Uraian Hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW DENGAN MENELADANI AKHLAK NABI MUHAMMAD SAW KITA BANGUN INDONESIA YANG DAMAI, ADIL DAN SEJAHTERA
Istana Negara Jakarta Selasa, 10 Maret 2009 M
Oleh SOFYAN A. DJALIL ( Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara )
Assalamu’alaikum wr. wb.
Yth. Bapak Presiden dan Ibu Hj. Ani Susilo Bambang Yudhoyono Bapak Wakil Presiden dan Ibu Hj. Mufida Yusuf Kalla. Para Ketua Pimpinan Lembaga Negara beserta Ibu Menteri Kabinet Indonesia Bersatu beserta Ibu Yang Mulia para Duta Besar dan Kepala Perwakilan Negara‐negara Sahabat beserta Ibu Para undangan, hadirin‐hadirat yang berbahagia
Setiap tahun umat Islam di seluruh dunia memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di berbagai tempat peringatan Maulid Nabi ini bahkan menjadi sebuah ajang pesta rakyat yang ditunggu‐tunggu. Ini adalah wujud kecintaan ummat terhadap Rasulullah SAW. Namun dalam acara Maulid ini, mungkin kita perlu merenung; apakah acara ritual tahunan ini telah membawa ummat menjadi manusia yang berakhlak mulia, sesuai dengan misi yang dibawa Rasul tercinta? Karena misi utama ajaran Nabi SAW adalah, seperti yang tertera dalam sebuah Hadist: "Tidaklah aku diutus kecuali untuk memperbaiki akhlak" (HR Bukhari). Juga dalam hadits yang lain Rasul mengingatkan, “Orang yang imannya paling sempurna di antara kamu adalah yang paling mulia akhlaknya”.
Sungguh begitu tingginya nilai akhlak mulia. Rasulullah mengartikan esensi agama itu sendiri sebagai keindahan akhlak. Dikisahkan, seorang lelaki menemui Rasulullah saw, dan bertanya, "Ya Rasulullah, apakah agama itu?" Rasulullah menjawab, "Akhlak yang baik". Kemudian ia mendatangi Nabi dari sebelah kanannya dan bertanya, "Ya Rasulullah, apakah agama itu?" Nabi menjawab, "Akhlak yang baik". Kemudian ia menghampiri Nabi dari sebelah kiri, menanyakan hal yang sama. Rasul tetap menjawab, "Akhlak yang baik". Kemudian ia mendatanginya dari belakang dan kembali bertanya, "Apa agama itu?" Rasulullah menoleh kepadanya dan bersabda, "Belum jugakah engkau mengerti? Agama itu adalah akhlak yang baik." (al‐Targhib wa al‐Tarhib 3: 405).
Akhlak dalam hal ini diartikan secara luas, watak, karakter, attitude yang mempengaruhi perilaku seseorang. Apa yang membuat akhlak atau karakter menjadi begitu penting sehingga menjadi pilar utama misi kenabian Muhammad? Kalau kita mengacu pada pendapat beberapa filsuf dan juga para sosiolog moderen, kita dapat mengerti mengapa Rasul menganggap begitu pentingnya karakter. Lebih dari 2.500 tahun yang lalu, Heraclitus telah membuat pernyataan yang terkenal, yaitu “Character is destiny, it shapes the destiny of the whole society”. Cicero (106 SM) menyatakan bahwa: “Within the Character of the citizen, lies the welfare of a nation”. Intinya adalah, apabila karakter seseorang atau sebuah bangsa baik, maka nasibnya pasti akan baik. Dalam kaitan ini, Francis Fukuyama, memperkenalkan konsep modal sosial (social capital) yang disebutnya “High Trust Society”. sebagai kunci utama kemajuan sebuah bangsa. Negara yang modal sosialnya tinggi tercermin pada masyarakatnya yang saling percaya dan mempunyai rasa kebersamaan yang tinggi. Hal ini terjadi karena masing‐masing individunya mempunyai karakter yang baik jujur, toleran, dapat diandalkan, bertanggung jawab dan pekerja keras.
Dale Davidson dan Rees‐Mogg menyimpulkan studinya dengan pernyataan “all strong societies have a strong moral basis” . Sejarah pembangunan ekonomi di berbagai negara jelas menunjukkan bahwa bangsa‐bangsa yang sukses ternyata masyarakatnya mempunyai watak yang baik, mandiri, kerja keras, tanggung jawab, hemat dan jujur.
Keterkaitan antara karakter dan kemajuan bangsa adalah Sunatullah. Al Quran Surat Al‐Anbiyaa: 105 menjelaskan yang berbunyi: “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauhul mahfuz, bahwasanya bumi ini diwariskan bagi hamba‐hamba‐Ku yang saleh.” Allah SWT telah menetapkan bahwa kepada mereka yang saleh (berwatak mulia) sajalah bumi ini akan diwariskan, yaitu kehidupan dunia yang penuh kejayaan, kedamaian dan sejahtera. Sunatullah tentu berlaku universal. Tidak peduli apakah sebuah bangsa, Muslim atau pun Non‐Muslim, mereka akan mengalami kejayaan jika mereka memiliki watak atau karakter yang baik dan unggul.
Bapak Presiden dan saudara‐saudara sekalian yang dicintai Allah.
Dalam memperingati hari maulid kali ini, marilah kita merenungkan dan mengambil esensi misi Rasul yaitu “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS Al‐Anbiyaa 21). Serta teladan dari keindahan akhlak Rasulullah untuk membangun masyarakat .
Allah SWT menyuruh kita untuk bercermin pada keteladanan Nabi Muhammad SAW seperti yang difirmankan Allah SWT: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS Al‐ Ahzab:21). "Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar‐benar berbudi pekerti yang agung." QS Al‐Qalam:4
Di samping kesempurnaan sifat Rasulullah, yang empat ,yaitu siddiq (jujur, benar), amanah (bisa dipercaya, bertanggung jawab), tabligh (menyampaikan dan menyeru kebenaran), dan fathonah, yaitu cerdik dan pandai. Rasulullah memiliki berbagai watak lain yang sempurna. Diantara akhlak Rasulullah yang menonjol yang perlu kita contoh, yaitu dermawan, lembut hati dan pemaaf.
Banyak sekali kisah kedermawanan Rasulullah yang terekam dalam hadist dan sejarah kehidupan beliau. Beliau dikenal penuh empati, dan selalu mendermakan apa saja yang beliau miliki. Nabi pernah berkata bahwa “Apabila Aku memiliki emas sebesar gunung Uhud pun, Aku tidak akan berbahagia sampai Aku bagikan seluruhnya dalam tiga hari, kecuali tersisa satu dinar untuk membayar hutang‐hutangku” (HR. Bukhari dan Muslim).
Alangkah indahnya apabila dalam kondisi sulit seperti sekarang ini, jika setiap individu mempunyai rasa solidaritas dan kepedulian tinggi untuk membantu sesama, terutama yang mengalami kesulitan. Selain keadilan sosial bisa tercipta, relasi sosial juga akan diwarnai oleh rasa kasih sayang, kepedulian, dan keharmonisan. Manfaat sedekah ternyata juga berguna bagi kesehatan tubuh dan jiwa bagi pemberi. Ilmu pengetahuan sudah membuktikan bahwa sedekah dan segala perbuatan baik akan membuat pelakunya bahagia. Setiap perbuatan baik akan merangsang otak untuk mengeluarkan zat neurotransmitter serotonin dan dopamine yang berperan dalam menyembuhkan depresi dan memperbaiki sistem kekebalan tubuh dan dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Hal ini persis seperti yang diingatkan Rasulullah SAW: “Obatilah penyakitmu dengan sedekah”. Juga sabda beliau, “Perbanyaklah sedekah, karena dengan sedekah akan memperpanjang umur”.
Bapak Presiden dan seluruh hadirin yang terhormat.
Di samping mengajarkan kedermawanan, Rasulullah juga sangat menilai tinggi sikap kemandirian dan kerja keras. Beliau pernah berkata ketika didatangi salah satu pengikutnya yang meminta bantuan karena kesulitan uang. “Apabila seseorang meminta sesuatu kepadaku, tentunya akan aku berikan, tetapi apabila ia menunjukkan dirinya berkecukupan dan tidak memerlukan bantuan, Allah akan membuatnya makmur”. Perkataan Rasulullah telah mengubah nasib orang tersebut, dimana ia menjadi rajin bekerja dan berhasil menjadi salah satu orang yang kaya. Kemudian Rasulullah berkata ketika bertemu orang itu lagi, “Seperti telah aku katakan sebelumnya, orang yang berusaha untuk mandiri (tidak tergantung pada orang lain), Allah akan membuatnya mandiri”. Konon sebuah riwayat menceritakan bahwa Rasulullah mengunjungi sebuah desa. Semua warga datang untuk bersalaman dengan beliau, kecuali seorang petani yang badannya kotor dan tangannya kasar karena kerja keras. Rasul menghampiri orang tersebut dan menanyakan mengapa ia tidak bersalaman dengan beliau. Petani itu menjawab, ya Rasul Allah rasanya tidak pantas tangan yang kotor dan kasar ini menyalami engkau wahai kekasih Tuhan. Mendengar jawaban tersebut Rasulullah memegang tangan petani itu, menciumnya dan mengangkat tinggi‐tinggi seraya berkata “Tangan ini adalah tangan ahli surga”. Cerita ini menunjukkan bagaimana Rasulullah menghargai sikap kerja keras dari ummatnya. Jika sebuah bangsa mempunyai sifat yang mandiri, yang gemar bekerja keras, dan tidak mau meminta‐minta tentunya akan menjadi sebuah bangsa yang makmur.
Sifat lain yang menonjol dalam diri Rasulullah adalah kelembutan hati, mampu menahan marah dan pemaaf.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan Anas yang membantu rumah tangga Rasulullah selama 10 tahun, mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar Rasulullah berkata “ah” sama sekali kepadanya. Beliau juga tidak pernah berkata kasar kepada siapa pun. Abu Hurairah berkisah bahwa seseorang berkata kepada Nabi: “berwasiatlah kepadaku”. Beliau bersabda : “Jangan menjadi seorang pemarah”. Kemudian permintaan wasiat itu diulang beberapa kali. Dan beliau bersabda : “Janganlah menjadi orang pemarah” (HR. Bukhari). Banyak lagi sabda Rasulullah yang menegaskan bahayanya sifat pemarah, seperti ”Kemarahan akan merusakan iman, seperti halnya cuka merusak madu”, ”Marah itu awal segala keburukan”, dan “Marah adalah bara api setan.”
Sikap sabar dan pemaaf Rasulullah kerap terlihat bahkan terhadap orang‐orang yang telah begitu kejam terhadapnya. Suatu ketika beliau pergi ke Ta’if untuk menyampaikan kalimat Allah, namun disambut oleh penduduk Taif dengan penghinaan, pukulan dan lemparan batu. Dengan badan yang penuh luka dan berdarah‐ darah beliau bergegas pergi meninggalkan Taif. Ketika sedang beristirahat di bawah sebatang pohon, malaikat datang menyampaikan pesan bahwa Allah akan menghukum penduduk Taif, namun Muhammad justru berdoa untuk keselamatan penduduk Taif dengan do’anya yang terkenal: “Ya Allah, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu”.
Bersikap sabar dan pemaaf selain akan menciptakan relasi sosial yang damai, ternyata sangat bermanfaat untuk kesehatan individu. Ilmu kedokteran sudah membuktikan bahwa emosi negatif yang ditimbulkan oleh rasa marah, dapat menyebabkan beberapa penyakit degeneratif, seperti jantung, darah tinggi, pencernaan, depresi, kanker, dan berbagai masalah metabolism tubuh lainnya. Bahkan emosi negatif akan merusak sel‐sel otak hypocampus dan corpus collusum, serta memperkecil jaringan neocortex sehingga dapat menurunkan daya pikir manusia. Dalam kitab al‐Mustadrak juga dikatakan bahwa “Marah itu merusak akal pikiran dan jauh dari kebenaran”. Menurut ilmu Neurobiology, ketika kita sedang stress atau marah, zat neurotransmitter cortisol yang diproduksi oleh kelenjar adrenalin akan meningkat, sehingga zat ini dianggap sebagai “racun bagi otak”. Hasil studi University of Utah menunjukkan bahwa orang pemarah mempunyai kadar cortisol 100% lebih tinggi dibandingkan orang yang bukan pemarah. Bidang keilmuan Positive Psychology sudah membuktikan bahwa ada hubungan yang erat antara “positive people” dan “positive community”. Beberapa studi lintas budaya (cross‐cultural studies) menunjukkan bahwa masyarakat yang bercirikan “ positive people” mempunyai kehidupan masyarakat yang positif pula, yaitu relasi sosial yang harmonis, toleran, menghargai HAM, lebih kreatif, dan lebih sejahtera dibandingkan dengan masyarakat yang
bercirikan “negative people”. Subhanallah, janji Allah pasti benar, “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauhul mahfuz, bahwasanya bumi ini diwariskan bagi hamba‐hamba‐Ku yang saleh,”
Bapak Presiden terhormat dan hadirin yang berbahagia. Jika kita yakin bahwa karakter sumber daya manusia, sangat penting sebagai fondasi pembangunan bangsa , maka penakanan masalah isu akhlak dan pembangunan karakter adalah concern kita semua. Persoalannya adalah apakah membangun akhlak yang mulia dapat dilakukan secara effektif? Al Ghazali menggambarkan akhlak yang baik sebagai tingkah laku berasal dari hati yang baik. Hal ini berbeda dengan pengetahuan tentang akhlak (moral knowing). Pengetahuan belum tentu sejalan dengan perilaku seseorang. Hampir semua manusia yang beragama mengetahui moral baik dan buruk, namun apabila hatinya tidak baik, maka perilakunya akan tetap buruk.
Akhlak mulia atau karakter yang baik seseorang, baru bisa tercipta melalui proses panjang lewat pengasuhan dan pendidikan yang baik, serta latihan terus menerus sehingga akhlak mulia menjadi terukir di dalam jiwanya. Seperti istilah character yang berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti mengukir sehingga terbentuk sebuah pola yang indah.
Manusia ketika dilahirkan memang dalam keadaan fitrah (suci), seperti yang dikatakan dalam sebuah hadits Qudsi: “Aku telah menciptakan hamba‐hamba‐Ku dalam keadaan suci dan lurus. Lalu datanglah setan membelokkannya dari kebenaran" Hadits ini memberi petunjuk bahwa kesucian (fitrah) manusia bisa layu dan terdistorsi apabila lingkungan budaya, pendidikan dan sosialisasi nilai‐nilai akhlak tidak mendukung.
Banyak pakar yang berpendapat bahwa karakter itu harus dibentuk sedini mungkin, karena 90% otak manusia terbentuk dibawah usia 7 tahun. Pada usia dini otak anak cepat sekali menyerap, yang menurut Montessori disebut the absorbent mind . Seperti halnya busa kering yang dicelup ke air. Apabila busa dicelup ke air comberan maka yang diserap adalah air comberan, tetapi sebaliknya jika busa tersebut dicelup ke dalam lautan cinta dan kasih sayang, maka busa tersebut akan penuh berisi cinta dan kasih sayang. Thomas Lickona, seorang pakar pendidikan karakter mengatakan bahwa cinta adalah prasyarat utama agar anak tumbuh berkarakter, “Love lights the lamp of human development. If we want to raise good children, we should begin by giving them our love”.
Banyak studi menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil sangat menentukan pembentukan kepribadian seseorang yang akan terbawa sampai dewasa. Alice Miller, seorang psikolog dalam bukunya “For your Own Good” mengisahkan beberapa sosok kejam yang terkenal di dunia adalah korban pendidikan dini yang salah. Contohnya, salah satunya adalah Hitler. Ternyata Hittler dibesarkan dalam lingkungan yang penuh siksaan fisik yang dilakukan oleh ayahnya yang berdarah Yahudi yang pemabuk. Kekerasan traumatis yang dialami Hitler ketika kecil, telah membuatnya seorang pembunuh sadis yang berdarah dingin.
Lingkungan seorang anak dibesarkan akan menentukan pembentukan struktur dan kimia otak. Struktur otak manusia sekarang sudah dapat dilihat melalui teknologi Scan PET (Positron Emmision Tomography). Adrian Raine meneliti perbedaan struktur otak para kriminal dan manusia baik‐baik. Hasilnya seperti terlihat dalam (gambar 1) menunjukkan, bahwa struktur otak para kriminal yang suka dengan kekerasan, tumbuh berbeda dari otak manusia normal. Bagian neocortex (sumber fungsi luhur otak manusia) lebih kecil dan kurang aktif dibandingkan dengan neocortex manusia normal. Sedangkan bagian batang otaknya (otak reptil) lebih aktif daripada manusia normal. Perbedaan struktur otak ini terjadi karena adanya perbedaan zat kimia otak seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu zat serotonin dan dopamine ketika anak mempunyai emosi positif, dan cortisol apabila emosi negatif.
Gambar 1
Brain scan (PET) of a normal control (left) and a murderer (right), illustrating the lack of activation in the prefrontal cortex in the murderer. The figures are a transverse (horizontal) slice through the brain, so you are looking down on the brain. The prefrontal region is at the top of the figure, and the occipital cortex (the back part of the brain controlling vision) is at the bottom. Warm colors (e.g., red and yellow) indicate areas of high brain activation; cold colors (e.g. blue and green) indicate low activation. Courtesy of Adrian Raine
Gambar 2
DAMPAK PERMANEN PENDIDIKAN DAN PENGASUHAN YG SALAH PADA OTAK (Bruce Perry)
Bruce Perry
Perkembangan struktur dan kimia otak ini amat dipengaruhi oleh bagaimana seseorang diasuh dan dibesarkan ketika kecil, dan lingkungan social di mana mereka tumbuh. Hasil riset Bruce Perry menunjukkan bahwa manusia yang mengalami masa kecil yang tidak menyenangkan (neglect dan/atau trauma) akan menyebabkan pertumbuhan batang otak yang berlebihan, dan bagian neocortexnya mengecil, seperti yang terlihat dalam gambar 2. Gambar menjelaskan kondisi optimum perkembangan otak seperti terlihat pada kolom pertama, sedangkan pada kolom selebihnya menggambarkan gangguan perkembangan otak, karena pendidikan dini yang salah, hal ini akan mempengaruhi karakter anak sampai mereka dewasa.
Uraian ini dapat menjawab pertanyaan mengapa membangun akhlak itu tidak mudah, karena harus melalui proses panjang pengasuhan dan pendidikan, baik di rumah maupun di sekolah. Apabila anak‐anak terlalu banyak mengalami emosi negatif (trauma, stress, ketakutan, dsb), maka mereka akan berkembang menjadi manusia yang keras, egois, dan sulit untuk berempati kepada orang lain. Sebaliknya, apabila emosi positif yang lebih berkembang, maka akan mudah bagi mereka untuk berakhlak mulia.
Kembali lagi pada keteladanan Rasulullah. Tentunya Allah SWT telah menyiapkan segala sesuatunya agar Muhammad dapat tumbuh menjadi manusia yang sempurna akhlaknya, sesuai dengan arti nama Muhammad itu sendiri, yaitu “yang terpuji” (“the praised one”). Jauh sebelum kerasulannya, Muhammad memang sudah tumbuh menjadi seorang yang amat terpuji akhlaknya, sehingga karena kearifan dan kejujurannya, sehingga beliau dijuluki Al Amin (yang dapat dipercaya). Bapak Presiden dan seluruh hadirin yang dimuliakan Allah.
Apabila kita mempelajari sejarah masa kecil Muhammad, kita dapat mengerti mengapa Muhammad bisa tumbuh menjadi manusia sempurna. Ketika beliau dilahirkan, ia sudah menjadi anak yatim, sehingga mendapatkan perhatian lebih dan kasih sayang penuh dari ibunya dan kakeknya, Abdul Muthalib. Begitu gembiranya sang kakek, bayi Muhammad didekap dan dibawanya ke Ka’bah untuk memanjatkan do’a syukur atas karunia Allah.
Seperti kebiasaan masyarakat Mekah saat itu untuk mencari ibu susuan, Aminah pun mempercayakan putranya untuk diasuh seorang wanita dari suku Badui, Bani Sa’ad yang bernama Halimah. Dikisahkah, ketika rombongan Bani Sa’ad datang ke Mekah untuk mencari bayi‐bayi untuk diasuh dan disusui, tidak seorang pun mau menerima Muhammad, karena seorang anak yatim dari ibu yang miskin pula. Para ibu susuan memang tidak mengaharapkan imbalan uang, tetapi mengharapkan ada hubungan kekerabatan jangka panjang, terutama dengan keluarga yang berada atau terpandang. Namun Halimah, wanita yang paling miskin diantara kaumnya, mau menerima Muhammad untuk disusui dan diasuh, yang menandakan betapa mulianya akhlak Halimah. Seperti dikisahkan oleh Martin Lings, segera ketika Muhammad dibawa Halimah, air susunya yang tadinya mengering keluar melimpah ruah, sehingga Muhammad tumbuh sehat, jauh melebihi anak‐anak lain seumurnya. Bukan itu saja, kehidupan Halimah menjadi membaik setelah mengasuh Muhammad, karena air susu onta betinanya, dan kambing‐ kambingnya juga menghasilkan susu yang banyak pula, yang membuat para tetangganya terheran‐heran. Suami Halimah berkata, “Demi Tuhan, Halimah, engkau telah mengambil makhluk yang diberkahi Tuhan”.
Singkat kata, selama 2 tahun lebih Muhammad diasuh dengan kasih sayang oleh Halimah. Ketika Muhammad dikembalikan kepada ibunya, ia mendapatkan perhatian lebih dari kakek, paman, bibi dan sepupunya yang tinggal bersamanya. Aminah meninggal dunia ketika Muhammad berusia 6 tahun, sehingga kakeknya, Abdul Muthalib mengasuh penuh cucunya. Dikisahkan oleh Lings, Muhammad selalu dbergandengan tangan dengan kakeknya, ke mana pun kakeknya pergi. Ia selalu duduk di samping kakeknya ketika berada di Ka’bah dan menunggangi punggung kakeknya. Kakeknya selalu senang dengan tingkah laku cucunya tersebut, dan kerap berkata “Masa depan cucuku ini sungguh gemilang”. Bahkan dalam rapat pertemuan majelis antar kepala suku, Muhammad sering diajak bicara dan ditanyakan pendapatnya oleh kakeknya, walaupun ia masih berusia 7 tahun.
Dua tahun setelah ibunya wafat, kakek tercintanya meninggal dunia yang sebelumnya berpesan kepada anaknya Abu Thalib (paman Muhammad) dan isterinya Fathimah untuk mengasuh Muhammad dengan sebaik‐baiknya. Dikemudian hari, Muhammad sering bercerita tentang begitu sayangnya Abu Thalib dan Fathimah kepada Muhammad sampai‐sampai “ia membiarkan anak kandungnya sendiri lebih lapar ketimbang dirinya, sang kemenakan”. Tidak ada satu pun kisah yang terdengar Muhammad mengalami perlakuan kasar dan mengalami stress atau pun depresi ketika kecilnya. Walaupun ia pernah mengalami kesedihan ketika ibu dan kakeknya wafat, namun tangisan karena kematian orang yang dicintai adalah tangisan rahmat kasih sayang. Hal ini dikatakan beliau ketika cucunya wafat dan meneteskan air mata: "(Tangis) ini adalah suatu rahmat yang telah dijadikan Allah di dalam hati hamba‐hamba‐Nya. Sesungguhnya Allah hanya merahmati kepada hamba‐hambanya yang penuh rasa kasih sayang”.
Bapak Presiden dan seluruh hadirin yang berbahagia.
Cinta kasih yang begitu besar yang diperoleh Muhammad, menjadi fondasi yang kokoh terbentuknya akhlak sempurna pada diri Muhammad. Maka, Muhammad pun menjadi seorang ayah dan kakek yang penuh kasih sayang. Rasulullah sangat prihatin apabila melihat ummatnya yang tidak menyayangi anaknya. Suatu saat ada seorang Badui yang bertanya kepadanya: “Apakah engkau mencium anak‐anakmu ya Rasulullah? Sedangkan kami tidak pernah melakukan hal tersebut?” Rasulullah menjawab: “Apakah kamu tidak takut bila Allah mengambil rasa kasih sayang dari hatimu?”
Abu Hurairah meriwayatkan: Bahwasanya Rasulullah sedang menciumi cucunya, Hasan bin Ali kala itu sahabatnya, Al‐Aqra’ duduk di sisinya, Al‐Aqra’ berkata: “Aku punya sepuluh orang anak namun tidak satu anakpun pernah kucium!” Rasulullah menoleh kepadanya lalu berkata: “Barangsiapa yang tidak menyayangi niscaya tidak akan disayang!”
Rasulullah pun sering terlihat senang bermain dengan anak‐anak. Suatu saat ia berkejaran dengan cucunya Husain yang kemudian ditangkapnya, digendong dan diciumnya. Rasulullah juga pernah terlihat meletakkan satu tangan di dagu Hasan, dan lainnya di kepalanya serta merangkul dan menciumnya. Subhanallah... Ilmu neuroscience sudah membuktikan bahwa ketika anak dicium dan dielus, sama halnya ketika anak sedang disusui, tubuhnya akan mengeluarkan hormon oxytocin, dopamine dan endhorpine yang amat berguna untuk pertumbuhan fisik dan jiwanya.
Seluruh hadirin yang berbahagia.
Rasulullah menyuruh kita untuk memberikan cinta sebesar‐besarnya kepada anak‐anak kita; memberikan ASI selama 2 tahun, mencium, mengelus, dan bermain canda dengan mereka. Karena hanya dengan lingkungan yang demikianlah anak‐anak kita dapat tumbuh dengan jiwa yang sehat, di mana tubuhnya akan kaya dengan hormon‐ hormon yang memacu pertumbuhan neocortex, meningkatkan imunitas dan metabolism tubuh, sehingga mereka dapat tumbuh dengan sehat, bahagia, cerdas, kreatif, serta penuh empati dan kasih sayang.
Betapa sedihnya kita mendengar berita masih ada orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak‐anaknya. Juga ada Guru yang masih membentak atau memukul murid‐muridnya. Atau anak‐anak yang mengalami stress berkepanjangan, karena beban sekolah yang begitu berat, dan orangtua yang terlalu memaksakan beban akademik berlebihan yang belum waktunya. Bayangkan apabila seorang anak yang sejak kecil dibesarkan tanpa belaian, ciuman dan kasih sayang, kemudian masuk ke sekolah TK dan SD dengan beban pelajaran yang begitu berat, guru yang tidak menyenangkan dan mungkin bermuka masam, atau suasana sekolah yang penuh bullying, maka berapa banyak hormon cortisol yang ditimbun di tubuhnya?
Keadaan stress yang terbatas memang kadang‐kadang diperlukan untuk memacu kita untuk bekerja lebih produktif atau giat belajar. Namun apabila keadaan ini berlangsung secara kronis, maka ini akan berbahaya bagi kesehatan jiwa, karena bagian otak reptil manusia akan tumbuh dominan. Dan jika ini terjadi dalam skala massal, akan buruk dalam kehidupan bermasyarakat. Orang yang dalam tubuhnya banyak mengandung hormon cortisol, tabiatnya cenderung negative, menyenangi konflik atau kekerasan, saling curiga dan tidak toleran, inilah yang disebut Fukuyama sebagai low trust society. Tentu sulit membangun manusia berakhlak mulia kalau fondasi struktur dan kimia otaknya tidak mendukung. Tentunya, akan sulit juga menjadi pewaris bumi dan pencipta peradaban, karena janji Allah bahwa bumi ini hanya diwariskan kepada orang‐orang yang berakhlak mulia.
Bapak Presiden dan seluruh hadirin yang saya hormati.
Dalam memperingati hari Maulid Nabi ini, inilah makna yang perlu kita renungkan bersama; bagaimana kita bisa meneladani akhlak Rasulullah SAW. Marilah kita sebagai bangsa bangkit untuk maju melalui bangsa berkarakter mulia; penuh kasih sayang, saling menghormati, toleran, jujur, bebas dari kebencian, serta saling bahu‐membahu untuk kemajuan bersama. Semoga Allah SWT selalu memberkati bangsa Indonesia. Amien.
Wassalamualaikum wr.wb.