2 8 20
Jumlah kredit 0,068 11,909 1,761 55,526 4,899 1,994
Kuadrat tengah 0,034 2,977 0,220 27,763 0,612 0,099
F. Hitung
F. Tabel 5,00% 1,00%
13,532**
3,84
7,01
278,465** 6,138**
3,49 2,45
5,85 3,56
Keterangan: * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, ns = berbeda tidak nyata
55
Uji Pengaruh Varietas Inpari dan Dosis Pupuk Organik …
Riswatul M. & Ida S. Keadaan ini terjadi diduga bahwa perlakuan D3 (dosis pupuk organik 30Kg) memberikan kondisi ketersedian unsur hara lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini berkaitan dengan optimalisasi pupuk organik tersebut sehingga memberikan pengaruh yang positif terhadap proses-proses pada tanaman, serta membantu penambahan bahan organik hal ini dangat menguntungkan tanah sehingga mampu meningkatkan dan memperbaiki kesuburan tanah yang secara langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa menurut Arifin (1986), kegunaan blotong bila ditinjau secara fisik akan sangat menguntungkan bila dimanfaatkan oleh tanah. Potensi blotong bila dilihat dari segi kimia yaitu kemapuan untuk menyediakan unsur hara tanah yang setara dengan 228Kg ZA, 22Kg TSP, 1Kg KCl dalam tiap ton blotong. Kotoran ayam mengandung 57% H2O, 29% senyawa organik, 1,5% N, 1,3% P2O5 (Sutanto, 2002). Aboulrous dan Nielsen (1979) menemukan bahwa pemupukan P meningkatkan hasil panen dan pengambilan P, selain itu juga meningkatkan panjang akar, kehalusan akar dan kerapatannya. Di zona defisiansi penambahan tiap nutris berakibat meningkatnya produksi berat kering, sedangkan di zona cukup, penambahan tiap nutrisi berakibat meningkatnya kandungan unsur di dalam jaringan tanaman, tetapi sedikit atau tidak ada penigkatan hasil panen. Hasil analisa ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi terhadap bobot 1000 butir gabah, berat gabah (basah) per petak, berat gabah (basah) per ha, berat gabah (kerign) per ha.
Hasil kajian BNJ menunjukkan perlakuan V3 (varietas inpari 11) memberikan rerata gabah (kering) per ha tertinggi dan berbeda sangat nyata terhadap perlakuan yang lain. Bila dilihat dari sifat genetik varietas inpari 11 dan varietas inpari 10 ini memiliki tinggi tanaman yang lebih pendek dibandingkan dengan varietas yang lain, peningkatan pemanjangan batang sering menguntungkan bagi tumbuhan yang berkopetensi untuk mendapatkan cahaya, tetapi pada tanaman serealia (misalnya padi) yang tumbuh seragam, pemanjangan batang tidak memberikan keuntungan. Peningkatan hasil justru lebih banyak mengakolasikan hasil fotosintesisnya ke biji daripada untuk pertumbuhan batang (Lakitan, 2008). Hal ini berkaitan dengan sifat genetik yang dibawanya berbeda dengan varietas lain. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa perbedaan respon dari varietas tanaman padi akibat perbedaan sifat genetik yang ditampilkan dalam bentuk kemapuan beradaptasi dengan lingkungannya yang berkaitan dengan kemapuan tanaman memanfaatkan faktor-faktor pertumbuhan, respon terhadap pemupukan, resitensi terhadap lingkungan buruk, kecepatan tumbuh dan kemam[uan hasil produktifitas (Badan Pengendali Bimas, 1983). Hasil kajian BNJ menunjukkan perlakuan D3 (dosis pupuk organik 30Kg) memberikan rerata tertinggi dan berbeda sangat nyata terhadap bobot 1000 butir gabah, berat gabah (basah) per petak, berat gabah (basah) per ha, berat gabah (kering) per ha dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
Tabel 14. Uji BNJ 5% rerata bobot 1000 butir gabah, berat gabah per petak, berat gabah basah per ha, berat gabah kering per ha, karena pengaruh varietas dan dosis pupuk organik
Berat Perlakuan varietas V1 V2 V3 V4 V5 BNJ 5%
1000 Btr gabah (gr)
Gabah per petak (Kg)
21,373a 22,203b 21,756a 21,295a 21,319a 0,466
3,741b 3,72b 4,293c 3,241a 4,133c 0,284
Gabah basah (ton/ha) 37,411a 37,2a 42,933c 32,444a 41,333b 11,972
Gabah kering (ton/ha) 9,353a 9,967a 10,733b 8,378a 10,333b 11,723
Gabah basah (ton/ha) 35,453a 37,76a 41,58b 25,700
Gabah kering (ton/ha) 9,063a 9,8a 10,395b 8,219
Berat Perlakuan varietas D1 D2 D3 BNJ 5%
1000 Btr gabah (gr)
Gabah per petak (Kg)
19,545a 20,885b 24,338c 0,327
3,545a 3,776b 4,158c 0,198
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNJ dengan taraf 5%
56
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X Pada fase ini, berat malai terus bertambah karena sudah mulai berisi sedangkan berat jerami mulai menurun. Seperti halnya fase reproduksi, lama fase pemasakan ini sama dengan fase vegetatif. Faktor lingkungan yang mempengaruhi diantaranya adalah: iklim, biologis (AAK, 1990).
Keadaan ini diduga bahwa bobot 1000 butir gabah, berat gabah (basah) per petak, berat gabah (basah) per ha, berat gabah (kering) per ha ditentukan pada fase pematangan yang dipengaruhi lingkungan pada saat fase pematangan biji (Soemidi, 1988). Fase pematangan ini dimulai dari keluarnya bunga sampai dengan saat panen.
Tabel 15. Hasil analisis statistika bobot 1000 butir gabah, karena pengaruh beberapa varietas dan dosis pupuk organik F. Tabel Jumlah Kuadrat Sumber keragaman db F. Hitung kredit tengah 5,00% 1,00% 1.Ulangan 2 0,3322 0,166 2.Petak Utama (V) 4 5,490 1,373 6,476* 3,84 7,01 3.Galat (a) 8 1,692 0,212 4.Anak Petak (D) 2 183,438 91,719 495,778** 3,49 5,85 5.V X D 8 2,185 0,273 1,476ns 2,45 3,56 6. Galat (b) 20 3,699 0,185 Tabel 16. Hasil analisis statistika berat gabah per petak, karena pengaruh beberapa varietas dan dosis pupuk organik F. Tabel Jumlah Kuadrat Sumber keragaman db F. Hitung kredit tengah 5,00% 1,00% 1.Ulangan 2 0,74 0,37 2.Petak Utama (V) 4 6,026 11,507 6,476* 3,84 7,01 3.Galat (a) 8 0,91 0,114 4.Anak Petak (D) 2 2,873 1,437 495,778** 3,49 5,85 5.V X D 8 0,664 0,083 1,476ns 2,45 3,56 6. Galat (b) 20 1,367 0,068 Tabel 17. Hasil analisis statistika berat gabah basah per hektar, karena pengaruh beberapa varietas dan dosis pupuk organik F. Tabel Jumlah Kuadrat Sumber keragaman db F. Hitung kredit tengah 5,00% 1,00% 1.Ulangan 2 7392,178 3696,089 2.Petak Utama (V) 4 60255,2 15063,8 13,236** 3,84 7,01 3.Galat (a) 8 9104,933 1138,117 4.Anak Petak (D) 2 28724,578 14362,289 21,027** 3,49 5,85 5.V X D 8 6648533 831,067 1,217ns 2,45 3,56 6. Galat (b) 20 13660,889 683,044 Tabel 18. Hasil analisis statistika berat gabah kering per hektar, karena pengaruh beberapa varietas dan dosis pupuk organik F. Tabel Jumlah Kuadrat F. Hitung Sumber keragaman db tengah kredit 5,00% 1,00% 1.Ulangan 2 246,144 123,072 2.Petak Utama (V) 4 3055,416 763,854 13,236** 3,84 7,01 3.Galat (a) 8 744,593 93,074 4.Anak Petak (D) 2 1335,019 667,509 21,027** 3,49 5,85 5.V X D 8 910,468 113,809 1,217ns 2,45 3,56 6. Galat (b) 20 2328,14 116,407 Keterangan: * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, ns = berbeda tidak nyata
57
Uji Pengaruh Varietas Inpari dan Dosis Pupuk Organik … PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dengan judul uji pengaruh varietas padi inpari dan dosis pupuk organik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi (oryza sativa), maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perlakuan varietas sidenok (VI) memberikan rerata tertinggi terhadap tinggi tanaman pada umur 14 HST dengan rerata 29,43 cm, pada umur 42 HST dengan rerata 51,811 cm, pada umur 56 HST dengan rerata 66,3cm, maupun terhadap jumlah anakan pada umur 14 HST dengan rerata 0,422, pada umur 28 HST dengan rerata 3,322, pada umur 42 HST dengan rerata 5,488, pada umur 56 HST dengan rerata 8,878, jumlah gabah per malai dengan rerata 11,648, bobot gabah per rumpun dengan rerata 12,347 (gr). Perlakuan varietas inpari 10 memberikan rerata tertinggi terhadap tinggi tanaman pada umur 28 HST dengan rerata 39,47 dan 1000 butir gabah dengan rerata 22,203 (gr). Perlakuan varietas inpari 11 (V3) memberikan rerata tertinggi terhadap berat gabah per petak dengan rerata 4,293 (Kg), berat gabah basah per ha dengan rerata 42,933 (ton), berat gabah kering per ha dengan rerata 10,733 (ton). 2. Perlakuan D2 (dosis pupuk organik 20Kg) memberikan rerata tertinggi terhadap tinggi tanaman umur 28 HST dengan rerata 39,47, maupun jumlah anakan pada umur 14 HST dengan rerata 0,353. Perlakuan faktor tunggal perlakuan D3 (Dosis pupuk organik 30Kg) membarikan rerata tertinggi terhadap tinggi tanaman pada unsur 14 HST dengan rerata 29,43, pada umur 42 HST dengan rerata 54,993, pada umur 56 HST dengan rerata 66,3, jumlah anakan memberikan rerata tertinggi pada umur 28 HST dengan rerata 2,56, pada umur 42 dengan rerata 4,877, pada umur 56 HST dengan rerata 8,32, jumlah gabah per malai memberikan rerata tertinggi yaitu 12,182, bobot gabah per rumpun memberikan jumlah rerata tertinggi yaitu 12,34 (gr), bobot 1000 butir gabah memberikan jumlah rerata tertinggi yaitu 24,338 (gr), berat gabah per petak memberikan rerata tertinggi yaitu 4,158 (Kg), berat gabah basah per ha memberikan jumlah rerata tertinggi yaitu 41,58 (ton), berat gabah kering basah ha 10,395 (ton). 3. Terdapat interaksi yang berbeda nyata antara perlakuan varietas VI (varietas sidenok) dan dosis pupuk organik 30Kg (D3) / kombinasi (V1D3) terhadap pertumbuhan dan hasil padi, dimana perlakuan (V1D3) memberikan rerata tertinggi pada parameter tinggi tanaman umur 56 HST dengan jumlah rerata 66,3, bobot gabah per rumpun memberikan rerata tertinggi yaitu 12,34. Terdapat interaksi yang berbeda nyata antara perlakuan varietas inpari 10 (V2) dan dosis pupuk organik 30Kg (D3) / kombinasi (V2D3) terhadap pertumbuhan dan hasil padi pada parameter tinggi tanaman umur 28 HST membarikan rerata tertinggi yaitu 39,47.
Riswatul M. & Ida S.
Saran 1. Varietas sidenok, varietas inpari 10 dan inpari 11 dan dosis pupuk organik 20Kg merupakan salah satu faktor penting dalam menapai hasil yang tinggi dalam proses pertimbuhan dan hasil produksi tanaman padi karena dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman padi. 2. Usaha mendapatkan pertumbuhan dan hasil tanaman padi yang maksimal dalam usaha tani, perlu dilakukan penggunaan / pemberian varietas dan dosis pupuk organik yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman padi karena varietas unggul sangat mempengaruhi berbagai faktor pertumbuhan dan hasil tanaman padi, sedangkan pupuk organik dapat membantu memperbaiki tanah serta membantu menyediakan unur hara tanah.
DAFTAR PUSTAKA AAK (Aksi Agraris Kanisius). 1990. Bercocok Tanam Padi. Yogyakarta. Kanisius Arifin, S. 1986. Kajian Tentang Pengaruh Blotong Terhadap Sifat Fisik Tanah dan Pertumbuhan Tebu di Tanah Podsolik Merah Pantai. Thesis Pasca Sarjana. UGM. Yogyakarta Badan Pengendali Bimas. 1983. Pedoman Bercocok Tanam Padi dan Sayur-sayuran. Jakarta. Departmen Pertanian Benyamin, Lakitan. 2008. Dasar-dasar Tumbuhan. Jakarta. Rajawali Pers
Fisiologi
Gardner, dkk. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta. UI-Press. Hanafiah. 2011. Rajawali Pers
Rancangan
Percobaan.
Jakarta.
Joehana. 1986. Pupuk Orgaink dan Pemanfaatannya. Brosur Pertanian Novizan. 2005. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Jakarta. Agromedia Pustaka Rinsema,W.T. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta. Bharata Karya Aksara. Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta. Kanisius Susilo, Budi. 2002. Pengaruh Dosis Pupuk Agro-Hayati EM-4 dan Beberapa Varietas Tehada Pertumbuhan dan Hasl Padi (Oryza sativa) Syarief. 1986. Kesuburan Tanah dan Pemupukan Tanah Pertanian. Bandung. Pustaka Buana.
58
ISSN 2355-195X
STABILITAS DAN ADAPTABILITAS HASIL SEPULUH GENOTIPE KEDELAI (Glycine max, L. Merrill) PADA TIGA LOKASI DI MUSIM KEMARAU DENGAN METODE PERKINS DAN JINKS Mimik Umi Zuhroh1 1
Staf Pengajar, Universitas Panca Marga
[email protected]
(diterima: 11.01.2014, direvisi: 25.01.2014)
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adaptabilitas dan stabilitas hasil dari sepuluh genotipe kedelai di enam lingkungan yang berbeda dengan metode Perkins dan Jinks. Bahan penelitian yang digunakan adalah sepuluh genotipe kedelai generasi ke empat, yang terdiri dari enam varietas (Burangrang, Argomulyo, Leuser, Malabar dan Wilis) dan empat galur yang dikembangkan Fakultas Pertanian Jember (G 7955, G 482, G 481, dan G 234). Penelitian dilakukan di musim kemarau II pada musim tanam 2002 dengan tiga lokasi yang berbeda agroklimatnya, yaitu Jember, Probolinggo dan Mojokerto. Untuk musim kemarau I menggunakan data sekundair, sehingga ada Jember I, Jember II, Probolinggo I, Probolinggo II, Mojokerto I dan Mojokerto II. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga kali ulangan. Ukuran petak percobaan 2m x 2m dengan jarak antar tanam 40 cm dan di dalam baris 10 cm. Tiap lubang ditumbuhkan dua tanaman. Sidik ragam masing-masing lokasi dilakukan untuk mencari KT galat masing-masing lokasi dan musim terhadap parameter yang diamati. Selanjutnya diuji homogenitasnya dengan uji Barletts. Hasil uji Barletts tersebut yang tidak berbeda nyata dari parameter yang diamati dilanjutkan dengan analisa gabungan. Untuk menguji stabilitas menggunakan analisis model Perkins dan Jinks. Pendugaan adaptabilitas dengan menggunakan metode Finlay Wilkinson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Terjadi interaksi antara Genotipe x Lokasi x Musim. (2) Genotipe yang stabil dan adaptif di lingkungan yang kurang menguntungkan (marginal) adalah Wilis dan Lokon. (3) Genotipe yang stabil dan adaptif di semua lingkungan adalah Malabar, 234 dan 482. Kata Kunci: Satbilitas, Adaptabilitas, Genotipe Kedelai, Musim Kemarau, Perkins, Jinks.
maupun meningkatnya konsumsi perkapita, tetapi juga oleh adanya kesadaran masyarakat terhadap menu gizi. Salah satu faktor yang mempengaruhi kesenjangan antara kebutuhan dan produksi adalah semakin berkurangnya luas lahan, sehingga perlu ditingkatkan produksinya secara intensif. Kenyataan dilapang menunjukkan, rendahnya produktivitas kedelai ternyata lebih disebabkan oleh banyaknya kendala di dalam pembudidayaannya, terutama dalam hal pengadaan dan penggunaan bahan tanam (Bakhri, 1997) Pada tahun 1988, luas panen kedelai sekitar 1,3 juta hektar. Luasan tersebut 58% terdiri atas lahan sawah, 42% lahan kering tadah hujan. Sekitar 80% dan produksi kedelai nasional dihasilkan di Jawa, 70% diantaranya ditanam dilahan sawah dan 30% dilahan kering tadah hujan. Diluar Jawa terjadi hal sebaliknya, 90% kedelai ditanam di daerah kering tadah hujan, dan 10% di sawah. Kedua ekosistem tersebut merupakan daerah pengembangan yang potensial (Sumarno dan Manwan, 1991. Cit Eddy, 1995)
PENDAHULUAN Telah banyak diketahui dan sering disebut bahwa rendahnya produksi kedelai di Indonesia disebabkan variates yang ditanam petani potensi hasilnya masih rendah. Oleh karena itu dalam program pemuliaan, variates kedelai yang berproduksi tinggi merupakan tujuan utama. Namun demikian ketahanannya terhadap penyakit, stabilitas dan adaptasinya perlu diperhatikan pula. Seperti diketahui bahwa adaptasi suatu variates adalah sangat terbatas, kemungkinan terdapat jalur yang baik disuatu daerah ternyata kurang baik untuk daerah lain dan hal inilah yang menyulitkan untuk mendapatkan variates yang cocokbagi daerah-daerah seluruh Indonesia (Adie, 1995) Lebih lanjut Budiastuti dkk. (2000), menyatakan bahwa nilai gizi yang terkandung dalam 100 gram biji kedelai antara lain 330 kalori, 35% protein, 18% lemak, 35% karbohidrat dan 8% air. Konsumsi kedelai di Indonesia meningkatkan setiap tahunnya, tidak hanya sebagai akibat meningkatkannya jumlah penduduk
59
Stabilitas & Adaptabiltas Hasil Sepuluh Genotipe …
Umi Zuhroh, M.
Menurut Bari, dkk (1974), tanaman yang diusahakan pada suatu wilayah dapat diperbaiki hasilnya dengan cara pemilihan variates, hibrida atau klon serta tanaman yang mampu menunjukkan hasil yang baik. Hal ini berkaitan dengan sifat tanaman kedelaiyang secara genetis memiliki kemampuan yang berbeda dalam penyesuaian diri (beradaptasi) dengan lingkungannya, sehingga memilih variates yang cocok pada suatu daerah sangat diperlukan untuk peningkatan produksinya (Siradjudin, 1997). Budidaya kedelai di Indonesia berada dalam lingkungan agroekosistem yang sangat beragam yang disebabkan oleh adanya perbedaan musim tanam, jenis tanah maupun elevasi, akibatnya adaptasi variates unggul yang dianjurkan maupun teknologi baru yang dihasilkan akan menjadi berdimensi sempit. Perbaikan genotip tanaman kedelai dapat diusahakan melalui kegiatan pemuliaan tanaman yang berorientasi kepada pembentukan genotip unggul, yang berproduksi tinggi serta stabil terhadap berbagai perubahan dan tekanan lingkungan. (Takdir, dkk, 1999). Menurut Subandi dkk. (1988), genotip yang dapat mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan akan cenderung memiliki stabilitas hasil yang baik, sehingga dalam program pemuliaan harus dapat memperhatikan karakter-karakter lain yang dapat mendukung stabilitas suatu kultivar. Perakitan genotip tanaman kedelai yang mampu memanfaatkan secara optimal kondisi agroekologis setempat, yang beradaptasi lokal dan luas dengan stabilitas hasil yang baik akan memberikan beberapa keuntungan. Dari sisi argonomis mampu mengurangi kegagalan panen akibat perubahan lingkungan yang sukar diramalkan (Dahlia dalam Takdir dkk, 1999). Lebih lanjut Soegito dan Adie (1992) menyatakan perakitan variates unggul merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan produksi kedelai nasional. Perbaikan variates kedelai umunya ditujukan untuk mendapatkan variates unggul dengan stabilitas dan adaptasi yang luas. Dari tahun 1995 sudah lebih dari 20 macam variates yang dilepas atau direlese. Namun demikian banyak petani yang belum mengenal semua variates tersebut. Penyebabnya antara lain kurangnya informasi ditingkat petani dan sulitnya mendapatkan benih terutama dimusim kemarau. Adie (1995), menyatakan bahwa ternyata galur kedelai dengan potensi hasil rendah memberikan sumbangan terbesar terhadap ragam interaksi galur dengan lingkungan. Agar penampilan suatu galur menjadi optimal maka perlu diperhatikan batas-batas adaptasi suatu galur dan besaran dari ragam interaksi galur dengan lingkungan. Kuswanto, dkk (2000), beberapa hasil penelitian dengan perbedaan variates menunjukkan bahwa tidak semua variates dapat beradaptasi baik pada suatu daerah. Adaptabilitas dan stabilitas adalah kemampuan tanaman untuk tetap hidupdan berkembangbiak dalam lingkungan yang bervariasi. Stabilitas hasil merupakan karakter yang diwariskan melalui daya sangga populasi yang menduga adaptabilitas dan stabilitas fenoptik seperti hasil adalah dengan cara melakukan pengujian secara
berulang pada berbagai lingkungan tumbuh dan bervariasi (Singh dan Chaudhary, 1979). Cara umum yang dilakukan untuk mengenali galur ideal adalah dengan cara melakukan pengujian beberapa genotipe harapan pada beberapa lingkungan yang berbeda. Dari hasil analisis variansnya akan diketahui ada tidaknya interaksi genotipe X lingkungan. Penentuan keunggulan suatu genotipe akan mudah dilakukan yaitu dengan memilih genotipe-genotipe yang mempunyai rerata hasil tinggi. Tetapi bila terjadi interaksi genotipe X lingkungan, penentuan akan sulit karena hasil tertinggi suatu genotipe pada lingkungan yang berbeda. Hal yang demikian tentunya akan menyulitkan dalam penilaian genotipe ideal yang beradaptasi dan stabil pada semua lingkungan (Finlaydan Wilkinson, 1963). Wood et al. (1981) menggunakan koefisien regresi (β), simpangan dari regresi (δ2ij) dan koefisien determinasi (R2) sebagai kriteria stabilitas. Koefisien determinasi yang tinggi menunjukkan simpangan yang kecil di sekitar garis regresi linear. Varietas yang stabil didefisinikan sebagai varietas yang memiliki koefisien regresi tidak berbeda dengan satu, simpangan regresi tidak berbeda dengan nol dan memiliki koefisien determinasi yang tinggi. Perkins dan Jinks (1968) meregresikan efek interaksi genotipe x lingkungan adalah rata-rata hasil variates dikurangi rata-rata hasil varietas tersebut di semua lingkungan dan rata-rata hasil varietas di suatu lingkungan, dan ditambah dengan rata-rata hasil semua varietas (VE)ij = Yij - Yaitu/l – yj/v + y./lv, dalam hal ini, Y = hasil l = lingkungan, v = varietas. Koefisien regresi oleh Perkins dan Jinks (1968) adalah β = b - 1, b adalah koefissien regresi Eberhart dan Russel (1966). Dalam hal ini β = 0 menunjukkan kepekaan rata-rata terhadap lingkungan, yang berarti tidak terdapat interaksi genotipe x lingkungan, β > 0 menunjukkan kepekaan di atas rata-rata terdapat perbaikan lingkungan, β < 0 berati kurang tanggap terhadap perubahan lingkungan. Koefisien regesi sama dengan satu atau mendekati satu dikatakan stabil. Untuk mendorong penggunaan genotipe unggul yang sesuai dengan kondisi spesifik lokasi dan sekaligus memberimotivasi dalam peningkatan produksi kedelai khusunya di Jawa Timur, maka perlu adanya pengkajian tentang stabilitas dan adaptabilitas hasil genotip unggul kedelai disentra-sentra produksi serta daerah pengembangan lainnya. Hal ini mengingat himbauan pemerintah yang mencanangkan harus ada genotipe tertentu dengna wilayah tertentu. Genotipe tersebut dipilih melalui beberapa seri percobaan yang diulang dengan beberapa musim. METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di tiga lokasi yang berbeda agroklimatnya yaitu Jember 89 meter dpl (Politeknik Pertanian Jember), Probolinggo 4 meter dpl (Inlitkabi Muneng Probolinggo) dan Mojokerto 50 meter dpl (BPTP Mojosari Mojokerto). Waktu pelaksanaan penelitian pada musim kemarau dua yaitu antara Agustus 2002 sampai dengan Oktober 60
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
2002. Untuk musim kemarau satu menggunakan data sekunder, yang penelitiannya telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Untuk mengetahui masing-masing kondisi lokasi tanam dilakukan pengamatan yang berhubungan dengan ketinggian tempat antara lain: Curah hujan, suhu harian, dan kelembapan (Selama musim tanam), jenis tanah dan kandungan unsur hara makro.
d. Jumlah cabang pada batang utama. Dihitung jumlah cabang pada batang utama pada saat menjelang panen. e. Jumlah buku subur pada batang utama, Dihitung jumlah buku yang menghasilkan polong pada batang utama pada waktu menjelang panen. f. Jumlah polong isi per tanaman. Dihitung jumlah polong isi pertanaman g. Jumlah polong hampa per tanaman. Dihitung jumlah polong yang sama sekali tidak berisi biji pertanaman. h. Berat 100 biji pertanaman (g). Ditimbang berat 100 biji bernas tiap tanaman. i. Jumlah biji per tanaman. Dihitung seluruh biji dari setiap tanaman. j. Berat biji per tanaman (g). Ditimbang seluruh biji dari setiap tanaman. k. Berat hasil biji per petak (g). Seluruh hasil biji per petak ditimbang setelah dilakukan penjemuran dengan sinar matahari.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah bahan tanam sepuluh genotipe kedelai yaitu Burangrang, Wilis, Argomulyo, Malabar, Leuser Lokon, G 234, G 7955, G 482, dan G 481. Pupuk (Urea, SP36, KCL), Furadan 3G, Pupuk daun Gandasil (D dan B) serta inteksida Decis 50 EC. Metode Penelitian Penelitian dilakukan menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan perlakuan sepuluh genotipe kedelai yang ditanam pada tiga lokasi dan dua musim kemarau yang berbeda serta diulang tiga kali. Model matematis RAKL menurut Sujana (1991) adalah sebagai berikut: Yij = µ + τi + βj + τβi + εij Yij = pengamatan pada genotipe ke-i, blok ke-j µ = rata-rata populasi τi = pengaruh genotipe ke-i βj = pengaruh blok keτβi = pengakruh genotipe ke-i, blok ke-j εij = pengaruh acak terhadap genotipe ke-i, blok ke-j Pengaruh perlakuan di uji dengan uji F dalam sidik ragam diperlihatkan pada Tabel 1.
Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian dimulai dengan menyiapkan lahan. Lahan dibersihkan dari sisa-sisa tanaman dan gulma, kemudian dilakukan pengolahan tanah dengan cara dibajak satu kali, dicangkul dan diratakan sesuai dengan kebutuhan tumbuh tanaman kedelai. Dibuat petak-petak percobaan dengan ukuran panjang 2,0 meter dan lebar 2,0 meter. Tiap-tiap petak percobaan dibuat jarak antar petak 0,3 meter, jarak antar blok 0,4 meter. Kedalaman saluran dibuat 0,4 meter. Benih ditanam dengan cara ditugai sedalam 2 cm dengan masing-masing lubang dua benih, dan jarak tanam antar baris 40 cm, jarak dalam barisan 10 cm. (Jarak tanam 40 cm X 10 cm). Pemupukan dilakukan setelah tanaman berumur satu minggu dengan dosis 50 kg Urea perhektar, 75 kg TSP per hektar dan 100 kg KCI per hektar, dimana seluruh dosis diberikan. Pemupukan dilakukan dengan cara tugal pada jarak 10 cm sepanjang antar barisan tanaman. Pemupukan lewat daun dilakukan pada umur 20 hari setelah tanam dengan pupuk daun Gandasil D, pupuk Gandasil B diberikan pada umur 30 hari setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan insektisida Furadan 3G pada saat tanam benih, dan penyemprotan dengan insektisida Decis dilakukan bila dilihat ada gejala serangan. Pemeliharaan tanaman meliputi pengairan dan pengendalian gulma dilakukan selama fase pertumbuhan tanaman dan perkembangan tanaman (fase generatif) sesuai dengan kondisi tanaman di lapangan.
Pengamatan Dari percobaan diperoleh hasil pengamatan pada beberapa tanaman sampel mulai fase generatif sampai panen terhadap beberapa parameter, antara lain: a. Tinggi tanaman (cm) Mengukur tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai bagian tanaman tertinggi pada waktu menjelang panen dalam satuan sentimeter. b. Tinggi tanaman (cm) Mengukur tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai bagian tanaman tertinggi pada waktu menjelang panen dalam satuan sentimeter. c. Umur matang panen (hari) Dihitung mulai tanam sampai dengan panen sesuai dengan kriteria panen.
Tabel 1. Model Sidik Ragam RAKL Sumber Keragaman Ulangan Genotipe Galat Total
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
u-1 g-1 (u-1)(g-1) (ug-1)
Jku JKg Jke JKt
Ktu KTg Kte
Sumber : Goez dan Gomez, 1995 61
Taksiran Kuadrat Tengah σ2e + gσ2µ σ2e + gσ2g σ 2e
Stabilitas & Adaptabiltas Hasil Sepuluh Genotipe …
Umi Zuhroh, M. • penduga ragam gabungan:
Pemanenan dilaksanakan pada waktu polong sudah mengering sesuai dengan umur masak panen masingmasing genotipe dan ditandai dengan daun yang sudah mulai menguning. Pemanenan tidak dilaksanakan secara serentak, tetapi tergantung kondisi tanaman tersebut.
• nilai Uji Khi kuadrat (X2)
Metode Analisis Data Tahapan metode analisis yang dilakukan yaitu: a. Membuat analisis ragam RAKL setiap rokasi percobaan. Seperti pada Tabel 1, di mana pendugaan ragam adalah: σ2µ = (KTg-Kte)/g σ2e = Kte σ2p = σ2g + σ2e dan heritabilitas : h2 = σ2g / σ2p
dalam hal ini: f = db = penduga ragam gabungan k = ulangan = penduga ragam
b. Uii chi-kuadrat untuk homogenitas ragam galat dengan uji Barlett's (Gomez dan Gomez, 1995; Steel dan Torrie, 1991) yaitu:
c. Membuat Analisis ragam gabungan tiga lokasi percobaan, diperlihatkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Model Sidik Ragam Gabungan Tiga Lokasi Percobaan dan Dua Musim E (MS) MS DB SK Lokasi (L) l-1 Musim (M) m-1 LxM (l-1)(m-1) Rep/L dan M (r-1)l Genotipe (G) (g-1) MSG σ2e + rσ2GTL + rlσ2GT + rlσ2GL + rtlσ2 GxM (g-1)(m-1) MSGM σ2e + rσ2GTL + rlσ2GT GxL (g-1)(l-1) MSGL σ2e + rσ2GTL + rlσ2GL GxLxM (g-l)(l-1)(m-1) MSGLT σ2e + rσ2GTL G x Rep/L dan M (g-1)(r-1)lxm MSE σ 2e Sumber: Sumartono dan Nasrullah (1988)
SK
Tabel 3. Model Sidik Ragam Stabilitas Hasil menurut Perkins dan Jinks. DB JK
KT
Lingkungan
(s-1)
KTs
Genotipe
(t-1)
KTt
Ling (seri) x Genotipe
(t-1)(s-1)
KTst
Ragam Regresi
(t-1)
KTrr
Remainder
(t-1)(s-2)
KTs
Galat
St(r-1)
Sumber: Singh dan Chaudary (1979)
62
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
koefisien regresi
> 1.0
ISSN 2355-195X
Secara khusus mampu beradaptasi pada lingkungan yang menguntungkan
stabilitas di bawah rata-rata 1.0
kurang mampu beradaptasi pada semua lingkungan
stabilitas rata-rata
beradaptasi pada semua lingkungan
stabilitas di atas rata-rata
< 1.0
Secara khusus mampu beradaptasi pada lingkungan yang kurang menguntungkan
Gambar 1.
Rataan Hasil Varietas Penafsiran umum dari pola populasi varietas jika koefisien regresi digambarkan terhadap hasil rata-rata varietas (Finlay & Wikinson, 1982)
d. Menentukan Genotipe Terbaik Menggunakan uji Jarak Berganda Duncan (DMRT). Menurut Gomez dan Gomez (1995), adalah sebagai berikut: 1. Membuat peringkat seluruh rataan perlakuan dengan urutan menurun (dari hasil tertinggi ke terendah) 2. Menghitung nilai standar deviasi yang sesuai dengan rancangan yang digunakan 3. Menghitung nilai wilayah beda nyata terpendek (t-1)
1) Koefisien regresi (β) mendekati atau sama dengan satu (1,0), menunjukkan stabilitas rata-rata. Jika suatu varietas memiliki stabilitas rata-rata dan hasil rataratanya tinggi, maka varietas tersebut memiliki adaptasi umum yang baik. Sebaliknya varietas yang memiliki stabilitas rata-rata tetapi hasil rata-ratanya rendah, maka varietas tersebut memiliki adaptasi yang buruk di semua lingkungan. 2) Koefisien regresi (β) yang meningkat di atas satu (>1,0) menunjukkan stabilitas dibawah rata-rata. Varietas demikian sangat peka terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi khusus di lingkungan produktif (rnenguntungkan). Koefisien regresi (F) yang semakin kecil (< 1,0) menunjukkan stabilitas diatas rata-rata. Varietas demikian beradaptasi khusus di lingkungan marginal (terdera).
e. Uji Stabilitas Analisis stabilitas hasil menurut Perkins dan Jinks (1968), singh dan Chaundhary (1987) adalah sebagai berikut: Yij = m + di + ej + gij + ei l = 1,2,3... 10 genotipe j = 1,2,3 (lokasi/lingkungan) dalam hal ini: Yij = pengamatan pada perlakuan genotipe ke-i dan lingkungan ke-j. di = pengaruh genotipe ke-i ej = pengaruh lingkungan ke-j m = nilai rata-rata populasi gij = pengaruh interaksi genotipe ke-i dan lingkungan ke-j. ei = kesalahan dan hasil pengamatan hasil yang lain.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi lingkungan saat penelitian di tiga lokasi yakni Probolinggo, Jember dan Mojokerto cukup kering. Selama tiga bulan (Agustus sampai Oktober) tidak pernah turun hujan. Selama pertumbuhan tanaman kedelai hanya mendapatkan air dari irigasi . Hal ini dapat dilihat pada lampiran data klimatologi. Penampilan Genotipe Kedelai di Enam Seri Percobaan Tabel 4 menyajikan rangkuman uji F dari sidik ragam enam seri percobaan di masing-masing lokasi terhadap semua parameter yang diamati. Dari tabel tersebut didapatkan hasil bahwa sifat atau parameter umur matang panen dan berat 100 biji pertanaman, genotipe berbeda sangat nyata di semua lokasi percobaan. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing genotipe mempunyai umur masak yang berbeda dan mempunyai besar biji yang berbeda di enam lingkungan percobaan.
f. Penentuan Batas seleksi dan model penafsiran adaptabilitas Untuk menentukan tingkatan maupun daya adaptabilitas varietas digunakan analisis batas seleksi yang mendasarkan analisis koefisien regresi dan hasil rata-rata varietas ( Finlay dan Wilkinson, 1963 cit. BIum, 1982). Gambar 1 menerangkan tanggapan varietas di berbagai macam lingkungan sebagai berikut:
63
Stabilitas & Adaptabiltas Hasil Sepuluh Genotipe …
Parameter Tinggi Tanaman Umur Matang Panen Jumlah Cabang pada Batang Utama Jumlah Buku Subur pada Batang Utama Jumlah Polong Isi per Tanaman Jumlah Polong Hampa per Tanaman Berat 100 Biji Jumlah Biji per Tanaman Berat Biji per Tanaman Berat Biji per Petak
Umi Zuhroh, M.
Tabel 4. Rangkuman F Hitung pada Enam Seri Percobaan SK JBR I PROB I MJKT I JBR II PROB II ns U 33.27** 4.98* 4.49* 1.30 4.05* G 31.16** 77.74** 11.79** 1.81ns 9.37** U 1.31ns 3.33ns 0.01ns 6.70** 0.00ns G 23.56** 3.47* 5.96** 133.65** 64.73** U 0.35ns 1.97ns 1.09ns 1.71ns 0.33ns
MJKT II 0.40ns 1.83ns 26.20** 177.06** 2.05ns
G
2.49*
1.25ns
0.17ns
2.03ns
1.67ns
3.50*
U
0.99ns
0.40ns
0.10ns
2.08ns
0.61ns
3055ns
G
3.57*
0.84ns
0.80ns
3.55*
2.07ns
2.46ns
U G U
1.54ns 16.83** 2.97ns
0.87ns 0.84ns 2.87ns
0.10ns 0.80ns 0.13ns
0.14ns 2.08ns 0.37ns
1.62ns 2.52* 4.31*
0.95ns 2.46ns 0.18ns
G
1.91ns
2.48*
1.67ns
0.54ns
1.42ns
0.83ns
U G U G U G U G
3.29ns 70.08** 0.34ns 18.78** 0.21ns 6.32** 2.84ns 9.21**
3.22ns 78.42** 0.08ns 1.50ns 1.01ns 4.90** 0.83ns 8.61*
0.86ns 30.12** 0.17ns 0.531ns 0.24ns 2.14ns 5.33ns 18.63**
4.23* 52.88** 0.25ns 3.02* 0.05ns 1.21ns 2.30ns 3.87**
6.20** 129.47** 2.59ns 6.65** 4.06* 0.91ns 1.34ns 0.79ns
6.20** 129.47** 4.59* 5.07** 2.96ns 2.81* 0.17ns 1.86ns
Artinya tiap-tiap lokasi menampilkan umur masak dan berat 100 biji yang berbeda. Untuk memperoleh pertumbuhan yang optimal, sebaiknya kedelai kedelai ditanam di bulan-bulan yang agak kering tetapi air tanah masih cukup tersedia. Air diperlukan mulai sejak tumbuh sampai periode pengisian polong, dan akan mempengaruhi umur masak panen. Kekeringan pada masa berbunga dan masa pengisian polong akan menyebabkan tertundanya umur masak panen (Suprapto, 1996). Umur masak yang tertinggi adalah di Mojokerto II (G482), dan yang paling pendek adalah Probolinggo II (Burangrang dan G7955). Umur masak kedelai memang tidak serentak namun untuk keperluan panen petani maka biasanya dilakukan secara serentak yang selanjutnya dijemur dan diambil bijinya. Jika air cukup biasanya umur masak lebih panjang, karena masa vegetatipnya dapat lebih panjang. Pada kenyataan di lapang untuk lokasi Mojokorto II mempunyai umur masak yang tertinggi, padahal di tempat tersebut paling kurang dibanding dengan lokasi Probolinggo dan Jember. Perlu diketahui bahwa pada musim kemarau kondisi di lokasi Mojokerto II pengairan mengandalkan dari irigasi pompa yang seringkali kapasitas dan intensitasnya tidak mencukupi untuk jatah kebutuhan air irigasi maupun waktu pengairan di lahan. Hal ini akan mengakibatkan turunnya tingkat ketersediaan air tanah sehingga mempengaruhi tingkat air tersedia bagi tanaman (available water). Dalam menjawab rumusan masalah dan pertanyaanpertanyaan penelitian, hasil penelitian harus disimpulkan secara eksplisit. Penafsiran terhadap temuan dilakukan dengan menggunakan logika dan teori-teori yang ada.
Temuan berupa kenyataan di lapangan diintegrasikan/ dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya atau dengan teori yang sudah ada. Untuk keperluan ini harus ada rujukan. Dalam memunculkan teori-teori baru, teoriteori lama bisa dikonfirmasi atau ditolak, sebagian mungkin perlu memodifikasi teori dari teori lama. Ketersediaan air irigasi yang kurang baik atau kurang mencukupi selama periode tanam pada musim kemarau ini diduga sebagai penyebab utama kurang baiknya penampilan tanaman pada musim tanam tersebut. Kondisi ini mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang terlihat pada rataan sifat tinggi tanaman, berat 100 biji dan berat perpetak. Hal ini dapat dilihat data rata-rata komponen hasil dan hasil di enam percobaan pada lampiran 2-6. Berat 100 biji terberat adalah di Probolinggo I yakni Burangrang dengan berat 15,7 gram, dan yang terendah adalah Mojokerto I dengan berat 7 gram (Leuser). Berat 100 biji ini biasanya digunakan untuk mengetahui kualitas kedelai disamping berat biji perpetak. Semakin besar nilai berat 100 biji menunjukkan penampilan biji yang semakin besar, dan biasanya sangat disukai konsumen. Sehingga banyak upaya yang dilakukan manusia untuk membuat biji kedelai yang besar-besar agar memperoleh hasil yang banyak dibanding biji kecil. Menurut Dwidjoseputro, 1986) secara umum untuk dapat memahami kekurangan air atau deraan air bagi tanaman bersama-sama dengan CO2 merupakan bahan baku fotosintesis tanaman dalam mensintesa karbohidrat maupun asimilat lain melalui klorofil dengan enzim di bawah pengaruh sinar matahari. Dalam pengaruh cahaya matahari selama proses fotosintesis air berperan di dalam reaksi Hill yaitu terjadinya pemecahan molekul air atau
64
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
dikenal dengan reaksi fotolisis yang menghasilkan energi yang disimpan dalam bentuk ATP (Adenin Tri Phosphat) Fungsi air bagi tanaman selain sebagai bahan baku dari fotosintesis adalah sebagai pelarut dari berbagai garam dan mineral. Zat hara yang ada dalam tanah diubah menjadi bentuk tersedia sehingga nutrisi tanaman dapat diserap. Tanaman menyerap air selain digunakan untuk aktifitas metabolisme, air juga diuapkan melalui stomata daun selama proses transpirasi. Dalam proses ini air sebagai media energi panas, sehingga memungkinkan suhu tanaman tetap terjaga dan reaksi metabolik berjalan baik. Stres air pada setiap fase perkembangan tanaman kedelai dapat menurunkan hasil. Besarnya penurunan hasil tergantung dari setiap fase perkembangan tanaman. Pengaruh negatif stress air selama pembungaan, pembentukan dan pengisian biji. Bila stress air terjadi selama pengisian biji, akan berpengaruh pada ukuran biji yang dihasilkan, artinya ukuran bijinya kecil yang ditandai dengan berat 100 biji rendah. Pengurangan ukuran biji berhubungan dengan pemasakan awal dan pemendekan periode pengisian biji. Hal ini dapat diasumsikan bahwa periode pengisian biji dihasilkan dari adanya percepatan senensensi daun. Stres air selama pengisian biji dapat mengurangi hasil dengan mempercepat penurunan aktifitas fotosintesis dan remobilisasi C dan N pada biji (De Souza et a1.,1997). Selain faktor kecekaman air ternyata ada faktor lain yang juga mempengaruhi periode pertumbuhan tanaman kedelai, yakni tinggi tempat. Tinggi tempat erat kaitannya dengan suhu. Penurunan tinggi tempat diikuti kenaikan suhu dan penurunan kelengasan nisbi serta terjadinya peningkatan intensitas radiasi surya tetapi rendah fotoperiodisitasnya. Gabungan semua pengaruh peubah iklim ini secara umum menyebabkan bertambahnya atau meningkatnya laju metabolisme tanaman, yang seringkali diikuti dengan berkurangnya umur tanaman dan rendahnya hasil karena besarnya kebocoran dari fotorespirasi. Reaksi metabolik yang terjadi di dalam tanaman akan meningkat dua kali lipat laju reaksinya dengan meningkatnya suhu. Suhu memang memegang peranan yang cukup penting juga terutama dalam mengatur waktu dan jumlah bunga yang dihasilkan.
Termoperiodisme adalah suatu keadaan dimana pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh besarnya nisbah suhu siang dan malam serta jumlah panas yang diterima. Tanaman kedelai tergolong tanaman yang sensitive terhadap fluktuasi suhu, panjang hari dan ketersediaan air. Lebih lanjut Adisarwanto dan Suhartina (1999) berpendapat bahwa tanaman kedelai mempunyai dua masa tumbuh, yaitu masa vegetatif dan reproduktif. Masa tumbuh vegetatif umumnya mempunyai lama periode yang tidak berubah, tetapi untuk periode reproduktif lamanya dapat berubah-ubah. Misalnya ada yang singkat sekali atau cepat dan ada yang lama sampai terjadinya perpanjangan umur tanaman. Contohnya tanaman kedelai di Amerika Serikat, lama penyinarannya atau fotoperiodesitas lebih dari 12 jam per hari. Ternyata umur panjang didorninasi olah masa vegetatif dan produktivitasnya tinggi. Umur matang panen lokasi Probolingggo II (MKII) mempunyai nilai kuadrat tengah (KT) ulangan dan KT galat nol, hal ini disebabkan pada ketiga ulangan di lokasi Probolinggo II terdapat persamaan umur panen, sehingga tidak ada keragaman antar ulangan pada lokasi tersebut. Untuk parameter berat 100 biji , ragam genotipe di semua lokasi dan musim sangat berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing genotipe mempunyai ukuran besar biji yang berbeda. Nilai KT galat (E) dari masing-masing komponen hasil dan hasil ini sangat penting sekali untuk uji Barlet atau Chi Kuadrat. Dalam rangka mencari kehomogenan data. Salah satu syarat untuk dapat dilakukan analisis gabungan (Combain Analiysis) adalah data harus homogen. Hasil uji Chi Kuadrat hitung yang non signifikan atau yang berbeda tidak nyata adalah data yang homogen. Data yang homogen inilah yang dilanjutkan ke analisis gabungan. Pada Tabel Hasil Uji Chi Kuadrat atau Barlet dari ke sepuluh komponen hasil dan hasil kedelai ternyata hanya ada dua parameter yang menunjukkan hasil berbeda tidak nyata atau homogen, yaitu jumlah biji pertanaman dan berat biji pertanaman.
Tabel 5. Nilai X2 hitung untuk komponen hasil dan hasil Paramater X2 Hitung Tinggi Tanaman 15.896** Umur Matang Panen NA Jumlah Cabang pada Batang Utama 11.591** Jumlah Buku Subur pada Batang Utama 46.176** Jumlah Polong Isi per Tanaman 13.662** Jumlah Polong Hampa per Tanaman 36.218** Berat 100 Biji 30.540** Jumlah Biji per Tanaman 9.533ns Berat Biji per Tanaman 7.232ns Berat Biji per Petak 45.543** X2 tabel (5; 5%) = 11.07 X2 tabel (5; 1%) = 15.09
65
Stabilitas & Adaptabiltas Hasil Sepuluh Genotipe …
Umi Zuhroh, M.
Hasil uji Barlet sangat penting sebagai syarat melakukan analisis gabungan. Jadi yang dilakukan analisis ragam gabungan adalah jumlah biji pertanaman dan berat biji pertanaman. Data dan cara perhitungan dapat dilihat pada lampiran 7. Ketidak homogenan suatu sifat terjadi akibat adanya lingkungan yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari panjang penyinaran, suhu, curah hujan pertahun dan iklim tiap lokasi. Jadi faktor lingkungan yang tidak bisa dikendalikan pada lokasi-lokasi yang diuji adalah tidak seragam.
lnteraksi genotipe lokasi dan musim mengandung arti bahwa genotipe akan berbeda pada tempat yang berbeda dan musim yang berbeda untuk sifat-sifat yang diamati, juga mengandung arti bahwa perbedaan pengaruh pada berbagai genotipe tersebut adalah berbeda di berbagai tempat tumbuh dan musim. Hal tersebut juga mengisyaratkan adanya perbedaan adaptasi genotipe kedelai pada lingkungan tumbuh yang berbeda di tiga lokasi dan musim kemarau yang berbeda. Lokasi penelitian adalah Jember, Probolinggo dan Mojokerto, dimana kondisi lingkungan atau tiap lokasi ini sangat bervariasi. Antara lain suhu, curah hujan pertahun maupun kondisi dan jenis tanah. perbedaan lingkungan lumbuh ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai. Lingkungan yang mendukung akan memberikan penampilan sifat terbaik, sebaliknya lingkungan yang kurang mendukung dapat menyebabkan komponen hasil dan produktivitas tidak dapat dicapai secara optimal. Lokasi Jember dan Probolinggo mempunyai ketersediaan air yang mencukupi kebutuhan tanaman, sedangkan Mojokerto adalah lokasi yang kekurangan air (terdera/tercekam) Musim kemarau I sekitar bulan Maret sampai dengan Juni. pada bulan-bulan ini diharapkan sisa air hujan masih cukup tersedia di dalam tanah, sehingga keadaan tanah cukup lembab dan baik untuk menanam. Hal ini sesuai dengan sifat tanaman kedelai yang rnemang memerlukan bulan kering dan curah hujan sekitar 95 sampai 122 hari per tahun. Musim kemarau I ini diharapkan pertumbuhan tanaman kedelai lebih baik dari pada musim kemarau II. Diperkirakan pada musim kemarau II persediaan air tanah sudah habis, hujan sudah tidak mungkin lagi turun dan hanya mengandalkan air dari pengairan atau irigasi. Apabila pemberian air dari pompa atau irigasi bisa mencukupi kebutuhan tanaman, maka faktor kekurangan air bisa diatasi. Tetapi apabila pemberian air tidak memadai maka akan mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas dari tanaman tersebut. Hal ini bermakna bahwa kondisi lingkungan tercekam air. Tingkat kandungan air tanah berpengaruh terhadap waktu berbunga dan umur panen. Pada kenyataannya hasil penelitian kedelai di musim kemarau I ini tidak semua parameter pengamatan menunjukkan rerata yang lebih tinggi dari tanaman kedelai di musim kemarau II.
Interaksi Genotipe pada Tiga Lokasi dan Dua Musim Pendugaan interaksi genetik dengan lingkungan dilakukan dengan analisis gabungan semua lokasi. Sidik ragam gabungan (Tabel 7) untuk jumlah biji pertanaman dan berat biji pertanaman terjadi interaksi Genotipe X Lokasi X Musim dengan beda yang sangat nyata. Hal ini berarti bahwa genotipe tidak konsisten tanggapnya terhadap lokasi dan musim yang berbeda, dan sulit untuk membuat anjuran yang luas (Sumartono dan Nasrullah, 1988). Jadi penampilan jumlah biji pertanaman dan berat biji pertanaman berbeda pada lokasi dan musim. Hal ini disebabkan kemampuan genotipe berbeda dalam memanfaatkan pengaruh lokasi dan musim yang berlainan. Walaupun interaksi genotipe dengan lingkungan dapat menyebabkan tidak konsistennya hasil pada setiap lingkungan, namun pada suatu batasan tertentu tanaman rnemiliki kamampuan untuk meminimalkan pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan. Pengertian tersebut menggambarkan bahwa penampilan suatu tanaman mungkin akan berfluktuasi pada lingklungan yang berbeda, sebaiknya dimungkinkan pula diperoleh penampilan tanaman dengan fluktuasi yang kecil jika lingkungan berubah. Interaksi genotipe x lokasi x musim merupakan suatu wujud proses yang terjadi pada tanaman dalam beradaptasi dengan lingkungan agar tanaman tersebut dapat tetap dan berkembang biak pada berbagai kondisi lingkungan. Adanya interaksi ini menyebabkan tanaman jarang mengekspresikan potensi hasil sepenuhnya. Besar kecilnya pengaruh interaksi bergantung pada susunan genetik suatu genotipe dan kompleksitas lingkungan yang mempengaruhinya (Primonio, et al., 2002).
Tabel 6. Sidik Ragam Gabungan Untuk Jumlah Biji per Tanaman dan Berat Biji per Tanaman. Jumlah Biji per Tanaman Berat Biji per Tanaman Sumber Keragaman db KT F Hitung KT F Hitung Lokasi (L) 2 32813.7207 143.6013** 397.6890 195.1 802** Musim (M) 1 26453.1134 115.7656 ** 359.1634 176.2724** LxM 2 14104.9344 61.7268** 87.3378 42.8642** Ulangan/L & M 12 228.5057 2.0375 Genotipe (G) 9 3026.3318 22.6183** 5.0761 4.6612** GxL 18 514.9721 3.8488 ** 4.2019 3.8585** GxM 9 371.6242 2.7775** 3.2539 2.9879** GxLxM 18 824.1992 2.7775 ** 3.2539 4.3564** G x Ulangan/L & M 108 133.7999 1.0890
66
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Misalnya parameter tinggi tanaman antara Mojokerto I dengan Mojokerto II ternyata mempunyai rerata yang lebih tinggi di Mojokerto II. Hal ini mengindikasikan bahwa musim kemarau II tidak lebih jelek. Ada kekhawatiran di musim kemarau I masih ada hujan yang turun sehingga kemungkinan bisa menggenangi tanaman kedelai. Air yang berlebihan akan berdampak buruk pada pertumbuhan tanaman kedelai, antara lain bisa menimbulkan busuk pada akar dan batangnya sehingga akan mengurangi jumlah tanaman yang dipanen. Sebab yang lain mungkin kondisi benih yang ditanam di musim kemarau I dan kemarau II berbeda. Benih yang ditanam di musim kemarau I adalah hasil panen dari tanaman di musim penghujan atau musim kemarau setahun yang lalu sehingga benih mengalami dormansi yang cukup lama. Sedang benih yang ditanam di musim kemarau II ini adalah benih hasil panen musim kemarau I, sehingga kondisi benih masih bagus dan belum mengalami dormansi. Perbedaan data klimatologi pada musim kemarau I dan kemarau II bisa dilihat pada lampiran. Menurut Adisarwanto dan Suhartina (2001), untuk dapat tumbuh dan berproduksi tinggi, tanaman kedelai memerlukan air yang cukup. Tanpa air tanaman tidak dapat menyerap unsur hara dan mendistribusikannya ke seluruh jaringan tanaman sebagai pemacu pertumbuhan. Peubah lingkungan tetap di antara tempat pengujian ialah jenis tanah dan tinggi tempat dari permukaan laut. Jenis tanah dianggap bukan sebagai faktor pembatas, sebab pemberian pupuk dianggap memadai untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman selama pertumbuhan dan perkembangannya. Tinggi tempat atau lokasi dan musim sangat erat hubungannya dengan suhu. Suhu yang terlalu fluktuatif sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kedelai. Adisarwanto dan Suhartina (2001) varietas atau genotipe dan lokasi yang berbeda akan memberikan peluang adanya perbedaan pertumbuhan dan produksi tanaman. Hal ini disebabkan adanya perbedaan topografi dan agroklimat. Berarti ada saling tindak antara genotipe tanaman dengan lingkungan tempat tumbuh. Adanya interaksi tersebut, maka pemilihan genotipe tidak cukup hanya menggunakan hasil rata-rata saja, namun perlu ditambah dengan uji parameter lainnya misalnya parameter stabilitas.
Untuk mengetahui genotipe terbaik dari sifat jumlah biji pertanaman dan berat biji pertanaman, maka dilakukan uji jarak berganda atau DMRT. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa genotipe yang terbaik atau yang mempunyai rerata hasil tinggi adalah Argomulyo, baik pada penampilan jumlah biji pertanaman maupun berat biji pertanaman (Tabel7). Hal ini menunjukkan bahwa Argomulyo dapat berpenampilan baik pada sifat hasil berat biji pertanaman dan jumlah biji pertanaman. Bisa dikatakan bahwa Argomulyo mampu menghadapi lingkungan dan musim yang berbeda, tetapi hal ini belum dilakukan uji stabilitas dan adaptabilitasnya. Disusul kemudian genotipe 482 menduduki urutan kedua. Hal ini menunjukkan bahwa ada harapan baik untuk genotipe 482 ini. Genotipe ini perlu dilakukan pengujian berulang-ulang dengan rentang kondisi lingkungan yang berbeda jauh dan pada musim yang berbeda, agar semakin mantap menjadi calon varietas baru. Stabilitas Komponen Hasil dan Hasil Kedelai Hasil analisis stabilitas model Perkins dan Jinks menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang nyata antara genotipe dan lingkungan serta pada remainder atau sama dengan deviasi gabungan pada model Eberhard Russel (1966) dan Singh dan Chaudary (1979) adalah berbeda sangat nyata baik pada jumlah biji pertanaman maupun pada berat brji pertanaman. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua genotipe stabil pada semua lingkungan (Bilbro dan Ray, 1976). Artinya dari sepuluh genotipe yang diamati, tidak semuanya stabil di tiga lokasi dan dua musim. Kemungkinan ada beberapa genotipe yang stabil di semua lingkungan, ada juga yang stabil di lingkungan tertentu atau bahkan tidak stabil hasilnya. lni bisa dilihat dari koefisien regresinya. Besarnya rerata hasil serta koefisien regresinya disajikan pada Tabel 9. Menurut Sing dan Chaudary (1979), genotipe dikatakan stabil jika koefisien regresinya tidak berbeda nyata dengan satu, atau stabil jika koefisien regresinya sama dengan satu. Koefisien regresi yang meningkat di atas satu, menunjukkan stabilitas di bawah rata-rata.
Tabel 7. Genotipe Terbaik Berdasarkan Uji DMRT untuk Sifat Jumlah Biji per Tanaman dan Berat Biji per Tanaman Berat Biji per Tanaman Jumlah Biji per Tanaman KTG: 1,157 KTG: 140,7 Genotipe δ: 0,253 δ: 2,798 DMRT 5% Rata-rata DMRT 5% Rata-rata Burangrang 53.911 d 7.183 cde Argomulyo 94.256 a 8.274 a Leuser 81.756 b 7.805 abc Malabar 80.868 b 7.437 bcd Wilis 82.545 b 7.832 abc abcd G7955 57.447 cd 7.579 G234 78.260 b 6.616 e G482 83.264 b 8.125 ab Lokon 62.681 c 7.006 de G481
79.925
b
67
8.036
ab
Stabilitas & Adaptabiltas Hasil Sepuluh Genotipe …
Umi Zuhroh, M.
Genotipe demikian sangat peka terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi khusus di lingkungan yang berproduktivitas tinggi. Sebaliknya koefisien regresi semakin berkurang dari satu, menunjukkan stabilitas di atas rata-rata, genotipe demikian beradaptasi khusus di lingkungan yang berproduktivitas rendah. Varietas ideal ialah varietas yang mempunyai potensi hasil maksimum di lingkungan paling produktif dan mempunyai stabilitas maksimum. Dari tabel tersebut dapat dilihat koefisien regresi yang mendekati atau sama dengan satu pada jumlah biji pertanaman adalah Wilis, Malabar dan 482. Pada berat biji pertanaman adalah Argomulyo, malabar dan 234 dan 482. Genotipe tersebut dikatakan stabil, tetapi belum tahu daya adaptabilitasnya. untuk mengetahui daya adaptabilitasnya, dengan rnengggunakan metode Finlay dan Wilkinson. Menurut Singh dan Chaudary (979), regresi pada Eberhart dan Russel (1966) adalah regresi (ej + gij) pada ej. Regresi ij pada ej adalah 1,0 dan regresi gij pada ej adalah β. Sehingga koefisien regresi pada Eberhart dan Russell (1966) adalah bi = 1 + βi.Dalam hal ini ej adalah pengaruh aditif lingkungan, dan gij adalah pengaruh genotipe x lingkungan. Koefisien regresi β (regresi gij pada ej) inilah yang dihitung oleh Perkins dan Jinks (1968), Singh dan Chaudary (1979). Lebih lanjut dengan mendasarkan penilaian stabilitasadaptabilitas pada kelayakan regresi interaksi genotipe x lingkungan terhadap lingkungan, yaitu (ge)ij = βi ej + δij. Jika δij kecil, (ge)ij dapat diterangkan regresinya ke ej. Besar kecilnya (ge)ij dapat diterangkan oleh regresinya ke e. Besar kacilnya δij diukur melalui Σ δij setara dengan varian galatnya (σ2). Teknik regresi akan memberikan keterangan lebih banyak tentang stabilitas, tetapi dapat menimbulkan persoalan untuk memberikan bobot pada masing-masing parameter stabilitas. Apabila derajat stabilitas yang diperlukan, maka pendugaan ragam dari interaksi genotipe x lingkungan sudah mencukupi (Kasno, 1986). Meskipun demikian simpangan regresi (δ2ij) adalah parameter stabilitas yang terpenting dalam teknik regresi (Subandi et al., 1979).
Penyebab stabilitas hasil belum diketahui dengan jelas, tetapi diduga karena adanya penyangga individu dan populasi, yang secara genetis adalah heterogen. Mekanisme secara umum dapat dikelompokkan dalam empat hal, yaitu heterogenitas genetik, kompensai komponen hasil ketenggangan terhadap deraan (stress tolerance), dan daya pemulihan yang cepat karena penderaan. Dalam hal ini stabilitas hasil merupakan kemampuan suatu genotipe untuk menghindari perubahan hasil yang besar diberbagai lingkungan. Sedangkan hasil disefinisikan sebagai produk dari beberapa komponen hasil (Kasno, 1986). Jadi parameter stabilitas seperti koefisien regresi dan simpangan regresi, baik regresi rata-rata terhadap indeks lingkungan maupun regresi pengaruh interaksi genotipe x lingkungan lebih memadai untuk mencirikan stabilitas hasil dari sepuluh genotipe kedelai. Memang sangat sulit untuk menarik suatu kesimpulan mengenai stabilitas dan adaptabilitas dari berbagai genotipe dengan mengkaji seluruh sifat komponen hasil dan hasil kedelai. Adaptabilitas Komponen Hasil dan Hasil Kedelai Finlay dan Wilkinson (1963) menghubungkan antara stabilitas dengan adaptabilitas, koefisien regresi (β) antara hasil rata-rata genotipe indeks lingkungan dan dipadu dengan hasil rata-rata genotipe yang bersangkutan untuk mencirikan stabilitas dan adaptabilitasnya. Dalam hal ini adaptabilitas berbanding terbalik dengan rata-rata genotipe. Genotipe yang mempunyai koefisien regresi sama dengan satu atau mendekati satu menunjukkan stabilitas rata-rata, yang bila diikuti dengan hasil rata-rata genotipe yang tinggi maka genotipe tersebut mempunyai adaptabilitas umum yang baik. Apabila diikuti dengan hasil rata-rata genotipe yang rendah, maka genotipe tersebut mempunyai adaptasi yang buruk di semua lingkungan. Menurut Kasno (1986), antara stabilitas dan adaptabilitas akan berhubungan erat bila interaksi genotipe dan lingkungan lebih disebabkan oleh peubahpeubah lingkungan yang tak teramalkan, seperti suhu, radiasi surya dan curah hujan dari pada peubah-peubah lingkungan yang dapat diramalkan seperti perbedaan jenis tanah antar lokasi peneritian.
Tabel 8. Sidik Ragam Pendugaan Parameter Stabilitas Model Perkins dan Jinks untuk Jumlah Biji per Tanaman dan Berat Biji pertanaman Jumlah Biji per Tanaman Berat Biji per Tanaman Sumber db Jml. Kuadrat Jml. Kuadrat Keragaman F-Hitung F-Hitung Kuadrat Tengah Kuadrat Tengah Genotipe 9 9078.995 1008.777 21.123** 15.228 1.692 4.288** Lokasi 5 40096.808 8019.362 167.921** 443.072 88.614 224.558** Genotipe x 45 9149.901 203.331 4.257** 63.438 1.410 3.572** Lokasi Heterogenitas 9 3650.973 405.664 8494** 5.632 1.586 1.586ns ant.Regresi Remainder 36 5498.927 152.748 3.198** 57.806 9.766 9.766** 12 23.677 Galat 5730.819 47.757 0.395 0 ** Berbeda sangat Nyata * Berbeda Nyata ns Berbeda tidak nyata
68
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Tabel 9. Rangkuman asil Rata-rata dan Nilai Koefisien regresi dan Stabilitas Sepuluh Genotipe Kedelai Model Perkins dan Jinks. Berat Biji per Tanaman Jumlah Biji per Tanaman Genotipe Stab Rataan Stab Rataan βi βi Burangrang 53.911 0.5932 TS 7.18 0.8781 TS Argomulyo 94.256 1.3821 TS 8.27 1.0397 S Leuser 81.756 1.2439 TS 7.80 1.1879 TS Malabar 80.868 1.0268 S 7.44 1.0172 S Wilis 82.545 0.9667 S 7.83 0.9334 S G7955 57.447 0.4432 TS 7.58 0.8022 TS 234 78.260 1.3371 TS 6.62 0.9987 S 482 83.264 0.9804 S 8.13 1.0923 TS Lokon 62.681 0.7754 TS 7.01 0.9212 S 481 79.925 1.2513 TS 8.04 1.1295 TS 1.000 7.589 1.000 75.491 Rata-rata
Koefisien regresi dipergunakan sebagai acuan dalam penentuan adaptabilitas suatu genotipe, karena dipandang sebagai ukuran tanggapan tanaman terhadap lingkungan yang bervariasi (Finlay dan Wilkinson, 1963: Sumartono dan Nasrullah, l988). Berdasarkan Gambar 2 dan 3 penampilan jumlah biji pertanaman genotipe yang adaptif di semua lingkungan adalah Malabar dan 482. Untuk penampilan berat biji per tanaman genotipe yang adaptif di semua lingkungan adalah Malabar dan genotipe 234. Genotipe 7955, Burangrang, Wilis dan Lokon adaptif di lingkungan terdera. Genotipe 481, Leuser dan Argomulyo adaptif di lingkungan yang menguntungkan. Rangkumannya ada di Tabel 10. Koefisien regresi yang tertera pada Tabel 8, adalah regresi antara rataan (nilai tengah) untuk sifat yang bersangkutan pada indeks lingkungan. Koefisien regresi tersebut selalu lebih besar dari koeflsien regresi antara pengaruh interaksi genotipe X lingkungan pada indeks lingkungan untuk sifat-sifat yang sama. Hal ini disebabkan oleh adanya keragaman lingkungan (Perkins dan Jinks, 1968), dan penjelasannya sebagai berikut:
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa, Burangrang dan G 7955 tidak stabil dan adaptif di lingkungan yang tidak menguntungkan. Malabar sangat stabil dan adaptif di semua lingkungan. Genotipe 482 dan 234 cukup stabil dan adaptif disemua lingkungan. Wilis sangat stabil dan adaptif di lingkungan yang terdera. Genotipe 481 dan Leuser tidak stabil tetapi adaptif di lingkungan yang menguntungkan. Genotipe kedelai di tiga lokasi penelitian dan dua musim. Bila dilihat dari data klimatologi dan kondisi di lapang, Jember merupakan lokasi yang menguntungkan, Probolinggo dan Mojokerto adalah lokasi yang terdera. Produktivitas Sepuluh Genotipe Kedelai di Enam Lokasi Percobaan Untuk parameter berat biji per petak, hasil uji chi kuadrat ternyata berbeda sangat nyata, sehingga tidak dilakukan analisis gabungan. Karena sifat ini mewakili ukuran produktifitas hasil kedelai, dan dengan pertimbangan koefisien regresinya ternyata dibawah 20%, maka parameter ini perlu dilakukan uji jarak berganda Duncan (DMRT), untuk mengetahui produktifitas masing-masing genotipe di enam lokasi percobaan. Tabel 11, 12 dan 13 adalah urutan genotipe terbaik berdasarkan produktifitasnya pada satu lokasi dan dua musim. Dari tabel tersebut bisa dibandingkan bagaimana penampilan sepuluh genotipe kedelai pada lokasi yang sama tetapi berbeda musim. Dari Tabel 14, rangkuman urutan genotipe terbaik di enam lokasi percobaan didapatkan hasil bahwa genotipe Burangrang adalah genotipe yang terendah hasilnya hampir disemua lokasi percobaan. Menurut uji stabilias pun hasilnya memang tidak stabil. Burangrang adalah genotipe yang mempunyai produksi atau hasil yang terendah di antara sepuluh genotipe yang diteliti (Tabel 14 dan Lampiran 6). Berat biji perpetaknya adalah 94,62 gram atau sekitar 148,75 kg/ha. Berat biji perpetak tertinggi adalah Malabar, yaitu 1006,33 gram perpetak atau 2,52 ton/ha. Tinggi tanaman, jumlah cabang pada batang utama, jumlah buku subur, jumlah polong isi dan berat biji perpetak di bawah ratarata atau sangat rendah.
b = (σ2e + σ(ge)(e) / σ2e = 1 + σ (ge)(e)/σ2 b = 1 + β. β=b–1 Dalam hal ini σ2e adalah ragam yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan σ(g e) (e) adalah peragam dari pengaruh interaksi genotipe x lingkungan dengan pengaruh lingkungan. Koefiseien regresi menurut Perkins dan Jinks adalah sebuah nilai dari β. Rangkuman hasil analisis stabilitas dan adaptabilitas dari masing-masing genotipe dapat dilihat pada Tabel 10. Stabil diberi indeks S, tidak stabil TS. Adaptif ada tiga yaitu adaptif di lingkungan menguntungkan diberi indeks A+, adaptif di lingkungan kurang menguntungkan atau marginal A - dan yang adaptif di semua lingkungan yakni baik yang menguntungkan maupun yang terdera diberi simbul A+-
69
Stabilitas & Adaptabiltas Hasil Sepuluh Genotipe …
Umi Zuhroh, M.
Gambar 2. Hubungan Koefisien Regresi dengan Ratarata Jumlah Biji per Tanaman yang Diuji di Tiga Lokasi dan Dua Musim
Gambar 3. Hubungan Koefisien Regresi dengan Ratarata Berat Biji per Tanaman yang Diuji di Tiga Lokasi dan Dua Musim
Untuk umur masak panen, jumlah polong hampa pertanaman dan berat 100 biji di atas rata-rata. Tinggi tanaman akan menentukan jumlah cabang pada batang utama dan umur masak panen. Biasanya tanaman yang mempunyai tinggi tanaman yang tinggi akan mempunyai umur masak panen yang tinggi pula, Pada Burangrang ternyata tinggi tanamannya pendek, tetapi umur masaknya panjang. Hal ini mungkin disebabkan kesalahan manusia atau humam eror. Tanaman yang semestinya dipanen lupa atau serentak dipanen dengan yang lainnya sehingga menambah umur masak panen. Memang ini suatu kebiasan petani yang melakukan panen secara serentak. Karena jumlah cabang utamanya sedikit, Burangrang mempunyai jumlah buku subur yang sedikit pula. Rendahnya hasil ini disebabkan oleh rendahnya jumlah polong isi dan tingginya polong hampa. Polong hampa yang tinggi ini terkait dengan kondisi lingkungan tanaman pada saat fase generatif terutama pada waktu pengisian polong. Faktor kekurangan air dan suhu yang sangat tinggi. Sesuai dengan waktu pelaksanaan penelitian, kondisi suhu cukup tinggi, fluktuasi suhu siang dan malam sangat tinngi. Tanaman kedelai tidak tahan dengan fluktuasi suhu yang tinggi.
Curah hujan selama penelitian di MK ll adalah nol. Sehingga pengairan mengandalkan air pompa. Kapasitas dan waktu pemberian air ini sering tidak mencukupi kebutuhan tanaman. Hal inilah yang menyebabkan jumlah polong hampa yang tinggi. Faktor lain seperti gejala penyakit atau serangan hama juga akan mempengaruhi jumlah polong hampa, tetapi hal ini bisa dikendalikan dengan pemberian pestisida. Burangrang ini mempunyai berat 100 biji yang tinggi. Artinya biji Burangrang berpenampilan besar-besar. Semakin besar berat 100 biji, maka semakin besar biji itu. Berat biji perpetak rendah disebabkan oleh rendahnya berat biji pertanaman dan jumlah tanaman yang dipanen. Rendahnya berat biji per petak pada Burangrang ini disebabkan oleh keduanya. Sebab dari analisis stabilitas dan adaptabilitas Burangrang adalah genotipe yang tidak stabil dan adaptasinya tidak luas. Artinya banyak tanaman yang tidak bisa tumbuh normal di lingkungan tertentu akibat lingkungan yang tidak mendukung. Genotipe Malabar adalah genotipe yang menempati urutan dibawah genotipe yang lainnya tetapi menurut uji DMRT 5% adalah berbeda tidak nyata dengan genotipe di urutan pertama.
Tabel 10. Rangkuman Hasil Analisis Stabilitas-Adaptabilitas Untuk Jumlah Biji per Tanaman dan Berat Biji per Tanaman di riga Lokasi dan Dua Musim Genotipe Jml. Biji per Tanaman Berat Biji per Tanaman Burangrang TS-A(-) TS-A(-) Argomulyo TS-A(+) S-A(+) Leuser TS-A(+) TS-A(+) Malabar S-A(+ & -) S-A(+ & -) Wilis S-A(-) S-A(-) G7955 TS-A(-) TS-A(-) 234 TS-A(+) S-A(+ & -) 482 S-A(+ & -) TS-A(+) Lokon TS-A(-) S-A(-) 481 TS-A(+) TS-A(+) Keterangan: S : Stabil A (+) : Adaptip di lingkungan marginal TS : Tidak Stabil A (-) : Adaptip di lingkungan menguntungkan A (+ & -) : Adaptip di semua lingkungan
70
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Tabel 11. Genotipe Terbaik Berdasarkan Uji Beda Jarak Berganda Duncan (DMRT 5%) pada sifat Berat Biji per Petak di Jember I dan II Jember MK I Jember MK II KTG = 30147.62 KTG = 36577.05 δ = 100,2467 δ = 110,419 Genotipe Rata-rata Notasi Genotipe Rata-rata Notasi G481 1446.173 a G481 1498.623 a Malabar 1283.263 a Malabar 1483.887 ab Wilis 1166.667 ab Argomulyo 1440.297 abc G234 1157.620 ab G482 1387.913 abcd Argomulyo 1139.787 ab Wilis 1167.347 abcd 918.397 G482 bc G7955 1114.690 bcd Leuser 907.653 bc G234 1100.623 cd G7955 670.167 cd Leuser 1059.380 d 623.813 Lokon cd Lokon 1032.600 d Burangrang 533.187 d Burangrang 1025.203 d
Tabel 12. Genotipe Terbaik Berdasarkan Uji Beda Jarak Berganda Duncan (DMR 5%) pada sifat Berat Biji per Petak di Probolinggo I dan ll Probolinggo MK I Probolinggo MK II KTG = 10838,26 KTG = 3764,854 δ = 60,1062 δ = 35,4159 Genotipe Rata-rata Notasi Genotipe Rata-rata Notasi Argomulyo 974.347 a Argomulyo 974.347 a Wilis 955.367 a Wilis 955.367 a Malabar 952.133 a Malabar 952.133 a G234 940.320 a G234 940.320 ab G481 878.413 ab G481 878.413 ab G482 860.660 ab G482 860.660 ab ab Leuser 830.720 Leuser 830.720 ab bc Lokon 710.787 Lokon 710.787 bc G7955 528.427 cd G7955 528.427 cd Burangrang 496.947 d Burangrang 496.947 d
Tabel 13. Genotipe Terbaik Berdasarkan Uji Beda Jarak Berganda Duncan (DMRT 5%) pada sifat Berat Brji per Petak di Mojokerto I dan II Probolinggo MK I Probolinggo MK II KTG = 10838,26 KTG = 3764,854 δ = 60,1062 δ = 35,4159 Genotipe Rata-rata Notasi Genotipe Rata-rata Notasi Wilis 634.297 a Argomulyo 811.667 a G482 631.170 a G482 781.667 ab 776.667 ab Argomulyo 622.911 a Malabar G234 616.103 a Wilis 725.O00 abc G481 587.280 a G4B1 711.667 abc 666.667 bc Malabar 576.957 ab Leuser Lokon 465.513 b G234 657.667 bc G7955 331.767 c Lokon 593.333 c Leuser 317.773 c G7955 454.000 d Burangrang 236.877 c Burangrang 442.667 d
71
Stabilitas & Adaptabiltas Hasil Sepuluh Genotipe …
Umi Zuhroh, M.
Dari hasil uji stabilitas dan adaptabilitas parameter jumlah biji per tanaman dan berat biji per tanaman, ternyata genotipe Malabar stabil dan adaptif di semua lingkungan. Artinya genotipe Malabar adalah genotipe yang terbaik dengan daya hasil tinggi, stabil dan adaptif di semua lingkungan. Malabar mempunyai tinggi tanaman, umur masak panen, jumlah cabang pada batang utama, jumlah buku subur, jumlah polong isi, jumlah biji per tanaman, berat biji per tanaman dan berat biji perpetak di atas rata-rata. Jumlah polong hampa sama dengan rata-rata dan berat 100 bijinya dibawah rata-rata atau rendah. Besarnya berat biji perpetak lebih disebabkan oleh banyaknya tanaman yang dipanen. Sebab disamping Malabar mempunyai jumlah polong isi yang tinggi, ternyata jumlah polong hampanya tidak sedikit (sama dengan rata-rata). Dari hasit uji stabilitas dan adaptabilitas, Malabar memang stabil dan beradaptasi luas. Sehingga genotipe ini tahan terhadap deraan lingkungan tumbuhnya. Berat 100 bijinya rendah mengindikasikan penampilan bijinya kecil-kecil, tetapi jumlah biji per tanamannya besar. sehingga mempunyai konstribusi ke berat perpetaknya. Genotipe 481 mempunyai hasil yang tinngi pula, yaitu 2,5 ton/ha. Dari uji stabilitas dan adaptabilitasnya ternyata genotipe ini tidak stabil dan beradaptasi khusus di lingkungan menguntungkan. Dari beberapa lokasi penelitian ini ternyata genotipe 481 mempunyai hasil tinggi di Jember I dan II. Hal ini berarti Jember merupakan lokasi yang menguntungkan. Bila dilihat dari agroklmat dan topografinya, memang Jember I lebih menguntungkan dari pada lokasi yang lain. Tetapi Genotipe 481 ini kurang stabil. Argomulyo juga termasuk genotipe yang mempunyai produktivitas tinggi, yaitu 2,47 ton/ha. Mempunyai tinggi tanaman, umur masak panen, jumlah buku subur, jumlah polong isi, jumlah biji per tanaman, dan berat biji per petak yang tinggi atau di atas rata-rata. Jumlah cabang pada batang utamanya, berat biji per tanaman dan berat 100 bijinya rendah bahkan jumlah polong hampanya rendah sekali. Rendah berat 100 biji menunjukkan bahwa biji genotipe Argomulyo kecil-kecil, tetapi diimbangi oleh banyaknya jumlah biji per tanaman. Sehingga bisa meningkatkan berat biji perpetak. Genotipe Argomulyo stabilitasnya cukup dan beradaptasi di lingkungan menguntungkan. Wilis mempunyai adaptasi di lingkungan terdera, tetapi stabilitasnya tinggi, sehingga genotipe ini mempunyai berat biji per petaknya relatif tinggi. Wilis mempunyai tinggi tanaman, jumlah cabang pada batang utama, jumlah buku subur, jumlah polong hampa, berat 100 biji dan berat biji pertanaman cukup atau sama dengan rata-rata. Sedangkan umur masak panen, jumlah polong isi, jumlah biji pertanaman dan berat biji perpetaknya tinggi atau di atas rata-rata. Produktivitas per hektarnya 2,32 ton. Wilis sangat sesuai di lingkungan yang terdera khususnya kekurangan air. Wilis ini sangat disukai oleh petani di Probolinggo dan sekitarnya, hal ini dapat dilihat banyaknya petani yang menanam varietas ini. Mungkin disebabkan mudahnya mendapatkan benih varietas Wilis dibanding dengan varietas lainnya. Alasan lain wilis lebih tahan dengan kondisi terdera.
KESIMPULAN & SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Terjadi interaksi antara Genotipe X Lokasi X Musim. 2. Genotipe yang stabil dan adaptif dilingkungan yang terdera atau lingkungan marginal adalah Wilis dan Lokon. Genotipe yang stabil dan adaptif dilingkungan yang menguntungkan adalah argomulyo. Leuser dan genotipe 481 tidak mempunyai stabilitas tetapi adptif dilingkungan produktif atau menguntungkan. Burangrang dan genotipe 7955 tidak stabil dilingkungan terdera. 3. Genotipe yang stabil dan adaptif di semua lingkungan adalah malabar, disusul genotipe 234 dan genotipe 482 Saran Diharapkan penelitian tentang adaptabilitas dan stabilitas hasil dari tanaman kedelai ini ada yang melanjutkan dengan rentang lokasi yang lebih luas atau berbeda, sehingga usaha pemuliaan tanaman kedelai dalam rangka pembentukan genotipe unggul yang berprosuksi tinggi serta stabil terhadap berbagai perubahan dan tekanan lingkungan dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA Adi, M.M. 1993. Kesesuaian Beberapa Genotipe Kedelai Terhadap Musim dan Elevasi yang Berbeda di Lahan Kering. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Bandar Lampung. Hal: 324331. Adisarwanto, T. dan Suhartina. 1999. Strategi dan Kendala Peningkatan Produksi Kedelai di Pulau Jawa. “Agrin”. Fakultas Pertanian Universitas Jendral soedirman. Malang. IV (7):5-13 Bakhri, S., 1997. Daya Hasil dan Adaptasi Variates Kedelai di Lahan Kering Kabupaten Poso. Fakultas Pertanian Universitas Tadalako. Palu. “Agroland”. III(16): 43-47. Bari, A., M.S Musa., dan E. Sjamsudin. 1974. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Bogor: IPB Bogor Bilbro, J.D, and L.L Ray. 1976. Enviromental Stability and Adaptation of Several Cotton Cultivater. Crop Sci.(6): 821-824 Budiastuti, A. Kasno dan Sudaryono. 2000.Teknologi Kunci Dalam Pengembangan Kedelai di Indonesia. Balitkabi. Malang. Dwidjoseputro. 1986. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia Jakarta. Hal: 6-15. Eberhart, S.A., and Russel. 1966. Stability for Comparing Varietes. Crop Sci. 5(6): 36-40. 72
AGROTECHBIZ Vol. 01 No. 01 Tahun 2014
ISSN 2355-195X
Eddy, S. 1995. Usaha Peningkatan Produksi Kedelai di Luar Jawa. Balitkabi. Malang.
Subandi. 1982. Yield Stability of Nine Early Maturating Variates of Corn. Bogor: Countr. Centr. Res. Inst. Agric.(53): 1-11
Finlay, K.V., and G.N. Wilkinson. 1963. The Analysis of Adaptation in Plant Breeding Program. Aus. J. Agric. Res(14): 742-754.
Subandi, I. Manwan dan A. Blumenschein. 1988. Koordinasi Program Penelitian Nasional Jagung. Puslitbangtan. Bogor. 83p.
Gomez, K.A and A.A Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Edisi II. Universitas Indonesia, Jakarta.
Steel, R.G.D. and Torrie. 1991. Principles and Procedures of Statistics a Biometrical Approach. McGrawhill Interbational Book Company, London. 748p.
Kasno, A. 1986. Pendugaan Parameter Genetik dan Parameter Stabilitas Hasil Kacang Tanah (Archis Hypogeae (L) Merr.) Disertasi S3. Fakultas Pasca Sarjana. IPB Bogor.
Takdir, A.M., R. N. Friany M..,M Anas B., M. Dahlan dan F. Kasim. 1999. “Stabilitas Hasil Beberapa Genotipe Jagung Hibrida Harapan Pada Sembilan Lokasi”. Zuriat. X(2): 54-61
Kuswanto, Semeru Ashari dan M. Agus Wijoyo. 2000. Keragaman GenotipeVarietas Harapan Kedelai dan Implikasi Seleksi untuk Musim Penghujan. Habitat. II(111): 71-75.
Vincent. Gaspersz, 1995. Teknik Analisis Penelitian Percobaan.Tarsito. Bandung.
dalam
William, E. 1991. Penampilan Galur Kedelai Asal Bogor pada Lahan Kering di Kalimantan Selatan. Kindai II(2): 22-26.
Perkins, J.M and J.L Jinks. 1968. Enviromental and Genotype Enviromental Component of Component of Variability. Multiple Lines and Crosses. Heredity. III(23): 339-356.
William Eddy dan M. Imberan. 1995. Adaptasi Beberapa Genotipe Kedelai di Lahan Kering Bertanah Podsolik Merah Kuning. Risalah Hasil Penelitian Pemuliaan Palawija Banjar Baru. Balitra. Hal: 39-41.
Primorio, V.S., Duane E.E., Gary R.A., Jack W.L.and Istvan Rajean. 2002. Genotipe x Environment Interaction, Stability and Agronomic Performance of Soybean with Altered Fatty Acid Profiles. Crop Sci.(42): 37-4
Wood, D.R., P.Mc Clean, A.A Mattjik. 1981. Stability Parameters For Yield, Protein Content, and Available Methionine of Pinto Bean Cultivars, Colorado State Univ. Ft.Collons. Co. 805234, 1-8.
Singh, R.K,. and B.D. Chaudhary. 1979. Biometrical Method in Quantitative Genetics Analysis. New Delhi. Kalyani Publisher. Somaatmadja, Kasno A, Abdul Bari, Subandi, Soleh Solahuddin dan A.A. Mattjik. 1988. Analisi Stabilitas Hasil dan Komponen Hasil Kacang Tanah di Beberapa Lingkungan. Penelitian Palawijo. (I): 1-8 Soegito dan M. Adie. 1992. Evaluasi Daya Hasil Pendahuluan Galur Homosigot Kedelai Umur Genjah. Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balitan Malang. Siradjudin, M., 1997. Respon Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Variates Kedelai (Glycine max, L.Merril) Terhadap Pemberian air dan Kedalaman Tanam. “Agroland”. III(16): 32-33. Sumarno. 1986. Response of Soybean (Glycine max, L.Merr) Genotypes to Continous Satured Culture. Indonesian. Journal of Crop Science. II(2): 71-78. Sudjana. 1980. Disain dan Analisis Eksperimen. Penerbit Swadaya. Jakarta. Sumartono dan Nasrullah. 1984. Genetika Kuantitatif. Universitas Gajah Mada. Jogjakarta. Subandi, M.R Hakim, A. Sudjana, M.M. Dahlan and A. Rifin. 1979. Mean and Stability for Yield Early and Late Varaites of Corn in Varying Environments. Cont. CRIA. (51): 24p
73
Stabilitas & Adaptabiltas Hasil Sepuluh Genotipe …
Umi Zuhroh, M.
[ halaman dikosongkan ]
74
ISSN 2355-195X