Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 10 Nomor 2 Desember 2007 (Volume 10, Number 2, December, 2007) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)
TRITIUM (3H) UNTUK INDENTIFIKASI DAN PENANGGALAN AIR TANAH MODERN E. Ristin Pujiindiyati Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi – BATAN ABSTRAK TRITIUM (3H) UNTUK INDENTIFIKASI DAN PENANGGALAN AIR TANAH MODERN. Tritium (3H) adalah salah satu radioisotop yang mempunyai waktu paruh pendek (t1/2 = 12,43 tahun) sehingga keberadaannya dalam air tanah dapat digunakan untuk penanggalan air tanah modern. Tritium di dalam presipitasi berasal dari peristiwa alam dan karena buatan manusia. Tritium alam berasal dari radiasi kosmis dan reaksi fisi uranium atau thorium dalam tanah dengan litium. Sedangkan tritium buatan berasal dari percobaan bom termonuklir sejak tahun 1952 hingga 1963 dan dari uap/air yang dilepaskan dari reaktor nuklir. Untuk tujuan penanggalan air tanah didasarkan pada tritium yang dihasilkan dari percobaan bom termonuklir karena konsentrasinya yang sangat dominan di alam. Pendekatan yang digunakan untuk menentukan umur air tanah yaitu secara kuantitatif berdasarkan kecepatan puncak tritium tahun 1963, peluruhan radioaktif tritium, fungsi input tritium dalam air tanah dan secara kualitatif pada data 3H. Tritium air tanah dangkal dan mata air panas di beberapa daerah di Indonesia berkisar dari 0 TU hingga 5 TU. ABSTRACT TRITIUM (3H) AS A TOOL FOR IDENTIFICATION AND DATING MODERN GROUNDWATER. Tritium (3H) is a radioisotope, which has a short half life (t1/2 =12.43 years) so that its content in groundwater can be used for dating modern groundwater. Tritium in precipitation is derived from natural and anthropogenic evidences. Natural tritium is formed by cosmic radiation and fission reaction between uranium or thorium and litium in the rocks whereas anthropogenic tritium has released from thermonuclear bom test since the year of 1952 to 1963 and water/vapor from nuclear reactor. Because of its major contribution in nature, dating groundwater is based on the tritium released from thermonuclear bomb test. The quantitative approaches for dating groundwater are velocity of the 1963 tritium peak, radioactive decay, exponential model for input function and qualitative interpretation. Tritium concentrations in some shallow groundwaters and hot springs in Indonesia are in the range of 0 TU to 5 TU. PENDAHULUAN Umur air tanah memberikan implikasi terhadap pengelolaan sumber daya air. Air tanah yang eksploitasenya dapat dipertahankan adalah apabila merupakan bagian dari siklus hidrogeologi yang terus menerus terbaharui. Suatu air tanah dalam mungkin merupakan campuran dari input air tanah modern dan air tanah yang lebih tua. Keberadaan suatu komponen minor dalam air tanah modern yang meresap adalah penting karena hal ini menandakan adanya hubungan hidrolik dengan sistem aliran aktif. Pemompaan yang terus meningkat akan menaikan kontribusi air tanah modern. Air tanah modern secara praktis didifinisikan sebagai air tanah yang meresap beberapa dekade yang lalu dan aktif mengikuti siklus hidrogeologi. Indikasi resapan aktif air tanah ditandai dengan adanya pemetaan hidrogeologi, fluktuasi musiman muka air, variasi geokimia atau isotop stabil dan polusi anthropogenik (misalnya nitrat). Isotop stabil digunakan jika informasi hidrogeologi bersifat mendua (ambivalen) dan diperlukan informasi umur air tanah yang baru meresap [1,2]. Tritium menjadi standar untuk indikasi adanya air tanah modern. Era percobaan bom termonuklir di atmofer dari Mei 1951 hingga 1976 menyediakan sinyal input tritium yang mengindikasikan adanya air tanah modern. Peluruhan tritium dari alam, sebelum percobaan bom nuklir, tidak dapat dideteksi dalam air tanah yang meresap sebelum tahun 1950. Air tanah bebas tritium dianggap sebagai air tanah submodern atau lebih tua [1]. Teknik yang diterapkan secara rutin untuk pengukuran umur air tanah didasarkan pada peluruhan radioaktif. Isotop yang memiliki waktu paruh panjang (misalnya 14C, 36Cl, 39Ar, dan 81Kr) digunakan untuk penanggalan air tanah tua (misalnya, paleogroundwater) sedangkan radioisotop yang mempunyai waktu paruh pendek (misalnya 3H, 32Si, 37Ar, 85Kr dan 222Rn) dan dihasilkan dari aktivitas nuklir buatan selama empat dekade yang lalu mengindikasikan air tanah modern [1,3].
68
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.10 No.2 2007
ISSN 1410-9565
TRITIUM DALAM PRESIPITASI Tritium (3H atau T) adalah radioisotop yang umum digunakan untuk identifikasi adanya resapan air tanah modern. Tritium adalah isotop hidrogen yang mempunyai waktu paruh pendek yaitu 12,43 tahun. Isotop ini tergabung dalam molekul air sebagai 1H3HO atau 1HTO dan dihasilkan secara alam oleh radiasi kosmis, meskipun produksi yang lebih besar berasal dari atmosfer hasil percobaan bom termonuklir antara tahun 1951 dan 1976. Kira-kira tahun 1990 kebanyakan 3H dari bom tersebut telah tercuci dari atmosfer dan kandungan tritium dalam presipitasi secara global saat ini telah kembali ke kondisi alam. Telah lebih dari 3 dekade keberadaan tritium dari termonuklir di dalam air tanah digunakan sebagai parameter untuk kondisi resapan aktif. Tritium masih ditemukan dalam pergerakan lambat air tanah sehingga sinyalnya dapat digunakan sebagai penanda air tanah modern. Berikut ini adalah beberapa aspek yang mempengaruhi pembentukan tritium [1,2,3]. Tritium dari Kosmogenik Tritium alam terbentuk pada lapisan atmosfer atas yakni dari tembakan nitrogen oleh fluks netron dalam radiasi kosmis. Reaksi adalah sebagai berikut: 14
7
N +
1
0
N
12
6
C +
3
1
H
Kemudian tritium bergabung dengan oksigen dari lapisan stratosfer untuk membentuk melekul air: 3 3 H + O2 HO2 + 1H3HO Peluruhan tritium melepas partikel β (beta): 3 3 H He + βKonsentrasi tritium dinyatakan sebagai unit tritium (TU). 1 TU = 1 3H per 1018 atom hydrogen dan 1 TU = 0,118 Bq.Kg-1 (3,19 pCi. Kg-1) dalam air. Konsentrasi tiritum alam dalam presipitasi sangat rendah dan mewakili kesetimbangan sekuler antara produksi alam, kombinasi peluruhan dalam atmosfer dan kehilangannya dalam hidrosfer dan lautan. Laju produksi dan konsentrasinya adalah fungsi latitude yakni daerah dengan latitude lebih tinggi maka produksi tritium juga makin besar. Tritium dari Bom Termonuklir Termonuklir pertama dimulai pada 9 Mei 1951 dengan adanya peralatan 2H–3H–235U yang diberi kode George. Pada saat itu konsep reaksi fusi hidrogen oleh Hagiwara-Fermi-Teller telah sukses diujicobakan. Kemudian pada 1 November 1952 superbom termonuklir mulai diujicobakan, yakni dengan adanya tembakan Ivy-Mike yang mendemostrasikan bahwa megaton energi dapat dilepaskan dengan reaksi fusi hidrogen,. Sejak itulah superbom termonuklir terlahir dan produksi tritium dari anthropogenik meningkat konsentrasinya di stratosfer hingga beberapa orde besaran. Konfigurasi awal bom hidrogen menggunakan radiasi fisi 235U untuk menekan bahan bakar deuterium-tritium agar reaksi fusi dapat diinisiasi. Netron tinggi yang dihasilkan dari reaksi fisi uranium digunakan untuk memisahkan litium deuteride. Panas dari reaksi fisi membakar hasil deuterium dan tritium, reaksinya adalah: 235
U
fisi
Kr + Ba + 2n fisi 6Li 6
Li 2H
3
H + 2H + 4He + panas reaksi fusi-U fusi
5
4
He + energi
He + n
14
N
12
C + 3H
He tidak stabil (t ½ = 6,7 .10-22) dan meluruh menjadi 4He stabil dengan mengemisi netron. Fluks netron yang luar biasa besar pada akhir dari reaksi berantai ini mengaktivasi nitrogen atmosfer dengan menghasilkan 3H. 5
69
E. Ristin Pujiindiyati : Tritium (3H) untuk Indentifikasi dan Penanggalan Air Tanah Modern
Tabel 1. Tritium yang dilepaskan ke atmosfer oleh percobaan termonuklir utama Tahun
Negara
Energi fusi Megaton TNT
Tritium TBq
1951 1952 1953 1954 1955 1956 1957 1958 1961 1962 1963 1963 1967 1968 1969 1970 1973 1974 1976
USA USA USSR USA USSR USA, USSR UK, USSR UK, USA, USSR USSR USA, USSR USA, USSR Perjanjian larangan percobaan terbatas China China, Perancis China China, Perancis China China China
0,075 6,0 0,2 17,5 1,5 15,3 10 31,1 96,90 140,8 0,21
0,1 4,4 0,1 13 1,1 11,3 7,4 23 72 104 0,15
1,3 2,6 1,0 1,2 0,9 0,15 1,75
1 1,9 0,7 0,9 0,7 0,1 1,3
•
Tera Bequerels (1012Bq)
Percobaan nuklir yang menghasilkan tritium sangat besar di atmosfer yaitu antara 1952-1962 seperti terlihat pada tabel 1. Input tritium tersebut menciptakan suatu reservoir tritium di stratosfer yang mengkontaminasi sistem presipitasi secara global selama empat dekade seperti terlihat pada gambar 1. Puncak tritium tahun 1963 menjadi suatu penanda yang digunakan dalam beberapa studi hidrogeologi. Saat ini, konsentrasi tritium dalam presipitasi telah kembali ke level alam atau kosmogenik. Tritium dari Reaktor Nuklir Fluks netron tinggi dalam teras reaktor nuklir diperkirakan menghasilkan tritium yang berasal dari aktivasi nitrogen. Alur perjalanan tritium ke lingkungan terjadi melalui uap dan air yang dilepaskan dari reaktor ini. Meskipun reaktor nuklir merupakan sumber titik dari perspektif global tetapi emisi lokalnya sangatlah tinggi dan dapat menghasilkan lingkaran 3H tinggi di air permukaan, air tanah dan tanaman. Sebagai contoh reactor air mendidih 1000 MW membuang hingga orde 1010 Bq/tahun (20 sampai 30 Ci/tahun) tritium, setara dengan percobaan bom nuklir kecil. Tritium dari Geogenik Suatu fluks netron dapat berasal dari reaksi fisi spontan unsur uranium (U) dan thorium (Th). Di dalam batuan yang mengandung litium dapat menghasilkan 3H melalui reaksi fisi 6Li sebagai berikut: 6 3 Li + n H + α Konsentrasi tritim terlarut dalam air tanah tergantung pada kandungan litium dan porositas batuan. Waktu paruh yang pendek dan laju produksi yang rendah umumnya akan menghindarkan akumulasi tritium geogenik ini. Akan tetapi dalam beberapa kasus seperti air tanah dalam dari batuan dasar granite Stripa mengandung tritium 0,7 TU. Pada kebanyakan aquifer, konsentrasi 3H geogenik sangat rendah atau mendekati limit deteksi analitik terendah yaitu sebesar 0,1 TU. Sebaliknya, di daerah dengan kandungan mineral uranium tinggi dapat menghasilkan fluks netron tinggi sehingga konsentrasi 3 H geogenik dapat lebih tinggi dari 3H kosmogenik seperti di pertambangan Cigar Lake di Saskatchewan - Kanada dimana konsentrasi 3H dalam air tanah melebihi 250 TU.
70
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.10 No.2 2007
ISSN 1410-9565
Gambar 1. Konsentrasi tritium di presipitasi dari percobaan bom termonuklir sejak tahun 1952 yang dikoleksi dari berbagai stasiun di Amerika Utara dan Eropa, dari Global Network of Isotopes in Precipitation–GNIP IAEA [4] PENANGGALAN AIR TANAH DENGAN TRITIUM Kaufman dan Libby (1954) adalah orang pertama yang menemukan sistem penanggalan untuk air tanah dengan menggunakan tritium kosmogenik. Karena 3H geogenik dalam kebanyakan air tanah dapat diabaikan maka 3H terukur pada air tanah selalu menandakan adanya resapan air tanah modern. Pendekatan baik kuantitatif maupun kualitatif untuk penanggalan air tanah diantaranya adalah [1,2]: Kecepatan Pergerakan Puncak 3H Tahun 1963 Selama era percobaan bom termonuklir, puncak tritium tahun 1963 menjadi suatu penanda klasik dalam aquifer. Puncak tersebut dapat bergerak melalui aquifer yang bersirkulasi secara aktif atau telah mengalami penurunan karena dispersi dan percampuran atau malah terawetkan dalam keadaan geohidrologi yang sangat kurang aktif. Pola jatuhan tritium dalam presipitasi seperti pada gambar 1 dapat terawetkan hanya dalam sistem hidrogeologi dimana proses percampuran yang terjadi sangat minimal. Disini air baru bergerak ke dalam zona penyimpanan di lapisan paling atas menggantikan air lebih tua yang bergerak ke bawah seperti terlihat pada gambar 2.
Gambar 2. Konsentrasi tritium pada berbagai kedalaman di akuifer berpasir, Denmark [5]. Zona yang dengan laju infiltrasi rendah atau zona tak jenuh tebal masih mengawetkan profil 3 H seperti pada gambar 1. Beberapa air tanah mampu mengawetkan puncak bom tritium tahun 1963
71
E. Ristin Pujiindiyati : Tritium (3H) untuk Indentifikasi dan Penanggalan Air Tanah Modern
dengan baik sehingga posisi ini dapat digunakan untuk menentukan laju alir air tanah dan waktu sirkulasi rata-rata. Peluruhan Radioaktif Penanggalan air tanah dengan peluruhan tritium didasarkan pada asumsi bahwa input tritium kedalam air tanah diketahui dan residu tritium terukur dalam air tanah adalah hasil dari peluruhan itu sendiri. Persamaan peluruhan adalah: at 3H = a0 3H e -λt a0 3H adalah aktivitasi awal tritium (TU) dan at 3H adalah aktivitas residu tritium yang tertinggal setelah t waktu peluruhan. Peluruhan λ adalah ln 2/ t1/2 sehingga: t = -17,93 ln(at 3H / a0 3H) Sebagai contoh jika a0 3H =10 TU, maka deret peluruhan adalah sebagai berikut: Tahun : 0 10 20 30 40 50 60 TU : 10 5,7 3,3 1,9 1,1 0,6 0,4 Dari skala di atas, tritium untuk penanggalan efektif digunakan jika umur air tanah kurang dari 50 tahun dengan limit deteksi 0,8 TU.
Gambar 3. Peluruhan tritium dari input presipitasi (plot normal dan semilog)
[5]
Gambar 3 memperlihatkan penanggalan air tanah dapat diestimasikan dari garis peluruhan. Ekstrapolasi kembali sepanjang garis peluruhan dari nilai 3H terukur untuk waktu tertentu pengambilan air tanah akan berpotongan dengan kurva presipitasi pada tahun dimana infiltrasi berlangsung. Metode ini mengasumsikan bahwa 1 tahun presipitasi mengkontribusi terhadap suatu contoh air tanah, padahal input tritium adalah rata-rata multi tahun. Fungsi Input Tritium dalam Air Tanah Pada umumnya air tanah dalam aquifer merupakan kontribusi dari komposisi multi tahun presipitasi. Kontribusi tersebut bisa berasal dari percampuran dengan air tanah dalam zona tak jenuh dan dari aliran daerah resapan dimana penambahan air tanah berlangsung terus menerus. Sekali waktu air tanah ini bergerak ke dalam zona tertekan atau ke suatu kedalaman dimana tidak ada lagi penerimaan air tanah dari permukaan. Pada kondisi seperti ini kandungan 3H mengalami penurunan karena pengaruh peluruhan itu sendiri. Konsentrasi tritium dalam air tanah ini merupakan fungsi waktu tinggal dalam lingkungan resapan. Fungsi input tritium multi tahun dapat ditentukan dari kontribusi 3H weighted annual average dan koreksi peluruhan dari kontribusi presipitasi tiap tahun selama tersimpan dalam daerah resapan. Sebagai contoh air tanah diasumsikan telah terakumulasi selama 3 tahun di daerah resapan dengan komposisi 25% dari tahun ke 1, 50% dari tahun ke 2 dan 25% dari tahun ke 3. Pada akhir tahun ke 3 saat air tanah bergerak melewati zona resapan, konsentrasi 3H sama dengan 25% konsentrasi 3H dari presipitasi tahun ke 1 dengan 3 tahun peluruhan, ditambah 50% konsentrasi 3H tahun ke 2 dengan peluruhan 2 tahun, ditambah 25% konsentrasi 3H tahun ke 3 dengan 3H yang meluruh selama 1 tahun.
72
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.10 No.2 2007
ISSN 1410-9565
Fungsi input 3H dalam presipitasi dapat didekati dengan model peluruhan. Model ini mengasumsikan tiap komponen air tanah yang bergerak sepanjang sistem aliran menerima bobot yang sama akan kontribusi multi tahun presipitasi dan mengikuti distribusi normal dengan bobot terbesar pada kontribusi tahun pertengahan dan kontribusi terendah pada tahun pertama dan terakhir. Gambar 4 memperlihatkan tiga model resapan untuk tritium rata-rata tahunan di Ottawa. Model tersebut mengasumsikan resapan air tanah berlangsung selama 5, 10 dan 20 tahun. Kurva resapan diplotkan pada tahun saat air tanah telah tertutup dari konstribusi presipitasi. Garis peluruhan pada gambar 4 hanya berlaku untuk kondisi sistem tertutup yang mengikuti pergerakan air tanah dibawah daerah resapan. Peningkatan jumlah tahun resapan dalam model tersebut menurunkan puncak konsentrasi jatuhan tritium.
Gambar 4. Jatuhan tritium weighted annual average dalam presipitasi yang dikoleksi di Ottawa [6]. Ekstrapolasi 3H terhadap kurva input resapan yang paling sesuai memberikan estimasi waktu tinggal rata-rata (Mean Residence Time) air tanah dibawah lingkungan resapan. Sebagai contoh, tahun 1995 3H terukur dalam air tanah dari suatu aquifer sebesar 2 TU. Diestimasikan air tanah tersebut telah terakumulasi selama 10 tahun di daerah resapan. Ekstrapolasi kembali sepanjang kurva peluruhan paling bawah pada gambar 4 berpotongan pada kurva resapan 10 tahun yakni pada awal tahun 1955, maka diperoleh total waktu tinggal rata-rata air tanah di bawah permukaan adalah 40 tahun ditambah waktu tinggal rata-rata di daerah resapan (± 5 tahun). Interpretasi Kualitatif Data 3H Dalam tiga dekade sejak uji bom termonuklir mayor berakhir, konsentrasi tritium telah sangat menurun dan telah mendekati konsentrasi dari produksi atmosferik. Secara kualitatif interpretasi tritium dalam air tanah diringkaskan adalah: Daerah continental : < 0,8 TU : air tanah submodern yang meresap sebelum tahun 1952 0,8 hingga 4 TU: campuran air tanah submodern dengan air tanah yang baru meresap. 5 hingga 15 TU : air tanah modern (< 5 hingga 10 tahun) 15 hingga 30 TU : air tanah dengan beberapa bom 3H masih ada (10 hingga 30 tahun) >30 TU : air tanah yang dapat dianggap meresap dari tahun 1960-an hingga 1970-an >50 TU : air tanah yang dominan meresap pada tahun 1960-an Daerah pantai dan daerah dengan latitude rendah : < 0,8 TU : air tanah submodern yang meresap sebelum tahun 1952 0,8 hingga 2 TU : campuran air tanah submodern dan air tanah yang baru meresap 2 hingga 8 TU : air tanah modern (<5 hingga 10 tahun) 10 hingga 20 TU : air tanah dengan sisa bom 3H (10 hingga 30 tahun) 20 TU : air tanah yang meresap dari tahun 1960-an hingga 1970-an KONDISI TRITIUM DI INDONESIA
73
E. Ristin Pujiindiyati : Tritium (3H) untuk Indentifikasi dan Penanggalan Air Tanah Modern
Konsentrasi tritium (TU)
Pada tahun 1958 IAEA memutuskan untuk meneliti kandungan tritium dan isotop stabil di presipitasi dalam skala global untuk tujuan studi hidrogeologi dan meteorologi. IAEA bekerja sama dengan WMO (World Meteorology Organization) kemudian membangun 122 jaringan stasiun presipitasi di seluruh dunia. Tahun 1961 alat penampung air presipitasi mulai dioperasikan. Jenis isotop dan data yang diukur adalah tritium, oksigen-18 dan deuterium dari contoh air presipitasi bulanan, jumlah presipitasi dan suhu udara rata-rata. Analisis tritium dilakukan di 38 laboratorium di berbagai negara. Pada awal tahun 1977, dari 122 jaringan stasiun dikurangi menjadi hanya 65 stasiun karena dianggap informasi yang diperoleh telah cukup [7]. Tidak ketinggalan di Indonesia juga dipasang alat penampung air presipitasi (curah hujan) yakni di Jakarta dan Jayapura. Akan tetapi analisis tritium belum dapat dilakukan di Indonesia. Gambar 5 memperlihatkan hasil tritium dalam air presipitasi dari dua stasiun penampung curah hujan di Jakarta dan Jayapura. Gambar tersebut (untuk Jakarta) memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi tritium yang cukup signifikan pada tahun 1963 sebesar 180,2 TU yakni pada percobaan bom termonuklir mayor. Seperti halnya di tempat lain, pada tahun 1978 konsentrasi tritium di atmosfer Jakarta mulai menurun hingga 5,3 TU dan kembali ke kondisi alam [7].
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 1955
presipitasi Jakarta presipitasi Jayapura
1960
1965
1970
1975
1980
Tahun Gambar 5. Konsentrasi tritium dalam presipitasi/air hujan di Jakarta dan Jayapura [7] Pada tahun 1980 di laboratorium Hidrologi-PAIR-BATAN dipasang alat untuk pengkayaan tritium dan alat pencacah sintilasi cair (Liquid Scintillation Counter-LSC) untuk mengukur sinar β dari tritium. Sejak saat itu analisis tritium dalam air tanah dangkal telah dapat dilakukan di Indonesia. Beberapa analisis tritium dari air tanah dangkal yang dilakukan diantaranya adalah di Semarang 0,23 TU hingga 4,66 TU [8], Jakarta 1,96 TU hingga 5,13 TU [9], Bekasi 0,56 TU hingga 3,47 TU [10] dan sekitar TPA Leuwigajah-Bandung 1,1 TU hingga 2,3 TU [11]. Sedangkan analisis tritium air permukaan diantaranya adalah air waduk Krisak-Wonogiri 1,1 TU hingga 2,3 TU [12], dan mata air panas di Sumatra dan Lahendong 0 TU hingga 3,2 TU [13]. Dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan konsentrasi tritium di air tanah dangkal dan air permukaan berkisar antara 0 TU hingga 5 TU. Umumnya penulis tersebut menginterpretasikan umur air tanah secara kualitatif. Karena yang diambil adalah air tanah dangkal maka nilai tersebut menunjukkan ciri air tanah modern atau air tanah yang baru meresap kurang dari 5 tahun hingga 10 tahun yang lalu. Interpretasi secara kuantitatif, misalnya fungsi input tritium, dengan memanfaatkan data tritium dari presipitasi seperti tertera pada gambar 5 belum diterapkan untuk penanggalan air tanah modern. KESIMPULAN Pada saat ini konsentrasi tritium di presipitasi sudah mendekati konsentrasi tritium karena peristiwa alam. Karena percobaan bom termonuklir umumnya dilakukan di hemisfer utara maka konsentrasi tritium di wilayah hemisfer selatan tidak nampak atau dapat diabaikan. Konsentrasi tritium dalam air tanah dangkal di beberapa wilayah di Indonesia sangat rendah yaitu 0-5 TU. Secara kualitatif air tanah tersebut adalah air tanah modern atau air tanah yang baru meresap kurang dari 5 tahun
74
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.10 No.2 2007
ISSN 1410-9565
hingga 10 tahun. Karena konsentrasinya yang semakin rendah maka sebaiknya penanggalan umur air tanah modern dapat dibandingkan dengan metode lain. Austalia telah mengembangkan metode CFC (Chlouro Flouro Carbon) untuk penentuan umur air tanah ± 50 tahun sedangkan di Indonesia belum dapat dilakukan analisis CFC. DAFTAR PUSTAKA 1. Clark, I.D dan Fritz, P (1997) Environmental Isotopes in Hydrogeology, Lewis pub, Boca-RatanNew York. 2. Fritz, P dan Fontes, CH (1980) Handbook of Environmental Isotopes Geochemistry, Vol.1., B. Elsivier, Amsterdam 3. Mook, W.G (2000)., Environmental Isotope s in Hydrological Cycle-Principles and Applications., Vol IV., Unesco-IAEA., Paris 4. Gonfiantini,R. (1996) The Isotopic Composition of Precipitation”., Proceeding, International Symposium on Isotopes Hydrology, Paris 5. Andersen,L.J dan Sevel,T (1974) Profiles of Tritium in the Unsaturated and Saturated Zones, Gronhoj-Denmark., In: Isotopes Techniques in Groundwater Hydrology, Vol.1, IAEA Aymposium, Vienna 6. Brown ,R.M (1961) Hydrology of Tritium in the Ottawa Valley”., Geochemica et Cosmochemica Acta., 21. 7. International Atomic Energy Agency (1981) Statistical Treatment of Environmental Isotope Data in Precipitation – Technical Report Series 206, IAEA, Vienna 8. Indrojono dkk(1983) Studi air tanah Semarang menggunakan isotop alam”, Pertemuan Teknis Ilmiah –Kelompok Industri dan Hidrologi, Batan-Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi 9. Syafalni dkk (1999) Studi air tanah dangkal daerah Bogor dan Jakarta bagian selatan dengan hidroisotop, Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi-BATAN., Jakarta, 10. Syafalni dkk (2003)., “Studi air tanah cekungan Bekasi dengan menggunakan metode hidroisotop”, Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi-BATAN., Jakarta 11. Satrio dkk (2004) Studi tritium alam di sekitar TPA Bantar Gebang - Bekasi dan Leuwigajah – Bandung., Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan RadiasiBATAN 12. Simon Manurung dkk (1994) Identifikasi kebocoran waduk Krisak-Wonogiri-Jawa Tengah dengan analisis isotop alam dan hidrokimia., Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi-BATAN., Jakarta 13. Zainal A et.al (1995) Kamojang overview and geothermometer study., Compilationof materials in Advisory Group Meeting on Isotope Applicationsin Geothermal Energy Development., IAEA., Vienna.
75
E. Ristin Pujiindiyati : Tritium (3H) untuk Indentifikasi dan Penanggalan Air Tanah Modern
76