Totem Ambon Manise: Membongkar Segregasi Teritorial Berbasis Agama di Kota Ambon Resa Dandirwalu
Dosen Fakultas Teologi Ukim Ambon Abstrak This writing is an effort done by the writer to break up the religious segregation that is still continuing in Ambon City, the Capital of Moluccas. Since the Social conflict started in January 19, 1999, then continued in September 11, 2011, and May 15, 2012 the religious people who live in harmony has become a fragile living. The Data collected by the observation and interview technique. Observation was done to collect the data about the impacts of social conflict, especially on the reality of segregation based on religion background, while interview was done with the tradisional / cultural leaders and the citizens of Ambon (Moslems and Christians as well). They involved directly or indirectly in the social conflict and undergo its impacts. After that, the researcher collected and studied the written documents that related to the research topic. The impact of social conflict in January 19, 1999 and September 11, 2011 is the territorial segregation based on religion background. This situation still held by the people from the Christians and Moslems because of the safety and comfort reasons, also traumatic and psychological reasons. Durkheim’s theory on totem is used by the writer to explain that reality of segregation. So the theory become the concept to break up the segregation based on religion background which is happening in Ambon. Totem: Ambon Manise, is a concept or slogan that is very closed to the Molucans. Therefore, this concept or slogan can be a self image of Molucans communally, and can be a norm that able to change their point of view and the daily attitude. The attitude of respect each other, help each other, and trust each other, before the conflict in 1999, was very good and tightly held among the Molucans. Therefore if a member of community does not have this attitude, he/she known as people who have not the Molucan identity. So, the Totem Ambon Manise can be a new Totem for Molucans, especially for the modern Ambonesse here and now. Then the Totem can be a common self image to build up the people life communally in order to create the social cohesion without the religious, ras, and tribe walls. This new totem does not reduct the totems belong to the clans. Conversely, it enriches the clan totems that have been belonged to the people until now. Key words: segregation, social conflict, slogan, totem, Ambon Manise, pela, gandong.
30
Resa Dandirwalu, Totem Ambon Manise
Abstract Tulisan ini merupakan usaha dari penulis untuk mengakhiri segregasi agama yang masih terjadi di kota Ambon, ibukota Maluku. Sejak konflik sosial yang dimulai pada 19 Januari 1999, kemudian terulang kembali pada 11 September 2011 dan 15 Mei 2012, kehidupan beragama masyarakat yang sebelumnya harmonis menjadi sangat rentan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengamatan dan wawancara. Pengamatan dilakukan untuk mendapatkan data mengenai dampak dari konflik sosial, khususnya pada segregasi yang memiliki latar belakang keagamaan, wawancara dilakukan kepada pemimpin tradisional/adat dan masyarakat Ambon (Muslim dan Kristen). Mereka secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam konflik sosial dan saat ini sedang mengalami dampak dari konflik tersebut. Selain itu, peneliti juga mengumpulkan dan mempelajari dokumen-dokumen tertulis yang berkaitan dengan tema penelitian. Dampak konflik sosial 19 Januari 1999 dan 11 September 2011 adalah segregasi wilayah berdasarkan latar belakang keagamaan. Situasi ini masih diterapkan oleh kelompok muslim dan Kristen dengan alasan keamanan dan kenyamanan, serta alasan traumatis dan psikologis. Teori totem oleh Durkheim digunakan oleh penulis untuk menjelaskan realita segregasi tersebut. Teori tersebut kemudian menjadi konsep untuk memecahkan segregasi keagamaan yang terjadi di Ambon. Totem: Ambon Manise, merupakan sebuah konsep atau semboyan yang cukup familiar bagi masyarakat Maluku. Oleh sebab itu, slogan ini secara komunal dapat menjadi citra diri bagi masyarakat Maluku, serta dapat menjadi sebuah norma yang mampu mengubah cara pandang dan perilaku sehari-hari. Perilaku saling menghargai, tolong-menolong, dan rasa percaya, sebelum konflik 1999, sangat baik dan dengan erat dipegang di kalangan masyarakat Maluku. Oleh sebab itu, jika ada anggota kelompok masyarakat yang tidak memiliki sikap tersebut, maka dia akan dianggap tidak memiliki identitas sebagai masyarakat Maluku. Totem Ambon Manise dapat menjadi totem baru bagi masyarakat Maluku, khususnya bagi masyarakat Ambon saat ini. Totem tersebut kemudian dapat menjadi citra diri bersama, untuk membangun kehidupan masyarakat komunal untuk menciptakan kehidupan sosial yang terpadu tanpa ada halangan agama, ras, dan suku. Sebaliknya hal ini dapat memperkaya totem klan yang hingga saat ini telah menjadi milik masyarakat bersama Kata kunci: Segregasi, Konflik Sosial, Slogan, Totem, Ambon Manise, Pela, Gandong. Pendahuluan Toleransi beragama dan berbudaya s a ng a t k u at d a l a m keh id u p a n masyarakat Ambon-Maluku. Budaya pela gandong, masohi dan makan patita merupakan tradisi atau kebiasaan adat yang dipelihara dari generasi ke generasi, sehingga menjadi bagian dari kehidupan mereka. Karena itu, kalau ada kegiatan membangun gedung
gereja, mesjid, ataupun sarana adat (baileu) dan pemerintah (sekolah) selalu dilakukan secara masohi, baik oleh dua desa yang berpela maupun para tetangga desa yang ada di sekitarnya. Masohi dilak u kan dalam bent u k dukungan tenaga maupun material (bahan bangunan). Untuk tetap menjaga hubungan antara desa yang satu dengan desa yang
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 35 No. 1 2014
31
lain, beda agama, tradisi “panas pela” digelar setiap tahunnya. Tujuannya a d a l a h me ng i ng at k a n a ng got a anggotanya akan tanggung jawab kolektif yang diikat secara adat. Tradisi ini dilakukan dengan perayaan besarbesaran yang di dalamnya terkandung ritus maupun sumpah adat para tetua/ leluhur. Karena itu sifatnya mengikat para anggota-anggotanya. Sehingga tampak harmonisasi di antara mereka. Potret toleransi yang harmonis dalam berbudaya juga menjadi bagian dalam kehidupan religius mereka. Perayaan-perayaan religius, seperti Idul Fitri, Natal, Halalbihalal, bukan hanya menjadi kegembiraan komunitas Islam, tetapi komunitas Kristen juga, begitupun sebaliknya. Silahturami sebagai bentuk keterlibatan kepada komunitas religius yang merayakan, selalu juga dibarengi dengan partisipasi langsung dalam acara-acara religiusnya.1 Oleh karena itu, hari-hari menjelang perayaanperayaan keagamaan, masyarakat Ambon-Maluku, baik komunitas yang merayakan maupun komunitas agama yang lain sibuk mempersiapkannya, sehingga Kota Ambon terlihat dalam suasana meriah dan penuh makna. Suasana itu mendeskripsikan relasi kebersamaan di antara kedua agama itu, yang nampak harmonis dan saling menghormati satu dengan yang lain. Relasi itu merupakan perwujudan dari apa yang disebut dengan istilah AmbonMaluku, “ katong samua basudara”. 1 Partisipasi tersebut dalam bentuk mengambil peran dalam bermain rebana dan menyanyikan lagu-lagu yang berlafaskan Islam, serta turut mengambil bagian dalam peran drama natal. Misalnya menjadi Maria atau Yusuf. Selain itu juga, ketika malam Natal dan Idul Fitri, kedua komunitas ini bisanya ikut dalam takbir akbar bersama ataupun konfoi Natal bersama.
32
Terkait dengan suasana harmonis dalam berbudaya dan beragama itu, Pieter Tanamal menegaskan bahwa toleransi inilah yang membedakan masyarakat Ambon-Maluku dengan masyarakat yang lain, yang ada di I ndonesia, sehi ngga masyarakat Ambon-Maluku sering digembarge mbork a n sebagai m a sya r a k at beragama, berbudaya, toleran dan mempunyai etiket bersesama.2 Predikat ini dipelihara dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi, namun predikat itu akhirnya menjadi tanda tanya besar, ketika konflik berdarah 19 Januari 1999 menjadi catatan kelam bagi masyarakat Ambon-Maluku secara holistik. Karena tindakan destruktif maupun anarkis yang dilakukan masyarakat Maluku, hanya karena isu “gedung gereja” dan “mesjid” dilecehkan atau dibakar. Parahnya lagi tradisi budaya pela gandong seakan tidak berfungsi, sebab tidak mampu menjadi alat pendingin konflik itu. Sebab agama seakan mendominasi pemikiran dan prilaku setiap komunitasnya. Agama tampak diredusir sebagai alat justifikasi yang ampuh dan mujarab. Politisasi makna maupun simbol-simbol agama seakan berhasil digelar. Akibatnya masyarakat Ambon-Maluku tidak lagi memperdulikan tradisi budaya dan nilainilai agama yang selama ini dijaga dan dipelihara. Sebab simbol-simbol agama, baik gedung gereja, masjid, ayat-ayat Alkitab dan Al-quran maupun nyanyian agamawi menyertai setiap tindakan anggota komunitas agama. Akibat dari pembelaan terhadap simbol-simbol itu 2 Piter Tanamal. Memori Tragedi Kemanusian Di Ambon-Maluku. (Ambon: Yayasan Nunusaku, 2000). Hlm. 97.
Resa Dandirwalu, Totem Ambon Manise
dalam konflik, nyawa manusia menjadi “harga mati” yang harus dibayar. Ini menjadi tantangan sekaligus masalah besar bagi kehidupan beragama dan berbudaya di Ambon-Maluku. Selain itu, akibat dari konfliks sosial yang berlangsung di Ambon – Maluku, terciptanya lokasi-lokasi yang hanya ditempati oleh orang Muslim dan lokasi-lokasi yang ditempati oleh orang Kristen. Misalnya, lokasi Waihaong, Batu Merah, Kebun Cengke, yang awalnya ditempati oleh orang Kristen dan orang Muslim, kini ditempati hanya oleh orang Muslim; lokasi Mangga Dua, Hatiwe Kecil, Passo, yang awalnya ditempati oleh orang Kristen dan orang Muslim, kini ditempati hanya oleh orang Kristen. Dengan demikian, di Kota Ambon muncullah wilayah/lokasi agama Kristen dan Islam. Sampai saat ini masyarakat di Kota Ambon tidak memiliki keinginan untuk kembali bermukim pada lokasi awal tinggal mereka, dengan alasan keamanan. Data dikumpulkan dengan mengg unakan metode obser vasi/ pengamatan dan wawancara, sehingga observasi dilakukan terhadap dampak konflik sosial, dalam hal ini realitas segregasi di Kota Ambon, sedangkan wawancara dilakukan dengan sejumlah tokoh adat, dan masyarakat di Kota Ambon, baik masyarakat yang beragama Kristen, maupun masyarakat yang beragama Islam, yang mengalami secara langsung konf lik sosial dan dampaknya. Kemudian, melakukan pengumpulan dan pengkajian terhadap dokumen-dokumen tertulis lainnya, yang berhubungan dengan masalah yang sedang dikaji dalam penelitian ini.
Pembahasan Pada bagian ini, penulis menggunakan teori Durkheim tentang totem sebagai upaya untuk menganalisis realitas segregasi yang sedang dialami oleh masyarakat di Kota Ambon (Komunitas Kristen dan Islam). Agar, menghasilkan pemahaman baru mengenai konsep beragama, sehingga terciptanya hidup orang basudara secara berdampingan tanpa dibatasi oleh lokasi/wilayah berbasis agama. Emile Durkheim dalam Teorinya: Totem: Simbol Kohesi dan Identitas Klan Menurut Durkheim totem adalah simbol klan itu sendiri, terkait dengan kekuatan yang ada dibaliknya, maka totem sekaligus merupakan simbol kohesi dan identitas sosial. Karena totem menyatukan setiap anggota klan dalam suatu ikatan khusus yang bukan didasari oleh adanya hubungan darah (geneologis). Tetapi karena mereka mempunyai kesamaan nama (yang diambil dari nama-nama sesuatu yang bersifat material, terutama dari binatangbinatang dan tumbuh-tumbuhan) yang oleh klan dipandang memiliki hubungan yang khas, yaitu hubungan kekerabatan/ kekeluargaan. Sebagai simbol klan, totem serta merta menunjuk pada identity of clan (identitas klan). Hal ini tampak jelas dalam gaya atau cara anggota klan merepresentasikan totem dalam kehidupan setiap hari, dengan melukiskannya pada bendabenda dan pada tubuh, misalnya, di Kepulauan Aru, setiap marga/klen mempresentasikan totem pada Kora-
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 35 No. 1 2014
33
Kora3 mereka, sehingga masyarakat di Kepulauan Aru dapat mengetahui marga/klen dari pemilik Kora-Kora. Inilah representasi kolektif yang paling penting dalam kehidupan klan, selain itu, klen Marela, yang selalu menampilkan gayang dalam acara adat negeri di Tulehu sebagai simbol totem mereka. Cara terbaik untuk menunjukkan kepada diri sendiri dan orang lain bahwa seseorang merupakan bagian dari klan yang sama adalah membubuhkan totemnya. Inilah identitas yang mengikat mereka dalam sebuah ikatan moral bersama oleh sebuah simbol totem. Setiap anggota klan akan memberikan arti ataupun makna terhadap simbol dalam kaitan dengan identitasnya, sehingga simbol totem menghidupkan solidaritas dan menggerakkan anggota-anggota klan untuk melibatkan diri dalam suatu kehidupan kolektif, agar simbol totem dapat menarik anggota-anggota klan untuk ada dalam kesadaran yang sama tentang suatu tujuan. Jadi, identitas klan adalah sebuah proses yang dinamis mengenai bagaimana s u at u k l a n me ng kon s t r u k si k a n suatu sistem tindakan kolektif untuk memperlihatkan ciri khas, kepribadian, atau siapa mereka terkait dengan simbol totem yang menyimbolkan mereka. Sejarah Konflik Sosial di Kota Ambon Konflik sosial yang berlangsung di Kota Ambon, pada tanggal 19 Januari 1999, pada saat Hari Raya Idul Fitri menjadi titik awal pecahnya konflik sosial di Kota Ambon dari perkelahian kecil antara Pemuda dari Mardika (Kristen), sebuah wilayah di Kota
Ambon dan Seorang pemuda dari negeri Batu Merah (Islam). Pada masa awal konflik, target adalah para imigran Muslim dengan berbasiskan etnis (Buton, Bugis, dan Makasar), setelah itu, konflik sosial terus berlangsung hingga menjadi murni isu agama, sehingga kekerasan yang membabibuta ini juga dilakukan pada simbolsimbol agama, seperti Gereja dan Masjid. Akibatnya masyarakat Ambon terbagi menjadi dua komunitas, yaitu Komunitas Kristen dan Komunitas Muslim, dan masyarakat umumnya terlibat secara aktif dalam konflik sosial dengan menggunakan segala macam peralatan dari roda bergerigi, tombak, panah, batu, dan senjata rakitan sendiri. Konf lik sosial di Kota Ambon sedikit reda pada Bulan Mei 1999, pada saat kampanye Pemilu 1999, kemudian pada bulan Juli 1999 konflik sosial di Kota Ambon kembali terjadi dengan isu agama. Masyarakat kedua komunitas (Kristen dan Muslim) saling mempertahankan komunitas seagama mereka dan menyerang siapa saja yang berbeda agama, selanjutnya, pada tahun 2001, Forum Kedaulatan Maluku (FKM) terbentuk dan menganggap bahwa pemerintah Republik Indonesia tidak memiliki kapasitas atau kemampuan untuk menyelesalaikan konflik sosial di Maluku, khususnya di Kota Ambon. Sebagai bentuk manifestasinya, FKM membawa isu RMS yang telah merdeka semenjak tahun 1950, kemudian, pada akhir tahun 2001, ketika masyarakat sudah lelah berperang dan sejumlah operasi khusus dijalankan, Kota Ambon berkembang menjadi lebih stabil. Pada Februari 2002, perjanjian damai Malino
3 Perahu biasa yang telah dihiasi secara adat
34
Resa Dandirwalu, Totem Ambon Manise
yang dimotori oleh pemerintah pusat ditandatangani, dan sejak perjanjian damai tersebut, tingkat kekerasan di Kota Ambon mulai berkurang pada tahun 2003, sehingga Status Darurat Sipil dicabut walaupun beberapa kekerasan dan pemboman masih terjadi dalam frekuensi dan intensitas yang relatif rendah, dan tahun 2004, konflik besar antara komunitas Kristen dan komunitas Muslim kembali terjadi dengan isu RMS. Ketika terjadinya konf lik sosial tersebut, masyarakat di Maluku pada umumnya, dan masyarakat Kepulauan Ambon khususnya masih memiliki ikatan adat yaitu: “Pela dan Gandong”. Pela adalah ikatan persahabatan atau kerjasama antar warga dari dua negeri (negeri Kristen dan negeri Islam) atau lebih berdasarkan perjanjian atau sumpah adat yang dilakukan oleh para datuk atau para leluhur dalam ikatan yang begitu kuat,4 dan sistem pela ini ada dua macam, yaitu: “pela tempat sirih”, dan “pela keras” atau sering disebut “pela batu karang”, dan “pela tumpah darah”. Pela tempat sirih adalah pela yang berlangsung dengan cara mengedarkan sirih-pinang kepada yang hadir, sehingga tidak ditetapkan dengan sumpah dan tidak dikaitkan dengan kewajiban yang ditetapkan secara ketat, sehingga negeri-negeri yang termasuk pela tempat-sirih boleh saling menikah di antara mereka, 5 kewajiban yang 4 Sumarsono, dkk. Sistem Pemerintahan Tradisional Daerah Ambon. (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1993). Hlm. 15 5 Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta. (Jakarta: PSH, 1987). Hlm 184
dimaksdukan adalah aktivitas saling menolong dalam kehidupan sosialekonomi di antara sesama negeri pela. Berdasarkan hasil wawancara, maka negeri-negeri yang termasuk jenis pela dimaksud pada tabel 1. Selanjutnya, Pela tumpah darah adalah ikatan yang terbangun di antara dua atau lebih negeri yang ditetapkan melalui sumpah para pemimpin leluhur dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari mereka yang dicampur dengan miniman keras lokal, dari satu gelas, setelah itu ujung-ujung senjata mereka dicelupkan ke dalam gelas tersebut sebagai meterai sumpah persaudaraan untuk selama-lamanya.6 Perwujudannya tampak pada hubungan kerjasama antar anggota, dan dilarang untuk menikah dengan sesama pela, karena anggota sesama pela dianggap sebagai kerabat,7 dan negeri-negeri yang termasuk dalam hubungan pela ini dapat dilihat pada tabel 2, yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dan dokumen lainnya. Gandong adalah ikatan sosial antarnegeri (Kristen dengan Islam) berdasarkan hubungan darah atau keturunan. Gandong sendiri berarti kandungan, hubungan antar anak negeri berdasarkan hubungan saudara satu keturunan atau satu kandungan ibu yang sama. Berdasarkan hasil wawancara, negeri-negeri yang termasuk dalam gandong dapat dilihat pada tabel 3. Meskipun konflik sosial tahun 1999 yang berlangsung di Kota Ambon, tidak serta merta menghancurkan ikatan pela dan gandong yang tercipta atau terjalin 6 Ibid. Hlm. 183-814 7 Sumarsono, dkk. Op. Cit. Hlm. 16
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 35 No. 1 2014
35
No
Tabel 1
Tabel 3
Negeri Pela Tempat-Sirih
Negeri Gandong
Nama Negeri pada Pela Tempat-Sirih
1
Passo (Kristen) dengan Batu Merah (Islam)
2
Amahusu (Kristen) dengan Hatalay (Kristen)
3
Hutumury (Kristen) Siri Sori Islam (Islam)
4
Hulaliu (Kristen) dengan Paperu (Kristen)
Tabel 2 Negeri Pela Tumpah Darah No
Nama Negeri pada Pela Tumpah Darah
1
Porto (Kristen) dengan Itawaka (Kristen)
2
Waai (Kristen) dengan Morela (Islam)
3
Hative Besar (Kristen) dengan Haria (Kristen)
4
Hulaliu (Kristen) dengan Paperu (Kristen)
5
Noloth (Kristen) dengan Haruku (Kristen)
6
Kamariang (Krsiten) dengan Sepa (Islam)
7
Huku (Kristen) dengan Tihulalele (Kristen)
8
Hatu (Kristen) dengan Haya (Islam) dengan Wasu (Kristen)
9
Aboru (Kristen) dengan Kairatu (Kristen) dengan Booy (Kristen) dengan Hualoi (Islam)1
antarnegeri Kristen dengan negeri Islam. Sebaliknya, pada saat konflik sosial tersebut, negeri-negeri ini saling membantu, seperti yang terjadi antara negeri Haya (Islam) dengan negeri Hatu (Kristen), negeri Passo (Kristen) dengan negeri Batu Merah (Islam), Ema
36
No
Nama Negeri Gandong
1
Oma (Kristen) dengan Buano Selatan (Kristen), Buano Utara (Islam)
2
Hulaliu (Kristen), Pelau (Islam), Kailolo (Islam), Rohomoni (Islam), Kabau (Islam)
3
Ema (Kristen) dengan Batu Merah (Islam)
4
Naku (Kristen) dengan Larike (Islam)
(Kristen) dengan Batu Merah (Islam), Buano Selatan (Krsietn) dengan Buano Utara (Islam), dan Kamariang (Kristen) dengan Sepa (Islam), dengan demikian ikatan Pela dan gandong masih tetap terjalin hingga saat ini. Konflik Sosial di Kota Ambon Bertolak pada uraian sejarah konflik sosial, maka analisis menjadi bagian yang tidak terpisahkan, maka penulis mengedepan kan beberapa faktor penyebab konflik sosial di Kota Ambon, yang diperoleh dari hasil observasi, hasil wawancara dan beberapa dokumen, sebagai berikut: Pertama, faktor etnis, pecahnya konflik sosial di Kota Ambon, pada tanggal 19 Januari 1999, dianalisis oleh berbagai kalangan sebagai masalah Etnis, dan indikasi pada tulisan “Buton, Bugis, Makasar (BBM) harus keluar dari Kota Ambon”, yang dituliskan pada dinding-dinding bangunan dan karton-karton. Karena, hampir sebagian besar pendatang (BBM) menguasai daerah-daerah perekonomian, seperti: pasar yang berlokasi di Mardika, dan Ambon Plasa (Amplas). Kedua, faktor agama, ketika isu Etnis tidak mampu
Resa Dandirwalu, Totem Ambon Manise
untuk melanggengkan konflik sosial di Kota Ambon, maka isu agama dijadikan sebagai pemicu konf lik, ungkapanungkapan yang sering didengar adalah “mati saat berkonf lik pasti masuk sorga”, “mati karena mempertahankan agama, pasti masuk surga”, dll. Selain itu, simbol-simbol agama dipakai saat berperang, seperti: Alkitab, Alquran, Salib, dll, agar terselamatkan ketika berada di tengah-tengah konflik sosial, sehingga masyarakat di Kota Ambon menganggap bahwa konflik sosial yang berlangsung adalah konflik agama antara komunitas Kristen dengan komunitas Muslim yang saling berperang. Ketiga, faktor kepadatan penduduk, menurut Poltak Partogi Nainggolan, konf lik sosial yang berlangsung di Kota Ambon disebabkan oleh kepadatan penduduk. Mengapa? Pertama, adanya perbedaan budaya antara pendatang dengan penduduk setempat karena hampir semua pendatang mempunyai kebudayaan ekonomi lebih maju dan agresif, sehingga terciptalah kompetisi u nt u k me mp e r ebut k a n s u mb e rsumber daya yang terbatas, maka pada konf lik sosial jilid I, tanggal 19 Januari 2014, isu Buton, Bugis, Makasar (BBM) dianggap sebagai pemicu konf lik tersebut, sehingga mereka harus keluar dari Kota Ambon. Rentannya keamanan masyarakat akibat hadirnya preman-preman di pasar-pasar dan di terminal, sebagai dampak tidaknya memiliki pekerjaan/ usaha, maka tidaklah mengherankan hanya karena meminta uang dari supir angkot menghasilkan konflik sosial yang cukup berkepanjangan. Menurut Poltak Partogi Nainggolan,
Kepadatan penduduk tersebut dapat dilihat dari data berikut ini, yaitu: Kota Ambon, jumlah penduduk di tahun 2010 mencapai 330 ribu jiwa, atau sekitar seperlima dari keseluruhan penduduk Provinsi Maluku, yang mencapai 1,53 juta jiwa. Tingkat pertumbuhan penduduk cukup tinggi, sebesar 5,97 persen, dengan jumlah penduduk miskin mencapai 10.690 KK atau 44,744 jiwa tahun 2010, lebih seperdelapannya. Kota Ambon, mengalami angka kenaikan yang tinggi sejak dua dasawarsa lalu, apalagi dibandingkan dengan periode dasawarsa 1990-2000, yang angkanya minus 3 persen. Angka pertumbuhan pada rentang waktu 1990-2000 yang rendah itu, tidak aneh, karena pada periode panjang itu muncul konflik sosial yang hebat di seluruh kota. Tingkat kepadatan penduduk ini ditunjukkan dengan angka densitas, yaitu angka kepadatan penduduk menurut jumlah orang per km 2 , yang tinggal untuk wilayah seluas 1 km2 mencapai ratusan orang. Angka ini terus mengalami kecenderungan kenaikan dalam periode satu dasawarsa (tahun 2000 - 2009).8 Keempat, faktor sejarah masa lalu, menurut Fitri Lestari, konflik sosial di Maluku sering digambarkan sebagai permusuhan lama antara umat Muslim dan Kristen, walaupun kenyataannya lebih kompleks. Akibat keterlibatan Eropa dalam perdagangan rempah pada abad ke-16, hampir sekitar setengah dar i pendudu k Malu k u sekarang adalah orang Kristen (50.2 persen menurut sensus tahun 2000) dibandingkan wilayah lain di Indonesia 8 http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/jurnal_ kepakaran/Politica-3-2-November-2012.pdf. Diakses tanggal 8 Agustus 2014
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 35 No. 1 2014
37
di mana 88 persen penduduknya adalah Muslim. Selama kurang lebih 350 tahun Belanda menjajah Indonesia, membagi masyarakat Maluku menurut garis agama, secara geografis dan sosial. Praktek-praktek tradisional diperkirakan telah meredam ketegangan antara pihak Kristen dan Muslim dalam kondisi yang stabil sampai pada1970an. ‘Pela –Gandong’, sebuah sistem aliansi desa yang unik di Maluku, mengikat desa – desa Kristen dan Muslim bersama-sama dan memainkan p e r a n p e nt i ng d ala m hubu nga n sosial tradisional dan pengalaman identitas budaya. Maluku mengalami banyak per ubahan sosial selama kepemerintahan Soeharto. Hubungan damai antara Kristen dan Muslim yang terlihat hanyalah lapisan luarnya saja. Penjajahan Belanda mengakibatkan orang Kristen diberi akses yang lebih besar dalam pendidikan dan posisi politik, sedangkan Muslim menjadi mayoritas pedagang dan pebisnis. Menyusul kebijakan pemerintah untuk transmigrasi yang dimulai pada 1950-an, migrasi sukarela dari Bugis, Buton dan Makassar yang bertumbuh pada 1970an, penduduk Maluku yang Muslim makin bertambah. Pada 1990, Soeharto mendir ikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai alat untuk mengamankan dukungan politik dari kelompok Islam ketika kekuasaannya atas militer memudar. Soeharto menggunakan ICMI sebagai penyeimbang terhadap militer. ICMI menjadi sumber yang penting bagi perorangan untuk jabatan pemerintahan yang penting, termasuk di Maluku. Pada 1992, M. Akib Latuconsina,
38
direktur ICMI di Maluku diangkat menjadi Gubernur. Beliau adalah orang Maluku pertama dari sipil yang memegang jabatan tersebut, yang biasanya selalu ditempati oleh pejabat militer dari Jawa. Pada 1996, semua Bupati di Provinsi adalah Muslim. Perubahan ini membuat kesal penduduk Kristen dan lebih lagi membagi Maluku ke dalam garis agama. Lambang Trijono juga berpendapat, bahwa konflik sosial yang terjadi di Kota Ambon disebabkan oleh struktur warisan masa lalu, maksudnya adalah struktur hubungan antar kelompok yang terbentuk sejak lama di masa lalu, yang terpola dan relatif permanen selama ini, yang meski berubah-ubah dari waktu ke waktu tetap membekas mewarnai komposisi dan dinamika kelompok sekarang. Kelima, faktor kompleksitas, menurut Tri Ratnawati, konflik sosial yang terjadi di Kota Ambon sudah sangat kompleks, karena tidak ada faktor tunggal dan aktor tunggal yang menyebabkan konflik sosial tersebut, dan inilah yang menyebabkan mengapa anggota masyarakat setempat seringkali heran dan tidak sanggup mendeteksi serta mengendalikan, bahkan mengenali konf lik sosial yang terjadi karena sifatnya sudah melingkar, membelit membentuk labirin tak ber ujung. Dengan demikian, kalangan aktivis menyebutnya sebagai “konflik bukan lagi milik masyarakat setempat”. Keenam, faktor kepentingan elit, berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Forum Kepedulian Kerusuhan Maluku, Pengamat, sejumlah pakar, dan beberapa LSM, disimpulkan bahwa konf lik sosial yang terjadi
Resa Dandirwalu, Totem Ambon Manise
dan berkepanjangan di Kota Ambon, disebabkan oleh konspirasi antar elit politik dan konf lik eksternal antar elit politik. Karena itu, bagi mereka, konflik sosial itu dapat terselesaikan apabila konspirasi dan konflik ekternal antar elit itu dihentikan. Segregasi Teritorial Berbasis Agama Bertolak pada uraian sejarah Konflik sosial di atas, maka salah satu dampak yang masih berlangsung di Kota Ambon adalah segregasi teritorial berbasis agama, masyarakat yang beragama Isla m be r mu k i m pa d a w ilaya hwilayah atau teritorial yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, dan sebaliknya masyarakat yang beragama K risten ber mukim pada wilayahwilayah atau teritorial yang mayoritas masyarakatnya beragama Kristen. Misalnya, lokasi Waihaong, Batu Merah, Kebun Cengkeh, yang awalnya ditempati oleh orang Kristen dan orang Muslim, kini ditempati hanya oleh orang Muslim, karena daearh-daerah tersebut berpenduduk mayoritasnya beragama Islam; lokasi Mangga Dua, Hatiwe Kecil, Passo, yang awalnya ditempati oleh orang Kristen dan orang Muslim, kini ditempati hanya oleh orang Kristen, karena daerah-daerah tersebut berpenduduk mayoritasnya beragama Kristen. Kenyamanan pada Lokasi Pemukiman Bar u. Orang K risten dan orang Muslim sudah merasa nyaman dengan lingkungan tempat ber mukim mereka sekarang, dan itu disebabkan oleh sebagian orang Kristen yang awalnya bermukim di daerah Batu Merah, Waihaong, dan
Kebun Cengkeh, pada saat konf lik sosial berlangsung mengalami korban harta benda (rumah dihancurkan dan dibakar), sehingga menyelamatkan diri (mengungsi) di daerah-daerah yang seagama. Sebaliknya, sebagian orang Muslim yang awalnya bermukim di daerah, seperti: Mangga Dua, Hatiwe Kecil, dan Passo pada saat konf lik sosial berlangsung mengalami korban harta benda (rumah dihancurkan dan dibakar) sehingga menyelamatkan diri (mengungsi) di daerah-daerah yang seagama, mereka membangun rumah sebagai tempat hunian baru untuk beraktivitas. Selain itu, lokasi-lokasi baru tersebut, dipilih atas dasar satu klen/marga atau satu kerabat, sehingga menghasilkan rasa solidaritas yang tinggi dari komunitasnya atau klen/ marga masing-masing, maka terciptalah rasa primordial, dan memperkuat sentimen dari komunitas setempat yang seagama dan se-klen/marga, misalnya, klen Joseph, sebelum konflik sosial, berdomisili di Batu Merah, sesudah konflik tinggal di Hatiwe Kecil, bersama-sama dengan klennya. Orang Muslim merasakan bahwa kondisi saat ini belum dapat memberikan rasa aman, sehingga masih memiliki rasa takut atau khawatir untuk bermukim pada lokasi yang berbeda agama, maka mereka merasa aman dan nyaman hidup bersama dengan sesama agama dan sesama klennya, karena merasa terlindungi baik dari sisi agama maupun dari sisi klen. Meskipun peresmian Gong Perdamaian di Kota Ambon Provinsi Maluku oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 25 November tahun 2009 telah
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 35 No. 1 2014
39
dilaksanakan, namun konflik sosial masih berlangsung pada tanggal 11 September 2011, akibat dari kecelakaan seorang tukang ojek. Konflik sosial berlangsung di hari Pattimura pada tanggal 15 Mei tahun 2012, di daerah Batu Merah dan Mardika, akhirnya, pada daerah tersebut, dijaga oleh aparat keamaan TNI AD dari kesatuan Yonif 731 Kabaresi, karena “dianggap rawan”. Meskipun begitu, masyarakat yang berlokasi di daerah sekitar tempat pengamanan dari aparat kemanan TNI AD dari kesatuan Yonif 731 Kabaresi tetap mengalami korban, inilah yang membuat mereka melakukan protes kepada Pemerintah daerah Provinsi Maluku, Pemerintah Kota Ambon, dan Panglima Kodam XVI Pattimura untuk memulangkan aparat keamanan TNI AD dari kesatuan Yonif 731 Kabaresi yang bertugas di lokasi tersebut, sebagaimana yang disampaikan oleh warga Halong Mardika, bahwa “percuma saja aparat keamanan melakukan penjagaan di daerah kami, buktinya ketika bentrok m e r e k a m e m bi a r k a n kelo m p o k masyarakat lain membakar rumah warga pada saat hari Patimura pada tanggal 15 Mei tahun 2012”. Selain itu, aparat keamanan TNI-AD dari kesatuan Yonif 731 Kabaresi, masih ditempatkan pada daerah perbatasan Waihaong dan Tanah Lapang Kecil, karena kedua wilayah tersebut adalah salah satu wilayah perbatasan komunitas Kristen dan komunitas Muslim di Kota Ambon. Kaitannya dengan kondisi di atas, Pemerintah Kota Ambon terus berupaya untuk membangun citra bahwa Kota Ambon sudah aman dan kembali normal, dan salah satunya dengan menggelar
40
pesta besar setiap peringatan Hari Ulang Tahun Kota Ambon. Begitu juga dengan penyelenggaraan event-event olah raga yang melibatkan orang-orang di luar Kota Ambon, bahkan negara-negara tetangga. Hasilnya, kampanye Ambon kembali manise begitu dirasakan, baik di dalam maupun luar negeri, sebagaimana yang disampaikan oleh mantan Wali Kota Ambon Marcus Jopie Papilaya, bahwa frekuensi penerbangan sudah mulai bertambah, “yang sekali sehari, sekarang dua kali sehari”, sehingga aktivitas yang dilakukan ole h Pe m e r i nt a h Kot a A mb o n , memperlihatkan bahwa kesejahteraan masyarakat dan hidup bersama dalam komu n it as ya ng berbed a aga ma dapat terwujud melalui terciptanya perdamaian di Kota Ambon. Menurut Ichan Malik, kerusuhan d i A mbon me nu nju k k a n ba hwa perlu upaya yang luar biasa untuk memulihkan kembali trauma psikologi akibat konflik sosial di Kota Ambon di masa silam, maka selama ini upaya meredam konf lik sosial lebih ke pembangunan ekonomi dan fisik, dan agaknya melupakan trauma psikologis itu, padahal, prasangka masih hidup di antara kedua komunitas (Kristen dan Muslim). Pikiran Ichan Malik memperlihatkan bahwa apabila trauma psikologis tidak mampu diselesaikan oleh semua pihak secara terprogram dan kontinyu, maka sulit untuk kedua komunitas (Kristen dan Islam) hidup secara rukun dan harmonis, karena masih menyimpan dendam, sehingga mudah terprovokasi untuk terjadinya konflik sosial, terkait dengan hal itu, maka Aliansi Jurnalis Independen
Resa Dandirwalu, Totem Ambon Manise
(AJI) Kota Ambon bersama Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak melakukan kegiatan “Napak Damai” Anak Maluku untuk memperingati hari Anak Nasional tahun 2012. Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Insani Syahbarwaty, kegiatan dimaksud bertujuan untuk menyembuhkan trauma psikologis yang dialami oleh anak-anak korban konflik sosial di Kota Ambon. Pendapat tersebut memperlihatkan bahwa upaya yang dilakukan oleh AJI kepada anak-anak adalah upaya untuk menciptakan generasi akan datang yang mampu untuk menciptakan kerukunan dan keharmonisan tanpa dilandasi oleh dendam dan saling mencurigai antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Totem Orang Maluku Setiap klen di Maluku mempunyai totemnya masing-masing, yang diambil dari jenis binatang dan jenis tumbuhtumbuhan, yang lahir dari sejarahnya masing-masing sehingga anggotaanggota klen tersebut dilarang untuk membunuh dan mengkonsumsikannya, karena diyak ini binat ang dan tumbuh-tumbuhan totem merupakan per wujudan dari leluhur mereka, misalnya marga Gainaugasirai yang memiliki totem Gurita. Totem ini tercipta dari pengalaman di masa lalu ketika Pulau Eno Karang tenggelam, dan masyarakat memperg unakan perahu untuk menyelamatkan diri selama di laut, dan saat itulah seekor Gurita datang untuk menyelamatkan mereka, sehingga diyakini Gurita itu adalah perwujudan dari Leluhur yang menyelamatkan anak-cucunya;
Sedangkan marga Pasalbessy yang memiliki totem Ikan Kaluyu, meyakini bahwa Ikan Kaluyu adalah penjelmaan Leluhur untuk menyelamatkan anakcucunya yang pada saat itu tenggelam di lautan, sampai saat ini, apabila terdapat anggota marga yang tenggelam di laut, hanya dengan menyebutkan nama “kaka”, maka Ikan Kaluyu langsung datang menyelamatkan mereka, dan berikut ini, penulis mengedepankan beberapa klen dan totem orang Maluku yang dapat dilihat pada tabel 4 yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara. Totem: Ambon Manise Ambon Manise merupakan konsep atau slogan yang sudah sangat melekat pada orang Maluku, meskipun sejarah awal konsep atau slogan tersebut sulit ditentukkan, sehingga konsep atau slogan menjadi citra diri secara komunal orang Maluku, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan normatif dalam mengatur pandangan hidup bersama orang Maluku yang dapat merubah cara pandang dan sikap hidup mereka sehari-hari dalam berrelasi di tengahtengah masyarakat. Sikap hidup saling menghargai, saling membantu, dan saling percaya, sebelum konflik sosial tahun 1999, terlihat sangat kental di tengah-tengah kehidupan orang Maluku, karena apabila ada anggota masyarakat yang sikap hidupnya tidak mencer minkan sikap hidup tersebut, dinilai sebagai orang yang tidak memiliki identitas ke-Maluku-an. Dengan demikian, tampak bahwa di balik konsep atau slogan Ambon manise, terkandung larangan-larangan moraletis yang dianut oleh orang Maluku,
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 35 No. 1 2014
41
sehingga melakukan pelanggaran terhadap hal dimaksud, sanksinya adalah sanksi moral, sebab, perbuatan individu yang melanggar sikap hidup tersebut, menjadi tanggung jawab komunal karena telah mempermalukan orang Maluku secara keseluruhan. Ambon Manise, mengandung makna relasi yang terjalin di antara manusia dengan alam, karena orang Maluku
sangat dekat dan tergantung dengan alam, artinya alam bagi orang Maluku sangat penting dan bermanfaat bagi keberlangsungan hidup orang Maluku. Terkait dengan segregasi teritorial, maka upaya untuk menghancurkannya, penulis menggunakan totem “Ambon Manise”. Karena totem Ambon Manise merupakan totem yang mengandung identitas diri bersama sebagai kekuatan
Tabel 4 Klan dan Totem Orang Maluku No
42
Marga/Klan
Totem
Daerah
1
Pasalbessy
Ikan Kaluyu
Noloth – Nusalaut
2
Salenussa
Ular
Morekau – Seram Bagian Barat (SBB)
3
Harmusial
Soa-Soa
Hutumury – Pulau Ambon
4
Maspaitela
Morea Air Tawar
Rutong – Pulau Ambon
5
Latuwael
Buaya Putih
Waisoar – Buru Selatan
6
Louhenapessy
Buaya
Tuhaha – Saparua
7
Dadiara
Anjing
Kisar
8
Gainaugasirai
Gurita
Koijabi – Dobo
9
Duganata
Gurita
Jerlay – Dobo
10
Salay
Ayam
Dobo
11
Marela
Gayang
Tulehu
12
Lestaluhu
Pala
Tulehu
13
Nahumamury
Umbi
Tulehu
14
Tehupelasury
Ikan Puri
Tulehu
15
Mahali
Anjing
Waraka
16
Lailosa
Harimau
Waraka
Resa Dandirwalu, Totem Ambon Manise
u nt u k me ng ge r a k a n komu n it a s Kristen dan komunitas Muslim dalam ikatan kohesi sosial. Agar, setiap komunitas (Kristen dan Muslim) saling mendekatkan diri dan mengafirmasikan perasaan dan sentimen mereka bersama melalui aktivitas keseharian yang menampilkan sikap hidup yang ramah, indah, damai, toleran, tolong-menolong, s a l i ng m e ng h a r g a i , d a n s a l i ng menghormati, tidak saling mencurigai, agar masyarakat di Kota Ambon dapat hidup kembali saling berdampingan tanpa dibatasi dengan sekat-sekat keagamaan, sehingga mereka tidak mudah terprovokasi dengan berbagai isu yang dapat menghancurkan masyarakat di Kota Ambon. Kesimpulan Ber tolak pada kajian di atas, kesimpulan nya adalah: Per tama, konflik sosial yang berlangsung di Kota Ambon sejak 19 Januari 1999, 11 September 2011 dan 15 Mei 2012, diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu: faktor Etnis, faktor Agama, faktor Kepadatan Penduduk, faktor Sejarah Masa Lalu, faktor Kompleksitas, dan faktor Kepentingan Elit. Kedua, dampak konflik sosial menyebabkan komunitas Kristen dan komunitas Muslim hidup pada territorial agamanya masing-masing. Mereka tidak menghendaki untuk kembali pada daerah tempat tinggal sebelum konflik sosial,
karena alasan kenyamanan, kemanan, dan trauma psikologis. Berbagai pihak, di antaranya pemerintah (Kota Ambon) sudah melakukan kegiatan untuk menciptakan rasa aman dan damai di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, belum membuahkan hasil yang signifikan. Ketiga, Totem “Ambon Manise” merupakan citra diri orang Maluku, khususnya orang Ambon yang dapat merubah pandangan dan sikap hidup masyarakaynya, sehingga totem Ambon Manise dapat menjadi salah satu alternatif bagi pemerintah Provinsi Maluku dan pemerintah Kota Ambon untuk membongkar kehidupan masyarakat yang masih tersegregasi berbasis agama di Kota Ambon. Sebab, ketika pemerintah tidak mampu untuk membongkarnya, maka secara tidak sadar pemerintah turut andil dalam proses mengulangi sejarah Kolonial di masa lalu di Kota Ambon. Karena itu, sosialisasi tentang makna totem “Ambon Manise” sebagai identitas diri bersama terus dilakukan kepada semua elemen masyarakat, agar mereka dapat memahami makna dibalik totem “Ambon Manise” itu. Dengan begitu, semua elemen masyarakat dapat berpegang pada totem “Ambon Manise” dan dijadikan sebagai norma bersama dalam membangun hidup persaudaraan di Kota Ambon.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 35 No. 1 2014
43
Daftar Pustaka Achen. S.T. 1978 Symbols Around Us. New York : Von Nostrand Reinhold Beilharz, Peter. 2005 Teori-Teori Sosial. Yogyakarta : Pusataka Pelajar Boehlke, Robert R. 1972 Sekitar Theologia Simbolisme Sebagai Dasar Komunikasi Kristen. Jakarta : BPK-GM. Cooley, Franks L. 1987 Mimbar dan Takhta. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Dillistone, F.W. 2002 The Power Of Symbol- Daya Kekuatan Simbol, Yogyakarta : Kanisius. Durkheim, Emile. 1915 The Elementary Forms of Religion Life, New York The Free Press. Dhavamony Mariasusai. 1995 Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. Gery George. 1841 Journal of Two Expeditions in Northwestern and Westeren Australia. London : T& W. Boone Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke 3. Jakarta: Balai Pustaka. Morris, Brian. 2003 Antropologi Agama - Kritik teori-teori Agama Kontemporer, Yogyakarta : AK Group. Pals, Daniel L. 2001 Seven Theories Of Religion (Terj), Yogyakarta : Qalam. Suparlan, Parsudi. 2003 Kesukubangsaan Dan Posisi Orang Cina Dalam Masyarakat Majemuk Indonesia. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXVII, No. 71 MeiAgustus 2003. Ratnawati, Tri. 2006 Maluku Dalam Catatan Seorang Peneliti. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Saifudin, Achmad Fedyani. 2005 Antropologi Kontemporer. Jakarta: Prenada Media. Sutrisno, Mudji & Putranto Hendar (Editor). 2005 Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius. Sumarsono, dkk. 1993 Sistem Pemerintahan Tradisional Daerah Ambon. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Tanamal, Piter. 2000 Memori Tragedi Kemanusian Di Ambon-Maluku. Ambon : Yayasan Nunusaku. Trijono, Lambang. 2001 Keluar Dari Kemelut Maluku. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Footnotes) 1 Frank L. Cooley. Op. Cit. Hlm. 184
44
Resa Dandirwalu, Totem Ambon Manise