Tujuh Sahabat Satu Bintang Malam sunyi masih gelap gulita, terdengar jelas jangkrik berbunyi krik.. krik.. krik.. bunyinya merdu melayang-layang menggelombang diudara mengelilingi gendang telingaku, dinginnya desa ini menggetarkan tubuh para petani kopi, tak cukup dua selimut tebal menutupi tubuhnya saat tidur, ditambah lagi serangga yang tak kalah
senang bernyanyi
tengah malam, terkadang sesekali kakiku digigitnya, dengan tusukan yang menjengkelkan, disertai gatal, terpaksa aku harus menggarutnya, rasa gatal itu membuat tidurku terasa terganggu. .
Aku yang tidur dikamar, merasakan bunyi itu berasal
dari luar, penghantar tidurku, ilustrasiku
menjadi-jadi sejalan bunyi jangkrik, hingga peta buta di bantalku melebar selebar pulau amplitudo. Pagi datang, kabut hitampun masih saja berada dibawah, membuat tubuh para petani kopi kedinginan, tiap pagi sering ku jumpai petani kopi yang berjalan dengan sarung didekapnya, menutupi kepala seperti satpam yang berjaga malam, dengan sorotan lambu batreinya menerangi jalan menuju kolam tempat pembuangan sisah-sisah makanan hari kemaren. mungkin sudah dua hari di perut atau tiga hari, entahlah itu, akan tetapi disetiap pagi mulai datang, suara disamping rumahku terdengar jelas
2
gesekan sandal dengan muka bumi seirama penyanyi duet petani kopi. Pukul menunjukan jam 06:00 udara di daerahku masih terasa gelap, dinginnyapun menusuk tubuh sampai ketulang para petani kopi. Biasanya bapak-bapak di desaku mulai keluar rumah pada pukul 06:30 seusai meminum secangkir kopi panas dan kepulan rokok bermerk Jambu Putih dan Jambu Abang ( Merah ). Berjejer jongko tiga atau empat bapak-bapak dan para bujangan menunggu diteras mengharapkan panasnya sang surya, bisa untuk memnghangatkan tubuh yang kaku kedinginan.
3
Kicauan Burung murai diranting kering semakin ramai, hinggap dipekarangan gantung rekayasa manusia, seakan hidupnya berada dipenjara, Mentari
pagi
muncul
dengan
senyumnya,
mengingatkan manusia untuk bangun mencari secuil biji kopi dikebun. Mengingatkan pencarian biaya untuk anak dan keluarganya. Menjelang pagi itu, aku tak seperti Itong, yang rajin bangun pagi, ia mencuci, mengambil air dan memasak, setiap hari pekerjaanya seperti IRT. temanku yang satu ini memang rajin dan pintar, kami pun salut dengannya, kehidupan keluarganya tidak selengkap kehidupan keluarga kami, Itong ditinggal Ibunya meninggal dunia sejak usianya masih kecil, itong hidup dengan satu ayuk, satu kakak dan ayah
4
tercintanya, dengan keadaan seperti ini mau tidak mau itong harus mebantu menyiapkan makanan pagi, mencuci pakaian sendiri berlatih hidup mandiri. Berbeda denganku, yang hidup sederhana dan bergantung dengan orang tua. aku masih berada didalam kamar tidur, dengan tertutup selimut tebal, merasa enaknya tubuhku kehangatan olehnya, bantal empuk menghantarkan mimpi indah tadi malam, kembali lagi impian dipagi hari, sampai membuat lelap tidurku tanpa gangguan. Saat mentari pagi itu mulai memunculkan wajahnya, dengan sinarnya yang mulai tampak orange tiba-tiba datang suara ibu bak petir meyambar memenuhi ruang kamarku yang masih gelap. Sifatku
5
yang malas, suara itu menyelip mimpi di tidurku, hingga tak sadarkan aku dikamar itu. selang
sepuluh
detik
aku
terjaga,
ibu
membangunkan dengan suara lantang yang berulangulang. “Bangun-bangun,! hari sudah siang! mau sekolah tidak?” Kebiasaan ibu membangunkan aku dengan suara keras, sampai terasa bising di telingaku. “ iya aku sudah bangun,” ucapku. Banyaknya lem alami hasil jeri payah tadi malam, membuatku harus mengoles-ngoles mata yang masih menempel pada kelopaknya.
6
Ibu yang sudah melihat keadaaku terbangun, langsung kembali kedapur meneruskan aktivitasnya, kebetulan jarak antara kamarku dengan dapur masak hanya terhalang oleh papan pembatas, jadi ibu bisa meneruskan masaknya. Aku masih merasa ngantuk, dan terbayang hangatnya selimut, membuatku ingin menemaninya lagi. ”auhm......”
lenyap
sudah
kabut
tipis
dikamarku, aku berjalan dialam mimpi. Tak lama kemudian suara itu datang lagi sampai berulangulang. “ Meng bangunlah sudah pukul tujuh.”
7
Memang ibu sering memanggil namaku dengan sebutan comeng. aku pun tersentak kaget menggeronjal, kakiku melayang reflex keatas. Aku beranjak dari tempat tidur, mataku berkunang-kunang, Ibu tak bosannya mengingatkan aku kalau jam sudah menunjukkan pukul tujuh, inilah kata yang sering keluar dari lisan ibu, dengan harapan ketika aku mendengar kata-kata itu aku bisa langsung bergegas bangun, tapi karena sifatku yang pemalas, kata-kata yang sering di ucapkan ibu sering kali ku abaikan. Terkadang aku masih saja berlagak begok karena masih ngantuk. Ahirnya ibu mengancam tidak akan memberi uang saku sekolah, jika tidak bangun
8
dari tempat tidur. akhirnya aku harus bangun juga karena takut sekolah tak punya uang. “Aehmmm...” tangan keatas, memiringkan tubuh, ku dengar tulangku berbisik kepegalan pada otot-otot kenjang. Bangunlah Aku dari tempat tidur, dengan mata yang masih menempel ingin rasanya tidur lagi memeluk guling penghangat tubuhku, tapi karena mendengar Suara lantang sang ibu yang semakin keras menantang, membuat Aku terbangun dan bergegas mencari handuk untuk mandi pagi. Kubuka pintu rumah, ku lihat sang mentari dari ufuk timur menyoroti mata cipitku, membuat silau
pancaran
tanganku
itu,
sampai-sampai
mengahalangi
mata
dari
tak
kucup
pancaran 9
cahayanya. Tapi semakin lama mataku pun
bisa
beradaptasi dengan sinarnya. Langkah kaki dari gubuk
turun meniti
jenjangan tangga menuju kamar mandi yang sedang menantiku. gubuk itu tinggi bertingkat istilahnya rumah panggung, disamping gubuk terdapat teras, dengan atap seng, soko 14, serta halaman yang lebar dikeliingi bunga yang indah dilihat. Air
dikamar mandi sangat dingin banyak
manusia yang mengakuinya. Dinginnya sedingin salju. Wajar saja dingin, daerahku adalah daerah Pagar Alam, daerah pegunungan yang seklilingnya penuh dengan pohon-pohon yang membentuk hutan rimba yang terletak di sumatera selatan. 10