UPACARA ADAT PERKAWINAN PRIYAYI DI DESA NGEMBAL KECAMATAN TUTUR KABUPATEN PASURUAN
SKRIPSI Oleh LINDA PUJI ASTUTI NIM 105811480809
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
DESEMBER 2010
UPACARA ADAT PERKAWINAN PRIYAYI DI DESA NGEMBAL KECAMATAN TUTUR KABUPATEN PASURUAN
SKRIPSI Diajukan kepada Universitas Negeri Malang Untuk memenuhi salah satu persyaratan Dalam menyelesaikan program sarjana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Oleh LINDA PUJI ASTUTI NIM 105811480809
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
DESEMBER 2010
UPACARA ADAT PERKAWINAN PRIYAYI DI DESA NGEMBAL KECAMATAN TUTUR KABUPATEN PASURUAN
SKRIPSI Diajukan kepada Universitas Negeri Malang Untuk memenuhi salah satu persyaratan Dalam menyelesaikan program sarjana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Oleh LINDA PUJI ASTUTI NIM 105811480809
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
DESEMBER 2010
UPACARA ADAT PERKAWINAN PRIYAYI DI DESA NGEMBAL KECAMATAN TUTUR KABUPATEN PASURUAN
SKRIPSI Diajukan kepada Universitas Negeri Malang Untuk memenuhi salah satu persyaratan Dalam menyelesaikan program sarjana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Oleh LINDA PUJI ASTUTI NIM 105811480809
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
DESEMBER 2010
LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi oleh Linda Puji Astuti ini telah diperiksa dan disetujui untuk diuji.
Malang,….November 2010 Pembimbing I
Drs. H. Suparlan, M.Si NIP. 19470501 197803 1 001
Malang,…. .November 2010 Pembimbing II
,
Drs. Ketut Diara Astawa SH, M.Si NIP. 19540522 198203 1 337
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi oleh Linda Puji Astuti ini telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 09 Desember 2010
Dewan Penguji
Drs. H. Suparman, Adi Winoto, SH, M.Hum
Ketua
Drs. H. Suparlan, M.Si
Anggota
,
Drs. Ketut Diara Astawa SH, M.Si
Anggota
Mengetahui,
Mengesahkan,
Ketua Jurusan HKn
Dekan Fakultas Ilmu Sosial
,
Drs. Ketut Diara Astawa SH, M.Si NIP. 19540522 1982031 337
Prof. Dr. Hariyono, M.Pd NIP. 196312271988021 001
ABSTRAK Astuti, Linda Puji, 2010, Upacara Adat “Perkawinan Priyayi” di Desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan, Skripsi, Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Drs. H. Suparlan, M. Si, (II) Drs. Kt Diara Astawa, SH, M, Si. Kata kunci: Upacara adat perkawinan priyayi, pelaksanaan Upacara perkawinan adat priyayi merupakan perkawinan yang menggunakan adat Jawa bersifat monogami. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari satu seorang istri dapat dilakukan apabila dipenuhi dengan persyaratan tertentu. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu orang harus ada alasan-alasan yaitu: (a) tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (c) istri tidak dapat melahirkan keturunan. UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 5 ayat 1 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; (b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Perkawinan merupakan hal yang sakral sehingga sebelum melaksanakan perkawinan perlu dipertimbangkan. Upacara perkawinan priyayi menggunakan adat Jawa. Upacara adat perkawinan priyayi tidak berubah meskipun dengan perubahan zaman dan perkembangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan tentang pelaksanaan upacara adat perkawinan priyayi. Ada tiga hal yang dideskripsikan sehubungan dengan pelaksanaan upacara adat perkawinan priyayi, antara lain (1) sistem perkawinan priyayi di Desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan; (2) tradisi yang dilakukan sebelum perkawinan dilaksanakan; (3) pelaksanaan prosesi upacara adat perkawinan priyayi di Desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan. Dalam mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti mecari data dari informan yang terdiri dari Bapak Cahyono, Bapak Yusman Ibu Danis, Ibu Fitri selaku keluarga priyayi dan tokoh masyrakat. Kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan observasi partisipasi, wawancara, dokumentasi, kajian pustaka. Analisis yang dilakukan dengan cara: reduksi data, display data, pengambilan keputusan dan verifikasi. Kegiatan analisis data dilakukan selama maupun proses pengumpulan data. Analisis data dalam penelitian kualitatif, dimulai sejak peneliti datang ke lokasi penelitian. Untuk mengkaji keabsahan data yang ditemukan, peneliti daatng ke lokasi penelitian. Untuk menguji keabsahan data yang ditemukan, peneliti melakukan pengecekan keabsahan antara lain: perpanjangan keikutsertaan, triangulasi, ketekunan pengamat, pemeriksaan sejawat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) sistem perkwainan priyayi di Desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan menunjukkan sistem perkawinan monogami; (2) terdapat tradisi yang dilakukan sebelum perkawinan dilaksanakan antara lain: (a) nontoni, merupakan pihak laki-laki sendiri ataupun pihak keluarga menanyakan terlebih dahulu apakah si perempuan tersebut sudah mempunyai pilihan untuk dijadikan pendamping atau belum dan anak perempuan bersedia untuk dipinang oleh laki-laki tersebut atau tidak; (b) lamaran, meneruskan pembicaraan pada waktu nontoni; (c) ningseti, mengencangkan tali
i
ikatan apabila lamaran telah diterima oleh pihak keluarga perempuan; (c) sengkeran, pengamanan sementara bagi calon pengantin putra dan putri sampai upacara panggih selesai yang ditempatkan di lingkungan atau tempat khusus yang aman dan tidak diperkenankan meninggalkan lingkungan sengkeran; (d) siraman, upacara mandi kembang bagi calon pengantin wanita dan pria sehari sebelum upacara panggih; (e) langkahan, meminta izin dan moho doa restu untuk mendahului kawin; (f) ngerik, menghilangkan bulu halus sekitar dahi agar tampak bersih dan wajahnya menjadi bercahaya; (g) midodareni, mengharapkan berkah Tuhan Yang Mahaesa agar memberikan keselamatan kepada pemangku hajat pada perhelatan hari berikutnya; (h) nyantrik, calon mempelai pria tidak diajak pulang dan menyerahkan tanggung jawab kepada orang tua calon mempelai putri, (i) maskawin, pemberian dari calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan berupa uang, barang-barang, ataupun perhiasan; (3) pelaksanaan prosesi upacara adat perkawinan priyayi di Desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan. Berdasarkan hasil penelitian sebagai berikut: perkawinan adat priyayi menggunakan adat perkwainan Jawa. Tradisi perkawinan dalam keluarga priyayi tidak berubah meskipun dengan perubahan zaman dan perkembangan. Oleh karena itu upacara adat perkawinan priyayi dengan menggunakan adat Jawa harus tetap dijaga dan dipertahankan. Perkawinan adat Jawa diharapkan tidak hanya kalangan priyayi yang menggunakan prosesi adat Jawa secara menyeluruh akan tetapi diharapkan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa. Prosesi perkawinan Jawa perlu dijaga dan dilestarikan dengan cara belajar, memahami makna yang terkandung dalam tradisi serta melakukan tradisi tersebut.
ii
ABSTRACT
Astuti, Puji Linda, 2010, Tradition Ceremony "Priyayi Marriage" in Ngembal Village of Tutur District of Pasuruan Regency, Thesis, Justice and Citizenship Department, Pancasila and Citizenship Education (PPKn) Study Program, Social Sciences Faculty, Malang State University. Advisors: (I) Drs. H. Suparlan, M. Si, (II), Drs. Kt Diara Astawa, SH, M.Si. Keywords: priyayi wedding tradition ceremony, implementation Priyayi wedding tradition ceremony is a monogamous Java tradition marriage. However, the marriage of a husband with more than one wife can be done by some certain conditions. Based on Law No. 1 of 1974 and government regulation No. 9 of 1975 in Article 4 paragraph 2 of Law No. 1 Year 1974 about Marriage, it is explained that a man who intends to marry more than one person should have some reasons which are: (a) his wife is unable to perform her duty as a wife, (b) the wife has a physical defect or an incurable disease, (c) the wife can not deliver a baby. The Law No. 1 of 1974 section 5 paragraph 1 about Marriage explains that to apply to the court, as referred in Article 4 paragraph (1) of the Law, it must be fulfilled the conditions as follows: (a) There are some agreements from wife/wives, (b) there is certainty that the husband can ensure his wives and children's needs, (c) there is assurance that the husband can be fair to his wives and children. Marriage is a sacred thing, so it should be considered before. The priyayi marriage ceremony uses Java tradition. Priyayi wedding tradition ceremony has not been changed by the changing and developing of era. This study was aimed to describe the priyayi wedding tradition ceremony implementation. There were three things which were described based on the priyayi wedding tradition ceremony implementation, they were (1) priyayi marriage system in Ngembal Village ofTutur District ofPasuruan Regency; (2) prior tradition of the marriage, (3) the implementation of the priyayi wedding tradition ceremony in Ngembal Village ofTutur District ofPasuruan Regency procession. In achieving the goal, researcher used a qualitative approach, the researcher looked for some data from informants that consisted of Mr. Cahyono, Mr. Yusman, Ms. Danis, and Ms. Fitri as priyayi family and society figures. Data collection activities were conducted using participatory observation, interviews, documentation, and literature review. Analysis was conducted using: data reduction, data display, decision making and verification. Analyzing data activities were conducted during collecting data process. Data analysis in qualitative research was begun when the researcher came to the research location. To assess the validity of the data collection, the researcher came to the research location. To test the validity of the data collection, the researcher checked the validity of: the extension of participation, three-angularity, perseverance observer, peer examination. The results showed that: (1) priyayi marriage system in Ngembal Village ofTutur District ofPasuruan Regency system was a monogamous marriage system; (2) there were some prior traditions of the marriage which were: (a) nontoni, it is the man or his family asks whether the woman is already having a choice to be her husband or not and she wants to be his wife or not; (b) proposal (lamaran), it is continuing talks on nontoni time; (c) ningseti, it is a process to make the relationship tighter if the proposal has been received by the women's family, (d) sengkeran, it is a security for bridegroom and bride until panggih ceremony is completed, the place is a special environment or a safe place and they are not allowed to leave the sengkeran environment; (e) spray
(siraman), it is a flowers bath ceremony for the bride and the bridegroom the day before panggih ceremony; (f) langkahan, it is requesting permission and blessing to precede mating, (g) ngerik, it is a process of cutting fluff around the forehead to make it look clean and his/her face became radiant, (h) midodareni, expect God's blessing for providing safety to the stakeholders intent in the event the next day, (i) nyantrik, bridegroom does not come home and hand over responsibility to bride's parents, (j) dowry (mas kawin), it is a gift from the bridegroom to bride which can be money, goods, or jewelry; (3) the implementation of the priyayi wedding tradition ceremony in Ngembal Village ofTutur District ofPasuruan Regency procession. Based on the research results as follows: priyayi wedding tradition used Java marriage tradition. The wedding tradition in priyayi family had not been changed by the changing and developing of era. Therefore, the wedding tradition ceremony using Java tradition must be kept and maintained. It is expected not only priyayi community uses Java tradition in whole procession but also Indonesian community, especially Javanese community. Java wedding procession should be maintained and preserved by learning, understanding the meaning which is contained in the tradition and doing the tradition.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, arahan, dan bantuan serta doa dari beberapa pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan, bimbingan maupun kerja sama selama proses penulisan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Hariyono, M.Pd. selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial yang telah memberikan izin untuk mengadakan penelitian, 2. Bapak Drs. Kt. Diara Astawa, SH selaku ketua jurusan Hukum dan Kewarganegaraan yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh skripsi, 3. Bapak Drs. H. Suparlan, M.Si selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, motivasi, serta kritik, dan meluangkan waktunya untuk membantu penulis demi terselesaikannya skripsi ini, 4. Bapak Drs. Kt. Diara Astawa, SH selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, motivasi, serta kritik, dan meluangkan waktunya untuk membantu penulis demi terselesaikannya skripsi ini, 5. Bapak dan Ibu dosen HKn yang telah mendidik, membimbing dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas dengan baik, 6. Ibu dan adik yang tiada henti memberikan doa, motivasi, pengorbanan, dan kesabaran yang tidak tenilai harganya. 7. Bapak Arisuliswanto selaku Kepala Desa Ngembal Kecamatan uttur Kabupaten Pasuruan yang telah memberikan izin untuk mengadakan penelitian,
iii
8. Bapak Cahyono, selaku keluarga priyayi yang bersedia memberikan waktu dan kesempatan untuk melakukan wawancara, 9. Teman-teman di Jurusan Hkn yang telah memberikan motivasi selama penyusunan skripsi, Ibarat gading tak retak, penyusun sebagai manusia biasa menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi penyusun dan rekan-rekan yang membacanya.
Malang, 10 Desember 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................................... i KATA PENGANTAR................................................................................ iii DAFTAR ISI ............................................................................................. v DAFTAR TABEL ..................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ................................................................................. vii BAB I PENDAHULUAN A. . Latar Belakang Masalah.......................................................... 1 B. Rumusan Masalah ....... .......................................................... 3 C. Tujuan Penelitian ........ .......................................................... 4 D. Manfaat Penelitian ...... .......................................................... 4 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Perkawinan ........................................................... 6 B. Pengertian Priyayi dan Perkawinan Menurut Hukum Adat ...... 8 C. Syarat-syarat Upacara Perkawinan Adat Priyayi ................... 10 D. Pelaksanaan Prosesi Ritual Perkawinan Priyayi .................... 33 E. Perbedaan Perkawinan Priyayi dengan Perkawinan Masyarakat umum ................................. 62 F. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ........................................... 68 G. Bentuk-bentuk Perkawinan .................................................. 71 H. Adat menetap sesudah menikah ........................................... 76 I. Asas-asas dalam Undang-undang Perkawinan ...................... 78 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................................ 85 B. Kehadiran Peneliti ................................................................ 87 C. Data dan Sumber Data .......................................................... 88 D. Prosedur Pengumpulan Data ................................................. 88 E. Analisis Data ........................................................................ 91 F. Pengecekan Keabsahan Data ................................................. 92 G. Tahap-tahap Penelitian ......................................................... 94 BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Paparan Data Penelitian ....................................................... 96 B. Temuan Penelitian ............................................................. 134 BAB V PEMBAHASAN .................................................................... 146 BAB VI PENUTUP A. KESIMPULAN ................................................................. 165 B. SARAN .............................................................................. 168 DAFTAR RUJUKAN .......................................................................... 169
v
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
Tabel 4.1. data jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin ......... 97 Tabel 4.2. data penduduk berdasarkan umur ................................. 98 Tabel 4.3. data penduduk berdasarkan tingkat pendidikan ............. 99 Tabel 4.4. data berdasarkan sarana/prasarana fisik pendidikan ...... 99 Tabel 4.5. data penduduk berdasarkan agama ............................. 100 Tabel 4.6. data berdasarkan sarana fisik keagamaan .................... 101 Tabel 4.7. data penduduk berdasarkan mata pencaharian ............ 107
vi
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
Gambar 3.1. upacara perkawinan prosesi panggih ............................. 124 Gambar 3.2. upacara perkawinan prosesi wijidadi.............................. 126 Gambar 3.3. upacara perkawinan prosesi sindurbanayang ................. 127 Gambar 3.4. upacara perkawinan prosesi sungkem ........................... 129 Gambar 3.5. upacara perkawinan prosesi kacar-kucur ....................... 130 Gambar 3.6. upacara perkawinan prosesi dahar kembul .................... 130 Gambar 3.7. upacara perkawinan prosesi resepsi pernikahan ............ 131
vii
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia mempunyai wilayah yang sangat luas serta terkenal dengan kesuburan tanah dan penduduk yang ramah tamah, wilayah Indonesia terdiri dari beberapa suku yang memiliki budaya berbeda-beda. Salah satu dari adat masyarakat desa Ngembal tersebut adalah adat tentang pernikahan. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat,1990: 180). Berdasarkan penelitian tentang perkawinan di desa Ngembal, masih terdapat masyarakat yang menggunakan tata cara pernikahan adat Jawa, unsur bibit, bebet dan bobot mengakar kuat. Dengan perkembangan zaman masyarakat sedikit meninggalkan tradisi Jawa yang sudah ada dengan alasan faktor biaya pernikahan yang terlalu banyak. Perubahan zaman bukan merubah kebudayaan Jawa yang sudah ada. Pengaruh silsilah keluarga keturunan Jawa dan menyesuaikan adat daerah yang ditempati. Sehingga, tradisi pernikahan keluarga priyayi yang masih kuat dengan menggunakan adat Jawa. Tradisi pernikahan priyayi di Desa Ngembal menggunakan adat Jawa karena Perubahan busana pengantin Jawa beralih busana pengantin Jawa model Islam tidak merubah tentang tata cara pernikahan Jawa. Pada masyarakat Jawa perkawinan adalah sebuah hal yang sangat fundamental dan universal. Fundamental artinya sebuah hal yang mendasar dan wujud perkawinan yang dijalani. Sedangkan, universal diartikan bahwa perkawinan merupakan sebuah
1
2 peristiwa ritual yang pasti akan dialami oleh setiap orang kapanpun dan pada usia berapapun. Pada umumnya orang tua akan memilih menantu yang jelas identitasnya untuk menjadi bagian keluarga. Sebelum menentukan calon menantu terlebih dahulu secara tidak terang-terangan orang tua akan melihat bibit, bebet dan bobot dalam memilih pasangan yang berkualitas. Kelas sosial merupakan masalah yang sangat penting dan saling mempengaruhi dalam kehidupan keluarga. Ketidaksamaan kelas sosial di antara suami-istri dapat menjadi sumber ketegangan dalam kehidupan keluarga. Dilihat dari segi sosial dalam kebudayaan Jawa terdapat kelas-kelas sosial. Kelas sosial adalah kesetaraan kemampuan ekonomi seseorang dalam suatu kelompok untuk memenuhi kebutuhan hidup dan statusnya, semakin tinggi kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup dan faktor ekonomi semakin tinggi kelas dalam masyarakat (http://webcache.googleusercontent.com). Hal ini menjadikan masyarakat terbagi dalam tingkatan-tingkatan sosial yaitu, santri, priyayi dan abangan (http://nugzz.blogspot.com). Kebudayaan Jawa terdapat dua istilah yang berdekatan, yaitu ningrat dan priyayi. Sebutan ningrat mengacu pada kebangsawanan yang diperoleh karena faktor keturunan langsung dari raja atau keluarga raja, sedangkan priyayi mengacu pada bangsawan di bawah ningrat yang masih kerabat raja atau keluarga raja. Tradisi yang ada dalam priyayi selain mistik dan kesadaran akan pangkat adalah perbedaan antara lahir dan batin antara alus dan kasar. Peraturan etiket, gerak, sikap dan ucapan serta kesenian harus halus di samping penguasaan diri sendiri. Secara tradisional seorang priyayi dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kesusastraan dan filsafat priyayi yang tradisional terdiri dari tulisan-tulisan Jawa kuno.
3 Menurut Geertz, pembagian kelas dalam masyarakat Jawa tidak terpaku pada hierarki kemampuan ekonomi setiap orang namun lebih kearah jenis pekerjaan, pendidikan dan spiritual. Kaum priyayi dianggap sebagai kaum tingkat menengah keatas karena mereka mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, memiliki pekerjaan dalam pemerintahan dan memimpin doa adat (http://webcache.googleusercontent.com). Dalam masyarakat Jawa, sebutan priyayi membawa beberapa konsekuensi. Salah satu konsekuensi adalah bahwa orang tersebut disegani oleh masyarakat sekitarnya. Akibat disegani tersebut, seorang priyayi dipandang memiliki kebijaksanaan lebih dibandingkan dengan orang lain dan menjadi penengah atas konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat. Priyayi harus dapat menjadi panutan masyarakat dan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, baik lapisan masyarakat jelata maupun sesama priyayi. Dalam budaya Jawa seorang priyayi memiliki simbol-simbol kepriyayian seperti memelihara kelanggengan, gaya hidup santai dan rumah terkesan sepi. Simbol-simbol seperti ini oleh masyarakat masih dipandang kekuatan gaib yang mendukung kepriyayian seseorang. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang dan ruang lingkup penelitian dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana sistem perkawinan priyayi di desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan? 2. Bagaimana tradisi yang dilakukan sebelum perkawinan dilaksanakan di Desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan?
4 3. Bagaimana prosesi upacara adat perkawinan priyayi di Desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan? C. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas tentang upacara adat perkawinan priyayi di Desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan, maka dapat ditentukan tujuan dari penelitian yaitu: 1. Mendiskripsikan sistem perkawinan priyayi di Desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan. 2. Mendiskripsikan tradisi yang dilakukan sebelum perkawinan dilaksanakan di Desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan. 3. Mendiskripsikan prosesi upacara adat perkawinan priyayi di Desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan. D. Manfaat Penelitian Penelitian yang diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain sebagai berikut: 1. Peneliti Sebagai sarana belajar untuk mengimplementasikan ilmu, keterampilan antara teori konsep ilmu yang diperoleh dalam perkuliahan dengan pengetahuan dari lapangan serta menambah pengalaman dan wawasan berfikir kritis dalam mengadakan penelitian dan penggalian terhadap ilmu sosial khususnya jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
5 2. Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Sebagai bahan, masukan dan dokumentasi untuk pengembangan khasanah pengetahuan mahasiswa jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. 3. Masyarakat Memberikan pengetahuan tentang kebudayaan Jawa serta menumbuhkan perasaan cinta, rasa memiliki, mempertahankan, serta memberdayakan kebudayaan yang telah ada.
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Perkawinan Pola perkawinan adalah merupakan ciri khas kehidupan adat. Hal tersebut dapat dilihat lebih jauh dalam kehidupan masa lampau. Para sarjana maupun para ahli memberikan pengertian dan meninjau dari beberapa segi sehingga menjadikan tinjauan itu lebih komplek dan menarik. Perkawinan adat merupakan syarat untuk meneruskan silsilah di masa yang akan datang dengan keutuhan kerabat dan kelangsungan adat dalam masyarakat. Oleh karena itu perkawinan tidak bersifat individual tetapi sosial. Persoalan perkawinan adat tidak hanya menyangkut individu yang mau kawin saja tapi juga kerabat. Masyarakat adat memandang perkawinan dari dua segi, yang mau kawin dan juga dari sudut kerabat. Oleh karena itu perkawinan merupakan masalah yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia dalam masyarakat. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma dan tata cara kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling berhubungan agar mendapatkan keturunan sebagai penerus generasi. Kuat lemahnya perkawinan yang ditegakkan dan dibina oleh suami-istri tersebut sangat tergantung pada kehendak dan niat suami-istri yang melaksanakan perkawinan tersebut. Oleh karena itu, dalam suatu perkawinan diperlukan adanya cinta lahir batin antara pasangan suami-istri tersebut (Abdul Manan, 2006: 1).
6
7 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1 tentang Perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Untuk itu, Al Qur’an menganjurkan agar lebih menunjukkan pandangan terhadap ciptaan Allah, kelangsungan hidup dan perkembangbiakannya, supaya bertambah, keadaan, keabadian, dan keesaannya seperti yang difirman Allah: dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Ar-Rum: 21). Allah menjadikan perkawinan diatur menurut syariat Islam sebagai penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri, yang diberikan oleh Islam khusus untuk manusia di antara makhluk-makhluk lainnya (Al-Shabgh, 1991: 23-24). Hakekat perkawinan menurut Koentjaraningrat (dalam Noviana, 2007:13) Perkawinan sebagai pranata hubungan antara seorang pria dan seorang wanita, seorang pria dan dengan beberapa orang wanita yang diresmikan menurut prosedur adat istiadat agama dalam masyarakat yang bersangkutan dan karena itu mempunyai konsekuensi ekonomi sosial dan keagamaan sebagai individu yang bersangkutan para kaum kerabat mereka. Hubungan perkawinan dalam sebagian besar masyarakat manusia tidak semata-mata menyangkut fungsi pokoknya, yaitu melestarikan jenisnya dengan melahirkan keturunan, tetapi di samping itu perkawinan juga membawa akibat-akibat lain yang sangat luas. Perkawinan tidak hanya berakibat pada kedua individu tersebut, tetapi juga pada keturunan mereka (Koentjaraningrat, 2006: 97). Untuk mengkaji masalah perkawinan adat tidak bisa meninggalkan tradisi lama. Suatu perkawinan selalu dipengaruhi oleh tingkat kemampuan masyarakat Pandangan masyarakat modern masalah-masalah perkawinan hanya menjadi
8 tanggung jawab yang kawin saja. Pandangan ini berbeda sekali dengan pandangan masyarakat bahwa perkawinan itu juga menjadi urusan keluaga, masyarakat dan diri sendiri. Pada masa lalu di Indonesia pada umumnya yang memegang peranan dalam menentukkan jodoh adalah orang tua dengan cara menjodohkan anak-anaknya sehingga seringkali didengar kawin paksa. Pada masa sekarang juga telah diterima pandangan bahwa perkawinan adalah menjadi masalah pribadi bagi mereka hendak melaksanakan perkawinan. Oleh karena itu sekarang masalah pasangan hidup sudah mulai diserahkan kepada yang bersangkutan, walaupun demikian tetap saja menjadi urusan keluarga. Orang tua dan keluarga selalu turut campur dan bertanggung jawab dalam hal perkawinan itu. B. Pengertian Priyayi dan Perkawinan Menurut Hukum Adat 1. Pengertian perkawinan priyayi. Kebudayaan Jawa terdapat dua istilah yang berdekatan, yaitu ningrat dan priyayi. Sebutan ningrat mengacu pada kebangsawanan yang diperoleh karena faktor keturunan langsung dari raja atau keluarga raja, sedangkan priyayi mengacu pada bangsawan di bawah ningrat yang masih kerabat raja atau keluarga raja. Tradisi yang ada dalam priyayi selain mistik dan kesadaran akan pangkat adalah perbedaan antara lahir dan batin antara alus dan kasar. Peraturan etiket, gerak, sikap dan ucapan serta kesenian harus halus di samping penguasaan diri sendiri. Secara tradisional seorang priyayi dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kesusastraan dan filsafat priyayi yang tradisional terdiri dari tulisan-tulisan Jawa kuno. Priyayi (jawa) berasal dari kata “para” dan “yayi” yang berarti para adik. Priyayi berarti orang yang berdarah biru atau bangsawan. Maka yang dimaksud “para adik” adalah para adik raja. Karena priyayi berarti sebuah kelas sosial di masyarakat yang berasal dari bangsawan, mereka adalah keturunan para raja. Priyayi adalah
9 sebuah kelas sosial yang diturunkan secara turun-temurun, biasanya bergelar Raden, Raden Mas, Putri, dan lain sebagainya. Namun dalam perkembangannya, golongan priyayi mengalami pergeseran makna atau arti. Priyayi pada akhirnya identik dengan elite birokrasi, para pegawai negeri (http://sosbud.kompasiana.com). Berdasarkan penelitian di Desa Ngembal dan hasil wawancara dengan Bapak Suwarno “perkawinan priyayi adalah perkawinan keluarga priyayi yang menggunakan adat perkawinan Yogyakarta” (wawancara, 31 Oktober 2010). Perkawinan adat adalah suatu bentuk hidup bersama yang langgeng lestari antara seorang pria dengan wanita yang diakui oleh persekutuan adat dan yang di arahkan pada pembantu dan keluarga (http://bloghukumumum.com). 2. Perkawinan Menurut Hukum Adat Hukum Adat pada umumnya di Indonesia perkawinan bukan saja sebagai perikatan Perdata tetapi juga merupakan “Perikatan Adat” dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan. Seperti, hak dan kewajiban suamiistri, harta bersama kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua tetapi juga menyangkut hubungan adat-istiadat, kewarisan kekeluargaan, dan kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara adat dan keagamaan. Perkawinan dalam arti Perikatan Adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukum ini ada telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi. Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak dan kewajiban orang tua termaksud anggota keluarga, kerabat menurut hukum adat setempat yaitu dengan pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara
10 kerukunan, kutuhan dan kelanggenan dari kehidupan anak-anak mereka yang terlibat dalam perkawinan (http://bloghukumumum.com). Tata tertib adat dalam melangsungkan perkawinan terserah kepada selera dan nilai-nilai budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian perkawinan dalam arti “Perikatan Adat” walaupun dilangsungkan antara adat yang berbeda tidak akan seberat penyelesiannya dari pada berlangsungnya perkawinan yang bersifat antar agama. Oleh karena itu perbedaan adat hanya menyangkut perbedaan masyarakat bukan perbedaan keyakinan (http://bloghukumumum.com). Menurut Geertz pembagian kelas dalam masyarakat Jawa tidak terpaku pada hierarki kemampuan ekonomi tiap orang namun lebih kearah jenis pekerjaan, pendidikan, dan spiritual. Kaum priyayi dianggap sebagai kaum tingkat menengah ke atas karena mereka mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, memiliki pekerjaaan dalam pemerintahan dan memimpin upacara adat. Menurut Geertz hubungan sosial antar kaum terjalin lewat peranan priyayi dalam menjembatani kaum abangan/wong cilik yang ingin menjadi priyayi. Budaya ngenger sebagai contoh, membuka peluang bagi semua kaum untuk menjadi priyayi. Sehingga dengan kata lain orang dengan kelas yang lebih rendah dapat berelasi dengan kaum priyayi (http://webcache.googleusercontent.com). C. Syarat-syarat Upacara Perkawinan Adat Priyayi 1. Paningsetan Piranti atau sarana paningset tidak ditentukan secara pasti. Artinya , sarana paningset tersebut tergantung pada kekuatan pihak pria. a. Pisang Sanggan Pisang sanggan dipilih dari pisang raja (pisang yang rasanya enak, harum, dan tahan lama, walaupun kulitnya kering tetap enak dan ranum).
11 Pisang tersebut dipilih pisang yang besar-besar dan bersih (gedhang ayu) dan telah masak atau jadi. Gedhang ayu mengandung harapan kebahagiaan. Sanggan terdiri atas setangkep pisang raja. Pisang raja mengandung makna harapan bahwa kehidupan calon pengantin dapat berbahagia layaknya seorang raja dan permaisuri, memberikan rasa enak/kebahagiaan kepada orang lain. Pisang setangkep yang telah masak melambangkan pembicaraan antara kedua calon besan telah matang untuk menikahkan putra-putrinya. Setangkep pisang ayu sanggan singset yang diwadahi nampan disebut pisang sanggan. b. Suruh Ayu Suruh ayu mengandung maksud bersatunya dua insan. Walaupun dilahirkan sebagai laki-laki dan perempuan jika telah disatukan oleh Tuhan, maka mereka akan bersatu jiwa dan raga, bagaikan daun sirih yang berbeda rupa permukaan dan alasnya (atas bawah) tetapi satu rasa. Antara suruh ayu dan pisang sanggan biasa disatukan menjadi istilah suruh ayu, gendhang ayu. c. Benang Lawe Benang lawe untuk mengikat pisang melambangkan bahwa gadis yang telah diikat dengan tali (dipinang) untuk menuju ke pertalian suci yaitu akad nikah. Pisang sanggan, suruh ayu, dan benang lawe ditempatkan pada satu nampan bundar. d. Seperangkat Pakaian Lengkap Sarana Make Up Seperangkat pakaian (busana sepengadeg) terdiri dari kain baju, kebaya, sepatu, sandal, stagen, semekan atau kemben, dan sarana unuk berhias bagi calon isteri. Seperangkat pakaian melambangkan bahwa calon pengantinpria siap mencukupi kebutuhan lahir dan batin bagi istrinya (sandang, ketentraman hati/ batin, dan keindahan bagi wanita). Hiasan ini
12 melambangkan hidup senantiasa memancarkan sinar keindahan kepribadian sehingga hidupnya dapat dicontoh. e. Sindur Sindur berasal dari bahasa sansekerta sindura artinya merah. Sindur adalah semacam selendang dan bergaris tepi putih. Warna merah dan putih melambangkan kama wanita dan pria. Ini mengandung harapan bahwa menyatukan kama (wanita dan pria) akan membuahkan anugerah putra (anak) sebagai momongan. f. Kain Bercorak Truntum Truntum atau trubus berarti tumbuh. Motif kain ini adalah bungabunga kecil seperti binang dengan warna gelap. Kain truntum melambangkan pengaharapan akan lesterinya perkawinan dan cinta yang terus tumbuh demi kelangsungan hidup berkeluarga. Truntum ada pula yang mengartikan tumaruntum artinya (1). Saling menuntun dan saling mencintai; (2). Dapat tumaruntum (menuerunkan kebajikan) hingga turun-temurun. Motif kain juga melambangkan perjalanan hidup manusia ada gelap, ada susah, ada gembira, dsb. g. Berbagai Perhaiasan Perhiasan pokok adalah cincin dari perak atau emas. Selai itu, bila mampu tersedia gelang, kalung, dsb. Cincin yang akan dipakai berbentuk polos terusan. Hal ini melambangkan cinta calon pengantin tiada berakhir sehingga membangun keluarga yang bahagia yang didasari cinta kasih berdua. h. Jadah, Wajik, dan Jenang Makanan terbuat dari beras ketan. Ketika masih berujud beras terpisahpisah per biji, namun setelah menjadi jadah, wajik atau jenang lengket menjadi
13 satu. Hal ini melambangkan bersatunya pria dan wanita. Selanjutnya, mereka akan lengket terus (bersatu dalam membangun keluarga) layaknya jadah dan wajik. i.
Buah-buahan Buah-buahan terdiri atas jeruk glundung atau jenis jeruk lainnya, apel, kelengkeng. Melambangkan ketentraman, kesejukkan, dan kesegaran bagaikan buah-buahan sehingga hidup saling memberikan penyegaran dalam membangun bahtera rumah tangga.
j.
Nasi Golong Nasi golong adalah nasi putih tang dibentuk bulat seperti bola tenis. Nasi golong mempunyai makna bahwa kedua calon pengantin dan orangtua sudah bertekad bulat (golog gilig) untuk bersatu.
k. Uri-urip Urip-urip berupa ayam jantan yang melambangkan seorang laki-laki (calon pengantin) siap untuk menempuh hidup berkeluarga. l.
Uang Uang sebagai sumbangan pihak calon besan. Uang tersebut disebut buwuh. Artinya, uang itu untuk imbuh anggone arep ewuh (sebagai tambahan kepada orangtua yang akan mantu).
m. Pelangkah Pelangkah atau piangkah adalah memberi tali asih dari calon pengantin pria kepada kakak calon pengantin wanita yang belum menikah. Karena kedudukannya sebagai adik yang akan menikah terlebih dahulu, maka memberikan tanda kasih yang disebut plangkah dan meminta izin restu kakaknya. Pelangkah berupa pisang sanggan setangkep dan seperangkat
14 pakaian dan perhiasan (cindera mata). Pakaian sebagai lambang jodoh. Pelangkah berupa pakaian atau apa saja yang merupakan perlambang doa sang adik agar kakaknya segera mendapatkan jodoh. n. Pamesing Pamesing disebut juga pepesing Bratasiswara (dalam Suwarno, 2006: 47). Pamesing adalah pemberian kenang-kenangan sebagai tanda hormat dari calon pengantin pria kepada nenek atau kakek calon pengantin wanita. Menurut Poerwardarminta (dalam Suwarno, 2006: 47) pamesing biasanya berujud kain jarit (jarik). Pamesing atau pepesing juga dapat berupa pakaian baru yang terpilih. Pepesing bermakana (a) sebagai tanda hormat cucu kepada kakek/nenek, (b)sebagai kenang-kenangan tanda kasih sebagai penghulu (pendahulu) keturunan, (c) sebagai tanda penolak balak (pepesing) demi keselamatan dan kebahagian calon pengantin. Pepesing disiapkan oleh keluarga pihak calon pengantin pria dengan kesepakatan calon pengantin wanita. 2. Srah-srahan a. Cara Tradisional Berdasarkan tradisi (secara tradisional), srah-srahan dilaksanakan sekitar dua atau tiga hari menjelang upacara panggih. Acara dilaksanakan di kediaman keluarga calon pengantin wanita dan dihadiri oleh kedua keluarga yang akan berbesan dan calon pengantin berdua. Pada umumnya, barang srah-srahan dibuat dua kali lipat dari barang-barang paningset. Pada umumnya, barang srah-srahan berkaitan dengan kebutuhan keluarga. Bratasiswara (dalam Suwarno, 2006:49) menyebutkan: 1. kebo sejodho: sepasang kerbau jantan dan betina yang tanduknya diselut (dicathok) warna putih dengan perak dan kapur.
15 2. banyak sejodho: sepasang angsa jantan dan betina digendog dengan kain cindai (cindhe) atau sindur. 3. pitik sejodho: ayam jantan dan beina diemban dengan kain cindai atau sindur. 4. jodhang berisi tuwuhan dan biji: wit lombok sarakit, wit terong sarakit, wit parijata sarakit, dan wit tomat sarakit. 5. sepasang tebu herjuna: tebu warna hitam (wulung) beserta daunnya. 6. jodhang berisi bahan mentah: beras satu karung (bagor) berisi 100 taker dan kelapa sebanyak 25 butir. 7. jodhang berisi perabot rumah tangga: dandang, kendhil, kenceng, ceret, siwur, tembaga, wajan, diyan, ilir, pisau, parut, kukusan. 8. jodhang berisi makanan olahan seperti nasi dan lauk pauk lengkap, olahan lengkap, tanpa guila dan teh. 9. jodhang berisi anggi-anggi: jamu racikan, gulian, empon-empon, ditutup dengan cindai (anggi-anggi adalah kantong yang dijahit mati). 10. jodhang berisi perabot membatik: gawangan, canthing, bandhul, mori, dan dakon. 11. uang Rp 25 b. Cara Modern (Suwarno, 2006: 50) aspek (1) ketidaktahuan. (2) ketidakmauan/ketidakperluan. (3) kepraktisan, atau (4) efesien, srah-srahan dilaksanakan pada malam midodareni atau beberapa saat menjelang ijab kabul. Srah-srahan tidak membedakan antara tukon, paningset, ataupun srah-srahan. Syarat yang diserahkan adalah: 1. sanggan: pisang raja satu tangkep, ujungnya diikat dengan kertas emas, diserati suruh ayu (daun sirih yang tulang daunnya bertemu) dan lawe putih (benang putih). 2. pakaian lengkap (busana sepengadheg), sarana untuk berhias dn perhiasan. 3. sejumlah uang ‘sumbangan’ untuk penyelenggaraan perkawinan. 4. jadah, wajik 5. buah-buahan 6. ada yang menambah beberapa ruas tebu herjuna (tebu hitam tanpa daun), ayam jantan, gala, beras, dan kelapa). Peralatan srah-srahan dihias dan dibentuk sedemikian rupa sehingga tampak indah. Pada zaman yang serba praktis dan efesien, acara yang dominan sebelum mantu adalah lamaran dan srah-srahan. Srah-srahan mengaburkan perbedaan antara tukon, paningset, dan srah-srahan. Pada saat ini menjadikan satu antara tukon, paningset, dan srah-srahan. Penyatuan ini akhirnya disebut srah-srahan.
16 3. Piranti Majang (alat sesajian) Adrianto (dalam Suwarno, 2006: 68) ada beberapa piranti (alat sesajian) majang anatara lain: lara blonyo, lampurobyong, ajug-ajug, kecohan, kendhi, klemuk, kain syarat, jembana (tandhu). a. Lara Blonyo (Blanya): berupa patung pengantin pria dan wanita. Melambangkan penghuni rumah sepasang pengantin dengan posisi duduk bersila (pengantin pria) dan simpuh (pengantin wanita). Lara blonyo melambangkan status sosial calon pengantin. Misalnya, apabila status calon pengantin wanita lebih tinggi dari pada calon pengantin pria, maka lara blonyo wanita dipasang di sebelh kanan, sedangkan lara blonyo pria sebelah kiri. Lara blonyo ditempatkan di depan pedaringan atau petanen (krobongan), boneka pengantin putra sebelah kanan dan boneka pengantin putri di sebelah kiri. Pedaringan adalah tempat penyimpanan beras. Petanen, senthong tengah, atau krobongan adalah kamar tengah rumah induk. Menurut mitologi Jawa, petanen merupakan tempat pesinggahan Dewi Sri, sebagai lambang kemakmuran dan kesuburan. Penempatan lara blonyo mempunyai beberapa makna, antara lain: 1) Sebagai pasren atau hiasan: lara blonyo ditempatkan di mana saja yang dapat menimbulkan suasana indah. 2) Sebagai penghormatan kepada Dewi Sri yang melambangkan kesuburan dan kemakmuran: lara blonyo ditempatkan di depan pedaringan atau petanen. 3) Sebagai petunjuk tempat tumuruning wiji: lara blonyo ditempatkan di dekat sepasang pengatnin baru duduk bersanding. 4) Sebagai lambang penolak bala, penangkal gangguan dan ancaman terhadap tanem tuwuh (pertanian), kemakmuran, kerukunan, dan kedamaian. Sebagai penolak bala, kedua wajah lara blonyo diboren (diolesi) putih dan badan boneka diwarnai kuning. b. Lampu Robyong dan Ajug-ajug: lampu robyong adalah lampu hias kumo dengan berbagai hiasan keemasan sehingga tampak indah. Ajug-ajug adalah
17 lampu kecil yang terus menyala sebagai lambang penerangan jiwa, semangat hidup yang terus menyala. c. Kecohan: tempat penampungan ludah. Melambangkan kebersihan dan kedisiplinan. d. Kendhi: wadah air yang terbuat dari tanah liat dan diisi air tempuran, yaitu pertemuan antara air hilir sungai Gajah Wong dan Sungai Opak. Kedua sungai ini bagi masyarakat Yogyakarta memiliki mitodologi yang kuat karena dipercaya sebagai tempat pertemuan antara Amangkurat I dan Nyai Lara Kidul. Air tempuran juga merupakan lambang pertemuan antara calon pengantin pria dan wanita. e. Klemuk: temapt beras, jagung, kedelai, kembang telon. Klemuk berjumlah dua pasang ditempatkan di kanan dan kiri di depan pasren. Melambangkan kemakmuran dan sumber rezeki. f.
Kain syarat: sebagai pajangan penolak bala sehingga perhelatan diharapkan tidak ada suatu halangan apapun, segala bala telah ditolak.
g. Jempana: jempana atau tandhu diunkan untuk upacara panggih pengantin putri. 4. Ubarampe Majang (segala peralatan majang) Adrianto (dalam Suwarno, 2006: 70) menyebutkan sesaji dalam majang. Pada hakikatnya antara majang dan tarub merupakan rangkaian prosesi yang menyatu, hanya pelaksanaannya berurutan. a. Sekul wuduk: lembaran ayam putih mulus dengan santan kental (areh) dan sayur mentah (lalaban). Ditujukan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW. b. Sekul golong: sekul golong ditambah ulam sekupat (kerbau, lembu, kambing) ulam toya, pecel tawon, jangan menir (sayur bening, lalapan, jagung muda) ditujukan kepada Nabi Kidzir (penjaga air dan samudera).
18 c. Sekul pulen, ulam sukupat, ulam peksi, ulam sangsam (daging rusa), dan pecel atwon. Ditujukan kepada Nabi Elyas. d. Sekul anggi, pupuk ulam ayam (bubur daging ayam), telur goreng, ditujukan kepada Nabi Ibrahim. e. Wuduk Ketan, sekul gapit (nasi di antara lauk pauk), ditujukan kepada Syeh Ngabdulkadir Jaelani. f. Sekul golong, ulam sekupat, dan urip-uripan lele, ditujukan kepada Kanjeng Sunan Kalijaga. g. Sekul golong lolo (kepalan nasi putih) di bagian atas dan bawahan nya diberikan telor dadar dan uang logam yang ditujukan kepada Semara Bumi. h. Sekul golong, ulam sekupat, pecel ayam, dan jangan menir yang ditujukan kepada Kyai Ageng Pemanahan atau Kanjeng Panembahan Senopati. i.
Tigan panggang ayam, ketan kolak pisang mas yang ditujuka kepada Kanjeng Sultan Agung.
j.
Klepon dan srabi yang ditujukan kepada matahari, bumi, dan bintang.
k. Tumbasan peken dan colok ( senthir yang ditujukan Kanjeng Ratu Kidul yang diberikan menjelang matahari terbenam (surup). l.
Sekul pulen, bubuk dhele, jangan oncon (sayur bening tanpa bumbu), tempe goreng, ketan enten-enten, lemper ulam ayam, dan pisang raja. Sesajian ini ditujukan kepasa Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan I.
m. Sekul punan, jangan oncon dengan santan. Sekul pulen, jangan kare, jangan menir, pecel ayam, bubuk dhendheng, bubuk balur, bubuk kedelai, roti gandum dengan mentega, jenang sungsum dengan juruh dan legen. Sesajian ini ditujukkan kepada Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan II. n. Sekul liwet, dhendeng bakar yang ditujukan kepada Kanjeng Sultan III.
19 o. Sekul goreng mentega, jangan sop, ulam ayam, bakar gendir penjalin, kepiting godog, panggang ayam, ulam loh goreng, dan tebu mlangi (tebu kecil-kecilan) yang ditujukan kepada Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan IV. p. Roti tigan, sekul pulen, gandu bakar, lalaban, saron tamper (garam bubuk), wader goreng, tigan pindang, ulam klepon (klepon berisi daging), ulam jambal bumbu satu, pecel ayam, dan tebu lonjoran. Sesajian ditujukan kepada Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan V. q. Sekul goreng, sekul wuduk, sekukl jawi, semur bregedel, krupuk, dhendeng goreng brambangan, sambel goreng ulam ati, sop, kecang ulam, ayam bumbu lembaran, srabi tigan, woh-wohan warni aklih, dan toya degan (air kelapa muda). Sesaji ini ditujukan kepada Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan VI. r. Sekul liwet, lidah asin, tim kiyik/piyik ( sop burung merpati muda), cari cina, pacitan jeram wedang teh, rokok, yang ditujukan kepada Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan VIII. s. Tempe kripik, blenyik jangan kluwih (sayur kluwih dengan kuah), dan bunga mawar dalam gelas yang ditujukan kepada Gusti Kanjeng Ratu Hemas ibunda Sultan VII. 4. Tuwuhan Bratasiswara (dalam Suwarno, 2006:80) tidak semua tuwuhan (tumbuhan) dapat dipakai untuk tarub, tetapi harus dipilih tuwuhan yang memiliki makna dan harapan: a. Bumbu wulung: bentuknya lurus, warna hitam, pangkalnya kuat untuk digunakan sebagai penyangga gapura tarub tuwuhan. Hal ini melambangkan
20 pesan dan harapan akan kekuatan, kesentosaan dan kelestarian dalam membangun keluarga. b. Janur kuning: janur melambangkan keindahan dan kemenangan. Pengantin diharapkan senantiasa diberi hidup yang indah dan dapat mencapai kemenangan (kebahagiaan dan cita-ciat keluarga). Janur merupakan singkatan sejatining nur (cahaya sejati yaitu Nur Ilahi) artinya sebagai hamba Tuhan hendaknya senantiasa bertakwa melakukan apa yang diperintahkan (dicahayakan) Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, disertai sifat luwes, sabar, teguh iman, sentosa lahir batin, cerah, gembira, dan agung. c. Dua batang pisang raja talun: untuk mantu harus dipilih pisang raja talun yang buahnya besar-besar, enak rasanya, dan tidak berbiji. Dipilih pisang raja yang unggul, lengkap dengan tandan buahnya, sudah suluh atau masak sebagian, jumlah sisir genap, dan seimbang untuk kanan gapura tarub. Pisang raja melambangkan bahwa pengantin akan mendapatkan pepadhang (petunjuk jalan yang benar) dalam mencapai kebahagiaan hidup, kebahagiaan yang seimbang antara suami dan istri, lahir dan batin, banyak rezeki, dan banyak amal seperti buah pisang. Juga harapan orangtua agar pengantin memiliki sifat raja dan ratu yang berbudi bawa leksana artinya pengantin suka berderma kepada sesama dan selalu menepati janji. d. Tebu arjuna/herjuna (wulung): tebu arjuna berwarna hitam. Batangnya kuat dan lurus, hidupnya berumpun, jarang terserang hama. Tanaman tebu ini ditempatkan pada dua sisi gapura tarub. Tebu malambangkan kekuatan dan kesentosaan pengantin dalam membangun rumah tangga, hidup rukun besatu dengan sanak saudara, tahan dan dapat mengatasi godaan dan rintangan, teguh jiwa raga, lurus jalan hidupnya, dan lestasi akhir hayat. Antebing kalbu berarti
21 kedua pengantin telah mantap atas pilihannya atas dasar jodohnya untuk menjadi suami-istri. Bunga tebu disebut glagah sebagai lambang panah, yaitu panah Raden Arjuna yang bernama Kyai Bramastra (Bramastra) melambangkan cinta suami-istri. Panah ini memiliki kesaktian yang luar biasa, tidak akan bisa dicabut bila telah sampai sasaran dan sasaran itu belum mati. Artinya, cinta suami-istri senantiasa terpatri hingga akhir hayatnya. Tebu yang berusa-ruas melambangkan bahwa hidup ini harus dilalui setahap demi setahap dengan penuh ketegaran seperti batang tebu. e. Cenkir gading atau cengkir legi (puyuh): bentuknya indah, bulat, dan cerah. Di dalam cengkir berisi tirta nirmala (air suci dari penyakit). Jarwo dhosok cengkir adalah kencenging pikir (persetujuan). Melambangkan bahwa kedua orangtua telah kenceng ing pikir (menyetujui) bersatunya dua sejodoh (pengantin berdua). Bentuk cengkir yang bulat melambangkan tekad yang bulat dan air melambangkan kesucian tekad, sehingga hidup dapat bermanfaat bagi sesama seperti halnya cengkir jika diminum airnya menyegarkan dan menghilangkan dahaga. Kata gading dalam bahasa sansekerta berarti gigi. Gigi (gading) perlambang kekuatan dalam perjuangan hidup. Kelapa gading berwarna kuning melambangkan kecerahan. Kelapa merupakan tumbuhan yang serba guna, dari daun, akar, pohon, dan buahnya. Kelapa bisa hidup dimana-mana. Hal ini melambangkan hidup harus bisa mukarabi (bermanfaat) bagi sesama, bisa menyesuaikan diri di mana pun pengantin berada. f. Daun kluwih: melambangkan harapan orangtua agar anaknya diberikan keluwihan (kelebihan). Kelebihan derajat, pangkat, dan semat (keturunn, kedudukan, dan jabatan) dari pada yang lain, serta di sayang Tuhan. Syukur mendapatkan kekayaan sehingga dapat berderma kepada sesama.
22 g. Daun andhong: daunnya lurus, selualu tegar, bahkan dapat meluruskan batang besar yang bengkok, melambangkan harapan bahwa hidupnya dapat berguna bagi orang lain, meluruskan tingkah laku yang bengkok (salah), memberikan nasihat, dan sentosa jiwa dan raga. h. Daun girang: warnanya cerah, bersih, tidak berbulu. Daun ini melambangkan harapan bagi pengantin untuk senantiasa memberikan kegembiraan (kesenangan, kegirangan), tidak menyakiti orang lain. Hidup cerah, dan dapat memberikan pencerahan. i.
Alang-alang: alang-alang termasuk jenis rumput yang dapat umbuh di manamana (daya hidup tinggi), tahan panas dan hujan, tahan terhadap terpaan cuaca dan musim. Rumput ini melambangkan harapan pengantin untuk dapat hidup yang tahan banting, memiliki jiwa berjuang dan semangat hidup yang tinggi, dan mempunyai ketahanan hidup yang tinggi (tidak mudah stres). Alang-alang juga melambangkan bahwa pengantin dapat mengatasi segala halangan dan rintangan hidup.
j.
Daun apa-apa: apa-apa termasuk tumbuhan kecil (gulma). Rumput ini melambangkan pesan dan harapan agar perhelatan dapat berlangsung aman, lancar, dan selamat (tidak ada halangan apa-apa). Jika alang-alang dan daun apa-apa digabung, maka kedua jenis rumput itu malambangkan harapan bahwa selama perhelatan mantu ora ono alangan apa-apa (tidak ada halangan apa pun).
k. Daun beringin: pohon beringin memiliki daun rimbun, batangnya kokoh, dan sulur (akar atas) yang panjang menjurai. Daun beringin ini melambangkan bahwa hidup kedua pengantin diharapkan dapat menjadi pengayoman (perlindungan) seperti daun beringin, keluaruga yang kokoh seperti sulur yang
23 senantiasa menjurai. Beringin juga melambangkan bahwa manusia pasti memiliki keinginan (cita-cita). Maka harapannya adalah agar pengantin berdua dapat mencapai cita-citanya. l.
Padi: padi melambangkan kemakmuran, maka kedua pengantin berharap diberi cukup pangan. Padi juga melambangkan rendah hati, ‘padi’ semakin merunduk semakin isi. Padi juga perlambang suka memberi karena padi ditanam sebiji tumbuh sewuli. Jika pengantin diberi kebaikan maka mereka diharapkan membalas dengan kebajikan yang lebih baik (banyak) dan pengantin diharapkan gemar menanam kebaikan agar dapat menunaikan kebajikan.
m. Kapas: kapas melambangkan sandang. Harapannya adalah agar pengantin berkecukupan sandang. Jijka padi dan kapas digabungkan, maka kedua jenis tuwuhan itu melambangkan harapan kecukupan sandang dan pangan. n. Daun kara: tanaman kara merambat dari tempat rendah ke tempat yang tinggi. Kara melambangkan harapan agar selama perhelatan tiada halangan. Demikian juga, kedua pengantin dapat mengatasi segala hambatan dalam mengarungi hidup berkeluarga. Selain itu, daun kara melambangkan bahwa hidup harus senantiasa bersyukur jika diberi rezeki sedikit atau banyak, ,jika mendapat kedudukan dan ilmu yang rendah ataupun tinggi. Pengantin diharapkan juga tidak mudah putus asa untuk meraih cita-cita yang tinggi. Hidup penuh perjuangan untuk mencapai kedudukan tinggi dari yang bawah seperti halnya batang kara yang merambat dari bawah menuju tempat yang tinggi. o. Daun maja: pohon maja selalu memiliki daun yang ijo (hijau) dan tahan lama dan buahnya sangat pahit. Hal ini melambangkan hidup yang senantiasa
24 gembira, ayem tentrem walaupun hidup ini tidak akan lepas dari cobaan (kepahitan hidup). Tidak ada manusia hidup tanpa cobaan dan perjuangan. p. Daun dhadap serep: pohon dhadap serep memiliki daun yang luinak dan sering digunakan untuk sarana tolak bala dan menurunkan panas. Hal ini melambangkan ketenangan hidup yang ayem tentrem (anyep/dingin, tidak panas), luwes, tidak kaku (lunak), dapat memberikan rasa dingin terhadap suasana atau orang yang membutuhkan. q. Daun sirih: daun sirih yang diolesi kapur (injet) bermakna sebagai penolak kekuatan jahat (tolak bala). Daun sirih sangat bergua untuk penyembuhan berbagai penyakit dan dapat membersihkan organ tubuh, apalagi kalau diramu dengan daun-daun lainnya. Hal ini melambangkan harapan bahwa perhelatan akan terhindar dari ganguan atau bersih dari mara bahaya/halangan. 5. Tarub a. wilujengan wilujengan adalah selamatan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Mahaesa selama berlangsungnya perhelatan mantu. Syarat selamatan tarub Bratasiswara (dalam Suwarno, 2006: 88) adalah sebagai berikut: 1. sekul rasulan mengandung maksud persembahan kepada rasul agar rasul diberikan berkah oleh Tuhan Yang Mahaesa, dan sebagai tawasul (lantara) permohonan berkah selamatan perhelatan. Sekul rasulan terdiri atas nasi wuduk (gurih) disertai lauk pauk ayam opor utuh (ingkung), kedelai hitam goreng, rambak, ulam lalaban (lombok merah, bawang merah, mentimun, garam, pisang raja setangkep, kembang telon (mawar, melati, kenanga).
25 2. sekul asahan mengandung permohonan kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberikan berkah kemakmuran. Sekul asahan terdiri atas nasi biasa dengan lauk pauk, ikan asin goreng, tempe kripik, bihun goreng, dan krupuk. 3. tumpeng sekul janganan sebagai lambang kesuburan, ayem tentrem, dan kebahagian. Tumpeng sekul janganan terdiri atas tumpeng (nasi dibentuk kerucut) di sekitar nasi diberi berbagai daun-daunan (urap) seperti bayam, kacang kol. Irisan wortel, kubis, bumbu urap. 4. sekul golong sebagai lambang persatuan (gumolong menjadi satu). Sekul golong adalah nasi yang dibetuk bulat-bulat sebesar bola tenis, berjumlah genap. 5. tumpeng robyong sebagai tanda bahwa manusia senantiasa bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Perintah dan larangan diwujukan dalam tumpeng (yang diujungnya dihiasi dengan tancapan telur dan cabe merah) dan rumbai-rumbai daun pisang serta sayuran sehingga kelihatan robyong-robyong. 6. jajan pasar melambangkan harapan akan kemeriahan dan murah pangan. Jajan pasar berupa segala makanan kecil yang dibeli di pasar, pala kependhem (seperti ketela, ubi, uwi, bentul, tales), pala kesimpan (timon, melon), pala gumantung (buah-buahan). 7. pisang raja setangkep (rong lirang atau dua sisir) melambangkan kemanunggalan calon pengantin berdua yang akan berbesan. 8. kembang setaman (kembang telon:mawar, melati, dan kenanga) melambangkan bahwa calon pengantin akan memiliki nama harum seperti harumnya kembang setaman. 9. ketan kolak apem melambangkan permohonan maaf jika ada kekurangan dalam penyelenggaraan perhelatan.
26 Setelah dipanjatkan doa kepada Tuhan Yang Mahesa oleh orang dipercaya (kyai, kaum, ulama) dan acara tarub selesai, semua makanan selamatan dimanfaatkan atau disedekahkan untuk perjamuan bagi para petugas tarub. Dengan demikian, suasana kekeluargaan dan kemanunggalan semakin tampak dan menambah kemeriahan. b. Piranti Saji (syarat sesaji) piranti saji terdiri atas piranti buangan, piranti sanggan, dan piranti syukur Sumarno (dalam Suwarno, 2006: 91): 1. piranti buangan (bucalan) piranti buangan terdiri atas: a) tumpeng tujuh buah dengan tujuh warna: (merah, hitam, biru, hijau, kuning, putih, dan satu tumpeng warna campuran mancawarna). b) empluk untuk wadah kembang boreh. c) Bubur merah satu sudi d) Bubur baro-baro satu sudi e) Pecok mentah: berupa biji kacang-kacangan, jagung, keluwek, kemiri berkulit, telur ayam merah, gantal, bawang merah, bawang putih, cabe, gula, kelapa, garam, bumbu, cacahan daging, uang logam. Semua itu ditempatkan dalam takir besar, panjang ilang, tampah atau tambin. Panjang ilang adalah tempat yang dibuat dari anyaman janur, berbentuk bulat dengan empat gantungan tali yang diikat secara simpul keatas. f) Gecok mentah: berupa daging sapi memntah dipotong-potong yang dibumbui bawang, cabe, garam, kencur, santan, ditempatkan takir dan ditaruh di pojokpojok rumah pekarangan, sumur, dan jamban.
27 Piranti buangan tersebut di atas melambangkan harapan agar roh-roh yang bergentayangan tidak mengganggu selama perhelatan sehingga berlangsung dengan lancar dan selamat. 2. piranti sanggan piranti saji untuk sanggan terdiri atas: a) tumpeng robyong, tumpeng gundul, tumpeng gudhul b) pisang raja dan pisang pulut c) jajan pasar d) asrep-asrepan e) nasi liwet, lauk serundeng, nasi ambeng, nasi punar, nasi golong, dan nasi kabuli. f) Pisang ayu. g) Jerohan sapi, peyek gereh, gebingan, peyek, tempe kripik. h) Ketan, kolak, apem,brokohan, ketan mancawarna, golong lulut. i) Roti tawar, jadah bakar. j) Kopi pahit, teh pahit, rujak degan, cerutu, dan candu. k) Ayam seekor. Semua piranti sanggan ditaruh pada satu tempat yang besar. Piranti sanggan melambangkan bahwa manusia harus memperhatikan leluhur dan mendoakannya agar mereka langgeng di alam baka, diampuni segala dosanya, dan diterima di sisi Tuhan. Piranti sanggan juga melambangkan permohonan agar selama upacara perkawinan selamat hingga selesai dan pengantin hidup bahagia. 3. Piranti Syukur Secara simbolik piranti syukur terdiri atas: a) Pisang raja dan pisang pulut.
28 b) Buah-buahan dan jajan pasar. c) Daun sirih, kapur sirih, dan gambir. d) Kembang telon (melati, kantil, kenanga). e) Jenang: (merah, putih, baro-baro). f) Empon-empon (temu lawak, temu hitam, dlingo, bengle, kunyit, dan kencur). g) Sayur padhamara. h) Kolak kencana. i) Kepala kerbau (diganti dengan jerohan dan daging kerbau). j) Telur ayam dan ayam jago. k) Pala kependhem dan pala gumantung l) Kendhi, damar, jlupak. m) Tempe mentah. n) Tikar. o) Dua butir kelapa. Kepercayaan dan pelaksanaannya diserahkan kepada orang yang akan melaksanakan hajat masing-masing. Pada zaman yang rasional dan modern masih ada yang melakukan sesaji dan juga tidak mengandung resiko (walad) yang terpenting adalah bermunajad kepada Tuhan Yang Mahaesa agar diberikan kelancaran dan keselamatan, terhindar dari halangan dan rintangan selama melaksanakan hajatan. 6. Siraman Yosodipuro (dalam Suwarno, 2006: 103-105) peralatan (piranti untuk upacara siraman sebagai berikut: a. Piranti sesaji: tumpeng robyong, tumpeng gundul, nasi asrep-asrepan, jajan pasar, pisang raja, bubur (jenang merah, putih, baro-baro, palang), empluk kecilkecil diisi beras, telur, dan bumbu dapur), ayam kampung, satu butir kelapa yang
29 sudah dikupas, juplak diisi minyak kelapa, kembang telon (bunga telon), gula Jawa satu tangkep. b. Air siraman: toyo pamorsi, yakni air yang ditaburi denga sritaman (mawar, melati,dan kenanga). Air dapat memilih salah satu dari: (1). 7 sumber terpilih (dari berbagai tempat); (2).air dari keraton; (3). Air tempuran (pertemuan dua hilir sungai misalnya Sungai Opak dan Sungai Gajah Oya); atau (4). Berbagai sendhang atau sumber tua, ,misalnya sumur-sumur tetangga yang tua dan airnya tidak pernah surut c. Air berjumlah tujuh melambangkan harapan hidup yang dapat saling menolong (mitulung, pitulungan). Air keraton yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi rakyat atas kewibawaan dan kemakmuran raja. Air tempuran melambangkan pertemuan dua insan (calon pengantin pria dan wanita). Air sumber tua yang tidak pernah kering melambangkan hidup calon pengantin dapat memberikan penghidupan seperti layaknya air yang tidak pernah kering, rezeki terus mengalir, kemuliaan terus didapat, dan yang tua dapat memberikan pengayoman kepada yang lebih muda. d. Bunga sritaman (mawar, melati, dan kenanga) secara simbolik melambangkan keharuman. Secara fisik keharuman bunga tersebut dapat meresap ke tubuh calon pengantin diharapkan memiliki keharuman nama dapat dicontoh oleh sesama. e. Alas duduk: (a). Klasa bangka, klasa pandahan anyar; (b). Godhong (dedaunan); apa-apa, kluwih, alang-alang, kara, dhadap serep, eri kemangun, maja, dlingo bengle dibungkus kain putih; (c). Kain tutup letrek jingga. Klasa bangku melambangkan harapan bahwa calon pengantin kelak dapat hidup bersahaja, walaupun bergelimang keewahan, tidak berfoya-foya. Daun apa-apa melambangkan harapan agar acara pernikahan tidak ada aral apapun. Alang-alang
30 melambangkan harapan agar tidak ada halangan apapun. Daun karo melambangkan harapan segala cobaan, rintangan, sakit harus dihadapi dengan tegar dan dihilangkan. Daun kluwih melambangkan harapan calon pengantin diberi kelebihan presasi, sosial, ekonomi, pangkat, jabatan, kareie, kewibawaan. Daun dhadap serep melambangkan harapan kehidupan calon pengantin penuh dengan ketentraman. Duri kemarung, maja, dan dlingo bengle sebagai penolak bala agar kehidupan calon pengantin dijauhkan dari marabahaya. Mori putih melambangkan kesucian dan kepasrahan kepada Tuhan. f. Dua kelapa hijau yang diikat serabutnya melambangkan calon pengantin senantiasa berdua, seia sekata, terikat tali kasih sayang hingga akhir hayat dan melambangkan kedua calon besan telah bersatu tekad menikahkan putra-putrinya. g. Konyoh mancawarna lulur terdapat tepung beras dan kencur serta bahan pewarna : (a) tepung konyoh lima warna, (b) ron kemuning, (c) mangir. Konyoh lima warna melambangkan kemanunggalan warna cahaya (pamor) sarana pembuka aura agar segala unsur cahaya berkumpul dan membuahkan cahaya pamor sehingga calon penganti (wanita) atau tampan (pria). Secara simbolik konyoh manca warna lulur bermakna agar segala cahaya menyatu di tubuh calon pengantin sehingga calon pengantin tampak berwibawa dan indah untuk dipandang. h. Gayung siraman, yakni gayung yang dipakai untuk mengambil air siraman. i.
Sehelai mori berukuran dua meter dipakai ketika siraman.
j. Sehelai kain motif grombol dan nagasari atau motif lain seperti sidoluhur, sidomukti, semen rama, sidoasih. k. Kendhi atau klenting berisi air untuk bersuci pada akhir siraman
31 l.
Landha merang, santan kani (santan kental), dan banyu asem (air asam).
Ladha merang sebagai shampo untuk keramas, santenkental untuk menghitamkan rambut, dan banyu asem (air asam) sebagai conditioner). 7. Kembar Mayang Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kembar mayang adalah sebagai berikut: a. Daun-daunan: daun maja, alang-alang, dan daun apa-apa, sebagai sarana tolak bala (menolak segala bencana, halangan, rintangan, atau marabahaya). Daun kluwih, kara, dhadap serep, dan daun salam adalah simbolisasi harapan semoga senantiasa diberikan kelebihan, jangan ada halangan, selalu tentram, dan selamat). Daun beringin melambangkan keinginan (cita-cita). Selain itu ada berbagai piranti yang terbuat dari janur, yakni pecut-pecutan, keriskerisan, payung-payungan, walang-walangan, dan manuk-manukan. b. Pecut-pecutan: pecut (cemeti) sebagai sarana untuk memacu kuda, sapi, atau kerbau. Pecut-pecutan melambangkan bahwa hidup perlu semangat, tidak takut menghadapi rintangan untuk meraih dinamika prestasi dan karier yang tinggi. c. Keris-kerisan: keris sebagai pusaka merupakan simbol bahwa menghadapi hidup harus dengan pusaka. Pusaka untuk mengatasi kesulitan hidup dan menjaga diri agar selamat. Makna pusaka dapat berarti ilmu ilmiah untuk mencapai kebahagiaan hidup ataupun ilmu ibadah untuk hidup di akhirat. d. Payung-payungan 3 buah: payung melambangkan pengayoman (perlindungan), terutama laki-laki yang harus sanggup melindungi istrinya. Manusia harus dapat menjadi pengayoman bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan bangsa dan negara.
32 e. Walang-walangan (belalang) sebanyak 3 buah: walang-walangan melambangkan: (1). Ketahanan hidup (belalang dapat tahan hidup dalam berbagai musim); (2). Kedinamisan. Belalang bergerak kesana-kemari untuk mempertahankan hidup. f. Manuk-manukan (burung) sebanyak 3 buah: burung yang siap menjelajah dunia melambangkan perjuangan, kesetiaan, dan kecerian. Burung terbang menjelajah melambangkan bahwa untuk menggapai kebahagiaan harus panatang menyerah. g. Gedebog: untuk menancapkan segala daun-daunan dan janur membentuk kembar mayang. Kembar mayang dibentuk membulat dan semakin lancip. Berbagai daun dan janur ditancapkan pada gedebog dan berbagai janur diikat ke atas. h. Sepasang kelapa muda: melambangkan bertemunya pemuda-pemudi (calon pengantin). Di dalam kelapa muda terdapat air yang bersih (suci). Selain bahan-bahan seperti yang disebutkan diatas, diperlukan perlengkapan sebagai berikut: a. Dlingo bengle jenis empon-empon sebagai sarana untuk menolak bala sehingga upacara perkawinan terhidar dari marabahaya. b. Dlingo bengle, bumbu dapur, dan berbagai macam biji-bijian ditemptkan dalam klemuk (bejana yang terbuat dari tanah liat). c. Klemuk ditutup dengan kain motif tulak dan gadhung melati. Bangun tulak atau bango tulak untuk menolak bala dan lambang kelanggengan (keabadian). gadhung mlati bernuansa warna hijau dan putih. Hijau melambanngkan kedamaian, ketentraman, dan kemakmuran. Putih lambang kesucian, kebersihan, dan kesetiaan.
33 8. Majemukan Majemukan dilaksanakan pada tengah malam dan diikuti tamu yang hadir dalam tirakatan. Piranti untuk majemukan adalah: a. Nasi gurih b. Ayam lembaran (lingkung-ayam utuh) c. Kedelai hitam goreng, rambak, lalaban cabai merah, bawang merah, mentimun. d. Pisang raja e. Bunga telon (mawar, melati, dan kenanga). D. Pelaksanaan Prosesi Ritual Perkawinan Priyayi Di bumi Indonesia yang kaya akan ragam budaya, adat istiadat yang dimiliki beragam pula. Termasuk didalamnya prosesi pernikahan. Adat Jawa misalnya, kebanyakan orang hanya mengenal proses siraman dan midodareni. Padahal ada beberapa proses lain yang tidak kalah pentingnya. Dalam kebudayaan Jawa, terutama orang yang tidak memiliki dasar keagamaan (Islam) yang kuat, yang juga disebut orang Islam abangan, ilmu gaib meramal yang dilakukan dengan perhitungan (petungan) sangat penting dalam mengambil keputusan utama dalam mengambil keputusan utama dalam kehidupannya, misalnya untuk menentukkan saat mengerjakan sawah, saat menanam, saat mengadakan slametan, saat mendirikan rumah, saat melangsungkan perkawinan, saat melakukan perjalanan jauh, untuk mengetahui identitas pencuri, dan berbagai hal lain. Metode-metode perhitungan dan meramal biasanya dimuat dalam buku-buku ilmu gaib yang disebut primbon (Koentjaraningrat, 1997: 223). Perkawinan Islam adalah suatu perjanjian antara pengantin laki-laki dan wakilnya pengantin perempuan, disaksikan oleh paling sedikit 2 orang saksi, dimana
34 dengan kata-kata keramat diucapkan penawaran dan penerimaan (ijab kabul) dan jumlah pemberian perkawinan (mas kawin) ditetapkan. Mas kawin adalah pembayaran sedikit jumlahnya dari si lelaki kepada si perempuan, adakalanya juga digabungkan jadi satu dengan pembayaran-pembayaran lain. Misalnya, di Jawa disebut dengan tukon. Perkawinan merupakan suatu saat yang sangat penting. Suatu detik tatkala hubungan persaudaraan diperluas dan berubah. Di Jawa perkawinan menjadi pertanda terbentuknya sebuah somah baru yang segera akan memisahkan diri, baik secara ekonomi maupun tempat tinggal, lepas dari kelompok orangtua dan membentuk sebuah basis untuk sebuah rumah tangga baru. Pada sementara masyarakat perkawinan juga merupakan pelebaran menyamping tali ikatan antara dua kelompok himpunan yang tidak bersaudara, atau pengukuhan keanggotaan didalam satu kelompok endogam bersama, tetapi di Jawa melibatkan dua buah somah, yang akan dipersatukan kemudian melalui lahirnya seorang cucu milik bersama. Anggota keluarga besar setiap pihak, dengan tetap berada di latar belakang, mereka memberikan dukungan, sumbangan, bantuan, kesaksian, masing-masing sesuai dengan kekhususan hubungannya dengan orangtua pasangan suami-istri baru tersebut. Kebanyakan perkawinan diatur oleh orangtua kedua belah pihak. Orangtualah yang mencarikan bakal jodoh dan memutuskan hari perkawinan, terutama apabila merupakan perkawinan pertama untuk anak mereka. Orang Jawa yakin bahwa demikian, inilah jalan yang seyogyanya untuk memasuki perkawinan, dan bahwa anak seharusnya menyetujui keputusan orangtua. Meskipun demikian, hanyalah ibu dan ayah, yang biasanya berhak memutuskan segalanya bagi mereka. Jarang terjadi ada kecenderungan untuk mencari jodoh dikalangan keluarga dekat, dan dengan
35 pengecualian tertentu sedikit saja pantangan untuk perkawinan dikalangan saudara kedua. Dengan demikian, tata cara perkawinan di Jawa yang bersifat parental itu harus tidak dilihat dari kerangka organisasi kekeluargaan semata-mata, tetapi harus dilihat sebagi suatu aspek dari sistem ekonomi dan ”gengsi” pada masyakat luas, dan sebagai suatu fungsi bangunan otoritas intern di dalam keluarga yang asasi. Untuk pemilihan jodoh, terutama pada perkawinan pertama, mula-mula mengabdi kepada kepentingan orangtua, dengan memperluas rentangan ikatan sosial mereka, atau dengan memantapkan ikatan yang sudah ada, dan dengan mengesahkan berlakunya tataran sosial mereka di masyarakat. Di tengah-tengah keluarga, kenyataan bahwa anak harus menyerahkan pemilihan jodoh itu kepada orangtua merupakan pertanda tentang ketergantungan sosial dan psikologis seorang anak kepada orangtuanya, tentang penerimaannya terhadap tanggungjawab di masa mendatang untuk orangtuanya pada hari-hari tua mereka, serta tentang status anak yang lebih rendah dari pada orangtuanya (Geertz, 1985: 57-59). Segera sesudah semua pihak sepakat tentang perkawinan itu penyelenggaraan untuknya dapat diadakan. Dalam hal ini tidak ada masa tunggu yang ditentukan adat. Masalahnya hanyalah, apakah bahan pangan dan uang sudah tersedia cukup di tangan dan apakah hari serta bulan baik telah dipilih untuk perhelatan tersebut, sekali sudah ditetapkan, perkawinan itu sedapat-dapatnya dilaksanakan tepat pada waktunya, walaupun sering kali harus menunggu beberapa bulan sampai musim panen tiba. Ada tiga macam upacara perkawinan yang terpisah-pisah, tetapi tidak harus dilaksanakan semuanya. Sebuah yang tidak bisa ditawar adalah pelaksanaannya ialah pendaftatran perkawinan pada kantor pejabat agama kecamatan (naib), serta doa darinya untuk pengantin dan mempelai. Upacara ini tidak pernah dihilangkan, tetapi
36 oleh kebanyakan orang Jawa tidak dianggap yang paling penting. Upacara kedua ialah makan bersama secara keagamaan (slametan) yang diadakan dirumah pengantin (perempuan). Pada anggapan kebanyakan orang Jawa, bagian penting dalam upacara perkawinan ialah berupa perkawinan ”sebenarnya” yang berlangsung dalam upacara ketiga, yaitu ”penjumpaan” (ketemuan) jika tidak cukup uang untuk menyelenggarakan upacara besar-besaran atau jika pengantin telah pernah kawin sebelumnya, upacara ini dapat ditiadakan. Tetapi jika upacara diadakan, perhatian utama ditumpahkan pada upacara ini, dan disini pulalah perhelatan dilangsungkan dengan segala kemewahan. Adapun yang menjadi sasaran pesta, yaitu pasangan yang baru kawin tersebut, berpartisipasi secara minimal dan pasif. Mereka tidak ikut membantu dalam persiapan. Secra fisik mereka didorong, ditarik, dan digiring seperti sebuah boneka dalam serangkaian upacara, semuanya memuncak di dalam kepasifan yang terakhir: duduk dalam kebesaran berjam-jam tanpa bicara dan gerak, seolah terlupakan. Keluarga pengantin laki-laki hampir tidak punya peranan apapun dalam upacara perkawinan itu. Mereka tidak hadir pada upacara-upacara, tidak juga memberikan sumbangan untuk pesta yang diselenggarakan. Sesudah ”temon” kedua mempelai tinggal di rumah orangtua pangantin perempuan selama sebulan. Disana mereka menerima tamu-tamu dan selama itu mereka tidak pernah meninggalkan rumah. Masa pingitan inilah dilangsungkan acara kunjungan pengantin perempuan dan mempelai laki-laki ke rumah orangtua mempelai laki-laki yang merupakan tata cara kurang penting. Namun, mungkin mereka diterima dengan perhelatan yang tidak kalah ramai ramainya dengan yang terdahulu dan mempelai itu pun harus duduk lebih lama lagi. Tetapi mungkin juga (dan ini yang banyak terjadi) sekedar dengan makan bersama secara adat kedua mempelai memasuki masa pingitan kedua selama sebulan
37 di rumah mempelai laki-laki, tetapi adat ini sekarang tidak lagi dipenuhi. Pengambilan pengantin perempuan pulang ke rumah mempelai laki-laki itu dinamakan ngunduh manten harfiah berarti memetik atau panen pengantin (Geertz, 1985: 68-71). Perkawinan adat tidak bisa meninggalkan apa yang sudah menjadi tradisi lama. Dimana suatu perkawinan selalu dipengaruhi oleh tingkat kemajuan masyarakat serta pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan. Dalam masyarakat adat, perkawinan bukan saja merupakan soal yang mengenai orang-orang yang bersangkutan, tetapi seluruh atau masyarakat adat juga ikut berkepentingan. Perkawinan harus merupakan perbuatan yang “terang”, karena pelanggaran adat yang mungkin dilakukan salah satu anggota, dapat mengganggu kebahagiaan hidup dan ketertiban seluruh keluarga dan masyarakat yang bersangkutan (Suwondo, 1981: 39). Perkawinan adat dilangsungkan dengan bermacam-macam upacara, seperti pertemuan yang resmi dan makan bersama antara kedua mempelai, selamatan bagi para leluhur, mengadakan pemberian-pemberian pada waktu perkawinan dan sebagainya. Mengadakan pemberian-pemberian pada waktu perkawinan ini sangat umum di seluruh Indonesia, meskipun jumlah dan macamnya barang yang diberikan tentu berbeda-beda. Besarnya jumlah yang harus diberikan umumnya tergantung dari pada tingkat kedudukan wanita, makin tinggi kedudukannya makin banyak jumlah pemberian itu (Suwondo, 1981: 39). Dalam mengkaji prosesi perkawinan di Indonesia salah satunya perkawinan adat Jawa ada beberapa prosesi sebelum perkawinan (www.indonesiabrides.com). antara lain:
38 1. Memilih Jodoh Kelas sosial merupakan masalah yang selalu sangat penting. Ketidaksamaan di antara keluarga-keluarga suami istri akan merupakan sumber ketegangan yang tidak kunjung putus. Kesamaan dalam status tersebut biasanya ditegaskan oleh banyak orang mekanisme otomatis yang menguasai hubungan sehari-hari di dalam segala cara untuk memperoleh pengakuan posisi tersebut. Seorang pemuda yang ingin kawin, atau orangtuanya, hanya akan mendekat kepada keluarga yang tidak mengakibatkan ”kurang gengsi” baginya. Bahkan di daerah pedesaan pun, dengan jajaran perbedaan prestise kecil, hal ini masih menjadi masalah. Karenanya pada beberapa kalangan desa tradisional terdapat seorang mak-comblang (dandan), yang fungsi utamanya adalah menghubungkan dan memperlancar suatu masalah musykil yang berkenaan dengan perbedaan dalam tataran sosial itu (Geertz, 1985: 60). Pada umumnya orang tua akan memilih menantu yang jelas identitasnya untuk menjadi bagian keluarganya nanti. Karena itu sebelum menentukan calon menantu, terlebih dahulu secara tidak terang-terangan orang tua akan melihat bibit, bobot dan bebet dan calon menantunya hal ini dalam masyarakat Jawa dinamakan nontoni. Bibit, bebet, bobot merupakan istilah untuk melakukan seleksi awal dalam memilih pasangan yang berkualitas. Bobot diartikan dengan berbobot atau bermutu, dari cara kemampuan berfikir, cara mengolah emosi dan prestasi yang dihasilkan, seseorang akan menunjukkan seberapa tinggi kemampuannya serta seberapa besar bobotnya. Bibit, dari lingkungan sosial dan keluarga yang baik-baik, biasanya akan melahirkan keturunan yang baik pula.
39 Bebed, menunjukkan cara seseorang membawa diri, bergaul dan bertingkah laku idealnya. Fatwa leluhur tersebut bermaksud agar orang tua melaksanakan pemulihan yang sesama akan calon menentunya atau lebih yang berkepentingan memilih calon teman hidupnya. Pemilihan ini jangan dianggap sebagai budaya pilih-pilih kasih, tapi sebenarnya lebih kepada kecocokan multidimensi antara sepasang anak manusia untuk memilih yang berasal dari benih (bibit) yang baik, dari jenis (bebed) yang unggul dan yang unggul dan yang nilai (bobot) yang berat. Fatwa itu mengandung anjuran pula, jangan orang hanya semata-mata memandang lahiriah yang terlihat berupa kecantikan dan harta kekayaan. Pemilihan yang hanya berdasarkan wujud lahiriah dan harta benda dapat melupakan tujuan “ngudi tuwuh” mendapatkan keturunan yang baik, saleh, berbudi, luhur, cerdas, sehat al wafiat (http//:www.google.com). Selain bibit, bobot, dan bebet dalam menentukan calon menantu pihak orang tua juga memperhitungkan perhitungan hari. Dengan perhitungan khusus yang menghasilkan jumlah nilai tertentu yang akhirnya berhasil diramalkan apakah muda-mudi itu tepat untuk berjodoh atau tidak. 2. Nontoni Nontoni adalah kegiatan keluarga bersilaturahmi untuk saling melihat anak yang akan dijodohkan. Keluarga pihak pria mengirim utusan disertai pemuda yang akan dijodohkan. Sulistyobudi (dalam Suwarno, 2006: 27). Namun, sekarang kegiatan nontoni sudah jarang dilakukan, bahkan tidak dilaksanakan karena peristiwa perjodohan anak oleh orangtua sangat jarang terjadi. Pada umumnya, pemuda dan pemudi sudah saling mengenal dan sudah mengenalkan diri kepada orangtua masing-masing, misalnya saling mengunjungi. Pemuda sering
40 kali hadir di kediaman pemudi. Pemudi diajak ke rumah pemuda sehingga secara tidak langsung calon menantu sudah diperkenalkan kepada calon mertua. 3. Nglamar Sebelum upacara perkawinan dilaksanakan, terlebih dahulu orangtua pihak pria mengadakan lamaran (pinangan) kepada orangtua pihak putri (besan). Lamaran merupakan suatu upaya penyampaian permintaan untuk memperistri seorang putri Bratasiswara (dalam Suwarno, 2006: 28). Nglamar bermaksud meneruskan pembicaraan pada waktu nontoni. Karena sudah ada kemantapan dari pihak laki-laki dan perempuan yang dilihat cukup memenuhi persyaratan untuk diambil menantu, maka dilanjutkan dengan upacara nglamar (Noviana, 2007: 11). Pola pinangan secara formal yang benar menurut kejawen terdiri dari tiga tahap. Pertama-tama, semacam perundingan penjajakan yang dilakukan oleh seorang teman atau saudara si pemuda, dengan maksud menghindari rasa malu apabila ditolak. Tahap kedua, sekurang-kurangnya dengan suatu jamuan yang serba basa-basi, kunjungan resmi pemuda tersebut ke rumah si gadis yang disertai ayah atau sanak saudaranya yang lain. Kunjungan ini dinamakan nontoni, ’melihat-lihat’, tujuannya untuk memberi kesempatan bagi orangtua kedua belah pihak untuk saling menilai secara tradisional, dan bahkan sekarang pun masih sering terjadi, bakal mempelai itu belum saling kenal maka saat inilah salah-satunya kesempatan bgi mereka untuk menaksir. Pinangan resmi kepada seorang gadis dapat terjadi sebelum ataupun sesudah si pemuda melihatnya. Orangtua sang pemuda berkunjung ke orangtua pemudi, atau mengirim seorang utusan atau mengirim sehelai surat. Biasanya pinangannya dinyatakan bahwa mereka bermaksud menjadi besan bagi orangtua pemudi itu.
41 Perundingan pinangan dapat diselenggarahkan dengan cara yang sangat resmi, penuh dengan tata cara dan njelimet, tetapi juga dapat dengan cara sederhna dan lugas jika semua pihak yang bersangkutan merupakan teman lama dan sanak saudara. Pola yang formal itu lebih lazim berlaku di kalangan priyayi, yaitu kelas atas kota; sedangkan pola yang tidak lazim di kalangan petani di desa dan di kalangan kelas bawah kota (Childred Geertz, 1985: 65). Setelah ditentukan hari kedatangan. Keluarga laki-laki berkunjung ke keluarga perempuan dengan sekedar membawa peningset. Tanda pengikat guna meresmikan adanya lamaran dimaksud, sedangkan peningsetnya yaitu 6 (enam) kain batik halus bermotif loreng yang mana tiga buah berlatar dasar aneka, serta 6 (enam) sedangkan pelangi berbagai warna dan 2 (dua) cincin emas berinisial huruf depan panggilan calon pengantin berukuran jari pelamar dan yang dilamar (kelak dipakai hari perkawinan). Pengingset diletakkan diatas nampan dengan barang-barang tersebut dalam kondisi tertutup (http:// www. Google.com). Nglamar pada intinya adalah memohon agar anak perempuan diperbolehkan untuk diambil menantu. Jika lamaran pihak laki-laki diterima dengan baik, maka biasanya jawabannya diberikan pada saat pertemuan nglamar tadi. Namun jika lamaran ini ditolak, maka orang Jawa punya etika yang lebih halus untuk mengungkapkannya. Keluarga pihak perempuan minta waktu beberapa hari untuk mempertimbangkan dan memutuskan dengan mengemukakan berbagai alasan. Orang Jawa punya etika untuk tidak mempermalukan orang lain dihadapan umum (Noviana, 2007: 11). 4. Asok tukon Secara harafiah asok berarti memberi, tukon berarti membeli. Namun, secara kultural, asok tukon berarti pemberian sejumlah uang dari pihak keluarga calon
42 pengantin pria kepada calon pengantin wanita sebagai pengganti tanggung jawab orangtua yang telah mendidik dan membesarkan calon pengantin wanita Bratisiswara (dalam Suwarno, 2006:38). Tukon bukan jaul beli dalam perkawinan. Uang tukon dimaksud sebagai pengganti tanggung jawab pendidikan dan pemeliharaan gadis yang dikawinkan. Jumlah tukon tidak ditentukan atau tergantung kemampuan, walaupun ada yang beranggapan bahwa tukon merupakan kebanggaan keluarga. Maksudnya, orangtua wanita merasa bangga apabila mendapat tukon yang besar jumlahnya. Sebaliknya, orangtua calon pengantin pria juga merasa bangga apabila dapat memberikan tukon yang besar jumlahnya. 5. Ningseti Ningseti dalam bahasa Indonesia artinya mengencangkan tali ikatan. Bila lamaran diterima, pada hari yang disepakati keluarga pihak laki-laki datang lagi kerumah pihak perempuan. Maksud kedatangan untuk menyerahkan beberapa barang penyerahan (peningset) sebagai bukti bahwa anak perempuan tersebut akan dijodohkan. Dengan peningset ini hubungan sudah menjadi setengah resmi dan terikat dan tidak boleh dijodohkan dengan laki-laki lain. Namun demikian belum diperbolehkan berkumpul layaknya orang rumah tangga. Tujuan peningset adalah agar calon suami istri tidak berpaling pada pilihan lain. Susilanti (dalam Suwarno, 2006: 39). Pada saat pertemuan penyerahan untuk menyerahkan peningset, biasanya dibicarakan juga hari perkawinannya. Dalam adat Jawa, yang mempunyai hajat mengawinkan adalah pihak orang tua perempuan, sehingga hari yang baik untuk perkawinan biasnya ditentukan pihak orang tua pengantin perempuan. Jika tidak ada halangan yang luar biasanya pentingnya,
43 biasanya pihak laki-laki hanya menyetujui saja hari yang disodorkan oleh orang tua anak perempuan (Noviana, 2007: 11). 5. Sanggan Srah-srahan Bratasiswara (dalam Suwarno, 2006: 47) srah-srahan adalah upacara penyerahan barang-barang dari pihak calon pengantin pria kepada calon pengantin wanita dan orangtuanya sebagai hadiah atau bebana menjelang upacara panggih. Srahsrahan merupakan acara yang tidak baku, tetapi hanya sebagai nepa palupi atau melestarikan adat budaya yang telah berjalan dan dipandang baik. Srah-srahan hanya merupakan acara tambahan dalam acara mantu. Srah-srahan ini sering disatukan dengan penyerahan jenis barang-barang yang ada hubungannya dengan perkawinan seperti peningset dan tukon. Masa pertunangan biasanya pendek saja. Terkadang sekedar dua hari, jarang lebih dari sebulan. Menurut adat, ketika persetujuan tercapai, pemuda memberikan suatu hadiah bagi pemudinya; dan nanti, pada saat upacara perkawinan, memberikan sesuatu yang lain lagi. Hadiah-hadiah ini walaupun bisa diserah terimakan oleh orangtua laki-laki kepada orangtua perempuan sebagai wakil pasangan baru tersebut bukan harga pengantin bukan pula mas kawin, melainkan sebuah pertanda bahwa persetujuan telah tercapai. Hadiah atau hadiah-hadiah yang diberikan sebelum perkawinan itu bisa mahal bisa pula murah, bergantung kepada adat kebiasaan yang ada pada kelompok maasyarakat, tempat pasangan itu hidup (Childred Geertz, 1985: 65). Selain peningset pihak keluarga pihak laki-laki juga menyerahkan sanggan srah-srahan (beberapa macam barang untuk diserahkan). Tujuan penyerahan srahsrahan untuk membantu meringankan beban calon besan waktu hajatan.
44 Secara tradisi, hadiah sangat mahal berupa beberapa sapi dan beberapa perabot rumah tangga yang berat atau semacamnya dapat diserahkan kira-kira seminggu sebelum perkawinan. Inilah yang dinamakan sasrahan, yang secara harfiah berarti ”sesuatu yang diserahkan”, dan biasanya tidak pula dikembalikan apabila perkawinan itu tidak langgeng. Dewasa ini hadiah yang mahal-mahal demikian jarang diadakan, kecuali oleh sementara penduduk desa yang kaya (Childred Geertz, 1985: 65-67). Beberapa prosesi perkawinan priyayi (www.indonesiabrides.com). antara lain: 1. Majang Majang artinya menghias. Dalam rangkaian upacara perhelatan perkawinan. Majang berarti menghias rumah pemangku hajat. Tempat-tempat yang dipajang antara lain: (a). depan rumah dengan dipasang tratag (bangunan sementara atau tambahan yang terbuat dari atap dekli atau seng dengan penyangga bambu, kayu, rangkaian besi permanent); berguna untuk tempat duduk tamu; (b). kamar pengantin yang di sebut pasren penganten. Majang didukung penyiapan kediaman pemangku hajat, misalnya rumah dan pagar dicat kembali sehingga tampak baru. Kebun dan perkarangan dibersihkan, taman dirapikan sehingga tampak Indah. Hiasan gambar, foto, dan seisi rumah ditata sehingga rapi dan enak dipandang. 2. Tarub Menurut Adrianto (dalam Suwarno, 2006: 75) tarub di lingkungan keratin Yogyakarta diartikan sebagai suatu atap sementara di halaman yang dihias dengan janur melengkung pada tiangnya dan bagian tepi tarub untuk perayaan pengantin. Tarub terbuat dari anyaman blarak (daun kelapa) untuk keperluan sementara atap tambahan. Tarub melambangkan kumpulan orang banyak secara bersama-sama
45 melakukan suatu pekerjaan untuk membantu penyelenggaraan perhelatan mantu (pernikahan). 3. Tuwuhan Tuwuhan merupakan pajangan mantu (perkawinan) yang berupa paduan batang buah daun tertentu di gapura tarub depan rumah. Pemasangan tuwuhan dilakukan secara berurutan, yakni mjang, tarub, dan tuwuhan. Pasang tuwuhan dilaksanakan oleh orang yang berpengalaman, yakni orang yang dapat melakukan dan memilih tuwuhan (tumbuhan) yang dipajang sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat tercakup semuanya (Suwarno, 2006: 79). ( Suwarno, 2006: 28) tuwuhan melambangkan hal-hal berikut: (a). pengharapan akan kemakmuran; (b). semangat hidup baru (tuwuh = tumbuh ) yang terus tumbuh; pengantin mulai tumbuh kehidupan baru, membangun rumah tangga, tumbuh tanggung jawab, tumbuh pikiran demi kecekupan kebutuuhan hidup, dan tumbuh sikap mandiri; (c). hidup dan kehidupan; tumbuh-tumbuhan yang dipasang masih segar melambangkan kehidupan yang senantiasa tumbuh dan berkembang; (d). harapan bahwa hidup pengantin akan berkembang menuju kebahagiaan; (e). harapan keharmonisan dan keindahan hidup perkeluarga seperti harmoni dan keindahan berbagai tuwuhan yang dipasang pada tarub; (f). harapan bahwa pengantin akan segera diberi keturunan yang dapat mengembangkan keluarga. (Suwarno, 2006: 28) pemasangan tuwuhan bertujuan: (a). menciptakan suasana Indah, serasi, dan menyejukkan; (b). menyambut kehadiran keluarga baru (pengantin baru) dengan harapan yang Indah yang tercermin dalam berbagai tumbuhan; (c). menyambut kehadiran ntamu dan sanak saudara dengan keramahan dan kesejukkan; (d). menyambut berkah Tuhan Yang Mahaesa bagi pengantin baru dengan doa dan syukur (Bratasiswara dalam Suwarno, 2006: 81).
46 3. Disengker. Sudaryanto & Pranowo (dalam Suwarno, 2006: 95). Sengkeran berasal dari kata sengker yang artinya dipingit. Sengkeran adalah pengamanan sementara bagi calon pengantin putra dan putri sampai upacara panggih selesai. Bratasiswara (dalam Suwarno, 2006: 95). Pengantin ditempatkan di lingkungan atau tempat khusus yang aman dan tidak diperkenankan meninggalkan lingkungan sengkeran. Sengkeran dilakukan menjelang hari penikahan. Pada zaman dahulu, sengkeran dilakukan selama 40 hari. Tujuan sengkeran adalah untuk mempersiapkan diri secara fisik (pangadining sarira-membentuk kecantikan diri dan kesehatan) Ariani (dalam Suwarno, 2006: 95). 4. Siraman Siraman adalah upacara mandi kembang bagi calon pengantin wanita dan pria sehari sebelum upacara panggih. Siraman juga disebut adus kembang, karena air yang digunakan dicampur dengan kembang sritaman. Sri artinya raja, taman artinya tempat tumbuh. Jadi, sritaman berarti dipilih bunga khusus (rajanya bunga), yaitu bunga mawar, melati, dan kenanga. Siraman juga dipamor. Air mandi yang digunakan siraman merupakan perpaduan (pamoring) air suci dari berbagai sumber air, dicampur (diwor) menjadi satu. Selain itu, siraman juga merupkan awal pembukaan pamor (aura)agar wajah calon pengantin tampak bercahaya (Suwarno, 2006: 99). Sebelum air dimandikan pada calon pengantin laki-laki dan perempuan air itu sudah diberi mantra-mantra oleh juru sembaga (dukun manten). Ada tujuh pitulungan (penolong) yang melakukan proses siraman. Airnya merupakan campuran dari kembang setaman yang disebut banyu perwitosari yang jika memungkinkan diambil dari tujuh mata air (www.indonesiabrides.com). Upacara siraman ini dipimpin oleh dukun manten, dalam bahasa Jawa di sebut sembaga.
47 Upacara adat siraman ini biasanya dilakukan di tempat khusus dengan hiasan dengan sangat indah. Satu persatu para orang tua menyiramkan air siraman ke tubuh calon pengantin perempuan dengan berdoa dalam hati semoga calon pengantin dapat mengikuti prosesi pernikahan dengan selamat dan kelak dapat membangun rumah tangga yang baik. Yang terakhir menguyur air sekar setaman ke tubuh calon pengantin perempuan adalah juru sembaga dengan air dalam kendhi. Selanjutnya ayah calon pengantin perempuan membanting kendhi tersebut sampai pecah dengan mengucapkan doa yang kira-kira bunyinya sebagai berikut “niat ingsun ora mecah kendhi, nanging mecah pamore anakku”artinya niat saya bukan memecah kendhi, tetapi memecah pamornya anak saya (Noviana, 2007: 13). 5. Dodol Dawet Dodol dawet maksudnya bapak dan ibu calon pengantin perempuan menjual dawet. Pembelinya adalah para tamu yang diundang, para tetangga, dan sanak keluarga. Zaman dulu, uang yang digunakan dari pecahan genting, tetapi dengan kreasi oleh para seniman telah dihasilkan koin yang terbuat dari tembikar (tanah liat yang dibakar) dan dihiasi nama calon pengantin laki-laki dan perempuan. Upacara adat atau ritual ini mengandung doa atau permohonan kepada yang kuasa agar besok pada saat pelaksanaan upacara pernikahan atau resepsi nanti banyak tamu yang berdatangan memberi doa restu. Setelah dawet terjual dawet terjual habis, dan tamu-tamu pamit pulang, uang koin hasil penjualan diberikan kepada calon pengantin perempuan yang telah mengunggu didalam kamar. Pemberian ini sebagai lambang pemberian terakhir dari orang tuanya, karena selanjutnya tugas memberikan kesejahteraan akan diambil alih oleh calon suaminya nanti (Noviana, 2007: 13).
48 6. Upacara Ngerik Marmien Sardjonno Yosodipuro (dalam Suwarno, 2006: 419) menguraikan bahwa upacara adalah menghilangkan bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar dahi agar tampak bersih dan wajahnya menjadi bercahaya. Upacara ngerik dimaksudkan untuk membuang rasa sial (sebel). Rambut pengantin putri dikeringkan kemudian diasapi dengan ratus/dupa wangi. Perias mulai merias calon pengantin, wajahnya dirias dan rambutnya digelung sesuai dengan pola upacara perkawinan yang telah ditentukan. Sesudah pengantin didandani dengan kebaya yang bagus yang telah disiapkan dan kain batik motif sidomukti dan sidoasih, melambangkan dia akan hidup makmur dan dihormati oleh sesama. Malam itu, ayah dan ibu calon mempelai putri memberikan suapan terakhir kepada putrinya, karena mulai besok, dia sudah berada dibawah tanggung jawab suaminya. Sesaji untuk ngerik sama dengan sesaji siraman. Jadi untuk praktisnya, seluruh sesaji siraman dibawa masuk kekamar pelaminan dan menjadi sesaji untuk ngerik (http://jagadkejawen.com). 7. Jonggolan Sebagaimana diuraikan oleh Bratasiswara (dalam Suwarno, 2006: 123) jonggolan adalah kehadiran calon pengantin pria ke kediaman keluarga pihak putri (calon pengantin wanita). Jonggolan dilakukan pada waktu malan sehari sebelum upacara pernikahan atau panggih. Calon pengantin pria diantar sanak saudaranya ke tempat calon besan memiliki beberapa makna, antara lain: (1). Sebagai tanda bahwa kedua calon pengantin betul-betul siap untuk dinikahkan; (2). Membantu petugas untuk memudahkan pemeriksaan perlengkapan perkawinan sehingga acara selanjutnya dapat berjalan lancar; (3). Membuat keluarga pihak putri dan calon pengantin tenang dan mantap untuk upacara selanjutnya karena tidak ada yang perlu
49 dikhawatirkan; (4). Untuk nyanti, yakni calon pengantin pria diberikan arahan tenang bekal pernikahan dan berbagai upaya cara panggih, sera bekal hidup berumah tangga. 8. Tantingan Tantingan disebut juga panuntunan, yakni upacara untuk menanyakan tentang kesediaan calon pengantin wanita untuk dinikahkan dengan calon pengantin pria. Tantingan ini dilakukan untuk mendapat kepastian terakhir tentang kesediaan calon pengantin wanita untuk dinikahkan (Suwarno, 2006: 124). Upacara tantingan dilatarbelakangi oleh proses perjodohan zaman dahulu. Pada zaman dahulu, perjodohan dilakukan oleh orangtua. Oleh karenanya, kedua calon pengantin sering belum saling mengenal, dan baru kenal ketika menjadi pengantin, kenal lebih dalam ketika di upacara krobongan dan dipajang di pelaminan dari pagi hingga malam. ` 9. Ngapeman Dikaraton Ngayogyakarta, sebelum malam midodareni Sri Sultan Hamangubuwono X dan permaisuri dibantu oleh beberapa putri karaton dan wanita abdi dalem, membuat kue apem di Bangsal Keputren (http://jagadkejawen.com). 10. Midodareni Midodareni adalah upacara untuk mengharapkan berkah Tuhan Yang Mahaesa agar memberikan keselamatan kepada pemangku hajat pada perhelatan hari berikutnya. Secara khusus, pemangku hajat mengharapkan turunnya wahyu kecantikan bagi calon pengantin wanita sehingga kecantikannya diibaratkan bidadari dalam Suwarno, 2006: 133). Dalam hal ini berkaitan dengan sebuah legenda “Ki Jaka Tarub”tepat tengah malam Dewi Nawangwulan (istri Jaka Tarub) akan turun dari khayangan untuk memberikan berkah pangestu dan menambah kecantikan kepada penganti perempuan, sehingga laksana bidadari widodari.
50 Pada zaman sekarang, acara midodareni berubah sedikit menjadi acara pertemuan keluarga dari pengantin laki-laki dengan keluarga calon perempuan disertai secara resmi berupa penyerahan barang-barang (sanggahan srah-srahan) sebagai upaya bantuan diadakannya upacara adat besok harinya (Noviana, 2007: 14). Midodareni merupakan upacara yang cukup sakral. Pada siang harinya, kedua calon pengantin telah disirami, disuci raga dan jiwa, malam hari siap untuk menerima anugerah wahyu jodoh, dan mempersiapkan keesokkan harinya untuk dinikahkan. Pada malam itu juga dilaksanakan acara permohonan (doa) dengan tirakatan. Tirakatan merupakan cara berdoa menyampaikan permohonan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Pada akhir rangkaian tirakatan midodareni ada upacara wilujengan (upacara selamatan) (Suwarno, 2006: 134). (Suwarno, 2006: 135) adapun tujuan midodareni adalah sebagai berikut: (a) menunjukkan tekad bulat dan suci untuk siap menjalankan pernikahan; (b) pernyataan syukur kepada Tuhan karena telah siap untuk dinikahkan. Pernikahan anak merupakan kebahagian tak terhingga bagi orangtua; (c) permohonan kepada Tuhuan agar pelaksanaan acara berikutnya berjalan lancar dan selamat; (d) sebagai sarana menjalin kekerabatan, kerukunan, kekompakan bersama antara pemangku hajat, pinisepuh, sesepuh, dan kerabat tetangga; (e) meminta doa restu (bantuan) para hadirin agar perhelatan berjalan selamat dan lancar; (f) mempersiapkan berbagai kebutuhan dan acara hari berikutnya. Acara hari berikutnya merupakan acara inti, sacral, dan agung (yaitu pernikahan dan upacara panggih, resepsi). 12. Kembar Mayang Kembar artinya sama, mayang adalah bunga. Kembar mayang adalah sepasang bunga yang bentuknya sama khusus untuk upacara pengantin, kecuali pada upacara pengantin yang tidak menggunakan kembar mayang (Suwarno, 2006: 135).
51 13. Majemukan Majemuka adalah selamatan (rasulan) di malam midodareni (Bratasiswara dalam Suwarno, 2006: 140). Majemuka dilandaskan pada tengah malam dan diikuti para tamu yang akan hadir dalam tirakatan. Majemukan bertujuan: (1). Menyampaikan doa kepada Tuhan agar mengampuni segala dosa, dapat mengikuti untunan rasul, dan dapat meneladani para leluhur; (2). Menyampaikan permohonan kepada Tuhan agar pelaksanaan perhelatan hingga akhir berjalan dengan lancerdan selamat; (3). Menyampaikan permohonan kepada Tuhan agar semua pendukung acara diberikan kekuatan dan kesehatan; (4). Menjalin kekompakan, kebersamaan, dan kekerabatan dengan para amu dan tetangga. 13. Langkahan Langkahan ini dilakukan apabila yang dilamar masih mempunyai kakak, baik pria maupun wanita yang masih belum kawin. Upacara ini dilakukan agar adiknya yang akan kawin terlebih dahulu tidak menemui kesulitan dalam hidupnya dan kakaknya segera mendapatkan jodoh. Upacara langkahan ini dimaksudkan meminta izin dan mohon doa restu untuk mendahului kawin. Upacara ini dilakukan setelah upacara midodareni atau sebelum akad nikah. (Suwarno, 2006: 273) upacara langkahan memeiliki beberapa makna dan tujuan sebagai berikut: a. memohon doa restu kepada kakak calon pengantin karena akan melaksanakan pernikahan terlebih dahulu. b. Menunjukkan kebesaran jiwa sang kakak (yang dilangkahi) untuk rela (lila legawa) jika adiknya menikah menikah terlebih dahulu; perjodohan merupakan rahasia Tuhan. c. Pernyataan hormat dan bakti adik kepada kakaknya, maka calon pengantin meminta izin kepada kakaknya untuk menikah lebih dahulu. d. Pernyataan kasih sayang kakak kepada adik, maka kakaknya mengizinkan dan mendoakan adiknya yang akan menikah terlebih dahulu, semoga bahagia. e. Menunjukkan kepada kerabat bahwa dalam keluarga tumbuh suasana saling mengasihi, menyayangi, dan menghormati.
52 Pada upacara adat langkahan ada tiga acara yang harus diikuti yaitu sabetan lalu putus lawe, kemudian sungkeman. Sabetan yaitu kakak pengantin mengambil lidi sebanyak disabetkan kepundak calon pengantin sebanyak tiga kali, sebagai menyebetkan lidi ke pundak adiknya (pengantin perempuan), kakaknya berdoa berdoa dalam hati semoga kesalahan adiknya diampuni yang maha kuasa dan kelak rumah tangganya bahagia selamanya. Lidi tujuh batang melambangkan hari-hari biasanya, dan benang lawe helai melanmbangkan hari-hari (pasaran) Jawa. Putus lawe ini dilakukan apabila kakak dari pengantin perempuan adalah lakilaki. Biasanya ini dilakukan dengan pemotongan dengan menggunakan keris kecil atau gunting untuk memotong benang lawe yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Acara ini melambangkan bahwa kakaknya telah ikhlas mengizinkan adiknya untuk mendahului kawin. Sungkeman ini dilakukan dikamar pada saat pengantin masih menggunakan busana pengantin. Calon pengantin lalu menyembah pada kakaknya dengan mengucapkan kata-kata sebagi berikut : “kang mas atau mbakyu, saya akan kawin dahulu.untuk itu saya mohon izin mendahului kang mas atau mbakyu, serta mohon doa restu, agar rumah tangga yang akan saya bangun dapat selamat dan bahagia selamanya. Saya juga mendokan agar kang mas atau mbakyu segera mendapat jodoh yang dinginkan”. Dan kakaknya menjawab “iya adikku, saya izinkan engkau kawin lebih dulu, semoga rumah tanggamu tentram, bahagia, dan sejahtera. Terimah kasih atas doamu semoga saya juga segera mendapat jodoh juga”. Dilanjutkan dengan pemberian cendera mata kepada kakaknya berupa apa saja sesuai kemampuan biasanya berupa busana lengkap seprei kopiah, baju, sarung, celana, dan sepatu atau sandal.
53 13. Nyantri Sewaktu rombongan keluarga temanten pria pulang dari upacara midodareni, calon penganten pria juga ikut diajak pulang. Tetapi, bila calon mempelai pria nyantri, maka dia ditinggal dirumah calon mertuanya. Tentu nyantri sebelumnya sudah dibicarakan dan disetujui kedua pihak. Tata caranya: Orang tua calon mempelai pria melalui jurubicara keluarga mengatakan kepada orang tua calon mempelai wanita, bahwa calon mempelai pria tidak diajak pulang dan menyerahkan tanggung jawab kepada orang tua calon mempelai putri. Setelah keluarganya pulang, ditengah malam dia dipersilahkan masuk rumah untuk makan, tidak boleh ketemu calon istrinya dan sesudah itu diantar kekamar tidur untuk beristirahat. Nyantri dilaksanakan untuk segi praktisnya, mengingat besok pagi dia sudah harus didandani untuk pelaksanaan ijab kabul/pernikahan. Juga untuk keamanan pernikahan, kedua calon mempelai sudah berada disatu tempat (http://jagadkejawen.com). 14. Maskawin (mahr) dan Pemberian Lainnya Pada setiap upacara Perkawinan, Undang-Undang Islam mewajibkan pihak laki-laki untuk memberikan maskawin. Pemberian ini dapat dilakukan secara tunai atau cicilan yang berupa uang, atau barang, atau uang bersamaan dengan barang. Kebiasaan memberikan maskawin dalam bentuk uang dan barang ini merupakan kebiasaan yang lazim dilakukan di Negeri ini, mengingatkan kuatnya pengaruh adat setempat. Sebagai contoh, maskawin yang diberikan berupa sejumlah uang tertentu ditambah dengan sehelai songket atau bentuk cincin merupakan hal yang lazim pada setiap perkawinan di kalangan orang melayu di Negeri ini. Jumlah dan bentuk maskawin akan disebutkan secara rinci pada waktu akad nikah dilangsungkan, sedangkan penyerahannya dilakukan di hadapan orang yang akan melaksanakan
54 perkawinan dengan disaksikan oleh dua orang. Orang yang akan mengupacarakan perkawinan yang merupakan pegawai pendaftar kemudian akan mencatat: a. besar serta bentuk maskawin itu, b. besarnya pemberian yang lain, c. besarnya maskawin itu atau pemberian lainnya yang dijanjikan akan dibayar, d. jaminan bagi dibayarnya maskawin atau pemberian yang telah di janjikan. Tentang besarnya maskawin tidak ditentukan secara pasti; semuanya diserahkan kepada pihak-pihak yang akan kawin. Biasanya dalam hal ini pun terdapat perpaduan di antara agama Islam dan adat setempat. Beberapa faktor turut berperan dalam menentukan besarnya maskawin ini, yang status sosial orang tua mempelai perempuan, pendidikan, dan lain-lain (Rasjidi, 1991: 42). 16. Akad Nikah Upacara akad nikah, harus sesuai waktu yang baik yang tidak dihitung berdasarkan primbon Jawa. Biasanya acaranya dipagi hari. Walau akad nikah adalah sah secara hukum tetapi dalam kenyataannya masih banyak perhatian orang terpusat pada upacara temu yang terkadang menganggap sebagai bagian terpenting hari perayaan perkawinan. Padahal sebetulya peristiwa terpenting bagi calon pengantin adalah saat pemasangan cincin kawin yang setelah itu penghulu menyatakan bahwa mereka sah sebagai suami istri (http:// www. Google.com). Ijab adalah hal paling penting untuk melegalisir sebuah perkawinan. Ijab atau perkawinan dilaksanakan sesuai dengan agama yang dianut kedua pengantin, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu. Perkawinan diakui sah oleh Negara sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (http://jagadkejawen.com).
55 Akad nikah atau ijab qobul merupakan kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh warga Negara yang akan kawin. Orang Jawa juga menghormati hukum Negara, dan menganggap perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pejabat dari kantor urasan agama sebagai wakil Negara. Pelaksanaan akad nikah ini dilakukan dikantor urusan agama bagi warga yang beragama muslim dan kantor pencatatan sipil bagi komunitas nonmuslim. Jika akad nikah dilakukan di rumah yang punya hajat, maka waktunya sebelum upacara ada berlangsung. 17. Upacara Panggih Upacara panggih yaitu tradisi pertemuan antara pengantin pria dan wanita. Acara panggih dilaksanakan setelah ijab atau akad nikah (bagi pemeluk agama Islam) atau sakramen bagi pemelukagama Nasrani (kristen dan katolik). Acara tersebut dilaksanakan secara berurutan dan tidak boleh dibalik (Suwarno, 2006: 189). (Suwarno, 2006: 135) upacara panggih merupakan upacara puncak bagi tradisi perkawinan Jawa dan penuh kehormatan. Tanda-tanda kehormatan antara lain: a) Tempat duduk pengantin dipersiapkan secara khusus. b) Pengantin bak raja sehari dengan pakaian kebesaran bagai seorang raja. c) Pada acara panggih para tamu dimohon berdiri memberikan penghormatan jalannya upacara panggih. d) Jalannya upacara panggih diiringi gendhing-gendhing yang khusus untuk pelaksanaan panggih. e) Selama panggih tidak boleh disisipi acara lain, baik hidangan maupun hiburan. f) Upacara panggih dilaksanakan seara agung dan khidmat. (Suwarno, 2006: 190) upacara panggih bertujuan: (a) Untuk memperoleh pengukuhan secara adat atas perjodohan dua insan yang sudah terikat tali pernikahan; (b) Untuk memperkenalkan kepada khayalak (masyarakat) tentang terjadinya perkawinan sekaligus mendapatkan pengakuan secara adat; (c) Untuk mendapatkan doa dan restu pada sesepuh dan semua tamu yang hadir. Upacara akad nikah, harus sesuai waktu yang baik yang tidak dihitung berdasarkan primbon Jawa. Biasanya acaranya dipagi hari. Walau akad nikah adalah
56 sah secara hukum tetapi dalam kenyataannya masih banyak perhatian orang terpusat pada upacara temu, yang terkadang menganggap sebagai bagian terpenting hari perayaan perkawinan. Padahal sebetulya peristiwa terpenting bagi calon pengantin adalah saat pemasangan cincin kawin yang setelah itu penghulu menyatakan bahwa mereka sah sebagai suami-istri. Usai akad nikah dilakukan upacara panggih, pertemuan antara pengantin wanita yang cantik dengan pengantin laki-laki yang tampan didepan rumah yang dihias dengan taman tarub. Pengantin laki-laki diantar oleh keluarga dekatnya (tetapi bukan orang tuanya karena mereka tidak boleh berada selama upacara), tiba dirumah dari orang tua pengantin wanita dan berhenti didepan pintu gerbang. Pengantin wanita, diantar oleh dua wanita yang dituakan, berjalan keluar dari kamar pengantin. Orang tuanya dan keluarga dekatnya berjalan dibelakangnya. Di depan dua puteri disebut patah, dengan membawa kipas. Dua wanita dituakan atau dua putera membawa dua kembar mayang yang tingginya sekitar satu meter atau lebih. Satu orang wanita dari keluarga pengantin laki-laki berjalan keluar dari barisan dan memberi sanggan ke ibu pengantin perempuan, sebagi tanda dari penghargaan kepada tuan rumah dari upacara. Dimana kembang mayang dibawa keluar rumah dan diletakkan dipersimpangan dekat rumah yang tujuannya untuk mengusir roh jahat. Selama upacara panggih, pemaes, menjadi pemimpin dari upacara, memberi piring ke pengantin wanita (dengan nasi kuning, dadar telur, tahu, tempe, abon dan hati ayam). Pertama, pengantin laki-laki membuat tiga bulatan ecil dari nasi dengantangan kanannya dan diberinya ke pengantin wanita. Setelah pengantin wanita memakannya, dia melakukan sama unuk suaminya. Setelah selesai, mereka minum teh manis. Upacara itu melukiskan bahwa pasangan akan menggunakan dan menikmati hidup bahagia satu sama lainnya.
57 18. Balang Suruh Kedua pengantin bertemu dan berhadapan langsung pada jarak sekitar dua atau tiga meter, keduanya berhenti dan dengan sigap saling melempar ikatan daun sirih yang diisi dengan kapur sirih dan diikat dengan benang. Ini yang disebut ritual balangan suruh. Kedua pengantin dengan sungguh-sungguh saling melempar sambil tersenyum, diiringi kegembiraan semua pihak yang menyaksikan. Menurut kepercayaan kuno, daun sirih punya daya untuk mengusir roh jahat. Sehingga dengan saling melempar daun sirih, kedua pengantin adalah benar-benar pengantin sejati, bukan palsu. Melempar daun sirih yang melambangkan cinta kasih dan kesetiaan (http://jagadkejawen.com). 19. Wijidadi Pengantin laki-laki mengijak telur dengan kaki kanannya. Pengantin perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki dengan mengggunakan air dicampur dengan bermacam bunga. Itu melukiskan bahwa pengantin laki-laki siap untuk menjadi ayah yang bertanggung jawab dan pengantin perempuan akan setia melayani setia suaminya (www.indonesiabrides.com). Acara ini melambangkan harapan orang Jawa agar pengantin berdua pecah pikirnya, untuk berkarya, bekerja dan bertanggung jawab dalam membangun keluarga yang sejahtera lahir dan batinnya. 20. Sindurbinayang Setelah upacara wiji dadi, ayah pengantin perempuan mengantar pasangan pengantin ke kursi pengantin, ibu pengantin perempuan menutup pundak pasangan pengantin dengan sidur. Itu berarti bahwa ayah akan menunjukkan jalan kebahagiaan. Ibu memberi dorongan moral (www.indonesiabrides.com).
58 Acara ini menggambarkan doa orang Jawa agar kelak pengantin berdua dalam menjalani kehidupan keluarga penuh dengan kehati-hatian, perhitungan, cermat dan hemat. Sedangkan ibu yang mengiringi dari belakang sambil memegang bahu mereka diibaratkan sebagai dorongan bahwa jika nanti menemui cobaan atau kesusahan dalam rumah tangga tidak putus asaan tetapi tetap bersemangat memperbaiki kembali. 21. Upacara Sungkeman Sepasang pengantin melakukan sungkem kepada kedua belah pihak orang tua. Mula-mula kepada orang tua pengantin wanita kemudian kepada orang tua pengantin pria. Sungkem adalah merupakan bentuk penghormatan tulus kepada orang tua dan pinisepuh. Pada waktu sungkem (menghormat dengan posisi jongkok, kedua telapak tangan menyembah dan mencium lutut yang di-sungkemi), keris yang dipakai pengantin pria dilepas dulu dan dipegangi oleh perias, sesudah selesai sungkem, keris dikenakan kembali. Orang tua dengan haru menerima penghormatan berupa sungkem dari putra putrinya dan pada waktu yang bersamaan juga memberikan restunya supaya keduanya menempuh hidup rukun, sejahtera. Orang tua pengantin sudah memberikan restu yang dilambangkan dari kain batik yang dikenakan yang polanya truntum artinya miliki rejeki yang cukup selama hidup. Kedua orang tua menggunakan ikat pinggang besar yang namanya sindhur dengan pola gambar dengan garis yang melekuk-lekuk, artinya orang tua mewanti-wanti kedua anaknya supaya selalu bertindak hati-hati, bijak dalam menjalani kehidupan nyata didunia ini (http://jagadkejawen.com).
59 22. Timbang Kedua pasangan pengantin duduk diatas pangkuan ayah dari pengantin wanita, sementara dia bicara bahwa mereka sama beratnya, berarti cinta mereka sederajat. Disebut timbang karena kasih sayang orang tua sama beratnya meskipun yang satu hanya anak menantu tetapi sudah dianggap anak sendiri. 23. Tanem Ayah pengantin wanita mendudukan pasangan pengantin ke kursi pengantin. Itu melukiskan bahwa ayah pengantin wanita menyetujui perkawinan. 24. Tukarkalpika Pertukaran cincin pengantin simbol dari tanda cinta 25. Kacar kucur/Tampakaya Sadila (dalam Suwarno, 2006: 197) kacar kucur/Tampakaya melambangkan seorang suami yang tidak curang, semua hasil jerih payahnya diperuntukkan bagi keluarga, istri harus pandai mengatur ekonomi rumah tangga. Pasangan pengantin berjalan bergandengan tangan dengan jari kelingking ke tempat upacara kacar kucur atau tampakaya. Pengantin perempuan mendapat dari pengantin laki-laki beberapa kedelai, kacang, padi, jagung, beras kuning, jamu dlingo bengle, bunga, dan beberapa mata uang yang berbeda nilainya (jumlah dari mata uang harus genap). Itu melukiskan bahwa suami akan memberi semua gajinya ke istrinya. Pengantin perempuan sangat berhati-hati dalam menerima pemberiannya didalam kain putih, diatas tikar yang sudah diletakkan dipangkuannya. Dia akan mengurus dan menjadi ibu rumah tangga yang baik.
60 26. Dahar Kalimah/Dahar Kembul Pasangan pengantin makan bersama dan menyuapi satu sama lain. Acara ini menggambarkan tekad pengantin berdua, bahwa berat dan ringannya kehidupan berkeluarga akan dihadapi dan dipikul bersama. 27. Bubak Kawah Bubak kawah adalah membuka jalan mantu atau mantu yang pertama Sudaryanto & Pranowo (dalam Suwarno, 2006: 275). Sutawijaya & Yatma (dalam Suwarno, 2006: 275) menyatakan bahwa bubak kawah adalah upacara adat yang dilaksanakan ketika orangtua mantu pertama atau terakhir. Suwarno (2006: 276) tujuan dan makna bubak kawah adalah sebagai berikut: a. Pernyataan syukur kepada Tuhan bahwa telah dapat mengawali mantu. b. Permohonan kepada Tuhan agar penagntin diberikan kekuatan, kesegaran jasmani dan rohani, ayem tentrem. c. harapan agar pengantin dikaruniai anak. d. menunjukkan tanggung jawab orangtua terhadap putrinya. Walaupun susah payah untuk melaksanakan perhelatan, tetapi badan dan pikiran tetap segar bugar sepoerti segarnya rujak degan. e. menunjukkan kepada kerabat amu bahwa perhelatan mantu yang pertama. Ayah pengantin putri sesudah upacara Panggih minum rujak degan/ kelapa muda didepan krobongan. Lalu istrinya ikut mencicipi minuman tersebut sedikit dari gelas yang sama, diikuti anak menantu dan terakhir pengantin wanita. Bubak kawah merupakan perlambang permohonan supaya pengantin segera dikaruniai keturunan `(http://www.karatonsurakarta.com). 28. Tumplak Punjen Ritual tumplak punjen ini dilakukan oleh orang tua yang mengawinkan putrinya untuk terakhir kali. Tumplak artinya menuang atau memberikan semua, punjen adalah harta orang tua yang telah dikumpulkan sejak mereka berumah tangga.
61 Dalam ritual tumplak punjen orang tua berbahagia didepan krobongan, memberikan miliknya ( punjen) kepada semua anak-anak dan keturunannya. Secara simbolis kepada masing-masing diberikan sebuah bungkusan kecil yang berisi bumbu-bumbu, nasi kuning ,uang logam dari emas, perunggu dan tembaga dll. Dengan mengadakan tumplak punjen, orang tua ingin memberi teladan kepada anak keturunannya, bahwa mereka sudah purna tugas dan supaya generasi penerus selalu menyukuri karunia Tuhan dan mampu melaksanakan tugas hidupnya dengan baik dan benar (http://www.karatonsurakarta.com). 29. Resepsi Perkawinan Sesudah seluruh rangkaian upacara perkawinan selesai dilakukan resepsi, dimana kedua pengantin baru diapit kedua belah pihak orang tua menerima ucapan selamat dari para tamu. Dalam acara resepsi tamu dipersilahkan menyantap hidangan yang sudah disediakan sambil beramah tamah dengan kerabat dan kenalan. Ada kalanya, sebelum resepsi dimulai diadakan pementasan fragmen tari Jawa klasik yang sesuai untuk perkawinan seperti fragmen Pergiwo Gatotkaca atau tari Karonsih, yang melukiskan hubungan cinta kasih wanita dan pria (http://www.karatonsurakarta.com). 30. Ngunduh Mantu Boyong penganten dilaksanakan pada hari kelima setelah pengantin tinggal di kediaman orangtua pengantin wanita. Acara boyong penganten disebut sepasaran (sepeken) pengantin. Sepeken artinya lima hari. Pada hari kelima pengantin diboyong (dihadirkan/pindah) dari kediaman orangtua pengantin wanita ke kediaman pengantin pria. Istilah boyong penganten adalah ngunduh mantu (Suwarno, 2006: 257). Suwarno (2006: 135) beberapa tradisi yang dilakukan pada acara boyong penganten antara lain sebagai berikut:
62 1. pihak pria menerima kehadiran pengantin pria dan wanita beserta besan (orangtua pengantin wanita) dengan cara bersahaja, mengundang para tetua dan beberapa tamu tetangga. 2. ada pula yang menyelenggarakan resepsi ngunduh mantu
Upacara boyong penganten atau ngunduh mantu jatuh pada hari kelima (sepeken) setelah upacara pernikahan. Upacara boyong penganten mengandung makna, yakni orangtua kan “berpisah” anaknya (putrinya)karena harus membangun keluarga yang mandiri bersama suaminya. Pada hari kelima, pengantin diboyong ke kediaman pengantin pria. Tujuan upacara boyong penganten adalah sebagai berikut: 1. sebagai syukuran karena orangtua telah berhasil menikahkan anaknya. 2. memperkenalkan pengantin (wanita) dengan masyarakat sekitar, keluarga mempelai pria. 3. untuk mendapatkan pengakuan (legitimasi) secara adat. 4. menjalin persaudaraan. Orang Jawa khususnya Solo, yang repot dalam perkawinan adalah pihak perempuan, sedangkan pihak laki-laki hanya memberikan sejumlah uang guna membantu pengeluaran yang dikeluarkan pihak perempuan, diluar terkadang ada pemberian sejumlah perhiasan, perabot rumah maupun rumahnya sendiri. Selain itu saat acara ngunduh mantu (acara setelah perkawinan dimana yang membuat acara pihak laki-laki untuk memboyong istri ke rumahnya), biaya dan pelaksanaan adalah pihak laki-laki, walau biasanya sederhana (http://www.karatonsurakarta.com). E. Perbedaan Perkawinan Priyayi dengan Perkawinan Masyarakat umum. 1. Sengkeran a. Sengkeran di keraton Yogyakarta Sengkeran dilakukan menjelang hari pernikahan. Pada zaman dahulu, sengkeran dilakukan selama 40 hari. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan diri secara fisik, membentuk kecantikan dan kesehatan. Ariani (dalam Suwarno, 2006: 95). Sengkeran bertujuan untuk memberikan pembekalan mental dan berbagai nasihat
63 oleh sesepuh kepada calon pengantin dan menjaga keselamatan calon pengantin agar tidak ‘melarikan diri’, misalnya calon pengantin tidak mau dinikahkan. Pada zaman dahulu calon pengantin belum saling bertemu dan saling mengenal. Pada zaman sekarang sengkeran hanya dilakukan satu sampai dua hari menjelang pelaksanaan pernikahan, alasannya antara lain: a) Calon pengantin sudah saling mencinta. Perjodohan oleh orangtua sudah sangat jarang terjadi, walaupun mengkin masih ada. Orangtua tidak khawatir anaknya akan pergi. Bahkan pernikahan tersebut atas permintaan anaknya sendiri. b) Kesibukan calon pengantin karena pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan. c) Zaman semakin maju sehingga masalah kecantikan dapat dilakukan dengan cepat bersamaan dengan kegiatan merias. Calon pengantin sudah pandai sehingga dianggap perlu diberi wejangan pada waktu dan tempat khusus tenang berbagai ajaran berumah tangga karena dapat diperoleh dari berbagai sumber buku. Dilingkungan keraton Yogyakarta, calon pengatin pria dipingit dalem Kasatriyan, sedangkan calon pengantin wanita dipingit di Kedhaton Kilen. Ariani (dalam Suwarno, 2006: 96) menyebutkan urutan pingitan di keraton Yogyakarta sebagai berikut: a) GRAy Sindureja mengutus Abdi Dalem Kerapak dengan menggunakan sempuran, baju jangan cemeng dengan wedung keluar dari Kagungan Dalem Regol Kemagangan, kemudian siap memanggil calon pengantin putri dari pondokannya sendiri. Sesampai di keraton, calon pengantin putri digandeng ke Bangsal Sekar Kedhaton untuk dipasrahkan kepada GRAy Sindureja. Setelah dijamu dengan hidangan dan minuman, calon pengantin wanita ditempatkan di emper Kedhaton Kilen untuk disengker.
64 b) GBPH Prabuningrat mengutus untuk menjemput Gusti Bandara Pangeran di Kasatriyan. Busana yang dikenakan rasukan takwa, sedangkan para Gusti Bandara Pangeran lainnya mengenakan busana Peranakan dengn sindur dan semuanya tidak menggunakan celana (selop sandal). Setelah dijemput, calon pengantin pria dipasrahkan kepada GBPH Prabuningrat di Nggandri Kasatriyan. Calon pengantin dijamu dan selanjutnya disengker. b. Sengkeran pada umumnya atau masyarakat Umum Tata cara, waktu, dan tempat sengkeran dilakukan sebagai berikut: (a) Sengkeran bagi calon pengantin putri di tempat khusus (mirunggan), mulai sejak pemasangan tarub hingga upacara panggih; (b) Sengkeran bagi calon pengantin pria di ‘pondokan’ dilakukan sejak datang nyanti hingga upacara panggih, sengkeran kedua calon pengantin jauh terpisah. Pembatasan-pembatasan dalam sengkern bagi calon pengantin: (a) Tidak boleh meninggalkan lingkungan sengkeran (pergi ke luar); (b) Tidak boleh berurusan dengan pihak luar (keluar) yang tidak ada hubungannya dengan rancangan perkawinan; (c) Meninggalkan lingkungan sengkeran untuk keperluan acara perkawinan, seperti jonggolan dalam acara midodareni; (d) Tidak dilipatkan dalam urusan persiapan perkawinan; (e) Segala kebutuhan makan dan terkait dengan upacara perkawinan sudah ada yang mempersiapkan. Adakalanya, sengkeran diperpanjang hingga lima hari. Setelah panggih atau hingga acara boyongan pengantin. Selama menjadi pengantin baru sebelum boyongan pengantin tidak boleh pergi jauh.
65 2. tantingan a. upacara Tantingan di Keraton Yogyakarta Ali Murtolo (dalam Suwarno, 2006: 124) menguraikan bahwa menurut serat Triman bab Angramakaken Putra Dalem ing Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang terbit tahun 1933, upacara tantingan dilaksanakan pada malam midodareni. Pelaksanaan tantingan adalah sebagai berikut: 1) Abdi Dalem penghulu dibantu dua ketib (pembantu penghulu) sudah siap di Bangsal Sri Panganti untuk menghadap Ngarsa Dalem Sultan tepat pukul 20.00. 2) Lurah Keparak dan Jawi (Lurah Abdi Dalem Wanita bagian luar) menghadap Sultan untuk menyampaikan bahwa segala sesuatunya sudah siap. 3) Ngarsa Dalem kemudian menuju Dalem Traju Tresna. Setelah Ngarsa Dalem duduk, Kyai Penghulu menghadap Sultan. 4) Sultan bertitah supaya calon pengantin wanita menghadap, kemudian mendapatkan perintah tantingan. 5) Calon pengantin putri tanpa mengeluarkan kata-kata menghaturkan sembah. Hal tersebut menandakan calon pengantin wanita bersedia untuk menikah. Apa yang disampaikan oleh Ngarsa Dalem Sultan adalah sabda atau titah sehingga calon pengantin hanya siap melaksnakan. 6) Setelah menyampaikan sembah, calon pengantin wanita, penghulu, dan ketib mundur. Selesai. b. Tantingan di Luar Keraton atau masyarakat Umum Keraton Yogyakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa sehingga segala yang terjadi di keraton, diikuti oleh kawula (rakyat). Tata cara, upacara pengantin, dan busana pengantin juga mengikuti perkembangan di keraton. Demikian juga, secara tantingan di masyarakat umum mencontoh yang terjadi di keraton walaupun ada
66 pengembangan atau perubahan. Pelaksanaan tantingan di kalangan masyarakat umum adalah sebagai berikut: 1) Upacara tantingan dilaksanakan di kamar pengantin atau di ruang utama (di ruang Padhe-padhe) atau pelaminan. 2) Kedua calon pengantin duduk berdampingan, sedangkan calon pengantin putri duduk simpuh menghadap beberapa pinisepuh turut menyaksikan. Tantingan dilaksanakan dengan pengeras suara sehingga calon pengantin pria dan keluarga serta tamu mendengar dan memberikan kesaksian. 3) Ayah menanyakan kepada calon pengantin putri apakah bersediah untuk menikah. 3. Ijab a. Ijab Di keraton yogyakarta Ijab merupakan inti utama dalam rangkaian perkawinan. Akad merupakan tata cara agama, sedangkan rangkaian yang lain merupakan tradisi budaya Jawa. Di Keraton Yogyakarta kegiatan ijab atau akad nikah dilakukan di Dalem Masjid Panepen. Pada upacara ijab dihadiri para kerabat keraton pria saja, pernikahan dilaksanakan oleh Sultan sendiri. Saksi berasal dari Ngarsa Abdi Dalem Lurah Punawakan dan petugas kantor Urusan Agama Kecamatan Keraton Yogyakarta bertindak melayani penandatanganan surat-surat untuk Sri Sultan dan pengantin pria. Herawati (dalam Suwarno, 2006: 181) menjelaskan prosesi pernikahan GRAJ Nurmagupita dengan KRT Suryokusuma. Prosesi diawali Ngarsa Abdi Dalem Sultan diiringi oleh GBPH Joyokusuma dan GBPH Prabukusuma mahir di Kagungan Dalem Dhawuh duduk di depan mihrob masjid menghadap ke timur. Kemudin, Ngarsa Abdi Dalem Dhawuh kepada GBPH Joyokusuma dan GBPH Prabukusuma untuk memanggil para Abdi Dalem Penghulu yang berjumlah 13 orang. Setelah itu Ngarsa
67 Abdi Dalem Dhawuh GBPH Prabukusuma untuk kembali KRT Suryokusuma di dalam Kasatriyan. KRT Suryakusuma duduk sebelah timur menghadap ke barat berhadapan dengan Ngarsa Abdi Dalem Sultan Hamengku Buwono X. Para Gusti Bandara Pangeran duduk di belakang dan samping kanan Ngarsa Abdi Dalem. Setelah khotbah nikah yang sangat singkat dengan bahasa Arab oleh Kanjeng Raden Penghulu, kemudian syahadat dan istighfar 3 kali, Ngarsa Abdi Dalem mengucapkan lafadz ijab. Setelah mngucapkan lafadz., KRT Suryokusuma menanggalkan Dhuwung (kerisnya). Kemudian maju untuk menandatangani administrasi dan menghaturkan bakti kepada Sri Sultan. Ijab Kabul diakhiri dengan doa oleh Kanjeng Raden Penghulu. Setelah itu, Ngarsa Abdi Dalem dhawuh mundur kepada pengantin dan saksi. Acara ijab Kabul selesai. b. Ijab Di Masyarakat Umum Ijab antara tata cara Keraton yogyakarta dan masyarakat umum, secara prinsip, syarat dan rukunnya tidak berbeda karena tata cara agama. Namun ada perbedaan yang bukan merupakan syarat dan rukunnya akad nikah. Perbedaan antara lain: 1. tata cara keraton yang hadir dalam ijab adalah pria saja, pada akad nikah masyarakat umum pria dan wanita boleh hadir. Ijab adalah tatacara agama bukan tradisi adat. Siapa saja boleh hadir menjadi saksi. 2. pada akad nikah keraton, pengantin wanita tidak dihadirkan dalam majelis akad nikah, cukup mendengarkan dari kejauhan. Pada pernikahan masyarakat umum, biasanya calon pengantin wanita hadir di majelis sekaligus. 3. pembacaan sihgat taklik (janji) pengantin pria dan wanita, boleh dibaca di depan majelis Walimatul nikah (tempat nikah) juga bisa berdua saja antara pengantin pria dan wanita. Herawati (dalam Suwarno, 2006: 181) adapun rangkaian acara sebagai berikut:
68 1. saksi secara administratif dihadirkan dua orang, 1 orang dari pihak wanita dan 1 orang dari pihak pria. Walaupun sebetulnya semua yang hadir dalam majelis itu sebagai saksi. Saksi duduk disalah satu sisi tempat ijab kabul. 2. wali (orangtua calon pengantin wanita) hadir menghadap ke Timur. Apabila wali akan menikahkan sendiri. Apabila mewakilkn pada penghulu, wali bisa menghadap ke Timur atau nanti duduk di antara calon pengantin (menghadap ke Barat). 3. penghulu dan asisten penghulu duduk menghadap ke Timur berdampingan dengan wali. 4. calon pengantin pria hadir, duduk menghadap ke Brat. 5. apabila calon pengantin wanita dihadirkan, calon pengantin wanita duduk disebelah kiri calon pengantin pria. 6. Pemerikasaan kelengkapan administratif. Apabila ada pembacaan kitab suci Alquran, pembacaan ditempatkan setelah acara pembukaan. Ijab dapat dilaksanakan di masjid, rumah (kediaman calon pengantin wanita), digedung pertemuan sekaligus panggih dan resepsi. F. Tujuan dan Hikmah Perkawinan Perkawinan adalah satu bentuk khas percampuran antar golongan Az-Zawj adalah sesuatu yang berpasangan dengan lainnya yang sejenis, keduanya yang disebut sepasang (Az-Zawj). Tuhan menciptakan manusia dalam fitrah hidup yang berbeda dengan makhluk lainnya. Diberi-Nya manusia akal untuk berfikir dan dibekali juga insting untuk memperbanyak keturunan. Keinginan meneruskan keturunan tidak dapat dipenuhi tanpa adanya kehadiran yang lain, jadilah mereka laki-laki dan wanita dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. (Al Qur‘an dan terjemahannya, 1980: 847).
69 Fitrah yang diciptakan Allah atas manusia mengharuskan adanya hubungan dan pertmuan antara laki-laki dan perempuan, dalam rangka menjaga jenis manusia di bumi sebagai khalifah yang bertugas memakmurkan bumi ini, dan memanfaatkan semua potensi alam dengan sebaik-baiknya sampai batas waktu yang ditentukan-Nya. Manusia membutuhkan kestabilan dan ketenangan dalam kehidupan rumah tangganya yang tidak mungkin dapat diwujudkan kecuali melalui keberadaan kawan hidup yang menjadi pembantu dan penguat dirinya. Suami-istri dapat menemukan ketenangan dengan pasangannya, saling membantu meringankan beban dan penderitaan hidup, dan saling merasakan cinta dan kasih sayang (As-Sanan, 2003: 21-22). Seperti yang di firmankan Allah SWT: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-isri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang (Qs. 30:31). Tujuan perkawinan bukanlah sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis, tetapi lebih dari itu mempunyai tujuan yang mulia dan luhur yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan manusia dan aspek keagamaan sebagai ibadah didaerah pedesaan dengan berbagai kebiasaan dan cara hidup yang sangat berpengaruh terhadap tingkah laku dan pemikiran mereka dalam menjalani kehidupan karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka sangat ditentukan batasan usia yang diperbolehkan untuk melangsungkan perkawinan dan ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang tertulis. Summer (dalam Shadily, 1989: 350) menjelaskan tentang kebudayaan lebih menonjolkan pembagian kebudayaan yang meliputi adat dan kebiasaan atau adat istiadat seluruhnya. Adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat di dalamnya terdapat nilai-nilai tidak terlepas nilai hukum dimana akan dikenakan sanksi jika di
70 lakukan. Adanya lembaga perkawinan, sampai saat ini pun lembaga-lembaga yang keberadaanya diakui dan dijunjung tinggi seperti lembaga perkawinan. Sampai saat ini pun lembaga ini masih dijunjung tinggi oleh masyarakat bahkan terpelihara dengan baik dan merupakan suatu yang sakral. Demikian juga dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat telah tertanam, terpelihara dan tidak begitu saja ditinggalkan oleh generasi selanjutnya yang merupakan pembawa tongkat estafet perkembangannya kebudayaan sekalipun gelombang modernisasi, Menurut pendapat yang lain disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah sebagai berikut: Tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi hajat tabiat kemanusiaan berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariah. (Soemantri, 1986: 13).
Berdasarkan Inpres No 1 Tahun 1991, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Seperti tujuan perkawinan menurut Koentjaraningrat (dalam Noviana, 2007:14) dari segi adat adalah : 1. 2. 3. 4.
kelangsungan pemeliharaan agama dan adat dari nenek moyang kekerabatan tetap utuh, bahkan menambah kerabat baru memelihara derajat hubungan memelihara wujud harta warisan, supaya harta warisan dipergunakan anak cucunya yang baik Dengan adanya perkawinan ini, diharapkan agar kedua suami istri dapat
tinggal dirumah dengan damai serta saling mencintai antara keduanya. Sehingga apabila perkawinan tidak dapat mendirikan rumah tangga dengan damai , berkasih sayang serta saling mencintai antara yang satu dengan yang lain, maka perkawinan tersebut telah terjauh dari tujuan perkawinan yang sebenarnya.
71 Pernikahan juga menjaga jiwa manusia dan memenuhi kebutuhan seksualnya sesuai aturan Allah SWT, di samping memenuhi insting keibuan dan kebapakan. Perkawinan menjaga keluarga dari kerusakan sosial dan perzinaan, sehingga garis keturunan yang sah tetap terjaga dan terpelihara kehormatannya. Perkawinan dapat memperluas hubungan kekerabatan, hubungan cinta diantara manusia yang sebelumnya tidak ada, dan membuka ikatan sosial baru yang memperkuat masyarakat (As-Sanan, 2003: 22). G. Bentuk-bentuk Perkawinan Dalam masyarakat sederhana soal memilih jodoh tidaklah semata-mata bergantung pada yang hendak menikah. Soal itu ditentukan oleh sekurang-kurangnya seluruh keluarga, disamping itu setiap anggota masyarakat terikat pada ketentuanketentuan kawin yang diharuskan dan dihalalkan golongannya secara khusus. Ada yang mengharuskan berkawin dalam batas lingkungan tertentu, ada yang mengharuskan berkawin diluar batas lingkungan itu (Hans Daeng, 1970: 58). Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat melangsungkan perkawinan. Untuk mengkaji masalah perkawinan ada beberapa sifat, sistem, bentuk dan adat sesudah menikah di Indonesia, yaitu sebagai berikut: 1. Sifat Perkawinan Semua masyarakat didunia mempunyai batasan-batasan tertentu dalam perkawinan, baik itu berupa perkawinan yang dianggap ideal dan larangan dalam perkawinan. Ball (dalam Noviana, 2007: 15). Koentjraningrat (1985: 9) membagi perkawinan menjadi tiga yaitu:
72 a. Endogami Endogami yaitu seseorang harus kawin dengan orang yang berada dalam satu lingkungannya. Endogami bisa dalam lingkup kasta, marga, dan suku. Perkawinan semacam ini sudah jarang ditemukan di Indonesia. b. Eksogami Eksogami adalah perkawinan yang dilakukan dengan seseorang yang berada di luar lingkungannya. Perkawinan semacam ini pada umumnya masih dipertahankan oleh masyarakat yang menganut garis keturunan ayah (Patrilineal) atau dari garis keturunan ibu (Matrilineal). c. Elenthorogami Jenis perkawinan dimana dalam mengambil calon istri atau calon suami bisa dilakukan diluar kerabatnya sendiri atau didalam lingkungannya. Di Indonesia sebagian masyarakat menganut asas ini. 2. Sistem Perkawinan Pada banyak masyarakat didunia terdapat adat untuk berkawin tidak lebih dari seorang istri, hal ini mungkin karena pengaruh agama tertentu atau pula karena tidak cukupnya kekayaan untuk berkawin lebih dari satu istri (Hans Daeng, 1970: 63). Di tinjau dari jumlah suami-istri dalam perkawinan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: a. Monogami Monogami yaitu seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai istri satu orang saja. Bahkan untuk bermonogami dikuatkan dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang tertuang dalam pasal 3: (1) pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, (2) pengadilan dapat memberikan izin kepada
73 suami untuk beristrikan lebih dari satu apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan. b. Poligami Poligami yaitu seorang laki-laki boleh beristri lebih dari seorang wanita. Perkawinan macam ini boleh dilakukan berdasarkan agama tertentu dan juga oleh aturan-aturan yang ada, bila dirasa ada sebab khusus dan harus tetap mendapat persetujuan dari pihak istri, Hans Daeng (1970: 63) Alasan untuk berpoligami pada umumnya: 1. untuk mendapatkan tenaga kerja yang lebih banyak 2. sebagai pelambang kekuasaan/pengaruh dan kekayaan lelaki 3. untuk mendapatkan kekuatan atau gaya hidup-sakti dari wanita c. Poliandri Poliandri adalah perkawinan yang memperbolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu berdasarkan adat istiadat. Alasan yang di kemukakan untuk berpoliandri biasanya: belis yang diminta oleh keluarga gadis itu pada umumnya terlalu tinggi, sedang lelaki atau keluarganya miskin, maka untuk mendapatkan jumlah mas kawin yang dimintakan itu, beberapa pemuda bekerja sama mengumpulkannya, kemudian bersama pula memperistrikan gadis itu. Bila diperoleh keturunan dari perkawinan secara bersama itu, maka salah seorang dari para lelaki mengadakan upacara untuk memiliki secara sah anak itu sesuai peraturan norma masyarakat (Hans Daeng, 1970: 63). 3. Bentuk Perkawinan Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya cara paling umum dilakukan oleh masyarakat adalah melalui pelamaran atau peminangan (Soekanto, 1983: 223). Bentuk-bentuk perkawinan yang biasa dilakukan oleh beberapa masyarakat adalah:
74 (1). Perkawinan Pinang Pola yang dapat ditemui pada tiap masyarakat (hukum adat) yang ada di Indonasia. Perkawinan pinang adalah perkawinan yang didahului dengan tindakan pendahuluan yaitu datangnya pinangan (lamaran) (Noviana Anita, 2007:17). Untuk masyarakat Desa Ngembal pihak laki-laki yang melamar perempuan. Cara yang digunakan dalam malakukan pelamaran pada hakikatnya terdapat kesamaan, namun perbedaan-perbedaan hanyalah (kira-kira) terdapat pada alat atau sarana pendukung proses pelamaran itu. Pada umumnya, pihak yang mengajukan lamaran atau pinangan adalah pihak (keluarga) si pemuda, yang dijalankan oleh seseorang atau beberapa orang sebagai utusan. Seseorang atau beberapa orang sebagai utusan itu adalah mereka yang sekerabat dengan pihak laki-laki atau bahkan sering terjadi, yang melakukan lamaran adalah orang tuanya sendiri. Bila pinangan atau lamaran itu diterima baik, maka mungkin tidak sekaligus mengakibatkan perkawinan, akan tetapi mungkin dilakukan pertunangan terlebih dahulu. Pada masa kini, pertunangan dimulai pada ketika upacara “tukar cincin”, yaitu suatu upacara yang diadakan khusus untuk saling memberikan cincin oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, cincin telah berfungsi sebagai alat pengikat atau tanda yang kelihatan. Pertunangan sebagai adat turun-temurun dari nenek moyang dan merupakan tindakan pendahuluan dari suatu perkawinan. Kedua belah pihak wajib menepati janji yang telah diucapkan bersama. Bila yang ingkar dari pihak laki-laki maka ia akan kehilangan tanda pengikat yang telah diserahkan atau membayar denda. Pertunangan dimaksudkan oleh kedua belah pihak agar adanya kepastian perkawinan yang diinginkan, atau merupakan pengumuman akan terjadinya perkawinan yang telah disepakati bersama (Soekanto, 1983: 223-224).
75 (2). Perkawinan Lari bersama Bentuk perkawinan ini tidak melalui pertunangan atau peminangan. Seseorang pemuda dan seorang gadis bermufakat untuk lari meninggalkan orang tua mereka dengan maksud untuk hidup bersama sebagai suami-istri. Perkawinan dengan cara lari bersama ini dilakukan, untuk menghindari diri dari berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan dengan cara pelamaran atau peminangan, atau juga untuk menghindarkan diri dari rintangan-rintangan dari pihak orang tua dan sanak saudara, yang terutama datangnya dari pihak orang tua dan sanak saudara pihak perempuan. Soerjono Soekanto (1983: 165) faktor-faktor yang mendorong terjadinya kawin lari bersama ada beberapa sebab: (a) karena keluarga salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak setuju, (b) untuk menghindari biaya perkawinan yang sangat mahal, (c) pihak laki-laki tidak mampu memenuhi permintaan keluarga pihak perempuan. Bila hal ini terjadi perkawinan bisa dilaksanakan setelah tercapainya perdamaian melalui rapat-rapat adat. (3). Perkawinan Bawa Lari Perkawinan bawa lari adalah berupa lari dengan seorang perempuan yang sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan orang lain atau membawa lari perempuan dengan paksaan. (4). Perkawinan Gantung Perkawinan gantung yaitu anak perempuan sebelum dewasa sudah dijodohkan dan diikat pihak laki-laki. Setelah anak perempuan dewasa baru dilaksanakan perkawinan.
76 (5). Perkawinan Ganti Tikar Perkawinan ganti tikar yaitu perkawinan yang dilaksanakan apabila suami atau istri meninggal. Kemudian yang menggantikan posisi istri atau suami yang meninggal adalah kakak atau adik almarhum atau almarhumah. (6). Perkawinan Ambil Rampas Perkawinan ambil rampas adalah apabila dua orang laki-laki atau lebih yang menghendaki perempuan yang sama dan agar tidak terdahului, maka pihak orang tua merelakan anak perempuannya dengan syarat pihak laki-laki memberi emas atau hewan. (7). Perkawinan Keris Pada masyarakat jawa terdapat kebiasaan yang menghalalkan atau sahnya perkawinan meski pengantin laki-laki tidak hadir, caranya dengan mengirimkan saja kerisnya dan kerisnya itu waktu perayaan pernikahan diadakan, diletakkan disamping pengantin wanita (Daeng, 1970: 64) (8). Perkawinan Hypergami Pada masyarakat yang masih sangat diutamakan kemurnian darah bangsawannya, terdapatlah suatu keinginan untuk mengutamakan perkawinan hanya dengan orang-orang keturunan bangsawan, dengan kata lain hanya dengan orang yang mempunyai tingkat yang sama dalam masyarakat (Daeng, 1970: 64). H. Adat menetap sesudah menikah Koentjaraningrat (2002: 103) Diseluruh dunia dikenal sedikitnya 7 jenis adat sesudah nikah, yaitu: a. Adat utrolokal
77 Adat utrolokal adalah yang memberi kebebasan kepada sepasang suami-istri untuk memilih tinggal disekitar kediaman kaum kerabat suami atau disekitar kediaman kaum kerabat istri. b. Adat virilokal Adat virilokal adalah yang menentukan bahwa sepasang suami-istri diharuskan menetap sekitar pusat kediaman kerabat suami. c. Adat uxorilokal Adat uxorilokal adalah yang menentukan bahwa sepasang suami-istri harus tinggal sekitar kediaman kaum kerabat istri. d. Adat bilokal Adat bilokal adalah yang menentukan bahwa sepasang suami-istri diwajibkan tinggal disekitar pusat kediaman kerabat suami pada masa tertentu, dan disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri pada masa lainnya. e. Adat neolokal Yang menentukan bahwa sepasang sumi-istri menempati tempatnya sendiri yang baru, dan tidak mengelompok bersama kerabat suami ataupun istri. f. Adat avunkulokal Adat avunkulokal adalah yang mengharuskan sepasang suami istri menetap sekitar tempat kediaman saudara pria ibu (avunculus) dari suami. g. Adat natolokal Adat natolokal adalah yang menentukan bahwa suami dan istri masing-masing hidup terpisah, diantara kaum kerabatnya sendiri-sendiri. Adat menetap sesudah nikah antara lain mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Apabila dalam suatu masyarakat berlaku adat virilokal, maka desa-desa atau daerah-daerah lokal merupakan tempat berkumpulnya keluarga-
78 keluarga yang terikat hubungan kekerabat melalui garis pria. Dalam setiap keluarga inti dalam masyarakat virilokal, anak-anak terutama bergaul dengan kaum kerabat dari pihak ayahnya, sedang kaum kerabat dari pihak ibu mereka yang tinggal didesadesa atau didaerah-daerah lain, kurang mereka kenal. Dengan demikian adat menetap sesudah menetap sesudah menikah menentukan dengan kaum kerabat mana warga suatu masyarakat lebih banyak bergaul. Dalam perkawinan di desa Ngembal masyarakat melaksanakan perkawinan pinang. Hal ini bisa diamati dari caranya melamar dan menetapkan jodoh bagi putraputri adat menetap sesudah menikah antara lain mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat (Koentjaraningrat, 2002: 103-104). Begitu juga dalam tempat tinggal bagi pasangan baru tidak mutlak mengikuti aturan tertentu. Tetapi ada yang menetap ditempat tinggal ibu pengantin putri dan ada pula yang menetap dirumah keluarga si suami. Hal ini disebabkan mereka menganut sistem kekerabatan bilateral. I. Asas-asas dalam Undang-undang Perkawinan Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pasal 1 ayat 1 dan ayat 2, pasal 3 ayat 1 dan 2, pasal 4 ayat 1 dan ayat 2, pasal 5 ayat 1 dan ayat 2, pasal 6 ayat 1, pasal 7 ayat 1 termuat berupa asas perkawinan. Asas-asas atau prinsip-prinsip mengenai perkawinan telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Asas-asas ini dapat dijumpai dalam penjelasan umum Undang-Undang No 1 Tahun 1974 adalah: 1. Asas Sukarela Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang sejahtera, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, agar suami-istri dapat membentuk keluarga
79 bahagia dan sejahtera serta kekal, maka diwajibkan kepada calon mempelai untuk saling kenal terlebih dahulu. Kenalan yang dimaksud adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak menyimpang dari norma agama yang dianutnya. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihannya, melainkan diharapkan membimbing dan menuntut anak-anaknya agar memilih pasangan yang cocok sesuai dengan anjuran agama yang mereka peluk. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, maka kawin paksa benar-benar dilarang Undang-Undang Perkawinan. Dalam Bab I Pasal I Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan batas umur yang dikehendaki Undang-undang Perkawinan yaitu minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Antara kedua calon mempelai harus ada kerelaan yang mutlak untuk melangsungkan perkawinan yang mereka harapkan. Mereka harus mempunyai suatu kesadaran dan keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan agama dan kepercayaannya. 2. Asas Partisipasi Keluarga Meskipun calon mempelai diberi kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya berdasarkan atas sukarela, tetapi karena perkawinan itu merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, maka partisipasi keluarga sangat diharapkan di dalam pelaksanaan akad perkawinan tersebut pihak keluarga masingmasing pihak diharapkan memberikan restu perkawinan yang dilaksanakan itu. Hal ini sesuai dengan sifat dan kepribadian bangsa Indonesia yang penuh etika sopan santun dan religius. Partisipasi keluarga yang diharapkan dalam hal peminangan dan dalam hal pelaksanaan perkawinan. Dengan demikian, diharapkan dapat terjalin hubungan silaturahmi antarkeluarga pihak mempelai pria dengan keluarga pihak mempelai
80 wanita. Melibatkan kedua belah pihak dalam hal ini dengan suatu harapan pula agar dapat membimbing pasangan yang baru menikah itu supaya dapat mengadakan rumah tangganya dengan baik dan benar sesuai dengan norma-norma yang berlaku Tidak sedikit pasangan yang berumur muda dalam menegakkan rumah tangganya terdapat gangguan atau goyah, dalam hal yang demikian ini keluarga dsangat diharapkan untuk berpartisipasi aktif supaya rumah tangga yang baru dibangun itu kembali normal, dan tidak terjadi perceraian. Sehubungan dengan hal ini, maka kawin lari sangat tidak disetujui oleh Undang-Undang Perkawinan ini. 3. Perceraian Dipersulit Berkenaan dengan tujuan pernikahan antara suami-istri dalam berumah tangga menerapkan prinsip-prinsip yang merupakan asas perkawinan dalam Islam tentang Perkawinan yaitu adanya perceraian semaksimal mungkin dikendalikan dan menekan angka perceraian kepada titik yang paling rendah. Pembuat undangundang menyadari bahwa perceraian dilakukan tanpa kendali dan sewenangwenang akan mengakibatkan kehancuran bukan saja kepada pasangan suami-istri tersebut, tetapi juga kepada anak-anak yang mestinya harus diasuh dan dipelihara dengan baik. Banyak sosiolog mengemukakan bahwa berhasil atau tidaknya membina suatu masyarakat sangat ditentukan oleh masalah perkawinan yang merupakan salah satu faktor di antara beberapa faktor yang lain. Kegagalan membina rumah tangga bukan saja membahayakan rumah tangga itu sendiri, tetapi juga sangat berpengaruh kepada kehidupan masyarakat. Hampir separuh dari kenakalan remaja yang terjadi beberapa negara diakibatkan oleh keluarga yang berantakan. Penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa perceraian itu hak suami harus segera dihilangkan. Pemikiran yang keliru ini segera
81 diperbaiki dan dihilangkan dalam masyarakat. Hak cerai tidak dipegang oleh suami saja, tetapi istri pun dapat menggugat suami untuk meminta cerai apabila ada halhal yang menurut keyakinannya rumah tangga yang dibina itu tidak mungkin diteruskan. Untuk itu, undang-undang ini merumuskan bahwa perceraian itu harus dilakukan didepan pengadilan. Perceraian yang dilaksanakan di luar sidang pengadilan dianggap tidak mempunyai landasan hukum, dengan demikian tidak diakui kebenarannya.pengadilan berusaha mendamaikan agar rukun kembali, hal ini dilakukan pada setiap sidang dilaksanakan. Undang-Undang Perkawinan tidak melarang perceraian artinya tetap dimungkinkan terjadinya perceraian jika seandainya memang benar-benar tidak dapat dihindarkan, itu pun harus dilaksanakan dengan secara baik dihadapan sidang pengadilan. Perceraian yang demikian ini merupakan hal baru dalam masyarakat Indonesia, yang sebelumnya hak cerai sepenuhnya berada ditangan suami yang pelaksanaannya dapat dilakukan secara semaunya. Pelaksanaan yang seperti ini sungguh sangat memprihatinkan pihak istri, biasanya pihak suami setelah menceraikan istrinya sama sekali tidak memperhatikan hak-hak istri dan anak-anaknya. 4. Poligami Dibatasi dengan Ketat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menggunakan istilah “Poligami” yang sudah popular dalam masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 tentang Perkawinan adalah perkawinan yang bersifat monogami. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 3 ayat 1 tentang Perkawinan yang berbunyi: “pada asasnya perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya hanya boleh mempunyai seorang
82 suami”. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat 2 tentang Perkawinan yang berbunyi: “pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Namun demikian pekawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Namun demikian beristri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu orang harus ada alasan-alasan yaitu: a. tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. istri tidak dapat melahirkan keturunan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 5 ayat 1 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. apabila alasan-alasan sebagaimana tersebut diatas sudah terpenuhi, maka Pengadilan Agama juga harus meneliti apakah ada atau tidaknya syarat-syarat tertentu secara kumulatif yaitu :
83 1. persetujuan dari istri atau istri-istrinya, kalau ada harus diucapkan dimuka majelis hakim 2. kemampuan dari material dari orang bermaksud menikah lebih dari satu orang 3. jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah, jaminan berlaku adil ini dibuat dalam persidangan majelis hakim Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda (madunya istri tua) menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu menjurus kepada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya terjadi kalau ayah telah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang yang kawin lebih dari satu orang maka UndangUndang Perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan partisipasi lebih awal membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu. 5. Kematangan Calon Mempelai Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1 tentang Perkawinan yang berbunyi: “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun”. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-istri tersebut telah masak jiwa-raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-istri yang masih dibawah umur. Karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk menekan laju kelahiran yang tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara
84 calon suami-istri yang masih dibawah umur, sebab umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran semakin tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka Undang-Undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik baik bagi pria maupun bagi wanita ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Dalam hal perkawinan seorang pria dan wanita yang belum cukup umur standart. Perkawinan yang tetap berkehendak untuk melangsungkan perkawinan bias mendapatkan izin, pasal 6 ayat 2,3,4,5,6, dan pasal 7 ayat 2 dan ayat 5. dalam pasal tersebut dijelaskan untuk mendapat perizinan perkawinan yang dibawah umur standart perkawinan. 6. Memperbaiki Derajat Kaum Wanita Kehadiran Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 31 ayat 3 tentang perkawinan yang berbunyi: “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dan keluraga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri”. Mereka harus mencari nafkah hidup untuk membiayai dirinya dan juga anak-anaknya yang harus mencari nafkah hidup untuk membiayai dirinya dan juga anak-anknya yang seharusnya menjadi tanggung jawab pihak suami. Banyak suami meninggalkan begitu saja istrinya tanpa memikirkan biaya hidup yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Secara lahiriah, wanita makhluk yang paling banyak memerlukan memerlukan perlindungan, pengayoman, dan kasih kasih sayang. Kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 31 ayat 3 tentang perkawinan suami harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap istri dan anak-anaknya didalam hal pemeliharaan dan perlindungannya.
85 BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan seharihari. Pendekatan kualitatif mementingkan pada proses dibandingkan dengan hasil akhir oleh karena itu urut-urutan kegiatan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang ditemukan. Tujuan penelitian biasanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis. Jika menggunakan pendekatan kualitatif maka dasar teori sebagai pijakan ialah adanya interaksi simbolik dari suatu gejala dengan gejala lain yang ditafsir berdasarkan pada budaya yang bersangkutan dengan cara mencari makna semantis universal dari gejala yang sedang diteliti. Tujuan utama penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ialah mengembangkan pengertian, konsep-konsep yang pada akhirnya menjadi teori, tahap ini dikenal sebagai “grounded theory research”. Pendekatan kualitatif desainnya bersifat umum, dan berubahubah/berkembang sesuai dengan situasi di lapangan. Pada pendekatan kualitatif data bersifat deskriptif, maksudnya data dapat berupa gejala-gejala yang dikategorikan ataupun dalam bentuk lainnya, seperti foto, dokumen, artefak dan catatan-catatan lapangan pada saat penelitian dilakukan (http://webcache.google). Moleong (dalam Bungin, 2002: 3) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek peneliti, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan. Secara holistic (utuh) dan dengan cara 85
86 deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang dialami dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analisis yaitu suatu penelitian yang berupaya untuk menggambarkan secara rinci fenomena sosial yang menjadi pokok permasalahan tanpa melakukan hipotesis dan perhitungan secara statistik (Sudjana, 1989: 27). Responden dalam metode kualitatif berkembang terus (snowball) secara bertujuan (purposive) sampai data yang dikumpulkan dianggap maksimal. Alat pengumpulan data atau instrumen penelitian dalam metode kualitatif ialah si peneliti sendiri. Jadi peneliti merupakan key instrument, dalam mengunpulkan data si peneliti harus terjun sendiri ke lapangan secara aktif. Teknik pengumpulan data yang sering digunakan ialah observasi partisipasi, wawancara, dan dokumentasi (Usmani & Akbar, 2001: 81). Dalam observasi diperlukan ingatan terhadap observasi yang telah dilakukan sebelumnya. Manusia mempunyai sifat pelupa. Untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan: (1) catatan-catatan (check-list), (2) alat-alat elektronik seperti tustel, video, tape recerder, dan sebagainya, (3) lebih banyak melibatkan pengamat, (4) memusatkan perhatian pada data-data yang relevan, (5) mengklasifikasikan gejala dalam kelompok yang tepat, dan (6) manambah bahan persepsi tentang objek yang diamati (Usman & Akbar, 2001: 55). Wawancara ialah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Pewawancara disebut intervieuwer, sedangkan orang yang diwawancarai disebut interviewee. Wawancara berguna untuk: (1) mendapatkan data ditangan pertama (primer), (2) pelengkap teknik pengumpulan lainnya, (3) menguji hasil pengumpulan data lainnya.
87 Jenis wawancara ada dua yaitu: (1) tak terpimpin, dan (2) terpimpin. Wawancara tak terpimpin ialah wawancara yang tidak terarah. Kelemahannya ialah: tidak efisien waktu, biaya, dan tenaga. Keuntungannya ialah: cocok untuk penelitian pendahuluan, tidak memerlukan keterampilan bertanya, dan dapat memelihara kewajaran suasana. Wawancara terpimpin ialah tanya jawab yang terarah untuk mengumpulkan data-data yang relevan saja. kelemahan teknik ini adalah: kesan-kesan seperti angket yang diucapkan, teknik ini adalah pertanyaan sistematis sehingga mudah diolah kembali, pemecahan masalah lebih mudah, memungkinkan analisa kuantitatif dan kualitatif, dan kesimpulan yang diperoleh lebih realibel (Usman & Akbar, 2001: 57-59). Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen. Keuntungan menggunakan dokumentasi ialah biaya relatif murah, waktu dan tenaga lebih efesien. Sedangkan kelemahannya ialah data yang diambil dari dokumen cenderung sudah lama, dan kalau ada yang salah cetak, maka peneliti ikut salah pula mengambil datanya. Data-data yang dikumpulkan dengan teknik dokumentasi merupakan data sekunder, sedangkan data-data yang dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara, dan angket cenderung merupakan data primer atau data yang langsung didapat dari pihak pertama (Usman & Akbar, 2001: 73). B. Kehadiran Peneliti Dalam penelitian ini, kehadiran peneliti sangat penting dan menentukan karena peneliti berperan sebagai perencanaan, pelaksanaan, pengumpulan data dan menganalisis, mengumpulkan dan akhirnya melaporkan hasil penelitian. Jadi peneliti melaporkan instrumen utama, dimana terlibat secara langsung dari keseluruhan proses
88 penelitian, mulai dari awal sampai akhir peneliti dengan harapan validitas data dapat tercapai. C. Data dan Sumber Data Data tentang upacara adat perkawinan priyayi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : (i) hasil observasi di lapangan, (ii) hasil wawancara dengan pihak-pihak terkait dan masyarakat sekitar, (iii) hasil kajian pustaka yang diperoleh peneliti (iv) hasil catatan di lapangan. Sumber data/informan peneliti yang akan diwawancarai dalam penelitian ini adalah Bapak Cahyono, Bapak Yusman, Ibu Danis, Ibu Fitri selaku bagian keluarga priyayi dan segenap keluarga priyayi. Bapak Mawardi selaku sekertaris desa Ngembal serta warga masyarakat yang berada di desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan. Dengan demikian, penulis dapat lebih mudah untuk menganalisis dan mengembangkan data yang dihasilkan dari wawancara tersebut. D. Prosedur Pengumpulan Data Berdasarkan data penelitian, maka prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Observasi Partisipasi (Participant Observer) Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Karena itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu dengan pancaindra lainnya. Observasi partisipasi adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktivitas kehidupan objek pengamatan (Bungin, 2007: 115-116).
89 Metode ini lebih memungkinkan periset mengamati kehidupan individu atau kelompok dalam situasi riil, dimana terdapat setting yang riil tanpa dikontrol atau diatur secara sistematis seperti riset eksperimental. Misalnya, seperti namanya, metode ini memunginkan periset terjun langsung dan menjadi bagian dari yang diriset bahkan hidup bersama di tengah individu atau kelompok yang diobservasi dalam jangka waktu yang cukup lama. Periset memungkinkan untuk memahami apa yang terjadi, memahami dua peran: sebagai partisipan dan sebagai periset (observer). Selain itu dituntut untuk tidak teridentifikasi oleh orang lain. Jika tidak, maka data yang diperoleh bisa tidak valid atau kehilangan objektifitasnya. Karena itu observasi partisipasi ini disebut juga observasi tidak mengganggu (unobstrusive) atau tersembunyi (concealed). Rachmat (2006: 100) menyatakan ada dua jenis observasi partisipan sebagai berikut: a. Partisipasi sebagai periset Artinya periset (observer) adalah orang dalam (insider) dari kelompok yang diamati yang melakukan pengamatan terhadap kelompok yang diamati yang melakukan pengamatan terhadap kelompok itu. Contoh seorang PR ingin meriset sebagaimana pola hubungan kerja yang terjadi di kantornya, PR tersebut meriset objek dimana dia berkerja didalamnya. b. Observasi sebagai partisipan Periset (observer) adalah orang luar yang netral (outsider) yang mempunyai kesempatan untuk bergabung dalam kelompok dan berpartisipasi dalam kegiatan dan pola hidup kelompok tersebut sambil melakukan pengamatan. Contoh, seorang mahasiswa ingin meriset interaksi buruh dalam kegiatan
90 demontarasi, maka dia ikut serta berbaur dengan para buruh sewaktu demonstrasi. b. Wawancara Selain melakukan observasi maka peneliti juga melakukan wawancara terhadap keluarga priyayi dan masyarakat sekitarnya yang ada di desa Ngembal. Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara mendalam dan wawancara bertahap. Wawancara adalah percakapan antara periset dan seseorang yang berharap mendapatkan informasi dari informan seseorang yang diasumsikan mempunyai informasi penting tentang objek Berger (dalam Rachmat, 2006: 98). Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Wawancara bertahap adalah wawancara terarah dilaksanakan secara bebas dan juga mendalam (in-depth), tetapi kebebasan ini tetap tidak terlepas dari pokok permasalahan yang akan ditanyakan kepada responden dan telah dipersiapkan sebelumnya oleh pewawancara (Bungin, 2007: 108-110). c. Dokumentasi Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen (Usman & Setiady, 2001: 73).
91 d. Kajian Pustaka Kajian pustaka ini bertujuan untuk mencocokkan hasil penelitian penulis dengan penelitian yang terdahulu sehingga ada ciri dan fenomena tersendiri dalam penelitian ini. Kajian pustaka juga bertujuan sebagai acuan bagi peneliti untuk melakukan penelitian dan wawancara. E. Analisis Data Sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka analisis data dilakukan selama maupun proses penggumpulan data. Analisis data dalam penelitian kualitatif, dimulai sejak peneliti datang ke lokasi penelitian, dimana dilaksanakan secara intensif sejak awal pengumpulan data sampai proses pengumpulan data. Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah data kualitatif dari hasil observasi berupa catatan lapangan dokumentasi dan hasil wawancara. Dilihat dari tujuan analisis, maka ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu (1) menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan (2) menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu fenomena sosial itu (Bungin, 2007: 153). Usman & Akbar (2001: 86) ada berbagai macam cara untuk menganalisis data, tetapi secara garis besarnya dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Reduksi Data Data yang didapat di lapangan langsung diketik atau ditulis dengan rapi, terinci serta sistematis setiap selesai mengumpulkan data. Laporan-laporan itu perlu direduksi, yaitu dengan memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian.
92 b. Display Data Display data ialah menyajikan data dalam bentuk matrik, network, chart, atau grafik. Dengan demikian, peneliti dapat menguasai data dan tidak terbenam dengan setumpuk data. c. Pengambilan Keputusan dan Verifikasi Laporan penelitian kualitatif dikatakan ilmiah jika persyaratan validitas, realibilitas, dan objektisfitasnya sudah terpenuhi. Oleh sebab itu, selama proses analisis hal-hal tersebut selalu mendapat perhatian. F. Pengecekan Keabsahan Data Keabsahan data merupakan hal penting dalam penelitian. Untuk pengecekan keabsahan digunakan teknik kriteria derajat kepercayaan Moleong (dalam Bungin, 2007: 254). Derajat kepercayaan yang digunakan (i) perpanjangan keikutsertaan (ii) triangulasi, (iii) ketekunan pengamat, (iv) pemeriksaan sejawat. (i). Perpanjangan Keikutsertaan Dalam setiap penelitian kualitatif, kehadiran peneliti dalam setiap tahap penelitian kualitatif membantu peneliti untuk memahami semua data yang dihimpun dalam penelitian. Karena itu hampir dipastikan bahwa peneliti kualitatif adalah orang yang langsung melakukan wawancara dan observasi dengan informan-informannya. Moleong (dalam Bungin, 2006: 327) mengatakan apabila peneliti lebih lama di lapangan, maka ia akan membatasi; (1) gangguan dari dampak peneliti pada konteks; (2) kekeliruan (biases) peneliti; (3) mengompensasikan pengaruh dari kejadiankejadian yang tidak biasa atau pengaruh sesaat. (ii) Triangulasi Salah satu cara paling penting dan mudah dalam uji keabsahan hasil penelitian adalah dengan melakukan triangulasi penelitian, metode, teori, dan sumber
93 data. Dengan mengacu kepada Denzin (dalam Bungin, 1978) maka pelaksanaan teknis dari langkah pengujian keabsahan ini akan memanfaatkan; peneliti, sumber, metode, dan teori. a. Triangulasi dengan Sumber Data Dwidjowinoto (dalam Rachmat, 2006: 70) membandingkan atau mengecek ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari sumber yang berbeda. Misalnya membandingkan hasil pengamatan dengan wawancara; membandingkan apa yang dikatakan umum dengan yang dikatakan pribadi. Moleong (dalam Bungin, 2006: 335) menyatakan triangulasi sumber data juga memberi kesempatan untuk dilakukannya hal-hal sebagai berikut: (1) penelitian hasil penelitian dilakukan oleh responden, (2) mengoreksi kekeliruan oleh sumber data, (3) menyediakan tambahan informasi secara sukarela, (4) memasukkan informan dalam kancah penelitian, menciptakan kesempatan untuk mengikhtisarkan sebagai langkah awal analisis data, (5) menilai kecukupan menyeluruh data yang dikumpulkan. b. Triangulasi dengan Metode Dwidjowinoto (dalam Rachmat, 2006: 71) menjalaskan bahwa usaha mengecek keabsahan data atau mengecek keabsahan temuan riset. Triangulasi metode dapat diakukan dengan menggunakan lebih dari satu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan yang sama. Dwidjowinoto (dalam Rachmat, 2006: 71). Mengacu pendapat Patton (dalam Bungin, 1987: 329) dengan menggunakan strategi; (1) Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, (2) pengecekan beberapa sumber data dengan metode yang sama Moleong (dalam Bungin, 2006: 331). Triangulasi ini dilakukan untuk melakukan pengecekan terhadap penggunaan metode pengumpulan data,
94 apakah informasi yang didapat dengan metode interview sama dengan metode observasi, atau apakah hasil observasi sesuai dengan informasi yang diberikan ketika di-interview. c. Triangulasi dengan Teori Dwidjowinoto (dalam Rachmat, 2006: 71) menjalaskan bahwa memanfaatkan dua atau lebih teori untuk diadu atau dipadu. Untuk diperlukan rancangan riset, pengumpulan data, dan analisis data yang lengkap supaya hasilnya komprehensif. Triangulasi dengan teori, menurut Lincoln dan Guba (1981:307 dalam Moleong, 2006:331), berdasarkan anggapan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat kepercayannya dengan satu atau lebih teori. Di pihak lain, Moleong (dalam Bungin, 2006: 331) berpendapat lain, yaitu bahwa hal itu dapat dilaksanakan dan hal itu dinamakannya penjelasan banding (rival explanation). (iii). Ketekunan Pengamatan Untuk memperoleh derajat keabsahan yang tinggi, maka jalan penting lainnya adalah dengan meningkatkan ketekunan dalam pengamatan di lapangan. Pengamatan bukanlah suatu teknik pengumpulan data yang hanya mengandalkan kemampuan pancaindra, namun juga menggunakan semua pancaindra termasuk adalah pendengaran, perasaan, dan insting peneliti (Bungin, 2007: 256). (iv). Pemeriksaan Sejawat (Moleong dalam Bungin, 2006: 334) mengatakan bahwa diskusi dengan kalangan sejawat akan menghasilkan; (1) pandangan kritis terhadap hasil penelitian, (2) temuan teori substansif, (3) membantu mengembangkan langkah berikutnya, (4) pandangan lain sebagai pembanding. G. Tahap-tahap Penelitian Tahap-tahap yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini adalah:
95 1. Tahap Persiapan a) Peneliti mencari dan menetapkan lokasi yang akan dijadikan tempat penelitian b) Menyusun proposal penelitian skripsi c) Mengurus izin dari pihak yang terkait untuk memperlancar penelitian skripsi d) Melakukan pertemuan dengan pengurus desa e) Menyiapkan alat-alat yang diperlukan dalam penelitian 2. Tahap Pelaksanaan Kegiatan a) Mengumpulkan data b) Melakukan wawancara c) Menganalisis data yang diperoleh 3. Tahap Penyelesaian a) Membuat laporan penelitian
96 BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Paparan Data Penelitian 1. Gambaran Umum Dalam gambaran umum Desa Ngembal ini akan dipaparkan mengenai letak Desa Ngembal, keadaan penduduk desa, tingkat pendidikan masyarakat, agama yang dianut, dan perkawinan masyarakat Desa Ngembal. a. Letak Desa Ngembal Desa Ngembal termasuk wilayah Jawa Timur, secara geografis wilayah Desa Ngembal terletak kurang lebih 600 meter dari permukaan laut. Desa Ngembal termasuk dataran sedang karena mempunyai ketinggian sekitar 465 meter dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 24°-32° dan dengan curah hujan 318 meter3. Sebagian besar wilayahnya terdiri atas dataran berupa lahan perkebunan, lahan peternakan dan area permukiman penduduk. Dengan potensi alam seperti itu tanaman buah-buahan dan tanaman kayu menjadi andalan dan bisa memberikan hasil yang optimal bagi penduduk setempat. Secara administratif Desa Ngembal terletak di Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan. Sebelah utara Desa Ngembal berbatasan dengan Desa Kademungan Kecamatan Kejayan, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sumberpitu Kecamata Tutur, sebelah barat berbatasan dengan Desa Semut Kecamatan Purwodadi, sedangkan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tempuran Kecamatan Paserepan. Jarak absolut antara Ibukota Kabupaten 15 km, jarak ke Ibukota Kabupaten 35 km sedangkan jarak ke Ibukota Propinsi 70 km. Berdasarkan profil Desa. Desa Ngembal terbagi menjadi 11 Dusun, 11 Rukun Warga dan 67 Rukun Tetangga, yakni sebagai berikut: Dusun Kemangi terdiri
96
97 dari 4 Rukun Tetangga dan 2 Rukun Warga, Dusun Wadung terdiri dari 3 Rukun Tetangga dan 1 Rukun Warga,, Dusun Andong Timur terdiri dari 4 Rukun Tetangga dan 1 Rukun Warga,, Dusun Andong Selatan terdiri dari 3 Rukun Tetangga dan 1 Rukun Warga, Dusun Andong Utara terdiri dari 2 Rukun Tetangga dan 1 Rukun Warga, Dusun Alang-alangan terdiri dari 2 Rukun Tetangga dan 1 Rukun Warga, Dusun Krajan Barat terdiri dari 4 Rukun Tetangga dan 2 Rukun Warga, Dusun Krajan Timur terdiri dari 3 Rukun Tetangga dan 1 Rukun Warga, Dusun Ledok terdiri dari 3 Rukun Tetangga dan 1 Rukun Warga, Dusun Garutan terdiri dari 4 Rukun Tetangga dan 2 Rukun Warga, Dusun Badut terdiri dari 3 Rukun Tetangga dan 1 Rukun Warga. Berdasarkan profil Desa, sarana angkutan kota yang digunakan antara lain mobil pick up dan ojeg. Dari desa Ngembal ke Wonorejo dengan menggunakan mobil pick up biaya yang dikenakan Rp 5.000,00 dengan waktu 45 menit, sedangkan dari Desa Ngembal ke Porwosari apabila menggunakan ojeg biaya Rp 10.000,00 dengan waktu tempuh 30 menit. Dari Desa Ngembal ke Nongkojajar apabila menggunakan sarana ojeg (jasa seseorang dengan menggunakan sepeda motor) biaya yang dikenakan Rp12.000,00 dengan waktu tempuh 30 menit. b. Jumlah Penduduk Adapun pembagian jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat digolongkan sebagai berikut: Tabel 4.1. data jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin Jumlah Penduduk
Jumlah
Total
berdasarkan 1) Jenis Kelamin
Laki-laki
2.973 orang
Perempuan
3.063 orang 6.036 orang
98 2) Kepala Keluarga
1.655 orang
1.655 orang
Sumber: Profil Desa Ngembal 2009
Berdasarkan data kependudukan Desa Ngembal. Jumlah penduduk sebesar 6.036 jiwa yang terdiri dari 1.655 Kepala Keluarga. Laki-laki sebanyak 2.973 jiwa, perempuan sebanyak 3.063 jiwa. Adapun pembagian jumlah penduduk berdasarkan umur dapat digolongkan sebagai berikut: Tabel 4.2. data penduduk berdasarkan umur No
Golongan Umur
Jumlah
1.
0-5 tahun
386 orang
2.
6-15 tahun
1.135 orang
3.
16-19 tahun
1.301 orang
4.
20-26 tahun
73 orang
5.
27-40 tahun
836 orang
6.
41-50 tahun
736 orang
7.
51-60 tahun
869 orang
Sumber: Profil Desa Ngembal 2009
Berdasarkan data kependudukan Desa Ngembal. Penduduk yang berusia 0-5 tahun sebanyak 386 orang, 6-15 tahun sebanyak 1.135 orang, 16-19 tahun sebanyak 1.301 orang, 20-26 tahun sebanyak 773 orang, 27-40 tahun sebanyak 836 orang, 4150 tahun sebanyak 736 orang dan 51-60 tahun ke atas sebanyak 869 orang. Dari data yang diperoleh berdasarkan data kependudukan di Desa Ngembal jumlah angka penduduk yang paling menonjol adalah antara umur 16-19 tahun.
99 c. Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Adapun tingkat pendidikan penduduk dan sarana pendidikan dapat digolongkan sebagai berikut: a. tingkat pendidikan penduduk Tabel 4.3. data penduduk berdasarkan tingkat pendidikan No
Tingkat pendidikan penduduk
Jumlah
1.
Buta aksara
0 orang
2.
Tamat Sekolah Dasar /sederajat
3.
Tamat SLTP /sederajat
184 orang
4.
Tamat SLTA /sederajat
178 orang
5.
Tamat Akademi /sederajat
6.
Tamat Universitas /sederajat
3.811 orang
6 orang 16 orang
Sumber: Profil Desa Ngembal 2009
b. sarana/prasarana fisik pendidikan di Desa Ngembal Tabel 4.4. data berdasarkan sarana/prasarana fisik pendidikan No
Sarana/prasana fisik pendidikan
Jumlah
1.
Taman Kanak-kanak
1 buah
2.
Sekolah Dasar
4 buah
3.
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
1 buah
4.
Sekolah Menengah Umum
1 buah
5.
Madarasah
6 buah
Sumber: Profil Desa Ngembal 2009
Tingkat pendidikan dapat menggambarkan tingkat kemajuan daerah dalam pembangunan. Dalam pembangunan, baik fisik maupun non fisik diperlukan penduduk dan sumber daya yang berkualitas, sarana pendidikan di Desa Ngembal meliputi 1 buah TK, SD 4 buah, SLTP 1 buah, SMU 1 buah, Madarasah 6 buah. Sedangkan buta aksara 0 orang, tamatan SD 3.811 orang, tamatan SLTP 184 orang, tamatan SLTA 178 orang, tamatan Akademi 6 orang dan tamatan Universitas 16
100 orang. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan sudah cukup memenuhi walaupun masyarakat mayoritas masih berpendidikan sekolah dasar, akan tetapi dari jumlah tersebut sudah menunjukkan angka peningkatan dalam hal pendidikan sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi walaupun dalam angka yang masih rendah. Berdasarkan keterangan dari Bapak Cahyono selaku masyarakat desa Ngembal bahwa: Berdasarkan tingkat pendidikan masyarakat masih banyak tamatan Sekolah Dasar karena waktu itu untuk melanjutkan ke sekolah lanjutan sangat jauh harus turun dari Desa minimal ke daerah Porwosari. Karena jarak tempuh yang relatif jauh maka uang untuk transport sangat mahal sedangkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hanya cukup untuk keseharian saja selain itu kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Hampir 1 tahun ini berdiri sebuah yayasan untuk sekolah lanjutan yaitu, SLTP dan SLTA sehingga sudah banyak anak-anak yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (wawancara, 16 November 2009). Tingkat pendidikan masyarakat Desa Ngmebal masih banyak tamatan Sekolah Dasar karena waktu untuk melanjutkan ke sekolah lanjutan harus turun dari Desa minimal ke daerah Porwosari. Jarak tempuh yang relatif jauh, uang transport, serta kurangnya kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya pendidikan menjadi penghalang masyarakat untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Dengan berdirinya Yayasan pendidikan untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Sekolah Menengah Tingkat Atas sangat membantu dan mempengaruhi kesadaran masyarakat akan arti penting pendidikan sehingga banyak anak-anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. d. Penduduk Menurut Agama Adapun agama penduduk dapat digolongkan sebagai berikut: Tabel 4.5. data penduduk berdasarkan agama No
Agama
Jumlah
1.
Islam
6.036 orang
101 2.
Hindu
-
3.
Budha
-
4.
Kristen
-
5.
Konghuchu
-
Sumber: Profil Desa Ngembal 2009
Berdasarkan profil Desa Ngembal. Di Desa Ngembal penduduk setempat seluruhnya beragama Islam. Tabel 4.6. data berdasarkan sarana fisik keagamaan No
Sarana fisik keagamaan
Jumlah
1.
Masjid
9 buah
2.
Musholah
32 buah
3.
Gereja
- buah
Sumber: Profil Desa Ngembal 2009
Prasarana ibadah berupa masjid 9 buah, musholah 32 buah dengan kondisi prasarana masih sangat baik. Setiap hari Jum’at umat Islam melaksanakan sholat Jum’at secara berjamaah di masjid terdekat. Di Desa Ngembal banyak kegiatan keagamaan. Misalnya: pembacaan tahlil, yasin, diba’, manakib. Peringatan keagamaan atau hari besar Islam dilaksanakan di masjid atau di tempat yang telah ditentukan. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Cahyono bahwa: Di Desa Ngembal banyak kegiatan keagamaan. Tahlil, yasin, diba’ serta manakib dilaksanakan di rumah penduduk secara bergiliran yang dibuat seperti arisan. Dalam kegiatan tersebut masyarakat yang mengikuti kegiatan dikenai biaya yang telah disepakati. Biaya tersebut digunakan untuk keperluan jama’ah dan kegiatan itu sendiri (wawancara, 16 November 2009). Selanjutnya Ibu Danis menambahkan bahwa: Kegiatan keagamaan tersebut dilakukan pada hari yang telah disepakati bersama. Dalam kegiatan tersebut waktu dan hari berbeda antara kegiatan perempuan dengan kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki. Selain kegiatan tersebut masih terdapat kegiatan remaja masjid yaitu albanjari. Kegiatan ini merupakan perkumpulan para remaja masjid yang dilakukan oleh remaja lakilaki. Kegiatan Albanjari sudah bagus dalam hal membawakan dan dalam hal struktur kepengurusan sudah jelas (wawancara, 16 November 2009).
102 Kegiatan keagamaan penduduk Desa Ngembal meliputi Tahlil, yasin, diba’ serta manakib yang dilaksanakan di rumah penduduk secara bergiliran. Selain itu terdapat kegiatan remaja masjid yaitu albanjari. Kegiatan ini merupakan perkumpulan para remaja masjid yang dilakukan oleh remaja laki-laki. Kegiatan Albanjari sudah bagus dalam hal membawakan dan dalam hal struktur kepengurusan sudah jelas. Kegiatan pengajian ditentukan hari pelaksanaan acara pengajian sesuai dengan kesepakatan. Selain itu, masyarakat yang mengikuti kegiatan dikenai biaya yang telah disepakati. Biaya tersebut digunakan untuk keperluan jama’ah dan kegiatan tersebut. e. Penduduk menurut Mata Pencaharian Adapun mata pencaharian penduduk di Desa Ngembal digolongkan sebagai berikut: Tabel 4.7. data penduduk berdasarkan mata pencaharian No
Mata pencaharian
Jumlah
1.
Petani
1.504 orang
2.
Pegawai Negeri Sipil
3.
TNI/Polri
- orang
4.
Pedagang
18 orang
5.
Tukang
34 orang
6.
Buruh Tani
465 orang
7.
Guru
14 orang
8.
Tukang Ojeg
67 orang
9.
Penjahit
6 orang
10.
Peternak
273 orang
11.
Buruh Swasta
155 orang
14 orang
Sumber: Profil Desa Ngembal 2009
103 Mata pencaharian masyarakat Desa Ngembal yang menggambarkan aktifitas ekonomi, penduduk setempat dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, adalah sebagai petani, buruh tani, pengusaha, pegawai, pedagang, penjahit, peternak. Berdasarkan profil Desa Ngembal. Mata pencaharian penduduk petani sebanyak 34 orang, Pegawai Negeri Sipil sebanyak 14 orang, TNI/Polri sebanyak orang, Pedagang sebanyak 18 orang, tukang sebanyak 34 orang, buruh tani sebanyak 465 orang, guru sebanyak 14 orang, tukang ojeg sebanyak 67 orang, penjahit sebanyak 6 orang, peternak sebanyak 273 orang, buruh swasta sebanyak 155 orang . Dari data yang diperoleh berdasarkan profil Desa Ngembal mata pencaharian penduduk yang paling menonjol adalah petani Berdasarkan mata pencaharian, persentase yang paling banyak adalah mereka yang mempunyai pekerjaan petani, mata pencaharian sebagai buruh tani menunjukkan urutan kedua, selanjutnya mata pencaharian yang diminati penduduk adalah peternak ayam dan peternak sapi, buruh swasta, tukang ojeg, pedagang, guru, PNS, penjahit. f. Perkawinan Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah cukup dewasa dan siap untuk berumah tangga, apabila kedua belah pihak menghendaki untuk menjalani hidup bersama, maka mereka melaksanakan upacara perkawinan, secara adat serta agama disaksikan oleh masyarakat. Perkawinan tersebut tercatat resmi dan diakui oleh pemerintah. Perkawinan dalam keluarga priyayi, sebagai berikut:
104 2. Sistem Perkawinan Priyayi Berdasarkan penelitian di Desa Ngembal dan hasil wawancara dengan Bapak Suwarno “perkawinan priyayi adalah perkawinan keluarga priyayi yang menggunakan adat perkawinan Yogyakarta” (wawancara, 31 Oktober 2010). Berikut merupakan perkawinan yang terjadi dalam keluarga priyayi: a. Perkawinan Priyayi Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada umumnya perkawinan priyayi menganut sistem perkawinan monogami, yaitu suami mempunyai seorang istri dan seorang istri mempunyai seorang suami. Walaupun bersifat monogami bukan berarti dalam perkawinan keluarga priyayi tidak diperbolehkan melakukan perkawinan secara poligami. Berikut penjelasan dari Bapak Yus sebagai berikut: Pernikahan poligami dalam keluarga kami bukan merupakan sebuah hal yang tidak boleh, akan tetapi akan sangat berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga dengan istri pertama, apabila ingin poligami tentunya ada persetujuan dari istri pertama dan istri pertama tidak dapat menjalankan kewajiban dengan baik maka poligami dapat dilakukan (wawancara, 27 juni 2010).
Berdasarkan wawancara dengan Ibu Danis, beliau menambah penjelasan dari Pak Yus sebagai berikut: Perkawinan poligami selain berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga tentunya akan timbul percecokan antara istri satu dengan istri berikutnya, pertengkaran akan sering terjadi tidak hanya dengan kedua istri tersebut bahkan bisa dengan suami mereka disebabkan permasalahan yang sepele, apabila pertengkaran kerap terjadi tentunya akan sangat mempengaruhi keharmonisan keluarga serta perkembangan psikologis anak (wawancara, 27 juni 2010). Berikut Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Fitri bahwa: “perkawinan dengan sistem poligami tidak dikehendaki dalam keluarga kami, sehingga tidak dilakukan perkawinan yang bersifat poligami” (wawancara,27 juni 2010).
105 Pernikahan poligami dalam keluarga priyayi bukan merupakan sesuatu yang tidak boleh dalam sebuah perkawinan, akan tetapi sangat menghindari perkawinan poligami karena membawa pengaruh terhadap keharmonisan keluarga terutama istri pertama, timbul percecokan antara istri satu dengan istri berikutnya, pertengkaran tidak hanya sering terjadi antara kedua istri tersebut bahkan bisa dengan suami mereka disebabkan permasalahan yang sepele, apabila pertengkaran kerap terjadi tentunya akan sangat mempengaruhi keharmonisan keluarga serta perkembangan psikologis anak. Sehingga perkawinan dengan sistem poligami tidak dikehendaki dan hampir tidak dilakukan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Apabila ingin poligami tentunya ada persetujuan dari istri pertama dengan sebab istri pertama tidak dapat menjalankan kewajiban dengan baik maka poligami dapat dilakukan. b. Perkawinan Sedarah Perkawinan sedarah adalah perkawinan yang dilakukan antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan yang masih mempunyai ikatan saudara ataupun hubungan keluarga sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga. Perkawinan sedarah masih tetap ada dalam kelaurga priyayi. Berikut wawancara dengan Bapak Cahyono yang masih keluarga priyayi menceritakan: Keluarga priyayi masih terdapat perkawinan sedarah, perkawinan seseorang yang masih mempunyai ikatan ataupun hubungan keluarga. Perkawinan sedarah dilakukan karena kedua belah pihak merasa cocok, walaupun masih ada hubungan keluarga tetapi keluarga jauh dan sudah bisa dinikahkan (wawancara, 26 juni 2010). Hubungan perkawinan membawa akibat yang sangat luas dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, masalah yang berhubungan status anak, cara mendidik anak, kelas sosial. Perkawinan bukan saja ikatan antara suami-istri akan tetapi juga mempengaruhi keturunan mereka. Berdasarkan keterangan dari Ibu Fitri, beliau menambahkan bahwa:
106 Perkawinan sedarah bisa dilakukan apabila pihak laki-laki lebih tua dibanding dengan pihak perempuan, apabila pihak perempuan lebih tua dibanding dengan pihak laki-laki perkawinan tidak dapat dilangsungkan karena hal tersebut merupakan pantangan dalam keluarga tersebut walaupun kedua pasangan sudah merasa cocok satu sama lain ( wawancara, 26 juni 2010). Seperti yang dijelaskan Ibu Danis, sebagai berikut: Perkawinan sedarah dilakukan apabila kedua belah pihak merasa cocok tanpa adanya paksaan dari orang tua ada juga yang masih dijodohkan orang tuanya, apabila pihak yang hendak menikah tidak setuju dengan perjodohan tersebut maka pihak orang tua tidak dapat memaksa, selain itu perkawinan sedarah dilakukan dengan tujuan mempererat silaturahmi antara pihak keluarga, selain itu pihak orang tua berfikir agar harta mereka tetap kepada anak ataupun saudara sendiri (wawancara, 26 juni 2010). Berdasarkan wawancara dengan Bapak Yus sebagai berikut: Perkawinan sedarah pihak yang hendak menikah sering kali dijodohkan oleh pihak orang tua, kebanyakan kedua belah pihak yang hendak menikah setuju dengan pilihan orang tua sehingga terjadi perkawinan sedarah, perkawinan sedarah ini dilakukan untuk menjaga keturunan supaya tidak bercampur dengan orang lain (wawancara, 26 juni 2010). Berdasarkan penjelasan Bapak Cahyono sebagai berikut: Walaupun dalam keluarga kami masih terdapat beberapa perkawinan sedarah akan tetapi sudah tidak seperti dulu, karena tanpa disadari banyak terjadi keluarga yang masih mempunyai ikatan ataupun hubungan suadara dekat menikah dengan saudara dekat sehingga secara tidak langsung mempengaruhi keturunan mereka terutama dalam hal cara berfikir anak sehingga banyak keluarga yang menikah dengan orang lain akan tetapi tetap dipertimbangkan secara keseluruhan pihak yang akan dinikahi. Walaupun demikian perkawinan sedarah masih kerap terjadi dalam keluarga kami (wawancara, juni 2010). Keluarga priyayi masih terdapat perkawinan sedarah, perkawinan seseorang yang masih mempunyai ikatan ataupun hubungan keluarga. Perkawinan sedarah dilakukan karena kedua belah pihak merasa cocok, walaupun masih ada hubungan keluarga tetapi keluarga jauh dan sudah bisa dinikahkan. Berdasarkan silsilah keluarga, perkawinan sedarah bisa dilakukan apabila pihak laki-laki lebih tua dibanding dengan pihak perempuan, apabila pihak perempuan lebih tua dibanding dengan pihak laki-laki perkawinan tidak dapat dilangsungkan
107 karena hal tersebut merupakan pantangan dalam keluarga tersebut walaupun kedua pasangan sudah merasa cocok satu sama lain. Perkawinan sedarah dilakukan apabila kedua belah pihak merasa cocok tanpa adanya paksaan dari orang tua walaupun masih terdapat pihak calon pengantin yang dijodohkan orang tuanya, kedua belah pihak yang hendak menikah setuju dengan pilihan orang tua sehingga terjadi perkawinan sedarah, apabila pihak yang hendak menikah tidak setuju dengan perjodohan tersebut maka pihak orang tua tidak dapat memaksa. Perkawinan sedarah dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keturunan supaya tidak bercampur dengan orang lain dan mempererat silaturahmi antara pihak keluarga. Dalam kenyataannya perkawinan sedarah masih tetap terjadi dalam kalangan keluarga priyayi. Meskipun dalam melaksanakannya sudah menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dimasa sekarang perkawinan sedarah lebih mengutamakan kebebasan kepada pihak yang hendak menikah baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. c. Perkawinan Sambungan Perkawinan sambungan adalah perkawinan seorang laki-laki dengan saudara perempuan istrinya atau dengan saudara laki-laki suaminya yang meninggal dunia, dimana perkawinan sambungan dalam istilah Jawa dapat disebut dengan perkawinan karang wulu. Berdasarakan wawancara dengan Bapak Cahyono, beliau menjelaskan bahwa: Selama ini perkawinan karang wulu tidak ada dalam keluarga kami akan tetapi selama ini perkawinan karang wulu hanya terjadi pada orang lain atau tetangga. perkawinan karang wulu ini juga sangat sulit untuk ditemui. Perkawinan sambungan dilakukan untuk mempererat tali persaudaraan selain itu apabila mempunyai keturunan dari perkawinan pertama dengan kakaknya, akan lebih baik dirawat oleh saudara dan dijadikan ibu (wawancara, 26 juni 2010).
108 Perkawinan sambungan atau perkawinan karang wulu tidak ada dalam keluarga priyayi. namun, selama ini perkawinan karang wulu hanya dijumpai masyarakat diluar keluarga priyayi dan sangat jarang terjadi perkawinan sambungan atau perkawinan karang wulu. d. Perceraian dalam keluarga priyayi Perceraian adalah putusnya hubungan sebagai suami-istri. Selain masalah perkawinan dalam adat Jawa juga mengatur mengenai masalah perceraian. Perceraian hanya bisa dilakukan kedua belah pihak apabila dalam perkawinan apabila tetap dipaksanakan akan membawa dampak yang negatif untuk kedua belah pihak serta anak-anak mereka. Berikut merupakan keterangan Bapak Cahyono, beliau menjelaskan sebagai berikut: Dalam keluarga kami hampir tidak ada yang bercerai, kalaupun ada hanya beberapa orang saja dan rujuk kembali sehingga perceraian dalam keluarga kami hampir tidak ada. Namun demikian bukan berarti di Desa kami tidak ada perceraian, Selama ini saya hanya mendapati perceraian tapi bukan dari kalangan keluarga saya. Perceraian mereka disebabkan kedua pasangan tidak merasa cocok satu sama lain, ada suami-istri yang tidak menyukai dari awal pernikahan sehingga hanya pernikahan hanya berjalan belum satu minggu (wawancara, 27 juni 2010). Berdasarkan wawancara dengan Ibu Fitri selaku keluarga priyayi, beliau menjelaskan bahwa: Perceraian yang terjadi dalam keluarga kami disebabkan oleh ketidakcocokan masing-masing pasangan, sehingga pertengkaran terus menerus terjadi. Selain itu ada permasalahan antara pihak menantu dengan pihak mertua disebabkan masalah materi sehingga perceraian bisa terjadi (wawancara, 27 juni 2010).
Pada umumnya perceraian yang terjadi dalam keluarga priyayi di Desa Ngembal sangat rendah sekali. Perceraian yang terjadi hanya beberapa orang dari pihak keluarga priyayi dan rujuk kembali sehingga perceraian sangat jarang terjadi. Perceraian disebabkan oleh beberapa faktor yang sulit untuk disatukan baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan, maupun antara pihak menantu dengan pihak
109 mertua disebabkan masalah materi sehingga terjadi perceraian. Namun demikian, terdapat masyarakat di Desa Ngembal yang mengalami perceraian, disebabkan kedua pasangan tidak merasa cocok satu sama lain, suami-istri yang tidak menyukai dari awal pernikahan sehingga hanya pernikahan hanya berjalan belum satu minggu. 3. Tradisi yang dilakukan Sebelum perkawinan dilaksanakan Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang berlaku di daerah tersebut. Sebelum melaksanakan perkawinan terlebih dahulu melalui tahap-tahap tertentu: a. Nontoni Pihak laki-laki sendiri ataupun pihak keluarga menanyakan terlebih dahulu apakah si perempuan tersebut sudah mempunyai pilihan untuk dijadikan pendamping atau belum dan anak perempuan bersedia untuk dipinang oleh laki-laki tersebut atau tidak. b. Lamaran Lamaran adalah salah satu rangkaian upacara perkawinan. Di desa Ngembal upacara perkawinan pelaksanaannya tergantung dari masing-masing keluarga. Sebelum melaksanakan perkawinan kedua calon pengantin pada umumnya telah saling mengenal. Berdasarkan wawancara dengan salah satu anggota keluarga priyayi, Ibu Fitri menjelaskan bahwa: Lamaran merupakan hal yang bersifat resmi, suatu tahapan dalam rangkaian pernikahan. Tahap lamaran ini dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, sedangkan tradisi yang berlaku di dalam keluarga priyayi sampai sekarang tidak melamar seorang perempuan begitu saja akan tetapi melihat serta memilih menantu yang jelas identitasnya untuk bagian keluarga sehingga mayoritas keluarga masih kuat menerapkan sistem bibit, bobot, bebet. Begitu juga sebaliknya (wawancara,17 November 2009).
110 Berdasarkan keterangan Ibu Cahyono selaku keluarga priyayi menerangkan bahwa: Dalam memilih manantu (suami atau istri dari anak mereka) dalam keluarga masih melihat bibit, bebet dan bobot. Tahap-tahap dalam memilih menantu ini bukan sebagai hal yang pilih kasih akan tetapi dengan tujuan menjaga kemurnian keturunan serta mempertahankan tradisi yang sudah melekat dari para sesepuh khususnya dalam hal memilih jodoh. Apabila dalam pemilihan calon menantu tersebut terdapat hal yang tidak baik maka pihak keluarga priyayi tidak melanjutkan untuk dijadikan bagian dalam keluarga mereka. Selain itu jika pihak perempuan yang dilamar maka lamaran tersebut akan ditolak secara halus (wawancara,17 November 2009). Berdasarkan wawancara Bapak Cahyono yang masih keluarga priyayi menceritakan: Dahulu tidak semua orang berani untuk melamar perempuan anggota keluarganya apabila tidak sebanding dengan keluarga pihak yang dilamar. Perlu ditelusuri terlebih dahulu tentang keluarga pihak laki-laki tersebut. Sehingga, sebelum acara lamaran dilaksanakan, terlebih dahulu beberapa keluarga pihak perempuan meminta waktu kepada pihak keluarga laki-laki untuk mempertimbangkan dan mengemukakan dengan berbagai alasan. Pada waktu itu juga orang tua perempuan mencari kebenaran tentang keluarga pihak lakilaki yang melamar, apakah yang dikatakan itu benar atau tidak. Orang tua dari pihak perempuan mencari tahu tentang informasi tersebut dengan cara menyuruh orang ataupun keluarga yang dipercaya. Pihak yang dipercaya tersebut mencari informasi dengan cara menanyakan kepada masyarakat sekitar tentang kebiasaan hidup keluarga laki-laki serta pandangan masyarakat terhadap keluarga pihak laki-laki. Pendekatan serta pertanyaan yang dilakukan oleh pihak keluarga perempuan tidak akan ditanyakan kepada saudara atau sahabat pihak laki-laki, akan tetapi ditanyakan kepada orang lain untuk mencari data ataupun informasi. Setelah mendapatkan informasi suruhan pihak perempuan menceritakan tentang apa yang sebenarnya kepada keluarga perempuan. Apabila yang dikatakan pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan itu benar secara fakta maka keluarga membicarakan, memikirkan, dan mengambil keputusan tentang hasil apakah lamaran tersebut diterima ataupun ditolak (wawancara,17 November 2009). Setelah jangka waktu yang telah ditentukan oleh keluarga pihak perempuan, keluarga laki-laki kembali menanyakan tentang pinangan tersebut. Apabila lamaran tersebut diterima, keluarga pihak perempuan yang menentukan tentang persiapan pernikahan. Namun, jika lamaran tersebut ditolak, maka keluarga pihak perempuan mempunyai etika yang lebih halus untuk mengungkapkan tentang penolakan tersebut.
111 Upacara lamaran diselenggarakan di rumah orang tua perempuan tepatnya di ruang depan. Keistimewaan dalam upacara lamaran tampak pada jamuannya serta sikap penerimaan yang resmi, ramah, serta sopan, penuh tata cara. Menurut keterangan dari Ibu Danis, beliau menjelaskan bahwa: Dalam upacara lamaran seluruh keluarga memerlukan persiapan dan perlengkapan upacara yang pada intinya sama dengan masyarakat pada umumnya antara lain: tahap pertama, persiapan dalam acara lamaran yaitu membawa tukon (asak tukon), dan pihak laki-laki telah yakin bahwa lamarannya positif diterima. Selain itu rombongan itu juga membawa buah tangan. Misalnya, makanan tradisional yang wajib dibawa terbuat dari beras ketan, yakni, wajik, tetel atau makanan lainnya (wawancara,17 November 2009). Berdasarkan keterangan Ibu Sum (bukan nama sebenarnya) selaku bukan keluarga priyayi menerangkan bahwa: Dalam pemilihan menantu dilihat terlebih dahulu apakah pihak orang tua setuju kedua belah pihak yang hendak menikah sudah setuju maka perkawinan dapat dilaksanakan dan untuk acara lamaran pihak laki-laki membawa makanan yang terbuat dari beras ketan (wawancara, 27 November 2009). Pada saat upacara lamaran pihak laki-laki membawa makanan yang terbuat dari beras ketan. Berdasarkan penjelasan ibu Fitri bahwa: “beras ketan mempunyai makna untuk merekatkan tali silaturahmi antara kedua belah pihak, karena beras ketan apabila dimasak terasa pekat sehingga mengandung makna demikian”(wawancara,17 November 2009). Pada acara lamaran pihak laki-laki sekaligus menyerahkan cincin kepada pihak perempuan untuk mengikat yang nantinya untuk dinikahi. Setelah pelaksanaan lamaran dari pihak laki-laki selesai dilanjutkan dengan peningsetan atau pertunangan. Mengenai hari H pernikahan yang dimaksud tidak ditentukan pada hari itu, akan tetapi masih ditangguhkan dengan mencari hari baik dengan cara menunggu beberapa hari setelah pihak gadis membericarakan dalam musyawarah keluarga. Lamaran merupakan hal yang bersifat resmi, suatu tahapan dalam rangkaian pernikahan. Tahap lamaran dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan,
112 Dalam memilih manantu (suami atau istri dari anak mereka) pihak keluarga masih melihat bibit, bebet dan bobot. Tahap-tahap dalam memilih menantu bukan sebagai hal yang pilih kasih akan tetapi dengan tujuan menjaga kemurnian keturunan serta mempertahankan tradisi yang sudah melekat dari para sesepuh khususnya dalam hal memilih jodoh. Orang tua dari pihak perempuan mencari tahu tentang informasi tersebut dengan cara menyuruh orang ataupun keluarga yang dipercaya. Pihak yang dipercaya tersebut mencari informasi dengan cara menanyakan kepada masyarakat sekitar tentang kebiasaan hidup keluarga laki-laki serta pandangan masyarakat terhadap keluarga pihak laki-laki. Pendekatan serta pertanyaan yang dilakukan oleh pihak keluarga perempuan tidak akan ditanyakan kepada saudara atau sahabat pihak lakilaki, akan tetapi ditanyakan kepada orang lain untuk mencari kebenaran data ataupun informasi. Setelah mendapatkan informasi suruhan pihak perempuan menceritakan tentang apa yang sebenarnya kepada keluarga perempuan. Apabila yang dikatakan pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan itu benar secara fakta maka keluarga membicarakan, memikirkan, dan mengambil keputusan tentang hasil apakah lamaran tersebut diterima ataupun ditolak. Dalam upacara lamaran persiapan dan perlengkapan upacara yang pada intinya sama dengan masyarakat pada umumnya antara lain: tahap pertama, persiapan dalam acara lamaran yaitu membawa tukon (asak tukon), dan pihak laki-laki telah yakin bahwa lamarannya positif diterima makanan tradisional yang wajib dibawa terbuat dari beras ketan, yakni, wajik, tetel dan berbagai makanan. c. Ningseti Ningseti dalam bahasa Indonesia artinya mengencangkan tali ikatan. Bila lamaran diterima, pada hari yang disepakati keluarga pihak laki-laki datang lagi
113 kerumah pihak perempuan. Maksud kedatangan untuk menyerahkan beberapa barang penyerahan (peningset) sebagai bukti bahwa anak perempuan tersebut akan dijodohkan. Di Desa Ngembal keluarga priyayi acara ningseti pada dasarnya sama dengan masyarakat umumnya. Berdasarkan yang dituturkan oleh Ibu Danis, beliau menjelaskan bahwa: Maksud serta tujuan dari ningseti tersebut tidak lain adalah mengencangkan tali ikatan apabila lamaran telah diterima. Pada acara ningseti ini juga kedua keluarga menentukan hari perkawinan yang telah disepakati (wawancara, 17 November 2009). Pada acara ningseti tersebut pihak laki-laki datang kekeluarga pihak perempuan dengan menyerahkan beberapa barang sebagai bukti bahwa anak perempuan tersebut telah ada ikatan dengan pihak laki-laki. Menurut keterangan yang disampaikan oleh Pak Cahyono bahwa: Dengan adanya peningsetan ini ikatan ataupun hubungan kedua belah pihak, antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki menjadi setengah sah berdasarkan adat serta tidak boleh dijodohkan dan keluar dengan laki-laki lain. Apabila salah satu dari kedua belah pihak dikemudian hari menyalahi perjanjian yang telah disepakati, banyak melakukan penyimpangan dan jika hubungan tersebut dilanjutkan banyak membawa hal yang buruk terhadap kedua belah pihak, maka pertunangan dapat dibatalkan dan pihak perempuan harus mengembalikan barang-barang yang telah diberikan oleh pihak laki-laki, kecuali makanan. Namun, semua tergantung dari perjanjian kedua belah pihak tersebut (wawancara, 17 November 2009). Ningseti adalah mengencangkan tali ikatan apabila lamaran telah diterima oleh pihak keluarga perempuan, pada hari yang sudah disepakati keluarga pihak lakilaki berkunjung kerumah pihak perempuan. Tujuan ningseti adalah mengencangkan tali ikatan apabila lamaran telah diterima. Dengan adanya peningsetan ikatan ataupun hubungan kedua belah pihak, antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki menjadi setengah sah berdasarkan adat serta tidak boleh dijodohkan dan keluar dengan laki-laki lain. Apabila salah satu dari
114 kedua belah pihak dikemudian hari menyalahi perjanjian yang telah disepakati, banyak melakukan penyimpangan dan jika hubungan tersebut dilanjutkan banyak membawa hal yang buruk terhadap kedua belah pihak, maka pertunangan dapat dibatalkan dan pihak perempuan harus mengembalikan barang-barang yang telah diberikan oleh pihak laki-laki, kecuali makanan. Namun, semua tergantung dari perjanjian kedua belah pihak tersebut. Pada acara ningseti kedua keluarga menentukan hari perkawinan yang telah disepakati Tradisi ningseti di Desa Ngembal pihak perempuan tidak memberikan balasan yang berupa srah-srahan kepada pihak laki-laki, hal tersebut juga berlaku di kalangan keluarga priyayi di Desa Ngembal. d. Sengkeran atau pingitan Sengkeran atau pingitan adalah pengamanan sementara bagi calon pengantin putra dan putri sampai upacara panggih selesai yang ditempatkan di lingkungan atau tempat khusus yang aman dan tidak diperkenankan meninggalkan lingkungan sengkeran. Berdasarkan keterangan dengan Pak Yus selaku keluarga priyayi menjelaskan bahwa: Sengkeran atau pingitan untuk sekarang ini dilakukan menjelang hari penikahan yaitu dilakukan selama 7 hari sebelum upacara panggih. Sehingga tradisi pingitan tidak seperti dahulu dimana pingitan dilakukan selama 40 hari (wawancara, 27 Oktober 2010). Ibu Danis menambahkan keterangan dengan Pak Yus, beliau menjelaskan bahwa: Sengkeran ataupun pingitan dilakukan dengan tujuan agar pihak calon pengantin tidak terganggu oleh orang lain untuk melakukan pernikahan, selain itu menjaga sari (aura) dalam diri calon pengantin sehingga pingitan perlu untuk dilakukan untuk menjaga kelancaran pelaksanaan pernikahan (wawancara, 13 November 2010).
115 Berdasarkan keterangan Ibu Sum (bukan nama sebenarnya) selaku bukan keluarga priyayi menjelaskan bahwa: Dalam keluarga kami tidak melakukan pingitan, calon pengantin biasanya membantu untuk menyiapkan acara pernikahan besok, kami tidak melakukan prosesi adat Jawa secara menyeluruh karena faktor biaya yang banyak sehingga setelah acara lamaran dan ningseti langsung pada acara akad nikah, karena akad nikah merupakan hal yang paling penting dalam sebuah pernikahan dan dilanjutkan dengan prosesi resepsi secara sederhana atau cukup dengan akad nikah setelah itu selesai (wawancara, 27 November 2010). Sengkeran atau pingitan dilakukan tidak seperti dahulu dimana pingitan dilakukan selama 40 hari akan tetapi tradisi pingitan dilakukan menjelang hari penikahan yaitu selama 7 hari sebelum upacara panggih. Sengkeran ataupun pingitan dilakukan dengan tujuan menjaga serta mengamankan pihak calon pengantin dari orang lain, menjaga sari (aura) dalam diri calon pengantin sehingga pingitan perlu untuk dilakukan untuk menjaga kelancaran pelaksanaan pernikahan. Sedangkan pingitan dalam keluarga bukan priyayi tidak dilaksanakan dan tidak melakukan prosesi perkawinan adat Jawa secara menyeluruh. e. Siraman Upacara siraman di daerah Ngembal pada keluarga priyayi dilaksanakan pada sore hari sekitar pukul 15.00. Siraman dilakukan di rumah calon pengantin perempuan, berdasarkan keterangan Ibu Endang salah satu dari juru rias pengantin bahwa: Siraman dilakukan atas dasar permintaan dari pihak keluarga dan kedua pihak calon pengantin. Siraman dilakukan di tempat calon pengantin perempuan. Kebanyakan dalam keluarga priyayi di Desa Ngembal hanya pihak pengantin perempuan saja yang melakukan siraman, pihak laki-laki tidak melakukan proses siraman. Kebanyakan pihak laki-laki tidak ingin melakukan siraman (wawancara,18 November 2009). Menurut Ibu Endang sebagai perias pengantin menjelaskan bahwa: Sebelum melakukan proses siraman, air yang dibuat mandi oleh calon pengantin diberi doa terlebih dahulu oleh juru rias, dengan tujuan pengantin
116 tampak lebih cantik serta aura dalam diri calon pengantin keluar (wawancara,18 November 2009). Sebelum melakukan prosesi siraman, calon pengantin perempuan dirias terlebih dahulu, rambut yang diurai yang dihiasi dengan bandu bunga hidup serta mengenakan pakaian kemben (jarik sampai dada). Pengantin keluar dari kamar dengan dipayungi oleh saudara perempuan pengantin menuju ke tempat pemandian melalui dapur. Calon pengantin duduk di tempat siraman yang telah didekorasi dengan nuansa alami. Seperti yang diungkapkan oleh juru rias bahwa:“air yang digunakan untuk siraman diperoleh dari tujuh mata air sumur yang berada di daerah tersebut dengan taburan bunga” (wawancara, 18 November 2009). Prosesi siraman dilakukan oleh para keluarga, dari keluarga yang tertua. Setelah prosesi siraman selesai masih dilanjutkan banyak prosesi yang lain. Berdasarkan keterangan Ibu Endang salah satu dari juru rias pengantin bahwa: Air berjumlah tujuh melambangkan harapan hidup yang dapat saling menolong (mitulung, pitulungan). Air sumber tua yang tidak pernah kering melambangkan hidup calon pengantin dapat memberikan penghidupan seperti layaknya air yang tidak pernah kering, rezeki terus mengalir, kemuliaan terus didapat, dan yang tua dapat memberikan pengayoman kepada yang lebih muda (wawancara, 18 November 2009). Menurut Ibu Endang sebagai perias pengantin menjelaskan bahwa: Bunga sritaman (mawar, melati, dan kenanga) melambangkan keharuman. Secara fisik keharuman bunga tersebut dapat meresap ke tubuh calon pengantin diharapkan memiliki keharuman nama dapat dicontoh oleh sesama, adapun peralatan untuk acara siraman antara lain piranti sesaji, air siraman, bunga sritaman (mawar, melati, dan kenanga), alas duduk, gayung siraman, sehelai mori berukuran dua meter dipakai ketika siraman, Kendhi atau klenting berisi air untuk bersuci pada akhir siraman(wawancara, 18 November 2009). Siraman dilakukan atas dasar permintaan dari pihak keluarga dan kedua pihak calon pengantin. Keluarga priyayi di Desa Ngembal hanya pihak pengantin perempuan saja yang melakukan siraman, pihak laki-laki tidak ingin melakukan
117 proses siraman. Sebelum melakukan proses siraman, air yang dibuat mandi oleh calon pengantin diberi doa terlebih dahulu oleh juru rias dan taburan bunga sritaman (mawar, melati, dan kenanga) dengan tujuan pengantin tampak lebih cantik serta aura dalam diri calon pengantin keluar. f. Dodol Dawet Dodol dawet merupakan suatu rangkaian prosesi setelah acara siraman. Dodol dawet dilakukan dengan cara orang tua calon perempuan memecah kendhi (tempat air minum yang terbuat dari batu bata dan tanah liat). Dodol dawet melambangkan banyak tamu pengantin yang hadir dan banyak rezeki. Salah satu juru rias pengantin menjelaskan bahwa: Maksud serta tujuan dilakukannya dodol dawet tidak lain supaya pada waktu acara mantenan banyak tamu yang berdatangan semerawut (banyak tamu yang berdatangan) seperti dawet (wawancara,18 November 2009). Dodol dawet ini disaksikan oleh para kerabat dan masyarakat sekitarnya. Sebelum acara dodol dawet dilakukan jauh hari sebelumnya perias pengantin menulis nama kedua calon pengantin, dan sehari sebelum acara pada waktu dodol dawet diisi dengan uang logam serta bunga hidup. Pada waktu orang tua calon pengantin perempuan memecah kendhi, para kerabat serta masyarakat saling berebut mendapatkan pecahan kreweng (pecahan kendhi yang terbuat dari batu bata) serta uang logam yang terdapat dalam kendhi tersebut. Uang logam yang diperoleh dengan cara berebut tersebut dapat diambil oleh orang yang memperolehnya, sedangkan pecahan kreweng tersebut digunakan untuk membeli dawet kepada orang tua calon perempuan. Penjualan dawet ini dilakukan sampai dawet tersebut habis terjual. Berdasarkan keterangan dari salah satu juru rias bahwa: Setelah penjualan habis, hasil dari pecahan kreweng (pecahan kendhi yang terbuat dari batu bata) tersebut diberikan kepada calon pengantin perempuan yang telah menunggu di kamar. Maksud dari pemberian kreweng (pecahan kendhi yang terbuat dari batu bata) tersebut adalah orang tua memberikan
118 nafkah terakhir kepada calon pengantin yang selanjutnya menjadi kewajiban suami untuk memberikan nafkah (wawancara, 18 November 2009). Dodol dawet merupakan suatu rangkaian prosesi setelah acara siraman. Dodol dawet dilakukan dengan cara orang tua calon perempuan memecah kendhi (tempat air minum yang terbuat dari batu bata dan tanah liat). Setelah penjualan habis, hasil dari pecahan kreweng (pecahan kendhi yang terbuat dari batu bata) tersebut diberikan kepada calon pengantin perempuan yang telah menunggu di kamar. Maksud dari pemberian kreweng (pecahan kendhi yang terbuat dari batu bata) tersebut adalah orang tua memberikan nafkah terakhir kepada calon pengantin yang selanjutnya menjadi kewajiban suami untuk memberikan nafkah. Maksud serta tujuan dilakukannya dodol dawet pada waktu acara pernikahan banyak tamu yang berdatangan.Tradisi dodol dawet merupakan acara yang khas sebelum pernikahan dilaksanakan dalam prosesi pernikahan adat Jawa. g. Langkahan Langkahan dalam keluarga priyayi di Desa Ngembal masih dilakukan. Langkahan dilaksanakan apabila calon pengantin mempunyai saudara kandung yang belum menikah dan didahului oleh calon pengantin. Langkahan ini berlaku baik pihak calon pengantin perempuan ataupun pihak calon pengantin laki-laki. Berdasarkan keterangan dengan Pak Yus selaku keluarga priyayi menjelaskan bahwa: Langkahan ini dilakukan dengan tujuan untuk meminta doa restu kepada saudara tertua yang belum menikah dan mendoakan supaya saudara yang belum menikah tersebut segera mendapatkan jodoh (wawancara, 18 November 2009). Berdasarkan keterangan dengan Pak cahyano, beliau menjelaskan bahwa: Memohon doa restu kepada kakak calon pengantin karena melaksanakan pernikahan terlebih dahulu dan malambangkan kebesaran jiwa kakak (yang dilangkahi) untuk rela jika adiknya menikah menikah terlebih dahulu. Langkahan dilakukan dengan pemotongan dengan menggunakan keris kecil atau gunting untuk memotong benang lawe yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Acara ini melambangkan bahwa kakaknya telah ikhlas mengizinkan adiknya untuk mendahului kawin(wawancara, 11 November 2010).
119 Langkahan dilakukan dengan tujuan untuk meminta doa restu kepada saudara tertua yang belum menikah dan mendoakan supaya saudara yang belum menikah tersebut segera mendapatkan jodoh dan memohon doa restu kepada kakak calon pengantin karena melaksanakan pernikahan terlebih dahulu dan malambangkan kebesaran jiwa kakak (yang dilangkahi) untuk rela jika adiknya menikah menikah terlebih dahulu. Langkahan dilakukan dengan pemotongan dengan menggunakan keris kecil atau gunting untuk memotong benang lawe yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Acara ini melambangkan bahwa kakaknya telah ikhlas mengizinkan adiknya untuk mendahului kawin. Langkahan yang dilakukan calon pengantin yaitu dengan cara memberikan berbagai perlengkapan. Orang Jawa menyebut perlengkapan sepengadhek (perlengkapan kerudung, kebayak, jarik, sandal, kosmetik) yang diberikan calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan sewaktu acara peningsetan ataupun acara tunangan. Langkahan dilakukan sehari sebelum akad nikah yaitu, pada waktu selesai acara siraman. h. Ngerik Upacara adalah menghilangkan bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar dahi agar tampak bersih dan wajahnya menjadi bercahaya. Upacara ngerik dimaksudkan untuk membuang rasa sial (sebel). Berdasarkan keterangan Ibu Danis selaku keluarga priyayi bahwa: Setelah acara siraman dan langkahan (jika ada) calon pengantin perempuan dirias dikamar pengantin oleh juru rias, rambut pengantin putri dikeringkan kemudian diasapi dengan ratus/dupa wangi. Wajahnya dirias dan rambutnya digelung sesuai dengan pola upacara perkawinan Jawa (wawancara, 27 Oktober 2010).
120 Berdasarkan keterangan Ibu Sum (bukan nama sebenarnya) selaku bukan keluarga priyayi menerangkan bahwa: Upacara ngerik dilakukan pada saat merias pengantin perempuan (wawancara, 27 November 2010). Upacara ngerik merupakan upacara yang selalu dilakukan setelah acara siraman dan pelangkahan. Setelah acara siraman dan langkahan (jika ada) calon pengantin perempuan dirias dikamar pengantin oleh juru rias, rambut pengantin putri dikeringkan kemudian diasapi dengan ratus/dupa wangi. Wajahnya dirias dan rambutnya digelung. Maksud dari upacara ngerik adalah untuk membuang rasa sial (sebel). i. Midodareni Acara midodareni yaitu acara yang di lakukan pada malam hari, tepatnya pukul 18.00 sampai pukul 00.00. Berdasarkan keterangan Bapak Cahyono selaku keluarga priyayi bahwa: Acara midodareni sekarang ini pada keluarga priyayi jarang dilakukan karena ada beberapa hambatan untuk melakukan acara midodareni. Diantara hambatan tersebut adalah masalah biaya yang bertambah membengkak apabila melakukan acara midodareni. Selain itu juga memperhitungkan waktu serta tenaga yang bertambah banyak terkuras (wawancara, 18 November 2009). Tradisi midodareni jarang di lakukan dengan penyerahan srah-srahan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan karena selama pelaksanaan perkawinan pihak laki-laki maupun pihak perempuan sendiri atas dana sendiri, sehingga acara midodareni jarang dilakukan. Pada malam melepas lajang pihak perempuan dipingit dalam kamar, ditemani beberapa perempuan yang belum menikah dengan membakar dupa pengantin. j. Nyantri Rombongan keluarga temanten pria berkunjung kekediaman pihak calon penagntin perempuan dan calon pengantin pria tidak ikut diajak pulang. Tentu nyantri
121 sebelumnya sudah dibicarakan dan disetujui kedua pihak. Nyantri dilaksanakan untuk segi praktisnya, mengingat besok pagi dia sudah harus didandani untuk pelaksanaan ijab kabul/pernikahan. Juga untuk keamanan pernikahan, kedua calon mempelai sudah berada disatu tempat Berdasarkan keterangan Bapak Cahyono menjelaskan bahwa: Acara nyantri masih dilakukan oleh keluarga kami mengingat besok pagi calon pengantin laki-laki sudah harus didandani untuk pelaksanaan ijab kabul/pernikahan (wawancara, 27 Oktober 2010). Acara nyantri tetap dilakukan oleh keluarga priyayi untuk kelancaran calon pengantin pada waktu acara ijab Kabul dan prosesi perkawinan adat yang dilakukan. k. Maskawin Maskawin adalah pemberian dari calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan berupa uang, barang-barang, ataupun perhiasan. Maskawin biasanya disesuaikan dengan adat daerah setempat. Setiap upacara perkawinan tidak hanya kalangan keluarga priyayi saja, pihak laki-laki memberikan mahr, akan tetapi pemberian mahar berlaku pada seluruh lapisan, hanya saja nominal yang diberikan masing-masing orang berbeda-beda. Berdasarkan keterangan Bapak Cahyono menjelaskan bahwa: Maskawin yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan tergantung dari permintaan pihak perempuan, akan tetapi pihak perempuan juga masih melihat kemampuan pihak laki-laki untuk memberikan berapa banyak maskawin yang diberikan (wawancara,18 November 2009). Seperti yang dituturkan oleh Ibu Danis menambahkan keterangan dari Bapak Cahyono bahwa: Pemberian maskawin kepada pihak perempuan minimal sebatas standar, artinya bukan asal-asalan untuk memberikan maskawin kepada pihak perempuan. Pemberian maskawin kepada pihak perempuan ini juga melihat tingkat stratifikasi keluarga pihak perempuan dalam masyarakat, sehingga pihak laki-laki mempertimbangkan serta menyesuaikan maskawin yang akan diberikan kepada pihak perempuan (wawancara,18 November 2009).
122 Pemberian jumlah maskawin tersebut jauh hari sebelum acara akad nikah diberitahukan kepada pihak perempuan terlebih dahulu, apakah sepakat dengan jumlah pemberian maskawin atau belum. Jika belum, maka pihak laki-laki menambahkan sampai terjadi kesepakatan tentang jumlah pemberian maskawin. Jumlah pemberian maskawin tersebut akan disebutkan dalam acara akad nikah yang disaksikan para undangan secara sah, sesuai dengan agama yang diyakini serta perpaduan dengan adat setempat. 3. Pelaksanaan Prosesi Upacara perkawinan Dalam kehidupan masyarakat Jawa tidak lepas dengan adat-istiadat yang berlaku dalam komunitasnya. Salah satu prosesi yang sampai sekarang masih tetap dilestarikan yaitu prosesi upacara perkawinan adat Jawa yang dilakukan keluarga priyayi di Desa Ngembal. Adapun prosesi upacara perkawinan melalui tahap-tahap sebagai berikut: a. Akad Nikah Akad nikah adalah pernyataan dari pihak calon suami dan pihak calon istri untuk mengikat diri mereka dalam satu ikatan suci perkawinan. Akad nikah merupakan hal yang sakral bagi perhatian seseorang tidak hanya berdasarkan hukum saja akan tetapi juga berdasarkan agama. Akad nikah dilaksanakan sesuai dengan perhitungan Jawa yang berdasarkan “primbon” Jawa. Pelaksanaan upacara akad nikah biasanya dilakukan pada malam hari, sehari sebelum acara resepsi dilaksanakan. Akan tetapi, akad nikah kebanyakan dilakukan pada pagi hari. Berdasarkan keterangan dari Bapak Cahyono bahwa: Akad nikah dalam tradisi kami dilaksanakan pada pagi hari biasanya pukul 08.00 wib atau pukul 10.00 wib, untuk waktu akad nikah disesuaikan dengan jam yang baik, pada waktu acara akad nikah hanya dihadiri oleh wali calon pengantin perempuan, calon pengantin laki-laki, penghulu, saksi, dan para tamu pria yang undangan dalam acara akad nikah, sedangkan calon pengantin
123 perempuan yang sudah dirias mendengarkan dan menunggu didalam kamar (wawancara, 28 Oktober 2010). Berdasarkan keterangan Ibu Sum (bukan nama sebenarnya) selaku bukan keluarga priyayi menerangkan bahwa: Akad nikah merupakan hal yang paling sakral dalam sebuah pernikahan berdasarkan agama sehingga merupakan keharusan yang dilakukan oleh setiap orang untuk melakukan sebuah pernikahan, untuk melakukan acara akad nikah tentunya memilih hari dan jam yang baik (wawancara, 27 November 2010). Akad nikah merupakan kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh warga negara muslim yang akan melakukan perkawinan. Sebelum acara akad nikah dilaksanakan pihak calon pengantin mengurus surat ke kantor urusan agama terlebih dahulu, setelah itu baru bisa dilakukan akad nikah sesuai dengan tanggal yang telah dipersiapkan oleh calon pengantin. b. Upacara Panggih Upacara panggih merupakan pertemuan pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan setelah kedua pengantin dirias oleh juru rias dengan mengenakan pakaian pengantin Jawa. Upacara panggih dilaksanakan pada sore hari sekiar pukul 15.00. Berdasarkan keterangan Bapak Suwarno selaku dalang pengantin, beliau menjelaskan bahwa: Pada waktu acara panggih tersebut pengantin perempuan mencium tangan pengantin laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa pengantin perempuan akan patuh dan setia kepada pengantin laki-laki (wawancara,19 November 2009). Berdasarkan keterangan Bapak Suwarno selaku dalang pengantin, beliau menambahkan penjelasan bahwa: Adapun makna kembar mayang yakni daun-daunan sebagai sarana tolak bala (menolak segala bencana, halangan, rintangan, atau marabahaya). Pecutpecutan melambangkan bahwa hidup perlu semangat, tidak takut menghadapi rintangan. Keris-kerisan melambangkan pusaka dapat berarti ilmu ilmiah untuk mencapai kebahagiaan hidup ataupun ilmu ibadah untuk hidup di akhirat. Payung-payungan melambangkan pengayoman terutama laki-laki yang harus sanggup melindungi istrinya. Walangan melambangkan ketahanan hidup kedinamisan. Manuk-manukan (burung) melambangkan perjuangan,
124 kesetiaan, dan kecerian. Gedebog untuk menancapkan segala daun-daunan dan janur membentuk kembar mayang. Sepasang kelapa muda melambangkan bertemunya pemuda-pemudi (calon pengantin) (wawancara,19 November 2009). Berdasarkan keterangan Ibu Sum (bukan nama sebenarnya) selaku bukan keluarga priyayi menerangkan bahwa: Pada waktu acara panggih, pertemuan pengantin perempuan dengan pengantin laki-laki langsung menginjak acara wijidadi, sindurbinayang, dan penyerahan pengantin laki-laki kepada keluarga pihak pengantin perempuan (wawancara, 27 November 2010). Pada waktu acara panggih pengantin laki-laki diantar oleh keluarga dekat laki-laki yang dituakan, yang disebut dengan (kembang mayang putra) menuju ke rumah pengantin perempuan, sedangkan pengantin perempuan diantar oleh wanita yang dituakan yang disebut dengan (kembang mayang putri) keluar dari kamar pengantin menuju ke halaman rumah menyambut datangnya pengantin laki-laki. Dua kembang mayang putra dan dua kembang mayang putri membawa kembar mayang yang tingginya sekitar satu meter atau lebih, dimana kembang mayang perempuan lebih kecil, terbuat dari janur dengan dihiasi bunga, sedangkan kembang mayang lakilaki terbuat dari pohon pisang yang dihiasi dengan janur serta bunga. Kedua kembang mayang laki-laki nantinya akan ditukar dengan kembang mayang perempuan pada waktu pengantin laki-laki bertemu dengan pengantin perempuan. Setelah kembang mayang ditukar, kembang mayang perempuan yang sudah ditukar dengan kembang mayang laki-laki tersebut diletakkan dipersimpangan dekat rumah, sedangkan kembang mayang laki-laki diletakkan sejajar di depan dekorasi tempat pengantin.
125 Gambar 3.1. upacara perkawinan prosesi panggih
Pengantin laki-laki diantar keluarga dengan kembar mayang
keluarga pengantin perempuan dan para tamu menyambut kedatangan kelaurga dan pengantin laki-laki
pengantin perempuan mencium tangan pengantin laki-laki
c. Balang Suruh Balang suruh dilakukan setelah acara panggih, dimana kedua pengantin saling melempar suruh yang telah dibuntel (dibungkus atau di balut) dengan benang putih. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Suwarno, beliau menjelaskan bahwa: Gantal adalah daun sirih yang bertemu ruasnya untuk membuntal sedikit bunga pinang (jambe), tembakau berwarna hitam, diikat benang putih (lawe). Buah pinang melambangkan keindahan dan keharuman wanita. Kapur berwarna putih melambangkan kesucian, tembakau berwarna hitam melambangkan kcocokan hati. Gantal sebagai simbol perjodohan/pertemuan. Walaupun yang satu pria dan yang lain wanita jika telah diikat dengan tali suci (pernikahan) akan menjadi satu dalam cipta, rasa, dan karsa seperti layaknyadaun sirih yang bebeda ruas atas dan bawahnya, tetapi satu rasa. Lemparan dengan tangan kanan dan kiri, agar tepat saling melempar (pria dan wanita), pengantin pria terlebih dahulu melempar gantal. Lemparan pria diarahkan ke dahi, dada, dan lutut. Ini menunjukkan makna harapan pengantin pria bahwa wanita agar segera dapat mengembangkan dan kuat pikiran (pecah nalar). Biasanya jika ada permasalahan wanita lebih cepat menangis dari pada memikirkan solusinya., menangis dahulu baru bagaimana penyelesaiannya. Berbeda dengan laki-laki yang terkadang kebablasan, bertindak dahulu baru berfikir akibatnya dengan perasaan. Oleh karena itu, wajar jika wanita yang pertama melempar gantal pada dada pengantin pria dengan harapan membangkitkan perasaan kasih dan sayang (wawancara, 31 Oktober 2010). Selanjutnya Bapak Suwarno menambahkan keterangan bahwa: Balang suruh kedua pengantin, dimana suruh tersebut dibuntel(dibungkus atau di balut) dengan benang putih melambangkan cinta kasih, kesucian serta kesetiaan (wawancara,18 November 2009).
126 Balang suruh dilakukan setelah acara panggih, dimana kedua pengantin saling melempar suruh yang telah dibuntel (dibungkus atau di balut) dengan benang putih. Balang suruh kedua pengantin, dimana suruh tersebut dibuntel (dibungkus atau di balut) dengan benang putih. Tradisi balang suruh dilakukan pada waktu acara temon kedua pengantin, pengantin perempuan melempar bungkusan daun sirih yang diikat dengan benang putih kepada pengantin laki-laki melambangkan cinta kasih, kesucian serta kesetiaan. d. Wijidadi Wijidadi merupakan acara yang dilakukan setelah acara balang suruh. Wijidadi dilakukan dengan cara pengantin laki-laki menginjak telur yang telah dipersiapkan. Dimana telur tersebut diletakkan di atas tikar yang terbuat dari anyaman serta ditaburi dengan bunga. Setelah pengantin laki-laki menginjak telur pengantin perempuan membasuh kedua kaki pengantin laki-laki dengan menggunakan air yang telah dicampur dengan berbagai macam bunga. Berikut merupakan penjelasan Pak Suwarno, beliau menjelaskan bahwa: Wijidadi melambangkan bahwa pikiran kedua pengantin bisa serta mampu berfikir untuk kedepannya dalam berbagai hal. Misalnya, bekerja dan bertanggung jawab dalam membangun keluarga secara lahir dan batin (wawancara,18 November 2009). Tradisi wijidadi melambangkan bahwa pikiran kedua pengantin bisa serta mampu berfikir untuk kedepannya dalam berbagai hal dan membangun keluarga secara lahir dan batin. wijidadi merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan dalam perkawinan masyarakat yang menggunakan perkawinan adat Jawa.
127 Gambar 3.2. upacara perkawinan prosesi wijidadi
prosesi wijidadi e. Sindurbinayang Setelah acara wijidadi selesai dilanjutkan dengan acara sindurbinayang. Sindurbinayang merupakan prosesi, dimana ayah pengantin perempuan mengantar kedua pengantin ke kursi pengantin sedangkan ibu pengantin perempuan menutup pundak kedua pengantin dengan kain sindur yang ditarik dari depan kedua pengantin dengan menghadap ke depan oleh ayah pengantin perempuan. Sedangkan ibu pengantin perempuan mengikuti dengan memegang pundak kedua pengantin. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Suwarno, beliau menjelaskan bahwa: Sindurbinayang mempunyai makna, bahwa ayah akan menunjukkan jalan kebahagiaan. Sedangkan ibu, memberikan dorongan moral kepada kedua pengantin apabila suatu saat rumah tangga pengantin terdapat permasalahan agar tidak berputus asa akan tetapi tetap semangat untuk memperbaiki kembali (wawancara,18 November 2009) Sesampai kedua pengantin pada kursi pengantin, kedua pengantin melanjutkan acara sungkem kepada kedua ayah dan ibu pengantin perempuan secara bergiliran. Seperti yang dituturkan oleh Bapak Suwarno, beliau menjelaskan bahwa: “sungkem melambangkan bahwa kedua pengantin akan terus berbakti kepada orangtua walaupun sudah berumah tangga” (wawancara,18 November 2009). Prosesi sindurbanayang di lakukan ayah pengantin perempuan menunjukkan bahwa orang tua akan menunjukkan jalan kebahagian kepada kedua pengantin, sedangkan ibu pengantin akan memberikan dorongan moral kepada kedua pengantin apabila dalam berumah tangga mendapat musibah. Acara sindurbinayang yang
128 dilanjutkan dengan acara sungkem, merupakan suatu lambang bahwa anak meminta doa restu untuk berumah tangga dan akan terus berbakti kepada orang tua walaupun pasangan pengantin sudah menikah. Gambar 3.3. upacara perkawinan prosesi sindurbanayang
prosesi sindurbanayang f. Timbang Acara timbang dilakukan di saat kedua pengantin di atas kursi pengantin, dengan cara ayah pengantin perempuan duduk di kursi pengantin dan kedua pengantin duduk di atas pangkuan ayah pengantin perempuan sambil mengucapkan kedua pengantin sama beratnya. Berikut ini keterangan dari Pak Suwarno, beliau menjelaskan bahwa: Acara timbang ini dilakukan dan ayah pengantin mengatakan sama beratnya, hal ini mempunyai maksud bahwa cinta kedua pengantin sederajat dan orang tua pengantin perempuan sudah menganggap pengantin laki-laki seperti anaknya sendiri walaupun hanya anak menantu (wawancara, 18 November 2009). Pada waktu acara timbang kedua orang tua pengantin perempuan menerima pengantin laki-laki sebagai anak sendiri. Acara timbang dilakukan ayah pengantin mengatakan sama beratnya. Melambangkan cinta kedua pengantin sederajat dan orang tua pengantin perempuan sudah menganggap pengantin laki-laki seperti anaknya sendiri walaupun hanya anak menantu. g. Tanem Acara tanem adalah ayah pengantin perempuan mendudukkan kedua pengantin ke kursi pengantin. Berdasarkan wawancara dengan Pak Suwarno, beliau
129 menjelaskan bahwa: “acara tanem mempunyai makna bahwa ayah pengantin perempuan telah menyetujui pernikahan tersebut” (wawancara,18 November 2009). Pada waktu acara tanem melambangkan bahwa ayah pengantin perempuan sudah menyetujui dan ayah pengantin perempuan memberikan restu kepada kedua pengantin atas perkawinan mereka. h. Sungkeman Sepasang pengantin melakukan sungkem kepada kedua pihak orangtua. Mula-mula kepada orangtua penagntin wanita kemudian kepada orangtua penagntin pria. Sungkem adalah merupakan bentuk penghormatan tulus kepada orangtua dan pinisepuh. Berikut wawancara dengan Pak Suwarno, beliau menjelaskan bahwa: Acara sungkem dilakukan setelah acara timbang dimana pengatin perempuan dan pengatin laki-laki sungkem (menghormat dengan posisi jongkok, kedua telapak tangan menyembah dan mencium lutut yang disungkemi. Sungkem adalah bentuk penghormatan tulus kepada orang tua dan pinisepuh (wawancara, 27 Oktober 2010). Sungkem melambangkan bentuk penghormatan tulus kepada orang tua dan pinisepuh. Pada waktu sungkem (menghormat dengan posisi jongkok, kedua telapak tangan menyembah dan mencium lutut yang disungkemi), keris yangdipakai pengatin pria dilepas terlebih dahulu dan dipegangi oleh juru rias, sesudah selesai sungkem, keris dikanakan kembali. Gambar 3.4. upacara perkawinan prosesi sungkem
Pengantin laki-laki sungkem
pengantin perempuan sungkem
terlebih dahulu kepada orantua
setelah pengantin laki-laki sungkem kepada
pengantinPerempuan
orangtua pengantin perempuan
130 i. Kacar Kucur/Tampakaya Acara kacar kucur ini adalah pengantin laki-laki memberikan bungkusan yang terbuat dari kain kepada pengantin perempuan, pemberiaan ini diletakkan di atas pangkuan pengantin perempuan yang dialasi dengan tikar. Sedangkan pengantin lakilaki mengucurkan isi dalam bungkusan tersebut sedikit demi sedikit di pangkuan pengantin perempuan, dimana dalam bungkusan kain putih tersebut terdapat berbagai macam persediaan bahan pangan. Misalnya, kedelai, kacang, padi, jagung, beras, jamu dlingo, bunga, serta beberapa mata uang (jumlah mata uang harus genap). Berikut wawancara dengan Pak Suwarno, beliau menjelaskan bahwa: Kacar-kucur pengantin laki-laki mengucurkan isi dalam bungkusan tersebut sedikit demi sedikit di pangkuan pengantin perempuan, bungkusan kain putih tersebut terdapat berbagai macam persediaan bahan pangan seperti kedelai, kacang, padi, jagung, beras, jamu dlingo, bunga, serta beberapa mata uang. Kacar kucur mempunyai makna suami akan memberikan seluruh gaji yang diperoleh kepada istrinya dan pengantin perempuan menerima pemberian dari pengantin laki-laki serta berhati-hati dalam membelanjakan dan akan mengurus serta menjadi ibu rumah tangga yang baik (wawancara,18 November 2009). Tradisi kacar kucur merupakan salah satu dari prosesi pernikahan adat Jawa kacar kucur dilaksanakan setelah acara tanem. Kacar-kucur mempunyai makna suami akan memberikan gaji yang diperoleh kepada istrinya dan pengantin perempuan menerima pemberian serta berhati-hati dalam membelanjakan dan akan mengurus serta menjadi ibu rumah tangga yang baik. Gambar 3.5. upacara perkawinan prosesi kacar-kucur
Penyerahan isi kacar kucur
prosesi kacar kucur
131 j. Dahar Kalimah/Dahar Kembul Dahar Kalimah/Dahar Kembul dilakukan setelah acara kacar-kucur selesai. Orang tua pengantin perempuan memberikan nasi serta lauknya satu piring kecil dan satu gelas air. Pasangan pengantin makan bersama dan saling menyuapi satu sama lain. Berdasarkan penjelasan Pak Suwarno bahwa: Dahar kembul (makan satu piring berdua) yang dilakukan oleh pengantin mempunyai makna bahwa kedua pengantin mempunyai tekad untuk hidup bersama serta berat ringan kehidupan berkeluarga dipikul berdua (wawancara,18 November 2009). Acara dahar kembul mempunyai makna bahwa kedua pengantin mempunyai tekad untuk hidup bersama serta berat ringan kehidupan keluarga dipikul bersama. Gambar 3.6. upacara perkawinan prosesi dahar kembul
prosesi dahar kembul k. Resepsi Perkawinan Sesudah seluruh rangkaian upacara perkawinan selesai dilakukan resepsi, dimana kedua pengantin baru diapit kedua belah pihak orang tua menerima ucapan selamat dari para tamu.
Berdasarkan keterangan Ibu Danis, beliau menjelaskan sebagai berikut: Acara resepsi tamu dilaksanakan setelah serangkaian prosesi perkawinan dan para tamu dipersilahkan menyantap hidangan yang sudah disediakan sambil beramah tamah dengan kerabat dan kenalan (wawancara, 11 Oktober 2010). Resepsi dilakukan sesudah seluruh rangkaian upacara perkawinan selesai dilakukan, dimana kedua pengantin baru diapit kedua belah pihak orang tua menerima ucapan selamat dari para tamu. Pada waktu acara resepsi para tamu dipersilahkan
132 menyantap hidangan yang sudah disediakan sambil beramah tamah dengan kerabat dan kenalan. Gambar 3.7. upacara perkawinan prosesi resepsi pernikahan
prosesi resepsi pernikahan l. Nguduh Mantu Ngunduh mantu adalah tradisi yang dilakukan oleh keluarga laki-laki setelah acara pernikahan dikediaman pihak perempuan dengan mengadakan pesta. Acara ngunduh mantu dilaksanakan dengan jangka waktu lima hari setelah acara panggih dikediaman pihak perempuan. Seperti yang dituturkan oleh Ibu Fitri, beliau menjelaskan sebagai berikut: Ngunduh mantu dilaksanakan dikediaman pihak laki-laki setelah lima hari acara pernikahan dipihak perempuan dengan menggadakan pesta, acara ngunduh mantu dilaksanakan seperti acara dikediaman perempuan hanya saja tidak melalui tahap yang rumit. Acara ngunduh mantu ini dilaksanakan setelah lima hari karena sudah adat yang berlaku dari dahulu jadi sekarang tetap dilaksanakan dengan jangka waktu yang sudah ditetapkan (wawancara, 25 Juni 2010). Acara ngunduh mantu diperjelas, seperti yang dituturkan oleh Ibu Danis bahwa: Ngunduh mantu dilaksanakan setelah acara sepasar dikeluarga pihak perempuan, maksud dari sepasar (selamatan setelah acara pernikahan). Acara sepasar dilaksanakan sehari setelah acara pernikahan. Acara sepasar membuat nasi tumpeng dengan mengundang tetangga ataupun jamaah pengajian (wawancara, 26 juni 2010). Berdasarkan keterangan Bapak Cahyono, beliau menjelaskan sebagai berikut: Ngunduh mantu dilaksanakan dikediaman pihak laki-laki karena acara ijab dan prosesi adat jawa dilakukan dikediaman pihak perempuan, ngunduh mantu dilaksanakan setelah lima hari mempunyai makna bahwa pengantin yang sudah bertekad untuk membangun rumah tangga harus siap mandiri lepas dari menggantungkan diri pada orangtua. Pengantin tidak boleh madhep, mantep, mangan, melu, mertuwo yang artinya hanya menguntungkan diri pada mertua.
133 Tetapi juga momong, momot, momor, mursid, murakabit, mendidik, memnjadi wadah, tidak mudah sakit hati apabila dikritik, pandai dan berguna, sehingga acara ngunduh mantu perlu untuk dilakukan (wawacara, 27 Oktober 2010). Berdasarkan keterangan Ibu Danis, beliau menambahkan sebagai berikut: Tujuan upacara ngunduh mantu adalah sebagai syukuran karena orangtua telah berhasil menikahkan anaknya, memperkenalkan pengantin (wanita) dengan masyarakat sekitar, keluarga mempelai pria.untuk mendapatkan pengakuan (legitimasi) secara adat, menjalin persaudaraan(wawacara, 27 Oktober 2010). Acara ngunduh mantu merupakan suatu tradisi yang dilakukan setelah lima hari acara pernikahan dikediaman pihak laki-laki, acara ngunduh mantu lebih sederhana dari pada acara dikediaman pihak perempuan. Ngunduh mantu dilaksanakan setelah acara sepasar dikeluarga pihak perempuan, maksud dari sepasar (selamatan setelah acara pernikahan). Acara sepasar dilaksanakan sehari setelah acara pernikahan. Acara sepasar membuat nasi tumpeng dengan mengundang tetangga ataupun jamaah pengajian. Ngunduh mantu dilaksanakan dikediaman pihak laki-laki setelah lima hari acara pernikahan dipihak perempuan dengan menggadakan pesta hanya saja tidak melalui tahap yang rumit, Acara ngunduh mantu mempunyai makna pengantin yang sudah bertekad untuk membangun rumah tangga harus siap mandiri lepas dari menggantungkan diri pada orangtua. Pengantin tidak boleh madhep, mantep, mangan, melu, mertuwo yang artinya hanya menguntungkan diri pada mertua. Tetapi juga momong, momot, momor, mursid, murakabit, mendidik, menjadi wadah, tidak mudah sakit hati apabila dikritik, pandai dan berguna. Acara ngunduh mantu juga mempunyai tujuan syukuran karena orangtua telah berhasil menikahkan anaknya, memperkenalkan pengantin (wanita) dengan masyarakat sekitar, keluarga mempelai pria.untuk mendapatkan pengakuan (legitimasi) secara adat, menjalin persaudaraan. Sehingga acara ngunduh mantu perlu untuk dilakukan.
134 B. Temuan Penelitian 1. Sistem Perkawinan Priyayi Pernikahan poligami dalam keluarga priyayi bukan merupakan sesuatu yang tidak boleh dalam sebuah perkawinan, akan tetapi sangat menghindari perkawinan poligami karena membawa pengaruh terhadap keharmonisan keluarga terutama istri pertama, timbul percecokan antara istri satu dengan istri berikutnya, pertengkaran tidak hanya sering terjadi antara kedua istri tersebut bahkan bisa dengan suami mereka disebabkan permasalahan yang sepele, apabila pertengkaran kerap terjadi tentunya akan sangat mempengaruhi keharmonisan keluarga serta perkembangan psikologis anak. Sehingga perkawinan dengan sistem poligami tidak dikehendaki dan hampir tidak dilakukan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Apabila ingin poligami tentunya ada persetujuan dari istri pertama dengan sebab istri pertama tidak dapat menjalankan kewajiban dengan baik maka poligami dapat dilakukan. a. Perkawinan Priyayi Perkawinan priyayi adalah perkawinan keluarga priyayi yang menggunakan adat perkawinan Yogyakarta. b. Perkawinan Sedarah Keluarga priyayi masih terdapat perkawinan sedarah, perkawinan seseorang yang masih mempunyai ikatan ataupun hubungan keluarga. Perkawinan sedarah dilakukan karena kedua belah pihak merasa cocok, walaupun masih ada hubungan keluarga tetapi keluarga jauh dan sudah bisa dinikahkan. Berdasarkan silsilah keluarga, perkawinan sedarah bisa dilakukan apabila pihak laki-laki lebih tua dibanding dengan pihak perempuan, apabila pihak perempuan lebih tua dibanding dengan pihak laki-laki perkawinan tidak dapat dilangsungkan
135 karena hal tersebut merupakan pantangan dalam keluarga tersebut walaupun kedua pasangan sudah merasa cocok satu sama lain. Perkawinan sedarah dilakukan apabila kedua belah pihak merasa cocok tanpa adanya paksaan dari orang tua walaupun masih terdapat pihak calon pengantin yang dijodohkan orang tuanya, kedua belah pihak yang hendak menikah setuju dengan pilihan orang tua sehingga terjadi perkawinan sedarah. Dalam kenyataannya perkawinan sedarah masih tetap terjadi dalam kalangan keluarga priyayi. Meskipun dalam melaksanakannya sudah menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dimasa sekarang perkawinan sedarah lebih mengutamakan kebebasan kepada pihak yang hendak menikah baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. c. Perkawinan Sambungan Perkawinan sambungan atau perkawinan karang wulu tidak ada dalam keluarga priyayi. namun, selama ini perkawinan karang wulu hanya dijumpai masyarakat diluar keluarga priyayi dan sangat jarang terjadi perkawinan sambungan atau perkawinan karang wulu. d. Perceraian dalam keluarga priyayi Pada umumnya perceraian yang terjadi dalam keluarga priyayi di Desa Ngembal sangat rendah sekali. Perceraian yang terjadi hanya beberapa orang dari pihak keluarga priyayi dan rujuk kembali sehingga perceraian sangat jarang terjadi. Perceraian disebabkan oleh beberapa faktor yang sulit untuk disatukan baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan, maupun antara pihak menantu dengan pihak mertua disebabkan masalah materi sehingga terjadi perceraian. Namun demikian, terdapat masyarakat di Desa Ngembal yang mengalami perceraian, disebabkan kedua
136 pasangan tidak merasa cocok satu sama lain, suami-istri yang tidak menyukai dari awal pernikahan sehingga hanya pernikahan hanya berjalan belum satu minggu. 2. Tradisi yang dilakukan Sebelum perkawinan dilaksanakan a. Nontoni Menanyakan merupakan tindakan terlebih dahulu yang dilakukan oleh pihak laki-laki ataupun pihak keluarga pihak laki-laki kepada pihak perempuan, apakah pihak perempuan sudah mempunyai pilihan untuk dijadikan pendamping atau belum dan menanyakan perempuan tersebut bersedia dipinang oleh laki-laki tersebut atau tidak. Hal ini dilakukan untuk menghindari dari rasa malu apabila lamarannya nanti ditolakk oleh pihak perempuan. Menanyakan sangat penting untuk menghindari dari hal yang tidak diinginkan. b. Lamaran Pada acara lamaran pihak laki-laki sekaligus menyerahkan cincin kepada pihak perempuan untuk mengikat yang nantinya untuk dinikahi. Setelah pelaksanaan lamaran dari pihak laki-laki selesai dilanjutkan dengan peningsetan atau pertunangan. Mengenai hari H pernikahan yang dimaksud tidak ditentukan pada hari itu, akan tetapi masih ditangguhkan dengan mencari hari baik dengan cara menunggu beberapa hari setelah pihak gadis membericarakan dalam musyawarah keluarga. Lamaran merupakan hal yang bersifat resmi, suatu tahapan dalam rangkaian pernikahan. Tahap lamaran dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, Dalam memilih manantu (suami atau istri dari anak mereka) pihak keluarga masih melihat bibit, bebet dan bobot. Tahap-tahap dalam memilih menantu bukan sebagai hal yang pilih kasih akan tetapi dengan tujuan menjaga kemurnian keturunan serta mempertahankan tradisi yang sudah melekat dari para sesepuh khususnya dalam hal memilih jodoh.
137 Orang tua dari pihak perempuan mencari tahu tentang informasi tersebut dengan cara menyuruh orang ataupun keluarga yang dipercaya. Pihak yang dipercaya tersebut mencari informasi dengan cara menanyakan kepada masyarakat sekitar tentang kebiasaan hidup keluarga laki-laki serta pandangan masyarakat terhadap keluarga pihak laki-laki. Pendekatan serta pertanyaan yang dilakukan oleh pihak keluarga perempuan tidak akan ditanyakan kepada saudara atau sahabat pihak lakilaki, akan tetapi ditanyakan kepada orang lain untuk mencari kebenaran data ataupun informasi. Setelah mendapatkan informasi suruhan pihak perempuan menceritakan tentang apa yang sebenarnya kepada keluarga perempuan. Apabila yang dikatakan pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan itu benar secara fakta maka keluarga membicarakan, memikirkan, dan mengambil keputusan tentang hasil apakah lamaran tersebut diterima ataupun ditolak. Sedangkan keluarga bukan priyayi cenderung melihat kepada yang hendak menikah, apabila kedua orangtua dan kedua calon pengantin sudah setuju maka pelaksanaan perkawinan dapat dilakasanan. Dalam upacara lamaran persiapan dan perlengkapan upacara yang pada intinya sama dengan masyarakat pada umumnya antara lain: tahap pertama, persiapan dalam acara lamaran yaitu membawa tukon (asak tukon), dan pihak laki-laki telah yakin bahwa lamarannya positif diterima makanan tradisional yang wajib dibawa terbuat dari beras ketan, yakni, wajik, tetel dan berbagai makanan. c. Ningseti Ningseti adalah mengencangkan tali ikatan apabila lamaran telah diterima oleh pihak keluarga perempuan, pada hari yang sudah disepakati keluarga pihak lakilaki berkunjung kerumah pihak perempuan. Tujuan ningseti adalah mengencangkan tali ikatan apabila lamaran telah diterima.
138 Dengan adanya peningsetan ikatan ataupun hubungan kedua belah pihak, antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki menjadi setengah sah berdasarkan adat serta tidak boleh dijodohkan dan keluar dengan laki-laki lain. Apabila salah satu dari kedua belah pihak dikemudian hari menyalahi perjanjian yang telah disepakati, banyak melakukan penyimpangan dan jika hubungan tersebut dilanjutkan banyak membawa hal yang buruk terhadap kedua belah pihak, maka pertunangan dapat dibatalkan dan pihak perempuan harus mengembalikan barang-barang yang telah diberikan oleh pihak laki-laki, kecuali makanan. Namun, semua tergantung dari perjanjian kedua belah pihak tersebut. Pada acara ningseti kedua keluarga menentukan hari perkawinan yang telah disepakati Tradisi ningseti di Desa Ngembal pihak perempuan tidak memberikan balasan yang berupa srah-srahan kepada pihak laki-laki, hal tersebut juga berlaku di kalangan keluarga priyayi di Desa Ngembal. d. Sengkeran atau pingitan Sengkeran atau pingitan dalam keluarga bukan priyayi tidak dilakukan sedangkan pingitan untuk keluarga priyayi tidak seperti dahulu dimana pingitan dilakukan selama 40 hari akan tetapi tradisi pingitan dilakukan menjelang hari penikahan yaitu selama 7 hari sebelum upacara panggih. Sengkeran ataupun pingitan dilakukan dengan tujuan menjaga serta mengamankan pihak calon pengantin dari orang lain, menjaga sari (aura) dalam diri calon pengantin sehingga pingitan perlu untuk dilakukan untuk menjaga kelancaran pelaksanaan pernikahan. e. Siraman Siraman dilakukan atas dasar permintaan dari pihak keluarga dan kedua pihak calon pengantin. Keluarga priyayi di Desa Ngembal hanya pihak pengantin perempuan saja yang melakukan siraman, pihak laki-laki tidak ingin melakukan
139 proses siraman. Sebelum melakukan proses siraman, air yang dibuat mandi oleh calon pengantin diberi doa terlebih dahulu oleh juru rias dan taburan bunga sritaman (mawar, melati, dan kenanga) dengan tujuan pengantin tampak lebih cantik serta aura dalam diri calon pengantin keluar. f. Dodol Dawet Dodol dawet merupakan suatu rangkaian prosesi setelah acara siraman. Dodol dawet dilakukan dengan cara orang tua calon perempuan memecah kendhi (tempat air minum yang terbuat dari batu bata dan tanah liat). Setelah penjualan habis, hasil dari pecahan kreweng (pecahan kendhi yang terbuat dari batu bata) tersebut diberikan kepada calon pengantin perempuan yang telah menunggu di kamar. Maksud dari pemberian kreweng (pecahan kendhi yang terbuat dari batu bata) tersebut adalah orang tua memberikan nafkah terakhir kepada calon pengantin yang selanjutnya menjadi kewajiban suami untuk memberikan nafkah. Maksud serta tujuan dilakukannya dodol dawet pada waktu acara pernikahan banyak tamu yang berdatangan.Tradisi dodol dawet merupakan acara yang khas sebelum pernikahan dilaksanakan dalam prosesi pernikahan adat Jawa. g. Langkahan Langkahan dilakukan dengan tujuan untuk meminta doa restu kepada saudara tertua yang belum menikah dan mendoakan supaya saudara yang belum menikah tersebut segera mendapatkan jodoh dan memohon doa restu kepada kakak calon pengantin karena melaksanakan pernikahan terlebih dahulu dan malambangkan kebesaran jiwa kakak (yang dilangkahi) untuk rela jika adiknya menikah menikah terlebih dahulu. Langkahan dilakukan dengan pemotongan dengan menggunakan keris kecil atau gunting untuk memotong benang lawe yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
140 Acara ini melambangkan bahwa kakaknya telah ikhlas mengizinkan adiknya untuk mendahului kawin. Langkahan yang dilakukan calon pengantin yaitu dengan cara memberikan berbagai perlengkapan. Orang Jawa menyebut perlengkapan sepengadhek (perlengkapan kerudung, kebayak, jarik, sandal, kosmetik) yang diberikan calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan sewaktu acara peningsetan ataupun acara tunangan. Langkahan dilakukan sehari sebelum akad nikah yaitu, pada waktu selesai acara siraman. h. Ngerik Upacara ngerik merupakan upacara yang selalu dilakukan setelah acara siraman dan pelangkahan. Setelah acara siraman dan langkahan (jika ada) calon pengantin perempuan dirias dikamar pengantin oleh juru rias, rambut pengantin putri dikeringkan kemudian diasapi dengan ratus/dupa wangi. Upacara ngerik dalam keluarga bukan priyayi langsung dilaksanakan sebelum acara akad nikah dilaksanakan. Wajahnya dirias dan rambutnya digelung. Maksud dari upacara ngerik adalah untuk membuang rasa sial (sebel). i. Midodareni Tradisi midodareni jarang di lakukan dengan penyerahan srah-srahan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan karena selama pelaksanaan perkawinan pihak laki-laki maupun pihak perempuan sendiri atas dana sendiri, sehingga acara midodareni jarang dilakukan. Pada malam melepas lajang pihak perempuan dipingit dalam kamar, ditemani beberapa perempuan yang belum menikah dengan membakar dupa pengantin.
141 j. Nyantri Acara nyantri tetap dilakukan oleh keluarga priyayi untuk kelancaran calon pengantin pada waktu acara ijab Kabul dan prosesi perkawinan adat yang dilakukan. k. Maskawin Pemberian jumlah maskawin tersebut jauh hari sebelum acara akad nikah diberitahukan kepada pihak perempuan terlebih dahulu, apakah sepakat dengan jumlah pemberian maskawin atau belum. Jika belum, maka pihak laki-laki menambahkan sampai terjadi kesepakatan tentang jumlah pemberian maskawin. Jumlah pemberian maskawin tersebut akan disebutkan dalam acara akad nikah yang disaksikan para undangan secara sah, sesuai dengan agama yang diyakini serta perpaduan dengan adat setempat. 3. Pelaksanaan Prosesi Upacara perkawinan a. Akad Nikah Akad nikah merupakan kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh warga negara muslim yang akan melakukan perkawinan. Sebelum acara akad nikah dilaksanakan pihak calon pengantin mengurus surat ke kantor urusan agama terlebih dahulu, setelah itu baru bisa dilakukan akad nikah sesuai dengan tanggal yang telah dipersiapkan oleh calon pengantin. b. Upacara Panggih Pada waktu acara panggih keluarga bukan priyayi pengantin laki-laki diantar oleh keluarga tanpa disertai dengan kembar mayang. Sedangkan kelaurga priyayi pada waktu acara panggih pengantin laki-laki diantar oleh keluarga dekat laki-laki yang dituakan, yang disebut dengan (kembang mayang putra) menuju ke rumah pengantin perempuan, sedangkan pengantin perempuan diantar oleh wanita yang dituakan yang disebut dengan (kembang mayang putri) keluar dari kamar pengantin menuju ke
142 halaman rumah menyambut datangnya pengantin laki-laki. Dua kembang mayang putra dan dua kembang mayang putri membawa kembar mayang yang tingginya sekitar satu meter atau lebih, dimana kembang mayang perempuan lebih kecil, terbuat dari janur dengan dihiasi bunga, sedangkan kembang mayang laki-laki terbuat dari pohon pisang yang dihiasi dengan janur serta bunga. Kedua kembang mayang lakilaki nantinya akan ditukar dengan kembang mayang perempuan pada waktu pengantin laki-laki bertemu dengan pengantin perempuan. Setelah kembang mayang ditukar, kembang mayang perempuan yang sudah ditukar dengan kembang mayang laki-laki tersebut diletakkan dipersimpangan dekat rumah, sedangkan kembang mayang laki-laki diletakkan sejajar di depan dekorasi tempat pengantin. c. Balang Suruh Balang suruh dilakukan setelah acara panggih, dimana kedua pengantin saling melempar suruh yang telah dibuntel (dibungkus atau di balut) dengan benang putih. Balang suruh kedua pengantin, dimana suruh tersebut dibuntel (dibungkus atau di balut) dengan benang putih. Tradisi balang suruh dilakukan pada waktu acara temon kedua pengantin, pengantin perempuan melempar bungkusan daun sirih yang diikat dengan benang putih kepada pengantin laki-laki melambangkan cinta kasih, kesucian serta kesetiaan. d. Wijidadi Tradisi wijidadi melambangkan bahwa pikiran kedua pengantin bisa serta mampu berfikir untuk kedepannya dalam berbagai hal dan membangun keluarga secara lahir dan batin. wijidadi merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan dalam perkawinan masyarakat yang menggunakan perkawinan adat Jawa.
143 e. Sindurbinayang Prosesi sindurbanayang di lakukan ayah pengantin perempuan menunjukkan bahwa orang tua akan menunjukkan jalan kebahagian kepada kedua pengantin, sedangkan ibu pengantin akan memberikan dorongan moral kepada kedua pengantin apabila dalam berumah tangga mendapat musibah. Acara sindurbinayang yang dilanjutkan dengan acara sungkem, merupakan suatu lambang bahwa anak meminta doa restu untuk berumah tangga dan akan terus berbakti kepada orang tua walaupun pasangan pengantin sudah menikah. f. Timbang Pada waktu acara timbang kedua orang tua pengantin perempuan menerima pengantin laki-laki sebagai anak sendiri. Acara timbang dilakukan ayah pengantin mengatakan sama beratnya. Melambangkan cinta kedua pengantin sederajat dan orang tua pengantin perempuan sudah menganggap pengantin laki-laki seperti anaknya sendiri walaupun hanya anak menantu g. Tanem Pada waktu acara tanem melambangkan bahwa ayah pengantin perempuan sudah menyetujui dan ayah pengantin perempuan memberikan restu kepada kedua pengantin atas perkawinan mereka. h. Sungkeman Sungkem melambangkan bentuk penghormatan tulus kepada orang tua dan pinisepuh. Pada waktu sungkem (menghormat dengan posisi jongkok, kedua telapak tangan menyembah dan mencium lutut yang disungkemi), keris yangdipakai pengatin pria dilepas terlebih dahulu dan dipegangi oleh juru rias, sesudah selesai sungkem, keris dikanakan kembali.
144 i. Kacar Kucur/Tampakaya Tradisi kacar kucur merupakan salah satu dari prosesi pernikahan adat Jawa kacar kucur dilaksanakan setelah acara tanem. Kacar-kucur mempunyai makna suami akan memberikan gaji yang diperoleh kepada istrinya dan pengantin perempuan menerima pemberian serta berhati-hati dalam membelanjakan dan akan mengurus serta menjadi ibu rumah tangga yang baik. j. Dahar Kalimah/Dahar Kembul Acara dahar kembul Dahar kembul mempunyai makna bahwa kedua pengantin mempunyai tekad untuk hidup bersama serta berat ringan kehidupan keluarga dipikul bersama. k. Resepsi Perkawinan Resepsi dilakukan sesudah seluruh rangkaian upacara perkawinan selesai dilakukan, dimana kedua pengantin baru diapit kedua belah pihak orang tua menerima ucapan selamat dari para tamu. Pada waktu acara resepsi para tamu dipersilahkan menyantap hidangan yang sudah disediakan sambil beramah tamah dengan kerabat dan kenalan. l. Nguduh Mantu Acara ngunduh mantu merupakan suatu tradisi yang dilakukan setelah lima hari acara pernikahan dikediaman pihak laki-laki, acara ngunduh mantu lebih sederhana dari pada acara dikediaman pihak perempuan. Ngunduh mantu dilaksanakan setelah acara sepasar dikeluarga pihak perempuan, maksud dari sepasar (selamatan setelah acara pernikahan). Acara sepasar dilaksanakan sehari setelah acara pernikahan. Acara sepasar membuat nasi tumpeng dengan mengundang tetangga ataupun jamaah pengajian.
145 Ngunduh mantu dilaksanakan dikediaman pihak laki-laki setelah lima hari acara pernikahan dipihak perempuan dengan menggadakan pesta hanya saja tidak melalui tahap yang rumit, Acara ngunduh mantu mempunyai makna pengantin yang sudah bertekad untuk membangun rumah tangga harus siap mandiri lepas dari menggantungkan diri pada orangtua. Pengantin tidak boleh madhep, mantep, mangan, melu, mertuwo yang artinya hanya menguntungkan diri pada mertua. Tetapi juga momong, momot, momor, mursid, murakabit, mendidik, menjadi wadah, tidak mudah sakit hati apabila dikritik, pandai dan berguna. Acara ngunduh mantu juga mempunyai tujuan syukuran karena orangtua telah berhasil menikahkan anaknya, memperkenalkan pengantin (wanita) dengan masyarakat sekitar, keluarga mempelai pria.untuk mendapatkan pengakuan (legitimasi) secara adat, menjalin persaudaraan. Sehingga acara ngunduh mantu perlu untuk dilakukan.
146 BAB V PEMBAHASAN
1. Sistem Perkawinan Priyayi di Desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan Berdasarkan paparan data dan temuan penelitian yang terdapat dalam Bab IV tentang sistem perkawinan priyayi di Desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan adalah perkawinan keluarga priyayi bersifat monogami. Perkawinan dengan sistem poligami dalam keluarga priyayi bukan merupakan sesuatu yang tidak boleh akan tetapi membawa pengaruh terhadap keharmonisan keluarga, percecokan ataupun pertengkaran yang sering terjadi dalam rumah tangga dapat menjadi penyebab dengan permasalahan yang sepele, apabila pertengkaran kerap terjadi tentunya akan sangat mempengaruhi keharmonisan keluarga serta perkembangan psikologis anak. Sehingga perkawinan dengan sistem poligami tidak dikehendaki dan hampir tidak dilakukan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Apabila ingin poligami tentunya ada persetujuan dari istri pertama dengan sebab istri pertama tidak dapat menjalankan kewajiban dengan baik maka poligami dapat dilakukan. Berdasarkan Undang-Undang Pasal 4 dan 5 Nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu harus ada alasan-alasan yaitu: (1) tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan
apabila alasan-alasan sebagaimana tersebut diatas sudah terpebuhi, maka Pengadilan Agama juga harus meneliti apakah ada tidaknya syarat-syarat tertentu secara kumulatif yaitu: (1) persetujuan dari istri atau istri-istrinya, kalau ada harus 146
147 diucapkan dimuka majelis hakim; (2) kemampuan material dari orang bermaksud menikah lebih dari satu orang; (3) jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah, jaminan berlaku adil ini dibuat dalam persidangan majelis hakim Perkawinan poligami banyak menimbulkan beberapa hal yang sangat mempengaruhi kehidupan dengan istri pertama sehingga menimbulkan ketegangan berumah tangga. Keluarga priyayi mempunyai kesadaran secara hukum maupun kesadaran yang terdapat dalam diri sendiri bahwa seorang istri membutuhkan pengayoman dari seorang suami, terlebih seorang anak dalam masa pertumbuhan serta perkembangan membutuhkan perlindungan, ketenangan, kenyamanan, pendidikan, serta kasih sayang dari orang tua sehingga Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan poligami dapat menjadi sebuah dasar yang kuat tentang peraturan perkawinan di Indonesia. Kesadaran hukum, kedisiplinan serta tanggung jawab dari masyarakat sangat diharapkan karena hal tersebut merupakan suatu dasar untuk tercipta serta terlaksananya peraturan secara baik, dengan adanya peraturan tanpa disertai kesadaran hukum, kedisiplinan serta tanggung jawab dari masyarakat sangat sulit peraturan tersebut untuk diterapkan akan tetapi dengan adanya kesadaran hukum dari masyarakat penerapan peraturan yang ada tidak terlalu sulit. Kesadaran yang dimiliki tergantung dalam diri masing-masing individu semakin dini kita menerapkan peraturan semakin tinggi kesadaran yang terbentuk dalam diri masyarakat, kesadaran, kedisiplinan serta tanggung jawab dapat diperoleh dengan cara belajar dari orang tua, orang lain maupun diri kita sendiri. Pada hakekatnya perkawinan menurut Koentjaraningrat (1984:43) sebagai berikut:
148 Perkawinan sebagai pranata hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita, seorang pria dan dengan beberapa orang wanita yang diresmikan menurut prosedur adat istiadat agama dalam masyarakat yang bersangkutan dan karena itu mempunyai konsekuensi ekonomi sosial dan keagamaan sebagai individu yang bersangkutan para kaum kerabat mereka. Kesadaran hukum yang berkenaan dengan moral selain hukum yang berlaku di Indonesia, kedisiplinan serta tanggung jawab yang sudah ada dalam keluarga priyayi sehingga dalam perkawinan seorang laki-laki disarankan mempunyai seorang istri kecuali dengan dasar alasan yang sangat kuat untuk dapat melakukan poligami walaupun mempunyai harta yang berlebihan bukan berarti pihak laki-laki mudah untuk melakukan perkawinan secara poligami. Berdasarkan Inpres No I Tahun 1991, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dengan adanya perkawinan ini, diharapkan agar kedua suami-istri dapat tinggal dirumah dengan damai serta saling mencintai antara keduanya dan memberikan kasih sayang serta cinta kepada satu sama lain sesuai dengan tujuan pernikahan. 2. Tradisi yang Dilakukan Sebelum Pelaksanaan Perkawinan Berdasarkan paparan data dan temuan penelitian yang telah disajikan dalam Bab IV tentang tradisi yang dilakukan sebelum pelaksanaan perkawinan adalah sebagai berikut: a. Nontoni Menanyakan merupakan tindakan terlebih dahulu yang dilakukan oleh pihak laki-laki ataupun pihak keluarga pihak laki-laki kepada pihak perempuan, apakah pihak perempuan sudah mempunyai pilihan untuk dijadikan pendamping atau belum dan menanyakan perempuan tersebut bersedia dipinang oleh laki-laki tersebut atau tidak. Pada waktu nontoni tersebut keluarga pihak laki-laki tersebut dapat menilai pihak keluarga perempuan yang akan dilamar. Hal ini perlu dilakukan tidak hanya
149 untuk kalangan priyayi akan tetapi perlu dilakukan untuk kalangan masyarakat umum untuk menghindari dari rasa malu apabila lamarannya nanti ditolak oleh pihak perempuan. Nontoni sangat penting dilakukan tidak hanya untuk keluarga kalangan priyayi tetapi juga untuk masyarakat Jawa umumnya untuk menghidari hal yang tidak diinginkan. b. Lamaran Tradisi lamaran di Desa Ngembal, keluarga pihak laki-laki melamar pihak perempuan untuk dijadikan istri, pada saat ini biasanya kedua pihak sudah saling mengenal. Tradisi lamaran tidak hanya untuk kalangan keluarga priyayi akan tetapi menyeluruh baik keluarga priyayi maupun bukan tetap melakukan lamaran. Menurut Geertz (1983: 31) sebagai berikut: Pola pinangan secara formal yang benar menurut kejawen terdiri dari tiga tahap. Pertama-tama, semacam perundingan penjajakan yang dilakukan oleh seorang teman atau saudara si pemuda, dengan maksud menghindari rasa malu apabila ditolak. Tahap kedua, sekurang-kurangnya dengan suatu jamuan yang serba basa-basi, kunjungan resmi pemuda tersebut ke rumah si gadis yang disertai ayah atau sanak saudaranya yang lain. Kunjungan ini dinamakan nontoni, ’melihat-lihat’, tujuannya untuk memberi kesempatan bagi orangtua kedua belah pihak untuk saling menilai secara tradisional, dan bahkan sekarang pun masih sering terjadi, bakal mempelai itu belum saling kenal maka saat inilah salah-satunya kesempatan bagi mereka untuk menaksir. Pinangan resmi kepada seorang gadis dapat terjadi sebelum ataupun sesudah si pemuda melihatnya. Orangtua sang pemuda berkunjung ke orangtua pemudi, atau mengirim seorang utusan atau mengirim sehelai surat. Biasanya pinangannya dinyatakan bahwa mereka bermaksud menjadi besan bagi orangtua pemudi itu. Perundingan pinangan dapat diselenggarahkan dengan cara yang sangat resmi, penuh dengan tata cara dan njelimet, tetapi juga dapat dengan cara sederhna dan lugas jika semua pihak yang bersangkutan merupakan teman lama dan sanak saudara. Pola yang formal itu lebih lazim berlaku di kalangan priyayi, yaitu kelas atas kota; sedangkan pola yang tidak lazim di kalangan petani di desa dan di kalangan kelas bawah kota. Tradisi melamar dengan cara tradisional sangat baik untuk diterapkan karena mempunyai nilai tersendiri dalam masyarakat, salah satu nilai tersebut adalah untuk menjadikan perempuan sebagai seorang istri dan menerima keluarga baru terdapat tata
150 cara yang sopan. Dalam Undang-undang No I Tahun 1974, terdapat penjelasan asas sukarela dalam perkawinan, sebagai berikut: Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, agar suami-istri dapat membentuk keluarga bahagia dan sejahtera serta kekal, maka diwajibkan kepada calon mempelai untuk saling kenal terlebih dahulu. Kenalan yang dimaksud disini adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak menyimpang dari norma agama yang dianutnya. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihannya, melainkan diharapkan membimbing dan menuntut anak-anaknya agar memilih pasangan yang cocok sesuai dengan anjuran agama yang mereka peluk. Tradisi lamaran mempunyai manfaat, salah satu diantaranya kedua belah pihak saling mengenal, apabila terdapat kecocokan dan kedua pihak keluarga setuju maka lamaran tersebut diterima dan dilanjutkan ketahap berikutnya. Sebaliknya apabila lamaran tersebut ditolak maka pihak keluarga perempuan dapat menolak dengan ungkapan yang halus untuk menghindari rasa sakit hati kepada pihak laki-laki. Pihak laki-laki diharapkan dapat menerima dengan lapang dada, berfikir secara positif, serta mengambil hikma dari semua yang terjadi karena segala sesuatu terdapat baik buruk yang sudah ditetapkan. Tradisi lamaran sangat penting bagi pihak keluarga kedua pasangan untuk saling mengenal, selain itu pihak orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihannya, melainkan dengan tradisi lamaran diharapkan membimbing dan menuntun anak-anaknya agar memilih pasangan yang cocok sesuai dengan anjuran agama yang mereka peluk. c. Ningseti Ningseti merupakan acara yang dilaksanakan setelah acara lamaran diterima oleh pihak perempuan, acara ningseti adalah mengencangkan tali ikatan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan. Pada waktu acara ningseti tersebut pihak laki-laki berkunjung kerumah pihak perempuan untuk menyerahkan barang-barang yang
151 disebut dengan peningset (tanda pengikat) untuk meresmikan lamaran tersebut dan sebagai bukti bahwa anak perempuan tersebut sudah diikat dan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain. Peningset tersebut berupa seperangkat pakaian secara lengkap serta membawa makanan tradisonal yang terbuaut dari beras ketan. Penyerahan barang pada waktu acara ningseti di sesuaikan dengan adat yang berlaku didaerah tersebut. Penyerahan barang oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan tergantung dari kemampuan pihak laki-laki. Acara ningseti dikediaman pihak perempuan dan penyerahan yang diberikan kepada pihak laki-laki dapat diberikan secara mewah akan tetapi juga dapat dilakukan secara sederhana, pantas serta tetap mempunyai nilai adat. Sehingga tidak menghamburkan dana terlalu berlebihan karena masih terdapat prosesi dalam pernikahan yang membutuhkan dana lebih banyak. d. Sengkeran atau pingitan Sengkeran bertujuan untuk memberikan pembekalan mental dan berbagai nasihat oleh sesepuh kepada calon pengantin dan menjaga keselamatan calon pengantin agar tidak ‘melarikan diri’, misalnya calon pengantin tidak mau dinikahkan. Pada zaman dahulu calon pengantin belum saling bertemu dan saling mengenal. Dengan perkembangan zaman pernikahan atas permintaan calon pengantin, perjodohan oleh orangtua sudah sangat jarang terjadi, walaupun masih ada sehingga sengkeran atau pingitan dilakukan tidak seperti dahulu dimana pingitan dilakukan selama 40 hari akan tetapi tradisi pingitan dilakukan menjelang hari penikahan yaitu selama 7 hari sebelum upacara panggih. Sengkeran ataupun pingitan dilakukan dengan tujuan menjaga serta mengamankan pihak calon pengantin dari orang lain, menjaga sari (aura) dalam diri calon pengantin sehingga pingitan perlu untuk dilakukan untuk menjaga kelancaran pelaksanaan pernikahan.
152 e. Siraman Siraman adalah calon pengantin dimandikan oleh keluarga dengan air yang berasal dari tujuh mata air dan diberi doa terlebih dahulu oleh perias pengantin. Siraman tersebut dilakukan atas permintaan dari pihak keluarga dan kedua pihak calon pengantin. Tradisi siraman bukan merupakan suatu keharusan untuk semua calon pengantin, akan tetapi adat Jawa yang berlaku secara melekat dalam kalangan tertentu sehingga seseorang tersebut tetap melaksanakan posesi siraman dengan tujuan calon pengantin terlihat lebih cantik. Tradisi siraman yang tidak wajib dilaksanakan sebelum melaksanakan pernikahan dan tetap dilaksanakan oleh sebagian kecil masyarakat Jawa sekarang ini diharapkan tetap dilaksanakan untuk menjaga serta melestarikan tradisi yang hanya dilaksanakan oleh sebagian kecil masyarakat Jawa karena tradisi siraman merupakan tahap-tahap pernikahan Jawa sebelum dilaksanakan. Sebagian masyarakat tidak melakukan prosesi siraman karena terbentur dengan permasalahan ekonomi akan tetapi hal ini dapat dilaksanakan dengan prosesi siraman yang dilakukan secara sederhana tanpa berlebihan. Prosesi siraman yang dilakukan tergantung dari tempat siraman yang ditempati sehingga tinggi rendah dana yang dikeluarkan untuk prosesi siraman tergantung dari permintaan keluarga dan calon pengantin. Keterbatasan dana pernikahan dapat diatasi seseorang dengan prosesi yang sederhana sehingga semua prosesi dapat terlaksana secara adat Jawa. f. Dodol dawet Dodol dawet adalah menjual dawet (minuman yang terbuat dari santan dengan gula merah) dengan cara orang tua calon pengantin membanting kendhi (tempat air minum yang terbuat dari batu bata dan tanah liat) yang digunakan sebagai alat pembelian dawet. Setelah penjualan dawet habis, hasil dari pecahan kreweng
153 (pecahan kendhi yang terbuat dari batu bata) tersebut diberikan kepada calon pengantin perempuan yang telah menunggu di kamar. Maksud dari pemberian kreweng (pecahan kendhi yang terbuat dari batu bata) tersebut adalah orang tua memberikan nafkah terakhir kepada calon pengantin yang selanjutnya menjadi kewajiban suami untuk memberikan nafkah. Maksud serta tujuan dilakukannya dodol dawet pada waktu acara pernikahan banyak tamu yang berdatangan. Dodol dawet yang dilakukan keluarga priyayi dengan tujuan pada waktu acara pernikahan diharapkan banyak tamu yang hadir merupakan suatu kepercayaan dari masyarakat harus tetap kita hormati, tradisi perlu dijaga dan dilestarikan dengan cara belajar, memahami makna yang terkandung dalam tradisi serta melakukan tradisi tersebut. khususnya masyarakat Jawa yang jarang melakukan acara dodol dawet pada waktu acara pernikahan dapat belajar, memahami makna yang terkandung dalam tradisi dodol dawet serta melakukan tradisi dodol dawet dalam pernikahan. g. Langkahan Langkahan dilakukan dengan tujuan untuk meminta doa restu kepada saudara tertua yang belum menikah dan mendoakan supaya saudara yang belum menikah tersebut segera mendapatkan jodoh dan memohon doa restu kepada kakak calon pengantin karena melaksanakan pernikahan terlebih dahulu dan malambangkan kebesaran jiwa kakak (yang dilangkahi) untuk rela jika adiknya menikah menikah terlebih dahulu. Langkahan dilakukan dengan pemotongan dengan menggunakan keris kecil atau gunting untuk memotong benang lawe yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Acara ini melambangkan bahwa kakaknya telah ikhlas mengizinkan adiknya untuk menikah terlebih dahulu.
154 h. Ngerik Upacara ngerik merupakan upacara yang selalu dilakukan dalam keluarga priyayi setelah acara siraman dan pelangkahan. Setelah acara siraman dan langkahan (jika ada) calon pengantin perempuan dirias dikamar pengantin oleh juru rias, rambut pengantin putri dikeringkan kemudian diasapi dengan ratus/dupa wangi. Wajahnya dirias dan rambutnya digelung. Maksud dari upacara ngerik adalah untuk membuang rasa sial (sebel). Pada malam sebelum akad orangtua calon mempelai putri memberikan suapan terakhir karena mulai besok, dia sudah berada dibawah tanggung jawab suaminya. i. Midodareni Midodareni adalah malam melepas lajang sebelum acara pernikahan dilaksanakan. Pelaksanaan acara midodareni dimulai pukul 18.00 wib. Pada waktu acara midodareni ini calon pengantin berada didalam kamar serta tidak boleh tidur sebelum pukul 00.00 wib. Midodareni dipercaya akan memberikan berkah kepada calon pengantin dan pada waktu acara pernikahan membuat wajah pengantin cantik seperti bidadari. Pada waktu acara midodareni diharapkan calon pengantin berdoa dalam hati agar pernikahan yang akan dilangsungkan besok berjalan dengan lancar serta berdoa pada waktu acara pengantin terpancar kecantikan dari dalam dan luar diri pengantin. (Suwarno, 2006: 135) adapun tujuan midodareni adalah sebagai berikut: (a) menunjukkan tekad bulat dan suci untuk siap menjalankan pernikahan; (b) pernyataan syukur kepada Tuhan karena telah siap untuk dinikahkan. Pernikahan anak merupakan kebahagian tak terhingga bagi orangtua; (c) permohonan kepada Tuhuan agar pelaksanaan acara berikutnya berjalan lancar dan selamat; (d) sebagai sarana menjalin kekerabatan, kerukunan, kekompakan bersama antara pemangku hajat, pinisepuh,
155 sesepuh, dan kerabat tetangga; (e) meminta doa restu (bantuan) para hadirin agar perhelatan berjalan selamat dan lancar; (f) mempersiapkan berbagai kebutuhan dan acara hari berikutnya. Acara hari berikutnya merupakan acara inti, sacral, dan agung (yaitu pernikahan dan upacara panggih, resepsi). Menurut Noviana (2007: 14) sebagai berikut: Pada zaman sekarang, acara midodareni berubah sedikit menjadi acara pertemuan keluarga dari pengantin laki-laki dengan keluarga calon perempuan disertai secara resmi berupa penyerahan barang-barang (sanggahan srah-srahan) sebagai upaya bantuan diadakannya upacara adat besok harinya. Pada acara pernikahan keluarga priyayi tidak terdapat srah-srahan (sanggan srah-srahan) sebagai upaya bantuan dari pihak laki-laki karena selama ini didalam keluarga priyayi pelaksanaan pernikahan dengan menggunakan dana sendiri. Menurut pendapat Suwondo ( 1981: 39) sebagai beriku: Mengadakan pemberian-pemberian pada waktu perkawinan ini sangat umum di seluruh Indonesia, meskipun jumlah dan macamnya barang yang diberikan tentu berbeda-beda. Besarnya jumlah yang harus diberikan umumnya tergantung dari pada tingkat kedudukan wanita, makin tinggi kedudukannya makin banyak jumlah pemberian itu. Terdapat penyerahan srah-srahan atau tidaknya penyerahan srah-srahan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan dengan tujuan meringankan beban pihak perempuan sebaiknya diterima dengan baik, karena setiap daerah mempunyai tradisi yang berbeda. Keinginan maupun kemampuan dari setiap individu berbeda sehingga mempengaruhi terdapat dan tidak terdapat srah-srahan dalam perkawinan. j. Nyantri Acara nyantri tetap dilakukan oleh keluarga priyayi untuk kelancaran calon pengantin pada waktu acara ijab Kabul dan prosesi perkawinan adat yang dilakukan. Nyantri dilaksanakan untuk segi praktisnya, mengingat besok pagi dia sudah harus didandani untuk pelaksanaan ijab kabul/pernikahan. Juga untuk keamanan
156 pernikahan, kedua calon mempelai sudah berada disatu tempat (http://jagadkejawen.com). k. Maskawin Maskawin merupakan pemberian yang wajib diberikan dari calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan berupa uang, ataupun barang. Pemberian maskawin tidak hanya berlaku dalam keluarga priyayi akan tetapi berlaku untuk seluruh lapisan, karena pemberian maskawin merupakan suatu kewajiban yang harus diberikan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang akan dinikahi sesuai dengan hukum Islam. Pemberian jumlah maskawin diberitahukan kepada pihak perempuan terlebih dahulu sebelum acara akad nikah merupakan sesuatu yang baik karena pihak perempuan berhak menentukan berapa jumlah maskawin yang harus diberikan. Dengan memberitahukan pemberian jumlah maskawin kepada pihak perempuan, pihak laki-laki wajib menambah jumlah maskawin yang diminta oleh pihak perempuan sampai terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Pemberian maskawin disesuaikan dengan daerah adat setempat, apabila adat pemberian maskawin yang berlaku tidak memberatkan pihak laki-laki diharapkan pihak perempuan tidak menekan pihak laki-laki dengan memberikan maskawin secara berlebihan akan tetapi disesuaikan dengan kemampuan pihak laki-laki dan diharapkan pihak laki-laki dalam memberikan maskawin tidak sembarangan akan tetapi sesuatu yang pantas dan disesuaikan dengan pihak perempuan. Menurut Rasjidi (1991: 42) sebagai berikut: Tentang besarnya maskawin tidak ditentukan secara pasti; semuanya diserahkan kepada pihak-pihak yang akan kawin. Biasanya dalam hal ini pun terdapat perpaduan di antara agama Islam dan adat setempat. Beberapa faktor turut berperan dalam menentukan besarnya maskawin ini, yang status sosial orang tua mempelai perempuan, pendidikan, dan lain-lain.
157 Berdasarkan pendapat Rasjidi dapat disimpulkan bahwa faktor status sosial sangat mempengaruhi dan perlu diperhatikan dalam pemberian maskawin oleh pihak laki-laki. Jumlah pemberian maskawin tersebut akan disebutkan dalam acara akad nikah yang disaksikan para undangan secara sah, sesuai dengan agama yang diyakini serta perpaduan dengan adat setempat. Pemberian maskawin diberikan pada waktu acara akad nikah dilangsungkan, pada waktu acara akad nikah tersebut pemberian maskawin disebutkan secara jelas dan penyerahan maskawin dihadapan para undangan. 3. Pelaksanaan Prosesi Upacara perkawinan Berdasarkan paparan data dan temuan penelitian yang telah dipaparkan dalam Bab IV diketahui bahwa Prosesi perkawinan adat priyayi menggunakan adat perkawinan sebagai berikut: a. Akad nikah Akad nikah merupakan hal yang sakral bagi perhatian seseorang tidak hanya berdasarkan agama saja akan tetapi juga berdasarkan agama. Akad nikah atau ijab qobul merupakan kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh warga negara yang akan hendak melaksanakan pernikahan dengan perubahan yang terjadi. Orang Jawa kesadaran hukum masyarakat semakin tinggi, menghormati hukum negara, dan menganggap perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pejabat dari kantor urusan agama sebagai wakil negara. Pelaksanaan akad nikah dilakukan kantor pencatatan sipil komunitas muslim. Berdasarkan Undang-undang No I Tahun 1974 sebagai berikut: perkawinan diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan derajat kaum wanita. Mereka harus mencari nafkah hidup untuk membiayai dirinya dan juga anak-anaknya yang harus mencari nafkah hidup untuk membiayai dirinya dan juga anak-anknya yang seharusnya menjadi tanggung jawab pihak suami. Banyak suami meninggalkan begitu saja istrinya tanpa memikirkan biaya hidup yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
158 Secara lahiriah, wanita makhluk yang paling banyak memerlukan memerlukan perlindungan, pengayoman, dan kasih kasih sayang. Kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan diharapkan pada masa yang akan datang suami harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap istri dan anak-anaknya didalam hal pemeliharaan dan perlindungannya. Dengan adanya pencatatan pernikahan di kantor urusan agama pihak perempuan lebih terlindungi serta mendapatkan pengayoman dan keadilan secara hukum. b. Panggih Panggih dalam perkawinan merupakan acara pertemuan antara pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan. Pertemuan pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan dihalaman rumah. Pengantin laki-laki diantar oleh keluarga dekat dengan diiringi dua laki-laki muda yang membawa kembang mayang. Pengantin perempuan diantar oleh dua orang wanita yang dituakan menuju kehalaman rumah untuk melakukan upacara panggih diikuti oleh orang tua pengantin perempuan serta diiringi dua perempuan muda membawa kembang mayang. Kembang mayang lakilaki tersebut ditukar dengan kembang mayang perempuan pada waktu pertemuan pasangan pengantin bertemu. Upacara panggih merupakan upacara puncak perkawinan dalam keluarga priyayi dan kehormatan. (Suwarno, 2006: 190) upacara panggih bertujuan: (a) Untuk memperoleh pengukuhan secara adat atas perjodohan dua insan yang sudah terikat tali pernikahan; (b) Untuk memperkenalkan kepada khayalak (masyarakat) teentang terjadinya perkawinan sekaligus mendapatkan pengakuan secara adat; (c) Untuk mendapatkan doa dan restu pada sesepuh dan semua tamu yang hadir. Pada waktu acara panggih mempunyai makna bahwa pengantin perempuan keluarga pihak perempuan menyambut dan menerima kedatangan pengantin laki-laki dan keluarga pihak laki-laki. Pihak perempuan akan patuh dan setia kepada suami.
159 Acara panggih diharapkan kedua pihak keluarga saling menerima kedua pengantin. Setelah acara panggih dilanjutkan dengan upacara lainnya yaitu balang suruh. c. Balang suruh Balang suruh dilakukan waktu acara panggih yaitu pertemuan pengantin lakilaki bertemu pengantin perempuan dengan melempar daun sirih yang diikat sebagai lambang cinta kasih dan kesetiaan. Tradisi balang suruh mencerminkan cinta kasih dan kesetian antara suami-istri, dengan acara balang suruh diharapkan cinta kasih dan kesetian dapat melekat dalam hati pasangan pengantin serta terwujud dalam kehidupan sehari-hari sebagai suami-istri, karena dalam sebuah pernikahan cinta kasih dan kesetiaan merupakan hal yang penting dalam pernikahan, tanpa kasih sayang dan kesetiaan maka tujuan pernikahan tidak dapat tercapai secara baik. d. Wijidadi Acara wijidadi dilakukan setelah acara balang suruh dengan cara pengantin laki-laki menginjak telur dan pengantin perempuan membasuh kaki pengantin lakilaki dengan air bunga. Tradisi wijidadi dalam pernikahan tetap dilakukan pada waktu acara panggih. Tradisi wijidadi diharapkan kedua pengantin mempunyai pemikiran yang pecah, untuk berkarya, bekerja dan bertanggung jawab dalam membangun keluarga yang sejahtera lahir dan batinnya. e. Sindurbinayang. Sindurbinayang merupakan tradisi pernikahan setelah acara wijidadi dilaksanakan. Berdasarkan hasil dari www.indonesiabrides.com sebagai berikut: Setelah upacara wijidadi, ayah pengantin perempuan mengantar pasangan pengantin ke kursi pengantin, ibu pengantin perempuan menutup pundak pasangan pengantin dengan sidur. Itu berarti bahwa ayah akan menunjukkan jalan kebahagiaan. Ibu memberi dorongan moral. Tradisi sindurbinayang diharapkan tetap dilaksanakan dalam perkawinan adat Jawa, dengan melaksanakan tradisi sindurbinayang setiap pernikahan dalam keluarga
160 secara tidak langsung dapat melestarikan kebudayaan yang kita miliki. Nilai yang terkandung dalam tradisi sindurbanayang dapat diterapkan dalam kehidupan. Acara sindurbinayang diharapkan kedua pengantin dalam menghadapi masalah dalam berumah tangga tidak putus asa tetap teguh, belajar dan mengambil hikma dari segala sesuatu yang terjadi, dan dapat bersikap bijaksana dalam mengambil keputusan tanpa dengan kekerasan. f. Timbang Upacara timbang merupakan setelah acara sindurbinayang. Acara timbang dilakukan di saat kedua pengantin di atas kursi pengantin, dengan cara ayah pengantin perempuan duduk di kursi pengantin dan kedua pengantin duduk di atas pangkuan ayah pengantin perempuan sambil mengucapkan kedua pengantin sama beratnya. Tradisi timbang yang dilaksanakan dalam pernikahan adat Jawa mempunyai makna bahwa kedua orangtua pihak laki-laki maupun kedua orangtua pihak perempuan sudah bisa menerima menjadi keluarga dengan cara memberikan kasih sayang yang sama, bersikap adil tanpa membedakan antara anak kandung dan anak menantu. g. Tanem Pada waktu acara pengantin terdapat tradisi tanem, dimana dilakukan dengan cara yang sederhana yaitu ayah pengantin perempuan mendudukan kedua pengantin dikursi pengantin. Acara tamen mempunyai makna bahwa orang tua kedua pengantin telah menyetujui dengan pernikahan mereka. Tradisi tanem yang dilaksanakan dalam perkawinan diharapkan kedua orang tua memberikan doa restu kedua pengantin dan berdoa agar perkawinan dapat langgeng.
161 h. Sungkeman Sungkem melambangkan bentuk penghormatan tulus kepada orang tua dan pinisepuh. Pada waktu sungkem (menghormat dengan posisi jongkok, kedua telapak tangan menyembah dan mencium lutut yang disungkemi), keris yangdipakai pengatin pria dilepas terlebih dahulu dan dipegangi oleh juru rias, sesudah selesai sungkem, keris dikanakan kembali. Orang tua pengantin sudah memberikan restu yang dilambangkan dari kain batik yang dikenakan yang polanya truntum artinya miliki rejeki yang cukup selama hidup. Kedua orang tua menggunakan ikat pinggang besar yang namanya sindhur dengan pola gambar dengan garis yang melekuk-lekuk, artinya orang tua mewanti-wanti kedua anaknya supaya selalu bertindak hati-hati, bijak dalam menjalani kehidupan nyata didunia ini (http://jagadkejawen.com). i. Kacar kucur Kacar kucur/Tampakaya melambangkan seorang suami yang tidak curang, semua hasil jerih payahnya diperuntukkan bagi keluarga, istri harus pandai mengatur ekonomi rumah tangga (Sadila dalam Suwarno, 2006: 197). Acara kacar kucur adalah tradisi pengantin laki-laki memberikan bungkusan yang terbuat dari kain kepada pengantin perempuan, pemberiaan ini diletakkan di atas pangkuan pengantin perempuan yang dialasi dengan tikar. Sedangkan pengantin lakilaki mengucurkan isi dalam bungkusan tersebut sedikit demi sedikit dipangkuan pengantin perempuan, dimana dalam bungkusan kain putih tersebut terdapat berbagai macam persediaan bahan pangan. Misalnya, kedelai, kacang, padi, jagung, beras, jamu dlingo, bunga, serta beberapa mata uang (jumlah mata uang harus genap). Pada waktu acara kacar kucur diharapkan pihak laki-laki dapat melakukan kewajiban sebagai seorang suami, yaitu memberi nafkah kepada istri, sedangkan pihak istri dapat menerima besar kecil gaji dan pemberian suami. Seorang istri harus
162 dapat mengatur keuangan dan berhati-hati dalam membelanjakan gaji suami untuk keperluan rumah tangga. Tradisi kacar kucur juga diharapkan pihak istri tidak menghamburhamburkan gaji suami dengan membelanjakan keperluan yang tidak penting dengan cara istri membuat daftar rincian belanja antara pemasukan yang diberikan suami dan pengeluaran untuk keperluan rumah tangga, dari perincian tersebut dapat diketahui kebutuhan yang seharusnya didahulukan dan kebutuhan yang harus dikesampingkan terlebih dahulu. Pembuatan perincian tentang anggaran keuangan rumah tangga istri dapat meminimalkan pengeluaran yang kurang penting. Pihak suami juga harus menyadari dan sering berkomunikasi dengan istri tentang berapa besar yang diperlukan keperluan rumah tangga sehingga keuangan rumah tangga dapat dikendalikan. j. Dahar kembul Tradisi dahar kembul merupakan tradisi dalam pernikahan Jawa yaitu kedua pengantin makan dan minum bersama dalam satu wadah. Tradisi dahar kembul mempunyai makna bahwa berat ringannya kehidupan berumah tangga akan dipikul bersama. Makna yang terdapat dari tradisi dahar kembul pada waktu acara pernikahan diharapkan kedua pengantin dapat mengambil makna yang terkandung dalam tradisi tersebut, yaitu berat ringannya kehidupan berumah tangga akan dipikul bersama. Dalam kehidupan berrumah tangga tidak hanya terdapat kesenangan akan tetapi terdapat suka duka, dalam keadaan suka maupun duka suami istri diharapkan tetap saling mendukung antara satu sama lain. Berikut pendapat As-Sanan (2003: 2122). Manusia membutuhkan kestabilan dan ketenangan dalam kehidupan rumah tangganya yang tidak mungkin dapat diwujudkan kecuali melalui keberadaan kawan hidup yang menjadi pembantu dan penguat dirinya. Suami-istri dan dapat menemukan ketenangan dengan pasangannya, saling membantu
163 meringankan beban dan penderitaan hidup, dan saling merasakan cinta dan kasih sayang. Seperti yang di firmankan Allah swt: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-isri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang (Qs. 30:31). Keadaan suka maupun duka seorang istri harus mendampingi serta bisa memberikan ketenangan kepada suami pada waktu terjadi permasalahan dalam keluarga mereka. Sedangkan, suami diharapkan dapat berfikir jernih dan dapat bersikap serta dapat mengambil keputusan yang bijaksana tanpa dengan kekerasan. k. Ngunduh mantu Ngunduh mantu adalah tradisi yang dilakukan oleh keluarga laki-laki setelah acara pernikahan dikediaman pihak perempuan dengan mengadakan pesta. Acara ngunduh mantu dilaksanakan dengan jangka waktu tujuh hari setelah acara panggih dikediaman pihak perempuan. Berikut merupakan pendapat dari Geertz (1985: 68-71) bahwa: Pengambilan pengantin perempuan pulang ke rumah mempelai laki-laki itu dinamakan ngunduh manten harfiah berarti memetik atau panen pengantin. Acara ngunduh mantu yang dilakukan oleh keluarga pihak laki-laki pelaksanaannya tergantung dari keinginan dan kemampuan keluarga pihak laki-laki, pelaksanaan dapat dilakukan lebih sederhana dibanding dengan acara temon dikediaman pihak perempuan atau dilakukan secara lebih dibanding pada waktu acara temon. Pada waktu acara ngunduh mantu diharapkan keterbukaan keluarga laki-laki untuk menerima pihak perempuan untuk menjadi bagian dalam keluarga pihak lakilaki serta menerima kelebihan dan kekurangan yang miliki pihak perempuan, begitu
164 juga dengan pihak perempuan menerima kelebihan serta kekurangan yang terdapat dalam keluarga pihak laki-laki.
165 BAB VI PENUTUP A. KESIMPULAN Setelah mengadakan penelitian tentang upacara adapt perkawinan priyayi Desa Ngembal, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasurun dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Upacara perkawinan adat priyayi merupakan perkawinan yang menggunakan adat Jawa biasanya bersifat monogami. Poligami hampir tidak dilakukan oleh keluarga priyayi mengingat perkawinan poligami banyak mempengaruhi rumah tangga dengan istri pertama walaupun masing-masing istri dalam keadaan tempat tinggal yang terpisah. Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan poligami diharapkan dapat menjadi sebuah dasar yang kuat tentang peraturan perkawinan di Indonesia. Kesadaran hukum, kedisiplinan serta tanggung jawab dari masyarakat sangat diharapkan karena hal tersebut merupakan suatu dasar untuk tercipta serta terlaksananya peraturan secara baik, dengan adanya peraturan tanpa disertai kesadaran hukum, kedisiplinan serta tanggung jawab dari masyarakat sangat sulit peraturan tersebut untuk diterapkan. Akan tetapi, dengan adanya kesadaran hukum dari masyarakat diharapkan penerapan peraturan yang ada dapat terwujud dengan baik. 2. Perkawinan merupakan hal yang sakral sehingga sebelum melaksanakan perkawinan banyak beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan. Mengingat di Jawa Keluarga priyayi masih terdapat perkawinan sedarah. Namun, perkawinan sedarah bukan merupakan suatu larangan akan tetapi juga perlu diperhatikan nasab sesuai dengan agama yang diyakini. Perkawinan sedarah
166 juga dapat mempererat hubungan antar keluarga akan tetapi tidak harus dilakukan. Perkawinan sedarah hanya dilakukan apabila kedua belah pihak merasa ada kecocokan dan dalam silsilah keturunan dapat dinikahkan, maka perkawinan dapat dilangsungkan. Pada dasarnya masyarakat telah menetapkan cara-cara tertentu sebelum melaksanakan pernikahan. Masing-masing keluarga mempunyai cara tersendiri dalam menetapkan serta memilih menantu untuk dijadikan dan diterima dalam keluarga mereka. Meskipun calon mempelai diberi kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya berdasarkan atas sukarela, tetapi karena perkawinan itu merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, maka partisipasi keluarga sangat diharapkan di dalam pelaksanaan akad perkawinan tersebut pihak keluarga masing-masing pihak diharapkan memberikan restu perkawinan yang dilaksanakan itu. Hal ini sesuai dengan sifat dan kepribadian bangsa Indonesia yang penuh etika sopan santun dan religius. Dalam perkawinan, seseorang membutuhkan kestabilan dan ketenangan dalam kehidupan rumah tangganya yang tidak mungkin dapat diwujudkan kecuali melalui keberadaan suami-istri yang menjadi pembantu dan penguat dirinya. Suami-istri dapat menemukan ketenangan dengan pasangannya dan saling membantu meringankan beban dan penderitaan hidup dan saling merasakan cinta dan kasih sayang.Partisipasi keluarga sangat diharapkan dalam hal peminangan dan dalam hal pelaksanaan perkawinan. Dengan adanya partisipasi keluarga diharapkan dapat terjalin hubungan silaturahmi antar keluarga pihak mempelai pria dengan keluarga pihak mempelai wanita. Melibatkan kedua belah pihak dalam hal ini dengan suatu harapan pula agar dapat membimbing pasangan yang baru menikah itu supaya
167 dapat mengadakan rumah tangganya dengan baik dan benar sesuai dengan norma-norma yang berlaku. 3. Upacara perkawinan priyayi menggunakan adat Jawa. Tradisi perkawinan dalam keluarga priyayi tidak berubah meskipun dengan perubahan zaman dan perkembangan. Perubahan zaman dan perkembangan menjadikan pemikiran seseorang semakin berkembang dan semakin maju sehingga perias pengantin menyesuaikan pakaian dan tata rias pengantin dengan kondisi saat ini, dengan model pakaian dan tata rias pengantin semakin indah namun tidak menghilangkan lambang ataupun simbol dalam pakaian tersebut, yakni lambang masyarakat Jawa serta tanpa merubah tradisi upacara perkawinan Jawa yang sudah ada. Tradisi masyarakat Jawa yang jarang dilakukan oleh masyarakat sangat perlu dijaga dan dilestarikan dengan cara belajar, memahami makna yang terkandung dalam tradisi serta melakukan tradisi tersebut. Upacara adat perkawinan priyayi dengan menggunakan adat Jawa harus tetap dijaga serta dipertahankan. Perkawinan adat Jawa diharapkan tidak hanya kalangan keluarga priyayi yang menggunakan prosesi adat Jawa secara menyeluruh akan tetapi diharapkan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa. Meskipun dalam hal menentukan pilihan dari masingmasing keluarga mempunyai tata cara yang berbeda akan tetapi dalam pelaksanaan upacara prosesi perkawinan diharapkan tetap menggunakan adat di Indonesia khususnya masyarakat Jawa tetap menggunakan dan melestarikan adat Jawa. Dengan demikian kebudayaan yang kita miliki akan tetap terjaga dan kita tetap melestarikan kebudayaan Jawa.
168 B. SARAN 1. Prosesi perkawinan priyayi dengan menggunakan adat perkawinan Jawa tidak dapat dikleim hanya untuk kalangan priyayi akan tetapi untuk semua lapisan masyarakat dapat melaksanakan perkawinan dengan menggunakan adat Jawa. 2. Penentuan faktor bibit, bebed, dan bobot dalam menentukan serta memilih menantu baik untuk diterapkan karena cara seseorang membawa diri, bergaul dan bertingkah laku, cara mengolah emosi, kemampuan berfikir serta dengan latar belakang lingkungan sosial dan keluarga yang baik mempengaruhi status sosial dalam kehidupan masyarakat. 3. Keterbatasan dana bukan merupakan faktor penghalang untuk melaksanakan pernikahan, akan tetapi dapat diatasi seseorang dengan melaksanakan pernikahan berdasarkan agama yaitu akad nikah yang dilakukan dihadapan pejabat dari kantor urusan agama sebagai wakil negara sehingga pernikahan dapat sah secara hukum. 4.
Masyarakat harus tetap melestarikan prosesi perkawinan Jawa, mengingat dengan kemajuan teknologi saat ini banyak transformasi kebudayaan yang sebagian dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang kita pelajari melalui wahana pendidikan. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin canggih, masyarakat diharapkan tetap melestarikan proses perkawinan Jawa sebagai salah satu adat perkawinan di Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Shabbagh, Mahmud. Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam. 1991. BAndung: PT Remaja Rosdakarya. As-Sana Abdurrahman, Arif. 2003. Memahami Keadilan Dalam Poligami. Jakarta: PT Globalmedia Cipta Publishing. Bugin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Childred Geertz. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta: PT. Temprint. Daeng, Hans. 1986. Atropologi Budaya. Nusa Indah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1980. Antropologi Budaya. Bandung: CV: CV Kutamas. Koenjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Antropologi Pokok-pokok Etnografi II. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi I. Jakarta: PT. Abdi Mahastya Manan, Abdul. 2006. Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Musa, Kamil. 2000. Suami Istri Islami. Badung: PT. Remaja Rosdakarya. Mardalis. 2002. Metode Penelitian Pendekatan Proposal. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Noviana, Anita. 2007. Sistem Perkawinan Pada Masyarakat Samin di Bojonegoro. Skripsi tidak diterbitkan. Malang. Program Sarjana Universitas Negeri Malang. Prodjodikoro, Wirjono. 1974. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Sumber Bandung. Poesponoto, Soebakti. 1991. Asas dan Susunan Kedudukan Hukum Adat. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Pringgawiddagda, Suwarna. 2006. Tata Upacara dan Wicara Pengantin Gaya Yogyakarta. Jakarta: Kanisius. Rasjidi, Lili. 1991. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Badung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sarwana, Solfiana Florence. 2007. Pelaksanaan upacara Perkawinan Adat Kraton dalam Pelestarian Nilai Budaya di Kabupaten Sumenep. Skripsi tidak diterbitkan. Malang. Program Sarjana Universitas Negeri Malang. Setiadi, M., Elly, Dkk. 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Soekanto, Soejono. 1983. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Suwondo, Nani. 1981. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat.. Jakarta: Ghalia Indonesia. Usman, H., & Akbar P. S. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara. ......, ......... 2009. Perkawinan Priyayi. Http://www. Indonesiabrids. Com. (Online) Diakses tanggal 25 Februari 2009. ......, ......... 2010. Kelas Sosial. Http://nugzz. blogspot. Com. (Online) Diakses tanggal 20 Agustus 2010. ......, ......... 2010. Perkawinan Priyayi. Http://perkawinan kejawen. Com. (Online) Diakses tanggal 28Agustus 2010.
PEDOMAN WAWANCARA Nama informan Umur Pekerjaan Waktu wawancara Tempat
: : : : :
1. Apakah yang dimaksud dengan perkawinan priyayi? 2. Apakah yang membedakan upacara adat perkawinan priyayi dengan upacara perkawinan adat Jawa? 3. Sebelum melaksanakan upacara perkawinan, hal apa saja yang sudah mentradisi dalam keluarga priyayi? 4. Bagaimana proses memilih jodoh yang baik dalam keluarga priyayi? 5. Apakah faktor bibit, bebet, bobot tetap menjadi prioritas utama dalam pemilihan dan menentukan jodoh dalam keluarga priyayi? 6. Sekarang ini, apakah dalam keluarga priyayi masih dikenal dengan sistem perjodohan? 7. Apakah saat ini orang tua dan keluarga masih berperan penting ikutserta dalam pemilihan jodoh? 8. Apakah dalam keluarga priyayi ada pantangan-pantangan dalam hal memilih jodoh seperti yang dilakukan masyarakat pada umumnya 9. Apakah ada perubahan dengan prosesi perkawinan terdahulu dengan perubahan zaman modern pada saat ini? 10. Apakah sampai saat ini upacara adat perkawinan priyayi masih dilaksanakan, berikan alasannya? 11. Bagaimana jika pelaksanaan upacara perkawinan priyayi tidak mengikuti tata cara menurut adat, apakah belum dikatakan sah?
12. Apakah dalam keluarga priyayi terdapat perkawinan sedarah, mengapa terjadi perkawinan sedarah? 13. Bagaimana peran orangtua apabila dalam perkawinan sedarah pihak yang hendak menikah tidak setuju dengan perjodohan tersebut? 14. Apakah dalam keluarga priyayi terdapat perkawinan karang wulu atau perkawinan sambungan? 15. Apakah dalam keluarga priyayi dalam perkawinan terdapat perceraian, faktor apa saja yang melatarbelakangi perceraian? 16. Bagaimana prosesi lamaran dalam keluarga priyayi? 17. Apa yang dimaksud dengan ningseti dan bagaimana prosesi ningseti dalam perkawinan? 18. Apa dalam keluarga priyayi masih terdapat sengkeran atau pingitan seperti yang dilakukan oleh orang terdahulu, bagaiamana prosesinya, mengapa pihak pengantin perlu diadakan pingitan? 19. Sebelum melaksanakan perkawinan mengapa pihak pengantin melakukan siraman, apakah siraman merupakan sesuatu hal yang mutlak sebelum melaksanakan perkawinan, siapa saja yang melaksanakan prosesi siraman, apa tujuan dan makna siraman sebelum melaksanakan perkawinan? 20. Apakah yang dimaksud dengan dodol dawet, bagaiman proses dodol dawet, siapa saja yang ikut serta dalam proses dodol dawet tersebut? 21. Apakah prosesi langkahan masih tetap dilakukan dalam keluarga priyayi, apa maksud dan tujuan dari prosesi dodol dawet sebelum melaksanakan pernikahan? 22. Bagaimana prosesi pernikahan priyayi?
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Linda Puji Astuti
NIM
: 105811480809
Jurusan
: Hukum dan Kewarganegaraan
Program Studi
: PPKn
Fakultas
: Ilmu Sosial
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benarbenar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya aku sebagai hasil atau pikiran saya sendiri.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Malang, 25 November 2010 Yang membuat pernyataan
Linda Puji Astuti.
FORMAT KONSULTASI PENYUSUNAN SKRIPSI JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MALANG SEMESTER GASAL 2010/2011
1. NAMA MAHASISWA / NIM
: Linda Puji Astuti
2. JUDUL SKRIPSI
: Upacara Adat Perkawinan Priyayi Di Desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan
3. DOSEN PEMBIMBING No
: Drs. H. Suparlan, M.Si
Aspek yang
Penilaian/komen
dikonsultasikan
tar pembimbing
Tanggal
(BAB/SUB BAB) 1.
2
Proposal bab 1-3
Bab 4-5
Revisi bab 1-3
17 April 2009
Revisi bab 1-3
26 Juni 2009
Revisi bab 1-3
08 September 2009
Revisi bab 1-3
26 Juni 2009
Revisi bab 1-3
23 Oktober 2009
Revisi bab 1-3
16 November 2009
Acc bab 1-3
2 November 2009
Revisi bab 4-5
7 Mei 2010
Revisi bab 4-5
16 April 2010
Revisi bab 4-5
26 April 2010
Revisi bab 4-5
07 Mei 2010
Revisi bab 4-5
21 Mei 2010
Revisi bab 4-5
22 Mei 2010
Revisi bab 4-5
4 Juni 2010
Acc bab 4-5
5 Juli 2010
Paraf
Mengetahui, ..........November 2010 Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
,
Drs. Ketut Diara Astawa S.H, M.Si NIP. 19540522 1982031 005
FORMAT KONSULTASI PENYUSUNAN SKRIPSI JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MALANG SEMESTER GASAL 2010/2011
1. NAMA MAHASISWA / NIM
: Linda Puji Astuti
2. JUDUL SKRIPSI
: Upacara Adat Perkawinan Priyayi Di Desa Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan
,
3. DOSEN PEMBIMBING No
: Drs. Ketut Diara Astawa S.H, M.Si
Aspek yang
Penilaian/komentar
dikonsultasikan
pembimbing
Tanggal
Paraf
(BAB/SUB BAB) 1.
2
Proposal bab 1-3
Bab 4-5
Revisi bab 1-3
2 November 2009
Revisi bab 1-3
06 Agustus 2010
Revisi bab 1-3
25 Agustus 2010
Revisi bab 1-3
27 September 2010
Acc bab 1-3
22 Okotober 2010
Revisi bab 4-5
09 November 2010
Revisi bab 4-5
24 November 2010
Acc bab 4-5
25 November 2010
Mengetahui, .......... November 2010 Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
,
Drs. Ketut Diara Astawa S.H, M.Si NIP. 19540522 1982031 005
RIWAYAT HIDUP
Linda Puji Astuti dilahirkan di Pasuruan tanggal 20 Oktober 1986, anak pertama dari empat bersaudara, pasangan Bapak Suyitno (Alm) dan Ibu Hastuti. Pendidikan dasar dan menengah ditempuh di Pasuruan. Tamat SD tahun 1998, SMP tahun 2003, dan SMA pada tahun 2005. Pendidikan berikutnya ditempuh di Universitas Negeri Malang pada tahun 2005 dengan mendapatkan beasiswa Gudang Garam. Semasa mahasiswa, aktif dalam organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Jurusan dan dipercaya sebagai Koordinator Kerohanian Himpunan Mahasiswa Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang.