UNGKAPAN PANTANG LARANG DALAM DAUR HIDUP PADA MASYARAKAT JAWA DI KABUPATEN PATI (KAJIAN SOSIOPRAGMATIK) TABOO IN CYCLE LIFE OF JAVANESE IN PATI (sociopragmatic study) Melly, Bambang Wibisono, Akhmad Sofyan Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Jember Jl. Kalimantan 37 Jember 68121 e-mail:
[email protected] ABSTRAK
Ungkapan pantang larang adalah larangan atau pantangan yang berisi ajaran yang disamarkan oleh masyarakat untuk melakukan sesuatu. Tujuan ungkapan pantang larang adalah supaya mitra tutur tidak melanggar tindakan yang dilarang pada waktu dikatakan penutur karena dipercaya jika melanggar dapat mendatangkan mala petaka. Orang tua zaman dahulu jika memberi nasihat kepada anak cucu mereka dilakukan secara tidak langsung sehingga masyarakat menuntut makna dari ungkapan tersebut yang berkaitan dengan realitas. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk, maksud, efek ungkapan pantang larang, serta pemahaman, pelaksanaan, dan kepercayaan masyarakat Jawa di Desa Tambahmulyo, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati dengan kajian sosiopragmatik. Pantang larang dalam daur hidup pernikahan misalnya ojo mlebu pawon pas dadi nganten marai panganane mambu 'jangan masuk dapur saat menjadi pengantin, menyebabkan makanannya basi', dalam kelahiran misalnya ojo dondom, gak ilok 'jangan menjahit, tidak baik', dalam kematian misalnya ojo nangis terus nek ditinggal mati marai abot lakune 'jangan menangis terus saat ditinggal meninggal, menyebabkan berat jalannya'. Masyarakat di desa Tambahmulyo tidak semuanya memahami, melaksanakan, dan mempercayai ungkapan-ungkapan tersebut. Kata Kunci: Pantang Larang, Tindak Tutur, Sosiopragmatik. ABSTRACT Taboo is a prohibition which concludes subtle teachings made by certain people for any kind of activity people do. It is believed that taboo is created for avoiding certain disaster or damage if someone goes againts the taboo. In the old days, forefathers used to advise their children indirectly and therefore people demanded the meaning behind their utterances which were linked to reality. This study is aimed to portray the pattern, purpose, effect of taboo expressions as well as comprehension, implementation, and belief among people in Tambahmulyo Village, Jakenan District, Pati Regency by using sociopragmatic inquiry. For example, taboo in marriage cycle ojo mlebu pawon pas dadi manten marai panganane mambu, 'do not enter kitchen while you are getting married otherwise the provisions will be rotten', in birth ojo dondom, gak ilok, 'do not sew, it's not suitable', and in death ojo nangis terus nek ditinggal mati marai abot lakune, 'do not cry over for a loss of life of someone closed to us, otherwise the dead man/woman will die hard'. Not all people in Tambahmulyo village do not understand, do, and believe the taboo. Keywords: taboo, Speech Acts, Sosiopragmatic.
1. Pendahuluan Ungkapan pantang larang merupakan bagian dari gugon tuhon pepali atau wewaler. Dalam ungkapan pantang larang, terdapat larangan atau pantangan yang berisi ajaran yang disamarkan. Ungkapan tersebut dapat mencerminkan norma-norma serta
budaya penuturnya. Tujuan ungkapan pantang larang adalah supaya mitra tutur tidak melanggar tindakan yang dilarang pada waktu dikatakan penutur karena dipercaya jika melanggar dapat mendatangkan mala petaka. Ada berbagai bentuk ungkapan pantang larang yang berkaitan dalam daur hidup pada masyarakat Jawa. Bentuk-bentuk ungkapan daur hidup pada manusia yaitu pernikahan, kelahiran, dan kematian. Dalam daur hidup tersebut, selalu ada aturan-aturan yang membatasi manusia dalam melakukan sesuatu. Semua aturan-aturan tersebut tidak lepas dari norma-norma masyarakat yang tidak tertulis untuk menentukan sikap, tingkah laku, menjaga etika serta kesopanan dalam bermasyarakat. Para leluhur pada masyarakat Jawa mempunyai kebijakan sendiri dalam menyampaikan nasihat-nasihatnya kepada anak cucu mereka agar berpikir dan memahami maksud apa yang dikatakan oleh para leluhurnya. Petuah yang dihaluskan penyampaiannya atau percaya adat dan takhayul ini disebut pantang larang (Purwadi, 2004:139). Bahasa tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat penuturnya karena selain penanda fenomena budaya, bahasa juga merupakan penanda fenomena sosial (Fishman dalam Suwito, 1983:3). Dengan demikian, nilai budaya yang dimiliki suatu etnis dapat ditelusuri melalui bentuk lingualnya. Ungkapan pantang larang dalam daur hidup tersebut dapat menggambarkan budaya masyarakat penuturnya. Penulis ingin mengetahui dengan kajian sosiopragmatik karena dengan meneliti penutur dan bagaimanakah penggunaan ungkapan tersebut dapat menunjukkan identitas, latar belakang budaya, pandangan hidup, dan status sosial dari masyarakat Jawa. Permasalahan dalam sosiopragmatik tidak hanya berkaitan dengan dengan maksud tuturan yang ada (pragmatik umum), tetapi juga harus memperhatikan aspek-aspek sosial yang melatarbelakangi munculnya tuturan. Dalam kebudayaan yang berbeda, cara berbahasa seseorang ditentukan oleh lingkungan yang ditempati, misalnya; umur, pendidikan, pekerjaan, pergaulan dan lain-lain dengan memperhatikan maksud dan situasi dimana atau bagaimana tuturan tersebut ada, sebagai pertimbangan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya tuturan. Berdasarkan uraian singkat tersebut, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah. 1. Apa saja bentuk ungkapan pantang larang yang ada dalam daur hidup pada masyarakat Pati? 2. Apa maksud penggunaan ungkapan pantang larang bagi masyarakat Pati? 3. Bagaimana pemahaman, pelaksanaan, dan kepercayaan masyarakat Pati terhadap ungkapan pantang larang? Sesuai dengan permasalahan yang ada, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk, maksud, efek ungkapan pantang larang, serta pemahaman, pelaksanaan, dan kepercayaan masyarakat Jawa terhadap ungkapan pantang larang. Adapun manfaat yang diperoleh adalah: bagi masyarakat sebagai dokumentasi ungkapan pantang larang dalam daur hidup pada masyarakat Jawa agar tidak punah karena perkembangan zaman ; dan secara umum, penelitian ini bermanfaat bagi kepentingan keilmuan bahasa, terlebih lagi dalam bidang ilmu linguistik. 2. Metode Penelitian Metode yang digunakan untuk membahas masalah dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Selanjutnya metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penelitian ini dilakukan tiga tahap, yaitu: (1) penyediaan data, yang dilakukan dengan metode cakap (wawancara), dengan teknik catat dan teknik rekam; (2) penganalisisan data, yang dilakukan secara deskriptif kualitatif; dan (3) penyajian hasil analisis data, yang dilakukan secara informal (Sudaryanto, 1993:5-7). Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak 9 orang yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama, terdiri atas 5 orang yang digunakan untuk mengetahui bentuk dan penggunaan ungkapan pantang larang, sedangkan kelompok kedua terdiri atas 4 orang yang digunakan untuk mengetahui tingkat pemahaman, pelaksanaan, dan kepercayaan masyarakat Pati terhadap ungkapan pantang larang. 3. Hasil dan Pembahasan Daur hidup pada manusia terdiri atas tiga, yaitu: (1) Pernikahan, (2) Kelahiran, dan (3) Kematian. Ungkapan tersebut berbentuk kalimat majemuk bertingkat, kalimat imperatif larangan dengan penanda kata ojo ‘jangan’ pada awal kalimat, dan kalimat imperatif keharusan yang berupa aturan dengan penanda kata kudu ‘harus’ atau ben ‘supaya’ dalam satu kalimat (Kridalaksana, 2001:81). 1. Dalam Pernikahan Ujaran : ojo ngawinno anak putu sing pasaranne wage karo pahing marai mati salah siji. Terjemahan : ‘jangan menikahkan anak cucu yang jumlah hari kelahirannya wage dan pahing dapat menyebabkan meninggal salah satu’. Makna : menghindari menikahkan anak cucu yang hari kelahirannya wage sama pahing. Maksud : agar keluarganya selamat dan tetap sehat. Dilihat dari ujaran di atas, dapat dideskripsikan bahwa ojo ngawinno anak putu sing pasaranne wage karo pahing marai mati salah siji ‘jangan menikahkan anak cucu yang jumlah hari kelahirannya wage dan pahing dapat menyebabkan meninggal salah satu’. Ujaran di atas termasuk tindak tutur lokusi karena mengatakan sesuatu dalam arti berkata yang bermakna dan dapat dipahami. Tindak tutur ilokusi dari ujaran di atas adalah agar menikahkan anak cucu mereka selain hari kelahiran wage dan pahing (gewing) karena dipercaya meninggal salah satu. Menurut perhitungan masyarakat Jawa hari kelahiran wage dan pahing (gewing) tidak ada keseimbangan diantara keduanya, sehingga dikhawatirkan akan menang sendiri dan tidak ada yang mengalah. Jika hari kelahiran wage dan pahing (gewing) tetap dilaksanakan akan menjadi pring sedhapur (satu kelompok pohon bambu), pring sedhapur dapat menyebabkan kematian bagi salah satu keluarga atau kedua mempelai. Dari ujaran di atas, si penutur mengakui bahwa ungkapan ini diarahkan sesuai aturan yang dikehendaki. Maksud aturan yang dikehendaki adalah agar menikahkan anak cucu mereka selain hari kelahiran wage dan pahin (gewing). Dalam ungkapan pantang larang di atas, disebutkan bahwa hari kelahiran wage dan pahing (gewing) dapat mengakibatkan meninggal salah satu. Hal ini menurut masyarakat zaman dahulu hari kelahiran wage dan pahing tidak cocok karena keduanya adalah hari kelahiran yang digabungkan menjadi satu dalam bahasa Jawa menjadi tembung garba (gewing atau gehing). Tembung garba yaitu tembang dua dijadikan satu tetapi tidak cocok dan seimbang. Efek yang ditimbulkan dari ujaran di atas adalah orang akan menghindari menikahkan anak cucu mereka yang hari kelahirannya wage dan pahing (gewing) karena akan meninggal salah satu. Efek inilah yang dalam ilmu pragmatik disebut dengan tindak tutur perlokusi. Nilai yang terkandung dalam ungkapan di atas adalah nasihat untuk saling menghargai pasangan sehingga tidak terjadi pertengkarang yang bisa menyebabkan kematian. 2. Dalam Kelahiran Ujaran : ojo adus surup marai pendarahan pas ngelairno. Terjemahan : ‘jangan mandi menjelang maghrib dapat menyebabkan pendarahan saat melahirkan’.
Makna
: wanita hamil tidak boleh mandi menjelang maghrib, ditakutkan pendarahan saat melahirkan. Maksud : agar wanita hamil lebih rajin beribadah. Dilihat dari ujaran di atas, dapat di deskripsikan bahwa ujaran ojo adus surup marai pendarahan pas ngelairno ‘jangan mandi menjelang maghrib dapat menyebabkan pendarahan saat melahirkan’ dalam ilmu pragmatik disebut dengan tindak tutur lokusi. Ujaran di atas disebut tindak tutur lokusi karena berupa tuturan langsung, yaitu tindak mengucapkan suatu kata atau kalimat sesuai dengan makna kata itu. Tindak tutur ilokusi dari ujaran di atas adalah agar wanita yang sedang hamil mandi sebelum maghrib, ditakutkan mengalami pendarahan saat proses persalinan. Dari ujaran di atas, si penutur (nenek moyang yang membuat ungkapan) benar-benar mengakui bahwa ungkapan ini diarahkan sesuai aturan yang dikehendaki. Maksud aturan yang dikehendaki adalah agar wanita yang sedang hamil lebih rajin beribadah. Marai pendarahan pas ngelairno ‘nanti pendarahan saat melahirkan’ adalah ancaman bagi ibu hamil yang melanggar ungkapan tersebut. Nenek moyang berkeyakinan bahwa mandi menjelang maghrib tidak baik untuk kesehatan karena bisa menyebabkan masuk angin. Jadi ancaman Marai pendarahan pas ngelairno ini untuk membuat ibu hamil takut jika melanggarnya. Apabila ibu hamil masuk angin mengakibatkan tidak bisa menjalankan ibadah karena sakit. Efek yang ditimbulkan dari ujaran di atas adalah mereka (wanita hamil) mencoba mempercayai ungkapan tersebut dengan melaksanakan apa yang diperintahkan pada ungkapan tersebut. Mereka tidak ingin mendapat kesusahan saat melahirkan. Efek inilah yang dalam ilmu pragmatik disebut tindak tutur perlokusi. Nilai yang terkandung dalam ungkapan di atas adalah nasihat tentang agama dan kesehatan. Dikatakan nasihat tentang agama dan kesehatan karena saat menjelang maghrib wanita hamil mempersiapkan untuk beribadah dan mandi menjelang maghrib dapat menyebabkan masuk angin. . 3. Dalam Kematian Ujaran : jumlah duwet seng disebar nek dalan, kudu podo karo umur e seng mati. Terjemahan : ‘jumlah uang yang disebar di jalan, harus sama dengan jumlah umur orang yang meninggal’. Makna :uang yang disebar di jalan diyakini sebagai bekal di akherat kelak. Maksud : agar kerabat orang yang telah meninggal melakukan amalan sebelum jenazah meninggalkan dunia. Dilihat dari ujaran di atas, dapat di deskripsikan bahwa ujaran jumlah duwet seng disebar nek dalan, kudu podo karo umur e seng mati ‘jumlah uang yang disebar di jalan, harus sama dengan jumlah umur orang yang meninggal’ dalam ilmu pragmatik disebut dengan tindak tutur lokusi. Ujaran di atas disebut tindak tutur lokusi karena berupa tuturan langsung, yaitu tindak mengucapkan suatu kata atau kalimat sesuai dengan makna kata itu. Uang yang disebar di jalan saat akan menuju makam sebagai bentuk amalan yang dilakukan sepanjang hidup orang yang telah meninggal, yaitu sepanjang umur orang yang telah meninggal. Uang yang disebar jumlahnya harus ganjil. Nenek moyang berkeyakinan angka ganjil mempunyai kekuatan magis yaitu orang yang telah meninggal jumlahnya ganjil. Penjelasan di atas, dalam ilmu pragmatik disebut dengan tindak tutur ilokusi. Dari ujaran di atas, si penutur (nenek moyang yang membuat ungkapan) benarbenar mengakui bahwa ungkapan diarahkan sesuai dengan aturan yang dikehendaki. Maksud aturan yang dikehendaki adalah agar orang yang telah meninggal mudah jalannya menuju akhirat. Dalam hal ini kerabat orang yang telah meninggal menyebar uang sepanjang jalan saat perjalanan jenazah ke pemakaman, uang yang disebar di jalan
akan di ambil oleh masyarakat yang ikut ke pemakaman. 4. Pemahaman, Pelaksanaan, dan Kepercayaan Masyarakat Pati terhadap Ungkapan Pantang Larang Tingkat pemahaman antar individu terhadap ungkapan pantang larang dalam daur hidup yang terdapat pada masyarakat Pati sangatlah berbeda. Ungkapan pantang larang dalam daur hidup pernikahan yang menyebutkan bahwa ojo nduwe gawe pas geblak marai keluargane ono seng mati ‘jangan mempunyai hajat bertepatan dengan hari meninggalnya para leluhur dapat menyebabkan salah satu keluarga meninggal’ banyak pendapat yang dituturkan oleh informan yang digolongkan keluarga muda. Kesimpulan dari deskripsi tentang ungkapan pantang larang dalam daur hidup pernikahan yang berbunyi ojo nduwe gawe pas geblak marai keluargane ono sing mati ataupun marai sing wes mati sedeh. Informan Pemahaman Pelaksanaan Kepercayaan 1 Pemahaman Melaksanakan Percaya yang didasarkan atas diperkuat dengan didukung fakta yang terjadi ancaman dari nenek adanya buktidisekelilingn ya. moyang mereka. bukti. 2 Hanya sebatas Melaksanakan Percaya karena pemahaman yang karena takut akan takut akan menyebutkan terjadi hal yang tidak terjadi hal yang bahwa tidak boleh diinginkan terjadi. tidak diinginkan. mengadakan hajat bertepatan dengan hari kematian para leluhur mereka. 3 Pemahaman yang Melaksanakan Percaya dengan didasarkan bahwa dengan diperkuat diperkuat orang para leluhur pemahamannya pemahamannya mereka yang telah terhadap maksud terhadap meninggal saat hari dari ungkapan maksud dari kematiannya akan tersebut. ungkapan pulang ke rumah. tersebut. 4 Pemahaman Melaksanakan Tidak mempunyai hajat dengan diperkuat mempercayai yang bertepatan pemahamannya karena dengan hari terhadap maksud menurutnya kematian para dari ungkapan alasannya aneh. leluhur mereka tersebut. menyebabkan para leluhurnya sedih di akhirat. Kesimpulan dari deskripsi tentang ungkapan pantang larang dalam daur hidup kelahiran yang berbunyi ojo mangan brutu marai bayine goblok . Informan Pemahaman Pelaksanaan Kepercayaan 1 Makan pantatnya Masih tetap Percaya saat ayam termasuk melaksanakan, sedang hamil jenis makanan yang karena mengandung dengan tidak bergizi, nasihat yang diperkuat sehingga tidak baik bermanfaat bagi pemahamannya untuk wanita yang sedang terhadap
perkembangan otak janin. 2
3
4
Makan pantatnya ayam termasuk jenis makanan yang tidak bergizi. Pemahaman yang didasarkan karena informan tidak suka makan pantatnya sebelum hamil karena pantatnya ayam merupakan tempat ayam mengeluarkan kotoran. Makan pantatnya ayam termasuk jenis makanan yang tidak sehat.
hamil.
maksud dari ungkapan tersebut. Melaksanakan, Percaya, karena karena takut akan takut akan terjadi hal yang tidak terjadi hal yang diinginkan. tidak diinginkan. Masih tetap Tidak melaksanakan, mempercayai karena menurutnya karena informan mengandung tidak suka nasihat yang baik. makan pantatnya ayam.
Melaksanakan dengan diperkuat pemahamannya terhadap maksud dari ungkapan tersebut.
Percaya makan pantatnya ayam termasuk makanan yang tidak sehat
Kesimpulan dari deskripsi tentang ungkapan pantang larang dalam daur hidup kematian yang berbunyi nek mangkatno jenazah kudu dislameti sing jumlah’e ganjil ben gak ono alangan. Informan Pemahaman Pelaksanaan Kepercayaan 1 Selamatan Melaksanakan, Percaya, karena merupakan upaya karena takut terjadi takut terjadi haluntuk meminta hal-hal yang tidak hal yang tidak keselamatan diinginkan. diinginkan. kepada Allah SWT serta memberi makan terhadap masyarakat yang membantu proses ke pemakaman. 2 Selamatan Melaksanakan, Percaya, karena merupakan upaya karena takut terjadi takut terjadi haluntuk meminta hal-hal yang tidak hal yang tidak keselamatan diinginkan. diinginkan. kepada Allah SWT. 3 Selamatan Melaksanakan, Percaya, karena merupakan upaya karena takut terjadi takut terjadi haluntuk meminta hal-hal yang tidak hal yang tidak keselamatan diinginkan. diinginkan. kepada Allah SWT. 4 Selamatan Melaksanakan, Percaya, karena merupakan upaya karena takut terjadi takut terjadi haluntuk meminta hal-hal yang tidak hal yang tidak keselamatan diinginkan. diinginkan.
kepada Allah SWT. 5. Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh dan analisis data yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Ungkapan tersebut berbentuk kalimat majemuk bertingkat, kalimat imperatif larangan dengan penanda kata ojo ‘jangan’ pada awal kalimat, dan kalimat imperatif keharusan yang berupa aturan dengan penanda kata kudu ‘harus’ atau ben ‘supaya’ dalam satu kalimat. Dalam pernikahan berisi aturan serta larangan kepada kedua mempelai dan tuan rumah dalam hal pernikahan. Pada umumnya masyarakat Pati masih percaya dan melaksanakannya. Seperti ojo mlebu pawon pas dadi nganten marai panganane mambu ‘jangan masuk dapur saat menjadi pengantin, menyebabkan makananya basi’. Dalam kelahiran berisi aturan serta larangan yang mengajarkan norma serta etika kepada wanita yang sedang hamil. Hal tersebut dikarenakan masih banyak masyarakat Pati yang percaya dan melaksanakannya. Seperti ojo dondom, gak ilok ‘jangan menjahit, tidak baik’. Dalam kematian merupakan cara nenek moyang mengajarkan hal-hal yang berupa larangan serta aturan tentang tata cara mengurus jenazah sampai ke pemakaman. Bentuk ungkapan ini masih dipercaya dan dilaksanakan bagi sebagian masyarakat Pati. Seperti ojo nangis terus nek ditinggal mati marai abot lakune ‘jangan menangis terus kalau ditinggal meninggal, menyebabkan berat jalannya’. Daftar Pustaka Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Purwadi. 2004. Kamus Jawa-Indonesia Populer. Yogyakarta: Media Abadi. Sudaryanto.1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa (Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik). Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik (Teori dan Praktek). Surakarta: Fakultas Sastra UNS.