PENDIDIKAN ARSITEKTUR BERKELANJUTAN
Urgensi Penelitian dalam Pendidikan Arsitektur Hastuti Saptorini
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
Abstrak
Current architectural education seems to see research rather away from design especially to undergraduate students. However, as this paper tries to argue, methodoiogically speaking, design as decision making process requiring integrative, comprehensive, and creative thinking based on empirical problems formulation which are inherently a research attitude. Architecture students hence need this research competence especially to the analysis-synthesis skill in design process. The objective of this paper is two folds. The first is to analyze the place of research activity in design context as the basis of architecture education especially In undergraduate level. Second is to identify the strategic steps for optimum design process skill for students.
Keywords: research in architecture, design process, architectural learning process
Pendahuluan Fenomena perubahan dalam ranah global yang relatif cepat telah menuntut dunia pendidikan arsitektur untuk menyiapkan lulusan yang mandiri, kreatif, dan eksploratif. Tuntutan ini mengindikasikan bahwa masyarakat telah memandang arsitek sebagai sumber daya manusia yang serba bisa, memiliki kompetensi luas di bidang rekayasa bangunan, baik secara hard skill (keilmuan) maupun soft skill (sikap). Untuk itulah mengapa pendidikan arsitektur bersepakat mengolah manajemen pendidikan dengan mempertimbangkan “kualitas dapur” mereka melalul kurikulum yang berbasis kompetensi. Melalui rumusan ke-34 butir kriteria Korespondensi: Hastuti Saptorini.
Jurusan ArsitekturUniversitas Islam Indonesia, Kampus Terpadu Jln. Kaliurang 14,5 Yogyakarta 55584 Indonesia. E-mail:
[email protected] Donor: tidak ada Konfllk Kepentingan: tidak ada
© JPAI 2010 Hastuti Saptorini
lulusan pendidikan arsitektur versi Union Internationale des Architectes (UIA) dan ke-13 butir kriteria kompetensi versi Ikatan Arsitek Indonesia (lAI), kurikulum pendidikan arsitektur telah dikemas menjadi sejumlah mata kuliah yang mengarah pada inti pembelajaran desain bangunan. Secara substansial, desain bangunan dilandasi oleh aspek fungsional yang "memerdekakan" manusia melalul akomodasi kegiatan pemakainya. Desain bangunan bukanlah sekedar "wadah" yang mampu melindungi, dan menampung variasi aktivi tas penghuni, melainkan rancangan bangunan yang mampu mengejawantahkan “jiwa" pemakainya. Landasan inilah, mengapa setiap kasus bangunan merupakan hal baru yang berslfat unik spesifik, dan tidak bersifat universal, sehingga secara metodologis, desain bangunan diejawantahkan sebagai suatu proses artikulasi antara pemakai sebagai "isi" dan konteks sebagai "ruang"yang mewadahinya.
Urgensi Penelilian dalam Pendidikan Arsitektur Hastuti Saptorini
2
Artikulasi 'isi" dalam "ruang" ini dilandasi oleh proses anallsis sintesis untuk menghasilkan pro duk kreatlf. Proses ini tidak lain merupakan manifestasi daya cipta antara informasl/data, ide, gambar, dan komponen lain untuk mengkreasikan sesuatu yang belum terwujud sebeiumnya. Perumusan informasi, dalam hal ini, merupakan penentu atau "ujungtombak" dalam mengoptimalkan kualitas desain bangunan. Informasi apa yang diperoleh, dan bagaimana cara memperoiehnya merupakan mekanisme pemmusan informasi yang dalam ranah keilmuan dikemas sebagai "proses penelitian". Dalam ranah aplikasi, perumusan informasi dituntut validitas dan kebenaran sehingga hasil manifestasi yang terwujud dalam desain bangunan memiliki daya manfaat dan kontekstual yang optimal. Kesaiahan kecil dalam menginformasikan data kontur lahan, misalnya, menghasilkan kualitas desain yang berbeda. Demikian hainya ketika merumuskan data pengguna. Jumlah, perilaku, bahkan karakteristik pengguna menjpakan informasi spesifik yang menentukan kualitas bangunan. Sehingga, pendekatan terhadap kebenaran realita atas informasi ini merupakan modal awal yang sangat menentukan kualitas bangunan. Pada konteks pendidikan, mekanlsme perumusan informasi serlngkaii bukanlah seialu menjadi faktor penentu dalam perancangan. Kebenaran dan validitas informasi belum tentu ditekankan mengingat keterbatasan kesempatan, tenaga, dan pikiran. Bahkan, informasi ini diberikan (given) pada saat menjelang proses merancang, sehingga mahasiswa tidak memiliki "jam terbang" tentang apa saja, bagaimana, dimana, dan kapan informasi itu diperoleh. Kalau pun informasi telah diperoleh, benar atau tidak informasi tersebut bukanlah menjadi hal penting. Mengapa? Karena serlngkaii pelaku dunia pendidikan memiliki paradigma bahwa melakukan kesaiahan pada "periode belajar" merupakan hal yang wajar. Pandangan Ini sangat bertentangan dengan
mekanlsme meneliti. Penelitian menuntut validitas, kebenaran informasi, dan ketepatan dalam memilih metode/cara penelitian. Konsep ini berpengaruh terhadap kualitas temuan dan rekomendasi, yang sangat mungkin diterapkan untuk kepentingan rancangan. Banyak orang berpandangan bahwa penelitian lebih bersifat keilmuan, sehingga pengalaman dalam menerapkan dan memperagakan konsep-konsep dan metode yang dipeiajarinyamengarah kepada kebenaran mutlak. Disisi lain, proses meneliti juga merupakan jam terbang yang melatih sikap tertib, jujur, dan konsisten untuk menemukan kualitas tertentu dari variabel yang diteliti. Muatan inilah yang sebenarnya ingin dicapai ketika mahasiswa dilatih sejak dini untuk melakukan penelitian. Dengan demikian, kesadaran mereka mulai terasah, bahwa kualitas Informasi sangat menentukan mutu rancangan, sehingga proses menemukannya harus disikapi dengan tertib, jujur, dan konsisten. Temuan informasi yang keliru, akan beresiko terhadap kualitas rancangan bangunan. Kualitas rancangan bangunan yang belum capable, mengindikasikan tataran profesionalitas seolah masih jauh dari capaian. Untuk itu, muatan yang tepat bagi pembelajaran pengetahuan meneliti nampaknya dibutuhkan dalam proses pendidikan merancang bangunan demi menghasilkan iuiusan yang berkualitas. Muatan substansi dan sikap yang seberapa dalam, pembelajaran meneliti perlu dibekalkan kepada mahasiswa, terkait dengan kompetensi yang distandarkan.
Kompetensi Sarjana Strata Satu (S1) Arsitektur Sejumlah pakar pendidikan arsitektur telah banyak membahas ke-13 butir persyaratan kualifikasi dasar arsltek hasil penetapan lAi. Beragam Interpretasi dan manifestasi atas ketetapan tersebut telah menjadi sejumlah variasi kurikulum. yang pada intlnya mengandung muatan 13 substansi dengan tiga http://journal.uii.ac.id/jpai
Jumal Pendidikan Arsitektur Indonesia Volume 1 Nomer 1 Tahun 2010
3
ragam jenjang pencapaian: kepekaan (awareness), pengertian (understanding, dan kemampuan (ability). Muatan substansi berintikan keglatan merancang bangunan yang didukung oleh sejumlah variasi keilmuan yang terkait, yaitu: sen!, lingkungan, sosial budaya, ekonomi, me todologi, dan teknologi. Meskipun llmu-llmu pendukung tersebut hanya memiliki kedalaman peka dan mengerti. Secara eksplisit, ke-13 kompetensi yang mendasari pendidikan arsitektur tersebut adalah sebagai berikut (SIregar, 2004:10; Awal,2004:21). 1. Memiliki kemampuan untuk menghasilkan rancangan arsitektur yang memenuhi ukuran estetika dan persyaratan teknis, dan yang bertujuan melestarikan lingkungan.
9. Mengerti masalah perancangan struktur, konstruksi, dan engineering yang berhubungan dengan rancangan bangunan. 10.Memiliki pengetahuan yang memadai tentang masalah fisika bangunan, teknologi, dan fungsi bangunan dalam kaitannya dengan kenyamanan dan perlindungan terhadap iklim. 11.Memiliki keteramplan merancang yang memenuhi kebutuhan bangunan dalam batasbatas yang diberikan oleh anggaran biaya dan peraturan bangunan.
12.Memilki pengetahuan yang memadai tentang Industri, organisasi, dan prosedur dalam penerjemahan konsep rancangan menjadi wujud bangunan serta menyatukan rencana ke dalam 2. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang suatu perencanaan yang menyeluruh. sejarah dan teori arsitektur termasuk seni, teknologi dan ilmu-iimu pengetahuan manu13.Memiliki pengetasia. huan yang memadai mengenai pendanaan, manajemen proyek, dan pengen3. Memiliki pengetahuan tentang seni dan pendalian biaya. garuhnya terhadap kualitas rancangan arsitektur. Kompetensi tersebut menglndikasikan bahwa 4. Memiiki pengetahuan yang memadai tentang keterampilan merancang bangunan harus diperencanaan dan perancangan kota serta landasi oleh sejumlah kompetensi dasar keilketerampilan yang dibutuhkan dalam proses muan dengan proses yang panjang. Bagaimana strategi mengemas dan mempersiapkannya unperencanaan Itu. tuk menghasilkan kualitas rancangan yang co5. Mengerti hubungan antara manusia dan ba cok, adaptatif, dan konteks, merupakan kajian ngunan, serta antara bangunan dengan ling- komprehensif yang secara teoiitik telah dipaparkungannya, serta menghubungkan bangunan kan oleh sejumlah pakar pendidikan arsitektur dengan ruang di antaranya untuk kepentingan berikut. manusia. 6. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang cara mencapai perancangan yang dapat mendukung lingkungan yang berkelanjutan. 7. Mengerti makna profesi dan peran arsitek da lam masyarakat terutama pada hal-hal yang menyangkut kepentingan masalah sosial. 8. Mengerti persiapan untuk sebuah pekerjaan perancangan dan cara-cara pengumpulan data. © JPAI Hastuti Saptorini
Kompetensi Pengetahuan Prases Merancang Bangunan
Sejumlah ragam proses perancangan mengindikasikan adanya mekanisme langkah sekuensial yang harus dilalul. Snyder et a! (1979:160), dan Sutedjo (1997:81), telah menggambarkan sejumlah bagan dari beberapa pakar/asosiasi dalam "Perkembangan Arsitektur dan Pendidikan Arsitek di Indonesia" yang secara sederhana menunjukkan benang merah adanya tahap awal (persiapan), tengah
Urgensi Penelilian dalam Pendidikan Arsitektur Hastuti Saptorini
4
(proses negosiasi rancangan awal antara perancang dan klien),dan tahap akhir yang berupa pengembangan rancangan sebagai final product Tahap persiapan, secara prinsip, harus menemukan permasalahan yang terstmktur atas dasar data, InformasI umum dan informasi khusus. Tahap tengah mempakan saat proses transformasi rancangan awal yang slap dikomunikasikan kepada klien, sedangkan tahap akhlr meliputi pekerjaan pengembangan rancangan, yang siap untuk dilaksanakan pembangunannya. Dalam lingkup arsitektur, Ginty (1985) memaparkan pula bahwa proses perancangan bangunan mencakup beragam konteks. Dia menggarisbawahi bahwa arsitektur terjadi dalam suatu konteks sosial, lingkungan, perilaku, dan ekonomi yang luas (h.223). Terkait dengan perancangan dan proses perancangan arsitektur, konteks tersebut merupakan dasar pijakan yang ditanggapi dan diakomodasi sebagai sebuah tatanan yang disampaikan melalui proses pembelajaran. Perilaku lingkungan, sebagai salah satu konteks terkait, oleh Moore (1979) dianggapnya sebagai dasar merancang fungsi bangunan yang berdasarkan lebih dari sekedar pertimbangan standar dimensional (h.47). Studi perilaku lingkungan, dianggapnya bersifat lebih dalam, menuju pada aspek psikologi pengguna, sehingga akan
menghasllkan rancangan yang realistis. Reallta akan kebutuhan pengguna dalam berinteraksi, bergaya hidup, dan keinginan yang memiliki karakteristik spesrfik, mempakan dasar program yang memperdalam kualitas rancangan. Secara hakiki, perancangan diartikan sebagai usulan pokok yang mengubah sesuatu yang telah ada menjadi sesuatu yang lebih baik. Proses perjalanan yang menggambarkan pembahan diharapkan nampak dalam perancangan. Dalam hal ini terda-pat tiga simpul yang dilalui, yaitu keadaan awal, proses transformasi, dan keadaan masa depanyang dibayangkan. Proses transformasi tidak lain adalah proses perancangan yang oleh Ginty (1985:231) digambarkan sebagai proses penyelesaian masalah melalui 5 langkah kegiatan sebagaimana teruraikan dalam Tabel 1. Kronoiogi langkah, yang diawali oleh temuan masalah berdasarkan imajinasi kritis terhadap aspirasi pengguna sampai pada tahap tindakan yang bempa gambar kerja sebuah bangunan dengan kelengkapan dokumentasi konstmksinya, mempakan serangkalan proses transformasi solusi yang berujud sebuah bangunan. Dengan demiklan, bangunan sebagai produk akhir transformasi, telah melalui proses penjelajahan sekuensial, berumpan balik, dan berdaur. Tabel 1. Lima Langkah Proses Perancangan Bangunan (Sumber: Tinfi Mc Ginty, 1985:233)
http://journal.uii.ac.id/jpai
Jumal Pendidikan Arsitektur Indonesia Volume 1 Nomer 1 Tahun 2010
5
Kelima langkah tersebut diterapkan secara sikllkal, sehingga teijadilah sistem kontrol. Apakah masalah yang teridentiflkasi telah terselesaikan melalui penggunaan bangunan ketika rancangan telah selesal terkonstmksi? Artinya, ketika rancangan seiesai dibangun, dihuni, dan dioperasionalkan, maka masalah yang teridentifikasi beium tentu telah terselesaikan. EvaluasI terhadap kualitas bangunan perlu dilakukan, sebagai kendall dalam hal kualitas rancangan. Sehingga, apabila terdapat ketidaksesualan dengan masalah yang teridentifikasi, maka dimungkinkan terjadi penyimpangan dalam mekanisme proses perancangan tersebut. Kemungkinan iain, ketidaksesuaian terjadi karena kekeliruan dalam mengidentifikasi masalah, yang dalam proses merancang di atas, terdapat pada langkah pertama dan kedua. Identifikasi ImajinasI kritis dalam mendorong aspirasi pengguna sampai pada pemetaan keinginan, kemampuan, baik fisik maupun non-fisik, nampaknya yang seringkali menjadi pemicu. Mengapa? Karena di bagian inilah pekerjaan awal dan persiapan harus dilakukan yang notabene membutuhkan proses panjang, akurasi, ketelitian, dan realistis. Wijono (2004) menyetarakan tahap ini dengan penyusunan informasi. DJgaris bawahinya bahwa tahap penyusunan Informasi memang membutuhkan pemikiran yang luas dan bervariasi. Keragaman dan ketepatan metoda perlu dipertimbangkan agar diperoleh informasi yang valid dan reliabel (h.83). Ditegaskan pula bahwa daiam proses penyusunan program arsitektural tidak dapat menggunakan cara pengumpulan data secara sembarangan. Metoda yang digunakan harus dipilih secara selektif sesuai © JPAI Hastuti Saptorini
kebutuhan jenis informasi, sifat informasi, dan sumber informasi. Dengan demikian, sangatlah tegas ditekankan bahwa kegiatan pada tahap ini tidak dapat diketjakan dengan tergesa-gesa demi memperoieh hasil rancangan bangunan yang menjawab /menyelesaikan permasalahan/ keinginan pengguna secara kontekstuai dan realistis. Dalam hal ini, kegiatan penelitian nampaknya perlu menjadi pertimbangan dalam mengawali proses perancangan bangunan.
Esensi dan Ranah Penelitian Arsitektur Paul Leedy (1985:4) mendefinisikan penelitian sebagai cara untuk memecahkan permasalahan secara sistematis untuk mengurangi kekurangtahuan manusia melalui uji validitas pemecahan permasalahan yang diusulkan oleh orang lain. Dalam hal ini, rasa ingin tahu tentang sesuatu, menjadi modal utama bagi seorang peneliti. timbulnya kesadaran dan rasa ingin tahu merupakan awal proses berfikir dan umumnya timbul karena terdesak oleh suatu kebutuhan/keinginan, yaitu kebutuhan untuk menemukan kebenaran (teori/kesimpuian). Saragih alam Widodo (2003:5) juga mendefinisikan penelitian sebagai problem solving yang disusun secara sistematik. Walaupun demikian, Djunaedi (1989:3) menggarisbawahi bahwa penelitian bukanlah sekedar mencari, mengukur, dan mengumpuikan fakta saja dan bukan puia memindahkan informasi dari satu tempat ketempat lain. Melainkan, penelitian adalah mekanisme pengorganisasian dan presentasi data/informasi, yang kemudian dilakukan interpretasi untuk menghasllkan sebuah temuan sebagai dasar rekomendasi tindakan yang menyelesaikan masalah.
Urgensi Penelilian dalam Pendidikan Arsitektur Hastuti Saptorini
6
Selanjutnya Widodo (2003) memaknai sistematik sebagai sifat keterkaitan secara teratur atas suatu pemikiran/teori/asas sehingga membentuk satu totalitas yang mudah dimengerti. Keterkaitan yang teratur mengindikasikan adanya konsistensi dan ketaatan atas serangkaian asas, mulai dari variabel permasalahan yang diangkat sampai dengan temuan dan atau rekomendasi. "Benang merah" yang menyambung rangkaian variabel diharapkan terjalin dalam makna sistematik ini. Sehubungan dengan macam penelitian, sejumlah pakar penelitian: balk yang "beraliran" kualitatif maupun kuantitatif, menunjukkan ragam yang bervariasi. Leedy mengkategorikan sejumlah ragam penelitian: studi kasus, fenomenologis, ethnografis, sejarah, dan grounded Nasir (1988), Nawawi (1983), dan Waglono (1996), dalam Widodo (2003:7) mengkategorikan metode penelitian dalam empat macam: metode filosofis, historis, deskriptif, dan eksperimen. Adapun Djunaedy mengkategorikan macam penelitian hanya dalam dua jenis: deduktif dan induktif. Penelitian deduktif merupakan penelitian yang berawal dari teori kemudian melakukan observasi untuk konfirmasi (menguji teori), sedangkan penelitian induktif berlaku sebaliknya, yartu penelitian yang berangkat dari observasi untuk dirumuskan menjadi teori (menciptakan teori). Terkait dengan penelitian arsitektur, ranah peluang memiliki variasi yang beragam. Peluang tema memiliki ranah mulai dari penelitian yang bersifat makro sampai dengan mikro, Djunaedy mengkategorikannya menjadi 11 tema, termasuk penelitian tentang pendidikan arsitektur. Hal ini mengindikasikan bahwa ranah problematika arsitektural yang harus diselesaikan relatif banyak. Belum lagi penjabaran ranah peluang untuk masing-masing tema, akan menambah sederetan peluang problematika arsitektural yang bisa diangkat dalam penelitian. Tema perumahan, misalnya, memiliki kemungkinan diteliti dari sisi perancangan (housing design) ataupun kajian
perumahan (housing studies), demikian halnya tentang perkotaan. Untuk itulah mengapa, baik untuk kepentingan aplikatif maupun keilmuan, arsitektur membutuhkan pemikiran demi proses pengembangan melalui penelitian. Djunaedy (1989:4) mengklasifikasi tingkat penelitian menjadi tiga level: deskriptif, relasional, dan sebab akibat. Ketiga tingkat penelitian ini bersifat kumulatif. Pada level yang paling dasar, deskriptif, temuan penelitian hanya dituntut untuk menjelaskan apa yang terjadi. Satu tingkat di atasnya, relasional, temuan penelitian diharapkan mampu menemukan relasi/kaitan variabel terhadap permasalahan yang telah terjadi. Tingkat yang paling tinggi,sebab akibat, penelitian diharapkan menemukan variabel penyebab atas variabel yang lain. Perbedaan tingkat ini hanyalah terietak pada kedaiamananalisis dan kualitas temuan. Namun sistematika penelitian secara umum memiliki sequence relatif sama, yaitu diawali dengan menentukan topik sebagai judul penelitian dan diakhiri oleh rekomendasi.
Data dalam Fase Penelitian Fase penelitian, pada umumnya, dilalui oleh tiga terminasi utama. Pertama, adalah tahap penyusunan proposal penelitian. Kedua yaitu tahap pengumpulan dan kompiiasi data. Ketiga adalah tahap analisis/temuan dan rekomendasi. Tahap penyusunan proposal diawali oleh penentuan judul penelitian dan diakhiri oleh kejelasan metode penelitian. Fase ini merupakan tahap yang menentukan untuk langkah panjang penelitian. Judul penelitian merupakan ekspresi atas topik/subyek penelitian yang akan dicermati, serta lebih mencerminkan permasalahan yang akan dipecahkan, sehingga judul harus mengekspresikan variabel penelitian yang akan ditemukan solusinya. Bagian utama pada fase proposal terietak pada substansi kajian pustaka dan landasan teori.
http://journal.uii.ac.id/jpai
Jumal Pendidikan Arsitektur Indonesia Volume 1 Nomer 1 Tahun 2010
7
Bagian ini harus dikaji untuk menemukan parameter yang selanjutnya dijabarkan secara operasional dalam daftar pengamatan/pertanyaan yang berperan seba gai instrumen (alat) untuk mengumpulkan data la pangan. Secara filosofi, kajian pustaka dan landasan yang mengkaithubungkan antara penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan teori terkait sebagai konfirmasi. Dengan demikian tanpa melakukan kajian pustaka dan Teori secara optimal, maka instmmen sulit dijabarkan yang akibatnya data tidak dapat diperoleh secara efektif yang nantinya akan menghambat proses analisis dan menimbulkan keraguan terha-
Hal ini mengindikasikan bahwa posisi kajian pustaka dan landasan teori pada fase penelitian memiliki peran yang signifikan dalam menentukan kualitas data, yang selanjutnya digunakan sebagai dasar perancangan bangunan. Namun ditilik dari prosesnya, sebagaimana Diagram 1, langkah ini dirasakan terlalu panjang dan dianggap berlebihan/bertele-tele. Tidak urung, langkah ini diabaikan sehingga kualitas dan validitas data yang terkumpul terkesan "seadanya". Bahkan, seringkali, data ini pun lerlupakan" ketika sampai proses merancang. Hamskah demikian?
dap temuan. Castetter dan Heisler dalam Djunaedi (2000:3), menerangkan bahwa tinjauan pustaka memiliki 6 kegunaan, yaitu: a) mengkaji sejarah permasalahan, b) membantu memilih prosedur penelitian, c) mendalami landasan teori yang berkaitan dengan permasalahan, d) mengkaji kelebihan dan kekurangan hasil penelitian terdahulu, e) menghindari duplikasi penelltan, dan f) menunjang pemmusan perma-salahan.
Kaitan Penelitian Dalam Proses Perancangan Arsitektur
© JPAI Hastuti Saptorini
Diagram 1. Proses Temuan Data Dalam Fase Penelitian
Menilik mekanisme merancang yang membutuhkan keterampilan mengemas informasi/ data secara realistis, valid, dan temkur, maka keterkaitan de ngan proses penelitian nampaknya cukup signifikan. Bealita dan validitas data mempakan faktor yang menentukan kualitas rancangan. Kuantitas dan kua litas keinginan/kebutuhan pengguna bangunan,
Urgensi Penelilian dalam Pendidikan Arsitektur Hastuti Saptorini
8
misalnya, setiap kasus memiliki kondisi yang berbeda dan betvariasi, sehingga transformasi ke rancangannya pun tidak sama. Demikian halnya kondisi seting/tapak yang akan menampung kegiatan di atasnya. Selama ini, kondisi setting jarang ada kesamaan, baik ukuran, dimensi, maupun topografinya, sehingga akan menghasilkan konfigurasi bangunan yang berbeda. Itulah mengapa data yang diharapkan sebagai dasar rancangan bangunan membutuhkan keseriusan dalam penyiapannya. Wijono mengantarkan tullsan "Kemampuan Menyusun Program Arsitektural bagi Satjana Arsitektur" dalam prosiding Seminar Nasional Kompetensi Sarjana Arsitektur (2004), bahwa Arsitektur dirancang dengan tujuan untuk mewadahi kegiatan dan fungsi-fungsi yang dilakukan dan diinginkan oleh manusia. Artinya, keinginan manusia merupakan tahap awal rancangan yang membutuhkan penyiapan menuju desain yang terencana dan beri
nyajikan persyaratan spesifik mengenai fungsi ruang (hal. 82). Dicontohkannya bahwa museum seni di Amerika akan memiliki karakteristik spesifik yang berbeda dengan museum seni di Indonesia. Dengan demikian standar ruang dan persyaratan ruang yang ada dalam literatur belum tentu sesuai untuk diangkat sebagai program arsltektural, meskipun juga tidak dapat diabaikan. Arsitek, sebagai perancang bangunan, mau tidak mau harus menyusun program arsitektur secara sistematis, rtiendetail, dan memiiki akurasi yang tinggi. Karenanya, arsitek perlu mempertimbangkan metoda seiektif guna mendapatkan jenis, sifat, dan sumber informasi yang spesifik dalam penyusunan program arsitektur. Zeisei (1981) menawarkan metode kooperatif antara perancang dengan peneliti dalam 3 bentuk piiihan yaitu pemrograman arsitektur, kaji perancangan, dan evaluasi proyek yang telah terbangun (hal 32). Metode kerjasama ini, bagi peneliti, bertujuan untuk meningkatkan kontrol dalam menguji apakah hasil penelitiannya bisa diaplikasikan dalam rancangan. Peneliti yang menglnginkan agar informasi mereka digunakan dan berguna, berharap mampu mengidentifikasi problem perancang melalui studi perilaku pengguna (hal.33). Bagi perancang, keijasama ini mendorong mereka untuk lebih mampu melihat kebutuhan, keinginan, dan perilaku pengguna secara spesifik, sehingga diharapkan mampu menghasilkan rancangan yang spesifik pula. Proses sinergis antara peneliti dan perancang terjadi dalam mekanisme ini. Sejauh mana perancang mampu mentransformasikan problematika rancangan yang dihasilkan oleh peneliti merupakan proses kemltraan yang perlu diukur (diuji) klnerjanya. Dalam hal ini posisi perancang bukanlah sebagai sub ordinat peneliti, sehingga apapun hasil transformasi rancangan yang dihasilkan oleh perancang merupakan kontrol peneliti dalam menemukan problematika rancangan melalui perilaku pengguna. http://journal.uii.ac.id/jpai
Jumal Pendidikan Arsitektur Indonesia Volume 1 Nomer 1 Tahun 2010
9
Kompetensi Penelitian dalam Pendidikan Arsltektur Andaikata kegiatan penelitian dileburkan dalam proses pendidikan arsltektur jenjang Strata Satu (81), makakajian komprehensif terhadap keterkaitan substansi dan tingkat kedalamannya periu dikaithubungkan. Dimana, kapan, dan bagaimana tingkat kedalaman substansi ini mulal dikenalkan dan dibangun dalam proses pendidikan, merupakan pemicu yang periu dijawab demi kesempunaan impiementasi kompetensi yang diharapkan. Dari jumiah 144 Satuan Kredit Semester (SKS) yang distandardkan Depertemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk jenjang Strata Satu, seringkaii digelar dalam 8 semester dalam proses pendidikan. Angka tersebut terdiri atas 58 SKS kurikuium inti dan sisanya kurikuium tambahan yang diejawantahkai melalui sejumiah mata kuliah dan muatan substansi, yang variasi dan kedalamannya, diserahkan kepada masingmasing institusi. Di institusi penuiis, Universitas islam Indonesia misainya, dari jumiah total 152 SKS diurai menjadi 88 SKS (57,9%) sebagai kelompok mata kuiiah berdomain Architecture & Engineering Design, 18 SKS (11,8%) menjadi keiompok mata kuiiah berdomain Building Science & Technology, 28 sks atau 18,5% keiompok History dan Architecture Theory, dan 18 SKS (11,8%) sebagai keiompok mata kuiiah berdomain Basic Science and Fundamental Architecture. Domain yang pertama diimpiementasikan dalam mata kuiiahyang berkedalaman "trampil", sedangkan domain yang lain, karena berstatus pendukung, diejawantahkah dalam mata kuiiah berkedalaman "memahaml" dan "mengetahui". Metode penelitian itu sendiri, tidak'ekspiisit dikemas dalam mata kuiiah tertentu, namun diimplementasikan secara melekat pada sejumiah Mata Kuiiah di tingkat akhir yaitu Karya Tulis ilmiah (4 SKS) dan Tugas Akhir (IO SKS).
© JPAI Hastuti Saptorini
Sejumlah pengalaman telah dicatat penulis terkait dengan tingkat pemahaman apiikatif terhadap substansi pengetahuan yang ditekuni. Satu hal yang sulit disadari oieh mahasiswa bahwa belajar metoda penelitian hanyalah sebuah "alat" yang digunakan dalam penelitian. Sedangkan hal lain yang iebih harus difahami adalah penjabaran pengetahuan arsltektur yang dipilih sebagai “bahan" yang dioiah dengan aiat tersebut. Seringkaii nampak, justru, mahasiswa lebih menonjolkan “alat” dari pada bahan yang dioiah. Akibatnya, mereka teriihat iemah dalam berfikir anaiitis, disebabkan oleh keterbatasan pemahaman substansi pengetahuan sebagai modai/"bahan" pembahasan. Tingkat penyerapan substansi pengetahuan yang telah dilerimakan melalui mata kuiiah pendukung arsltektur telah iewat begilu saja setelah ujian akhir semester usai. Iniiah mengapa ketika dipancing untuk "Iebih ingin tahu" melalui penelitian, seolah-olah mereka harus membuka lembaran baru yang belum pemah diterima sebelumnya. Hal lain yang menjadi kendaia adalah semangat menuiis sebagai modal dasar proses meneliti. Kemampuan berbahasa secara tertuiis memang telah sedikit tereliminir oleh kemampuan olah gratis, khususnya dengan- teknologi komputer. Kondisi ini dirasakan semakin menjauhkan mahasiswa dengan budaya menuiis, sehingga ketika tugas dan atau ujian apiikasi memiiih metoda penelitian, yang terjadi hanyalah memindahkan buku catatan ke dalam makalah. Akibatnya, yang nampak jelas adalah lemahnya kemampuan berfikir analitis juga ikut melandasi fenomena tersebut. Gejala ini membutuhkan kajian dan perenungan dari banyak pihak. Tldak hanya oleh komunitas arsltektur yang bergerakdi bidang pendidikan, dan mahasiswa sebagai aktor yang terlibat langsung sebagai pelaku pendidikan, namun masukan dari para praktisi, pengguna alumni juga merupakan sumber informasi yang signlfikan. Sejumlah kegiatan yang meiibatkan para praktisi/
Urgensi Penelilian dalam Pendidikan Arsitektur Hastuti Saptorini
10
pengguna alumni, balk dari bidang keija konsultan perencana, perancang, dan kontraktor daLam rangka implementasi Program Hibah Kompetisi A-3 telah dilakukan di Institusi penulls. Melalul kegiatan magang, tracer study, dan technical assistance demi peningkatan pembelajaran mata kuliah Perancangan Arsitektur, sejumlah temuan yang terkait dehgan "mekanisme meneliti" tercatat sebagai kesimpulan. Kemampuan analitis dan konsistensi pembahasan melalui ungkapan "benang merah" substansi dianggap masih lemah di kalangan mahasiswa. Hal ini terutama menggejala dipembelajaran mata kuliah Perancangan Arsitektur. Dari sisi jumlah, data yang diperoleh umumnya cukup iengkap, namun tidak terimplikasi/ tertransformasi ke dalam rancangan. Fenomena ini mengindikasikan bahwa kemampuan mahasiswa dalam menghayati dan memaknai data masih sangat lemah.
Pembiasaan membaca data akan membangun kepekaan terhadap makna yang dikandungnya, Dalam hal ini dibutuhkan kemampuan beradaptasi dalam menghayati sebuah karya arsitektur. Sumadi (2004) kembali menggarisbawahi bahwa proses adaptasi terhadap sebuah karya arsitektur merupakan pola berfikir yang terdiri atas 3 kemampuan, yaitu Interpretasi, aktualisasi, dan komunikasi (h.30). Bagi mahasiswa arsitektur jenjang 81, pembiasaan (bekal) dua kemampuan yang terakhir bukanlah hal yang meragukan. Kemampuan aktualisasi hasil perancangan yang telah dibuat telah diakomodasi, baik melalui praktek umum, asosiasi profesi, maupun pada kehidupan keseharlan. Sedangkan kemampuan komunikasi, baik melalui free hand drawing, model 3 dimensi dan maket, computeraided design maupun secara verbal, telah relatif berkembang secara signifikan.
Penghayatan dan pemaknaan data tidak lain adalah proses Interpretasi terhadap suatu informasi sebagai sarana melangkah ke depan, yaitu proses manifestasi ke dalam sebuah rancangan bangunan. Kemampuan mengejawantahkan informasi merupakan mekanisme adaptatif, modal kognitif bagi arsitek dalam menciptakan ruang. Sumadi (2004) menggarisbawahi filosofi eksistensi, bahwa suatu benda akan menjadi unsur budaya bila manusia dapat mengerti makna benda tersebut. Dianggapnya, arsitektur mampu mencerminkan budaya sepanjang arsitektur tersebut bermakna dan berfungsi. Kualitas ruang yang dihasllkan diharapkan mampu memenuhi fungsinya sebagai wadah yang layak bagi manusia untuk berkegiatan (livable), berjati diri (imageable), mendorong produktivitas, tahan lama, dan berkelanjutan (h.28). Dengan demikian betapa pentingnya kemampuan arsitek dalam mengasah sensitlvitas piklran yang memicu keingintahuan makna sebuah data/informasi.
Kemampuan proses beradaptasi yang masih relatif lemah bagi mahasiswa tataran 81 adalah kemampuan interpretasi, yaitu keahlian dalam memberi kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu. Kelemahan ini, oleh Sumadi (2004) bisa direduksi dengan 3 cara, yaitu: 1) melakukan penelitian arsitektur, 2) kritik arsitektur, 3) berbekal referensi (h.30). Penelitian arsitektur pada hakekatnya adalah usaha untuk mempelajari kembali konsep dan patokan bangunan yang telah dikembangkan pada masa lalu, sebagai masukan bagi perkembangan arsitektur kini dan akan datang. Kritik arsitektur merupakan pemberian komentar pada hasil karya atau bangunan yang ada di lingkungannya, agar perancang semakin peka terhadap hasil suatu karya desain dan semakin terlatih dan terasah untuk memberikan pandangan teoritis terhadap suatu hasil karya arsitektur. Adapun referensi merupakan bekal data dari sejumlah media belajar dan informasi, memberikan kontribusi pada pelaku arsitek untuk menginterpretasikan kebutuhan konsumen.
Tefampil memaknai data bukanlah hal yang mudah dicapai dan bersifat instan dilakukan.
http://journal.uii.ac.id/jpai
Jumal Pendidikan Arsitektur Indonesia Volume 1 Nomer 1 Tahun 2010
11
Menggarisbawahi cara SumadI dalam membangun interpretasi melalui penelitian, maka mengenalkan kegiatan penelitan dalam ranah pendidikan jenjang S1 cukup signifikan. Pandangan terhadap cara pun mengingatkan esensi penelitian yang hanya berperan sebagai alat. Alat ini akan terasah tentu saja bila sering digunakan, sehingga pada konteks apa peluang alat Ini bisa digunakan.
kemungkinan 'learning outcome’ yang bisa diwarnai pengetahuan keterampilan Ini adalah kompetensi yang terkalt dengan perancangan arsitektur, teknologi bahan, sejarah arsitektur, perilaku llngkungan, praktik profeslonal, dan perumahan. Hanya saja pendekatan dan kedalaman penelitian yang bagaimanakah dianggap sesuai dan cocok dengan kapasltas mahasiswa S1?
Bila domain of knowledge pendidikan arsitektur memlilkl 3 llngkup besar yang saling mendukung dan mengerucut pada llngkup Inti, perancangan arsitektur (Diagram 2), maka peluang penerapan penelitian sebagai "alaf untuk membangun kemampuan Interpretatif mungkin relevan bila diletakkan pada 2 ranah dalam, yaitu yang mengelompok pada domain Architectural Design, Architectural Engineering Sciences dan Building Sciences. Atau bila dikaltkan dengan pengelompokan ragam penelitianarsitektur versi Djunaedi, maka
Pemilihan Jenis atau Metode Penilitian
© JPAI Hastuti Saptorini
Pada jenjang Strata Satu (81), jenIs penelitian yang dipillh disesuaikan dengan tujuan atau kebutuhan tingkat Informasi yang melandasi sebuah rancangan bangunan. Penelitian yang bersifat eksploratif dan deskriptif nampaknya menjadi metoda altematlf. Penggallan data yang sesuai dengan konteks lokal diharapkan menjadi dasar interpretasi solusi yang bersifat apllkatlf. Kesadaran mencari data yang nyata, relevan, dan sesuai ke
Urgensi Penelilian dalam Pendidikan Arsitektur Hastuti Saptorini
12
butuhan pengguna, nampaknya menjadi harapan temuan komunikatif yang konteks dengan penyelesaian permasalahan riil. Namun bila dilihat dari hasil penelitian yang bisa diterapkan pada rancangan arsitektur, maka jenis penelitian yang relevan adalah penelitian terapan, yaltu penelitian yang mengatasi persoalan nyata dan mendesak dalam kebutuhan njtln. Temuan apllkatif pada rancangan bangunan yang bisa dimanfaatkan. secara langsung bagi masyarakat merupakan sasaran yang perlu berbagaipaparkan dalam penelitian.
tur UGM. Glnty, Tim Mc. 1985. Rancangan dan Proses Perancangan dalam Pengantar Arsitektur. Jakarta. Erlangga. Haryadi, et al. 1995. Arsitektur Lingkungan dan Perilaku. Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan DIrjen Diktl. Yogyakarta. Depdikbud Rl. Leedy, Paul. 1985. Practical Research: Planning and Design. New York. McMillan Publishing.
Moore, GaryT. 1979. Environment-Behavior Studies Ada tiga altematif jenIs penelitian yang dapat in Introduction to Architecture, edited by James C diplllh, yaltu penelitian laboratorium, penelitian Snyder & Anthony J Catanese. New York. McGraw lapangan,dan penelitian kepustakaan. PeneliHill Book Company. tian laboratorium bisa dipillh, apabila mahaslswa ingin memperdalam persoalan-persoalan termal, bahan bangunan atau konstruksi. Penelitian la- Siregar, Sandi A. 2004, Sarjana Arsitektur: Peluang dan Tantangan, Presiding Seminar Nasionai Kompangan merupakan pllihan lain yang bisa diappetensi Sarjana Arsitektur. Yogyakarta. Jurusan likaslkan bila kita akan mengamati fenomena Teknik Arsitektur FT UGM. lapangan dalam hal arsitektur perumahan, kota, maupun style bangunan. Adapun penelitian kepustakaan bisa dipakai bagi mahaslswa yang Snyder, James C. et al. 1979. Introduction to Architecture. New York. McGraw Hill Inc. IngIn menyelesaikan permasalahan arsltekturaldengan cara mencontoh (preseden) pengalaman arsitek senior, yang karyanya diperoleh Sumadi, Budi Karya, 2004. Prosiding Seminar Nasiomelalul referensi. nai Kompetensi Sarjana Arsitektur. Yogyakarta. Jurusan T. Arsitektur. Referensi: Atmadi, Parmono, et al. 1997. Perkembangan Arsitektur dan Pendidikan Arsitek di Indonesia. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Djunaedi Achmad. 1989. Metodologi Penelitian Arsitektural, Pengantar. Yogyakarta. Jurusan Arsitek-
Widodo, 2003. Metode Penelitian. Yogyakarta. Materi Penyegaran Metode Penelitian Direktorlat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DP2M) UII. Wijono, Joko. 2004. Prosiding Seminar Nasionai Kompetensi Sarjana Arsitektur. Yogyakarta. Juta Fakultas Teknik UGM. Zelsel, John. 1981. Inquiry by Design. California.
http://journal.uii.ac.id/jpai