Tugas Wartawan dan Pencarian Berita (Anto Narasoma) FUNGSI tugas seorang jurnalis (wartawan) adalah menulis berita. Namun dasar utama dari tulisan (berita-straight news) yang ia buat adalah wawancara di lapangan. Dalam ilmu komunikasi, secara teknis, wawancara tidak lebih dari hubungan sebuah perbincangan (dialog) dari dua orang atau lebih, yang mengandung nilai-nilai penyampaian masalah (pengumulan data). Itu artinya, wawancara tidak hanya sekadar berbincang-bincang mengenai sesuatu, namun intinya bertujuan untuk mengumpulkan data lewat beragam pertanyaan yang memancing dan mengorek penjelasan (statement) dari narasumber secara menyeluruh. Lantas, apakah wawancara itu sama nilainya dengan dialog biasa yang dilakukan antarseseorang dengan orang kedua? Bisa sama dan bisa tidak. Lho, kok begitu? Iya. Sama, karena dari kedua pihak yang sedang berbincang-bincang, telah terjalin komunikasi dua arah. Dengan kata lain, orang berdialog berdua, bisa saja membicarakan tentang kesulitan hidup pribadi mereka dalam mencari pekerjaan. Bahkan, mereka bisa juga membicarakan tentang politik, atau apa saja yang sedang menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat. Mereka juga bisa membicarakan tentang terjadinya korupsi di berbagai institusi. Tapi pembicaraan itu hanya bersipat pelampiasan (pengungkapan) perasaan dari pengetahuan pribadi mereka yang diketahui lewat surat kabar, televisi, atau sumber lain. Sedangkan dalam perbincangan itu tidak dilakukan penggalian data. Sedangkan wawancara adalah, komunikasi dua arah antara wartawan dengan narasumber yang bertujuan untuk menggali data dalam sebuah persoalan. Biasanya, dalam konteks tersebut, pertanyaan wartawan akan menjurus ke inti persoalan yang hangat dan berkembang di masyarakat. Dari perbincangan (wawancara) itu diperoleh keterangan (statement) mengenai suatu persoalan dari sumber yang berkompeten. Pada dasarnya, pelaksanaan wawancara dilakukan karena sang jurnalis sedang mengembangkan suatu persoalan yang menarik untuk dipublikasi. Maka itu kasus yang sedang ditanganinya harus dikembangkan ke berbagai sumber di lapangan. Dengan begitu, kasus yang ia tangani dapat dipublisir (diberitakan) secara akurat dan tidak menyimpang dari tatanan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 (tentang pers) sebagai landasan kerja seorang jurnalis. Teknik wawancara Bagaimana melakukan teknik wawancara di lapangan? Pokoknya, gampanggampang susah. Begitu? Iya. Karena tidak ada teknis tertentu yang mematok cara kerja wartawan untuk melakukan wawancara di lapangan, harus begini atau begitu. Sedangkan teori yang diberlakukan di lembaga pendidikan (perguruan tinggi), diajarkan ke mahasiswa sesuai dengan konsep akademik (sesuai kurikulum). Namun kenyataan itu terkadang membuat para calon wartawan akan ‘terpukul’.
Teori di perguruan tinggi boleh saja mematok prinsif dasar ilmu komunikasi itu berdasarkan rumusan 5 X 5 = 25. Tapi di lapangan ternyata bertolak belakang. Bisa saja kali-kalian itu bergeser 360 derajat dari patokan ilmu komunikasi di perguruan tinggi, misalnya 5 X 5 = 52. Mengapa begitu? Ya, setelah mereka jadi wartawan, ternyata teori yang diterimanya di bangku kuliah sangat berbeda. Bahkan apa yang dipelajarinya di perguruan tinggi sangat berbeda dengan realita di lapangan. Kenyataan inilah yang dapat dikatakan sebagai cara kerja yang gampang-gampang susah. Gampang, karena jika wartawan menguasai persoalan, ia akan langsung menanyakan ikwalnya ke narasumber. Dengan begitu si narasumber dapat memberikan keterangan rinci mengenai apa yang dikonfirmasi seorang wartawan. Namun sebaliknya, kesulitan bisa saja dihadapi wartawan, jika yang bersangkutan hanya mengandalkan instink tanpa menguasai persoalan yang akan dikonfirmasikan ke narasumber. Dalam kaitan itu, bisa saja sang sumber ‘lebih pintar’ dibanding si wartawan sendiri, lantaran dia lebih menguasai keadaan. Akibatnya, posisi wartawan akan jadi bulan-bulanan, karena dianggap tidak mengerti persoalan yang ditanyakan. Dan, bisa jadi pula, wartawan tersebut akan mendapat predikat sebagai ‘jurnalis goblok’ dari narasumbernya. Untuk diketahui bahwa tidak sedikit narasumber yang paham dengan tugastugas kewartawanan. Bahkan, tidak sedikit pula yang memahami Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang pers. Karena sang sumber, sebelum menjadi PNS, misalnya, mereka pernah berkecimpung di dunia kewartawanan. Maka itu, sebelum wartawan melakukan investigasi ke lapangan, setidaknya mereka perlu memahami persoalan yang akan dikorfirmasi ke berbagai sumber. Apa dasar dari persoalan yang harus dikembangkan ke narasumber? Jawabya adalah fakta. Apa itu fakta? Fakta adalah bukti riil mengenai suatu persoalan. Oleh karenanya, untuk membuat berita sesuai fakta, wartawan harus berusaha menggali data dari berbagai sumber di lapangan. Dengan penguasai fakta (persoalan), wartawan akan percaya diri untuk menggali data ke sumber terkait. Misalnya terjadi kasus kebakaran di suatu kelurahan. Lantas, data apa yang harus digali dari kejadian itu? Ya, sesuai dengan format 5 W (what, why, who, where, and when) + 1 H (how), yang pertama kita lakukan adalah melihat fakta di lapangan (di kelurahan apa (what). Mengapa kebakaran itu terjadi (why). Dari mana sumber api (where), kapan api mulai terlihat (when), dari rumah siapa asal api (who), dan bagaimana keadaan kelurahan itu setelah terjadinya kebakaran (how). Dari kejadian itu, wartawan dapat langsung mewawancarai saksi mata, korban kebakaran, pemilik rumah asal api, ketua RT, lurah, camat, wali kota, petugas pemadam kebakaran, atau pihak kepolisian. Dari investigasi itulah akan didapati data tentang berapa jumlah rumah yang terbakar, kerugian harta benda, nyawa, serta hal lain yang terkait dengan fakta kejadian.
Bagaimana cara melakukan pendekatan ke narasumber? Itu dia yang terkadang membuat calon wartawan ragu dan sedikit gemetar untuk melakukannya. Tapi sebagai wartawan kita harus melakukan wawancara. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, cara efektif melakukan wawancara adalah memahami persoalan yang harus ditanyakan. Namun secara psikis, pendekatan ke sumber harus dengan nilai etika (etika kepribadian). Sebelumnya, ada sumber yang malas ngomong ketika didatangi wartawan ke kantornya. Apalagi tampilan sang wartawan dinilai kurang sopan dengan pakaian yang kurang pantas (gaya serampangan). Jika kondisinya begitu, pasti tidak akan terjalin hubungan yang harmonis. Sang sumber akan menampilkan wajah bertekuk diwarnai roman muka yang tak sedap. Lantas, apa yang harus dilakukan? Nah, kalau pertanyaannya begitu, mau tak mau kita perlu introspeksi diri, apa yang kurang di diri kita. Apakah introspeksi diri bagi wartawan itu perlu? Ya, perlu sekali. Apa pun halnya, wartawan itu tidak lebih hebat dari orang lain. Kalau pun sebagai wartawan kita punya kelebihan dari orang lain, namun sebagai individu (sebagai manusia), wartawan pun memiliki banyak kelemahan dalam dirinya. Ketika kita melaksanakan wawancara ke ruang kerja (kantor) seorang pejabat, status kita saat itu adalah tamu. Sebagai tamu, tampilan kita harus sopan dan perlu menghargai tuan rumah. Pokoknya, wartawan yang baik harus dapat membangun situasi yang bersahabat. Dengan begitu, misi yang diemban akan dapat dilakukan secara baik. Kalau kita sudah berpenampilan bagus, reaksi sumber pun akan baik. Jika melakukan investigasi soal korupsi, misalnya, kita harus hati-hati. Sebab, biasanya, fakta yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan, membuat sumber yang terlibat dalam kasus itu, akan memiliki tempramen tinggi. Bisa-bisa, ketika kita mewawancarainya, akan terjadi bodi contact (pertikaian fisik). Dan, bahaya akan mendera kita pada saat itu. Kita bisa mengambil contoh kasus Udin --wartawan surat kabar Bernas-- yang tewas oleh pihak-pihak tertentu saat melakukan investigasi di lapangan. Memahami fakta dan data Secara teori, berita (straight news) merupakan informasi masak yang ditulis oleh wartawan. Mengapa sering disebut demikian, karena informasi mentah yang berasal dari masyarakat, belum tentu dapat dikatakan sebagai berita. Itu artinya, landasan berita yang ditulis wartawan, karena adanya informasi mengenai suatu kejadian (peristiwa). Misalnya, ada seseorang yang datang ke wartawan, ia memberitahukan adanya kasus pembunuhan di suatu tempat. Sumber itu menjelaskan, ada dua korban yang tewas karena sabetan pedang. Apakah tanpa investigasi (check and recheck) ke lapangan sang wartawan boleh langsung menulisnya menjadi berita? Jawabnya tidak! Mengapa? Karena informasi yang disampaikan seseorang belum memenuhi syarat mutlak untuk dijadikan berita. Syarat mutlak berita yang dimuat di surat kabar,
sudah ‘dimasak’ wartawan dengan unsur data, fakta, dan beragam sumber di lapangan. Untuk itu, setelah wartawan memperoleh informasi dari seseorang mengenai suatu peristiwa, maka wajib bagi wartawan untuk mengembangkan informasi itu dengan cara recheck ke lapangan. Sebagai seorang profesional, ia harus menggali data dari fakta yang ia hadapi. Misalnya, informasi mengenai kasus pembunuhan. Dalam kaitan ini, wartawan harus mengorek keterangan dari saksi mata, jumlah korban (data dan fakta pembunuhan), pihak rumah sakit (untuk mengetahui korban tewas karena bacokan atau sebab lain), keluarga korban, tersangka, serta polisi. Mengapa harus selengkap itu? Yah, itulah ciri berita (straight news) yang baik dan memenuhi syarat untuk dipublikasi. Dari data yang dihimpun, wartawan akan dapat menginformasikan peristiwanya secara utuh. Maka itu, sebelum ia menjadi seorang wartawan, yang bersangkutan harus lebih dulu memahami aspek tugasnya sebagai penulis berita (straight news, feature, dan editorial) yang layak publikasi. Karenanya, sebelum ditugasi ke lapangan, terlebih dulu, calon wartawan akan diberi pelatihan mengenai pemahaman dan fungsi berita (straight news, feature, serta editorial (tajuk rencana). Apa fungsi berita? Melalui media cetak, sebuah berita (straight news) mempunyai fungsi sentral untuk menginformasikan suatu kejadian penting (peristiwa) secara utuh ke masyarakat. Apa kejadian penting itu? Ya, peristiwa pembunuhan terhadap seseorang atau sekian banyak orang, misalnya. Mengapa peristiwanya begitu penting? Karena yang terbunuh, bisa saja seorang presiden, menteri, gubernur, walikota, pengusaha ternama, tokoh masyarakat (mubaligh), atau tetangga di sekitar rumah kita. Dari berita lurus (straight news) yang disajikan, akan dipaparkan secara gamblang tentang kapan peristiwa pembunuhan itu terjadi, siapa pembunuhnya, siapa korban dan berapa jumlah yang tewas, apa kata saksi mata, apa penjelasan dari rumah sakit, dan apa pula bunyi statemen pihak kepolisian. Dari rangkaian sumber data dan fakta di lapangan, akan diperoleh kesimpulan mengenai peristiwa berdarah itu secara utuh. Dengan kata lain, straight news merupakan berita awal (langsung) yang menjelaskan tentang kejadian suatu perkara di lapangan yang faktual dan aktual. Feature Straight news atau berita lurus, merupakan informasi masak yang mengungkap suatu peristiwa dengan fakta dan data secara langsung. Di dalamnya tidak ada kesimpulan menurut pandangan penulisnya (opini). Bahkan, di dalam tubuh berita, sangat ‘diharamkan’ masuknya opini penulis (wartawan). Sedangkan sebagai karangan khas, justru feature lebih luwes dan lengkap mengulas suatu peristiwa. Dalam feature, peristiwa pembunuhan itu dapat dijelaskan secara panjang lebar. Misalnya, dari saksi mata diperoleh keterangan bagaimana si pembunuh menyerang korbannya. Kalau pun tersangka menyerang korbannya dengan
wajah beringas dan haus darah, tulisannya menggambarkan suasana itu. Bahkan dalam tulisan ini digambarkan pula tentang kondisi korban pada saat meregang nyawa. Lebih dari itu, penulis juga dapat menggambarkan suasana di tempat kejadian. Ada ceceran darah, misalnya. Kemudian, dijelaskan pula tentang pedang sebagai alat pembunuhan yang dilempar tersangka ke semak belukar. Semua peristiwa itu dapat dijelaskan secara utuh lewat karangan khas (feature). Dalam feature, wartawan dapat menceritakan latar belakang pembunuhan. Ia dapat mewawancarai tersangka dan diungkapkan pula motif pembunuhan yang berawal dari dendam terencana atau dilakukan secara spontan. Karena suasana kejadian menjadi sangat penting untuk diketahui masyarakat. Jadi, tulisan feature berfungsi untuk menjelaskan kembali tentang peristiwa pembunuhan itu secara rinci --setelah informasi (straight news) sebelumnya-- dibaca masyarakat di surat kabar. Tak heran setelah pembaca mengetahui ikhwalnya secara detail lewat tulisan feature, bisa saja mereka akan mengutuk pembunuhan itu. Bahkan, aparat kepolisian yang menangani kasus tersebut terkadang menjadikan tulisan itu sebagai referensi (masukan) bagi penegakkan hukum. Jadi, tulisan feature berfungsi untuk menjelaskan kembali suatu peristiwa secara lengkap dan utuh. Bentuk tulisan ini banyak kita dapati di majalah Tempo, karena majalah mingguan itu menulis persoalan dengan fakta, data, dan gaya bahasa khas yang enak dibaca. Itulah gaya tulisan bertutur yang disebut feature. Editorial Editorial atau tajuk rencana, merupakan tulisan bercorak ulasan. Ulasan yang ditulis merupakan pandangan terhadap peristiwa yang sedang berkembang di masyarakat (aktual). Tulisan ini menunjukkan sikap sebuah surat kabar untuk membahas persoalannya, sehingga dapat dijadikan referensi oleh masyarakat. Misalnya, peristiwa pembunuhan sadis yang menimpa Hamidah –seorang wanita setengah baya—keturunan Arab. Karena peristiwa pembunuhan wanita itu terbilang sadis, maka tiap perkembangan yang terjadi di lapangan sangat menarik untuk diikuti. Hal menarik seperti ini menarik pula untuk disikapi oleh media yang memberitakan kasusnya. Mengapa peristiwa pembunuhan Hamidah itu menarik dibuat tajuk rencana? Yah, pertama, peristiwanya tergolong sadis. Bahkan, kasusnya lebih sadis dibanding peristiwa pembunuhan dan perkosaan yang menimpa gadis Masnah pada pada tahun 1968. Peristiwa Masnah ini sangat menghebohkan masyarakat Kota Palembang. Sebab, selain diperkosa, ia juga dibunuh secara sadis oleh Parla --pacarnya sendiri-pengelola Radio Electron di Jl Diponegoro, ketika itu. Namun dalam tempo hampir empat puluh tahun sejak terbunuhnya Masnah, peristiwa Hamidah dikategorikan lebih sadis, lantaran kepalanya dipenggal dan dibuang di tempat terpisah.
Apa yang patut diulas dari peristiwa Hamidah? Wah, kita bisa menyoroti kasusnya dari berbagai sudut. Misalnya kita ingin mengulas tentang betapa sadisnya kasus Hamidah (psikologis dan sosiologis). Dalam editorial yang kita tulis dapat dirangkai dengan kesetaraan hukuman apa yang patut diberlakukan kepada si pembunuh, tatkala menyikapi kesadisan yang dilakukannya terhadap Ny Hamidah. Editorial semacam ini dapat memberikan semangat bagi petugas penegak hukum untuk mempertimbangkan sisi judisialnya, sehingga proses hukumnya berjalan adil. Sedangkan di sisi lain, si pembunuh tidak merasa dizalimi dengan sanksi hukum yang didakwakan kepadanya. Itulah perbedaan mendasar dari fungsi editorial dibanding straight news (berita lurus) serta karangan khas (feature). Dengan kata lain, kalau straight news dan feature hanya memberikan gambaran kejadian secara runtut ke masyarakat, sedangkan editorial berfungsi untuk menggugah masyarakat dan penegak hukum dalam menyikapi suatu peristiwa yang sedang berkembang di masyarakat (aktual). Mengenal fakta kejadian Fakta, merupakan bentuk suatu peristiwa kejadian secara otentik (nyata) di lapangan. Fakta kejadian mengandung unsur (rumusan) peristiwa secara runtut. Apakah peristiwa kejadian yang hanya dilaporkan seseorang bisa disebut fakta otentik? Misalnya, ada laporan dari seseorang yang menjelaskan tentang suatu peristiwa pembunuhan di satu tempat. Apakah peristiwa pembunuhan yang dilaporkan itu merupakan fakta kejadian? Itu bukan fakta kejadian. Bisa jadi laporan itu merupakan informasi bohong yang harus digali kebenarannya. Bisa saja, laporan yang disampaikan seseorang mengenai kasus pembunuhan itu didapatnya dari orang lain. Selanjutnya, orang lain itu yang nelaporkan ke pelapor terakhir, juga mendengar dari laporan orang lainnya lagi. Karena produk laporan itu berasal dari mulut ke mulut, maka kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan faktanya menjadi diragukan. Laporan semacam ini tidak harus dipercayai lantaran nilai otentiknya terlalu sumir dan sangat menyesatkan. Untuk mengetahui apakah laporan itu merupakan fakta kejadian yang benar, wartawan harus melakukan chek and rechek ke lapangan. Dari hasil pantauannya di lapangan, si wartawan akan dapat memastikan sendiri tentang fakta kejadian sebenarnya. Fakta peristiwa pembunuhan, misalnya, terkandung adanya fakta korban, fakta pelaku, fakta waktu kejadian, fakta saksi mata (kalau misalnya ada kesaksian dari seorang atau beberapa orang), fakta barang bukti senjata tajam/sejata api/ atau benda tumpul penyebab kematian korban, ..dsb. Ada berapa motif fakta kejadian yang harus diketahui wartawan? Fakta kejadian terdiri dari dua motif. Motif pertama adalah fakta kejadian yang tampak, dan kedua, fakta kejadian yang tersembunyi atau disembunyikan. Lho kok begitu? Iya. Lantas, bagaimana motif (bentuk) fakta kejadian yang tampak? Wah, kalau seorang wartawan tidak paham dengan motif kejadian yang tampak, dongoknya sudah kelewatan. Karena motif kejadian yang tampak adalah,
peristiwa yang dapat dilihat dan disaksikan secara langsung oleh sang wartawan (peristiwa kebakaran seperti disebutkan di atas, misalnya), atau kesaksian saksi mata pada kasus pembunuhan yang dilengkapi hasil outopsi dari rumah sakit. Sedangkan motif kejadian yang tersembunyi atau disembunyikan adalah, motif kasus kajadian korupsi, mark up harga penyediaan barang di institusi pemerintahan, atau penyimpangan isi surat penting berupa dokumen negara yang melibatkan orang penting (pejabat pemerintah). Kasus kejadian seperti ini cenderung ditutup-tutupi, bahkan persoalannya sengaja disembunyikan dari masyarakat dan penegak hukum. Maka itu, sebagai hunter news, seorang wartawan harus mengenal nilai-nilai kejadian yang menarik untuk diberitakan, misalnya kasus korupsi yang tersembunyi atau disembunyikan tersebut. Pokoknya, apa pun halnya, masyarakat berhak untuk mengetahui informasi yang memiliki nilai news (berita) menarik. Bagaimana wartawan dapat mengetahui adanya fakta kejadian yang disembunyikan seperti kasus korupsi yang melibatkan seorang oknum pejabat? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita membutuhkan cara logis yang dapat dijadikan acuan bagi pengungkapan kasus itu. Selain informasinya sangat menarik, kita membutuhkan data yang kuat untuk menyingkap keterlibatan pejabat dimaksud. Idealisme dan komersial Ketika melaksanakan tugas jurnalistiknya di lapangan, persoalan mendasar yang dihadapi wartawan adalah dirinya sendiri. Itu artinya, ia harus bertanya dulu ke dirinya sebelum mewawancarai narasumber. Mengapa begitu? Itulah yang harus dilakukan. Sebab, tidak semua wartawan memahami nilai profesinya sebagai pengemban kontrol sosial. Maka itu tidak jarang seorang wartawan cenderung menjadi ‘pelacur’ yang tega menggadaikan harga dirinya setelah disumpal dengan segepok uang agar tidak memberitakan hal terburuk yang berkaitan dengan nama baik si narasumber. Lantas, apa yang harus ditanyakan ke diri sendiri? Jika kita adalah seorang wartawan, pemahaman terhadap tugas-tugas seorang jurnalis harus terus digali dan diperdalam. Itu saja. Pemahaman tugas yang bagaimana sih? Tentang etika kewartawanan (kode etik jurnalistik/KEJ) dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang aturan pers. Begitu? Iya. Karena pemahaman tentang KEJ dan UU No. 40/1999 merupakan landasan mendasar bagi profesionalisme wartawan. Jika tidak memahami itu, idealisme seorang wartawan akan tergadai. Jual-beli profesi (harga diri wartawan) akan terjadi di lapangan. Contohnya? Ya, banyak. Kita tidak perlu menunjuk hidung yang bersangkutan. Itu tidak etis. Pokoknya tidak sedikit wartawan yang menjualbelikan idealismenya untuk tujuan tertentu. Golongan jurnalis seperti ini ibarat kerbau dicocok hidung, sehingga independensinya (keleluasaannya) di lapangan selalu dibatasi oleh kepentingan duit, duit, dan duit. Lalu, bagaimana mengatasi sikap buruk wartawan amplop semacam itu? Kembalikan saja persoalannya ke diri sendiri. Karena tidak ada seorang pemimpin
redaksi di surat kabar mana pun yang mampu mengatasi itu, selain pribadi yang bersangkutan sendiri. Maka itu, pemahaman terhadap nilai-nilai kode etik jurnalistik (KEJ) dan UU No. 40/1999 menjadi sangat penting. Karena nilai dasar bagi seseorang untuk menjadi wartawan profesional adalah, memahami dan melaksanakan kode etik dan undangundang yang mengatur tentang tugas-tugas seorang jurnalis. Apa KEJ itu? KEJ adalah aturan yang mengatur tentang sikap dan kepribadian seorang jurnalis ketika ia melakukan tugasnya di lapangan. Dengan harapan, jika seorang jurnalis mampu memahami KEJ secara mendasar, setidaknya dapat membangun kepribadian seorang jurnalis yang bermoral tinggi (beretika), agar tidak mudah disuap oleh siapa pun. Pada poin (5) Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI/KEJ) disebutkan, wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesinya. Itu artinya, sebagai panduan etika kewartawanan, KEJ dengan tegas mengharamkan seorang wartawan untuk menerima uang suap. Sikap buruk dengan cara minta ke sana-sini, akan menghancurkan nilai-nilai pengabdian dirinya sebagai wahana kontrol sosial masyarakat. Pada Bab VIII pasal 7 (poin 2) UU No. 40/1999 disebutkan, wartawan harus menaati ketentuan butir-butir yang ada di dalam KEJ. Dengan begitu, sikap menerima imbalan dalam bentuk apa pun dari narasumber, akan menghancurkan hakikat profesi seorang wartawan. Jika ada wartawan yang mempunyai sifat buruk seperti itu di SKH Sumatera Ekspres, maka yang bersangkutan tidak akan lebih lama lagi bekerja sebagai wartawan di koran ini (dipecat). Namun untuk memberi sanksi tegas kepada wartawan yang diduga menerima suap, kasusnya harus diteliti dulu secara cermat oleh tim Ombusmen sebuah surat kabar. Artinya, pihak manajemen tidak perlu terburu-buru untuk menindak yang bersangkutan dengan sanksi administrasi. Bisa jadi, laporan yang menjelekkan tentang seorang wartawan menerima amplop dari narasumbernya, hal itu hanya sekadar untuk menjatuhkan kredibilitas yang bersangkutan. Jika penelitian belum final, sementara pihak manajemen sudah melakukan pemecatan terhadap sang wartawan, berarti manajemen sudah berbuat zalim. Dengan begitu, si wartawan bisa melakukan gugatan hukum atas tindakan manajemen yang tidak mematuhi aturan main. Di sebuah surat kabar besar seperti Sumatera Ekspres, idealnya harus dibentuk Tim Ombusmen yang bekerja untuk meneliti kasus-kasus seperti itu. Dengan begitu, jika terjadi kasus suap yang dilaporkan masyarakat, penyelesaiannya dapat dilakukan secara bijak. Bijak artinya, tidak menjatuhkan sanksi seenaknya karena rasa tidak suka kepada sang wartawan atas laporan itu. Namun keputusan untuk memecat si wartawan, karena yang bersangkutan dinyatakan terbukti secara hukum telah menerima suap atas suatu kasus. Dari rangkaian itu, KEJ (kode etik) tidak hanya diberlakukan atas kerja jurnalistik seorang wartawan, namun pihak perusahaan surat kabar pun harus melaksanakan ketentuan yang diatur di dalam butir-butir KEJ dan UU No. 40/1999.
Yang jadi dipertanyakan, mengapa terjadi kasus suap terhadap seorang wartawan? Jawabnya sederhana saja, yakni kesejahteraan yang diterima wartawan. Jika kebutuhan lebih besar ketimbang gaji yang ia terima dari perusahaan surat kabar tempatnya bekerja, maka, kecenderungan terjadinya kasus suap akan terkuak lebar. Tapi sebaliknya, apakah gaji besar yang diterima seorang wartawan tidak akan memunculkan proses jual-beli idealisme? Itu pun tidak menjamin. Yang pasti, sebelum menjadi wartawan, seseorang harus memahami bahwa bekerja sebagai jurnalis bukan untuk mencari kekayaan. Jika mau kaya raya, lebih baik mencari pekerjaan lain. Kerja apa? Ya, berdagang (jadi pengusaha), misalnya. Yang pasti, butir-butir KEJ dan UU No. 40/1999 dapat memberi arahan dasar bagi keluhuran moral dan etika seorang jurnalis. Itu saja landasan yang perlu kita perhatikan. (*) -----------------------------------------------
Wawancara dan Investigasi ke Lapangan (Anto Narasoma) Seperti sudah diketahui bersama, tugas seorang wartawan sehari-harinya adalah menulis. Ia menulis apa saja di surat kabar tempat dia bekerja. Tak heran bila tugasnya dituntut untuk selalu bekerja keras, dengan cara mengembangkan bermacam persoalan di luar dirinya. Dari hasil investigasinya di lapangan, seorang jurnalis mampu mengeksploitir berbagai persoalan di masyarakat. Misalnya ikhwal yang berkaitan dengan politik, pemerintahan, sosial budaya, kriminal, seni-budaya dan hiburan, serta beragam persoalan lainnya yang ia kemas lewat berita. Lantas, apa saja yang ia lakukan untuk menulis berita di surat kabarnya? Pertama, sang wartawan perlu mengkaji suatu persoalan yang sedang berkembang saat ini. Caranya? Yah, tidak sulit. Mereka harus memahami betul persoalan apa yang sedang ia kembangkan. Setelah paham mengenai persoalan itu, hal kedua yang harus ia lakukan adalah, wawancara. Dalam kesempatan ini saya hanya memfokuskan pembicaraan tentang cara (teknik) melakukan wawancara di lapangan. Wawancara dan investigasi di lapangan Bagaimana cara seorang wartawan melakukan investigasi dan wawancara ke beberapa sumber di lapangan? Wah, gampang sekali. Seperti yang sudah dijelaskan di atas adalah, kita harus paham dengan persoalan yang akan ditanyakan ke narasumber. Kalau paham dengan persoalan, kita akan mudah menanyakannya ke sumber terkait dengan persoalan yang kita garap. Misalnya, kita mendapat tugas dari redaktur atau redaktur pelaksana untuk meliput (mengembangkan) kejadian kebakaran di suatu tempat. Setelah di lapangan, apa yang harus kita lakukan? Kalau kita tahu bahwa yang kita hadapi itu adalah musibah alam seperti kebakaran, pertama kita perlu mencatat nama wilayah (kampung, desa, atau kota apa), lalu melihat ke arloji untuk mengetahui waktu kejadian, serta memburu sumber-sumber terkait dengan kejadian itu. Siapa sumber-sumber yang harus dihubungi dan diwawancarai? Yah, pertama adalah saksi mata. Lantas kita tanyakan (wawancarai) beberapa korban. Untuk melengkapi data persoalan itu, sebaiknya kita wawancarai juga ketua RT, lurah/kepala kampung-desa, camat, walikota/bupati, pihak kepolisian, serta dinas kebakaran. Apa yang harus ditanyakan ke saksi mata? Tentunya berkaitan dengan segala yang ia ketahui (saksikan) sejak awal terjadinya kebakaran. Lalu tanyakan pula, pukul berapa saat kebakaran itu terjadi. Korek keterangan dari saksi mata tersebut mengenai asal api.
Dari saksi mata, sebenarnya kita dapat mengembangkan informasi mengenai kebakaran tersebut, sehingga data yang didapat menjadi lengkap dan dapat ditulis secara tragika. Misalnya saksi mata mengatakan, api mulai terlihat dari rumah seorang penduduk bernama Hasan. Lantas, apa yang akan kita lakukan terhadap Hasan? Yang kita lakukan adalah menyatakan turut belasungkawa terhadap yang bersangkutan. Siapa pun orangnya, ketika kita hadir dengan perasaan ikut berbelasungkawa, korban akan menerima kehadiran kita. Setelah itu, secara perlahan kita ajak bicara mengenai runtut kejadiannya. Mudah-mudahan dari mulut Hasan akan meluncur riwayat kejadian sesuai yang diutarakan saksi mata. Kalau kebetulan Hasan adalah penjual bakso, ia pasti akan menjelaskan tentang kobaran api yang berasal dari dapurnya. Bagaimana seorang Hasan akan merebus butiran baksonya pada hari itu. Kemudian ia juga akan menjelaskan tentang meledaknya kompor gas yang ia gunakan, misalnya. Karena dinding dapur tempat ia bekerja terdiri dari papan yang sudah tua, tak ayal si jago merah pun dengan mudah melalap bangunan dapur sekaligus rumahnya yang berukuran sekian kali sekian itu. Dari sini kita sudah mendapat gambaran mengenai situasi kebakaran di wilayah itu. Jika sudah demikian, kita langsung dapat mengembangkan ikhwalnya dengan data-data tambahan. Sebab, wartawan tidak hanya dituntut untuk meliput dan mencari data selengkap mungkin, tapi instinknya sebagai seorang jurnalis harus peka. Dengan kepekaannya, ia akan dapat menulis berita padat dengan nilai plus yang tidak didapat oleh wartawan lain ketika sama-sama investigasi (meliput) ke lapangan. Kepekaan instink wartawan Kita mengenal instink sebagai naluri yang dimiliki setiap orang. Naluri, jika tidak diasah dan diberdayakan oleh seseorang, ia tidak akan menjadi seseorang yang gesit dan mempunyai kepekaan lebih. Seorang pedagang (nasi), misalnya. Jika ia mempunyai kepekaan bisnis (naluri), yang akan dilakukannya pertama kali adalah mencari tempat berusaha dan mempelajari prospek usahanya. Hal itu penting dilakukannnya, agar usahanya dapat berkembang. Jika tempat usaha yang ia dapati sesuai dengan prospek perhitungan bisnisnya, maka sang pedagang pasti akan membuka kedai nasinya di sana. Lantas, bagaimana mengasah kepekaan naluri seorang wartawan ketika melakukan investigasi di lapangan? Tidak perlu belajar secara formal. Kita dapat mereferensi itu lewat kemampuan para senior kita. Bahkan kita dapat membaca berbagai tulisan para wartawan ternama di sejumlah surat kabar. Apa keterkaitan instink kita dengan kejadian kebakaran yang kita liput saat ditugaskan redaktur? Nah, setelah kita memperoleh penjelasan dari Hasan --si tukang bakso— mengenai asal-muasal kebakaran, dengan kepekaan yang ada, kita juga perlu mencari tahu apakah ada korban jiwa dalam kejadian itu.
Jika ada, maka kita dapat menulis artikelnya dengan gaya bertutur yang dapat memancing emosi pembaca. Misalnya kita mendapat data dari saksi mata atau ketua RT setempat yang menyatakan ada tiga korban jiwa terpanggang api dalam kejadian itu. Tentunya kita perlu mengorek keterangan sebanyak-banyaknya mengenai itu. Misalnya, siapa korban tesebut? Bagaimana keadannya sebelum api memanggang tubuh mereka. Jika yang terpanggang api itu adalah seorang nenek dan dua cucunya, kita dapat menceritakannya secara runtut dengan gaya bertutur yang memancing emosi kesedihan (human interest). Dari hasil wawancara dengan saksi mata didapat, misalnya nenek tersebut bernama Sukesih (64). Ia terkena struk ringan, sehingga, meski tidak cacat, tapi jalannya agak timpang. Sedangkan dua cucunya bernama Deni dan Tuti. Ia ikut neneknya karena sang ibu bekerja di Malaysia sebagai TKI. Bagaimana cara menulis hasil wawancara itu secara deskriptif dan bertutur? Berikut contoh yang harus dilakukan: -----Kebakaran yang menghanguskan ribuan tempat tinggal penduduk Desa Melati (misalnya nama desa itu Melati) benar-benar memprihatinkan. Api tidak saja meluluhlantakan ribuan rumah penduduk, tapi tiga nyawa anak manusia pun ikut terpanggang si jago merah. Malam itu, nenek dan dua cucu yang naas tersebut, tidur dalam satu kamar. Tepat pukul 2.00 dinihari, tertengar teriakan penduduk yang mengatakan ada kebakaran. Nenek Sukesih terjaga dari tidurnya. Ia begitu kaget dan segera membangunkan dua cucunya. Tapi malam itu Deni dan Tuti tidur begitu lelap hingga ia tidak lekas terjaga. Ternyata, api yang berkobar telah membakar dinding rumah nenek Sukesih. Gemeretak api begitu ngeri terdengar. Seolah gemertak api yang membakar dinding seperti suara malaikat maut yang segera menyergap ketiga nyawa anak manusia itu. Saat itu, asap hitam mulai memenuhi kamar tidur. Dengan napas tersengal Sukesih berupaya menarik tubuh dua cucunya yang mulai terjaga. Namun ketika terjaga dari tidurnya, Deni dan Tuti terbatuk oleh asap hitam yang memenuhi ruangan. Sadar terhadap posisinya yang tidak menguntungkan itu, Sukesih berteriak minta tolong. Tapi tak seorang pun berani menolong mereka. Sekilas wanita tua itu mendengar ada orang berteriak dari luar nenek Sukesih dan dua cucunya masih ada di dalam kamarnya. Setelah itu, di kamar nenek Sukesih tak terdengar suara apapun, hingga keesokan harinya didapati nenek Sukesih dan dua cucunya sudah hangus jadi arang. ---Data yang kita peroleh dari saksi mata dan pihak-pihak terkait, dapat kita ungkap lewat feature seperti di atas. Sebab, selain straight news, pola tulisan semacam itu dapat memperkuat berita kebakaran itu secara lengkap.
Coba anda perhatikan data yang diungkap ke dalam tulisan tersebut. Anda perhatikan bagaimana nenek Sukesih mencoba menyelamatkan nyawa kedua cucunya tanpa peduli dengan nyawanya sendiri. Itu artinya, data yang kita kelola lewat wawancara dengan beberapa sumber (saksi mata) dapat dikembangkan dengan suasana kebakaran pada dinihari itu. Caranya? Kita harus menggunakan kepekaan instink untuk mempelajari suasana saat kebakaran. Kemudian kita tanyakan ke saksi mata usia nenek Sukesih dan usia dua cucunya (Deni dan Tuti). Selain kita bertanya soal asal api, berapa rumah yang hangus, serta kelengkapan data lainnya, tragika tentang tiga nyawa terpanggang api itu sangat bagus untuk diungkap. Kepada walikota kita boleh bertanya soal apakah daerah itu dizinkan lagi untuk pembangunan rumah penduduk korban atau untuk lahan perkantoran. Kepada kades/lurah kita tanyakan jumlah penduduk dan lain sebagainya. (*)